Chapter II

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Konsumsi dan Gaya Hidup
Konsumsi dipandang dalam sosiologi bukan sebagai sekedar pemenuhan
kebutuhan yang bersifat fisik dan biologis manusia tetapi berkaitan pada aspek-aspek
sosial budaya. Konsumsi berhubungan dengan dengan masalah selera identitas atau
gaya hidup. Sosiologi memandang selera sebagai sesuatu yang dapat berubah,
difokuskan pada kualitas simbolik dari barang dan ketergantungan pada persepsi
tentang selera dari orang lain. Selera merupakan pengikat kelompok dalam (in group).
Aktor-aktor kolektif atau kelompok status berkompetisi dalam penggunaan barangbarang simbolik. Keberhasilan dalam berkompetisi ditandai dengan kemampuan
untuk memonopoli sumber-sumber budaya, akan meningkatkan prestise dan
solidaritas kelompok dalam (Weber dalam Damzar, 2002:136).
Konsumsi terhadap barang merupakan landasan bagi penjenjangan dari
kelompok status yang dibedakan dari kelas yang landasan penjenjangannya adalah
hubungan terhadap produksi dan perolehan barang-barang. Situasi kelas ditentukan
secara murni ekonomi sedangkan situasi status ditentukan oleh penghargaan sosial
terhadap kehormatan.
2. Teori Labeling
Dewasa ini perkembangan pemberian label yang dikemukakan masyarakat
semakin meningkat. Biasanya label yang dikemukakan masyarakat adalah label yang
17
negatif dan sasarannya adalah individu yang dianggap menyimpang. Individu yang
rentan terhadap label adalah remaja, dimana pada masa remaja adalah masa pencarian
identitas dan pada masa ini remaja harus bisa melewati krisisnya agar tidak terjadi
kebingungan identitas. Salah satu penyebab kebingungan identitas remaja adalah
labeling.
Menurut Lemert (dalam Sunarto, 2004) Teori Labeling adalah penyimpangan
yang disebabkan oleh pemberian cap/ label dari masyarakat kepada seseorang yang
kemudian cenderung akan melanjutkan penyimpangan tersebut. Lahirnya teori
labeling, diinspirasi oleh perspektif interaksionisme simbolik dan telah berkembang
sedemikian rupa dengan riset-riset dan pengujiannya dalam berbagai bidang seperti,
kriminolog, kesehatan mental, kesehatan dan pendidikan. Teori labelling dipelopori
oleh Lemert dan Interaksionisme simbolik dari Herbert Mead (dalam Sunarto, 2004).
Kemudian dikembangkan oleh Howard Becker pada tahun 1963. Labelling bisa juga
disebut sebagai penjulukan/ pemberian cap. Awalnya, menurut Teori Struktural
devian atau penyimpangan dipahami sebagai perilaku yang ada dan merupakan
karakter yang berlawanan dengan norma-norma sosial. Devian adalah bentuk dari
perilaku. Labeling adalah sebuah definisi yang ketika diberikan pada seseorang akan
menjadi identitas diri orang tersebut, dan menjelaskan orang dengan tipe
bagaimanakah dia. Dengan memberikan label pada diri seseorang, kita cenderung
melihat dia secara keseluruhan kepribadiannya, dan bukan pada perilakunya satu per
satu.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Martina Rini S.
Tasmin, SPsi. Dalam teori labelling ada satu pemikiran dasar, dimana pemikiran
18
tersebut menyatakan “seseorang yang diberi label sebagai seseorang yang devian dan
diperlakukan seperti orang yang devian akan menjadi devian”. Penerapan dari
pemikiran ini akan kurang lebih seperti berikut “anak yang diberi label bandel, dan
diperlakukan seperti anak bandel, akan menjadi bandel”. Atau penerapan lain “anak
yang diberi label bodoh, dan diperlakukan seperti anak bodoh, akan menjadi bodoh”.
Bisa juga seperti ini “Anak yang diberi label pintar, dan diperlakukan seperti anak
pintar, akan menjadi pintar”. Hal ini berkaitan dengan pemikiran dasar teori labelling
yang biasa terjadi, ketika kita sudah melabel seseorang, kita cenderung
memperlakukan seseorang sesuai dengan label yang kita berikan, sehingga orang
tersebut cenderung mengikuti label yang telah ditetapkan kepadanya.
Menurut Biddulph, (2007) banyak ahli yang setuju, bahwa bagaimana
seseorang memandang dan merasakan dirinya sendiri akan menjadi dasar orang
tersebut beradaptasi sepanjang hidupnya. Anak yang memandang dirinya baik akan
mendekati orang lain dengan rasa percaya dan memandang dunia sebagai tempat
yang aman, dan kebutuhan-kebutuhannya akan terpenuhi. Sementara anak yang
merasa dirinya tidak berharga, tidak dicintai akan cenderung memilih jalan yang
mudah, tidak berani mengambil resiko dan tetap saja tidak berprestasi. Anak yang
diberi label negatif dan mengiyakan label tersebut bagi dirinya, cenderung bertindak
sesuai dengan label yang melekat padanya. Dengan ia bertindak sesuai labelnya,
orang akan memperlakukan dia juga sesuai labelnya. Hal ini menjadi siklus
melingkar yang berulang-ulang dan semakin saling menguatkan terus-menerus.
Bagi para remaja pengalaman mendapatkan label tertentu (terutama yang
negatif) memicu pemikiran bahwa dirinya ditolak. Pemikiran bahwa dirinya ditolak
19
dan kemudian dibarengi oleh sikap penolakan yang sesungguhnya, dapat
menghancurkan kemampuan berinteraksi, mengurangi rasa harga diri, dan
berpengaruh negatif terhadap kinerja seseorang dalam kehidupan sosial dan
kehidupan kerjanya. Bagi remaja sangat penting untuk merasa bahwa dirinya
berharga dan dicintai. Perasaan ini ditemukan olehnya lewat respon orang-orang
disekitarnya,. Kalau respon orang disekitarnya positif tentunya tidak perlu
dicemaskan akibatnya. Tetapi, adakalanya orang disekitar si anak tersebut, tidak
dapat menahan diri sehingga menunjukkan respon-respon negatif seputar anak
tersebut. Walaupun sesungguhnya orang tersebut tidak bermaksud buruk dengan
respon-responnya, namun tanpa disadari hal-hal yang dikatakan, sikap dan responnya,
masuk dalam hati dan pikiran seorang anak dan berpengaruh dalam kehidupannya.
Terutama dalam pembentukan identitas si anak tersebut.
3. Kondisi Status Sosial Ekonomi Masyarakat
Setiap individu yang masih bayi dilahirkan dalam status sosial yang dimiliki
orangtuanya. Jika ia tidak mau menerima kedudukan sosial yang diwariskan dan mau
mencari kedudukan yang lebih tinggi harus memperhitungkan dua hal, yaitu bakat
kemampuannya dan jalan yang sesuai dengan bakatnya untuk ditempuh melewati
jenjang-jenjang sosial (vertikal) menuju pada strata kedudukan sosial yang lebih
tinggi. Kenyataan membuktikan bahwa tidak sedikit anak yang berhasil meraih
kedudukan sosial yang lebih tinggi daripada kedudukan orangtuanya. Apa yang
dicapai inilah berkat apa yang disebut dengan prestasi individu.
20
Kedudukan (status) seseorang atau kedudukan yang melekat padanya dapat
terlihat pada kehidupan sehari-harinya melalui ciri-ciri tertentu yang dinamakan
prestise simbol (status simbol). Cirri-ciri tersebut seolah-olah sudah menjadi bagian
hidupnya yang telah institutionalized atau bahkan internalized. Ada beberapa cirri-ciri
tertentu yang dianggap sebagai status simbol, seperti cara berpakaian, pergaulan, cara
mengisi waktu senggang, memilih tempat tinggal, cara dan corak menghias rumah
kediaman dan seterusnya (Soekanto, 2001:267).
Kehidupan manusia secara wajar telah dilihat dari segi tingkat pendapatannya
serta besar jumlah uang yang dikonsumsi juga tidak terlepas dari posisi di dalam
pergaulan hidup dan di dalam lingkungan. Dalam hidup manusia memiliki
seperangkat nilai yang telah tertanam di dalam dirinya. Suatu nilai adalah suatu
konsep abstrak dalam diri manusia mengenai apa yang baik dan apa yang dianggap
buruk. Yang baik akan dianutnya sedangkan yang buruk akan dihindarinya. Sistem
nilai-nilai akan timbul atas dasar pengalaman-pengalaman manusia di dalam
berinteraksi yang kemudian membentuk pergaulan hidup, oleh karena :
1. Nilai-nilai abstraksi dari pengalaman-pengalaman pribadi seseorang.
2. Nilai-nilai tersebut senantiasa diisi dan bersifat dinamis.
3. Nilai-nilai merupakan kriteria untuk mencapai tujuan hidup yang terwujud dalam
perikelakuan (Soekanto, 2001).
4. Teori Kebutuhan
Dalam kehidupan sehari-hari, mungkin kita sering bertanya-tanya mengapa
setiap orang memiliki ketertarikan terhadap sesuatu yang berbeda-beda, mengapa ada
21
orang yang memiliki cita-cita sangat tinggi, sedangkan ada juga yang hanya menjadi
orang yang biasa-biasa saja. Ada yang sudah puas menjadi ibu rumah tangga, tetapi di
sisi lain ada juga yang ingin menjadi presiden. Apa yang membuat mereka
termotivasi, dan apa yang membuat mereka tidak termotivasi. Pertanyaan-pertanya
semacam itu sudah ada sejak beberapa puluh tahun silam, dan salah satu orang
mencoba menjawab pertanyaan tersebut adalah Abraham Maslow. Abraham Maslow
sudah pernah mencoba untuk menjawab pertanyaan tersebut dalam karyanya yang
dipublikasikan dengan judul, “Theory of Human Motivation” pada tahun 1943.
Pada karyanya tersebut, Abraham Maslow memperkenalkan pemikirannya
mengenai motivasi dihubungkan dengan kebutuhan manusa. Ia menjelaskan
mengenai hirarki kebutuhan manusia dengan konsep, “Piramid Kebutuhan Maslow”.
Dengan model ini, Maslow menjelaskan bahwa kebutuhan manusia bertingkat, mulai
dari kebutuhan mendasar yang harus dipenuhi pada bagian bawah piramid, dan
kebutuhan manusia meningkat terus ke atas apabila jenis kebutuhan yang dasar sudah
terpenuhi. Mulai dari kebutuhan yang paling dasar adalah kebutuhan fisiologis,
kemudian berlanjut ke kebutuhan akan keamanana (safety), kebutuhan dicintai
(Love/belonging), kebutuhan untuk rasa percaya diri (Esteem), dan kebutuhan
puncak, yaitu aktualisasi diri (self-actualization).
4.1 Kebutuhan Fisiologis
Pada dasarnya, manusia harus memenuhi kebutuhan fisiologisnya untuk dapat
bertahan hidup. Pada hirarki yang paling bawah ini, manusia harus memenuhi
kebutuhan makanan, tidur, minum, seks, dan hal-hal lainnya yang berhubungan
dengan fisik badan. Bila kebutuhan dasar ini belum terpenuhi, maka manusia akan
22
mengalami kesulitan untuk berfungsi secara normal. Misalnya, seseorang mengalami
kesulitan untuk mendapatkan makanan, sehingga ia menderita kelaparan, maka ia
tidak akan mungkin mampu untuk memikirkan kebutuhan akan keamanannya
ataupun kebutuhan aktualisasi diri. Logika sederhananya: bagaimana seseorang dapat
memikirkan prestasi atau aktualisasi diri, bila dirinya terus menerus dihantui rasa
ketakutan akan kelaparan?
4.2 Kebutuhan Keamanan (Safety)
Pada hirarki tingkat kedua, manusia membutuhkan rasa keamanan dalam
dirinya. Baik keamanan secara harfiah (keamanan dari perampok, orang jahat, dan
lain-lain), maupun keamanan secara finansial ataupun hal lainnya. Dengan memenuhi
kebutuhan keamanan tersebut, dapat dipastikan bahwa kebutuhan manusia dapat
berlanjut ke tahap berikutnya, yaitu kebutuhan kasih sayang dan sosial.
4.3 Kebutuhan Kasih Sayang / Sosial (Love / Belonging)
Setelah memenuhi 2 kebutuhan yang bersifat individu, kini manusia menapaki
kebutuhan untuk diterima secara sosial. Emosi menjadi “pemain” utama dalam hirarki
ketiga ini. Perasaan menyenangkan yang dimiliki pada saat kita memiliki sahabat,
seseorang untuk berbagi cerita, hubungan dekat dengan keluarga adalah tujuan utama
dari memenuhi kebutuhan sosial ini.
4.4 Kebutuhan Percaya Diri (Esteem)
Semua orang pasti ingin dihormati dan ingin merasa berguna bagi orang lain.
Kebutuhan semacam ini tertuang pada hirarki pada tahap keempat dalam piramid
23
Abraham Maslow. Kebutuhan untuk percaya diri ini biasanya muncul setelah ketiga
kebutuhan yang lebih mendasar sudah terpenuhi, meskipun tidak menutup
kemungkinan bahwa kebutuhan semacam ini dapat muncul tanpa harus memenuhi
ketiga kebutuhan yang lebih mendasar.
4.5 Kebutuhan Aktualisasi Diri (Self-Actualization)
Umumnya, kebutuhan ini akan muncul bila seseorang merasa seluruh
kebutuhan mendasarnya sudah terpenuhi. Pada hirarki ini, biasanya seseorang akan
berhadapan dengan ambisi untuk menjadi seseorang memiliki kemampuan lebih.
Seperti mengaktualisasikan diri untuk menjadi seorang ahli dalam bidang ilmu
tertentu, atau hasrat untuk mengetahui serta memenuhi ketertarikannya akan suatu
hal.
Abraham Maslow menemukan model piramid kebutuhan tersebut dengan
melakukan penelitian terhadap beberapa orang yang dianggapnya mencapai tahap
aktualisasi diri tersebut, seperti Albert Einstein. Ia beranggapan bahwa tidak semua
orang dapat mencapai tahap yang tertinggi, karena dalam hidup, pasti ada banyak hal
yang menyebabkan tahapan kebutuhan dalam piramid Maslow tidak dapat tercapai.
Kebutuhan menciptakan keinginan, dan keinginan mendasari motivasi
seseorang untuk mencapai sesuatu. Bukan rahasia bila motivasi seseorang dalam
melakukan sesuatu muncul dari kebutuhannya yang tidak dapat dicapainya. Nicolas
Sarkozy pernah berkata, “Apa yang menjadikan aku sekarang, mungkin adalah masa
kecilku.” Dan menilik pada masa kecil Nicolas Sarkozy, ia adalah seseorang yang
berukuran tubuh kecil dan seringkali ia merasakan perlakuan tidak menyenangkan
24
dan tidak dihormati oleh teman-temannya. Namun kini, dengan segala kerja keras
yang ia lakukan demi mencapai posisi tertinggi di Negeri Perancis, ia mendapatkan
apa yang tidak didapatkan olehnya selama masa mudanya.
25
Download