bab ii kajian teori

advertisement
BAB II
KAJIAN TEORI
A. LANDASAN TEORI
1. Pengertian Dividen
Terdapat beberapa penjelasan mengenai pengertian dividen pada beberapa
literatur adalah sebagai berikut:
Menurut Gitosudarmo dan Basri (2008), dividen merupakan bagian
keuntungan yang dibayarkan pada para pemegang saham dan dividen merupakan
bagian dari penghasilan yang diharapkan oleh pemegang saham. besar kecilnya
dividen yang dibayarkan kepada para pemegang saham sangat berpengaruh
terhadap pencapaian tujuan mensejahterakan para pemegang saham.
Ross (1977) dalam Yudiana dan Yudnyana (2016) mendefinisikan dividen
sebagai pembayaran kepada pemilik perusahaan yang diambil dari keuntungan
perusahaan, baik dalam bentuk saham maupun tunai. Artinya hanya perusahaan
yang membukukan keuntungan dapat membagikan dividen karena dividen
diambil dari keuntungan perusahaan.
Definisi dividen pada beberapa literatur di atas pada dasarnya memiliki
inti yang sama yaitu bagian dari laba bersih perusahaan yang dibagikan kepada
pemegang saham. Menurut Sundjaja dan Barlin (2010), laba ditahan merupakan
pendapatan yang tidak dibagikan sebagai dividen karena merupakan bentuk
pembiayaan interen. Artinya, hanya perusahaan yang membukukan laba yang
dapat membagikan dividen karena dividen diambil dari keutungan perusahaan.
Dividen
1
dapat berupa uang tunai maupun saham. Keputusan dividen dapat mempengaruhi secara
signifikan kebutuhan pembiayaan eksternal perusahaan. Dengan kata lain, jika perusahaan
membutuhkan pembiayaan, maka semakin besar dividen tunai yang dibayarkan, semakin besar
jumlah pembiayaan yang harus diperoleh dari eksternal melalui pinjaman atau melalui penjualan
saham biasa atau saham preferen.
a.
Jenis-jenis Dividen
Menurut Sundjaja dan Barlin (2010), terdapat 4 jenis dividen, yaitu:
1) Dividen tunai (kas)
Dividen tunai ini dibagikan oleh perusahaan dalam bentuk uang tunai. Adapun
pengertian dividen tunai adalah sumber dari arus kas untuk pemegang saham yang
memberikan informasi tentang kinerja perusahaan saat ini dan akan datang.
2) Dividen saham
Dividen saham adalah pembayaran dividen dalam bentuk saham. Seringkali dividen
saham ini digunakan sebagai pengganti dari dividen tunai. Brigham dan Houston
(2001) menyatakan bahwa dividen saham serupa dengan pemecahan dalam hal
kesamaan “membagi ekuitas menjadi bagian yang lebih kecil” tanpa mempengaruhi
posisi fundamental dari pemegang saham. Dengan kata lain, stock dividend atau
dividen saham tidak lebih dari penyusunan kembali modal perusahaan (rekapitalisasi
perusahaan), sedangkan proporsi kepemilikan tidak berubah.
3) Property dividend
2
Dividen yang dibagikan dalam bentuk aktiva lain selain kas atau saham, misalnya
aktiva tetap dan surat-surat berharga.
4) Liquiditing dividend
Dividen yang diberikan kepada pemegang saham sebagai akibat dilikuidasinya
perusahaan. Dividen yang dibagikan adalah selisih nilai realisasi aset perusahaan
dikurangi dengan semua kewajibannya.
b.
Prosedur Pembayaran Dividen
Menurut Sundjaja dan Barlin (2010), dalam pembayaran dividen terdapat beberapa
tahapan atau prosedur yaitu:
1) Tanggal pengumuman (date of declaration)
Tanggal pengumuman merupakan tanggal keputusan untuk membagikan dividen pada
RUPS, atau tanggal pada saat direksi perusahaan mengumumkan rencana pembayaran
dividen.
2) Cum-dividend date
Cum-dividend date merupakan tanggal hari terakhir perdagangan saham yang masih
melekat hak untuk mendapatkan dividen.
3) Tanggal pencatatan pemegang saham (date of record)
Date of record adalah tanggal dimana pemiik saham ditentukan, sehingga dapat
diketahui kepada siapa dividen dibagikan. Pemegang saham yang mencatatkan dirinya
3
pada tanggal ini adalah pemegang saham yang memperoleh dividen pada tanggal
pembayaran.
4) Tanggal pemisahan dividen (ex-dividend date)
Sebelum tanggal pencatatan, perusahaan sudah harus diberitahukan apabila terjadi
transaksi jual beli atas saham tersebut. Oleh sebab itu pada bursa internasional
disepakati adanya exdividend date yaitu 3 hari sebelum tanggal pencatatan (date of
record). Setelah pencatatan, saham tersebut tidak lagi memliki hak atas dividen pada
tanggal pembayaran.
5) Tanggal pembayaran (date of payment)
Pada tanggal ini, dividen dibayarkan kepada para pemegang saham. Setelah
memegang dividen, kas didebet dan piutang dieliminasi. Pembayaran dividen akan
dikenakan pemotongan pajak penghasilan.
2.
Teori
Pada penelitian ini penulis menggunakan teori-teori yang berasal dari berbagai macam
sumber seperti buku yang memuat tentang kebijakan dividen dan penelitian–penelitian terdahulu
yang mendukung kerangka pikir peneliti untuk dapat menghasilkan penelitian yang valid.
Beberapa teori yang berhubungan dengan penelitian adalah:
a.
Dividend Signalling Theory
Teori yang dapat digunakan sebagai landasan dalam kebijakan dividen adalah teori
signalling. Teori signalling dikembangkan untuk memperhitungkan kenyataan bahwa orang
4
dalam (insider) perusahaan pada umumnya memiliki informasi yang lebih baik dan lebih cepat
berkaitan dengan kondisi terbaru dari perusahaan, serta prospek perusahaan di masa yang akan
datang dibandingkan dengan investor luar.
Teori ini mendasari dugaan bahwa perubahan cash dividend mempunyai kandungan
informasi yang mengakibatkan munculnya reaksi harga saham. Teori ini menjelaskan bahwa
informasi tentang cash dividend yang dibayarkan dianggap investor sebagai sinyal prospek
perusahaan di masa mendatang. Adanya anggapan ini disebabkan terjadinya asymmetric
information antara manajer dan investor, sehingga para investor menggunakan kebijakan dividen
sebagai sinyal tentang prospek perusahaan. Menurut Pramastuti (2007), menjelaskan apabila
terjadi peningkatan dividen akan dianggap sebagai sinyal positif yang berarti perusahaan
mempunyai prospek yang baik, sehingga menimbulkan reaksi harga saham yang positif.
Sebaliknya, jika terjadi penurunan dividen akan dianggap sebagai sinyal negatif yang berarti
perusahaan mempunyai prospek yang tidak begitu baik, sehingga menimbulkan harga saham
yang negatif .
b.
Teori Keagenan (Agency Theory)
Teori ini dikemukakan oleh Michael C. Jensen dan Wiliam H. Meckling (1976) dalam
Mulyono (2010), hubungan agensi muncul ketika satu orang atau lebih (principal)
mempekerjakan orang lain (agent) untuk memberikan suatu jasa dan kemudian mendelegasikan
wewenang dalam pengambilan keputusan kepada agent tersebut. Dalam prakteknya manajer
sebagai pengelola perusahaan tentunya mengetahui lebih banyak informasi internal dan prospek
5
perusahaan di waktu mendatang dibandingkan pemilik modal atau pemegang saham. Sehingga
sebagai pengelola, manajer memiliki kewajiban memberikan informasi mengenai kondisi
perusahaan kepada pemilik.
Para pemegang saham berharap agen akan bertindak atas kepentingan mereka sehingga
mendelegasikan wewenang kepada agen. Untuk dapat melakukan fungsinya dengan baik,
manajemen harus diberikan insentif dan pengawasan yang memadai. Pengawasaan dapat
dilakukan melalui cara-cara seperti pengikatan agen, pemeriksaan laporan keuangan dan
pembatasaan terhadap keputusan yang dapat diambil manajemen. Kegiatan pengawasaan tentu
saja membutuhkan biaya yang disebut dengan biaya agensi. Menurut Chasanah (2008) dalam
Mulyono (2010), biaya agensi adalah biaya-biaya yang berhubungan dengan pengawasan
manajemen untuk meyakinkan bahwa manajemen bertindak konsisten sesuai dengan perjanjian
kontraktual perusahaan dengan kreditor dan pemegang saham.
c.
Model Trade-Off (Balancing Theory)
Berbagai faktor seperti adanya corporate tax, biaya kebangkrutan, dan personnal tax,
telah dipertimbangkan untuk menjelaskan mengapa suatu perusahaan akhirnya memilih struktur
modal tertentu Brigham (2001). Myers (1984) menampilkan balancing theory atau trade off
theory (teori keseimbangan) yang menyeimbangkan manfaat (perlindungan pajak) dan
pengorbanan (bunga) yang timbul sebagai akibat penggunaan utang oleh perusahaan. Teori ini
dijelaskan lebih lanjut bahwa perusahaan akan meningkatkan utang manakala penghematan
pajak (tax shield) lebih besar daripada pengorbanannya, dan penggunaan utang tersebut akan
6
berhenti manakala terjadi keseimbangan antara penghematan dan pengorbanan akibat
penggunaan utang tersebut.
Perusahaan akan meningkatkan utang saat dalam kondisi under leverage untuk
mengurangi pajak dan saat kondisi over leverage akan menyebabkan perusahaan mengalami
kebangkrutan, sehingga teori trade-off mempunyai implikasi bahwa manajer akan berfikir antara
penghematan pajak dan biaya kebangkrutan dalam penentuan struktur modal. Perusahaan dengan
tingkat profitabilitas yang tinggi akan berusaha mengurangi pajaknya dengan cara meningkatkan
rasio utang yang digunakan, sehingga tambahan utang tersebut akan mengurangi pajak.
d.
Kebijakan Dividen
Menurut preferensi investor ada tiga teori yang mendasari kebijakan dividen Brigham
dan Houston (2010), yaitu :
1) Teori Dividen Tidak Relevan
Pada tahun 1961 Merton Miller dan Franco Modigliani mengusulkan teori
ketidakrelevanan dividen yang kini menjadi salah satu teori dasar dalam literatur keuangan
perusahaan. Dalam beberapa kondisi di pasar keuangan, teori ini menegaskan bahwa
kebijakan keuangan atau dividen perusahaan tidak mempengaruhi nilai pasar perusahaan.
Kondisi tersebut terdiri dari:
a) Tidak adanya pajak perusahaan.
7
b) Tidak adanya biaya kontrak, terutama yang berkaitan dengan reorganisasi
perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan.
c) Adanya kebijakan investasi perusahaan tetap.
d) Tidak adanya biaya informasi, yakni informasi yang reliable tentang prospek
pendapatan perusahaan yang secara bebas tersedia bagi investor.
e) Tidak adanya asimetri informasi, manajemen tahu tentang masa depan tidak
berbeda secara signifikan dari apa yang investor tahu.
Asumsi teori ketidak relevanan dividen didasarkan pada pasar modal yang efisien.
Menurut Brealy et all., (2007) dalam Sari (2013) mengatakan dalam pasar yang efisien,
pergeseran kepemilikan diciptakan oleh perubahan kebijakan dividen yang dilakukan dalam
kondisi yang adil, yang berarti bahwa kebijakan dividen tidak mempengaruhi nilai
keseluruhan dari ekuitas atau dengan kata lain, tidak ada pihak yang diuntungkan atau
dirugikan.
2) Teori “Bird in the Hand”
Gordon dan Lintner berpendapat bahwa para investor lebih menyukai dividen
dibandingkan dengan capital gain. Dividen memiliki risiko yang lebih rendah dibandingkan
dengan capital gain, oleh karenanya investor akan merasa lebih aman untuk mengharapkan
dividen saat ini dibandingkan menunggu capital gain yang di masa depan. Gordon (1961)
dalam Sari (2013) berargumentasi bahwa nilai saham akan ditentukan oleh present value dari
8
dividen yang akan diterima investor saat ini dan di masa mendatang. Dividen di masa
mendatang akan lebih berisiko dibandingkan dengan dividen yang dibayarkan saat ini.
Myron Gordon dan John Lintner berpendapat bahwa biaya modal saham akan naik
karena investor merasa lebih pasti dengan pendapatan dividen dibandingkan dengan
pendapatan capital gain. Peningkatan risiko tersebut menyebabkan discount rate (tingkat
keuntungan yang disyaratkan) meningkat, yang menyebabkan nilai saham menjadi rendah.
Mereka berpendapat bahwa investor menilai rupiah dari dividen yang diharapkan lebih tinggi
dibandingkan rupiah dari capital gain yang diharapkan.
3) Tax Differential Theory
Teori ini didasarkan atas pada perbedaan pajak antara dividen dengan keuntungan
modal (capital gain). Pajak atas dividen harus dibayarkan pada tahun saat dividen tersebut
diterima, sedangkan pajak atas capital gain tidak dibayarkan sampai saham dijual. Adanya
keunggulan pajak tersebut maka membuat investor lebih menyukai capital gain karena dapat
menunda pembayaran pajak dibandingkan dengan dividen.
4) Teori Dividen Residual
Menurut Hanafi (2008) dalam Ardian (2014), teori dividen residual menyatakan
suatu perusahaan menetapkan kebijakan dividen setelah semua investasi yang menguntungkan
habis dibiayai. Dengan kata lain, dividen yang dibayarkan merupakan “sisa” (residual) setelah
semua usulan investasi yang menguntungkan habis dibiayai. Menurut teori tersebut, manajer
keuangan akan melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
9
a) Menetapkan penganggaran modal yang optimum. Semua usulan investasi yang
mempunyai NPV yang positif akan diterima (dilaksanakan).
b) Menentukan jumlah saham yang diperlukan untuk membiayai investasi baru
tersebut sambil menjaga struktur modal yang ideal (target).
c) Menggunakan dana internal untuk mendanai kebutuhan dana dari saham tersebut.
d) Membayar dividen hanya jika ada sisa dari dana internal, setelah semua usulan
investasi dengan NPV positif didanai.
5) Teori perataan (smoothing theory).
Menurut
Gumanti
(2013)
teori
ini
dikemukakan
oleh
lintner
(1956)
menyampaikan pendapat tentang kebijakan dividen berdasarkan pada hasil wawancara
dengan manajer perusahaan di Amerika tentang apa yang diyakini oleh para manajer tentang
faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan dividen perusahaan. Hasil penelitian Lintner
secara umum menyimpulkan empat hal. Pertama, perusahaan memiliki target rasio
pembayaran dividen (payout ratio) jangka panjang. Perusahaan yang sudah mapan (mature
companies) dengan tingkat laba yang stabil akan cenderung untuk membayar dividen sebagai
bagian dari laba yang lebih tinggi karena kebutuhan akan uang tunai tidak terlalu tinggi
bahkan dalam banyak hal perusahaan mengalmi kelebihan kas (excess cash). Sedangkan
perusahaan yang sedang dalam masa pertumbuhan memiliki rasio pembayaran dividen
cenderung lebih rendah. Kedua, para manajer lebih condong untuk menekankan pada
perubahan besar kecilnya dividen daripada pada tingkat absolutnya. Ketiga, dalam jangka
10
panjang perubahan-perubahan dividen yang terjadi mengikuti pola pergerakan yang stabil
jika laba perusahaan bertahan pada level tertentu. Dengan kata lain, manajer melakukan
upaya untuk meratakan (smoothing) dividennya, artinya jika perubahan laba perusahaaan
yang terjadi tidak besar, maka laba yang diperoleh tidak akan mempengaruhi besar kecilnya
rasio pembayaran dividen. Keempat manajer enggan melakukan perubahan dividen yang
mungkin akan menyebabkan perusahaan melakukan pencadangan dana karena adanya
kekhawatiran bahwa ditahun mendatang perusahaan tidak mampu membayar dividen dengan
besaran yang tidak jauh berbeda dengan periode- periode sebelumnya. Artiya bagi
manajemen perusahaan menjaga kestabilan dividen menjadi lebih penting daripada
menaikkan atau menurunkan dividen secara drastis. Lintner menyiratkan bahwa dividen
tergantung sebagian pada laba perusahaan tahun ini dan sebagian pada dividen perusahaan
tahun kemarin.
Ada tiga teori lainnya yang dapat membantu dalam memahami kebijakan dividen
menurut Sjahrial (2002) dalam Ardian (2014), yaitu:
a)
Teori “signaling hypothesis”
Menyatakan bahwa, jika ada kenaikan dividen sering kali diikuti dengan kenaikan
harga saham, demikian pula sebaliknya. Menurut Modigliani dan Miller kenaikan
dividen biasanya merupakan suatu signal (tanda) kepada para investor, bahwa
manajemen perusahaan meramalkan suatu penghasilan yang baik di masa
11
mendatang. Sebaliknya, suatu penurunan dividen atau kenaikan dividen yang
dibawah normal (dari biasanya) diyakini investor sebagai pertanda bahwa
perusahaan menghadapi masa sulit diwaktu mendatang.
Dividend signaling theory mendasari dugaan bahwa pengumuman perubahan cash
dividend mempunyai kandungan informasi yang mengakibatkan munculnya reaksi
harga saham. Teori ini menjelaskan bahwa informasi tentang cash dividend yang
dibayarkan dianggap investor sebagai sinyal prospek perusahaan di masa
mendatang. Adanya anggapan ini disebabkan terjadinya asymetric information
antara manajer dan investor, sehingga para investor menggunakan kebijakan
dividen sebagai sinyal tentang prospek perusahaan. Menurut Pramastuti (2007),
apabila terjadi peningkatan dividen akan dianggap sebagai sinyal positif yang
berarti perusahaan mempunyai prospek yang baik, sehingga menimbulkan reaksi
harga saham yang positif. Sebaliknya, jika terjadi penurunan dividen akan dianggap
sebagai sinyal negatif yang berarti perusahaan mempunyai prospek yang tidak
begitu baik, sehingga menimbulkan reaksi harga saham yang negatif.
b) Teori “clientele effect”
Kelompok (Clientele) pemegang saham yang berbeda akan memiliki preferensi
yang berbeda terhadap kebijakan dividen perusahaan. Kelompok pemegang saham
yang membutuhkan penghasilan pada saat ini lebih menyukai suatu dividend payout
ratio (DPR) yang tinggi. Jika ada perbedaan pajak bagi individu dapat menunda
12
pembayaran pajak. Kelompok ini lebih senang jika perusahaan membagi dividen
yang kecil. Dengan demikian, maka kelompok pemegang saham yang dikenakan
pajak lebih tinggi menyukai capital gain.
c) Teori “Pecking Order”
Teori Pecking Order ini mengatakan bahwa perusahaan lebih cenderung memilih
pendanaan yang berasal dari internal perusahaan (internal financing) yang
bersumber dari aliran kas, laba ditahan, dan depresiasi dari pada yang berasal dari
eksternal perusahaan (eksternal financing). Pecking Order Theory juga menyatakan
bahwa perusahaan dengan tingkat profitabilitas yang tinggi justru tingkat utangnya
rendah, dikarenakan perusahaan yang profitabilitasnya tinggi memiliki sumber dana
internal yang berlimpah. Menurut Hanafi (2008) dalam Ardian (2014), secara
spesifik perusahaan mempunyai urut-urutan preferensi (hirarki) dalam penggunaan
dana. Teori ini menetapkan suatu urutan keputusan pendanaan dimana para manajer
pertamakali akan memilih untuk menggunakan laba ditahan, utang dan penerbitan
saham sebagai pilihan terakhir.
3.
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Dividen
a.
Kepemilikan Manajerial
Menurut Sujoko dan Ugy (2007) Kepemilikan manajerial merupakan kepemilikan saham
terbesar oleh manajemen perusahaan yang diukur dengan persentase jumlah saham yang dimiliki
manajemen. Kepemilikan manajerial adalah proporsi pemegang saham dari pihak jajaran
13
manajerial perusahaan dari jumlah saham yang beredar pada tahun tertentu. Yang termasuk
kedalam jajaran manejerial adalah dewan komisaris serta dewan direksi perusahaan.
Jensen dan Meckeling (1976) dalam Rosyadi (2015), mengatakan bahwa memaksimalkan
jumlah kepemilikan manajerial adalah salah satu cara untuk menekan terjadinya konflik agensi
dalam perusahaan, dikarenakan manajemen akan berimbas langsung dengan keputusan yang
diambil. Dengan meningkatnya jumlah kepemilkan manajerial, akan mempererat status kekayaan
manajemen secara pribadi dengan kekayaan perusahaan, sehingga manajemen akan berusaha
untuk mengurangi resiko atas kehilangan kekayaannya. Kepemilikan manajerial menunjukan
adanya peran ganda dari seorang manajer, yaitu bertindak sebagai pemegang saham sebagai
seorang manajer sekaligus pemegang saham, manajer tidak ingin perusahaannya dalam kesulitan
keuangan bahkan sampai mengalami kebangkrutan, keadaan ini akan merugikan manajer, baik
sebagai manajer maupun sebagai pemegang saham, sebagai manajer akan kehilangan insetif dan
sebagai pemegang saham akan kehilangan return ataupun dana yang di investasikan.
b.
Kebijakan Hutang
Kebijakan hutang mempunyai pengaruh pendisiplinan perilaku manajer karena
penawasan juga dilakukan oleh kreditor. Hutang akan mengurangi konflik agensi dengan
meningkatan hutang meningkatkan leverage sehingga meningkatkan kemungkinan kesulitankesulitan keuangan atau kebangkrutan. Kekawatiran kebangkrutan mendorong manajer agar
efisien, sehingga memperbaiki biaya agensi. Hutang memaksa perusahaan membayar pokok
14
hutang dan bunga sehingga mengurangi free cash flow dan menurunkan insentif manajer untuk
berperilaku memuaskan diri sendiri.
Haris dan Ravi (1991) dalam Dewi (2008), menyimpulkan berdasarkan bukti empirisnya
yang menunjukkan konsistensi teori bahwa hutang dapat menurunkan konflik agensi. Namun
menurut Horngren et all, (1999) dalam Dewi (2008) hutang meningkatkan biaya marginal.
Kebjakan hutang diukur menggunakan rasio hutang terhadap aktiva yang mencerminkan
kemampuan perusahaan dengan menggunakan seluruh aktiva untuk membayar hutang. Oleh
karena itu semakin rendah debt maka semakin tinggi kemampuannya untuk membayar seluruh
kewajibannya.
c.
Investment Opportunity Set (IOS)
Menurut Sadono (2012), keputusan investasi adalah masalah bagaimana manajer
keuangan harus mengalokasikan dana kedalam bentuk–bentuk investasi yang akan dapat
mendatangkan keuntungan dimasa yang akan datang.
Munculnya istilah investment opportunity set (IOS) dikemukakan oleh Myers (1977)
dalam Subekti dan Kusuma (2001) yang menguraikan pengertian perusahaan, yaitu sebagai satu
kombinasi antara aktiva riil (assets in place) dan opsi investasi masa depan. Menurut Gaver
(1993) dalam Mulyono (2009), opsi investasi masa depan tidak semata-mata hanya ditunjukkan
dengan adanya proyek-proyek yang didukung oleh kegiatan riset dan pengembangan saja, tetapi
juga dengan kemampuan perusahaan yang lebih dalam mengeksploitasi kesempatan mengambil
keuntungan dibandingkan dengan perusahaan lain yang setara dalam suatu kelompok
15
industrinya. Kemampuan perusahaan yang lebih tinggi ini bersifat tidak dapat diobservasi
(unobservable).
Perusahaan dengan IOS tinggi juga akan mempunyai tingkat investasi yang tinggi pula,
yang dikonversi dalam aset yang dimiliki Kallapur dan Trombley (1999) dalam Utami (2007).
Proksi IOS berdasarkan investasi mengungkapkan bahwa suatu kegiatan investasi yang berkaitan
secara positif dengan nilai IOS perusahaan, maka dari itu nilai IOS dapat mempengaruhi
kebijakan dividen perusahaan. Perusahaan yang memiki IOS tinggi seharusnya memiliki suatu
tingkatan investasi yang tinggi pula dalam bentuk aktiva ditempat atau aktiva yang
diinvestasikan dalam waktu yang lama diperusahaan. Bentuk dari proksi ini merupakan suatu
rasio yang membandingkan suatu investasi yang telah diinvestasikan dalam bentuk aktiva tetap,
atau suatu hasil operasi yang diproduksi dari aktiva yang telah diinvestasikan. Proksi IOS
berbasis investasi yang biasanya digunakan dalam penelitian adalah Capital expenditure to book
value asset (CAPBVA).
d.
Profitabilitas
Profitabilitas adalah kemampuan menghasilkan laba (profit) selama periode tertentu
dengan menggunakan aktiva yang produktif atau modal, baik modal secara keseluruhan maupun
modal sendiri. Pendapat lain menyebutkan bahwa profitabilitas perusahaan merupakan salah satu
indikator yang tercakup dalam informasi mengenai kinerja perusahaan jangka panjang. Kinerja
keuangan tersebut dapat dilihat melalui analisis laporan keuangan. Profitabilitas merupakan
kemampuan perusahaan memperoleh laba yang berhubungan dengan penjualan, total aktiva
16
produktif maupun modal sendiri. Rasio profitabilitas ini akan memberikan gambaran tentang
tingkat efektifitas pengelolaan perusahaan. Menurut Hanafi (2009), semakin besar profitabilitas
berarti semakin baik, karena kemakmuran pemilik perusahaan meningkat dengan semakin
besarnya profitabilitas.
Tingkat profitabilitas digunakan sebagai dasar untuk mengukur kinerja keuangan
perusahaan, hal ini dilakukan mengingat daya tarik bisnis (business attractiveness) merupakan
salah satu indikator penting dalam persaingan usaha, sedangkan indikator daya tarik bisnis dapat
diukur dari profitabilitas usaha, seperti ROA, ROE dan NPM. Pada penelitian ini ROE menjadi
alat ukur dari profitabilitas karena pengukuran dilihat dari penghasialan income yang tersedia
bagi pemilik perusahaan atas modal yang mereka investasikan di dalam perusahaan. Semakin
tinggi rasio ini akan menarik pendatang baru untuk masuk dalam dunia usaha, sehingga pada
kondisi persaingan tersebut akan membuat rate of return cenderung mengarah pada
keseimbangan. Daya tarik bisnis yang semakin tinggi akan mendorong pendatang baru untuk
masuk dalam dunia usaha sehingga laba upnormal lambat laun akan kembali menurun menuju
laba normal.
B. Penelitian Terdahulu
1. I Gede Yoga Yudiana dan I Ketut Yadnyana (2016) berjudul “Pengaruh Kepemilikan
Manajerial, Leverage, Investment Opportunity Set dan Profitabilitas Terhadap Kebijakan
Dividen (Studi Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Berusa Efek Indonesia)”.
Hasil penelitiannya adalah kepemilikan manajerial tidak berpengaruh terhadap kebijakan
17
dividen, leverage berpengaruh negatif terhadap kebijakan dividen, investment opportunity
set berpengaruh negatif signifikan terhadap kebijakan dividen, profitabilitas berpengaruh
positif signifikan terhadap kebijakan dividen.
2. Dame Prawira Silaban dan Ni Ketut Purnawati (2016) berjudul “pengaruh profitabilitas,
struktur kepemilikan, pertumbuhan perusahaan dan efektivitas usaha terhadap kebijakan
dividen (Studi Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Berusa Efek Indonesia)”
menemukan profitabilitas berpengaruh positif dan signifikan terhadap kebijakan dividen dan
struktur kepemilikan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kebijakan dividen.
3. penelitian Anggie Noor Rachmad (2013) berjudul “pengaruh struktur kepemilikan,
leverage, dan return on asset (roa) terhadap kebijakan dividen (Studi Pada Perusahaan
Manufaktur Yang Terdaftar Di Berusa Efek Indonesia)” menemukan bahwa kepemilikan
manajerial, Leverage, dan Return On Asset berpengaruh secara signifikan terhadap
kebijakan deviden.
4. Ni Putu Yunita Devi dan Ni Made Adi Erawati (2014) berjudul “pengaruh kepemilikan
manajerial, leverage, dan ukuran perusahaan pada kebijakan dividen (Studi Pada Perusahaan
Manufaktur Yang Terdaftar Di Berusa Efek Indonesia)” kepemilikan manajerial tidak
berpengaruh terhadap kebijakan dividen, leverage berpengaruh negatif terhadap kebijakan.
5. Penelitian Luh Fajarini Indah Mawarni dan Ni Made Dwi Ratnadi (2014) berjudul
“pengaruh kesempatan investasi, leverage, dan likuiditas pada kebijakan dividen (Studi
Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Berusa Efek Indonesia)” Hasil analisis
18
memperlihatkan Kesempatan Investasi dan Leverage berpengaruh negatif pada Kebijakan
Dividen.
6. Samsul Arifin (2015) berjudul “pengaruh profitabilitas, likuiditas, growth potential, dan
kepemilikan manajerial terhadap kebijakan dividen (Studi Pada Perusahaan Manufaktur
Yang Terdaftar Di Berusa Efek Indonesia)” menemukan bahwa profitabilitas tidak
berpengaruh signifikan terhadap kebijakan dividen dan kepemilikan manajerial berpengaruh
signifikan positif terhadap kebijakan dividen.
7. Jorenza Chiquita Sumanti dan Marjam Mangantar (2015) berjudul “analisis kepemilikan
manajerial, kebijakan hutang dan profitabilitas terhadap kebijakan dividen dan nilai
perusahaan (Studi Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Berusa Efek Indonesia)”
Kepemilikan Manajerial berpengaruh signifikan terhadap Kebijakan Dividen, sedangkan
Kebijakan Hutang dan Profitabilitas tidak berpengaruh signifikan terhadap Kebijakan
Dividen.
8. Dithi Amanda Putri, (2012) berjudul “Pengaruh IOS, Kebijakan hutang, dan Ukuran
Perusahaan terhadap Kebijakan Dividen pada perusahaan manufaktur yang terdaftar Di
Bursa Efek Indonesia” IOS tidak berpengaruh terhadap kebijakan dividen dan kebijakan
hutang berpengaruh negatif terhadap kebijakan dividen.
9. Penelitian
Junaedi
Jauwanto
Halim
(2013),
dengan
judul
“Faktor-faktor
yang
Mempengaruhi Kebijakan Dividen (perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada
sektor industri barang konsumsi)”. Hasil penelitian dari variabel kesempatan investasi
19
memiliki pengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap kebijakan dividen, variabel
profitabilitas berpengaruh positif dan signifikan terhadap kebijakan dividen.
10. Penelitian Sari dan Sudjarni (2015) dalam penelitiannya dengan judul “Pengaruh Likuiditas,
Leverage, Pertumbuhan Perusahaan dan Profitabilitas terhadap kebijakan Dividen pada
perusahaan Manufaktur yang terdaftar di BEI”. Hasil penelitian Leverage berpengaruh
signifikan terhadap kebijakan dividen dan Profitabilitas tidak berpengaruh signifikan
terhadap kebijakan dividen.
C. Kerangka Berfikir dan Penurunan Hipotesis
1. Pengaruh Kepemilikan Manajerial Terhadap Kebijakan
Dividen
Menurut Sujono dan Soebiantoro (2007), kepemilikan manajerial adalah kepemilikan
saham oleh manajemen perusahaan yang diukur dengan presentase jumlah saham yang dimiliki
oleh manajemen. Kebijakan dividen pada perusahaan akan melibatkan pihak-pihak yang
berkepentingan dan saling bertentangan, yaitu manajer yang mengharapkan laba ditahan sebagai
dana internal perusahaan dan pemegang saham yang mengharapkan pembagian laba dalam
bentuk dividen. Berdasarkan agency theory, konflik antara prinsipal dan agen dapat dikurangi
dengan mensejajarkan kepentingan antara prinsipal dan agen.
Menurut Masdupi (2005), Faktor struktur
kepemilikan
manajerial merupakan
porsentase kepemilikan saham oleh pihak manajemen yang secara aktif ikut dalam pengambilan
keputusan perusahaan (direktur dan komisaris). Kepemilikan manajerial mempunyai hubungan
negatif dengan dividen. Semakin banyak jumlah insider dalam perusahaan akan membuat
20
manajemen melakukan pengendalian terhadap penggunaan hutang yang telah ada dengan
menahan penjualan saham baru. Kehadiran kepemilikan saham oleh manajerial (insider
ownership) dapat digunakan untuk mengurangi agency cost yang berpotensi timbul, karena
dengan memiliki saham perusahaan diharapkan manajer merasakan langsung manfaat dari setiap
keputusan yang diambilnya. Proses ini dinamakan dengan bonding mechanism, yaitu proses
untuk menyamakan kepentingan manajemen melalui program mengikat manajemen dalam
modal perusahaan.
Kepemilikan manajerial yang tinggi mempengaruhi pengalokasian laba bersih yang
diperoleh perusahaan, manajer akan melakukan tindakan yang terbaik bagi perusahaan dengan
menahan laba bersih untuk menunjang pertumbuhan perusahaan. Jadi agency problem bisa
dikurangi apabila manajer mempunyai kepemilikan saham dalam perusahaan, kepemilikan
manajeral yang semakin tinggi maka akan baik kinerja perusahaan disisi lain semakin banyak
kepemilikan manajerial mampu mengurangi dividen kas perusahaan jadi kepemilikan manajerial
tidak berpengaruh signifikan terhadap kebijakan dividen karena kualitas laba meningkat karena
kepemilikan manajerial.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ni Putu, (2014), Putri dan Nasir
(2006), Dewi (2008) dan Ullah et al (2012) yang menunjukkan hubungan antara kepemilikan
manajerial berpengaruh negatif terhadap kebijakan dividen. Hasil penelitian menunjukkan
semakin tinggi kepemilikan manajerial yang dimiliki maka semakin rendah dividen yang akan
21
dibagikan kepada para pemegang saham. Berdasarkan uraian tersebut maka dapat ditarik
hipotesis pertama sebagai berikut:
H1:Kepemilikan Manajerial Berpengaruh Negatif Terhadap Kebijakan Dividen.
2.
Pengaruh Leverage Terhadap Kebijakan Dividen
Dalam penelitian ini leverage di proksikan oleh Debt to Equity Ratio (DER). DER
digunakan untuk mengukur tingkat leverage (penggunaan hutang), terhadap total shareholders
equity yang dimiliki perusahaan. Menurut brigham dan ehrhardt (2006), semakin besar leverage
perusahaan maka cenderung untuk membayar dividennya lebih rendah dengan tujuan untuk
mengurangi ketergantungan pada pendanaan secara eksternal. Sehingga semakin besar proporsi
hutang yang digunakan untuk struktur modal suatu perusahaan, maka akan semakin besar pula
jumlah kewajibanya yang akan mempengaruhi besar kecilnya dividen yang akan dibagikan.
Menurut Jensen dan Meckling (1976) dalam Yudiana dan Yudnyana (2016), cara lain
dalam mengurangi permasalahan agensi adalah dengan meningkatkan utang. Pengurangan
konflik masalah keagenan ini terjadi karena kebijakan utang dapat membuat pemegang saham
yakin bahwa manajer membiayai kegiatan usahanya tidak dengan menggunakan kekayaan yang
dimilikinya. Sementara itu manajer dapat meningkatkan kinerja perusahaan tanpa kendala
keterbatasan pembiayaan. Dengan demikian tujuan keduanya tercapai tanpa terjadi konflik
kepentingan. Namun, jika terlalu besar nilainya, utang yang sama juga bisa membuat kondisi
keuangan perusahaan menjadi tidak sehat.
22
Agency cost yang rendah dimiliki perusahaan apabila perusahaan memiliki tingkat hutang
yang tinggi, dikarenakan apabila perusahaan memiliki tingkat hutang yang tinggi akan membuat
kontrol maupun proses pengawasan terhadap para manajer tidak hanya dilakukan oleh para
pemegang saham tetapi juga dilakukan oleh pihak kreditur. Hal ini akan mengurangi
ketergantungan para pemegang saham terhadap dividen sebagai salah satu mekanisme untuk
mengatasi masalah keagenan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sugeng (2009), kreditur
juga akan membuat perjanjian hutang (debt covenance) untuk melindungi kepentingannya.
Perjanjian tersebut berisi pembatasan terhadap kebijakan-kebijakan manajemen termasuk
didalamnya adalah pembatasan pembagian dividen kepada pemegang saham.
Berdasarkan penjelasan diatas sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Yudiana dan
Yudnyana (2016), Ni Putu (2014) Luh Fajarini (2014) yang menyatakan bahwa leverage
mempunyai pengaruh negatif terhadap kebijakan dividen. Semakin tinggi leverage, semakin
besar dana yang harus disediakan untuk melunasi utang sehingga akan mengurangi jumlah
dividen yang akan dibayarkan kepada pemegang saham. Berdasarkan uraian tersebut maka dapat
ditarik hipotesis kedua sebagai berikut:
H2: Leverage Berpengaruh Negatif Terhadap Kebijakan Dividen
3.
Pengaruh Investment Opportunity Set Terhadap Kebijakan Dividen
Menurut Kallapur dan Trombley (2001) set kesempatan investasi merupakan opsi untuk
berinvestasi dalam proyek yang memiliki net present value yang positif. Sesuai dengan teori
residual dividend policy yang menyatakan bahwa perusahaan akan membagikan dividennya
23
hanya jika sudah tidak ada lagi peluang investasi dengan NPV positif yang tersedia. Menurut
Keown dkk (2010) menyatakan bahwa ketika peluang investasi perusahaan naik, rasio
pembayaran dividen harus turun. Dengan dilakukannya investasi maka pembagian dividennya
menurun karena laba yang seharusnya dibayarkan kepada pemegan saham sebagai dividen
digunakan untuk berinvestasi dapat disimpulkan IOS berpengaruh negatif terhadap kebijakan
dividen.
Hal ini searah dengan penelitian yang dilakukan oleh Luh Fajarini (2014) serta putri
(2012), dan Desy Natalia (2013),
yang menyatakan bahwa, set kesempatan investasi
berpengaruh negatif pada kebijakan dividen. Berdasarkan uraian tersebut maka dapat ditarik
hipotesis ketiga sebagai berikut:
H3: invesment oportunity set (IOS) Berpengaruh Negatif Terhadap Kebijakan Dividen
4.
Pengaruh Profitabilitas Terhadap Kebijakan Dividen
Hipotesis sinyal yang dikemukakan oleh Miller & Rock (1985) di dalam Fajriyah (2011),
menyatakan bahwa perusahaan yang berkualitas tinggi akan membayar dividen lebih tinggi. Jika
sinyal meningkat karena adanya perbedaan informasi antara manajer dengan investor, maka
perusahaan yang memiliki perbedaan informasi besar yang biasanya merupakan perusahaan yang
memiliki pilihan pertumbuhan yang kecil akan membayarkan dividen lebih tinggi (hubungan
negatif) sebagai sinyal bahwa kondisi perusahaan baik. Pada Signaling theory perilaku
manajemen perusahaan dalam memberi petunjuk terkait dengan investor mengenai prospek
perusahaan pada masa mendatang. Teori ini menjelaskan bagaimana seharusnya perusahaan
24
memberikan sinyal berupa informasi yang telah dilakukan oleh manajemen untuk
memaksimalkan keuntungan para pemegang saham yang diproksikan melalui ROE.
Return on equity atau profitabilitas adalah suatu pengukuran dari penghasilan atau income
yang tersedia bagi pemilik perusahaan atas modal yang mereka investasikan di dalam
perusahaan. Return on equity menunjukkan sejauh mana perusahaan dapat mengelola modal
sendiri (ekuitas) secara efektif dan mengukur tingkat keuntungan dari investasi yang telah
dilakukan pemegang saham perusahaan. Semakin besar return on equity yang dimiliki suatu
perusahaan maka akan semakin besar pula dividen yang dibayarkan. Hal ini searah dengan
penelitian yang dilakukan oleh Yudiana dan Yudnyana (2016), Mafizatun (2013), dan Dime
(2016) menyatakan bahwa profitabilitas perusahaan yang diukur melalui return on equity
berpengaruh positif pada kebijakan dividen. Berdasarkan uraian tersebut maka dapat ditarik
hipotesis keempat sebagai berikut:
H4: Profitabilitas Berpengaruh Positif Terhadap Kebijakan Deviden.
D.
Model Penelitian
25
Model penelitian ini menggambarkan pengaruh kepemilikan manajerial, leverage,
investment opportunity set dan profitabilitas terhadap kebijakan dividen.
Variable Independen
Variable Dependen
KEPEMILIKAN
MANAJERIAL
H1(-)
LEVERAGE
H2(-)
H3 (-)
INVESTMENT
OPPORTUNITY SET
H4(+)
PROFITABILITAS
Gambar 1.1
Model Penelitian
26
KEBIJAKAN
DEVIDEN
Download