2 Konsep Dasar Penyakit Pada waktu kerja klinik khususnya bagi pemula tidak jarang terjadi keraguan, karena pemahaman mengenai penyakit yang diperoleh dalam kuliah tidak sesuai dengan kenyataan di klinik. Apa yang mereka pahami sebagai penyakit mungkin hanya akan nampak sebagai suatu perubahan atau penyimpangan dari keadaan normal atau bahkan mungkin abstrak. Perlu dicermati bahwa sebagian besar temuan klinis yang diperoleh dari seorang pasien sebenarnya bukanlah suatu penyakit ( disease ), melainkan manifestasi atau perwujudan klinis dari suatu penyakit ( illness ). Pada waktu bekerja di klinik akan selalu diperhadapkan pada kedua unsur tersebut, oleh karena itu pemahaman mengenai konsep dasar penyakit kiranya dapat memberikan wawasan lebih luas untuk mengenali kedua fenomena klinis tersebut. 2.1 Penyakit. Penyakit dapat didifinisikan sebagai perubahan dalam individu yang menyebabkan parameter kesehatan mereka berubah diluar batas-batas normal. Tolok ukur biologis yang paling tepat untuk batas-batas normal ini sudah tentu berkaitan dengan kemampuan individu untuk dapat mempertahankan homeostasis atau keseimbangan dinamis tubuh. Pada umumnya penyakit tidak melibatkan bentuk kehidupan baru secara lengkap tetapi lebih merupakan perluasan atau distorsi dad proses-proses kehidupan normal yang ada pada individu. Persepsi subyektif seseorang tentang penyakit ban-yak dihubungkan dengan keterbatasan kemampuannya untuk melakukan kegiatan sehari-hari dengan nyaman. Sebagai contoh misalnya pada kasus penyakit menular infeksi HSV-1; secara harafiah tubuh diinvasi virus HSV-1 tetapi virus ini sendiri bukan merupakan penyakit, hanya berperan menimbulkan perubahan pada subyek yang akhirnya diwujudkan sebagai penyakit. Jadi, penyakit sebenarnya adalah sejumlah proses fisiologis yang sudah berubah. Agar dapat memahami dan mengobati penyakit itu secara memadai, maka identitas proses-proses normal yang dipengaruhi, sifat-sifat gangguan, dan akibat sekunder dari gangguan tersebut terhadap proses vital yang lain hares dipertimbangkan. Sebagian besar penyakit mempunyai seperangkat kriteria yang memungkinkan untuk lebih dimengerti, dikelompokan dan didiagnosis. Namun demikian untuk beberapa jenis penyakit belum sepenuhnya terungkap secara rinci, bahkan masih merupakan subyek yang masih dipertentangkan. Seperangkat kriteria dari suatu penyakit antara lain dapat meliputi: etiologi, patogenesis, manifestasi, komplikasi, prognosis, dan epidemiologi. Universitas Gadjah Mada 1 2.2 Etiologi Etiologi memberikan penjelasan mengenai penyebab suatu penyakit yang mencakup identifikasi berbagai faktor seperti: genetik, agen infeksi, bahan kimia, radiasi, trauma, dll. Seperti contoh pada infeksi menular diatas terlihat disitu bahwa etiolgi infeksi tersebut adalah HSV-1. Perlu dicermati bahwa penyebab suatu penyakit tidak selalu tunggal tetapi dapat lebih dad satu bahkan dapat multifaktorial melibatkan berbagai interaksi antara host dengan lingkungannya. Sebagai contoh misalnya karies gigi; untuk terjadinya karies dentis memerlukan interaksi hospes (gigi dan air ludah) dengan agent (bakteri) dan enviroment ( makanan ). Penyebab suatu penyakit kadang-kadang belum diketahui, tetapi penyakit terse-but sering berjangkit pada sekelompok individu dengan ciri-ciri tertentu seperti umur, pekerjaan, kebiasaan atau mungkin tempat tinggal, ini semua disebut sebagai faktor resiko. Faktor demikian kemungkinan hanya memberikan arahan kepada penyebab yang belum teridentifikasi, atau mungkin hanya memfasilitasi berkembangnya penyakit pada individu yang bersangkutan. Sebagai contoh misalnya kondisi malnutrisi yang mempermudah terjadinya infeksi. Untuk menyebut penyakit yang etiolgi belum jelas, sering digunakan istilah tambahan seperti: primer, idiopathic, esensial atau spontan. Walaupun sebutannya berbeda maksud digunakan istilah tersebut adalah sama ( misalnya: hipertensi esensial, hipertensi primer, pneumotorak spontan, idiopathic bone cavity atau idiopathic facial pain ). 2.3 Patogenesis Patogenesis penyakit ialah mekanisme yang mejelaskan perjalanan perkembangan suatu penyakit, termasuk terjadinya perubahan-perubahan struktur atau fungsi, tanda gejala klinis dan patologis yang dapat melibatkan proses radang, degenerasi, karsinogenesis atau reaksi immun. Sebagai contoh misalnya patogenesis infeksi HSV-1 seperti terlihat dalam bagan pada gambar berikut ini ( Gb.1-2) Universitas Gadjah Mada 2 Gambar 2-2 . Patogenesis infeksi HSV di mulut Mengacu contoh infeksi di atas maka penjelasan atas patogenesis infeksi HSV-1 di mulut dapat terlihat mekanisme penularannya yaitu melalui kontak langsung dengan virus HSV-1, dengan manifestasi primer sebagai gingivostomatitis akut. Melalui analisis demikian dapat dijelaskan tahapan perkembangan lanjut virus tersebut di dalam tubuh, termasuk reaktivasi virus atau terjadinya kekambuhan yang akan manifestasi balk dalam bentuk perubahan serologik ataupun sebagai tanda dan gajala klinis penyakit. Walaupun pada tahap awal perkembangan suatu penyakit belum menunjukkan perwujudan nyata secara klinis, sejumlah perubahan proses biologik kadang telah dapat dideteksi dengan analisa laboratorium. Tahapan perkembangan demikian dikenal sebagai stadium subklinis. Disisi lain harus juga diperhatikan bahwa kebanyakan struktur dan fungsi organ menyediakan cadangan dengan batas keamanan yang besar, sehingga gangguan fungsi baru dapat jelas jika sudah terjadi perubahan struktural atau anatomis yang sudah lanjut. 2.4 Prognosis Merupakan perkiraan terhadap apa yang telah diketahui atau terhadap perjalanan suatu penyakit. Prognosis setiap penyakit dipengaruhi oleh tindakan medik atau perawatan. Oleh karena itu harus dibedakan antara prognosis penyakit yang telah mendapat perawatan dengan prognosis tanpa perawatan atau yang sesuai dengan perjalanan alamiah penyakit. 2.5 Manifestasi Penyakit Penyakit tidak statis tetapi bersifat dinamis, oleh karena itu spektrum perwujudan klinis sangat bervariasi sehingga manifestasi penyakit pada penderita dapat berubah setiap Universitas Gadjah Mada 3 saat. Karena melibatkan berbagai variasi biologis dan etiologi yang berbeda, maka dapat dipahami kiranya bahwa untuk penyakit (disease) tertentu dapat menimbulkan beragam bentuk manifestasi klinis (illness). Sebaliknya untuk manifestasi klinis tertentu dapat ditimbulkan oleh berbagai penyakit. Pemahaman mengenai adanya interaksi dinamis penyakit dengan beragam perwujudan klinis demikian merupakan bekal penting dalam mengenali dan identifikasi berbagai kasus klinik. Secara umum manifestasi klinis penyakit yang beragam dapat dikelompokan dalam signs dan symptoms. Symptoms adalah manifesatsi subyektif atau gejala penyakit; yaitu segala sesuatu yang dirasakan pasien berkaitan dengan keluhannya misalnya nyeri, demam, nafas pendek, perdarahan, atau lemas. Signs adalah manifestasi obyektif atau tanda penyakit; yaitu sesuatu yang menyebabkan perubahan struktur atau fungsi dan umumnya dapat dilihat dengan mata telanjang. Perubahan demikian dapat teramati dalam perubahan bentuk, warna, ukuran. kepadatan, hubungan, jumlah dan sebagainya. Perlu dicermati bahwa manifestasi penyakit di mulut baik subyekstif dan atau obyektif dapat disebabkan karena karena faktor lokal di mulut atau faktor sistemik atau kombinasi keduanya. Ditinjau dari aspek tugasnya di bidang pelayanan kesehatan, maka dokter gigi mempunyai tanggung jawab profesional dan moral untuk mempelajari keadaan kesehatan umum pasien sebelum memberikan perawatan dental. Pengetahuan demikian akan menjadi salah satu dasar pertimbangan dalam melakukan pemeriksaan dan perawatan pasien. Penekanan terhadap pentingnya evaluassi manifestasi kardinal penyakit disini dimaksudkan untuk selalu mengakaitkan tanda dan gejala penyakit di semua bagian tubuh yang berhubungan atau kemungkinan berhubungan dengan penyakit oral. Perlu dipahami bahwa maksud evaluasi manifestasi kardinal penyakit ini bukan untuk menentukan diagnosis medik tetapi untuk asesmen fisik atau evaluasi kesehatan umum pasien sehingga dokter gigi sadar untuk: selalu mempertimbangkan adanya penyakit sistemik yang relevan dengan perawatan di mulut melakukan tindakan profilaksis atau pencegahan khusus demi keselamatan pasien dan dokter menentukan kemungkinan perawatan terbaik bagi pasien dengan penyakit sistern ik mendapatkan alasan kuat dan benar untuk melalukan konsultasi medik dan menentukan diagnosis penyakit oral Mengacu pada tujuan tersebut di atas, indikasi evaluasi manifesatsi kardinal penyakit sangat tergantung pada jenis penyakit maupun prosedur perawatan dental yang akan diberikan. Namun harus diingat bahwa hubungan antara penyakit oral dengan penyakit sistemik tidak selalu nyata dan karena kebutuhan untuk dilakukannya evaluasi penyakit Universitas Gadjah Mada 4 sistemik tidak selalu jelas maka dalam setiap pemeriksaan pasien harus dilakukan pemeriksaan dasar medik. Manifestasi kardinal penyakit dapat berupa: nyeri, demam, kelemahan, nafas pendek, gangguan sirkulasi, perubahan berat badan, oligouri, poliuri, anemia, edema, perdarahan, penurunan berat badan, limfadenopati xerostomia, syndrom mulut terbakar, halitosis dan sebagainya. Nyeri ( Pain ) Nyeri merupakan salah satu gejala yang menonjol dalam berbagai penyakit, namun karena kompleksitas dan keunikan pengalaman nyeri pada seorang individu tidak jarang menimbulkan masalah dalam penilaian maupun pemahamannya di klinik. Beberapa ahli memberikan difinisi nyeri sebagai suatu pengalaman sensoris dan emosional tidak menyenangkan yang berhubungan dengan kondisi-kondisi yang aktual atau potensial dengan kerusakan. Oleh karena nyeri merupakan sensasi yang selalu tidak menyenangkan maka faktor emosional banyak berperan. Tidak ada cara khusus untuk membedakan nyeri karena kerusakan jaringan dengan nyeri tanpa kerusakan jaringan yang nyata. Oleh karena itu maka kedua jenis sensasi tersebut harus diterima sebagai suatu nyeri. Karena bersifat subyektif maka perlu diupayakan agar pasien dapat secara obyek tif menggambarkan keadaan yang dirasakan menganggu, sehingga reaksi terhadap nyeri secara lengkap dapat dipisahkan dengan diskripsi sensasi nyeri yang sebenarnya. Keadaan demikian sangat membantu pemeriksa untuk dapat lebih lengkap melakukan jenis dan lokasi nyeri yang sesungguhnya. Contoh: pasien yang dapat mengatakan bah wa nyeri yang dirasakan berhubungan dengan gigi molar bawah saat menggigit; lebih mudah dievaluasi daripada seluruh ungkapan reaksinya terhadap nyeri. Diagnosis nyeri harus herlandaskan pertimbangan anatomi, fisiologi dan psikologi. Secara klinis kualitas nyeri dapat dibedakan ringan ( bright ), tajam seperti tertusuk ( pricking ), panas seperti terbakar ( burning ), dalam dan menetap (deeper—felt aching ). Bright, pricking dan burning merupakan tipe nyeri yang banyak berkaitan dengan stimulasi merusak di permulcaaan tubuh. Bright dan pricking dihantarkan oleh syaraf tebal, bermyeline dan konduksinya cepat, sedang burning dihantarkan oleh serabut kecil dan konduksi lama. Sebagai contoh: tusukan sonde tajam pada gusi akan menimbulkan nyeri tajam dan mendadak ( pricking ), dan untuk beberapa saat berikutnya akan diikuti nyeri tumpul lambat ( burning ). Disamping kualitas, intensitas nyeri juga bervariasi. Nyeri dari bagian dalam biasanya lebih difus dan bertahan lama dan cenderung menyebar sehingga lokasinya sulit ditentukan, bahkan tidak jarang nyeri pada satu tempat dialihpindahkan kepermukaan tubuh yang lain. Misalnya nyeri karena pulpitis gigi rahang bawah dirasakan pasien sebagai Universitas Gadjah Mada 5 nyeri pada gigi rahang atas. Nyeri superfisial umumnya lebih terlokalisir, sesuai dengan jumlah organ perasa yang ada serta frekuensi daerah tersebut terkena rangsangan. Organ perasa biasanya berkembang bagus pada tangan, bibir, karena disamping jumlahnya organ perasa daerah ini banyak dilatih untuk identifikasi obyek. Nyeri sentral yang terjadi karena lesi di thalamus atau traktus spinothalamus bisanya konstan atau kambuhan dan lokasinya tidak jelas. Tidak jarang terjadi dysesthesia terhadap sentuhan, yaitu keadaan yang pada kondisi normal tidak nyeri berubah menjadi terasa nyeri sekali Pasien demikian biasanya mengeluh nyeri tanpa disertai kelaianan organik yang nyata. Namun demikian juga perlu dicermati bahwa nyeri dapat dipermudah oleh karena pusat nyeri di otak menjadi hypersensitif setelah terjadi stimulasi yang berulang-ulang. Sebagai contoh misalnya pada pasien dengan gigi pulpitis mungkin masih akan tetap merasakan nyeri walaupun giginya telah dicabut. Nyeri di daerah orofasial dapat dikelompokan sebagai nyeri somatik, neurophatic dan nyeri psikogenik. Nyeri somatik terjadi akbat rangsangan yang merusak pada jaringan syaraf normal dan oleh karenanya dipandang sebagai nyeri yang "normal". Nyeri odontogenik yaitu nyeri yang berasal dari gigi merupakan salah satu contoh nyeri somatik. Nyeri neuropatik adalah nyeri yang berasal dari jaringan syaraf yang abnormal balk dalam transformasi maupun morfologinya. Akibat adanya gangguan pada jaringan syaraf demikian, maka suatu rangsangan yang semula tidak menyakitkan, dirasakan sebagai rangsangan yang menyakitkan. Contoh nyeri demikian ialah pada Trigeminal neuralgia. Pemicu atau provokasi nyeri dapat berupa rangsangan ringan ( seperti sentuhan lembut, sikat gigi, atau gerakan mencukur kumis atau jenggot ) akan menyebabkan nyeri yang hebat sekali diluar yang diperkirakan. Nyeri psikogenik sering berhubungan dengan nyeri kronis dan konstan tanpa penyebab yang jelas. Jarang dirasakan sebagai nyeri yang akut, terjadinya multiple, nyeri bilateral atau bahkan berpindah-pindah dan respon terhadap perawatan sulit diperkirakan. Nyeri Somatik nyeri dapat disubklasifikasikan sebagai nyeri superfisial nyeri dalam (deep). Nyeri superfisial berasal dari kulit atau mukosa besifat tajam dan letaknya mudah ditentukan. Contoh: nyeri pada stomatitis apthosa atau ulkus di mulut. Nyeri dalam berasal dari struktur yang lebih dalam, biasanya tumpul, menjemukan atau bahkan melemahkan semangat, lokasinya sulit ditentukan dengan tepat. Nyeri dalam lebih Ian-jut dapat diklasifikasi sebagai nyeri muskuloskeletal ( berasal dari tulang, sendi atau otot dan ligament periodontal) atau nyeri visceral ( berasal dari pembuluh darah, kelenjar, traktus gastrointestinalis dan dari pulpa gigi). Nyeri muskuloskeletal lokasinya cenderung mudah ditentukan daripada nyeri visceral. Berdasarkan klasifikasi tersebut maka nyeri odontogenik dapat bersifat sebagai nyeri muskuloskeletal (ligament periodontal) dan nyeri visceral (pulpa gigi). Universitas Gadjah Mada 6 Nyeri merupakan masalah yang sering dijumpai di klinik gigi. Walaupun sebagian besar nyeri tersebut berasal dari gigi (odontogen) perlu dicermati bahwa kemungkinan bukan berasal dari gigi (non-odontogen) tidak dapat dikesampingkan. Bila sumber nyeri odontogen tidak dapat diidentifikasi atau berdasarkan riwayat dan gambaran klinisnya tidak sesuai dengan nyeri odontogen maka berbagai kemungkinan nyeri nonodontogen lainnya perlu dipertimbangkan. Untuk lebih memudahkan pemahaman mengenai berbagai kemungkinan sumber atau asal nyeri dapat dilihat pada bagan di halaman berikut. Nyeri Kepala Nyeri kepala merupakan istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan keluhan atau pengalaman nyeri didaerah kepala. Untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap mengenai gejala ini perlu didiskripsi mengenai kualitas, lokasi, intesitas dan fenomena lain yang terkait. Nyeri kepala yang tajam dengan lokasi yang dapat ditentukan umumnya berasal dari lesi di daerah muka atau neuralgia. Jika sumber nyeri dari dalam kepala dapat terjadi karena tarikan, regangan atau dilatasi pembuluh di kepala, radang atau perubahan struktur lain yang peka nyeri atau tekanan langsung dari tumor. Penyebab yang berasal dari luar kepala antara lain karena kontraksi otot-otot penahan kepala dan leher, radang atau dilatasi arteri ektrakranial. Universitas Gadjah Mada 7 Oleh karena hampir setiap orang pernah mengalami gejala ini maka frekuensi serangan perlu dicermati. Jika nyeri tersebut hanya berlangsung satu atau dua kali sebuIan umumnya kurang bermakna. Dalam bidang kedokteran gigi penting untuk diperhatikan jenis nyeri kepala yang berkaitan dengan rangsangan pada gigi. Walaupun mungkin jarang terjadi, secara klinis mempunyai arti penting. Nyeri kepala yang berhubungan dengan gigi dan berkepanjangan dapat dikelompokan dalam dua jenis yaitu; (1) disebabkan karena eksitasi dan perluasan sentral pengalaman nyeri di jaringan yang di inervasi syaraf trigeminal beserta cabang-cabangnya, dan (2) disebabkan oleh kontraksi otototot yang menahan kepala dan leher sebagai akibat sekunder dari stimulasi yang merusak pada gigi. Nyeri kepala akibat stimulasi pada gigi umumnya dapat dihilangkan dengan memberikan anastesi lokal pada gigi yang terlibat, sedang jika nyeri yang berhubungan dengan kontraksi otot-otot kepala dan leher tidak akan terpengaruh. Nyeri karena ketegangan otot-otot ( tension headache) lokasinya dapat didaerah frontal atau oksipital, dan setelah tidur biasanya gejala tersebut berkurang atau hilang. Sedang nyeri kepala akibat hipertensi biasanya dirasakan di daerah oksipital dan sering disertai dengan gangguan penglihatan. Nyeri kepala unilateral terutama yang di daerah temporal tidak menutup kemungkinan berhubungan dengan gangguan pada sendi rahang ( TMJ ) atau spasme otot-otot mastikasi. Kelemahan ( Weakness) Istilah ini sering digunakan pasien untuk menggambarkan berbagai keluhan, namun karena sifat keluhan tersebut terlalu umum maka makna diagnostiknya menjadi kurang jelas. Untuk itu perlu diformulasikan ke dalam istilah yang lebih spesifik seperti asthenia, lassitude atau faintness. Kelemahan yang telah berlangsung lama sering ditandai adanya kekurangan energi, lesu dan keletihan yang tidak semestinya. Keadaan ini dapat disebabkan oleh hampir semua jenis penyakit yang serius atau gangguan emosional. Tumor ganas, infeksi kronis terselubung, anemia, gangguan metabolik dan endokrin serta difisiensi nutrisi dapat menyebabkan kelesuan atau lassitude. Asthenia ditandai khas terjadinya kelemahan otototot yang menyeluruh, sering terjadi pada usia lanjut, anemia yang berat, defisiensi nutrisi, penyakit kelenjar tiroid, gangguan sistem lokomotor atau endokrine ( Addison's disease ) Perlu diperhatikan bahwa gejala demikian juga banyak dijumpai pada penderita dengan gangguan emosi atau fisik yang berat, oleh karena itu dalam evaluasi astenia perlu dianalisis dengan gejala-gejala lain yang terkait. Tidak jarang pasien mengeluh mengalami kelemahan yang kambuhan, untuk itu maka disamping tanda dan gejala riwayat yang berhubungan dengan terjadinya serangan sangat diperlukan. Kelemahan atau bahkan sinkope yang berulang dapat disebabkan karena gangguan emosional, hipoglikemi, hipotensi postural, gangguan irama jantung. Riwayat tentang hilangnya kesadaran atau Universitas Gadjah Mada 8 pingsan yang kambuhan disertai dengan gerakan-gerakan abnormal membed kecurigaan pada epilepsi. Terdapatnya jaringan parut pada lidah, bibir atau mukosa pipi akibat gigitan waktu serangan memberika informasi lebih lengkap. Pemakaian obit sodiumdilantin pada penderita epilepsi sering menyebabkan hyperplasi gusi. Dispnea Merupakan sensasi subyektif berkaitan dengan perasaan respirasi yang tidak adekuat. Dyspnea biasanya tidak terjadi pada waktu istirahat, gejala ini dapat muncul pada aktifitas berat yang memerlukan banyak tenaga, obesitas, usia lanjut, atau pada latihan fisik tertentu. Dispnea yang berkaitan dengan kondisi patologik dapat terjadi pada penyakit jantung, paru dan penyakit darah. Sumbatan jalan nafas karena asthma bronchiale dan neoplasma juga menyebabkan dyspnea. Dispnea kardiak terjadi secara khas pada pengerahan tenaga, sebagai akibat kenaikan tekanan akhir diastolik dari ventrikel kiri yang meningkatkan tekanan vena pulmonalis. Untuk itu dalam evaluasi gejala ini perlu ditinjau sistem-sistem yang lain serta aktifitas-aktifitas yang mempengaruhinya. Dyspnea kardiak yang sudah parah dapat timbul pada scat istirahat. Palpitasi Palpitasi sering diartikan sebagai keadaan detak nadi yang disadari tidak seperti biasanya. Kecuali pada aritmia jantung gejala ini biasanya kurang mempunyai arti penting. Namun oleh pasien gejala ini sering dikaitkan dengan kemungkinan adanya gangguan jantung. Kecemasan yang berhubungan dengan paslpitasi khususnya pada individu yang sebelumnya telah dinyatakan mempunyai gangguan jantung, mempunyai arti psikologis penting bagi pasien tetapi sering membingungkan dokternya. Palpitasi yang berkaitan dengan latihan fisik berat terutama bagi mereka yang jarang melalukan latihan fifik merupakan keadaan fisiologis. Untuk itu pasien diminta menjelaskan secara tepat keluhan yang dirasakan apakah paslpitasi tersebut lambat atau cepat, teratur atau tidak, dan berapa lama gejala tersebut berlangsung. Palpitasi jantung dapat disebabkan karena gangguan mekanisme detak jantung akibat kelainan organis atau fungsional diluar sistem sirkulasi misalnya tirokortikosis, anemia, hipoglikemi, dan konsumsi kopi, rokok dan obat tertentu. Gejala penting yang terkait seperti nyeri dada atau pingsan sangat penting. Tekanan darah Tekanan darah umummya dapat diketahui dari hasil pemeriksaan klinis melalui anamnesis atau pemeriksaan fisik. Hipertensi merupakan manifestasi simptomatik kondisi abnormal pembuluh darah yang terjadi karena gangguan pada ginjal, endokrine, arteriosklerosis dan faktor psikologis. Beberapa faktor seperti umur, jenis kelamin, suku dan berat badan harus Universitas Gadjah Mada 9 dipertimbangkan. Sesuai dengan AHA ( American Heart Association) diagnosis hypertensi positif bila terjadi kenaikan tekanan darah yang konsisten diatas 140/90 mmHg. Perlu dicermati bahwa hipertensi umumnya berkembang tanpa gejala nyata pada usia antara 30 -45 tahun. Pada individu tertentu khususnya yang mempunyai predesposisi hipertensi, kenaikan tekanan darah dapat terjadi akibat faktor kejiwaan, seperti marah, frustasi, cemas dan rangsangan emosional yang lain. Geajala klinis yang menyertai hipertensi antara lain nyeri kepala, vertigo, hemioptisis dan epitaksis. Hipertensi yang berkepanjangan dapat mengakibatkan kerusakan pada jantung, ginjal, otak dan pembuluh darah. Berbeda dengan hipertensi, penderita hipotensi umumnya kurang mendapat perhatian. Namun perlu dicermati bahwa pasien hipotensi mempunya resiko terjadinya sinkope pada perawatan dental. Hipotensi dapat terjadi karena perdarahan, stroke, atau aki bat sekunder pemakaian obat penenang. Perdarahan Merupakan manifestasi kardinal penyakit karena disfungsi vaskuler, fragilitas pembuluh, gangguan mekanisme pembekuan darah atau cidera pada pembuluh. Sebagian besar perdarahan rongga mulut lebih sering berhubungan dengan radang gusi daripada akibat kelainan pembekuan darah. Perlu diperhatikan bahwa perdarahan di mulut yang sering dihubungkan dengan perdarahan gusi tersebut dapat merupakan salah satu manifestasi penyakit sistemik yang dampaknya dapat membahayakan jiwa. Purpura merupakan salah satu mabnifestasi perdarahan ditandai dengan ekstravasasi darah ke kulit atau mukosa sebagai pethechie atau ecchymosis. Purpura di mulut sering dijumpai sebagai akaibat trauma dan kondisi demika mudah terlihat di palatum molle akibat batuk atau trauma makanan keras atau tajam. Penyakit darah seperti leukemia, anemia, infeksi subakut bakterial endokarditis dan gangguan pada limfa dapat menyebabkan purpura di daerah mulut. Perdarahan yang berlebihan pasta skating atau pasta cabut dapat berkaitan dengan gangguan fakator-faktor pembekuan darah. Menurunnya jumlah trombosit balk secara kulitatif atau kuantitaif, fibrinogen, intoksikasi obat, penyakit hati dan pemakian obat antikoagulant perlu dipertimbangkan. Sebelum melakukan tindakan dental, riwayat perdarahan dan penelusuran tanda gejala kecenderungan perdarahan harus dilakukan. Limfadenopati Kelenjar limfe mempunyai dua fungsi utama, yang pertama ialah untuk menangkap dan membersihkan benda asing dalam aliran limfe dan fungsi kedua berperan penting dalam respon immun. Perlu disadari bahwa kurang lebih sepertiga kelenjar limfe tubuh terletak di Universitas Gadjah Mada 10 daerah kepala dan leher, oleh karena itu tidak mengherankan jika kelenjar limfe servikofacialis menjadi tanda penting untuk penyakit sistemik tertentu. Limfadenopati atau pembesaran kelenjar limfe dapat terjadi karena infeski, neoplasma atau penyakit yang lain. lnfeksi piogenik pada tenggorok, hidung, telinga, kulit kepala dan gigi geligi sering disertai dengan limfadenopati di daerah servikal, disamping itu juga tuberkulosis dan sifilis tahap primer. Perlu diperhatikan bahwa beberapa infeksi sistemik (infeksi mononukleosis, EBV) dan toxoplasmosis tidak jarang disertai dengan limfadenopati servikal. Pembesaran kelenjar limfe dapat terjadi akibat metastase tumor ganas atau tumor jaringan retikuler ( limfoma, leukemia ). Xerostomia Perasaan subyektif mulut terasa kering di kenal sebagai Xerostomia. Xerostomia bukan suatu diagnosis atau penyakit melainkan gejala atau kumpulan gejala. Istilah ini sering dipakai untuk menyebut berbagai keluhan pasien yang berhubungan dengan mulut kering. Perlu diingat bahwa pasien yang mengeluh mulutnya kering tidak dapat secara otomatis dinyatakan disfungsi kelenjar saliva. Kondisi demikian dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang lain. Mengingat disfungsi kelenjar saliva mempunyai resiko berbagai komplikasi penyakit oral dan sistemik maka perlu pemeriksaan obyektif untuk identifikasi masalah pokok yang dihadapi pasien, sehingga perawatan yang tepat dapat segera di beri kan. Sejumlah penyebab lain yang perlu dipertimbangkan pada keluhan mulut kering misalnya dehidrasi. Walaupun dehidrasi dapat berpengaruh sekunder terhadap curah saliva, kekurangan cairan tubuh dapat mempengaruhi kebasahan mukosa, sehingga menimbulkan perubahan persepsi mukosa terasa kering. Perubahan kognitif central dan gangguan sensoris oral dapat berperanan untuk terjadinya sensasi mulut kering. Disamping itu kondisi psikologis juga tidak dapat dikesampingkan sebagai penyebab kelainan ini. Riwayat penggunaan obat-obatan, perawatan radiasi, dan penyakit sistemik seperti; Sjogren's syndrome, Granulomatous diseases (sarcoidosis, tuberculosis), Graftversus-host disease, Cystic fibrosis, Bell's palsy, Diabetes, Amyloidosis, HIV-AIDS, penyakit Thyroid dan penyakit hati tahap lanjut sangat diperlukan. Deferensial diagnosis xerostomia dan disfungsi kelenjar nampaknya masih memerlukan penelusuran yang panjang. Keluhan yang muncul banyak berhubungan dengan berkurangnya saliva antara lain rasa kering pada mukosa mulut, termasuk tenggorok dan kesulitan menelan, mengunyah dan bicara. Sebagian pasien melaporkan bahwa untuk mengunyah dan menelan perlu minum, atau is tidak dapat menelan makanan yang kering. Nyeri dan mukosa menjadi peka terhadap makanan yang pedas atau kasar merupakan gejala yang sering dikeluhkan dan mengganggu kenikmatan makan pasien. Universitas Gadjah Mada 11 Sindrom mulut terbakar ( Burning mouth syndrome = BMS ) Sindrom ini memiliki berbagai gejala, beberapa pasien menjabarkannya sebagai rasa terbakar di mulut atau lidah, sedang yang lain mengeluh tentang rasa gatal, panas, nyeri atau bahkan kadang tidak jelas. Oleh karena itu diberbagai bidang disiplin medik dan dental banyak digunakan istilah untuk menyebut gejala tersebut, antara lain ialah glossodynia atau glosalgia untuk menunjukkan nyeri di lidah; glossopirosis menunjukkan sensasi terbakar di lidah. Bila pasien hanya mengalami rasa tidak enak di mulut digunakan istilah lingual disestesia. Jika keluhan letaknya di luar lidah disebut sebagai stomatodinia, stomatopirosis dan oral disestesia. Namun dari segi praktisnya, dengan tanpa memandang lokasi dan jenis keluhannya sangat dianjurkan menggunakan istilah BMS atau sindrom mulut terbakar. Keluhan ini sering muncul bersamaan dengan gangguan mulut yang lain seperti , mulut kering, perubahan persepsi rasa, sulit menelan, gangguan tenggorok bahkan sebagian mengeluh juga mengalami gangguan penciuman. Tidak jarang juga terdapat keluhan gangguan somatik yang lain seperti gangguan pencernaan, sembelit, rasa panas pada jantung, sakit kepala, migrain, gangguan pada punggung dan sebagainya. Sindrom ini dapat terjadi karena sebab-sebab lokal ataupun sistemik. Lesi di mulut seperti candidiasis, eritroplakia, fisur tongue, hairy leukoplakia, hairy tongue, lichen planus sering dikaitkan dengan gejala ini. Bahkan sebagian pasien menganggap perawat an gigi termasuk perawatan saluran akar atau pencabutan gigi dipandang sebagai penyebabnya, sehingga beberapa penderita BMS memohon untuk dicabut satu atau beberapa giginya. Walaupun gaya galvanik yang timbul diantara dua tambalan logam berbeda diduga dapat menimbulkan gejala ini, belum ada bukti ilmiah yang mendukung hipotesa tersebut. Gangguan hormonal (menapause), kelainan darah (anmeia), diabetes, efek samping obat, gangguan neurologik dan psikologik sering dikaitkan dengan timbulnya keluhan ini. Walaupun mekanisme secara rinci belum terungkap, kemungkinan adanya dampak yang saling terkait dengan kondisi-kondisi sistemik tersebut diatas tidak dapat dikesampingkan. Sebagai contoh misalnya neuropati akibat diabetes dapat menimbulkan perubahan sensasi di mulut. Perubahan psikologis yang terjadi pada wanita menapause sebagai salah satu penyebab timbulnya sindrome ini jelas perlu mendapat perhatian. Untuk itu dalam menegakkan diagnosis gangguan ini, pendekatan yang komprehensive baik riwayat maupun kondisi lokal di mulut dan sistemik sangat diperlukan. Halitosis Halitosis atau bau tidak enak di mulut dapat terjadi karena proses fisiologis atau patologis, dan pada sebagian besar kasus gejala ini berlangsung kronis. Bahan-bahan yang menimbulkan bau yang terhisap ke dalam paru saat inspirasi dan akan dikeluarkan pada Universitas Gadjah Mada 12 saat ekspirasi. Peristiwa demikian terjadi misalnya pada saat bau dari makanan / tembakau yang dimakan atau dihisap; atau bila secara patologik balk intraoral atau sistemik terbentuk dan mengeluarkan bau yang masuk ke dalam paru. Sebagian besar halitosis berasal dari mulut, namun kemungkinan dapat juga terjadi karena penyakit sistemik. Bau tidak sedap di mulut disebabkan karena senyawa-senyawa sulfur yang mudah menguap (VSCs) seperti hydrogen sulfide, methylmercaptan, dan dimethyl sulfide. Prekrusor molekul-molekul ini( cysteine, methionine) terdapat di dalam saliva. Mikroorganisme oral yang membentuk VSCs, khususnya gram-negative anaerob banyak terdapat di dorsum lidah dan sulkus gingiva. Bebagai faktor seperti pH saliva alkalis, menurunnya curah saliva, penyakit keradangan ( gingivitis, periodontitis, stomatitis, herpetic gingivostomatitis ) dapat menyebabkan perubahan mikroflora mulut yaitu pergeseran dari popu Iasi gram-positive menjadi gram-negative. "Morning breath" terjadi sebagai akibat hipofungsi kelenjar saliva dan menurunnya efek self-cleansing di mulut selama tidur malam hari. Jaringan nekrotik atau darah di mulut ( infeksi dentoalveoler, periodontal disease dan kanker ) merupakan sumber bau tidak sedap di mulut. Walaupun karies tidak menimbulkan nafas tidak sedap, tertimbunnya sisa makanan dikavitas gigi tersebut dapat menjadi sumber bau tidak sedap di mulut, demikian juga dengan pemeliharaan gigi tiruan yang tidak balk. Obat-obatan, radioterapi dan kemoterapi dapat secara langsung berpengaruh pada mukosa mulut dan menyebabkan bau tidak sedap. Obat-obatan yang sering terkait dengan halitosis umumnya obat yang menghambat curah saliva. Pemakaian kronis kortikosteroid melalui hidung dapat mengganggu keseimbangan flora di saluran nafas yang dapat menimbulkan halitosis. Beberapa penyakit sistemik khususnya penyakit saluran nafas; infeksi gram-negative anaerobe (tuberkulosa, pneumonia), obstruktif (benda asing), kanker paru, terbentuknya pus (empyema, bronchiectasis) semuanya dapat menjadi penyebab halitosis. Hasil metabolik obat atau penyakit sitemik (diabetic ketoacidosis) dan diet ( alkohol, garlic) dapat menyebabkan halitosis. Melalui sistem sirkulasi hasil metabolik tersebut akan masuk ke paru dan dikeluarkan saat ekspirasi. Gangguan gastrointestinal seperti hiatus hernia, reflux gastroesopahageal dan stenosis pylorus dapat menyebabkan halitosis yang sumbernya di lambung. Dan akhirnya, beberapa pasien menderita psikogenik halitosis, yaitu suatu kondisi dimana dari mereka tidak ditemukan halitosis seperti yang mereka yakini ada dan dirasakan (halitophobia). Fenomena demikian sering berhubungan dengan depresi, hypochondiasis, atau schizoprenia. Perlu dicermati bahwa pada beberapa individu dengan gangguan pengecapan dan pembauan merasakan perubahan yang mereka alami tersebut sebagai halitosis. Universitas Gadjah Mada 13 2.6 Lesi Sebagian besar penyakit menyebabkan perubahan morfologi dan fungsi. Manifestasi obyektif yang menunjukkan perubahan morfologi khas pada jaringan disebut sebagai lesi. Karena beberapa lesi mempunyai penampilan klinis yang khas maka pemeriksaan yang akurat sangat diperlukan. Untuk menggambarkan penampilan klinis dan untuk mengkomunikasikan lesi tersebut dengan klinisi yang lain, umumnya digunakan terminologi dermatologik. Karena banyak keiainan di mukosa mulut juga terdapat di kulit atau sebaliknya, maka untuk diagnosis lesi oral pengetahuan dasar dermatologik sangat diperlukan. Pada umumnya lesi dermatologik dikelompokkan sebagai lesi primer dan lesi sekunder, keduanya merupakan salah satu kunci diagnostik untuk penyakit kulit. Lesi primer merupakan perubahan awal kulit yang belum mengalami evulosi natural atau perubahan akibat manipulasi. Termasuk disini ialah makula, papula, nodula, vesikel, pustula, wheals, purpura dan telengiectasia. Sedang lesi sekunder merupakan lesi primer yang telah mengalami evolusi natural, atau berubah akibat manipulasi. Diagnosis sebagian besar penyakit mulut umumnya didasarkan pada pengenalan terhadap lesi, tetapi karena adanya trauma mastikasi, maserasi, gerakan otot atau jaring an, maka bentuk perubahan awal lesi primer tidak dapat dipertahankan dalam waktu yang lama sehingga lesi di mulut lebih sering dijumpai sebagai lesi sekunder. Oleh karena itu untuk diagnosis lesi di mulut berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan tersebut harus dipertimbangkan, dan penelusuran melalui riwayat terjadinya lesi sangat membantu dalam mengungkap bentuk lesi primernya. 2.6.1 Lesi primer Makula Menunjukkan perubahan jaringan dengan batas tegas, permukaan datar sesuai dengan bagian yang normal. Bentuk, warna dan ukurannya bervariasi mulai sebesar kepala jarum sampai beberapa milimeter . Warna bervariasi dari merah, coklat ke putih. Jika berasal dari jaringan vaskuler akan berwarna merah dikenal dengan makula eritematosa. Karena perdarahan dalam jaringan ( petechiaae dan ecchymosis ) akan tampak merahcoklat. Makula berpigmen dapat bersifat fisiologis ( epelides, melanosis ) atau patologis seperti pada penyakit Adisson dan intestinal poliposis ( Peutz Jehger's syndrome ) Papula Lesi padat, permukaan lebih tinggi dari sekitar, batas tegas dengan ukuran < 1 cm. Bentuk permukaan dapat datar, konus, atau sirkuler, dengan warna merah, kuning, putih dan merah pucat. Papula di mulut sering dijumpai pada lichen planus, permukaan lesi dapat mengalami Universitas Gadjah Mada 14 erosi sehingga mukosa tertutup epitel yang lembab. Baik pada papula atau makula dapat disertai dengan gejala-gejala gatal, rasa terbakar atau sakit. Nodula Lesi padat hampir sama dengan papula tetapi ukurannya lebih besar ( >5 atau 10 mm), kedudukannya meluas lebih dalam melibatkan jaringan submukosa. Kelainan demikian dapat terjadi karena trauma, atau mungkin berhubungan dengan rheumatoid arthritis, lepra atau sifilis, atau suatu fibroma. Vesikel Lesi berbatas tegas dengan permukaaan lebih tinggi dengan sekitarnya, didalamnya berisi cairan jernih dengan ukuran < 5 mm, dapat tunggal atau jamak. Jika ukurannya LI 5 mm disebutr sebagai bulla (blister). Karena dinding permukaan luarnya tipis lesi ini mudah ruptur. Kelainan demikan sering dijumpai pada stomatitis herpetik primer, atau infeksi virus lain seperti herpes simpleks, herpes varisela-zoster, pemphigus, Bechet's syndrome, Steven Johnson's syndrome atau akibat trauma Pustula Merupakan lesi permukaannya menonjol di dalamnya berisi nanah atau pus. Ini terjadi sebagai akibat perkembangan infeksi atau seropurulent dari vesikel atau buliae. Dapat terjadi karena impetigo, folliculitis, furuncles, carbuncles, pustular miliaris, dan pustular psoriasis. Tumor Merupakan istilah klinis yang dipakai untuk menyebut benjolan atau nodula yang ukurannya besar (Q 20 mm ). Kelainan ini dapat merupakan suatu neoplasma atau lesi reaktif. Dasar kelainan dapat sessile (melekat dengan dasar yang lugs) atau pedunculated (bertangkai). Jika lesi ini menyerupai polip ( benjolan bertangkai dengan permukaan halus ) pada permukaan mukosa sering disebut dengan lesi polipoid. Sedang jika ciri permukaanya tidak rata atau kasar menyerupai papilloma disebut lesi papilomatous. Keratosis Menunjukkan penebalan abnormal permukaan luar epitel mukosa. Di mulut sering terjadi pada fokal hiperkeratosis, lichen planus, leukoplakia. 2.6.2 Lesi sekunder Erosi, Permukaan luar epitel mukosa yang terlepas, dapat terjadi sebagai kelanjutan vesikel yang pecah. Erosi di mulut biasanya tampak lembab, atau tertutup oleh epitel permukaaan yang nekrotik. Perubahan mukosa tersebut dapat terlihat pada erosive lichen planus, desquamatic gingivitis atau luka traumatik. Universitas Gadjah Mada 15 Fissure Merupakan celah atau alur-alur pada peremukaan epitel, dapat patologis atau normal. Daerah sekitar lesi sering mengalami radang, keadaan ini sering dijumpai pada daerah mukokutaneus junction bibir, misalnya pada kasus anguler cheilitis, ragade sifilis dan scrotal tongue. UIkusss Pada lesi ini lapisan epitel mukosa rusak bahkan dapat melibatkan lapisan mukosa di bawahnya. Tepi ulkus dapat datar, undermine, berbentuk kerucut, sedang dasarnya dapat granuler, halus mengkilat, tertutup darah atau nanah. Perlu diperhatikan bahwa ulkus di mulut dapat terjadi karena sebab-sebab lokal atau sistemik. Di mulut sering dijumpai pada kasus ANUG, herpeticgingivostomatitis, herpes simplek, trauma atau karsinoma. Pseudomembran Terbentuk sebagai akibat radang peudomembranous karena bahan-bahan nekrotoksik. Hilangnya permukaan epitel akan disertai eksudasi plasma ke permukaan mukosa yang rusak, dan menggumpal bersama dengan epitel nekrotik yang terperangkap fibrine. Keadaan ini dijumpai pada ANUG, diptheri. Eschar Merupakan masa jaringan nekrotik pada permukaan mukosa yang terjadi akibat terbakar atau terkena bahan-bahan korosive. Dibawah jaringan nekrotik tersebut terdapat ulserasi. Sering terjadi di mulut misalnya pada aspirin eschar, phenol eschar. Desquamasi Merupakan pengelupasan dan penumpukan epitel yang melibatkan lembaran lapisan epitel yang luas. lni sering terjadi akibat radang. Krusta Kumpulan eksudat atau sekret yang telah mengering, biasanya menutup permukaan luka. Sinus Merupakan saluran yang berasal dari cavitas supuratif seperti kista atau abses yang menuju ke permukaan mukosa atau kulit. Pada regiao leher dan kepala sinus sering dijumapai sebagai akibat infeksi odontogen atau kelainan kongenital. Aktinomikosis dan tuberkulosa pada kelenjar limfe di leher sering disertai dengan sinus yang multiple. Universitas Gadjah Mada 16