BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Latihan Fisik Latihan fisik adalah

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Latihan Fisik
Latihan fisik adalah pergerakan tubuh yang dilakukan otot dengan
terencana dan berulang yang menyebabkan peningkatan pemakaian energi dengan
tujuanmemperbaiki kebugaran fisik (Pedriatics, 1994). Defenisi lain, latihan fisik
atau exercise adalah subkelompok aktifitas fisik berupa gerakan tubuh yang
terencana, terstruktur dan repetitive (berulang) untuk memperbaiki atau
memulihkan satu atau lebih komponen kebugaran fisik (Halliwell and Whiteman,
2004).
Latihan fisik berdasarkan sumber tenaganya atau pembentukan ATP
melalui tiga sistem, Yaitu 1) Sistem aerobik. 2) Sistem glikolisis anaerobik
(Lactic acid system dan 3) Sistem ATP Creatinin Phospat (phosphagen system)
(Fox, 1993). Aktivitas aerobik merupakan latihan yang bergantung terhadap
ketersediaan oksigen untuk membantu proses pembakaran sumber energi sehingga
juga akan bergantung pada kerja optimal organ-organ tubuh seperti jantung paruparu dan juga pembuluh darah untuk mengangkut oksigen agar proses
pembakaran sumber energi dapat berjalan sempurna. Latihan ini biasanya
merupakan latihan olahraga dengan intensitas rendah-sedang yang dapat
dilakukan secara kontinyu dalam waktu yang cukup lama.
Latihan anaerobik merupakan latihan dengan intensitas tinggi yang
membutuhkan energi yang cepat dalam waktu yang singkat namun tidak dapat
dilakukan secara kontinu untuk durasi waktu yang lama. Latihan ini juga biasanya
Universitas Sumatera Utara
memerlukan interval istirahat agar ATP (adenosine Tripospat) dapat di regenerasi
sehingga kegiatannya dapat dilanjutkan kembali. Latihan fisik akan menyebabkan
perubahan–perubahan pada faal tubuh manusia, baik bersifat sementara/sewaktusewaktu (respons) maupun yang bersifat menetap (adaption). Latihan fisik dengan
aktifitas tinggi (antara sub makasimal hingga maksimal) akan menyebabkan otot
berkontraksi secara anaerobik. Kontraksi otot secara anaerobik membutuhkan
penyediaan energi (ATP) melalui proses glikolisis anaerobik atau system asam
laktat (lactid acid system). Glikolisis anaerobik akan menghasilkan produk akhir
berupa asam laktat. Jadi,aktifitas dengan intensitas submaksimal hingga intensitas
maksimal akan menyebabkan akumulasi asam laktat dalam otot dan darah
(Bompa, 1990 , Fox, 1993).
Pada latihan fisik terjadi peningkatan konsumsi oksigen. Peningkatan ini
akan mencapai maksimal saat penambahan beban kerja tidak mampu
meningkatkan konsumsi oksigen. Hal ini dikenal dengan konsumsi oksigen
maksimum (VO2 max). Sesudah VO2 max tercapai, kerja ditingkatkan dan
dipertahankan hanya dalam waktu singkat dengan metabolisme anaerob pada otot
yang melakukan aktifitas. Secara teoritis, VO2 max dibatasi oleh kardiak output,
kemampuan sistem respirasi untuk membawa oksigen darah, dan kemampuan otot
yang bekerja untuk menggunakan oksigen. Faktanya, pada orang normal (kecuali
atlet pada yang sangat terlatih), Kardiak output adalah faktor yang menentukan
VO2 max (Bompa, 1990). Pengaruh latihan fisik dapat seketika yang disebut
respon akut dan pengaruh jangka panjang akibat latihan yang teratur dan
terprogram yang disebut adaptasi. Termasuk respon akut adalah bertambahnya
Universitas Sumatera Utara
frekwensi denyut jantung, peningkatan frekwensi pernafasan, peningkatan tekanan
darah dan peningkatan suhu badan. Termasuk adaptasi antara lain peningkatan
masa otot, bertambahnya masa tulang, bertambahnya sistem pertahanan
antioksidan serta penurunan frekwensi denyut jantung istirahat (Sutarina dan
Tambunan, 2004). Latihan fisik yang dapat meningkatkan sistem pertahanan
antioksidan adalah latihan fisik dengan intensitas rendah dan intensitas sedang,
karena aktifitas fisik pada tingkat ini mengacu pada program aktifitas fisik yang
dirancang untuk meminimalkan pengeluaran radikal bebas. Sedangkan latihan
fisik yang maksimal dan melelahkan dapat meningkatkan jumlah leukosit dan
neutrofil baik dalam sirkulasi maupun jaringan (Cooper,2000). Nayanatara (2004)
Latihan fisik maksimal renang pada tikus dengan durasi 45 menit dengan suhu
lingkungan 200 C selama tujuh hari memberikan gambaran makroskopis berupa
peningkatan berat hati, ginjal, kelenjar adrenal dan kortek serebri.
2.2 Radikal bebas dan Reaktive Oxygen Species (ROS)
Radikal bebas adalah suatu molekul dimana elektron yang terletak pada
lapisan paling luar tidak mempunyai pasangan (Greenwald, 1991; Halliwell,
1995). Adanya molekul dengan elektron yang tidak berpasangan ini membuat
mereka sangat reaktif (Burk, 1988). Reaktif artinya mempunyai spesifisitas yang
rendah sehingga mereka mampu bereaksi dengan molekul-molekul yang berada
disekitarnya. Molekul-molekul tersebut termasuk protein, lipid, karbohidrat dan
DNA. Reaktif juga berarti tidak bertahan lama dalam bentuk “asli” karena untuk
mempertahankan kestabilan molekul, mereka harus mengambil satu elektron dari
Universitas Sumatera Utara
molekul yang lain. Artinya, radikal bebas menyerang molekul stabil yang berada
di dekatnya dan mengambil elektron dari molekul tersebut. Molekul yang diambil
elektronnya kemudian juga menjadi radikal bebas dan mengambil elektron dari
molekul lain, begitulah seterusnya sampai terjadi kerusakan sel. Karena molekulmolekul yang sangat reaktif ini sebagian besar berasal dari oksigen maka secara
umum molekul-molekul tersebut disebut reactive oxygen species (ROS). ROS
berasal dari proses fisiologis tersebut (ROS endogen) dan lainnya adalah ROS
eksogen ,seperti berbagai polutan lingkungan (emisi kendaraan bermotor dan
industri,asbes,asap rokok, dan lain-lain),radiasi ionisasi,infeksi bakteri, jamur dan
virus,serta paparan zat kimia (termasuk obat) yang bersifat mengoksidasi. Ada
berbagai jenis ROS, contohnya adalah superoksida (O2-),hidroksil (OH-), alkoksil
(RO-),peroksil (ROO-) dan hidroperoksil (ROOH) (Cuzzocrea,et al.,2001).
2.2.1 Produksi Radikal bebas akibat latihan fisik
Mekanisme terbentuknya radikal bebas selama aktifitas fisik maksimal ada
2 cara. Pertama disebabkan lepasnya electron superoksida dari mitokondria. Pada
saat latihan fisik maksimal terjadi peningkatan konsumsi oksigen sampai 20 kali,
bahkan dalam otot dapat mencapai 100 kali. Penggunaan oksigen yang berlebih
ini dapat memicu pembentukan radikal bebas di berbagai jaringan tubuh. Selama
latihan fisik maksimal, pengeluaran radikal bebas terutama superoksida dapat
meningkat dalam mitokondria, atau pusat-pusat energi di dalam sel. Kedua
terbentuknya radikal bebas, selama latihan fisik maksimal, erat hubungannya
dengan proses iskemia-perfusi. Pada saat latihan fisik maksimal, terjadi hipoksia
Universitas Sumatera Utara
relative sementara di jaringan beberapa organ yang tidak aktif seperti ginjal, hati
dan usus. Hal ini untuk konpensasi peningkatan pasokan darah ke otot yang aktif
dan kulit. Disamping itu selama latihan fisik dengan intensitas tinggi dengan
denyut nadi 80-85% denyut nadi maksimal, serabut otot menjadi relative hipoksia,
karena pada saat otot berkontraksi dengan kuat, memeras pembuluh darah
intramuscular di bagian otot yang aktif, akibatnya terjadi penurunan aliran darah
ke otot yang aktif untuk sementara. Setelah selesai latihan fisik, darah dengan
cepat kembali ke berbagai organ yang kekurangan aliran darah tadi, sehingga
terjadi perfusi yang dapat menyebabkan sejumlah radikal bebas turut dalam
sirkulasi. (Cooper, 2000). Sumber utama produksi senyawa oksigen reaktif (ROS)
selama aktifitas fisik adalah sebagai berikut :
1.
Rantai transfer elektron mitokondria, terutama pada komplek 1 (NADH –
ubiquinone reductase) dan komplek 3 (Ubiquinone – cythocrome c
reductase), yaitu tempat pembentukan radikal superoksida dan hydrogen
peroksida.
2.
Jalur xantine oksidase melalui mekanisme iskemia – referfusi jantung.
Selama iskemia, ATP diubah menjadi AMP. Jika suplai oksigen kurang
AMP akan diubah menjadi hypoxantin yang selanjutnya diubah menjadi
xantin dan assam urat oleh xantin oxidase, yang akhirnya membentuk
radikal superoksida.
3.
Neutrofil dan respon inflamasi, yang merupakan sumber sekunder produksi
ROS selama periode recovery setelah latihan fisik berat.
Universitas Sumatera Utara
4.
Katekolamin, yaitu pada latihan fisik jangka panjang. Pada latihan ini terjadi
peningkatan metabolisme oksidatif yang melalui aktivasi reseptor βandrenergik
menyebabkan
produksi
ROS
mitokondria
meningkat
(Belviranh, 2006)
2.3
Patologi Ginjal
Zat dikelurkan tubuh melalui organ ekskresi, dan ginjal merupakan yang
terpenting (Guyton, 2006). Ekskresi ginjal dapat berefek samping, baik karena
toksin, obat, atau konsentrasi tinggi zat yang potensial merusak, menyebabkan
nekrosis
tubular
akut
(NTA),
nefritis
intersisialis
akibat
obat,
dan
membranoglomerulonephritis (MGN) (Underwood, 2000. Alpers 2007). Nekrosis
tubuler akut adalah kesatuan klinikopatologik yang ditandai secara morfologik
oleh destruksi sel epitel tubulus dan secara klinik oleh supresi akut fungsi ginjal
(Alpers 2007). NTA dapat dibedakan atas NTA iskemik dan NTA nefrotoksik.
NTA iskemik timbul pada beberapa kondisi klinis, seperti trauma, terbakar,
infeksi yang penderitanya mengalami syok, transfusi darah yang tidak sesuai, dan
kegawatan hemolitik lain seperti mioglobinuria. Pada NTA iskemik ginjal
menjadi pucat dan bengkak.
Gambaran histologis menunjukkan adanya nekrosis segmen-segmen
pendek tubulus. Kebanyakan lesi terlihat pada bagian lurus tubuli proksimalis,
tetapi tidak ada segmen tubuli proksimalis atau tubuli distalis yang tersisa baik.
Nekrosis tubulus biasanya disertai robekan membrana basalis (tubuloreksis) dan
edema intersisium generalisata. Kast sering terjadi pada bagian distal tubulus dan
Universitas Sumatera Utara
duktus kolektivus, yang terbentuk dari kumpulan debris seluler dan protein
termasuk protein Tamm-Horsfall. Pada kasus NTA sebagai akibat jejas traumatik,
mioglobin ditemukan dalam kast. Apabila NTA sebagai akibat dari kesalahan
pencocokan darah pada transfusi, hemoglobin dapat pula ditemukan (Underwood,
2000. Alpers 2007). Pada NTA nefrotoksik ginjal bengkak, berwarna merah, dan
sering ditemukan vakuolisasi sitoplasma sel epitel tubulus. Kerusakan terbanyak
di tubulus proksimal, jarang di tubulus distal. Tampak adanya degenerasi tubulus
proksimal yang mengandung debris, tetapi membrana basalis utuh (Underwood,
2000. Alpers 2007). NTA merupakan penyebab terpenting dari gagal ginjal akut.
Klinisnya adalah oliguria yang dilanjutkan diuresis. Adanya kerusakan tubulus
menyebabkan retensi cairan, sehingga terjadi uremia, hiperkalemia, peningkatan
blood urea nitrogen (BUN) sekitar 25 sampai 30 mg/dl setiap hari, dan kreatinin
meningkat kira-kira 2,5mg/dl setiap hari (Underwood, 2000. Price, 2005). Setelah
penyembuhan, epitel tubulus diganti dengan sel yang belum memiliki kemampuan
selektif, sehingga urin mudah lewat tanpa absorbsi yang mengakibatkan dehidrasi
dan hilangnya elektrolit tertentu Alpers 2007. Price, 2005). Tampak pula
peningkatan ketidakkebalan terhadap infeksi sehingga kurang lebih 25% kematian
akibat NTA terjadi selama fase diuretik (Underwood, 2000).
Kerusakan ginjal dapat terjadi secara langsung pada sel atau akibat
gangguan sirkulasi darah (iskemi). Gejala kliniknya meliputi hipertensi, anemia
dan GGK. Gambaran morfologiknya tampak papila nekrotik, berwarna coklat
kekuningan disertai timbunan hasil metabolisme fenasetin atau pigmen mirip
lipofusin, kemudian papila hancur dan lepas dalam pelvis ginjal. Mikroskopik
Universitas Sumatera Utara
tampak papila mengalami nekrosis koagulativa, disertai kalsifikasi distrofik
(Price, 2005. Junqueira, 2008). Korteks mengalami atrofi, fibrosis intertisial, dan
sebukan sel radang. Dinding pembuluh darah kecil dalam papila dan submukosa
saluran kemih menunjukkan gambaran khas penebalan membran basal yang
positif pada pulasan PAS (Wijaya, 1996).
2.3.1 Tubulus Proksimal
Tubulus proksimal berjalan berkelok-kelok dan berakhir sebagai saluran
yang lurus di medula ginjal (pars desendens Ansa Henle). Tubulus kontortus
proksimal terdapat banyak pada korteks ginjal dengan diameter sekitar 60 μm dan
panjang sekitar 14 mm. Tubuluskontortus proksimal terdiri dari pars konvulata
yang berada di dekatkorpuskulus ginjal dan pars rekta yang berjalan turun di
medula dan korteks, kemudian berlanjut menjadi lengkung Henle di medulla
(Gartner dan Hiatt, 2007). Fungsi tubulus kontortus proksimal adalah mengurangi
isi filtrat glomerulus 80-85% dengan cara reabsorpsi melalui transport dan pompa
natrium. Glukosa, asam amino dan protein seperti bikarbonat, akan diresorpsi.
Epitel yang melapisi tubulus ini adalah selapis kuboid atau silindris yang
menunjang dalam mekanisme absorbsi dan ekskresi. Sel-sel epitel ini memiliki
sitoplasma asidofilik yang disebabkan oleh adanya mitokondria panjang dalam
jumlah besar. Apeks sel memiliki banyak mikrovili dengan panjang sekitar 1 μm,
yang membentuk suatu brush border (Guyton dan Hall, 2007; Junqueira
Universitas Sumatera Utara
et.al.,2005).
Gambar 2.
Histologi Ginjal Nornal (Eroschenko, 2003)
Pada medula bagian luar, ruas tebal desenden, dengan garis tengah luar
sekitar 60 μm, secara mendadak menipis sampai sekitar 12 μm dan berlanjut
sebagai ruas tipis desenden. Lumen ruas nefron ini lebar karena dindingnya terdiri
atas sel epitel gepeng yang intinya hanya sedikit menonjol ke dalam lumen. Bila
ruas tebal asenden lengkung Henle menerobos korteks, struktur histologisnya
tetap terpelihara tetapi menjadi berkelok-kelok disebut tubulus kontortus distal,
yaitu bagian terakhir nefron. Tubulus ini dilapisi oleh sel-sel epitel selapis kuboid
(Junqueira et al., 2005). Sel epitel tubulus sangat peka terhadap anoksia dan
rentan terhadap toksin. Beberapa faktor memudahkan tubulus mengalami toksik,
termasuk permukaan bermuatan listrik yang luas untuk reabsorbsi tubulus, sistem
transpor aktif untuk ion dan asam organik, dan kemampuan melakukan pemekatan
secara efektif, selain itu kadar sitokrom P450 yang tinggi untuk mendetoksifikasi
atau mengaktifkan toksikan (Cotran et al., 2007).
Universitas Sumatera Utara
2.3.2 Mekanisme kerusakan ginjal akibat hipoksia
Ginjal merupakan organ tubuh dengan perfusi paling baik, bila
dibandingkan dengan berat organ dan asupan oksigen permenit. Namun tekanan
oksigen jaringan pada parenkim ginjal jauh lebih rendah dibandingkan organ lain
dan tekanan terendah ada pada vena ginjal. Medula ginjal merupakan salah satu
bagian tubuh dengan tekanan oksigen terendah. Perbedaan ini dijelaskan oleh
adanya asupan oksigen yang tinggi dan tekanan oksigen jaringan yang rendah
serta arsitektur unik vaskuler ginjal. Pada korteks dan medula ginjal, cabangcabang arteri dan vena ginjal berjalan secara pararel dan kontak erat antara satu
dengan yang lain dalam jarak yang panjang. Hal ini memberikan kesempatan
difusi oksigen dari sistem arteri menuju sistem vena sebelum masuk menuju
kapiler. Mekanisme ini menjelaskan rendahnya tekanan oksigen di medula dan
korteks ginjal (Eckardt, 2005).
Segmen tubulus sebagian besar mempunyai kapasitas yang terbatas
terhadap energi yang bersifat anaerobik sehingga tergantung pada oksigen dalam
memelihara reabsorpsi aktif solut transtubulus. Kombinasi antara terbatasnya
asupan oksigen jaringan dan tingginya kebutuhan oksigen merupakan faktor
utama ginjal lebih mudah mengalami jejas iskemi akut (Brezis, 1995) Kapiler
peritubuler ginjal merupakan basis struktur dari transport oksigen yang adekuat
untuk sel tubulus, penurunan densitas kapiler ini berhubungan penyakit ginjal
kronis. Bohle dan rekan, pada penelitian biopsi ginjal manusia menunjukkan
penurunan jumlah kapiler peritubuler berhubungan dengan gangguan fungi ginjal
yang progresif. Penelitian terbaru, hilangnya kapiler peritubuler ditunjukkan pada
Universitas Sumatera Utara
berbagai model binatang, meliputi: glomerulonefritis, model ginjal remnant,
obstruksi uretra, iskemi, stenosis arteri renalis. Penurunan densitas kapiler
peritubuler terjadi dengan cepat dalam hitungan hari sejak terjadinya rangsangan
awal dan tetap bertahan dalam beberapa minggu. Kerusakan tubulointerstisial
akibat hipoksia melalui mekanisme yang multifaktorial. Hipoksia dapat
mengaktifasi fibroblas, perubahan metabolisme matriks ekstrasel pada sel-sel
ginjal, dan fibrogenesis. Aktifasi interstisial fibrosis akibat hipoksia dan
peningkatan deposit matriks ekstrasel akan mengakibatkan gangguan aliran darah
dan asupan oksigen. Sel tubulus ginjal yang mengalami hipoksia lebih mudah
mengalami gangguan fungsi mitokondria dan defisit energi yang menetap.
Hipoksia juga menginduksi apoptosis tubulus ginjal dan sel endotel melalui
mekanisme mitokondria. Analisis histologis pada model tikus membuktikan
apotosis sel tubulus ginjal akibat keadaan hipoksia. Penelitian ini membuktikan
peranan iskemia kronik akibat kapiler derangement sebagai mediator gagal ginjal
terminal (Nangaku, 2006).
2.3.3 Perubahan pada ginjal akibat hipoksia
Seperti halnya pada semua sel, anoksia pada sel ginjal mengakibatkan
penekanan pada penyimpanan energi, perubahan gradien elektrolit, disrupsi dari
actin cytoskeleton, aktivasi pospolipase dan perubahan ekspresi gen. Hipoksia
ginjal menginduksi hilangnya polaritas epitel sepanjang tubulus proksimal dan
induksi selektif fragmentasi DNA pada gen growth-response (memicu apoptosis)
sepanjang medullary thick limbs. Jejas iskemi pada vaskular ginjal mengakibatkan
Universitas Sumatera Utara
peningkatan aktifitas renovaskular dan merupakan predesposisi iskemi sekunder
akibat hipotensi selama fase pemulihan pada gagal ginjal akut. Iskemia juga
menginduksi antigen histokompatibilitas pada sel tubulus ginjal dan intercellular
adhesion molecules pada sel endotel menyebabkan agregasi trombosit dan
netrofil. Kerusakan akibat anoksia sepanjang tubulus ditentukan oleh lebih
mudahnya terjadi hipoksia pada berbagai segmen nefron dan gradien oksigen
jaringan. Glomerulus dan collecting ducts mempunyai daya tahan yang lebih baik
terhadap keadaan hipoksia. Namun tubulus proksimal dan distal secara intrinsik
lebih peka terhadap hipoksia. Gradien oksigen intrarenal lebih berperan pada
kerusakan tubulus in vivo. Gradien oksigen intrarenal setelah iskemia ginjal
mencerminkan distribusi jejas tubulus ginjal (Sastrawan, 2008)
Medula ginjal bagian luar merupakan tempat utama kerusakan ginjal
karena adanya hipoksia regional dan tubulus yang rentan terhadap hipoksia.
Sedangkan medula bagian dalam mempunyai daya tahan yang lebih baik. karena
struktur anatominya dan kebutuhan metabolismenya lebih rendah. Korteks bukan
merupakan target karena lokasinya paling jauh dari asupan oksigen dan
strukturnya susceptible (Shanley, 1986) Fragmentasi dan pembengkakan sel
merupakan respon tubulus terhadap hipoksia. Perbedaan respon terhadap hipoksia
berhubungan
dengan
perbedaan
fungsi
antara
segmen-segmen
nefron
(Brezis,1993).
Derajat atrofi tubulus dan fibrosis interstisial, berhubungan dengan
beratnya gagal ginjal. Fibrosis meningkat pada penyakit ginjal kronis yang berasal
dari hipoksia intrarenal akibat peningkatan konsumsi oksigen pada nefron
Universitas Sumatera Utara
remnant. Hipoksia menyebabkan peningkatan ekspresi antigen dan pelepasan
sitokin pada tubulus yang merangsang pembentukan kolagen intrarenal. Tidak ada
alat yang dapat mengukur aliran darah atau oksigen intrarenal, sehingga hal ini
hanya dapat diukur secara tidak langsung. Hilangnya kapasitas konsentrasi urin
merupakan salah satu alat ukur yang paling sensitif untuk mengetahui kerusakan
ginjal pada keadaan hipoperfusi (Brezis, 1995).
2.4
Vitamin E
Vitamin E pertama sekali ditemukan sekitar awal 1920-an. Vitamin E
memiliki delapan struktur isomer tokoferol dan tokotrienols alpha (α), beta (β),
gamma dan delta (δ) tocopherol dan tocotrienol (Brigelius,1999). Vitamin E (tocoferol) merupakan vitamin larut dalam lemak dan merupakan antioksidan dan
berfungsi penting dalam pemeliharaan integritas membran sel utama tubuh.
Defisiensi -tocoferol di manifestasikan pada gangguan neuromuskular,
pembuluh darah dan sistem reproduksi, disfungsi membrane akibat degradasi
oksidatif pada lemak tak jenuh membran phospholipid dan atau gangguan proses
kritikal seluler (Terbelence, 2000).
Vitamin E merupakan pemutus rantai peroksida lemak pada membran.
Vitamin E mengendalikan peroksida lemak dengan menyumbangkan ion hidrogen
ke dalam reaksi, sehingga mengubah radikal peroksil (hasil peroksidasi lipid)
menjadi radikal tokoferol yang kurang reaktif, menyekat aktivitas tambahan yang
dilakukan oleh peroksida, sehingga memutus reaksi berantai dan bersifat
membatasi kerusakan (Burton, 1994; Bregelius-Fohe, 1999).
Universitas Sumatera Utara
Penelitian tentang efek antioksidan vitamin E pada hewan percobaan
menggunakan dosis vitamin E berdasarkan berat badan hewan percobaan atau
jumlah vitamin E yang dicampurkan dalam diet. Sureda (2005) menunjukkan
bahwa pemberian vitamin E memberikan perbaikan pada eritrosit, limfosit, tetapi
tidak pada neutrophil. Lipid dan zat asam thiobarbituric rekatif (TBARS) dalam
plasma dan dalam serat otot pada tikus yang terbentuk dengan olah raga berat
selama empat minggu dapat diturunkan dengan pemberian suplemen vitamin E.
Verma et al., (2001) mendapatkan pemberian vitamin E 2 mg/hari per oral selama
45 hari mampu meningkatkan aktivitas enzim superoxide dismutase, glutathione
peroxidase, dan catalase, serta menurunkan kadar MDA testis mencit yang
dipaparkan aflatoksin 25 g/hari per oral selama 45 hari. Zhang (1997) meneliti
pemberian vitamin E dengan dosis 2 mg/hari per oral selama 90 hari mampu
menghambat terjadinya proses lipid peroksidasi, apoptosis, perubahan DNA, dan
kanker pada ginjal mencit yang dipapari zat besi. Obianime; Roberts I.I (2009)
mendapatkan adanya efek antioksidan yang sama antara vitamin C dan Vitamin E
pada jaringan histologi ginjal dan testis mencit yang di papari kadmium. Dalam
hal ini pemberian vitamin E 1,51 mg/hari peroral selama empat 30 hari dapat
melindungi jaringan ginjal dan testis pada mencit yang terpapar kadmium yang
dapat bertindak sebagai radikal bebas dan bersifat hepatotoksik.
Secara klinis, vitamin E juga bermanfaat melindungi membran dasar
glomerulus ginjal dan menghambat proses pengentalan darah (agregrasi platelet)
(Saran et al., 2003). Jika kekurangan vitamin E, dapat terjadi nefritis dimana
tubulus tidak dapat dilewati urine yang ditandai dengan degenerasi basal yang
Universitas Sumatera Utara
progresif. Jika hal ini berkepanjangan maka tubulus akan hancur, namun
penambahan vitamin E akan memperbaiki kondisi ini. Vitamin E membantu sel
bertahan hidup dengan penurunan kebutuhannya akan oksigen, mencegah jaringan
parut dan kerusakan ginjal oleh karena bahan kimia beracun serta meningkatkan
aliran urine (Crawford, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Download