BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Spiritualitas 1.1 Defenisi Spiritualitas Spiritualitas didefinisikan sebagai kesadaran dalam diri seseorang dan rasa keterhubungannya dengan sesuatu yang lebih tinggi, alami, dan tujuan yag lebih besar dari diri sendiri. Spiritualitas menawarkan pengertian keterhubungan secara intrapersonal (keterhubungan dengan diri sendiri), interpersonal (keterhubungan dengan orang lain), dan transpersonal (yang tidak terlihat, Tuhan atau kekuatan yang lebih tinggi) (Milner-Williams, dalam Potter Perry, 2010). Menurut Mickley, et al (dalam Hamid, 2009) menyatakan bahwa spiritualitas diartikan multidimensi yang terdiri dari dimensi eksistensial dan dimensi agama. Dimensi eksistensial berfokus pada tujuan dan arti kehidupan, sedangkan dimensi agama lebih berfokus pada hubungan seseorang dengan Tuhan. Sementara itu Stoll (1989 dalam Kozier, Erb, Blais & Wilkinson, 1995) menyatakan bahwa spiritualitas merupakan suatu konsep dua dimensi yaitu dimensi vertikal dan dimensi horizontal. Dimensi vertikal merupakan hubungan individu dengan Tuhan Yang Maha Esa yang menuntun kehidupan seseorang, sedangkan dimensi horizontal merupakan hubungan seseorang dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. 1.2 Aspek Spiritualitas Kebutuhan spiritual adalah harmonisasi dimensi kehidupan. Kebutuhan akan harapan dan keyakinan hidup, kebutuhan akan keyakinan pada diri sendiri, Universitas Sumatera Utara dan Tuhan. Ada 5 dasar kebutuhan spiritual manusia yaitu: arti dan tujuan hidup, perasaan misteri, pengabdian, rasa percaya dan harapan di waktu kesusahan (Hawari, 2002). Menurut Burkhardt (dalam Hamid, 2009) spiritualitas meliputi aspek sebagai berikut: 1) Berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui atau ketidakpastian dalam kehidupan. 2) Menemukan arti dan tujuan hidup. 3) Menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan dalam diri sendiri. 4) Mempunyai perasaan keterikatan dengan diri sendiri dan dengan Yang Maha Tinggi. Menurut Schreurs (dalam Potter Perry, 2010) spiritualitas terdiri dari tiga aspek yaitu aspek eksistensial, aspek kognitif, dan aspek relasional. Pada aspek eksistensial, seseorang belajar untuk “mematikan” bagian dari dirinya yang bersifat egosentrik dan defensif. Aktivitas yang dilakukan seseorang pada aspek ini dicirikan oleh proses pencarian jati diri (true self). Pada aspek kognitif aktivitas spiritual seseorang merupakan kegiatan pencarian pengetahuan spiritual. Seseorang mencoba untuk menjadi lebih reseptif terhadap realitas transenden. Biasanya dilakukan dengan cara menelaah literatur atau melakukan refleksi atas suatu bacaan spiritual tertentu, melatih kemampuan untuk konsentrasi, juga dengan melepas pola pemikiran kategorikal yang telah terbentuk sebelumnya agar dapat mempersepsi secara lebih jernih pengalaman yang terjadi serta melakukan refleksi atas pengalaman tersebut. Aspek relasional, merupakan tahap kesatuan Universitas Sumatera Utara dimana seseorang merasa bersatu dengan Tuhan. Pada aspek ini seseorang membangun, mempertahankan, dan memperdalam hubungan personalnya dengan Tuhan. 1.3 Faktor yang Mempengaruhi Spiritualitas Menurut Taylor (1997) dan Craven & Hirnle (1996) dalam Hamid (2009), faktor penting yang dapat mempengaruhi spiritual seseorang adalah: a. Tahap perkembangan Spiritual berhubungan dengan kekuasaan non material, seseorang harus memiliki beberapa kemampuan berfikir abstrak sebelum mulai mengerti spiritual dan menggali suatu hubungan dengan yang Maha Kuasa. Hal ini bukan berarti bahwa keSpiritual tidak memiliki makna bagi seseorang. b. Keluarga Keluarga merupakan lingkungan terdekat dan pengalaman pertama anak dalam mempersepsikan kehidupan di dunia. Pandangan anak pada umunya diwarnai oleh pengalaman mereka dalam berhubungan dengan saudaranya dan orang tua. Oleh karena itu peran orang tua sangat penting untuk perkembangan spiritualitas anak. c. Latar belakang etnik dan budaya Sikap, keyakinan dan nilai dipengaruhi oleh latar belakang etnik dan sosial budaya. Pada umumnya seseorang akan mengikuti tradisi agama dan spiritual keluarga. Anak belajar pentingnya menjalankan kegiatan agama, termasuk nilai moral dari hubungan keluarga dan peran serta dalam berbagai bentuk kegiatan keagamaan. Universitas Sumatera Utara d. Pengalaman hidup sebelumnya Pengalaman hidup baik yang positif maupun negatif dapat mempengaruhi Spiritual sesorang dan sebaliknya juga dipengaruhi oleh bagaimana seseorang mengartikan secara spiritual pengalaman tersebut. Peristiwa dalam kehidupan seseorang dianggap sebagai suatu cobaan yang diberikan Tuhan kepada manusia menguji imannya. e. Krisis dan perubahan Krisis dan perubahan dapat menguatkan kedalam spiritual seseorang. Krisis sering dialami ketika seseorang menghadapi penyakit, penderitaan, proses penuaan, kehilangan dan bahkan kematian, khususnya pada pasien dengan penyakit terminal atau dengan prognosis yang buruk. Perubahan dalam kehidupan dan krisis yang dihadapi tersebut merupakan pengalaman spiritual yang bersifat fisikal dan emosional. f. Asuhan Keperawatan yang Kurang Sesuai Ketika memberikan asuhan keperawatan kepada klien, perawat diharapkan untuk peka terhadap kebutuhan spiritualitas klien, tetapi dengan berbagai alasan ada kemungkinan perawat menghindar untuk memberikan asuhan keperawatan spiritualitas. Hal tersebut terjadi karena perawat merasa kurang nyaman dengan kehidupan spiritualnya, kurang menganggap penting kebutuhan spiritualitas, tidak mendapatkan pendidikan tentang aspek spiritualitas dalam keperawatan atau merasa bahwa pemenuhan kebutuhan spiritualitas klien bukan merupakan tugasnya tetapi tanggung jawab pemuka agama. Universitas Sumatera Utara Asuhan keperawatan untuk kebutuhan spiritualitas mengalir dari sumber spiritualitas perawat. Perawat tidak dapat memenuhi kebutuhan spiritualitas tanpa terlebih dahulu memenuhi kebutuhan spiritualitas mereka sendiri. Perawat yang bekerja digaris terdepan harus mampu memenuhi semua kebutuhan manusia termasuk juga kebutuhan spiritualitas klien. Berbagai cara perawat untuk memenuhi kebutuhan klien mulai dari pemenuhan makna dan tujuan spiritualitas sampai dengan menfasilitasi untuk mengekspresikan agama dan keyakinannya. g. Isu Moral Terkait Terapi Prosedur medik sering kali dapat dipengaruhi oleh pengajaran agama, misalnya transplantasi organ, pencegahan kehamilan, dan sterilisasi. Tidak jarang terapi medis yang diberikan tidak sesuai atau tidak dapat diterima oleh sebagian kepercayaan klien sehinggan timbul konflik. h. Terpisah dari ikatan spiritual Ketika individu mengalami penyakit akut sering kali individu merasa terisolasi dan kehilangan kebebasan peribadi dan sistem dukungan sosial. Sebagai contoh pasien yang sedang dirawat di rumah sakit terhalang untuk menghadiri kegiatan keagamaan atau tidak dapat berkumpul dengan keluarga dan teman dekat. Terpisahnya klien dari ikatan spiritual dapat beresiko terjadinya perubahan fungsi spiritualnya. 1.4 Karakteristik Spiritualitas Spiritualitas memiliki beberapa karakteristik, adapun karakteristik spiritualitas antara lain: Universitas Sumatera Utara a. Hubungan dengan diri sendiri Merupakan kekuatan dari dalam diri seseorang yang meliputi pengetahuan diri yaitu siapa dirinya, apa yang dapat dilakukannya dan juga sikap yang menyangkut kepercayaan pada diri sendiri, percaya pada kehidupan atau masa depan, ketenangan pikiran, serta keselarasan dengan diri-sendiri. Kekuatan yang timbul dari diri seseorang membantunya menyadari makna dan tujuan hidupnya, diantaranya memandang pengalaman hidupnya sebagai pengalaman yang positif, kepuasan hidup, optimis terhadap masa depan, dan tujuan hidup yang semakin jelas (Kozier, Erb, Blais & Wilkinson, 1995). Kepercayaan (Faith). Menurut Fowler dan keen (1985 dalam Astria, 2009) kepercayaan bersifat universal, dimana merupakan penerimaan individu terhadap kebenaran yang tidak dapat dibuktikan dengan pikran yang logis. Kepercayaan dapat memberikan arti hidup dan kekuatan bagi individu ketika mengalami kesulitan atau stress. Mempunyai kepercayaan berarti mempunyai komitmen terhadap sesuatu atau seseorang sehingga dapat memahami kehidupan manusia dengan wawasan yang lebih luas. Harapan (Hope). Harapan merupakan suatu proses interpersonal yang terbina melalui hubungan saling percaya dengan orang lain, termasuk dengan Tuhan. Harapan sangat penting bagi individu untuk mempertahankan hidup, tanpa harapan banyak orang menjadi depresi dan lebih cenderung terkena penyakit (Grimm, dalam Kozier, Erb, Blais & Wilkinson, 1995 ). Universitas Sumatera Utara Makna atau arti dalam hidup (Meaning of live). Merasakan hidup sebagai suatu pengalaman yang positif seperti membicarakan tentang situasi yang nyata, membuat hidup lebih terarah, penuh harapan tentang masa depan, merasa mencintai dan dicintai oleh orang lain (Puchalski, 2004). b. Hubungan dengan orang lain Hubungan dengan orang lain lahir dari kebutuhan akan keadilan dan kebaikan, menghargai kelemahan dan kepekaan orang lain, rasa takut akan kesepian, keinginan dihargai dan diperhatikan, dan lain sebagainya. Dengan demikian apabila seseorang mengalami kekurangan ataupun mengalami stres, maka orang lain dapat memberi bantuan psikologis dan sosial (Carm & Carm, 2000). Hubungan ini terbagi atas harmonis dan tidak harmonisnya hubungan dengan orang lain. Keadaan harmonis meliputi pembagian waktu, ramah dan bersosialisasi, mengasuh anak, mengasuh orang tua dan orang yang sakit, serta meyakini kehidupan dan kematian. Sedangkan kondisi yang tidak harmonis mencakup konflik dengan orang lain dan resolusi yang menimbulkan ketidakharmonisan, serta keterbatasan hubungan (Kozier, Erb, Blais & Wilkinson, 1995). Maaf dan pengampunan (forgiveness). Dengan pengampunan, seorang individu dapat meningkatkan koping terhadap stres, cemas, depresi dan tekanan emosional, penyakit fisik serta meningkatkan perilaku sehat dan perasaan damai (Puchalski, 2004). Universitas Sumatera Utara Cinta kasih dan dukungan sosial (Love and social support). Keinginan untuk menjalin dan mengembangkan hubungan antar manusia yang positif melalui keyakinan, rasa percaya dan cinta kasih. Teman dan keluarga dekat dapat memberikan bantuan dan dukungan emosional untuk melawan banyak penyakit dan situasi krisis. (Hart, 2002 dalam Kozier erb & Wilkinson, 1995). c. Hubungan dengan alam Harmoni merupakan gambaran hubungan seseorang dengan alam yang meliputi pengetahuan tentang tanaman, pohon, margasatwa, iklim dan berkomunikasi dengan alam serta melindungi alam tersebut (Kozier, Erb, Blais & Wilkinson, 1995). Kedamaian (Peace). Kedamaian merupakan keadilan, rasa kasihan dan kesatuan. Dengan kedamaian seseorang akan merasa lebih tenang dan dapat meningkatkan status kesehatan (Hamid, 2009). Rekreasi (Joy). Rekreasi merupakan kebutuhan spiritual seseorang dalam menumbuhkan keyakinan, rahmat, rasa terima kasih, harapan dan cinta kasih. Dengan rekreasi seseorang dapat menyelaraskan antara jasmani dan rohani sehingga timbul perasaan kesenangan dan kepuasaan dalam pemenuhan hal-hal yang dianggap penting dalam hidup seperti nonton televisi, dengar musik, olah raga dan lain-lain (Puchalski, 2004). d. Hubungan dengan Tuhan Meliputi agama maupun tidak agamais. Keadaan ini menyangkut sembahyang dan berdoa, keikutsertaan dalam kegiatan ibadah, perlengkapan keagamaan, serta bersatu dengan alam (Kozier, Erb, Blais & Wilkinson, 1995). Universitas Sumatera Utara Dapat disimpulkan bahwa seseorang terpenuhi kebutuhan Spiritual apabila mampu merumuskan arti personal yang positif tentang tujuan keberadaannya di dunia/kehidupan, mengembangkan arti penderitaan serta meyakini hikmah dari satu kejadian atau penderitaan, menjalin hubungan yang positif dan dinamis, membina integritas personal dan merasa diri berharga, merasakan kehidupan yang terarah terlihat melalui harapan dan mengembangkan hubungan antar manusia yang positif (Hamid, 2009). 1.5 Spiritualitas Ibu Hamil Faktor spiritualitas merupakan unsur penting dari kesehatan dan kesejahteraan. Para penyelenggara perawatan kesehatan semakin sadar untuk memusatkan perhatian pada hubungan antara siritualitas dan kesehatan (Young, 2007). Pemenuhan kebutuhan spiritualitas pada individu didasarkan pada kebutuhan spiritualitas individu yang terdiri dari kebutuhan spiritualitas yang berkaitan dengan Tuhan, hubungan dengan diri sendiri, hubungan dengan orang lain, dan hubungan dengan lingkungan (Bukhardt 1993 dalam Kozier, Erb, & Blais, 1995). Menurut Hawari (2006) pada saat cemas salah satu respon individu yaitu mencari dukungan dari keyakinan agamanya. Hal ini sesuai dengan peneltian yang dilakukan oleh Darwanti dkk (2007) mengenai pengaruh bimbingan rohani terhadap kecemasan ibu yang akan melakukan persalinan kala I. Dalam penelitian tersebut diperoleh kesimpulan bahwa klien yang mendapat bimbingan rohani tingkat kecemasannya terhadap persalinan mejadi menurun. Sebaliknya klien yang tidak diberikan bimbingan rohani tigkat kecemasannya meningkat. Respon Universitas Sumatera Utara akan pentingnya keyakinan agama dalam penurunan kecemasan juga diperkuat oleh penelitian yang dilakukan Maimunah & Retnowati (2011) mengenai pengaruh relaksasi dzikir untuk kecemasan. Hasil penelitian mereka terhadap sepuluh ibu hamil yang sedang mengalami kecemasan melaporkan bahwa kecemasan ibu berkurang dan ibu menjadi lebih rileks setelah diberikannya terapi dzikir. Hasil penelitian ini juga menguatkan penelitian-penelitian sebelumnya yang telah membuktikan bahwa terapi berbasis keyakinan agama yang dimiliki dapat membantu meningkatkan kesehatan mental seseorang (Trimulyaningsih dalam Maimunah & Retnowati, 2011). Nilai-nilai spiritual yang ditanamkan dapat memberikan kekuatan atau energi untuk beradaptasi terhadap stress fisik maupun emosional. (Darwanti dkk, 2007). Selain dari keterhubungan dengan Tuhan, spiritualitas juga merupakan menggambarkan keterhubungan dengan manusia (Bukhardt 1993 dalam Kozier, Erb, & Blais, 1995). Salah satu bentuk spiritualitas dalam keterhubungan dengan manusia khususnya ibu hamil adalah adanya dukungan keluarga pada saat kehamilan dan persalinan. bagi ibu hamil dukungan dari keluarga sangat penting, mendapat dukungan pada saat kehamilan dan persalinan merupakan faktor penting dalam menciptakan pengalaman persalinan yang positif bagi ibu (Junita, 2004 dalam Tursilowati, 2007). Pernyataan ini sesuai dengan penelitian yang telah dilaporkan oleh Pitt (1994) bahwa dukungan sosial yang diterima oleh individu akan berpengaruh bagi individu tersebut untuk mengurangi tingkat kecemasan, hal ini dikarenakan keyakinan akan adanya orang terdekat membuat individu nyaman yang berdampak pada penurunan kecemasan. Universitas Sumatera Utara Hal ini diperkuat juga oleh adanya penelitian oleh Gladieux (Dagun, 1990 dalam Diponegoro dan Hastuti, 2009) mengenai “dukungan suami terhadap kecemasan ibu hamil” terhadap 26 pasangan suami istri. Hasil penelitiannya menggambarkan bahwa istri yang mendapat dukungan emosional dari suami lebih mudah menyesuaikan diri dengan situasi kehamilannya. Penelitian ini didukung Kartono (1992) bahwa dukungan suami pada ibu hamil sangat berharga, ibu hamil menginginkan suami melakukan tindakan yang suportif dan memberikan rasa aman. Diponegoro dan Hastuti (2009) juga melakukan penelitian sejenis mengenai ‘pengaruh dukungan suami terhadap lama persalinan kala II pada ibu primipara, hasil penelitian mereka melaporkan bahwa ibu yang mendapat dukungan dari suami lebih mudah dan cepat dalam melalui persalinan kala II. Sementara ibu yang tidak mendapat dukungan dari suami lebih lama dalam melalui persalinan kala II dikarenakan ibu mengalami kecemasan dan merasakan kurang nyaman dalam melakukan proses persalinan tanpa dukungan dan dorongan dari suami. 2. Kecemasan 2.1 Defenisi Kecemasan Kecemasan adalah perasaan was-was, khawatir, atau tidak nyaman seakanakan terjadi sesuatu yang dirasakan sebagai ancaman. Kecemasan merupakan suatu perasaan yang tidak menyenangkan, yang diikuti oleh reaksi fisiologis tertentu seperti perubahan detak jantung dan pernafasan. Kecemasan melibatkan persepsi tentang perasaan yang tidak menyenangkan dan reaksi fisiologis, dengan Universitas Sumatera Utara kata lain kecemasan adalah reaksi atas situasi yang dianggap berbahaya (Purba dkk, 2008). 2.2 Penyebab Kecemasan Kecemasan dapat disebabkan oleh adanya perasaan takut tidak diterima dalam lingkungan tertentu, adanya pengalaman traumatis seperti trauma akan berpisah, kehilangan atau bencana, adanya rasa frustasi akibat kegagalan dalam mencapai tujuan, adanya ancaman terhadap integritas diri meliputi ketidakmampuan fisiologis atau gangguan kebutuhan dasar serta adanya ancaman terhadap konsep diri; identitas diri, harga diri, dan perubahan peran (Purba dkk, 2008). 2.3 Gejala Kecemasan Kecemasan ditandai dengan perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan berkelanjutan, tidak mengalami gangguan dalam menilai realitas (Reality Testing Ability/RTA, masih baik), kepribadian masih tetap utuh (tidak mengalami keretakan kepribadian/ splitting of personality), perilaku dapat terganggu tetapi masih dalam batas-batas normal (Hawari, 2006). Keluhan-keluhan yang sering dikemukakan oleh orang yang mengalami gangguan kecemasan antara lain: cemas, khawatir, firasat buruk, takut akan pikirannya sendiri, mudah tersinggung, merasa tegang, tidak tenang, gelisah, mudah terkejut, takut sendirian, takut pada keramaian dan banyak orang, gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang menegangkan, gangguan konsentrasi dan daya ingat, keluhan-keluhan somatik, misalnya rasa sakit pada otot dan tulang, pendengaran berdenging (tinitus), berdebar-debar, sesak nafas, gangguan Universitas Sumatera Utara pencernaan, gangguan perkemihan dan sakit kepala (Hawari, 2006). Sue, dkk (dalam Purba dkk, 2008) menyebutkan bahwa manifestasi kecemasan terwujud dalam empat hal berikut ini: a. Manifestasi kognitif, yang terwujud dalam pikiran seseorang, seringkali memikirkan tentang malapetaka atau kejadian buruk yang akan terjadi. b. Perilaku motorik, kecemasan seseorang terwujud dalam gerakan tidak menentu seperti gemetar. c. Perubahan somatik, muncul dalam keadaaan mulut kering, tangan dan kaki dingin, diare, sering kencing, ketegangan otot, peningkatan tekanan darah dan lain-lain. Hampir semua penderita kecemasan menunjukkan peningkatan detak jantung, respirasi, ketegangan otot dan tekanan darah d. Afektif, diwujudkan dalam perasaan gelisah, dan perasaan tegang yang berlebihan. 2.4 Tingkat Kecemasan Peplau (dalam Stuart dan Sundeen, 1998) mengidentifikasi ansietas dalam 4 tingkatan. Setiap tingkatan memiliki karakteristik lahan persepsi yang berbeda tergantung pada kemampuan individu dalam menerima informasi/pengetahuan mengenai kondisi yang ada dari dalam dirinya maupun dari lingkungannya. Tingkat ansietas yaitu : 1. Ansietas ringan: cemas yang berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan lahan persepsinya. Ansietas dapat memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas. Universitas Sumatera Utara 2. Ansietas sedang: cemas yang memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada hal yang penting dan mengesampingkan yang lain. Sehingga seseorang mengalami perhatian yang selektif namun dapat melakukan suatu yang lebih terarah. 3. Ansietas berat: cemas yang sangat mengurangi lahan persepsi seseorang. Seseorang cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang lebih terinci dan spesifik dan tidak dapat berpikir tentang hal yang lain. Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi ketegangan. Individu tersebut memerlukan banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pada suatu area lain. 4. Panik : tingkat panik dari suatu ansietas berhubungan dengan terpengarah, ketakutan, dan teror. Rincian terpecah dari proporsinya. mengalami kehilangan kendali, orang yang mengalami panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan. Panik melibatkan disorganisasi kepribadian. Dengan panik, terjadi peningkatan aktivitas motorik, menurunnya kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain, persepsi yang menyimpang, dan kehilangan pemikiran yang rasional. Tingkat ansietas ini tidak sejalan dengan kehidupan, dan jika berlangsung terusmenerus dalam waktu yang lama, dapat terjadi kelelahan yang sangat bahkan kematian. Universitas Sumatera Utara Rentang Respon kecemasan Respon Adaptif Antisipasi Respon Maladaptif Ringan Sedang Berat Panik 2.5 Kecemasan Ibu Primigravida Wanita hamil terutama ibu primigravida (ibu yang hamil pertama kali) sebagian besar mengalami kekhawatiran, kecemasan, dan ketakutan baik selama hamil, saat menghadapi persalinan, maupun sesudah mengalami persalinan. Kecemasan yang mereka rasakan umumnya mulai dari khawatir tidak bisa menjaga kehamilan, tidak tahu kapan dimulainya persalinan, khawatir keguguran, khawatir keadaan bayi setelah lahir, tidak memiliki gambaran mengenai persalian, takut sakit dan nyeri akan melahirkan kelak, bahkan yang lebih ditakutkan lagi yaitu takut akan komplikasi kematian dan takut persalinan dilakukan dengan tidak normal (Aprilia, 2010). Selain itu, beberapa keluhan ringan yang sering dirasakan ibu hamil juga dapat menimbulkan kecemasan, seperti kejang kaki, kelelahan, kembung, mual muntah, sakit kepala, sakit punggung, sakit gigi, sembelit, sering buang air kecil, sulit tidur, sesak nafas dan varises (Kasdu dkk, 2004). Puncak kekhawatiran muncul bersamaan dengan dimulainya tanda-tanda akan melahirkan. Kontraksi yang lama-kelamaan meningkat menambah beban ibu, sehingga kekhawatiran pun bertambah. Pada kondisi inilah perasaan khawatir, bila tidak ditangani dengan baik, bisa merusak konsentrasi ibu sehingga Universitas Sumatera Utara persalinan yang diperkirakan lancar dapat menjadi tidak lancar akibat ibu panik (Amalia, 2009). Setelah melahirkan ibu primigravida juga dicemaskan oleh adanya resiko infeksi, takut terjadi perdarahan, dan keadaan bayi setelah melewati persalinan (Mika, 2010 dalam Maimunah & Retnowati, 2011). Universitas Sumatera Utara