1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Remaja merupakan tahap akhir pematangan sosio biologis manusia dalam
mata rantai tumbuh kembang anak. Menurut World Health Organization (WHO),
terdapattiga fase pembagian remaja, dengan rincian fase masa remaja usia 10-19
tahun, fase anak muda atau youthdari usia 15-24 tahun dan fase anak muda atau
young people dari usia 10-24 tahun (World Health Organization, 1980). Untuk
keperluan Survei Indikator Kinerja Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional 2011, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN) menetapkan batasan remaja yang dijadikan responden yaitu antara 1524 tahun (BKKBN, 2011).
Batasan usia 15-24 tahun terpilih sebagai responden karena pada usia 15
tahun kemampuan remaja untuk berpikir logis telah mulai berkembang dan akan
terus berlanjut sampai pada tahap dewasa awal (Steinberg, 2007). Secara
psikologisusia 15 tahun telah memasuki masa konsolidasi menjadi dewasa
ditandai dengan perkembangan emosional, sosial dan intelektual yang lebih baik
daripada usia dibawah 15 tahun. Hal ini menunjukkan faktor usia pada remaja
memiliki pengaruh terhadap perkembangan remaja.
Pertumbuhan jumlah remaja di seluruh dunia sangat tinggi, hal ini semakin
dikuatkan oleh data yang dirilis Population Reference Bureau (PRB) yang
menyebutkan bahwa populasi anak muda usia 10-24 tahun didunia pada tahun
2013 mencapai 1,81 milliar jiwa atau 25% dari total populasi didunia. Dan
diperkirakan pada tahun 2050 populasi anak muda usia 10-24 tahun mencapai 1,9
milliar jiwa (Population Reference Bureau, 2013).
Di Indonesia sesuai dengan data hasil sensus penduduk tahun 2010,
mencatat penduduk Indonesia yang tergolong anak muda usia 10-24 tahun adalah
sekitar 64 juta jiwa atau 27.6% dari total penduduk Indonesia yang berjumlah
237.6 juta jiwa. Sedangkan di Daerah Istimewa Yogyakarta menurut hasil sensus
penduduk tahun 2010 mencatat bahwa penduduk yang tergolong anak muda usia
2
10-24 tahun di Daerah Istimewa Yogyakarta sekitar 834.922 jiwa atau 35% dari
total penduduk
Daerah Istimewa Yogyakarta yang berjumlah 2.950.721 (BPS, 2010).Data
menujukkan bahwa jumlah remaja laki-laki di Daerah Istimewa Yogyakarta lebih
banyak daripada jumlah remaja perempuan. Jumlah remaja laki-laki adalah
425.807 jiwa, sedangkan remaja perempuan 409.115 jiwa.(BPS,2010)
Perkembangan remaja laki-laki dan perempuan secara fisik dan psikologis
berbeda sehingga menjadikan sikap dan perilaku remaja memiliki perbedaan
dilihat dari jenis kelaminnya. Organ-organ seksual pada remaja telah mengalami
kematangan dan siap menjalankan fungsi reproduksinya, seperti menghasilkan
sperma, menstruasi, hamil dan melahirkan. Remaja tertarik pada perubahan
fisiknya dan memiliki ketertarikan secara seksual dengan lawan jenis, sampai
kepada dorongan untuk melakukan hubungan seksual. Hasil penelitian di Amerika
Serikat pada tahun 1995, menunjukkan 40% remaja perempuan usia 15 sampai 19
tahun telah melakukan hubungan seksual aktif (Singh and Darroch. 1999).
Penelitian yang dilakukan oleh Zhang (1997) di Beijing menyatakan bahwa 89.3%
aktivitas seks dilakukan oleh remaja sebelum menikah, didukung pengetahuan
tentang seks dan kontrasepsi yang sangat kurang.
Perilaku seksual remaja Asia juga telah mengalami pergeseran kearah
yang lebih permisif. Penelitian Gubhaju (2002) di Malaysia tentang kesehatan
reproduksi remaja usia 13 sampai 19 tahun menunjukkan 40% responden telah
mulai berkencan sejak umur 13 tahun. Pada usia 18 tahun sebanyak 84%
responden telah mulai bergandengan tangan, sedangkan 85% mulai berciuman
dan 83% melakukan petting. Center for Disease Control and Prevention (CDC)
menyatakan bahwa penduduk remaja usia 10 sampai dengan 19 tahun di seluruh
dunia telah melakukan hubungan seksual aktif (CDC, 2006) dan sekitar 2,4%
berakhir dengan kehamilan sebelum menikah (Moore, 2000).
Perilaku hubungan seksual sebelum menikah juga semakin sering
dipraktekkan oleh para remaja di Indonesia. Perilaku seksual remaja mencakup
kegiatan mulai dari berpegangan tangan, berpelukan, berciuman, sampai
berhubungan seksual. Penelitian Sahabat Remaja tentang perilaku seksual di
3
empat kota menunjukkan bahwa 3.6% remaja di Kota Medan, 8.5% remaja di
Kota Yogyakarta dan 3.4% remaja di kota Surabaya serta 31.1% remaja di kota
Kupang telah terlibat hubungan seks secara aktif (Kompas 3 Agustus 2001).
Menurut Pusat Studi Seksualitas Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia
(PKBI) Yogyakarta menyatakan telah terjadi perubahan pandangan remaja
terhadap perilaku seks sebelum menikah.
Kenikmatan seksual merupakan dorongan kuat bagi remaja untuk
mencoba perilaku seksual tertentu meskipun harus melanggar norma-norma
sosial. Kenikmatan seksual dipandang lebih menguntungkan daripada sangsi
sosial ataupun ancaman risiko yang mungkin terjadi. Dampak terjadinya freesex
itu sendiri adalah kejadian kehamilan yang tidak diinginkan (unwanted
pregnancy). Di Indonesia berdasarkan Survey Demografi Kesehatan Indonesia
2007, angka unwanted pregnancy mencapai 9.1% atau terjadi pada sembilan juta
perempuan tiap tahunnya (Utami. 2011). Bahkan menurut survei terakhir dari
Badan Pusat Statistik (BPS) melalui Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia
(SDKI), tahun 2012 angka kehamilan remaja pada kelompok usia 15 – 19 tahun
mencapai 48 dari 1000 kehamilan, lebih tinggi dibandingkan tahun 2010 sebesar
30 dari 1000 kehamilan (BPS dan BKKBN, 2012). Angka ini membuktikan
bahwa pernikahan dini dan seks pranikah di kalangan remaja semakin tinggi.
Kejadian unwanted pregnancy ini dapat mengarah pada dilakukannya
tindakan aborsi. Walaupun aborsi dianggap sebagai tindakan ilegal di
Indonesia.namun angka terjadinya aborsi mencapai 750.000 sampai 1.000.000
kejadian per tahun. Angka tersebut berkisar antara 40 sampai 50% (sebagian besar
adalah aborsi yang tidak aman) dilakukan oleh remaja perempuan (Wijayanti et
al.. 2007). Berdasarkan data yang dikeluarkan BKKBN, diperkirakan setipa tahun
jumlah aborsi di Indonesia mencapai 2,4 juta jiwa. Bahkan, 800 ribu di antaranya
terjadi di kalangan remaja. Seperti di Surabaya tercatat 54%, Bandung 47%, dan
52% di Medan. Tingginya angka aborsi di kalangan remaja ini seringkali
dikaitkan dengan kebebasan seks dan kegagalan KB (Dimyati, 2012).
Efek samping dari tindakan aborsi yang tidak aman adalah tingginya
kematian maternal, karena seringkali aborsi dilakukan oleh orang yang bukan
4
ahlinya dan hal tersebut berakibat pada pendarahan pada ibu hamil. Di Indonesia
menurut data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012 jumlah kematian
maternal karena aborsi yang tidak aman adalah sebesar 359 kematian ibu per
100.000 kelahiran hidup pada tahun lalu, dibandingkan dengan 228 kematian per
100.000 kelahiran hidup pada tahun 2007. Hal ini menandakan bahwa perilaku
seks pranikah yang dilakukan oleh remaja merupakan suatu permasalahan yang
sangat serius, karena mempunyai akibat yang buruk terhadap kesehatan, bahkan
bisa meningkatkan angka kematian maternal di Indonesia
Pergeseran nilai-nilai budaya di masyarakat ikut mempengaruhi perilaku
seksual dalam berpacaran para remaja. Pergeseran nilai ini misalnya terjadi
dengan pandangan remaja terhadap hubungan seks sebelum menikah. Dua puluh
tahun yang lalu hanya 1.2-9.6% setuju dengan hubungan seks sebelum menikah.
Sepuluh tahun kemudian angka tersebut naik menjadi di atas 10%. Lima tahun
kemudian angka ini naik menjadi 17% yang setuju. Bahkan ada remaja sebanyak
12.2% yang setuju dengan free sex(Tito. 2006).
Terdapat dua faktor yang mempengaruhi munculnya perilaku seks
pranikah, yaitu : faktor risiko adalah faktor yang mendorong beberapa perilaku
yang berdampak negatif atau menimbulkan efek yang buruk bagi kesehatan, dan
faktor protektif yang merupakan keterlibatan nyata dalam perilaku berisiko remaja
(Kirby and Lapore, 2007).
Faktor dalam diri individu dan faktor lingkungan sangat berperan dalam
membentuk faktor risiko dan faktor protektif (Kirby and Lapore, 2007). Kedua
faktor ini dipengaruhi oleh variabel proksimal dan variabel distal. Variabel
proksimal adalah faktor yang lebih dekat mempengaruhi perilaku remaja
diantaranya adalah pengetahuan tentang seks dan kesehatan reproduksi serta alat
kontrasepsi (Bergamim dan Borges, 2009), sedangkan variabel distal adalah faktor
yang tidak langsung mempengaruhi perilaku seksual berisiko oleh remaja, yaitu
lingkungan di dalam dan diluar tempat tinggal remaja(Kirby and Lapore, 2007).
Perilaku seksual remaja yang berisiko mencerminkan kurangnya
pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi. Pengetahuan remaja tentang
kesehatan reproduksi bisa didapatkan dari orang tua di dalam keluarga, sekolah,
5
atau teman sebaya (Ali dan Debra, 2010). Apabila pada masa remaja tidak
mendapatkan bimbingan dan informasi yang tepat, maka keadaan ini dapat
membawa remaja pada perilaku-perilaku yang merusak seperti seks bebas dan
kehamilan di luar nikah yang dapat mengarah pada pada tindakan aborsi dan
terjadinya Penyakit Menular Seksual (PMS) (Soetjiningsih. 2004).
Penelitian di Amerika Serikat membuktikan bahwa komunikasi yang lebih
baik antara orang tua dan anak remajanya berhubungan positif dengan penundaan
hubungan seksual dan rendahnya kejadian kehamilan remaja (Sarantaki and
Koutelekos. 2003). Orang tua menjadi sumber informasi ketiga (88%) tentang
kesehatan reproduksi bagi para remaja setelah guru (95%) dan remaja (93%).
Artinya peran orang tua dan guru di sekolah tetap sangat penting dalam
memberikan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi pada remaja. Namun
informasi tentang kesehatan reproduksi dari teman sebaya tetap pula berpengaruh
besar bagi remaja (Parwej et al.. 2005).
Survei BKKBN (2011) tentang indikator kinerja Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional Program
Kependudukan dan KB nasional
menyebutkan pengetahuan remaja tentang masa subur 17%, remaja dapat hamil
meskipun hanya sekali hubungan seksual ada 59%, datangnya haid 90%, mimpi
basah 82%, HIV/AIDS 88% dan kontrasepsi 93%. Pengetahuan remaja tentang
kesehatan reproduksi dan seksual di Indonesia masih sangat kurang dilihat dari
minimnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi yang diajarkan di sekolah
dan pandangan tabu di dalam keluarga. Tabu atau taboo yang didasarkan pada
agama dan tradisi telah menjadi salah satu hambatan dalam melakukan pendidikan
tentang kesehatan reproduksi (Bastien et al,. 2008). Faktor ini ditambah dengan
informasi keliru yang diperoleh dari sumber yang salah, seperti mitos seputar seks
dan kesehatan reproduksi, VCD porno, situs porno di internet dan lainnya akan
membuat pemahaman dan persepsi remaja tentang seks menjadi salah.
Survei BKKBN (2011) juga mengungkapkan perilaku seksual remaja.
Terkait dengan perilaku seksualnya, 71% mengaku pernah berpacaran. Perilaku
seks selama berpacaran yaitu berpegangan tangan 88%. ciuman bibir 32%.
meraba/merangsang 11%. Pengalaman melakukan hubungan seksual dilakukan
6
oleh 2% remaja putri dan 5% remaja putra. Tempat melakukan hubungan seksual
34% di rumah. Umur melakukan hubungan seksual pertama kali yaitu 17.7 tahun
untuk putri dan 18.2 tahun putra. Remaja melakukan hubungan seksual tanpa
kontrasepsi ada 49%, menggunakan kondom 34%, senggama terputus 15% dan
sisanya menggunakan kontrasepsi lain. Sebanyak 90% hubungan seksual
dilakukan bersama pacar, 6% dengan teman dan 3% dilakukan dengan pelacur.
Pandangan tabu terhadap pembicaraan tentang kesehatan seksual dapat
menghalangi remaja mendapatkan informasi yang benar tentang kesehatan
reproduksi. Pengetahuan tentang kesehatan reproduksi telah banyak diberikan di
sekolah-sekolah menengah dan sudah masuk ke dalam kurikulum pendidikan.
Disamping itu penyuluhan dan sosialisasi tentang kesehatan reproduksi remaja
yang dilakukan oleh BKKBN dan LSM yang bergerak dibidang kesehatan
reproduksi remaja sangat gencar dilakukan, namun perilaku seks tidak sehat di
Indonesia tetap tinggi. Penelitian yang dilakukan oleh Australia National
University dan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia (UI) pada tahun
2010/2011 di Jakarta, Tangerang dan Bekasi dengan jumlah sampel 3006
responden
usia
17-24
tahun.
Hasil penelitiannya
menunjukkan 20.9%
remajamengalami kehamilan dan kelahiran sebelum menikah dan 38.7% remaja
mengalami kehamilan sebelum menikah dan kelahiran setelah menikah(BKKBN,
2012). Selain itu Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) merilis
sebanyak 62.7 persen remaja SMP tidak perawan dan 21.2 persen remaja
mengaku pernah aborsi, data tersebut didapat berdasarkan survei yang dilakukan
Komnas PA tahun 2008, dari 4.726 responden siswa SMP dan SMA di 17 kota
besar (Aby and Johara, 2012).
Survei BKKBN(2011) mengungkapkan pengetahuan kesehatan reproduksi
remaja di Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai berikut: 94% mengetahui bahaya
HIV/AIDS, 67.6% mengetahui adanya penyakit infeksi menular seksual (IMS).
96.9% mengetahui alat kontrasepsi. Terkait dengan perilaku seksual, 72.1%
pernah pacaran, 56.8% pertama kali punya pacar pada usia 15-17 tahun. Saat
pacaran mengungkapkan kasih sayang dengan 95.4% berpegangan tangan, 35.6%
cium bibir, 9.5% dengan meraba/merangsang. Dari semua remaja Daerah
7
Istimewa Yogyakarta yang pacaran sebanyak 3.4% pernah berhubungan seksual,
meskipun demikian, tidak ada remaja yang setuju melakukan hubungan seksual di
luar nikah dan ada 2.5% tergantung situasi dan kondisi.
Pengetahuan merupakan variabel penting karena pengetahuan tidak hanya
berhenti pada tingkatan tahu, tetapi juga memahami, menerapkan dan
menganalisa. Pengetahuan dipengaruhi oleh banyak hal di antaranya tingkat
pendidikan, pengalaman, usia, pengalaman dan sumber informasi. Berbagai hasil
riset di atas memperlihatkan bahwa pengetahuan tentang kesehatan reproduksi
dari sumber yang kurang tepat, dan pemahaman yang salah tentang kesehatan
reproduksi telah menjadikan perilaku seksual yang tidak sehat.
Perilaku seksual remaja di Daerah Istimewa Yogyakarta sebelum nikah
juga tercermin dari jumlah pasangan yang mengajukan permohonan dispensasi
kawin di Bantul tahun 2008 mencapai 70 pasangan, tahun 2009 sebanyak 82
pasangan, tahun 2010 meningkat menjadi 115 pasangan dan baru sampai bulan
Oktober 2011 sudah melonjak menjadi 135 pasangan. Sebanyak 90% diantaranya
adalah pasangan usia dini yang mengalami kasus hamil sebelum nikah. Gejala
yang sama juga terjadi di Kota Yogyakarta dan kabupaten-kabupaten lain di
Daerah Istimewa Yogyakarta(Kurniawan. 2011). Remaja di Daerah Istimewa
Yogyakarta pada umumnya memiliki akses informasi yang baik dilihat dari
banyak tersedianya sekolah dan perguruan tinggi, internet dan media massa
sehingga diharapkan memiliki pengetahuan yang baik tentang kesehatan seksual.
Dilihat dari budaya, remaja di Daerah Istimewa Yogyakarta lebih memiliki
kontrol dari lingkungan sosial masyarakatnya. Namun demikian, kecenderungan
terjadi perilaku
seks pranikah
meningkat. Tentu
banyak faktor yang
mempengaruhi perilaku seksual remaja seperti teman sebaya, lingkungan, media
massa dan pengetahuan itu sendiri. Penelitian ini memilih variabel pengetahuan
karena dengan pengetahuan yang dimilikinya, siswa seharusnya dapat melakukan
seleksi untuk memilih perilaku yang baik. Fakta-fakta tersebut menarik untuk
dilakukan penelitian tentang hubungan pengetahuan kesehatan reproduksi dengan
perilaku seksual remaja di Daerah Istimewa Yogyakarta.
8
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan paparan latar belakang masalah di atas. dirumuskan
permasalahan sebagai berikut: ”Apakah ada hubungan antara pengetahuan remaja
tentang kesehatan reproduksi dengan perilaku seksual remaja di Daerah Istimewa
Yogyakarta?”
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Diketahuinya gambaran pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi dan
perilaku seksual remaja di Daerah Istimewa Yogyakarta.
2. Tujuan khusus
a. Diketahuinya pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi.
b. Diketahuinya perilaku seksual remaja.
c. Diketahuinya hubungan antara pengetahuan remaja tentang kesehatan
reproduksi dengan perilaku seksual remaja.
D. Keaslian Penelitian
Lou and Chen (2009)meneliti tentang “Relationships among sexual
knowledge. sexual attitudes. and safe sex behaviour among adolescents: a
structural equation model”. Penelitian menggunakan rancangan cross sectional.
Sampel sebanyak 823 pelajar di Taiwan. Data dikumpulkan melalui penilaian
partisipatif, kuesioner dan data demografi. Hasil penelitian memperlihatkan
bahwa tidak ada korelasi antara pengetahuan seksual dan perilaku seks aman pada
remaja. Sikap seks tidak relevan dengan promosi seks aman yang ditujukan
kepada para remaja. Peraturan yang manjamin adanya seksual yang aman lebih
memiliki pesan kuat daripada pengetahuan tentang kesehatan seksual.
Hanifah (2000) melakukan penelitian berjudul”Faktor yang Mendasari
Hubungan Seks Pra Nikah Remaja: Studi Kualitatif di PKBI Yogyakarta tahun
2000”. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa tingkat pengetahuan yang rendah
9
disebabkan sumber informasi utama tentang pengetahuan dasar kesehatan
reproduksi adalah teman yang tidak mempunyai pengetahuan yang baik dan
cukup tentang kesehatan reproduksi. Pengetahuan responden tentang cara
penularan PMS (Penyakit Menular Seksual) dan HIV/AIDS cukup baik. Sumber
informasi tentang PMS dan HIV/AIDS sebagian besar berasal dari media cetak
dan elektronik (68.88%). Sumber lain adalah lingkungan pergaulan. Pengetahuan
responden tentang cara pencegahan PMS dan HIV/AIDS masih bercampur antara
pengetahuan yang benar dengan mitos keliru. Responden mulai berpacaran pada
usia antara 15-17 tahun, sebagian lagi mulai pacaran pada usia relatif muda, yaitu
antara usia 12-14 tahun.
Kotchick et al. (2001) melaksanakan penelitian tentang “Adolesecent
sexual risk behavior: A multi-sistem perspective”. Remaja memiliki sejumlah
risiko berhubungan dengan perilaku seks yang tidak sehat. Penelitian ini
menggunakan metode studi kepustakaan dengan menelurusi berbagai referensi.
Penelitian berhasil mengidentifikasi sejumlah faktor yang mempengaruhi remaja
melakukan seksual berisiko dapat dikembangkan guna menyusun program
pencegahannya. Faktor-faktor tersebut yaitu faktor individu remaja, keluarga dan
faktor diluar keluarga yang diperbincangkan.
Benzaken et al. (2011) meneliti tentang “Exposure to and opinions
towards sex education among adolescent students in Mumbai: a cross-sectional
survey”. Penelitian dengan pendekatan studi cross-sectional. Kuesioner diberikan
kepada 427 siswa laki-laki dan perempuan (usia 15-17 tahun). Data dimasukkan
ke dalam dan dianalisis dengan menggunakan SPSS versi 17.0. Hasil penelitian
menyebutkan bahwa lebih dari 60% telah mendapatkan paparan informasi seks
sebelum pendidikan seks di sekolah. Namun, hanya 45% yang puas mereka
memiliki akses informasi yang baik tentang kontrasepsi dan kesehatan seksual,
khususnya dan perempuan melaporkan akses yang lebih terbatas.
10
E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan ilmu pengetahuan
tentang perilaku seksual remaja. Secara praktis, diharapkan dapat bermanfaat bagi
lembaga pengambil kebijakan di Daerah Istimewa Yogyakarta yang bergerak
dalam bidang kesehatan reproduksi remaja seperti BKKBN, Dinas Kesehatan,
Dinas Pendidikan serta LSM yang bergerak dalam bidang kesehatan reproduksi
remaja.
Download