BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia sebagai negara tropik dengan iklim dan cuaca yang hangat sepanjang tahun merupakan tempat hidup yang sesuai bagi berbagai organisme perusak kayu seperti rayap, cendawan maupun serangga lainnya dengan keragaman yang tinggi. Diperkirakan hampir 80 – 85% dari luas daratan di Indonesia merupakan habitat yang sesuai bagi kehidupan rayap (Nandika 1999). Hingga saat ini di dunia terdapat lebih dari 2300 spesies rayap yang dapat diklasifikasikan ke dalam kelompok ekologi yang berbeda: kayu lembab, kayu kering, tanah (subterranean), arboreal/mound builder dan pohon. Kurang 15% dari keragaman spesies rayap tersebut berada pada tata ruang yang dikelola oleh manusia, dan sekitar 150 spesies diketahui menyerang struktur berbahan baku kayu. Dari sekian banyak spesies rayap 10% atau 200 spesies lebih ditemukan di Indonesia, dan sekitar 20 spesies berperan sebagai hama perusak kayu dan tanaman (Tarumingkeng 2001; Nandika et al. 2003; Yusuf 2004; Lewis 2006). Diperkirakan berbagai spesies rayap perusak kayu dan bangunan akan terus menjadi bagian integral dari ekosistem Indonesia. Meluasnya pembangunan gedung dan pemukiman ke seluruh pelosok daerah cenderung meningkatkan integrasi antara koloni rayap dengan bangunan, yang berarti ancaman bahaya serangan rayap terhadap kayu dan bangunan di Indonesia semakin tinggi. Di Indonesia, rayap tanah Coptotermes spp, merupakan spesies rayap perusak kayu bangunan yang paling banyak menyebabkan kerugian. Kerusakan yang diakibatkan oleh serangan spesies rayap ini paling mencolok dibandingkan dengan kerusakan oleh serangan organisme perusak yang lain, dan keadaan ini diperburuk dengan penggunaan spesies-spesies kayu yang keawetannya rendah. Oleh karena itu pengendalian rayap tanah sangat diperlukan untuk mempertahankan masa pakai kayu pada suatu bangunan. Sampai saat ini berbagai teknologi pengendalian rayap telah dicoba, antara lain adalah: 1) Penggunaan termitisida yang diaplikasikan melalui tanah atau dengan cara impregnasi ke dalam kayu (chemical barrier), 2) Menggunakan penghalang fisik (physical barrier) yaitu untuk mencegah penetrasi rayap pada 2 bangunan dan 3) Teknologi pengumpanan (baiting), untuk mengeliminasi koloni rayap. Pemanfaatan bahan kimia seperti organochlorine sangat efektif untuk pengendalian rayap namun membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan. Persistensinya yang bertahan lama di lingkungan menyebabkan jenis pestisida ini masuk ke dalam rantai makanan manusia. Sebagai alternatif lain penggunaan organophosphates dan synthetic pyrethroids selain efektif dianggap mempunyai resiko rendah terhadap mammalia dan lingkungan. Di samping penggunaan penghalang fisik seperti penggunaan granit, pasir, koral dan termite mesh untuk pengendalian rayap, perkembangan termitisida saat ini telah mengarah pada penggunaan bahan kimia dengan reaksi lambat seperti hexaflumuron dan bistrifluron (Sornnuwat 1996; Tarumingkeng 2000; Kubota et al. 2007). Pengendalian rayap secara biologi menggunakan agens hayati dari golongan cendawan, nematoda, virus dan bakteri entomopatogen merupakan alternatif lain pengendalian rayap tanah (Pearce 1997). Penggunaan agens hayati tersebut untuk pengendalian rayap merupakan suatu wacana baru yang belum digunakan di Indonesia (Yusuf et al. 2005). Namun dari beberapa publikasi di negara-negara maju seperti Jepang, Australia, Amerika Serikat dan Perancis, penggunaan agens hayati dari golongan cendawan entomopatogen tampak lebih berhasil untuk pengendalian rayap. Pemanfaatan cendawan entomopatogen untuk pengendalian hayati rayap dengan proses atau metode penularan secara langsung maupun tidak langsung, merupakan suatu pilihan teknologi yang tepat dan menarik dikembangkan. Selain mempunyai arti strategis karena dapat memberikan nilai tambah tinggi bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya tentang pengendalian rayap secara hayati, juga tidak berbahaya bagi lingkungan maupun pemakainya. Studi pemakaian cendawan entomopatogen untuk pengendalian rayap tanah spesies Coptotermes spp. telah dilakukan (Suzuki 1991; Jones et al. 1996; Delate et al. 1995). Cendawan Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorokin dan Beauveria bassiana (Bals.) Vuillemin yang termasuk kelas Hyphomycetes merupakan spesies yang paling cocok untuk pengendalian rayap (Khan et al. 1991; Suzuki 1991; Milner, et al. 1996). Temperatur optimum untuk pertumbuhan cendawan 3 M. anisopliae adalah: 25-30 0C dengan kelembaban 70-95%, dengan demikian kondisi Indonesia merupakan habitat yang sangat cocok. Pada penelitian ini dipelajari cendawan entomopatogen yang diisolasi dari beberapa sumber inokulum yang terdapat di alam dan dikaji potensinya sebagai bahan pengendalian rayap yang ramah lingkungan. Perumusan Masalah Kerusakan kayu bangunan yang diakibatkan oleh rayap di Indonesia sudah sangat besar, apalagi kayu-kayu bangunan pada masa kini hanya ditunjang oleh kayu-kayu yang mempunyai kualitas awet rendah. Bahan kimia yang digunakan untuk mengawetkan kayu kebanyakan berasal dari bahan kimia yang sangat berbahaya bukan hanya terhadap penghuninya melainkan juga terhadap lingkungan. Penggunaan mikrob untuk menekan laju perkembangan rayap adalah salah satu cara pengendalian yang sangat ideal agar keseimbangan lingkungan dapat tercapai dan tidak membahayakan terhadap pemakainya. Cendawan yang bersifat entomopatogen banyak ditemukan pada berbagai spesies hama tanaman yang telah mati di lapangan, diduga cendawan-cendawan tersebut mempunyai peranan besar atas kematian hama tersebut. Apabila cendawan dapat diisolasi dari tubuh serangga tersebut, maka hal ini akan membuka wacana baru dalam dunia pengawetan kayu, sehingga perkembangan rayap dapat dikendalikan dengan penggunaan cendawan entomopatogen. Tujuan dan Kegunaan Khusus Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman dan tingkat keefektifan masing-masing spesies atau isolat cendawan entomopatogen terhadap rayap tanah Coptotermes spp.. Selain hal ini juga bertujuan untuk mengetahui metode penginfeksian serta penularan cendawan di dalam koloni rayap tanah. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan dasar maupun sumber informasi bagi pengendalian rayap tanah Coptotermes spp. dengan menggunakan beberapa spesies cendawan entomopatogen yang efektif dengan metode infeksi dan penularan yang sesuai. Sehingga teknologi proses pemanfaatan mikrob cendawan untuk pembuatan bahan pengendalian rayap diharapkan dapat mendukung industri pestisida. Di samping itu sejalan dengan perhatian dan kesadaran masyarakat akan 4 masalah pencemaran lingkungan, termasuk pencemaran akibat penggunaan bahan kimia anti rayap yang terus meningkat. Dengan demikian penelitian ini dapat mendukung perkembangan dan daya saing industri pengendalian rayap di masa mendatang. Secara umum penelitian ini terkait dengan pendayagunaan sumberdaya alam hayati yang lebih mengefisienkan pemanfaatan mikrob. Hasil yang Diharapkan Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan: 1. Informasi tentang keragaman spesies atau isolat cendawan entomopatogen yang efektif dimanfaatkan sebagai pengendalian rayap tanah Coptotermes spp. 2. Tingkat keefektifan cendawan dan persentase vektor efektif untuk pengendalian koloni rayap tanah Coptotermes spp. 3. Menemukan metode yang cocok untuk pemanfaatan cendawan entomopatogen sebagai pengendalian rayap tanah Coptotermes spp. di laboratorium. 4. Langkah awal untuk mencapai paket teknologi pemanfaatan cendawan entomopatogen sebagai pengendalian rayap tanah Coptotermes spp. di Indonesia