PEMBARUAN PEMIKIRAN SEBAGAI MODEL TEOLOGI PEMBERDAYAAN DALAM ISLAM Oleh : Ebin E. Danius Abstrak Ajaran agama sering dilihat sebagai faktor penting dalam mendorong sikap hidup dari para pemeluknya. Ajaran yang bersifat tertutup membuat pemeluk agama menjadi pihak yang juga menentang perubahan yang terjadi. Dalam seluruh sejarah agama-agama di dunia, kaum pembaru lahir untuk menyegarkan sikap keagamaan dan mengubah pola pikir yang pada gilirannya menghadirkan agama yang terbuka sehingga mampu mendorong umat beragama untuk ikut dalam perubahan yang terjadi. Tidak dapat disangkal bahwa dalam Islampun hal ini jelas terlihat ketika upaya pembaruan pemikiran menjadi hal penting sebagai respon umat Islam terhadap dunia disekelilingnya. Dengan pembaruan pemikiran diharapkan Islam menjadi agama yang terbuka terhadap perubahan dan akhirnya mampu memberdayakan umat Islam. Key Words: Pembaruan, Pemikiran, Pemberdayaan, Teologi, Islam. Pendahuluan Upaya pembaruan pemikiran dalam Islam telah menjadi isu yang tak berhenti untuk dibicarakan. Tercatat sejak awal abad 19 masehi, kesadaran terhadap pentingnya pembaruan pemikiran menjadi bagian dari khasana keilmuan umat Islam. Kondisi ini sedikit banyak disebabkan oleh perjumpaan bangsa Arab dengan bangsa-bangsa barat, dalam hal ini prancis dan Inggris yang berhasil masuk dan menaklukan bangsa Arab. Dukungan persenjataan modern merupakan faktor penting dalam keberhasilan bangsa- bangsa barat tersebut. Kenyataan terhadap kekalahan ini membuka mata bangsa Arab terhadap kekalahan lain yaitu bahwa mereka telah tertinggal jauh dari bangsa-bangsa barat dalam bidang pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Para pemikir Islam berpendapat bahwa kemunduran Islam lebih banyak disebabkan oleh pertikaian yang terjadi dalam Islam sendiri. Pertikaian dan perselisihan dalam Islam yang banyak terjadi dalam bidang ajaran membuat fokus perhatian dari umat Islam hanya pada persoalan benar tidaknya sebuah ajaran dan benar tidaknya sumber ajaran tersebut1. Situasi ini membuat juga umat Islam lebih memperhatikan aliran mana yang mereka anut dan respon mereka terhadap aliran yang lain. Hal seperti ini membuat umat Islam sekian lama berada dalam lingkaran konflik dan berdampak langsung pada sikap hidup mereka yang tidak memperhatikan hal lain yang sedang berkembang. Kondisi konflik yang demikian diperparah lagi dengan kemunduran wacana pergolakan pemikiran dalam Islam. Para ahli hukum kaum Sunni yang memiliki pengikut terbesar dari semua golongan lain dalam Islam, memutuskan untuk secara bersama menyepakati menutup pintu Ijtihad (Alwi Sihab,1998:127). Keputusan yang diambil oleh para ahli hukum Sunni tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa upaya yang mereka lakukan telah lengkap dan karena itu tidak diperlukan pemikiran dan penafsiran baru dalam Islam2. 1 Konflik internal dalam Islam telah dimulai sejak wafatnya nabi Muhammad. Perdebatan pertama adalah siapa yang layak menjadi pemimpin umat dan apakah model kepemimpinan yang dikembangkan oleh Muhammad dapat dipertahankan. Perdebatan ini diselesaikan dengan kesepakatan bersama untuk melanjutkan model yang telah dibuat oleh Muhammad. Mengenai konflik dan perkembangan teologi Islam secara lengkap dapat dibaca dalam W. Montgomery Watt, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang,1986. 2 Salah satu analisis yang diajukan dalam tindakan ahli hukum Sunni ini adalah bahwa Kerajaan Abbasiyah yang menaungi kaum Sunni sedang berada diambang kehancuran berhadapan dengan kekuasaan Barat dan ekspansi bangsa Mongol dibawah pemeritahan Jengis Khan. Penulis memahami bahwa tindakan ini semata-mata karena ketakutan ulama Ijtihad merupakan pintu masuk dari berbagai upaya untuk menerjemahkan ajaran Quran dan Hadits dalam situasi nyata umat Islam. Situasi hidup yang terus berkembang tentu membawa perubahan yang tidak sedikit dalam hidup umat Islam. Mencari pembenaran tindakan dalam ajaran Islam akan selalu mendorong upaya untuk memahami Quran dan Hadits dalam kekinian. Dengan ditutupnya pintu tersebut, asumsi yang diandaikan adalah bahwa semua hal yang telah dan akan terjadi sudah memiliki jawaban dalam hasil Ijtihad para ulama Islam. Dan hal ini berdampak pada dianggapnya sesat pemikiran baru yang berkembang sesudah Ijtihad ditutup. Akibat yang secara nyata dari berhentinya usaha pernerjemahan ajaran Islam adalah mandeknya pemikiran keagamaan yang berdampak juga pada kebingungan umat untuk merespon kemajuan yang terjadi. Rujukanrujukan yang tidak memadai telah juga menghambat Islam untuk menemukan relasi Ilmu Pengetahuan modern dengan keyakinan keagamaan yang ada dalam Islam. Situasi seperti ini membuat respon umat Islam terhadap perubahan dan perkembangan dunia yang sangat cepat terkesan sangat lambat dan sangat berhati-hati. Respon seperti ini menurut Fazrul Rahman dikarenakan pandangan umat Islam terhadap berbagai hal yang berkembang sebagai sebuah fenomena janus-faced (berwajah ganda). Bahwa kemajuan tersebut disatu sisi membawa keuntungan namun disisi Sunni terhadap pengaruh yang akan dibawah oleh kaum penjajah dan karena itu sebelum para penjajah ini masuk dengan membawa cara pikir mereka maka sebaiknya usaha penerjemahan Quran ditiadakan. lain membawa dampak yang buruk bagi umat Islam (Fazlur Rahmah,2001:6). Selain hal tersebut, seorang pemikir Islam lainnya yaitu Muhammad Arkoun berpendapat bahwa kesulitan yang dialami oleh umat Islam dalam membangun relasi keyakinan mereka dalam Islam dengan moderenitas adalah karena warisan Islam dipahami apa adanya (taken for granted). Warisan-warisan yang cocok pada masanya dijadikan acuan untuk masa yang berbeda. Rujukan seperti ini menimbulkan kesalahan interpretasi yang kemudian melahirkan ortodoksi yang berujung pada sikap penolakan terhadap moderintas (Baedhowi,2009:xiii). Sedangkan menurut Marshall Hudgson (2009) ketidakmampuan Islam dalam memasuki zaman modern adalah karena sistem yang dibangun dalam Islam merupakan sebuah sistem hanya cocok dengan sistem masyarakat agraris dengan pola hidup kelompok yang memberikan tempat tertentu pada otoritas pemegang hukum Islam (baca ulama). Padahal dalam analisa sejarahnya Hudgson melihat Islam yang lahir di Arab dapat dianggap sebagai respon langsung terhadap kondisi sosial kemasyarakatan yang tidak memberi tempat bagi persamaan hak manusia dan dominasi ekonomi dari kaum tertentu. Cita-cita egaliter dan penghargaan terhadap individu inilah yang dalam perkembangan Islam ditinggalkan sehingga membuat Islam tidak mampu melakukan lompatan untuk masuk ke dunia Modern (2009:94-100). Respon yang gamang terhadap kemajuan membuat umat Islam tertinggal dalam persaingan. Hal ini juga berdampak pada status sosial ekonomi dari banyak pemeluk Islam lebih rendah dibanding dengan bangsa lain dan pemeluk agama lain. Ketertinggalan tersebut melahirkan kesadaran tentang pentingnya perjuangan untuk mengembalikan kejayaan Islam. Tercatat Muhammad Abduh dan Jamaludin AlAfganimenyerukan untuk membersihkan Islam dari segala bentuk tahkyul dan paraktekpraktek ritual yang tidak memiliki dasar yang jelas dalam Islam. Walaupun seruan ini belum berdampak secara luas pada peningkatan kualitas hidup umat Islam, namun setidaknya wacana pembaruan telah didengungkan sebagai langkah awal dari perubahan yang lebih besar. Seruan dari tokoh pembaru Islam sedikit banyak menyentak kesadaran umat Islam tetang ketertinggalan mereka. Dalam situasi hidup umat Islam di Timur Tengah, kondisi ketertinggalan ini selain melahirkan seruan pembaruan juga telah membuat munculnya gerakan-gerakan perlawanan terhadap dominasi bangsa Barat. Menurut Mujiburahman, identitas keIslaman telah menjadi alat pemersatu bagi umat Islam Timur Tengah untuk secara bersama ‘mengIslamkan’ musuh mereka. Hal ini nyata dengan munculnya gerakan perubahan nasib umat Islam dengan jalan kekerasan, kelompok mana yang sekarang diberikan label Fundamentalis Islam oleh bangsa-bangsa Barat (Mujiburahman,2009:19). Dengan semua kondisi yang berkembang ini maka pembaruan pemikiran merupakan seruan utama yang didengungkan untuk membawa Islam kembali pada kejayaan. Berkaca pada pengalaman sejarah perjalanan Islam, dimana kebebasan berpikir dan kebebasan untuk menerjemahkan ajaran-ajaran Islam dalam konteks kehidupan nyata telah berdampak pada keberhasilan Islam dalam mengembangkan kehidupan sosial masyarakat yang maju dan beradab.Nurcholis Madjid (1996) misalnya melihat bahwa peradaban Islam yang gemilang pada masa lalu adalah karena adanya kebebasan untuk mengembangkan pemikiran dan untuk menerjemahkan ajaran-ajaran Islam sesuai dengan situasi hidup. Kebebasan berpikir inilah yang menurut Nurcholis Madjid menjadi faktor utama kemajuan Islam. Dari uraian di atas, keprihatinan utama yang muncul dari para pemikir Islam adalah kondisi umat Islam yang lemah secara sosial, ekonomi dan politik. Hal mana yang telah juga membuat posisi tawar umat Islam ditengah peradaban dunia menjadi semakin kecil. Keterbelakangan ini memunculkan kesadaran tersendiri tentang pentingnya mengembalikan kejayaan Islam. Bagi pemikir Islam kejayaan tersebut hanya dapat diperoleh dengan usaha yang serius dalam menerjemahkan kembali ajaran Islam dalam konteks sosial kemasyarakatan saat ini. Penerjemahan ajaran dalam konteks berdampak pada keterbukaan Islam dalam menerima perubahan dan kemajuan zaman yang merupakan akibat langsung dari perkebangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam hidup mereka. Pembaruan Indonesia Pemikiran dalam Konteks Harus diakui bahwa ada begitu banyak aliran dalam Islam yang secara prinsip menempuh jalan yang berbeda dalam menanggapi kemunduran Islam dan perlawanan terhadap dominasi bangsa Barat. Kelompok pertama melihat bahwa mundurnya Islam disebabkan oleh bangsa Barat dan karena itu perlu dilakukan perlawanan secara nyata dalam peperangan yang sesungguhnya. Kelompok yang kedua melihat secara berbedasoal kemunduran umat Islam dan cara yang harus ditempuh untuk mengembalikan kejayaan Islam tersebut. Kelompok ini melihat bahwa hal yang perlu dilakukan adalah pertama-tama dengan berusaha melakukan pembaruan pemikiran dengan sebisa mungkin meninjau kembali ajaran-ajaran yang terdapat dalam Islam agar sesuai dengan kemajuan dan perkembangan zaman 3 . Ajaran-ajaran Islam yang ada telah melembaga dalam sistem tradisi keyakinan yang mengekang kebebasan berpikir setiap individu dalam Islam. Seolah tradisi yang diwariskan turun temurun tersebut menjadi kebenaran mutlak yang terkadang nilai kebenarannya melampaui kebenaran AlQuran yang adalah wahyu Allah langsung kepada Muhammad. Untuk itu perjuangan mengembalikan Islam pada kejayaan dan sekaligus mendorong perubahan nasib umat Islam hanya dapat dilakukan apabila ajaran Islam dikembalikan pada kemurnian Al-Quran dan terhadap upaya penafsiran Al-Quran tersebut dalam situasi umat Islam saat ini. 3 Mujiburahman, Op.cit, hlm.20. Dalam konteks Indonesia, wacana pembaruan pemikiran juga merupakan bagian dari perjalanan Islam. Kondisi yang hampir sama dengan pemeluk Islam lainnya diseluruh dunia membuat para pemikir Islam Indonesia pada masa awal kemerdekaan menempuh 2 (dua) jalan yang berbeda satu dengan yang lain dalam hal memperjuangankan peningkatan kehidupan umat Islam. Kelompok satu melihat bahwa cara satu-satunya untuk membebaskan umat Islam adalah dengan merebut kekuasaan negara. Dalam pandangan kelompok ini, penguasaan terhadap negara berdampak secara langsung pada pengambilan kebijakan publik yang berpihak pada masyarakat Islam. Dengan memegang otoritas pemerintahan maka secara otomatis umat Islam akan memperoleh kesempatan yang lebih baik dan hal ini tentu saja akan berdampak pada peningkatan ekonomi mereka. Perjuangan kelompok ini dilakukan dalam bentuk pembentukan partai politik berlandaskan Islam4. Kelompok kedua yang dipelopori oleh kalangan muda Islam berpendapat lain. Mereka justru melihat bahwa untuk keluar dari situasi ketertinggalan Islam maka hal yang harus ditempuh adalah pembaruan pemikiran5. Pembaruan pemikiran yang diserukan oleh kelompok ini dimaksudkan pertama-tama adalah pembaruan dalam orientasi pemikiran umat Islam yang hanya terkonsentrasi pada bidang politik praktis. Kelompok ini menyadari bahwa gerakan Islam pada bidang politik justru hanya akan melemahkan Islam, dan terlebih umat Islam akan diseret pada konflik berkepanjangan dengan kekuasaan negara yang dengan jelas menunjukan sikap tidak menghendaki masuknya agama dalam bidang politik praktis 6 .Dengan kondisi ini maka seruan pembaruan yang dimunculkan oleh kelompok ini adalah dengan mengajak umat Islam untuk lebih berupaya meningkatkan taraf hidup mereka melalui jalur pendidikan. Gerakan yang terlihat dalam kelompok ini adalah gerakan kultural dengan mengubah kebiasaan masyarakat melalui peningkatan pendidikan. Bahwa kesempatan untuk menjadi sejahtera hanya dapat diraih apabila kualitas dan tingkat pendidikan umat Islam lebih baik dari yang lain. Pembaruan pemikiran seperti ini tentu saja belum sepenuhnya menyentuh keyakinan mendasar dari sistem keyakinan yang dimiliki oleh umat Islam. Itulah juga yang mungkin menyebabkan respon keras terhadap seruan ini tidak sampai menyeret pada kekerasan lainnya. Dalam amatan penulis bahwa pergolakan hanya terjadi dikalangan pemikir Islam dan tidak melibatkan secara menyeluruhpemelukIslam lapisan bawah. 6 4 Mohtar Maso’ed, Cerita tentang Dua Strategi, pengantar dari buku yang dikarang oleh Aminudin, Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia Sebelum dan Sesudah Runtuhnya Rezim Soeharto, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. hlm. x 5 Ibid, hlm. xii Baca: Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam; Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, Bandung:Mizan,1986. Lihat juga Sudirman Teba, Islam Orde Baru; Perubahan Politik dan Keagamaan, Yogyakarta: Tiara Wacana,1996 dan Abdul Azis Taba, Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru, Jakarta : Gema Insani Press, 1996. Gerakan intelektual Islam di Indonesia pada tahun 70-an sampai 80-an kemudian diteruskan oleh para intelektual Islam generasi selanjutnya. Kedua kelompok yang memiliki pandangan berbeda tersebut masing-masing memiliki penerus dengan berbagai penyesuaian berdasarkan situasi yang ada. Bagi kelompok pertama, gerakan Islam dengan model kekerasan semakin menunjukan gejala perkembangannya. Hal ini terlihat dengan munculnya organisasi-organisasi Islam yang bersikap keras terhadap berbagai perkembangan yang dianggap tidak sejalan dengan ajaran-ajaran Islam. Bahkan belakangan ini muncul kelompok yang lebih berani dengan melakukan aksi teror dengan bom. Menurut Ahmad Syafii Maarif berkembangnya secara sangat pesat gerakan fundamentalis Islam di Indonesia dikarenakan kegagalan negara dalam memberikan keadilan sosial dan ekonomi bagi seluruh masyarakat Indonesia dan karena itu cara yang ditempuh oleh kelompok ini adalah dengan membangun cita-cita negara berdasar syariah yang diangankan lebih baik dan lebih sempurna dari negara yang ada sekarang ini7. Berbeda dengan para pendahulunya, para penerus kelompok kedua hadir dengan konsep yang lebih berani. Pemikiran mereka bukan hanya soal wacana sosial keagamaan dan respon yang seharusnya umat Islam jalani di zaman modern ini, tetapi lebih dari pada itu 7 Ahmad Syafii Maarif, Masa Depan Islam di Indonesia, dalam Abdurahman Wahid (ed.), Ilusi Negara Islam; Ekspansi Gerakan Transnasional di Indonesia, Jakarta: Gerakan Bhineka Tunggal Ika, The Wahid Institute; The Maarif Institute,2009,hlm.9. mereka menyentuh ajaran-ajaran dasar dalam Quran dan Hadits dan berusaha memahami ajaran-ajaran tersebut dalam konteks masyarakat saat ini. Pembatasan terhadap tafsir Quran telah menjadikan Islam selalu berada pada medan ideologis. Identitas pemersatu dalam Islam telah berdampak pada semakin lemahnya wacana pemikiran lain. Untuk itu bagi kalangan muda Islam yang beraliran moderat-liberal, pemikiran umat Islam perlu dibebaskan dari pemahaman ideologis dengan mengupayakan pembebasan umat Islam dari tradisi-tradisi pemikiran yang membelenggu kemanusiaan umat Islam. Upaya yang mereka lakukan tersebut berdasarkan pemahaman mereka bahwa persoalan umat Islam bukan hanya pada soal ajaran yang mereka terima tetapi lebih dari pada itu bahwa penafsiran terhadap sumber kebenaran telah menjadikan mereka terkekang. Oleh karena itu maka pembaruan pemikiran diarahkan pada sebuah usaha untuk memberikan pandangan baru berdasarkan situasi nyata pada umat Islam menyangkut ajaran-ajaran dalam Islam. Bahwa usaha inipun berangkat dari pemahaman mendalam tentang sumber kebenaran dalam Quran, dimana wahyu yang diterima oleh Muhammad merupakan jawaban dari situasi sosial kemasyarakatan yang terjadi saat itu. Dan karena itu Quran bukanlah sebuah sistem tertutup namun sebuah sistem keyakinan terbuka yang menerima setiap usaha penafsiran kembali berdasarkan stuasi nyata umat Islam.Dengan memahami hal ini maka pembaruan pemikiran Islam yang dilakukan oleh para pemikir muda Islam dengan mengetengahkan isu-isu sentral yang terjadi dalam kehidupan umat dengan mengedepankan aspek pemahaman ajaran. Pembaruan dalam pemahaman seperti ini perlu dipahami sebagai sebuah upaya mengantar umat Islam pada kedewasaan berpikir yang pada gilirannya berani untuk mengambil sikap sendiri dalam berhadapan dengan perubahan zaman. Pembaruan Pemikiran sebagai Model Teologi Pemberdayaan dalam Islam Uraian-uraian di atas memberikan kepada kita sebuah pemahaman yang cukup bahwa cita-cita pembaruan Islam dibangun dengan satu tujuan yaitu meningkatkan taraf hidup umat Islam. Kegagalan pembaruan yang terjadi selama ini menurut Abdurahman Wahid (Gus Dur) diakibatkan oleh penyakit ‘moralitas ganda’ yang hidup dikalangan umat Islam modern. Gus Dur berpendapat bahwa umat Islam zaman modern saat ini memisahkan secara tegas antara urusan duniawi dan urusan ukhrawi (sorga). Akibat sikap ini ialah runtuhnya moralitas umat berhadapan dengan kenyataan-kenyatan sosial yang ada. Bahwa semua yang terjadi ditengah dunia ini tidak memiliki kaitan dengan umat Islam saat ini8. Dengan asumsi ini maka pembaruan Islam yang diketengahkan merupakan pembaruan yang mengedepankan usaha membawa umat Islam pada kesejahteraan. Peran pembaruan pemikiran Islam dalam hal ini adalah memberikan pemahaman baru terhadap ajaran-ajaran yang ada dalam Islam. Pengajaran ini tentu saja membawa pengertian bahwa hal utama yang perlu dilakukan dalam pembaruan adalah adanya sikap kritis terhadap sistem kepercayaan yang selama ini dijadikan norma hidup umat. Sikap yang terarah pada hal-hal ukhrawi melahirkan sikap apatis terhadap kemajuan dan perkembangan zaman. Kaitan dengan hal tersebut di atas, maka menurut hemat penulis pembaruan Islam merupakan sebuah model teologi pemberdayaan dalam Islam. Hal ini didasarkan pada pengertian dari teologi pemberdayaan sebagaimana yang diungkapkan oleh Julianus Mojau bahwa, teologi pemberdayaan adalah sebuah teologi yang membuat orang miskin dan tertindas untuk menemukan potensi mereka sendiri baik dalam bentuk semangat hidup kultural maupun semangat hidup religius mereka sendiri 9 . Dalam pengertian seperti ini jelas bahwa teologi pemberdayaan merupakan sebuah teologi yang tidak bergantung pada kekuatan dan atau bantuan yang datang dari luar diri seseorang melainkan berupaya menemukan potensi yang ada dalam diri dan sekitarnya. Teologi seperti ini memahami bahwa setiap manusia dalam dirinya ada potensi yang mungkin oleh berbagai faktor telah menjadikan seorang manusia justru menghilangkan keyakinannya sendiri tentang kekuatan yang ada dalam dirinya. Jika hal ini dikaitkan dengan situasi umat Islam maka jelas dalam sejarah Islam, ajaran-ajaran Islam yang mula-mula 8 Subairi, Islam dan Pemberdayaan Civil Society; Refleksi Pemikiran Abdurahman Wahid, www.airinrachmidiany.net 9 Julianus Mojau, materi kuliah Pascasarjana Teologi Universitas Halmahera. dikembangkan dengan mengutamakan persamaan hak dan kebebasan berpikir manusia mendorong kemajuan pesat umat Islam, namun dalam perkembangannya telah menghilangkan daya dari manusia dengan mengetengahkan ajaran tentang keterbatasan manusia. Ajaran ini bersumber dari para ulama Islam mula-mula yang melihat bahwa akal lebih rendah dibandingkan dengan Wahyu (baca: Quran) dan karena itu akal manusia tidak mungkin dapat mengerti Al-Quran. Pemahaman dalam teologi pemberdayaan di atas mengantar kita untuk melihat hubungan antara pembaruan pemikiran Islam dengan teologi pemberdayaan. Teologi pemberdayaan sebagaimana diungkapkan di atas menolak setiap usaha yang dapat dianggap memperdaya manusia. Islam yang dalam perkembangannya bergulat pada tataran praktis menyangkut posisi umat Islam telah menyeret pemeluk Islam pada sikap apatis terhadap perubahan dan perkembagan lain dalam dunia. Dukungan dari ajaran-ajaran Islam yang menekankan hal-hal tertentu seperti rendahnya akal manusia berhadapan dengan wahyu Allah semakin membuat umat Islam tidak berani keluar dari kungkungan tradisi pemikiran dari abad sebelumnya yang tentu saja berbeda dari situasi yang ada saat ini.Pembaruan pemikiran Islam berupaya melepaskan umat dari sikap ketertutupan seperti ini dengan meyakinkan mereka bahwa ajaran-ajaran Islam perlu dipahami dalam konteks umat saat ini. Kungkungan nilai-nilai keagamaan tertentu perlu dibongkar dan diupayakan untuk membangunnya kembali dalam situasi baru. Hanya dengan kebebasan yang penuh dan penghargaan terhadap manusia dan akalnya dapat memberi ruang yang cukup luas bagi upaya meningkatkan kesejahteraan umat. Memahami Al-Quran dalam Prespektif Teologi Pemberdayaan Perdebatan diseputar Al-Quran telah dimuali sejak awal pertumbuhan Islam. Dalam catatan sejarah perjalanan Islam, perdebatan pertama kali adalah pada esensi dari Quran. Kaum Mutazila yang mengutamakan akal dalam membangun teologinya berpendapat bahwa Quran merupakan ‘mahluk’. Dalam konsep demikian, Quran dilihat sebagai salah satu ciptaan Allah. Posisi yang demikian menjadikan Quran memiliki derajat yang sama dengan ciptaan Allah yang lain, termasuk akal manusia. Pemahaman yang seperti ini juga membawa Quran pada posisi terbuka, dimana Quran dapat ditafsirkan berdasarkan situasi nyata yang ada dan berkembang dalam masyarakat. Pandangan kaum Mutazila sebagaimana yang diungkapkan di atas, dengan tegas ditolak oleh Al- Asyariah 10 . Asyariah berpandangan bahwa Quran tidak diciptakan dan karena itu Quran lebih tinggi dari akal manusia. Dalam konsep yang demikian Asyariah menolak usaha untuk menggunakan akal dalam penafsiran Quran. 10 Al-Asyariah sebelumnya merupakan pengikut kuat dari kaum Mutazila. Namun dalam perkembangannya ia menolak seluruh paham Mutazila dengan menghadirkan pandangan baru. Pandangan teologi Asyariah inilah yang kemudian dianut oleh kaum Sunni. Bagi dia, apa yang telah termuat dalam Quran haruslah dipahami menurut apa yang tertera. Pendapat Asyari kemudian diikuti oleh sebagian besar umat Islam yang meyakini bahwa konsep-konsep dan pernyataanpernyataan dalam Al-Quran memiliki makna absolut yang melampaui waktu dan konteks. Pandangan seperti ini melihat Al-Quran sebagai urutan kebenaran religius yang tidak dapat dipertanyakan kebenarannya. Dan karena itu maka apa yang tercantum dalam AlQuran haruslah diikuti dengan persis sebagai wujud dari ketaatan kepada Allah. Dalam kaitannya dengan teologi pemberdayaan maka pemahaman seperti ini tentu saja menjadi hambatan yang cukup serius. Al-Quran yang memiliki posisi penting dalam sistem keyakinan Islam dengan pemahaman ini, sebagaimana yang diungkapkan oleh Ulil dapat menjadi ‘penyetop pembicaraan’11. Untuk itu menurut Ulil, umat Islam harus tetap menerima bahwa Quran merupakan sumber kebenaran dalam Islam yang tidak tergantikan. Namun yang harus berubah adalah pemahaman terhadap Quran yang harus selalu berubah berdasarkan situasi yang ada. Teologi pemberdayaan memberikan ruang yang luas bagi manusia untuk menggunakan potensi yang ada pada dirinya dalam upaya mengembangkan diri dengan lebih baik. Pandangan yang menundukan manusia pada otoritas lain di luar dirinya atas nama Ilahi dapat berdampak pada tereduksinya 11 Ulil Abshar Abdalla, Sejumlah Refleksi tentang Kehidupan Sosial Keagamaan Kita Saat ini, Kliping pada www.islamlib.com keyakinan diri yang bermuara pada penyangkalan potensi diri. Untuk itu pembaruan pemahaman terhadap Al-Quran merupakan hal utama yang perlu dilakukan untuk mencapai pemberdayaan umat Islam pada tingkat yang lebih baik. Dalam hal ini umat Islam seharusnya tetap berada dalam keyakinan yang mutlak tentang posisi Quran sebagai wahyu Allah langsung kepada Muhammad. Namun yang tidak boleh dilupakan adalah pewahyuan yang diterima oleh Muhammad tersebut muncul dalam lingkup waktu tertentu dan untuk menjawab kebutuhan tertenu dari masyarakat yang ada saat itu. Dengan kata lain wahyu Allah dalam Al-Quran bersifat tetap, namun nilai-nilai didalamnya haruslah dipahami secara berbeda dengan menariknya keluar dan masuk kedalam situasi saat ini. Hanya dengan tindakan nyata yang demikian maka kungkungan ajaran yang mengecilkan nilai kemanusiaan dapat dihindari. Cara pandang yang demikian juga akan berdampak pada pemahaman baru terhadap Quran. Quran dalam hal ini tidak hanya menjadi kumpulan Wahyu yang dipahami secara hurufiah tetapi merupakan tindakan nyata Allah dalam kehidupan umat Islam pada situasi terkini mereka. Penutup Apa yang telah diungkapkan di atas merupakan sebuah usaha untuk memahami Teologi pemberdayaan dari sudut pandang Islam. Bahwa teologi pemberdayaan yang memberi penghargaan tinggi terhadap manusia dengan kesadaran akan adanya potensi dalam diri tiap manusia telah coba penulis hubungkan dengan konsep pembaruan pemikiran dalam Islam. Kesadaran utama dari upaya ini adalah pembaruan Islam memiliki tujuan yang sama dengan teologi pemberdayaan. Pembaruan pemikiran Islam berupaya menempatkan kembali manusia pada fitrahnya yaitu sebagai khalifah Allah di dunia. Tentu saja sebagai khalifah maka kehendak bebas manusia yang adalah perwujudan identitas kemanusiaannya harus mendapat ruang yang cukup luas untuk berkembang. Perkembangan ajaran-ajaran dalam Islam yang bergerak ke arah ideologisasi ajaran membuat melemahnya padangan kemanusiaan sejati. Akibatnya umat Islam jatuh pada keterpurukan sebagai akibat dari ketidakmampuan Islam menjembatani dirinya dengan pemikiran modern. Pembaruan Islam memberikan warna tersendiri dalam membawa umat Islam memahami diri mereka sendiri dalam relasi dengan ajaran Islam dan konteks dimana mereka berada. Dengan sikap yang terbuka terhadap berbagai kemungkinan maka posisi manusia menjadi penting. Hal ini tentu saja sejalan dengan teologi pemberdayaan yang memberi ruang bagi perwujudan kemanusiaan sejati. Seluruh sistem, termasuk sistem keyakinan dalam ajaran-ajaran agama yang menindas dan tidak menghargai nilai-nilai kemanusiaan haruslah ditinjau dan dipikirkan kembali. Disinilah peran pembaruan Islam dalam Teologi Pemberdayaan. Pustaka Abshar Abdalla Ulil, Sejumlah Refleksi tentang Kehidupan Sosial Keagamaan Kita Saat ini, Kliping pada www.islamlib.com Aminudin, Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia Sebelum dan Sesudah Runtuhnya Rezim Soeharto, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. Baedhowi, Antropologi Al-Qur’an, Yogyakarta:LkiS,2009. Eickelman, Dale F. Ekspresi Poitik Muslim, Bandung: Mizan, 1996. Esposito,John L. Islam, Kekuasaan Pemerintahan, Dokrin Iman dan Realitas Sosial, Jakarta Insani Press, 2004. Filali-Ansary, Abdou, Pembaruan Islam; Dari Mana dan Hendak Kemana? Bandung:Mizan,2009 Madjid, Nurcholis, Kaki Lagit Peradaban Islam, Bandung: Mizan,1996, ----------------------, Islam Agama Kemanusiaan, Jakarta: Paramadina,1996, Mujiburahman, Mengindonesiakan Islam, Bandung: Mizan,2009. Mojau, Julianus, Materi Kuliah Pascasarjana Teologi Universitas Halmahera, 2010 Rahmah,Fazlur.,Gelombang Perubahan dalam Islam; sebuah studi tentang Fundamentalisme Islam, Jakarta:Raja Grafindopersada,2001 Rais, Amien (ed)., Islam di Indonesia; Suatu Ikhtiar Mengaca Diri, Jakarta: Rajawali, 1986 Sihab Alwi, Membendung Arus; Respon Gerakan Muhamadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, Bandung: Mizan, 1998 Wahid,Abdurahman (ed.), Ilusi Negara Islam; Ekspansi Gerakang Transnasional di Indonesia, Jakarta: Gerakan Bhineka Tunggal Ika, The Wahid Institute; The Maarif Institute,2009. Yatim, Badri., Sejarah Perkembangan Islam, Jakarta:Rajawali Grafindo, 2009.