13 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Landasan Yuridis Konstitusional

advertisement
13
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Landasan Yuridis Konstitusional tentang Pedoman Penyiaran Agama,
Tata Cara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan bantuan Luar Negeri
kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia, Pengembangan Lembaga
Keagamaan di Indonesia, Pendirian Rumah Ibadah serta Tugas Kepala
Daerah dalam Membina Kerukunan Umat Beragama
1. Keputusan Menteri Agama No. 70 Tahun 1978 (Tentang Pedoman
Penyiaran Agama)
Peraturan ini memuat klausul tentang cara-cara penyiaran agama yang
dibolehkan dan diatur oleh perundang-undangan yang berlaku, serta pihak-pihak
lembaga-lembaga mengawasi proses penyiaran agama sebagai berikut:
Pertama:
Untuk menjaga stabilitas nasional dan demi tegaknya kerukunan antar
umat beragama, pengembangan dan penyiaran agama supaya dilaksanakan
dengan semangat kerukunan, tenggang rasa, tepo seliro, saling
menghargai, hormat menghormati antar umat beragama sesuai jiwa
Pancasila.
a.
b.
c.
d.
Kedua:
Penyiaran agama tidak dibenarkan untuk:
Ditujukan terhadap orang atau orang-orang yang telah memeluk sesuatu
agama lain;
Dilakukan dengan menggunakan bujukan/pemberian materiil uang,
pakaian, makanan/minuman, obat-obatan dan lain-lain agar supaya orang
tertarik untuk memeluk suatu agama.
Dilakukan dengan cara-cara penyebaran pamflet, buletin, majalah, bukubuku dan sebagainya di daerah-daerah/rumah-rumah kediaman umat/orang
yang beragama lain;
Dilakukan dengan cara-cara masuk keluar dari rumah kerumah orang yang
telah memeluk agama lain dengan dalih apapun.
Ketiga:
Bilamana ternyata pelaksanaan pengembangan dan penyiaran agama
sebagaimana yang dimaksud diktum kedua menimbulkan terganggunya
14
kerukunan hidup antar umat beragama akan diambil tindakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Keempat:
Seluruh Aparat Departemen Agama sampai ke daerah-daerah
diperintahkan untuk melakukakan pengawasan terhadap pelaksanaan
keputusan ini dan selalu mengadakan konsultasi/koordinasi dengan unsur
Pemerintah dan tokoh-tokoh masyarakat setempat.
Dari uraian peraturan hukum di atas, dapat disimpulkan bahwa penyiaran
agama tidak boleh dilakukan dengan jalan paksaan, ancaman, bujukan materil,
ditujukan terhadap orang atau orang-orang yang telah memeluk sesuatu agama
lain, dilakukan dengan cara-cara penyebaran pamflet, buletin, majalah, buku-buku
dan sebagainya, di daerah-daerah/rumah-rumah kediaman umat yang beragama
lain dan proses penyiaran agama tidak dibenarkan mengakibatkan renggangnya
kerukunan hidup umat beragama.
2. Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
Nomor 1 Tahun 1979 ( Tentang Tata Cara Pelaksanaan Penyiaran Agama
dan Bantuan Luar Negeri Kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia,
tertanggal 2 Januari 1979)
Dalam peraturan ini disebutkan bahwa “Penyiaran Agama adalah segala
kegiatan yang bentuk, sifat dan tujuannya untuk menyebarluaskan ajaran sesuatu
agama”. Selanjutnya, pasal 3 dan pasal 4a, 4b, dan 4c memuat klausul dan
regulasi hukum mengenai tata cara pelaksanaan penyiaran agama sebagai berikut:
Pasal 3
Pelaksanaan penyiaran agama dilakukan dengan semangat kerukunan,
tenggang rasa, saling menghargai dan saling menghormati antara sesama
umat beagama serta dengan dilandaskan pada penghormatan terhadap hak
dan kemerdekaan seseorang untuk memeluk/ menganut dan melakukan
ibadah menurut agamanya.
15
Pasal 4
Pelaksanaan penyiaran agama tidak dibenarkan untuk ditujukan terhadap
orang atau kelompok orang yang telah memeluk/menganut agama lain
dengan cara :
a. Menggunakan bujukan dengan atau tanpa pemberian barang, uang,
pakaian, makanan dan atau minuman, pengobatan, obat-obatan dan
bentuk-bentuk pemberian apapun lainnya agar orang atau kelompok orang
yang telah memeluk/menganut agama yang lain berpindah dan
memeluk/menganut agama yang disiarkan tersebut.
b. Menyebarkan pamflet, majalah, bulletin, buku-buku, dan bentuk-bentuk
barang penerbitan cetakan lainnya kepada orang atau kelompok orang
yang telah memeluk /menganut agama yang lain.
c. Melakukan kunjungan dari rumah ke rumah umat yang telah
memeluk/menganut agama yang lain.
Dari peraturan hukum di atas, dapat dipahami bahwa penyiaran agama
tidak boleh dilakukan dengan cara paksaan maupun bujukan, karena hal tersebut
tidak sesuai dengan semangat kerukunan umat beragama, tenggang rasa saling
menghargai dan saling menghormati antar pemeluk umat beragama. Penyiaran
agama seharusnya berlandaskan azas-azas kerukunan umat beragama yang
diamanatkan oleh undang-undang dan peraturan hukum yang berlaku.
Surat Keputusan Bersama Menteri Agama & Menteri Dalam Negeri No 1
Tahun 1979 di atas juga memuat tentang tugas kepala daerah tingkat I dan kepala
daerah tingkat II yang tertuang dalam pasal 5 ayat (1), ayat (2) , dimana isinya
memuat klausul tentang tugas-tugas kepala daerah dalam mengelola serta menjaga
kerukunan umat beragama sebagai berikut:
Pasal 5
1) Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I dan Bupati/Walikota/Kepala Daerah
Tingkat II mengkoordinir kegiatan Kepala Perwakilan Departemen yang
berwenang dalam melakukan bimbingan dan pengawasan atas segala
kegiatan pembinaan, pengembangan dan penyiaran agama oleh Lembaga
Keagamaan sehingga pelaksanaan kegiatan tersebut dapat berlangsung
sesuai dengan ketentuan Pasal 4 Keputusan Bersama ini, serta lebih
menumbuhkan kerukunan hidup antara sesama umat beragama.
16
2) Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I dan Bupati/Walikota/Kepala Daerah
Tingkat II mengkoordinir kegiatan Kepala Perwakilan Departemen yang
berwenang dalam melakukan bimbingan terhadap kehidupan Lembaga
Keagamaan dengan mengikut sertakan Majelis-Majelis Agama di daerah
tersebut.
Peraturan hukum di atas menegaskan bahwa kepala daerah memiliki
kewajiban serta kewenangan dalam melakukan pengawasan atas segala kegiatan
pembinaan, pengembangan dan penyiaran agama yang dilakukan oleh masingmasing lembaga keagamaan yang hidup di Indonesia. Hal ini dimaksudkan agar
kerukunan antar umat beragama dan intern umat beragama tetap terjaga serta
ketenangan dalam beribadah dapat terjamin.
Merujuk pada peraturan di atas, terdapat regulasi khusus yang perlu pula
mendapat perhatian bersama, antara lain Instruksi Direktur Jenderal Bimas Islam
Nomor Kep. /D/201/78 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid
dan Musholla. Pada Lampiran, butir F butir 5 disebutkan :
Karena itu tabligh/pengajian hanya menggunakan pengeras suara yang
ditujukan ke dalam dan tidak untuk ke luar karena tidak diketahui reaksi
pendengarannya atau lebih sering menimbulkan gangguan bagi yang
istirahat daripada didengarkan sungguh-sungguh. Dikecualikan dari hal
ini, apabila pengunjung tabligh atau hari besar Islam memang melimpah
keluar.
Berdasarkan regulasi khusus di atas, maka dapat dirumuskan kesimpulan
bahwa kegiatan pengajian dan kegiatan keagamaan lain yang dilakukan di
mushola atau masjid hendaknya memperhatikan ketenangan pemeluk agama lain.
Pengajian dan kegiatan keagamaan lain boleh menggunakan pengeras suara
keluar pada hari-hari besar Islam yang dihadiri oleh banyak umat karena alasan
kejelasan materi penyiaran agama yang disampaikan.
17
3. Keputusan Menteri Agama No. 77 Tahun 1978 (Tentang Bantuan Luar
Negeri Kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia)
Peraturan ini memuat klausul tentang tata cara serta prosedur bantuan luar
negeri kepada lembaga keagamaan dalam pasal 1a dan b, pasal 2, pasal 3 ayat (1),
ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5), pasal 4, pasal 5 dan pasal 6 ayat (1) serta
ayat (2) sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksudkan dengan:
a. Bantuan luar negeri ialah segala bentuk bantuan berasal dari luar negeri,
yang berujud bantuan tenaga, materiil, dan finansiil yang diberikan oleh
Pemerintah negara asing, organisasi dan atau perseorangan kepada
lembaga keagamaan dan atau perseorangan di Indonesia dengan cara apa
pun yang bertujuan atau dapat diduga bertujuan untuk membantu
pembinaan, pengembangan dan penyiaran agama di Indonesia.
b. Lembaga keagamaan ialah organisasi perkumpulan, Badan Yayasan dan
lain-lain bentuk Lembaga Keagamaan yang usahanya bertujuan membina,
mengembangkan,
dan
menyiarkan
agama
yang
secara
kelembagaan/instantionil dikelola oleh Pemerintah dalam hal ini
Departemen Agama.
Pasal 2
Bantuan luar negeri seperti dimaksud pasal 1 huruf a Keputusan ini hanya
dapat dilaksanakan setelah mendapat persetujuan/rekomendasi dan melalui
Menteri Agama.
1)
2)
3)
4)
Pasal 3
Dalam rangka pembinaan pengembangan, penyiaran dan bimbingan
terhadap ummat beragama di Indonesia, maka penggunaan tenaga asing
untuk pengembangan dan penyiaran agama dibatasi.
Warga negara asing yang ada di Indonesia yang tugas pokoknya di luar
bidang agama, hanya dibenarkan melakukan kegiatan di bidang agama
secara insidentil, setelah mendapat izin dari Menteri Agama atau pejabat
yang ditunjukkannya.
Lembaga Keagamaan seperti yang dimaksud pasal 1 huruf b Keputusan ini
dapat menggunakan Warga Negara Asing untuk melakukan kegiatan di
bidang agama, setelah mendapat izin dari Menteri Agama.
Lembaga Keagamaan seperti yang dimaksud pasal b Keputusan ini, wajib
mengadakan program pendidikan dan latihan, dengan tujuan agar dalam
waktu yang ditentukan tenaga-tenaga warga negara Indonesia dapat
menggantikan tenaga asing yang melakukan kegiatan di bidang agama
tersebut.
18
5) Program pendidikan dan latihan seperti dimaksud ayat (4) pasal ini harus
dilakukan selambat-lambatnya 6 bulan setelah ditetapkannya Keputusan
ini dan selesai dilaksanakan selambat-lambatnya 2 tahun setelah
pelaksanaan program pendidikan dan latihan tersebut.
Pasal 4
Lembaga Keagamaan yang menerima bantuan luar negeri yang ternyata
tidak memenuhi ketentuan pasal 2, pasal 3 ayat (3) ayat (4) dan ayat (5)
Keputusan ini dan warga negara asing yang melanggar ketentuan pasal 3
ayat (2) Keputusan ini, dapat diambil tindakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 5
Direktur Jenderal Bimas Islam, Direktur Jenderal Bimas Kristen Protestan,
Direktur Jenderal Bimas Kristen Katholik dan Direktur Jenderal Bimas
Hindu Budha Departemen Agama serta Kepala Kantor Wilayah
Departemen Agama melaksanakan Keputusan ini dan mengambil langkahlangkah yang diperlukan serta memberikan laporan pelaksanaan keputusan
ini.
Pasal 6
1) Segala sesuatu yang bertentangan dengan keputusan ini dinyatakan tidak
berlaku lagi.
2) Hal-hal yang belum diatur dalam keputusan ini akan diatur lebih lanjut
oleh Menteri Agama.
Dari peraturan di atas, dapat diambil penegasan bahwa bantuan yang
sifatnya materiil dan finansial dari luar negeri harus terlebih dahulu memenuhi
prosedur dan regulasi yang berlaku, diantaranya: persetujuan resmi dari Menteri
Agama, setelah itu persetujuan dari direktorat-direktorat keagamaan seperti:
Direktur Jenderal Bimas Islam, Direktur Jenderal Bimas Kristen Protestan,
Direktur Jenderal Bimas Kristen Katholik dan Direktur Jenderal Bimas Hindu
Budha. Departemen Agama serta Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama
melaksanakan Keputusan ini dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan
serta memberikan laporan pelaksanaan keputusan ini.
19
4. Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No: 8
Tahun 2006 (Tentang Pedoman Pendirian Rumah Ibadah)
Peraturan ini memuat klausul tentang prosedur pendirian rumah ibadah
yang tertuang dalam Pasal 13 ayat (1), ayat (2), ayat (3), pasal 14 ayat (1), ayat
(2), pasal 15, pasal 16 ayat (1), ayat (2), dan pasal 17 sebagai berikut:
Pasal 13
1) Pendirian rumah ibadah didasarkan pada keperluan nyata dan sungguhsungguh berdasarkan jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama
yang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa
2) Pendirian rumah ibadah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan tetap menjaga kerukunan umat beragama tidak mengganggu
ketenteraman dan ketertiban umum, serta mematuhi peraturan perundangundangan.
3) Dalam hal keperluan nyata bagi pelayanan umat beragama di wilayah
kelurahan/desa sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak terpenuhi,
pertimbangan komposisi jumlah penduduk digunakan batas wilayah
kecamatan atau kabupaten/kota atau provinsi.
Pasal 14
1) Pendirian rumah ibadah wajib memenuhi persyaratan administratif dan
persyaratan teknis bangunan gedung.
2) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
pendirian rumah ibadah harus memenuhi persyaratan khusus meliputi:
a. daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah Ibadah
paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat
setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud
dalam pasal 13 ayat (3);
b. dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang
yang disahkan oleh lurah/kepala desa;
c. rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota;
dan
d. rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota.
3) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
terpenuhi sedangkan persyaratan huruf b belum terpenuhi, pemerintah
daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah
ibadah.
Pasal 15
Rekomendasi FKUB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) huruf
d merupakan hasil musyawarah dan mufakat dalam rapat FKUB,
dituangkan dalam bentuk tertulis.
20
Pasal 16
1) Permohonan pendirian rumah ibadah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
14 diajukan oleh panitia pembangunan rumah ibadah kepada
bupati/walikota untuk memperoleh IMB rumah ibadah
2) Bupati/walikota memberikan keputusan paling lambat 90 (sembilan puluh)
hari sejak permohonan pendirian rumah ibadah diajukan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Pasal 17
Pemerintah daerah memfasilitasi penyediaan lokasi baru bagi bangunan
gedung rumah ibadah yang telah memiliki IMB yang dipindahkan karena
perubahan rencana tata ruang wilayah.
Dari regulasi peraturan di atas, dapat dipahami bahwa pendirian rumah
ibadah harus didasarkan pada peraturan hukum yang berlaku dan keperluan nyata
umat beragama di lapangan. Pendirian rumah ibadah harus memenuhi prosedur
administrasi yang berlaku, antara lain surat izin mendirikan bangunan (IMB),
serta yang paling penting ada persetujuan dari masyarakat sekitar yang disahkan
oleh kepala desa setempat.
Merujuk pada kesimpulan di atas, terdapat regulasi khusus yang tertuang
dalam pasal 18 ayat (1a,dan b, ayat 2, dan 3a,b,c,d), pasal 19 ayat (1) dan (2),
serta pasal 20 ayat (1), dan (2). Pasal-pasal tersebut memuat klausul tentang
prosedur permohonan izin sementara pemanfaatan bangunan gedung menjadi
rumah ibadah sementara, sebagai berikut:
Pasal 18
1) Pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah ibadah sebagai rumah ibadah
sementara harus mendapat surat keterangan pemberian izin sementara dari
bupati/walikota dengan memenuhi persyaratan:
a. baik fungsi; dan
b. pemeliharaan kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan
ketertiban masyarakat.
2) Persyaratan laik fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
mengacu pada peraturan perundang-undangan tentang bangunan gedung.
21
3) Persyaratan pemeliharaan kerukunan umat beragama serta ketenteraman
dan ketertiban masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
meliputi:
a. izin tertulis pemilik bangunan;
b. rekomendasi tertulis lurah/kepala desa;
c. pelaporan tetulis kepada FKUB kabupaten/kota; dan
d. pelaporan tetulis kepada kepala kantor departemen agama
kabupaten/kota.
Pasal 19
1) Surat keterangan pemberian izin sementara pemanfaatan bangunan gedung
bukan rumah ibadah oleh bupati/walikota sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 ayat (1) diterbitkan setelah mempertimbangkan pendapat tertulis
kepala kantor departemen agama kabupaten/kota dan FKUB
kabupaten/kota.
2) Surat keterangan pemberian izin sementara pemanfaatan bangunan gedung
bukan rumah ibadah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku paling
lama 2 (dua) tahun.
Pasal 20
1) Penerbitan surat keterangan pemberian izin sementara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dapat dilimpahkan kepada camat.
2) Penerbitan surat keterangan pemberian izin sementara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikeluarkan setelah mempertimbangkan pendapat
tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota dan FKUB
kabupaten/kota.
Pasal 21
1) Perselisihan akibat pendirian rumah ibadah diselesaikan secara
musyawarah oleh masyarakat setempat.
2) Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
dicapai, penyelesaian perselisihan dilakukan oleh bupati/walikota dibantu
kepala kantor departemen agama kabupaten/kota melalui musyawarah
yang dilakukan secara adil dan tidak memihak dengan mempertimbangkan
pendapat atau saran FKUB kabupaten/kota.
3) Dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tidak dicapai, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui pengadilan
setempat.
Pasal 22
Gubernur melaksanakan pembinaan terhadap Bupati/Walikota serta
instansi terkait di daerah dalam menyelesaikan perselisihan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21.
22
Pasal 23
1) Gubernur dibantu kepala kantor wilayah departemen agama provinsi
melakukan pengawasan terhadap bupati/walikota serta instansi terkait di
daerah atas pelaksanaan pemeliharaan kerukunan umat beragama,
pemberdayaan forum kerukunan umat beragama dan pendirian rumah
ibadah.
2) Bupati/Walikota dibantu kepala kantor departemen agama kabupaten/kota
melakukan pengawasan terhadap camat dan lurah/kepala desa serta instansi
terkait di daerah atas pelaksanaan pemeliharaan kerukunan umat beragama,
pemberdayaan forum kerukunan umat beragama, dan pendirian rumah
ibadah.
1)
2)
3)
Pasal 24
Gubernur melaporkan pelaksanaan pemeliharaan kerukunan umat
beragama, pemberdayaan forum kerukunan umat beragama dan
pengaturan pendirian rumah ibadah di provinsi kepada Menteri Dalam
Negeri dan Menteri Agama dengan tembusan kepada Menteri Koordinator
Politik, Hukum dan Keamanan, dan Menteri Koordinator Kesejahteraan
Rakyat.
Bupati melaporkan pelaksanaan pemeliharaan kerukunan umat beragama,
pemberdayaan forum kerukunan umat beragama dan pengaturan pendirian
rumah ibadah di kabupaten/kota kepada Gubernur dengan tembusan
kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama.
Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) disampaikan setiap 6
(enam) bulan pada bulan Januari dan Juli, atau sewaktu-waktu dipandang
perlu.
Dari peraturan khusus di atas, dapat dirumuskan kesimpulan bahwa dalam
memanfaatkan gedung bukan rumah ibadah menjadi rumah ibadah sementara,
harus mendapat izin berupa surat keterangan izin sementara dari bupati atau
walikota dengan memenuhi persyaratan baik fungsi dan pemeliharaan kerukunan
umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban masyarakat. Pemanfaatan
gedung menjadi rumah ibadah jangan sampai meresahkan masyarakat dan
memicu konflik baik antar umat beragama maupun intern umat beragama.
23
5. Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No: 9
Tahun 2006 (Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil
Kepala
Daerah
Dalam
Memelihara
Kerukunan
Umat
Beragama,
Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama)
Peraturan di atas kembali memuat klausul tentang tugas kepala daerah
dalam memelihara kerukunan umat beragama secara tegas. Namun berbeda
dengan peraturan hukum sejenis yang tertuang di atas, peraturan ini lebih hierarkis
dalam mengatur regulasi tugas kepala daerah dalam memelihara kerukunan umat
beragama. Selain itu, peraturan ini juga mencantumkan partisipasi masyarakat
dalam memelihara kerukunan umat beragama dalam suatu wadah yang bernama
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Semua regulasi tersebut tertuang
dalam pasal 2, pasal 3 ayat (1), dan (2), pasal 3 ayat (1) dan (2), pasal 4 ayat (1)
dan ayat (2), pasal 5 ayat (1a, b, c, d) dan ayat 2, pasal 6 ayat (1a, b, c, d, e) ayat 2
dan ayat 3, serta pasal 7 ayat (1a, b, c) dan ayat (2a, b) sebagai berikut:
Pasal 2
Pemeliharaan kerukunan umat beragama menjadi tanggung jawab bersama
umat beragama, pemerintahan daerah dan Pemerintah.
Pasal 3
1) Pemeliharaan kerukunan umat beragama di provinsi menjadi tugas dan
kewajiban Gubernur.
2) Pelaksanaan tugas dan kewajiban gubernur sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dibantu oleh kepala cantor wilayah departemen agama provinsi.
Pasal 4
1) Pemeliharaan kerukunan umat beragama di kabupaten/kota menjadi tugas
dan kewajiban bupati/walikota.
2) Pelaksanaan tugas dan kewajiban Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dibantu oleh Kepala Kantor Departemen Agama
Kabupaten/Kota.
Pasal 5
1) Tugas dan kewajiban Gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
meliputi:
24
a. memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat termasuk
memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat beragama di provinsi;
b. mengoordinasikan kegiatan instansi vertikal di provinsi dalam
pemeliharaan kerukunan umat beragama;
c. menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling
menghormati, dan saling percaya di antara umat beragama; dan
d. membina dan mengoordinasikan bupati/wakil bupati dan
walikota/wakil walikota dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah di bidang ketenteraman dan ketertiban masyarakat dalam
kehidupan beragama.
2) Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c,
dan huruf d dapat didelegasikan kepada Wakil Gubernur.
Pasal 6
1) Tugas dan kewajiban Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 meliputi:
a. memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat termasuk
memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat beragama di
kabupaten/kota;
b. mengoordinasikan kegiatan instansi vertikal di Kabupaten/Kota
dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama;
c. menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling
menghormati, dan saling percaya di antara umat beragama;
d. membina dan mengoordinasikan camat, lurah, atau kepala desa
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang
ketenteraman dan ketertiban masyarakat dalam kehidupan
keagamaan; dan
e. menerbitkan IMB rumah ibadah.
2) Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c,
dan huruf d dapat didelegasikan kepada wakil bupati/wakil walikota.
3) Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf
c di wilayah kecamatan dilimpahkan kepada camat dan di wilayah
kelurahan/desa dilimpahkan kepada kepala lurah/kepala desa melalui
camat.
Pasal 7
1) Tugas dan kewajiban camat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3)
meliputi:
a. memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat termasuk
memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat beragama di wilayah
kecamatan;
b. menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling
menghormati, dan saling percaya di antara umat beragama; dan
c. membina dan mengoordinasikan lurah dan kepala desa dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang ketenteraman dan
ketertiban masyarakat dalam kehidupan keagamaan;
25
2) Tugas dan kewajiban lurah/kepala desa sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (3) meliputi:
a. memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat termasuk
memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat beragama di wilayah
kelurahan/ desa; dan
b. menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling
menghormati, dan saling percaya di antara umat beragama;
Dari peraturan hukum di atas, dapat dipahami secara menyeluruh bahwa
terlihat jelas ada pembagian yang tegas mengenai tugas-tugas kepala daerah
dalam menjaga kerukunan umat beragama secara hierarkis. Dari gubernur sampai
pada tingkatan kepala desa diatur tugas-tugasnya dalam membina kerukunan umat
beragama.
Secara kenyataan (factual) dan hukum yang berlaku (yuridis forma)
merujuk pada semua aturan hukum di atas, terbukti bahwa bangsa Indonesia
bukanlah negara agama (teokratis) yang berdasarkan kepada satu agama tertentu.
Negara Indonesia juga bukan negara sekuler yang tidak berdasarkan agama dan
tidak memperdulikan agama. Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan
Pancasila, yang memposisikan agama (Ketuhanan Yang Maha Esa) sebagai dasar
yang pertama dan yang warganya adalah umat beragama (Islam, Kristen, Katolik,
Hindu, Buddha, Konghucu, dan lain-lain) serta yang tidak membolehkan adanya
faham-faham yang anti agama atau anti Tuhan (seperti ateisme dan lain-lain).
Oleh karena itu, negara Indonesia dapat disebut sebagai negara religius, betapa
pun dalam kenyataan belum tercermin sebagaimana diharapkan, bahkan
dipengaruhi oleh trend global yang sekularistik.
Kita sebagai umat beragama berkepentingan untuk memeluk agama,
menjalankan agama dan beribadah menurut agama masing-masing. Dalam
26
kapasitas sebagai warga negara berkepentingan juga untuk menjalankan fungsi
kita sebagai warga negara yang baik, taat hukum, turut mempertahankan negara
dari berbagai ancaman, turut memelihara dan membangun bangsa dan negara agar
dapat maju secara signifikan. Jadi, yang dikehendaki adalah agar kita menjadi
umat beragama yang baik dan menjadi warga negara yang baik secara integral.
Sebagai contoh dari agama Islam mengenai perihal yang dijelaskan di
atas, dapat dilihat pada kutipan dari Al-Qur’an dan Terjemahnya terbitan
Departemen Agama tahun 2004 sebagai berikut:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya),
dan orang-orang yang memegang kekuasaan di antara kamu. Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnah Nabi), jika kamu benarbenar beriman kepada Allah dan hari kemudian. (Q.S. An Nisa:59).
Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya
dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan
musyawarat antara mereka. Dan mereka menafkahkan sebagian dari
rezeki yang kami berikan kepada mereka. (Q.S. Asy Syura:38).
Serulah manusia ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang
baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya
Tuhanmu Dia-lah yang sangat mengetahui tentang siapa yang tersesat
dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk. (Q.S. An Nahl:125).
Dari ayat-ayat di atas, dapat dikaji bahwa ada tiga rangkaian ketaatan umat
Islam yang harus dilaksanakan secara integral, yaitu ketaatan kepada Allah,
kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang yang memegang kekuasaan
(pemerintah). Perlu dicatat oleh karena integral, maka apabila pemerintah
melakukan hal-hal yang melawan atau bertentangan dengan perintah Allah dan
Rasul-Nya, maka tidak mesti ditaati. Penyiaran agama Islam dilakukan dengan
hikmah dan pelajaran yang baik serta diskusi yang baik pula. Begitu juga dengan
27
mekanisme penyiaran agama lain seharusnya memperhatikan peraturan hukum
yang berlaku secara agama masing-masing (intern agama), juga peraturan hukum
positif yang diatur dan dijalankan di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
B. Sikap dan Perilaku
1. Pengertian Sikap
Sikap merupakan cerminan hati dan refleksi jiwa. Sikap individu muncul
diakibatkan oleh responnya terhadap lingkungan. Sikap muncul ketika individu
lain, lingkungan, lembaga tertentu memberikan stimulus yang menimbulkan
individu bersikap. Sikap dapat dimunculkan secara positif maupun negatif
tergantung dari stimulus yang merangsangnya. Seperti dikatakan Thurstone
(Syamsu Yusuf, 2002:42) bahwa ”Sikap merupakan suatu tingkatan afeksi, baik
bersifat positif maupun negatif dalam hubungannya dengan objek-objek
psikologis, seperti: simbol, prase, slogan, orang, lembaga, cita-cita dan gagasan”.
Sikap pada hakekatnya merupakan manifestasi daripada kita menanggapi
suatu objek atau masalah tertentu, baik setuju (pro) atau tidak setuju (kontra).
Dalam hal ini Howard Kendler (Syamsu Yusuf, 2002:42) mengemukakan bahwa:
“Sikap merupakan kecenderungan (tendency) untuk mendekati (approach) atau
menjauhi (avoid) atau melakukan sesuatu, baik secara positif maupun negatif
terhadap suatu lembaga, peristiwa, gagasan atau konsep”.
Berbeda dengan yang diungkapkan oleh Howard Kendler, Paul Massen
dan David Krech (Syamsu Yusuf, 2002:42) berpendapat bahwa: “Sikap itu
merupakan suatu sistem dari tiga komponen yang saling berhubungan, yaitu
28
kognisi (pengenalan), feeling (perasaan), dan action tendency (kecenderungan
untuk bertindak)”.
Pendapat lain diungkapkan oleh Sarwono (Syamsu Yusuf, 2002:42) yang
mengemukakan bahwa “Sikap adalah kesiapan pada seseorang untuk bertindak
secara tertentu terhadap hal-hal tertentu”.
Pengertian di atas menurut Syamsu Yusuf (2002:42) dapat dijelaskan
dengan ilustrasi sebagai berikut:
Seorang mahasiswi muslim setelah mengetahui bahwa memakai busana
muslim atau jilbab itu hukumnya wajib (aspek kognisi), timbul dalam
hatinya perasaan senang atau setuju untuk memakai jilbab itu (aspek
afeksi), kemudian perasaan tersebut mendorong dirinya untuk memakai
jilbab (aspek action tendency).
Dari pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa sikap adalah
kesediaan mental yang relatif menetap untuk merespon atau bereaksi terhadap
suatu objek atau perangsang tertentu yang mempunyai arti, baik bersifat positif,
netral, atau negatif, menyangkut aspek-aspek kognisi, afeksi, dan kecenderungan
untuk bertindak.
Sikap individu dibangun dengan berbagai unsur yang membentuknya.
Unsur-unsur seperti pengalaman, pendidikan, dan lingkungan merupakan unsur
yang sangat dominan yang menyebabakan baik atau buruknya sikap seseorang.
Uraian di atas senada dengan yang diungkapkan oleh Syamsu Yusuf (2002:43)
yang mengklasifikasikan sikap kedalam 3 unsur, yaitu:
1. Unsur Kognisi
Unsur ini terdiri atas keyakinan atau pemahaman individu terhadap objekobjek tertentu. Misalnya, sikap kita terhadap perjudian, minuman keras itu
hukumnya haram.
29
2. Unsur afeksi (feeling/perasaan)
Unsur ini menunjukan arah perasaan yang menyertai sikap individu
terhadap objek. Unsur ini bisa bersifat positif (menyenangi, menyetujui,
bersahabat) dan negatif (tidak menyenangi, tidak menyetujui, sikap
bermusuhan). Kita sebagai orang Islam tidak menyenangi perjudian atau
minuman keras, karena kita tahu bahwa hukumnya haram.
3. Unsur kecenderungan bertindak (action tendency)
Unsur ini meliputi seluruh kesediaan individu untuk bertindak/ mereaksi
terhadap objek tertentu. Bentuk dari kecenderungan bertindak ini sangat
dipengaruhi oleh unsur-unsur sebelumnya. Misalnya seorang muslim yang
sudah meyakini bahwa judi itu hukumnya haram, dia akan membenci judi
tersebut, cenderung akan menjauhi dan berusaha untuk menghilangkannya.
Dari uraian di atas, dapat diidentifikasi bahwa sifat dibentuk dan di
konstruksi oleh 3 unsur, yaitu: kognisi, afeksi dan kecenderungan bertindak.
Unsur-unsur tersebut menjadi semacam pendorong yang menyebabkan individu
bersikap terhadap suatu hal.
Untuk membedakan sikap dengan aspek-aspek psikis lain seperti: motif,
kebiasaan dan pengetahuan, Sarlito Wirawan (Syamsu Yusuf, 2002:44)
mengemukakan ciri-cirinya sebagai berikut:
1. Dalam sikap selalu terdapat hubungan antara subjek-objek, tidak ada sikap
yang tanpa objek. Objek sikap itu bisa berupa benda, orang, nilai-nilai,
pandangan hidup, agama, hukum, lembaga masyarakat, dan sebagainya.
2. Sikap tidak dibawa sejak lahir, melainkan dipelajari dan dibentuk melalui
pengalaman-pengalaman.
3. Karena sikap dipelajari, maka sikap dapat berubah-ubah sesuai dengan
keadaan lingkungan di sekitar individu yang bersangkutan pada saat-saat
yang berbeda-beda.
4. Dalam sikap tersangkut juga faktor motivasi dan perasaan. Inilah yang
membedakannya daripada misalnya pengetahuan.
5. Sikap tidak menghilang walaupun kebutuhan sudah dipenuhi. Jadi berada
dengan refleks atau dorongan. Misalnya, seorang yang gemar nasi goreng,
akan tetap mempertahankan kegemarannya itu sekalipun baru saja makan
nasi goreng sampai kenyang.
6. Sikap tidak hanya satu macam, melainkan sangat bermacam-macam sesuai
dengan banyak objek yang dapat menjadi perhatian individu yang
bersangkutan.
30
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sikap individu tidak
dipengaruhi oleh faktor genetika (keturunan). Sikap lebih banyak dipengaruhi
oleh stimulus atau rangsangan yang berasal dari luar individu. Selain itu, sikap
juga dapat dipelajari melalui berbagai bentuk pengalaman-pengalaman yang
dialami oleh individu melalui proses belajar.
2. Pembentukan Sikap
Sartain (Syamsu Yusuf, 2002:44) mengemukakan pendapat bahwa “ada
empat faktor yang mempengaruhi terbentuknya sikap, yaitu: faktor pengalaman
khusus
(specific
experience),
faktor
komunikasi
dengan
orang
lain
(communication with other people), faktor Model, faktor lembaga-lembaga sosial
(institusional)”. Faktor-faktor tersebut diilusustrasikan sebagai berikut:
Pertama, Faktor pengalaman khusus (specific experience). Hal ini berarti
bahwa sikap terhadap suatu objek itu terbentuk melalui pengalaman khusus.
Misalnya: para mahasiswa yang mendapatkan perlakuan baik dari dosennya, baik
pada waktu belajar maupun diluar jam pelajaran, maka akan terbentuk pada
dirinya sikap yang positif terhadap dosen tersebut. Sebaliknya apabila perlakuan
dosen tersebut sering marah-marah, menghukum, atau kurang simpati dalam
penampilannya, maka pada diri mahasiswa akan terbentuk sikap negatif terhadap
dosen tersebut.
Kedua, Faktor komunikasi dengan orang lain (communication with other
people). Banyak sikap terbentuk disebabkan oleh adanya komunikasi dengan
31
orang lain. Komunikasi itu baik langsung (face to face) maupun tidak langsung,
yaitu melalui media massa, seperti: TV, radio, film, koran, dan majalah.
Ketiga, Faktor Model. Banyak sikap terbentuk terhadap sesuatu itu dengan
melalui jalan mengimitasi (meniru) suatu tingkah laku yang menjadi model
dirinya, seperti perilaku orang tua, guru, pemimpin, bintang film, biduan, dan
sebagainya. Seorang anak merasa senang membaca koran karena melihat ayahnya
suka membaca koran.
Keempat, Faktor lembaga-lembaga sosial (institusional). Suatu lembaga
dapat juga menjadi sumber yang mempengaruhi terbentuknya sikap, seperti:
lembaga keagamaan, organisasi kemasyarakatan, partai politik, dan sebagainya.
Dari keempat faktor terbentuknya sikap di atas, dapat diambil penegasan
secara menyeluruh bahwa hubungan pembentukan sikap dengan faktor
pengalaman khusus (specific experience), faktor komunikasi dengan orang lain
(communication with other people), faktor Model, faktor lembaga-lembaga sosial
(institusional) sangat erat dan merupakan elemen penting dalam membentuk sikap
individu. Individu tidak akan bisa bersikap tanpa adanya aspek-aspek yang
membentuk sikap tersebut. Dari faktor-faktor di atas, ada faktor yang tidak dapat
dipisahkan dalam membentuk sikap individu, yaitu faktor lingkungan sebagai
tempat (locus) yang merupakan media munculnya faktor-faktor di atas.
3. Perubahan sikap
Sikap merupakan aspek psikis yang dipelajari, maka sikap itu dapat
berubah. Perubahan itu sudah barang tentu tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi
32
dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu. Mc Guire (2002:45) mengemukakan
tentang teorinya menngenai perubahan sikap itu sebagai berikut:
a.
Learning Theory Approach (pendekatan teori belajar)
Pendekatan teori ini berarti bahwa sikap itu berubah disebabkan oleh
karena proses belajar atau materi yang dipelajari.
b. Perceptual Theory Approach (pendekatan teori persepsi)
Pendekatan teori ini berarti bahwa sikap itu berubah bila persepsinya
tentang objek itu berubah.
c. Consistency Theory Approach (pendekatan teori konsistensi)
Pendekatan teori ini berarti bahwa setiap orang akan berusaha untuk
memelihara harmoni internal, yaitu keserasian atau keseimbangan
(kenyamanan) dalam dirinya. Apabila keserasiannya terganggu, maka ia
akan menyesuaikan sikap dan perilakunya demi kelestarian harmoninya
itu.
d. Functional Theory Approach (pendekatan teori konsistensi)
Pendekatan teori ini berarti bahwa sikap seseorang itu akan berubah atau
tidak, amat tergantung kepada hubungan fungsional (kemanfaatan) objek
itu bagi dirinya atau pemenuhan kebutuhan (need) dirinya.
Dari teori-teori tersebut di atas, dapat diidentifikasi bahwa pada dasarnya
sikap individu dapat berubah-ubah diakibatkan oleh banyak hal seperti
lingkungan, kebutuhan, serta individu lain. Perubahan tersebut akan terjadi,
tergantung kepada individu tersebut dalam mempersepsikan sesuatu rangsangan
(stimulus). Perubahan sikap tentu tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi
dirangsang oleh rangsangan (stimulus) yang berasal dari lingkungan kebutuhan
serta individu lain.
4. Pengertian Perilaku
Perilaku mempunyai peranan penting yang menentukan dalam kehidupan
dan pergaulan yang bersifat umum. Seseorang yang mempunyai perilaku buruk
selalu dikucilkan dalam pergaulan, sehingga mempersempit ruang geraknya
sendiri dan selalu dibenci oleh orang, yang berarti dari segi duniawi saja sudah
33
merugikan dirinya. Sebaliknya, orang yang berperilaku baik dimana-mana mudah
diterima dalam kehidupan masyarakat, disenangi oleh lingkungannya dan mudah
dipercaya oleh setiap orang yang berhubungan dengannya. Oleh karena itu, orang
yang berperilaku baik akan mudah mendapatkan rizki dan mudah segala
urusannya karena kehadirannya menenteramkan lingkungan. Dalam hal ini,
Kasumajana (Koentjaraningrat, 1989:6) mengemukakan bahwa:
Perilaku adalah tingkah laku tiap orang ketika sendirian maupun sedang
bergaul dengan sesamanya dalam segala bentuk, pada sembarang tempat,
waktu dan keadaan sehingga hal ini yang menyebabkan setiap orang
mempunyai keperibadian yang berbeda antara manusia yang satu dengan
yang lainnya.
Berbeda dengan yang diungkapkan oleh Abin Syamsudin (1990:21),
bahwa “perilaku itu pada hakikatnya merupakan interaksi individu dengan
lingkungannya sebagai manifestasi bahwa ia mahluk hidup”. Sedangkan
Kadarusmadi (1996:73) membagi perilaku menjadi dua bagian, yaitu perilaku
yang tampak oleh mata dan perilaku yang tidak tampak oleh mata.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa lingkungan
merupakan aspek yang paling utama dalam membentuk perilaku individu. Baik
atau buruknya perilaku individu, salah satunya diakibatkan oleh faktor
lingkungan. Sebaliknya, baik atau buruknya lingkungan akan mempengaruhi
perilaku individu secara keseluruhan. Lingkungan dan individu merupakan dua
aspek yang saling mempengaruhi yang dapat menciptakan suatu mekanisme
saling mempengaruhi satu sama lainnya.
34
5.
Memahami dan Mempelajari Perilaku
Sarlito Wirawan (1987:74) menyatakan bahwa untuk memahami dan
mempelajari perilaku manusia, ada beberapa pendekatan atau orientasi yang
digunakan yaitu:
a. Orientasi penguat.
Pendekatan ini menekankan bahwa perilaku manusia terjadi jika terdapat
stimulus (rangsangan) yang menimbulkan reaksi. John Watson yang
dikutip oleh Sarlito Wirawan (1987:74) menyatakan bahwa “tingkah laku
pada hakikatnya merupakan tanggapan atau balasan (respon) terhadap
stimulus (rangsangan), karena itu sangat mempengaruhi tingkah laku
sehinga tingkah laku tersebut diatur oleh rangsangan”.
b. Orientasi lapangan.
Pendekatan ini didasarkan oleh teori yang dikemukakan oleh Kurt Lewin
bahwa perilaku manusia dapat dilihat dari lapangan kehidupan itu sendiri.
c. Orientasi kesadaran.
Pendekatan ini memahami perilaku dengan menekankan pada proses dan
sentral seperti sikap, ide dan harapan. Perilaku muncul dan berkembang
karena adanya proses sentral tersebut yang mengarahkan manusia untuk
berperilaku tertentu.
d. Orientasi psikoanalisa.
Berdasarkan pada pendekatan ini bahwa tingkah laku manusia itu
dipengaruhi ketidak sadaran individu yang bersangkutan.
e. Orientasi tradisional.
Pendekatan ini menekankan bahwa perilaku manusia itu diakibatkan
adanya hubungan antara pribadi dengan lingkungan. Dalam hal ini,
perilaku dilihat sebagai hasil dari proses penilaian sosial, proses pemberian
sifat, proses kelompok dan peran individu dalam kehidupannya.
Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa perilaku manusia tidak
terlepas dari rangsangan stimulus yang ada didalam diri dan diluar diri individu,
yang selanjutnya tercermin dalam kehidupan sehari-hari berupa sikap maupun
tingkah laku. Perilaku manusia atau individu diakibatkan oleh adanya hubungan
interaksi antara pribadi dengan lingkungan. Selain itu, sikap, ide dan harapan dari
individu juga ikut mempengaruhi munculnya perilaku tertentu.
35
6.
Tahapan Perkembangan Perilaku
Agus Sujanto (1996:65) mengemukakan beberapa hal yang harus
diperhatikan oleh orang tua dalam perkebangan perilaku anak diantaranya adalah:
a. Pada setiap perkembangan manusia selalu mengalami diferensi baru, baik
jasmani maupun rohani. Hal ini tampak jelas bila memperhatikan tingkah
laku seseorang. Mula-mula anak kecil menerima sesuatu dengan kedua
tangannya, tetapi dalam perkembangannya anak tersebut menerima
sesuatu dengan satu tangannya.
b. Bahwa setiap suatu fase yang dialami oleh seorang anak adalah suatu
masa peralihan atau masa persiapan bagi masa selanjutnya. Tiap fase
antara anak yang satu dengan yang lain tidaklah sama. Inilah sebabnya
mengapa sering dikatakan bahwa setiap anak mempunyai irama
perkembangan sendiri-sendiri.
c. Perlu kita ketahui bahwa perkembangan yang dialami oleh seseorang
adalah perkembangan jasmani dan rohaninya. Oleh karena itu, dalam
membantu perkembangan perilaku seseorang, maka orang tua dan guru
diharapkan harus memperhatikan dari segi jasmani dan rohani orang yang
bersangkutan.
d. Perkembangan yang diawali dari keluarga dimana orang tersebut tinggal.
Oleh karena itu, keluarga menduduki tempat yang sangat penting bagi
terbentuknya kepribadian anak secara keseluruhan. Keluarga memberikan
pembentukan watak, memberi dasar pendidikan agama, menanamkan
sifat, kebiasaan, cita-cita dan sebagainya, sedangkan lembaga pendidikan
yang lain hanyalah sekedar membantu, melanjutkan, memperbanyak, dan
memperdalam apa yang diperoleh dari keluarga.
Senada dengan pendapat di atas, Lawrence Kohlberg (Sarlito Wirawan
Sarwono, 2004:47-50) menyatakan bahwa “kemampuan seseorang untuk melihat
baik buruknya sesuatu tergantung pada kemampuan penalaran, sehingga
kemampuan untuk mengerti moral pada anak-anak dan orang dewasa akan
berbeda”. Penalaran terhadap penilaian seseorang akan dipengaruhi oleh tingkat
keilmuan dan pengalaman, sehingga bagi orang yang tingkat pendidikan tinggi
dan pengalamannya banyak maka akan lebih bijaksana dalam penilaian terhadap
perilaku seseorang. Oleh karena itu, Lawrence Kohlberg berkeyakinan bahwa
perilaku manusia dapat dipelajari dengan mengikuti tahap-tahap berikut:
36
1) Pra-Konvensional
Pada tahap ini, manusia belum mengetahui aturan-aturan yang ada. Pada
tahap ini pendidikan diberikan kepada seseorang yaitu mengenai
bagaimana membedakan perbuatan yang baik atau buruk, sopan atau tidak
sopan, adil dan tidak adil. Dalam memberikan pendidikan, dapat dilakukan
dengan tegas sehingga setiap kesalahan bisa diberikan hukuman. Tahap ini
dibagi menjadi dua sub tahapan. Pertama, orientasi hukuman patuh yaitu
seseorang patuh dan menyesuaikan kelakuannya kalau ia mendapat
hukuman. Kedua, orientasi pertukaran instrumental yaitu pada tahap ini
tidak dikenal hukuman langsung apalagi yang bersifat fisik, tapi ada
kerugian maupun keuntungan yang akan dialami oleh seseorang seperti
denda, bonus dan sebagainya, tergantung pada perilaku seseorang yang
tujukan.
2) Konvensional
Konvensional yaitu seseorang sudah dapat memahami konvensi (aturan
norma) yang berlaku tanpa memerlukan hukuman fisik maupun non fisik.
Tahap ini terbagi menjadi dua sub bagian, yaitu pertama, orientasi
perilaku baik maupun tidak baik antara usia 6-11 tahun. Pada tahap ini
seseorang mengukur perilakunya berorientasi pada yang lazim dianggap
baik, misalnya menghormati orang yang lebih tua, rajin sholat, tidak ribut
di dalam kelas. Kedua, orientasi menjaga sistem yang terjadi pada usia
remaja antara 12-20 tahun. Perilaku moralnya ditujukan untuk
mempertahankan norma-norma tertentu.
3) Pasca Konvensional
Perkembangan moral pada usia dewasa tolak ukurnya sudah lebih bersifat
umum dan kuat, sudah tidak berpedoman pada konvensi-konvensi yang
baku lagi, kecuali konvensi-konvensi tersebut dianggapnya dapat
berfungsi pada tahapan yang lebih luas. Tahapan ini terdiri dari dua sub
tahap, yaitu pertama, orientasi kontak sosial yaitu orang sudah memahami
bahwa moral adalah untuk menjaga tatanan masyarakat agar tidak ada
orang yang dirugikan untuk kesenangan orang lain atau dikekang untuk
kebebasan orang lain. Kedua, orientasi prinsip etika universal yaitu
seseorang tidak lagi terpengaruh oleh situasi dan kondisi yang kongkrit
dan bersifat sesaat. Ukuran kebenaran dan ketidakbenaran berlaku umum
dan ia bisa melaksanakan secara konsekuen.
Berdasarkan perkembangan perilaku yang terjadi pada seseorang, maka
dapat disimpulkan bahwa perilaku manusia berkembang sejalan dengan tingkatan
usianya. Perilaku seseorang dapat dilihat dari bagaimana orang tersebut bersikap
dan berinteraksi dalam pergaulan di lingkungan masyarakat. Lingkungan
masyarakat tersebut akan menjadi semacam stimulus atau rangsangan bagi
37
individu, dalam pembentukan pola-pola perilaku dan sikap untuk memperkuat
karakter individu sebagai suatu pribadi yang unik dan khas.
7.
Faktor Pengaruh Perilaku
Keanekaragaman perilaku setiap individu satu sama lainnya dalam
kehidupan sehari-hari sering kita lihat. Hal ini karena faktor yang mempengaruhi
berbeda-beda pula, artinya setiap perkembangan perilaku seseorang itu
bergantung pada faktor-faktor yang mempengaruhi individu yang bersangkutan.
Berkenaan dengan hal tersebut, Kadarusmadi (1973:83) menyebutkan tiga faktor
yang mempengaruhi perilaku diantaranya adalah:
a. Pribadi.
Pribadi yaitu person (individu) yang melakukan suatu tindakan. Dalam
faktor ini mencakup aspek-aspek seperti perasaan, emosi persepsi,
kebutuhan, keinginan sikap dan kecenderungan untuk bertindak. Aspekaspek tersebut mengarahkan individu agar menanggapi atau memberi
respon tertentu terhadap suatu objek atau masalah yang dihadapi.
b. Lingkungan.
Lingkungan yaitu segala sesuatu yang berada di sekeliling individu. Faktor
ini dapat berupa lingkungan fisik seperti orang tua, sekolah, teman dan
masyarakat. Pada hakikatnya, lingkungan itu segala sesuatu yang
mempengaruhi individu yang dapat berhubungan, dipengaruhi atau
mempengaruhi individu agar ia melakukan sesuatu tindakan atau
perbuatan tertentu.
c. Situasi.
Situasi yaitu keadaan yang memungkinkan terjadinya hubungan antara
pribadi dengan lingkungan. Faktor ini berkenaan dengan situasi tertentu
yang dapat mendukung kelancaran terjadinya hubungan antara individu
dengan lingkungannya. Didalam situasi tertentu terdapat suatu iklim yang
pada akhirnya mendorong munculnya suatu perilaku-perilaku tertentu.
Sebagai
manusia,
secara
terus
menerus
pasti
akan
mengalami
perkembangan dan perubahan. Perkembangan dan perubahan perilaku manusia
dipengaruhi oleh berbagai hal. Setiap aspek perkembangan itu menyangkut fisik,
38
emosi, intelegensi maupun sosial. Mengenai faktor yang mempengaruhi
perkembangan perilaku manusia, Syamsu Yusuf (2001:31) membagi kedalam dua
faktor yang mempengaruhinya, yaitu:
1) Faktor heriditas atau faktor keturunan.
2) Faktor lingkungan.
Kemudian Hadisubrata (1991:33) mengemukakan hal yang serupa
mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kepribadian manusia itu dapat
digolongkan menjadi dua faktor, diantaranya yaitu:
a) Faktor keluarga, termasuk didalamnya sikap orang tua, suasana keluarga,
jumlah anggota keluarga, dan urutan kelahiran.
b) Faktor-faktor lain yang didalamnya termasuk pengalaman awal,
kebudayaan masyarakat, kondisi fisik, keberhasilan, kegagalan,
penerimaan sosial dan simbol status.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa segala aspek yang
berada di dalam dan di luar individu sangat berpengaruh terhadap perkembangan
perilaku individu itu sendiri. Dengan kata lain, faktor-faktor tersebut akan
mendorong bahkan mengarahkan individu pada perilaku tertentu. Apabila faktorfaktor yang mempengaruhi individu itu baik, maka akan menghasilkan individu
yang baik. Sebaliknya, jika salah satu faktor atau semua faktor yang
mempengaruhi individu memberikan pengaruh yang tidak baik, maka dapat
diprediksikan akan menghasilkan individu yang bermasalah.
39
C. Perilaku Sosial
1. Pengertian Perilaku Sosial
Keberadaan manusia sebagai mahluk individu dan sosial mengandung
pengertian bahwa manusia merupakan perpaduan antara aspek individu dengan
perwujudan anggota kelompok atau masyarakat. Sebagai mahluk individu dan
sosial, individu akan menampilkan tingkah laku tertentu, antara lain interaksi
individu dengan lingkungan fisik maupun lingkungan sosialnya.
Didalam interaksi-interaksi sosial tersebut, akan terjadi peristiwa
pengaruh-mempengaruhi antara individu yang satu dengan individu yang lainnya.
Hasil
dari
peristiwa
Koentjaraningrat
tersebut
adalah
perilaku
(1990:9) mengemukakan
sosial.
bahwa:
Dalam
“tingkah
laku
hal
ini
dalam
masyarakat merupakan hasil interaksi antara hubungan saling mempengaruhi
antara para anggotanya”.
Sebagai mahluk sosial, individu senantiasa mengadakan hubungan
interpersonal
dengan
individu
lainnya.
Di
dalam
aktivitas-aktivitasnya,
ditampilkan individu dalam mewujudkan hubungan interpersonalnya yang disebut
perilaku sosial. Syamsu Yusuf (2002:29) mengemukakan bahwa:”perilaku sosial
adalah suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang untuk berkomunikasi dengan
lingkungannya”.
Senada dengan hal tersebut, Gerungan (2004:12) menyatakan bahwa:
”perilaku sosial merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang untuk
berkomunikasi dengan orang lain (lingkungannya)”. Pendapat lain yang hampir
senada dikemukakan oleh Abin Syamsudin (2004:29) sebagai berikut: ”perilaku
40
sosial adalah suatu aktivitas yang dilakukan seseorang untuk berkomunikasi
dengan lingkungan sosialnya”.
Perilaku sosial individu sendiri muncul ketika individu menyesuaikan diri
dengan lingkungannya. Skinner (Sarlito Wirawan, 2000:17) menyatakan bahwa:
“Tingkah laku manusia berkembang dan dipertahankan oleh anggotaanggota msyarakat yang memberi penguat pada individu untuk bertingkah
laku secara tertentu. Dengan demikian maka tidak dapat dihindarkan
bahwa perilaku sosial muncul pada situasi terjadi interaksi sosial dalam
upaya individu menyesuaikan dirinya dalam suatu linkungan”.
Sementara itu, dalam kamus besar Bahasa Indonesia (1990:691), perilaku
diartikan sebagai tanggapan atau reaksi individu yang terwujud dan digerakkan
(sikap), tidak saja badan atau ucapan. Sosial sendiri diartikan sebagai sesuatu yang
berkenaan dengan masyarakat (1990:855). Jadi, perilaku sosial adalah gerakan
sikap yang ditunjukkan dalam masyarakat oleh individu dalam berinteraksi
dengan individu lainnya.
Dari pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa perilaku sosial
adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau individu untuk
berkomunikasi atau melakukan interaksi dan mengadakan hubungan interpersonal
dengan lingkungan sekitar atau masyarakat.
2. Bentuk-Bentuk Perilaku Sosial
Dalam suatu masyarakat, seseorang menampilkan perilaku sosial yang
beranekaragam. Sering kali ditemukan masyarakat yang mengalami berbagai
kesulitan dalam menampilkan perilaku sosialnya. Hal ini dapat dikatakan sebagai
masalah perilaku sosial.
41
Memahami perilaku sosial masyarakat, erat kaitannya dengan keberhasilan
dalam membantu masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial.
Sesuatu yang terjadi didalam masyarakat itulah yang dinamakan istilah sosialisasi.
Merujuk pada hal tersebut, Gerungan (2004:34) menyebutkan tiga proses
tahapan individu agar mampu bermasyarakat, yaitu:
a. Belajar berperilaku yang dapat diterima secara sosial.
b. Menanamkan peran sesuai dengan jenis kelamin.
c. Mengembangkan sikap sosial.
Perilaku sosial tersebut di atas dapat terbentuk melalui proses-proses sosial
diantaranya terdiri dari:
1. Hubungan Interpersonal
Hubungan interpersonal merupakan suatu konsep yang kompleks sebagai
manifestasi dari kekuatan-kekuatan psikologis dan psikis. Untuk memahami
tindakan-tindakan seseorang dalam hubungannya dengan pihak lain, diperlukan
pemahaman mengenai apa yang menjadi ketentuan dan tujuan dari perilaku sosial
tersebut. Syamsu Yusuf (2002:53) menyatakan bahwa ”hubungan interpersonal
adalah suatu bentuk proses interaksi antara dua atau lebih individu”.
Dalam perilaku individu akan nampak hubungan interpersonal yang dapat
diamati dari gejala-gejala perilaku interpersonal. Gerungan (2004:78) menjelaskan
proses terjadinya hubungan interpersonal sebagai berikut:
a. Tindakan seseorang terhadap yang lainnya berfungsi sebagai stimulus dan
pada saat yang sama reaksi dari pihak lainnya berfungsi sebagai respon.
42
b. Suatu respon terhadap stimulus tertentu akan selalu dikendalikan atau
dikontrol oleh suatu respon dan juga sebaliknya.
c. Tindakan dari kedua belah pihak pada hakekatnya tidak lain dari suatu
sebab dan suatu akibat.
Senada dengan hal tersebut, Koenjaraningrat (1990:34) memberikan
penjelasan bahwa bentuk hubungan interpersonal diibaratkan sebagai perangaiperangai respon diantaranya adalah:
a. Bagaimana hubungan sosial seseorang.
b. Bagaimana memahami perilaku seseorang.
c. Bagaimana tindakan-tindakan yang akan dilakukan oleh seseorang.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa hubungan interpersonal
berfungsi untuk melatih individu dalam berinteraksi dengan lingkunganan juga
akan membentuk kepribadian seseorang dalam wadah wawasan dalam pergaulan,
berkomunikasi atau melakukan interaksi dan mengadakan hubungan interpersonal
dengan lingkungan sekitar atau masyarakat.
2. Kerja sama
Bentuk dan pola-pola kerja sama dapat dijumpai pada semua kelompok
masyarakat. Kebiasaan-kebiasaan dan sikap-sikap demikian dimulai sejak masa
kanak-kanak didalam kehidupan keluarga atau kelompok-kelompok kekerabatan.
Bentuk kerja sama tersebut berkembang apabila individu dapat digerakkan untuk
mencapai suatu tujuan bersama dan harus ada kesadaran bahwa tujuan tersebut
dikemudian hari mempunyai manfaat bagi semua kelompok masyarakat.
43
Hal tersebut senada dengan pendapat Koentjaraningrat (1990:67) yang
menyatakan sebagai berikut:
“Kerjasama muncul karena orientasi orang per orang terhadap kelompok
dan kelompok lainnya. Kerjasama yang mengancam atau ada tindakantindakan luar yang menyinggung kesetiaan secara tradisional atau
institusional yang telah tertanam didalam kelompok, dalam diri seseorang
atau segolongan orang. Kerjasama dapat bersifat agresif apabila kelompok
dalam jangka waktu lama mengalami kekecewaan sebagai akibat perasaan
tidak puas, karena keinginan pokoknya tidak dapat terpenuhi oleh karena
adanya rintangan-rintangan yang bersumber dari kelompok itu. Keadaan
tersebut dapat menjadi lebih tajam apabila kelompok demikian merasa
tersinggung atau dirugikan sistem kepercayaan atau dalam salah satu
bidang sensitif dalam bidang kebudayaan maupun agama.
Sementara itu, Charles H. Cooley (Gerungan, 2004:56) mengilustrasikan
betapa pentingnya fungsi kerjasama sebagai berikut:
“Kerjasama timbul apabila orang menyadari bahwa mereka mempunyai
kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan
mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri
untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut. Kesadaran akan
adanya kepentingan-kepentingan yang sama dan adanya organisasi
merupakan fakta-fakta yang penting dalam kerjasama yang berguna”.
Dari uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa kerjasama adalah
suatu kegiatan yang dilakukan sekelompok individu secara teratur berinteraksi
untuk mencapai tujuan bersama yang telah ditetapkan. Kerjasama merupakan
hasil dari suatu proses saling ketergantungan antar anggota masyarakat melalui
individu dengan individu, individu dengan kelompok ataupun kelompok dengan
kelompok dalam suatu masyarakat.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Sosial
Keragaman dan keunikan perilaku sosial yang dilakukan oleh masyarakat
merupakan manifestasi dari pengaruh yang melatarbelakanginya. Artinya,
44
keunikan perilaku itu disebabkan oleh faktor-faktor yang menimbulkan hal
tersebut. Senada dengan hal tersebut, Soerjono Soekanto (1990:123-124) yang
mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi tingkah laku seseorang
dapat digolongkan sebagai berikut:
a. Faktor dari dalam, yaitu faktor yang dimiliki oleh setiap manusia semenjak
kejadiannya, kedalamannya termasuk kecerdasan, bakat-bakat khusus,
jenis kelamin, sifat-sifat fisik, sifat-sifat kepribadian dan dorongandorongan.
b. Faktor dari luar, yaitu faktor yang dihadapi oleh individu tersebut pada
waktu dan sesudah lahir terdapat dalam lingkungannya, meliputi keluarga,
sekolah, masyarakat, kelompok sebaya, kebudayaan dan lngkungan fisik.
c. Faktor yang diperoleh dari dalam dan luar, yaitu apabila faktor endogen
dengan faktor eksogen meliputi: sikap, minat, keadaan-keadaan emosi, dan
kepribadian.
Pendapat lain dikemukakan oleh Husai Yusuf (Syamsu Yusuf, 2002:53)
yaitu: “keberhasilan perilaku sosial individu dipengaruhi oleh intelegensi
sosialnya. Selain itu tempramen, sikap kejujuran, pertimbangan, humor dan
persahabatan, dan tingkat kebebasan dari rasa cemburu”.
Selain faktor-faktor di atas, Soerjono Soekanto (1990:67) menyebutkan
bahwa masyarakat berperilaku berbeda-beda dalam berinteraksi dipengaruhi oleh
beberapa faktor, diantaranya sebagai berikut:
1. Faktor kekayaan
Individu yang memiliki kekayaan banyak, termasuk lapisan atas, dan
biasanya dalam interaksi di masyarakat juga berbeda.
45
2. Ukuran kekuasaan
Individu yang bmemiliki kekuasaan dimasyarakat, biasanya masyarakat
selalu patuh dan taat pada perilaku yang dicontohkan oleh individu
tersebut.
3. Ukuran kehormatan
Ukuran kehormatan tersebut mungkin terlepas dari ukuran-ukuran
kekayaan dan kekuasaan. Individu yang paling disegani dan dihormati
mendapat tempat yang teratas. Biasanya golongan ini adalah orang yang
pernah berjasa dalam kehidupan masyarakat.
4. Ukuran ilmu pengetahuan
Ilmu pengatahuan adalah ukuran yang dipakai oleh masyarakat yang
menghargai ilmu pengetahuan, dimana mereka mencontoh individu yang
memiliki pengetahuan yang tinggi, padahal itu belum tentu dalam
kehidupan dimasyarakat pada saat ini.
Selain faktor di atas, perilaku sosial seseorang atau masyarakat juga dapat
dipengaruhi oleh faktor perubahan sosial yang ada dimasyarakat, diantaranya
adalah sebagai berikut:
1. Sistem pendidikan formal yang maju
Pendidikan mengajarkan kepada individu aneka macam kemampuan.
Pendidikan memberikan nilai-nilai tertentu dalam membuka fikirannya
serta menerima hal-hal baru dan juga bagaimana cara berfikir. Pendidikan
mengajarkan manusia untuk dapat berfikir secara obyektif, hal mana yang
akan memberikan kemampuan untuk menilai apakah kebudayaan
masyarakat dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan zaman atau tidak.
2. Toleransi
Perilaku yang berbeda-beda antara masyarakat tersebut dengan adanya
toleransi baik beragama maupun bermasyarakat akan tetap menghargai
perilaku dari masyarakat lain walaupun perilaku tersebut menyimpang.
Dengan adanya toleransi menghindari dari terjadinya bentrokan antara
masyarakat tersebut.
3. Penduduk yang heterogen
Masyarakat yang terdiri dari kelompok sosial yang mempunyai latar
belakang kebudayaan yang berbeda, agama, ras, serta ideologi,
mempermudah terjadinya pertentangan yang mengundang kegoncangankegoncangan dan konflik dalam masyarakat. Keadaan demikian
mendorong masyarakat serta individu dalam bersikap dan berperilaku.
Dari beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku sosial dalam
masyarakat, dapat disimpulkan bahwa memang tidak ada variabel tunggal dalam
mempengaruhi perilaku sosial dalam masyarakat. Kontekstualitas dalam
46
memahami perilaku sosial dalam masyarakat agaknya menjadi faktor yang utama
dalam memahami faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku sosial dalam
masyarakat. Artinya, tidak ada satu teoripun yang bisa mengakomodir dalam
memahami hal tersebut. Hal ini dapat teridentifikasi dengan kasus-kasus perilaku
sosial dimasyarakat, baik yang posistif maupun negatif (menyimpang) dalam
masyarakat, hampir semuanya memiliki faktor-faktor tersendiri yang bersifat
kastuistis dan kontekstual.
D. Sejarah Dialog dan Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama di
Indonesia dan dunia
1. Faktor-faktor yang Menyebabkan Bentrokan Antar Umat Beragama
Menurut Kasman Singodimejo (Hasyim 1979:337), ada tujuh faktor yang
menyebabkan terjadinya bentrokan antar umat beragama, yaitu:
1. Dangkalnya pengertian dan kesadaran beragama
Apabila terjadi bentrokan atau persengketaan antara umat beragama, maka
para pelakunya belum tentu sebagai seorang awam di bidang agama, tetapi
justru mereka itu termasuk tokoh-tokoh agama yang menguasai ilmu
agama yang menyebabknanya. Seperti pada peristiwa Makasar, adalah asal
mula dari penghinaan seorang pendeta terhadap umat Muslim setempat.
2. Fanatisme yang negatif
Orang yang teguh menjalankan perintah agamanya, tunduk dan taat pada
ajaran dan keyakinan agamanya adalah baik. Orang yang tidak goyah
pendiriannya walaupun keras godaan yang menimpa adalah baik. Ia
dikatakan seorang yang fanatik. Tetapi fanatisme buta, tentu saja fanatisme
yang negatif adalah jelek. Ia buta tuli, cinta kepada pahamnya dengan
membeli buta, dengan merealisasikan segala sikap dan geraknya untuk
menyerang dan menghina faham atau agama lain. Ia bersikap sinis
terhadap golongan lain.
3. Cara dakwah dan propaganda yang salah
Agar di dalam pelaksanaan dakwah dan propaganda agama diperhatikan
kode-kode etik penyebaran agama, dengan sejauh mungkin dihindari
ucapan-ucapan yang mempersoalkan doktrin-doktrin keyakinan agama
lain, walaupun bersifat perbandingan sekalipun dengan pengertian bahwa
47
4.
5.
6.
7.
cara penyampaian bahan itu tidak bersifat menghasut dan memanaskan
golongan lain.
Cara-cara dalam berdakwah yang salah bisa memungkinkan menjadi
sumber penyebab bentrokan antar umat beragama, apalagi bila bermaksud
untuk menghasut dan tidak pula mengingat dan memperhitungkan faktor
waktu, lingkungan dan kepentingan umum.
Obyek dakwah dan propaganda agama
Penyiaran agama yang amat menyolok kepada pemeluk agama lain apalagi
secara demonstratif adalah sesuatu yang amat menyinggung perasaan
keagamaan. Dengan cara yang demikian, masyarakat beragama menjadi
anak buah atau anak asuhan atau anggota jama’ah dari agama tertentu
kemudian dibujuk dan dirinya agar dapat memeluk agamanya orang yang
membujuk tadi. Hal ini adalah merupakan pengumuman permusuhan
secara halus atau berterus terang saja.
Subversi sisa G30S/PKI
Memang terkadang bekas-bekas anggota PKI ikut mengacau agar
ketenteraman uamat beragama terganggu. Seperti peristiwa Jatibarang,
yakni tentang larinya gadis Muslim kemudian menjadi Kristen adalah
karena mendapat geriliya politik dari bekas anggota PKI. Maka terkadang
juga dikatakan bahwa bentrokan antar umat beragama itu mendapat
hasutan dan dikobarkan oleh anggota PKI yang berjiwa komunis karena
mendapat hasutan dari orang-orang komunis.
Karena perlakuan yang tidak adil terhadap agama lain
Lihat saja peristiwa pemberontakan orang Islam Mindanao, adalah karena
perlakuan yang tidak adil dan sewenang-wenang dari penguasa yang
beragama Kristen Katholik, dimana perlakuan itu karena bertendensi atau
berlatar belakang agama. Atau seperti di Eretria, Ethiopia dan di Negara
Afrika lainnya.
Karena perebutan kekuasaan
Sebagai contoh adalah perang antara Irlandia dan Inggris, adalah karena
tuntutan hak untuk merdeka sendiri yang berlatar belakang agama juga.
Senada dengan pendapat di atas, Jalaluddin (2001:277) menguraikan
faktor-faktor penyebab terjadinya konflik agama sebagai berikut:
1. Pengetahuan agama yang dangkal
Ajaran agama berisi nilai-nilai ajaran moral yang berkaitan dengan
pembentukan sifat-sifat yang luhur. Namun demikian, tidak semua
penganut agama dapat menyerap secara utuh ajaran agamanya. Kelompok
seperti ini biasanya dikenal sebagai masyarakat awam. Dalam
keterbatasan pengetahuan yang dimilikinya, terkadang mereka
memerlukan informasi tambahan dari orang lain yang dianggap lebih
menguasai permasalahan agama.
2. Fanatisme
48
Agama sebagai keyakinan, pada hakikatnya merupakan pilihan pribadi
dari pemeluknya. Pilihan itu tentunya didasarkan pada penilaian bahwa
agama yang dianutnya adalah yang terbaik. Pemahaman inilah yang
merupakan pemicu konflik agama.
3. Agama sebagai doktrin
Ada kecenderungan di masyarakat bahwa agama dipahami sebagai
doktrin yang bersifat normatif. Pemahaman demikian menjadikan ajaran
agama sebagai ajaran yang kaku. Inilah yang menjadikannya sebagai
ajaran yang sulit diubah dan diganggu.
4. Simbol-simbol keagamaan
Dalam kajian antropologi, agama ditandai oleh keyakinan terhadap sesuatu
yang bersifat adikordati (Supernatural), ajaran, penyampai ajaran, lakon
ritual, orang-orang suci, tempat-tempat suci dan benda-benda suci. Simbol
inilah yang sensitif menimbulkan konflik bila diganggu atau dirusak.
Sementara itu, Rosita S. Noer (Abdul Azis 2001:275) mengutarakan
pendapat bahwa:
Akhir-akhir ini telah terjadi sejumlah kasus yang cukup mencemaskan.
Selama kurun waktu tiga tahun terakhir ini, kerusuhan sosial semakin
menjadi gejala umum bagi perjalanan kehidupan bangsa Indonesia.
Penyebab awal yang tampak di permukaan dari kasus-kasus tersebut
adalah marahnya massa hingga terjadi kerusuhan. Sementara penyebab
yang menjadi faktor tersembunyi umumnya dikaitkan dengan masalahmasalah hubungan sosial keagamaan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa konflik agama
muncul ketika masyarakat merngalami semacam clash atau kesalahpahaman
secara interaksi sosial. Kesalahpahaman sosial tersebut merembet ke hal-hal yang
bersifat entitas keagamaan. Dari entitas keagamaan inilah berkembang menjadi
konflik yang lebih permanen, karena agama memang menjadi sistem nilai yang
bersifat fanatis dan memang menuntut pemeluknya untuk bersikap dan bertingkah
laku loyal (setia atau cinta) terhadap agamanya.
49
2. Hasil-Hasil Dialog Antar Umat Beragama di Dunia
Akibat dari bentrokan antar umat beragama sungguh parah karena hal itu
bisa merembet keseluruh negara dan melibatkan seluruh sudut kehidupan bangsa.
Maka, setelah terjadi gejala-gejala yang tidak sehat dikalangan kehidupan
beragama di Indonesia ini, pemerintah segera menyelenggarakan dialog-dialog
agar peristiwa-peristiwa tersebut tidak berkelanjutan, sehingga nantinya dapat
mengganggu program pembangunan yang sedang berjalan ini.
Dengan demikian, maka dialog-dialog itu merupakan suatu bentuk
kegiatan yang diadakan sebagai proyek dari pembinaan kerukunan hidup antar
umat beragama. Hasyim (1979:342) mengatakan bahwa dialog yang merupakan
komunikasi interpersonal di dalam kalangan umat beragama itu telah
diselenggarakan di beberapa tempat di Indonesia, sebagai berikut:
Tahun 1972/1973 di Surabaya, Yogjakarta, Jakarta, Medan serta
Ujungpandang.
Tahun 1973/1974 di Manado, Palembang, Denpasar serta Banjarmasin.
Tahun 1974/1975 di Kupang, Bandung, Semarang, Pontianak serta
Jakarta.
Tahun 1975/1976 di Ujungpandang, Medan, Sukabumi, Malang, serta
Sala.
Tahun 1999 s/d 2003 di Poso, Sampit, Ambon, Maluku serta Papua.
Di samping dialog-dialog di atas, Departemen Agama juga ikut aktif dan
mengirim utusan-utusannya pada dialog-dialog antar agama di luar negeri, seperti:
Tahun 1970 (bulan Maret) pada dialog Ajaltoun Libanon, Menteri Agama
Mukti Ali sendiri ikut hadir. Pertemuan Ajaltoun ini merupakan tonggak
sejarah yang penting dalam kehidupan umat beragama.
Tahun 1970 (Desember) pada dialog Islam-Kristen di Vatikan Roma.
Tahun 1972 pada dialog agama di Broumana, Libanon.
Tahun 1974 pada dialog agama di Srilanka.
Tahun 1975 pada dialog agama di Hongkong.
50
Selain itu juga, pada tahun 1973 di Jakarta telah diadakan seminar
pimpinan-pimpinan agama dalam pembangunan yang diselenggarakan kerjasama
antara Yayasan Tenaga Kerja Indonesia, Ebert Stiftung dan Departemen Agama
Indonesia, dan juga pada tahun 1974 di Banda Aceh.
Hamka (Hasyim, 1979:343) menguraikan hasil-hasil dialog antar umat
beragama di luar negeri, anatara lain di Beirut, Srilanka, Hongkong serta Libanon
ialah:
1. Adanya keinginan untuk saling memahami kepercayaan satu sama lain,
antar pemeluk agama di dunia. Orang-orang Kristen dan Islam dapat
bekerjasama dalam situasi lokal dan nasional, dalam pembinaan bangsa
untuk menjamin hak-hak manusia dan agama dan usaha untuk mencapai
keadilan dan perdamaian. Dialog menerima dengan senang hati adanya
keinginan bahwa bantuan-bantuan dari kelompok agama tidak hanya
diberikan melalui kelompok-kelompok agama saja tetapi diberikan tanpa
syarat untuk kepentingan masyarakat seluruhnya tanpa membeda-bedakan
agama.
2. Jangan sampai orang berusaha agar orang lain yang sudah memeluk agama
meninggalkan agamanya untuk memeluk agama yang lain dengan
penindasan atau daya tarik ekonomi dan kebudayaan. Adalah terutama
tidak patut untuk mengeksploitir kelemahan orang-orang yang tidak
berpendidikan, orang sakit dan anak-anak muda.
3. Kita menekankan untuk menjauhi polemik untuk lebih meningkatkan
hubungan antar kedua kelompok agama. Umat Islam dan Kristen bekerja
sama untuk menghilangkan kesalahpahaman dan pertentangan dalam
masa-masa yang lalu. Hendaknya diusahakan bekerjasama dalam
kehidupan sehari-hari.
4. Hendaknya diusahakan dialog seperti ini dilakukan juga dalam situasi
lokal dan bahwa dialog itu melibatkan kerjasama dalam bidang sosial,
intelek dan dalam beberapa hal satu sama lain dapat saling mengisi dalam
kehidupan kesalehan.
5. Dialog ini akan diikuti dengan dialog-dialog lainnya. Perlu diterangkan
bahwa dalam waktu pembukaan oleh ketua penyelenggara dari Dewan
Gereja Sedunia diterapkan bahwa dialog Kristen-Islam ini tidak ingin
membentuk satu kelompok untuk kelompok agama lain.
51
Sementara itu, Kasman Singodimejo (Hasyim, 1979:345) menguraikan
hasil-hasil dialog antar umat beragama yang di selenggarakan di Indonesia, yang
kemudian melahirkan kesimpulan dan ikrar sebagai berikut:
1. Penggalian sebab-sebab timbulnya ketegangan antar umat beragama.
2. Perlunya dialog antar umat beragama.
3. Tentang wadah bersama antar umat beragama, perlu dibentuk seharmonis
mungkin.
4. Program bersama dan partisipasi umat beragama dalam pembangunan.
5. Tentang kode etik pergaulan dan penyebaran agama.
6. Dan masalah-masalah lain yang menyangkut kemasyarakatan dan
pembangunan.
Menurut Rasyidi yang dimuat dalam “Panji masyarakat” terbitan tanggal
15 September 1976 (Hasyim, 1979:345), menguraikan hasil-hasil pernyataan
konferensi misi Kristen dan Dakwah Islamiyah, di Chambesy, Jenewa pada
tanggal 30 juni 1976, sebagai berikut:
1. Berhubung misi Kristen dan Dakwah Islam merupakan kewajiban yang
pokok (essensiil) dalam agama Kristen dan agama Islam, maka oleh
Dewan Gereja Dunia bekerjasama dengan Islamic Foundation (Yayasan
Islam) di Leicester London telah diadakan konferensi pada tanggal 28
Jumadil Akhir - 4 Rajab 1396/26 Juni 1976. Selain menyelidiki watak
(nature) daripada Dakwah Islamiyah dan misi Kristen, tujuan daripada
konferensi adalah untuk memupuk umat Kristen dan untuk menyelidiki
usaha-usaha atau jalan tengah yang akan menjamin kesejahteraan rohani
bagi semua pihak.
2. Konferensi menyetujui sepenuhnya bahwa masyarakat masing-masing,
apabila salah satunya merupakan minoritas penduduk suatu negara, maka
harus mempunyai wujud (existensi) de jure, bahwa tiap-tiap kelompok
keagamaannya dalam kebebasan yang penuh. Konferensi menjunjung
tinggi prinsip kemerdekaan beragama dan mengakui bahwa umat Islam
dan umat Kristen harus mempunyai kemerdekaan untuk meyakinkan
(orang lain) dalam meyakini untuk diri sendiri dan untuk mengamalkan
kepercayaan mereka dan mengatur kehidupan keagamaan mereka menurut
hukum-hukum dan prinsip-prinsip agama itu sendiri, dan tiap-tiap
perorangan berhak sepenuhnya untuk mempertahankan keimanan
keagamaannya dengan mengikuti prinsip agamanya dan dengan patuh
akan identitas keagamaannya.
3. Konferensi setuju bahwa kehidupan keluarga adalah suatu lembaga yang
wajib dilakukan dan yang sangat berharga. Konferensi menyatakan
52
4.
5.
6.
7.
perhatiannya yang sungguh terhadap bahaya disintegrasi yang mengancam
lembaga kekeluargaan, dan konferensi juga menganjurkan agar hukum
agama mengenai keluarga, baik Islam maupun Kristen, jangan sampai
diganggu dan diganti pleh pihak diluar tradisinya. Konferensi menyetujui
pula bahwa keluarga dan umat harus mempunyai hak untuk menjamin
pendidikan agama bagi anak-anak mereka, dengan mengorganisir sekolahsekolahnya sendiri, atau dengan memakai guru-guru dari agamanya untuk
mengajarkan agama kepada anak-anak mereka di rumah, sekolah atau
dengan cara yang baik. Bagaimanapun juga, mereka harus diizinkan
mengorganisir (mengatur) kehidupan spiritual dan kulturil mereka dengan
tak ada campur tangan dari luar.
Konferensi merasa sedih mendengar bahwa sebagian umat Kristen di suatu
negara Islam tidak dibolehkan mendirikan gereja. Para peserta konferensi
yang beragama Islam memandang perlakuan tersebut sebagai tindakan
yang bertentangan dengan hukum agama mereka dan hak mereka untuk
mempunyai dan mengurus lembaga-lembaga yang diperlukan menurut
prinsip-prinsip dan hukum-hukum agama mereka sebagaimana warga
negara yang sama haknya.
Para peserta konferensi yang beragama Kristen menyampaikan simpati
yang dalam kepada umat Islam terhadap kejahatan moral yang mereka
derita dari para kaum penjajah, neo kolonilaisme dan kaki tangan mereka.
Konferensi menyadari bahwa hubungan Islam-Kristen telah dinodai
dengan ketidakpercayaan, buruk sangka dan rasa takut umat Islam dan
umat Kristen telah jauh satu daripada lainnya dan tidak bekerjasama untuk
kebaikan kedua belah pihak.
Konferensi telah sadar dengan merasa sedih bahwa sikap umat Islam
terhadap misi Kristen telah banyak dipengaruhi oleh penyalahgunaan
diakonia (pengabdian masyarakat) itu dan mengajurkan dengan paksa agar
gereja-gereja dan organisasi-organisasi Kristen untuk sementara
memberhentikan aktivitas pengabdian masyarakat di dunia Islam.
Tindakan yang radikal ini adalah perlu untuk membersihkan suasana
hubungan Islam-Kristen dan untuk mengarahkannya kepada pengakuan
timbal balik dan kerjasama yang layak bagi kedua agama besar ini.
Konferensi menganjurkan supaya sedapat mungkin segala bantuan materiil
yang diberikan untuk gereja-gereja dan organisasi agama di luar negeri,
mulai sekarang dibagi-bagikan melalui saluran Pemerintah atau dengan
bekerja sama dengan Pemerintah Negara dimana bantuan itu
diperuntukkan dengan mengindahkan kehormatan dan kepribadian bangsa
yang bersangkutan.
Konferensi menganjurkan bahwa segera setelah tindakan-tindakan yang
disebutkan di atas diselenggarakan, umat Islam dan Kristen agar dipanggil
ke dalam suatu persidangan antara wakil-wakil kedua kepercayaan untuk
membicarakan metode misi Kristen dan Dakwah Islam serta aturan-aturan
bagi tiap-tiap agama tersebut dan untuk mencari jalan tengah agar tiap-tiap
agama dapat melakukan misi dan dakwahnya menurut kepercayaan
masing-masing.
53
8. Konferensi menyadari bahwa hubungan persahabatan dan kerjasama
antara Islam dan Kristen tidak akan terwujudkan atau langsung ada,
kecuali jika didasarkan atas paham yang timbal balik mengenai teologi,
sejarah, doktrin dan hukum dan moral, teori-teori sosial dan modernisasi
daripada kedua kepercayaan itu. Untuk maksud tersebut, konferensi
menganjurkan agar Dewan Gereja Dunia, Vatikan dan organisasiorganisasi Islam Internasional mensponsori siding-sidang yang diadakan
secara teratur dimana soal-soal tersebut diselidiki dan didiskusikan.
9. Konferensi khususnya para peserta yang beragama Islam menyampaikan
pengahargaan yang setinggi-tingginya kepada Dewan Gereja Dunia dan
pimpinan Majalah Internasional mengenai misi untuk undangannya dan
bantuannya terhadap konferensi ini. Semua peserta menyampaikan rasa
gembiranya bahwa Tuhan telah memberikan kepada mereka kesabaran
dalam berunding dan rasa simpati. Mereka berterimakasih kepada Tuhan
bahwa konferensi ini telah dapat memberikan sumbangan untuk
menjernihkan suasana hubungan Kristen-Islam dimasa mendatang dan
mereka berdoa mudah-mudahan hubungan antara penganut-penganut
agama yang diwakilinya berkembang menjadi persaudaraan spiritual untuk
keagungan Tuhan sendiri.
Sementara itu, Kafrawi (Azyumardi, 2003:124) menguraikan berbagai
macam hambatan dalam melakukan proses dialog antar umat beragama di
Indonesia, antara lain:
1. Sementara orang menganggap bahwa kerukunan yang dicapai atau yang
kelihatan sekarang ini adalah sekedar kerukunan semu belaka. Masingmasing mengidap kecurigaan, ketidakpercayaan dan kekhawatiran
terhadap yang lain.
2. Belum adanya keberanian masing-masing untuk menafsirkan kembali
misionary zeal mereka yang mengakibatkan setiap kegiatan selalu
ditujukan, dijiwai dan diwarnai dengan semangat tersebut.
3. Kelompok Islam curiga dan khawatir bahwa umatnya akan dimurtadkan
(dalam angka waktu 20 tahun), sementara kelompok Kristen dihantui oleh
negara Islam.
4. Masih adanya dugaan bahwa satu kelompok mengendalikan kwalitas dan
kekayaannya, sedang kelompok yang lain mengandalkan kekuatan dan
jumlahnya.
5. Ketegangan-ketegangan sosial, politik, tidak jarang atau sering melibatkan
kelompok agama, hal ini berakibat terganggunya kerukunan.
6. Terangkatnya pejabat-pejabat yang memeluk agama diam-diam selalu
dinilai akan menguntungkan kelompok seagamanya dan sebaliknya selalu
dicurigai akan merugikan bahkan menindas kelompok agama lain.
54
7. Tenaga-tenaga asing dalam bidang agama juga tidak jarang yang
menimbulkan ketegangan karena ketidakpahaman mereka tentang jiwa
Pancasila.
Lebih jauh lagi, Hasyim (1979:357) menguraikan dasar-dasar serta
landasan kerukunan hidup antar umat beragama, sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
Falsafah Pancasila
Undang-Undang Dasar 1945
Tugas Nasional Bersama dalam Pembangunan
Setuju dalam perbedaan
Rukun, saling menghormati, saling mengerti, adalah watak Bangsa
Indonesia
6. Adanya kode etik penyebaran agama
M. Panggabean (Hasyim, 1979:357) menguraikan pendapat yang senada
mengenai faktor-faktor dalam membina kerukunan hidup umat beragama, sebagai
berikut:
1. Golongan yang belum beragama atau belum berKetuhanan Yang Maha
Esa termasuk golongan atheis dan animis diusahakan agar mereka
beragama dan berKetuhanan Yang Maha Esa, sesuai dengan keyakinan
dan pilihannya sendiri.
2. Golongan yang sudah beragama atau berKetuhanan Yang Maha Esa,
diusahakan agar mereka makin mantap dan tebal imannya serta luhur budi
pekertinya berdasarkan keyakinan agamanya masing-masing.
3. Golongan pemuda dan golongan remaja diusahakan untuk menghargai dan
menghayati nilai-nilai moral dan akhlak yang luhur serta kegiatan-kegiatan
usaha yang lebih mengarah kepada pembangunan.
55
4. Golongan ulama dan cendikiawan diusahakan kreativitas dan dukungan
yang bergairah sehingga akan menimbulkan partisipasi nyata dari rakyat
terhadap program-program pembangunan.
5. Peningkatan kerukunan hidup beragama dan jiwa tenggang rasa umat
beragama yang tinggi antar pemeluk agama yang berlainan, dengan
memperhatikan faktor-faktor di bawah ini:
a. Jangan sampai berusaha supaya orang lain yang sudah memeluk
agama meninggalkan agamanya untuk memeluk agama yang ia peluk
dengan penindasan atau daya tarik ekonomi dan kebudayaan.
b. Menjauhi polemik untuk lebih meningkatkan hubungan antar
kelompok-kelompok yang berbeda agama.
c. Saling memehami kepercayaan satu sama lain.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam
menghadapi masa Pembangunan Nasional dewasa ini perlu kiranya suatu
perumusan serta rencana strategi jangka pendek, jangka menengah, dan jangka
panjang mengenai pembinan kerukunan hidup beragama. Adapun materi pokok
yang perlu mendapatkan pembahasan serta selanjutnya ditentukan sasaran pokok
yang harus dicapai ialah masalah komunikasi antar agama untuk menyusun
“modal rohaniah dan mental bagi pembangunan nasional”.
Sementara itu,
dalam
pidatonya di
Pesantren
Islam
Suralaya,
Tasikmalaya, tanggal 10 Juni 1978, Menteri Agama H. Alamsyah Ratu
Prawiranegara (Hasyim, 1979:376) menegaskan bahwa perlu adanya tiga macam
kerukunan di Indonesia agar pembangunan berlangsung dengan mantap dan
56
lancar. Ketiga kerukunan tersebut dikenal dengan istilah Tri Kerukunan Umat
beragama, sebagai berikut:
1. Kerukunan intern umat beragama
Kerukunan ini mencakup kerukunan para pemeluk suatu agama tertentu,
seperti sesama orang Islam, sesama orang Kristen, sesama orang Hindu,
serta sesama orang Budha.
2. Kerukunan antar umat beragama
Kerukunan ini mencakup antara pemeluk-pemeluk agama di Indonesia.
Antara pemeluk agama di Indonesia hendaknya saling menghormati dan
menghargai serta saling mengunjungi satu sama lainnya dengan
berpedoman kepada ayat Al-Quran, “Lakum diinukum wa liya diin”, yang
artinya bagimu agamamu dan bagiku agamaku.
3. Kerukunan umat beragama dengan pemerintah.
Kerukunan ketiga ini dapat tercapai jika pemerintah bisa memahami apa
yang disenangi dan apa yang tidak disenangi oleh rakyatnya. Begitu juga
rakyat memahami hal-hal yang disenangi dan tidak disenangi oleh
pemerintah. Seperti hal-hal yang tidak disenangi rakyat, kemudian
pemerintah mengambil kebijaksanaan yang baik, yakni memutuskan
tidak memasukannya “aliran kepercayaan” ke dalam Departemen
Agama. Hal yang disenangi pemerintah antara lain ialah apabila rakyat
memelihara Ketahanan Nasional dan turut melaksanakan pembangunan.
Sedangkan, yang tidak disenangi pemerintah adalah rakyat tidak
memandang dan menghargai Pancasila, dengan mengganggu ideologi
Pancasila dengan berbagai konflik agama dan perdebatan ideologi agama
yang menjurus kearah konflik.
E. Toleransi Antar Umat Beragama dalam Agama Islam
1. Pengertian Toleransi
Dalam era sosial dan masyarakat yang pluralis seperti masyarakat
Indonesia ini, nilai-nilai toleransi dibutuhkan dalam mempertahankan keutuhan
masyarakat,
mencegah
bentrokan,
persatuan
dan
kesatuan
bangsa dan
melestarikan nilai-nilai budaya bangsa akan arti dan makna toleransi baik dalam
konteks Islam juga dalam konteks berbangsa dan bernegara. Agar tidak terjadi
kekaburan bahasa dan makna, dibawah ini penulis akan membahas definisi
tentang toleransi.
57
Toleransi di dalam Bahasa Arab biasa dikatakan ikhtimal, tasaamukh,
yang artinya sikap membiarkan, lapang dada. Samakhatasaamakha yang berarti
lunak, berhati ringan. Atau bisa juga dengan kesabaran hati atau membiarkan,
dalam arti menyabarkan diri walaupun diperlakukan kurang senonoh umpamanya.
Senada dengan pengertian toleransi dalam Bahasa Arab, definisi yang hampir
sama juga diungkapkan oleh Hasyim (1979:22) yang mengemukakan bahwa:
Pada umumnya, toleransi diartikan sebagai pemberian kebebasan kepada
sesama manusia atau kepada sesama warga masyarakat untuk menjalankan
keyakinannya atau mengatur hidupnya dan menentukan nasibnya masingmasing, selama di dalam menjalankan dan menentukan sikapnya itu tidak
melanggar dan tidak bertentangan dengan syarat-syarat azas terciptanya
ketertiban dan perdamaian dalam masyarakat.
Definisi di atas menegaskan bahwa toleransi secara prinsipil adalah suatu
tindakan yang apresiatif (menghargai), membiarkan dengan tetap mengontrol
tindakan orang lain, baik itu dalam konteks ibadah, akhlak, dan muamalah, agar
sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
Senada dengan uraian di atas, Hamka (Hasyim, 1979:22) mendefinisikan
toleransi sebagai berikut:
Toleransi dikatakan sebagai suatu pandangan yang mengakui hak untuk
menentukan nasibnya sendiri atau pribadi masing-masing. Tentu saja di
dalam menentukan hak itu seseorang tidak harus melanggar hak-hak orang
lain. Dan prinsip ini adalah sebagai salah satu hak azasi manusia.
Pengertian di atas lebih memprioritaskan nilai-nilai toleransi kepada halhal yang bersifat kebebasan dengan menyertakan nilai-nilai tanggung jawab di
dalamnya yang merupakan aspek terpenting pelaksananaan hak azasi manusia.
Untuk mempertajam analisa kita tentang definisi toleransi yang lebih
komprehensif, penulis memasukkan definisi toleransi yang diambil dari Webster’s
58
New American Dictionary halaman 1050, bahwa “toleransi ialah memberikan
kebebasan (membiarkan) terhadap pendapat orang lain, dan berlaku sabar
menghadapi orang lain”. Pendapat senada juga dikemukakan oleh W.J.S.
Poerwadarminta dalam “Kamus Umum Bahasa Indonesia” halaman 98, yang
mengartikan Toleransi sebagai “kelapangan dada dalam arti suka rukun kepada
siapapun, membiarkan orang berpendapat atau berpendirian lain, tidak mau
mengganggu kebebasan berfikir dan berkeyakinan orang lain”.
Dari semua definisi-definisi tentang toleransi di atas, agar tidak terjadi
suatu kekeliruan arti baik secara praktis maupun teoritis, maka Hasyim (1979:23)
memasukkan unsur-unsur yang melandasi sikap toleransi, antara lain:
1)
2)
3)
4)
5)
6)
Mengakui hak setiap orang
Menghormati keyakinan orang lain
Setuju di dalam perbedaan
Saling mengerti
Kesadaran dan kejujuran
Jiwa
Berdasarkan beberapa pengertian mengenai toleransi di atas, maka dapat
disimpulkan secara umum bahwa toleransi mengandung berbagai hal yang bersifat
menghargai dan mengerti keadaan orang lain. Toleransi mengajarkan kita untuk
saling mengerti dan menghormati serta mengakui hak-hak orang lain, baik itu
dalam hal ekonomi, sosial, agama (keyakinan) bahkan politik sekalipun
membutuhkan nilai-nilai toleransi guna menciptakan suatu sistem keteraturan
dalam berbangsa dan bernegara serta bermasyarakat.
59
2. Dalil-dalil Tentang Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam
Agama Islam
Kaum muslimin tidak akan menghasilkan buah tentang toleransi yang
sedemikian indahnya itu tanpa adanya sendi ajaran yang luhur. Pokok-pokok
ajaran itu ialah:
1) Tidak ada paksaan dalam (memeluk) agama, karena sesungguhnya telah
jelas jalan yang benar dari jalan yang salah. Orang-orang yang tidak
percaya kepada thaghut (berhala, syetan, dan segala sesuatu yang tidak
benar) dan hanya percaya kepada Allah, sesungguhnya ia telah
berpegang kepada tali tali yang teguh dan tidak akan putus. Tuhan itu
maha mendengar dan maha mengetahui. (Q.S. Al-Baqarah:256).
2) Tuhan tidak melarang kamu berbuat kebaikan dan bersikap jujur terhadap
orang-orang yang tidak memerangi kamu karena agama dan tidak
mengusir kamu dari kampungmu. Sesungguhnya Tuhan itu mencintai
orang-orang yang jujur. Hanyalah tuhan melarang kamu terhadap orangorang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari
kampung halamanmu dan membantu (orang-orang lain) mengusir kamu,
megambil mereka menjadi pemimpin. Dan barang siapa yang mengambil
mereka menjadi pemimpin, itulah orang-orang yang aniyaya. (Q.S. AlMumtahinah:8-9).
3) Serulah (manusia) kepada jalan tuhanmu dengan kebijaksanaan dan
ajaran-ajaran (nasehat-nasehat) yang baik, dan bertukar fikiranlah
dengan mereka menurut cara yang lebih baik, sesungguhnya tuhanmu
lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-nya, dan dia-lah yang
mengetahui siapa yang terpimpin. (Q.S. An-Nahl:125).
4) Maka dengan rahmat dari Allah, engkau telah berlaku lemah-lembut
kepada mereka. Karena jika sekiranya engkau bertindak kasar dan
berkeras kepala, niscaya larilah mereka (berserak-seraklah mereka) dari
sekelilingmu. Maka maafkanlah mereka dan pohonkanlah ampun untuk
mereka, ajaklah mereka bermusyawarah dalam urusan itu. Apabila telah
bulat hatimu, maka bertawakallah kepada Allah, sesungguhnya Allah
amat suka kepada orang-orang yang bertawakal. (Q.S. Ali Imran:159).
5) Dan bila Tuhanmu menghendaki, niscaya orang yang ada dimuka bumi ini
akan percaya seluruhnya. Apakah engkau hendak memaksa manusia
supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman. (Q.S. Yunus:99).
6) Sesungguhnya engkau tidak bisa memberi petunjuk kepada orang yang
engkau sukai, tetapi Allahlah yang memberi petunjuk kepada orang yang
60
dikehendaki-Nya. Dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau
menerima petunjuk. (Q.S. Al-Qashshash:56).
7) Jika kamu mendamba (mengharap dengan sangat) agar mereka dapat
petunjuk, maka sesungguhnya Allah tiada memberi petunjuk kepada
orang-orang yang disesatkan-Nya. Dan sekali-kali mereka tiada
mempunyai penolong. (Q.S. An-Nah:37).
8) Dan katakanlah: “Aku percaya pada apa saja kitab yang Allah telah
turunkan, dan aku diperintahkan supaya berlaku adil terhadap kamu;
Allah itu Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami amalan kami dan bagi
kamu amalan kamu. Tidak ada persengkatan agama antara kami dan
kamu. Allah akan mengumpulkan kita bersama-sama dan kepada-Nyalah
tujuan kita yang terakhir. (Q.S. Asy-Syura:15).
9) Diizinkan berperang bagi mereka yang diperangi, karena sesungguhnya
mereka dianiaya, dan sesungguhnya Allah amat berkuasa menolong
mereka. Ialah mereka yang diusir keluar dari kampung-kampung mereka
dengan tidak ada alasan yang patut, kecuali hanya dengan sebab mereka
berkata: “Tuhan kami adalah Allah.” Dan sekiranya tidaklah Allah
melindungi manusia sebahagian dari mereka dengan sebagiannya,
niscaya dirubuhkan tempat-tempat pertapaan, gereja-gereja, dan rumahrumah ibadah orang Yahudi, masjid-masjid dimana banyak diseru nama
Allah dan sesungguhnya Allah akan menolong agamanya, karena
sesungguhnya Allah Maha Kuat dan Maha Teguh. (Q.S. Al Hajj:39-40).
Dari ayat- ayat di atas, dapat diidentifikasi beberapa kesimpulan sebagai
berikut:
1. Tidak ada paksaan di dalam memeluk agama.
2. Tidak ada gunanya memaksa seseorang agar ia menjadi seorang muslim.
3. Menyeru orang kepada Islam dengan jalan kebijaksanaan dan dengan jalan
bertukar pikiran yang baik. Karena dakwah, tidak boleh dengan bersikap keras
kepala dan kekerasan.
4. Allah tidak melarang hidup bermasyarakat dengan baik dengan mereka yang
tidak sepaham atau tidak seagama, asalkan mereka tidak memusuhi kaum
muslimin.
61
5. Allah telah memberi jalan atau petunjuk yang lurus, tinggal terserah kepada
setiap manusia untuk memilihnya atau menolaknya.
Kesimpulan ayat di atas diperkuat oleh ayat Al-Quran yang berbunyi
“Berilah peringatan! Kamu hanyalah (bertugas) untuk memberi ingat atau
mengingatkan dan bukanlah kamu diutus untuk memaksa mereka”. (Q.S. Al
Ghasiyyah:21). Orang Muslim atau kaum Muslim yang teraniaya boleh
mempertahankan
aqidahnya
dan
kaum
Muslim
harus
berjuang
untuk
mempertahankan keamanan biara-biara, gereja-gereja, tempat peribadahan orangorang Yahudi, masjid-masjid, yang didalamnya diseru asma Allah.
Dari uraian ayat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat konsep
toleransi beragama yang tegas dari ajaran Islam, dimana konsep tersebut
menjamin kemerdekaan beragama dan menyuburkan kehidupan beragama dalam
suatu negara. Dengan demikian, maka sekiranya Islam memegang kekuasaan
negara, maka pertahanan dan keamanan negara digunakan untuk mempertahankan
tempat-tempat peribadahan, seperti biara-biara orang Nasrani, sinagog orangorang Yahudi, masjidnya orang-orang Islam dan sebagainya.
3. Antara Toleransi dan Sinkretisme
Nilai-nilai toleransi tidak selamanya baik. Kita harus pandai-pandai
menempatkan toleransi tanpa mengorbankan nilai-nilai yang lebih prinsipil dan
penting. Merujuk pada uraian di atas, Hasyim (1979:260) memberikan sebuah
kesimpulan sebagai berikut:
Terkadang rasa toleransi bangsa Indonesia amat berlebihan sehingga
sampai mengorbankan aqidah agamanya. Misalnya karena menghargai
62
tamunya, maka ia tidak minta izin sebentar untuk menjalankan sholat
maghrib, tetapi terus menunggui tamunya. Ia khwatir dikatakan tidak
bersikap toleran terhadap tamunya, sampai rela meninggalkan sholatnya.
Atau takut dikatakan orang yang fanatik. Contoh lain karena takut pula
dikatakan sebagai orang fanatik, ia tidak menjalankan sholat di dalam
perjalanannya dengan seorang kawan yang tidak bisa sholat. Agar
dikatakan seorang yang toleran terhadap kawan. Toleran dikatakan sebagai
tenggang rasa. Maka seseorang harus menjaga perasaan orang lain dan
agar kita tidak dianggap orang yang tidak bisa menyesuaikan diri maka
kita harus dapat melayani kehendak mereka.
Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa ada semacam
kecenderungan yang salah dari sebagian masyarakat Indonesia dalam mengartikan
serta mempraktekkan nilai-nilai toleransi dalam kehidupan baik berbangsa dan
bernegara serta kehidupan beragama.
Hamka (Hasyim, 1979:261) memperkuat kesimpulan di atas dengan
mengemukakan pendapat sebagai berikut:
Memang ciri khas orang timur pandai berbasa basi dan bertenggang rasa.
Namun tidak ada orang yang berbuat demikian itu kecuali orang yang
munafiq agamanya, atau orang yang imannya hanya sampai di mulut saja,
dan pengakuannya hanya terdapat di tenggorokan, tidak sampai hati.
Lebih jauh lagi, Al-Ghazali (1996:46) memberikan contoh kasus terkait
dengan fenomena sinkretisme dalam masyarakat sebagai berikut:
Pernah pada tahun 1968, dalam satu tahun itu terjadi dua kali Hari Raya
‘Idul Fitri, yakni tanggal 1 Januari dan tanggal 21 Desember. Dengan
terjadinya Hari Raya Idul Fitri mendekati Hari Natal itu, ada sementara
jawatan dan departemen-departemen yang merayakan Idul Fitri dan Natal
bersama. Jadi, pertemuan atau upacara pada hari, jam dan tempat yang
sama dan protokol yang sama. Karena acaranya adalah ‘Idul Fitri Natalan,
maka setelah dibuka lalu dibacakan ayat-ayat suci Al-Quran, lalu
dibacakan pula kitab Injil oleh sang Pendeta. Setelah diuraikan arti halal
bihalal dan dijelaskan bahwa Nabi Muhamad adalah nabi terakhir, maka
berdirilah pula gilirannya sang Pendeta menguraikan bahwa Nabi Isa
adalah anak Tuhan. Alangkah kontrasnya dan paradosnya uraian yang
dibawakan oleh seorang Mubaligh dan sang Pendeta di dalam satu gedung
saat itu. Bagaimana pula para pengunjung harus mendengarkan kedua
uraian yang berlawanan itu? Bagaimana perasaan para hadirin yang karena
63
“terpaksa" harus mendengarkan penjelasan dua hal yang paradoksal itu?
Setelah upacara akan diakhiri, maka seorang kiayi berdiri dimuka berdoa
dan para hadirin mengaminkan, sementara para pemeluk Kristen diam
saja. Dan tiba-tiba pula gilirannya sekarang sang pendeta berdoa menurut
ajaran Kristen dan orang-orang Islam hanya tunduk saja.
Parade doa tersebut jelas sangat menghancurkan nilai-nilai agama masingmasing dan dapat merusak aqidah kedua agama tersebut. Merujuk pada contoh
kasus di atas, Hasyim (1979:261) mengemukakan pengertian dari parade doa
bersama sebagai berikut:
Doa bersama atau berganti-ganti dari berbagai agama yang diamini dan
berlaku untuk semua hadirin. Hal ini terjadi pada upacara hari-hari besar
yang diselenggarakan oleh panitia bersama antara dua atau lebih golongan
agama. Atau pada suatu upacara seperti perayaan sekaten tahun 1967, juga
terjadi parade doa ini.
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa Islam sangat melarang
adanya toleransi dalam hal aqidah yang dilaksanakan atau ditunjukkan melalui
parade doa tersebut. Merujuk pada pendapat di atas, toleransi tersebut merupakan
awal mula lahirnya sinkretisme yang dapat merusak kemurnian agama.
Menanggapi
masalah
tersebut,
Pimpinan
Pusat
Ikatan
Sarjana
Muhamadiyah (Hasyim, 1979:262) pada rapatnya tanggal 15 Desember 1968
berpendapat bahwa “perlu sekali mendudukkan persoalan tersebut pada proporsi
yang sebenarnya menurut ajaran agama Islam”. Setelah mengkaji secara
mendalam, organisasi tersebut mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1) Bahwa perlu sekali dipupuk adanya toleransi dan saling menghormati
antara umat beragama di Indonesia tanpa mengurangi identitas dari agama
masing-masing.
2) Dalam masalah doa bersama/berganti-ganti, Nabi Muhammad pernah
diajak oleh kaum Quraisy untuk secara kompromi bersama-sama/berganti
menyembah kepada sesembahan dari kedua belah pihak bersama-sama.
Atas ajakan itu maka turunlah surat Al-kautsar, dan oleh karena itu beliau
menolak ajakan kaum Quraisy untuk bergantian menyembah Tuhan kedua
64
belah pihak masing-masing karena tuhannya kaum Quraisy lain dengan
tuhan yang disembah Nabi Muhammad SAW.
3) Mengingat bahwa doa adalah ibadah dan mengamini suatu doa berarti
memanjatkan permohonan ke hadlirat Tuhan dari golongan orang yang
berdoa tersebut, maka demi untuk menjaga kemurnian Tauhid, PP.ISM
tidak dapat membenarkan adanya parade doa antara doa-doa Islam
bersama/berganti-ganti dengan doa agama lain yang tidak berdasarkan
tauhid.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa parade doa adalah fenomena
ibadah kecuali doa bersama yang dilakukan sendiri-sendiri secara individual
menurut agama dan kepercayaan masing-masing, walaupun pada suatu saat dan
tempat yang sama, misalnya memanjatkan doa bagi arwah para pahlawan yang
telah gugur. Sebabnya ialah karena hal tersebut bukan dimaksudkan untuk
mengikutsertakan pemeluk agama lain dalam suatu upacara ibadah agama lain.
Bila upacara yang demikian itu dapat dihindari, maka toleransi yang sehat dapat
terpelihara.
Demi toleransi, mereka yang ingin mempersatukan semua golongan di
Indonesia memaksa masing-masing pihak untuk munafik terhadap keyakinannya
masing-masing. Cara demikian bukan sikap toleransi namanya, tetapi suatu
pelajaran dan pendidikan yang tidak baik terhadap kaum beragama untuk bersikap
mendua atau hipokrit.
Merujuk pada pendapat Hamka (Hasyim, 1979:261) berkenaan dengan
parade doa bersama pada perayaan halal-bihalal Idul Fitri dan Natal yang
digabungkan, beliau mengemukakan pendapat sebagai berikut:
Hal itu bukan toleransi tetapi memaksa kedua belah pihak menjadi orang
munafik. Orang yang menganjurkan doa bersama atau perayaan “LebaranNatal” adalah orang yang masa bodoh terhadap agama, sebab bagi mereka
agama adalah “iseng” atau orang yang “sinkretisme”, yang mencari segala
65
persesuaian di antara segala yang berbeda, lalu dari segala yang sesuai itu
mereka membuat sesuatu yang baru.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Islam sangat berhati-hati dan
melarang secara tegas ketidakseriusan dalam beribadah serta kekaburan dalam
ibadah. Islam tidak membolehkan bertoleransi dalam hal aqidah. Aspek aqidah ini
harus tetap murni dijaga dan jangan diracuni oleh nilai-nilai toleransi yang salah
yang dapat menjerumuskan aqidah umat Islam menjadi tidak murni lagi.
Merujuk pada uraian di atas, maka dalam hal ini Hasyim (1979:264)
mengkonsepsikan toleransi agama yang menuju kepada sinkretisme, antara lain:
1) Semua Agama adalah Sama
Semua agama adalah sama. Sama benar, sama universil. Maka sama saja
anda memeluk agama A atau agama B, walaupun antara kedua agama itu
terdapat hal-hal yang kontradiktif. Pandangan ini berbahaya. Sebab
akibatnya akan mencampuradukkan antara agama-agama dan membuat
orang hipokrit terhadap agamanya sendiri, dan identitas agamanya
hilanglah. Namun, banyak tokoh-tokoh agama yang berbicara bahwa
semua agama adalah sama benarnya, demi persatuan. Tidak disadari,
beliau-beliau telah berkata tentang hal-hal yang bertentangan dengan
nuraninya dan akal sehat. Dan beliau lupa bahwa omongan itu sebenarnya
menjerumuskan dan menjuruskan kepada alam pikiran sinkretisme yang
justru akan mengaburkan identitas setiap agama.
2) Agama Campuran
Bagaimana jika dari bermacam-macam agama itu kemudian dijadikan
semacam suatu sintesis saja, yang mana di dalamnya tercermin semua
dasar-dasar dari semua agama tersebut? Sehingga dengan demikian
nantinya dalam agama yang baru itu semua pemeluknya akan menjadi
rukun. Bisa dikatakan sebagai suatu aliran Theosofia, walaupun nama ini
pada mulanya digunakan untuk sebutan yang menyatakan berbagai agama
yang lebih menitikberatkan “pengetahuan tentang Tuhan” yang merupakan
ajaran campuran dari bermacam agama.
3) Humanisme Universil
Dimaksudkan Humanisme Universil di atas bukan dalam ajaran filsafat,
tetapi suatu ajaran dimana dasarnya adalah pemikiran untuk meninjau
semua agama, diambil yang baik yang sesuai dengan perkembangan dunia
modern sekarang ini. Atau ajaran-ajaran yang dianggap baik oleh semua
agama tersebut kemudian dijadikan suatu ikatan baru. Namun, masingmasing pemeluk dari agamanya masih tetap dalam ikatan agamanya
semula.
66
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa pemikiran-pemikiran yang salah
tentang toleransi tersebut bila dipraktekkan akhirnya akan berakibat negatif.
Pertama-tama jelaslah bahwa hal itu justru merendahkan nilai-nilai agama. Agama
atau kepercayaan yang dilahirkan dari pola pemikiran tersebut bahkan akan
menjauhkan manusia dari agama. Agama kemudian menjadi produk manusia dan
bukan menjadi sesuatu yang suci dari Tuhan. Tentulah akhirnya timbul suatu
perebutan pengaruh atau penekanan dari agama satu kepada bentuk pemikiran
yang merupakan agama campuran tersebut itu.
Sebaliknya, Al-Banna (2006:10) memberikan jalan keluar menanggapi
masalah di atas berupa pendapat yang mengatakan bahwa:
Sebaiknya masing-masing pemeluk agama memegang teguh keyakinan
agamanya sehingga timbullah kesadaran untuk berlomba-lomba dalam
kebaikan. Mereka saling menghormati identitas agamanya masing-masing
berjalan pada relnya dan karena disamping adanya perbedaan, juga ada
persamaan. Dalam istilah lain, “setuju dalam perbedaan”.
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa sebaiknya semua pemeluk
agama mampu memposisikan toleransi pada porsi dan tataran yang sesuai dengan
keyakinan atau aqidah agama masing-masing. Pemahaman umat beragama
tentang toleransi harus dibenahi, melalui pembinaan yang berbasis pada ajaran
agama masing-masing. Hal ini perlu untuk menghindari kesalahan pemahaman
yang akan berakibat kepada tindakan tidak toleran (intoleransi) anata pemeluk
agama.
67
4. Toleransi Islam dalam Bidang Mu’amalah (Kemasyarakatan) atau
Hubungan Islam dengan Golongan Non Muslim
Islam dan kaum Muslimin yang taat beribadah tidak akan menjadi
eksklusif, artinya tidak merupakan suatu kumpulan masyarakat yang seakan-akan
berada diluar dari masyarakat yang lain atau seakan-akan belum dan tidak
terhitung sebagai bagian dari kesatuan organisme tubuh masyarakat, sehingga
peraturan dan syariat agamanya juga melambangkan hal yang ekslusif di bidang
kemasyarakatan.
Merujuk pada uraian di atas, Hasyim (1979:251) menyatakan bahwa:
Di dalam hal muamalah atau hubungan antar manusia, syariat Islam
banyak menunjukkan sikap toleransi yang tinggi, yakni hubungan antara
sesama Muslim dengan pemeluk agama lain. Sebagai contoh ialah
pertama-tama soal makanan. Orang-orang Islam dengan pemeluk agama
lain boleh saling memakan makanan masing-masing, kecuali bagi orang
Islam memang dilarang memakan makanan yang telah jelas dilarang
dalam nash seperti: daging babi dan minum arak serta yang disembelih
oleh pemeluk agama lain, yakni para ahli kitab pemeluk Yahudi dan
Nasrani, boleh dimakan oleh orang Islam.
Pendapat Hasyim (1979:251) tersebut diperkuat oleh ayat Al-Quran di
bawah ini:
Makanan orang-orang keturunan ahli kitab itu halal bagi kamu dan
makanan kamu halal bagi mereka. Dan juga dihalalkan bagi kamu
perempuan-perempuan merdeka yang beriman dan perempuan-perempuan
merdeka dari keturunan orang-orang ahli kitab. (Q.S. Al-Maidah:5).
Dapat disimpulkan bahwa ayat di atas membolehkan seorang laki-laki
Islam kawin dengan perempuan ahli kitab. Bila terjadi pria muslim
memperistrikan wanita Nasrani, si pria tidak boleh menghalang-halangi istrinya
pergi ke gereja atau pergi menjalankan ibadahnya menurut agamanya. Mereka
memiliki kebebasan untuk menimbang-nimbang agamanya dan mengamalkan
68
upacara-upacara keagamaan mereka. Jelasnya, wanita Nasrani atau Yahudi yang
mendapatkan suami seorang Islam, hak-hak wanita untuk menjalankan agamanya
masih tetap ada. Tetapi sebaliknya, bila wanita muslim mempunyai seorang suami
Nasrani atau Yahudi, hak wanita muslim untuk menjalankan agamanya telah
hilang. Wanita muslim itu menurut hukum Nasrani dan Yahudi harus menguikuti
peraturan suaminya.
Senada dengan kesimpulan di atas, Hasyim (1979:252) mengemukakan
pendapat bahwa:
Hubungan antara kaum muslimin dengan kaum Yahudi dan Nasrani dalam
bentuk saling mengunjungi dan makan minum bersama ini tidak akan
dapat kecuali dalam bentuk orang-orang yang bersahabat dan saling
mencintai. Inilah sebenarnya konsep Islam.
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa Islam memang tidak
mempunyai perasaan permusuhan atau kebencian yang terbentuk bagaimanapun
terhadap kaum yang bukan muslimin. Tetapi sebaliknya, Islam berusaha untuk
menegakkan hidup berdampingan dan kerukunan bersama di dalam suasana
perdamaian dan kerjasama dalam kehidupan sehari-hari dengan orang-orang yang
bukan muslimin. Uraian tersebut diilustrasikan dengan ayat Al-Quran di bawah
ini:
Oleh karena itu, serulah (hai Muhammad) dan berdirilah lurus
sebagaimana yang telah diperintahkan kepadamu dan janganlah kamu
menuruti hawa nafsu mereka, dan katakanlah aku percaya kepada kitab
apa saja yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya berlaku
adil di antaramu. Allah itu Tuhan kami dan tuhan kamu. Untuk kami
perbuatan kami dan untukmu perbuatan kamu. Tidak ada pertentangan
antara kami kami dan kamu. Allah akan mengumpulkan kita dan
kepadanya-Nya kita akan kembali. (Q.S. Asy-Syura ayat:15).
Perangilah orang-orang yang tidak percaya kepada Allah dan tidak pula
kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah
69
diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan tidak memeluk agama dengan
agama yang benar, dari antara orang-orang yang diberi Kitab, sehingga
mereka membayar jizyah dengan patuh, sedang mereka dalam keadaan
merendah diri. (Q.S. At- Taubat:29).
Lebih jauh lagi merujuk pada ayat di atas, Islam menawarkan jalan tengah
yang sangat toleran dalam menata masyarakat yang majemuk. Hal tersebut diatur
dalam ayat Al-Quran di bawah ini:
Katakanlah! Hai orang-orang kafir! Aku tidak akan menyembah apa yang
kamu sembah. Dan tidak pula kamu menyembah apa yang kusembah. Dan
aku bukan penyembah apa yang telah kamu sembah. Dan tidak kamu
menyembah apa yang kusembah. Bagimu agamamu dan bagiku agamaku.
(Q.S. Al-Kafirun:1-7).
Ayat-ayat di atas menunjukan bahwa Islam senantiasa berusaha untuk
menegakkan hidup berdampingan dengan secara damai dalam kehidupan seharihari. Landasan tersebut adalah suatu kebijaksanaan dalam hubungan antara umat
Islam dengan golongan yang mempunyai kepercayaan dan rituil yang
beranekaragam, atas dasar persahabatan, kerjasama, dan usaha kesejahtraan
umum. Mereka semua berhak untuk hidup tanpa menyebabkan tekanan dan
perkosaan terhadap hak-hak orang lain. Yang diharapkan oleh Islam daripada
golongan selain Islam adalah hanya menjauhkan permusuhan dan tidak ada
hasutan atau tantangan terhadap jalan kehidupan Islam.
F. Konversi Agama
1. Pengertian Konversi Agama
Abdul Azis Ahyadi (1995:43) mengatakan bahwa “konversi agama
(religious conversion) secara umum dapat diartikan dengan berubah agama
ataupun masuk agama”.
70
Sementara itu, Jalaluddin (2001:259) mendefinisikan konversi agama
secara etimologi sebagai berikut:
Konversi berasal dari kata lain “Conversio” yang berarti: tobat, pindah
serta beruba agama. Selanjutnya kata tersebut dipakai dalam kata Inggris
Conversion yang mengandung pengertian:berubah dari suatu keadaan, atau
dari suatu agama ke agama lain.
Berdasarkan arti kata-kata tersebut, dapat disimpulkan bahwa konversi
agama mengandung pengertian: bertobat, berubah agama atau berbalik pendirian
terhadap ajaran agama atau masuk ke dalam agama lain.
Sementara itu, Max Heirich (Hasyim 1979:76) menyatakan bahwa
“konversi agama merupakan suatu tindakan di mana seseorang atau sekelompok
orang masuk atau berpindah ke suatu sistem kepercayaan atau perilaku yang
berlawanan dengan kepercayaan sebelumnya”.
Senada dengan uraian di atas, William James (Jalaluddin 2001:260)
mendefinisikan konversi agama sebagai berikut:
Perilaku seseorang yang tidak puas atau kecewa terhadap keyakinan yang
dianutnya, kemudian mencari jalan keluar atas suatu masalah yang
dihadapinya, dengan cara mencari keyakinan baru yang menurutnya dirasa
dapat mengatasi atau menyelesaikan masalah yang dia hadapi.
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa konversi agama di
identikkan dengan pindahnya seseorang pemeluk agama ke agama lainnya, di luar
agama yang telah di anutnya. Hal ini diakibatkan oleh berbagai hal, salah satunya
menurut pengertian di atas yaitu faktor petunjuk Ilahi yang memang menjadi
faktor determinan seseorang berpindah agama.
71
2. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Terjadinya Konversi Agama
William James (Jalaluddin 2001:261) menjelaskan faktor penyebab
terjadinya konversi agama dari sudut keagamaan yang menyatakan bahwa “para
ahli agama menganalisis penyebab terjadinya konfersi agama tiada lain adalah
petunjuk Ilahi. Pengaruh superanatural berperan secara dominan dalam proses
terjadinya konversi agama pada diri seseorang atau kelompok”.
Pendapat berbeda diungkapkan Max Heirch (Jalaluddin 2001:261) yang
menjelaskan penyebab terjadinya konversi agama secara pengaruh sosial.
Pengaruh sosial yang mendorong terjadinya konversi agama itu terdiri dari adanya
berbagai faktor, antara lain:
a. Pengaruh hubungan antar pribadi baik pergaulan yang bersifat keagamaan
maupun non agama.
b. Pengaruh kebiasaan yang rutin.
c. Pengaruh anjuran atau propaganda dari orang-orang yang dekat misalnya:
keluarga, teman serta pimpinan.
d. Pengaruh pimpinan keagamaan.
e. Pengaruh perkumpulan yang berdasarkan hobi.
f. Pengaruh kekuasaan pimpinan.
Sementara itu, Abdul Aziz (1996:54) mengungkapkan penyebab terjadinya
konversi agama secara psikologis yang ditimbulkan oleh faktor intern maupun
ekstern, sebagai berikut:
Faktor-faktor tersebut apabila mempengaruhi seseorang atau kelompok
hingga hingga menimbulkan tekanan batin, maka akan mendorong untuk
mencari jalan keluar yaitu ketenangan batin. Dalam kondisi jiwa yang
demikian itu secara psikologis kehidupan batin seseorang itu menjadi
kosong dan tak berdaya sehingga mencari perlindungan ke kekuatan lain
yang mampu memberinya kehidupan jiwa yang terang dan tenteram yaitu
agama.
Lebih jauh lagi, Abdul Aziz Ahyadi (1996:57), membagi kedua faktor
terjadinya konversi agama tersebut sebagai berikut:
72
a. Faktor Intern, yang ikut mempengaruhi terjadinya konversi agama adalah:
1. Kepribadian
Secara psikologi tipe kepribadian tertentu akan mempengaruhi kehidupan
jiwa seseorang. Dalam penelitian William James, ia menemukan bahwa
tipe melankolis yang memiliki kerentaan perasaan lebih mendalam dapat
menyebabkan terjadinya konversi agama dalam dirinya.
2. Faktor Pembawaan
Menurut penelitian Guy E. Swanson, bahwa ada semacam kecenderungan
urutan kelahiran mempengaruhi konversi agama. Anak sulung dan anak
bungsu biasanya tidak mengalami tekanan batin, sedangkan anak-anak
yang dilahirkan pada urutan antara keduanya sering mengalami stress jiwa.
Kondisi yang dibawa berdasarkan urutan kelahiran itu banyak
mempengaruhi terjadinya konversi agama.
b. Faktor Ekstern (faktor luar diri), yang mempengaruhi terjadinya konversi
agama adalah:
1. Faktor keluarga
2. Lingkungan tempat tinggal
3. Perubahan status
4. Kemiskinan
Lebih jauh lagi, Jalaluddin (2001:264) mengkaji penyebab konversi agama
dari sudut pandang pendidikan beliau berpendapat sebagai berikut:
Koversi agama dipengaruhi oleh kondisi pendidikan. Penelitian ilmu sosial
menampilkan data dan argumentasi bahwa suasana pendidikan ikut
mempengaruhi konversi agama. Berdirinya sekolah-sekolah yang
bernaung di bawah yayasan agama tentunya mempunyai tujuan keagamaan
pula.
Sementara itu, Abdul Aziz Ahyadi (1995: 53) membagi tipe konversi
agama ke dalam dua tipe, yaitu:
1. Tipe Volitional (Perubahan Bertahap)
Konversi agama tipe ini terjadi secara berproses sedikit demi sedikit,
sehingga kemudian menjadi seperangkat aspek dan kebiasaan rohaniah
yang baru.
2. Tipe Self Surrender (Perubahan Drastis)
Konversi agama tipe ini adalah konversi yang terjadi secara mendadak.
Seseorang tanpa mengalami suatu proses tertentu tiba-tiba berubah
pendiriannya terhadap suatu agama yang dianutnya.
73
Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa konversi
agama dapat terjadi diakibatkan oleh beberapa faktor, antara lain: faktor
keyakinan agama yang dianut, petunjuk Ilahi, kondisi kejiwaan, pengaruh sosial
serta pengaruh pimpinan agama. Faktor-faktor tersebut merupakan faktor
determinan yang mengakibatkan seseorang melakukan konversi agama (berpindah
agama). Jika terjadi motif lain dari proses konversi agama, sifatnya hanya kasus
per kasus karena secara teoritik maupun kenyataan (factual) faktor-faktor inilah
yang menjadi motif dominan atau kecenderungan seseorang melakukan proses
konversi agama.
3. Proses Konversi Agama
M.T.L. Penido (Jalaluddin, 2001: 266) menyebutkan dua proses terjadinya
konversi agama, yaitu:
1. Proses dari dalam diri (endogenos origin), yaitu proses perubahan yang
terjadi dalam diri seseorang atau kelompok. Konversi yang terjadi dalam
batin ini membentuk suatu kesadaran untuk mengadakan suatu
transformasi disebabkan oleh krisis yang terjadi dan keputusan yang
diambil seseorang berdasarkan pertimbangan pribadi.
2. Unsur dari luar (eksogenos origin), yaitu proses perubahan yang berasal
dari luar diri atau kelompok sehingga mampu menguasai kesadaran orang
atau kelompok yang bersangkutan. Kekuatan yang datang dari luar ini
kemudian menekan pengaruhnya terhadap kesadaran mungkin berupa
tekanan batin, sehingga memerlukan penyelasaian oleh yang bersangkutan.
Sementara itu, H. Carrier (Abdul Aziz Ahyadi, 1995: 123) membagi
proses konversi agama dalam pentahapan sebagai berikut:
1. Terjadi disintegrasi sintesis kognitif dan motivasi sebagai akibat dari krisis
yang dialami.
2. Reintegrasi kepribadian berdasarkan konversi agama yang baru.
3. Tumbuh sikap menerima konsepsi agama yang baru serta peranan yang
dituntut oleh ajarannya.
74
4. Timbul kesadaran bahwa keadaan yang baru itu merupakan panggilan suci
petunjuk Tuhan.
Lebih jauh lagi, Zakiah Daradjat (Jalaluddin, 2001: 268) membagi proses
konversi agama menjadi 5 tahap, yaitu:
1. Masa Tenang, yaitu disaat ini kondisi jiwa seseorang berada dalam
keadaan tenang karena masalah agama belum mempengaruhi sikapnya.
2. Masa Ketidaktenangan, yaitu tahap ini berlangsung jika masalah agama
telah mempengaruhi batinnya. Mungkin dikarenakan suatu krisis, musibah
ataupun perasaan berdosa yang dialaminya.
3. Masa Konversi, yaitu tahap setelah konflik batin mengalami keredaan
karena kemantapan batin telah terpenuhi berupa kemampuan menentukan
keputusan untuk memilih yang dianggap serasi ataupun timbulnya rasa
pasrah.
4. Masa Tenang dan Tenteram, yaitu proses yang ditimbulkan oleh
kepuasaan terhadap keputusan yang sudah diambil. Ia timbul karena telah
mampu membawa suasana batin menjadi mantap sebagai pernyataan
menerima konsep baru.
5. Masa Konversi, yaitu proses ungkapan dari sikap menerima terhadap
konsep baru dari ajaran agama yang diyakininya tadi, maka tidak tunduk
dan sikap hidupnya diselaraskan dengan ajaran dan peraturan agama yang
dipilih tersebut dengan meninggalkan agama yang lama.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa proses konversi
agama secara dominan memang dipengaruhi oleh keinginan dari dalam diri
sendiri (niat, tekad serta azam). Hal ini diperkuat oleh faktor eksternal, yaitu
pengaruh lingkungan yang dominan mempengaruhi proses seseorang berpindah
agama. Akan tetapi, niat, tekad serta azam yang menentukan semuanya.
Download