Universitas Gadjah Mada 1 Konsep Dasar Penyakit

advertisement
2
Konsep Dasar Penyakit
Pada waktu kerja klinik khususnya bagi pemula tidak jarang terjadi keraguan, karena
pemahaman mengenai penyakit yang diperoleh dalam kuliah tidak sesuai dengan
kenyataan di klinik. Apa yang mereka pahami sebagai penyakit mungkin hanya akan
nampak sebagai suatu perubahan atau penyimpangan dari keadaan normal atau bahkan
mungkin abstrak. Perlu dicermati bahwa sebagian besar temuan klinis yang diperoleh dari
seorang pasien sebenarnya bukanlah suatu penyakit ( disease ), melainkan manifestasi
atau perwujudan klinis dari suatu penyakit ( illness ). Pada waktu bekerja di klinik akan
selalu diperhadapkan pada kedua unsur tersebut, oleh karena itu pemahaman mengenai
konsep dasar penyakit kiranya dapat memberikan wawasan lebih luas untuk mengenali
kedua fenomena klinis tersebut.
2.1 Penyakit.
Penyakit dapat didifinisikan sebagai perubahan dalam individu yang menyebabkan
parameter kesehatan mereka berubah diluar batas-batas normal. Tolok ukur biologis yang
paling tepat untuk batas-batas normal ini sudah tentu berkaitan dengan kemampuan
individu untuk dapat mempertahankan homeostasis atau keseimbangan dinamis tubuh.
Pada umumnya penyakit tidak melibatkan bentuk kehidupan baru secara lengkap tetapi
lebih merupakan perluasan atau distorsi dad proses-proses kehidupan normal yang ada
pada individu. Persepsi subyektif seseorang tentang penyakit ban-yak dihubungkan
dengan keterbatasan kemampuannya untuk melakukan kegiatan sehari-hari dengan
nyaman.
Sebagai contoh misalnya pada kasus penyakit menular infeksi HSV-1; secara
harafiah tubuh diinvasi virus HSV-1 tetapi virus ini sendiri bukan merupakan penyakit,
hanya berperan menimbulkan perubahan pada subyek yang akhirnya diwujudkan sebagai
penyakit. Jadi, penyakit sebenarnya adalah sejumlah proses fisiologis yang sudah berubah.
Agar dapat memahami dan mengobati penyakit itu secara memadai, maka identitas
proses-proses normal yang dipengaruhi, sifat-sifat gangguan, dan akibat sekunder dari
gangguan tersebut terhadap proses vital yang lain hares dipertimbangkan. Sebagian besar
penyakit mempunyai seperangkat kriteria yang memungkinkan untuk lebih dimengerti,
dikelompokan dan didiagnosis. Namun demikian untuk beberapa jenis penyakit belum
sepenuhnya terungkap secara rinci, bahkan masih merupakan subyek yang masih
dipertentangkan. Seperangkat kriteria dari suatu penyakit antara lain dapat meliputi:
etiologi, patogenesis, manifestasi, komplikasi, prognosis, dan epidemiologi.
Universitas Gadjah Mada
1
2.2 Etiologi
Etiologi memberikan penjelasan mengenai penyebab suatu penyakit yang mencakup identifikasi berbagai faktor seperti: genetik, agen infeksi, bahan kimia, radiasi,
trauma, dll. Seperti contoh pada infeksi menular diatas terlihat disitu bahwa etiolgi infeksi
tersebut adalah HSV-1. Perlu dicermati bahwa penyebab suatu penyakit tidak selalu
tunggal tetapi dapat lebih dad satu bahkan dapat multifaktorial melibatkan berbagai
interaksi antara host dengan lingkungannya. Sebagai contoh misalnya karies gigi; untuk
terjadinya karies dentis memerlukan interaksi hospes (gigi dan air ludah) dengan agent
(bakteri) dan enviroment ( makanan ).
Penyebab suatu penyakit kadang-kadang belum diketahui, tetapi penyakit terse-but
sering berjangkit pada sekelompok individu dengan ciri-ciri tertentu seperti umur, pekerjaan,
kebiasaan atau mungkin tempat tinggal, ini semua disebut sebagai faktor resiko. Faktor
demikian kemungkinan hanya memberikan arahan kepada penyebab yang belum
teridentifikasi, atau mungkin hanya memfasilitasi berkembangnya penyakit pada individu
yang bersangkutan. Sebagai contoh misalnya kondisi malnutrisi yang mempermudah
terjadinya infeksi. Untuk menyebut penyakit yang etiolgi belum jelas, sering digunakan
istilah tambahan seperti: primer, idiopathic, esensial atau spontan. Walaupun sebutannya
berbeda maksud digunakan istilah tersebut adalah sama ( misalnya: hipertensi esensial,
hipertensi primer, pneumotorak spontan, idiopathic bone cavity atau idiopathic facial pain ).
2.3 Patogenesis
Patogenesis penyakit ialah mekanisme yang mejelaskan perjalanan perkembangan
suatu penyakit, termasuk terjadinya perubahan-perubahan struktur atau fungsi, tanda gejala
klinis dan patologis yang dapat melibatkan proses radang, degenerasi, karsinogenesis atau
reaksi immun. Sebagai contoh misalnya patogenesis infeksi HSV-1 seperti terlihat dalam
bagan pada gambar berikut ini ( Gb.1-2)
Universitas Gadjah Mada
2
Gambar 2-2 . Patogenesis infeksi HSV di mulut
Mengacu contoh infeksi di atas maka penjelasan atas patogenesis infeksi HSV-1 di mulut
dapat terlihat mekanisme penularannya yaitu melalui kontak langsung dengan virus HSV-1,
dengan manifestasi primer sebagai gingivostomatitis akut. Melalui analisis demikian dapat
dijelaskan tahapan perkembangan lanjut virus tersebut di dalam tubuh, termasuk reaktivasi
virus atau terjadinya kekambuhan yang akan manifestasi balk dalam bentuk perubahan
serologik ataupun sebagai tanda dan gajala klinis penyakit.
Walaupun pada tahap awal perkembangan suatu penyakit belum menunjukkan
perwujudan nyata secara klinis, sejumlah perubahan proses biologik kadang telah dapat
dideteksi dengan analisa laboratorium. Tahapan perkembangan demikian dikenal sebagai
stadium subklinis. Disisi lain harus juga diperhatikan bahwa kebanyakan struktur dan fungsi
organ menyediakan cadangan dengan batas keamanan yang besar, sehingga gangguan
fungsi baru dapat jelas jika sudah terjadi perubahan struktural atau anatomis yang sudah
lanjut.
2.4 Prognosis
Merupakan perkiraan terhadap apa yang telah diketahui atau terhadap perjalanan suatu
penyakit. Prognosis setiap penyakit dipengaruhi oleh tindakan medik atau perawatan. Oleh
karena itu harus dibedakan antara prognosis penyakit yang telah mendapat perawatan
dengan prognosis tanpa perawatan atau yang sesuai dengan perjalanan alamiah penyakit.
2.5 Manifestasi Penyakit
Penyakit tidak statis tetapi bersifat dinamis, oleh karena itu spektrum perwujudan
klinis sangat bervariasi sehingga manifestasi penyakit pada penderita dapat berubah setiap
Universitas Gadjah Mada
3
saat. Karena melibatkan berbagai variasi biologis dan etiologi yang berbeda, maka dapat
dipahami kiranya bahwa untuk penyakit (disease) tertentu dapat menimbulkan beragam
bentuk manifestasi klinis (illness). Sebaliknya untuk manifestasi klinis tertentu dapat
ditimbulkan oleh berbagai penyakit. Pemahaman mengenai adanya interaksi dinamis
penyakit dengan beragam perwujudan klinis demikian merupakan bekal penting dalam
mengenali dan identifikasi berbagai kasus klinik.
Secara umum manifestasi klinis penyakit yang beragam dapat dikelompokan dalam
signs dan symptoms. Symptoms adalah manifesatsi subyektif atau gejala penyakit; yaitu
segala sesuatu yang dirasakan pasien berkaitan dengan keluhannya misalnya nyeri,
demam, nafas pendek, perdarahan, atau lemas. Signs adalah manifestasi obyektif atau
tanda penyakit; yaitu sesuatu yang menyebabkan perubahan struktur atau fungsi dan
umumnya dapat dilihat dengan mata telanjang. Perubahan demikian dapat teramati dalam
perubahan bentuk, warna, ukuran. kepadatan, hubungan, jumlah dan sebagainya. Perlu
dicermati bahwa manifestasi penyakit di mulut baik subyekstif dan atau obyektif dapat
disebabkan karena karena faktor lokal di mulut atau faktor sistemik atau kombinasi
keduanya.
Ditinjau dari aspek tugasnya di bidang pelayanan kesehatan, maka dokter gigi
mempunyai tanggung jawab profesional dan moral untuk mempelajari keadaan kesehatan
umum pasien sebelum memberikan perawatan dental. Pengetahuan demikian akan
menjadi salah satu dasar pertimbangan dalam melakukan pemeriksaan dan perawatan
pasien. Penekanan terhadap pentingnya evaluassi manifestasi kardinal penyakit disini
dimaksudkan untuk selalu mengakaitkan tanda dan gejala penyakit di semua bagian tubuh
yang berhubungan atau kemungkinan berhubungan dengan penyakit oral. Perlu dipahami
bahwa maksud evaluasi manifestasi kardinal penyakit ini bukan untuk menentukan
diagnosis medik tetapi untuk asesmen fisik atau evaluasi kesehatan umum pasien
sehingga dokter gigi sadar untuk:

selalu mempertimbangkan adanya penyakit sistemik yang relevan dengan
perawatan di mulut

melakukan tindakan profilaksis atau pencegahan khusus demi keselamatan pasien
dan dokter

menentukan kemungkinan perawatan terbaik bagi pasien dengan penyakit sistern ik

mendapatkan alasan kuat dan benar untuk melalukan konsultasi medik dan menentukan diagnosis penyakit oral
Mengacu pada tujuan tersebut di atas, indikasi evaluasi manifesatsi kardinal penyakit
sangat tergantung pada jenis penyakit maupun prosedur perawatan dental yang akan
diberikan. Namun harus diingat bahwa hubungan antara penyakit oral dengan penyakit
sistemik tidak selalu nyata dan karena kebutuhan untuk dilakukannya evaluasi penyakit
Universitas Gadjah Mada
4
sistemik tidak selalu jelas maka dalam setiap pemeriksaan pasien harus dilakukan pemeriksaan dasar medik.
Manifestasi kardinal penyakit dapat berupa: nyeri, demam, kelemahan, nafas
pendek, gangguan sirkulasi, perubahan berat badan, oligouri, poliuri, anemia, edema,
perdarahan, penurunan berat badan, limfadenopati xerostomia, syndrom mulut terbakar,
halitosis dan sebagainya.

Nyeri ( Pain )
Nyeri merupakan salah satu gejala yang menonjol dalam berbagai penyakit, namun karena
kompleksitas dan keunikan pengalaman nyeri pada seorang individu tidak jarang
menimbulkan masalah dalam penilaian maupun pemahamannya di klinik. Beberapa ahli
memberikan difinisi nyeri sebagai suatu pengalaman sensoris dan emosional tidak
menyenangkan yang berhubungan dengan kondisi-kondisi yang aktual atau potensial
dengan kerusakan. Oleh karena nyeri merupakan sensasi yang selalu tidak menyenangkan
maka faktor emosional banyak berperan. Tidak ada cara khusus untuk membedakan nyeri
karena kerusakan jaringan dengan nyeri tanpa kerusakan jaringan yang nyata. Oleh karena
itu maka kedua jenis sensasi tersebut harus diterima sebagai suatu nyeri.
Karena bersifat subyektif maka perlu diupayakan agar pasien dapat secara obyek
tif menggambarkan keadaan yang dirasakan menganggu, sehingga reaksi terhadap nyeri
secara lengkap dapat dipisahkan dengan diskripsi sensasi nyeri yang sebenarnya.
Keadaan demikian sangat membantu pemeriksa untuk dapat lebih lengkap melakukan
jenis dan lokasi nyeri yang sesungguhnya. Contoh: pasien yang dapat mengatakan bah wa
nyeri yang dirasakan berhubungan dengan gigi molar bawah saat menggigit; lebih mudah
dievaluasi daripada seluruh ungkapan reaksinya terhadap nyeri.
Diagnosis nyeri harus herlandaskan pertimbangan anatomi, fisiologi dan psikologi. Secara klinis kualitas nyeri dapat dibedakan ringan ( bright ), tajam seperti tertusuk (
pricking ), panas seperti terbakar ( burning ), dalam dan menetap (deeper—felt aching ).
Bright, pricking dan burning merupakan tipe nyeri yang banyak berkaitan dengan stimulasi
merusak di permulcaaan tubuh. Bright dan pricking dihantarkan oleh syaraf tebal,
bermyeline dan konduksinya cepat, sedang burning dihantarkan oleh serabut kecil dan
konduksi lama. Sebagai contoh: tusukan sonde tajam pada gusi akan menimbulkan nyeri
tajam dan mendadak ( pricking ), dan untuk beberapa saat berikutnya akan diikuti nyeri
tumpul lambat ( burning ).
Disamping kualitas, intensitas nyeri juga bervariasi. Nyeri dari bagian dalam biasanya lebih difus dan bertahan lama dan cenderung menyebar sehingga lokasinya sulit
ditentukan, bahkan tidak jarang nyeri pada satu tempat dialihpindahkan kepermukaan
tubuh yang lain. Misalnya nyeri karena pulpitis gigi rahang bawah dirasakan pasien sebagai
Universitas Gadjah Mada
5
nyeri pada gigi rahang atas. Nyeri superfisial umumnya lebih terlokalisir, sesuai dengan
jumlah organ perasa yang ada serta frekuensi daerah tersebut terkena rangsangan. Organ
perasa biasanya berkembang bagus pada tangan, bibir, karena disamping jumlahnya
organ perasa daerah ini banyak dilatih untuk identifikasi obyek. Nyeri sentral yang terjadi
karena lesi di thalamus atau traktus spinothalamus bisanya konstan atau kambuhan dan
lokasinya tidak jelas. Tidak jarang terjadi dysesthesia terhadap sentuhan, yaitu keadaan
yang pada kondisi normal tidak nyeri berubah menjadi terasa nyeri sekali Pasien demikian
biasanya mengeluh nyeri tanpa disertai kelaianan organik yang nyata. Namun demikian
juga perlu dicermati bahwa nyeri dapat dipermudah oleh karena pusat nyeri di otak menjadi
hypersensitif setelah terjadi stimulasi yang berulang-ulang. Sebagai contoh misalnya pada
pasien dengan gigi pulpitis mungkin masih akan tetap merasakan nyeri walaupun giginya
telah dicabut.
Nyeri di daerah orofasial dapat dikelompokan sebagai nyeri somatik, neurophatic
dan nyeri psikogenik. Nyeri somatik terjadi akbat rangsangan yang merusak pada jaringan
syaraf normal dan oleh karenanya dipandang sebagai nyeri yang "normal". Nyeri
odontogenik yaitu nyeri yang berasal dari gigi merupakan salah satu contoh nyeri somatik.
Nyeri neuropatik adalah nyeri yang berasal dari jaringan syaraf yang abnormal balk dalam
transformasi maupun morfologinya. Akibat adanya gangguan pada jaringan syaraf
demikian, maka suatu rangsangan yang semula tidak menyakitkan, dirasakan sebagai
rangsangan yang menyakitkan. Contoh nyeri demikian ialah pada Trigeminal neuralgia.
Pemicu atau provokasi nyeri dapat berupa rangsangan ringan ( seperti sentuhan lembut,
sikat gigi, atau gerakan mencukur kumis atau jenggot ) akan menyebabkan nyeri yang
hebat sekali diluar yang diperkirakan. Nyeri psikogenik sering berhubungan dengan nyeri
kronis dan konstan tanpa penyebab yang jelas. Jarang dirasakan sebagai nyeri yang akut,
terjadinya multiple, nyeri bilateral atau bahkan berpindah-pindah dan respon terhadap
perawatan sulit diperkirakan.
Nyeri Somatik nyeri dapat disubklasifikasikan sebagai nyeri superfisial nyeri dalam
(deep). Nyeri superfisial berasal dari kulit atau mukosa besifat tajam dan letaknya mudah
ditentukan. Contoh: nyeri pada stomatitis apthosa atau ulkus di mulut. Nyeri dalam berasal
dari struktur yang lebih dalam, biasanya tumpul, menjemukan atau bahkan melemahkan
semangat, lokasinya sulit ditentukan dengan tepat. Nyeri dalam lebih Ian-jut dapat
diklasifikasi sebagai nyeri muskuloskeletal ( berasal dari tulang, sendi atau otot dan
ligament periodontal) atau nyeri visceral ( berasal dari pembuluh darah, kelenjar, traktus
gastrointestinalis dan dari pulpa gigi). Nyeri muskuloskeletal lokasinya cenderung mudah
ditentukan daripada nyeri visceral. Berdasarkan klasifikasi tersebut maka nyeri odontogenik
dapat bersifat sebagai nyeri muskuloskeletal (ligament periodontal) dan nyeri visceral
(pulpa gigi).
Universitas Gadjah Mada
6
Nyeri merupakan masalah yang sering dijumpai di klinik gigi. Walaupun sebagian
besar nyeri tersebut berasal dari gigi (odontogen) perlu dicermati bahwa kemungkinan
bukan berasal dari gigi (non-odontogen) tidak dapat dikesampingkan. Bila sumber nyeri
odontogen tidak dapat diidentifikasi atau berdasarkan riwayat dan gambaran klinisnya tidak
sesuai dengan nyeri odontogen maka berbagai kemungkinan nyeri nonodontogen lainnya
perlu dipertimbangkan. Untuk lebih memudahkan pemahaman mengenai berbagai
kemungkinan sumber atau asal nyeri dapat dilihat pada bagan di halaman berikut.

Nyeri Kepala
Nyeri kepala merupakan istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan keluhan atau
pengalaman nyeri didaerah kepala. Untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap
mengenai gejala ini perlu didiskripsi mengenai kualitas, lokasi, intesitas dan fenomena lain
yang terkait. Nyeri kepala yang tajam dengan lokasi yang dapat ditentukan umumnya
berasal dari lesi di daerah muka atau neuralgia. Jika sumber nyeri dari dalam kepala dapat
terjadi karena tarikan, regangan atau dilatasi pembuluh di kepala, radang atau perubahan
struktur lain yang peka nyeri atau tekanan langsung dari tumor. Penyebab yang berasal dari
luar kepala antara lain karena kontraksi otot-otot penahan kepala dan leher, radang atau
dilatasi arteri ektrakranial.
Universitas Gadjah Mada
7
Oleh karena hampir setiap orang pernah mengalami gejala ini maka frekuensi
serangan perlu dicermati. Jika nyeri tersebut hanya berlangsung satu atau dua kali sebuIan
umumnya kurang bermakna. Dalam bidang kedokteran gigi penting untuk diperhatikan jenis
nyeri kepala yang berkaitan dengan rangsangan pada gigi. Walaupun mungkin jarang
terjadi, secara klinis mempunyai arti penting. Nyeri kepala yang berhubungan dengan gigi
dan berkepanjangan dapat dikelompokan dalam dua jenis yaitu; (1) disebabkan karena
eksitasi dan perluasan sentral pengalaman nyeri di jaringan yang di inervasi syaraf
trigeminal beserta cabang-cabangnya, dan (2) disebabkan oleh kontraksi otototot yang
menahan kepala dan leher sebagai akibat sekunder dari stimulasi yang merusak pada gigi.
Nyeri kepala akibat stimulasi pada gigi umumnya dapat dihilangkan dengan memberikan
anastesi lokal pada gigi yang terlibat, sedang jika nyeri yang berhubungan dengan kontraksi
otot-otot kepala dan leher tidak akan terpengaruh.
Nyeri karena ketegangan otot-otot ( tension headache) lokasinya dapat didaerah
frontal atau oksipital, dan setelah tidur biasanya gejala tersebut berkurang atau hilang.
Sedang nyeri kepala akibat hipertensi biasanya dirasakan di daerah oksipital dan sering
disertai dengan gangguan penglihatan. Nyeri kepala unilateral terutama yang di daerah
temporal tidak menutup kemungkinan berhubungan dengan gangguan pada sendi rahang (
TMJ ) atau spasme otot-otot mastikasi.

Kelemahan ( Weakness)
Istilah ini sering digunakan pasien untuk menggambarkan berbagai keluhan, namun karena
sifat keluhan tersebut terlalu umum maka makna diagnostiknya menjadi kurang jelas. Untuk
itu perlu diformulasikan ke dalam istilah yang lebih spesifik seperti asthenia, lassitude atau
faintness. Kelemahan yang telah berlangsung lama sering ditandai adanya kekurangan
energi, lesu dan keletihan yang tidak semestinya. Keadaan ini dapat disebabkan oleh
hampir semua jenis penyakit yang serius atau gangguan emosional. Tumor ganas, infeksi
kronis terselubung, anemia, gangguan metabolik dan endokrin serta difisiensi nutrisi dapat
menyebabkan kelesuan atau lassitude. Asthenia ditandai khas terjadinya kelemahan otototot yang menyeluruh, sering terjadi pada usia lanjut, anemia yang berat, defisiensi nutrisi,
penyakit kelenjar tiroid, gangguan sistem lokomotor atau endokrine ( Addison's disease )
Perlu diperhatikan bahwa gejala demikian juga banyak dijumpai pada penderita
dengan gangguan emosi atau fisik yang berat, oleh karena itu dalam evaluasi astenia perlu
dianalisis dengan gejala-gejala lain yang terkait. Tidak jarang pasien mengeluh mengalami
kelemahan yang kambuhan, untuk itu maka disamping tanda dan gejala riwayat yang
berhubungan dengan terjadinya serangan sangat diperlukan. Kelemahan atau bahkan
sinkope yang berulang dapat disebabkan karena gangguan emosional, hipoglikemi,
hipotensi postural, gangguan irama jantung. Riwayat tentang hilangnya kesadaran atau
Universitas Gadjah Mada
8
pingsan yang kambuhan disertai dengan gerakan-gerakan abnormal membed kecurigaan
pada epilepsi. Terdapatnya jaringan parut pada lidah, bibir atau mukosa pipi akibat gigitan
waktu serangan memberika informasi lebih lengkap. Pemakaian obit sodiumdilantin pada
penderita epilepsi sering menyebabkan hyperplasi gusi.

Dispnea
Merupakan sensasi subyektif berkaitan dengan perasaan respirasi yang tidak adekuat.
Dyspnea biasanya tidak terjadi pada waktu istirahat, gejala ini dapat muncul pada aktifitas
berat yang memerlukan banyak tenaga, obesitas, usia lanjut, atau pada latihan fisik
tertentu. Dispnea yang berkaitan dengan kondisi patologik dapat terjadi pada penyakit
jantung, paru dan penyakit darah. Sumbatan jalan nafas karena asthma bronchiale dan
neoplasma juga menyebabkan dyspnea. Dispnea kardiak terjadi secara khas pada pengerahan tenaga, sebagai akibat kenaikan tekanan akhir diastolik dari ventrikel kiri yang
meningkatkan tekanan vena pulmonalis. Untuk itu dalam evaluasi gejala ini perlu ditinjau
sistem-sistem yang lain serta aktifitas-aktifitas yang mempengaruhinya. Dyspnea kardiak
yang sudah parah dapat timbul pada scat istirahat.

Palpitasi
Palpitasi sering diartikan sebagai keadaan detak nadi yang disadari tidak seperti
biasanya. Kecuali pada aritmia jantung gejala ini biasanya kurang mempunyai arti penting.
Namun oleh pasien gejala ini sering dikaitkan dengan kemungkinan adanya gangguan
jantung. Kecemasan yang berhubungan dengan paslpitasi khususnya pada individu yang
sebelumnya telah dinyatakan mempunyai gangguan jantung, mempunyai arti psikologis
penting bagi pasien tetapi sering membingungkan dokternya. Palpitasi yang berkaitan
dengan latihan fisik berat terutama bagi mereka yang jarang melalukan latihan fifik
merupakan keadaan fisiologis. Untuk itu pasien diminta menjelaskan secara tepat keluhan
yang dirasakan apakah paslpitasi tersebut lambat atau cepat, teratur atau tidak, dan berapa
lama gejala tersebut berlangsung. Palpitasi jantung dapat disebabkan karena gangguan
mekanisme detak jantung akibat kelainan organis atau fungsional diluar sistem sirkulasi
misalnya tirokortikosis, anemia, hipoglikemi, dan konsumsi kopi, rokok dan obat tertentu.
Gejala penting yang terkait seperti nyeri dada atau pingsan sangat penting.

Tekanan darah
Tekanan darah umummya dapat diketahui dari hasil pemeriksaan klinis melalui anamnesis
atau pemeriksaan fisik. Hipertensi merupakan manifestasi simptomatik kondisi abnormal
pembuluh darah yang terjadi karena gangguan pada ginjal, endokrine, arteriosklerosis dan
faktor psikologis. Beberapa faktor seperti umur, jenis kelamin, suku dan berat badan harus
Universitas Gadjah Mada
9
dipertimbangkan. Sesuai dengan AHA ( American Heart Association) diagnosis hypertensi
positif bila terjadi kenaikan tekanan darah yang konsisten diatas 140/90 mmHg. Perlu
dicermati bahwa hipertensi umumnya berkembang tanpa gejala nyata pada usia antara 30
-45 tahun. Pada individu tertentu khususnya yang mempunyai predesposisi hipertensi,
kenaikan tekanan darah dapat terjadi akibat faktor kejiwaan, seperti marah, frustasi, cemas
dan rangsangan emosional yang lain. Geajala klinis yang menyertai hipertensi antara lain
nyeri kepala, vertigo, hemioptisis dan epitaksis. Hipertensi yang berkepanjangan dapat
mengakibatkan kerusakan pada jantung, ginjal, otak dan pembuluh darah.
Berbeda dengan hipertensi, penderita hipotensi umumnya kurang mendapat
perhatian. Namun perlu dicermati bahwa pasien hipotensi mempunya resiko terjadinya
sinkope pada perawatan dental. Hipotensi dapat terjadi karena perdarahan, stroke, atau aki
bat sekunder pemakaian obat penenang.

Perdarahan
Merupakan manifestasi kardinal penyakit karena disfungsi vaskuler, fragilitas pembuluh,
gangguan mekanisme pembekuan darah atau cidera pada pembuluh. Sebagian besar
perdarahan rongga mulut lebih sering berhubungan dengan radang gusi daripada akibat
kelainan pembekuan darah. Perlu diperhatikan bahwa perdarahan di mulut yang sering
dihubungkan dengan perdarahan gusi tersebut dapat merupakan salah satu manifestasi
penyakit sistemik yang dampaknya dapat membahayakan jiwa.
Purpura merupakan salah satu mabnifestasi perdarahan ditandai dengan ekstravasasi darah ke kulit atau mukosa sebagai pethechie atau ecchymosis. Purpura di
mulut sering dijumpai sebagai akaibat trauma dan kondisi demika mudah terlihat di palatum
molle akibat batuk atau trauma makanan keras atau tajam. Penyakit darah seperti
leukemia, anemia, infeksi subakut bakterial endokarditis dan gangguan pada limfa dapat
menyebabkan purpura di daerah mulut. Perdarahan yang berlebihan pasta skating atau
pasta cabut dapat berkaitan dengan gangguan fakator-faktor pembekuan darah. Menurunnya jumlah trombosit balk secara kulitatif atau kuantitaif, fibrinogen, intoksikasi obat,
penyakit hati dan pemakian obat antikoagulant perlu dipertimbangkan. Sebelum melakukan
tindakan dental, riwayat perdarahan dan penelusuran tanda gejala kecenderungan
perdarahan harus dilakukan.

Limfadenopati
Kelenjar limfe mempunyai dua fungsi utama, yang pertama ialah untuk menangkap dan
membersihkan benda asing dalam aliran limfe dan fungsi kedua berperan penting dalam
respon immun. Perlu disadari bahwa kurang lebih sepertiga kelenjar limfe tubuh terletak di
Universitas Gadjah Mada
10
daerah kepala dan leher, oleh karena itu tidak mengherankan jika kelenjar limfe servikofacialis menjadi tanda penting untuk penyakit sistemik tertentu.
Limfadenopati atau pembesaran kelenjar limfe dapat terjadi karena infeski, neoplasma atau penyakit yang lain. lnfeksi piogenik pada tenggorok, hidung, telinga, kulit
kepala dan gigi geligi sering disertai dengan limfadenopati di daerah servikal, disamping itu
juga tuberkulosis dan sifilis tahap primer. Perlu diperhatikan bahwa beberapa infeksi
sistemik (infeksi mononukleosis, EBV) dan toxoplasmosis tidak jarang disertai dengan
limfadenopati servikal. Pembesaran kelenjar limfe dapat terjadi akibat metastase tumor
ganas atau tumor jaringan retikuler ( limfoma, leukemia ).

Xerostomia
Perasaan subyektif mulut terasa kering di kenal sebagai Xerostomia. Xerostomia bukan
suatu diagnosis atau penyakit melainkan gejala atau kumpulan gejala. Istilah ini sering
dipakai untuk menyebut berbagai keluhan pasien yang berhubungan dengan mulut kering.
Perlu diingat bahwa pasien yang mengeluh mulutnya kering tidak dapat secara otomatis
dinyatakan disfungsi kelenjar saliva. Kondisi demikian dapat disebabkan oleh berbagai
faktor yang lain. Mengingat disfungsi kelenjar saliva mempunyai resiko berbagai komplikasi
penyakit oral dan sistemik maka perlu pemeriksaan obyektif untuk identifikasi masalah
pokok yang dihadapi pasien, sehingga perawatan yang tepat dapat segera di beri kan.
Sejumlah penyebab lain yang perlu dipertimbangkan pada keluhan mulut kering
misalnya dehidrasi. Walaupun dehidrasi dapat berpengaruh sekunder terhadap curah
saliva, kekurangan cairan tubuh dapat mempengaruhi kebasahan mukosa, sehingga
menimbulkan perubahan persepsi mukosa terasa kering. Perubahan kognitif central dan
gangguan sensoris oral dapat berperanan untuk terjadinya sensasi mulut kering.
Disamping itu kondisi psikologis juga tidak dapat dikesampingkan sebagai penyebab kelainan ini. Riwayat penggunaan obat-obatan, perawatan radiasi, dan penyakit sistemik
seperti; Sjogren's syndrome, Granulomatous diseases (sarcoidosis, tuberculosis), Graftversus-host disease, Cystic fibrosis, Bell's palsy, Diabetes, Amyloidosis, HIV-AIDS,
penyakit Thyroid dan penyakit hati tahap lanjut sangat diperlukan.
Deferensial diagnosis xerostomia dan disfungsi kelenjar nampaknya masih memerlukan penelusuran yang panjang. Keluhan yang muncul banyak berhubungan dengan
berkurangnya saliva antara lain rasa kering pada mukosa mulut, termasuk tenggorok dan
kesulitan menelan, mengunyah dan bicara. Sebagian pasien melaporkan bahwa untuk
mengunyah dan menelan perlu minum, atau is tidak dapat menelan makanan yang kering.
Nyeri dan mukosa menjadi peka terhadap makanan yang pedas atau kasar merupakan
gejala yang sering dikeluhkan dan mengganggu kenikmatan makan pasien.
Universitas Gadjah Mada
11

Sindrom mulut terbakar ( Burning mouth syndrome = BMS )
Sindrom ini memiliki berbagai gejala, beberapa pasien menjabarkannya sebagai rasa terbakar di mulut atau lidah, sedang yang lain mengeluh tentang rasa gatal, panas, nyeri atau
bahkan kadang tidak jelas. Oleh karena itu diberbagai bidang disiplin medik dan dental
banyak digunakan istilah untuk menyebut gejala tersebut, antara lain ialah glossodynia
atau glosalgia untuk menunjukkan nyeri di lidah; glossopirosis menunjukkan sensasi
terbakar di lidah. Bila pasien hanya mengalami rasa tidak enak di mulut digunakan istilah
lingual disestesia. Jika keluhan letaknya di luar lidah disebut sebagai stomatodinia,
stomatopirosis dan oral disestesia. Namun dari segi praktisnya, dengan tanpa memandang
lokasi dan jenis keluhannya sangat dianjurkan menggunakan istilah BMS atau sindrom
mulut terbakar.
Keluhan ini sering muncul bersamaan dengan gangguan mulut yang lain seperti ,
mulut kering, perubahan persepsi rasa, sulit menelan, gangguan tenggorok bahkan sebagian mengeluh juga mengalami gangguan penciuman. Tidak jarang juga terdapat keluhan gangguan somatik yang lain seperti gangguan pencernaan, sembelit, rasa panas
pada jantung, sakit kepala, migrain, gangguan pada punggung dan sebagainya.
Sindrom ini dapat terjadi karena sebab-sebab lokal ataupun sistemik. Lesi di mulut
seperti candidiasis, eritroplakia, fisur tongue, hairy leukoplakia, hairy tongue, lichen planus
sering dikaitkan dengan gejala ini. Bahkan sebagian pasien menganggap perawat an gigi
termasuk perawatan saluran akar atau pencabutan gigi dipandang sebagai penyebabnya,
sehingga beberapa penderita BMS memohon untuk dicabut satu atau beberapa giginya.
Walaupun gaya galvanik yang timbul diantara dua tambalan logam berbeda diduga dapat
menimbulkan gejala ini, belum ada bukti ilmiah yang mendukung hipotesa tersebut.
Gangguan hormonal (menapause), kelainan darah (anmeia), diabetes, efek samping
obat, gangguan neurologik dan psikologik sering dikaitkan dengan timbulnya keluhan ini.
Walaupun mekanisme secara rinci belum terungkap, kemungkinan adanya dampak yang
saling terkait dengan kondisi-kondisi sistemik tersebut diatas tidak dapat dikesampingkan.
Sebagai contoh misalnya neuropati akibat diabetes dapat menimbulkan perubahan sensasi
di mulut. Perubahan psikologis yang terjadi pada wanita menapause sebagai salah satu
penyebab timbulnya sindrome ini jelas perlu mendapat perhatian. Untuk itu dalam
menegakkan diagnosis gangguan ini, pendekatan yang komprehensive baik riwayat
maupun kondisi lokal di mulut dan sistemik sangat diperlukan.

Halitosis
Halitosis atau bau tidak enak di mulut dapat terjadi karena proses fisiologis atau patologis,
dan pada sebagian besar kasus gejala ini berlangsung kronis. Bahan-bahan yang
menimbulkan bau yang terhisap ke dalam paru saat inspirasi dan akan dikeluarkan pada
Universitas Gadjah Mada
12
saat ekspirasi. Peristiwa demikian terjadi misalnya pada saat bau dari makanan / tembakau
yang dimakan atau dihisap; atau bila secara patologik balk intraoral atau sistemik terbentuk
dan mengeluarkan bau yang masuk ke dalam paru. Sebagian besar halitosis berasal dari
mulut, namun kemungkinan dapat juga terjadi karena penyakit sistemik.
Bau tidak sedap di mulut disebabkan karena senyawa-senyawa sulfur yang mudah
menguap (VSCs) seperti hydrogen sulfide, methylmercaptan, dan dimethyl sulfide. Prekrusor molekul-molekul ini( cysteine, methionine) terdapat di dalam saliva. Mikroorganisme
oral yang membentuk VSCs, khususnya gram-negative anaerob banyak terdapat di dorsum
lidah dan sulkus gingiva. Bebagai faktor seperti pH saliva alkalis, menurunnya curah saliva,
penyakit keradangan ( gingivitis, periodontitis, stomatitis, herpetic gingivostomatitis ) dapat
menyebabkan perubahan mikroflora mulut yaitu pergeseran dari popu Iasi gram-positive
menjadi gram-negative.
"Morning breath" terjadi sebagai akibat hipofungsi kelenjar saliva dan menurunnya
efek self-cleansing di mulut selama tidur malam hari. Jaringan nekrotik atau darah di mulut
( infeksi dentoalveoler, periodontal disease dan kanker ) merupakan sumber bau tidak
sedap di mulut. Walaupun karies tidak menimbulkan nafas tidak sedap, tertimbunnya sisa
makanan dikavitas gigi tersebut dapat menjadi sumber bau tidak sedap di mulut, demikian
juga dengan pemeliharaan gigi tiruan yang tidak balk.
Obat-obatan, radioterapi dan kemoterapi dapat secara langsung berpengaruh pada
mukosa mulut dan menyebabkan bau tidak sedap. Obat-obatan yang sering terkait dengan
halitosis umumnya obat yang menghambat curah saliva. Pemakaian kronis kortikosteroid
melalui hidung dapat mengganggu keseimbangan flora di saluran nafas yang dapat
menimbulkan halitosis. Beberapa penyakit sistemik khususnya penyakit saluran nafas;
infeksi gram-negative anaerobe (tuberkulosa, pneumonia), obstruktif (benda asing), kanker
paru, terbentuknya pus (empyema, bronchiectasis) semuanya dapat menjadi penyebab
halitosis.
Hasil metabolik obat atau penyakit sitemik (diabetic ketoacidosis) dan diet ( alkohol,
garlic) dapat menyebabkan halitosis. Melalui sistem sirkulasi hasil metabolik tersebut akan
masuk ke paru dan dikeluarkan saat ekspirasi. Gangguan gastrointestinal seperti hiatus
hernia, reflux gastroesopahageal dan stenosis pylorus dapat menyebabkan halitosis yang
sumbernya di lambung. Dan akhirnya, beberapa pasien menderita psikogenik halitosis,
yaitu suatu kondisi dimana dari mereka tidak ditemukan halitosis seperti yang mereka
yakini ada dan dirasakan (halitophobia). Fenomena demikian sering berhubungan dengan
depresi, hypochondiasis, atau schizoprenia. Perlu dicermati bahwa pada beberapa individu
dengan gangguan pengecapan dan pembauan merasakan perubahan yang mereka alami
tersebut sebagai halitosis.
Universitas Gadjah Mada
13
2.6 Lesi
Sebagian besar penyakit menyebabkan perubahan morfologi dan fungsi. Manifestasi obyektif yang menunjukkan perubahan morfologi khas pada jaringan disebut sebagai lesi. Karena beberapa lesi mempunyai penampilan klinis yang khas maka pemeriksaan yang akurat sangat diperlukan. Untuk menggambarkan penampilan klinis dan untuk
mengkomunikasikan lesi tersebut dengan klinisi yang lain, umumnya digunakan terminologi
dermatologik. Karena banyak keiainan di mukosa mulut juga terdapat di kulit atau
sebaliknya, maka untuk diagnosis lesi oral pengetahuan dasar dermatologik sangat
diperlukan.
Pada umumnya lesi dermatologik dikelompokkan sebagai lesi primer dan lesi
sekunder, keduanya merupakan salah satu kunci diagnostik untuk penyakit kulit. Lesi
primer merupakan perubahan awal kulit yang belum mengalami evulosi natural atau
perubahan akibat manipulasi. Termasuk disini ialah makula, papula, nodula, vesikel,
pustula, wheals, purpura dan telengiectasia. Sedang lesi sekunder merupakan lesi primer
yang telah mengalami evolusi natural, atau berubah akibat manipulasi.
Diagnosis sebagian besar penyakit mulut umumnya didasarkan pada pengenalan
terhadap lesi, tetapi karena adanya trauma mastikasi, maserasi, gerakan otot atau jaring an,
maka bentuk perubahan awal lesi primer tidak dapat dipertahankan dalam waktu yang lama
sehingga lesi di mulut lebih sering dijumpai sebagai lesi sekunder. Oleh karena itu untuk
diagnosis lesi di mulut berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan tersebut
harus dipertimbangkan, dan penelusuran melalui riwayat terjadinya lesi sangat membantu
dalam mengungkap bentuk lesi primernya.
2.6.1 Lesi primer
 Makula
Menunjukkan perubahan jaringan dengan batas tegas, permukaan datar sesuai dengan
bagian yang normal. Bentuk, warna dan ukurannya bervariasi mulai sebesar kepala jarum
sampai beberapa milimeter . Warna bervariasi dari merah, coklat ke putih. Jika berasal dari
jaringan vaskuler akan berwarna merah dikenal dengan makula eritematosa. Karena
perdarahan dalam jaringan ( petechiaae dan ecchymosis ) akan tampak merahcoklat.
Makula berpigmen dapat bersifat fisiologis ( epelides, melanosis ) atau patologis seperti
pada penyakit Adisson dan intestinal poliposis ( Peutz Jehger's syndrome )
 Papula
Lesi padat, permukaan lebih tinggi dari sekitar, batas tegas dengan ukuran < 1 cm. Bentuk
permukaan dapat datar, konus, atau sirkuler, dengan warna merah, kuning, putih dan merah
pucat. Papula di mulut sering dijumpai pada lichen planus, permukaan lesi dapat mengalami
Universitas Gadjah Mada
14
erosi sehingga mukosa tertutup epitel yang lembab. Baik pada papula atau makula dapat
disertai dengan gejala-gejala gatal, rasa terbakar atau sakit.
 Nodula
Lesi padat hampir sama dengan papula tetapi ukurannya lebih besar ( >5 atau 10 mm),
kedudukannya meluas lebih dalam melibatkan jaringan submukosa. Kelainan demikian
dapat terjadi karena trauma, atau mungkin berhubungan dengan rheumatoid arthritis, lepra
atau sifilis, atau suatu fibroma.
 Vesikel
Lesi berbatas tegas dengan permukaaan lebih tinggi dengan sekitarnya, didalamnya berisi
cairan jernih dengan ukuran < 5 mm, dapat tunggal atau jamak. Jika ukurannya LI 5 mm
disebutr sebagai bulla (blister). Karena dinding permukaan luarnya tipis lesi ini mudah
ruptur. Kelainan demikan sering dijumpai pada stomatitis herpetik primer, atau infeksi virus
lain seperti herpes simpleks, herpes varisela-zoster, pemphigus, Bechet's syndrome, Steven
Johnson's syndrome atau akibat trauma
 Pustula
Merupakan lesi permukaannya menonjol di dalamnya berisi nanah atau pus. Ini terjadi
sebagai akibat perkembangan infeksi atau seropurulent dari vesikel atau buliae. Dapat
terjadi karena impetigo, folliculitis, furuncles, carbuncles, pustular miliaris, dan pustular
psoriasis.
 Tumor
Merupakan istilah klinis yang dipakai untuk menyebut benjolan atau nodula yang ukurannya
besar (Q 20 mm ). Kelainan ini dapat merupakan suatu neoplasma atau lesi reaktif. Dasar
kelainan dapat sessile (melekat dengan dasar yang lugs) atau pedunculated (bertangkai).
Jika lesi ini menyerupai polip ( benjolan bertangkai dengan permukaan halus ) pada
permukaan mukosa sering disebut dengan lesi polipoid. Sedang jika ciri permukaanya tidak
rata atau kasar menyerupai papilloma disebut lesi papilomatous.
 Keratosis
Menunjukkan penebalan abnormal permukaan luar epitel mukosa. Di mulut sering terjadi
pada fokal hiperkeratosis, lichen planus, leukoplakia.
2.6.2 Lesi sekunder
 Erosi,
Permukaan luar epitel mukosa yang terlepas, dapat terjadi sebagai kelanjutan vesikel yang
pecah. Erosi di mulut biasanya tampak lembab, atau tertutup oleh epitel permukaaan yang
nekrotik. Perubahan mukosa tersebut dapat terlihat pada erosive lichen planus,
desquamatic gingivitis atau luka traumatik.
Universitas Gadjah Mada
15
 Fissure
Merupakan celah atau alur-alur pada peremukaan epitel, dapat patologis atau normal.
Daerah sekitar lesi sering mengalami radang, keadaan ini sering dijumpai pada daerah
mukokutaneus junction bibir, misalnya pada kasus anguler cheilitis, ragade sifilis dan
scrotal tongue.
 UIkusss
Pada lesi ini lapisan epitel mukosa rusak bahkan dapat melibatkan lapisan mukosa di
bawahnya. Tepi ulkus dapat datar, undermine, berbentuk kerucut, sedang dasarnya dapat
granuler, halus mengkilat, tertutup darah atau nanah. Perlu diperhatikan bahwa ulkus di
mulut dapat terjadi karena sebab-sebab lokal atau sistemik. Di mulut sering dijumpai pada
kasus ANUG, herpeticgingivostomatitis, herpes simplek, trauma atau karsinoma.
 Pseudomembran
Terbentuk sebagai akibat radang peudomembranous karena bahan-bahan nekrotoksik.
Hilangnya permukaan epitel akan disertai eksudasi plasma ke permukaan mukosa yang
rusak, dan menggumpal bersama dengan epitel nekrotik yang terperangkap fibrine.
Keadaan ini dijumpai pada ANUG, diptheri.
 Eschar
Merupakan masa jaringan nekrotik pada permukaan mukosa yang terjadi akibat terbakar
atau terkena bahan-bahan korosive. Dibawah jaringan nekrotik tersebut terdapat ulserasi.
Sering terjadi di mulut misalnya pada aspirin eschar, phenol eschar.
 Desquamasi
Merupakan pengelupasan dan penumpukan epitel yang melibatkan lembaran lapisan epitel
yang luas. lni sering terjadi akibat radang.
 Krusta
Kumpulan eksudat atau sekret yang telah mengering, biasanya menutup permukaan luka.
 Sinus
Merupakan saluran yang berasal dari cavitas supuratif seperti kista atau abses yang menuju
ke permukaan mukosa atau kulit. Pada regiao leher dan kepala sinus sering dijumapai
sebagai akibat infeksi odontogen atau kelainan kongenital. Aktinomikosis dan tuberkulosa
pada kelenjar limfe di leher sering disertai dengan sinus yang multiple.
Universitas Gadjah Mada
16
Download