BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Latihan Fisik Latihan fisik adalah pergerakan tubuh yang dilakukan otot dengan terencana dan berulang yang menyebabkan peningkatan pemakaian energi dengan tujuanmemperbaiki kebugaran fisik (Pedriatics, 1994). Defenisi lain, latihan fisik atau exercise adalah subkelompok aktifitas fisik berupa gerakan tubuh yang terencana, terstruktur dan repetitive (berulang) untuk memperbaiki atau memulihkan satu atau lebih komponen kebugaran fisik (Halliwell and Whiteman, 2004). Latihan fisik berdasarkan sumber tenaganya atau pembentukan ATP melalui tiga sistem, Yaitu 1) Sistem aerobik. 2) Sistem glikolisis anaerobik (Lactic acid system dan 3) Sistem ATP Creatinin Phospat (phosphagen system) (Fox, 1993). Aktivitas aerobik merupakan latihan yang bergantung terhadap ketersediaan oksigen untuk membantu proses pembakaran sumber energi sehingga juga akan bergantung pada kerja optimal organ-organ tubuh seperti jantung paruparu dan juga pembuluh darah untuk mengangkut oksigen agar proses pembakaran sumber energi dapat berjalan sempurna. Latihan ini biasanya merupakan latihan olahraga dengan intensitas rendah-sedang yang dapat dilakukan secara kontinyu dalam waktu yang cukup lama. Latihan anaerobik merupakan latihan dengan intensitas tinggi yang membutuhkan energi yang cepat dalam waktu yang singkat namun tidak dapat dilakukan secara kontinu untuk durasi waktu yang lama. Latihan ini juga biasanya Universitas Sumatera Utara memerlukan interval istirahat agar ATP (adenosine Tripospat) dapat di regenerasi sehingga kegiatannya dapat dilanjutkan kembali. Latihan fisik akan menyebabkan perubahan–perubahan pada faal tubuh manusia, baik bersifat sementara/sewaktusewaktu (respons) maupun yang bersifat menetap (adaption). Latihan fisik dengan aktifitas tinggi (antara sub makasimal hingga maksimal) akan menyebabkan otot berkontraksi secara anaerobik. Kontraksi otot secara anaerobik membutuhkan penyediaan energi (ATP) melalui proses glikolisis anaerobik atau system asam laktat (lactid acid system). Glikolisis anaerobik akan menghasilkan produk akhir berupa asam laktat. Jadi,aktifitas dengan intensitas submaksimal hingga intensitas maksimal akan menyebabkan akumulasi asam laktat dalam otot dan darah (Bompa, 1990 , Fox, 1993). Pada latihan fisik terjadi peningkatan konsumsi oksigen. Peningkatan ini akan mencapai maksimal saat penambahan beban kerja tidak mampu meningkatkan konsumsi oksigen. Hal ini dikenal dengan konsumsi oksigen maksimum (VO2 max). Sesudah VO2 max tercapai, kerja ditingkatkan dan dipertahankan hanya dalam waktu singkat dengan metabolisme anaerob pada otot yang melakukan aktifitas. Secara teoritis, VO2 max dibatasi oleh kardiak output, kemampuan sistem respirasi untuk membawa oksigen darah, dan kemampuan otot yang bekerja untuk menggunakan oksigen. Faktanya, pada orang normal (kecuali atlet pada yang sangat terlatih), Kardiak output adalah faktor yang menentukan VO2 max (Bompa, 1990). Pengaruh latihan fisik dapat seketika yang disebut respon akut dan pengaruh jangka panjang akibat latihan yang teratur dan terprogram yang disebut adaptasi. Termasuk respon akut adalah bertambahnya Universitas Sumatera Utara frekwensi denyut jantung, peningkatan frekwensi pernafasan, peningkatan tekanan darah dan peningkatan suhu badan. Termasuk adaptasi antara lain peningkatan masa otot, bertambahnya masa tulang, bertambahnya sistem pertahanan antioksidan serta penurunan frekwensi denyut jantung istirahat (Sutarina dan Tambunan, 2004). Latihan fisik yang dapat meningkatkan sistem pertahanan antioksidan adalah latihan fisik dengan intensitas rendah dan intensitas sedang, karena aktifitas fisik pada tingkat ini mengacu pada program aktifitas fisik yang dirancang untuk meminimalkan pengeluaran radikal bebas. Sedangkan latihan fisik yang maksimal dan melelahkan dapat meningkatkan jumlah leukosit dan neutrofil baik dalam sirkulasi maupun jaringan (Cooper,2000). Nayanatara (2004) Latihan fisik maksimal renang pada tikus dengan durasi 45 menit dengan suhu lingkungan 200 C selama tujuh hari memberikan gambaran makroskopis berupa peningkatan berat hati, ginjal, kelenjar adrenal dan kortek serebri. 2.2 Radikal bebas dan Reaktive Oxygen Species (ROS) Radikal bebas adalah suatu molekul dimana elektron yang terletak pada lapisan paling luar tidak mempunyai pasangan (Greenwald, 1991; Halliwell, 1995). Adanya molekul dengan elektron yang tidak berpasangan ini membuat mereka sangat reaktif (Burk, 1988). Reaktif artinya mempunyai spesifisitas yang rendah sehingga mereka mampu bereaksi dengan molekul-molekul yang berada disekitarnya. Molekul-molekul tersebut termasuk protein, lipid, karbohidrat dan DNA. Reaktif juga berarti tidak bertahan lama dalam bentuk “asli” karena untuk mempertahankan kestabilan molekul, mereka harus mengambil satu elektron dari Universitas Sumatera Utara molekul yang lain. Artinya, radikal bebas menyerang molekul stabil yang berada di dekatnya dan mengambil elektron dari molekul tersebut. Molekul yang diambil elektronnya kemudian juga menjadi radikal bebas dan mengambil elektron dari molekul lain, begitulah seterusnya sampai terjadi kerusakan sel. Karena molekulmolekul yang sangat reaktif ini sebagian besar berasal dari oksigen maka secara umum molekul-molekul tersebut disebut reactive oxygen species (ROS). ROS berasal dari proses fisiologis tersebut (ROS endogen) dan lainnya adalah ROS eksogen ,seperti berbagai polutan lingkungan (emisi kendaraan bermotor dan industri,asbes,asap rokok, dan lain-lain),radiasi ionisasi,infeksi bakteri, jamur dan virus,serta paparan zat kimia (termasuk obat) yang bersifat mengoksidasi. Ada berbagai jenis ROS, contohnya adalah superoksida (O2-),hidroksil (OH-), alkoksil (RO-),peroksil (ROO-) dan hidroperoksil (ROOH) (Cuzzocrea,et al.,2001). 2.2.1 Produksi Radikal bebas akibat latihan fisik Mekanisme terbentuknya radikal bebas selama aktifitas fisik maksimal ada 2 cara. Pertama disebabkan lepasnya electron superoksida dari mitokondria. Pada saat latihan fisik maksimal terjadi peningkatan konsumsi oksigen sampai 20 kali, bahkan dalam otot dapat mencapai 100 kali. Penggunaan oksigen yang berlebih ini dapat memicu pembentukan radikal bebas di berbagai jaringan tubuh. Selama latihan fisik maksimal, pengeluaran radikal bebas terutama superoksida dapat meningkat dalam mitokondria, atau pusat-pusat energi di dalam sel. Kedua terbentuknya radikal bebas, selama latihan fisik maksimal, erat hubungannya dengan proses iskemia-perfusi. Pada saat latihan fisik maksimal, terjadi hipoksia Universitas Sumatera Utara relative sementara di jaringan beberapa organ yang tidak aktif seperti ginjal, hati dan usus. Hal ini untuk konpensasi peningkatan pasokan darah ke otot yang aktif dan kulit. Disamping itu selama latihan fisik dengan intensitas tinggi dengan denyut nadi 80-85% denyut nadi maksimal, serabut otot menjadi relative hipoksia, karena pada saat otot berkontraksi dengan kuat, memeras pembuluh darah intramuscular di bagian otot yang aktif, akibatnya terjadi penurunan aliran darah ke otot yang aktif untuk sementara. Setelah selesai latihan fisik, darah dengan cepat kembali ke berbagai organ yang kekurangan aliran darah tadi, sehingga terjadi perfusi yang dapat menyebabkan sejumlah radikal bebas turut dalam sirkulasi. (Cooper, 2000). Sumber utama produksi senyawa oksigen reaktif (ROS) selama aktifitas fisik adalah sebagai berikut : 1. Rantai transfer elektron mitokondria, terutama pada komplek 1 (NADH – ubiquinone reductase) dan komplek 3 (Ubiquinone – cythocrome c reductase), yaitu tempat pembentukan radikal superoksida dan hydrogen peroksida. 2. Jalur xantine oksidase melalui mekanisme iskemia – referfusi jantung. Selama iskemia, ATP diubah menjadi AMP. Jika suplai oksigen kurang AMP akan diubah menjadi hypoxantin yang selanjutnya diubah menjadi xantin dan assam urat oleh xantin oxidase, yang akhirnya membentuk radikal superoksida. 3. Neutrofil dan respon inflamasi, yang merupakan sumber sekunder produksi ROS selama periode recovery setelah latihan fisik berat. Universitas Sumatera Utara 4. Katekolamin, yaitu pada latihan fisik jangka panjang. Pada latihan ini terjadi peningkatan metabolisme oksidatif yang melalui aktivasi reseptor βandrenergik menyebabkan produksi ROS mitokondria meningkat (Belviranh, 2006) 2.3 Patologi Ginjal Zat dikelurkan tubuh melalui organ ekskresi, dan ginjal merupakan yang terpenting (Guyton, 2006). Ekskresi ginjal dapat berefek samping, baik karena toksin, obat, atau konsentrasi tinggi zat yang potensial merusak, menyebabkan nekrosis tubular akut (NTA), nefritis intersisialis akibat obat, dan membranoglomerulonephritis (MGN) (Underwood, 2000. Alpers 2007). Nekrosis tubuler akut adalah kesatuan klinikopatologik yang ditandai secara morfologik oleh destruksi sel epitel tubulus dan secara klinik oleh supresi akut fungsi ginjal (Alpers 2007). NTA dapat dibedakan atas NTA iskemik dan NTA nefrotoksik. NTA iskemik timbul pada beberapa kondisi klinis, seperti trauma, terbakar, infeksi yang penderitanya mengalami syok, transfusi darah yang tidak sesuai, dan kegawatan hemolitik lain seperti mioglobinuria. Pada NTA iskemik ginjal menjadi pucat dan bengkak. Gambaran histologis menunjukkan adanya nekrosis segmen-segmen pendek tubulus. Kebanyakan lesi terlihat pada bagian lurus tubuli proksimalis, tetapi tidak ada segmen tubuli proksimalis atau tubuli distalis yang tersisa baik. Nekrosis tubulus biasanya disertai robekan membrana basalis (tubuloreksis) dan edema intersisium generalisata. Kast sering terjadi pada bagian distal tubulus dan Universitas Sumatera Utara duktus kolektivus, yang terbentuk dari kumpulan debris seluler dan protein termasuk protein Tamm-Horsfall. Pada kasus NTA sebagai akibat jejas traumatik, mioglobin ditemukan dalam kast. Apabila NTA sebagai akibat dari kesalahan pencocokan darah pada transfusi, hemoglobin dapat pula ditemukan (Underwood, 2000. Alpers 2007). Pada NTA nefrotoksik ginjal bengkak, berwarna merah, dan sering ditemukan vakuolisasi sitoplasma sel epitel tubulus. Kerusakan terbanyak di tubulus proksimal, jarang di tubulus distal. Tampak adanya degenerasi tubulus proksimal yang mengandung debris, tetapi membrana basalis utuh (Underwood, 2000. Alpers 2007). NTA merupakan penyebab terpenting dari gagal ginjal akut. Klinisnya adalah oliguria yang dilanjutkan diuresis. Adanya kerusakan tubulus menyebabkan retensi cairan, sehingga terjadi uremia, hiperkalemia, peningkatan blood urea nitrogen (BUN) sekitar 25 sampai 30 mg/dl setiap hari, dan kreatinin meningkat kira-kira 2,5mg/dl setiap hari (Underwood, 2000. Price, 2005). Setelah penyembuhan, epitel tubulus diganti dengan sel yang belum memiliki kemampuan selektif, sehingga urin mudah lewat tanpa absorbsi yang mengakibatkan dehidrasi dan hilangnya elektrolit tertentu Alpers 2007. Price, 2005). Tampak pula peningkatan ketidakkebalan terhadap infeksi sehingga kurang lebih 25% kematian akibat NTA terjadi selama fase diuretik (Underwood, 2000). Kerusakan ginjal dapat terjadi secara langsung pada sel atau akibat gangguan sirkulasi darah (iskemi). Gejala kliniknya meliputi hipertensi, anemia dan GGK. Gambaran morfologiknya tampak papila nekrotik, berwarna coklat kekuningan disertai timbunan hasil metabolisme fenasetin atau pigmen mirip lipofusin, kemudian papila hancur dan lepas dalam pelvis ginjal. Mikroskopik Universitas Sumatera Utara tampak papila mengalami nekrosis koagulativa, disertai kalsifikasi distrofik (Price, 2005. Junqueira, 2008). Korteks mengalami atrofi, fibrosis intertisial, dan sebukan sel radang. Dinding pembuluh darah kecil dalam papila dan submukosa saluran kemih menunjukkan gambaran khas penebalan membran basal yang positif pada pulasan PAS (Wijaya, 1996). 2.3.1 Tubulus Proksimal Tubulus proksimal berjalan berkelok-kelok dan berakhir sebagai saluran yang lurus di medula ginjal (pars desendens Ansa Henle). Tubulus kontortus proksimal terdapat banyak pada korteks ginjal dengan diameter sekitar 60 μm dan panjang sekitar 14 mm. Tubuluskontortus proksimal terdiri dari pars konvulata yang berada di dekatkorpuskulus ginjal dan pars rekta yang berjalan turun di medula dan korteks, kemudian berlanjut menjadi lengkung Henle di medulla (Gartner dan Hiatt, 2007). Fungsi tubulus kontortus proksimal adalah mengurangi isi filtrat glomerulus 80-85% dengan cara reabsorpsi melalui transport dan pompa natrium. Glukosa, asam amino dan protein seperti bikarbonat, akan diresorpsi. Epitel yang melapisi tubulus ini adalah selapis kuboid atau silindris yang menunjang dalam mekanisme absorbsi dan ekskresi. Sel-sel epitel ini memiliki sitoplasma asidofilik yang disebabkan oleh adanya mitokondria panjang dalam jumlah besar. Apeks sel memiliki banyak mikrovili dengan panjang sekitar 1 μm, yang membentuk suatu brush border (Guyton dan Hall, 2007; Junqueira Universitas Sumatera Utara et.al.,2005). Gambar 2. Histologi Ginjal Nornal (Eroschenko, 2003) Pada medula bagian luar, ruas tebal desenden, dengan garis tengah luar sekitar 60 μm, secara mendadak menipis sampai sekitar 12 μm dan berlanjut sebagai ruas tipis desenden. Lumen ruas nefron ini lebar karena dindingnya terdiri atas sel epitel gepeng yang intinya hanya sedikit menonjol ke dalam lumen. Bila ruas tebal asenden lengkung Henle menerobos korteks, struktur histologisnya tetap terpelihara tetapi menjadi berkelok-kelok disebut tubulus kontortus distal, yaitu bagian terakhir nefron. Tubulus ini dilapisi oleh sel-sel epitel selapis kuboid (Junqueira et al., 2005). Sel epitel tubulus sangat peka terhadap anoksia dan rentan terhadap toksin. Beberapa faktor memudahkan tubulus mengalami toksik, termasuk permukaan bermuatan listrik yang luas untuk reabsorbsi tubulus, sistem transpor aktif untuk ion dan asam organik, dan kemampuan melakukan pemekatan secara efektif, selain itu kadar sitokrom P450 yang tinggi untuk mendetoksifikasi atau mengaktifkan toksikan (Cotran et al., 2007). Universitas Sumatera Utara 2.3.2 Mekanisme kerusakan ginjal akibat hipoksia Ginjal merupakan organ tubuh dengan perfusi paling baik, bila dibandingkan dengan berat organ dan asupan oksigen permenit. Namun tekanan oksigen jaringan pada parenkim ginjal jauh lebih rendah dibandingkan organ lain dan tekanan terendah ada pada vena ginjal. Medula ginjal merupakan salah satu bagian tubuh dengan tekanan oksigen terendah. Perbedaan ini dijelaskan oleh adanya asupan oksigen yang tinggi dan tekanan oksigen jaringan yang rendah serta arsitektur unik vaskuler ginjal. Pada korteks dan medula ginjal, cabangcabang arteri dan vena ginjal berjalan secara pararel dan kontak erat antara satu dengan yang lain dalam jarak yang panjang. Hal ini memberikan kesempatan difusi oksigen dari sistem arteri menuju sistem vena sebelum masuk menuju kapiler. Mekanisme ini menjelaskan rendahnya tekanan oksigen di medula dan korteks ginjal (Eckardt, 2005). Segmen tubulus sebagian besar mempunyai kapasitas yang terbatas terhadap energi yang bersifat anaerobik sehingga tergantung pada oksigen dalam memelihara reabsorpsi aktif solut transtubulus. Kombinasi antara terbatasnya asupan oksigen jaringan dan tingginya kebutuhan oksigen merupakan faktor utama ginjal lebih mudah mengalami jejas iskemi akut (Brezis, 1995) Kapiler peritubuler ginjal merupakan basis struktur dari transport oksigen yang adekuat untuk sel tubulus, penurunan densitas kapiler ini berhubungan penyakit ginjal kronis. Bohle dan rekan, pada penelitian biopsi ginjal manusia menunjukkan penurunan jumlah kapiler peritubuler berhubungan dengan gangguan fungi ginjal yang progresif. Penelitian terbaru, hilangnya kapiler peritubuler ditunjukkan pada Universitas Sumatera Utara berbagai model binatang, meliputi: glomerulonefritis, model ginjal remnant, obstruksi uretra, iskemi, stenosis arteri renalis. Penurunan densitas kapiler peritubuler terjadi dengan cepat dalam hitungan hari sejak terjadinya rangsangan awal dan tetap bertahan dalam beberapa minggu. Kerusakan tubulointerstisial akibat hipoksia melalui mekanisme yang multifaktorial. Hipoksia dapat mengaktifasi fibroblas, perubahan metabolisme matriks ekstrasel pada sel-sel ginjal, dan fibrogenesis. Aktifasi interstisial fibrosis akibat hipoksia dan peningkatan deposit matriks ekstrasel akan mengakibatkan gangguan aliran darah dan asupan oksigen. Sel tubulus ginjal yang mengalami hipoksia lebih mudah mengalami gangguan fungsi mitokondria dan defisit energi yang menetap. Hipoksia juga menginduksi apoptosis tubulus ginjal dan sel endotel melalui mekanisme mitokondria. Analisis histologis pada model tikus membuktikan apotosis sel tubulus ginjal akibat keadaan hipoksia. Penelitian ini membuktikan peranan iskemia kronik akibat kapiler derangement sebagai mediator gagal ginjal terminal (Nangaku, 2006). 2.3.3 Perubahan pada ginjal akibat hipoksia Seperti halnya pada semua sel, anoksia pada sel ginjal mengakibatkan penekanan pada penyimpanan energi, perubahan gradien elektrolit, disrupsi dari actin cytoskeleton, aktivasi pospolipase dan perubahan ekspresi gen. Hipoksia ginjal menginduksi hilangnya polaritas epitel sepanjang tubulus proksimal dan induksi selektif fragmentasi DNA pada gen growth-response (memicu apoptosis) sepanjang medullary thick limbs. Jejas iskemi pada vaskular ginjal mengakibatkan Universitas Sumatera Utara peningkatan aktifitas renovaskular dan merupakan predesposisi iskemi sekunder akibat hipotensi selama fase pemulihan pada gagal ginjal akut. Iskemia juga menginduksi antigen histokompatibilitas pada sel tubulus ginjal dan intercellular adhesion molecules pada sel endotel menyebabkan agregasi trombosit dan netrofil. Kerusakan akibat anoksia sepanjang tubulus ditentukan oleh lebih mudahnya terjadi hipoksia pada berbagai segmen nefron dan gradien oksigen jaringan. Glomerulus dan collecting ducts mempunyai daya tahan yang lebih baik terhadap keadaan hipoksia. Namun tubulus proksimal dan distal secara intrinsik lebih peka terhadap hipoksia. Gradien oksigen intrarenal lebih berperan pada kerusakan tubulus in vivo. Gradien oksigen intrarenal setelah iskemia ginjal mencerminkan distribusi jejas tubulus ginjal (Sastrawan, 2008) Medula ginjal bagian luar merupakan tempat utama kerusakan ginjal karena adanya hipoksia regional dan tubulus yang rentan terhadap hipoksia. Sedangkan medula bagian dalam mempunyai daya tahan yang lebih baik. karena struktur anatominya dan kebutuhan metabolismenya lebih rendah. Korteks bukan merupakan target karena lokasinya paling jauh dari asupan oksigen dan strukturnya susceptible (Shanley, 1986) Fragmentasi dan pembengkakan sel merupakan respon tubulus terhadap hipoksia. Perbedaan respon terhadap hipoksia berhubungan dengan perbedaan fungsi antara segmen-segmen nefron (Brezis,1993). Derajat atrofi tubulus dan fibrosis interstisial, berhubungan dengan beratnya gagal ginjal. Fibrosis meningkat pada penyakit ginjal kronis yang berasal dari hipoksia intrarenal akibat peningkatan konsumsi oksigen pada nefron Universitas Sumatera Utara remnant. Hipoksia menyebabkan peningkatan ekspresi antigen dan pelepasan sitokin pada tubulus yang merangsang pembentukan kolagen intrarenal. Tidak ada alat yang dapat mengukur aliran darah atau oksigen intrarenal, sehingga hal ini hanya dapat diukur secara tidak langsung. Hilangnya kapasitas konsentrasi urin merupakan salah satu alat ukur yang paling sensitif untuk mengetahui kerusakan ginjal pada keadaan hipoperfusi (Brezis, 1995). 2.4 Vitamin E Vitamin E pertama sekali ditemukan sekitar awal 1920-an. Vitamin E memiliki delapan struktur isomer tokoferol dan tokotrienols alpha (α), beta (β), gamma dan delta (δ) tocopherol dan tocotrienol (Brigelius,1999). Vitamin E (tocoferol) merupakan vitamin larut dalam lemak dan merupakan antioksidan dan berfungsi penting dalam pemeliharaan integritas membran sel utama tubuh. Defisiensi -tocoferol di manifestasikan pada gangguan neuromuskular, pembuluh darah dan sistem reproduksi, disfungsi membrane akibat degradasi oksidatif pada lemak tak jenuh membran phospholipid dan atau gangguan proses kritikal seluler (Terbelence, 2000). Vitamin E merupakan pemutus rantai peroksida lemak pada membran. Vitamin E mengendalikan peroksida lemak dengan menyumbangkan ion hidrogen ke dalam reaksi, sehingga mengubah radikal peroksil (hasil peroksidasi lipid) menjadi radikal tokoferol yang kurang reaktif, menyekat aktivitas tambahan yang dilakukan oleh peroksida, sehingga memutus reaksi berantai dan bersifat membatasi kerusakan (Burton, 1994; Bregelius-Fohe, 1999). Universitas Sumatera Utara Penelitian tentang efek antioksidan vitamin E pada hewan percobaan menggunakan dosis vitamin E berdasarkan berat badan hewan percobaan atau jumlah vitamin E yang dicampurkan dalam diet. Sureda (2005) menunjukkan bahwa pemberian vitamin E memberikan perbaikan pada eritrosit, limfosit, tetapi tidak pada neutrophil. Lipid dan zat asam thiobarbituric rekatif (TBARS) dalam plasma dan dalam serat otot pada tikus yang terbentuk dengan olah raga berat selama empat minggu dapat diturunkan dengan pemberian suplemen vitamin E. Verma et al., (2001) mendapatkan pemberian vitamin E 2 mg/hari per oral selama 45 hari mampu meningkatkan aktivitas enzim superoxide dismutase, glutathione peroxidase, dan catalase, serta menurunkan kadar MDA testis mencit yang dipaparkan aflatoksin 25 g/hari per oral selama 45 hari. Zhang (1997) meneliti pemberian vitamin E dengan dosis 2 mg/hari per oral selama 90 hari mampu menghambat terjadinya proses lipid peroksidasi, apoptosis, perubahan DNA, dan kanker pada ginjal mencit yang dipapari zat besi. Obianime; Roberts I.I (2009) mendapatkan adanya efek antioksidan yang sama antara vitamin C dan Vitamin E pada jaringan histologi ginjal dan testis mencit yang di papari kadmium. Dalam hal ini pemberian vitamin E 1,51 mg/hari peroral selama empat 30 hari dapat melindungi jaringan ginjal dan testis pada mencit yang terpapar kadmium yang dapat bertindak sebagai radikal bebas dan bersifat hepatotoksik. Secara klinis, vitamin E juga bermanfaat melindungi membran dasar glomerulus ginjal dan menghambat proses pengentalan darah (agregrasi platelet) (Saran et al., 2003). Jika kekurangan vitamin E, dapat terjadi nefritis dimana tubulus tidak dapat dilewati urine yang ditandai dengan degenerasi basal yang Universitas Sumatera Utara progresif. Jika hal ini berkepanjangan maka tubulus akan hancur, namun penambahan vitamin E akan memperbaiki kondisi ini. Vitamin E membantu sel bertahan hidup dengan penurunan kebutuhannya akan oksigen, mencegah jaringan parut dan kerusakan ginjal oleh karena bahan kimia beracun serta meningkatkan aliran urine (Crawford, 2010). Universitas Sumatera Utara