BELL`S PALSY Impuls motoric yang dihantarkan oleh nervus fasialis

advertisement
BELL’S PALSY
Impuls motoric yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat
gangguan di lintasan supranuklear, nuclear, dan infranuklear. Lesi supranuklear
bisa terletak di daerah wajah korteks motoric primer atau jaras kortikobulbar
ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan daerah somatotopik wajah
di korteks motoric primer.
Bell’s palsy didefinisikan sebagai kelumpuhan fasialis perifer akibat
proses non-supuratif, non-neoplasmatik, non-degeneratif primer namun sangat
mungkin akibat edema jinak bagian nervus fasialis di foramen stilomastoideus
atau sedikit proksimal dari foramen tersebut, yang mulainya akut dan dapat
sembuh sendiri tanpa pengobatan. Dalam definisi tersebut, penekanan diadakan
pada kejinakan penyakit dan proses edema bagian nervus fasialis di sekitar
foramen stilomastoideus. Mungkin sekali edema tersebbut merupakan gejala
reaksi terhadap proses yang disebut ‘masuk angin’ (catch cold), oleh karena itu
pada kebanyakan penderita dapat diperoleh data bahwa paresis fasialis timbul
setelah duduk di mobil dengan jendela terbuka, tidur dilantai, atau setelah
begadang. ‘Bell’s palsy’ hamper selalu unilateral, namun dapat juga dijumpai
bilateral dengan 1 minggu selisih waktu dalam multitimbulnya.
Pada kebanyakan penderita, yang pertama kali mengetahui paresis
fasialisnya ialah orang-orang disekitarnya. Kelumpuhan otot terjadi pada sisi
dimana beberapa hari sebelumnya daerah leher sekitar mastoideus berasa
pegal/linu/capek.
Kelumpuhan fasialis melibatkan semua otot wajah seisi, dan dengan testes yang tersebut dibawah ini mudah dibuktikan. Bila dahi dikerutkan, lipatan
kulit dahi hanya tampak pada sisi sehat saja. Bila orang sakit disuruh
memejamkan kedua matanya , maka pada sisi yang tidak sehat, kelopak matanya
tidak dapat menutupi bola mata dan berputarnya bola mata ke atas dapat
disaksikan. Fenomena itu dikenal dengan tanda Bell. Pada observasi sudah dapat
disaksikan juga bahwa gerakan kelopak mata yang tidak sehat lebih lambat jika
disbanding dengan gerakan kelopak mata yang sehat. Fenomena itu dikenal
dengan lagoftalmos. Lipatan nasobial pada sisi kelumpuhan mendatar. Dalam
menggembungkan pipi terlihat bahwa pada sisi yang lumpuh tidak menggembung.
Dalam menjungurkan bibir, gerakan bibir tersebut menyimpang ke sisi yang tidak
sehat. Bila orang sakit disuruh untuk memperlihatkan gigi-geliginya atau disuruh
meringis, sudut mulut sisi yang lumpuh tidak terangkat, sehingga mulut
tampaknya mencong kearah yang sehat. Selain kelumpuhan seluruh otot wajah
seisi tidak didapati gangguan lain yang mengiringnya, bila paresisnya benar-benar
bersifat ‘Bell’s Palsy’. Tetapi 2 hal harus disebut sehubung dengan ini. Pertama,
air mata yang keluar secara berlebihan disisi kelumpuhan dan pengecapan pada
dua per tiga lidah sisi kelumpuhan kurang tajam. Gejala tersebut timbul karena
konjungtiva bulbi tidak penuh ditutupi kelopak mata yang lumpuh, sehingga
mudah mendapat iritasi angina, debu, dsb. Soal berkurangnya ketajaman
pengecapan, mungkin sekali edema nervus fasialis ditingkat foramen
stilomastoideus meluas sampai bagian nervus fasialis, dimana korda timpani
menggabung diri padanya.
‘Bell’s Palsy’ diobati sebagai kasus neuritis. Dalam tahap akut
corticosteroid dapat digunakan. Vitamin B1, B6, dan B12 dalam dosis tinggi dan
vasodilatan per os dengan ACTH i.m. 40-60 satuan/hari selama 2 minggu dapat
mempercepat penyembuhan. Dalam 5 hari sampai 2 bulan 95% kasus-kasus
‘Bell’s Palsy’ dapat disembuhkan. Setelah 1 minggu, otot-otot yang lumpuh boleh
dirangsang secara galvanic. Mengenai stimulasi listrik ini, banyak autoritas yang
meragukan manfaatnya, bahkan berpendapat bahwa kontraktur sebagai gejala sisa
dapat diakkibatkan oleh galvanisasi.
Daftar pustaka :
Sidharta, Priguna. 2009. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta : Dian Rakyat
Sidharta, Priguna. 2009. Neurologi Klinis Dasar dalam Praktek Umum.. Jakarta :
Dian Rakyat
Price, Sylvia Anderson. 2012. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Jakarta : EGC
BELL’S PALSY
Definisi
Bell's Palsy (BP) ialah suatu kelumpuhan akut n. fasialis perifer yang tidak
diketahui sebabnya. Sir Charles Bell (1821) adalah orang yang pertama meneliti
beberapa penderita dengan wajah asimetrik, sejak itu semua kelumpuhan n.
fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya disebut Bell's palsy. Pengamatan
klinik, pemeriksaan neurologik, laboratorium dan patologi anatomi menunjukkan
bahwa BP bukan penyakit tersendiri tetapi berhubungan erat dengan banyak faktor
dan sering me-rupakan gejala penyakit lain. Penyakit ini lebih sering ditemukan
pada usia dewasa, jarang pada anak di bawah umur 2 tahun. Biasanya didahului
oleh infeksi saluran napas bagian atas yang erat hubungannya dengan cuaca
dingin.
Epidemiologi
Bell’s palsy menempati urutan ketiga pe nyebab terbanyak dari paralysis
fasial akut. Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986
dan insiden terendah ditemikan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat,
insiden Bell’s palsy setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63%
mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bell’s palsy rata-rata 15-30 kasus per 100.000
populasi. Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih tinggi, dibanding nondiabetes. Bell’s palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang
sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena
daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama. Penyakit ini dapat mengenai
semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan
trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bell’s
palsy lebih tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat.
Etiologi
Kausa kelumpuhan n. fasialis perifer sampai sekarang belum diketahui
secara pasti. Umumnya dapat dikelompokkan sbb.
I) Kongenital
1.anomali kongenital (sindroma Moebius)
2.trauma lahir (fraktur tengkorak, perdarahan intrakranial .dll.
II) Didapat
-
Trauma
Penyakit tulang tengkorak (osteomielitis)
Proses intrakranial (tumor, radang, perdarahan)
Proses di leher yang menekan daerah prosesus stilomastoideus)
Infeksi tempat lain (otitis media, herpes zoster)
Sindroma paralisis n. fasialis familial
• Neurotmesis
– Terjadi karena axon, schwann cell dan myelin sheat terputus dan terjadi
degenerasi
– Saraf banyak mengandung serabut yang jika rusak dapat mengakibatkan
tipe lesi yang bermacam-macam sehingga sulit mendiagnosis.
• Tekanan yang singkat pada saraf mengakibatkan hilangnya konduksi yang dapat
membuat ischemic dan secara cepat reversible
– Contoh : Duduk dengan kaki menyilang dapat mengakibatkan hilangnya
konduksi sementara di ibu jari (n. peroneal)
• Kompressi injury yang lebih lama mengakibatkan mechanical displacement
nodus of ranvier
• Jika proses penekanan hilang sebelum terjadi perubahan strktur maka akan pulih
dalam beberapa minggu.
Faktor-faktor yang diduga berperan menyebabkan BP antara lain :
-
sesudah bepergian jauh dengan kendaraan,
tidur di tempat terbuka,
tidur di lantai,
hipertensi,
stres,
hiperkolesterolemi,
diabetes mellitus,
penyakit vaskuler,
gangguan imunologik dan faktor genetic
Anatomi
Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :
1. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah kecuali m.
levator palpebrae (n.II), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian
posterior dan stapedius di telinga tengah.
2. Serabut visero-motorik, (parasimpatis) yang datang dari nukleus
salivatorius superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa
faring, palatum, rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula
submaksilaris serta sublingual dan lakrimalis.
3. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di
dua pertiga bagian depan lidah.
4. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri dan mungkin juga rasa suhu dan
rasa raba dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh
nervus trigeminus.
Nervus VII terutama terdiri dari saraf motorik yang mempersarafi seluruh
otot mimik wajah. Komponen sensorisnya kecil, yaitu nervus intermedius
Wrisberg yang mengantarkan rasa kecap dari dua pertiga bagian lidah dan sensasi
kulit dari dinding anterior kanalis auditorius eksterna.
Serabut-serabut kecap pertama-tama melintasi nervus lingual, yaitu cabang
dari nervus mandibularis lalu masuk ke korda timpani dimana ia membawa
sensasi kecap melalui nervus fasialis ke nukleus traktus solitarius.
Serabut-serabut sekretomotor menginnervasi kelenjar lakrimal melalui
nervus petrosus superfisial major dan kelenjar sublingual serta kelenjar
submaksilar melalui korda tympani.
Nukleus (inti) motorik nervus VII terletak di ventrolateral nukleus
abdusens, dan serabut nervus fasialis dalam pons sebagian melingkari dan
melewati bagian ventrolateral nukleus abdusens sebelum keluar dari pons di
bagian lateral traktus kortikospinal. Karena posisinya yang berdekatan
(jukstaposisi) pada lantai ventrikel IV, maka nervus VI dan VII dapat terkena
bersama-sama oleh lesi vaskuler atau lesi infiltratif.
Nervus fasialis masuk ke meatus akustikus internus bersama dengan
nervus akustikus lalu membelok tajam ke depan dan ke bawah di dekat batas
anterior vestibulum telinga dalam. Pada sudut ini (genu) terletak ganglion sensoris
yang disebut genikulatum karena sangat dekat dengan genu. Nervus fasialis terus
berjalan melalui kanalis fasialis tepat di bawah ganglion genikulatum untuk
memberikan percabangan ke ganglion pterygopalatina, yaitu nervus petrosus
superfisial major, dan di sebelah yang lebih distal memberi persarafan ke m.
stapedius yang dihubungkan oleh korda timpani. Lalu n. fasialis keluar dari
kranium melalui foramen stylomastoideus kemudian melintasi kelenjar parotis
dan terbagi menjadi lima cabang yang melayani otot-otot wajah, m.
stilomastoideus, platisma dan m. digastrikus venter posterior.
Lokasi cedera nervus fasialis pada Bell’s palsy adalah di bagian perifer
nukleus nervus VII. Cedera tersebut terjadi di dekat ganglion genikulatum. Jika
lesinya berlokasi di bagian proksimal ganglion genikulatum, maka paralisis
motorik akan disertai gangguan fungsi pengecapan dan gangguan fungsi otonom.
Lesi yang terletak antara ganglion genikulatum dan pangkal korda timpani akan
mengakibatkan hal serupa tetapi tidak mengakibatkan gangguan lakrimasi. Jika
lesinya berlokasi di foramen stilomastoideus maka yang terjadi hanya paralisis
fasial (wajah).
Patofisiologi
Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi proses inflamasi
akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen
stilomastoideus. Bell’s palsy hampir selalu terjadi secara unilateral. Namun
demikian dalam jarak waktu satu minggu atau lebih dapat terjadi paralysis
bilateral. Penyakit ini dapat berulang atau kambuh.
Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan
terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan
diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat
melalui tulang temporal. Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal
melalui kanalis fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit
pada pintu keluar sebagai foramen mental.
Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya inflamasi,
demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls
motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan
supranuklear, nuklear dan infranuklear. Lesi supranuklear bisa terletak di daerah
wajah korteks motorik primer atau di jaras kortikobulbar ataupun di lintasan
asosiasi yang berhubungan dengan daerah somatotropik wajah di korteks motorik
primer.
Karena adanya suatu proses yang dikenal awam sebagai “masuk angin”
atau dalam bahasa inggris “cold”. Paparan udara dingin seperti angin kencang,
AC, atau mengemudi dengan kaca jendela yang terbuka diduga sebagai salah satu
penyebab terjadinya Bell’s palsy. Karena itu nervus fasialis bisa sembab, ia
terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan fasialis
LMN. Pada lesi LMN bias terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di os
petrosum atau kavum timpani, di foramen stilomastoideus dan pada cabangcabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus
abdusens dan fasikulus longitudinalis medialis.
Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan
muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis
nervus fasialis LMN akan timbul bergandengan dengan tuli perseptif ipsilateral
dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan
beberapa penelitian bahwa penyebab utama Bell’s palsy adalah reaktivasi virus
herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf kranialis.
Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel satelit.
Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa
ikut terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Kelumpuhan pada
Bell’s palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari otot wajah seluruhnya
lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat ditutup dan pada
usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Sudut
mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucurkan dan platisma tidak bisa
digerakkan. Karena lagoftalmos, maka air mata tidak bisa disalurkan secara wajar
sehingga tertimbun disitu.
Gejala Klinis
Pada awalnya, penderita merasakan ada kelainan di mulut pada saat
bangun tidur, menggosok gigi atau berkumur, minum atau berbicara. Setelah
merasakan adanya kelainan di daerah mulut maka penderita biasanya
memperhatikannya lebih cermat dengan menggunakan cermin.
Mulut tampak moncong terlebih pada saat meringis, kelopak mata tidak
dapat dipejamkan (lagoftalmos), waktu penderita disuruh menutup kelopak
matanya maka bola mata tampak berputar ke atas.(tanda Bell). Penderita tidak
dapat bersiul atau meniup, apabila berkumur atau minum maka air keluar melalui
sisi mulut yang lumpuh.
Selanjutnya gejala dan tanda klinik lainnya berhubungan dengan
tempat/lokasi lesi.
a. Lesi di luar foramen stilomastoideus
 Mulut tertarik ke arah sisi mulut yang sehat,
 makanan berkumpul di antar pipi dan gusi,
 dan sensasi dalam (deep sensation) di wajah menghilang.
 Lipatan kulit dahi menghilang.
 Apabila mata yang terkena tidak tertutup atau tidak dilindungi maka air
mata akan keluar terus menerus.
b. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani)
 Gejala dan tanda klinik seperti pada (a),
 ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah (2/3 bagian


depan)
dan salivasi di sisi yang terkena berkurang.
Hilangnya daya pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya nervus
intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di daerah antara pons dan titik
di mana korda timpani bergabung dengan nervus fasialis di kanalis
fasialis.
c. Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius)
 Gejala dan tanda klinik seperti pada (a), (b),
 ditambah dengan adanya hiperakusis.
d. Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum)
 Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b), (c)
 disertai dengan nyeri di belakang dan di dalam liang telinga.
Kasus seperti ini dapat terjadi pasca herpes di membran timpani dan
konka. Ramsay Hunt adalah paralisis fasialis perifer yang berhubungan
dengan herpes zoster di ganglion genikulatum. Lesi herpetik terlibat di
membran timpani, kanalis auditorius eksterna dan pina.
e. Lesi di daerah meatus akustikus interna
 Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b), (c), (d),
 ditambah dengan tuli sebagi akibat dari terlibatnya nervus akustikus.
f. Lesi di tempat keluarnya nervus fasialis dari pons.
 Gejala dan tanda klinik sama dengan di atas,
 disertai gejala dan tanda terlibatnya nervus trigeminus, nervus akustikus,
dan kadang-kadang juga nervus abdusens, nervus aksesorius, dan nervus

hipoglosus.
Sindrom air mata buaya (crocodile tears syndrome) merupakan gejala
sisa Bell’s palsy, beberapa bulan pasca awitan, dengan manifestasi klinik:
air mata bercucuran dari mata yang terkena pada saat penderita makan.
Nervus
fasilais
menginervasi
glandula
lakrimalis
dan
glandula
salivatorius submandibularis. Diperkirakan terjadi regenerasi saraf
salivatorius tetapi dalam perkembangannya terjadi ‘salah jurusan’ menuju
ke glandula lakrimalis.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan menurut gejalanya. Bell’s palsy selalu mengenai satu
sisi wajah, kelemahannya tiba-tiba dan dapat melibatkan baik bagian atas atau
bagian bawah wajah. Beberapa pemeriksaan penunjang yang penting untuk
menentukan letak lesi dan derajat kerusakan saraf fasialis sebagai berikut:
-
Uji kepekaan saraf (nerve excitability test)
Pemeriksaan ini membandingkan kontraksi otot-otot wajah kiri &
kanan setelah diberi rangsang listrik. Perbedaan rangsang lebih 3,5 mA
menunjukkan keadaan patologik dan jika lebih 20 mA menunjukkan
-
-
kerusakan saraf fasialis irreversibel.
Uji konduksi saraf (nerve conduction test)
Pemeriksaan untuk menentukan derajat denervasi dengan cara
mengukur kecepatan hantaran listrik pada saraf fasialis kiri dan kanan.
Elektromiografi
Pemeriksaan yang menggambarkan masih berfungsi atau tidaknya
otot otot wajah. Uji fungsi pengecap 2/3 bagian depan lidah Gilroy dan
Meyer (1979) menganjurkan pemeriksaan fungsi pengecap dengan cara
sederhana yaitu rasa manis (gula), rasa asin dan rasa pahit (pil kina).
Elektrogustometri membandingkan reaksi antara sisi yang sehat dan yang
sakit dengan stimulasi listrik pada 2/3 bagian depan lidah terhadap rasa
kecap pahit atau metalik. Gangguan rasa kecap pada bell's palsy
menunjukkan letak lesi saraf fasialis setinggi khorda timpani atau
-
proksimalnya.
Uji Schirmer
Pemeriksaan ini menggunakan kertas filter khusus yang diletakkan
di belakang kelopak mata bagian bawah kiri dan kanan. Penilaian
berdasarkan atas rembesan air mata pada kertas filter, berkurang atau
mengeringnya air mata menunjukkan lesi saraf fasialis setinggi ganglion
genikulatum
Penyakit lain yang juga dapat menyebabkan kelumpuhan saraf wajah adalah:
- Tumor otak yang menekan saraf
- Kerusakan saraf wajah karena infeksi virus (misalnya sindroma Ramsay
Hunt)
- Infeksi telinga tengah, sinus mastoideus
- Penyakit Lyme
- Patah tulang di dasar tengkorak.
Untuk membedakan bell's palsy dengan penyakit tersebut, bisa dilihat dari riwayat
penyakit, hasil pemeriksaan rontgen, CT scan atau MRI. Pada penyakit Lyme
perlu dilakukan pemeriksaan darah.
Penatalaksanaan
Terapi pertama yang harus dilakukan adalah penjelasan kepada penderita
bahwa penyakit yang mereka derita bukanlah tanda stroke, hal ini menjadi penting
karena penderita dapat mengalami stress yang berat ketika terjadi salah
pengertian.
1. Istirahat terutama pada keadaan akut
2. Medikamentosa
Selain itu, dari tinjauan terbaru menyimpulkan bahwa
pemberian kortikosteroid dalam tujuh hari pertama efektif untuk
menangani Bell’s palsy. Pemberian sebaiknya selekas-lekasnya
terutama pada kasus bell's palsy yang secara elektrik menunjukkan
denervasi. Tujuannya untuk mengurangi udem dan mempercepat
reinervasi. Dosis yang dianjurkan 3 mg/kg BB/hari sampai ada
perbaikan, kemudian dosis diturunkan bertahap selama 2 minggu.
3. Fisioterapi
Sering dikerjakan bersama-sama pemberian prednison, dapat
dianjurkan pada stadium akut. Tujuan fisioterapi untuk
mempertahankan tonus otot yang lumpuh.
3.a. Penanganan mata
Bagian mata juga harus mendapatkan perhatian khusus dan
harus dijaga agar tetap lembab, hal tersebut dapat dilakukan dengan
pemberian pelumas mata setiap jam sepanjang hari dan salep mata
harus digunakan setiap malam
3.b. Latihan wajah
Komponen lain yang tidak kalah pentingnya dalam
optimalisasi terapi adalah latihan wajah. Latihan ini dilakukan
minimal 2-3 kali sehari, akan tetapi kualitas latihan lebih utama
daripada kuantitasnya. Sehingga latihan wajan ini harus dilakukan
sebaik mungkin. Pada fase akut dapat dimulai dengan kompres
hangat dan pemijatan pada wajah, hal ini berguna mengingkatkan
aliran darah pada otot-otot wajah. Kemudian latihan dilanjutkan
dengan gerakan-gerakan wajah tertentu yang dapat merangsang
otak untuk tetap memberi sinyal untuk menggerakkan otot-otot
wajah. Sebaiknya latihan ini dilakukan di depan cermin.
Gerakan yang dapat dilakukan berupa:

Tersenyum





Mencucurkan mulut, kemudian bersiul
Mengatupkan bibir
Mengerutkan hidung
Mengerutkan dahi
Gunakan telunjuk dan ibu jari untuk menarik sudut


mulut secara manual
Mengangkat alis secara manual dengan keempat jari
Setelah melakukan terapi tersebut sebagian
penderita akan sembuh total dan sebagian akan
meninggalkan gejala sisa yang dapat berupa:
1. Kontraktur
Hal ini dapat terlihat dari tertariknya otot,
sehingga plika nasolabialis lebih jelas terlihat
dibanding pada sisi yang sehat. Bagi pemeriksa
yang belum berpengalaman mungkin bagian
yang sehat ini yang disangkanya lumpuh,
sedangkan bagian yang lumpuh disangkanya
sehat.
2. Sinkinesia (associated movement)
Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan
satu per satu atau tersendiri, selalu timbul
gerakan
bersama.
Bila
pasien
disuruh
memejamkan mata, maka otot orbikularis
orispun akan akan ikut berkontraksi dan sudut
mulut
terngkat.
Bila
ia
disuruh
menggembungkan pipi, kelopak mata ikut
merapat.
3. Spasme spontan
Dalam hal ini otot-otot wajah bergerak secara
spontan, tidak terkendali. Hal ini disebut juga tic
facialis. akan tetapi tidak semua tic facialis
merupakan gejala sisa dari Bell’s palsy
Tindakan operatif umumnya tidak dianjurkan pada anak-anak karena dapat
menimbulkan komplikasi lokal maupun intracranial.
Tindakan operatif dilakukan apabila :
1. Tidak terdapat penyembuhan spontan
2. Tidak terdapat perbaikan dengan pengobatan prednisone pada
pemeriksaan elektrik terdapat denervasi total.
Beberapa tindakan operatif yang dapat dikerjakan pada bell's palsy antara lain
dekompresi n. fasialis yaitu membuka kanalis fasialis pars piramidalis mulai dari
foramen stilomastoideum nerve graft operasi plastik untuk kosmetik (muscle
sling, tarsoraphi).
Pencegahan
Agar Bell's Palsy tidak mengenai kita, cara-cara yang bisa ditempuh adalah :
1. Jika berkendaraan motor, gunakan helm penutup wajah full untuk
mencegah angin mengenai wajah.
2. Jika tidur menggunakan kipas angin, jangan biarkan kipas angin
menerpa wajah langsung. Arahkan kipas angin itu ke arah lain. Jika
kipas angin terpasang di langit-langit, jangan tidur tepat di bawahnya.
Dan selalu gunakan kecepatan rendah saat pengoperasian kipas.
3. Kalau sering lembur hingga malam, jangan mandi air dingin di malam
hari. Selain tidak bagus untuk jantung, juga tidak baik untuk kulit dan
syaraf.
4. Bagi penggemar naik gunung, gunakan penutup wajah / masker dan
pelindung mata. Suhu rendah, angin kencang, dan tekanan atmosfir
yang rendah berpotensi tinggi menyebabkan Anda menderita Bell's
Palsy.
5. Setelah berolah raga berat, jangan langsung mandi atau mencuci wajah
dengan air dingin.
6. Saat menjalankan pengobatan, jangan membiarkan wajah terkena angin
langsung. Tutupi wajah dengan kain atau penutup.
Prognosis
Walaupun tanpa diberikan terapi, pasien Bell’s palsy cenderung memiliki
prognosis yang baik. Dalam sebuah penelitian pada 1.011 penderita Bell’s palsy,
85% memperlihatkan tanda-tanda perbaikan pada minggu ketiga setelah onset
penyakit. 15% kesembuhan terjadi pada 3-6 bulan kemudian.
Sepertiga dari penderita Bell’s palsy dapat sembuh seperti sedia kala tanpa
gejala sisa. 1/3 lainnya dapat sembuh tetapi dengan elastisitas otot yang tidak
berfungsi dengan baik. Penderita seperti ini tidak memiliki kelainan yang nyata.
Penderita Bell’s palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa..
Faktor resiko yang memperburuk prognosis Bell’s palsy adalah:
(1) Usia di atas 60 tahun
(2) Paralisis komplit
(3) Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang
lumpuh,
(4) Nyeri pada bagian belakang telinga dan
(5) Berkurangnya air mata.
Pada penderita kelumpuhan nervus fasialis perifer tidak boleh dilupakan
untuk mengadakan pemeriksaan neurologis dengan teliti untuk mencari gejala
neurologis lain.
Pada umumnya prognosis Bell’s palsy baik: sekitar 80-90 % penderita
sembuh dalam waktu 6 minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan. Penderita
yang berumur 60 tahun atau lebih, mempunyai peluang 40% sembuh total dan
beresiko tinggi meninggalkan gejala sisa. Penderita yang berusia 30 tahun atau
kurang, hanya punya perbedaan peluang 10-15 persen antara sembuh total dengan
meninggalkan gejala sisa. Jika tidak sembuh dalam waktu 4 bulan, maka penderita
cenderung meninggalkan gejala sisa, yaitu sinkinesis, crocodile tears dan kadang
spasme hemifasial.
Download