BAB II

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Pasar Modal
Menurut UU No.8 Tahun 1995, pasar modal adalah kegiatan yang
bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik
yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, lembaga dan profesi yang
berkaitan dengan efek. Pasar modal merupakan sarana perusahaan untuk
meningkatkan kebutuhan dana jangka panjang dengan menjual saham atau
mengeluarkan obligasi (Jogiyanto, 2007).
Pada dasarnya pasar modal (capital market) merupakan pasar untuk
berbagai instrumen keuangan jangka panjang yang biasa diperjualbelikan, baik
dalam bentuk utang ataupun modal sendiri (Darmadji, 2001). Semua yang
termasuk surat berharga dapat disebut sebagai efek. Efek dapat berupa surat
pengakuan utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti utang,
unit penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak berjangka atas efek, dan
sebagainya. Terdapat dua jenis pasar yang terdapat di pasar modal (Darmadji,
2001) :
1. Pasar Perdana (Primary Market)
Pasar Perdana adalah jenis pasar pada pasar modal dimana saham dan
sekuritas lainnya dijual pertama kali pada masyarakat (penawaran umum) sebelum
saham dan sekuritas tersebut dicatatkan di bursa. Kegiatan ini disebut penawaran
umum perdana (Initial Public Offering). Harga saham di pasar perdana ditentukan
oleh emiten dan penjamin emisi (underwriter) berdasarkan faktor-faktor
fundamental dan faktor lain yang perlu diidentifikasi. Underwriter selain
menentukan harga saham bersama emiten, juga melakukan proses penjualannya.
2. Pasar Sekunder (Secondary Market)
Pasar Sekunder adalah pasar modal dimana saham dan sekuritas lainnya
diperjual belikan kepada umum setelah masa penjualan di pasar perdana. Harga
saham di pasar ini ditentukan oleh permintaan dan penawaran yang dipengaruhi
berbagai faktor internal seperti earning per share (EPS) atau kebijakan deviden
dan faktor eksternal seperti kebijakan moneter dan inflasi.
B. Pengertian Go Public dan Alasan Perusahaan Go Public
Go public adalah kegiatan penawaran saham atau efek lainnya yang
dilakukan oleh emiten (perusahaan yang akan go public) untuk menjual saham
kepada masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur oleh UU Pasar Modal dan
Peraturan Pelaksanaannya. Terdapat dua metode utama untuk melakukan go
public yang digunakan di seluruh dunia. Pertama, melakukan penawaran perdana
(initial public offering) dengan penawaran pada harga tetap (a fixed price offer)
atau penawaran melalui sistem tender, metode yang kedua yaitu dengan prosedur
lelang (auction procedure),dimana penentuan harga saham berdasarkan
penawaran tertinggi.
Kebutuhan modal tambahan bagi perusahaan dapat dipenuhi melalui
berbagai cara, salah satu cara yaitu dengan menjual saham baru. Penjualan saham
baru bagi perusahaan dapat dilakukan melalui berbagai cara sebagai berikut
(Jogiyanto, 2007)
1.
Dijual kepada pemegang saham yang sudah ada.
2.
Dijual kepada karyawan melalui ESOP (Employee Stock Ownership Plan).
3.
Menambah saham lewat deviden yang tidak dibagi (deviden reinvestment
plan).
4.
Dijual secara langsung kepada pembeli tunggal (biasanya investor institusi
) secara privat (privat placement).
5.
Ditawarkan kepada publik.
Jika keputusannya adalah menjual kepada publik, berarti perusahaan
tersebut melakukan go public. Dengan melakukan go public, perusahaan dapat
menarik dana yang relatif besar dari masyarakat secara tunai. Bagi masyarakat,
dengan membeli saham perusahaan yang melakukan go public berarti
memperoleh kesempatan untuk ikut memiliki perusahaan tersebut, sehingga
terjadi distribusi kesejahteraan.
Untuk lebih lengkapnya, alasan perusahaan melakukan go public
dijelaskan sebagai berikut :
1.
Memungkinkan pendiri untuk diversifikasi usaha. Pemegang saham yang
sudah lama menanamkan modalnya dalam perusahaan (pendiri), dengan
menjual sahamnya kepada masyarakat akan memberi indikasi mengenai
berapa harga saham perusahaan mereka menurut penilaian masyarakat.
Hal ini dapat memberi kesempatan bagi penanam modal lama untuk
mentunaikan seluruh atau sebagian saham miliknya dengan laba kenaikan
harga saham.
2.
Mempermudah usaha pembelian perusahaan lain (ekspansi). Para
pemegang saham mempunyai kesempatan untuk mencari dana dari
lembaga-lembaga keuangan tanpa melepaskan sahamnya. Sebab, apabila
saham yang dimiliki likuid maka dapat accepble dan dapat dijadikan
sebagai agunan kredit pada lembaga-lembaga keuangan. Dana pinjaman
tersebut dapat dijadikan pembayaran untuk mengambil alih perusahaan
lain. Lalu terjadi dengan apa yang disebut share-swap, yaitu membeli
perusahaan lain tanpa mengeluarkan kontan, tetapi membayar dengan
saham yang listed di bursa.
Nilai
perusahaan
go
public
memungkinkan
masyarakat
maupun
manajemen mengetahui nilai perusahaan. Nilai perusahaan tercermin pada
kekuatan tawar menawar saham. Apabila perusahaan diperkirakan sebagai
perusahaan yang mempunyai prospek pada masa yang akan datang, nilai saham
menjadi lebih. Sebaliknya, apabila perusahaan dinilai kurang mempunyai prospek
maka harga saham menjadi rendah.
Untuk go-public, perusahaan perlu melakukan persiapan internal dan
penyiapan dokumentasi serta memenuhi persyaratan yang ditetapkan Bapepam.
Pada Gambar 2.1 dijelaskan proses yang harus dilalui oleh perusahaan untuk bisa
go-public.
Gambar 2.1
Proses Go Public
C. Penawaran Umum Perdana (Initial Public Offering)
Perusahaan yang membutuhkan dana dapat melakukan penerbitan surat
berharga seperti saham (stock), obligasi (bond), dan sekuritas lainnya. Surat
berharga yang baru dijual dapat berupa penawaran perdana ke publik (initial
public offering atau IPO) atau tambahan surat berharga baru jika perusahaan
sudah go public. Initial Public Offering (IPO) merupakan kegiatan yang dilakukan
perusahaan dalam rangka penawaran umum penjualan saham perdana (Ang,
1997). Setelah saham dijual di pasar perdana kemudian saham tersebut
didaftarkan di pasar sekunder (listing). Dengan mendaftarkan saham tersebut di
bursa, saham tersebut mulai dapat diperdagangkan di bursa efek bersama dengan
efek yang lain.
Menurut Ang (1997), dalam proses IPO calon emiten harus melewati
empat tahapan yaitu:
1) Tahap Persiapan
Kegiatan yang dilakukan pada tahapan ini adalah mempersiapkan segala
sesuatu yang dibutuhkan sebelum mengajukan pernyataan pendaftaran ke
BAPEPAM. Dalam tahapan ini, Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
merupakan langkah awal untuk mendapat persetujuan pemegang saham mengenai
rencana go public. Anggaran dasar perseroan juga harus diubah sesuai dengan
anggaran dasar perusahaan publik. Kegiatan lain dalam tahapan ini antara lain:
penunjukan penjamin pelaksana emisi (lead underwriter) serta lembaga dan
profesi pasar modal yang dibutuhkan seperti akuntan publik, konsultan hukum,
penilai, notaris dan lainnya. Kegiatan terakhir dalam tahap ini adalah perusahaan
mengadakan perjanjian pendahuluan dengan bursa efek untuk mencatatkan saham
perseroan guna diperdagangkan di pasar sekunder dan perjanjian pendahuluan
dengan underwriter.
2) Tahap Pemasaran
Langkah penting yang dilakukan pada tahapan ini antara lain:
a). Due Dilligence Meeting yaitu pertemuan dengar pendapat antara calon
emiten dan underwriter dimana dilakukan pertukaran informasi yang
dimiliki kedua belah pihak sehingga emiten mampu menjawab pertanyaan
yang nantinya diajukan oleh investor.
b). Public Expose merupakan tindakan pemasaran kepada masyarakat
pemodal dengan mengadakan pertemuan untuk mempresentasikan dan
menyebarkan informasi penawaran saham kepada investor. Rangkaian
public expose yang dilakukan secara berkesinambungan dari satu lokasi ke
lokasi lainnya disebut dengan istilah roadshow, dimana calon emiten dapat
menyebarkan info memo dan prospektus awal.
c). Book Building merupakan proses pengumpulan jumlah saham yang
diminati investor atau investor yang sudah menyatakan kesediaan untuk
membeli sejumlah saham pada harga tertentu.
d). penentuan harga perdana yang dilakukan antara lead underwriter dan
calon emiten.
3) Tahap Penawaran Umum
Pada tahap ini, calon emiten menerbitkan prospektus ringkas di dua media
cetak yang berbahasa Indonesia, dilanjutkan dengan penyebaran prospektus
perusahaan lengkap final, penyebaran FPPS (Formulir Pemesanan Pembeli
Saham), menerima pembayaran, melakukan penjatahan, refund dan akhirnya
penyerahan Surat Kolektif Saham (SKS) bagi pihak yang memperoleh penjatahan
saham.
4) Tahap Perdagangan di Pasar Sekunder
Tahap ini meliputi tahapan melakukan pendaftaran ke bursa efek untuk
mencatatkan sahamnya sesuai dengan kelanjutan perjanjian pendahuluan
pencatatan
yang
telah
disetujui.
diperdagangkan di lantai bursa.
D. Harga Saham
Setelah
tercatat
maka
saham
dapat
Harga saham merupakan penerimaan besarnya pengorbanan yang harus
dilakukan oleh setiap investor untuk penyertaan dalam perusahaan. Harga ini di
pasar sekunder akan bergerak sesuai dengan kekuatan permintaan dan penawaran
yang terjadi atas saham. Tinggi rendahnya harga saham lebih banyak dipengaruhi
oleh pertimbangan pembeli dan penjual tentang kondisi internal dan eksternal
perusahaan (Payamta, 2000).
Menurut Hanafi dan Husnan (1991) harga suatu saham merupakan nilai
sekarang dari arus kas yang akan diterima oleh pemilik saham dikemudian hari.
Untuk menaksir harga saham yang wajar dapat dilakukan dengan tepat apabila
arus kas yang akan diterima tersebut dapat diestimasikan secara tepat pula.
Namun adanya unsur ketidakpastian pada masa yang akan datang menyebabkan
tidak ada cara yang paling tepat untuk memberikan hasil estimasi yang paling
tepat. Sekarang telah dikembangkan beberapa pendekatan dalam penilaian dan
penentuan harga saham, untuk keperluan analisis saham yang pada dasarnya untuk
membantu judgement analysis.
Para peneliti melihat penawaran saham perdana di pasar modal (IPO)
sebagai suatu masalah yang menarik, dikarenakan adanya fenomena underpricing.
Husnan dan Hanafi (1991) melakukan pengamatan perilaku harga saham di pasar
perdana, bahwa telah terjadi fenomena underpricing selama tahun 1990.
Investor dan analisis sekuritas yang memiliki informasi mengenai kondisi
perusahaan menghubungkan harga aktual sekuritas dengan nilai intrinsik. Jika
harga saham overvalued, maka pada saat perdagangan di bursa, investor akan
menjual saham yang dimilikinya atau menghindari pembelian saham tersbut,
sebaliknya jika harga saham dinilai undervalued, maka pada saat perdagangan di
bursa, investor akan terdorong untuk melakukan pembelian atau menahan bila
saham tersebut telah dimiliki. Adanya koreksi pasar mengakibatkan harga saham
yang overvalued cenderung turun dan harga saham yang undervalued akan
cenderung naik saat diperdagangkan di pasar sekunder. Keduanya akan bergerak
mendekati nilai seharusnya dari suatu saham atau biasa disebut nilai intrinsik
E. Underpricing
Ketika perusahaan pertama kali melakukan penawaran sahamnya ke pasar
modal, masalah yang dihadapi adalah penentuan harga di pasar perdana tersebut.
Di satu pihak pemegang saham lama tidak ingin menawarkan saham baru dengan
harga yang terlalu murah kepada investor baru, tetapi disisi lain investor
menginginkan untuk memperoleh capital gains dari pembelian saham di pasar
perdana tersebut. Perbedaan kepentingan tersebut, dimana emiten menginginkan
dana yang lebih besar dan investor menginginkan return, mengakibatkan
terjadinya underpricing, yakni adanya selisih positif antara harga saham dipasar
sekunder dengan harga perdana, yang disebut initial return bagi investor. Bagi
emiten, underpricing ini tentunya merugikan karena perusahaan tidak dapat
memperoleh dana secara maksimal.
Underpricing terjadi karena perusahaan dinilai lebih rendah dari nilai yang
sesungguhnya oleh underwriter dalam rangka untuk mengurangi tingkat resiko
yang harus di hadapi karena fungsi penjaminannya. Emiten dilain pihak tidak
mengetahui keadaan pasar modal yang sesungguhnya. Dalam hal ini underwriter
sebagai pihak yang lebih sering berhubungan dengan pasar modal mempunyai
informasi yang lebih banyak mengenai pasar modal bila dibandingkan dengan
calon emiten.
Adanya asimetri informasi inilah maka harga saham pada penawaran
perdana lebih rendah dari pada harga saham di pasar sekunder. Jadi underwriter
menggunakan ketidaktahuan emiten mengenai pasar modal untuk mengurangi
resiko yang harus ditanggug apabila saham yang dia jamin dipasar perdana tidak
laku, maka underwriter harus membeli sisa saham tersebut sebesar harga
penawaran dikalikan dengan sisa saham yang tidak laku terjual.
Penentuan harga dalam IPO merupakan bagian yang sulit, sekaligus
penting karena tidak ada harga sebelumnya di pasar dan sejarah mengenai operasi
perusahaan sangat sedikit atau hampir tidak ada. Jika harga ditemukan terlalu
rendah, perusahaan penerbit tidak dapat memperoleh dana maksimal dari potensi
yang ada untuk menaikkan modalnya. Sementara itu jika harga terlalu tinggi,
investor akan memperoleh return yang sangat kecil sehingga berakibat pada
penolakan investor untuk membeli saham tersebut, dengan demikian tanpa harga
(pricing) yang akurat pasar dapat menguntungkan salah satu pihak dan merugikan
pihak lainnya. Hal ini tidak sesuai dengan tujuan pengaktifan kembali pasar modal
yaitu pemerataan pendapatan masyarakat (investor) melalui kepemilikan saham
perusahaan, akan tetapi harga yang sebenarnya ini baru bisa diketahui setelah
saham dijual di pasar sekunder, karena harga ditentukan oleh kekuatan penawaran
dan permintaan (supply and demand) dari investor.
Fenomena lain yang menarik untuk dicermati dalam konteks IPO dan
underpricing adalah besar kecilnya tingkat underpricing ternyata tidak sama
antara negara yang satu dengan negara yang lain. Ada perbedaan dalam tingkat
underpricing antar pasar modal yang ada di dunia.
Secara sederhana, perbedaan yang mencolok terhadap tinggi rendahnya
tingkat underpricing di antara dua kelompok negara tersebut merupakan cerminan
dari tingkat resiko dan ketidakpastian yang ada serta sampai sejauh mana
keterbukaan informasi mampu diakses oleh calon investor.
F. Teori-Teori Dalam Underpricing
Teori-teori yang menjelaskan tentang harga saham IPO yang mengalami
underpricing dapat dikelompokkan sebagai berikut :
1. Teori Life Cycle
Penelitian yang dilakukan oleh Lerner (1994) dalam Hakiman (2005)
menemukan bahwa Market-to-Book-Ratios (MTBR) adalah faktor penting bagi
perusahaan dalam mengambil keputusan untuk melakukan go-public karena go
public banyak dilakukan oleh perusahaan dengan MTBR tinggi untuk mengurangi
biaya kredit.
Disamping itu juga ditemukan bahwa aktifitas IPO akan diikuti dengan
tingginya investasi dan pertumbuhan, bukan sebaliknya. Menurut Welch dan
Ritter (2002), sebab perusahaan melakukan IPO adalah karena adanya keinginan
untuk menaikkan modal, menciptakan pasar public agar suatu ketika pemegang
saham dapat mengkonversikan sahamnya ke dalam bentuk tunai serta
meningkatkan publikasi.
2. Signalling Theory
Menurut Rahmawati (2007), penggunaan sinyal positif secara efektif dapat
mengurangi tingkat ketidakpastian yang dihadapi investor, sehingga investor
dapat membedakan kualitas perusahaan yang baik dan buruk. Morris (1987)
dalam Rahmawati (2007) menggambarkan teori Signaling sebagai berikut; penjual
(underwriter dan emiten) di pasar mempunyai informasi yang lebih baik
dibanding pembeli (investor). Pembeli yang tidak mempunyai informasi mengenai
produk penjual akan menilai produk tersebut sesuai persepsi mereka. Akibatnya
penjual dengan kualitas tinggi akan mengalami kerugian karena harga jualnya
rendah. Seandainya pembeli mengetahui kualitas dari produk tersebut maka harga
jualnya dapat lebih tinggi dan penjual akan tidak mengalami kerugian. Allen dan
Faulhaber (1989) mengasumsikan bahwa perusahaan memiliki informasi
mengenai kualitas dan prospek perusahaannya yang tidak diketahui oleh investor
luar. Perusahaan dengan tingkat ekspektasi keuntungan yang baik akan berusaha
menunjukan kualitas perusahaannya yang lebih baik dengan melakukan
underpricing dan memberikan informasi mengenai besarnya jumlah saham yang
ditahan oleh perusahaan. Harga penawaran yang underprice dianggap oleh
eksternal investor sebagai sinyal yang dapat dipercaya mengenai kualitas
perusahaan dikarenakan tidak semua perusahaan sanggup untuk menanggung
biaya underpricing. Implikasi empiris dari model penelitian Allen dan Faulhaber
(1989) adalah perusahaan yang menggunakan underpricing sebagai sinyal untuk
menunjukan kualitas perusahaan hanya akan menjual sebagian kecil sahamnya
pada saat penawaran perdana. Hal ini dilakukan untuk menghindari biaya
underpricing yang terlalu tinggi.
G. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Underpricing
Harga saham yang pertama kali diperdagangkan di pasar sekunder bagi
perusahaan yang melakukan Initial Public Offering (IPO) biasanya mengalami
underpricing. Dari penelitian terdahulu setidaknya ada beberapa faktor-faktor
keuangan dan non keuangan yang mempengaruhi terjadinya underpricing saham
dan digunakan dalam penelitian ini, yaitu:
1. Financial Leverage (DER)
Financial
Leverage
menunjukkan
kemampuan
perusahaan
dalam
membayar hutangnya dengan equity yang dimilikinya. Rasio ini menunjukkan
sejauh mana perusahaan dibiayai oleh pihak luar. Rasio ini juga menunjukkan
proporsi atas penggunaan utang untuk membiayai investasi. Financial leverage
diukur dengan persentase dari total hutang terhadap ekuitas perusahaan pada saat
perusahaan melakukan penawaran perdana. Apabila financial leverage tinggi
menunjukkan resiko perusahaan tinggi pula (Daljono, 2000). Rasio hutang
terhadap ekuitas dapat diartikan juga suatu upaya untuk memperlihatkan proporsi
relatif dari klaim pemberi pinjaman terhadap hak kepemilikan dan digunakan
sebagai ukuran peranan hutang.
Rumusnya adalah :
DER
Liability
= ————————— × 100%
Equitas
2. Return On Assets (ROA)
Rasio ini menggambarkan kemampuan perusahaan mendapatkan laba
dengan asset yang dimilikinya. ROA merupakan salah satu rasio keuangan yang
dapat dipergunakan oleh pemegang saham dalam mengukur profitabilitas
perusahaan secara keseluruhan. ROA digunakan untuk mengukur efektifitas
perusahaan dalam menghasilkan keuntungan dengan cara memanfaatkan aktiva
yang dimilikinya. ROA yang negatif disebabkan laba perusahaan dalam kondisi
negatif (rugi) pula. Hal ini menunjukkan kemampuan dari modal yang
diinvestasikan secara keseluruhan aktiva belum mampu menghasilkan laba. ROA
merupakan perbandingan antara laba setelah pajak dengan total aset perusahaan
Rasio ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
ROA
Profit After Tax
= ————————— × 100%
Total Asset
Dimana : ROA
= Return On Asset
Profit After Tax
= Laba Setelah Pajak
Total Asset
= Total Aset
3. Umur Perusahaan (AGE)
Umur Perusahaan menunjukkan sudah berapa lama perusahaan didirikan
dan beroperasi, dan berapa banyak informasi yang bisa diperoleh calon investor.
Semakin lama umur perusahaan, semakin banyak informasi yang bisa diperoleh
masyarakat mengenai perusahaan tersebut. Umur Perusahaan dapat dihitung
dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Umur Perusahaan = Tahun IPO – Tahun berdiri perusahaan
4. Ukuran Perusahaan (SIZE)
Ukuran besar kecilnya suatu perusahaan dapat ditentukan oleh beberapa
hal, antara lain dengan total asset, total penjualan, rata-rata tingkat penjualan dan
rata-rata total asset. Sehubungan dengan total asset, apabila perusahaan memiliki
total asset yang besar maka hal tersebut menunjukkan bahwa perusahaan tersebut
mencapai tahap kedewasaan. Kecilnya dana untuk investasi menyebabkan deviden
kepada pemegang saham besar dan berkaitan dengan prospek perusahaan.
Investor tentunya akan lebih tertarik untuk menawarkan modalnya pada
perusahaan yang mempunyai prospek baik dalam jangka waktu yang relatif lama.
Pada umumnya perusahaan yang berskala besar lebih dikenal masyarakat
calon investor dibandingkan perusahaan – perusahaan berskala kecil. Ukuran
perusahaan diukur dengan menghitung logaritma natural total aktiva tahun
terakhir sebelum perusahaan tersebut listing (Ardiansyah, 2004) atau total aktiva
emiten setahun sebelum IPO (Yolana dan Martani, 2005).
H. Kerangka Pemikiran dan Model Konseptual
1. Kerangka Pemikiran
a. Pengaruh Financial Leverage Terhadap Underpricing
Financial
leverage
menunjukkan
kemampuan
perusahaan
dalam
membayar hutangnya dengan equity yang dimilikinya (Tambunan, 2007).
Menurut Kim et al. (1993), secara teoritis, financial leverage menunjukkan risiko
suatu perusahaan dan kondisi ketidakpastian. Apabila financial leverage tinggi,
berarti
risiko
suatu
perusahaan
tinggi
sehingga
para
investor
akan
mempertimbangkan hal ini dalam melakukan keputusan investasi (Trisnawati,
1998). Semakin besar financial leverage suatu perusahaan, akan menimbulkan
ketidakpastian harga saham perdana yang besar pula, yang pada akhirnya akan
mempengaruhi underpricing. Financial Leverage juga menunjukkan seberapa
besar suatu perusahaan dapat tetap berdiri dengan bergantung dari hutanghutangnya atau seberapa besar perusahaan tersebut dibiayai oleh hutanghutangnya. Hal ini juga bisa menjadi bahan pertimbangan para investor, semakin
besar hutang suatu perusahaan maka semakin menunjukkan ketidakpastian masa
depan perusahaan tersebut, tetapi banyak juga perusahaan yang justru bisa
mengolah hutang-hutangnya dengan baik sehingga perusahaan tersebut tetap
dapat berdiri tanpa ada masalah dengan hutang-hutangnya.
b.Pengaruh Return On Assets (ROA) Terhadap Underpricing
ROA merupakan informasi tingkat keuntungan yang dicapai perusahaan.
Informasi ini akan memberikan informasi kepada pihak luar mengenai efektivitas
operasional perusahaan. Probabilitas perusahaan yang tinggi akan mengurangi
ketidakpastian IPO sehingga mengurangi tingkat underpricing.
Menurut penelitian terdahulu, antara lain Mansur (2002), Aini (2009),
Yasa (2008), dan Suyatmin&Sujadi (2006) mengatakan bahwa ROA berpengaruh
negative terhadap tingkat underpricing.
ROA berpengaruh negatif terhadap underpricing karena ROA (Return On
Assets) merupakan salah satu ukuran profitabilitas perusahaan, maka semakin
tinggi ROA perusahaan akan semakin rendah tingkat underpricing karena investor
akan menilai kinerja perusahaan lebih baik dan bersedia membeli saham
perdananya dengan harga yang lebih tinggi.
Calon
perusahaan
investor
sebelum
ketidakpastiaannya
akan
mempertimbangkan
menentukan
semakin
rendah
keputusan
investasinya
yang juga
underpricing perusahaan tersebut (Yasa, 2008).
prosentase
akan
profitabilitas
sehingga
nilai
menurunkan
nilai
c. Pengaruh Umur Perusahaan Terhadap Underpricing
Umur perusahaan dapat menjadi bukti bahwa perusahaan mampu bersaing
dan dapat mengambil kesempatan bisnis yang ada dalam perekonomian.
Perusahaan yang sudah lama berdiri, kemungkinan sudah mempunyai banyak
pengalaman yang diperoleh. Dengan demikian akan mengurangi adanya asimetri
informasi dan memperkecil ketidakpastian di masa yang akan datang (Rosyati dan
Sebeni, 2002). Menurut Rosyati dan Arifin Sebeni (2002) bahwa reputasi
penjamin emisi dan umur perusahaan mempengaruhi underpricing. Semakin lama
umur perusahaan, maka semakin banyak informasi yang telah diperoleh
masyarakat tentang perusahaan tersebut. Sehingga umur perusahaan diduga
mempengaruhi underpricing. Umur perusahaan mencerminkan perusahaan tetap
survive dan menjadi bukti bahwa perusahaan mampu bersaing dan dapat
mengambil kesempatan bisnis yang ada dalam perekonomian (Ardiansyah, 2004).
Menurut Daljono (2000), umur perusahaan menunjukkan seberapa lama
perusahaan mampu bertahan.
d.Pengaruh Ukuran Perusahaan Terhadap Underpricing
Ukuran perusahaan dapat dijadikan proksi ketidakpastian. Perusahaan
yang berskala besar umumnya lebih dikenal oleh masyarakat daripada perusahaan
dengan skala kecil sehingga informasi yang investor dapatkan pada perusahaan
yang berskala besar semakin tinggi pula dan tingkat ketidakpastian dimasa yang
akan datang semakin rendah (Suyatmin dan Sujadi, 2006).
Karena tingkat ketidakpastian yang rendah maka berpengaruh tingkat
risiko perusahaan berskala besar dalam jangka panjang akan kecil juga. Oleh
karena itu investor dapat mengambil keputusan dari ukuran perusahaan karena
memiliki informasi yang tinggi sehingga tingkat underpricing menjadi kecil.
2. Model Konseptual
Skematis kerangka berpikir dalam penelitian ini dapat digambarkan
sebagai berikut :
Gambar 2.2
Kerangka Pemikiran Teoritis
Financial
Leverage
(DER)
X1
Return On
Assets (ROA)
X2
Umur
Perusahaan
(AGE)
X3
Ukuran
Perusahaan
(SIZE)
X4
Underpricing
(Y)
Sumber : Rancangan penelitian berdasarkan variabel terkait, 2013
I.
Penelitian Terdahulu
Berikut adalah beberapa ringkasan penelitian-penelitian yang telah
dilakukan yang berhubungan dengan tingkat underpricing :
1. Menurut Daljono (2000) dengan judul : Analisis Faktor-faktor yang
mempengaruhi Initial Return Saham yang Listing Di BEJ Tahun 1990-1997.
Penelitian ini menggunakan metode analisis regresi berganda dan hasil
penelitian menunjukkan bahwa :
a. Adanya hubungan antara reputasi underwriter dengan initial return.
b. Financial leverage mempunyai hubungan positif secara signifikan dengan
initial return.
c. Tidak ada hubungan antara ROA dengan initial return.
2. Menurut Rosyati dan Arifin Sebeni (2002) dengan judul : Analisis Faktorfaktor
yang Mempengaruhi Underpricing Saham pada Perusahaan Go Public di Bursa
Efek Jakarta (Tahun 1997-2000). Penelitian ini menggunakan metode analisis
regresi berganda dan hasil penelitian menunjukkan bahwa :
a. Terdapat pengaruh yang negatif antara variabel underwriter terhadap tingkat
underpricing.
b. Terdapat pengaruh signifikan antara variabel umur perusahaan terhadap
tingkat underwriter.
3. Menurut Imam Ghozali dan Mudrik Al Mansur (2002) dengan judul :
Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Underpriced di Bursa
Efek Jakarta. Penelitian ini menggunakan metode analisis regresi linier
berganda dan hasil penelitian menunjukkan bahwa :
a. Variabel Return On Assets (ROA) berpengaruh secara signifikan negatif
terhadap underpricing pada tingkat signifikansi 5%.
b. Variabel reputasi underwriter serta variabel financial leverage berpengaruh
signifikan negatif terhadap underpricing pada tingkat signifikansi 10%.
4. Menurut Chastina Yolana dan Dwi Martani (2005) dengan judul : Variabelvariabel yang Mempengaruhi Fenomena Underpricing Pada Penawaran Saham
Perdana Di BEJ Tahun 1994-2001. Penelitian ini menggunakan metode analisis
regresi berganda dan hasil penelitian menunjukkan bahwa :
a. Terdapat pengaruh secara simultan antara variabel bebas yaitu reputasi
penjamin emisi, rata-rata kurs, skala perusahaan, ROE, dan jenis industri
terbukti terhadap variabel terikat underpricing.
b. Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel reputasi penjamin
emisi dengan underpricing.
5. Menurut Helen Sulistio (2005) dengan judul : Pengaruh Informasi Akuntansi
dan
Non Akuntansi Terhadap Initial Return : Studi Pada Perusahaan yang
Melakukan Initial Public Offering di Bursa Efek Jakarta. Penelitian ini
menggunakan metode analisis regresi berganda dan hasil penelitian
menunjukkan bahwa :
a. Terdapat pengaruh yang negatif signifikan antara tingkat leverage terhadap
initial return.
b. Tidak terdapat pengaruh antara reputasi auditor dan reputasi underwriter
terhadap initial return.
6. Menurut Sri Retno Handayani (2008) dengan judul : Analisis Faktor-faktor
yang
mempengaruhi Underpricing pada Penawaran Umum Perdana (Studi Kasus
pada perusahaan Keuangan yang Go Public di bursa Efek Jakarta tahun 20002006). Penelitian ini menggunakan teknik analisis Regresi Linier Berganda dan
hasil penelitian menunjukkan bahwa :
a) Variabel Earning per share (EPS) berpengaruh negatif terhadap
underpricing.
b) Sedangkan variabel Debt to Equity Ratio Return On Assets, Umur
perusahaan, Ukuran perusahaan dan prosentase penawaran saham
tidak berpengaruh terhadap tingkat underpricing.
7. Menurut I Dewi Ayu Kristiantari (2012) dengan judul : Analisis faktor-faktor
yang mempengaruhi underpricing saham pada penawaran saham perdana di
Bursa Efek Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan hasil bahwa :
a) Reputasi underwriter, ukuran perusahaan, tujuan penggunaan dana
hasil
IPO
untuk
investasi
berpengaruh
negatif
terhadap
underpricing.
b) Sedangkan reputasi auditor, umur perusahaan, ROA, DER, dan
jenis
industri tidak mempunyai pengaruh signifikan pada tingkat
underpricing.
Download