I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang lndonesia merupakan negara kepulauan dengan lebih dari dua pertiga wilayahnya berupa perairan. Dengan perincian luas laut sebesar 5.8 juta km2 terdiri dari laut teritorial 0.8 juta km2, laut nusantara 2.3 juta km2, Zona Ekonomi Ekslusif lndonesia 2.7 juta km2 dan panjang garis pantai 81 000 km. Potensi sumberdaya perikanan lndonesia sangat besar yaitu mencapai 6.18 juta ton ikan per tahun. Hingga tahun 1998 diperkirakan sebanyak 2.6 juta ton ikan per tahun yang belum termanfaatkan. Walaupun baru dimanfaatkan sekitar 58.5 persen, namun usaha perikanan laut lndonesia relatif efisien. Hal ini terlihat dari nilai ICOR (Incremental Capital Output Ratio) sebesar 3.42 yang artinya tingkat efisiensinya relatif tinggi dibanding usaha sektor lainnya. Begitu pula angka ILOR (Incremental Labour Output Ratio) yang mencapai 7-9 yang berarti mampu menyerap banyak tenaga kerja. Dari total penduduk lndonesia yang berjumlah lebih kurang 210 juta orang pada tahun 2000, sebanyak 5 juta orang terlibat langsung dalam kegiatan di bidang perikanan. lronisnya lebih dari 80 persen nelayan lndonesia berada di bawah garis kemiskinan. Pengembangan sumberdaya laut saat ini menunjukkan kontribusi ekonomi kelautan (perikanan, perhubungan laut, pertambangan, pariwisata, industri maritim, benda-benda berharga) terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 20 persen. lndustri perikanan sendiri memberikan kontribusi hanya sebesar 2 persen terhadap sektor ekonomi secara keseluruhan. Oleh karena itu, dalam rangka pembangunan sektar perikanan serta menjawab isu-isu yang berkembang (pelestarian sumber daya alam, responsible fisheries, globalisasi dan perdagangan bebas antarnegara Asean maupun di Asia Pasifik), pemerintah menetapkan sepuluh kornoditas unggulan dengan tujuan untuk menarik pemilik modal dan lembaga keuangan dalam dan luar negeri. Sepuluh komoditas yang dianggap paling prospektif itu adalah tuna, kakap putih, kerapu, rumput laut, mutiara, udang, nila gift, kodok lembu, ikan hias dan labi-labi. Hingga saat ini usaha penangkapan tuna lndonesia belum optimal, namun volume tangkapannya relatif terus mengalami peningkatan. Tangkapan tuna pada tahun 1988 sebesar 349 668 ton dan pada tahun 2000 mencapai 615 230 ton, dengan laju pertumbuhan volume tangkapan sebesar 6.1 persen per tahun. Ekspor tuna lndonesia (tuna segar, tuna beku, tuna kaleng) periode 1988-2000 berfluktuasi namun relatif terus mengalami peningkatan. Pada tahun 1988 volume ekspor tuna sebesar 49 257 ton, dengan laju pertumbuhan rata-rata 13.77 persen per tahun, mencapai 166 021 ton pada tahun 2000 dan pangsa rata-rata sebesar 20 persen terhadap volume produksinya. Komoditas tuna ekspor lndonesia didominasi oleh jenis skipjack beku dan yellowfin segar dengan negara tujuan utama Jepang diikuti oleh Amerika Serikat (AS) dan Thailand. Untuk jenis skipjack beku, lndonesia merupakan eksportir terbesar ke lima dunia. Untuk jenis yellowfin segar, lndonesia merupakan eksportir terbesar dunia diikuti oieh Philipina. Gambar 1 dan Gambar 2 menunjukkan perkembangan pangsa ekspor skipjack beku dan yellowfin segar lndonesia terhadap ekspor skipjack beku dan yellowfin segar Dunia periode 1989-2000. Masyarakat Jepang yang merupakan konsumen utama tuna, terus mengalami peningkatan volume impor tuna semenjak tahun 1990. Pangsa impor Jepang terhadap impor tuna segar Dunia periode 1988-2000 rata-rata sebesar 40 persen dan pangsa impor Jepang terhadap impor tuna beku Dunia sebesar 20 persen. Melemahnya perekonomian Jepang dalam empat tahun belakangan dan banjirnya pasokan tuna yang masuk ke Jepang menjadi salah satu penyebab penurunan harga tuna secara global. Hal ini menunjukkan bahwa pasar tuna dunia berpatokan pada pasar Jepang. Akibatnya lndonesia sebagai eksportir terbesar untuk produk tuna segar dan ke tiga untuk produk tuna beku ke Jepang, turut terkena dampaknya. Terlebih semenjak krisis ekonomi dan moneter yang hingga tahun 1998 telah menyebabkan suku. bunga meningkat hingga di atas 50 persen, pengangguran mencapai 11 persen serta depresiasi rupiah terhadap dollar AS yang mencapai 300 persen, telah berakibat usaha penangkapan tuna banyak yang terancam gulung tikar. Peluang dan tantangan di atas perlu dicermati oleh pemerintah dalam rangka peningkatan ekspor tuna lndonesia di pasar internasional, terutama untuk meningkatkan devisa negara dalam upaya mengatasi berbagai masalah pada masa kondisi ekonomi dunia dan domestik sekarang ini. Gambar 1. Pangsa Ekspor Yellowfin Segar Dunia Befdasarkan Negara Pengekspor Utama 100% 80% I 60°h I 40% 1 20% t I 0% Sisa Dunia Indonesia Spanyol Jepang o Korea ca Taiwan 1 Gambar 2. Pangsa Ekspor Skipjack Beku Dunia Be~dasarkanNegara Pengekspor Utama 1.2. Perumusan Masalah lndonesia yang memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia hanya mampu menghasilkan devisa US$. 2 milyar per tahun. Padahal Thailand yang hanya memiliki panjang pantai 2 400 km mampu menghasilkan devisa dari perikanan sebesar US$. 4.6 milyar per tahun. lronis jika mengingat setiap tahunnya negara mengalami kerugian sebesar US$. 4 milyar akibat pencurian ikan oleh nelayan-nelayan asal Jepang, Thailand, Taiwan dan Korea Selatan. Nasib nelayan lndonesia sendiri paling memprihatinkan dalam golongan petani. Potensi ikan tuna di kawasan lndonesia Timur merupakan yang paling tinggi di dunia, yakni mencapai 65 persen potensi dunia. Kawasan lndonesia Barat juga memiliki potensi tuna yang cukup besar, namun baik nelayan maupun pengusaha tuna lndonesia tidak mampu memanfaatkannya. Akibatnya, nelayan asing yang memanfaatkannya dengan menggunakan kapal penangkap tuna yang lebih canggih dibanding yang digunakan oleh nelayan Indonesia. Rendahnya tingkat pemanfaatan potensi sumber daya laut lndonesia tersebut antara lain dikarenakan kurangnya armada kapal penangkap tuna (terutama yang berukuran di atas 30 GT) karena bisnis tuna bersifat padat modal (capital intensive). Dari Konferensi Tuna lntemasional ke-7 (Mei 2000 di Bali) yang diikuti oleh Jepang, Korea Selatan, Taiwan dan lndonesia sebagai tuan rumah, ada dua masalah pokok dalam perikanan tuna Indonesia. Pertama, harga tuna di pasar dunia turun hingga 50 persen akibat over slrpply bersamaan dengan lesunya perekonomian Jepang dalam empat tahun belakangan. Isu dolphin yang dimunculkan Food and Agriculture Organization (FAO) pada tahun 1992 juga turut dimanfaatkan negara pengimpor untuk menekan harga. Dalam kasus ini, nelayan lndonesia termasuk yang dituduh tidak selektif dalam melakukan penangkapan. Penangkapan tuna oleh nelayan yang menggunakan umpan bandeng memancing datangnya dolphin, walaupun kemudian dilepas namun tak lama kemudian mati, padahal dolphin merupakan salah satu hewan yang dilindungi (Wibowo, 2000). lmbas dari turunnya harga tuna dunia menyebabkan harga skipjack beku lndonesia juga mengalami penurunan. Setelah mengalami harga tertinggi US$. 1.3401kg (tahun 1989), harga skipjack beku ekspor lndonesia cenderung terus menurun hingga mencapai US$. 0.4001kg (tahun 2000). Pada akhir tahun 2000 terjadi perbaikan harga menjadi US$. 0.5001kg akibat meningkatnya permintaan impor skipjack beku Jepang. Begitu juga dengan yellowfin segar, sejak tahun 1988 mengalami peningkatan harga yang signifikan hingga mencapai US$. 5.0841kg (tahun 1993), harga yellowfin segar ekspor lndonesia cenderung terus menurun hingga di bawah US$. 3.001kg (tahun 1998). Untuk itu perlu dilihat faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat harga tuna ekspor baik di tingkat pengimpor maupun pengekspor. Kedua, lndonesia kekurangan armada kapal penangkap tuna dalam memenuhi kebutuhan domestik maupun ekspor ke Jepang. Langkanya armada kapal akibat adanya larangan impor kapal hingga tahun 1997 merupakan kendala utama peningkatan ekspor tuna Indonesia. Usaha penangkapan tuna membutuhkan Investas1 besar sehingga diperlukan investasi yang lebih banyak baik dari dalam negeri maupun asing. Melemahnya nilai tukar rupiah juga membuat biaya produksi makin tlnggi sementara para eksportir masih dibebankan pajak ekspor dan pungutan-pungutan lain yang dirasakan sangat memberatkan. Untuk itu pemerintah perlu memperhatikan besarnya tingkat suku bunga dan nilai tukar rupiah dalam upaya meringankan beban nelayan dan pengusaha perikanan tuna. Bagaimana pengaruh kebijakan pemerintah terhadap produksi dan ekspor tuna Indonesia? 1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perilaku penawaran skipjack beku dan yellowfin segar lndonesia ke pasar Jepang. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai: 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi volume tangkapan skipjack dan yellowfin Indonesia. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan dan penawaran skipjack beku dan yellowfin segar lndonesia ke Jepang. 3. Dampak kebijakan dalam perikanan tuna dunia dan nasional terhadap produksi dan ekspor skipjack beku dan yellowfin segar Indonesia. Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai informasi tambahan yang bermanfaat bagi para pengambil kebijakan maupun pengusaha tuna lndonesia dalam menetapkan strategi ekspornya. 1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian lndonesia mengekspor beberapa jenis ikan tuna ke beberapa negara. Karena paling banyak diminati di pasar internas~onaldan mendominasi ekspor tuna Indonesia, maka ekspor skipjack beku dan yellowfin segar lebih difokuskan dalam penelitian ini. Jepang merupakan pasar tujuan utama tuna lndonesia dan juga tuna dunia pada umumnya. Tingginya tingkat persaingan di pasar tuna Jepang menyebabkan penelitian ini lebih ditekankan pada analisis penawaran ekspor skipjack beku dan yellowfin segar lndonesia ke pasar Jepang. Ekspor skipjack beku dan yellowfin segar lndonesia selain ke Jepang digolongkan pada penawaran untuk Sisa Dunia. Untuk melihat penawaran negara pesaing di pasar Jepang, digunakan Taiwan dan Philipina sebagai negara pengekspor skipjack beku dan yellowfin segar utama dunia. Produksi skipjack beku dan yellowfin segar lndonesia tidak didisagregasi berdasarkan wilayah perrghasilnya karena fokus penelitian ini adalah penawaran ekspor tuna lndonesia bukan peritaku produksinya. Walaupun tidak dapat menjelaskan pe~ilakuproduksi dan ekspor skipjack beku dan yellowfin segar daerah asalnya, secara umum dapat menggambarkan ekspor tuna Indonesia. Berbagai terbitan nasional maupun internasional menampilkan data ekspor tuna lndonesia sebelum tahun 1988. Namun untuk spesifikasi produk tuna ekspor dalam bentuk skipjack beku dan yellowfin segar baru ditemukan mulai tahun 1988. Keterbatasan time series yang digunakan dalam penelitian ini (tahun 1989-2000), menyebabkan model kurang reliable untuk melakukan forecasting keragaan penawaran skipjack beku dan yellowfin segar lndonesia ke Jepang beberapa tahun ke depan.