Kisah Damai di Tengah Perang Salib Berbicara mengenai perang tidak lepas dari sejarah panjang keberadaan manusia di muka bumi. Berbagai macam konflik berdarah dengan label beraneka warna mengiringi perkembangan peradaban manusia. Peperangan banyak dilakukan untuk mencapai beberapa tujuan, seperti: penaklukan wilayah, perebutan kekuasaan atau tahta, penyebaran agama dan kepercayaan juga penyebaran ideologi. Salah satu dari sekian sejarah kelam yakni Perang Salib, yang melibatkan dua komponen paham terbesar di dunia, Nasrani- Islam. Menelisik lebih dalam mengenai Perang Salib dapat ditemui melalui berbagai macam literature serta sudut pandang. Carole Hillenbrand, menawarkan satu sudut pandang dari Perang Salib, The Crusade: Islamic Perspective (1999), yang sedikit banyak menyisakan kisah-kisah kontroversial. Tulisan ini akan menunjukkan sebuah sisi lain dari perang salib dengan menekankan pada detail kecil interaksi warga yang berbeda agama dan juga perjanjian perdagangan dalam militer Islam ataupun Tentara Salib sehingga dapat dikatakan sebagai Kisah Damai di Tengah Perang Salib. Sekilas Perang Salib Perang Salib merupakan sebuah perang panjang antara Kristen Eropa dengan masyarakat Islam wilayah timur dekat.1. Peperangan ini dipicu oleh infasi yang didasarkan pada perintah untuk merebut Yerusalem oleh Paus Urbanus II pada 17 November 1095. Perintah untuk menyerang ini didasari atas berita yang sampai kepada masyarakat Kristen Eropa mengenai pembakaran Gereja makam suci di Yerusalem oleh al-Hakim2. pada 4 safar 400 H atau bertepatan dengan 28 September 1009 M. Sebelumnya, penganiayaan terhadap kaum Kristen yang datang untuk berziarah ke Yerusalem juga terjadi atas inisiatif dari orang yang sama. Gereja Makam Suci merupakan sebuah simbol keagamaan yang sakral bagi umat Kristen seluruh dunia, sebagai tempat kebangkitan Yesus. Pada tahun 1907, Tentara Salib gabungan dari berbagai kelompok Eropa barat tiba di Konstantinopel dan melakukan perjalanan darat menuju Yerusalem melalui Anatolia. Kondisi politik Islam yang sedang tidak stabil pada masa itu3. membuat penyerangan Tentara Salib begitu dengan mudah meraih kemenangan. Sederet kemenangan Tentara Salib, antara lain: A. B. C. Juni 1907, ibu kota kesultanan Saljuk (Iznic) yang dipimpin oleh Sultan Qilis Aislan harus tunduk pada kekuatan Tentara Salib. Oktober 1097-Juni 1908, Antiokhia dikepung dan menjadi Negara Salib di bawah kepemimpinan penguasa Norman, Behemond dari Sisilia. 10 Maret 1098, Tentara Salib Armenia di bawah kepemimpinan Baldwin D. E. berhasil menaklukan Edessa. 15 Juli 1099, Yerusalem berhasil diduduki oleh Tentara Salib di bawah kepemimpinan Godfrey. Pada tahun 1109, Tripoli juga berhasil ditaklukan dan menjadi negara Kristen di Timur Dekat Dari semua kesuksesan yang diraih oleh tentara Kristen pada Perang Salib gelombang pertama, mereka tidak bisa menaklukan Aleppo dan Damaskus. Walaupun begitu, tujuan untuk menduduki Yerusalem sudah dianggap sebagai suatu keberhasilan yang mencengangkan. Di sisi lain, kekalahan yang dialami oleh pihak Islam belum cukup untuk meredakan konflik internal antara Kesultanan Saljuk dan Dinasti Fatimiyah yang sedang terjadi waktu itu, namun cukup untuk menyusun strategi perang yang lebih baik lagi. Kehadiran Zengi sebagai penguasa dari negeri Islam menggantikan kesultanan Saljuk menghadirkan semangat baru dengan ditaklukannya Edessa, daerah yang gagal ditaklukkan oleh Kesultanan Saljuk, pada tahun 1144. Kehadiran Zengi dengan aura kepemimpinan yang dianggap dapat membangkitkan semangat jihad kaum Muslim dianggap sebagai sebuah ancaman yang perlu dipertimbangkan oleh Tentara Salib. Sayangnya, usia Zengi sebagai penguasa sangat singkat, hanya berselang dua tahun dari pendudukan Edessa, dia wafat. Sebagai penerusnya, diangkatlah Nurudin yang untungnya memiliki kelihaian dalam mempersatukan Islam dengan satu komando jihad yang lebih mahir dari ayahnya. Pada masa Nurudin, Antiokhia kembali menjadi negara Muslim. Pengepungan yang luar biasa setelah sebelumnya mempersatukan kekuatan Islam yang telah lama berseteru menjadi satu, Suriah dan Mesir. Kehadiran Nurudin yang bisa menstabilkan kondisi politik negara-negara Islam dalam satu komando ini, kemudian membuat adanya gelombang kedatangan Tentara Salib yang kedua. Nurudin dianggap sebagai ancaman yang dapat merebut Yerusalem. Perang Salib Kedua mendatangkan banyak tentara di bawah komando Kaisar Jerman, Conrad III dan Raja Prancis, Louis VII. Akan tetapi, mereka menemukan kegagalan untuk merebut kembali Antiokhia ataupun wilayah lainnya, meskipun Yerusalem juga belum ditaklukan oleh Nurudin. Tentara Salib mengalihkan perhatian pada wilayah Mesir yang kekuasaanya belum begitu stabil dan berhasil menaklukan Ascalon pada 1153. Nurudin menemui ajalnya sebelum bisa menaklukan Yerusalem, namun begitu dia sudah menaruh pengaruh yang besar terhadap tentara Islam untuk berjihad dan berperang melawan tentara Salib. Salahuddin Al-Ayyubi (Saladin) sebagai panglima perang di masa Nuruddin mengambil alih kekuasaan. Dia banyak belajar dari Nurudin sebagai penguasa yang karismatik bahkan ditambah dengan kelihaiannya menyusun strategi perang menambah lengkap kecakapannya sebagai seorang pemimpin. Pada tahun 1169, Saladin berhasil mencegah Tentara Salib menaklukan Mesir. Prestasi terbesarnya tentu saja kemenangannya pada perang besar Hattin pada tahun 1187 dan mengalahkan Raja Guy dari Lusignon untuk kemudian merebut kembali Yerusalem. Negaranegara lain juga berhasil direbut oleh Saladin. Reputasi dan juga kekuatan Saladin membuat Kristen Eropa mengirimkan rajaraja terbaik mereka untuk merebut kembali Yerusalem. Hal tersebut membuktikan kekuatan yang luar biasa dari Islam pada masa dinasti Ayyubiyah Saladin. Kekuatan yang seimbang dari kedua belah pihak akhirnya berujung dengan ditandatanganinya perjanjian untuk gencatan senjata. Yerusalem tentu saja masih menjadi milik Islam, hanya saja wilayah pesisir laut menjadi milik Tentara Salib. Perang Salib Keempat pada tahun 1202 tidak berpusat untuk mengambil Yerusalem, melainkan Konstantinopel sebagai gerbang pintu masuk utama dan juga pusat perdagangan besar dunia. Sementara di Suriah, wafatnya Saladin kembali mengulang kejadian seperti wafatnya Nurudin di mana tidak ada keturunannya yang mampu mewarisi jiwa kepemimpinan. Keturunan Saladin hanya bisa berperang untuk merebut kekuasaan satu sama lain. Hal ini dianggap sebagai kekosongan kekuasaan oleh Kristen Eropa dan kembali Tentara Salib gelombang kelima didatangkan untuk memberikan serangan terhadap sisa-sisa kerajaan Saladin. Hal yang mengerikan di saat kekosongan kekuasaan ini juga semakin buruk setelah Tentara Salib mendapatkan bantuan dari bangsa Mongol pada 1218. Pada tahun 1228, Raja Frederick dari Sisilia tiba di Palestina untuk berperang, namun dia diberi hadiah oleh keturunan Saladin yang menguasai Palestina, Sultan Ayyubiyah al-Kamil. Hadiah yang diberikan bagi Tentara Salib adalah diberikannya Yerusalem, Bethlehem, Nazareth dan distrik-distrik lainnya melalui perjanjian. Tindakannya tersebut tentu mengundang kekesalan umat Islam seluruh dunia, terutama dengan diserahkannya Yerusalem. Tentara Islam Khawarazmi dari Asia barat yang terusir oleh invasi Mongol, kemudian datang untuk mengambil alih Yerusalem dari kekuasaan Tentara Salib. Tahun 1250 menandai lengsernya dinasti Ayyubiyah dan digantikan oleh dinasti Mamluk dengan sultannya yang terkenal sangat tegas, Baybars. Guna merebut kembali wilayah-wilayah yang sudah ditempati oleh Tentara Salib dan juga Khawarizmi, Baybars mengadakan tiga operasi militer besar-besaran sepanjang tahun 1265-1271. Keberhasilan Baybars pada masa dinasti Mamluk tidak sirna dengan kepergiannya. Generasi penerus Baybars masih melanjutkan perjuangannya, Sultan Qawalan berhasil merebut wilayah yang belum dikuasai Baybars. Begitu juga keturunan ketiga dari dinasti Mamluk, Sultan al-Asyraf bahkan tidak hanya merebut beberapa wilayah yang belum direbut, melainkan juga mengusir Tentara Salib dari wilayah Mediterania timur. Source from google Kondisi warga selama lima gelombang Perang Salib Dampak perang yang begitu dahsyat tentu saja menyebabkan banyak kesengsaraan. Para warga sipil yang bermukim di daerah konflik dihadapkan pada pilihan untuk pergi mengungsi atau ditangkap dan dijebloskan penjara untuk kemudian dipaksa berpindah agama sebelum mereka dibebaskan.4. Usamah ibn Munqidz, seorang penulis kerajaan pada masa Saladin (yang kemudian pergi karena hubungan yang tidak baik dengan sang penguasa), mengatakan bahwa sejumlah warga dijadikan sebagai harta rampasan perang. Mereka adalah orang-orang yang tidak sempat untuk melarikan diri ke pengungsian atau juga budak-budak yang sebelumnya sudah dibawa oleh rombongan Sultan. Mengenai pemaksaan untuk warga muslim untuk pindah agama sendiri tidak dijelaskan melalui sumber tersebut. Pada sumber lainnya, dijelaskan mengenai perlakuan yang buruk terhadap tahanan muslim oleh sebagian raja.5. Catatan kerajaan pada masa Saladin justru mengemukakan bahwa pemimpin mereka memaksa tahanan Tentara Salib untuk berpindah agama menjadi Islam. Akan tetapi hal itu tidak ditujukan pada seluruh tahanan Tentara Salib, melainkan hanya pada ordo hospitaler6. yang dikenal kejam melebihi saudara sesamanya. Hal ini membuktikan bahwa propaganda kebencian terhadap nenek moyang Kristen pada masa Perang Salib dibuat begitu berlebihan justru pada masa sekarang. Perang Salib yang merupakan refleksi perang antar dua agama, yaitu Kristen dan Islam tidak menutup fakta bahwa sebelumnya masyarakat Islam sudah tinggal berdampingan dengan penganut Agama Kristen dan juga Yahudi. Ketiga agama yang ada di wilayah Timur dekat ini memiliki kesepakatan untuk tinggal dan hidup damai di lingkungan tersebut. Bahkan pada saat Kristen Eropa menyerang, penguasa Antiokhia yang bernamaYaghisiyan sangat mempedulikan penduduknya yang menganut agama Kristen dan juga Yahudi.7. Antiokhia merupakan wilayah dengan penduduk Kristen terbanyak di seluruh negara di timur dekat pada masa itu. Kekhawatiran sang pemimpin bahwa rakyatnya yang beragama Kristen akan berkhianat dan memihak kepada Tentara Salib dari Eropa ditepis dengan membawa mereka ke tempat persembunyian. Hal tersebut menunjukkan bahwa warga mendapatkan prioritas untuk keamanan dari para penguasa Islam sekalipun yang dilindunginya itu beragama Kristen. Pada masa gencatan senjata, masyarakat muslim hidup berdampingan dengan Tentara Salib dalam sebuah relasi hubungan yang tidak saling merugikan satu sama lain. Entry arsip sejarah yang sangat lengkap mengenai interaksi keduanya bisa ditemukan melalui tulisan milik Hamdan ibn ‘Abd al-Rahim berjudul Sirat al-Afranj al-Kharijin ila Bilad al-Syam fi Hadzihi Sini yang sudah tidak bisa ditemukan lagi dan dinyatakan hilang. Namun celah-celah yang bisa digunakan untuk melihat bagaimana hubungan keduanya melalui tulisan Usamah yang menyatakan bahwa Tentara Salib dan juga wanita-wanita Kristen Eropa bahkan mulai diberikan izin untuk masuk ke pemandian. Perang Salib dan geliat ekonomi perdagangan Peperangan senantisa beriringan dengan bayangan yang mengerikan, suasana yang mencekam di mana mayat bergelimpangan, bangunan-bangunan yang kokoh menjadi hancur berantakan, geliat perekonomian juga hancur. Kesemua hal di atas memang benar adanya, namun perlu diketahui bahwa sudah menjadi tugas bagi para tentara untuk membawa mayat rekan seperjuangannya kembali pulang. Untuk mayat yang tidak bisa dibawa pulang maka akan dibuatkan sebuah parit. Pada masa perang, beberapa bangunan sesungguhnya sangat dijaga dari kerusakan. Bangunan-bangunan ini biasanya yang merupakan simbol-simbol yang sangat sensitif yang apabila dihancurkan maka akan menimbulkan peperangan yang lebih besar lagi. Musuh sangat mengkhawatirkan mengenai ledakan kekuatan yang tidak terduga apabila beberapa bangunan dihancurkan. Selain itu juga yang sudah disepakati oleh militer sebagai wilayah aman untuk perlindungan warga. Perang sebagai sifatnya yang destruktif tidak berlaku pada aspek ekonomi pada Perang Salib, kedua belah pihak yang berperang diuntungkan melalui sektor perdagangan. Sebelum masa Perang Salib pertama kali dilancarkan, orangorang Timur dekat sudah banyak melakukan transaksi perdagangan dengan bangsa Eropa, begitu juga sebaliknya. Orang-orang Eropa banyak datang untuk mencari rempah-rempah dan juga keperluan sehari-hari lainnya, sedangkan orang-orang dari Suriah, Palestina dan Mesir menjual kerajinan tangan mereka yang berupa perabotan dengan lukisan atapun juga ukiran kepada orang-orang Eropa. Jarak yang ditempuh untuk perdagangan itu sangat jauh, apalagi orangorang Mediterania yang tidak begitu menyukai bepergian dengan menggunakan jalur air, sehingga mereka menggunakan jalur darat. Kedatangan Tentara Salib dalam jumlah banyak dan juga pendudukan beberapa wilayah oleh mereka ditangkap sebagai peluang bisnis bagi para pedagang di Yerusalem dan sekitarnya. Mereka banyak menjajakan keperluan rumah tangga dan juga hiasan untuk menghias dinding dan rumah-rumah para Tentara Salib yang mulai membawa istri mereka (Hillenbrand, 1999:452). Walaupun untuk memasuki wilayah yang dikuasai oleh Tentara Salib, para pedagang muslim harus melalui pemeriksaan terlebih dahulu. Hal yang berbeda kemudian dituliskan dalam sumber lainnya, yang mengatakan bahwa para pedagang baik Muslim ataupun Kristen untuk memasuki wilayah Muslim ataupun Kristen tetap akan dilakukan pemeriksaan sekalipun oleh kaumnya sendiri. Hal ini disebabkan oleh kekhawatiran adanya mata-mata yang juga banyak menyamar sebagai pedagang. Seorang penulis yang juga merupakan seorang pedagang Muslim menceritakan peristiwa ketika dirinya hendak berjualan ke Antiokhia yang menjadi negara Kristen. Dia mengatakan bahwa Tentara Salib yang menjaga pos menyuruh dia dan pedagang lainnya untuk berdiri dalam barisan untuk kemudian dilihat barang dagangannya satu per satu. Terkadang para Tentara Salib yang menjaga pos itu juga menemukan hal yang menarik kemudian dibelinya. Tidak diceritakan adanya kekerasan terhadap para pedagang di berbagai sumber tulisan-tulisan Muslim pada masa itu.8. Terdapat dua catatan kerajaan, pada masa Saladin dan Baybars, yang membahas mengenai pedagang secara khusus dengan raja-raja Kristen. Saladin yang berbicara dengan Raja Richard dari Inggris membahas teknis perlindungan lebih lanjut bagi para pedagang. Mengenai pemeriksaan barang dagangan di pos jaga dan juga jaminan tidak adanya perampasan tanpa alasan yang jelas atau melalui peradilan yang terbuka. Pedagang diberikan kebebasan untuk menjual barang dagangannya kepada siapapun, sekalipun barang itu sangat diinginkan oleh saudaranya, namun apabila dipandang lebih menguntungkan untuk menjual kepada yang lain maka itu bukan tindakan yang harus diberi hukuman. Saladin mengetahui bahwa beberapa pedagang Muslim juga ikut menyediakan bahan-bahan untuk pembangunan benteng Tentara Salib. Akan tetapi dia juga menyadari bahwa pasukannya juga banyak mendapatkan senjata dari pedagang Eropa.9. Hal serupa juga dilakukan oleh Sultan dinasti Mamluk, Baybars dengan Isabella dari Ibelin, penguasa Beirut.10. Kebijakan lainnya pada masa Saladin terkait dengan pedagang adalah dengan dibukanya peluang bagi para pedagang Eropa untuk masuk ke wilayah Mediterania. Saladin membangun pos-pos pemeriksaan utama di wilayahwilayah yang dianggap merupakan pintu masuk para pedagang Eropa. Pos pemeriksaan ini juga yang nantinya beroperasi bukan hanya memeriksa pedagang Eropa namun juga Muslim dengan tujuan sebagaimana sudah disebutkan di atas. Saladin juga tidak khawatir para pedagang ini akan ikut berperang, karena baginya ketika kaum Kristen mengajak pedagang untuk ikut berperang, itu artinya dia sedang berada dalam kekhawatiran akan pasukannya yang melemah. Di lain pihak, Saladin juga tidak cemas pedagang Eropa itu akan menambah jumlah tentara salib karena dia percaya pada kekuatan militernya dan juga kesediaan jihad warga-warganya apabila dibutuhkan (Foss, 1997:95). Sebuah renungan untuk menutup Saladin merupakan pemimpin Islam yang dikatakan paling sukses setelah khalifatul al-rasyidin yang dapat mempersatukan Islam dan mengobarkan semangat jihad untuk meraih kemenangan yang gemilang. Keberhasilannya dalam mengobarkan semangat jihad ini membuat sosoknya sebagai propaganda yang terus diulang oleh pemimpin Muslim seperti Saddam Husain ataupun Muammar Gaddafi (Bengio, 2002:83-84). Hal yang dilupakan mengenai Saladin dengan jihadnya adalah detail-detail kecil seperti bagaimana kesepakatannya dalam memelihara perdamaian di tengah kemelut perang demi terpenuhinya kebutuhan para warga dan juga berkembangnya perekonomian melalui perdagangan. Hal yang sering terjadi pada masa kini adalah pandangan sinis terhadap segala interaksi dengan barat (Eropa dan juga Amerika). Pandangan-pandangan seperti ini kemudian banyak membangkitkan tindakan radikal ataupun terorisme yang dilakukan untuk menghancurkan kekuatan Barat dan mengobarkan kembali jihad sebagaimana masa Perang Salib. Mereka membentengi diri mereka untuk tidak bergaul dengan orang-orang Kristen, untuk tidak mengenyam atau mempercayai pendidikan dan ilmu yang berasal dari Barat. Pandangan-pandangan sinis itu sesungguhnya harus segera dihilangkan, karena pada masa Perang Salib juga terdapat perdamaian, mengapa harus ada semangat perpecahan di tengah usaha untuk menciptakan perdamaian. Note 1 Istilah ini biasanya digunakan penulis sejarah untuk menjelaskan wilayah Sham (sekarang: Israel, Jalur Gaza, Lebanon, Suriah, Tepi Barat dan Yordania), Anatolia (sekarang: Turki), Mesopotamia (sekarang: Irak dan Suriah timur), Iran dan Mesir kuno. 2 Al-Hakim bi-Amr Allah merupakan seorang pemimpin Islam Syiah Ismailiyah yang pada masa kekuasaannya seringkali dikatakan sering berbuat kejam kepada orang non-muslim ataupun Islam sunni berbeda dengan pemimpin sebelumnya. Janin (2006) dalam bukunya seringkali mengatakan alHakim sebagai ‘mad caliph’ merujuk pada pidato Paus Urbanus II terkait tindakan penghancuran Gereja Makam suci. 3 Ketidakstabilan politik Islam dikarenakan adanya konflik internal yang semakin tidak bisa dibendung, dimulai dari abad kesepuluh dan kesebelas dalam tubuh dinasti Abbasiyah yang mengakibatkan Kristen Eropa dapat kembali menguasai Spanyol. Konflik terus berlanjut pada abad keduabelas antara Kesultanan Saljuk (Sunni) yang berpusat di Turki dengan Dinasti Fatimiyah (Syiah) yang berpusat di Mesit (Hillenbrand, 1999: 20 &23). 4 Lebih lengkap mengenai bagaimana sebuah perang atau konflik-konflik antar agama diingat pada masa kini dipaparkan oleh Mike Bhangu dalam bukunya War and Religion (2015). 5 Usamah merupakan seorang penulis yang mengenal kaum Kristen Eropa sejak masa kecil di rumahnya di puri Syayzar yang terletak di Sungai Orantes, utara Suriah. Ia termasuk ke dalam orang yang memerangi tentara salib namun menjadi lebih dekat sepanjang masa hidupnya baik pada masa perang dan damai. Karena kecerdasannya diangkat menjadi penulis kerajaan oleh Saladin namun tugasnya untuk membesar-besarkan fakta guna kepentingan jihad membuatnya pergi (Hillenbrand, 1999:308-309). Hal tersebut yang membuat tulisannya masih digunakan sebagai kajian lanjut akan konsep jihad sebagaimana yang dilakukan oleh Michael Bonner (2008), Jihad in Islamic History: Doctrines and Practice. 6 Catatan Ibn al-Atsir, al-Kamil fit tarikh (hal.304) mengatakan alasan mengapa Saladin memperlakukan ordo Hospitaler berbeda dengan tahanan lainnya: “mereka bertarung lebih ganas daripada yang lainnya”. Kelompok ordo Hospitaler juga dikatakan sebagai penghasut (jumrat). 7 Mengenai ini juga dituliskan oleh Ibn al-Atsir, al-Kamil fit tarikh (hal. 187). 8 Info mengenai dilindunginya pedagang didapat dalam penjelasan di buku Hillenbrand (1999:496) dengan bersumber pada teks dari Ali al-Harawi. 9 Dikutip dari tulisan Ibn Jubair yang ditemukan dalam buku milik Michael Foss (1997:74). 10 Dikutip dari tukisan al-Qalqasyandi yang ditemukan dalam Crusade and Settlement (Edbury, 1985:242-244).