LATIHAN SSO

advertisement
LATIHAN SSO
A. PILIHAN GANDA
1. Adrenergik endogen yg dapat diproduksi oleh medula adrenal dan batang otak adalah . .
A. Dopamin
B. Epinefrin
C. Norepinefrin D. Dobutamin.
2. Secara farmakologis efek yang ditimbulkan dopamin antara lain…,KECUALI . . .
A. Stimulansia SSP
B. Menghambat pelepasan prolaktin
C. Antagonis beta-1
D. Memodifikasi tonus otot.
3. Dosis dopamin utk meningkatkan aliran darah ke ginjal dan kontraksi otot jantung adalah …
A. 1-4 ug/kg/menit
B. 4-8 ug/kg/menit C. 4-12 ug/kg/menit D. 12 ug/kg/menit.
4. Pemeberian dosis epinefrin yg berlebihan akan menyebabkan ….,KECUALI. . . .
A. Tek. darah rendah
B. Kontraksi prematur pd ventrikel
C. Takhikardia ventrikel
D. Vibrilasi ventrikel
5. Kerja epinefrin pada reseptor beta-2, sehingga sulit mixi dan retensi urin karena terjadi . . . .
A. Kontraksi otot detrusor
B. Kontraksi sfinter
C. Kontraksi kandungan kemih
D. Relaksasi kandungan kemih.
6. Efek samping dari penggunaan epinefrin adalah . . .
A. MualB. Muntah
C. Angina D. Ketegangan
7. Dalam terapi epinefrin tdk boleh diberikan pada pasien…,KECUALI. . .
A. Aritmia
B. Hipotiroidi C. Angina pectoris D. Hipertensi.
8. Obat-obat adrenergik yg mempunyai efek yang paling kuat terhadap reseptor beta-1 dan beta-2
adalah,KECUALI. . . A. Isoprenalin
B. Isopreterenol
C. Isopropilnorepinefrin
D. Isopropilepinefrin
9. Obat yg digunakan utk kelemahan jantung kongestif pada periode pasca-insufisiensi mitral adalah . . . .
A. Dobutamin
B. Isopreterenol
C. Dopamin
D. Epinefrin.
10. Zat-zat termasuk adrenergik dan bukan katekolamin adalah ..,KECUALI . . . .
A. Fenilefrin
B. Metamfetamin
C. Efedrin
D. Isoprenalin.
11. Toksisitas dari pasien yg menggunakan MAO inhibitor dimana kadar tiramin dalam serum tinggi
adalah . . A. Hipotensi
B. Hipertensi essensial
C. Hipertensi krisis
D. Hipotensi krisis
12. Efek toksis berupa konvulsi, delirium, paranoia, psikosis, dan nyeri perut disebabkan oleh . . .
A. Efedrin
B. Metaraminol C.Metoksisamin
D. Amfetamin.
13. Agonis beta-2 selektif yg kerjanya paling kuat adalah . . . .
A. Metaproterenol
B. Albuterol
C. Terbutalin
D. Fenoterenol
14. Obat antiadrenergik yg bekerja sebagai alfa blocker adalah, KECUALI. . . .
A. Fenoksibenzamin
B. Fentolamin C. Prazozin
D. Guanetidin
15. Alfa-blocker yg masih digunakan utk krisis hipertensi yang disebabkan oleh Feokomasitoma
adalah…..A. Fentolamin
B. Prazozin
C. Fenoksibenzamin D. Tolazolin.
16. Penggunaan Yohimbin secara parentral dapat menimbulkan gejala sebagai berikut,KECUALI . . .
A. Diare
B. Mual C. Muntah
D. Keringat.
17. Obat-obat kelompok beta-blocker cukup banyak, namun sebagai prototipnya adalah ….
A. Atenolol
B.Metaprolol
C. Propranolol
D. Timolo
18. Beta-blocker tidak boleh diberikan pada pasien..,KECUALI. . .
A. Hipertensi
B. Asma
C. Blok AV
D.Hipotensi.
19. Penghambat saraf adrenergik yang bekerja sebagai adrenolitik sentral adalah . . . .
A. Guanetidin
B. Reserpin
C. Metil-dopa
D. Dopamin
20. Reserpin tidak boleh diberikan kepada pasien dgn riwayat. . . .
A. Kegagalan jantung bendungan
B. Asma C. Depresi mental D. Sedasi
B. OBAT PARA SIMPATIK
1. Obat Muskarinik yang berasal dari alkaloid adalah;KECUALI. . .A. Muskarin, B. Arekolin
C. Metakolin D.Pilokarpin
2. Obat kolinomimetik yang bekerja sebagai penghambat kolinesterase sementara adalah,KECUALI. . .
A. Neostigmin
B. Karbaril
C. Karbakol
D. Fisostigmin.
3. Zat antimuskarinik yang bekerja khusus pada GIT adalah. . .A. Benztropin
B. Glikopirolat
C. Ipratropium
D. Disiklomin
4. Indikasi klinik dari obat kolinomimetik terutama pada gangguan...KECUALI. . .
A. Saluran cerna B. Irama jantung
C. Neuromusculer junction
D. Saluran nafas
5. Ikatan neostigmin pada penghambatan Ach-ase adalah ikatan. . .
A. Molekul
B. Ion
C. Covalen
D. Kompleks enzim
6. Efek yang paling penting dari obat penghambat Ach-ase adalah,KECUALI. . .
A. Respirasi
B. GIT
C. Kardiovaskuler D. Mata
7. Dalam terapi dosis peroral untuk Pyridostigmin adalah . . .A. 20 mg
B. 40 mg
C. 60 mg
D. 80 mg.
8. Secara farmakoginamik, maka organ yang paling peka terhadap atropin adalah . . .
A. Jantung
B. Saliva C. Bronkhus
D. Keringat
9. Preparat antikolinergik yang bekerja sebagai antimikotinik adalah . . .
A. Heksmetonium B. Mekamilamin
C. Skopolomin
D. Tetra etilamonium
10. Sedangkan dekametonium termasuk antikolinergik kelompok. .
A. Blokade ganglion
B. Kuartener (asma)
C. Tersier (perifer)
D. Blokade neuromusculer
11. Jika keracunan arganofosfat maka dosis atropinisasi tiap 5 – 15 menit adalah...
A. 1-2 mg
B. 3-5 mg C. 5-8 mg D. 5-10 mg
12. Efek samping antikolinergik berupa hipertermia pada anak-anak dapat diatasi dengan pemberian. . .
A. Fisostigmin B.Neostigmin
C. Pyridostigmin D. Isoflurophate
13. Dosis atropin sulfat untuk tetes mata adalah . . .A. 0,1 – 0,5 %
B. 0,5 – 1%
C. 1 – 2 % D. 2,5 %
14. Secara farmakokinetika, maka antinikotinik yang dapat diserap peroral adalah . .
A. Trimethaphan B. Hexamethonium C. Decamethonium D. Mecamylamine
15. Penggunaan antinikotinik dapat mengganggu daya ereksi dan ejakulasi pada dosis . . .
A. Kecil
B. Sedang C. Besar D. Toksis
16. Untuk mengurangi tekanan pembuluh darah paru-paru pada udema paru akut diberikan . .
A. Mecamylamin B. Tetraetylammonium
C.Decamethonium D. Trimethaphan.
B.URAIAN.
1. Tuliskan indikasi klinik dari beta-blocker?
2. Tuliskan toksisitas dopamin pada pemberian perinfus ?
3. Jelaskan masalah klinik penting yang perlu diperhatikan dalam gangguan obat kolinergik dan antikolinergik?
4. Tuliskan intikasi klinik dari antikolinergik
5. Jelaskan meklanisme pengaktifan sistem parasimpatikuntuk memodifikasi fungsi organ tubuh?
6. Jelaskan efek farmakolosis dari dopamin?
7. Jelaskan indikasi klinik dari epinefrin?
8. Jelaskan efek samping dan toksik dari Amfetamin?
9. Jelaskan indikasi klinik dari Amfetamin
10. Jelaskan indikasi klinik dari Fenoksibenzamin?
11. Jelaskan efek farmakologis dari amfetamin terhadap SSP dan Kardiovaskuler?
OBAT OTONOM
Fungsi organ-organ tubuh dikontrol dan diintergrasikan oleh sistem saraf dan sistem endokrin.
Secara umum kedua sistem ini mempunyai sifat yang hampir sama, juga fungsi integrasi tingkat tinggi
dalam otak. Kedua sistem ini mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi proses-proses dibagian tubuh
yang letaknya jauh, dan mekanisme umpan balik negatifnya juga mempunyai arti penting. Pusat integrasi
tertinggi untuk sistem saraf dan sistem endokrin adalah hipotelamus. Perbedaan utama antara sistem saraf
dengan sistem endokrin adalah dalam hal metode hantaran informasinya. Pada sistem endokrin, sebagian
besar hantaran adalah bersifat kimiawi mwlalui hormon-hormon yang dibawa aliran darah. Pada sistem saraf
hantaran informasinya adalah “hantaran cepat” melalui serabut-serabut saraf, yang dilanjutkan dengan
hantaran kimia (yang disebut neurotransmitter) di antara sel-sel saraf dan diantara sel saraf denagn sel
efektornya. Kedua sistem ini bekerja sendiri (involuntary), tidak dipengaruhi secara langsung oleh kesadarn
atau kehendak.
Secara umum sistem saraf dapat dibedakan atas 2 golongan fungsional utama yaitu sistem saraf
somatik dan sistem saraf otonom (SSO). Sistem saraf somatik kerjanya berhubungan dengan fungsi yang
sadar dan dipengaruhi oleh kehendak seperti gerak badan, sikap tubuh dan gerakan pernapasan. SSO dapat
bekerja sendiri, tidak dipengaruhi secara langsung oleh kendali kesadaran; dan kerja utamanya berhubungan
dengan pengontrolan fungsi organ-organ dalam tubuh seperti jantung, aliran darah, pencernaan, eskresi,
seks, dan lain-lain proses yang penting untuk kehidupan.
Pengantar Farmakologi Otonom
Anatomi dan Fisiologi Sistem saraf Otonom
Sistem saraf otonom (SSO) disebut juga sebagai sistem saraf vegetatif atau sistem sraf viseral,
terdiri dari bagian sistem saraf pusat (SSP) dan sistem saraf perifer yang mempersarafi otot-otot polos, otot
jantung, dan kelenjar-kelenjar.
Transmisi impuils-impuls motorik dari SSP ke sistem organ dalam tubuh diteruskan oleh 2 rangkaian saraf.
Saraf pertama adalah saraf praganglion yang berlokasi di batang otak atau di medula spialis. Saraf kedua
disebut saraf pasca ganglionik yang meneruskan transmisi ke efektor viseral (otot polos, otot jantung, dan
kelenjar- kelenjar) dan saraf ini tidak bermielin. Hal ini berbeda dengan persarafan oto skelet yang
diteruskan oleh hanya satu akson dari satu saraf SSP.
Saraf eferen otonom dibagi atas sistem simpatis dan parasimpatis. Impuls dalam sistem
parasimpatis atau sistem kraniosakral dialirkan dari batang otak melalui nervus III, VII, IX,X dan
nervieringentes ke sel intermediolateral bagian saktal medula spinalis segmen II dan IV. Impuls dalam
sisitem simpatis atau sistem torakolumbal berasal dari sel intermediolaretal medula spinalis pada semua
segmen torakal dan segmen lumbal nI, II,dan III.
Hantaran kimia pada sistem saraf terjadi dengan penjalaran impuls dan pembebasan (release)
sejumlah kecil neurotransmitter dari ujung saraf ke celah sinaps. Neurotransmitter ini akan berdifusi dan
berikatan dengan molekul reseptor khusus pada sel pasca sinaps, yang akan mengaktifkan atau menghambat
aktivitas sel efektor.
Neurotrnsmitter yang memperantarai transmisi sinaps di antara serabut saraf praganglionik dan pasca
ganglionik pada sistem parasimpatik adalah asetilkolin (acethyl choline =ACh). Sebaliknya neurotransmitter
yang dibebaskan oleh pascaganglionik simpatis yang panjang dan yang memperantarai end organ
memberikan respon pada sambungan neurofektor adalah norefinefrin. Rangkaian serabut saraf yang
menggunakan asetilkolin sebagai neurotransmitter dinamakan “kolinergik”, sedangkan yang menggunakan
norepinefrin dinamakn “adrenergik”. (lihat Gbr.24-1)
Medula adrenal berisi sel-sel kromatin, yang secara embriologi homolog dengan ganglion simpatis
diturunkan dari neural crest. Tidak seperti ujung saraf pascaganglionik simpatis, medula adrenal
membebaskan epinefrin sebagai katekolamin primer. Sel=sel kromatin pada medula adrenal dipersarafi oleh
ujung saraf praganglionik simpatis khusus dengan neurotransmitternya adalah asetilkolin. Terdapat bukti
bahwa dopamin juga dibebaskan oleh sejumlah serat simpatis perifer.
Obat-obat kolinergik bekerja pada : (1) reseptor muskarinik, menimbulkan efek kontraksi otot polos
non-vaskuler dan kelenjar eksokrin, dan merelaksasi otot polos pembuluh darah perifer; (2) reseptor
nikotinik yang terletak pada sinaps-sinaps ganglion yang juga berikatan dengan ACh sebagai
neurotransmitternya; (3) reseptor nikotinik pada sambungan saraf otot yang menimbulkan kontraksi otot
rangka.
Perangsangan pascaganglion simpatis menyebabkan kontraksi otot polos vaskuler dan merangsang
jantung. Sel-sel medula adrenal yang secara embriologis analog dengan saraf simpatis pascaganglion
membebaskan campuran adrenalin dan nor-adrenalin.
Saraf otonom membentuk pleksus yang terletak di luar SSP. Serat otonom pasca ganglion tidak
bermielin. Sel-sel efektor yang dipersarafi serat otonom dapat bersifat otonom, dimana organ yang
dipersarafinya masih dapat bekerja tanpa dialiri impuls atau bila serabut sarafnya diputus.
Kebanyakan organ tubuh dipersarafi oleh sistem simpatis dan sistem parasimpatis; dan efek yang
terlihat merupakan hasil keseimbangan antara kedua sistem tersebut. Pemghambatan salah satu sistem
(miaslnya dengan otot) atau bila terjadi denervasi akan mengakibatkan aktivitas alat didominasi oleh sistem
yang berlawanan. Sekresi kelenjar ludah dapat dirangsang oleh aktivitas simpatis maupun oleh parasimpatis,
tetapi sekret yang dihasilkan berbeda kualitasnya, yaitu pada stimulasi simpatis air ludahnya lebih kental,
sedangkan perangsangan parasimpatis air ludahnya lebih encer. Sistem simpatis dan parasimpatis juga dapat
bekerja bergantian di mana sistem simpatis menimbulkan ereksi dan parasimpatik mengakhirinya dengan
ejekulasi.
Gbr 24-1
Secara umum dapat dikatakan bahwa sistem parasimpatis bersifat konservasi dan reservasi tubuh
atau disebut juga fungsi untuk rest and digest. Sistem parasimpatis mengtur fungsi vital dalam tubuh.
Sedangkan sistem simpatis berfungsi sebagai pertahanan tubuh terhadap gangguan dari luar tubuh dengan
reaksi berupa perlawanan atau pertahanan diri yang dikenal sebagai reaksi flight or flight.
Penting diingat bahwa istilah parasimptis dan simpatis adalah anatomis dan tidak tergantung pada
jenis transmitter kimia yang dibebaskan oleh ujung sarafnya.
Respon berbagai jaringan terhadap rangsangan sistem adrenergik dan sistem kolinergik dapat dilihat
pada tabel.24-1
Tabel 24-1. Respons berbagai jaringan pada perangsangan sistem adrenergik dan sistem kolinergik.
Respons
EFEKTOR ORGAN
Respons adrenergik
Respons kolinergik dominan
A/K#
ARTERIOL
Koroner, visera abd.Konstriksi + (α1),
Sedikit dilatasi
A
Paru, ginjal.
Dilatasi ++ (β2)
Otot rangka
Konstriksi ++(α1),
Dilatasi ++
A
Dilatasi++ (β2)
Dilatasi
Serebral, kulit,
Konstriksi (α)
(hanya kel.ludah)
Kel ludah.
VENA JANTUNG
Nodus SA
Atria
Nodus A-V
ventrikel
MATA
Muskulus siliaris
Musk. Pupilaris
Musk radialis iris
Konstriksi (α2),dll. (β2)
-------Frekw jantung↑(β1)
Frek denyut ↓
Konduksi
dan
kontraksiKontrakstilitas ↓
meningkat (β1)
Konduksi dan otomatilitas ↑(β1) Konduksi ↓
Kontraktilitas, otomatilitas dan
konduksi ↑
Kontraktilitas ↓
Relaksasi (β)
------Kontr. (midriasis) (α)
SEKRESI KELENJAR
Saluran cerna
Inhibisi
Keringat
Di tapak tangan ↑(α1)
Saliva
Sekresi air dan Ion K (α1)↑
Sekresi amilase (β)
Lakrimalis
------OTOT BRONKHIAL
Sekresi kelenjar
LAMBUNG/USUS
Tonus dan motilitas
Tonus sfingter
Relaksasi (β2)
↑(α1), ↓ (β2)
↓ +(α1, β2)
↑(α1)
Kontr. (akomodasi)
Kontraksi (miosis)
--------
Stimulasi
Secara menyeluruh↑
Sekresi air dan
ion K +++
Stimulasi
A
K
K
K
K
K
K
A
K
K
K
Konstriksi ++
Stimulasi +++
K
K
↑ +++
↓
K
-
A
KULIT
Otot pilomotor
Kontraksi ++ (α1)
VESIKA URINARIA
M. detrusor
Sfinkter (internal)
UTERUS
Relaksasi +(β2)
Kontraksi ++(α1)
Hamil: kontraksi (α1),
Relaksasi (β2)
Tidak hamil: relaksasi (β2)
FUNGSI KELAMIN
Kontraksi +++
Relaksasi ++
Variabel
K
A,K
A
HATI
Ejakulasi +++ (α)
Ereksi +++
PANKREAS
Asini
Sel beta
ADENOHIPOFISE
Glikogenolisisdan glukogenesis +
++
SinTesis glikogen +
(α1, β2)
Sekresi ↓ + (α)
Sekresi ↓ + ++(α2)
Sekresi ↓ + (β2)
A
Sekresi ↑ ++
Sekresi ADH (β1)
Serat-serat kolinergik pascaganglionik
↑ = meningkat
A = adrenergik
K = kolinergik
↓ = menurun
TRANSMITTER DAN RESEPTOR
Semua ujung saraf otonom praganglion adalah kolinergik karena membebaskan ACh. ACh bekerja
pada reseptor ACh (reseptor asetlkolin – muskarinik = kolinoseptor) pada sel-sel pascasinaptik demikian
juga semua ujung saraf pascaganglion parasimpatis adalah kolinergik yang juga membebaskan ACh. ACh
bekerja pada reseptor Ach di sel-sel efektor (otot polos, otot jantung, dan kelenjar).
Neuron simpatis pascaganglion melepaskan norepinefrin (NE). NE bekerja pada reseptor NE
(resptor noradrenali/adrenoseptor) pada sel-sel efektor pascasinapsis.
Beberapa reseptor yang bereaksi terhadap obat-obat otonom tidak dipersarafi. Yang paling penting
adalah kolinoseptor dari pembuluh darah. Suatu kolinoseptor khusus yang dipersarafi oleh serat simpatis di
pembuluh darah otot rangka sudah dibicarakan di atas. Kolinoseptor yang tidak dipersarafi banyak tersebar
di sistem pembuluh darah., dan bila diaktifkan oleh obat-obat kokinomimetik dengan efek langsung akan
menimbulkan vasodilatasi umum pembuluh darah perifer.
ASPEK BIOKIMIA NEUROTRANSMITTER
Sintesis ACh dengan rate limiting step memungkinkan transpor kolin ke dalam ujung-ujung saraf. Sintesis
ini dihambat oleh suatu analog ACh yang disebut hemikolinium. Rate limiting step dalam sintesis
norepinefrin dan dopamin adalah hidroksilasi tirosin oleh enzim tirosin hidroksilase membentuk dopa.
Proses ini dihambat oleh metrosin. Zat-zat yang menghambat sintesis ACh merugikan pengobatan, tetapi
obat-obat yang menghambat sintesis katekolamin berguna dalam beberapa penyakit.
Proses metabolisme neurotransmitter merupakan target intervensi farmakologi yang potensial. Kerja
ACh biasanya berakhir dengan metabolismenya dimana kolinesterase (AChE) menguraikan Ach menjadi
asetat dan kolin. Kolin tidak aktif terhadap reseptor kolinergik. Pada transmisi adrenergik, metabolismenya
tidak mengakhiri kerja transmitter adrenergik. Kerja transmitter adrenergik berakhir karena terjadinya difusi
dan ambilan kembali (reuptake), mengurangi konsentrasi NE dan dopamin dicelah sinapsis dan
menghentikan kerjanya. Namun zat ini dimetabolisasikan oleh monoamine oxidase (MAO) dan Cathecol-Ometyltransferase (COMT) dan produk dari enzim-enzim ini diekskresikan . penentuan ekskresi metanefrin,
nor-metanefrin, 3-metoksi-4-asam hidroksimandelat dan metabolit lain selama 24 jam, memungkinkan
pengukuran jumlah produksi transmitter dalam tubuh, dan ini dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis
beberapa keadaan klinik tertentu.
INTEGRASI FUNGSI OTONOM
Integrasi fungsional terjadi melalui mekanisme umpan balik negatif (negative feed-back). Proses ini
mempergunakan reseptor prasinapsis pada tingkat lokal dan refleks homeostatik pada tingkat sistemik. Pada
farmakologi otonom, sistem refleks yang paling penting ialah yang mengatur tekanan darah. Hal ini harus
diingat dan dipertimbangkan bila menganalisis efek obat yang bekerja pada jantung dan pembuluh darah
sistem ini mengintegrasi refleks saraf beroreseptor dan refleks hormonal renin-angiotensis-aldosteron. Hal
ini dinamakan umpan balik negatif.
Umpan balik lain ditemukan pada ujung saraf di beberapa sistem. Yang paling dikenal ialah umpan
balik negatif dari NE terhadap pelepasannya sendiri dari terminal pascasinapsis adrenergik. Efek ini
dimungkinkan oleh reseptor alfa-2. reseptor alfa-2 yang terletak pada ujung saraf prasinaps, diaktifkan oleh
NE dan molekul serupa; aktivasi menghambat pembebasan NE lebih lanjut dari ujung saraf. Sebaliknya,
suatu reseptor beta prasinaps dapat mempermudah pelepasan NE. Aktivasi selektif reseptor alfa-2 oleh suatu
obat dapat diharapkan menurunkan efek simpatis dengan mengurangi pembebasan NE endogen. Obat
antihipertensi tertentu (klonidin, alfa-metilnorepinefrin) dapat bekerja dengan cara ini. Kontrol
penghambatan pembebasan transmitter tidak terbatas pada penghambatan transmiter sendiri. Terdapat buktibukti yang kuat yang menunjukkan terlibatnya prostaglandin dan polipeptida dalam regulasi pembebasan
NER. Regulasi prasinaps oleh berbagai zat kimia endogen dapat terjadi pada semua serabut saraf.
ORGAN-ORGAN YANG DIPERSARAFI OLEH DUA JENIS SARAF.
Sebagai contoh organ yang dipersarafi oleh 2 jenis saraf ialah iris dan nodus sinoatrial. Iris dan
nodus sinoatrial ini menerima persarafan simpatis maupun parasimpatis. Blokade ganglion (kolinergik)
secara farmakologis menyebabkan hilangnya tonus simpatis maupun tonus parasimpatis. Jaringan ini
bereaksi ke arah sistem mana yang lebih dominan, dan hasil akhir mirip dengan aktivasi dari sistem yang
dominan. Sebagai contoh, yaitu pupil dan nodus sinoatrial pada orang muda didominasi oleh sistem
parasimpatis.
Oleh karena itu blokade terhadap kedua sistem akan menyebabkan efek simpatomimetik (midriasis
dan takikardi). Respons adrenergik dan respons kokinergik dan respons yang dominan pada perangsangan
sistem simpatis dan parasimpatis dapat dilihat dalam tabel 24-1.
EFEK-EFEK DARI AKTIVASI OTONOM
Pengetahuan mengenai efek-efek aktivasi dari tiap bagian SSO memberikan dasar untuk
meramalkan efek dari sebagian besar obat otonom. Termasuk juga pengetahuan mengenai persarafan dari
berbagai sel efektor seperti jantung, otot polos, dan kelenjar-kelenjar. Dalam Tabel 24-1 juga disajikan daftar
organ-organ dan jaringan yang harus diperhatikan dalam mempertimbangkan penggunaan obat-obat otonom.
Farmakologi Obat Otonom
Terdapat banyak tempat atau bagian dimana obat-obat otonom dapat bekerja. Tempat-tempat yang
berfungsi seperti SSP yang merupakan pusat vasomotor, ganglia, terminal saraf pra- dan pascaganglion
(misal: sintesis, penyimpanan dan pelepasan transmiter), reseptor pada sel efektor dan mekanisme yag
melibatkan terminasi kerja transmiter (misal: metabolisme atau ambilan kembali).
Obat-obat otonom bekerja dengan :
1) Menghambat sintesis dan pembebasan neurotransmiter;
2) Mempermudah pembebasan neurotransmiter;
3) Berikatan dengan merangsang atau memblok reseptor; dan
4) Menghambat destruksi neurotrnsmiter.
Cara kerja berbagai obat otonom disimpulkan dalam tabel 24-2.
Tabel 24-2. Cara kerja obat otonom dengan contoh-contoh obatnya pada masing-masing cara kerja
Cara kerja
Adrenergik
Kolinergik
Alfa-metil-paratirosin
1. menghambat
sintesisHemikolinium
transmiter
2.
menghambat pembebasanToksin botulinus
transmiter
3.
mempermudah
pembebasan transmiter
Bretilium,
Guanetidin
Karbakol (bukan efek utama),Tiramin, Efedrin,
racun laba-laba black widow
Amfetamin
-
4.
mengosongkan transmiter
di terminal saraf
5.
merangsang reseptor
6.
memblok reseptor
Reserpin,
Guanetidin.
Muskarinik:
- Ach, metakolin,
Umum : epinefrin
- Alk.tanaman ; Muskarin,α1 : fenilefrin
Pilokarpin, Arekolin.
α2 : klonidin
Nikotinik:
β1, β2: Isoproterenol
β1 : Dobutamin
- Ach, Nikotin
β2 : Terbutalin, Salbutamol
Muskarinik:Atropin
α, β : Labetalol
Nikotinik:
α1, α2 : Fenoksibenzamin
Di otot rangka:
Fentolamin
Tubokurarin
α2 : Prazosin
Di ganglion otonom:
β : Propanolol
Heksametonium
β1 : Asebutolol
Tabel 24-3. Penggolongan obat-obat susunan saraf otonom (SSO)
Golongan/subgol
Prototip
Analog utama
Obat lain
Epinefrin
Tiramin
-
Efedrin
Hidroksiametamin
Norepinefrin (NE)
Klonidin
Fenilefrin
Isoproterenol
Dobutamin
Terbutalin
α -metil NE
Metoksamin
Prenaterol
Ritoridin
Guanabenz
Metaraminol
-
inhibisi ambilan
stim, reseptor Dopamin
Amfetamin
Kokain
Dopamin
Prenaterol
-
Golongan/subgol
Prototip
Analog utama
Obat lain
Fenoksibenzamin
Propranolol
Fentolamin
Metoprolol
Nadolol
Tinolol
Atenolol
Pindolol
Tolazolin
A.
ADRENERGIK
Agonis umum
Langsung
Tak langsung
Agonis selektif
α1, α2, β1
α2> α1
α2> α1
β1 β2
β1 > β2
β1 < β2
B.
PENGHAMBAT
ADRENERGIK
Penghambat α
Penghambat β
Albuterol
Metaproterenol
Butoksamin
Labetalol
C.
KOLINERGIK
Agonis muskarinik
Asetilkolin
Agonis nikotinik
Asetilkolin
Penghambat kolinesterase
Neostrigmin
Ekotiopat
Muskarin
Betanekol
Pilokarpin
Nikotin, kolin
Suksinilkolin
Edroponium
Fisostigmin
Paration
Malation
Karbomoiloikolin
Metakolin
Skopolamin
Propantelin
Siklopentolat
Ipratropium
Trimetafan
Suksinilkolin
Pankuranium
Metskopolamin
Homatropin
Tropikamin
Neostigmin
Piridostigmin
Karbaril
Isofluorofosfat
Diklorvos
D.
PENGHAMBAT
KOLINERGIK
Antagonis muskarinik
Antagonis nikotinik
Atropin
Heksametonium (Nikotin)
Kurare
Mekamilamin
Atrokurium
Pralidoksim
Regenerator kolinesterase
Penggolongan Obat Otonom
Obat-obat yang dapat mempengaruhi fungsi SSO dapat digolongkan menurut jenis efek utamanya
(Tabel 24-3), yaitu golongan :
1) ADRENERGIK (simpatomimetik) yang mempengaruhi efek mirip dengan perangsangan aktivitas
susunan saraf simpatik.
2) PENGHAMBAT ADRENERGIK (simpatolitik) yang mempunyai efek penghambatan aktivitas
susunan saraf simpatik.
3) KOLINERGIK (parasimpatomimetik) yang mempunyai efek mirip dengan peningkatan aktivitas
susunan saraf parasimpatik.
4) PENGHAMBAT KOLINERGIK (parasimpatolitik) yang mempunyai efek penghambatan aktivitas
susunan saraf parasimpatik.
5) OBAT GANGLION dengan efek merangsang atau menghambat penerusan impuls di ganglion.
Obat kolinergik
Pendahuluan
Obat kolinergik dan antikolinergik bekerja dengan memodifikasi sifat neurotransmisi suatu neuron
baik sentral maupun perifer. Rangkaian neuron yang mempunyai ciri dan sifat yang sama membentuk suatu
sistem. Oabt kolinergik dan antikolinergik bekerja pada sistem kolinergik. Sebagai akibatnya maka sistem
kolinergik yang dimodifikasi akan meningkat fungsinya atau dihambat fungsinya oleh obat-obat
antikolinergik.
Tabel 25-1. contoh beberapa sistem dalam susunan saraf pusat.
Sistem
Kolinergik
Adrenergik
Serotonergik
Dopaminergik
GABAergik
dll
NEUROTRANSMITTER
Neurotransmitter
Asetilkolin
Noradrenalin
Serotonin
Dopamin
GABA
Reseptor
Muskarinik (M)
Nikotinik (N)
Alfa dan beta
Serotonin (5-HT)
Dopamin (DA)
GABA-A
Neurotransmitter yang terlibat dalam sistem kolinergik ini adalah asetilkolin (Ach) yang merupakan
substansi biokimia endogen, bekerja menghubungkan transmisi impulas neuron prasinaptik dan
neuropascasinatik pada suatu ganglion, atau neuron pascasinaptik dengan sel efektor seperti pada
sambungan saraf otot. Ach disintesa oleh serabut saraf kolinergik dengan menggunakan kolin sebagai
prekusor yang diambil dari cairan ekstracelluler dengan acetyl-CoA melalui bantuan enzim Choline Acetyl
Transferase (ChAT). Sebelum digunakan, Ach akan tertumpah ke dalam celah sinaps untuk berikatan dengan
reseptor muskarinik atau nikotinik. Setelah mengaktifkan reseptor tadi, dengan reaksi enzimatik. Ach akan
dihidrolisa oleh enzim Acetyl Choline esterase (Ach-ase) menjadi kolin dan asam asetat. Kolin akan diambil
kembali oleh ujung serabut saraf dengan mekanisme High affinity Neuronal choline Uptake (HANCU).
SUSUNAN SARAF PUSAT
SINAPS
EFEKTOR
Pusat kraniosakral--------------------------------------------ACh------------------------ACh
(parasimpatis)
Reseptor M
Otot polos,
kelenjar
Pusat Torakolumbal-------------------------ACh----------------------------------------ADr
Reseptor N
Reseptor Alfa/Beta
-------------------------------------------------------ACh.supraadrenal
E & NE
Pusat Motorik---------------------------------------------------------------------------ACh
NMJ
Reseptor N
Gbr.25-1 Sistemasi pada susunan saraf otonom.
ELEKTROFISIOLOGI
Pada umunya suatu neuron akan mengalami perubahan permeabilitas membran terhadap elektrolit
tertentu akibat suatu rangsangan mekanik, kimiawi atau listrik pada neuron tersebut. Demikian pula neuron
kolinergik akan mengalami perubahan polarisasi akibat perubahaan permeabilitas membran terhadap ion
Na+, k +, atau Cl. Potensial istirahat suatu neuron = -70 mV. Pada suatu perangsangan yang menyebabkan
depolarisasi, maka potensial membran naik menjadi + 20m V. Depolarisasi ini merambatn dari badan sel ke
tepi sepanjang akson (propagasi) dengan kecepatan tertentu, dan setelah tiba diujung akson akan
merangsang pembebasan Ach. Ach yang bebas di celah sinaps, lalu berikatan dengaan reseptor kolinergik
pada prinsipnya juga melanjutkan aliran listrik ke arah distal. Pengaktifan reseptor juga akan merubah
permeabilitas membran terhadap ion Ca++ di samping mengaktifkan beberapa second messenger dari neuron
pasca sinaps atau sel efektor, seperti diaktifkannya sistem actin – miosin pada sel otot oleh sambungan saraf
otot sehingga otot berkontraksi.
MEKANISME KERJA
Secara sederhana obat kolinergik dan antikolinergik dapat dibagi secara sistematik sesuai dengan
tempat kerjanya (site of action) pada sistem kolinergik sentral maupun perifer.
1. AGONIS ASETILKOLIN
Yaitu obat obat yang kerjanya mirip dengan Ach endogen dan dapat mengaktifkan reseptor
kolinergik, sehingga memberi efek seperti rangsangan Ach.
Kolin Ester : obat sintetik yang inti strukturnya mengandung kolin.
Alkaloid : diekstraksi dari tumbuhan yang mengandung bahan aktif mirip Ach.
2. PENGHAMBAT ASETILKOLINESTERASE
Obat ini bekerja menghambat kerja enzim asetilkolinesterase, sehingga Ach dalam celah sinaps tidak
terhidrolisa dan aktif lebih lama.
Reversibel : memblock enzim Achase yang bersifat sementara.
Ireversibel : memblock enzim Achase secara komplit dan menetap, sehingga akan menimbulkan gejala
keracunan kolinergik.
3. ANTAGONIS ASETILKOLIN
Yaitu obat – obat yang kerjanya berkaitan dengan reseptor muskarinik lebih awal, sehingga seolah
memblock ikatan Ach dengan reseptornya yang lepas kemudian.sebagai akibat adalah Ach seolah tidak
berefek lagi atau tidak merangsang sistem kolinergik.
ANTIKOLINERGIK : obat ini bekerja memblock reseptor muskarinik. Resultante kerja obat ini
melumpuhkan sistem kolinergik baik sentral maupun perifer, terutama sistem parasimpatis, sehingga
disebut juga parasimpatolitik.
ANTIGANGLIONIK : berikatan dengan reseptor nikotinik pada ganglion, sehingga bekerja
menghambat transmisi neuronal ganglion.
PENGHAMBAT NEUROMUSKULER ; obat ini hanya mengikat reseptor nikotinik pada
neuromuscular junction.
Agonis asetilkolin dan penghambat asetilkolinesterase sering disebut obat kolinomimetik.
Secara skematis, obat-obat perangsang atau penghambat reseptor kolinergik adalah seperti pada
tabel 25-2.
Tabel 25-2. oabat – obat merangsang dan yang menghambat reseptor kolinergik dengan masingmasing reseptornya.
Reseptor
Muskarinik
Nikotinik
Subtipe
M-1
Agonis
Acetylcholine
Muscarine
Carbamylcholine
Antagonis
Atropine
Pirenzepine
M-2
Acetylcholine
Muscarine
Carbamylcholine
Atropine
N-1
(ganglionik)
N-2
(otot skelet)
Acetylcholine
Nicotine
Acetylcholine
Nicotine
Hexamethonium
Mecamylamine
d-tubocurarine
Decamethonium
PENGGOLONGAN
Obat – obat kolinergik dan antikolinergik dapat digolong-golongkan sbb :
A. KOLINOMIMETIK
RESEPTOR AGONIS
MUSKARINIK
Kolinester
Termasuk : asetilkolin, metakolin, karbakol, betanekol.
Alkaloid
Termasuk : muskarin, pilokarpin, okstremorin, arekolin.
NIKOTINIK
Ganglionik
Neuromuskuler
Termasuk ; nikotin, lobelin, koniin, dimetilfenilpiperazin (DMPP).
PENGHAMBAT KOLIN ESTERASE
REVERSIBEL (SEMENTARA)
Termasuk : neostigmin, fisostigmin, ambenonium, karbaril.
IREVERSIBEL (MENETAP)
Organofosfat ; isoflurat, soman, ekotiofat, paration, malation, paraokson, malaokson,
tetraetilpirofosfat.
B. ANTIKOLINERGIK
ANTIMUSKARINIK
Alkaloid :
Contoh ; atropin (atropa belladona), skopolamin (hyoscyamus niger).
Penggunaan khusus :
Kuartener (gastrointestinal): propantelin, glikopirolat.
Kuartener (asthma): ipratropium
Tersier (perifer): pirenzepin, tropikamid, disiklomin
Tersier (parkinson): benztropin
ANTINIKOTINIK
Blokade ganglion
Termasuk: heksametonium (HC-3), mekamilamin, tetraetilammonium
Blokade otot-saraf
Termasuk : d-tubo kurare, dekametonium.
OBAT KOLINERGIK (KOLINOMIMETIK)
Obat – obat kolinomimetik adalah obat yang dapat mengaktifkan sistem kolinergik. Ada 2 jenis
kolinomimetik yang dikenal; obat yang beraksi langsung dan berefek mirip dengan asetilkolin endogen
dan dapat merangsang/berikatan dengan reseptor kolinergik, muskarinik dan nikotinik, dan berefek
secara tidak langsung dengan menghambat enzim asetilkolinesterase sehingga memungkinkan
asetilkolin endogen bekerja/berikatan lebih lama dengan reseptornya. Jadi secara umum efek obat-obat
ini bersifat parasimpatis (=parasimpatomimetik) karena merangsang reseptor nikotinik pada ganglion
serabut saraf parasimpatis, atau dapat pulaberefek simpatis (simpatomimetik) karena merangsang
reseptor nikotinik pada ganglion serabut saraf simpatis. Oleh karena itu efek obat kolinomimetik bersifat
ganda. Namun adanya obat golongan ini yang berefek selektif, jelas akan memebrikan efek yang selektif
pula; parasimpatomimetik atau simpatomimetik saja.
Obat – obat Reseptor Agonis
(efek langsung pada reseptor kolinergik)
FARMAKOKINETIK
Sesuai dengan struktur kimianya (lihat gbr.2-25), keempat obat ini mengandungammonium
kuatener, yang bersifat relatif tidak stabil dalam lipid dan berpolarisasi, dan dapat berikatan dengan
reseptor kolinergik. Ikatan dengan muskarinik reseptor bersifat stereoselektif: (S)-bethanecol 1000 kali
lebih poten dari (R)-bethanecol.
Sifat absorpsi dan distribusinya hampir sama, ditentukan oleh sifat kelarutannya yang kurang baik
dalam lipid. Oleh karena itu obat ini sulit masuk ke dalam SSP. Dihidrolisa sejak dalam saluran cerna
oleh cholinesterase sehingga kurang aktif peroral. Juga sangat cepat dihidrolisa secara sistemis,
sehingga pemberian subkutan hanya memberikan efek lokal. Methacoline 3 kali lebih tahan terhadap
hidrolisa, sehingga pemberian lokal dapat pula memberi efek sistemik. Sedangkan carbachol dan
bethanechol bersifat long acting. Methanechol dan bethanechol kurang peka terhadap reseptor nikotinik.
GBR 25-2
Tabel 25-3. sifat beberapa kolin ester
Obat
Acetylcholine-HCl
Methacoline-HCl
Carbachol-HCl
Bethanechol-HCl
Anti muskarinik
+++
++++
++
++
Anti nikotinik
+++
+
++
Tidak ada
Kepekaan AChase
++++
+
Tidak peka
Tidak ada
Alkaloid kolinomimetik tersier seperti pilocarpine, nicotine, dan lobeline dapat diserap dengan baik.
Nicotine berupa suatu cairan yang dapat diserap oleh kulit karena larut dalam lipid. Muscarine adalah
suatu amin kuartener yang kurang diserap oleh usus, tetapi bila tertelan (seperti jamur mushrooms)
dalam jumlah besar dapat menimbulkan gejala keracunan kolinomimetik yang serius. Dieksresikan oleh
urin. Klirens (pembersihan dari darah) amin tersier dipercepat dengan urin yang asam.
Oxotremorine, lobeline dan DMPP (suatu stimulan nikotinik yang sangat poten) hanya digunakan
untuk percobaan di laboratorium saja.
FARMAKODINAMIK
Ada 2 mekanisme utama pengaktifan sistem parasimpatis untuk memodifikasi fungsi organ tubuh
yaitu:
1. Secara langsung asetilkolin yang dilepas oleh ujung saraf parasimpatis mengaktifkan reseptor
muskarinik pada organ yang dipersarafi.
2. Secara tidak langsung asetilkolin yang dilepas oleh sistem parasimpatis memacu reseptor
muskarinik (M2) pada ujung saraf simpatis untuk menghambat pelepasan norepinefrin (NE).
Sehingga efek simpatis terlambat dan yang muncul hanya perangsangan parasimpatis saja.
Aktivasi reseptor muskarinik oleh kolin ester akan meningkatkan kadar cGMP (siklik guanosin
monofosfat) dalam sitoplasma sebagai second messenger, memacu pengeluaran ion K + darai dalam sel,
meningkatkan hidrolisa inositol fosfolipid yang berperan memacu masuknya ion Ca ++ ke dalam sel dan
penting dalam proses kontraksi pada otot polos atau otot rangka, dan melemahkan kerja enzim adenilat
siklase sehingga meningkatkan kadar siklik AMP sitoplasma, yang keadaan ini penting untuk proses
sekresi oleh kelenjar. Sedangkan aktivasi reseptor nikotinik akan mengubah konformasi reseptor
nikotinik yang memungkinkan diffusi ion Na + dan K+ secara cepat sehingga terjadi depolarisasi neuron
pasca sinaptik atau sel otot pada neuromuscular junction dan dipacunya fungsi dari otot tersebut.
Resptor nikotinik ini hanya dapat dipacu satu kali, karena ada mekanisme depolarizing blokade, setelah
itu harus ada masa refrakternya yang memungkinkan otot untuk berelaksasi.
Efek obat kolinomimetik ini pada berbagai organ mudah diduga, yang sesuai dengan efek perangsangan
saraf parasimpatis karena diperantarai oleh reseptor muskarinik. Sedangkan obat kolinomimetik yang
merangsang reseptor nikotinik jelas dapat dilihat efeknya pada organ yang dipersarafi oleh ganglion
otonom atau motor end-plate otot rangka.
Tabel 25-4. Efek obat kolinomimetik pada berbagai organ tubuh.
Organ
Mata
Jantung
Otot sfingter iris
Otot siliaris
Nodus SA
Atrium
Nodus AV
Ventrikel
Pembuluh darah Atreri dan vena
Paru-paru
Otot bronkus
Kelenjar bronchial
Saluran cerna
Motilitas
Sfingter
Sekresi
Kantong kemih Otot Detrusor
Trigonium dan sfingter
Kelenjar
Keringat, ludah, air mata
1. Mata
Efek yang timbul
Kontraksi (miosis)
Kontraksi untuk melihat dekat (akomodasi)
Kronotropik negative (menurunkan frekwensi).
Inotropik negative (melemahkan kontraksi), dan
mempersingkat masa refrakter.
Dromotropik negative (memperlamabat kecepatan
konduksi, dan memperpanjang masa refrakter.
Sedikit melemahkan daya kontraksi.
Dilatasi, tetapi konstriksi pada dosis tinggi
Bronkokonstriksi.
Stimulasi.
Meningkat.
Relaksasi
Stimulasi.
Kontraksi
Relaksasi
Sekresi.
Penetesan langsung obat kolinomimetik pada saccus conjuctiva menyebabkan kontraksi otot
polos sfingter iris dan siliaris, dengan menimbulkan efek miosis dan akomodasi untuk melihat dekat.
Keuntungan dari kondisi ini, adalah terbukanya schelm canal yang memudahkan pengaliran
keluar humor aqueous dari kamar depan mata dan menurunkan tekanan bolamata.
2. Sistem kardiovaskuler
efek utama obat kolinomimetik pada sistem ini adalah menurunkan tahan perifer dan
memperlambat denyut jantung. Efek langsung pada jantung ini dimodifikasi pula oleh refleks
homeostasis. Sebagai contoh; pemberian dosis kecil dari infus asetilkolin menyebabkan vasodilatasi
yang disertai dengan takikardia, sedangkan pada dosis besar barulah tibul efek bradikardia dan
penghambatan kecepatan konduksi nodus AV sehingga terjadi hipotensi.
Secara molekuler, kolinomimetik ini meningkatkan permeabilitas ion K + dan menghambat
masuknya Ca++ ke dalam otot atrium, sel nodus SA dan AV sehingga terjadi hiperpolarisasi,
menurunnya daya kontraksi otot tersebut. Keadaan ini sebenarnya dilawan oleh refleks saraf
simpatik karena adanya penurunan tekanan darah. Resultante kedua efek parasimpatis
(kolinomimetik) dan simpatis ini sangat kompleks, tergantung dari kadar obat secara lokal yang
mengikat reseptor muskarinik. Efek pada ventrikel kurang bermakna, namun pada dosis besar, efek
perangsangan resptor muskarinik pada ventrikel inipun menimbulkan refleks seperti diatas. Efek
vasodilatasi kolinomimetik hanya terjadi dengan bantuan substansi endothelium-derived relaxing
factor (EDRF) yang terdapat pada pembuluh yang utuh.
Perkecualian : pilocarpine yang diberikan i.v akan menimbulkan hipertensi setelah fase
hipotensi yang sangat singkat. Hal ini disebabkan oleh timbulnya slow Exicitatory Postsynaptic
potentials pada gangguan ototnom yang dapat diblok dengan pemberian atropin.
3. Sistem pernapasan
otot polos dan kelenjar mukosa pada bronkus akan dirangsang oleh kolinomimetik untuk
berkontraksi dan sekresi sehingga menimbulkan gejala seperti asthma, atau dapat memperberat
penderita yang memang asthmatik.
4. Saluran pencernaan
pemberian obat agonis muskarinik akan merangsang sekresi kelenjar utama kelenjar ludah
dan lambung, serta meningkatkan aktifitas motorik saluran cerna dan merelaksasi sfinkter. Keadaan
ini disebabkan oleh depolarisasi dan Ca++ pada otot polos saluran cerna.
5. Saluran kemih
merangsang otot detrusor dan merelaksasi trigonum serta sfingter yangberarti meningkatkan
pengosongan kantong kemih. Otot uterus tidak begitu peka terhadap obat ini.
6. Kelenjar keringat, air mata dan nasofaring dirangsang aktifitas sekresinya oleh agonis muskarinik.
7. Susunan saraf pusat
otak didominasi oleh resptor muskarinik. Perangsangan kolinomimetik terhadap subtipe
reseptor M1 menimbulkan perangsangan lambat, sedangkan terhadap subtipe reseptor M2
menyebabkan penghambatan lambat.
Reseptor muskarinik ini banyak ditemukan pada neostriatum, nukleus septal medial dan
formatioretikularis serta hippokampus yang membentuk sistem kolinergik sentral dan berperan
dalam fungsi kognisis. Sedangkan resptor nikotinik banyak ditemukan pada medulla spinalis dan
serebelum serta sel Renshaw. Nikotin rokok peka sekali untuk merangsang reseptor nikotinik ini dan
menimbulkan gejala perangangan pada reseptor tersebut, seperti tremor, emesis dan perangsangan
pusat pernapasan. Pada dosis tinggi dapat menyebabkan kejang-kejang dan koma.
8. Susunan saraf tepi
perangsangan ganglion otonom yang kaya dengan reseptor nikotinik dengan gejala baik
parasimpatis atau simpatis. Efeknya pada jantung yang menonjol adalah perangsangan simpatis
dengan timbulnya hipertensi yang dramatis. Efek demikian sebenarnya dapat dilawan oleh aksi
vagal, sehingga timbul bradikardia. Sedangkan untuk ganglion yang mempersarafi saluran cerna
dapat menyebabkan gejala mual muntah dan diare serta pengosongan kantong kemih.
9. Sambungan saraf otot.
Perangsangan rreseptor nikotinik pada neuromuscular junction menimbulkan depolarisasi
karena perubahan permeabilitas terhadap ion Na +. Sinkronisasi depolarisasi inilah yang
menimbulkan gejala klinis seperti dari fasikulasi tak terkontrol sampai kontraksi maksimal.
Perangsangan reseptor nikotinik yang terus menerus karena lambatnya hidrolisa obat kolinergik
justru menimbulkan depolarization blockade dengan gejala Flaccid Paralysis.
INDIKASI KLINIK
Obat kolinomimetik ini digunakan:
1. Penyakit mata: glaukoma, accomodative estropia.
2. Gangguan saluran cerna dan kemih: atonia pasca operasi, neurogenic bladder.
3. Gangguan neuromuscular junction: myasthenia gravis, paralisa oleh curare.
4. Gangguan irama jantung: aritmia atrium tertentu.
Contoh penggunaan klinis:
1. Carbachol; dosis oral 1-4 mg, atau s.c. 0,2-0,5 mg untuk merangsang pengosongan saluran cerna
dan kandung kemih setelah operasi. Juga untuk tetes mata dengan dosis 0,75-3%.
2. Bethanechol; dosis 2-5 mg s.c. atau 5-30 mg peroral diindikasikan seperti carbachol, namun
kerjanya lebih selektif pada kedua organ tadi.
3. Pilocarpine; dosis 0,25 – 10% dalam solution untuk tetes mat pada pengobatan glaukoma.
Penghambat Asetilkolineterase (Kolinomimetik kerja tidak langsung)
FARMAKOKINETIK
Fisostigmin dan golongan organofosfat melarut dengan baik dalam lipid, sehingga mudah sekali
diserap tubuh dan cepat masuk kedalam otak. Carbamate kurang baik diserap melalui kulit. Penyerapan
organofosfat dapat melalui kulit, paru, saluran cerna dan conjuctiva, oleh karena walaupun untuk
insektisida namun tetap berbahay pada manusia. Echothiophate sangat polar dan sangat stabil dibanding
organofosfat lainnya, karena dapat digunakan untuk tetes mata dengan aktivitas berminggu-minggu.
Insektisida thiophosphate (parathion, malathion) sanagt mudah larut dalam lipid, tetapi malathion
mudah pula dimetabolisir pada burung dan mamalia, kecuali insekta dan ikan, oleh karena itu cukup
aman bagi manusia. Hanya parathion yang kurang baik didetoksifikasi sehingga tetap berbahaya untuk
manusia. Semua organofosfat kecuali echothiophate mudah didistribusikan ke seluruh tubuh termasuk
otak dengan menimbulkan gejala keracunan yang serius.
FARMAKODINAMIK
Asetilkolinesterase (ACh-ase) merupakan suatu enzim yang sangat aktif. Pada tahap pertama ACh
dihidrolisa menjadi kolin bebas dan enzim Achase yang terasetilasi. Pada tahap berikutnya asetilasi
enzim ini terpecah dengan penambahan molekul air dan aktif kembali. Kedua tahapan ini memakan
waktu sekitar 150 mikrodetik. Penghambat enzim ini mengakibatkan ACh yang dilepas oleh ujung saraf
kolinergik tetap aktif mengikat reseptornya dan memberi efek yang lama terhadap
perangsangan/pengaktifan reseptor yang bersangkutan.
Interaksi penghambat AChase ini tergantung dengan struktur kimia molekulnya.
1. Molekul yang mengandung alkohol kuartener (edrophonium) hanya menghambat 2 – 10 menit dan
reversibel, karena ikatan molekulnya lemah sekali.
2. Molekul yang mengandung ester carbamate (neostigmin dan fisostigmin) menghambat lebih lama
(0,5 – 6 jam), karena ikatan covalen dari enzim yang terkabamilasi.
3. Molekul yang mengandung organofosfat menyebabkan penghambatan yang cukup stabil dengan
ikatan kompleks enzim yang terfosfolirasi. Ikatan ini baru terlepas sesuai dengan hidrolisa/
pemecahan ikatan O-P yang sangat lambat (aging). Hanya nukleofil yang sangat kuat saja seperti
pralidoxime yang dapat memecah ikatan ini, lalu disebut sebagai cholinesterase regeneratos yang
sangat berguna untuk mengatasi keracunan organofosfat.
Efek yang paling penting dari obat penghambat ACh-ase ini adalah pada: sistem kardiovaskuler,
saluran cerna, mata dan neuromuscular junction. Efek yang ditimbulkan hampir sama dengan
perangsangan obat agonis reseptor kolinergik.
1. SSP
Mengaktifkan semua sistem kolinergik sentral, tetapi pada dosis tinggi malah menimbulkan
kejang-kejang, koma dan berhentinya pusat pernapasan.
2. Mata
Saluran cerna, saluran pernapasan dan saluran kemih: menimbulkan gejala seperti perangsangan
parasimpatis.
3. Sistem Kardiovaskuler
Mengaktifkan parasimpatis dan simpatis. Pada jantung efek parasimpatis (aksi vagal) meninjol
sekali. Bahkan efek parasimpatis ini diperberat karena refleks simpatis juga terlambat akibat
pengaktifan reseptor M2 yang malah menekan pelepasan norepinefrin. Efeknya pada pembuluh
darah dan penurunan tekanan darah tidak nyata seperti pada obat agonis reseptor. Pada
pembuluh yang dipersarafi oleh saraf kolinergik, menimbulkan vasodilatasi yang dapat dilawan
oleh perangsangan ganglion simpatis sehingga tidak terjadi hipotensi. Jadi pada dosis sedang
menyebabkan bradikardia, penurunan cardiac output, tetapi pada dosis besar bradikardia makin
jelas disertai dengan hipotensi.
4. Sambungan saraf otot
Pada dosis terapi memeprpanjang dan memperkuat aksi fisiologi ACh endogen. Efek ini
bermanfaat sekali pada keracunan curare atau myasthenia gravis. Tetapi pada dosis tinggi justru
menimbulkan fibrillasi. Aksi antidromik dari motor neuron menyebabkan fasikulasi. Neostigmin
berefek agonis reseptor nikotinik pula yang sangat efektif untuk terapi myasthenia gravis.
Contoh obat yang digunakan untuk manusia.
1. Ambenonium; diberikan p.o. dengan dosis 10 mg.
2. Demecarium; sebagai tetes mata 0,125-0,25%
3. Echothiophate; untuk tetes mata 0,125-0,25%
4. Edrophonium (tensilon) untuk parenteral 10 mg/mL
5. Isoflurophate; dalam salep mata 0,025%
6. Neostigmin (prostigmin); dosis 15 mg p.o. atau 0,25-1 mg/mL p.e.
7. Fisostigmin (Eserine): untuk tetes mata 0,25-0,5% dan 1 mg/mL untuk
i.m.
8. Pyridostigmin (Mestinon); dosis 60 mg p.o. atau 5 mg/mL par.
9.
Obat Antikolinergik
Sesuai dengan reseptor kolinergik yang dihambat, maka dikenal 2 jenis obat antikolinergik:
antimuskarinik dan antinikotinik. Istilah parasimpatolitik atau simpatolitik sebenarnya kurang tepat,
karena serabut sarafnya sendiri (parasimpatis dan simpatis) tidak mengalami kelumpuhan, hanya
reseptornya masing-masing yang terdapat pada membran neuron pascasinaptik atau pada membran sel
otot pada sambungan saraf otot yang diblok kerjanya.
Berdasarkan jenis reseptornya obat antikolinergik dibedakan atas obat antimuskarinik dan obat
antinikotinik seperti terlihat dalam tabel 26-1.
Antimuskarinik
FARMAKOKINETIK
Atropin dan senyawa segolongan skopolamin merupakan ammonium tersier. Bentuk isomer 1 (-)
dari kedua senyawa ini 100 kali lebih poten dari d (+) nya. Diekstraksi dari tumbuhan Atropa belladona
dan Hyoscyamus niger. Mudah diserap dari saluran cerna atau conjuctiva.
Tetapi senyawa kuartenernya kurang larut dalam lipid dan sulit diserap. Distribusi merata ke seluruh
tubuh, termasuk ke SSP dalam waktu 0,5-1 jam setelah diserap dari saluran cerna dengan menimbulkan
gejala penghambatan sistem kolinergik, kecuali senyawa kuartener gejala penghambatan sistem
kolinergik, kecuali senyawa kuartenernya tidak sampai ke SSP. Eksresinya juga cepat melalui urin,
dengan waktu paruh sekitar 2 jam, sehingga efek penghambatan fungsi parasimpatis ini cepat
menghilang kecuali mata, yang baru menghilang setelah 48 – 72 jam kemudian.
Kelinci mempunyai enzim atropin esterase yang cepat menginaktifkan atropin.
FARMAKODINAMIK
Atropin mencegah ikatan reseptor muskarinik dengan ACh dengan mengikat reseptor lebih dulu
(competitive antagonist). Tetapi dosis besar agonis muskarinik mampu mencegah kerja atropin. Akibat
pencegahan agonis reseptor ini, maka reaksi perangsangan reseptor kolinergik tidak terjadi. Efktivitas
antimuskarinik ini bervariasi pada setiap jaringan tubuh. Jaringa yang sangat peka terhadap atropin
adalah: kelenjar-kelenjar saliva, bronkus dan keringat. Otot polos dan jantung sedang saja kepekaannya,
sedangkan sel parietal yang mensekresi HCl lambung sangat kurang peka. Pada semua jaringan tubuh,
blokade atropin sangat nyata pada obat agonis muskarinik dibanding ACh endogen. Kerja atropin juga
sangat selektif hanya pada reseptor muskarinik, sedangkan nikotinik kurang peka. Atropin ternyata
kurang selektif terhadap reseptor M1 dan M2, tetapi pirenzepin ternyata sangat selektif terhadap reseptor
M1, galamin yang merupakan antagonis reseptor.
Tabel 26-1. penggolongan antikolinergik dengan contoh-contoh preparatnya.
Golongan
Contoh preparat
1
ANTIMUSKARINIK
Alkaloid
Atropin (atropa belladona)
Skopolamin (hyioscyamus niger)
Penggunaan khusus
Kuarteneri (saluran cerna)
2
Kuarteneri (asma)
Tersieri (perifer)
Tersieri (Parkinson)
ANTINIKOTINIK
Blokade ganglion
Blokade neuromuskuler
Propantelin
Glikopirolat
Ipratropium
Pirenzepin, Tropikamid, Disiklomin
Benztropium
Heksametonium (HC-3)
Mekamilamin
Tetraetilamonium
d-Tubokurarin, dekametonium.
Nikotinik sangat selektif terhadap reseptor M2. senyawa kuartener lebih bersifat antinikotinik.
1. SSP
Pada dosis terapi, atropin memberi efek stimulansia ringan pada nukleus vagus yang menyebabkan
bradikardia, dan efek sedasi lambat yang lama. Skopolamin memberi efek sedasi yang nyata dan amnesia.
Pada dosis toksik justru timbul perangsangan, agitasi, halusinasi, dan koma.gejala tremor pada parkinson
yang merupakan akibat dari aktifitas kolinergik yang berlebihan dan defisiensi sistem dopaminergik pada
sistem ganglia basalis-striatum, dapat dihilangkan oleh atropin. Bahkan kombinasi atropin dengan obat
dopaminomimetik (l-dopa) sangat baik sekali untuk penyakit tadi. Gangguan vestibuler yang menyertai
transmisi kolinergik dapat dicegah dengan pemberian skopolamin.
2. MATA
Penetesan atropin mencegah efek perangsangan kolinomimetik, sehingga justru timbul pelebaran pupil
(midriasis), dan paralisis otot siliaris mata (cikloplegia) dengan gejala hilangnya daya akomodasi untuk
melihat dekat. Efek ini penting untuk funduskopi, tetapi berbahaya pada glaukoma sudut sempit. Juga
keringnya kelenjar air mata.
3. SISTEM KARDIOVASKULER
Atrium dan nodus SA sangat kaya dengan persarafan parasimpatis, sehingga efek atropin sangat nyata
karena penghambatan reseptor muskarinik di sini. Pada dosis sedang dan tinggi menimbulkan takikardia
yang konsisten. Namun pada dosis kecil efek perangsangan pusat vagus memberi bradikardia. Demikian
pula terhadap nodus AV, nampak adanya pengurangan interval PR pada ACG yang nyata. Otot atrium dan
ventrikel kurang dipengaruhi oleh atropin. Pada dosis toksik, atropin dapat membelok konduksi AV yang
meknismenya tidak diketahui. Vasodilatasi karena perangsangan simpatis kolinergik pada otot rangka dapat
dilawan oleh atropin. Sedangkan efeknya langsung pada pembuluh darah tidak ada karena pembuluh darah
tidak diinervasi oleh parasimpatis. Pada dosis toksik, beberapa individu menimbulakn efek vasodilatasi di
kulit muka yang mekanismenya tidak diketahui. Efek pada hemodinamik tidak nyata, hanya takikardia
ringan dan sedikit naiknya tekanan darah.
4. SISTEM PERNAPASAN
Penghambatan atropin terhadap reseptor muskarinik pada bronkus dan kelenjarnya menyebabkan
bronkodilatasi dan pengurangan sekresi yang nyata. Efek demikian bermanfaat sekali pada penyakit yang
menyerang jalan napas, walaupun efektifitasnya lebih rendah dari efek perangsangan B-adrenoreseptor.
Keuntungan lain untuk pengurangan sekresi dan pencegahan spasme laring akibat penggunaan anestesi
inhalasi.
5. SALURAN CERNA
Efek antimuskarinik pada organ ini nampak jelas berupa pelemahan motilitas usus dan pengurangan
sekresi kelenjar. Tetapi pengaturan motilitas dan sekresi kelenjar ini juga dimodulasi oleh hormon lokal,
maka efek antimuskariniknya tidak total. Efek pada kelenjar saliva nampak jelas berupa mulut kering. Efek
penghambatan sekresi asam lambung kurang efektif. Pada dosis besar barulah jelas adanya pengurangan
volume asam lambung, pepsin dan musin. Sekresi basal agaknya dicegah cukup efektif setelah dirangsang
oleh makanan, nikotin rokok, atau alkohol. Pirenzepin lebih selektif daripada atropin dalam mengurangi
asam lambung. Sekresi pankreas dan usus hanya sedikit saja dipengaruhi atropin. Penghambatan motilitas
lebih nyata dengan penurunan tonus dan gerakan propulsi usus, oleh karena waktu pengosongan lambung
memanjang dan mengurangi diare. Efek paralisis ini bersifat sementara. Beberapa senyawa golongan ini
menunjukkan efek spasmelotik cukup baik.
6. SALURAN KEMIH
Merelaksasi dinding kandung kemih yang perlu pada kasus infeksi kandung kemih. Tetapi pada orang
tua harus hati-hati dengan timbulnya retensi urin. Pada uterus tidak berefek sama sekali.
7. KELENJAR KERINGAT
Reseptor muskarinik pada kelenjar keringat yang berasal dari persarafan simpatis sangat peka dengan
atropin. Pada bayi dan anak-anak justru mengakibatkan naiknya suhu tubuh karena berkeringat ’’atropine
fever“ , sedang pada orang dewasa baru terjadi pada dosis besar saja.
INDIKASI KLINIS
Indikasi klinis obat-obat antikolinergik adalah untuk:
1. Penyakit parkinson
2. Motion sckness
3. Funduskopi, hati-hati karena efeknya cukup lama
4. Ulkus peptikum dan diare.
5. Sinkop akibat aktivitas vagus yang berlebihan
6. Pramedikasi anestesi
7. Asma bronkial (inhalasi ipratropium)
8. Terapi simptomatis pada sistitis dan hiperhidrosis
9. Keracunan kolinergik oleh organofosfat.
Pada keracunan organofosfat diberikan terapi atropin sulfat 1-2 mg tiap 5-15 menit (atropinisasi)
sampai timbul gejala mulut kering dan midriasis. Lalu boleh diulangi, karena efek organofosfat baru
berakhir sekitar 24-48 jam. Jika tersedia, berikan juga senyawa oxime seperti piridoxime (PAM),
diacetylmonoxime (DAM), atau obidoxime untuk meregenerasi enzim ACh-ase.
Pada keracunan mushroom terdapat 2 tipe:
a) tipe cepat : setelah 15-30 menit memakan jamur Amanita muscaria timbul gejala perangsangan
kolinergik seperti mual, muntah, diare, vasodilatasi, takikardi, berkeringat, salivasi, kandung
bronkokonstriksi. Tindakan: cepat berikan atropinisasi.
b) Tipe lambat : gejala baru timbul setelah 6-12 jam makan jamur Amanita phalloides seperti diatas,
tetapi disertai kerusakan ginjal. Atropin tidak bermanfaat pada kasus ini.
EFEK SAMPING
Nilai terapi suatu organ mungkin menimbulkan efek nonterapi pada organ lain. Seperti efek
antidiare penggunaan atropin disertai dengan efek midriasis dan sikloplegia dan sebaliknya. Efek hipertemia
sering timbul pada anak-anak, yang dapat diatasi dengan pemberian fisostogmin 0,5-1 mg i.v pelan-pelan.
KONTRAINDIKASI
Kontraindikasi ini tidak mutlak, seperti pada galukoma, hipertrofi prostat dan ulkus peptikum.
Contoh preparat Antikolinergik:
1. Anisotropin : dosis 50 mg p.o
2. Atropin: dosis 0,4 – 0,6 mg p.o, 0,005-12 mg/mL p.e?, 0,5-3% tetes mata atau 0,5-1% salep mata.
3. Alkaloid (extract) belladona, 15 mg/tablet yang mengandung 0,187 mg alkaloid.
4. Clinidium: dosis 2,5-5 mg kapsul oral
5. Cyclopentolate: 0,5-2% tetes mata.
6. Dicylomine: 10-20mg kapsul oral, 10 mg/mL,p.e ?
7. Glycopyrrolate: 1,2 mg p.o, 0,2 mg/mL p.e
8. Hexocycllium: 25 mg p.o
9. Homatropin: 2-5% tetes mata
10. Isopropamide : 5 mg p.o
11. L-hyoscyamine: 0,123 – 0,15 mg p.o, 0,5 mg/mL p.e
12. Mepenzole : 25 mg p.o
13. Methantheline: 50 mg p.o
14. Methscopolamine: 2,5 mg p.o
15. Oxyphenonium: 5 mg p.o
16. Oxyphencyclimine: 10 mg p.o
17. Propantheline: 7,5 – 15 mg p.o
18. Scopolamine: 0,25 mg p.o, 0,3-1 mg/mL p.e, dan 0,25% tetes mata
19. Tridihexethyl: 25 mg p.o
20. Tropicamide: 0,5 – 1 % tetes mata.
Antinikotinik (Ganglion-blocking drugs)
Obat golongan ini memblok reseptor nikotinik pada ganglion otonom baik parasimpatis maupun
simpatis. Oleh karena efeknya yang tidak selektif ini, kebanyakan obat ini hanya digunakan dalam
percobaan laboratorium saja. Secara klinis efek terapinya hanya untuk mengontrol tekanan darah jangka
pendek.
FARMAKOKINETIK
Semua senyawa golongan ini merupakan sintetik amin. Yang pertama dikenal adalah
tetraethylammonium (TEA), kemudian dikembangakan hexametonium (C6) dan decamethonium (C10) yang
dapat memblok depolarisasi neuromuskuler. Karena merupakan senyawa ammonium kuartener, maka
penyerapan dan distribunya jelek. Hanya mecamylamine yang dapat diserap peroral. Trimethaphan hanya
diberikan perinfus saja.
FARMAKODINAMIK
Obat penghambat ganglion ini bereaksi sebagai nondepolarizing competitive antagonist. C6 bekerja
memblok pada kanal reseptor nikotinik, sedangkan trimethaphan memblok langsung reseptor nikotinik yang
sifatnya dapat digeser oleh kadar agonis Ach yang tinggi.
1. SSP
Hanya Mecamylamine yang masuk SSP karena mengandung ammonium tersier dengan menimbulkan
gejala sedasi, gerakan choreiform dan penyimpangan mental.
2. MATA
Timbulnya sikloplegia dan hilangnya daya akomodasi, efek pada pupil sulit diduga karena mendapat
persarafan parasimpatis dan simpatis, tetapi karena parasimpatis dominan pada saat istirahat, maka efek
penghambat ganglion berupa dilatsi sedikit.
3. KARDIOVASKULER
Karena persarafan utama pembuluh darah diatur oleh simpatis, maka obat penghambat ganglion berefek
menurunkan darah tonus arteri dan vena, dan turunya tekanan darah (“orthostatis hypotension”) karena
terlambatnya refleks postural. Pada jantung berupa menurunnya daya kontraksi dan sedikit takikardia.
4. SALURAN CERNA
Mengurangi sekresi, tetapi kurang efisien pda ulkus peptikum, dan terlambatnya motilitas sampai timbul
konstipasi.
5. SISTEM LAIN
Sulit buang air kecil dan mungkin timbul retensi urine pada penderita yang hipertripi prostat. Dosis
sedang juga mengganggu daya ereksi dan ejakulasi.
Jarang terjadi hipertermia karena penghambat kelenjar keringat dapat dilawan efeknya dengan
vasodilatasi pembuluh darah kulit yang mengembalikan suhu normal tubuh. Karena reseptor muskarinik,
dan adrenergik tidak terlambat, maka efeknya menjadi dominan.
INDIKASI DAN KERACUNAN
1. Hipertensi dalam keadaan gawat: dengan pemberian infus trimethaphan.
2. Mengontrol perdarahan pada operasi neurologi.
3. Edema paru akut: trimethaphan berfungsi mengurangi tekanan pembuluh darah paru.
TIP
Beberapa masalah klinik penting yang perlu diperhatikan dalam gangguan obat kolinergik dan
antikolinergik adalah:
1. Kolinergik:
 Aktifitas parasimpatis yang berlebihan; hipotensi; bronkokonstriksi, berkeringat dan rasa tidak
enak saluran cerna.
 Aktifitas ganglion yang berlebihan pada dosis besar.
 Keracunan mushroom dan organofosfat.
2. Antimuskarinik berkurangnya sekresi, retensio urinae, midriasi, takikardia, dan hipertensi.
3. Antinikotiik/penghambat ganglion: hati-hati karena efeknya tidak selektif.
Obat adrenergik
Neuron adrenergik dan Katekolamin
Neuron adrenergik ialah neuron/ saraf sistem saraf simpatis yang pada terminal sarafnya
membebaskan nor-adrenalin (= nor-epinefrin (NE= noradrenalin) dan epinefrin (=epi= adrenalin)
sebagai neurotransmitter.
Konsep dari serat saraf adrenergik adalah bahwa impuls-impulas saraf menyebabkan depolarisasi
dan peningkatan permeabilitas terhadap ion kalsium yang masuk ke dalam serat pascasinaptik dan
menyebabkan pembebasan NE dan sedikit epinefrin dari terminal saraf.
NE, Epi dan dopamin secara kimia termasuk golongan senyawa katekolamin (katekol adalah
dihidroksibenzen). Senyawa-senyawa inididistribuasikan ke semua substansi dalam sel yang disebut selsel kromafin. Besarnya persentase berbagai katekolamin di dalam sel kromafin tergantung pada lokasi
dan spesiaesnya. Dalam usus dopamin terutama banyak ditemukan dalam sel-sel non saraf. Dalam
medulla adrenal ditemukan sedikit sekali dopamin, tetapi banyak sekali adrenalin. Pada organ-organ lain
yang mungkin juga ada hubungannya dengan serat saraf, terdapat dopamin sebanyak 50% dari jumlah
total ketekolamin dan selebihnya adalah NE dan Epi.
Dalam otak dopamin terdapat terutama dalam nukleus kaudatus dan berfungsi sebagai transmitter
ditempat ini. Pada penderita parkinsonisme, dalam nukleus kaudatusnya terdapat kadar dopamin yang
rendah sekali.
Katekolamin dibentuk dari asam amino fenilalanin seperti terlihat dalam Tabel 27-1.
Tabel 27-1. proses pembentukan katekolamin
Substrat
FENILALANIN
Reaksi enzim
Inhibitor
Fenilalanin hidroksilase
TIROSIN
Tirosin hidroksilase
Α metal tirosin
3 iodotirosin
Dopa dekarboksilase
Metildopa
Dopamine ß hidroksilase
Disulfiram
guanoklor
DOPA
DOPAMIN
NORADRENALIN
Feniletanolamin-N-metil
transferase.
ADRENALIN
Umumnya katekolaminditemukan dalam partikel-partikel subseluler yang disebut “granul kromafin”
atau storage granule, diperkirakan terdapat sebanyak 20-40% yang bebas dalam sitoplasma. Granul
mempunyai ATP yang banyak, yang dalam kombinasi dengan katekolamin terdapat dalam rasio 1:4. juga
mengandung suatu protein khusus yang larut (chromogranin) dan enzim dopamine-beta-oksidase.
Katekolamin disimpan dalam partikel subseluler yang disebut storage granule. Storage granule
berfungsi: (1) mengambil dopamine dari sitoplasma,(2) mengoksidasinya menjadi NE,(3) emngikat dan
menyimpanNE untuk mencegah difusi ke luar sel dan destruksi oleh enzim-enzim, dan (4) membebaskan
NE setelah rangsangan fisiologik.
Medulla adrenal. Disamping epinefrin, medulla adrenal juga mengandung NE dan disekresi
kedalam sirkulasi. Pada manusia dalam medula adrenal terdapat NE sebanyak 20% dari seluruh katekolamin
yang ada didalamnya, dan persentasenya lebih tinggi lagi pada bayi baru lahir dan pada tumor medula
adrenal. NE dan Epi mempengaruhi fungsi fisiologis berbagai target organ, termasuk otot polos pembuluh
darah, jantung, hepar, jaringan lemak, dan otot polos uterus. Fungsi utama dari NE adalah untuk
mempertahankan tonus simpatis yang normal dan pengaturan sirkulasi darah.
Pembebasan katekolamin . action potential yang sampai diterminal akson akan membebaskan
katekolamin. Katekolamin disimpan dalam vesikel-vesikel dan dibebaskan oleh proses eksositosis.
Terminasi kerja dan metabolisme katekolamin. Efek katekolamin akan diakhiri dengan beberapa
cara. Sebagian besar dari katekolamin dikembalikan ke granular pool dengan cara ambilan kembali (reuptake) dan sebagian lagi didegradasi secara enzimatik. Cara-cara lain ialah termasuk redistribusi dan
refleks-refleks kompensasi. Ambilan kembali secara aktif mempunyai peranan penting dalam terminasi kerja
katekolamin (kecuali untuk katekolamin yang dibebaskan oleh medulla adrenal).
Degradasi metabolit katekolamin berlangsung dengan cara o-metilasi yang dikatalisir oleh enzim
Catechol-O-methyltransferase (COMT-suatu enzim mitokondria) merupakan cara degradasi utama yang
penting, disamping cara lain yaitu dengan oksidatif-deaminasi oleh mono amine oksidase (MAO-suatu
enzim sitoplamik) atau dengan konjugasi. Kedua enzim ini terdapat dalam konsentrasi tinggi di dalam hepar
dan ginjal. Metabolit katekolamin yang utama adalah normetanefrin, metanefrin dan asam 4-hidroksi-3metoksimandelat (asam fanililmandelat atau FMA).
Reseptor Adrenergik
Setelah dibebaskan dari terminal saraf, katekolamin bekerja pada reseptor-reseptor adrenergik di sel
efektor. Ahluquist pada tahun 1948 membagi reseptor adrenergik menjadi reseptor alfa (α) dan beta (β)
berdasarkan responnya terhadap beberapa agonis dan antagonis selektif untuk masing-masing reseptor.
Efek yang ditimbulkan melalui reseptor α pada otot polos umumnya adalah stimulasi seperti pada
otot vaskuler di kulit dan mukosa; dan pada reseptor β adalah inhibisi seperti terlihat pada otot polos usus,
bronkus dan pembuluh darah otot rangka (tabel 24-1). Terdapat pengecualian, yaitu; (1) pada otot polos usus
yang mempunyai reseptor α dan β, dan aktivasi kedua reseptor tersebut menimbulkan efek inhibisi. Hal ini
terlihat dalam efek epinefrin pada usus yang bekerja pada reseptor α dan reseptor β menimbulkan relaksasi
usus. Untuk dapat menghambat efeknya secara total diperlukan penghambatan reseptor α dan β. (2) pada
jantung, yang mempunyai reseptor β, dengan aktivasinya menimbulkan perangsangan denyut jantung dan
kontraksi otot jantung.
NOREPINEFRIN (LEVARTERENOL)
FISIOLOGIS DAN FARMAKOLOGI. Norepinefrin (NE) yang disebut juga sebagai noradrenalin atau
levarterenol adalah sebagai berikut: (1) disintesa oleh serat simpatis pascaganglion dan sel di”locus
cereleus” dan pons. (2) tidak dapat melewati sawar darah otak; (3) reseptor alfa memberikan efek fisiologis
(lihat Tabel 24.1): (a) alfa-1 –terutama pada membran pascasinaptik, sensitivitas terhadap epi= NE,
isoproterenol; (b)alfa-2 terutama pada membran prasinaptik: sensitivitas Epi=NE isoproterenol (tidak ada
aktivitas); (3) reseptor beta untuk efek fisiologis, lihat tabel 24.1; NE lebih poten pada reseptor beta-1
daripada beta-2. beta-1 bekerja terutama pada jaringan jantung; sensitivitas terhadap isoproterenol > epi
=NE; beta-2 terutama terdapat pada otot polos dan kelenjar-kelenjar; sensitivitas terhadap isoproterenol >
Epi > NE.
ISOPROTERENOL
Isoproterenol (= isopropilnorepinefrin = isoprenalin = isopropilarterenol) mempunyai efek yang
paling kuat terhadap reseptor beta-1 dan beta-2, umumnya tidak mempunyai efek pada reseptor alfa (efeknya
relatif murni terhadap reseptor beta).
Aktivasi reseptor beta-2 oleh isoproterenol merelaksasi hampir semua jenis otot polos. Efek ini
terutama jelas bila tonus otot polos sebelumnya tinggi, dan paling jelas terlihat pada otot polos bronkus dan
saluran cerna.
Otot polos pembuluh darah. Pemberian isoproterenol per infus pada manusia menurunkan tekanan
darah diastolik, karena relaksasi otot polos pembuluh darah terutama otot rangka, dan juga mesenterium dan
ginjal. Efek inotropik dan kronotropik positif menyebabkan curah jantung bertambah.
Otot polos bronkus. Isoproterenol bekerja sebagai antagonis fisiologik terhadap obat-obat atau
terhadap penyebab asma yang menyebabkan bronkokonstriksi. Toleransi dapat timbul bila obat ini
digunakan secara berlebihan. Pada asma isoproterenol juga menghambat pembebasan histamin pada reaksi
antigen-antibodi. Efek ini juga dimiliki oleh antagonis beta-2 yang selektif.
Otot polos saluran cerna dan uterus. Isoproterenol menurunkan tonus dan motilitas usus juga
motilitas uterus.
Susunan saraf pusat. Isoproterenol menstimulasi SSP. Efek ini tidak jelas pada dosis terapi.
INDIKASI KLINIK. Isopreternol diindikasikan untuk ;(1) mengatasi bronkospasme, diberikan secara
inhalasi;(2) perangsang jantung, diberikan IV untuk pengobatan shok (jarang digunakan); (3) mengatasi
bradikardi yang disertai hipotensi dan/atau angina.
DOBUTAMIN
EFEK FARMAKOLOGI
Secara kimia ada kaitannya dengan dopamin. Merupakan stimulator beta-1 yang selektif. Efeknya
lebih sedikit pada reseptor-reseptor beta-2, alfa atau dopamin.
Kardiovaskuler. Dobutamin mempunyai efek inotropik positif sama seperti dopamin, tetapi efek
kronotropik kurang kuat, lebih sedikit menyebabkan aritmia dan iskemia kardiak daripada dopamin; tidak
menghasilkan vasodilatsi pada dosis rendah (dopamin menimbulkan vasodilatasi pada dosis rendah); efek
vasokonstriksi minimal.
INDIKASI KLINIK
Dobutamin digunakan untuk kelemahan jantung kongestif pada periode pasca insufisiensi mitral,
dengan miokarditis atau kardiomiografi dan setelah open heart surgery. Meningkatkan curah jantung dengan
sedikit perubahan pada O2 miokard.
EFEK SAMPING
Efek samping dapat berupa: mual, muntah, sakit kepala, palpitasi, angina dan aritmia.
Adrenergik non katekolamin
Termasuk obat obat golongan adrenergik non katekolamin adalah: efedrin, fenilefrin, amfetamin,
metamfetamin, mefentermin, hidroksiamfetamin, metaraminol, metoksamin, agonis beta-2 (orsiprenalin,
salbutamol, terbutalin, fenoterol, ritodrin, isoetarin, kuinterenol, soterenol), dan lain-lain.
Aktivitas agonis simpatetik dapat dihasilkan dari pembebasan simpanan NE atau stimulasi langsung
reseptor adrenergik. Kebanyakan obat adrenergik nonkatekolamin dapat diberikan peroral, dan banyak
diantaranya mempunyai masa kerja yang lama, karena resistensi obat-obat ini terhadap COMT dan MAO
dan dosisnya relatif besar. Efek sentral relatif kuat karena dapat melewati sawar darah otak.
TIRAMIN
Tiramin banyak ditemukan dalam anggur merah, bir, keju, coklat, dan banyak makanan lain.
Diambil oleh neuron-neuron simpatis dan bekerja sebagai transmiter palsu untuk membebaskan katekolkatekol. Dalam kedaan normal senyawa ini didegradasi oleh MAO. Tidak digunakan dalam terapi.
TOKSISITAS. Bila tiramin dimakan oleh orang yang sedang menggunakan MAO inhibitor akan
terjadi penurunan metabolisme MAO inhibitor, dan kadar tiramin dalam serum yang tinggi akan
menimbulkan pembebasan katekolamin secara mendadak yang akan menginduksi terjadinya hipertensi krisis
dan aritmia berat.
AMFETAMIN
EFEK FARMAKOLOGIK
(1) Amfetamin menimbulkan pembebasan NE (efek-efek alfa dan beta yang kuat) dan dopamin.
Eksresinya adalah melalui urin, umumnya dalam bentuk tidak berobah.
(2) SSP: stimulasi SSP menimbulkan irritabilitas, takipne, euforia, penekanan nafsu makan, peningkatan
aktivitas motorik, dan dosis tinggi dapat menimbulkan psikosis yang dapat diobati dengan obat-obat
blokade dopamin.
(3) Kardiovaskuler: meningkatkan tekanan darah, menurunkan refleks denyut jantung (bervariasi); dan
merupakan aritmogenik pada dosis tinggi.
INDIKASI KLINIK
Amfetamin diinikasikan untuk; (1) penyakit kurang perhatian pada anak-anak (disfungsi otak yang
minimal, hiperaktivitas); (2) sebagai narkolepsi; (3) penekan nafsu makan, hanya digunakan untuk jangka
pendek (beberapa minggu) karena efek adiksinya. Adanya rebound weight gain menghilngkan manfaat obat
ini.
EFEK SAMPING.dapat berupa (1) kelemahan, pusing, insomnia, disforia, tremor, sakit kepala,
reaksi psikotik (jarang); (2) palpitasi, takikardi, hipertensi; (3)diare atau konstipasi; (4) impoten.
EFEK TOKSIK. Dosis berlebih dapat menimbulkan konfusi, delirium, paranoia, psikosis, aritmia
jantung, hipertensi atau hipotensi, nyeri abdomen (pengasaman urin mempercepat ekskresi obat ini).
Penyalahgunaan dapat menimbulkan ketergantungan obat.
METARAMINOL
EFEK FARMAKOLOGI
Metaraminol mempunyai efek-efek farmakologi sebagai berikut: (1) bekerja sebagai false
neurotransmitter dan sebagai agonis adrenergik; (2) stimulasi reseptor alfa dan beta-1 (efek langsung dan
tidak langsung); (3) meningkatkan tekanan darah sistolik dan diastolik dan sering menimbulkan refleks
bradikardi.
INDIKASI KLINIK. Metaraminol digunakan untuk mengatasi hipotensi.
EFEK SAMPING: sama dengan NE.
EFEDRIN
FARMAKODINAMIK. Efedrin adalah alkaloid yang diperoleh dari tumbuhan Efedra. Farmakodinamik
efedrin sama seperti amfetamin( tetapi efek sentralnya lebih lemah) atau mirip epinefrin. Dibandingkan
dengan epinefrin, maka epinefrin dapat diberikan per oral, masa kerjanya jauh lebih lama, efek sentralnya
kuat, dan untuk terapi diperlukan dosis yang jauh lebih besar dari dosis epinefrin. Bekerja merangsang
reseptor α,β-1 dan β-2. efek perifer, bekerja langsung dan tidak langsung (melalui pembebasan NE endogen)
pada efektor sel.
Seperti epinefrin, efedrin menimbulkan bronkodilatasi, tetapi efeknya lebih lemah dan berlangsung
lama. Hal ini digunakan untuk terapi asma bronkial. Penetesan lokal pada mata menimbulkan midriasis.
Pada uterus dapat mengurangi aktivitas uterus, dan efek ini dapat dimanfaatkan untuk dismenore.
INDIKASI KLINIK. Dalam klinik efedrin dapat digunakan untuk: (1) sebagai dekongestan
diberikan peroral atau intranasal. Penggunaan yang terus menerus menimbulakn toleran. (2) pencegahan
enuresis, karena efeknya meningkatkan tonus sfingter vesica urinaria. (3) sebagai midriatika untuk
pemeriksaan mata. (4) pengobatan bronkospame (asma bronkial).
EFEK SAMPING: sama seperti pada amfetamin, tetapi efek samping pada SSP lebih ringan.
METOKSAMIN
Metoksamin adalah suatu agonis α-1 relatif murni, bekerja langsung pada efektor sel. Efek sentral
hampir tidak ada. Efek vasokonstriksi cukup kuat, menimbulkan kenaikan tekanan darah sistolik dan
diastolik, disertai dengan efek bradikardi yang kuat dan perlmabatan konduksi AV. Toksisitasnya sama
dengan fenilefrin. Penggunaan untuk hipotensi.
Agonis Beta-2 Selektif.
Termasuk golongan ini ialah: orsiprenalin (metaproterenol- inhalasi), salbutamol (albuterol- agonis
beta-2 paling kuat, pemberian inhalasi atau per oral), terbutalin (inhalasi, subkutan atau per oral), fenoterol,
ritodrin, isoetarin (dibanding obat-obat lain: mula kerjanya cepat, masa kerja pendek, pemberian hanya
perinhalasi), kuinoterenol, soterenol, dan lain-lain. Dalam dosis kecilnya efeknya pada reseptor beta-2 jauh
lebih kuat dari pada beta-1. bila dosis dinaikkan selektivitas ini dapat hilang. Efek perangsangan beta-2 pada
paru menimbulkan bronkodilatasi, pada uterus dan pembuluh darah otot rangka menimbulkan vasodilatasi.
Masing-masing obat agonis beta-2 mempunyai selektivitas yang berbeda-beda. Lihat juga seksi 43.
EFEK SAMPING. Dapat berupa; (1) mual dan muntah, (2) takikardi, palpitasi,hipertensi, dan
disritmia, dan (3) sakit kepala dan tremor.
INDIKASI KLINIK.agonis beta-2 selektif terutama digunakan untuk terapi simtomatis brokospasme
(asma bronkial). Untuk serangan akut asma bronkial dapat digunakan epinefrin subkutan 0,2-0,5 mg atau
secara inhalasi (metered aerosol).
Obat Antiadrenergik Kamis
Obat-obat antiadrenergik (penghambat adrenergik= antagonis adrenergik) ialah obat-obat
yang bekerja menghambat perangsangan adrenergik. Berdasarkan tempat kerjanya obat-obat ini dibagi atas 3
golongan, yaitu; (1) penghambat adrenoreseptor (penyekat adrenoreseptor), (2) penghambat saraf
adrenergik, dan (3) penghambat adrenergik sentral.
Penghambat Adrenoreseptor
(Adrenoreceptor Blocker)
Penghambat adrenoreseptor (adrenoreceptor blocker) adalah obat yang bekerja menempati
reseptor adrenergik sehingga menghambat interaksi obat adrenergik, neurotransmitter NE dan reseptornya,
dengan akibat dihambatnya kerja adrenergik pada sel efektornya. Dengan demikian obat ini menghambat
respons sel efektor adrenergik terhadap perangsangan saraf simpatik dan terhadap obat adrenergik eksogen.
Sesuai dengan jenis reseptornya, penghambat adrenoreseptor dibedakan atas 2 jenis, yaitu: (1)
penghambat adrenoreseptor-α (penyekat alfa) dan
(2) penghambat adrenoreseptor β (penyekat beta).
ALPHA-BLOCKER
Yang termasuk alfa blocker atau penghambat reseptor alfa diantaranya adalah: derivat
haloalkilamin, derivat imidazolin, prazosin, derivat alkaloid ergot, yohimbin. Obat ini bekerja dengan
penghambatan kompetitif NE pada reseptor-α. Pemakaian yang lama dapat menginduksi desensitasi reseptor.
Derivat haloalkilamin
Termasuk golongan ini ialah fenoksibenzamin dan dibenamin. Fenoksibenzamin mempunyai potensi
6-10 kali dibenamin, dan diabsorpsi lebih baik pada pemberian oral.
FARMAKODINAMIK
Mekanisme kerja. Dalam darah senyawa ini terurai jadi etilenimonium yang mempunyai efek
inhibisi kompetitif yang reversibel. Selanjutnya etilenamonium akan terurai membentuk ion karbonium yang
sangat reaktif yang membentuk ikatan kovlen yang stabil dengan adreno-septor alfa, yang mempunyai
hambatan non kompetitif dan ireversibel. Dengan mekanisme kerja ini golongan obat ini mempunyai mula
kerja yang lambat (walaupun pada pemberian IV) dan masa kerja yang lama (berhari-hari sampai
berminggu-minggu). Karena itu golongan obat ini disebut alpha blocker non kompetitif dengan masa kerja
lama. Fenoksibenzamin merupakan alpha-blocker dengan selektivitas sedang.
Efek pada organ-organ. (1) pada SSP menimbulkan efek sedasi atau stimulasi, mual dan muntah.
(2) pada mata menimbulkan efek miosis (inhibisi otot dilator).
(3) pada sistem kardiovaskuler terjadi sedikit penurunan tekanan darah diastolik, tetapi pada waktu berdiri
atau pada penderita hipovolemi penurunan tekanan darah sistolik dan diastolik lebih hebat sebagai akibat
blokade refleks vasokonstriksi, blokade pressor respons NE dan Epi.
(4) pada saluran cerna terjadi peningkatan motilitas dan sekresi kelenjar.
(5) pada saluran kemih kelamin terjadi gangguan ejakulasi, dan penurunan tonus sfingter.
(6) efek metabolik, terjadi peningkatan pembebasan insulin.
FARMAKOKINETIK
Derivat haloalkilamin diabsorpsi dengan baik dari semua cara pemberian, tetapi karena efek iritasi
lokalnya hanya diberikan secara oral atau IV. Fenoksibenzamin per oral diabsorpsi dalam bentuk aktif
sebanyak 20-30% saja. Fenoksibenzamin mudah larut dalam lemak dan pada pemberian dosis besar dapat
terjadi penumpukan dalam lemak. Pada pemberian IV mulai kerjanya 1 – 2 jam. Waktu paruh hambatan
sekitar 24 jam dan masih terlihat efek hambatannya setelah 3-4 hari. Pemberian tiap hari dapat menimbulkan
efek kumulatif.
INDIKASI KLINIK
Fenoksibenzamin diindikasikan untuk:
(1) Hipertensi sekunder akibat dosis berlebihan dari adrenergik agonis atau MAO inhibitor.
(2) Fenokromositoma. Pada waktu praoperatif diberikan per oral untuk mengatasi hipertensi dan pada
waktu operasi diberikan I.V
(3) Hiperefleksi otonomik akibat trauma pada medula spinalis.
(4) Profilaksis pada penyakit raynaud.
EFEK SAMPING DAN INTOKSIKASI
Efek samping karena Alpha blocker berupa: takikardi, hipotensi ortostatik, miosis, hidung tersumbat
dan hambatan ejakulasi. Pada penderita hipovolemi dapat terjadi penurunan tekanan darah yang hebat.
Efek samping yang bukan karena efek blokade reseptor alfa dapat berupa: iritasi lokal (mual dan
muntah pada pemberian oral), sedasi, perasaan lemah, dan kelelahan.
Derivat Imidazolin
Derivat imidazolin yang digunakan sebagai alfa bloker adalah fentolamin (alfa-1 dan alfa-2 blocker
non selektif) dan tolazolin (alfa-2 blocker selektif).
FARMAKODINAMIK
Masa kerja penghambatan kompetitif lebih pendek dari fenoksibenzamin. Respon terhadap serotonin
juga dihambat. Toksisitasnya lebih besar dari fenoksibenzamin. Dosis rendah menimbulkan vasodilatasi
karena kerja langsung pada otot polos pembuluh darah.
INDIKASI KLINIK
Fentolamin (IV atau IM) dan tolazolin (IV,IM atau SK) digunakan untuk krisis hipertensi yang
disebabkan oleh feokromositoma. Tolazolin jarang digunakan lagi.
EFEK SAMPING
Efek samping fentolamin dan tolazolin ialah:
(1) gejala stimulasi pada jantung berupa takikardi, aritmia, dan angina;
(2) gejala stimulasi saluran cerna berupa nausea, muntah, nyeri abdomen, diare dan kambuhnya
ulkus peptikum.
Prazosin
Prazosin menghambat reseptor alfa-1 yang memberikan efek vasodilatasi. Pemberian prazosin
menyebabkan efek presor epinefrin berubah menjadi efek depresor dan menghambat efek presor NE.
prazosin merupakan alpha-1-blocker yang sangat selektif. Prazosin mengurangi tonus pembuluh darah arteri
maupun vena, sehingga mengurangi alir balik vena dan curah jantung. Efek hemodinamiknya yaitu
penurunan tekanan arteri; penurunan tonus arteri dan vena; curah jantung dan tekanan atrium knan yang
hampir tidak berubah, seperti halnya dengan efek hemodinamik vasodilator langsung misalnya Nanitroprusid.
Penggunaan utama ialah untuk pengobatan hipertensi. Selain itu juga digunakan untuk kelemahan
jantung kongestif (sering ditemukan takifilaksis) dan penyakit Raynaud.
Lain-lain penghambat adrenoseptor
1. ALKALIOD ERGOT: alkaloid ergot secara klinik tidak dapat digunakan sebagai alpha blocker
karena efek ini baru timbul pada dosis besar yang tidak dapat ditolerir oleh manusia.
2. YOHIMBIN : adalah alkaloid tumbuhan yohimbehe. Merupakan alpha blocker kompetitif yang
cukup selektif untuk reseptor alfa-2. obat ini dapat meningkatkan pembebasan NE endogen pada
dosis yang lebih rendah daripada yang diperlukan untuk memblok reseptor alfa-1 di perifir. Obat ini
dengan mudah melewati sawar darah otak dan dalam dosis kecil (kecil dari dosis yang diperlukan
untuk memblok alfa-1-perifer) memblok reseptor alfa-2-sentral. Efek sentral berupa perangsangan
yang menimbulkan kenaikan tekanan darah dan denyut jantung, hipermotorik dan tremor, dan
antidiuretik akibat pembebasan vasopresin. Obat ini juga menghambat reseptor serotonin diperifir
dan efek langsung pada pembuluh darah yang lemah. Pemberian yohimbin secara parenteral
menimbulkan pengeluaran keringat disertai mual dan muntah.
Penggunaan sebagai aprodisiak tidak dapat dibenarkan karena dari segi pertimbangan manfaat
resiko obat ini tidak menguntungkan.
BETA-BLOCKER
Termasuk dalam golongan ini ialah asebutolol, atenolol, metoprolol, propanolol, timolol, nadolol,
dan lain-lain (lihat Tabel 28-1. dan Tabel 28-2). Prototip golongan ini ialah propranolol. Semua golongan
beta-blocker mempunyai struktur kimia mirip dengan isoproterenol. Afinitas terhadap adrenoseptor beta dari
beberapa preparat beta-blocker dapat dilihat pada Tabel 28-1.
FARMAKODINAMIK
Beta-Blocker menghambat secara kompetitif efek NE dan Epi endogen dan obat adrenergik eksogen
pada reseptor beta. Potensi penghambatan efek takikardi isoproterenol digunakan sebagai ukuran dalam
penentuan sesuatu obat beta blocker. Efek beta blocker dapat dilawan dengan pemberian obat adrenergik.
Farmakodinamik utama pada beberapa beta-blocker dapat dilihat dalam Tabel 28-2. asebutolol, atenolol,
dan metoprolol disebut beta-blocker kardioselektif karena dapat menghambat reseptor beta-1 pada jantung
dengan dosis 50-100 x lebih kecil dari dosis yang diperlukan untuk menghambat adrenoseptor beta-2 pada
pembuluh darah dan otot polos bronkus.
Tabel 28-1. selektivitas/afinitas beberapa beta blocker (terhadap adrenoseptor β) yang sering
digunakan dalam klinik.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
propranolol
oksprenolol
sotalol
timolol
metoprolol
pindolol
asebutolol
atenolol
praktolol
Β1 +
Β1 +
Β1 +
Β1 +
Β1 >
Β1 >
Β1 >
Β1 >
Β1 >
β2
β2
β2
β2
β2
β2
β2
β2
β2
Tabel 28-2, jenis-jenis beta blocker dengan efek-efek farmakodinamiknya.
Nama preparat
Kardioselektivitas
Aktivitas
Aktivitas
stabilisasi
simpatomimetik
membran (MSA)
intrinsik (ISA)
Asebutolol
+
+
+
Atenolol
+
Metoprolol
++
+/Propranolol
++
Timolol
+/Nadolol
Sotalol
Pindolol
+++
+/Karteolol
+++
+/Oksprenolol
++
+
Alprenolol
++
+
Labetalol*)
+**)
+
*) juga merupakan alpha blocker
**) terbatas pada adrenoseptor β2.
Beta blocker lainnya disebut beta blocker non selektif karena mempunyai afinitas yang sama
terhadap reseptor beta-1 dan reseptor beta-2 (Tabel 28-1). Beta blocker kardioselektif ini tidaklah mutlak
karena pada dosis yang cukup tinggi beta-2 juga dihambat.
Interaksi Beta-blocker dengan adrenoseptor beta tanpa disertai obat adrenergik (seperti epinefrin
atau isoproterenol) akan menimbulkan efek adrenergik yang nyata, walaupun lemah; dan aktivitas ini disebut
aktivitas agonis parsial (partial agonist activity=PAA) atau disebut juga intrinsic symphatomimetic activity =
ISA. Obat-obat bet bloker yang mempunyai PAA atau ISA ini adalah: pindolol, karteolol, oksprenolol,
alprenolol dan asebutolol. Beta bloker lainnya tidak mempunyai aktivitas PAA/ISA ini..
Beberapa beta-blocker mempunyai membrane stabilizing activity (MSA), atau efek seperti kinidin.
Termasuk beta blocker yang mempunyai aktivitas MSA ini ialah: propranolol, oksprenolol, alprenolol,
asebutolol, metoprolol, pindolol, karteolol, dan labetalol. Potensi MSA propranolol lebih kurang sama
dengan lidokain; oksprenolol, 1/2nya; sedangkan atenolol, timolol, nadolol, dan sotalol tidak mempunyai
aktivitas ini.
Labetalol, selain merupakan beta blocker nonselektif, juga adalah alfa-1 blocker yang cukup
selektif. Keempat isomer labetalol mempunyai afinitas yang berbeda-beda terhadap adrenoseptor alfa dan
beta. Rasio penghambatan adrenoseptor alfa; beta oleh labetalol diperkirakan sekitar 1:7 setelah pemberian
IV, dan 1:3 setelah pemberian oral. Labetalol juga mempunyai ISA, tetapi terbatas pada adrenosptor beta-2.
Blokade reseptor beta-1 memberikan efek:
(1) pada jantung menimbulkan penurunan efek inotropik dan kronotropik, penurunan otomatisitas dan
kecepatan konduksi; dan penurunan curah jantung. Dengan demikian kerja jantung diturunkan dan
kebutuhan akan O2 juga menurun. Penurunan kebutuhan akan oksigen miokardial dapat
memperbaiki angina.
(2) Efek metabolik: memblok respons hiperglikemik terhadap Epi.
Blokade reseptor beta-2 memberikan efek:
(1) Pada saluran nafas berupa: bronkokonstriksi, dapat memperberat atau pencetus timbulnya
bronkospasme.
(2) Vaskuler, berupa: pencegahan dilatasi vena dan arteriol-arteriol organ-organ dalam abdomen, ginjal,
paru-paru dan otot skelet yang diperantarai oleh reseptor-reseptor beta-2.
Efek-efek blokade-beta pada SSP adalah: depresi, mimpi-mimpi, insomnia. Bagaimana
mekanismenya ini belum diketahui dengan jelas.
FARMAKOKINETIK
Farmakokinetik propranolol dan lain-lain beta blocker diperlihatkan dalam tabel 28-3.
INDIKASI KLINIK
Indikasi klinik propranolol dan lain-lain beta-blocker adalah untuk:
(1) penyakit jantung iskemik: angina pektoris (kurangnya miokard mendapat O2) dapat mencegah
perluasan daerah yang infark, bila diberikan segera setelah terjadinya suatu kelemahan katup mitral
(MI) akut; menurunkan mortalitas jangka panjang pada setelah MI.
(2) hipertensi. Propranolol dapat bekerja dengan mengurangi pembebasan renin atau NE, atau dengan
menurunkan curah jantung. Penggunaan beta blocker untuk hipertensi ini dibicarakan khusus dalam
seksi obat hipertensi.
(3) Aritmia supraventrikuler atau aritmia ventrikuler. Beta bloker digunakan untuk mengurangi efek
katekolamin pada reseptor beta di jantung. Pengobatan hipertensi selanjutnya dapat dilihat dalam
seksi obat hipertensi.
(4) Kardiomiopati obstruktif hipertonik. Penyakit ini terjadi akibat aktivitas simpatik meningkat pada
kegiatan fisik, dimana kontraksi miokard yang bertambah akan mempersempit aliran darah ke
koroner yang dapat menimbulkan serangan angina. Beta blocker dapat dimanfaatkan untuk
mengurangi kontraksi miokard pada kegiatan fisik pada penyakit jantung diatas.
(5) Profilaksis pada migren. Propranolol dan beta blocker tanpa ISA lain dapat digunakan untuk
mencegah serangan migren, tetapi tidak bermanfaat untuk mengatasi serangan migren. Mekanisme
kerja pencegahan migren ini belum diketahui dengan jelas.
(6) Hipertiroidi (tirotoksisitas). Beta blocker dapat digunakan untuk mengatasi gejala adrenergik
(seperti peningkatan frekwensi denyut jantung, curah jantung yang besar dan tremor) pada
hipertiroidi. Untuk ini lebih baik digunakan sotalol dan nadolol yang tidak banyak dimetabolisme
dan waktu paruhnya lebih panjang.
(7) Tremor esensial, yang belum diketahui penyebabnya.
(8) Pencegahan perdarahan dalam perut pada pasien sirosis.
(9) Ansietas. Semua jenis beta blocker dapat digunakan untuk mengatasi gejala-gejala somatik seperti
palpitasi dan tremor pada waktu stres. Untuk ini efektivitasnya sama dengan benzodiazepin. Dalam
hal ini beta blocker harus digunakan dengan dosis efektif sekecil mungkin. Untuk stres dengan
gejala psikis yang lebih dominan, maka benzodiazepin lebih efektif. Beta blocker tidak efektif untuk
ansietas kronik dan ansietas dengan gejala somatik yang tidak jelas.
(10)
Glaukoma. Untuk ini dapat digunakan timolol yang juga tersedia dalam bentuk tetes mata.
EFEK SAMPING
Efek samping beta blocker dapat berupa
(1) kegagalan jantung kongestif;
(2) bradikardi, blok jantung;
(3) gejala putus obat: penghentian obat secara mendadak dapat menimbulkan hipertensi, serangan angina
atau insufisiensi mitral;
(4) bronkospasme pada penderita asma dan PPOM (penyakit paru obstruktif menahun);
(5) pada penderita diabetes melitus beta blocker akan memblok tanda-tanda hipoglikemia (berkeringat,
takikardi) dan respon-respon yang diperantarai oleh katekolamin;
(6) SSP: depresi, mimpi-mimpi buruk, dan insomnia; (7) impotensi;
(8) bertambahnya gejala klaudikasio pada tungkai.
Tabel 28-3. FARMAKOKINETIK ALPHA BLOCKER DAN BETA BLOCKER
Nama obat
Cara pakai Waktu paruh
Disposisi
Keterangan
ALPHA BLOCKER
Fenoksibenzamin
Fentolamin
Tolazolin
IV,O
IV,IM
IV
R(13%)
-
25% diabsorpsi
-
O
24 jam oral
19 menit
3-10 jam
(neonatus)
2-5 jam
Prazosin
BETA-BLOCKER
Propranolol
Nadolol
Timolol
M (utama),B
>50% ipp
O
O
O
4 jam
22 jam
4 jam
10% ipp
Pindolol
O
3-5 jam
Asebutolol
Atenolol
O
O
OLU 7 jam
3-5 jam
6,5 jam
M
R(90%)
M(50%)
First pass R
M(60%)
No first pass
R(40%)
M(main),AM,R,B.
R(90%)
Metoprolol
IV,O,
In
5 jam
50% first pass
R(50%)
9 menit
M(90%)
Esmolol
IV
Labetalol
IV,O
5,5 jam
O
3-5 jam
O
33 jam
IV
O
O
7-8 jam
1,5 hari
4-8 hari$
10 jam
R(90%)
R
M
R(85%)
O
O
O
O
105 menit
6 jam
17 jam
M,R
M(90%)
M(50%)
R(50%)
SIMPATOLITIK LAIN
Alfa-metil tirosin
(metiyrosin)
Reserpin
Bretilium
Guanetidin
Granadrel
ADRENOLITIK
SENTRAL
Klonidin
Metildopa
Guanabenz
Guanfacine
M(98%),
lemah
M(65%)
First pass
40% ipp
50% diabsorpsi
10% ipp
12% ipp
metabolit
50% ipp
R(85%)
96% ipp
50% bioav
70% pb.
Carbidopa
O
M = metabolisme; AM = active metabolite;R= renal; dalam bentuk tidak berubah; first pass = liver first pass
effect; In = inhalasi sebagai aerosol; ipp = ikatan dengan protein plasma; bioav = bioavailabilitas; O = oral.
Hari$ = fase eliminasi akhir
Efek samping yang sering terjadi adalah: (1) kambuhnya kelemahan jantung, (2) bronkospasme.
Efek samping lain jarang terjadi. Penggunaan jangka lama dari praktolol dapat menimbulkan ruam kulit,
kerusakan kornea dan fibrosis intra-abdominal.
KONTRAINDIKASI
Beta blocker dikontaindikasikan pada penderita dengan:
(1) “kegagalan jantung bendungan”,
(2) Hipotensi
(3) Asma, dan
(4) Blok AV.
Propranolol
Propranolol merupakan beta blocker nonselektif, ikatan dengan protein tinggi, 90-95%
dimetabolisme di hepar (efek lintas pertama yang nyata) pada pemakaian per oral; metabolit-metabolit yang
tidak aktif dieksresi kedalam urin.
Nadolol
Efek farmakologi, indikasi klinik, dan efek samping nadolol ini sama dengan propranolol, kecuali:
metabolismenya tidak nyata, tetapi diekskresi dalam bentuk tidak berubah, dan mempunyai waktu paruh
yang lebih panjang.
Timolol
Merupakan beta blocker nonselektif, mempunyai potensi 5 kali lebih kuat dari propranolol. Indikasi
klinik ialah untuk pengobatan; (1) penyakit jantung iskemik, (2) dalam bentuk obat tetes mata untuk
pengobatan glaukoma. Toksisitas sama dengan propranolol; obat tetes mata diabsorpsi dan dapat
menyebabkan keracunan sistemik.
Pindolol
Merupakan beta blocker nonselektif, mempunyai efek agonis adrenergik lemah dengan beberapa
aktivitas simpatomimetik, dan efek inotropok dan kronotropik negatifnya lebih lemah dari propranolol.
Penggunaan klinis terutama ialah untuk (1) hipertensi, (2) pangobatan angina, dan (3) takiaritmia
supraventrikuler. Toksisitas sama seperti propranolol.
Metoprolol
Merupakan beta blocker kardioselektif (beta-1) relatif; pada pemberian dosis tinggi dapat terjadi
efek blokade β2. indikasi utama ialah: (1) hipertensi, (2) penyakit jantung iskemik dengan penyakit
bronkospastik.
Toksisitas sama dengan propranolol, tetapi efek bronkokonstriksinya lebih lemah.
Atenolol
Sama dengan propranolol, tetapi waktu paruhnya lebih panjang (4-6 jam) dan kurang berpenetrasi
ke SSP (toksisitas pada SSP lebih ringan, dibanding dengan propranolol).
Penghambat Saraf Adrenergik
Obat penghambat saraf adrenergik bekerja menghambat aktivitas saraf adrenergik dengan
mengganggu sintesis, penyimpanan, dan pembebasan NE dan Epi di terminal saraf adrenergik. Termasuk
golongan ini ialah; (1) guanetidin dan derivatnya 9betanidin, debrisokuin, guanadrel, bretelium) dan (2)
reserpin. Prototype golongan ini ialah guanetidin.
GUANETIDIN DAN BRETELIUM
Guanetidin bekerja dengan efek anestesi lokalnya yang menstabilkan membran ujung saraf
presinaptik (tanpa mengganggu konduksi akson) sehingga ujung saraf ini tidak memberikan respon terhadap
perangsangan saraf adrenergik. Hambatan ini dapat total dan berlangsung dengan cepat sekali. Pemberian
kronis akan mendeplesi NE dengan lambat dan bertahan berhari-hari setelah obat dihentikan. Penghambatan
terhadap reseptor alfa dan beta sama kuat yang menyebabkan penurunan tekanan darah dengan cepat dan
berkurangnya kerja jantung.
Obat ini tidak digunakan lagi sebagai antihipertensi karena efek samping kumulatif dan dapat terjadi
hipotensi ortostatik yang berat dan sudah digantikan oleh banyak obat antihipertensi lain.
Betanidin, debrisokuin merupakan obat antihipertensi dengan cara kerjasama seperti guanetidin,
tetapi masa kerjanya lebih pendek.
Bretilium cara kerjanya hampir sama dengan guanetidin. Obat ini hanya dapat digunakan secara
parenteral untuk pengobatan takiaritmia ventrikuler atau untuk mengatasi fibrilasi ventrikuler yang berat
yang tidak responsif dengan obat lain.
RESERPIN
Reserpin adalah alkaloid yang diperoleh dari Rauwolfia serpentina. Penggunaan utama ialah sebagai
antihipertensi.
FARMAKODINAMIK
Cara kerja reserpin ialah;(1) menghambat secara reversibel mekanisme transpor aktif NE dan amin
lain pada membran vesikel adrenergik;(2) menghambat ambilan NE dari sitoplasma; (3) menghambat
sintesis NE melalui penghambatan ambilan dopamin dari vesikel. Dopamin dan NE yang tidak diambil ini
dirusak oleh MAO.
Karena kerja reserpin yang ireversibel, untuk pengembalian kadar katekolamin memerlukan waktu
yang lama. Karena itu pemberian berulang akan menyebabkan efek kumulatif, walaupun pemberiannya
hanya 1 kali seminggu. Selain itu reserpin juga mengosongkan katekolamin dan 5-HT dimedula adrenal,
otak dan organ-organ lain.
Efek antihipertensi: efek penghambatan aktivitas adrenergik menyebabkan penurunan tekanan darah
berlangsung lambat disertai takikardi serta penurunan resistensi perifer (terutama pada waktu berbaring).
Efek sentral: menimbulkan sedasi dan sikap tidak acuh terhadap sekitarnya. Efek sentral ini diduga
karena deplesi katekolamin dan 5-HT di SSP. Penggunaan dosis tinggi dalam jangka lama dapat
menimbulkan gejala ekstrapiramidal.
EFEK SAMPING DAN INTOKSIKASI
Efek samping yang utama ialah terhadap SSP dan saluran cerna. Efek samping dapat berupa: (1)
sedasi; (2) depresi emntal yang berat dan mimpi-mimpi buruk sudah dapat terjadi pada dosis 0,25 mg; (3)
gangguan ekstrapiramidal (jarang terjadi pada dosis untuk antihipertensi); (4) peningkatan tonus dan
motilitas saluran cerna, yang disertai spasme dan diare, dan sekresi asam lambung meningkat; (5)
peningkatan berat badan; (6) kemerahan dan kongesti nasal (dapat menimbulkan gangguan nafas yang berat
pada bayi yang dilahirkan dari ibu yang mendapat reserpin).
LATIHAN SSO
A. PILIHAN GANDA
1. Adrenergik endogen yg dapat diproduksi oleh medula adrenal dan batang otak adalah . .
A. Dopamin
B. Epinefrin
C. Norepinefrin D. Dobutamin.
2. Secara farmakologis efek yang ditimbulkan dopamin antara lain…,KECUALI . . .
A. Stimulansia SSP
B. Menghambat pelepasan prolaktin
C. Antagonis beta-1
D. Memodifikasi tonus otot.
3. Dosis dopamin utk meningkatkan aliran darah ke ginjal dan kontraksi otot jantung adalah …
A. 1-4 ug/kg/menit
B. 4-8 ug/kg/menit C. 4-12 ug/kg/menit D. 12 ug/kg/menit.
4. Pemeberian dosis epinefrin yg berlebihan akan menyebabkan ….,KECUALI. . . .
A. Tek. darah rendah
B. Kontraksi prematur pd ventrikel
C. Takhikardia ventrikel
D. Vibrilasi ventrikel
5. Kerja epinefrin pada reseptor beta-2, sehingga sulit mixi dan retensi urin karena terjadi . . . .
A. Kontraksi otot detrusor
B. Kontraksi sfinter
C. Kontraksi kandungan kemih
D. Relaksasi kandungan kemih.
6. Efek samping dari penggunaan epinefrin adalah . . .
A. MualB. Muntah
C. Angina . Ketegangan
7. Dalam terapi epinefrin tdk boleh diberikan pada pasien…,KECUALI. . .
A. Aritmia
B. Hipotiroidi C. Angina pectoris D. Hipertensi.
8. Obat-obat adrenergik yg mempunyai efek yang paling kuat terhadap reseptor beta-1 dan beta-2
adalah,KECUALI. . . A. Isoprenalin
B. Isopreterenol
C. Isopropilnorepinefrin
D. Isopropilepinefrin
9. Obat yg digunakan utk kelemahan jantung kongestif pada periode pasca-insufisiensi mitral adalah . . . .
A. Dobutamin
B. Isopreterenol
C. Dopamin
D. Epinefrin.
10. Zat-zat termasuk adrenergik dan bukan katekolamin adalah ..,KECUALI . . . .
A. Fenilefrin
B. Metamfetamin
C. Efedrin
D. Isoprenalin.
11. Toksisitas dari pasien yg menggunakan MAO inhibitor dimana kadar tiramin dalam serum tinggi
adalah . . A. Hipotensi
B. Hipertensi essensial
C. Hipertensi krisis
D. Hipotensi krisis
12. Efek toksis berupa konvulsi, delirium, paranoia, psikosis, dan nyeri perut disebabkan oleh . . .
A. Efedrin
B. Metaraminol C.Metoksisamin
D. Amfetamin.
13. Agonis beta-2 selektif yg kerjanya paling kuat adalah . . . .
A. Metaproterenol
B. Albuterol
C. Terbutalin
D. Fenoterenol
14. Obat antiadrenergik yg bekerja sebagai alfa blocker adalah, KECUALI. . . .
A. Fenoksibenzamin
B. Fentolamin C. Prazozin
D. Guanetidin
15. Alfa-blocker yg masih digunakan utk krisis hipertensi yang disebabkan oleh Feokomasitoma
adalah…..A. Fentolamin
B. Prazozin
C. Fenoksibenzamin D. Tolazolin.
16. Penggunaan Yohimbin secara parentral dapat menimbulkan gejala sebagai berikut,KECUALI . . .
A. Diare
B. Mual C. Muntah
D. Keringat.
17. Obat-obat kelompok beta-blocker cukup banyak, namun sebagai prototipnya adalah ….
A. Atenolol
B.Metaprolol
C. Propranolol
D. Timolo
18. Beta-blocker tidak boleh diberikan pada pasien..,KECUALI. . .
A. Hipertensi
B. Asma
C. Blok AV
D.Hipotensi.
19. Penghambat saraf adrenergik yang bekerja sebagai adrenolitik sentral adalah . . . .
A. Guanetidin
B. Reserpin
C. Metil-dopa
D. Dopamin
20. Reserpin tidak boleh diberikan kepada pasien dgn riwayat. . . .
A. Kegagalan jantung bendungan
B. Asma C. Depresi mental
D. Sedasi
B. OBAT PARA SIMPATIK
1. Obat Muskarinik yang berasal dari alkaloid adalah;KECUALI. . .A. Muskarin, B. Arekolin
C. Metakolin D.Pilokarpin
2. Obat kolinomimetik yang bekerja sebagai penghambat kolinesterase sementara adalah,KECUALI. . .
A. Neostigmin
B. Karbaril
C. Karbakol
D. Fisostigmin.
3. Zat antimuskarinik yang bekerja khusus pada GIT adalah. . .A. Benztropin
B. Glikopirolat
C. Ipratropium
D. Disiklomin
4. Indikasi klinik dari obat kolinomimetik terutama pada gangguan...KECUALI. . .
A. Saluran cerna B. Irama jantung
C. Neuromusculer junction
D. Saluran nafas
5. Ikatan neostigmin pada penghambatan Ach-ase adalah ikatan. . .
A. Molekul
B. Ion
C. Covalen
D. Kompleks enzim
6. Efek yang paling penting dari obat penghambat Ach-ase adalah,KECUALI. . .
A. Respirasi
B. GIT
C. Kardiovaskuler D. Mata
7. Dalam terapi dosis peroral untuk Pyridostigmin adalah . . .A. 20 mg
B. 40 mg
C. 60 mg
D. 80 mg.
8. Secara farmakoginamik, maka organ yang paling peka terhadap atropin adalah . . .
A. Jantung
B. Saliva C. Bronkhus
D. Keringat
9. Preparat antikolinergik yang bekerja sebagai antimikotinik adalah . . .
A. Heksmetonium B. Mekamilamin
C. Skopolomin
D. Tetra etilamonium
10. Sedangkan dekametonium termasuk antikolinergik kelompok. .
A. Blokade ganglion
B. Kuartener (asma)
C. Tersier (perifer)
D. Blokade neuromusculer
11. Jika keracunan arganofosfat maka dosis atropinisasi tiap 5 – 15 menit adalah...
A. 1-2 mg
B. 3-5 mg C. 5-8 mg D. 5-10 mg
12. Efek samping antikolinergik berupa hipertermia pada anak-anak dapat diatasi dengan pemberian. . .
A. Fisostigmin B.Neostigmin
C. Pyridostigmin D. Isoflurophate
13. Dosis atropin sulfat untuk tetes mata adalah . . .A. 0,1 – 0,5 %
B. 0,5 – 1%
C. 1 – 2 % D. 2,5 %
14. Secara farmakokinetika, maka antinikotinik yang dapat diserap peroral adalah . .
A. Trimethaphan B. Hexamethonium C. Decamethonium D. Mecamylamine
15. Penggunaan antinikotinik dapat mengganggu daya ereksi dan ejakulasi pada dosis . . .
A. Kecil
B. Sedang C. Besar D. Toksis
16. Untuk mengurangi tekanan pembuluh darah paru-paru pada udema paru akut diberikan . .
A. Mecamylamin B. Tetraetylammonium
C.Decamethonium D. Trimethaphan.
B.URAIAN.
1. Tuliskan indikasi klinik dari beta-blocker?
2. Tuliskan toksisitas dopamin pada pemberian perinfus ?
3. Jelaskan masalah klinik penting yang perlu diperhatikan dalam gangguan obat kolinergik dan antikolinergik?
4. Tuliskan intikasi klinik dari antikolinergik
5. Jelaskan meklanisme pengaktifan sistem parasimpatikuntuk memodifikasi fungsi organ tubuh?
6;Jelaskan efek farmakolosis dari dopamin?
7 Jelaskan indikasi klinik dari epinefrin?
8. Jelaskan efek samping dan toksik dari Amfetamin?
9. Jelaskan indikasi klinik dari Amfetamin
10. Jelaskan indikasi klinik dari Fenoksibenzamin?
11. Jelaskan efek farmakologis dari amfetamin terhadap SSP dan Kardiovaskuler?
INDIKASI KLINIK
Fenoksibenzamin diindikasikan untuk:
(1) Hipertensi sekunder akibat dosis berlebihan dari adrenergik agonis atau MAO inhibitor.
(2) Fenokromositoma. Pada waktu praoperatif diberikan per oral untuk mengatasi hipertensi dan pada
waktu operasi diberikan I.V
(3) Hiperefleksi otonomik akibat trauma pada medula spinalis.
(4) Profilaksis pada penyakit raynaud.
AMFETAMIN
EFEK FARMAKOLOGIK
(1) Amfetamin menimbulkan pembebasan NE (efek-efek alfa dan beta yang kuat) dan dopamin.
Eksresinya adalah melalui urin, umumnya dalam bentuk tidak berobah.
(2) SSP: stimulasi SSP menimbulkan irritabilitas, takipne, euforia, penekanan nafsu makan, peningkatan
aktivitas motorik, dan dosis tinggi dapat menimbulkan psikosis yang dapat diobati dengan obat-obat
blokade dopamin.
(3) Kardiovaskuler: meningkatkan tekanan darah, menurunkan refleks denyut jantung (bervariasi); dan
merupakan aritmogenik pada dosis tinggi.
INDIKASI KLINIK
Amfetamin diinikasikan untuk;
(1) penyakit kurang perhatian pada anak-anak (disfungsi otak yang minimal, hiperaktivitas);
(2) sebagai narkolepsi;
(3) penekan nafsu makan, hanya digunakan untuk jangka pendek (beberapa minggu) karena efek
adiksinya. Adanya rebound weight gain menghilngkan manfaat obat ini.
EFEK SAMPING.dapat berupa
(1) kelemahan, pusing, insomnia, disforia, tremor, sakit kepala, reaksi psikotik (jarang);
(2) palpitasi, takikardi, hipertensi;
(3)diare atau konstipasi; (4) impoten.
EFEK TOKSIK. Dosis berlebih dapat menimbulkan konfusi, delirium, paranoia, psikosis, aritmia
jantung, hipertensi atau hipotensi, nyeri abdomen (pengasaman urin mempercepat
ekskresi obat ini).
SOAL EVALUASI MID SEMESTER
D-3 FARMASI POLTEKKES MAKASSAR
Nama :
NIM :
MATA KULIAH : FARMAKOLOGI
HARI/TGL : SELASA / ........... 2014.
Petunjuk:1
I. Pilihlah A. jika pernyataan benar, alasan benar, ada hubungan sebab akibat
B. jika pernyataan benar, alasan benar, tidak ada hubungan
C. Jika pernyataan benar, alasan salah D. Jika pernyataan salah alasan benar
E. Jika pernyatan dan alasan salah.
II. Pilihlah A jika 1,2 3 benar
B. jika 1 dan 3 benar
C. jika 2 dan 4 benar
D jika hanya obsen 4 yang benar
E. jika semua benar atau salah.
III. Pilihlah salah satu jawaban yang paling benar, dan berilah tanda silang (X) pada lembar kerja yang tersedia
A. PILIHAN GANDA
B.URAIAN :
LEMBAR KERJA
NAMA :
NIS:
A. Pilihan ganda
1. A
E
2. A
E
3. A
E
4. A
E
5. A
E
6. A
E
7. A
8. A
B
C
D
E
9. A B
C
D
E
17. A B
C
D
E
25. A B
C
D
B
C
D
E
10. A B
C
D
E
18. A B
C
D
E
26. A B
C
D
B
C
D
E
11. A B
C
D
E
19. A B
C
D
E
27. A B
C
D
B
C
D
E
12. A B
C
D
E
20. A B
C
D
E
28. A B
C
D
B
C
D
E
13. A B
C
D
E
21. A B
C
D
E
29. A B
C
D
B
C
D
E
14. A B
C
D
E
22. A B
C
D
E
30. A B
C
D
B C D E
B C D E
15. A B C D E
16. A B C D E
II. URAIAN dapat dilanjutkan dibalik halaman ini
23. A B C D E
24. A B C D E
Download