2 Prinsip Umum Toksikologi Perairan Toksikologi perairan (aquatic toxicology) adalah studi kualitatif dan kuantitatif untuk mengetahui dampak buruk (adverse effect) atau efek toksik dari bahan kimia dan bahan-bahan lain sebagai hasil aktifitas manusia terhadap organisme perairan. Selain itu, toksikologi perairan juga menelaah konsentrasi atau kuantitas bahan kimia yang diperkirakan terdapat dalam lingkungan perairan, baik dalam badan perairan, sedimen atau makanan. Efek toksik dapat berupa kematian (lethality) atau sub-lethal seperti perubahan dalam pertumbuhan, perkembangan, reproduksi, pathologi, fisologi, biokimiawi dan tingkah laku. Efek atau dampak toksik dapat dinyatakan dalam beberapa criteria yang dapat dikuantifikasi seperti: jumlah organisme yang mati, persentase telur menetas, perubahan dalam panjang dan berat, persentase hambatan pada kerja enzim, jumlah tulang belakang (skelethal) abnormal serta tingkat kejadian atau kemunculan tumor. Sifat-sifat fisika dan kimia dari ekosistem perairan dapat secara signifikan mempengaruhi dampak aktifitas biologis dan skala/besaran dampak toksik dari bahan kimia atau xenobitics lainnya. Tingkat kerentanan lingkungan perairan terhadap gangguan bahan kimia bergantung pada beberapa faktor, meliputi : (i) sifat fisika-kimia dari bahan kimia dan produk-produk transformasinya, (ii) konsentrasi bahan kimia yang memasuki ekosistem, (iii) durasi dan jenis input (akut atau kronik, tumpahan terputus-putus atau berkesinambungan), (iv) kemampuan ekosistem untuk mempertahankan diri (kapasitas buffering pH, dinamika pergerakan massa air) dan (v) lokasi ekosistem terhadap Prinsip Umum Toksikologi Perairan 33 tempat pembuangan limbah kimia. Hal lain yang patut dicatat, bahwa sesuai kodratnya sebagai organisme perairan, maka sepanjang hidupnya seluruh organisme ini berada dalam air (seluruh atau sebagian tubuh tenggelam dalam air). Hal ini memiliki konsekuensi logis sebagai lokasi spesifik organisme perairan yang sekaligus merupakan reservoir atau menjadi tempat tenggelam atau larutnya beberapa bahan kimia yang memasuki ekosistem perairan. 2.1. Terminologi Umum Dalam Toksikologi Toksikan : adalah agen yang mampu menghasilkan dampak atau respon buruk dalam suatu sistem biologis, yang dapat secara serius merusak struktur dan fungsi atau menyebabkan kematian. Dampak buruk disini dimaksudkan sebagai gambaran dari hasil pengukuran atau kuantifikasi yang berada di luar kisaran normal yang ditemukan pada organisme sehat. Toksikan atau bahan kimia asing (xenobiotics) dapat memasuki ekosistem perairan secara kebetulan atau dengan sengaja dibuang ke dalamnya, yang secara serius merubah kualitas air dan membuat lingkungan perairan menjadi tidak layak bagi organisme. Dalam konsep toksikologi, tidak ada satupun bahan kimia yang secara umum dianggap bersifat toksik, dan tidak ada satupun bahan kimia yang secara umum dapat dianggap aman. Faktor-faktor yang menentukan apakah bahan kimia memiliki potensi membahayakan atau aman bagi organisme adalah hubungan antara konsentrasi (kuantitas) bahan kimia dan durasi pemaparannya terhadap organisme. Ukuran berat ringannya (severity) dampak sebagai hasil dari suatu pemaparan (exposure) adalah manifestasi dari hubungan konsentrasi dan durasi (lama) pemaparan. Untuk setiap bahan kimia, kontak dengan sistem atau membran biologis tidak akan menghasilkan suatu dampak buruk apabila konsentrasi bahan kimia tersebut berada di bawah level minimal efektif (threshold). 34 Prinsip Umum Toksikologi Perairan Demikian sebaliknya, apabila organisme terpapar pada konsentrasi tinggi dan dalam durasi yang memadai, maka dampak buruk niscaya terdeteksi. Toksisitas : adalah suatu sifat relatif dari suatu bahan kimia dalam hal potensi untuk menimbulkan dampak yang membahayakan bagi organisme. Toksisitas merupakan fungsi konsentrasi bahan kimia dan durasi pemaparan. Data toksisitas umumnya digunakan dalam membandingkan bahan kimia, yang juga mencakup mekanisme biologis yang terkena dampak serta kondisi dimana suatu toksikan dikatakan berbahaya. Uji toksisitas digunakan untuk mengevaluasi seberapa buruk dampak suatu bahan kimia pada organisme dalam suatu kondisi yang terstandardisasi dan dapat diulang di tempat lain. Asupan/uptake : teransfer bahan ke bagian permukaan atau bagian dalam organisme perairan. Fase asupan dari suatu uji akumulasi adalah periode waktu organisme uji dipapar pada suatu bahan kimia. Terdapat 3 jenis proses transportasi yang paling sering ditemui, yaitu: difusi, transportasi spesial dan adsorpsi. Difusi : merupakan jalur utama bahan kimia asing ke dalam tubuh organisme dengan jalan difusi pasif melalui membrane semi-permiabel seperti insang, belahan mulut atau saluran gastro-intestinal. Insang yang merupakan organ ikan yang paling rentan, karena desainnya yang memaksimalkan difusi. Membran insang merupakan struktur yang tipis dengan ketebalan antara 2 - 4 µm, dan umumnya mewakili sekitar 2-10 kali area permukaan tubuh. Sedangkan kulit pada ikan, karapaks pada krustase dan kutikula pada serangga umumnya relatif bersifat impermiabel, karena kerapatan strukturnya serta keberadaan bagian mati dari strukturnya, baik yang hidrofobik maupun hidrofilik. Difusi pasif dapat terjadi melalui barrier apa saja yang bersifat permiabel bagi bahan kimia dan menembus suatu gradasi konsentrasi (ΔC), yang merupakan proses fisis yang tidak membutuhkan pengerahan enerji dari organisme. Prinsip Umum Toksikologi Perairan 35 Difusi pasif dimungkinkan terjadi karena keberadaan lipid-bilayer (lapisan lemak) yang merupakan membran biologis sederhana yang memberikan kemudahan bagi molekul organik non-polar (lipofilik) untuk terdifusi secara cepat, namun tidak demikian terhadap air, ion dan molekul-molekul polar. Asam dan basa lemah dapat melewati membrane terutama dalam bentuk-bentuk yang tidak terionisasi. Keberadaan pori yang tersusun atas protein memungkinkan lewatnya air, ion-ion kecil seperti Cl- dan molekul-molekul kecil lainnya dengan berat molekul (MW) hingga 100. Permiabilitas pori-pori membran ini bervariasi sesuai salinitas serta kondisi fisiologis organisme. Proporsi laju difusi pasif dapat dihitung dengan rumus Fick : Δ luas area suhu jarak Membran yang letaknya terisolasi akan cepat menjadi jenuh dan menurunkan laju difusi jika terjadi akumulasi bahan kimia di lokasi-lokasi tertentu. Pola aliran darah pada insang yang mengangkut bahan-bahan menjauh dari lokasi terjadinya proses difusi, sangat efektif dalam menjaga suatu gradasi konsentrasi dalam jumlah besar. Laju asupan pasif pada jaringan insang (dC/dt) berbanding lurus dengan perbedaan konsentrasi bahan kimia dalam air (Cw) dan konsentrasi bahan kimia dalam darah (Cb). Karena nilai awal Cw dari suatu senyawa asing biasanya 0 pada awal suatu pemaparan, maka nilai awal : = k uC w dimana koefisien laju ku merupakan gabungan/kesatuan seluruh faktor fisis yang mempengaruhi laju difusi. Proses ganti kulit (molting) dapat secara signifikan mengurangi beban bahan pencemar di tubuh organisme, khususnya pada logam berat. Beban logam Cd pada kepiting laut Carcinus maenas terserap ke eksoskeleton sebesar 59-80% yang akan hilang pada saat terjadi proses moulting. Demikian juga pada udang laut Lysmata 36 Prinsip Umum Toksikologi Perairan seticaudata ditemukan hilangnya logam Cd sebesar >50% pada saat molting. Transportasi spesial : transportasi special atau khusus bahan kimia ke dalam tubuh organisme mencakup transportasi aktif dan transportasi terfasilitasi. Transportasi aktif terjadi saat menghadapi terjadinya gradasi konsentrasi, dan jelas membutuhkan pengeluaran enerji. Kinetik dari transportasi spesial mencapai tingkat jenuh pada saat konsentrasi bahan kimia tinggi. Kompetisi dalam menghambat asupan suatu bahan kimia pada keberadaan bahan kimia lain dapat terjadi. Terdapat banyak contoh bahwa logam berat dapat berinteraksi saat terjadi pengasupan. Misalnya: Cd cenderung mengurangi laju asupan Zn dan Cu, demikian juga Co dan Mn berkompetisi dalam hal pengasupan melalui sistem transportasi Zn. Karena transportasi aktif membutuhkan input enerji seluler dalam menggerakkan bahan kimia menghadapi gradasi konsentrasi, maka hal ini merupakan mekanisme peningkatan konsentrasi sejati. Sedangkan transportasi terfasilitasi selain tidak membutuhkan input enerji seluler juga tidak memiliki kemampuan untuk meningkatkan konsentrasi bahan kimia menghadapi gradasi konsentrasi pada membran. Kedua jenis proses transportasi spesial tersebut dimaksudkan untuk mengatur bahan-bahan yang secara biologis penting, seperti: logam esensial, gula dan asam amino. Logam dapat diakumulasi baik melalui transportasi aktif maupun transportasi pasif. Salinitas rendah dapat meningkatkan laju asupan logam Cd oleh organisme laut yang aktif mengakumulasi garam sejalan dengan menurunnya salinitas. Salinitas rendah juga meningkatkan laju asupan logam Cs pada organisme perairan akibat menurunnya persaingan dari ion Na+. Hal ini jelas akan sangat menyulitkan untuk melakukan generalisasi dalam bioakumulasi logam pada organisme perairan karena keutamaan sifat kimia air dan peranan aktif yang dimainkan oleh organisme dalam mengatur penyusun normal tubuhnya. Prinsip Umum Toksikologi Perairan 37 Adsorpsi : merupakan aksi pengikatan suatu bahan kimia pada bagian permukaan baik oleh kovalen, elektrostatik maupun daya molekul. Karena adsorpsi merupakan suatu fenomena permukaan maka sangat penting sebagai tahapan awal dalam proses akumulasi. Suatu bahan kimia yang mengikat pada integument hewan akan member dampak pada beban tubuh dan dapat member dampak terhadap kerentanan dalam fungsi epithelium, namun secara umum tidak berperan dalam timbulnya efek toksik di dalam tubuh hewan. Adsorpsi sangat penting bagi mikroorganisme karena rasio permukaan dan volume tubuhnya sangat tinggi. Temuan tentang tinggi laju asupan logam berat Zn dan DDT pada mikroorganisme laut seperti Chlorella dan Diatom merupakan bukti kuat tentang hal tersebut. Oleh karena adsorpsi merupakan proses fisis, maka akan secara seimbang efektif baik bagi sel hidup maupun sel mati. Metode umum dalam menggambarkan adsorpsi pada suatu substrat adalah rumus isotherm Freundlich: dimana: X/M adalah massa bahan kimia per gram sorbent (penyerap) pada kondisi setimbang, k adalah konstanta adsorpsi Freundlich, Cw konsentrasi larutan bahan kimia pada kondisi setimbang dan 1/n adalah slop dari isotherm. Slop diperoleh dengan memplot log (X/M) terhadap log Cw untuk berbagai konsentrasi. Semakin tinggi nilai intersep (log k) maka semakin tinggi pula tingkat adsorpsi, dan semakin besar nilai slop maka semakin tinggi pula efisiensi adsorpsi. Proses Pemurnian (Depuration) : proses eliminasi atau penghilangan bahan kimia dari tubuh organisme, baik melalui proses desorpsi, ekskresi, difusi, biotransformasi atau rute lainnya. Fase depurasi dari suatu uji adalah periode waktu yang digunakan untuk memelihara organisme yang sebelumnya terpapar pada bahan kimia, di dalam air bersih tidak tercemar untuk melepaskan beban bahan kimia pencemar 38 Prinsip Umum Toksikologi Perairan dari dalam tubuh atau jaringannya. Proses eliminasi cepat, terutama bagi bahan-bahan kimia asing (xenobiotics) yang sulit berubah, berfungsi untuk mencegah akumulasi dan kerusakan jaringan. Pada vertebrata, proses eliminasi dapat berlangsung melalui beberapa rute/jalur termasuk : transportasi melewati permukaan integumen atau organ pernafasan, sekresi dalam empedu, ekskresi ginjal dalam urin atau melalui peletakan telur. Sedang pada Arthropoda mekanisme utama untuk mengurangi beban bahan pencemar adalah melalui proses pergantian cangkang/molting. Waktu-Paruh (half-life atau half-time) : waktu yang dibutuhkan oleh suatu organisme yang dipelihara dalam air bersih untuk menghilangkan 50% dari total beban konsentrasi suatu bahan kimia pada tubuh atau jaringannya. Ketersediaan biologis (Bioavailability) : fraksi dari total bahan kimia di lingkungan sekitarnya yang tersedia untuk diasup oleh organisme. Lingkungan disini termasuk: air, sedimen, bahan padat terlarut dan bahan-bahan makanan. Asupan dari air terutama dalam konteks absorpsi dari larutan air. Hal ini terkait dengan sulitnya asupan biologis (biouptake) bagi bahan-bahan dengan daya kelarutan yang sangat rendah dalam air atau terikat pada bahan padat yang ada dalam air. Bahan organik terlarut yang terikat pada bahan kimia, juga akan menurunkan laju biouptake. Partisi (Partitioning) : distribusi suatu bahan kimia diantara gradasi pelarut/solvent. Koefisien partisi (P atau Kow) adalah rasio dari konsentrasi bahan kimia diantara solvent dalam kondisi ekuilibrium/ setimbang. Koefisien partisi umumnya diukur antara n-octanol (mewakili lemak) dan air. Kondisi Kesetimbangan (Steady state/dynamic equilibrium) : keadaan dimana persaingan laju asupan dan laju eliminasi suatu bahan kimia di dalam tubuh atau jaringan organisme adalah sama. Kondisi kesetimbangan tercapai saat konsentrasi bahan kimia di dalam jaringan Prinsip Umum Toksikologi Perairan 39 tetap konstan selama pemaparan berlangsung. Faktor biokonsentrasi dapat diukur pada kondisi kesetimbangan. Kondisi kesetimbangan/ ekuilibrium didefinisikan sebagai rentetan koefisien partisi, sebagai berikut: H = Ca / Cw , Kp = Cs / Cw , dan BCF = Cb /Cw dimana: H : konstanta Henry, Ca : konsentrasi dalam udara, Cw : konsentrasi dalam air, Cs : konsentrasi dalam tanah, Cb : konsentrasi dalam biota, Kp : koefisien sorpsi sedimen. Sedang konstanta Henry dapat dihitung dengan persamaan : H = (P x M x 16.04) / (T x S) dimana: P : tekanan penguapan (mmHg), M : berat molekul, T : suhu, dan S : daya larut (g/m3 atau ppm). Koefisien adsorpsi sedimen adalah : Kp = 0.6 x Kow x Ocf dimana: Kow : koefisien partisi oktanol-air dan Ocf : fraksi karbon organik dalam sedimen, yang di daerah sub-arctic nilainya : 0.1 dan di daerah tropis nilainya : 0.2. BCF dapat dihitung atau diestimasi dari Kow : BCF = 0.048 x Kow Jika Kow tidak diketahui, maka dapat diestimasi dengan persamaan: log Kow = 6.5 – 0.89 x (log(S/M)) – 0.015 x Mp dimana: Mp adalah titik leleh dalam oC. Kompartemen: jumlah atau kuantitas bahan kimia yang menunjukkan laju asupan dan eliminasi seragam dalam suatu sistem biologis dengan sistem yang dapat dibedakan antara satu kompartemen dengan kompartemen lainnya. Adapun sistem kompartemen memberikan 40 Prinsip Umum Toksikologi Perairan gambaran tentang distribusi senyawa kimia dalam berbagai fase (compartmentalization) dari dunia, yang terdiri atas empat jenis kompartemen utama dunia, dengan rincian sebagai berikut (Tabel 3). Dari jenis kompartemen tersebut, maka jumlah senyawa (mol) dalam unit dunia dapat dihitung melalui persamaan : M = Cw [Va x H + Vw + (Vbs x Kp + Vss x Kp + Vs x Kp) x Ds + Vb x BCF x Db] Tabel-3. Sistem Kompartemen Dunia. Udara a Volume (m3/km2) 6.000.000.000 Air w 7.000.000 1000 Tanah s 45.000 1500 Sedimen bs 21.000 1500 Bahan Padat Tersuspensi ss 35 1500 Biota b 7 1000 Kompartemen Singkatan Kerapatan (kg/m3/km2) 1.2 Sumber : Jaakko Paasivirta (1991). Persamaan kompartemen di atas dapat disederhanakan dalam bentuk : M = Σ ViCi Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi konsentrasi, transportasi, transformasi dan disposisi (nasib akhir) bahan kimia toksik di lingkungan perairan adalah: (i) sifat fisika-kimia dari senyawa, termasuk diantaranya: struktur molekul, daya larut dalam air, laju penguapan, laju fotolisis, laju sorpsi, laju depurasi oleh organisme dan koefisien partisi, (ii) sifat fisika-kimia-biologi dari ekosistem, termasuk diantaranya: hubungan luas permukaan dan volume, suhu, salinitas, pH, aliran massa air, kedalaman, jumlah materi tersuspensi serta kandungan karbon dalam sedimen, dan (iii) sumber dan laju input bahan kimia ke Prinsip Umum Toksikologi Perairan 41 dalam ekosistem, meliputi: rata-rata laju input, informasi konsentrasi awal, mobilitas bahan kimia dan bagian dari ekosistem yang berasosiasi dalam distribusi dan transformasinya. Jenis bahan kimia dan reaksi biologis yang terjadi selama fase transportasi dan setelah terdeposisi, bentuk akhir bahan kimia, serta persistensi bahan kimia di alam juga menjadi faktor-faktor yang harus diperhatikan. Pemahaman tentang sifat-sifat fisika-kimia dari suatu senyawa kimia memungkinkan kita untuk mengestimasi bagian utama dari lingkungan perairan yang akan menjadi lokasi pemaparan utama serta kemampuan dari senyawa kimia untuk bergerak di dalam dan ke luar dari lingkungan. Sebagai contoh, senyawa kimia dengan tekanan penguapan (vapour pressure) yang tinggi dan tingkat kelarutan rendah dalam air akan cenderung mengakibatkan bahan kimia untuk tersebar dengan cepat ke dalam air dan ke atmosfir (volatilize). Adapun senyawa kimia dengan tekanan penguapan rendah dan tingkat kelarutan rendah dalam air memiliki kecenderungan untuk berasosiasi dengan sedimen dan bahan padat terlarut. Sedang bahan kimia dengan tingkat kelarutan tinggi dalam air memiliki kecenderungan untuk tetap berada di dalam kolom air, terdistribusi secara luas dan merata dibandingkan bahan-bahan kimia yang tidak larut di dalam lingkungan perairan. Di dalam air, keberadaan suatu bahan kimia terdapat dalam 3 (tiga) bentuk yang mempengaruhi ketersediaannya bagi organisme (bioavailabilitas), yaitu: (i) terlarut (dissolved) : tersedia bagi organisme dalam kolom air, (ii) terserap (adsorbed) pada bagian permukaan komponen biotik atau abiotik yang dapat tersuspensi dalam kolom air atau mengendap pada sedimen/dasar perairan (umumnya merupakan senyawa hidrofobik berupa koloida tersuspensi atau partikulat mikro), dan (iii) terakumulasi (incorporated) dalam organisme. Bahan kimia yang terikat dalam sedimen menjadi ‘tersedia’ bagi organisme pada saat sedimen teraduk, dan bahan kimia dapat terakumulasi oleh organisme dalam beberapa jenis jaringan yang 42 Prinsip Umum Toksikologi Perairan berbeda, mengalami transformasi biologis (metabolisme) dan diekskresikan balik ke dalam air. Bahan kimia yang mudah larut dalam air dapat terus berada dan mempertahankan sifat-sifat fisika-kimianya saat ditransportasi dan didistribusikan dalam lingkungan perairan. Untuk bahan kimia persisten (tidak secara tuntas terdegradasi) memiliki kecenderungan untuk terakumulasi di lingkungan hingga konsentrasinya menjadi toksik. Persistensi suatu bahan kimia umumnya diekspresikan dalam paruh-waktu (half-life) adalah waktu yang dibutuhkan untuk mengurangi konsentrasi awal suatu bahan kimia menjadi tinggal setengahnya, dinyatakan dengan DT50 (DT : disappearance time) Bahan kimia pencemar dapat mengalami konversi menjadi bentuk lain melalui proses transformasi biotik maupun abiotik. Reaksi transformasi abiotik yang dominan dalam perairan adalah hidrolisis, oksidasi dan fotolisis. Reaksi-reaksi tersebut mengakibatkan bahan kimia menjadi lebih atau kurang tersedia dalam proses transformasi biotik (biotransformasi). Ikan, invertebrata, mikroorganisme atau tumbuhan air melakukan transformasi bahan kimia menjadi berbagai jenis metabolit setelah terasup atau terabsorpsi. Biotransformasi merupakan proses yang dimediasi oleh enzim, yang dapat secara tegas dibedakan dari reaksireaksi non-metabolik kimiawi dan fotokimiawi yang berlangsung dalam ekosistem perairan. Secara umum, biotransformasi memiliki kecenderungan untuk mendegradasi suatu bahan kimia menjadi lebih polar dan larut dalam air dengan toksisitas yang lebih rendah, walaupun dalam beberapa kasus produk-produk transformasi dapat bersifat toksik. Biotransfromasi yang dimediasi oleh hewan dan tumbuhan perairan secara signifikan mempengaruhi konsentrasi bahan kimia di lingkungan. Akan tetapi, untuk hampir seluruh senyawa organik di lingkungan perairan, transformasi yang dilakukan oleh hewan dan tumbuhan tidak sebanding dengan kemampuan transformasi mikroorganisme. Prinsip Umum Toksikologi Perairan 43 2.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi toksisitas, meliputi : (a) Faktor-faktor yang terkait dengan pemaparan; bagi suatu bahan kimia berikut metabolit atau produk konversinya, untuk dapat menimbulkan respon buruk atau memiliki dampak toksik pada organisme perairan maka senyawa/bahan kimia tersebut harus berada dalam posisi kontak dan bereaksi dengan reseptor yang tepat pada organisme, dengan konsentrasi yang cukup tinggi dan durasi kontak yang cukup lama. Konsentrasi dan waktu pemaparan (Gambar 6) yang dibutuhkan untuk dapat menimbulkan dampak atau respon buruk bervariasi menurut jenis bahan kimia, spesies organisme dan tingkat keparahan dampak yang ditimbulkan. Dalam pendugaan dampak toksik bahan kimia, faktor-faktor yang nyata terkait dengan pemaparan adalah: jenis, durasi, frekuensi pemaparan dan konsentrasi bahan kimia. Organisme perairan dapat terpapar pada bahan kimia yang terdapat dalam air, sedimen dan bahanbahan makanan. Bahan kimia hidrofilik (larut dalam air) lebih tinggi tingkat ketersediaannya dibanding dengan bahan kimia hidrofobik (sulit larut dalam air). Bahan kimia hidrofobik umumnya teradsorpsi erat atau terikat erat dalam partikel terlarut, bahan-bahan organik atau sistem-sistem biologis. Bahan-bahan kimia hidrofilik dapat memasuki tubuh organisme melalui permukaan tubuh, insang atau mulut. Oleh karenanya, jalur pepamaparan dapat mempengaruhi faktor-faktor kinetik seperti absorpsi, distribusi, biotransformasi dan ekskresi yang pada akhirnya menentukan tingkat toksisitas suatu bahan kimia. Efek toksik dapat dihasilkan di dalam laboratorium maupun di lingkungan alami, baik dengan pemaparan akut (jangka pendek) maupun kronik (jangka panjang) terhadap bahan kimia atau bahanbahan yang memiliki potensi toksik. Pada pemaparan akut (acute exposure), organisme mengalami kontak dengan bahan kimia yang dapat berupa pemaparan tunggal atau beberapa pemaparan yang 44 Prinsip Umum Toksikologi Perairan terjadi dalam jangka pendek, yang umumnya dalam hitungan jam hingga hari. Pemaparan akut terhadap bahan kimia yang dapat secara cepat dampak/efek, terabsorpsi namun umumnya terkadang langsung dampak memberikan tersebut tertunda menyerupai dampak yang ditimbulkan oleh pemaparan kronik. Selama pemaparan kronik (chronic exposure), organisme yang terpapar pada konsentrasi rendah dari suatu bahan kimia dapat berupa kontak berkesinambungan (terus-menerus) atau berupa kontak yang diberikan secara berkala dalam suatu periode waktu yang panjang (minggu, bulan hingga tahun). Efek kronik bisa timbul segera secara cepat seperti pada efek akut, namun yang paling sering adalah efek yang tertunda dan berkembang secara perlahan. Secara umum dapat dikatakan bahwa sebuah pemaparan akut selalu melibatkan periode waktu yang singkat dibanding dengan satu siklus kehidupan organisme, sedangkan pemaparan kronik melibatkan seluruh siklus reproduktif suatu organisme. Oleh karena itu, suatu pemaparan berdurasi sedang (satu hingga beberapa bulan), yang periodenya kurang dari satu siklus lengkap reproduktif dan melibatkan pemaparan pada salah satu siklus awal kehidupan yang sensitif, dikenal sebagai pemaparan sub-kronik (subchronic exposures). Dalam toksikologi perairan studi yang melibatkan pemaparan sub-kronik juga dikenal sebagai uji stadia usia awal (early life stage test), uji telur-larva (egg-fry test), uji embryo-larva (embryo-larval test) atau uji stadia usia kritis (critical life stage test). Frekuensi pemaparan dapat mempengaruhi toksisitas. Misalnya: suatu pemaparan akut dari sebuah konsentrasi tunggal bahan kimia dapat memberikan dampak buruk secara langsung pada organisme, sedang dua pemaparan dengan konsentrasi kumulatif sama dengan pemaparan konsentrasi tunggal dapat berujung pada dampak yang kecil atau bahkan tidak member dampak sama sekali. Hal ini bisa jadi karena terjadi proses detoksifikasi (metabolisme) bahan kimia Prinsip Umum Toksikologi Perairan 45 diantara kedua pemaparan atau terjadi penyesuaian diri (aklimasi) organisme terhadap bahan kimia. Akan tetapi, jika laju metabolisme tersebut rendah, maka bahan kimia tidak akan secara mudah mengalami transformasi atau diekskresi, dan akan tetap berada dalam tubuh organisme yang pada akhirnya akan menghasilkan sebuah efek kronik. (b) Faktor-faktor yang terkait dengan organisme: spesies memiliki tingkat kerentanan yang berbeda terhadap bahan kimia. Perbedaan kerentanan ini diduga disebabkan oleh beberapa hal seperti: perbedaan aksesibilitas toksikan terhadap organisme dimana beberapa spesies tertentu memiliki kemampuan untuk secara efektif mengeluarkan bahan toksik dalam waktu singkat (contoh: mekanisme penutupan cangkang dan kemampuan melakukan metabolisme anaerob pada kerang/bivalvia). Selain itu, laju dan pola metabolisme dan ekskresi dapat mempengaruhi tingkat kerentanan tersebut. Hal lain yang mempengaruhi tingkat kerentanan organisme terhadap toksikan adalah faktor genetis, bahan makanan, serta status kesehatan dan nutrisi/gizi organisme. Faktor usia atau stadia perkembangan organisme juga menentukan tingkat kerentanan (vulnerability), yang disebabkan oleh perkembangan mekanisme detoksifikasi lebih berkembang pada individu dewasa. (c) Faktor-faktor lingkungan eksternal: toksisitas bahan kimia dapat dipengaruhi oleh lingkungan eksternal organisme yang terkait erat dengan ketersediaan bahan kimia dalam media air seperti DO, pH, pE, suhu dan bahan padat terlarut. (d) Faktor-faktor yang terkait dengan bahan kimia: terutama yang berhubungan dengan komposisi bahan kimia. Ketidak-murnian (impurities) suatu bahan kimia dijumpai dari batch-batch yang dihasilkan oleh produsen yang berbeda. Hal lain yang patut dicatat adalah perbedaan tingkat kelarutan, tekanan penguapan dan pH, 46 Prinsip Umum Toksikologi Perairan karena faktor-faktor ini secara jelas mempengaruhi ketersediaan, persistensi, transfromasi dan bentuk/nasib akhir bahan kimia di lingkungan perairan. Konsentrasi (ppm) 80 70 Respon 60 50 40 30 20 10 0 Waktu hipotetik Gambar-9. Hubungan Durasi – Konsentrasi. Beberapa jenis bahan kimia bersifat toksik non-selektif (nonselective toxicity), dimana mereka mampu memberikan dampak buruk terhadap beragam jenis sel dan jaringan tubuh organisme perairan, dan jenis bahan kimia ini biasanya sangat efektif walau dalam konsentrasi kecil. Berlawanan dengan beberapa jenis bahan kimia yang bersifat toksik sangat selektif dalam sel atau jaringan targetnya. Sel yang terkena atau tidak terkena dampak buruk dari suatu bahan kimia toksik selektif (selective-toxicity), dapat berada dalam spesies organisme yang sama atau berbeda. Jika sel atau jaringan yang terkena dampak toksik berada dalam spesies organisme yang berbeda, maka bahan kimia tersebut disebut spesifik spesies (species-specific), karena aktifitasnya selektif terhadap spesies tertentu. Target spesifik (reseptor) toksikan dalam tubuh organisme dapat berupa makromolekul, sel, organ atau proses biokimiawi tertentu yang Prinsip Umum Toksikologi Perairan 47 diganggu oleh toksikan. Reseptor adalah suatu unit struktural kecil yang aktif, baik pada membran protein sel, enzim, asam nukleat dan makromolekul lainnya. Reseptor seperti lubang kunci dan suatu molekul pemancar dari proses-proses kehidupan merupakan anak kunci yang dapat secara pas masuk ke dalam lubang kunci tersebut. Jika suatu xenobiotics memiliki struktur, ukuran dan polaritas yang sama, maka xenobiotics ini akan berfungsi sebagai anak kunci palsu yang kemudian akan menghentikan seluruh tahapan-tahapan metabolisme dan melakukan suatu proses metabolik yang berbahaya atau memodifikasi (menghambat atau mempercepat) transmisi signal dari syaraf. Pengikatan suatu xenobiotics pada reseptor dapat menyebabkan suatu proses toksik akut maupun kronik atau mendorong timbulnya dampak teratogenik maupun karsinogenik. Oleh karena itu, selektifitas aksi dari suatu bahan kimia dapat disebabkan oleh 2 (dua) mekanisme, yaitu : (i) menyangkut terdapat atau tidak terdapatnya target spesifik atau reseptor pada sistem sel organisme yang terpapar, karena selektifitas tersebut mengindikasikan bahwa bahan kimia tertentu hanya bereaksi dengan komponen/target normal spesifik dari sel. Target dapat berupa protein atau lemak yang tidak vital bagi fungsi sel, sehingga reaksi antara bahan kimia dan target tidak secara langsung menimbulkan perubahan dalam fungsi sel, (ii) mekanisme yang melibatkan faktor-faktor yang berperan dalam mendistribusikan dan mengubah konsentrasi bahan kimia pada lokasi spesifik di dalam sel atau jaringan. Hal ini biasanya merupakan hasil dari proses-proses spesifik seperti: absorpsi selektif, translokasi, biotransformasi dan ekskresi. Sedikit perubahan dalam struktur bahan kimia dapat merubah aktifitas biologisnya. Hal ini karena efek biologis-kimiawi adalah hasil reaksi fisis-kimiawi atau interaksi antara bahan kimia dan beberapa target dalam sistem kehidupan perairan. Reaksi spesifik bahan kimia terhadap target spesifik dikenal sebagai kajian hubungan aktifitas dan struktur, yang menggambarkan detil batas-batas variasi dalam struktur 48 Prinsip Umum Toksikologi Perairan bahan kimia yang konsisten dengan efek biologis spesifik yang dihasilkannya. Jika sejumlah kajian hubungan aktifitas struktur dapat dilakukan dengan baik, hipotesis tentang posisi terdekat/paling mungkin dari reseptor atau target spesifik dalam reaksi dengan bahan kimia dapat dikembangkan. Kajian ini juga membuka peluang bagi peneliti untuk melakukan sintesa analog-analog bahan kimia yang lebih aktif dalam menghasilkan dampak biologis, atau lebih non-aktif dalam sistem biologis yang diamati. 2.3. Aspek Kimia Toksikologi Merupakan tinjauan tentang aspek kimia bahan toksik dengan penekanan pada interaksi bahan kimia dengan jaringan biologis dan sistem kehidupan. Hal ini terkait dengan keutamaan dari aspek hubungan struktur dan aktifitas (SAR: structure activity relationship) dalam toksikologi. Hal ini akan sangat bermanfaat dalam upaya menghubungkan struktur kimia dan sifat-sifat fisik dari berbagai senyawa dengan efek toksiknya, yang memungkinkan untuk memprediksi efek toksik dari senyawa kimia atau kelas senyawa kimia lainnya. 2.3.1. Terdapat beberapa kategori utama bahan kimia toksik, yaitu: a. Bahan kimia yang memiliki sifat-sifat kuat dalam keasaman, kebasaan, kemampuan dehidrasi, atau daya mengoksidasi. Contoh: asam sulfat pekat yang memiliki kecenderungan untuk men-dehydrasi jaringan, NaOH dan F2. Jenis-jenis ini cenderung merupakan bahan toksik nonkinetik (hanya beraksi di lokasi/ titik kontak) dan bersifat korosif yang umumnya merusak jaringan pada lokasi kontak. b. Bahan kimia reaktif, umumnya mengandung ikatan dan kelompok fungsional yang sesuai untuk bereaksi dengan biomolekul dan merusaknya. Contoh: Allyl alkohol (C3H5OH) yang sangat toksik dan menyebabkan iritasi pada kulit, saluran pencernaan, ginjal dan hati. Sifat reaktif ini karena keberadaan kelompok alkyl, C=C. Prinsip Umum Toksikologi Perairan 49 c. Logam berat, sangat toksik karena interaksinya dengan enzim dan kecenderungan untuk mengikat kuat dengan kelompok gugus sulfuhydril (-SH) pada protein. Banyak anggota kelompok logam berat yang diketahui sangat toksik. d. Senyawa larut dalam lemak, toksisitasnya tinggi akibat kemampuannya untuk melewati membran sel dan barrier serupa dalam tubuh organisme. Senyawa lipid-soluble ini seringkali terakumulasi sehingga menimbulkan dampak toksik melalui proses biouptake dan bioakumulasi. e. Struktur bahan kimia, sangat mempengaruhi daya induksi toksisitas. Bahan kimia semacam ini umumnya mengakibatkan reaksi allergi karena sistem kekebalan tubuh mengenalinya sebagai senyawa kimia asing. Umumnya merupakan senyawa-senyawa berberat molekul rendah yang terikat pada protein membentuk spesies senyawa baru yang berberat molekul cukup tinggi dan mampu menimbulkan respon allergi. f. Spesies ion yang cenderung mengikatkan diri ke biomakromolekul dan mengubah fungsinya menjadi merusak atau membahayakan. Ikatan yang terjadi dapat bersifat dapat balik (reversible) seperti bentuk ikatan CO dengan haemoglobin, yang mengurangi kemampuan haemoglobin mengikat O2. Ikatan bersifat irreversible seperti yang terjadi pada ion H3C+ (eletrofilik) yang mengikatkan diri pada atom N (nukleofilik) pada Guanin yang terdapat pada DNA. 2.3.2. Transformasi Biokimia Aspek kimia toksikologi terikat erat dengan reaksi-reaksi metabolik dan nasib senyawa kimia dalam tubuh organisme. Di dalam tubuh organisme, bahan-bahan toksik sistemik mengalami (1) reaksi-reaksi biokimia yang membuat mereka memiliki efek toksik, dan (2) proses biokimiawi yang meningkatkan atau menurunkan toksisitas mereka, atau merubah toksikan menjadi bentuk-bentuk senyawa yang siap untuk dikeluarkan dari dalam tubuh. 50 Prinsip Umum Toksikologi Perairan Dalam menghadapi senyawa xenobiotics, tubuh organisme melakukan metabolisme yang umumnya dalam bentuk penurunan tingkat toksisitas dan fasilitasi pelepasan senyawa dari tubuh organisme. Serangan awal terhadap senyawa xenobiotics (umumnya lipofilik) umumnya melibatkan reaksi-reaksi hydrolysis, oksidasi dan sedikit reduksi, yang umum dikenal sebagai reaksi fase I. Reaksi fase I ini dimulai dengan mengeluarkan polar reaktif pada molekul toksikan yang menjadikannya lebih mudah larut dalam air sehingga lebih mudah mengalami reaksi-reaksi berikutnya. Senyawa induk atau metabolik produk reaksi fase I akan mengalami reaksi konjugasi dengan substansi asli dari tubuh organisme. Proses konjugasi ini disebut reaksi Fase II yang akan menghasilkan produk konjugasi yang umumnya kurang toksik dibandingkan dengan senyawa induk atau metabolit fase I, dan menjadi lebih mudah untuk diekskresikan dari tubuh. Reaksi yang terpenting dalam Fase I adalah oksidasi, yang umum dikenal sebagai mixed-function oxidase (MFO). Reaksi ini terjadi dalam fraksi organel ‘mikrosom’ dimana terdapat retikulum endoplasma yang memiliki cakupan membran yang luas di dalam sel dan badan Golgi yang menyimpan molekul-molekul yang baru disintesis. MFO terjadi dengan O2 sebagai agen pengoksidasi, dimana satu atom digabungkan dengan bahan/substrat dan lainnya membentuk air. Substrat + O2 Produk-OH + H2O MFO Enzim utama dari MFO adalah cytochrome P-450 yang lokasi aktifnya memiliki atom Fe+2 atau Fe+3. Enzim ini dapat mengikatkan diri pada substrat dan molekul O2 sebagai pengoksidasi. Cytochrome P-450 terdapat melimpah dalam organ hati, walaupun dalam organ-lain seperti ginjal, ovarium, testis dan darah juga didapatkan dalam jumlah kecil. Enzim lain yang cukup penting dalam fase I yang memediasi oksidasi adalah Flavin-containing monooxygenase (FMO) yang juga ditemukan terutama dalam retikulum endoplasma. FMO terutama efektif dalam Prinsip Umum Toksikologi Perairan 51 mengoksidasi amina-amina primer, sekunder dan tertier. Enzim ini mengkatalisa oksidasi senyawa-senyawa xenobiotics yang mengandung nitrogen, juga yang mengandung sulfur dan posfor, namun tidak menyebabkan hydroksilasi atom-atom C. Cytochrome P-450 juga terlibat dalam reaksi epoksidasi yang merupakan penambahan 1 atom O diantara 2 atom C dalam suatu sistem tidak jenuh. Epoksidasi merupakan salah satu cara terpenting dalam menyerang cincin aromatik yang banyak terdapat dalam senyawa xenobiotics. Umumnya reaksi epoksidasi mengakibatkan peningkatan toksisitas senyawa induk yang juga dikenal dengan nama intoksikasi. Reaksi lain dari Fase I adalah hydroksilasi, yang merupakan pengikatan kelompok –OH pada rantai atau cincin hidrokarbon. Hidroksilasi alkyl dari rantai alkana terjadi pada atom C terminal (-CH3) atau atom C sebelum yang atom C terakhir (ω-1-C) dengan jalan menyisipkan 1 atom O diantara C dan H. Baik hidroksilasi maupun epoksidasi memiliki peran dalam membuat senyawa xenobiotics bersifat toksik selama proses metabolisme. Reaksi lain adalah oksidasi unsurunsur non-karbon, meliputi nitrogen, sulfur dan posfor yang terdapat dalam senyawa xenobiotics. Reaksi ini merupakan suatu mekanisme intoksikasi yang penting yang membuat senyawa-senyawa induk dan metabolit menjadi lebih bersifat toksik. Reaksi penting dalam fase I selain oksidasi adalah reduksi, dealkylasi, hydrolysis dan penghilangan unsur halogen (dehalogenasi). Reduksi terjadi dengan bantuan enzim reduktase, seperti: enzim nitroreduktase yang mengkatalisa reduksi senyawa-senyawa xenobiotics yang mengandung kelompok nitro. Enzim reduktase terutama melimpah pada organ hati, lalu disusul oleh ginjal dan paru-paru. Reaksi dealkylasi adalah penggantian kelompok methyl (-CH3) yang terikat pada atom-atom O, N dan S, yang difasilitasi oleh sistem enzim MFO, seperti yang terjadi pada O-dealkylasi insektisida Metoxychlor, N-dealkylasi insektisida Carbaryl dan S-dealkylasi dimethyl Mercaptan. Adapun reaksi hydrolysis 52 Prinsip Umum Toksikologi Perairan adalah penambahan H2O kepada suatu molekul yang membelah molekul tersebut menjadi 2 spesies berbeda. Bagi kebanyakan dari xenobiotics seperti pestisida, yang merupakan ester, amida atau ester organoposfat, hydrolysis merupakan aspek penting dalam menentukan nasib metaboliknya. Secara umum enzim yang terlibat dalam hidrolysis disebut hydrolase yang banyak ditemukan dalam hati, sejumlah kecil dalam intestin, ginjal, jaringan otot dan plasma darah. Tahapan penting dalam metabolisme senyawa xenobiotics yang mengandung ikatan kovalen halogen (F, Cl, Br dan I) adalah proses dehalogenasi. Reaksi ini dapat terjadi dalam bentuk dehalogenasi reduktif dimana atom O digantikan oleh atom H, atau 2 atom dihilangkan dari atom C paling ujung (C2H3Cl menjadi C2H5), sehingga ikatan C-C rangkap hilang. Namun reaksi ini juga dapat terjadi dalam bentuk dehalogenasi oksidatif yang terjadi bila atom O ditambahkan pada posisi atom halogen (C2H3Cl menjadi C2HOOH). Reaksi Fase II juga disebut reaksi-reaksi konjugasi yang melibatkan penggabungan suatu bahan senyawa kimia dengan senyawa kimia lain yang terdapat di dalam tubuh organisme (endogenous). Reaksi ini dapat terjadi dengan senyawa xenobiotics utuh (tidak termodifikasi), senyawa xenobiotics yang sudah melalui reaksi fase I atau senyawasenyawa yang tidak asing (non-xenobiotics). Senyawa yang terikat pada spesies-spesies (endogenous tersebut conjugating dinamakan agen konjugasi agent). Aktivasi senyawa endogenous pengkonjugasi umumnya disertai dengan enerji yang dibutuhkan dalam proses konjugasi, walaupun dalam proses konjugasi gluthation atau asam amino enerjinya disediakan melalui aktivasi spesies-spesies yang mengalami konjugasi, pada reaksi-reaksi sebelumnya, yang prosesnya sebagai berikut. Konjugasi Glukoronida, merupakan konjugasi endogenous yang paling umum terjadi dalam tubuh organisme. Umumnya bereaksi pada senyawa xenobiotics melalui aksi asam glukoronat uridin diposfat (UDPGA). Transfer ini dimediasi oleh enzim glukoronil transferase, yang Prinsip Umum Toksikologi Perairan 53 terdapat dalam retikulum endoplasma dimana metabolit senyawa xenobiotics lipofilik terhydroksilasi dari reaksi fase I dihasilkan. Oleh karena itu, usia metabolit fase I ini sangat singkat. Sirkulasi enterohepatik menyiapkan mekanisme untuk meningkatkan dampak dari konjugasi glukoronida, yang selanjutnya dilepaskan ke dalam intestin dalam cairan empedu lalu mengalami proses dekonjugasi dan diserap kembali oleh intestin. Konjugasi Gluthation (umumnya disingkat GSH), merupakan agen pengkonjugasi penting di dalam tubuh organisme. Senyawa ini merupakan tripeptida yang tersusun oleh rangkaian 3 asam amino, yaitu: Glutamin, Cystein dan Glycin. Gugus sulfuhydril berperan dalam membentuk ikatan kovalen pada senyawa xenobiotics. Konjugat Gluthation dapat secara langsung diekskresi, namun umumnya mengalami reaksi biokimia lanjutan yang menghasilkan asam merkapturat (senyawa yang terikat pada N-acetylcystein). 54 Prinsip Umum Toksikologi Perairan OH Senyawa Xenobiotics: umumnya Carboxyl : C Hydroxyl: OH Halogen : F, Cl, Br, I OH Agen Konjugasi Endogenous Produk Konjugasi adalah produk Reaksi Fase I C Epoksida: Amino: C + O • Polaritas > tinggi • Daya larut dalam air lebih besar • Lebih mudah dieliminasi H N H Kelompok fungsional yang bereaksi dengan agen pengkonjugasi. Gambar-10. Proses Konjugasi Menyeluruh dalam Reaksi Fase II (Manahan, 1991). Prinsip Umum Toksikologi Perairan 55 Konjugasi Sulfat, umumnya membutuhkan jumlah enerji yang sangat besar. Jenis konjugasi ini sangat efisien dalam hal mengeliminasi xenobiotics dari tubuh melalui urin karena konjugasi sulfat mengalami ionisasi lengkap sehingga sangat tinggi daya larutnya dalam air. Jenis-jenis yang membentuk konjugat sulfat antara lain: alkohol, fenol dan arylamin. Enzim yang aktif dalam jenis konjugasi ini adalah sulfotransferase. Terdapat juga reaksi lain dari Fase II yaitu Asetilasi yang dikatalisa oleh enzim Asetiltransferase yang terlibat dalam pemberian konjugat peptida pada senyawa xenobiotics yang dapat diekskresi dari dalam tubuh. Proses metilasi dari xenobiotics terjadi melalui pengikatan kelompok –CH3. 2.3.3. Mekanisme Biokimiawi Toksisitas Salah satu aspek terpenting dari kimia toksikologi adalah yang terkait dengan mekanisme biokimiawi dan reaksi-reaksi dimana senyawa xenobiotics dan metabolitnya berinteraksi dengan biomolekul hingga menyebabkan suatu dampak toksik yang tidak diinginkan. Faktor-faktor tersebut meliputi: • Gangguan terhadap Kerja Enzim : enzim sangat penting karena berfungsi dalam membantu berlangsungnya proses-proses metabolik penting di dalam sel. Bahan kimia yang mengganggu aksi normal enzim jelas memiliki potensi toksik, dan dikenal sebagai inhibitor enzim. Contoh senyawa penghambat kerja enzim: Hg2+, Pb2+ dan Cd2+ yang kesemuanya memiliki kecenderungan kuat untuk mengikat kepada kelompok-kelompok fungsional mengandung sulfur, seperti: -SS- ; -SH ; dan –S-CH3 . • Menghambat Metalloenzim : substitusi logam asing kepada logam dalam metalloenzim adalah modus aksi toksik penting dari kelompok logam berat. Mekanisme yang paling sering dijumpai adalah penggantian logam Zn2+ oleh logam Cd2+ pada enzim-enzim: 56 Prinsip Umum Toksikologi Perairan adenosine triphosphate, alcohol dehydrogenase dan carbonic anhydrase. • Hambatan Senyawa Anorganik: pengikatan ion kovalen dari senyawa organik xenobiotics kepada enzim dapat menyebabkan terhambatnya aktiftas enzim. Pengikatan seperti ini umumnya dijumpai melalui kelompok hidroksil (-OH) pada sisi aktif enzim. • Biokimia Mutagenesis : adalah fenomena yang dapat diwariskan, sebagai dampak perubahan DNA. Toksikan yang mampu menyebabkan mutasi disebut mutagen, biasanya merupakan agen serupa yang dapat menyebabkan kanker dan ketidaksempurnaan kelahiran, dan merupakan bahan toksik yang sangat ditakuti. Misalnya: asam nitrat (HNO2) merupakan bahan kimia yang sering digunakan untuk menyebabkan mutasi pada bakteri. Proses alkilasi yang merupakan proses penempelan sebuah kelompok alkyl kecil (contoh: -CH dan -C2H5) ke atom N pada salah satu basa nitrogen DNA, umumnya merupakan salah satu mekanisme umum yang berakhir pada mutasi. 2.4. Dampak (Efek) : terdapat 2 jenis efek, yaitu: efek akut yang terjadi secara cepat sebagai hasil pemaparan jangka pendek, dan efek kronik atau sub-kronik yang terjadi secara perlahan (latency) sebagai akibat dari pemaparan tunggal atau berulang dalam jangka waktu yang lama. Pada beberapa jenis ikan dan organisme akuatik, efek yang timbul dalam hitungan jam, hari atau minggu dianggap akut. Efek akut biasanya berdampak parah dan mematikan (severe) yang umumnya diukur melalui dalam bentuk kematian (mortalitas atau lethalitas). Suatu bahan kimia dianggap bersifat akut toksisitasnya jika aksi langsungnya mampu membunuh paling sedikit 50% dari populasi uji dalam jangka waktu singkat, yaitu 96 jam hingga 14 hari. Efek kronik dapat bersifat lethal atau sub-lethal. Efek kronik yang bersifat lethal misalnya kegagalan organisme yang mengalami pemaparan Prinsip Umum Toksikologi Perairan 57 kronik untuk menghasilkan telur atau keturunan. Adapun efek kronik yang bersifat sub-lethal yang paling umum adalah perubahan tingkah laku (misal: berenang, menghindar dari ancaman dan hubungan mangsapredator), perubahan fisiologis (misal: pertumbuhan, reproduksi dan perkembangan), perubahan biokimiawi (misal: konsentrasi enzim dan ion dalam darah) serta perubahan histologis. Beberapa efek sub-lethal dapat secara tidak langsung menyebabkan kematian (lethalitas), misalnya: perubahan dalam beberapa pola tingkah laku (misal: renang dan penciuman/olfactory) dapat menurunkan kemampuan ikan atau organisme perairan lainnya untuk menemukan makanan atau tidak mampu menghindari predator yang berakhir pada kematian. Secara umum efek atau dampak buruk dari suatu pemaparan dapat terwujud sesegera mungkin selama massa pemaparan atau sesaat setelah pemaparan terhadap bahan kimia selesai, atau, dapat tertunda beberapa saat setelah periode pemaparan. Kedua hal ini sangat bergantung pada sifat-sifat bahan kimia dan kemampuan organisme untuk melakukan metabolism (biotransformasi) bahan kimia tersebut. Misalnya, bahan kimia yang rentan untuk ditransformasi oleh organisme akan memiliki waktu paruh yang singkat dalam tubuh organisme dan akan diekskresikan secara cepat. Di dalam lingkungan perairan alami, sebuah bahan kimia dapat memiliki waktu paruh yang singkat di kolom air dan sedimen akibat proses tranformasi yang disebabkan oleh faktor-faktor kimia, fisika dan biologi. Hal lain yang menyangkut efek toksik adalah dapat pulih (reversible) dan tidak dapat pulih (irreversible). Pulihnya suatu efek dapat terjadi melalui mekanisme perbaikan (repair mechanisms) normal, seperti regenerasi jaringan yang rusak. Dalam banyak hal, kondisi dapat pulih hanya apabila organisme dapat melepaskan diri dari medium toksik dan memasuki lingkungan bebas bahan toksik. Kerusakan jaringan atau luka serius pada organisme dapat mengakibatkan kondisi tidak dapat pulih dan bisa berujung pada kematian. Dalam studi toksikologi perairan di 58 Prinsip Umum Toksikologi Perairan laboratorium, kondisi dapat pulih dan tidak dapat pulih dapat dilakukan dengan memindahkan organisme dari medium yang mengandung toksikan ke dalam medium yang bebas/tidak mengandung toksikan, dikenal dengan nama studi pemulihan (recovery study). Perbedaan efek juga dapat dilakukan berdasarkan lokasi-lokasi sebuah toksikan beraksi. Dikatakan efek lokal apabila dampak terobservasi pada lokasi kontak awal (primary site) terjadi, misalnya: reaksi insang atau kulit (contoh: inflamasi, perubahan warna atau erosi) pada ikan yang terpapar pada berbagai senyawa organic dan anorganik. Untuk suatu efek sistemik dapat terjadi, maka toksikan harus mengalami proses transportasi dari lokasi kontak ke lokasi lain, yang umumnya melalui sistem sirkulasi darah. Efek sistemik mengharuskan terjadinya proses absorpsi yang dilanjutkan dengan distribusi bahan toksik dari lokasi kontak (entry point), misalnya ke sistem syaraf atau beberapa jenis organ lainnya. Dalam melakukan pendugaan dampak yang ditimbulkan oleh bahan kimia, patut dipertimbangkan bahwa dalam lingkungan perairan alami organisme diperhadapkan atau terpapar padakombinasi atau campuran bahan kimia (chemical mixtures), bukan pada satu jenis bahan kimia saja. Pemaparan seperti ini menghasilkan interaksi toksikologis, yang merupakan pemaparan terhadap 2 atau lebih bahan kimia dalam suatu respon biologis yang secara kualitatif maupun kuantitatif jelas berbeda dengan pemaparan terhadap bahan kimia tunggal, atau salah satu bahan kimia penyusun campuran tersebut. Dampak dari pemaparan majemuk (multiple exposures) dapat terjadi secara berurutan atau simultan dalam konteks waktu, dan dampaknya dapat lebih berat atau mungkin lebih kecil dalam besaran resiko yang ditimbulkan. 2.5. Hubungan Konsentrasi-Respon: perbedaan nyata dapat terjadi diantara individu-individu organisme yang seringkali dipercaya sebagai populasi homogen. Perbedaan ini akan nampak disaat organisme Prinsip Umum Toksikologi Perairan 59 menjalani proses uji tantang melalui pemaparan terhadap bahan kimia atau potensi stres yang bersifat toksik, dimana tidak seluruh individu organisme memberikan respon yang secara kuantitatif identik, walaupun konsentrasi toksikan yang diberikan sama. Efek seperti ini dapat memiliki variasi dengan intensitas tinggi, dimana pada beberapa organisme menunjukkan respon minimal dan tidak ada respon sama sekali pada organisme lain, atau beberapa organisme mengalami kematian dan lainnya tetap hidup dengan dampak buruk yang sangat minimal. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh variasi biologis yang umumnya kecil pada organisme yang spesies, usia dan kondisi kesehatannya sama. Namun perbedaan dapat lebih besar diantara spesies. Tujuan dari pengukuran toksisitas suatu bahan kimia adalah untuk mengestimasi setepat mungkin kisaran konsentrasi bahan kimia yang menghasilkan respon yang dapat diobservasi dan dikuantifikasi di dalam kelompok kelompok spesies uji yang sama, dalam kondisi laboratorium yang terkontrol. Hasil pemaparan lalu diplot pada grafik (Gambar 11), yang menggambarkan hubungan konsentrasi bahan kimia (dalam ppm) dan respon (dalam % mortalitas), yang selanjutnya dapat digunakan dalam mengestimasi median lethal concentration (LC50) pada uji toksisitas akut, dengan jalan menarik garis mendatar dimulai dari nilai 50% mortalitas ke arah kurva respon-konsentrasi, lalu dilanjutkan dengan menarik garis vertikal dari titik intersepsi pada kurva ke arah absis. 60 Prinsip Umum Toksikologi Perairan Gambar-11. Hubungan Konsentrasi-Respon Dalam Uji Toksisitas. Perbedaan dengan uji toksisitas menggunakan hewan darat/mamalia, adalah pada terminologi dosis pada mamalia darat dan konsentrasi pada hewan perairan. Dosis pemaparan diberikan sebagai jumlah bahan kimia yang diberikan pada permukaan kulit atau mata (dermal dan ocular), sedang pada uji toksisitas akuatik, organisme uji dipapar pada bahan kimia secara tidak langsung dengan mencampurkannya ke dalam air dimana hewan tersebut hidup, hingga dihasilkan konsentrasi uji. Oleh karena itu, hasil pemaparan yang diperoleh adalah hubungan respon-konsentrasi. Konsentrasi uji yang paling sering digunakan adalah ppm (part permillion : satu persejuta) yang rasionya adalah 1 milligram (mg) bahan kimia dalam 1 liter air/medium, dan ppb (part perbillion : satu per satu miliar) yang rasionya adalah 1 mikrogram (µg) bahan kimia dalam 1 liter air/medium. Jika bahan uji merupakan limbah cair industri konsentrasi yang umum digunakan adalah persentase volume dari limbah cair terhadap pengenceran (misal: untuk 10% limbah cair industri yang digunakan, rasionya adalah 10 liter limbah cair ditambahkan pelarut/pengencer sebanyak 90 liter). Apabila menggunakan media padat seperti jaringan atau sedimen, maka ekspresi konsentrasi bahan kimia umum ppm atau ppb, yang rasionya miligram (mg) per kilogram (kg) Prinsip Umum Toksikologi Perairan 61 jaringan atau sedimen, atau mikro gram (µg) per kilogram (kg) jaringan atau sedimen. Hubungan konsentrasi-respon merupakan konsep yang sangat mendasar dalam toksikologi perairan. Konsep ini berlaku untuk seluruh jenis dampak buruk dan berimplikasi pada suatu konsentrasi minimal efektif (threshold) dari seluruh bahan kimia toksik, yang apabila berada di bawahnya pada kondisi terkontrol, tidak akan menimbulkan dampak buruk yang membahayakan organisme. Dalam Toksikologi, terdapat 2 (dua) asumsi dasar dalam hubungan respon-konsentrasi. Pertama, asumsi kasualitas implisit yaitu akibat yang ditimbulkan oleh konsentrasi bahan kimia tertentu dan respon yang diamati pada organisme uji sebagai hubungan sebab akibat. Asumsi ini memiliki kelemahan dalam hal identitas bahan kimia yang dapat saja berubah (mengalami transformasi) selama pemaparan atau perubahan konsentrasi pemaparan aktual terhadap organisme. Asumsi kedua adalah bahwa respon yang dihasilkan dan tingkat keparahan yang ditimbulkan merupakan fungsi dari konsentrasi bahan kimia toksik. Hubungan respon-konsentrasi adalah hubungan berjenjang antara konsentrasi bahan kimia yang digunakan dalam pemaparan organisme dan tingkat keparahan dampak yang ditimbulkan. Dalam batasan-batasan tertentu, umumnya dapat dikatakan bahwa semakin besar/tinggi konsentrasi suatu bahan kimia uji maka semakin parah respon/ dampak yang ditimbulkan. Bentuk kurva yang dihasilkan dari hubungan ini umumnya berupa asymptot dalam bentuk kurva sigmoid (Gambar 7). Pada kurva tersebut, seluruh konsentrasi yang berada di bawah nilai threshold, tidak terdapat dampak buruk yang dapat diamati, sedang pada konsentrasi di atas nilai threshold hampir seluruh organisme uji mengalami dampak buruk yang terukur. 2.6. Kriteria Dampak dan LC50 Dalam melakukan evaluasi tentang keamanan bahan kimia maka diperlukan suatu cara yang tepat untuk mengekspresikan toksisitas dan 62 Prinsip Umum Toksikologi Perairan suatu metode kuantitatif dalam mengukur toksisitas. Untuk kepentingan evaluasi tersebut, terdapat sejumlah kriteria efek atau hasil akhir (endpoints) dari suatu uji toksisitas yang dapat digunakan untuk membandingkan antara organisme yang terpapar pada suatu bahan kimia dengan yang tidak mengalami pemaparan. Kriteria ideal adalah yang hubungannya sangat erat dengan peristiwa-peristiwa molekuler yang terjadi sebagai hasil dari pemaparan terhadap suatu bahan kimia. Oleh karena itu kita dapat memilih kriteria-kriteria yang tidak terbantahkan (unequivocal), secara jelas bersesuaian (relevan), dapat terobservasi secara jelas, dapat secara jelas digambarkan, terukur, signifikan secara biologis dan dapat diulang (reproducible). Sebagai langkah awal dalam uji evaluasi toksisitas dari suatu bahan kimia yang umum digunakan sebagai indeks adalah lethalitas atau mortalitas. Pengukuran mortalitas (kematian) adalah kriteria yang memiliki presisi tinggi dan tidak terbantahkan, sehingga sangat bermanfaat dalam melakukan estimasi konsentrasi dan potensi toksisitas suatu bahan kimia. Kriteria mortalitas memberikan jalan untuk membandingkan bahanbahan kimia yang aksinya mungkin agak berbeda-beda dan memberikan indikasi akan pentingnya dilakukan studi lanjutan. Mortalitas dan kelangsungan hidup (survival) dalam suatu periode waktu pemaparan merupakan kriteria efek spesifik dalam uji toksisitas akut dengan pemaparan jangka pendek. Data dari suatu uji lethalitas bersifat quantal yang berarti hewan uji hidup atau mati (all-or-none response). Akan tetapi, penting untuk tetap memiliki kriteria efek sub-lethal yang merupakan indikasi dari tekanan bahan toksik pada tahapan sebelum kematian, sehingga dapat dilakukan pencegahan kematian organisme uji pada observasi awal. Pertumbuhan (panjang dan berat), jumlah embrio normal, kelainan morfologi dan jumlah anakan yang dihasilkan merupakan kriteria-kriteria sub-lethal yang paling sering digunakan dalam uji kronik dengan durasi pemaparan jangka panjang. Seluruh respon tersebut bersifat kuantitatif Prinsip Umum Toksikologi Perairan 63 atau berjenjang yang pengukurannya bukan dalam bentuk frekuensi kejadian, namun dalam beberapa satuan pengukuran dari respon (misalnya: mg atau cm) yang dapat digunakan dalam membandingkan organism uji dengan kontrolnya untuk menentukan apakah perbedaan respon yang ditimbulkan berbeda secara signifkan secara statistik. Karena jumlah hewan uji yang digunakan biasanya banyak, maka dilakukan satu seri penjenjangan atau gradasi konsentrasi dari bahan kimia uji untuk melihat dampak yang akan ditimbulkan oleh setiap konsentrasi yang dicobakan. Dalam suatu upaya penentuan toksisitas relatif dari suatu bahan kimia baru terhadap organisme perairan, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah melaksanakan uji toksisitas akut untuk mengestimasi nilai konsentrasi median lethal (LC50) dari bahan kimia tersebut yang dipaparkan pada organisme uji. Jika respon/dampak yang digunakan bukan mortalitas, maka yang diukur adalah konsentrasi median efektif (EC50) yang merupakan konsentrasi bahan kimia uji yang mampu menghasilkan efek spesifik seperti perubahan tingkah laku atau perubahan proses fisiologis. Seperti pada penentuan LC50, maka penentuan EC50 juga menggunakan durasi pemaparan singkat (24-96 jam), dengan kriteria efek yang paling umum digunakan meliputi: immobilitas, perkembangan abnormal, kehilangan keseimbangan, gagal respon terhadap stimulus eksternal atau tingkah laku abnormal. Distribusi normal dengan bentuk kurva sigmoid (Gambar 11) mendekati mortalitas 0 % sejalan dengan turunnya konsentrasi dan mendekati nilai 100 % sesuai dengan peningkatan konsentrasi bahan uji, namun secara teoritis tidak akan pernah melewati angka 0 dan 100%. Bagian tengah kurva dengan rentang nilai 16 – 84%, umumnya linier. Nilai-nilai tersebut merepresentasikan batasan 1 simpangan baku (standard deviation : SD) dari nilai rata-rata dan median dalam suatu populasi organisme yang tersebar secara normal. Pada suatu populasi yang tersebar secara normal, nilai rata-rata ± 1 SD mewakili 68,3 % 64 Prinsip Umum Toksikologi Perairan populasi uji, nilai rata-rata ± 2 SD mewakili 95% populasi uji dan nilai rata-rata ± 3 SD mewakili 99,7% populasi uji. Pada Gambar-11 nilai konsentrasi dikonversi menjadi nilai logaritma. Bentuk sigmoid tetap nyata namun dengan kurva mendekati garis lurus. Pada Gambar-12 nilai konsentrasi dalam skala logaritma diplot terhadap persentase mortalitas dalam nilai probit. Transformasi probit menyelaraskan data mortalitas ke dalam nilai asumsi distribusi normal populasi, dengan kurva garis lurus yang paling sesuai untukmengestimasi nilai LC50. Konversi logaritma pertama kali diperkenalkan oleh Krogh dan Hemmington (1928) dan disempurnakan oleh Gaddum (1933). Oleh karena data respon-konsentrasi umumnya terdistribusi secara normal, maka persentase respon dikonversi ke dalam unit simpangan nilai ratarata atau dikenal dengan nama ekuivalensi simpangan normal (normal equivalent deviation: NED). Untuk respon 50% nilai NED-nya = 0, sedang untuk respon 84,1% nilai NED-nya = +1. menyatakan bahwa nilai Bliss (1934) kemudian 5 harus ditambahkan ke nilai NED untuk menghilangkan nilai negatif (-). Gambar-12. Penerapan nilai probit dalam menentukan LC50 dan Confidence limit. Prinsip Umum Toksikologi Perairan 65 Nilai konversi NED + 5 inilah yang dikenal sebagai probit. Konversi logprobit merupakan cara yang paling banyak digunakan untuk membantu menjelaskan efek toksik dan analisis statistiknya. 2.7. Tingkat Kepercayaan (confidence limits) Derajat ketersebaran (scattered) nilai hasil pengamatan bisa dievaluasi dengan jalan kalkulasi dan dinyatakan sebagai tingkat kerecayaan (confidence limits, Cl). Pada Gambar 12b, nilai Cl ditunjukkan oleh garis terputus-putus di sebelah kiri dan kanan dari garis utuh. Nilai Cl tersebut mengindikasikan kisaran area beradanya garis responkonsentrasi dari uji yang dilakukan dengan 2 ulangan dengan jumlah individu uji 20 ekor (Cl = 95%). Hubungan antara nilai-nilai tersebut akan sangat dekat satu sama lain pada kisaran nilai mortalitas sekitar 50%, namun tidak akan memperlihatkan hubungan erat saat mortalitas mendekat ke nilai 0% atau 100%. 2.8. Kurva Toksisitas Jika dilakukan uji toksisitas seperti LC50-96 jam, maka hasilnya akan merupakan data mortalitas sesuai jedah/interval waktu pengamatan. Nilai-nilai sesuai jedah tersebut dapat diplot menggunakan skala logaritma menjadi kurva toksisitas yang kemudian akan menunjukkan nilai LC50-96 jam. Kurva toksisitas dapat menunjukkan kemajuan pelaksanaan uji toksisitas serta memberi indikasi tentang puncak lethalitas akut-nya telah tercapai sehingga uji toksisitas dapat dihentikan. Nilai LC50 untuk suatu pemaparan spesifik merupakan asymptot kurva yang disebut threshold atau incipient LC50, juga dikenal dengan nama incipient lethal level atau lethal threshold concentration. Hal ini merupakan konsentrasi dimana 50% dari populasi uji untuk tetap hidup hingga batas waktu yang tidak ditentukan. Bentuk kurva dapat dijadikan gambaran tentang modus aksi bahan kimia atau dapat menjadi indikasi tentang keberadaan lebih dari satu bahan kimia dalam media percobaan. 66 Prinsip Umum Toksikologi Perairan 2.9. Uji Toksisitas Uji toksisitas dilakukan untuk mengevaluasi konsentrasi bahan kimia dan durasi pemaparan yang dibutuhkan agar dihasilkan kriteria efek. Efek dari suatu bahan kimia bisa jadi tidak signifikan dimana organisme perairan dapat melakukan seluruh aktifitasnya secara normal, dan hanya dengan keberadaan stres lingkungan (contoh: perubahan dalam pH, DO dan suhu) bahan kimia tersebut menimbulkan dampak buruk yang terdeteksi dengan baik. Efek buruk juga dapat ditimbulkan oleh terjadinya interaksi antara bahan kimia minoritas (yang tidak terdeteksi pada awal uji) dengan bahan kimia utama yang diuji, walaupun tanpa kehadiran stres lingkungan. Walaupun dampak buruk yang ditimbulkan tidak selamanya merupakan dampak yang membahayakan organism dalam arti luas, fungsi utama dari uji toksisitas adalah untuk mengidentifikasi potensi efek toksik dari suatu bahan kimia terhadap organisme perairan. Data ini dapat merupakan dasar bagi pendugaan resiko yang berasosiasi dengan situasi dimana bahan kimia, organism dan durasi pemaparan yang telah ditentukan. Uji toksisitas kerapkali secara keliru disamakan dengan ‘bioassay’. Padahal bioassay adalah sejenis uji untuk mengevaluasi potensi relatif dari suatu bahan kimia dengan jalan membandingkan efeknya pada suatu organisme hidup dengan metode preparasi baku. Bioassay dilakukan untuk menentukan kekuatan suatu bahan kimia dari tingkatan respon yang ditimbulkannya pada organisme, bukan untuk mengestimasi konsentrasi suatu bahan kimia yang bersifat toksik terhadap organisme tersebut. Uji toksisitas dilakukan untuk mengukur tingkatan respon yang dihasilkan oleh level spesifik dari suatu stimulus (konsentrasi bahan kimia uji). Sedangkan bioassay seringkali digunakan dalam industri farmasi untuk mengevaluasi potensi vitamin atau senyawa-senyawa yang aktif secara farmakologis. Prinsip Umum Toksikologi Perairan 67 2.10. Kriteria dan Pendekatan Dalam Uji Toksisitas Sebelum melakukan uji toksisitas, kriteria yang digunakan dalam menentukan kesesuaian prosedur suatu uji harus ditetapkan, meliputi: Uji yang dilakukan harus diterima secara luas oleh komunitas • ilmiah. Uji yang dilakukan harus dapat memprediksi dampak dari • spektrum luas bahan kimia terhadap organisme yang berbeda. Prosedur uji harus memiliki basis statistik yang tepat dan uji harus • dapat diulang pada laboratorium lain dengan hasil yang sama. Data harus mencakup efek dari suatu kisaran konsentrasi dalam • durasi pemaparan yang realistis, harus dapat dikuantifikasi atau diinterpolasi dengan analisis statistik, atau dengan cara-cara evaluasi kuantitatif valid lainnya. Data yang dihasilkan harus bermanfaat dalam melakukan • pendugaan resiko. • Uji yang dilakukan harus ekonomis dan mudah dilakukan. • Uji yang dilakukan harus sensitif dan realistis dalam disainnya agar dapat mendeteksi dan mengukur efek yang ditimbulkan. Terdapat 2 (dua) jenis pendekatan yang umum digunakan dalam melaksanakan uji toksisitas, dimana masing-masing memiliki kelebihan dan keterbatasan, yaitu: Efek dapat dikaji dalam suatu eksperimen laboratorium terkontrol • dengan jumlah variabel terbatas. Efek dapat dikaji dalam suatu ekosistem alami (in situ). • Kriteria toksisitas berbagai bahan kimia industry biasanya tercantum dalam kemasan, dan Tabel 4 berikut menjelaskan patokan sifat toksik bahan kimia yang dihasilkan dari suatu uji toksisitas. 68 Prinsip Umum Toksikologi Perairan Tabel 4. Kriteria Toksisitas Bahan Kimia Terhadap Organisme Perairan. No Kriteria Toksisitas Konsentrasi (ppm) 1 Sangat toksik <1 Toksik 1 – 100 2 3 4 5 6 7 Daya Racun Sedang Daya Racun Rendah Hampir Tidak Toksik Tidak Toksik Efek Jangka Panjang Parameter Kriteria 100 – 1000 LC50-96 jam (ikan), EC50-48 jam 1000 – 10.000 (Daphnia), IC50-72 jam (Alga) 10.000 – 100.000 > 100.000 10 < LC50 < 100 LC50-96 jam (ikan), EC50-48 jam (Daphnia), IC50-72 jam (Alga). Sumber : Official Journal Of European Community, No. L110-A, hal. 67 - 72 (1993). Kebanyakan disain metode uji toksisitas yang sering digunakan saat ini didominasi oleh uji spesies tunggal (single species tests) untuk melihat respon individual dalam suatu spesies. Padahal masih banyak jenis metode uji toksisitas lainnya seperti uji multi spesies yang melihat interaksi antar spesies, dan uji ekosistem yang melihat struktur dan fungsi diantara ekosistem-ekosistem perairan yang berbeda. Uji spesies tunggal kebanyakan dilakukan di dalam laboratorium. Uji spesies tunggal dimaksudkan untuk mendapatkan informasi tentang konsentrasi bahan kimia dan durasi pemaparan yang mampu menghasilkan perubahan-perubahan dalam mortalitas, pertumbuhan, reproduksi, patologi, tingkah laku, fisiologi dan biokimiawi dari satu jenis organisme. Akan tetapi hasil yang diperoleh pada uji spesies tunggal tidak dapat digunakan dalam pendugaan dampak di luar level organisasi biologis ini. Prinsip Umum Toksikologi Perairan 69 Hubungan sebab-akibat pada uji spesies tunggal dapat ditetapkan dengan mudah karena berada dalam kondisi laboratorium terkontrol. Jenis uji ini dapat dengan mudah dilakukan, terdapat beragam prosedur baku dan dapat dengan mudah direplikasi. Kegunaan dari uji spesies tungal dalam laboratorium adalah sebagai fungsi dari beberapa kriteria yang digunakan pada spesies terpilih (misal: ikan atau avertebrata tertentu). Hasilnya berupa informasi tentang toksisitas dari bahan kimia spesifik pada beberapa jenis organisme perairan yang berbeda pada kondisi yang telah ditetapkan (given conditions). Keterbatasan utama dari jenis uji ini adalah efek yang terobservasi dalam laboratorium bisa berbeda dengan hasil observasi di lingkungan alami. Hal ini karena uji spesies tunggal di laboratorium tidak mencakup kemampuan adaptasi populasi liar yang hidup di alam bebas, sehingga efek yang terobservasi di laboratorium bisa terlihat lebih parah/berat dibanding efek yang terekam pada populasi liar di alam bebas. Uji multi spesies dan uji ekosistem dapat saja dilakukan dalam kondisi laboratorium. Dalam studi skala laboratorium, kondisi seperti: Mikrokosmos laboratorium atau model ekosistem dapat diterapkan. Mikro-kosmos laboratorium adalah suatu area tertutup skala kecil (misal: kolam atau akuarium dari plastik atau kaca) yang diberikan sampel dari alam (air, sedimen, tumbuhan, ikan atau avertebrata). Sedangkan uji ekosistem dalam skala laboratorium memerlukan ruang yang cukup luas, dan untuk suatu uji yang efektif umumnya menggunakan perbandingan air: sedimen minimal 1:10, dan idealnya 1:100 atau 1:1000 seperti yang biasa ditemukan di ekosistem alami. Oleh karena keterbatasan ruang yang biasanya menjadi kendala utama pada skala laboratorium, maka uji ekosistem umumnya menggunakan sebagian/porsi dari perairan alami baik pada habitat-habitat danau, sungai atau laut untuk menghasilkan porsi ideal yang mewakili air, sedimen, dan biomassa. Beberapa pengaruh dan interaksi antara komponen-komponen biotik dan abiotik yang tidak hadir pada skala laboratorium dapat 70 Prinsip Umum Toksikologi Perairan diidentifikasi pada studi lapangan. Namun studi lapangan mengandung beberapa kelemahan seperti instabilitas variabel-variabel lingkungan yang menyulitkan pemantauan dan juga replikasi, selain faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil pemantauan dan menyulitkan interpretasi terhadap hubungan sebab-akibat. Oleh karena itu, idealnya data toksisitas harus berasal dari hasil observasi studi laboratorium dan lapangan. Dalam melakukan disain pertimbangan dalam hal faktor-faktor spesifik lokasi dari ekosistem terkait harus dipikirkan secara mendalam. Satu uji spesies tunggal tidak akan dapat memberikan prediksi memadai tentang dampak suatu bahan kimia di lingkungan perairan. Oleh karena itu, sekali lagi, kombinasi data laboratorium dan data lapangan akan memberikan informasi dan data yang lebih lengkap dalam hal potensi dampak dari suatu bahan kimia di lingkungan perairan. 2.10.1. Disain Uji Toksisitas Uji toksisitas di laboratorium umumnya mengikuti suatu pendekatan berjenjang, yang meningkat dari suatu uji jangka pendek sederhana ke uji jangka panjang yang lebih kompleks, berdasarkan hasil yang diperoleh dari uji sebelumnya. Walaupun mungkin terdapat perbedaan dalam detail spesifiknya, disain uji secara umum dapat dikatakan sama, yaitu: membutuhkan kondisi-kondisi seperti pH, suhu dan DO yang terkendali secara baik. Organisme uji mengalami pemaparan dalam suatu wadah uji (mis. akuarium), dipapar pada berbagai konsentrasi bahan uji (mis. pestisida atau limbah cair industri) dalam kolom air. Kriteria dampak yang ditetapkan sebelumnya (mis. mortalitas, pertumbuhan, atau reproduksi) yang dievaluasi efeknya pada organisme terpapar bahan kimia (perlakuan) dengan organisme yang tidak diberi perlakuan (kontrol). Dalam uji toksisitas, umumnya dikenal 3 jenis kontrol, yaitu: kontrol negatif yang menggunakan air tanpa perlakuan, kontrol pelarut (solvent) yang hanya menggunakan bahan kimia pelarut yang digunakan untuk melarutkan bahan kimia uji (mis. DMF, DMSO, TEG, dsbnya), dan Prinsip Umum Toksikologi Perairan 71 kontrol positif (referensi) yang menggunakan bahan kimia yang dikenal memiliki sifat toksik (toxicant reference) bahkan pada konsentrasi rendah, sifat sangat mematikan (lethal), sifat bahan stabil, non-selektif dan dapat terdeteksi dengan teknik analitik umum (misal: Fenol, Sodium Azide, Dodecyl sodium sulfate/DSS, Sodium pentachlorophenate). Patut dicatat, dalam uji toksisitas, analisis bahan kimia harus dilakukan untuk mengukur konsentrasi yang digunakan dalam pemaparan organisme uji, demikian juga dengan residu bahan kimia dalam jaringan tubuh organisme uji. 2.10.2. Organisme Uji Agar ekstrapolasi data berarti, bersesuaian dan signifikan secara ekologis dari suatu uji toksisitas perairan, maka selain prosedur uji yang harus tepat, pemilihan organisme uji harus tepat. Beberapa kriteria dalam memilih organisme dalam suatu uji toksisitas, sebagai berikut. • Spesies uji harus memiliki spektrum sensitifitas yang luas. • Spesies harus tersedia dalam jumlah yang cukup dengan distribusi yang luas di alam. Spesies harus merupakan spesies asli dan mewakili ekosistem yang • mungkin menerima dampak. Spesies penting baik dalam artian rekreasi, komersil maupun • ekologis. Spesies dapat dengan mudah beradaptasi pada proses-proses • pemeliharaan rutin (mis. pembersihan akuarium, dsbnya), dan teknik pemeliharaan dan budidaya dalam laboratorium sudah tersedia dengan baik, sehingga memungkikan untuk melakukan uji toksisitas kronis. Lebih disukai apabila data dan informasi spesies (mis. fisiologi, • genetik dan tingkah laku) sudah ada, yang akan memudahkan interpretasi data dari uji yang dilakukan. 72 Prinsip Umum Toksikologi Perairan Diketahui bahwa terdapat variasi diantara spesies dalam hal sensitifitas terhadap bahan kimia, maka kisaran dan tingkatan efek yang berbeda sudah selayaknya terjadi apabila dilakukan pemaparan suatu kisaran konsentrasi bahan kimia yang sama terhadap spesies organisme yang berbeda. Oleh karena itu, penting untuk melakukan uji toksisitas terhadap beberapa spesies organisme yang berbeda untuk mendapatkan indikasi variasi di alam. 2.10.3. Jenis Spesies Uji toksisitas telah dilakukan pada beberapa spesies akuatik, yang meliputi alga, ikan dan avertebrata. Spesies uji dapat diperoleh dari perairan alam yang diketahui tidak terkena dampak pencemaran, dibeli dari hatchery yang diketahui rekam jejaknya atau dari hasil kultur di laboratorium. Spesies uji tidak boleh dikumpulkan melalui cara-cara yang dapat menimbulkan stres fisiologis seperti penggunaan stroom atau bahan kimia pembius seperti potassium sianida. Spesies uji yang digunakan harus berasal dari sumber yang sama. 2.10.4. Sistem Pemaparan Dalam uji toksisitas perairan, organisme kontrol dan yang diberi perlakuan dapat dipapar pada air yang mengandung bahan kimia uji (toksikan) dalam beberapa cara berbeda, yaitu: (a) Uji Statik : organisme dipapar pada air yang diam/tidak mengalir. Bahan uji dilarutkan dalam air dengan tingkat pengenceran sesuai konsentrasi yang telah ditetapkan. Organisme kontrol dan uji dimasukkan ke dalam wadah uji dan tidak dilakukan pergantian air sesuai durasi uji yang diinginkan. Walaupun sangat mudah dalam pelaksanaannya, uji statik memiliki beberapa kelemahan terutama dalam hal bahan uji yang dapat dengan mudah menguap, terdegradasi atau terserap oleh wadah uji. Selain itu, masalah utama adalah kemungkinan terdapatnya BOD yang tinggi yang dapat menutupi efek toksik akibat terjadinya penurunan DO. Prinsip Umum Toksikologi Perairan 73 Demikian juga dengan produk metabolik organisme uji yang menumpuk dan mungkin bereaksi dengan bahan uji. (b) Uji Resirkulasi : mirip dengan uji statik, namun larutan bahan kimia uji dan air untuk organisme kontrol dipompa ke dalam wadah uji melalui saringan untuk menjaga kualitas air, namun tidak mempengaruhi konsentrasi bahan kimia uji. Jenis uji resirkulasi sangat jarang digunakan karena selain biaya yang mahal dalam mengatur dan pemeliharaan perlengkapannya, juga terdapat ketidak- pastian dampak dari perlengkapan (mis. aerator, filter dan sterilizer) terhadap konsentrasi dan konsistensi formulasi bahan kimia uji. (c) Uji Diperbaharui (renewal) : juga memiliki kemiripan dengan uji statik karena dilakukan pada kondisi air yang diam (statik). Namun pada uji diperbaharui cairan bahan uji dan air sebagai kontrol secara periodik diganti, biasanya dengan interval 24 jam. Pada uji ini, organisme dapat dipindahkan ke wadah lain dengan bahan uji yang baru disiapkan dengan konsentrasi yang sama. Atau dapat dengan jalan menggantikan medium uji di wadah yang sama. (d) Uji Aliran (Flow-through) : cairan bahan uji dan air sebagai kontrol dialirkan ke dalam dan ke luar wadah tempat organisme dipelihara. Aliran dapat berupa sekali-sekali dengan interval waktu tertentu, atau dapat berupa aliran secara terus-menerus (nonstop). Stok cairan bahan uji dapat dibuat sekali pada permulaan uji toksisitas. Atau dapat dibuat setiap hari untuk menjaga stabilitas konsentrasi bahan uji yang dipapar. Jenis uji aliran diketahui mampu menjaga stabilitas kondisi uji serta keseragaman konsentrasi bahan uji. Demikian juga dengan kondisi DO dan parameter kualitas air lainnya, dibandingkan dengan uji statik. Secara umum dapat dikatakan bahwa uji statik lebih tepat untuk digunakan dalam melakukan uji toksisitas akut. Sedang untuk uji 74 Prinsip Umum Toksikologi Perairan kronik dan sub-kronik maka pilihan yang lebih baik adalah menggunakan uji aliran (flow-through), karena jaminan untuk konsistensi konsentrasi bahan uji yang dipaparkan pada organisme uji lebih tinggi. Sehingga hubungan sebab-akibat akan lebih mudah terbentuk. 2.10.5. Prosedur baku Beragam metode telah dikembangkan dalam prosedur uji toksisitas, baik oleh American Public Health Association (APHA), United States of America Environmental Protection Agency (US.EPA), American Society for Testing and Materials (ASTM), dan Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) (Tabel 5). Kesemuanya merupakan alat untuk mengevaluasi bahaya dan potensi toksisitas dari berbagai bahan kimia pada organisme perairan. Manfaat dari penggunaan prosedur uji terstandarisasi, antara lain: • Memungkinkan untuk memilih satu atau lebih jenis uji yang lebih seragam dan berhasilguna oleh berbagai laboratorium. • Memfasilitasi perbandingan data dan hasil yang dapat meningkatkan kegunaan dari data yang dipublikasi. • Meningkatkan akurasi data. • Memungkinkan replikasi uji di laboratorium lain. Protokol uji toksisitas biasanya menggambarkan secara jelas tentang pemaparan organisme uji pada konsentrasi bahan kimia yang telah ditentukan untuk suatu periode pemaparan yang juga telah ditetapkan. Secara umum dapat dikatakan bahwa organisme dapat mentolerir konsentrasi bahan kimia yang tinggi dalam periode waktu yang singkat dan mentolerir konsentrasi bahan kimia yang rendah untuk suatu periode yang lebih panjang (Bulkema et al., 1982). Prinsip Umum Toksikologi Perairan 75 Tabel-5. Ringkasan Metode Uji dan Evaluasi Toksisitas. Jenis Uji Avertebrata makro Ikan Organisasi (Badan) Stadia Akut Awal Hidup Fitoplankton Kronik Kronik Akut Kronik Parsial Lengkap APHA, AWWA, x x x x x x x x x x x x x x x WPCF ASTM x OECD x U.S. EPA x x x x x Spesifik Ciliata, Coral Sclerectinian, Annelida, Polychaeta Laut, insekta air. Biokonsentrasi, pendugaan bahaya/hazard, limbah cair dan Bioakumulasi Bahan hasil kerukan, limbah cair. Keterangan : AWWA : American Public Water Association. APHA, OECD, U.S. EPA : lihat dalam teks sub bagian Prosedur baku. ASTM : American Society for Testing and Materials. Avertebrata Makro meliputi : Daphnia sp., Acartia sp., Mysidopsis sp., Kepiting, Udang, Oyster. x : jenis uji yang telah memiliki prosedur baku (standardized) dan telah melalui proses review dan pengesahan komunitas/otoritas ilmiah. 2.10.6. Deskripsi Metode Uji Metode uji toksisitas perairan dapat dikategorisasikan menurut durasi pemaparan, kondisi uji, kriteria efek yang dievaluasi dan organisme uji. Data yang diperoleh dalam uji toksisitas memungkinkan peneliti untuk menentukan konsentrasi tanpa efek (NOEC : no-observed effect concentration). NOEC merupakan konsentrasi maksimum bahan uji yang menghasilkan data yang secara statistik tidak signifikan menimbulkan efek berbahaya organisme uji dibandingkan dengan organisme kontrol 76 Prinsip Umum Toksikologi Perairan dalam suatu uji spesifik. Demikian juga dengan efek konsentrasi terendah (LOEC : lowest-observed effect concentration) atau juga dikenal sebagai konsentrasi minimal efektif (MTC : minimum threshold concentration). LOEC adalah konsentrasi terendah yang memiliki efek membahayakan bagi organisme uji, yang secara statistik signifikan dibandingkan dengan organisme kontrol dalam suatu uji spesifik. Efek yang dievaluasi adalah suatu titik akhir (end-point) dari kriteria efek biologis yang telah ditentukan sebelumnya dan memiliki peranan penting dalam pertumbuhan, kelangsungan hidup, tingkah laku dan keberlanjutan spesies organisme. Kriteria efek dapat berbeda, tergantung pada jenis uji toksisitas dan spesies uji yang digunakan. Beberapa jenis uji yang umum digunakan adalah : • Uji Toksisitas Akut : merupakan uji yng dirancang untuk mengevaluasi toksisitas relatif dari suatu bahan kimia terhadap organisme perairan tertentu dalam suatu pemaparan jangka pendek terhadap bebrbagai konsentrasi bahan kimia uji. Kriteria efek yang paling umum digunakan adalah kematian (pada ikan), ketiadaan gerakan/immobility dan kehilangan keseimbangan (pada avertebrata) dan pertumbuhan (pada alga). Uji toksisitas akut dapat dilakukan dengan suatu jangka waktu pemaparan yang telah ditentukan (time dependent test) untuk mengestimasi LC50 24 jam atau LC50 96 jam atau mengestimasi EC50 48 jam. Akan tetapi, uji toksisitas akut juga dapat dilakukan dengan batas waktu pemaparan yang tidak ditentukan sebelumnya (time independent test atau uji TI). Dalam suatu uji TI, pemaparan organisme uji berlanjut hingga respon toksik ditimbulkan oleh bahan uji berhenti/hilang, atau pertimbangan-pertimbangan ekonomis dan pelaksanaan lainnya menghendaki dihentikannya uji TI. Misalnya, uji akut TI dapat dilanjutkan hingga efek toksisitas akutnya (mortalitas atau efek sub-lethal yang ditetapkan) telah berakhir atau hampir berakhir dan kurva toksisitas memberikan Prinsip Umum Toksikologi Perairan 77 indikasi bahwa konsentrasi incipient (threshold) telah dapat diestimasi. Uji akut TI dapat dicapai antara 7-14 hari untuk hampir semua bahan kimia yang diujikan. Akan tetapi beberapa bahan kimia uji tidak mencapai konsentrasi incipient dalam jangka waktu pemaparan di bawah 21 hari. Pada beberapa dekade lalu, hasil uji toksisitas tahap awal perkembangan (early development toxicity test), data disajikan dalam bentuk limit tengah toleransi (median tolerance limit : TLm atau TL50) terhadap konsentrasi bahan uji, dimana 50% populasi organisme uji tetap hidup dalam suatu waktu pemaparan yang telah ditentukan (biasanya 24-96 jam). Namun kini, notasi TL50 telah sepenuhnya digantikan oleh LC50 dan EC50. Uji Toksisitas Kronik • Kenyataan dari hasil uji toksisitas akut yang tidak menunjukkan dampak buruk dan membahayakan pada organisme uji tidak menjadi jaminan bahwa bahan kimia uji tersebut tidak bersifat toksik. Uji toksisitas kronik memungkinkan untuk melakukan evaluasi tentang kemungkinan efek buruk dan membahayakan dari bahan kimia, yang dilakukan dalam kondisi uji jangka panjang menggunakan konsentrasi sub-lethal. Dalam suatu uji toksisitas kronik, organisme uji dipapar untuk suatu siklus reproduktif lengkap terhadap paling sedikit 5 (lima) konsentrasi bahan uji. Uji toksisitas siklus hidup parsial (kronik parsial) melibatkan hanya sebagian siklus hidup, meliputi beberapa stadia hidup sensitif (misal: reproduksi atau stadia pertumbuhan tahun pertama), namun tidak termasuk stadia awal juwana. Dalam pemaparan uji toksisitas kronik biasanya dimulai pada fase telur dibuahi atau zygot yang terus berlanjut selama proses perkembangan hingga embrio menetas, pertumbuhan dan perkembangan organisme muda, fase kematangan seksual sampai 78 Prinsip Umum Toksikologi Perairan fase reproduksi. Uji toksisitas kronik juga dapat dimulai dengan organisme dewasa yang terpapar, dilanjutkan selama fase-fase menetaskan telur, larva, juwana, dewasa dan telur. Durasi dari suatu uji toksisitas kronik sangat bervariasi dengan kisaran waktu 21 hari (Daphnia magna) dan dapat 275-300 hari untuk ikan minnow (Pimephales promelas). Pada uji toksisitas kronik dengan siklus hidup parsial, nilai konsentrasi toksikan maksimum yang dapat diterima (MATC : maximum acceptable toxicity concentration) dapat diestimasi. Nilai ini merupakan estimasi konsentrasi threshold dari suatu bahan kimia dalam kisaran tertentu, yang berada diantara NOEC dan LOEC. Oleh karena itu nilai MATC biasanya dilaporkan sebagai : NOEC < MATC < LOEC (misal: 0,5 ppm < MATC < 1 ppm). Uji siklus hidup dilakukan untuk menentukan faktor aplikasi (AF : application factors). Cara menghitung nilai AF = MATC/LC50. Nilai AF juga digunakan untuk mengestimasi hubungan antara bahan uji pada uji toksisitas kronik dan uji toksisitas akut. • Uji Stadia Awal Kehidupan Uji ini mencakup pemaparan berlanjut dari serentetan tahap awal kehidupan (misal: telur, embrio, larva dan juwana) dari organisme perairan terhadap bebrbagai konsentrasi bahan kimia selama 1 – 2 bulan, tergantung spesies organisme uji. Jenis uji ini telah banyak digunakan secara akurat dalam mengestimasi nilai MATC dari uji siklus hidup. • Uji Bioakumulasi Bahan kimia dengan daya larut dalam air yang rendah biasanya memiliki daya ikat yang tinggi pada jaringan-jaringan berlemak, sehingga dapat disimpan dan ditumpuk dalam jaringan dengan kandungan lemak tinggi. Bahan-bahan kimia hidrofobik seperti itu dapat bertahan dalam air dan telah menunjukkan sifat-sifat toksik kumulatif pada organisme perairan. Bahan kimia dengan sifat-sifat Prinsip Umum Toksikologi Perairan 79 seperti ini biasanya menjadi pilihan utama dalan uji biokonsentrasi, yang dirancang untuk menentukan atau memprediksi faktor biokonsentrasi (BCF). Faktor biokonsentrasi adalah rasio konsentrasi rata-rata dari suatu bahan kimia uji yang terakumulasi dalam jaringan organisme (Cb) yang terpapar (dalam kondisi kesetimbangan) terhadap konsentrasi bahan kimia uji yang terukur di dalam air (Cw) didalam mana organisme terpapar. BCF Biokonsentrasi adalah proses yang terjadi dimana bahan kimia dari dalam air memasuki organisme, melalui insang atau jaringan epitel dan terakumulasi. BCF untuk bahan kimia tertentu diketahui memiliki korelasi dengan koefisien daya larut relatif bahan kimia dalam n-octanol (Kow). Bioakumulasi adalah istilah yang lebih luas, yang meliputi tidak hanya biokonsentrasi tetapi juga mencakup akumulasi bahan kimia lewat makanan yang dikonsumsi. Sedang Biomagnifikasi adalah mencakup seluruh proses, meliputi biokonsentrasi dan biakumulasi, dimana konsentrasi bahan kimia yang terakumulasi dalam jaringan meningkat melalui beberapa level trofik. Tabel-6. Beberapa Contoh Nilai BCF. Jenis Ikan Suhu (0o C) BCF PCBs Rainbow Trout 5 7.4 x 103 PCB Rainbow Trout 15 1.0 x 104 Hexachlorobenzene Rainbow Trout 15 5.5 x 103 Hexachlorobenzene Minnow 15 1.6 x 104 Bahan Kimia Sumber: Barton, M.G. (1990). Bioconcentration. Envt.Scie and Tech., 24:1612-1618. 80 Prinsip Umum Toksikologi Perairan Bioakumulasi dapat terjadi akibat transportasi bahan kimia ke dalam membran biologis yang mempersyaratkan bahan kimia asing di dalam air harus tersedia dalam bentuk terlarut. Beberapa proses diketahui mampu mengurangi ketersediaan biologis, termasuk: teradsorpsi oleh material padat terlarut, teradsorpsi oleh sedimen, teradsorpsi oleh makromolekul, formasi suspensi koloid, chelasi dan ionisasi. Bahan kimia lipofilik memiliki kecenderungan kuat untuk mengalami biokonsentrasi, juga sangat mungkin mengalami partisi menjadi fraksi organik sedimen atau bahan padat tersuspensi. Faktor konsentrasi (K) untuk suatu bahan kimia yang teradsorpsi oleh sedimen atau tanah (Ca) pada kondisi kesetimbangan, dapat dihitung dengan : ! atau sebagai fraksi kandungan bahan organik dari sedimen: Koc " #$%&'( &%)*+),%) -%.%) /$,%)(& Sorpsi bahan organik dan kation meningkat sejalan dengan mengecilnya ukuran partikel sedimen. Misalnya, nilai Koc Methoxichlor meningkat dari 22.000 untuk pasir (sand) menjadi 93.000 untuk lumpur halus (fine silt). Sedangkan bioakumulasi ditemukan paling besar terjadi pada Amphipoda yang dipapar pada sedimen dengan kandungan bahan organik sedikit namun dengan ukuran partikel besar. Prinsip Umum Toksikologi Perairan 81 Insang Air Aliran darah Tersimpan dan terakumulasi dalam jaringan lemak Pada jaringan hati, perubahan akibat metabolisme dapat terjadi. Gambar-13. Pola Umum Biokonsentrasi dalam Sistem Akuatik. Adapun akumulasi bahan kimia melalui makanan yang dikonsumsi adalah melalui proses absorpsi di saluran gastrointestin, seperti halnya dengan bahan kimia yang memasuki insang atau melalui membran luar lainnya. Kebanyakan modus asupan (uptake modes) bahan kimia via jalur-jalur ini adalah transportasi spesial dan difusi pasif. Bahan kimia yang terikat bahan-bahan organik lipofilik akan lebih efisien ditransport disebabkan oleh lama waktu interaksi antara bahan makanan dan membran. Absorpsi logam berat dari bahan makanan sangat besar variasinya, disebabkan oleh variasi dalam ikatan dan keberadaan ion bebas yang mungkin terdapat dalam bahan makanan. Masalah lainnya adalah persaingan antara elemen-elemen terkait untuk lokasi transportasi aktif. Secara eksperimental, telah dibuktikan bahwa jenis bahan makanan dan metode kontaminasi bahan pencemar akan sangat berpengaruh pada tingkat asupan bahan pencemar. Contohnya, ikan sebelah plaice (Pleuronectes platessa) yang diberikan logam Zn dalam pellet yang dicampur gelatin atau zat 82 Prinsip Umum Toksikologi Perairan pati memiliki tingkat absorpsi Zn yang lebih tinggi dibanding dengan pemberian pakan cacing Nereis diversicolor yang diberi pakan mengandung Zn. Dari hasil ini nampak bahwa fraksi logam yang terikat pada bahan organik dalam makanan memiliki ketersediaan yang sangat rendah untuk diasup oleh usus. • Uji Efek Sub-lethal lain Dalam lingkungan perairan, organisme umumnya tidak terpapar pada konsentrasi bahan kimia tinggi yang mematikan, terkecuali mereka berada atau terperangkap di sekitar lokasi pembuangan limbah kimia atau lokasi pencemaran akibat tumpahan kapal tanker, misalnya. Sebelum terjadi dampak awal, akan terjadi pengenceran dan penyebaran atau dispersi yang akan menurunkan konsentrasi (yang tadinya bisa saja bersifat akut) ke tingkatan sublethal. Konsentrasi yang lebih rendah mungkin tidak menyebabkan kematian, namun dapat menjadi efek yang nyata pada kelangsungan hidup organisme. Efek sub-lethal yang dilaksanakan di laboratorium terbagi atas 3 (tiga) kategori: biokimia-fisiologi, tingkah laku, dan histologi. Uji biokimia dan fisiologi meliputi studi hambatan aktifitas enzim, hematologi dan respirasi. Sedang uji tingkah laku meliputi studi respon terintegrasi yang terkait dengan kompleks fungsi biokimia dan fisiologis, sebab perubahan tingkah laku yang ditimbulkan oleh sebab kimiawi dapat merefleksikan perubahan homeostasis internal. Perubahan tingkah laku yang paling banyak ditelaah pada organisme perairan adalah lokomosi dan pola renang, penghindaran diri, hubungan mangsa-pemangsa, agresi dan pertahanan teritori, yang merupakan tingkah laku ekologis signifikan. Studi perubahan struktur histologis seringkali dijumpai memodifikasi fungsi-fungsi jaringan dan organ. Secara bersamasama, uji biokimia dan fisologi, tingkah laku dan histologi akan sangat berguna dalam mengevaluasi ancaman bahaya (hazard) Prinsip Umum Toksikologi Perairan 83 bahan kimia terhadap lingkungan, dan ketiganya akan memberi informasi penting dalam hal modus aksi bahan kimia. Kegunaan Data • Data uji toksisitas perairan memiliki beberapa manfaat dalam aplikasi yang beragam, termasuk : a) Pengambilan keputusan dari suatu perusahaan industri dalam pengembangan produk, manufaktur dan komersialisasi. b) Pendaftaran produk menurut persyaratan pemerintah. c) Izin pembuangan limbah industri. d) Evaluasi resiko lingkungan. e) Kepentingan pembelaan dalam persoalan peradilan terkait kasus atau tuntutan pencemaran lingkungan. Selain hal-hal tersebut di atas dibutuhkan juga praktik laboratorium yang baik (GLP: Good laboratory Practices) yang meliputi seluruh hal yang terkait dengan uji toksisitas, termasuk kualifikasi personil pelaksana, tata cara pemeliharaan dan penanganan hewan uji, lokasi uji, penyimpanan sampel, penanganan dan penyimpanan data. Untuk peralatan, termasuk desain, pemeliharaan, kalibrasi dan standard operating procedures/SOP, pembuangan limbah uji, dsbnya. 2.10.7. Proses Eliminasi Toksikan Baik toksisitas dan potensi bioakumulasi dari suatu bahan kimia asing, sangat dipengaruhi oleh laju eliminasi yang dilakukan oleh organisme. Beberapa contoh cara mengeliminasi bahan kimia asing dari tubuh telah dibahas sebelumnya, namun diakui bahwa masih diperlukan banyak upaya untuk mengungkap proses eliminasi bahan kimia asing dari tubuh organisme. Contoh organ ikan yang terlibat dalam proses eliminasi diberikan berikut ini. Insang : eliminasi pasif bahan kimia yang larut dalam lemak terjadi di permukaan kulit dan insang ikan oleh proses partisi yang sama yang terlibat 84 dalam proses pengasupan. Prinsip Umum Toksikologi Perairan Karakteristik fisik insang menjadikannya organ utama dalam jenis eliminasi pasif. Eliminasi melalui insang terutama bagi senyawa non-polar yang tidak dapat mengalami proses biotransformasi secara cepat oleh ikan. Dalam kondisi elektrolit lemah, eliminasi melalui insang banyak bergantung pada proporsi relatif bentuk-bentuk ber-proton dan tidak ber-proton, serta perbedaan pH darah dan lingkungan eksternal. Beberapa studi menunjukkan bahwa eliminasi fenol, DDT dan di-2-ethylhexylphthalate (DEHP) pada ikan hiu anjing adalah terbesar melalui insang dan sebagian kecil melalui permukaan tubuh. Demikian juga pada ikan mas (Carassius auratus), separuh dari pentachlorophenol dieliminasi melalui insang, sedangkan sisanya dieliminasi melalui urin dan cairan empedu (bile). Hati dan Empedu : bahan-bahan kimia polar dan metabolit bahan kimia non-polar umumnya secara efektif diekskresi melalui hati dan ginjal. Metabolit yang terbentuk di dalam hati vertebrata diangkut ke dalam empedu untuk selanjutnya dikeluarkan bersama cairan empedu ke dalam intestin. Walaupun sejumlah metabolit dalam cairan empedu pada akhirnya akan dieliminasi bersama faeces, suatu jumlah yang signifikan dari metabolit juga diserap kembali dalam intestin dan dikembalikan ke dalam darah. Sirkuit pendek dari proses ekskresi melalui cairan empedu ini disebut siklus enterohepatik (enterohepatic cycles). Sejumlah ahli merekomendasikan analisis terhadap cairan empedu sebagai alat bantu dalam pemantauan kualitas air, karena sejumlah bahan pencemar memiliki kecenderungan untuk terakumulasi dalam cairan empedu. Logam berat seperti Hg, Pb dan As secara aktif diangkut ke dalam cairan empedu. Hati merupakan organ yang mampu melakukan konjugasi terhadap beberapa bahan kimia organik yang terikat pada protein plasma yang membuatnya tidak dapat diekskresi melalui jalur lain, di luar cairan empedu. Misalnya, Benzo[a]pyrene adalah senyawa organik non-polar yang mengalami proses biotransformasi secara efektif dan dieliminasi dalam cairan empedu. Bahan kimia dengan berat molekul sedang (> 400) cenderung untuk tereliminasi di dalam cairan empedu, sedang bahan Prinsip Umum Toksikologi Perairan 85 kimia dengan berat molekul yang lebih rendah umumnya diekskresi melalui urin. Selain pola umum ini, terdapat perbedaan signifikan antar spesies dalam hal kemampuan untuk melakukan proses biotransformasi dan eliminasi bahan kimia asing. Sejauh ini, pada avertebrata, kemampuan transformasi masih sangat bervariasi dan peranan hepatopankreas masih belum jelas. Ginjal : eliminasi bahan kimia dari ginjal dalam bentuk formasi urin, baik melalui filtrasi glomerular atau melalui difusi atau proses sekresi dalam tubular ginjal. Kebanyakan bahan kimia asing (xenobiotics) dengan berat molekul < 60.000 dapat larut dalam darah, sangat kecil untuk dapat dihilangkan oleh filtrasi glomerular. Namun kemampuan untuk mengikatkan bahan kimia pada protein plasma dapat menurunkan eliminasi bahan kimia lewat jalur ini, karena protein plasma tertahan dalam glomerulus. Sehingga, ekskresi urinari terhadap kebanyakan bahan organik yang larut dalam lemak dan berbagai jenis logam, diperlambat oleh daya ikat mereka pada protein. Lebih lanjut, bahan kimia non-polar di dalam filter glomerular dapat diserap kembali oleh difusi pasif di sepanjang membran tubular ginjal. Asam organik dan basa lemah diekskresi atau diserap kembali, tergantung pada pH urin. Tubular ginjal juga mampu untuk secara aktif melakukan sekresi jenis-jenis asam organik dan basa tertentu melalui urin yang dikeluarkan. Pengikatan protein tidak menghalangi jenis transportasi aktif ini. Akan tetapi, persaingan antara bahan-bahan kimia serupa dari lokasi transportasi yang sama dapat mempengaruhi laju eliminasi secara keseluruhan. Adalah penting untuk secara cermat membedakan jalur-jalur utama eliminasi pada organisme perairan, sebab jalur-jalur tersebut dapat dipengaruhi secara berbeda oleh faktor-faktor seperti: suhu, sifat kimia perairan, kerusakan jaringan, pra-pemaparan pada toksikan atau keberadaan bahan-bahan kimia kompetitor. Komplikasi demikian sangat umum dijumpai pada populasi-populasi yang terpapar di alam. Perubahan dalam pola eliminasi dapat secara signifikan mempengaruhi keberhasilan 86 Prinsip Umum Toksikologi Perairan uji laboratorium, demikian juga dengan kemampuan model yang dibuat untuk memprediksi tingkat atau derajat bioakumulasi yang dijumpai di alam. Prinsip Umum Toksikologi Perairan 87