4 II TINJAUAN PUSTAKA A. Mikrobiota Usus dan Perlindungan terhadap Infeksi Usus merupakan sebuah ekosistem kompleks yang terdiri atas tiga komponen yang saling berhubungan yaitu sel inang, nutrisi, dan mikrobiota. Fungsi usus antara lain untuk proses pencernaan makanan, penyerapan zat gizi, dan pertahanan terhadap serangan dari luar. Komponen pertahanan usus terdiri atas 3 jenis yaitu mikrobiota, mucosal barrier, dan sistem imun lokal (Bourlioux et al. 2002). Manusia mulai memiliki mikrobiota usus sejak dilahirkan dari kandungan. Janin hidup dan tumbuh dalam kondisi steril dalam kandungan. Janin akan terekspos oleh mikroba yang berasal dari saluran genital, feses, mikroba kulit ibunya, dan lingkungan setelah dilahirkan. Mikrobiota usus ini terdiri dari bermacam-macam mikroba yang memiliki fungsi penting bagi inangnya (Brassart & Schiffrin 2000). Di dalam usus manusia terdapat sekitar 100 spesies dan sekitar 1014 bakteri merupakan mikrobiota usus. Berat keseluruhan bakteri-bakteri tersebut dapat mencapai 1-1,5 kg atau 1/50 sampai 1/60 berat tubuh orang dewasa. Mikrobiota usus dapat tumbuh pada kondisi anaerob dan berkoloni pada bagian-bagian tertentu dari sistem pencernaan manusia (Yughuci et al. 1992). Fungsi utama dari mikrobiota usus yaitu aktivitas metaboliknya yang menyebabkan penyimpanan energi dan nutrisi, efek nutrisi bagi epitel usus, dan perlindungan atas inang terhadap serangan bakteri merugikan (Harish & Varghese 2006). Peranan mikrobiota usus dapat dibagi dua yaitu yang aktivitasnya menguntungkan dan merugikan. Bifidobakteria, Lactobacillus spp. dan Eubacteria hanya memiliki aktivitas menguntungkan sedangkan Clostridium perfingens, Veillonella spp., dan Proteus spp. hanya memiliki efek merugikan. Beberapa bakteri usus memiliki sifat menguntungkan maupun merugikan, contohnya adalah Bacteroides, Streptococcus spp., Escherichia coli, serta Enterococcus (Yughuchi et al. 1992). 5 Bakteri yang merugikan dalam usus dapat menghasilkan senyawa-senyawa karsinogen, toksin, NH3, H2S, amin, serta fenol. Berbagai pengaruh buruk yang dapat ditimbulkannya adalah penyakit-penyakit seperti diare, konstipasi, kerusakan hati, penurunan kekebalan, kanker, hipertensi, dan sebagainya (Yughuchi et al. 1992). Sedangkan bakteri asam laktat sebagai salah satu mikrobiota normal manusia mempunyai peran yang menguntungkan bagi kesehatan manusia yaitu untuk mencegah infeksi usus yang diakibatkan oleh bakteri enterik patogen dan infeksi pada saluran urogenital, mencegah intoleransi laktosa dan pertumbuhan kanker/tumor usus, dan untuk menstimulasi sistem imun dan gerakan usus (Yuguchi et al. 1992). Lima kelompok utama bakteri yang terdapat pada saluran pencernaan mamalia normal adalah Lactobacillus, Enterococcus, Bacteriodes, Enterobacteriaceae, serta kelompok bakteri Gram positif yang anaerob dan tidak berspora. Pada bagian jejunum, kelima kelompok tersebut memiliki jumlah yang relatif sama sekitar 102-103 cfu/g. Jumlah bakteri pada bagian jejunum relatif rendah karena lokasinya paling dekat dengan sekresi garam empedu. Pada bagian ileum mulai terjadi pertumbuhan bakteri. Jumlah bakteri di dalam ileum sekitar 102 cfu/g (kelompok Gram positif) sampai 105 cfu/g (Lactobacillus dan Enterococcus). Jumlah di dalam kolon dapat mencapai 106-107 cfu/g dan didominasi oleh Enterococcus dan Bacteroides (Salminen & Wright 1998). Kolon merupakan ekosistem yang sarat dengan kolonisasi mikrobiota yang dapat mencapai 50 genera bakteri sehingga usus besar menjadi bagian tubuh dengan aktivitas metabolik paling tinggi. Diperkirakan 95% dari semua sel hidup dalam tubuh manusia adalah bakteri usus besar (Gibson 2000). Sedangkan jumlah 9 bakteri akhir di dalam feses didominasi oleh Bacteroides (10 cfu/g) (Salminen et al. 2004). Pada manusia dewasa yang sehat, mikrobiota usus berada dalam keseimbangan walaupun terdapat perbedaan antara individu yang satu dengan individu yang lain. Komposisi mikrobiota usus berubah seiring meningkatnya umur seseorang. Pada bayi, Bifidobacterium spp. merupakan bakteri yang paling dominan. Pada saat bayi disapih, beberapa bakteri anaerob seperti Bacteroidaceae, Eubacterium, dan Peptococcaceae mulai tampak dan akhirnya menjadi dominan. 6 Pada periode tersebut, Bifidobacterium spp. akan semakin menurun jumlahnya sedangkan Clostridium perfringens, Escherichia coli, Streptococcus spp., serta Lactobacillus semakin meningkat jumlahnya (Mizutani 1992). Mitsuoka (1990) menyatakan bahwa perubahan yang terjadi pada mikroflora disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain bertambahnya usia, stres, konstipasi, dan diare. Salminen dan Wright (1998) menyatakan komposisi mikroflora usus pada lokasi spesifik ditentukan oleh lingkungan fisik (gerakan usus) dan lingkungan kimia (perubahan pH). L. acidophilus, L. reuteri, dan Bifidobacteria merupakan mikroba yang dominan terdapat pada flora bayi yang diberi ASI, sedangkan bayi yang diberi susu formula memiliki flora yang lebih beragam meliputi Bifidobacteria, mikroba aerobik dan anaerobik (Mitsuoka 1990). Menurut Hill (1998) terdapat beberapa faktor yang mengontrol komposisi flora bakteri usus, dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Faktor yang mengontrol komposisi mikrobiota usus (Hill 1998) Fisikokimia pH Potential oksidasi-reduksi Tekanan oksigen Suplai nutrisi Interaksi inang-bakteri Saliva Cairan empedu Sekresi asam lambung Sekresi pankreatik Sistem imun Interaksi mikroba mikroba- Bacteriophage Bakteriosin Toksik metabolit Kemampuan mikrobiota usus dalam mencegah infeksi patogen diantaranya melalui kompetisi nutrisi, memanfaatkan musin dan polisakarida dari bahan pangan yang mikroba dari luar tidak dapat memanfaatkannya. Mikrobiota usus berperan menghasilkan asam lemak bebas untuk menghambat proliferasi patogen, 7 menurunkan keasaman usus, menghasilkan bakteriosin, mempercepat mengeluarkan kotoran dengan menstimulir motalitas dan juga menstimulir imunitas usus (Surono 2004). Sebagai saluran pencernaan, usus memiliki aktivitas imunologis yang sangat tinggi. Usus dilapisi oleh suatu membran mukosa yang dilindungi oleh lapisan musin yang dihasilkan oleh sel-sel goblet. Musin bertindak sebagai pelumas yang melindungi kerusakan membran mukosa dari makanan dan partikel-partikel lain serta berperan sebagai penghalang bakteri sebelum mencapai membran mukosa. Membran mukosa mempunyai sistem imun spesifik. Dikenal dua sistem imun pada membran mukosa, yaitu Gastrointestinal-Associated Lymphoid Tissue (GALT), yang tidak dimiliki oleh semua permukaan dan Mucosa-Associated Lymphoid Tissue (MALT). MALT merupakan pusat perlindungan kolonisasi bakteri dan infeksi pada tahap awal. Aktivitas MALT menghasilkan antibodi sIgA (imunoglobulin A sekretori). Selain sebagai penghalang, musin juga menghasilkan substansi yang dapat membunuh bakteri dan menghambat pertumbuhannya, diantaranya adalah lisozim (Salyer & Whitt 1994). Bila bakteri melekat pada permukaan mukosa usus, bakteri akan berhadapan dengan sel-sel imunitas. Bakteri akan didegradasi oleh makrofag dan menghasilkan reruntuhan (debris) yang akan dikeluarkan oleh makrofag, dan fragmen peptida dari protein bakteri akan ditransfer ke permukaan makrofag. Selanjutnya akan dibentuk kompleks peptida-MHC (Major Histocompatibility Complex). Kompleks ini akan menstimulasi sel T helper yang akan menstimulasi sel B untuk membentuk antibodi (Bellanti 1995). B. Enteropatogenik Escherichia coli (EPEC) Escherichia coli termasuk genus Escherichia dan famili Enterobacteriaceae. Bakteri ini berbentuk batang, berukuran lebar 1.1-1.5 mikron dan panjang 2.0-6.0 mikron, terdapat dalam bentuk berpasangan atau tunggal, bersifat motil dengan flagela peritrikat atau non motil (Buchanan & Gibbons 1974). Bakteri ini merupakan bakteri Gram negatif yang bersifat anaerobik fakultatif (Fardiaz 1989). Pada kondisi aerobik, bakteri ini dapat menggunakan karbohidrat, asam amino, dan asam organik sebagai sumber energi melalui 8 mekanisme reaksi. Pada keadaan anaerobik, bakteri memfermentasi gula melalui jalur glikolisis. Produk akhir glikolisis, yaitu asam piruvat, dipecah menjadi asam laktat, asetat, dan format. Sebagian dari asam format akan dipecah oleh enzim format hidrogeniliase menjadi CO2 dan H2 (VanDemark & Batzing 1987). Menurut modifikasi bagan Kauffman, serotipe E. coli dibagi berdasarkan profil antigen permukaan O (somatic), H (flagellar), dan K (capsular)-nya (Nataro & Kaper 1998). Totalnya terdapat 170 antigen O yang berbeda dimana masing-masing didefinisikan sebagai satu serogrup. Analisis serotipe ini yang dijadikan fektor virulensi spesifik untuk identifikasi strain E. coli penyebab diare. Antigen O dan K merupakan polisakarida yang melindungi mikroba dari efek bakterisidal dari komplemen dan sel fagosit pada kondisi tidak adanya antibodi spesifik (Gross 1995). EPEC (Enteropatogenik E. coli) merupakan salah satu penyebab diare yang paling banyak di beberapa negara selain lima strain E. coli lain, yaitu enterotoxigenic E. coli (ETEC), enterohemorrhagic E. coli (EHEC), enteroaggregative E. coli (EAEC), enteroinvasive E. coli (EIEC), dan diffusely E. coli (DAEC), serta beberapa bakteri lain seperti Shigella, Vibrio cholerae, Salmonella, dan termasuk rotavirus (Semba 2002). Pada suatu outbreak diare terjadi pada 32 anak berumur kurang dari 2 tahun di daerah tropis Australia Utara dan teridentifikasi kurang lebih 59% kejadian diare tersebut disebabkan oleh enteropatogenik E. coli di samping patogen lain yang ditemukan, yaitu Salmonella spp. (16%), Campylobacter spp. (3%), Giardia (3%), dan Shigella spp (3%) (Barlow et al. 1999). Pada kurun waktu 8 sampai 13 Juli 2007, suatu outbreak gastroenteritis akut terjadi pada 117 orang (anak-anak dan dewasa) di suatu perkemahan Romania yang diinvestigasi oleh Constanta District Public Health Authority (CDPHA). Kompleks perkemahan tersebut memiliki kapasitas 4,200 orang dan empat kantin. Dari beberapa sampel feses yang diuji memberikan hasil positif akan keberadaan EPEC dan Salmonella enteridis (Ibram et al. 2007). EPEC adalah salah satu dari kelas patogen yang dapat menyebabkan lesi attaching dan effacing (A/E) pada sel usus. Ciri dari patogen A/E adalah terletak pada tumpuannya di permukaan sel epitel inang dan menyebabkan kerusakan pada 9 mikrofili usus. EPEC melekat dan berkolonisasi pada epitel mukosa duodenum dan proximal jejunum. Menimbulkan kerusakan pada epitel jejunal melalui pembentukan mikrokoloni yang ditunjukkan dengan pelekatan yang terlokalisasi (Moat et al. 2002). EPEC dapat menyebabkan diare pada bayi yang berumur di bawah 2 tahun. Diare tersebut disebabkan oleh pembentukan lesi attaching dan effacing pada mikrovili usus. Pada model tikus balita, pemberian EPEC dengan dosis 106 cfu/ml menunjukkan difusi adhesi sebagian pada sel epitelial usus dan menunjukkan A/E lession dalam 24 jam (Bhunia & Wampler 2005). Menurut Janda dan Abbot (2006), dosis infeksi dari EPEC berkisar antara 106-1010 cfu/ml, dengan periode inkubasi berkisar 9-19 jam, dan lamanya diare (durasi diare) yang ditimbulkan oleh infeksi EPEC kurang lebih terjadi selama 5 hari. C. Diare Akibat Infeksi EPEC Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau setengah cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya lebih dari 200 g atau 200 ml/24 jam. Definisi lain memakai kriteria frekuensi, yaitu buang air besar encer lebih dari 3 kali per hari. Buang air besar encer tersebut dapat/tanpa disertai lendir dan darah (Guerrant et al. 2001). Diare akut adalah diare yang onset gejalanya tiba-tiba dan berlangsung kurang dari 14 hari, sedangkan diare kronik yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari. Diare dapat disebabkan infeksi maupun non infeksi. Penyebab diare yang terbanyak adalah diare infeksi. Diare infeksi dapat disebabkan virus, bakteri, dan parasit. Diare akut sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan, tidak saja di negara berkembang tetapi juga di negara maju. Penyakit diare masih sering menimbulkan KLB (Kejadian Luar Biasa) dengan penderita yang banyak dalam waktu yang singkat (Lung 2003). Diare akut infeksi diklasifikasikan secara klinis dan patofisiologis menjadi diare non inflamasi dan diare inflamasi. Diare inflamasi disebabkan invasi bakteri dan sitotoksin di kolon dengan manifestasi sindroma disentri dengan diare yang disertai lendir dan darah. Gejala klinis yang menyertai keluhan abdomen seperti mulas sampai nyeri seperti kolik, mual, muntah, demam, tenesmus, serta gejala 10 dan tanda dehidrasi. Pada pemeriksaan tinja rutin secara makroskopis ditemukan lendir dan/atau darah, serta mikroskopis didapati sel leukosit polimorfonuklear. Pada diare non inflamasi, diare disebabkan oleh enterotoksin yang mengakibatkan diare cair dengan volume yang besar tanpa lendir dan darah. Keluhan abdomen biasanya minimal atau tidak ada sama sekali, namun gejala dan tanda dehidrasi cepat timbul, terutama pada kasus yang tidak mendapat cairan pengganti. Pada pemeriksaan tinja secara rutin tidak ditemukan leukosit (Lung 2003). Diare dapat terjadi akibat lebih dari satu mekanisme. Pada infeksi bakteri paling tidak ada dua mekanisme yang bekerja, yaitu peningkatan sekresi usus dan penurunan absorbsi di usus. Infeksi bakteri menyebabkan inflamasi dan mengeluarkan toksin yang menyebabkan terjadinya diare. Infeksi bakteri yang invasif mengakibatkan perdarahan atau adanya leukosit dalam feses (Lung 2003). Pada dasarnya mekanisme terjadinya diare akibat bakteri enteropatogen meliputi penempelan bakteri pada sel epitel dengan atau tanpa kerusakan mukosa, invasi mukosa, dan produksi enterotoksin atau sitotoksin. Satu bakteri dapat menggunakan satu atau lebih mekanisme tersebut untuk dapat mengatasi pertahanan mukosa usus (Lung 2003). EPEC Mikrovili usus Gambar 1 Skema kerusakan mikrovili usus inang oleh EPEC Sumber : Nataro dan Kaper (1998) Diare oleh infeksi EPEC (enteropatogenik E. coli) termasuk dalam diare infeksi non-invasif. Mekanisme adhesi yang terjadi pada infeksi enteropatogenik E.coli (EPEC), yang melibatkan gen EPEC adherence factor (EAF) melalui BFP 11 (Bundle Forming Pili), menyebabkan perubahan konsentrasi kalsium intraselluler dan arsitektur sitoskleton di bawah membran mikrovilus. Invasi intraseluler yang ekstensif tidak terlihat pada infeksi EPEC ini (Zein et al. 2004). Skema kerusakan mikrovili usus inang oleh infeksi EPEC dapat dilihat pada Gambar 1. Diare seringkali terjadi ketika sodium klorida (NaCl) tidak dapat diserap dari nutrient selama dalam saluran pencernaan. Penyerapan NaCl terjadi melalui transport membran sel usus yang disebut sebagai coupled ion exchange. Proses ini menjaga muatan netral dalam sel usus ketika penyerapan muatan sodium (Na+) dan klorida (Cl-). Pada kejadian diare yang disebabkan oleh infeksi EPEC pengeluaran klorida oleh sel-sel usus berkurang karena adanya EPEC. EPEC mensekresi molekul-molekul bacterial ke dalam sel inang yang merusak transport protein penukar ion klorida. Ketidakseimbangan ion sodium dan klorida dalam sel menyebabkan diare berair (watery diarrhea) (Gill et al. 2007). Bakteri EPEC melekat pada permukaan sel epitelial usus dengan merusak mikrovili inang dan menyusun kembali sitoskeleton sel untuk membentuk tumpuan pada permukaan sel inang (Donnenberg et al. 1997). Penyebab terjadinya diare selama infeksi EPEC lebih kompleks dibandingkan hilangnya area penyerapan yang disebabkan oleh attachment and effacement lesions. Collington et al. (1998) menyatakan bahwa setelah pengikatan (attachment) awal, dengan cepat EPEC mengatur transport elektrolit sel inang pada sel monolayer Caco-2. Di samping sekresi klorida, yang dapat mengkontribusi diare selama infeksi, EPEC kemungkinan dapat memfasilitasi suatu influx sodium dan asamasam amino ke dalam sel inang. Munculnya gejala diare ini sangat dipengaruhi oleh kemampuan mikroba patogen untuk melekat pada epitelium usus dan menimbulkan sakit pada inang. Selain itu juga dipengaruhi oleh ketersediaan nutrisi pada sisi kolonisasi dan mekanisme pertahanan inang. Nutrisi yang terbatas mempengaruhi sensitifitas mikroorganisme terhadap antibiotik, fagositosis, lisozim, dan faktor lainnya. Pada kondisi tertentu, meskipun mikroorganisme patogen dalam jumlah besar dapat bertahan terhadap respon imun inang dan dapat berkembang biak dalam waktu yang cepat dalam tubuh inang, tetapi tidak menimbulkan penyakit pada inang tersebut (Boyd & Marr 1980). Pada kondisi ini mikroorganisme tersebut disebut 12 carrier dan menjadi berperan seperti mikroflora normal. Adanya kemampuan mikroflora usus untuk mempertahankan keseimbangan ekosistem usus juga menjadi pertimbangan dalam hal ini (Tannock 1999). Oleh karena itu, pada konsentrasi tertentu mungkin berpengaruh terhadap kecepatan timbulnya gejala diare, tetapi jika konsentrasinya ditingkatkan menjadi tidak berarti. D. Probiotik dan Peranannya dalam Mencegah Diare Probiotik didefinisikan sebagai sediaan sel mikroba hidup yang memiliki pengaruh menguntungkan terhadap kesehatan dan kehidupan inangnya (Schmid et al. 2006). Sebagai bahan konsumsi manusia, lebih khusus probiotik didefinisikan sebagai suplemen atau komponen makanan berupa mikroba hidup yang telah terbukti memiliki efek menguntungkan bagi kesehatan manusia. Mikroorganisme probiotik sebagian besar merupakan bakteri dari galur Lactobacillus dan Bifidobacterium. Salminen et al. (2004) menyebutkan beberapa bakteri asam laktat yang telah digunakan sebagai probiotik komersial antara lain Lactobacillus casei, Lactobacillus rhamnosus, Lactobacillus acidophillus, Bifidobacterium longum dan Bifidobacterium bifidum. Beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh bakteri asam laktat yang berfungsi sebagai mikroba probiotik antara lain (Salminen et al. 2004): (1) Suatu probiotik harus nonpatogenik yang mewakili mikrobiota normal usus dari inang tertentu, dan masih aktif pada kondisi asam lambung dan konsentrasi garam empedu yang tinggi dalam usus halus (2) Suatu probiotik yang baik harus mampu tumbuh dan bermetabolisme dengan cepat dan terdapat dalam jumlah yang tinggi dalam usus (3) Probiotik yang ideal dapat mengkolonisasi beberapa bagian dari saluran usus untuk sementara (4) Probiotik dapat memproduksi asam-asam organik secara efisien dan memiliki sifat antimikroba terhadap bakteri merugikan (5) Mudah diproduksi, mampu tumbuh dalam sistem produksi skala besar, dan hidup selama kondisi penyimpanan. Ketahanan terhadap asam lambung merupakan syarat penting suatu organisme untuk dapat menjadi probiotik karena pH asam lambung yang sangat 13 rendah (sekitar 2.5) (Jacobsen et al 1999). Toleransi BAL terhadap asam disebabkan oleh kemampuannya untuk mempertahankan pH sitoplasma lebih basa daripada pH ekstraseluler. Menurut Siegumfeldt et al. (2000), pada BAL terjadi perubahan dinamis pH intraseluler seiring dengan terjadinya penurunan pH ekstraseluler sehingga tidak terjadi gradien proton yang besar. Gradien proton yang besar akan merugikan karena translokasi proton menggunakan banyak energi. Selain itu, gradien proton yang besar mengakibatkan akumulasi anion, asam organik dalam sitosol yang bersifat toksik bagi sel tersebut. Bakteri asam laktat merupakan mikroorganisme fermentatif yang dapat hidup pada kisaran pH luas. Pertahanan utama sel bakteri dari lingkungannya adalah membran seluler yang terdiri atas struktur lemak dua lapis. Bila sel bakteri terpapar pada kondisi asam, maka membran sel dapat mengalami kerusakan dan berakibat hilangnya komponen-komponen intraseluler, seperti Mg, K, dan lemak dari sel. Biasanya kerusakan ini menyebabkan kematian pada sel. Kondisi ini dapat dideteksi dengan cara mengukur konsentrasi komponen intraseluler yang keluar dari dalam sel. Bakteri yang toleran terhadap asam, membran selnya lebih tahan terhadap kebocoran akibat pH rendah dibandingkan dengan bakteri yang tidak tahan asam. Penelitian yang dilakukan Bender et al. (1987) yang dikutip oleh Hutkins dan Nannen (1993) menyatakan bahwa pada galur streptokoki yang kurang tahan terhadap asam, ion Mg keluar dari dalam sel ketika pH ekstraseluler 4.0, sedangkan pada L.casei hal tersebut terjadi pada pH ekternal di bawah 3.0. Bender et al. (1987) menyatakan bahwa perbedaan ketahanan terhadap kerusakan membran yang disebabkan oleh pengasaman tampak bervariasi untuk setiap organisme dan derajat toleransi asam. Toleransi bakteri asam laktat yang cukup tinggi terhadap asam biasanya juga disebabkan karena bakteri tersebut mampu mempertahankan pH sitoplasma lebih alkali daripada pH ekstraseluler (Hutkins & Nannen 1993). Untuk mempertahankan pH sitoplasma supaya lebih basa sel harus mempunyai barier terhadap aliran proton. Barier ini umumnya adalah membran sitoplasma. Perbedaan kerentanan membran sitoplasma terhadap kondisi asam menentukan toleransi bakteri tersebut pada pH rendah. Menurut Siegumfeldt et al. (2000), pada BAL terjadi perubahan dinamis pH intraseluler seiring dengan terjadinya 14 penurunan pH ekstraseluler sehingga tidak terjadi gradien proton yang besar. Bagi BAL gradien proton yang besar tidak menguntungkan sebab translokasi proton menggunakan banyak energi. Selain itu gradien proton yang besar mengakibatkan akumulasi anion, asam organik dalam sitosol yang bersifat toksik bagi sel tersebut. Komposisi asam lemak penyusun membran sitoplasma beragam diantara spesies bakteri dimana keragaman tersebut mempengaruhi karakteristik dan permeabilitasnya. Beberapa protein dalam membran secara spesifik juga memfasilitasi pergerakan senyawa melewati membran. Komposisi dan struktur protein berbeda pada membran sitoplasma juga menentukan karakteristik dan permeabilitas membran tersebut. Keragaman asam lemak dan protein pada membran sitoplasma diduga juga mempengaruhi keragaman ketahanan bakteri terhadap pH rendah. Menurut Booth et al. (1989) pada beberapa bakteri Gram positif terjadi peningkatan sintesis asam amino fosfolipid yang bermuatan positif jika ditumbuhkan pada media yang ber-pH rendah. Perubahan ini diduga karena ionisasi asam amino pada pH rendah menyebabkan permukaan membran bermuatan positif sehingga dapat bertindak sebagai barrier proton. Setelah bakteri tersebut berhasil melalui lambung, mereka akan memasuki saluran usus bagian atas dimana garam empedu disekresikan sehingga ketahanan BAL terhadap garam empedu juga sangat penting. Seperti halnya ketahanan terhadap asam, menurut Zavaglia et al. (1998) dan Jacobsen et al. (1999), semua mikroba yang berhasil hidup setelah tumbuh dalam MRSA yang ditambah 0.3% oxgal, dinyatakan bersifat tahan terhadap garam empedu. Konsentrasi garam empedu sebesar 0.3% merupakan konsetrasi yang kritikal, nilai yang cukup tinggi untuk menyeleksi isolat yang resisten terhadap garam empedu. Pada saat bakteri memasuki bagian atas saluran usus, bakteri akan terpapar cairan empedu yang disekresikan ke dalam usus. Cairan empedu merupakan campuran dari asam empedu, kolesterol, asam lemak, fosfolipid, pigmen empedu dan sejumlah xenobiotik terdetoksifikasi. Sekresi pankreas juga mengandung serangkaian enzim pencernaan, dimana enzim yang bersifat lipolitik diaktifkan oleh karakteristik aktif dari empedu. Kombinasi tersebut bersifat bakterisidal bagi 15 mikroorganisme komensal dalam tubuh manusia kecuali bagi beberapa genus penghuni usus yang tahan terhadap empedu. Gilliland (1984) menyatakan bahwa derajat toleransi terhadap empedu merupakan karakteristik yang penting bagi bakteri asam laktat sebab hal tersebut berpengaruh terhadap aktivitasnya dalam saluran pencernaan. Pada penelitian yang dilakukan Gilliland (1984) terbukti bahwa sel yang diinkubasi pada larutan penyangga yang mengandung oxgal mengalami peningkatan kebocoran materi intraseluler yang terabsorbsi pada panjang gelombang 260 nm, yang berarti terjadi perubahan sifat permeabilitas pada membran sel bakteri. Isolat yang tidak tahan garam empedu kemungkinan mengalami kebocoran materi intraseluler sehingga menyebabkan kematian. Isolat-isolat yang relatif resisten terhadap garam empedu kemungkinan memiliki karakteristik biologis yang membuatnya bertahan terhadap keberadaan garam empedu. Smet et al. (1995) menyatakan bahwa beberapa Lactobacillus mempunyai enzim untuk menghidrolisa garam empedu (bile salt hydrolase). Enzim ini mampu mengubah kemampuan fisika kimia yang dimiliki garam empedu, sehingga tidak bersifat racun bagi bakteri asam laktat. Berbagai penelitian telah menunjukkan potensi isolat bakteri asam laktat untuk mengurangi kejadian diare, baik yang disebabkan oleh infeksi bakteri patogen, virus, maupun diare yang disebabkan oleh konsumsi antibiotik. Michail dan Abernathy (2002) menemukan bahwa Lactobacillus plantarum dapat menurunkan respon sekretori dari sel epitelial usus karena infeksi enteropatogenik E. coli. Lactobacillus rhamnosus GG juga ditemukan dapat mencegah dan menyembuhkan diare akut akibat rotavirus pada anak-anak (Szajewska et al. 2001; Shornikova et al. 1997). Probiotik juga diketahui mempunyai pengaruh yang baik terhadap diare yang disebabkan oleh penggunaan antibiotik. Laktobasili seringkali dilaporkan memiliki efek yang menguntungkan bagi diare jenis ini. Pada orang dewasa, pemberian L. acidophillus dan L. bulgaricus secara profilaktik efektif mencegah diare pada pasien yang mendapat perawatan ampisilin. Selain itu ditemukan pula bahwa pemberian kultur L. acidophillus atau L. rhamnosus dapat mencegah efek 16 samping (diare) pada pasien yang menjalani iradiasi abdomen (Heyman & Menard 2002). De Roos dan Katan (2000) menyebutkan bahwa probiotik kemungkinan mencegah diare karena menghambat pertumbuhan bakteri patogen dengan memproduksi bakteriosin atau dapat berkompetisi dengan patogen untuk berikatan dengan sel epitel. Qin et al. (2005) menemukan bahwa terdapat peningkatan integritas ikatan epitel usus dan mikrofili pada kelompok tikus yang diberi probiotik L. acidophilus. Ikatan kompleks tersebut memungkinkan masih terjadinya difusi paraseluler ion dan solut lainnya tetapi tidak untuk mikroorganisme dan makromolekul yang berpotensi toksik. Penempelan galur Lactobacillus tertentu pada sel epitel usus dapat menghambat pengikatan patogen enterik secara signifikan melalui eksklusi kompetitif. Penghambatan patogen enterik ini dapat berhubungan dengan induksi ekspresi gen musin usus dan kemampuan bakteri probiotik untuk berikatan dengan mukus dan galur sel kolon manusia (Heyman & Menard 2002). De Roos dan Katan (2000) juga menyebutkan bahwa probiotik dapat mencegah atau meringankan diare melalui pengaruhnya terhadap sistem imun. Infeksi oleh bakteri menginduksi pembentukan antibodi humoral yang disekresikan oleh plasma darah pada nodus limfe regional dan pada submukosa saluran pernapasan dan pencernaan. Antibodi IgA sekretori spesifik untuk struktur bakteri tertentu dapat memblok penempelan bakteri pada sel epitel mukosa dan merupakan pertahanan inang utama terhadap penempelan bakteri. IgA sekretori berperan penting sebagai fungsi efektor pada permukaan membran, yang merupakan tempat masuk utama organisme patogen. Pengikatan IgA sekretori pada permukaan bakteri dan virus mencegah penempelan patogen pada sel mukosa sehingga mencegah infeksi dan kolonisasi (Goldsby et al. 2007). Beberapa studi telah menunjukan adanya pengaruh konsumsi probiotik terhadap sistem imun inang. Beberapa jenis bakteri asam laktat seperti L. casei, L. rhamnosus dan L. plantarum dapat meningkatkan imunitas sistemik maupun imunitas mukosa. Bahan pangan yang mengandung bakteri probiotik dapat menstimulasi respon imun immunoglobulin A (IgA) (Galdeano & Perdigon 2006). Link-Amster et al. (2000) di dalam De Roos dan Katan (2002) menemukan bahwa 17 pada relawan yang divaksinasi Salmonella typhimurium dan mengkonsumsi yogurt yang mengandung B. bifidum dan L. acidophilus terjadi peningkatan konsentrasi IgA dalam serum darahnya. Antibodi IgA terarah untuk melawan antigen O dan K Escherichia coli dan enterotoksin (Hanson 1976). Bakteri asam laktat mampu menstimulasi sistem imun karena adanya senyawa peptidoglikan dan lipopolisakarida dalam dinding sel. Bakteri asam laktat melakukan kontak dengan sistem imun saluran usus melalui sel M atau sel folikel epitelium dari Peyer’s patch atau melalui sel epitelial saluran usus halus atau usus besar. Interaksi antara bakteri asam laktat dengan sel M hanya menstimulasi respon imun spesifik, sedangkan interaksi antara bakteri asam laktat dengan sel folikel epitel menstimulasi respon imun non spesifik atau peradangan meskipun juga dapat meningkatkan respon imun spesifik (Surono 2004). Probiotik selain mempunyai efek modulasi flora normal saluran pencernaan, probiotik juga mampu berperan sebagai modulator sistem imun (Gorbach 2000). Lactobacilli meningkatkan fungsi imunitas seluler dan humoral (Vanderhoof 2001). Bakteri ini mampu menstimulasi sistem imun antara lain meningkatkan fungsi fagositosis makrofag, sel natural killer (NK), monosit dan netrofil. Lactobacillus GG mampu merangsang sekresi IgM setelah vaksinasi rotavirus dan meningkatkan produksi IgA dengan hasil akhir meningkatkan produksi imunoglobulin (Walker 2000). E. Bakteri Asam Laktat Asal Air Susu Ibu (ASI) Menurut Young (1998) ASI mengandung banyak oligosakarida (fruktooligosakarida), yaitu suatu karbohidrat tidak dicerna yang merupakan makanan bagi bakteri menguntungkan. Selain itu, ASI juga mengandung laktoferin, yaitu protein yang berikatan dengan zat besi sehingga dapat menunjang pertumbuhan BAL dan menghambat pertumbuhan bakteri patogen tertentu, seperti Staphylococcus aureus dan E. coli (Salminen et al 2004). Salah satu bakteri asam laktat (BAL) yang ditemukan di dalam ASI adalah Bifidobacteria bifidum (yang kemudian dikenal dengan Lactobacillus bifidus) (Ballongue 2004). Menurut Mitsuoka (1989) bifidobakteria merupakan genus yang dominan pada mikrobiota bayi yang diberi ASI (Air Susu Ibu)¸ sedangkan 18 bayi yang diberi susu formula memilki mikrobiota yang lebih beragam meliputi Bifidobakteria¸ dan beberapa mikroba aerobik dan anaerobik. Isolasi BAL dari ASI yang dilakukan oleh Martin et al. (2005) berhasil mendapatkan dua isolat Lactobacillus gasseri dan satu isolat L. fermentum yang berpotensi sebagai probiotik. Hasil pengujian tersebut menunjukkan potensi probiotik isolat L. gasseri dan L. fermentum mempunyai kemiripan dengan produk komersial. Spesies Lactobacillus yang diisolasi dari ASI sampai saat ini adalah L. gasseri, L. rhamnosus, L. acidophilus, L. plantarum, L. fermentum, dan L salivarius (Heikkila & Saris 2003; Martin et al. 2003 ; Martin et al. 2005). Nuraida et al. (2008) mengisolasi bakteri asam laktat yang berasal dari air susu ibu (ASI). Dari tiga puluh satu sampel air susu ibu (ASI) diperoleh 88 isolat macam kultur bakteri asam laktat (BAL). Kultur tersebut diidentifikasi berdasarkan pengamatan morfologi, ciri-ciri fisiologis, dan sifat-sifat biokimia bakteri. Dengan uji fisiologis dan biokimia yang dilakukan pada uji identifikasi awal diperoleh 54 isolat yang teridentifikasi sebagai Lactobacillus homofermentatif, 18 isolat teridentifikasi sebagai Lactobacillus heterofermentatif, 9 isolat teridentifikasi sebagai Bifidobacterium, 1 isolat teridentifikasi sebagai Pediococcus, serta 6 isolat teridentifikasi sebagai Streptococcus. Bakteri asam laktat yang bersifat heterofermentatif kurang baik untuk dikembangkan menjadi produk probiotik yang berupa susu fermentasi. Hal ini disebabkan gas CO2 yang dihasilkan akan merusak tekstur produk probiotik yang berupa susu fermentasi. Sehingga dalam pengujian ketahanan terhadap asam hanya BAL yang bersifat homofermentatif yang diikutsertakan. Nuraida et al. (2008) selanjutnya juga melakukan pengujian ketahanan terhadap kondisi asam yang dilakukan pada 54 isolat Lactobacillus asal ASI yang bersifat homofermentatif. Dari 54 isolat tersebut terdapat 35 isolat yang bersifat tahan terhadap asam dengan penurunan log < 3,0 log cfu/ml. Pengujian ketahanan terhadap garam empedu 35 isolat Lactobacillus asal ASI yang bersifat terhadap kondisi asam juga dilakukan. Hasil pengujian menunjukkan terdapat 30 isolat Lactobacillus yang bersifat tahan terhadap garam empedu dengan penurunan log < 3,0 log cfu/ml. Isolat-isolat Lactobacillus yang memiliki total penurunan log oleh kondisi asam dan garam empedu < 3,0 log cfu/ml akan digunakan dalam 19 penelitian aktivitas antidiare secara in vivo menggunakan tikus percobaan ini. Nuraida et al. (2008) melaporkan bahwa 25 isolat Lactobacillus, yaitu L. rhamnosus A15, L. fermentum A20, L. acidophilus 1 A22, L. rhamnosus A23, L. rhamnosus A24, Lactobacillus A27, L. rhamnosus A29, Lactobacillus A38, L. rhamnosus R12, L. rhamnosus R14, L. rhamnosus R21, L. rhamnosus R22, L. rhamnosus R23, L. rhamnosus R24, Lactobacillus R25, L. rhamnosus R26, Lactobacillus R27, L. rhamnosus R28, Lactobacillus R32, L. rhamnosus R34, Lactobacillus B3, L. rhamnosus B10, L. fermentum 2 B11, Lactobacillus B13, dan L. rhamnosus B16 memiliki kemampuan yang sangat baik untuk bertahan dari kondisi asam lambung dan garam empedu melalui pengujian secara in vitro. Isolat-isolat BAL asal ASI juga memiliki aktivitas antimikrobial terhadap beberapa bakteri patogen seperti Escherichia coli, Salmonella typhimurium, Bacillus cereus, dan Staphylococcus aureus. Nuraida et al. (2008) juga melaporkan bahwa isolat-isolat BAL asal ASI yang diperoleh memiliki aktivitas penghambatan yang baik terhadap keempat bakteri patogen tersebut. Martin et al. (2005) menyatakan bahwa beberapa isolat asal ASI yang diperoleh menghasilkan sejumlah komponen yang diduga berkemampauan sebagai antimikroba. L. gasseri CECT 5714, L. gasseri CECT 5715, dan L. johnsonii La1 dilaporkan positif menghasilan hydrogen peroksida. Selain itu, juga dilaporkan bahwa L. gasseri CECT 5714, L. gasseri CECT 5715, dan L. fermentum CECT 5716 secara signifikan menghasilkan asam laktat enantiomer (sekitar 50% untuk masing-masing enantiomer). L. rhamnosus GG dan L. casei juga menghasilkan L-asam laktat, sedangkan pada L. johnsonii La1 dihasilkan Dasam laktat. Produksi asam asetat hanya terjadi pada dua isolat, yaitu L. fermentum CECT 5716 dan L. rhamnosus GG. Mekanisme aktivitas penghambatan antimikroba menurut Branen dan Davidson (1993) dapat melalui beberapa faktor, antara lain (1) mengganggu komponen penyusun dinding sel, (2) bereaksi dengan membran sel sehingga mengakibatkan peningkatan permeabilitas dan menyebabkan kehilangan komponen penyususn sel, (3) menginaktifkan enzim esensial yang berakibat pada terhambatnya sintesis protein dan destruksi atau kerusakan fungsi material genetik.