BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Spiritualitas 1.1 Defenisi Spiritualitas

advertisement
 BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
1. Spiritualitas
1.1 Defenisi Spiritualitas
Spiritualitas didefinisikan sebagai kesadaran dalam diri seseorang dan rasa
keterhubungannya dengan sesuatu yang lebih tinggi, alami, dan tujuan yag lebih
besar dari diri sendiri. Spiritualitas menawarkan pengertian keterhubungan secara
intrapersonal (keterhubungan dengan diri sendiri), interpersonal (keterhubungan
dengan orang lain), dan transpersonal (yang tidak terlihat, Tuhan atau kekuatan
yang lebih tinggi) (Milner-Williams, dalam Potter Perry, 2010).
Menurut Mickley, et al (dalam Hamid, 2009) menyatakan bahwa
spiritualitas diartikan multidimensi yang terdiri dari dimensi eksistensial dan
dimensi agama. Dimensi eksistensial berfokus pada tujuan dan arti kehidupan,
sedangkan dimensi agama lebih berfokus pada hubungan seseorang dengan
Tuhan. Sementara itu Stoll (1989 dalam Kozier, Erb, Blais & Wilkinson, 1995)
menyatakan bahwa spiritualitas merupakan suatu konsep dua dimensi yaitu
dimensi vertikal dan dimensi horizontal. Dimensi vertikal merupakan hubungan
individu dengan Tuhan Yang Maha Esa yang menuntun kehidupan seseorang,
sedangkan dimensi horizontal merupakan hubungan seseorang dengan diri sendiri,
orang lain, dan lingkungan.
1.2 Aspek Spiritualitas
Kebutuhan spiritual adalah harmonisasi dimensi kehidupan. Kebutuhan
akan harapan dan keyakinan hidup, kebutuhan akan keyakinan pada diri sendiri,
Universitas Sumatera Utara
dan Tuhan. Ada 5 dasar kebutuhan spiritual manusia yaitu: arti dan tujuan hidup,
perasaan misteri, pengabdian, rasa percaya dan harapan di waktu kesusahan
(Hawari, 2002). Menurut Burkhardt (dalam Hamid, 2009) spiritualitas meliputi
aspek sebagai berikut:
1) Berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui atau ketidakpastian
dalam kehidupan.
2) Menemukan arti dan tujuan hidup.
3) Menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan
dalam diri sendiri.
4) Mempunyai perasaan keterikatan dengan diri sendiri dan dengan Yang
Maha Tinggi.
Menurut Schreurs (dalam Potter Perry, 2010) spiritualitas terdiri dari tiga
aspek yaitu aspek eksistensial, aspek kognitif, dan aspek relasional. Pada aspek
eksistensial, seseorang belajar untuk “mematikan” bagian dari dirinya yang
bersifat egosentrik dan defensif. Aktivitas yang dilakukan seseorang pada aspek
ini dicirikan oleh proses pencarian jati diri (true self). Pada aspek kognitif
aktivitas spiritual seseorang merupakan kegiatan pencarian pengetahuan spiritual.
Seseorang mencoba untuk menjadi lebih reseptif terhadap realitas transenden.
Biasanya dilakukan dengan cara menelaah literatur atau melakukan refleksi atas
suatu bacaan spiritual tertentu, melatih kemampuan untuk konsentrasi, juga
dengan melepas pola pemikiran kategorikal yang telah terbentuk sebelumnya agar
dapat mempersepsi secara lebih jernih pengalaman yang terjadi serta melakukan
refleksi atas pengalaman tersebut. Aspek relasional, merupakan tahap kesatuan
Universitas Sumatera Utara
dimana seseorang merasa bersatu dengan Tuhan. Pada aspek ini seseorang
membangun, mempertahankan, dan memperdalam hubungan personalnya dengan
Tuhan.
1.3 Faktor yang Mempengaruhi Spiritualitas
Menurut Taylor (1997) dan Craven & Hirnle (1996) dalam Hamid (2009),
faktor penting yang dapat mempengaruhi spiritual seseorang adalah:
a. Tahap perkembangan
Spiritual berhubungan dengan kekuasaan non material, seseorang harus
memiliki beberapa kemampuan berfikir abstrak sebelum mulai mengerti spiritual
dan menggali suatu hubungan dengan yang Maha Kuasa. Hal ini bukan berarti
bahwa keSpiritual tidak memiliki makna bagi seseorang.
b. Keluarga
Keluarga merupakan lingkungan terdekat dan pengalaman pertama anak
dalam mempersepsikan kehidupan di dunia. Pandangan anak pada umunya
diwarnai oleh pengalaman mereka dalam berhubungan dengan saudaranya dan
orang tua. Oleh karena itu peran orang tua sangat penting untuk perkembangan
spiritualitas anak.
c. Latar belakang etnik dan budaya
Sikap, keyakinan dan nilai dipengaruhi oleh latar belakang etnik dan sosial
budaya. Pada umumnya seseorang akan mengikuti tradisi agama dan spiritual
keluarga. Anak belajar pentingnya menjalankan kegiatan agama, termasuk nilai
moral dari hubungan keluarga dan peran serta dalam berbagai bentuk kegiatan
keagamaan.
Universitas Sumatera Utara
d. Pengalaman hidup sebelumnya
Pengalaman hidup baik yang positif maupun negatif dapat mempengaruhi
Spiritual sesorang dan sebaliknya juga dipengaruhi oleh bagaimana seseorang
mengartikan secara spiritual pengalaman tersebut. Peristiwa dalam kehidupan
seseorang dianggap sebagai suatu cobaan yang diberikan Tuhan kepada manusia
menguji imannya.
e. Krisis dan perubahan
Krisis dan perubahan dapat menguatkan kedalam spiritual seseorang.
Krisis sering dialami ketika seseorang menghadapi penyakit, penderitaan, proses
penuaan, kehilangan dan bahkan kematian, khususnya pada pasien dengan
penyakit terminal atau dengan prognosis yang buruk. Perubahan dalam kehidupan
dan krisis yang dihadapi tersebut merupakan pengalaman spiritual yang bersifat
fisikal dan emosional.
f. Asuhan Keperawatan yang Kurang Sesuai
Ketika memberikan asuhan keperawatan kepada klien, perawat diharapkan
untuk peka terhadap kebutuhan spiritualitas klien, tetapi dengan berbagai alasan
ada kemungkinan perawat menghindar untuk memberikan asuhan keperawatan
spiritualitas. Hal tersebut terjadi karena perawat merasa kurang nyaman dengan
kehidupan spiritualnya, kurang menganggap penting kebutuhan spiritualitas, tidak
mendapatkan pendidikan tentang aspek spiritualitas dalam keperawatan atau
merasa bahwa pemenuhan kebutuhan spiritualitas klien bukan merupakan
tugasnya tetapi tanggung jawab pemuka agama.
Universitas Sumatera Utara
Asuhan keperawatan untuk kebutuhan spiritualitas mengalir dari sumber
spiritualitas perawat. Perawat tidak dapat memenuhi kebutuhan spiritualitas tanpa
terlebih dahulu memenuhi kebutuhan spiritualitas mereka sendiri. Perawat yang
bekerja digaris terdepan harus mampu memenuhi semua kebutuhan manusia
termasuk juga kebutuhan spiritualitas klien. Berbagai cara perawat untuk
memenuhi kebutuhan klien mulai dari pemenuhan makna dan tujuan spiritualitas
sampai dengan menfasilitasi untuk mengekspresikan agama dan keyakinannya.
g. Isu Moral Terkait Terapi
Prosedur medik sering kali dapat dipengaruhi oleh pengajaran agama,
misalnya transplantasi organ, pencegahan kehamilan, dan sterilisasi. Tidak jarang
terapi medis yang diberikan tidak sesuai atau tidak dapat diterima oleh sebagian
kepercayaan klien sehinggan timbul konflik.
h. Terpisah dari ikatan spiritual
Ketika individu mengalami penyakit akut sering kali individu merasa
terisolasi dan kehilangan kebebasan peribadi dan sistem dukungan sosial. Sebagai
contoh pasien yang sedang dirawat di rumah sakit terhalang untuk menghadiri
kegiatan keagamaan atau tidak dapat berkumpul dengan keluarga dan teman
dekat. Terpisahnya klien dari ikatan spiritual dapat beresiko terjadinya perubahan
fungsi spiritualnya.
1.4 Karakteristik Spiritualitas
Spiritualitas memiliki beberapa karakteristik, adapun karakteristik
spiritualitas antara lain:
Universitas Sumatera Utara
a. Hubungan dengan diri sendiri
Merupakan kekuatan dari dalam diri seseorang yang meliputi pengetahuan
diri yaitu siapa dirinya, apa yang dapat dilakukannya dan juga sikap yang
menyangkut kepercayaan pada diri sendiri, percaya pada kehidupan atau masa
depan, ketenangan pikiran, serta keselarasan dengan diri-sendiri. Kekuatan yang
timbul dari diri seseorang membantunya menyadari makna dan tujuan hidupnya,
diantaranya memandang pengalaman hidupnya sebagai pengalaman yang positif,
kepuasan hidup, optimis terhadap masa depan, dan tujuan hidup yang semakin
jelas (Kozier, Erb, Blais & Wilkinson, 1995).
Kepercayaan (Faith). Menurut Fowler dan keen (1985 dalam Astria,
2009) kepercayaan bersifat universal, dimana merupakan penerimaan individu
terhadap kebenaran yang tidak dapat dibuktikan dengan pikran yang logis.
Kepercayaan dapat memberikan arti hidup dan kekuatan bagi individu ketika
mengalami kesulitan atau stress. Mempunyai kepercayaan berarti mempunyai
komitmen terhadap sesuatu atau seseorang sehingga dapat memahami kehidupan
manusia dengan wawasan yang lebih luas.
Harapan (Hope). Harapan merupakan suatu proses interpersonal yang
terbina melalui hubungan saling percaya dengan orang lain, termasuk dengan
Tuhan. Harapan sangat penting bagi individu untuk mempertahankan hidup, tanpa
harapan banyak orang menjadi depresi dan lebih cenderung terkena penyakit
(Grimm, dalam Kozier, Erb, Blais & Wilkinson, 1995 ).
Universitas Sumatera Utara
Makna atau arti dalam hidup (Meaning of live).
Merasakan hidup sebagai suatu pengalaman yang positif seperti
membicarakan tentang situasi yang nyata, membuat hidup lebih terarah, penuh
harapan tentang masa depan, merasa mencintai dan dicintai oleh orang lain
(Puchalski, 2004).
b. Hubungan dengan orang lain
Hubungan dengan orang lain lahir dari kebutuhan akan keadilan dan
kebaikan, menghargai kelemahan dan kepekaan orang lain, rasa takut akan
kesepian, keinginan dihargai dan diperhatikan, dan lain sebagainya. Dengan
demikian apabila seseorang mengalami kekurangan ataupun mengalami stres,
maka orang lain dapat memberi bantuan psikologis dan sosial (Carm & Carm,
2000).
Hubungan ini terbagi atas harmonis dan tidak harmonisnya hubungan
dengan orang lain. Keadaan harmonis meliputi pembagian waktu, ramah dan
bersosialisasi, mengasuh anak, mengasuh orang tua dan orang yang sakit, serta
meyakini kehidupan dan kematian. Sedangkan kondisi yang tidak harmonis
mencakup konflik dengan orang lain dan resolusi yang menimbulkan
ketidakharmonisan, serta keterbatasan hubungan (Kozier, Erb, Blais & Wilkinson,
1995).
Maaf dan pengampunan (forgiveness). Dengan pengampunan, seorang
individu dapat meningkatkan koping terhadap stres, cemas, depresi dan tekanan
emosional, penyakit fisik serta meningkatkan perilaku sehat dan perasaan damai
(Puchalski, 2004).
Universitas Sumatera Utara
Cinta kasih dan dukungan sosial (Love and social support). Keinginan
untuk menjalin dan mengembangkan hubungan antar manusia yang positif
melalui keyakinan, rasa percaya dan cinta kasih. Teman dan keluarga dekat dapat
memberikan bantuan dan dukungan emosional untuk melawan banyak penyakit
dan situasi krisis. (Hart, 2002 dalam Kozier erb & Wilkinson, 1995).
c. Hubungan dengan alam
Harmoni merupakan gambaran hubungan seseorang dengan alam yang
meliputi pengetahuan tentang tanaman, pohon, margasatwa, iklim dan
berkomunikasi dengan alam serta melindungi alam tersebut (Kozier, Erb, Blais &
Wilkinson, 1995).
Kedamaian (Peace). Kedamaian merupakan keadilan, rasa kasihan dan
kesatuan. Dengan kedamaian seseorang akan merasa lebih tenang dan dapat
meningkatkan status kesehatan (Hamid, 2009).
Rekreasi (Joy). Rekreasi merupakan kebutuhan spiritual seseorang dalam
menumbuhkan keyakinan, rahmat, rasa terima kasih, harapan dan cinta kasih.
Dengan rekreasi seseorang dapat menyelaraskan antara jasmani dan rohani
sehingga timbul perasaan kesenangan dan kepuasaan dalam pemenuhan hal-hal
yang dianggap penting dalam hidup seperti nonton televisi, dengar musik, olah
raga dan lain-lain (Puchalski, 2004).
d. Hubungan dengan Tuhan
Meliputi agama maupun tidak agamais. Keadaan ini menyangkut
sembahyang dan berdoa, keikutsertaan dalam kegiatan ibadah, perlengkapan
keagamaan, serta bersatu dengan alam (Kozier, Erb, Blais & Wilkinson, 1995).
Universitas Sumatera Utara
Dapat disimpulkan bahwa seseorang terpenuhi kebutuhan Spiritual apabila
mampu merumuskan arti personal yang positif tentang tujuan keberadaannya di
dunia/kehidupan, mengembangkan arti penderitaan serta meyakini hikmah dari
satu kejadian atau penderitaan, menjalin hubungan yang positif dan dinamis,
membina integritas personal dan merasa diri berharga, merasakan kehidupan yang
terarah terlihat melalui harapan dan mengembangkan hubungan antar manusia
yang positif (Hamid, 2009).
1.5 Spiritualitas Ibu Hamil
Faktor spiritualitas merupakan unsur penting dari kesehatan dan
kesejahteraan. Para penyelenggara perawatan kesehatan semakin sadar untuk
memusatkan perhatian pada hubungan antara siritualitas dan kesehatan (Young,
2007). Pemenuhan kebutuhan spiritualitas pada individu didasarkan pada
kebutuhan spiritualitas individu yang terdiri dari kebutuhan spiritualitas yang
berkaitan dengan Tuhan, hubungan dengan diri sendiri, hubungan dengan orang
lain, dan hubungan dengan lingkungan (Bukhardt 1993 dalam Kozier, Erb, &
Blais, 1995).
Menurut Hawari (2006) pada saat cemas salah satu respon individu yaitu
mencari dukungan dari keyakinan agamanya. Hal ini sesuai dengan peneltian
yang dilakukan oleh Darwanti dkk (2007) mengenai pengaruh bimbingan rohani
terhadap kecemasan ibu yang akan melakukan persalinan kala I. Dalam penelitian
tersebut diperoleh kesimpulan bahwa klien yang mendapat bimbingan rohani
tingkat kecemasannya terhadap persalinan mejadi menurun. Sebaliknya klien
yang tidak diberikan bimbingan rohani tigkat kecemasannya meningkat. Respon
Universitas Sumatera Utara
akan pentingnya keyakinan agama dalam penurunan kecemasan juga diperkuat
oleh penelitian yang dilakukan Maimunah & Retnowati (2011) mengenai
pengaruh relaksasi dzikir untuk kecemasan. Hasil penelitian mereka terhadap
sepuluh ibu hamil yang sedang mengalami kecemasan melaporkan bahwa
kecemasan ibu berkurang dan ibu menjadi lebih rileks setelah diberikannya terapi
dzikir. Hasil penelitian ini juga menguatkan penelitian-penelitian sebelumnya
yang telah membuktikan bahwa terapi berbasis keyakinan agama yang dimiliki
dapat membantu meningkatkan kesehatan mental seseorang (Trimulyaningsih
dalam Maimunah & Retnowati, 2011). Nilai-nilai spiritual yang ditanamkan dapat
memberikan kekuatan atau energi untuk beradaptasi terhadap stress fisik maupun
emosional. (Darwanti dkk, 2007).
Selain dari keterhubungan dengan Tuhan, spiritualitas juga merupakan
menggambarkan keterhubungan dengan manusia (Bukhardt 1993 dalam Kozier,
Erb, & Blais, 1995). Salah satu bentuk spiritualitas dalam keterhubungan dengan
manusia khususnya ibu hamil adalah adanya dukungan keluarga pada saat
kehamilan dan persalinan. bagi ibu hamil dukungan dari keluarga sangat penting,
mendapat dukungan pada saat kehamilan dan persalinan merupakan faktor
penting dalam menciptakan pengalaman persalinan yang positif bagi ibu (Junita,
2004 dalam Tursilowati, 2007). Pernyataan ini sesuai dengan penelitian yang telah
dilaporkan oleh Pitt (1994) bahwa dukungan sosial yang diterima oleh individu
akan berpengaruh bagi individu tersebut untuk mengurangi tingkat kecemasan, hal
ini dikarenakan keyakinan akan adanya orang terdekat membuat individu nyaman
yang berdampak pada penurunan kecemasan.
Universitas Sumatera Utara
Hal ini diperkuat juga oleh adanya penelitian oleh Gladieux (Dagun, 1990
dalam Diponegoro dan Hastuti, 2009) mengenai “dukungan suami terhadap
kecemasan ibu hamil” terhadap 26 pasangan suami istri. Hasil penelitiannya
menggambarkan bahwa istri yang mendapat dukungan emosional dari suami lebih
mudah menyesuaikan diri dengan situasi kehamilannya. Penelitian ini didukung
Kartono (1992) bahwa dukungan suami pada ibu hamil sangat berharga, ibu hamil
menginginkan suami melakukan tindakan yang suportif dan memberikan rasa
aman. Diponegoro dan Hastuti (2009) juga melakukan penelitian sejenis
mengenai ‘pengaruh dukungan suami terhadap lama persalinan kala II pada ibu
primipara, hasil penelitian mereka melaporkan bahwa ibu yang mendapat
dukungan dari suami lebih mudah dan cepat dalam melalui persalinan kala II.
Sementara ibu yang tidak mendapat dukungan dari suami lebih lama dalam
melalui persalinan kala II dikarenakan ibu mengalami kecemasan dan merasakan
kurang nyaman dalam melakukan proses persalinan tanpa dukungan dan dorongan
dari suami.
2. Kecemasan
2.1 Defenisi Kecemasan
Kecemasan adalah perasaan was-was, khawatir, atau tidak nyaman seakanakan terjadi sesuatu yang dirasakan sebagai ancaman. Kecemasan merupakan
suatu perasaan yang tidak menyenangkan, yang diikuti oleh reaksi fisiologis
tertentu seperti perubahan detak jantung dan pernafasan. Kecemasan melibatkan
persepsi tentang perasaan yang tidak menyenangkan dan reaksi fisiologis, dengan
Universitas Sumatera Utara
kata lain kecemasan adalah reaksi atas situasi yang dianggap berbahaya (Purba
dkk, 2008).
2.2 Penyebab Kecemasan
Kecemasan dapat disebabkan oleh adanya perasaan takut tidak diterima
dalam lingkungan tertentu, adanya pengalaman traumatis seperti trauma akan
berpisah, kehilangan atau bencana, adanya rasa frustasi akibat kegagalan dalam
mencapai
tujuan,
adanya
ancaman
terhadap
integritas
diri
meliputi
ketidakmampuan fisiologis atau gangguan kebutuhan dasar serta adanya ancaman
terhadap konsep diri; identitas diri, harga diri, dan perubahan peran (Purba dkk,
2008).
2.3 Gejala Kecemasan
Kecemasan ditandai dengan perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang
mendalam dan berkelanjutan, tidak mengalami gangguan dalam menilai realitas
(Reality Testing Ability/RTA, masih baik), kepribadian masih tetap utuh (tidak
mengalami keretakan kepribadian/ splitting of personality), perilaku dapat
terganggu tetapi masih dalam batas-batas normal (Hawari, 2006).
Keluhan-keluhan yang sering dikemukakan oleh orang yang mengalami
gangguan kecemasan antara lain: cemas, khawatir, firasat buruk, takut akan
pikirannya sendiri, mudah tersinggung, merasa tegang, tidak tenang, gelisah,
mudah terkejut, takut sendirian, takut pada keramaian dan banyak orang,
gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang menegangkan, gangguan konsentrasi dan
daya ingat, keluhan-keluhan somatik, misalnya rasa sakit pada otot dan tulang,
pendengaran berdenging (tinitus), berdebar-debar, sesak nafas, gangguan
Universitas Sumatera Utara
pencernaan, gangguan perkemihan dan sakit kepala (Hawari, 2006). Sue, dkk
(dalam Purba dkk, 2008) menyebutkan bahwa manifestasi kecemasan terwujud
dalam empat hal berikut ini:
a.
Manifestasi kognitif, yang terwujud dalam pikiran seseorang, seringkali
memikirkan tentang malapetaka atau kejadian buruk yang akan terjadi.
b.
Perilaku motorik, kecemasan seseorang terwujud dalam gerakan tidak
menentu seperti gemetar.
c.
Perubahan somatik, muncul dalam keadaaan mulut kering, tangan dan kaki
dingin, diare, sering kencing, ketegangan otot, peningkatan tekanan darah dan
lain-lain. Hampir semua penderita kecemasan menunjukkan peningkatan
detak jantung, respirasi, ketegangan otot dan tekanan darah
d.
Afektif, diwujudkan dalam perasaan gelisah, dan perasaan tegang yang
berlebihan.
2.4 Tingkat Kecemasan
Peplau (dalam Stuart dan Sundeen, 1998) mengidentifikasi ansietas dalam
4 tingkatan. Setiap tingkatan memiliki karakteristik lahan persepsi yang berbeda
tergantung pada kemampuan individu dalam menerima informasi/pengetahuan
mengenai kondisi yang ada dari dalam dirinya maupun dari lingkungannya.
Tingkat ansietas yaitu :
1.
Ansietas ringan: cemas yang berhubungan dengan ketegangan dalam
kehidupan sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan
meningkatkan lahan persepsinya. Ansietas dapat memotivasi belajar dan
menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas.
Universitas Sumatera Utara
2.
Ansietas
sedang:
cemas
yang
memungkinkan
seseorang
untuk
memusatkan pada hal yang penting dan mengesampingkan yang lain.
Sehingga seseorang mengalami perhatian yang selektif namun dapat
melakukan suatu yang lebih terarah.
3.
Ansietas berat: cemas yang sangat mengurangi lahan persepsi seseorang.
Seseorang cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang lebih terinci
dan spesifik dan tidak dapat berpikir tentang hal yang lain. Semua perilaku
ditujukan untuk mengurangi ketegangan. Individu tersebut memerlukan
banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pada suatu area lain.
4.
Panik : tingkat panik dari suatu ansietas berhubungan dengan terpengarah,
ketakutan, dan teror. Rincian terpecah dari proporsinya. mengalami
kehilangan kendali, orang yang mengalami panik tidak mampu melakukan
sesuatu walaupun dengan pengarahan. Panik melibatkan disorganisasi
kepribadian. Dengan panik, terjadi peningkatan aktivitas motorik,
menurunnya kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain, persepsi
yang menyimpang, dan kehilangan pemikiran yang rasional. Tingkat
ansietas ini tidak sejalan dengan kehidupan, dan jika berlangsung terusmenerus dalam waktu yang lama, dapat terjadi kelelahan yang sangat
bahkan kematian.
Universitas Sumatera Utara
Rentang Respon kecemasan
Respon Adaptif
Antisipasi
Respon Maladaptif
Ringan
Sedang
Berat
Panik
2.5 Kecemasan Ibu Primigravida
Wanita hamil terutama ibu primigravida (ibu yang hamil pertama kali)
sebagian besar mengalami kekhawatiran, kecemasan, dan ketakutan baik selama
hamil, saat menghadapi persalinan, maupun sesudah mengalami persalinan.
Kecemasan yang mereka rasakan umumnya mulai dari khawatir tidak bisa
menjaga kehamilan, tidak tahu kapan dimulainya persalinan, khawatir keguguran,
khawatir keadaan bayi setelah lahir, tidak memiliki gambaran mengenai persalian,
takut sakit dan nyeri akan melahirkan kelak, bahkan yang lebih ditakutkan lagi
yaitu takut akan komplikasi kematian dan takut persalinan dilakukan dengan tidak
normal (Aprilia, 2010). Selain itu, beberapa keluhan ringan yang sering dirasakan
ibu hamil juga dapat menimbulkan kecemasan, seperti kejang kaki, kelelahan,
kembung, mual muntah, sakit kepala, sakit punggung, sakit gigi, sembelit, sering
buang air kecil, sulit tidur, sesak nafas dan varises (Kasdu dkk, 2004). Puncak
kekhawatiran
muncul
bersamaan
dengan
dimulainya
tanda-tanda
akan
melahirkan. Kontraksi yang lama-kelamaan meningkat menambah beban ibu,
sehingga kekhawatiran pun bertambah. Pada kondisi inilah perasaan khawatir,
bila tidak ditangani dengan baik, bisa merusak konsentrasi ibu sehingga
Universitas Sumatera Utara
persalinan yang diperkirakan lancar dapat menjadi tidak lancar akibat ibu panik
(Amalia, 2009). Setelah melahirkan ibu primigravida juga dicemaskan oleh
adanya resiko infeksi, takut terjadi perdarahan, dan keadaan bayi setelah melewati
persalinan (Mika, 2010 dalam Maimunah & Retnowati, 2011).
Universitas Sumatera Utara
Download