analisis sistem pengendalian manajemen dan

advertisement
ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN MANAJEMEN
DAN AKUNTABILTAS KINERJA DALAM
MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE
(Studi Kasus Inspektorat Jenderal Deparetemen Agama R.I.)
Oleh :
ANDI MUTIAH
NIM. 205082000126
FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS ISLAM NEGER SYARIF
HDAYATULLAH
JAKARTA
2009
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi rabbi al-alamin, sujud syukur penulis haturkan kepada
Dzat yang Maha Rahman bagi semesta Alam dan Rahim bagi semua hambahamba-Nya yang selalu menjalankan perintah-Nya, yang telah menciptakan rasa
cinta dan kasih kepada seluruh manusia. Washalatu wassalam’ala Rasulillah
senantiasa tercurah kepada Rasulullah SAW (yang tak pernah lelah untuk
membimbing umatnya dengan penuh kasih sayang), kepada keluarganya,
sahabatnya serta umatnya sepanjang zamansemoga kita mendapat syafa’at-Nya
diyaumul al-Ba’ats, amin.
Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis banyak memenuhi hambatan
dan cobaan. Namun, penulis berusaha menghadapi dengan ikhtiar dan tawakal.
Alhamdulillah atas Rahmat Allah SWT, serta berkat do’a dan dukungan orang tua,
keluarga, sahabat serta teman-teman, segala hambatan dan cobaan dapat penulis
hadapi. Karena itulah, dari lubuk hati yang paling dalam, penulis mengucapkan
terima kasih yang tak terhingga dan tulus kepada segenap pihak yang telah
membantu dan memberikan dukungan baik moril maupun materil dalam
penyelesaian skripsi ini. Sebagai rasa syukur penulis mengucapkan terima kasih
yang sedalam-dalamnya kepada:
1.
Yang tercinta dan terkasih Ayahanda Drs. H. Andi Supardi dan Ibunda
ku tersayang Hj. Lubnah terima kasih yang tak terhingga atas segala cinta
dan kasih sayangnya yang begitu berlimpah untuk ananda, ketulusan
serta perhatian dan dukungan yang tiada pernah ada habisnya kepada
ananda untuk dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Sebagai
seorang anak, ananda merasa belum bisa membalas jasa, cinta, perhatian
dan kasih sayang yang papa dan mama berikan kepada ananda, yang bisa
ananda berikan adalah Do’a yang tulus dan ikhlas yang selalu ananda
panjatkan kepada Allah SWT, semoga papa dan mama selalu senantiasa
dalam lindunganNya, amin ya rabbal alamin. Luv u all
2.
Bpk. Prof. Dr. Abdul Hamid, MS. Dekan Fakultas Ekonomi dan Ilmu
Sosial Universitas Islam Negeri Jakarta.
3.
Bpk Afif Sulfa, SE., Ak., M.si. Ketua Jurusan Akuntansi dan Ibu Yessi
Fitri, SE., Ak., M.si Sekretaris Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan
Ilmu Sosial Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
4.
Bpk. Dr. Yahya Hamjah, MM. Dosen Pembimbing I dan Bpk. Drs.
Abdul Hamid Cebba, MBA., CPA. Dosen Pembimbing II yang
senantiasa membimbing penulis dan senantiasa bersedia memberikan
waktu, tenaga serta pikiran untuk memberikan ilmu, pengarahan dan
bimbingan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini, sampai dengan
skripsi ini dapat selesai dengan baik.
5.
Pimpinan dan Staf Perpustakaan Utama, Perpustakaan Fakultas Ekonomi
dan Ilmu Sosial UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tempat penulis
memperoleh berbagai informasi dan referensi yang diperlukan dalam
penulisan skripsi ini.
6.
Segenap Instansi Inspektorat Jenderal Departemen Agama R.I. yang telah
berkenan meluangkan waktunya bagi penulis untuk bertanya dan
memperoleh informasi serta data yang diperlukan dalam penyelesaian
skripsi ini.
7.
Adik-adikqu tershayang Ananda Andi Sakinah dan Ananda Andi Nur
Shella, terima kasih sayang atas semua bentuk perhatian yang udah kamu
berikan untuk ka uty, semangat yang tiada henti-hentinya untuk ka uty
membuat ka uty semakin semangat dalam menyelesaikan skripsi dan
kuliah k uty, kalian penyemangat terindah dalam hidup ka uty karena
tanpa kelian berdua k uty ga ada artinya sama sekali. Kalian berdua
segalanya untuk k uty,, “makasi banyak de2 kinoy dan de2 uchil nya ka
uty,,ka uty Saayaaaaaaaaaaaaaaangggg,, kalian berdua selamanya.
8.
Orang terdekat penulis. Kakak ku Anton Febrianto terima kasih ya ka
udah selalu ad untuk dede, dengan segala bentuk perhatian, dukungan,
dan waktu yang kaka berikan untuk dede telah membuat dede sadar akan
pentingnya terus berusaha dan pantang menyerah untuk menghadapi
apapun yang ada didepan kita, dengan kasih sayang dan kesabaran kaka
telah membuat dede mampu menyelesaikan skripsi ini dengan baik,,
makasi kaka ku sayang.
9.
Sahabat dan temen-teman ku tersayang, Sahabat ku Ka Iwan Juniyadi
makasi banyak ka selama di UIN udah selalu ada untuk tya, Antika, Arin,
Lya, dan teman-teman di arisan gila (kalianlah arti dari persahabatan
yang sesungguhnya luv u all). Sepupu ku Nina (makasi ya non untuk
nasehatnya). Teman-teman ku Fuah, Sari, Ica, Yuli, dan semua anakanak akuntansi A (makasi untuk semuanya), anak-anak manajemen A
(Lina, Ami, Endang, Chafid, Dimas, Nia, Letti, Imam” ku shayang kalian
semua”). Anak-anak kostn apartemen semanggi (Fitri, Ayu, Kiki, Ka
dini, Ka goday, Ka nna, Reni luv u kalian semuanya). Kaka – kakakku
(Ka Sogir, Ka Oland, Ka Bogel, Ka Roni, Bang Ubz, Bang Odji, Kakakkakak di Wali, Ka Botel) Makasi udah bantu dede selama ini terutama
tumpangannya,,hehehe, dan seluruh kawan-kawan yang telah membantu
penulis dalam penyelesaian penulisan skripsi ini yang mana tidak dapat
saya sebutkan satu persatu “ Thanks 4 all”…
Semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda kepada
semua pihak atas bantuan dan amal baik yang telah diberikan kepada penulis
dalam penyusunan skripsi ini sampai dengan selesai. Lebih dari ucapan terima
kasih kepada Yang Maha Pengasih dan Penyayang, Allah SWT, semoga
senantiasa memberikan sinar terang kepada seluruh hamba-Nya, dan semoga
aktivitas penulis selalu diberkahi-Nya serta penulis selalu diberikan hidayah-Nya.
Akhir kata, di dalam penulisan skripsi ini kiranya tentu masih terdapat banyak
kekurangan, namun kiranya semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi
semua kalangan
Jakarta, 3 Juni 2009
Penulis
ABSTRACT
Bed governance n Indonesia, which both makes the major cause of nation
crisis that accoured in the 20 century. This is not apart from the failure of
government delivery system and development of the century does not respect the
principles of good governance. Supervision of concepts, strategies and
implementation of good governance in achieving good governance is a key
requirement for realizing the aspirations of the community is achieving the goals
and ideals of nation and state. In other that required the development and
implementation of management system of the right and responsibility a long with
the right system, so clear and real enforcement of governance and development
can take place efficient, clean and responsible and free corruption, collusion, and
nepotism. In addition, note also the existence of mechanism for accountability at
each regulation of government institutions so that people can know the extent to
which the success of the goals and objectives have been defined can be achieved
of monondagement institutions of parliament, and availability of equal access to
information for the public.
This research uses descriptive qualitative method, in which researchers
conduct both primary data and secondary general inspectorate of ministry of
religious affairs. Result from thus search is a system in the control system of
management is to realize a role in good governance so that the performance
accountability in the environment performance of Inspectorate General of
Ministry of Religious Affair can be done well.
Key Word : Control system management, performance accountability, control
system (internal and eksternal), the principles of good governance,
accountability of performance measurement.
ABSTRAK
Buruknya tata kelola pemeritahan yang baik di Indonesia menjadikan
penyebab utama terjadinya krisis nasional yang terjadi di penghujung abad 20.
Hal tersebut tidak terlepas dar kegagalan yang tidak mengindahkan prinsip-prinsip
good governance. Pengawasan konsep, strategi dan implementasi good
governance dalam mewujudkan kepemerintahan yang baik merupakan
persyaratan yang utama untuk mewujudkan asprasi masyarakat dalam pencapaian
tujuan dan cita-cita bangsa dan Negara. Dalam rangka itu di butuhkan penerapan
dan pengembangan sistem pengendalian manajemen yang tepat dan disertai
dengan sistem pertanggungjawaban yang tepat, jelas dan nyata sehingga
penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan dapat berlangsung dengan
berdaya guna, bersih dan bertanggungjawab serta bebas dari korupsi, kolusi, dan
nepotisme. Selain itu, perlu diperhatikan pula adanya mekanisme untuk
meregulasi akuntabilitas pada setiap instansi pemerintahan agar masyarakat dapat
mengetahi sejauh mana keberhasilan dari tujuan-tujuan dan sasaran yang telah
ditetapkan dapat tercapai dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan kepada
masyaratakat, serta memperkuat peran dan kapasitas pengendalian manajemen
isntitusi parlemen, serta tersedianya akses yang sama pada nformasi bag
masyarakat luas.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, dimana peneliti
melakukan pengumpulan data baik primer maupun sekunder dari Inspektorat
Jenderal Departemen Agama R.I. hasil dar penelitan ini adalah sistem pengawasan
dalam sistem pengendalian manajemen sangat berperan dalam mewujudakna good
governance sehingga akuntabiltas kinerja di lingkungan Inspektorat Jenderal
Departemen Agama R.I. dapat terlaksana dengan baik.
Kata Kunci :
Sistem Pengendalian Manajemen, akuntabiltas kinerja, sistem
pengawsan internal dan eksternal, prinsip-prinsip good
governance, pengukuran akuntabilitas knerja
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ................................................................................................. i
DAFTAR TABEL .......................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR...................................................................................... v
BAB I
PENDAHULUAN ......................................................................... 1
A. Latar Belakang Penelitian ........................................................ 1
B. Perumusan Masalah .................................................................. 3
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.................................................. 4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA................................................................ 6
A. Sistem Pengendalian Manajemen.............................................. 8
1. Definisi Sistem Pengendalian Manajemen .......................... 8
2. Arti Penting Sistem Pengendalian Manajemen ................... 10
3. Arti Penting Sistem Pengendalian Manajemen bagi
Auditor ............................................................................... 12
B. Sistem Pengendalian Manajemen Pada Internal Audit............... 13
1. Jenis-jenis Internal Audit..................................................... 14
2. Posisi Pengendalian Manajemen dalam Internal Audit ........ 15
3. Perhatian Internal Auditor pada Penelahaan
Pengendalian Manajemen.................................................... 16
4. Tujuan Pengendalian Manajemen yang Diuji Auditor ......... 18
5. Manfaat Pengendalian Manajemen bagi Akuntabilitas
Kinerja Organisasi .............................................................. 18
6. Peranan Pemeriksaan Manajemen dan Audit Kinerja dalam
Pemeriksaan Kinerja ........................................................... 23
C. Sistem Pengendalian Manajemen terhadap Pengorganisasian ... 25
1. Perencanaan........................................................................ 26
2. Prosedur.............................................................................. 26
3. Kebijakan............................................................................ 27
4. Pencatatan........................................................................... 27
5. Pelaporan............................................................................ 27
6. Review Internal ................................................................... 28
D. Akuntabilitas ............................................................................ 28
1. Perkembangan Akuntabilitas............................................... 29
2. Jenis Akuntabilitas .............................................................. 32
E. Good governance...................................................................... 36
1. Definisi dan Konsep Good governance ............................... 39
2. Strategis Menerapkan Good governance ............................. 39
F. Kajian Penelitian Terdahulu...................................................... 41
G. Kerangka Penelitian ................................................................. 42
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN .................................................. 43
A. Ruang Lingkup Penelitian......................................................... 43
B. Metode Penentuan Sampel ........................................................ 42
C. Metode Analisis Data................................................................ 44
D. Metode Pengumpulan Data ....................................................... 45
1. Studi Kepustakaan .............................................................. 45
2. Studi Lapangan (Field Research) ........................................ 46
E. Operasional Variabel Penelitian .............................................. 46
1. Sistem Pengendalian Manajemen ........................................ 46
2. Akuntabilitas Kinerja .......................................................... 48
3. Good Governance ............................................................... 49
BAB IV
PENEMUAN DAN PEMBAHASAN ........................................... 51
A. Gambaran Umum Objek Penelitian .......................................... 51
1. Tugas dan Fungsi ................................................................ 53
2. Struktur Organisasi Departemen Agama.............................. 54
3. Visi dan Misi ...................................................................... 56
4. Program Utama Inspektorat Jenderal................................... 57
5. Capacity Building ............................................................... 59
B. Analisis dan Pembahasan ......................................................... 62
1. Analisis Deskriptif .............................................................. 62
2. Pembahasan ....................................................................... 93
BAB V
PENUTUP..................................................................................... 114
A. Kesimpulan............................................................................... 114
B. Saran ........................................................................................ 115
C. Implikasi................................................................................... 116
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 117
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Krisis nasional yang dihadapi bangsa Indonesia di penghujung Abad
20 tidak lepas dari kegagalan pengembangan sistem penyelenggaraan
pemerintahan negara dan pembangunan yang tidak mengindahkan prinsipprinsip good governance. Perjuangan untuk melakukan reformasi disegala
bidang telah membuahkan dasar-dasar perubahan di bidang manajemen
pemerintahan. Hal tersebut antara lain diwujudkan dalam Tap MPR RI
No.XI/MPR/1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), yang menegaskan tekad bangsa ini
untuk senantiasa bersungguh-sungguh mewujudkan pemerintahan negara dan
pembangunan yang didasarkan atas prinsip-prinsip good governance (LAN
dalam buku pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah dan Good Governance. 2002).
Dalam
seminar
nasional
pengawasan
konsep,
strategi
dan
implementasi good governance dalam mewujudkan kepemerintahan yang baik
(good governance) merupakan persyaratan utama untuk mewujudkan aspirasi
masyarakat dalam pencapaian tujuan cita-cita bangsa dan negara. Dalam
rangka itu, diperlukan penerapan dan pengembangan sistem pengendalian
manajemen yang tepat dan disertai dengan sistem pertanggungjawaban yang
tepat, jelas dan nyata sehingga penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan dapat berlangsung secara berdaya guna, berhasil guna, bersih
dan bertanggungjawab serta bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
(KKN).
Perlu diperhatikan pula adanya mekanisme untuk meregulasi
akuntabilitas pada setiap instansi pemerintah serta memperkuat peran dan
kapasitas pengendalian manajemen institusi parlemen, serta tersedianya akses
yang sama pada informasi bagi masyarakat luas. Dalam praktik penerapan
pengendalian manajemen ataupun elemen-elemennya dalam organisasi akan
sangat bervariasi baik kedalaman maupun formalitasnya. Variasinya akan
sangat tergantung dari tujuan yang hendak dicapai, ukuran organisasi, serta
budaya dan karakteristik anggota-anggotanya. Oleh karena itu, dalam menurut
(Ress, David dalam bukunya Management Peaples Startegy and Theory.
2007) pengendalian manajemen sekali-sekali tidak boleh dipandang sebagai
kriteria normatif yang dapat dicontoh penerapannya secara umum walaupun
dari suatu organisasi yang digunakan misalnya benchmarking.
LAN dalam pedoman penyusunan akuntabilitas kinerja instansi
pemerintah 2005 menyatakan konsep dasar akuntabilitas didasarkan pada
klasifikasi responsibilitas manajerial pada tiap tingkatan dalam organisasi
yang bertujuan untuk pelaksanaan kegiatan pada tiap bagian. Masing-masing
individu pada tiap jajaran aparatur bertanggungjawab atas setiap kegiatan yang
dilaksanakan pada bagiannya. Konsep itulah yang membedakan adanya
kegiatan-kegiatan yang terkendali (controllable activities) dan kegiatankegiatan yang tidak terkendali (uncontrollable activities).
Akuntabilitas menurut didefinisikan sebagai suatu perwujudan
kewajiban untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan
pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan-tujuan dan sasaransasaran yang telah ditetapkan melalui suatu media pertanggungjawaban yang
dilaksanakan secara periodik. Dalam dunia birokrasi, akuntabilitas suatu
instansi pemerintahan merupakan suatu perwujudan atas pelaksanaan
kewajiban instansi pemerintah mempertanggungjawabkan keberhasilan atau
kegagalan pelaksanaan misi instansi yang bersangkutan.
Menurut pusat pendidikan dan latihan pengawasan badan pengawasan
keuangan dan pembangunan, sistem pengendalian manajemen secara umum
adalah kajian deskriptif. Konsepnya dikembangkan dari hasil pengamatan
terhadap apa yang dilakukan oleh manajemen organisasi untuk mengarahkan
organisasinya ke tujuan yang digariskan. Berdasarkan latar belakang diatas
maka pembahasan yang akan dilakukan memiliki batasan hanya pada pokok
permasalahan yang ada, yaitu “Analisis Sistem Pengendalian Manajemen
dan Akuntabilita Kinerja Dalam Mewujudkan Good Governance Di
Lingkungan Inspektorat Jenderal Departemen Agama R.I”.
B. Perumusan Masalah
Masalah penelitian yang dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Apa peranan sistem pengawasan pada sistem pengendalian manajemen
untuk mewujudkan good governance di lingkungan Inspektorat
Jenderal Departemen Agama?
2. Sejauh mana akuntabilitas kinerja Inspektorat Jenderal Departemen
Agama dalam mewujudkan good governace?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk menemukan jawaban
dari Pertanyaan-pertanyaan yang timbul dari masalah yang diteliti yaitu
analisis sistem pengendalian manajemen yang difokuskan pada pelaksanaan
pengawasan dan akuntabilitas kinerja dalam mewujudkan good governance di
lingkungan Inspektorat Jenderal Departemen Agama R.I.
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk
mengatahui
peranan
sistem
pengawasan
pada
sistem
pengendalian manajemen dalam mewujudkan good governance di
lingkungan Inspektorat Jenderal Departemen Agama;
b. Untuk mengetahui sejauh mana akuntabilitas kinerja pada Inspektorat
Jenderal Departemen Agama dalam mewujudkan good governance.
2. Manfaat Penelitian
a. Bagi entitas terkait: hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan
sebagai
informasi
yang
bermanfaat
bagi
managemen
dalam
mengembangkan sistem pengendalian manajemen operasionalnya.
b. Bagi auditor internal: penelitian ini diharapkan dapat digunakan
sebagai suatu pemahaman yang memadai mengenai pentingnya sistem
pengendalian manajemen dalam mewujudkan good governance.
c. Bagi pihak yang berkepentingan lainnya, penelitian ini diharapkan
dapat digunakan sebagai informasi masukan yang dapat dimanfaatkan
sesuai dengan kebutuhan.
d. Bagi para peneliti lainnya, penelitian ini dapat digunakan sebagai salah
satu referensi dalam penelitiannya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pengendalian manajemen menurut (Pusat Pendidikan dan Pengawasan
Badan Keuangan dan Pembangunan/BPKP 2000) tidak dapat di lepaskan dari
kegiatan internal audit, dimana pengendalian manajemen mempunyai dua arti
penting bagi pelaksanaan audit internal. Yang pertama, pengendalian manajemen
diperlukan untuk melihat apakah sasaran audit sementara (Tentative Audit
Objective/TAO) dapat dimatangkan menjadi sasaran audit tetap (Firm Audit
Objective/FAO). Konsep pengendalian manajemen dikembangkan oleh berbagai
asosiasi dan profesi akuntansi. Di Amerika Serikat saja mereka-mereka yang telah
mengembangkan sistem pengendalian manajemen dapat disebut dengan American
Institute of Certified Publik Accountant (AICPA), Goverment Accounting Office
(GAO), the Institute of Internal Auditing (IIA) dan Comitie of Sponsoring
Organization (COSO) of the Treadway Commission. Walaupun mereka
mengembangkan dengan cara yang berbeda, tetapi substansi pembahasan pada
dasarnya sama. Hal ini mudah dijelaskan karena konsep pengendalian manajemen
merupakan konsep deskriptif dan bukannya konsep normatif. Artinya konsep
pengendalian manajemen ini dikembangkan berdasarkan pengamatan terhadap
pengelolaan yang dilakukan oleh manajemen organisasi.
Pengendalian internal (internal control) menurut (Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan dalam diktat Sistem Pengendalian Manajemen.
1999) sebutan yang paling awal digunakan yang nantinya akan berubah sesuai
dengan konsep yang dikembangkan oleh beberapa pihak dengan sudut pandang
yang berbeda, masing-masing pihak memberikan nama yang mereka anggap
paling sesuai sebagai alternatif dari istilah pengendalian internal. GAO misalnya,
menggunakan istilah pengendalian manajemen (management control) karena
ditentukan secara internal oleh pihak internal organisasi (dibedakan dari
pengendalian oleh pihak luar organisasi), disebut sebagai pengendalian
manajemen karena merupakan pengendalian yang ditetapkan oleh manajemen
sendiri (dibedakan dari pengendalian yang ditetapkan secara normatif oleh pihak
lain). Dari kedua nama ini variasi nama dibedakan untuk menjelaskan konsepnya
menurut pendekatan yang digunakan terhadap pembahasannya.
Seperti dengan bahasan awal yang termuat dalam Statement of Auditing
Standard No.1 (SAS-1) yang berembrio dari Statement on Auditing Procedures
(SAP) No.29 dan 33. AICPA menggunakan sebutan pengendalian intern (internal
control) tambahan sebutan sistem sehingga menjadi sistem pengendalian intern
(internal control system), dibuktikan karena dalam penerapannya pengendalian
manajemen ini dijadikan bentuk formal dan kontinyu yang memenuhi unsur suatu
sistem yaitu, mempunyai komponen input, proses dan output.
Lembaga yang sama kemudian melalui SAS-55 kemudian mengubah
sudut pandang pembahasannya dengan menekankan bentuk pengendaliannya
(dibedakan dari komponen atau elemen pengendalian), sehingga kemudian
menyebutnya sebagai struktur pengendalian manajemen (internal control
struktur). Sejak COSO memperkenalkan sudut pandangnya bahwa pengendalian
manajemen lebih menekankan pada proses yang dilakukan manajemen bukan
bentuk pengendalian yang digunakan, maka orang kembali menyebutnya sebagai
pengendalian intern (internal control).
Pengawasan didalam instansi pemerintahan sifatnya melekat atau inherent
dalam fungsi manajemen secara keseluruhan dan menyatu dengan sistem
manajemen yang berlangsung dalam organisasi. Dengan demikian pengawasan
dengan atasan langsung (supervisi) dapat diringankan karena semestinya tidak
akan mengurangi kadar pengawasan yang telah melekat dalam sistem
pengendalian manajemen internal pada organisasi yang bersangkutan. .
Uraian mengenai teori-teori yang berhubungan dengan penelitian
berdasarkan masing-masing konsep dan sudut pandangnya akan dibahas pada
bagian ini. Dimana penulis memfokuskan pembahasan pada satu atau lebih teori
atau hasil penelitian sebelumnya yang relevan dengan masalah penelitian.
A. Sistem Pengendalian Manajemen
1. Definisi Sistem Pengendalian Manajemen
Pengertian pengendalian manajemen secara garis besar menurut
(Anthony, Robert dalam bukunya “Management Control System”. 2007)
yaitu sebagai suatu yang statis atau sesuatu yang dinamis. Konsep-konsep
yang dikembangkan awalnya berdekatan statis. Pengendalian manajemen,
pertama kali didefinisikan secara formal oleh Comunite Auditing Prosedur
(CAP) komisi dari AICPA. Dikatakan bahwa definisi pengendalian ini
dihasilkan dari suatu studi komprehensif dan dituangkan dalam suatu
laporan khusus yang menjelaskan unsur-unsur pengendalian manajemen
dari manfaatnya bagi manajemen dan auditor independen.
Pada bulan Oktober tahun 1958 komite yang sama menerbitkan
Statement on Auditing Procedur (SAP) No.29 berjudul ”Scope of the
Independent Auditor’s Review of Internal Control”. Pernyataan ini lebih
menjelaskan ruang lingkup telahaan auditor independen terhadap
pengendalian manajemen berkaitan dengan audit keuangan.
Perkembangan lebih lanjut dari konsep pengendalian manajemen
ini adalah terbitnya SAP No.33 pada tahun 1953 yang berjudul ”Auditing
Standards and Procedures (accodification)”. SAP ini menegaskan bahwa
auditor independen terutama hanya berkepentingan dengan pengendalian
akuntansi yang berkaitan erat dengan keandalan catatan-catatan keuangan
yang
akan
dievaluasi
dalam
audit.
Pengendalian
administratif
dipertimbangkan, hanya jika auditor independen beranggapan bahwa
pengendalian tersebut mempunyai pengaruh yang penting terhadap
keandalan catatan-catatan keuangan.
Pada tahun 1972 Statement on Auditing Procedures (SAP)
digantikan oleh Statement of Auditing Standard. Statement of Auditing
Standard No.1 (SAS-1).yang terbit pada bulan November 1972 adalah
kondifikasi SAS-1 hingga SAP-54. Oleh karena itu, sekarang ini boleh
dikatakan bahwa pengertian pengendalian manajemen yang mendahului
pengertian yang terdapat pada SAS-55 yang lebih menerbitkan atau
menekankan pada bentuk pengendalian dan pada komponennya adalah
pengertian yang ada pada SAS-1.
Definisi pengendalian manajemen yang memandang internal
control sebagainya
terdapat dalam
konsep
COSO.
Pengendalian
manajemen didefinisikan sebagai proses yang dilakukan oleh manajemen
dari personil lain, dimaksudkan keyakinan yang memadai bahwa tujuantujuan, efektifitas dan efisiensi operasi, keandalan pelaporan keuangan,
serta kepatuhan terhadap peraturan dan perundangan yang berlaku dapat
dicapai. Melalui definisi ini COSO berusaha menekankan bahwa internal
control adalah serangkaian tindakan bukannya suatu kejadian atau suatu
kondisi.
2. Arti Penting Sistem Pengendalian Manajemen
Pada dasarnya, Fungsi utama sistem pengendalian manajemen
menurut (Draft, L dalam bukunya Management. 2006) adalah perencanaan
dan
pengendalian.
Untuk
itu
kemampuan
dalam
mengelola
perusahaan/instansi sangat bergantung pada kemampuan melaksanakan
kedua fungsi utama tersebut. Fungsi perencanaan meliputi aktivitasaktivitas seperti penentuan tujuan, penetapan kebijaksanaan, pengaturan
pengeluaran modal dan pembuatan keputusan mengenai produk dan
promosinya. Dengan kata lain, perencanaan berhubungan dengan
pengembangan tujuan untuk masa yang akan datang serta penyusunan
berbagai anggaran guna mencapai tujuan tersebut.
Agar manajemen memperoleh kepastian, apakah organisasinya
telah melaksanakan apa yang ditetapkan didalam perencanaan, maka
diperlukan adanya pengendalian manajemen, sebagai proses memotivasi
dan memberi semangat kepada para manajer untuk melaksanakan kegiatan
organisasi dalam upaya mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Anthony,
1978). Dengan demikian, pengendalian menyangkut implementasi
kebijaksanaan, evaluasi pelaksanaan dan pengambilan tindakan koreksi
atas pelaksanaan yang berada di bawah standar.
Pengendalian manajemen meliputi semua metode dan prosedur
termasuk sistem pengendalian manajemen, yang digunakan untuk
menjamin bahwa organisasi telah melaksanakan strategi perusahaan secara
efektif dan efisien dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan
sebelumnya. Biasanya sistem pengendalian manajemen merupakan suatu
sistem total, dengan pengertian bahwa sistem pengendalian tersebut
meliputi aspek operasi perusahaan (Anthony, 1978). Sistem ini merupakan
struktur dan proses sistematis serta terorganisir yang digunakan dalam
pengendalian manajemen. Sistem pengendalian manajemen terdiri dari dua
unsur, yaitu struktur pengendalian manajemen dan proses pengendalian
manajemen.
Struktur pengendalian manajemen menurut (Hariadi, Bambang
dalam bukunya Strategi Manajemen “Strategi dalam Perang Bisnis” 2005)
merupakan elemen yang membentuk sistem pengendalian manajemen,
yang terdiri dari berbagai pusat pertanggungjawaban dan teknik yang
sesuai untuk perencanaan dan pengendalian prestasi pada setiap pusat
pertanggungjawaban.
Sedangkan
proses
pengendalian
manajemen
merupakan cara bekerjanya setiap pusat pertanggungjawaban dengan
menggunakan informasi yang mengalir di dalamnya. Terdapat tiga tahap
dalam proses pengendalian manajemen, yaitu penyusunan program
(programming), penyusunan anggaran (budgeting), serta analisis dan
pelaporan prestasi
3. Arti Penting Pengendalian Manajemen bagi Auditor
Sistem pengendalian manajemen tidak dapat dipisahkan dari
pekerjaan audit, apakah itu general audit (audit terhadap laporan
keuangan)
maupun
management
audit
(audit
terhadap
kinerja
pengelolaan). Dimana manajemen audit menurut Agoes (2001):
“Manajemen audit adalah sesuatu pemeriksaan terhadap kegiatan operasi
suatu perusahaan termasuk kebijakan akuntansi dan kebijakan operasional
yang telah ditentukan oleh manajemen untuk mengetahui apakah kegiatan
operasi tersebut sudah dilakukan secara efektif dan efisien dan ekonomis.”
`
Auditor disaat sedang melaksanakan audit keuangan menggunakan
pengujian terhadap pengendalian manajemen untuk melihat dapat atau
tidaknya data dan informasi yang dihasilkan dalam proses manajemen
dipercayai (kompetensi bukti yang diperlukannya didalam audit).
B. Sistem Pengendalian Manajemen Pada Internal Audit
Sebelum tahun 1978, peran internal auditor dalam organisasi belum
dapat didefinisikan dengan jelas. Belum terdapat keseragaman dalam hal
bagaimana meletakkan satuan pengawas internal ini, dalam struktur
organisasi. Oleh karena itu, satuan pengawas internal ini ada yang didudukan
setingkat dengan direksi, langsung dibawah direktur utama, langsung dibawah
direktur keuangan, tetapi ada juga yang diletakan dibawah divisi akuntansi.
Pendefinisian posisi internal auditor manurut (Widjaja, Amin dalam
bukunya Internal Audit 2008) mulai mendapatkan perhatian penting dengan di
bentuknya Profesional Standards and Responsibilities Committe pada tahun
1974. Komite ini menghasilkan Standar Internal Auditing yang kemudian
disahkan dalam Konferensi Internasional IIA di San Francisco pada bulan Juni
1876.
Untuk mendalami pengertian internal audit, perlu dikemukakan berbagai
ahli dan sumber. Konrath (2000) mendefinisikan internal audit sebagai
berikut:
Internal audit merupakan fungsi pemikiran yang independen di dalam suatu
organisasi yang dilaksanakan untuk memeriksa dan mengevaluasi kegiatankegiatan yang ada di dalam organisasi tersebut sebagai suatu pemberian jasa
kepada manjemen.
Menurut Agoes (2001)
Internal audit adalah: pemeriksaan yang dilakukan oleh bagian internal audit
perusahaan, baik terhadap laporan keuangan dan catatan akuntansi
perusahaan, maupun ketaatan terhadap kebijakan manajemen puncak yang
telah ditentukan dan ketaatan terhadap peraturan pemerintah dan ketentuanketentuan dari ikatan profesi yang berlaku.
Standar internal auditing manurut (Sawyer’s Lawyers dalam buku
Internal Auditing 2005) memuat lima standar umum yaitu: kebebasan,
kecakapan profesional, ruang lingkup pekerjaan, kinerja pekerja audit, dan
manajemen satuan audit internal. Pelaksanaan dari standar ini akan menuntun
pada pendefinisian peranan internal auditor, yaitu sebagai katalis yang
membantu proses manajemen. Dalam hal ini internal auditor mengambil peran
sebagai alat manajemen yang bertugas melakukan studi terhadap pengendalian
manajemen. Oleh karena itu, dapat secara tegas dikatakan bahwa tujuan
pengendalian manajemen menjadi sasaran ruang lingkup kerja internal audit.
1. Jenis-Jenis Internal Audit
Internal auditor menurut (Widjaja, Amin dalam bukunya
Memahami Internal Audit 2008) melaksanakan pengujian pengendalian
manajemen melalui proses review berkesinambungan yang lebih dikenal
dengan nama internal audit. Jenis dan pelaksanaan audit ini bisa sangat
beragam, tetapi Leo Herbert dalam bukunya Audit The Management
Performance membagi internal audit ini menjadi dua kelompok sebagai
tujuan audit. kelompok yang pertama disebut sebagai Manajemen Audit
(M-Audit) jika audit dilakukan pada kegiatan manajemen yang sedang
berlangsung M-Audit dapat mengambil kriteria ketaatan dan efisiensi atau
kehematan sebagai tujuan audit.
Kelompok yang kedua disebut sebagai Program Audit (P-Audit)
berbeda dengan M-Audit yang dilaksanakan pada saat kegiatan masih
berlangsung. P-Audit dilaksanakan setelah kegiatan manajemen selesai
dilaksanakan. Oleh karena itu P-Audit lebih mementingkan hasil dari pada
cara pelaksanaan.
2. Posisi Pengendalian Manajemen dalam Internal Audit
Baik manajemen audit ataupun pengendalian audit pelaksanaanya
menurut (Munir, Nungki dalam buku Knowledge Management Audit
2008) dilakukan melalui tiga tahapan audit yaitu: audit pendahuluan,
penelahaan pengendalian manajemen, dan audit lanjutan. Kebutuhan audit
dapat berasal dari keluhan tidak bekerjanya dengan baik suatu sistem
pengendalian, dapat pula berasal dari pemahaman dapat ditingkatkannya
keandalan pengendalian manajemen. Penetapan sasaran audit akan
ditentukan berdasarkan arti penting dan risiko sistem pengendalian
tersebut dalam pencapaian tujuan organisasi.
Dalam internal auditor, auditor akan mencapai keterhubungan
antara
gejala-gejala
yang menimbulkan
kebutuhan audit dengan
pencapaian tujuan audit. Semua hal yang secara logis dapat dilihat sebagai
kelemahan yangg menghambat pencapaian sasaran bagi internal auditor
yang akan memberikan atribut sasaran audit yang mungkin. PAO
(Possible Audit Objektive) ini akan dicarikan penjelasan pada audit
pendahuluan, jika ternyata cukup memadai untuk dikembangkan dalam
proses berikutnya, maka PAO ini akan berubah menjadi sasaran sementara
(Tentative Audit Objective/TAO).
Pengendalian manajemen akhirnya menjadi batasan akhir apakah
ada sesuatu yang dapat disumbangkan internal auditor pada percepatan
tercapaianya tujuan organisasi. Jika dalam tahap audit penelaah sistem
pengendalian manajemen ternyata bahwa yang tertuang dalam TAO
bersumber pada kelemahan pengendalian manajemen, maka TAO akan
berubah menjadi sasaran audit tetap (Firm Audit Objective/FAO).
FAO ini akan menjadi titik tolak bagi auditor dalam audit lanjutan
untuk membuktikan kepada manajemen bahwa jika hal tersebut tidak
diberikan perhatian, maka akan terdapat kerugian sehingga menghambat
tercapainya tujuan organisasi.
3. Perhatian
Internal
Auditor
Pada
Penelaahan
Pengendalian
Manajemen
Dalam tahapan penelahaan sistem pengendalian manajemen,
auditor akan menilai apakah sistem tersebut mencapai standar tertentu agar
tujuan organisasi yang telah digariskan dapat dicapai. Sawyer’s dalam
buku internal auditing (2005) menganjurkan beberapa pertimbangan yang
dapat dilihat dalam penelahaan sistem pengendalian manajemen, yaitu
antara lain:
a. Ketetapan Waktu
Pengendalian
harus
dapat
mendeteksi
kemungkinan
penyimpangan atau penyimpangan yang sudah terjadi secara dini
untuk memperkecil kerugian yang akan diakibatkannya.
b. Hemat
Pengendalian harus secara wajar menjamin bahwa hasil
yang akan dicapai dengan biaya yang sekecil-kecilnya dan
sesedikitnya kemungkinan terjadi efek samping.
c. Akuntabilitas
Pengendalian
harus
membantu
setiap
orang
dalam
menunjukan tanggungjawabnya atas pekerjaan yang ditugaskan
kepadanya.
d. Penetapan
Pengendalian harus ditempatkan pada tempat dimana ia
akan bekerja lebih efektif.
e. Flexibilitas
Keadaan berakhir pada perubahan. Perencanaan dan
prosedur hampir diyakini harus sesuai dengan waktu.
f. Identifikasi Penyebab
Perbaikan yang segera dapat dilakukan jika pengendalian
tidak
hanya
mengidentifikasikan
mengidentifikasikan
juga
penyebab
masalah,
yang
tetapi
ditimbulkannya.
Ketepatan pengendalian harus memenuhi kebutuhan manajemen.
g. Masalah.
Pengendalian jelas membawa manfaat. Akan tetapi juga
membawa masalah. Pengendalian mungkin tetap akan berfungsi,
tetapi dengan pengorbanan finansial maupun moral. Pengendalian
harus dipandang sebagai alat untuk mencapai tujuan dan bukan
suatu tujuan.
4. Tujuan Pengendalian Manajemen Yang Diuji Auditor
Pengendalian manajemen menurut (Pusat Pendidikan dan Latihan
Pengawasan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan/BPKP
2000), seharusnya dirancang untuk dapat menangkal risiko yang
ditimbulkan risiko melekat. Auditor akan menguji apakah pengendalian
manajemen ini cukup untuk menjamin tercapainya tujuan yang hendak
dicapai manajemen dalam penyajian laporan keuangan yaitu:
a. Kelengkapan;
b. Akurasi;
c. Keberadaan atau keterjadian;
d. Pisah batas;
e. Penilaian;
f. Hak dan kewajiban, serta
g. Penyajian dan pengungkapan.
5. Manfaat Pengendalian Manajemen Bagi Akuntabilitas Kinerja
Organisasi
Falsafah manajemen modern memandang pengendalian sebagai
suatu bantuan dan bukan suatu kendala.
Pengendalian menurut
(Simanjuntak J dalam Manajemen dan Evaluasi Kinerja 2008) dilihat
sebagai suatu alat untuk mengintegrasikan tujuan perseorangan dan tujuan
organisasi
untuk
membantu
tercapainya
tujuan-tujuan
tersebut.
Penganjuran penerapan pengendalian menyatakan bahwa pengendalian
dapat
menjadi
alat
untuk mengukur
kinerja
pribadi khususnya
akuntabilitas kinerja, apakah seseorang atau suatu unit (akuntabilitas
kinerja) telah menyelesaikan tugas yang dibebankan.
a. Jenis–Jenis Pengendalian
Pengendalian dapat dirancang untuk melaksanakan berbagai
fungsi. Beberapa diantaranya diterapkan untuk menghindarkan hasil
yang tidak diinginkan sebelum itu terjadi (pengendalian prefentif).
Yang dirancang untuk mengenali adanya hasil yang dinginkan mereka
terjadi (pengendalian detektif).
b. Sistem Pengendalian
Alat dari pengendalian meliputi orang, aturan, anggaran, jadwal
dan mungkin berbagai komponen lain, kesemuanya membentuk sistem
pengendalian. Sistem yang terbentuk mungkin mengintegrasikan
subsistem, dan mungkin merupakan bagian dari sistem yang lebih
besar.
Tujuan sekaligus. Sistem pengendalian mungkin merupakan
sistem terbuka ataupun sistem yang tertutup. Pada dasarnya sistem
operasional mempunyai tiga komponen dasar yaitu: input, proses, dan
output yang dapat digambarkan sebagai:
Gambar. 2.1
input
Proses
Output
Sumber: (Pusat Pendidikan dan Latihan Pengawasan Badan Pengawasan Keuangan
dan Pembangunan. 2000).
\
1) Sistem Pengendalian Black Box
Dalam pandangan sistem pengendalian, black box adalah
derajat sistem yang terendah. Dalam sistem ini manajemen
memandang proses sebagai sesuatu yang tidak dapat dipengaruhi
dan harus diterima apa adanya. Oleh karena itu proses dilihat
sebagai suatu kotak hitam, dan digambarkan sebagai berikut
Gambar. 2.2
input
Kotak hitam
output
Sumber: (Pusat Pendidikan dan Latihan Pengawasan Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan. 2000).
2) Sistem Pengendalian Umpan Balik (Feed Back)
Derajat kedua dari sistem pengendalian adalah sistem
Pengendalian umpan balik. Untuk mengendalikan agar proses
dapat menghasilkan output sesuai dengan standar yang telah
ditetapkan, maka dua elemen harus ditambahkan, yaitu sensor
pengendalian dan umpan balik.
3) Sistem Pengendalian Umpan Depan (Feed Forward)
Derajat tertinggi dalam sistem pengendalian adalah sistem
pengendalian umpan depan. Sistem pengendalian ini menghendaki
pemahaman bahwa suatu proses sebenarnya adalah serangkaian
dari proses-proses yang lebih kecil. Dengan menempatkan sensor
pengendalian pada setiap proses kecil tersebut maka informasi
yang diperoleh dapat diumpankan kedepan (Feed Forward).
c. Aspek-aspek Pengendalian Manajemen
Aspek-aspek pengendalian manajemen manurut (Ress, David
and McBean dalam buku Management People Strategy and Theory
2007) penerapan pengendalian manajemen adalah hak prerogatif
manajemen. Perkembangan kemudian mengharuskan manjemen
perusahaan untuk menerapkan pengendalian manjemen baik secara
langsung maupun tidak langsung. Terlebih lagi jika organisasi tersebut
mulai menggunakan dana masyarakat dalam kegiatan usahanya, mau
tidak mau ia berada dalam pengawasan badan pengatur yang
mensyaratkan adanya pengendalian. Pada keadaan ini suatu organisasi
harus tunduk misalnya pada syarat-syarat pengendalian yang terdapat
pada undang-undang yang berlaku.
Di Amerika Serikat. Foreign Corrupt Practice Act 1977 yang
disempurnakan pada tahun 1988 adalah penyempurnaan dari Securities
Exchange Act 1934. Seluruh organisasi (perusahaan) yang oleh
Securities Exchange Act 1934 diharuskan dimasukan laporan keuangan
auditan, sekarang diharuskan untuk memelihara pembukuan yang
cukup lengkap dan akurat serta menerapkan suatu pengendalian
manajemen yang cukup andal.
d. Kendala dan Keterbatasan Pengendalian Manajemen
Banyak
pihak
yang
menginginkan
bahwa
dengan
melaksanakan pengendalian manajemen secara ketat, organisasi akan
dapat melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dalam mencapai misi
dan tujuan organisasi secara ekonomis, efisien, dan efektif.
e. Prosedur Pengujian Sistem Pengendalian Manajemen
Tugas auditor dalam kaitan dengan pemahaman pengendalian
manajemen adalah meyakinkan bahwa unsur-unsur pengendalian
manajemen telah ditempatkan secara tepat dalam operasi dan didalam
pedokumentasian.
f. Mendokumentasikan Pemahaman Pengendalian Manajemen
Untuk memudahkan auditor dalam menyimpulkan tingkat
keandalan sistem pengendalian internal yang dievaluasi, beberapa alat
dokumentasi atas hasil evaluasi tersedia untuk digunakan. Alat-alat ini
diantara lain adalah: uraian naratif, flowchart, dan internal control
questioner.
6. Peranan Pemeriksaan Manajemen Dan Audit Kinerja Dalam
Pemeriksaan Kinerja
Istilah pengukuran kinerja merupakan hasil terjemahan dari
performance auditing yang dapat didefinisikan dalam kerangka yang sama
seperti pemeriksaan manajemen, kecuali bahwa pemeriksaan operasional
lebih
berlaku
terhadap
sistem
operasi audit
dari pada
sistem
manajemennya (J. Simke 1982).
Pemeriksaan kinerja memberikan penekanan pada segi efisiensi
dan ekonomis/penghematan pelaksanaan fungsi manajemen. Sehubungan
dengan tujuan yang ingin dicapai oleh pemeriksaan kinerja maka
pemeriksaan ini dapat dibedakan atas dua bagian yaitu :
a. Pemeriksaan
pengelolaan
(management
auditing)
yaitu
pemeriksaan kinerja dengan penekanan pada segi ekonomis dan
efisien;
b. Pemeriksaan program (program auditing) yaitu pemeriksaan
kinerja dengan penekanan pada aspek efektivitas.
Sehubungan dengan batasan mengenai rumusan istilah audit
kinerja, menurut Johny Setiawan (1988):
”Pemeriksaan kinerja bertujuan menghasilkan perbaikan atas
pengelolaan aktivitas dan mencapai hasil dari obyek yang diperiksa
dengan cara memberikan saran-saran tentang upaya-upaya yang dapat
ditempuh guna pendayagunaan sumber-sumber ekonomis secara efisien
dan efektif”.
Pemeriksaan manajemen menurut Supriono (1990):
”Pemeriksaan manajeman adalah suatu proses pemeriksaan secara
sistematis yang dilaksanakan oleh pemeriksa independen untuk
mendapatkan dan mengevaluasi bukti secara objektif atas prosedur dan
kegiatan manajemen”.
Menurut Supriono (1990) perbedaan Audit Kinerja dengan Audit
Manajemen adalah:
Tabel. 2.1
No
Audit Kinerja
1. Kegiatan pemeriksaan
dilaksanakan secara policy
manajer, pedoman akuntansi,
standar kegiatan
2. Sumber-sumber telah
digunakan secara efektif,
efisien dan hemat serta
mengkomunikasikan hasil
pemeriksaan dalam bentuk
laporan, konklusi laporan
kepada atasan manajer yang
diperiksa.
Audit Manajemen
Kegiatan pemeriksaan
dilaksanakan sesuai peraturan,
prosedur, standar kegiatan,
maupun policy manajer.
Sumber telah digunakan secara
efektif dan hemat serta
mengkomunikasikan hasil
pemeriksaan dengan pendapatan
konklusi laporan kepada atasan
manajer disertai dengan bentuk
rekomendasi tindakan koreksi
kegiatan yang in-efisiensi.
Standar atau kriteria pemeriksaan menurut (Sayle. 2000) adalah
ukuran mengenai mutu pemeriksaan standar pemeriksaan kinerja yang
digunakan dewasa ini merupakan norma umum pemeriksaan, pelaksanaan
dan pelaporan yang dikembangkan oleh General Accounting Office (GAO)
dari Amerika Serikat sebagaimana yang disebutkan dengan nama ”GAO
Standar for Audit of Govermental Organization Programs, Activities and
function” yang sejalan pula dengan hasil kongres IAI 1994 di Bandung
yang dituangkan dalam buku standar auditing.
C. Sistem Pengendalian Manajemen terhadap Pengorganisasian
Organisasi menurut (Kinicki, Angelo 2005) adalah setiap bentuk
persekutuan antara dua orang atau lebih yang bekerja bersama-sama serta
secara formal saling terikat dalam rangka pencapaian suatu tujuan yang telah
ditentukan. Dalam persekutuan ini terdapat seorang atau beberapa orang yang
disebut alasan dan seorang/sekelompok orang yang disebut bawahan. Tiga
unsur utama dalam suatu organisasi Supono (2000), yaitu:
1. Organisasi memiliki kegunaan atau tujuan, yaitu pencapaian tujuan
yang sudah ditetapkan;
2. Organisasi terdiri dari kelompok manusia;
3. Organisasi merupakan wadah sekelompok orang untuk bekerjasama.
Selain itu pengorganisasian
juga terdiri dari beberapa aspek yang
mendasari pembentukan dari pengorganisasian yang di inginkan, dimana
aspek-aspek tersebut didasari atas langkah-langkah yang harus diperhatikan
dalam suatu pengorganisasian, langkah-langkah tersebut bisa dipastikan tidak
terlepas dari prosedur pengorganisasian yang telah ditentukan.
Proses pembentukan organisasi diawali dengan penetapan visi dan misi
yang bertujuan mengidentifikasikan tugas pokok, sasaran kinerja dan fungsi
organisasi. Penetapkan standar kinerja dilakukan untuk mengendalikan
pelaksanaan kegiatan para anggota organisasi agar tetap sesuai dengan yang
diinginkan. Standar kinerja ini juga merupakan alat pendeteksi secara dini jika
terjadi ketidaksesuaian antara pelaksanaan dan ketentuan atau prosedur yang
seharusnya. Organisasi berdasarkan atas dua bentuk pengklasifikasian yaitu
organisasi bentuk struktural dan organisasi bentuk fungsi.
1. Perencanaan
Menurut (Manulang dalam bukunya Dasar-Dasar Manajemen
2006) untuk dapat mencapai tujuan organisasi, manajemen harus
merencanakan proses, membakukan, melaksanakan dan memantau
pelaksanaannya dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, perencanaan
merupakan tahap awal dari suatu proses manajemen. Perencanaan
berfungsi untuk memberikan arahan kepada proses manajemen dengan
cara membantu memutuskan apa yang diharus dikerjakan, kapan dan
bagaimana
caranya
mengerjakan,
serta
siapa
saja
yang
harus
melakukannya.
2. Prosedur
Setiap organisasi, mempunyai misi, fungsi serta tujuan masingmasing yang pada umumnya tercermin diperaturan perundangan yang
mendasari. Prosedur pada hakekatnya merupakan suatu rangkaian (urutanurutan), tindakan oleh satu atau beberapa orang dengan peralatan dan
waktu tertentu didalam melaksanakan suatu aktivitas tertentu untuk
mencapai tujuan yang diharapkan sesuai dengan kebijakan pimpinan yang
telah digunakan.
Dengan kata lain prosedur merupakan pedoman yang sangat
spesifik dan secara rinci menggambarkan langkah-langkah secara
kronologis yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan. Dengan demikian
dikatakan bahwa filosofi diciptakannya prosedur adalah mengarahkan
personil organisasi dalam bentuk secara sistematis guna mendukung
tercapainya tujuan organisasi.
3. Kebijakan
Dalam organisasi kebijakan merupakan alat bantu untuk memilih
tindakan terbaik dari berbagai alternatif yang ada. Oleh karena itu
kebijakan akan dijumpai dalam organisasi pada hampir seluruh tingkatan
manajemen. Kebijakan akhirnya menjadi salah satu bidang kajian yang
penting dalam manajemen, karena pengaruhnya yang luas, meliputi
seluruh aspek pengelolaan organisasi. Dalam manajemen, kebijakan
merupakan penjabaran keinginan organisasi yang harus dicapai.
4. Pencatatan
Pencatatan merupakan suatu fungsi untuk mendokumentasikan
kejadian atau peristiwa yang terjadi pada suatu organisasi dari unit
terendah sampai dengan unit tertinggi. Catatan ini sangat diperlukan
karena memungkinkan para pihak yang berkepentingan untuk mendapat
informasi, membaca, dan memperlajari kembali peristiwa atau fakta yang
telah terjadi.
5. Pelaporan
Laporan merupakan salah satu dari beberapa alat komunikasi yang
digunakan organisasi. Dari sudut pandang pengendalian manajemen,
laporan adalah sarana untuk meyakinkan bahwa setiap anggota organisasi
mendapatkan pesan yang jelas mengenai apa yang harus dilakukan dalam
rangka pencapaian tujuan organisasi. Bagi anggota organisasi fungsi
laporan berkisar dari: a) sekedar menginformasikan, b) meyakinkan,
hingga, c) menggerakan mereka untuk melakukan sesuatu.
Menurut derajat formalitasnya laporan dapat berbentuk laporan
lisan maupun tertulis. Isi laporan mungkin akan menyajikan informasi
mengenai apa yang telah terjadi (what), dimana kejadiaanya (where),
kapan terjadinya (when), mengapa hal itu terjadi (why), siapa yang terlibat
didalam kejadian (who) dan bagaimana hal tersebut terjadi (how). Ciri
mutu dari laporan harus dapat dimengerti, relevan, dan dapat dipercaya.
6. Review Internal
Review internal merupakan unsur pengendalian manajemen yang
terakhir. Kegiatan ini diperlukan untuk meyakini bahwa seluruh unsur
pengendalian internal yang telah diuraikan pada bahasan-bahasan
sebelumnya, yang terdiri dari pengorganisasian, kebijakan, perencanaan,
prosedur, pencatatan, pelaporan, dan personil telah berfungsi sebagaimana
mestinya demi terselenggaranya tugas pokok dan fungsi selalu instansi
atau organisasi secara ekonomis, efisien, dan efektif.
D. Akuntabilitas
Akuntabilitas menurut (LAN dalam Pedoman Pelaporan Akuntabilitas
Kinerja Instansi Pemerintah No. 589/IX/6/Y/99 1999) tujuan-tujuan dan
sasaran-sasaran
yang
telah
ditetapkan,
melalui
suatu
media
pertanggungjawaban, yang dilaksanakan secara periodik. Dalam dunia
birokrasi,
akuntabilitas
suatu
instansi
pemerintah
merupakan
suatu
perwujudan instansi pemerintah mempertanggungjawabkan keberhasilan atau
kegagalan pelaksanaan nilai instansi yang bersangkutan.
1. Perkembangan Akuntabilitas
Di dalam pendefinisian dari akuntabilitas ditinjau dari aspek yaitu
tinjauan historia dan tinjauan teoritis. Menurut The Oxford Advance
Learner’s Dictionary, akuntabilitas adalah required or expected to give an
explanation for one’s action. Dengan kata lain, dalam akuntabilitas
terkandung kewajiban untuk menyajikan dan melaporkan segala tindaktanduk dan kegiatannya di bidang administrasi keuangan kepada pihak
yang lebih tinggi/atasannya.
Dalam hal ini terminologi akuntansi dilihat dari sudut pandang
pengendalian tindakan pada pencapaian tujuan. Tolak ukur atau indikator
pengukuran kinerja adalah kewajiban individu atau organisasi untuk
mempertanggungjawabkan pencapaian kinerjanya melalui pengukuran
yang seobyektif mungkin.
Media
untuk
mempertanggungjawabkan
akuntabilitas
tidak
terbatas didalam laporan pertanggungjawabannya saja tetapi juga
mencakup praktek-praktek kemudahan si pemberi mandat mendapatkan
informasi, baik langsung maupun tidak langsung secara lisan maupun
tulisan. Dengan demikian akuntabilitas akan tumbuh subur pada
lingkungan
yang
pertanggungjawaban.
mengutamakan
keterbukaan
sebagai
landasan
Menurut J.B. Gharley, akuntabilitas ditujukan untuk mencari
jawaban terhadap pertanyaan yang berhubungan dengan pelayanan apa,
siapa, kepada siapa, milik siapa, yang mana, dan bagaimana. Pertanyaan
ini memerlukan jawaban. Konsep pelayanan ini dalam akuntabilitas belum
memadai, oleh karena itu harus diikuti dengan jiwa enterpreneurship pada
pihak-pihak
yang
melaksanakan
akuntabilitas.
Akuntabilitas
juga
merupakan instrumen untuk kegiatan kontrol dilakukan untuk mengetahui
sejauh mana pencapaian hasil serta cara-cara bagaimana untuk mencapai
semua itu.
Akuntabilitas dapat hidup dan berkembang dalam suasana dan
transparan dan demokratis dan adanya kebebasan dalam mengemukakan
pendapat, sehingga di dalam negara yang otokratik dan tidak transparan,
akuntabilitas akan hilang dan tidak berlaku. Oleh karena ini pemerintah
harus betul-betul menyadari bahwa pemerintahan dan pelayanan kepada
masyarakat. Ada empat dimensi yang membedakan akuntabilitas dengan
yang lain:
a. Siapa yang harus melaksanakan akuntabilitas;
b. Kepada siapa dia berakuntabilitas;
c. Apa standar yang ia gunakan untuk penilaian akuntabilitasnya;
d. Nilai akuntabilitas itu sendiri.
Deklarasi Tokyo mengenai petunjuk akuntabilitas publik (tahun
1985)
menetapkan definisi sebagai berikut,
bahwa
akuntabilitas
merupakan kewajiban-kewajiban dari individu-individu atau penguasa
yang dipercayakan untuk mengelola sumber-sumber daya publik dan yang
bersangkutan dengannya untuk dapat menjawab hal-hal yang menyangkut
pertanggungjawaban fiskal, manajerial, dan program.
Pengendalian (control) sebagai tujuan penting manajemen yang
baik, adalah saling menunjang dengan akuntabilitas. Dengan kata lain,
dapat disebutkan bahwa pengendalian tidak dapat berjalan dengan efisien
dan efektif bila tidak ditunjang dengan mekanisme akuntabilitas yang baik
pula, demikian sebaliknya. Dapat dikatakan bahwa akuntabilitas
merupakan perwujudan kewajiban seseorang atau unit organisasi untuk
mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalian terhadap sumber
daya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam
rangka pencapaian tujuan
yang telah ditetapkan melalui media
pertanggungjawaban secara periodik.
Media akuntabilitas yang memadai adalah bentuk laporan yang dapat
mengekspresikan pencapaian tujuan melalui pengelolaan sumber daya
suatu organisasi. Media akuntabilitas ini dapat berupa laporan tahunan
tentang pencapaian tugas pokok dan fungsi dengan aspek-aspek
penunjangnya seperti aspek keuangan, aspek sarana dan prasarana, aspek
sumber daya manusia dan lain-lain.
2. Jenis Akuntabilitas
Menurut Sirajudin H. Salleh dan Aslam Iqbal, akuntabilitas
sebetulnya merupakan sisi sikap dan watak kehidupan manusia yang
meliputi:
a. Akuntabilitas intern seseorang dan
b. Ekstren seseorang.
Dari sisi intern, akuntabilitas merupakan pertanggungjawaban
orang tersebut kepada Tuhannya. Akuntabilitas yang demikian ini yang
meliputi pertanggungjawaban sendiri mengenai segala sesuatu yang
dijalankannya, hanya dipahami dan diketahui oleh dirinya sendiri. Oleh
karena itu akuntabilitas intern sering disebut juga sebagai akuntabilitas
spiritual.
Ledivina V.G menyatakan bahwa dengan disadarinya akuntabilitas
spiritual, maka pengertian akan accountable atau tindakan seseorang
bukan hanya dikarenakan ia mencuri dan tidak sensitif terhadap
lingkungannya, akan tetapi lebih jauh dari itu yakni seperti adanya
perasaan malu atas warna kulitnya, tidak bangga menjadi bagian suatu
bangsa, kurang nasionalis, dan lain-lain. Akuntabilitas yang satu ini sangat
sulit untuk diukur karena tidak adanya ukuran yang jelas dan diterima oleh
semua orang serta tidak ada yang melakukan cek evaluasi dan monitor
baik sejak proses sampai pertanggungjawaban itu sendiri.
Akuntabilitas Ekstern sesorang adalah akuntabilitas seseorang
tersebut kepada lingkungannya, baik lingkungan formal maupun
lingkungan masyarakat. Kegagalan seseorang melaksanakan akuntabilitas
ekstern tersebut mencakup pemborosan waktu, pemborosan sumber dana,
dan sumber-sumber daya pemerintah. Akuntabilitas ekstern akan lebih
mudah diukur mengingat norma dan standar yang tersedia memang sudah
jelas. Kontrol pengendalian eksternal sudah ada dalam mekanisme yang
terbentuk dalam suatu sistem dan prosedur kerja.
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di indonesia seperti
Indonesian Corruption Watch (ICW), Lembaga Konsumen indonesia,
merupakan contoh-contoh pengontrol dan penyeimbang pelaksanaan
akuntabilitas instansi pemerintahan. Akuntabilitas Internal meliputi:
a. Internal Accountability to the public servant’s own organization
Dalam akuntabilitas ini setiap tingkatan pada hierarki
organisasi, petugas pelayanan publik diwajibkan untuk accountable
kepada atasannya dan kepada yang mengontrol pekerjaannya. Untuk
itu diperlukan komitmen dari seluruh petugas untuk memenuhi kriteria
pengetahuan dan keahlian untuk pelaksanaan tugas-tugasnya sesuai
dengan posisi tersebut.
b. Eksternal Accountability to the individual’s and organization outside
public servant’s own organization
Akuntabilitas ini mengandung pengertian akan kemampuan
untuk menjawab setiap pertanyaan yang berhubungan dengan
pencapaian kinerja pelaksanaan tugas dan wewenang. Pembagian
Akuntabilitas Eksternal meliputi:
1) Menurut Mario D. Yango
a) Tradisional atau Regulariy Accountability
Akuntabilitas tradisional atau reguler memfokuskan diri
pada transaksi-transakisi reguler atau fiskal untuk mendapatkan
informasi mengenai kepatuhan kepada peraturan yang berlaku
terutama yang terkait dengan peraturan fiskal dan peraturan
pelaksanaan
administrasi
Compliance
Accountibility.
publik.
Hal
Disebut
ini
juga
dengan
diperlukan
untuk
mempertahankan tingkat efisiensi pelaksanaan administrasi
publik yang mengarah pada perwujudan pelayanan prima.
b) Managerial Accountability
Akuntabilitas
manajerial
menitikberatkan
kepada
efisiensi dan kehematan penggunaan dana, harta kekayaan,
sumber daya, manusia dan sumber-sumber
daya lainnya.
Efisiensi penggunaan sumber daya yang menjadi kewenangan
suatu instansi pemerintah merupakan ciri utama akuntabilitas
manajerial.
c) Program Accountability
Akuntabilitas program memfokuskan pada pencapaian
hasil operasi pemerintah. Pencapaian tugas tersebut tentunya
dikaitkan program-program instansi pemerintah tersebut yang
dikaitkan dengan program nasional. Sehingga keberhasilan
instansi pemerintah ini mempunyai sumbangan (share) yang
jelas pada pencapaian program nasional.
d) Process Accountability
Akuntabilitas proses memfokuskan kepada informasi
kepada
tingkat
pencapaian
kesejahteraan
sosial
atas
pelaksanaan kebijakan dan aktivitas-aktivitas organisasi.
2) Menurut Samuel Paul (1991)
a) Democration Accountability
Akuntabilitas demokrasi merupakan gabungan antara
political
dan
administrative
accountability.
Pemerintah
accountable atas kinerja dan semua kegiatannya kepada
pimpinan politik yang telah mereka pilih.
b) Profesional Accountability
Dalam akuntabilitas profesional para pakar, profesional,
teknokrat melaksanakan tugas-tugasnya dengan dilandasi oleh
norma-norma dan standar profesinya. Mereka diperkenankan
untuk menentukan public interst sesuai dengan norma-norma
dan standar yang dikaitkan dengan kepentingan masyarakat.
c) Legal Accountability
Berdasarkan kategori akuntabilitas yang satu ini,
pelaksanaan ketentuan hukum disesuaikan untuk kepentingan
public goods dan public services yang memang dituntut oleh
masyarakat
Selain jenis-jenis yang disebutkan diatas akuntabilitas juga terbagi
lagi menjadi beberapa jenis yaitu:
a. Akuntabilitas Keuangan
Akuntabilitas keuangan merupakan pertanggungjawaban
mengenai integritas keuangan, pengungkapan, dan ketaatan terhadap
peraturan perundangan sasaran pertanggungjawaban ini adalah
laporan keuangan yang disajikan dan peraturan perundangan yang
berlaku yang mencakup penerimaan, penyimpanan dan pengeluaran
uang oleh instansi pemerintah.
b. Akuntabilitas Manfaat
Akuntabilitas
manfaat
(efektivitas)
pada
dasarnya
memberikan perhatian kepada hasil dalam kegiatan-kegiatan
pemerintah. Dalam hal akuntabilitas manfaat hampir sama dengan
akuntabilitas program.
c. Akuntabilitas Prosedural
Akuntabilitas prosedural merupakan pertanggungjawaban
mengenai apakah suatu prosedur penetapan dan pelaksanaan suatu
kebijakan telah mempertimbangkan masalah moralitas, etika,
kepastian hukum, dan ketaatan pada keputusan politis untuk
mendukung pencapaian tujuan akhir yang telah ditetapkan.
E. Good Governance
Good governance menurut definisi yang diberikan Word Bank
diartikan sebagai suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid
dan bertanggungjawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang
efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi
baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta
penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha
(Word Bank, 1998 dalam Huther & Shah 1998).
Menurut Seminar Nasional Pengawasan Konsep, Strategi, dan
Implementasi Good governance dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
(Inspektorat Jenderal Departemen Agama 2007) good governance adalah
pengelolaan suatu kegiatan, apakah dalam suatu organisasi skala kecil,
perusahaan maupun pemerintah serta negara harus dilakukan secara amanah
sesuai dengan kepercayaan yang diberikan oleh pemberi amanah.
Kepemerintahan yang baik (good governance) merupakan issue yang
paling mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik dewasa ini.
Tuntutan gencar yang dilakukan oleh masyarakat kepada pemerintah untuk
melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah sejalan dengan
meningkatnya tingkat pengetahuan masyarakat, disamping adanya pengaruh
globalisasi.
Pola-pola lama penyelenggaraan pemerintahan tidak sesuai lagi dengan
tatanan masyarakat yang telah berubah. Oleh karena itu, tuntutan itu
merupakan hal yang wajar dan sudah seharusnya direspon oleh pemerintah
dengan melakukan perubahan-perubahan yang terarah pada terwujudnya
penyelenggaraan pemerintahan yang baik.
Dari segi functional aspect, good governance dapat ditinjau dari
apakah pemerintah telah berfungsi secara efektif dan efisien dalam upaya
mencapai tujuan yang telah digariskan, atau sebaliknya. Word bank
memberikan definisi:
“the way state power is used in managing economic and social resources for
development of society”. Sementara UNDP mendefinisikan sebagai “the
exercise of political, economic, and administrative authority to manage a
nation’s affair at all levels”.
Oleh karena itu, menurut definisi terakhir ini, governance mempunyai
tiga kaki (three legs), yaitu economic, political, dan adminitrative. Economic
governance meliputi proses-proses pembuatan keputusan (decision-making
processes) yang memfasilitasi aktivitas ekonomi di dalam negeri dan interaksi
diantara penyelenggaraan ekonomi. Economic governance mempunyai
implikasi terhadap equity, poverty, dan quality of life. Political governance
adalah proses-proses pembuatan keputusan untuk formulasi kebijakan.
Administrative governance adalah sistem implementasi proses
kebijakan. Oleh karena itu institusi dari governance meliputi tiga domain,
yaitu state (negara atau pemerintahan), private sector (sektor swasta atau
dunia usaha), dan society (masyarakat), yang saling berinteraksi dan
menjalankan fungsinya masing-masing. Institusi pemerintahan berfungsi
menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif, sektor swasta
menciptakan pekerjaan dan pendapatan, sedangkan society berperan positif
dalam interaksi sosial, ekonomi, dan politik, termasuk mengajak kelompok-
kelompok dalam masyarakat untuk berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi,
sosial dan politik.
1. Definisi dan Konsep Good Governance
Good governance adalah pengelolaan suatu kegiatan apakah dalam
suatu organisasi skala kecil, perusahaan maupun pemerintah serta negara
harus dilakukan secara amanah sesuai dengan kepercayaan yang diberikan
oleh pemberi amanah (Departemen Agama R.I: Buku Panduan Acara
Seminar Nasional “Pengawasan Konsep. Strategi dan Implementasi Good
governance dalam Penyelenggaraan Pemerintah. 2007).
Pengertian good governance mencakup aspek kehidupan yang luas
mulai dari aspek hukum, politik, ekonomi, sosial, dan terkait erat dengan
tugas fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif, serta dengan posisi dan
peran sektor dunia usaha, dengan masyarakat. Dengan lingkup tersebut,
good governance dapat dikelompokan menjadi 9 (sembilan) bagian
karakteristik, yaitu: (a) participation, (b) rule of low, (c) tranparancy, (d)
responsiveness, (e) consensus orientation, (f) equity, (g) effectiveness and
efficiency, (h) accountabiliy, (i) strategi visio.
2. Strategi Menerapkan Good Governance
Berikut ini adalah beberapa strategi yang dapat digunakan dalam
mencapai penerapan praktik good governance dalam birokrasi pemerintah:
(LAN: Pedoman Penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah dan Good Governance. 2002).
a. Reformasi Sistem Birokrasi
Birokrasi harus diarahkan pada prinsip pelayanan pada
kepentingan publik. Reformasi sistem birokrasi ini menyangkut
perubahan regulasi terutama yang terkait dengan pelayanan publik.
Salah satu pendekatan yang dapat ditempuh dalam reformasi
sistem birokrasi ini adalah dengan menumbuhkan budaya
koorporasi pada organisasi birokrasi pemerintah.
b. Peningkatan
Budaya
Akuntabilitas
Dalam
Pelaksanaan
Pemerintahan
Budaya
pemerintah
akuntabilitas
tidak
dipertanggungjawabkan.
mengharuskan
hanya
Proses
setiap
dilaksanakan
ini
namun
memungkinkan
kegiatan
juga
adanya
evaluasi pelaksanaan kegiatan. Hasil evaluasi dapat digunakan
untuk melakukan penyempurnaan perencanaan dan pelaksanaan
periode berikutnya. Jika hal ini dilaksanakan secara terus-menerus,
maka akan tercipta efisiensi dan efektivitas pelaksanaan kegiatan,
bahkan memungkinkan tumbuhnya inovasi dalam pelaksanaan
kegiatan.
c. Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia perlu diingatkan dalam hal yaitu
profesionalisme, etika dan moral, dan budaya kerja.
d. Transformasi Tata Nilai
Tata nilai dalam suatu sistem berperan melandasi,
memberikan acuan, menjadi pedoman perilaku, dan menikmati
eksistensi dan dinamika unsur-unsur lainnya dalam sistem
administrasi
negara
termasuk
birokrasi.
Semangat
good
governance harus ditransformasikan dalam tata nilai dan budaya
organisasi.
F. Kajian Penelitian Terdahulu
Penelitian sebelumnya yang di dalam penelitiannya telah membahas
mengenai sistem pengendalian manajemen, akuntabilitas kinerja dan good
governance. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh:
1. Arief Ramadani “Pengaruh total Quality Manajemen dan Sistem Reward
terhadap Kinerja Manajerial dengan Profit sebagai Variabel Moderating
(studi kasus pada PT Pos Indonesia. Lap Banteng)”. UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. 2007.
Membahas tentang pengaruh total quality manajemen dan pengaruh
reward terhadap kinerja manajerial.
2. Mira Kumaira “Tanggung jawab Komite Audit, Audit internal dan Prinsip
Good Coorparate Governance (pada salah satu bank swasta di Jakarta)”.
UIN Syarih Hidayatullah Jakarta. 2007.
Membahas mengenai sejauh mana tanggung jawab komite audit
membantu bank x dalam menerapkan prinsip transparansi dan disclosure
dan sejauh mana tanggung jawab audit internal dalam membantu bank x
dalam menerapkan prinsip transparansi dan disclosure.
3. Agus Subekti “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Manajemen
Perusahaan Melakukan Tax Planning (studi kasus pada KPP perusahaan
masuk bursa (KPP PMB)”. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2007.
Membahas mengenai faktor-faktor apa saja yang dapat memotivasi
manajemen
perusahaan
perusahaannya.
untuk
melakukan
tax
planning
dalam
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan penulis pada penelitian ini adalah
deskriptif. Penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang berusaha
menggambarkan atau menjelaskan secermat mungkin mengenai suatu hal dari
data yang ada. Penelitian ini tidak terbatas pada pengumpulan data dan
penyusunan data, tetapi meliputi analisis dan interpretasi tentang arti data itu
menjadi suatu wacana dan konklusi dalam berpikir logis, praktis dan teoritis.
Penelitian ini terbatas pada usaha mengungkapkan masalah atau
keadaan atau peristiwa sebagaimana adanya sehingga bersifat mengungkapkan
fakta (fact finding). Pemilihan metode ini didasarkan pada pertimbangan
bahwa dalam pembahasan penelitian ini akan memberikan gambaran
mengenai peranan pengawasan pada sistem pengendalian manajemen dan
akuntabilitas kinerja dalam mewujudkan good governance di lingkungan
Inspektorat Jenderal Departemen Agama.
B. Metode Penentuan Sampel
Dalam skripsi ini dilakukan studi kasus terhadap Inspektorat Jenderal
Departemen Agama R.I. Jakarta. Adapun penelitian ini membahas mengenai
peranan pengawasan pada sistem pengendalian manajemen dan akuntabilitas
kinerja Inspektorat Jenderal Departemen Agama dalam mewujudkan good
governance di lingkungan Inspektorat Jenderal Departemen Agama.
C. Metode Analisis Data
Dalam penelitian ini metode analisis data yang digunakan adalah
deskriptif kualitatif hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian dari lapangan
yang didapat kemudian akan diperbandingkan dengan landasan teori yang
berkaitan dengan obyek penelitian. Alasan peneliti menggunakan penelitian
kualitatif dengan tujuan untuk dapat memahami isi dari penulisan ini
(understanding). Fenomena sosial yang ada sesuai dengan definisi kualitatif
menurut Dr. Nur Indriantoro dalam bukunya (metodologi penelitian bisnis.
1999) di mana paradigma deskriptif dinamakan juga sebagai pendekatan
konstruktif, naturalisme atau interpretatif (constructivist, naturalistic, or
interpretative approach), atau perspektif postmodern. Paradigma kualitatif
merupakan paradigma penelitian yang menekankan pada pemahaman
mengenai masalah-masalah dalam kehidupan sosial berdasarkan kondisi
realitas atau natural setting yang holistis, kompleks dan rinci. Penelitianpenelitian dengan pendekatan induktif yang mempunyai pengungkapan fakta
merupakan contoh tipe penelitian yang menggunakan paradigma kualitatif.
Paradigma kualitatif yaitu:
1. Realitas bersifat subyektif dan berdimensi banyak;
2. Penelitian berinteraksi dengan fakta yang diteliti;
3. Tidak bebas dan bias;
4. Penyusunan teori dengan analisis kualitatif.
Fenomena sosial yang akan dijelaskan dalam penelitian ini adalah yang
berhubungan dengan peranan sistem pengendalian manajemen yang
difokuskan pada pelaksanaan pengawasan dan akuntabilitas kinerja dalam
mewujudkan good governance di lingkungan Inspektorat Jenderal Departemen
Agama.
D. Metode Pengumpulan Data
Data yang dibutuhkan dalam penelitian-penelitian ini adalah terdiri
dari data yang bersifat primer dan data yang bersifat sekunder. Data yang
bersifat primer adalah data yang didapat langsung dari sumber yang ada data
sekunder yaitu data yang telah diolah terlebih dahulu guna mendapatkan data
dan informasi yang lain, yang dibutuhkan pada penelitian ini, maka peneliti
menerapkan metode pengumpulan data yang digunakan adalah:
1. Studi Kepustakaan
Studi Kepustakaan ini dilakukan dengan cara membaca buku,
literatur, majalah, jurnal paper, tulisan-tulisan ilmiah yang berhubungan
dengan masalah penelitian ini serta Standar Akuntansi Pemerintahan dan
Standar Pedoman Akuntan Publik dan sebagainya dengan tujuan untuk
mendapatkan kerangka teori dan menentukan arah dan tujuan penelitian
serta mencari konsep yang sesuai dengan permasalahan penelitian dan
sebagai dasar untuk menganalisa obyek penelitian, sehingga dapat
diperoleh kesimpulan hasil penelitian.
2. Studi Lapangan (Field Research)
Studi
lapangan
(Field
Research)
dilakukan
dengan
cara
mengumpulkan data dan informasi secara langsung di Inspektorat Jenderal
Departemen Agama. melalui wawancara mendalam dengan pimpinan
maupun staff yang menjadi key Informan yang sehari-harinya secara
langsung mengenai sistem pengawasan dan akuntabilitas kinerja.
Dalam studi lapangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
dengan melakukan pengumpulan informasi dan data instansi terkait untuk
dilakukan penelahaan lebih lanjut.
E. Operasional Variabel Penelitian
Operasional variabel penelitian memberikan batasan dan penjelasan
mengenai variabel yang digunakan dalam penelitian. Operasional variabel
yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala ordinal yaitu sebagai
berikut:
1. Sistem Pengendalian Manajemen
Sistem pengendalian manajemen yang akan dibahas dalam
pembahasan ini hanya dibatasi dan difokuskan pada pelaksanaan
pengawasan. Pengawasan secara umum diartikan sebagai upaya menjaga
agar program/kegiatan dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana, efektif,
efisien, dan sesuai dengan peraturan Perundang-undangan. Dalam
penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia dikenal dengan terminologi
pengawasan dengan pendekatan agama, pengawasan melekat, pengawasan
intern, pengawasan ekstern, pengawasan legislatif dan pengawasan
masyarakat yang dapat digambarkan sebagai lapisan-lapisan unsur
pengawasan nasional. Pengertian pengawasan dalam tulisan ini hanya
dibatasi dan terfokus pada pengawasan internal, eksternal, dan
pengawasan pendekatan agama.
Pengawasan intern dilaksanakan oleh Aparat Pengawasan Intern
Pemerintah (APIP) yang terdiri atas BPKP, Inspektorat Jenderal
Departemen, Inspektorat Kementrian/LPND dan Bawasda Provinsi,
kabupaten dan kota. Pengawasan Ekstern dilaksanakan oleh BPK-RI
sebagai aparat pengawasan ekstern yang bebas mandiri dalam pelaksanaan
fungsi pemeriksaan keuangan negara, sedangkan Pengawasan dengan
Pendekatan Agama (PPA) merupakan program pengawasan dini yang
ditawarkan oleh Inspektorat Jenderal Departemen Agama sebagai upaya
pemberantasan KKN melalui penyampaian nilai-nilai agama. Secara
universal diakui bahwa pengawasan intern, ekstern dan pendekatan agama
memiliki peranan dalam mendorong perwujudan kepemerintahan yang
baik (good governance) melalui peningkatan akuntabilitas dan transparansi
instansi pemerintah yang diawasi.
2. Akuntabilitas Kinerja
Akuntabilitas didefinisikan sebagai suatu perwujudan kewajiban
untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan
organisasi dalam mencapai tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang telah
ditetapkan, melalui suatu media pertanggungjawaban, yang dilaksanakan
secara periodik. Dalam dunia birokrasi, akuntabilitas suatu instansi
pemerintah merupakan suatu perwujudan instansi pemerintah dalam
mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan nilai
instansi yang bersangkutan.
Akuntabilitas publik terkait erat dengan kinerja sektor publik yang
memfokuskan pada kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan
yang berlaku dan bagaimana pelaksanaan kebijakan dalam rangka
pencapaian tujuan dan sasaran harus dilakukan secara jujur, efektif dan
efisien. Sebagai konsekuensi dari perlunya akuntabilitas publik, maka
diperlukan suatu sistem akuntabilitas publik yang di dalamnya berisi
pertanggungjawaban pemerintah dengan orientasi pada kinerja. Sistem ini
nantinya dapat berfungsi sebagai alat untuk peningkatan kinerja instansi
sektor publik. Sistem inilah yang dikenal dengan nama SAKIP (Sistem
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah).
Gambar. 3.1
Siklus SAKIP
Perencanaan
Strategik
Perencanaan
Kinerja
Pelaporan
Kinerja
Akuntabilitas
Kinerja
Pengukuran
dan Evaluasi
Kinerja
4. Good Governance
Istilah good governance secara sederhana bermakna “tata
kepemerintahan yang baik”. Kepemerintahan yang baik merupakan issue
yang paling mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik dewasa
ini. Tuntutan gencar yang dilakukan oleh masyarakat kepada pemerintah
untuk melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah
sejalan dengan meningkatnya tingkat pengetahuan masyarakat, di samping
adanya pengaruh globalisasi.
Persepsi masyarakat mengenai good governance di Indonesia dapat
diartikan sebagai suatu mekanisme pengelolaan sumber daya dengan
substansi dan implementasi yang diarahkan untuk mencapai pembangunan
yang efisien dan efektif secara adil. Oleh karena itu, good governace akan
tercipta manakala diantara unsu-unsur negara dan institusi kemasyarakatan
(ormas, LSM, pers, lembaga profesi, lembaga usaha swasta, dan lain-lain)
memiliki keseimbangan dalam proses checks and balances dan tidak boleh
satu pun di antara mereka yang memiliki kontrol absolut (Lukman Hakim
Saifuddin 2000).
BAB IV
PENEMUAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Objek Penelitian
Departemen Agama lahir pada hari kamis, 3 Januari 1946 berdasarkan
Penetapan Pemerintah Nomor 1/SD Tahun 1946. Sebagai pelaksanaan dari
penetapan pemerintah tersebut, telah dikeluarkan keputusan Menteri Agama
(KMA) Nomor 118 HJ tanggal 20 Nopember tentang Susunan Organisasi dan
Tata Kerja Kementerian Agama. Unsur pengawasan fungsional pada saat itu
belum berdiri sendiri. Tugas pengawasan masih inheren pada pelaksaan tugas
dan fungsi serta mengalami berbagai perubahan seperti: 1) Bagian/Urusan
Perbendaharaan, 2) Biro Sekretaris Jenderal, dan 3) Biro Pengawasan
Keuangan.
Selanjutnya
ruang
lingkup
pengawasan
tidak
hanya
pembukuan/keuangan (finance audit), akan tetapi bidang perlengkapan dan
tuntutan ganti rugi (TGR) telah menjadi sasaran pengawasan. Nama atau
nomenklatur inspektorat pertama kali terdapat dalam KMA Nomor 56 Tahun
1967 tentang perincian struktur organisasi, tugas, dan wewenang departemen
agama.
Berdasarkan Keputusan Presiden R.I. Nomor 29 Tahun 1963 tentang
pengawasan keuangan negara dan KMA Nomor 56 Tahun 1967, diperlukan
aparatur pengawasan keuangan Departemen Agama, maka diterbitkan KMA
Nomor 136 Tahun 1967 tentang Organisasi dan Tugas Wewenang Inspektorat
Pengawas Keuangan (Itwasku).
Berkenaan dengan pelaksanaan kehidupan beragama di Indonesia yang
semakin subur, Departemen Agama perlu menyempurnakan struktur
organisasi dan personalianya. Oleh karena itu dengan mencabut KMA Nomor
56 Tahun 1967 beserta peraturan pendukungnya, maka diterbitkan KMA
Nomor 114 Tahun 1969 tentang struktur organisasi, tugas, kewajiban,
wewenang, dan tata kerja Departemen Agama Pusat.
Pada Tahun 1970, diterbitkan KMA Nomor 269 yang merupakan
penyempurnaan terhadap KMA 114 Tahun 1969. Hal ini dimasudkan
penyempurnaan pelaksanaan tugas Departemen Agama Pusat menuju arah
koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan simplifikasi yang efisien dan efektif.
Unsur pengawasan fungsional dalam KMA masih memiliki nama Inspektorat
Jenderal Pengawasan Personil (Itwaspers) dan Inspektorat Pengawasan
Keuangan dan Materil (Itwas Kumat).
Sesuai dengan Keppres R.I. Nomor 1 Tahun 1971 tentang
Pembentukan Itjen Departemen, maka melalui KMA Nomor 14 Tahun 1971
lahirlah suatu susunan organisasi dan tata kerja Inspektorat Jenderal
Departemen Agama secara jelas dan tegas. Adapun tugas pokok Inspektorat
Jenderal Dep. Agama dalam KMA Nomor 14 Tahun 1971 adalah membantu
Menteri Agama dalam malaksanakan pengawasan atas pelaksanaan tugas
seluruh instansi di lingkungan Departemen Agama.
Tabel. 4.1
Para Inspektur Jenderal
No
Nama Inspektur Jenderal
Masa Jabatan
1
1975 s.d. 1978
3
H. Anton Timur Djaelani,
MA.
Brigjen H. M. Ali Siregar,
S.H.
H. Abdul Qodir Basalamah
1981 s.d. 1984
4
Drs. H. Moh. Slamat Anwar
1984 s.d. 1991
5
Drs. H. Ahmad Gozali
1991 s.d. 1996
6
Mayjen H. E. Sukarya AG.
1996 s.d. 1998
7
1998 s.d. 2000
8
Letjen Pol. Drs. H. Lutfi
Dahlan
H. Muchtar Zarkasyi, S.H.
9
Drs. H. Slamet Riyanto,
M.Si.
Prof. H. Qodri A. Azizy,
M.A., Ph.D
Mudzier Suparta, MA
2
1978 s.d. 1981
2000 s.d. 2002
2002 s.d. 2005
2005 s.d. 2007
2007 s.d. sekarang
Sumber : (Profil Inspektorat Jenderal Departemen Agama R.I.)
1. Tugas dan Fungsi
Berdasarkan Peraturan Menteri Agama R.I. Nomor 3 Tahun 2006
tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama.
a. Tugas
Menyelenggarakan
pengawasan
fungsional
terhadap
pelaksanaan tugas di lingkungan Departemen Agama berdasarkan
kebijakan yang ditetapkan oleh Manteri.
b. Fungsi
1) Perumusan visi, misi, dan kebijakan pengawasan fungsional di
lingkungan Departemen Agama;
2) Pelaksanaan pengawasan fungsional akuntabilitas kinerja aparatur;
3) Pelaksanaan penyelenggaraan administrasi Inspektorat Jenderal;
4) Pembinaan teknis terhadap kelompok jabatan fungsional Auditor;
5) Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Menteri.
2. Struktur Organisasi Departemen Agama
a. Struktur Organisasi Departemen Agama (PMA Nomor 3 Tahun 2006)
Gambar. 4.1
MENTERI
AGAMA
Staf Ahli
Sekretaris
Jenderal
Inspektorat
Jenderal
Dirjen
Pendk
Islam
Dirjen
Bimas
Islam
Dirjen
Bimas
Kristen
Staf Khusus
Dirjen
Bimas
Katoli
k
Dirjen
Bimas
Hindu
Dirjen
Bimas
Budha
Badan Litbang dan Diklat
Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi
Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota
Sumber : (Profil Inspektorat Jenderal Departemen Agama R.I.)
Dirjen
PHU
b. Struktur Organisasi Inspektorat Jenderal
Gambar. 4.2
INSPEKTUR
JENDERAL
SEKRETARIS
Bagian
Perencanaan
dan keuangan
Bagian Organisasi
Tata Laksana dan
Kepegawaian
BagianPengelol
aan Hasil
Pengawasan
Bagian
Umum
Sub Bagian
Perencanaan
Program
Sub bagian
Organisasi dan tata
Laksana
Sub bagian
Analisis Hsl
Pengawasan
Internal
Sub Bagian
Tata Usaha
Sub Bagian
Keuangan
Sub Bagian
Kepegawaian
Sub Bagian analisis
Hsl Pengawasan
Eks. Dan Humas
Sub Bagian
Rumah
Tangga
Sub Bagian
Evaluasi &
Pelaporan
Sub Bagian
Hukum&Perundang
-Undangan
Sub bagian
Data & inFormasi
Hasil Pengawasan
Sub Bagian
Perlengkap
an
Inspektur
Wilayah I
Sub Bagian
Tata usaha
Jabatan
Fungsional
Auditor
Inspektur
Wilayah II
Sub Bagian
Tata Usaha
Jabatan
Fungsional
Auditor
Inspektur
Wilayah III
Sub Bagian
Tata Usaha
Jabatan
Fungsional
auditor
Sumber : (Profil Inspektorat Jenderal Departemen Agama R.I.)
Inspektur
Wilayah IV
Sub Bagian
Tata Usaha
Jabatan
Fungsional
auditor
Inspektur
Wilayah V
Sub Bagian
Tata Usaha
Jabatan
Fungsional
auditor
3. Visi dan Misi
a. Visi
Visi
Inspektorat
Jenderal
Departemen
Agama
adalah
terwujudnya sistem pengawasan untuk menjadikan Departemen
Agama menjalankan kepemerintahan yang baik (good governance),
menjadi bagian pemerintah yang bersih (clean government), dan
terhindar dari KKN dalam rangka membangun bangsa Indonesia yang
sukses dan mempunyai integritas melalui agama dan pendidikan.
b. Misi
Misi Inspektorat Jenderal Departemen Agama adalah:
1) Menjadikan Itjen sebagai katalisator, konsultan, dan melakukan
pengawasan di Departemen Agama;
2) Mendorong terwujudnya akuntabilitas kinerja di lingkungan
Departemen Agama dalam kepemerintahan yang bersih (clean
government);
3) Meningkatkan
peran
controlling
dalam
manajemen
penyelenggaraan pemerintah agar tercapai hasil kerja Departemen
Agama secara efektif dan efisien;
4) Menumbuhkan budaya pengawasan dini/upaya preventif dengan
pendekatan agama untuk menjadi pondasi bagi pengawasan
melekat;
5) Melakukan internal auditing yang mencakup audit keuangan dan
audit kinerja secara menyeluruh di Departemen Agama agar
terhindar dari KKN;
6) Melakukan pengawasan fungsional secara profesional yang
meliputi pemeriksaan komprehensif, khusus, dan investigasi;
7) Melakukan
kerjasama
dengan
penegak
hukum
untuk
menyelesaikan kasus yang sudah bukan wewenang Itjen.
4. Program Utama Inspektorat Jenderal
a. Penguatan dan pengembangan sistem pengawasan dalam memperkuat
tugas pengawasan fungsional baik konseptual, mental/perilaku maupun
performance auditor.
b. Peningkatan sistem informasi pengawasan, peningkatan kualitas
pelaksanaan pengawasan dan pelaporan serta informasi manajemen
hasil pengawasan (SIM-HP).
c. Pelaksanaan koordinasi penyelesaian tindak lanjut hasil pengawasan.
d. Peningkatan kualitas penyusunan standar kinerja dan indikator
keberhasilan.
e. Pelaksanaan pengawasan terpadu, sejak perencanaan, penganggaran,
pelaksanaan, dan audit berbasis kinerja, serta audit investigasi dari
audit khusus dengan tujuan tertentu.
f. Pemantauan atas pelaksanaan tugas dan fungsi unit kerja di daerah,
antara lain:
1) Tindak lanjut hasil audit Itjen, BPK-RI, BPKP, dan pengaduan
masyarakat;
2) Operasional Embarkasi dan Debarkasi haji;
3) Pelayanan KUA kecamatan;
4) Pendistribusian barang dan uang;
5) Pelayanan pendidikan (BOS/BOMM, Laboratorium, Perpustakaan,
Ujian Nasinal;
6) Rekuitmen CPNS dan Petugas Haji;
7) Penertiban pengelolaan Barang Milik Negara;
8) Penertiban pengelolaan PNBP.
g. Temu wicara pengawasan.
h. Sosialisasi program Pengawasan dengan Pendekatan Agama (PPA)
dalam rangka pencegahan perilaku korupsi.
i. Percepatan penyelesaian tindak lanjut hasil pengawasan Inspektorat
Jenderal, BPKP, dan BPK-RI.
j. Penanganan dan penuntasan pengaduan masyarakat dan penyelesaian
tindak lanjutnya.
k. Desk audit (evaluasi kinerja, evaluasi akuntabilitas kinerja, evaluasi
hasil kegiatan audit dan sistem pengendalian internal).
l. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan RAN-PK di lingkungan
Departemen Agama.
m. Monitoring dan evaluasi pelaksanan Pakta Integritas di lingkungan
Departemen Agama.
5. Capacity Building
a. In house training (pembinaan mental sebagai dasar pengendalian diri
pegawai dalam melaksanakan tugas);
b. Rapat evaluasi dan koordinasi pejabat di lingkungan Inspektorat
Jenderal secara berkala;
c. Menertibkan pola dan bahasa penyusunan LHA dan STL hasil audit;
d. Inspeksi mendadak atas kinerja tim audit di daerah;
e. Menerapkan kode etik auditor;
f. Pemberian sanksi (grounded/penundaan penugasan) kepada auditor
yang terlambat penyusunan LHA/STL;
g. Penyempurnaan peraturan perundang-undangan dan tata cara tentang
pengawasan di lingkungan Departemen Agama;
h. Melibatkan pers dalam penyelenggaraan kegiatan dan acara pemaparan
hasil pengawasan;
i. Mengembangkan teknologi informasi dengan menyusun Sistem
Informasi Manajemen Pengawasan:
1) SIM Hasil Pengawasan (Itjen, BPKP, dan Dumas);
2) SIM Kepegawaian;
3) SIM Peraturan Perundang-undangan;
4) SIM Perencanaan dan Keuangan
6. Temuan Hasil Auditan Itjen
Persentasi Temuan Hasil Audit Itjen Departemen Agama sampai
dengan 19 Juni 2008.
Gambar. 4.3
saldo; 29,63%
Selesai;
66,70%
proses; 3,67%
Sumber : (Profil Inspektorat Jenderal Departemen Agama R.I.)
Gambar. 4.4
kejadian m erugikan negara
dan m asyarakat
Penyetoran ke Negara
2,63% 6,60%
0,08%
2,10%
29,66%
23,36%
Pelanggaran peraturan
Perundang-undangan
Pelanggaran Prosedur dan
tata kerja
Penyim pangan dan
ketentuan pelaksanaan
anggaran
ham batan kelancaran proyek
6,91%
2,08%
24,85%
1,73%
Ham batan kelancaran tugas
pokok
Kelem ahan adm inistrasi
(Tata Usaha/Akuntansi)
Ketidaklancaran pelayanan
kepada m asyarakat
Tem uan Pem eriksaan lain
Sumber : (Profil Inspektorat Jenderal Departemen Agama R.I.)
7. Temuan Hasil Audit BPKP
Sampai dengan 11 Juni 2008 Persentase Temuan Hasil Audit
BPKP yang telah dan belum ditindaklanjuti.
Gambar. 4.5
belum
ditindak
lanjuti; 39%
sudah
ditindak
lanjuti, 61%
Sumber : (Profil Inspektorat Jenderal Departemen Agama R.I.)
Temuan hasil audit BPKP sampai dengan 11 Juni 2008 yang telah
ditindaklanjuti sebanyak 58,83% dan yang belum ditindaklanjuti sebanyak
41,17%.
8. Temuan Hasil Audit BPK-RI
Sampai dengan 11 Juni 2008 ”Persentasi Temuan Hasil Audit
BPK-RI yang telah dan belum ditindaklanjuti.
Gambar. 4.6
belum ditindak
lanjuti, 36,67%
sudah dtindak
lanj uti, 63,33%
Sumber : Profil Inspektorat Jenderal Departemen Agama R.I.)
Temuan hasil audit BPK-RI sampai dengan Juni 2008 yang telah
ditindaklanjuti sebanyak 63,33% dan yang belum ditindaklanjuti 36,67%.
B. Analisis dan Pembahasan
1. Analisis Deskripstif
a. Sistem Pengendalian Manajemen dalam Peran dan Manfaatnya pada
Instansi Pemerintahan
Pengendalian manajemen di lingkungan Instansi Pemerintahan,
mempunyai sifat yang khusus. Organisasi pemerintahan dikelola
dengan cara dan nilai yang berbeda jika dibandingkan dengan yang
dilakukan di lingkungan badan usaha. Sistem pengendalian manajemen
dalam instansi pemerintah digambarkan dalam suatu sistem atau
disebut dengan pengawasan, dimana pengwasan tersebut meliputi tiga
jalur pelaksanaan diantaranya pengawasan intern, ekstern, pengawasan
masyarakat dan pengawasan dengan pendekatan agama.
Pengawasan adalah salah satu fungsi dari manajemen
(pengelolaan) untuk mengusai, dan mengendalikan jalannya organisasi
agar tujuan organisasi tercapai dengan efisien. Termasuk dalam
pengusaan dan pengendalian jalannya organisasi adalah seluruh
kekayaan, personil dan metode yang digunakan dalam organisasi untuk
melaksanakan misinya.
Tuntutan kualitas pengelolaan yang menjadi sangat tinggi, dan
semakin ketatnya
persaingan dalam kehidupan yang semakin
majemuk, merombak tata cara pengelolaan kegiatan atau sumber daya
dalam organisasi. Pengawasan secara langsung yang dipercaya paling
tinggi efektivitasnya tidak lagi mencukupi. Keterbatasan waktu,
pengetahuan,
dan
keahlian manajemen organisasi,
tidak
lagi
mencukupi.
Manajemen modern memerlukan jenis pengawasan lain selain
pengawasan secara langsung untuk mengatasi segala kompleksitas
kegiatan organisasi. Salah satu di antara bentuk pengawasan yang
kemudian dipilih sebagai dasar atau penyangga bentuk-bentuk
pengawasan lainnya adalah sebagai sistem pengendalian manajemen.
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai pengawasan, perlu ditekank
an bahwa pertama, pengawasan adalah alat bantu bagi manajemen
untuk mencapai tujuan. Kedua, adanya pengawasan bukanlah jaminan
bagi organisasi akan dapat mencapai tujuannya. Semua tetap berpulang
kepada manajemen, karena sesungguhnya pengawasan tidak akan
menggantikan manajemen secara efektif. Kedua asumsi ini penting
dalam memahami arti, posisi, dan fungsi pengawasan
organisasi
serta
perannya
dalam
proses
manajemen
dalam
(sistem
pengendalian manajemen).
Dalam bahasan ini, pengertian pengawasan sebagai salah satu
sistem dipersamakan dengan pengertian pengendalian manajemen atau
’control’, yakni segala komponen, baik berupa proses, elemen maupun
kegiatan, yang terjalin erat dan berfungsi untuk meyakinkan agar
segala kegiatan yang akan, sedang, dan telah ditetapkan, dan
diselenggarakan
dengan
cara-cara
yang
seefisien
mungkin.
Pengawasan yang akan dibahas lebih lanjut dalam pembahasan ini
adalah pengawasan intern, ekstern dan pengawasan pendekatan agama
pada Inspektorat Jenderal Departemen Agama R.I.
1) Pengawasan Intern
Pengawasan Intern pemerintah merupakan alat pengawasan
eksektif. Pengawasan intern dilaksanakan oleh Aparat Pengawasan
Intern Pemerintah (APIP) yang terdiri atas BPKP, Inspektorat
Jenderal
Departemen,
Bawasda
Provinsi,
Inspektorat
Kabupaten
dan
Kementerian/LPND
Kota.
Ruang
dan
lingkup
pengawasan intern lebih luas dari pada pengawasan ekstern yang
hanya melakukan pengawasan melalui kegiatan audit. Pengawasan
intern pemerintah merupakan salah satu unsur manajemen yang
sangat penting dalam penyelenggaraan pemerintahan. Tujuan
utama pengawasan intern adalah membantu pimpinan instansi
pemerintah
melalui
kegiatan
pengawasan
yang
mampu
memberikan keyakinan/jaminan (quality assurance) yang memadai
bagi pencapaian kinerja pemerintah yang telah ditetapkan, dalam
rangka mewujudkan kepemerintahan yang baik.
Pengawasan
intern
pemerintah dilaksanakan
melalui
berbagai bentuk kagiatan pengawasan yaitu audit, evaluasi, review,
pemantauan dan kegiatan-kegiatan asistensi, konsultasi serta
sosialisasi tentang masalah–masalah yang berhubungan dengan
sistem administrasi keuangan dan penyelenggaraan pemerintahan.
Dalam penyelenggaraan pengawasan intern, kegiatan-kegiatan di
luar kegiatan audit mempunyai kedudukan dan manfaat yang sama
pentingnya dengan kegiatan-kegiatan audit, karena seluruh
kegiatan tersebut bersifat membantu pimpinan instansi pemerintah
dalam meningkatkan kinerja organisasi.
Pengawasan intern mempunyai hubungan yang sangat erat
dengan pengendalian intern karena pengawasan intern merupakan
bagian dari pengendalian intern instansi pemerintah yang bersifat
menyeluruh. Pengawasan intern diperlukan oleh pimpinan instansi
pemerintah
untuk
memberikan
keyakinan
bahwa
sistem
pengendalian intern di dalam instansi yang dipimpinnya telah
berjalan secara efektif. Lembaga pengawasan intern melakukan
evaluasi secara berkala maupun sewaktu-waktu terhadap keandalan
dan efektivitas sistem pengendalian intern. Hasil evaluasi sistem
pengendalian intern disampaikan kepada pimpinan instansi
pemerintah serta unsur-unsur pimpinan lainnya dalam instansi
pemerintah yang dipandang perlu untuk menindaklanjuti hasil
evaluasi dan pengawasan tersebut.
Hasil pengawasan intern bermanfaat bagi pimpinan
organisasi karena dapat memberikan penilaian yang bersifat
independen dan obyektif tentang keandalan sistem pengendalian
intern,
tingkat
penacapaian
kinerja
(efektivitas,
efisiensi,
kehematan), hambatan, kelemahan dan penyimpangan yang
mungkin terjadi dalam pelaksanaan kegiatan unit-unit kerja di
bawahnya. Apabila hasil pengawasan mengidentifikasikan adanya
temuan-temuan tersebut, pimpinan organisasi dapat mengambil
tindakan tidak korektif untuk meyakinkan bahwa temuan-temuan
tersebut tidak terulang lagi. Dalam hal ini, pengawasan intern dapat
berperan sebagai:
a) Katalisator dalam hal peningkatan kinerja organisasi;
b) Pemberian rekomendasi yang berkesinambungan bagi
perbaikan/peningkatan teknis pelaksanaan yang sedang
berjalan;
c) Pemberian masukan tentang perlunya mengganti/mengubah
pendekatan dalam kegiatan yang sedang berjalan, yang
terbukti kurang operasional atau sudah terlalu ketinggalan
zaman (out dated).
Agar lembaga pengawasan intern dapat berperan secara
efektif dan efisien, terdapat dua faktor yang mendasar yang perlu
dipenuhi yaitu:
a) Adanya standar profesi kegiatan pengawasan intern yang
diterima secara umum dan diakui secara meluas dalam
dunia pengawasan intern;
b) Adanya lingkungan yang mendukung, yang meliputi:
-
Dasar hukum yang memberikan batasan tentang sistem,
prinsip dan fungsi pengawasan intern
-
Sistem manajemen yang jelas dan berfungsi dengan
baik pada obyek yang diawasi;
-
Independensi yang cukup;
-
Manfaat pengawasan yang jelas meliputi ruang lingkup
dan jenis kegiatan pengawasan;
-
Supervisi atas pelaksanaan tugas pengawasan.
2) Pengawasan Ekstern
Pengawasan ekstern dilaksanakan oleh lembaga yang
berada di luar dan independen terhadap lembaga/entitas yang
diawasi. Dalam konteks Negara Republik Indonesia, pengawasan
ektern dilaksanakan oleh BPK-RI. Berdasarkan pasal 23 E ayat (1)
Amandemen UUD 1945, posisi ektern dan independen tersebut
dinyatakan dengan istilah ”bebas dan mandiri”. Karena posisi yang
ekstern dan independen, pengawas ekstern mempunyai fungsi yang
sangat strategis dalam memberikan penilaian terhadap kegiatan
yang dilaksanakan oleh Pemerintah, yang pada akhirnya akan
mendorong terwujudnya akuntabilitas dan transparansi sebagai
syarat perwujudan kepemerintahan yang baik. Secara tidak
langsung, hasil pengawasan ekstern akan membantu pemerintah
untuk
memaksimumkan
kinerjanya
dalam
penyelenggaraan
pemerintahan dan pelayanan publik. Lembaga pengawasan ekstern
juga mempunyai konstribusi yang sangat penting bagi terwujudnya
pengelolaan
keuangan
negara
yang
sehat
dalam
rangka
penyelenggaraan negara/pemerintahan.
Tujuan utama pengawasan ekstern adalah memberikan
pendapat terhadap kelayakan suatu pertanggungjawaban, yang
lebih dikenal dengan fungsi atestasi/pengujian (attestation
function). Menurut principal agency theory, keberadaan lembaga
pengawasan ekstern diperlukan untuk mengatasi ketidak simetrisan
informasi (information asymmetry) antara agent dan principal.
Dalam konteks pengawasan penyelenggaraan negara/pemerintahan
Republik
Indonesia,
yang berperan sebagai agent adalah
Pemerintah (eksekutif), sedangkan principal adalah masyarakat
(publik) yang diwakili oleh pihak legislatif (DPR-RI, DPR, DPRD
Provinsi, Kabupaten/Kota).
Independensi terhadap pihak eksekutif disertai dengan
integritas dan kompetensi di bidang audit atas keuangan negara,
dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. Hasil audit ini
selanjutnya menjadi masukan bagi pihak legislatif dalam
menjalankan fungsi pengawasan dan legislatif yang melekat pada
dirinya. Dalam hal ini pelaksanaan fungsi pengawasan dan
legislatif yang melekat pada dirinya. Dalam hal pelaksanaan fungsi
pengawasan, laporan hasil audit BPK akan menjadi bahan bagi
legislatif untuk menilai tingkat akuntabilitas publik pemerintah,
sehingga dengan itu pihak legislatif dapat menentukan tindakan
selanjutnya terhadap pemerintah.
Manfaat yang diharapkan dari adanya pengawasan ektern
adalah:
a) Mendorong
terjadinya
proses
penyelenggaraan
pemerintahan yang menjamin terwujudnya akuntabilitas
dan tranparansi;
b) Memberikan
kontribusi
perubahan
menuju
bagi
proses
perbaikan
reformasi
dan
administrasi
negara/pemerintahan;
c) Mendorong terjadinya peningkatan/perbaikan pengelolaan
sektor publik;
d) Menjadi
”deterrent”
yang
mengakibatkan
para
penyelenggara pemerintahan selalu berhati-hati dan tidak
melakukan penyimpangan terhadap rencana dan peraturanperaturan perundang-undangan.
Dalam UU No. 15 Tahun 2004 disebutkan bahwa dalam
menyelenggarakan pemeriksaan, BPK dapat memanfaatkan hasil
pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah (APIP). Untuk
itu,
laporan
hasil
pemeriksaan
intern
pemerintah
wajib
disampaikan kepada BPK. Namun UU No. 15 Tahun 2004
memberikan batasan yang baku tentang aparat pengawasan intern
pemerintah. Untuk itu seyogyanya pengaturan hubungan antara
BPK-RI sebagai aparat pengawasan ekstern dan APIP perlu
dirumuskan lebih lanjut dalam Undang-undang Sistem Pengawasan
Nasional.
Walaupun pengawasan intern dan ekstern mempunyai
tujuan akhir yang sama, yaitu terwujudnya kepemerintahan yang
baik, secara operasional terdapat perbedaan utama pengawasan
intern dan ekstern, yaitu sebagai berikut:
Tabel. 4.2
Pengawasan Intern dan Ekstern
No
Uraian
Intern
Ekstern
1
Tujuan
Membantu manajemen
Memberikan pendapat terhadap
Utama
untuk menjamin
kelayakan suatu
terwujudnya efisiensi
pertanggungjawaban (attestation
dan efektivitas (equality
function)
assurance function)
2
Pelaksana
Unit Kementerian
Unit yang independen dan
negara/lembaga atau
terpisah dari pemerintah
pemda yang
bersangkutan
3
Pemakai
Manajemen pemerintah
Kreditur, Rakyat, dll)
(user)
4
Audit, review,
Bantuk
pengawasan
Stakeholders (Pemerintah, DPR,
Audit
pemantauan, evaluasi,
efisiensi, konsultasi dan
sosialisasi
5
Jenis Audit
Audit Kinerja
Audit Keuangan
6
Audit dengan tujuan
Audit Kinerja
tertentu
Audit dengan tujuan tertentu
Key performance
Standar akuntansi dan
pelaporan yang berlaku
indicator (KPI) dan
akuntansi
Kriteria yang
digunakan
Peraturan Perundang-
manajemen
undangan
Peraturan perundang- Standar profesi audit
undangan
independen
Standar profesi audit
intern
7
Kualitas
Memiliki kompetensi
Memiliki kompetensi dalam
auditor
dalam audit kinerja,
audit ketaatan dan audit
audit dengan tujuan
keuangan
tertentu, evaluasi
efektivitas dan kualitas
manajemen
8
Fokus data
dan
Waktu sekarang dan
Waktu lampau
yang akan datang
informasi
9
Media
pengawasan
utama
Laporan pelaksanaan
Laporan keuangan, laporan
tugas, laporan
proyek, laporan satuan kerja
akuntabilitas dan sistem
pengendalian intern
10
Tujuan akhir
Good governance and clean governance
3) Pengawasan Dengan Pendekatan Agama (PPA)
Pengawasan dengan Pendekatan Agama (PPA) merupakan
pengawasan dini (preventif) yang ditawarkan oleh Inspektorat
Jenderal Departemen Agama sebagai upaya pemberantasan KKN
melalui penyampaian pesan nilai-nilai ajaran agama. PPA
merupakan pengembangan program Penyebarluasan Pengertian
dan Kesadaran Pengawasan Melalui Jalur Agama (PPKPKJA)
yang digagas sejak tahun 1985 berdasarkan petunjuk Wakil
Presiden RI tentang Paket Penerangan mengenai Penyebarluasan
Pengertian dan Kesadaran Pengawasan tanggal 7 November 1984.
Paket tersebut disusun bersama oleh Menteri Penerangan, Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, Jaksa Agung, dan
Kapala BP-7 Pusat pada tanggal 17 Sepetember 1985. Hal tersebut
dimaksudkan sebagai rintisan awal atau sebagai pedoman umum
dalam penyebarluasan pengawasan melalui berbagai jalur.
Mulai tahun 2006 pelaksanaan program PPA merupakan
implementasi dari Inpres Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan
Pemberantasan Korupsi. Program PPA dikembangkan dalam
rangka:
a) Perwujudan aparatur yang bersih dan berakhlak mulia
dengan prinsip ’Ibda binafsika’ (mulai dari diri sendiri);
b) Perwujudan sikap kepemimpinan yang tegas dalam
menerapkan ketentuan yang berlaku;
c) Peningkatan peran aktif pengawasan bagi pimpinan dan
masyarakat secara objektif sehat dan terkendali;
d) Pertanggungjawaban yang ditanggung secara administrasi
juga akan ada tanggung jawab di akhirat yang tidak satu
pun terlewatkan. Program ini disebut PPA (implementasi
RAN-PK).
b. Sistem Akuntabilitas Kinerja dalam Instansi Pemerintahan (SAKIP)
Akuntabilitas
adalah
kewajiban
untuk
memberikan
pertanggungjawaban atau menjawab dan menerangkan kinerja dan
tindakan seseorang/badan hukum/pimpinan suatu organisasi kepada
pihak yang memiliki hak atau berkewenangan untuk meminta
keterangan atau pertanggungjawabkan. Berdasarkan pada pengertian
tersebut diatas, maka semua instansi pemerintah, badan dan lembaga
negara di pusat dan daerah sesuai dengan tugas pokok masing-masing
harus memahami ruang lingkup akuntabilitasnya masing-masing,
karena akuntabilitas yang diminta meliputi keberhasilan dan juga
kegagalan pelaksanaan misi instansi yang bersangkutan.
Menyadari betapa penting dan strategisnya implementasi good
governance, berbagai pihak telah mengembangkan prinsip-prinsip
penyelenggaraan good governance. Namun demikian, dari sejumlah
yang telah dikembangkan, ternyata prinsip akuntabilitas dipandang
menjadi prinsip yang sangat penting oleh berbagai pihak. Hal ini tidak
terlepas dari kenyataan bahwa akuntabilitas merupakan kewajiban
yang harus dilakukan oleh siapa pun sebagai pemegang mandat kepada
pihak pemberi mandat. Akuntabilitas publik merupakan kewajiban dari
individu /penguasa yang dipercayakan untuk mengelola sumber daya
publik dan yang berkaitan dengannya untuk dapat menjawab hal-hal
yang menyangkut pertanggungjawaban fiskal, manajerial dan program
(Tokyo Declaration of Guidelines of Public Accountability, 1985).
Berdasarkan uraian diatas terlihat bahwa akuntabilitas publik
terkait erat dengan kinerja sektor publik yang memfokuskan pada
kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
bagaimana pelaksanaan kebijakan dalam rangka pencapaian tujuan dan
sasaran harus dilakukan secara jujur, efektif dan efisien. Dapat
dikatakan dan dijelaskan bahwa eksistensi pemerintahan adalah untuk
memberikan pelayanan publik kepada masyarakat. Pelayanan publik
hanya dapat terlaksana jika terdapat dukungan sumber daya
(resources) yang memadai. Di sisi lain kita menyadari bahwa ciri
utama sumber daya adalah jumlahnya yang sangat terbatas dan sifatnya
yang habis pakai. Oleh karena itu, prinsip akuntabilitas menjadi suatu
hal yang sangat penting untuk diterapkan dalam manajemen
pemerintahan.
Pengelolaan
sumbe daya
yang terbatas dalam
rangka
perwujudan pelayanan publik memerlukan penerapan prinsip-prinsip
akuntabilitas. Dalam hubungan itu, berdasarkan Keputusan Kepala
LAN No. 589/IX/6/Y/1999 tentang Pedoman Penyusunan Pelaporan
Pedoman Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah yang diperbaharui
dengan Keputusan Kapala LAN No. 239/IX/6/8/2003 tentang
Perbaikan Pedoman pelaporan AKIP, maka disusunlah sistem
akuntabilitas di Indonesia yang lebih dikenal dengan SAKIP (Sistem
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah).
1) Prinsip-Prinsip Akuntabilitas Kinerja
Dalam pelaksanaan akuntabilitas dilingkungan instansi
pemerintah, perlu memperhatikan prinsip-prinsip akuntabilitas
yaitu sebagai berikut:
a) Harus ada komitmen dari pimpinan dan seluruh staf instansi
untuk melakukan pengelolaan pelaksanaan misi akuntansi;
b) Harus merupakan suatu
sistem
yang dapat menjamin
penggunaan sumber-sumber daya secara konsisten dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c) Harus dapat menunjukan tingkat pencapaian tujuan dan sasaran
yang telah ditetapkan;
d) Harus berorientasi pada pencapaian visi dan misi serta hasil dan
manfaat yang diperoleh;
e) Harus jujur, obyektif, transparan, dan inovatif sebagai
katalisator perubahan manajemen instansi pemerintah dalam
bentuk pemutakhiran metode dan teknik pengukuran kinerja
dan penyusunan laporan akuntabilitas.
Disamping itu, akuntabilitas kinerja harus pula menyajikan
penjelasan tentang deviasi antara realisasi kegiatan dengan rencana
serta keberhasilan dan kegagalan dalam pencapaian sasaran dan
tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, dalam pengukuran
kinerja yang dimulai dari perencanaan strategis dan berakhir
dengan penyerahan laporan akuntabilitas kepada pemberi mandat
(wewenang). Dalam pelaksanaan akuntabilitas ini, diperlukan pula
perhatian dan komitmen yang kuat dari atasan langsung instansi
memberikan akuntabilitasnya, lembaga perwakilan dan lembaga
pengawasan, untuk mengevaluasi akuntabilitas kinerja instansi
yang bersangkutan.
2) Perencanaan Strategik
Dalam sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah,
perencanaan
strategik
merupakan
langkah
awal
untuk
melaksanakan mandat. Perencanaan strategik instansi pemerintah
memerlukan integritas antara keahlian sumber daya manusia dan
sumber daya lain agar mampu menjawab tuntutan perkembangan
lingkungan strategis, nasional dan global. Analisis terhadap
lingkungan organisasi baik internal maupun eksternal merupakan
langkah yang sangat penting dalam memperhitungkan kekuatan
(strengths), kelemahan (weakness), peluang (opportunities) dan
tantangan/kendala (threats) yang ada. Analisis terhadap unsurunsur tersebut sangat penting dan merupakan dasar bagi
perwujudan visi dan misi serta strategi instansi pemerintah.
Dengan perkataan lain, perencanaan strategis yang disusun
oleh instansi pemerintah harus mencakup; (1) pernyataan visi, misi
strategi, dan faktor-faktor keberhasilan organisasi; (2) rumusan
tentang tujuan, sasaran dan uraian aktivitas organisasi, dan (3)
uraian tentang cara mencapai tujuan dan sasaran tersebut. Dengan
visi, misi, dan strategi yang jelas maka diharapkan instansi
pemerintah akan dapat menyelaraskan dengan potensi, peluang dan
kendala yang dihadapi. Perencanaan strategik bersama dengan
pengukuran kinerja serta evaluasinya merupakan rangkaian sistem
akuntabilitas kinerja yang penting.
3) Pengukuran Kinerja
Pengukuran merupakan suatu alat manajemen untuk
meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilities.
Sebenarnya pengukuran kinerja punya makna ganda, yaitu
pengukuran
kinerja
sendiri
dan
evaluasi
kinerja.
Untuk
melaksanakan kedua hal tersebut, terlebih dahulu harus ditentukan
tujuan dari suatu program secara jelas. Setelah program didesain,
haruslah sudah termasuk penciptaan indikator kinerja atau ukuran
keberhasilan pelaksanaan program, sehingga dengan demikian
dapat diukur dan dievaluasi tingkat keberhasilannya.
Pengukuran
perencanaan
kinerja
strategis
dengan
merupakan
jembatan
akuntabilitas.
Suatu
antara
instansi
pemerintah dapat dikatakan berhasil jika terdapat bukti-bukti
indikator-indikator atas ukuran-ukuran capaian yang mengarah
pada pencapaian misi. Tanpa adanya pengukuran kinerja sangat
sulit dicari pembenaran yang logis atas pencapaian misi organisasi
instansi. Sebaliknya dengan disusunnya perencanaan strategik yang
jelas,
perencanaan operasional
yang terukur,
maka
dapat
diharapkan tersedia pembenaran yang logis dan argumentasi yang
memadai untuk mengatakan suatu pelaksanaan program tersebut
sudah berhasil atau tidak.
a) Penetapan Indikator Kinerja
Penetapan
indikator
kinerja
merupakan
proses
identifikasi dan klasifikasi indikator kinerja melalui sistem
pengumpulan
dan
menentukan
capaian
pengolahan
tingkat
data/informasi
kinerja
untuk
kegiatan/program.
Penetapan indikator kinerja tersebut didasarkan pada kelompok
menurut masukan (input), keluaran (outputs), hasil (outcome),
manfaat untuk menunjukan proses manajemen kegiatan yang
telah terjadi. Dengan demikian indikator tersebut digunakan
untuk evaluasi ataupun tahap perencanaan (ex-ante), tahap
pelaksanaan (on-going) ataupun tahap setelah kegiatan selesai
dan berfungsi (ex-post). Perlu dicatat bahwa untuk indikator
kinerja input dan output dapat dinilai sebelum kegiatan yang
dilakukan selesai. Sedangkan untuk indikator outcomes, benefit
dan impacts mungkin baru diperoleh setelah beberapa waktu
kegiatan berlalu.
b) Penetapan Capaian Kinerja
Penetapan
capaian
kinerja
dimaksudkan
untuk
mengetahui dan menilai capaian indikator kinerja pelaksanaan
kegiatan/program dan kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh
suatu instansi pemerintah. Pencapaian indikator-indikator
kinerja tersebut tidak terlepas dari proses yang merupakan
kegiatan mengolah input menjadi output, atau proses
penyusunan kebijaksanaan/program/kegiatan yang dianggap
penting dan berpengaruh terhadap pencapaian sasaran dan
tujuan. Misalnya, keterkaitan antara tingkat capaian kinerja
output tertentu dengan proses pencapaiannya seperti kecepatan
dan keakuratan,
ketaatan pada peraturan perundangan-
undangan dan keterlibatan kelompok target (beneficiaries atau
target group)
disamping
terkait.
kelompok
Dengan demikian,
indikator
menurut
sesungguhnya
input,
output,
outcomes, benefits, dan impacts, juga terdapat kelompok
indikator menurut proses.
c) Formulir Pengukuran Kinerja
Untuk memudahkan dalam melakukan evaluasi atas
kesesuaian dan keselarasan antara kegiatan dan program, atau
antara program penunjangan dan program utama, antara
program yang lebih rendah dengan program yang lebih tinggi,
atau antara kebijakan instansi yang lebih rendah dengan
kebijakan instansi yang lebih tinggi, dapat digunakan formulir
PK (pengukuran kinerja).
4) Evaluasi Kinerja
Setelah tahap pengukuran kinerja dilalui, berikutnya adalah
tahap evaluasi kinerja. Tahap ini dimulai dengan menghitung nilai
capaian dari pelaksanaan per kegiatan. Kemudian dilanjutkan
dengan menghitung capaian kinerja dari pelaksanaan program
didasarkan pembobotan dari setiap kegiatan yang ada didalam
suatu program. Untuk membantu evaluasi kinerja, digunakan
formulir EK (evaluasi kinerja) yang terdiri dari formulir EK-1 yaitu
untuk penilaian kinerja, formulir EK-2 untuk penilaian kinerja
program dan formulir Ek-3 untuk penilaian kinerja kebijaksaan.
Beberapa hal yang perlu diketahui berkaitan dengan
evaluasi kinerja adalah membuat kesimpulan hasil evaluasi
pelaporan akuntabilitas kinerja.
a) Membuat Kesimpulan Hasil Evaluasi
Untuk membuat kesimpulan hasil evaluasi tersebut
diatas, digunakan skala pengukuran kinerja. Skala pengukuran
kinerja dimaksud dibuat berdasarkan pertimbangan masingmasing instansi, antara lain dengan skala pengukuran ordinal,
misalnya:
Tabel . 4.3
Pengukuran Skala Ordinal
80 s/d 100
= Baik
Sangat Baik
Sangat Berhasil
70 = X < 80
= Sedang atau
Baik
55 = X < 70
= Kurang
Sedang
Cukup Berhasil
X < 55
= Sangat Kurang
Kurang Baik
Tidak Berhasil
atau
Berhasil
Pengukuran Ordinal
(Buku Pedoman Penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, LAN
Oktober 2005.)
b) Analisis Pencapaian Akuntabilitas Kinerja
Suatu laporan akuntabilitas kinerja tidak hanya berisi
tingkat keberhasilan/kegagalan yang dicerminkan oleh evaluasi
indikator-indikator kinerja sebagaimana diuraikan diatas.
Tetapi juga harus menyajikan data dan informasi relevan
lainnya
bagi
pembuat
keputusan
agar
dapat
menginterpretasikan keberhasilan/kegagalan tersebut secara
lebih luas dan mendalam.
Oleh karena itu dari kesimpulan dari suatu evaluasi
perlu dibuat analisis tentang pencapaian akuntabilitas kinerja
instansi secara keseluruhan. Analisis tersebut meliputi uraian
tentang keterkaitan pencapaian kinerja kegiatan dan program
dengan kebijaksanaan dalam rangka mewujudkan sasaran,
tujuan dan misi serta visi sebagaimana ditetapkan dalam
perencanaan strategik.
Dalam analisis ini perlu pula dijelaskan proses dan
nuansa pencapaian sasaran dan tujuan secara efisien, efektif,
dan ekonomis sesuai dengan kebijaksanaan, program dan
kegiatan yang telah ditetapkan. Analisis tersebut dilakukan
dengan menggunakan informasi/data yang diperoleh secara
lengkap dan rinci. Disamping itu perlu pula dilakukan analisis
terhadap komponen-komponen penting dalam evaluasi kinerja
yang antara lain mencakup analisis inputs-outputs, analisis
realisasi outcomes dan benefits, analisis impacts baik positif
maupun negatif dan analisis proses pencapaian indikatorindikator kinerja tersebut, analisis keuangan dan analisis
kebijaksanaan.
5) Pelaporan
Laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah harus
disampaikan
oleh
instansi-instansi
dari
pemerintah
pusat,
pemerintah daerah propinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota.
Penyusunan laporan harus mengikuti prinsip-prinsip yang lazim,
suatu laporan harus disusun secara jujur, obyektif dan transparan.
Disamping itu perlu pula diperhatikan prinsip-prinsip:
a) Prinsip pertanggungjawaban, sehingga harus cukup jelas
hal-hal yang dikendalikan maupun yang tidak dikendalikan
oleh pihak yang melaporkan harus dapat dimengerti
pembaca laporan;
b) Prinsip pengecualian, yang dilaporkan yang penting dan
terdepan
bagi
pengambilan
keputusan
dan
pertanggungjawaban instansi yang bersangkutan seperti
keberhasilan dan kegagalan, perbedaan realisasi dan target;
c) Prinsip manfaat yaitu laporan harus lebih besar dari pada
biaya penyusunan.
Selanjutnya, perlu pula diperhatikan beberapa ciri laporan
yang baik seperti relevan, tepat waktu, dapat dipercaya/diandalkan,
mudah dimengerti (jelas dan cermat), dalam bentuk yang menarik
(tegas dan konsisten, tidak kontradiktif atas sebagian), berdaya
banding
tinggi,
berdaya
segi,
lengkap,
netral,
padat
dan
terstandarisasi. Agar LAKIP dapat lebih berguna sebagai umpan
balik bagi pihak-pihak yang berkepentingan, maka bentuk dan isinya
diseragamkan tanpa mengabaikan keunikan masing-masing instansi
pemerintah.
Penyeragaman ini paling tidak dapat mengurangi perbedaan
cara pengkajian yang cenderung menjauhkan pemenuhan persyarat
minimal akan informasi yang seharusnya dimuat dalam LAKIP.
Penyeragaman juga dimasudkan untuk pelaporan yang bersifat rutin.
Sehingga perbandingan atau evaluasi dapat dilakukan secara
memadai. LAKIP dapat dimaksudkan dalam kategori laporan rutin,
karena paling tidak disusun dan disampaikan kepada pihak-pihak
yang berkepentingan setahun sekali.
Isi LAKIP adalah uraian pertanggungjawaban pelaksanaan
tugas dan fungsi dalam rangka pencapaian visi dan misi serta
penjabarannya yang menjadi perhatian utama instansi pemerintah
sebagaimana diuraikan pada bagian terdahulu. Disamping itu, perlu
juga dimaksudkan dalam LAKIP berbagai aspek pendukung yang
meliputi uraian pertanggungjawaban mengenai: (a) aspek keuangan;
(b) aspek SDM; (c) aspek sarana dan prasarana dan (d) metode kerja,
pengendalian manajemen, dan kebijaksanaan lain yang mendukung
pelaksanaanya tugas utama instansi.
Agar pengungkapan akuntabilitas aspek-aspek pendukung
pelaksanaan tugas pokok dan fungsi tersebut tidak tumpang tindih
dengan pengungkapan akuntabilitas kinerja sebagaimana dimaksud
dalam pedoman ini, maka harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a) Uraian pertanggungjawaban keuangan dititikberatkan kepada
perolehan dan penggunaan dana, baik dana yang berasal
alokasi APBN (rutin maupun pembangunan) maupun dana
yang berasal dari penggunaan PNBP (Penerimaan Negara
Bukan Pajak);
b) Uraian pertanggungjawaban SDM, dititik beratkan pada
penggunaan dan pembinaan dalam hubungannya dengan
peningkatan kinerja yang berorientasi pada hasil atau manfaat
dan peningkatan kualitas pada masyarakat;
c) Uraian mengenai pertanggungjawaban penggunaan sarana
dan
prasarana
dititikberatkan
pada
pengelolaan,
pemeliharaan, pemanfaatan dan pengembangan;
d) Uraian mengenai metode kerja, pengendalian manajemen dan
kebijaksanaan lainnya difokuskan pada manfaat atau dampak
dari
suatu
kebijaksanaan
yang
merupakan
cerminan
pertanggungjawaban kebijaksanaan (policy accountability).
Selain
hal
tersebut
diatas
untuk
membuat
laporan
akuntabilitas kinerja dan melihat apakah akuntabilitas kinerja
tersebut sudah mencapai sasaran dan tujuan yang ditetapkan dapat
tercapai, terdapat dasar hukum yang berlaku yaitu:
a) Keputusan Presiden R.I Nomor 165 Tahun 2001 tentang
kedudukan, tugas, fungsi, kewenangan susunan organisasi
dan tata kerja Departemen Agama yang telah diubah dan
disempurnakan terakhir dengan Keppres RI Nomor Tahun
2001;
b) Instruksi Presiden R.I Nomor 15 Tahun 1983 tentang
Pedoman Pelaksanaan Pengawasan;
c) Instruksi Presiden R.I Nomor 7 Tahun 1999 tentang
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah;
d) Keputusan Menteri Agama Nomor 21 Tahun 2006 tentang
perubahan atas keputusan Menteri Agama Nomor 507 Tahun
2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyusunan Laporan
Akuntabilitas Kinerja Satuan Organisasi/Kerja di Lingkungan
Departemen Agama;
e) Peraturan Menteri Agama Nomor 21 Tahun 2006 tentang
perubahan atas Keputusan Menteri Agama Nomor 507 Tahun
2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Laporan Akuntabilitas
Kinerja Satuan Organisasi/Kerja di Lingkungan Departemen
Agama;
f) Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama.
c. Good Governance
Kepemerintahan yang baik (good governance) merupakan issue
yang paling mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik
dewasa ini. Tuntutan gencar yang dilakukan oleh masyarakat kepada
pemerintah untuk melaksanakan penyelenggarakan pemerintahan yang
baik adalah sejalan dengan meningkatnya tingkat pengetahuan
masyarakat, disamping adanya pengaruh globalisasi. Pola-pola lama
penyelenggaraan pemerintahan tidak sesuai lagi dengan tatanan
masyarakat yang telah berubah. Oleh karena itu, tuntutan itu
merupakan hal yang wajar dan sudah seharusnya direspon oleh
pemerintah dengan melakukan perubahan-perubahan yang terarah pada
terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang baik.
Dari segi functional espect: governance dapat ditinjau dari
apakah pemerintah telah berfungsi secara efektif dan efisien dalam
upaya mencapai tujuan yang telah digariskan, atau sebaliknya. Word
Bank memberikan definisi ”the way state power is used in managing
economic and social resources for development of society”. Sementara
UNDP mendefinisikan sebagai ”the exercise of political economic,
and administrative authority in manage a nation’s affair at all levels”.
Oleh karena itu, menurut definisi terakhir ini, governance mempunyai
tiga kaki (three legs), yaitu economic, political and administrative.
Economic governance meliputi proses pembuatan keputusan (decisionmaking processes) yang memfasilitasi aktivitas ekonomi di dalam
negeri dan interaksi diantara penyelenggara ekonomi. Economic
governance mempunyai implikasi terhadap equit, poverty dan quality
of life. Political governance adalah proses-proses pembuatan
keputusan untuk formulasi kebijakan. Administrative governance
adalah sistem implementasi proses kebijakan.
Oleh karena itu institusi dari governance meliputi tiga domain,
yaitu state (negara atau kepemerintahan), private sector (sektor swasta
atau dunia usaha), dan society (masyarakat), yang saling berinteraksi
dan menjalankan fungsinya masing-masing. Institusi pemerintahan
berfungsi menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif,
sektor swasta menciptakan pekerjaan dan pendapatan, sedangkan
society berperan positif dalam interaksi sosial, ekonomi dan politik,
termasuk mengajak kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk
berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi, sosial dan politik.
Negara, sebagai satu unsur governance, didalamnya termasuk
lembaga-lembaga politik dan lembaga-lembaga sektor publik. Sektor
swasta
meliputi perusahaan-perusahaan
swasta
yang
bergerak
diberbagai bidang dan sektor informal lain di pasar. Ada anggapan
bahwa sektor swasta adalah bagian dari masyarakat. Namun demikian
sektor swasta dapat dibedakan dengan masyarakat karena sektor
swasta mempunyai pengaruh terhadap kebijakan-kebijakan sosial,
politik, dan ekonomi yang menciptakan lingkungan yang lebih
kondusif bagi pasar dan perusahaan-perusahaan itu sendiri. Sedangkan
masyarakat (society) terdiri dari individual maupun kelompok (baik
yang terorganisasi maupun tidak) yang berinteraksi secara sosial,
politik. Dan ekonomi dengan aturan formal maupun tidak formal.
Society meliputi lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi dan
lain-lain.
Arti good dalam good governance sendiri mengandung dua
pengertian:
Pertama,
nilai-nilai
yang
menjunjung
tinggi
keinginan/kehendak rakyat dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan
kemampuan rakyat yang dalam pencapaian tujuan (nasional)
kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial; Kedua,
aspek-aspek fungsional dan pemerintahan yang efektif dan efisien
dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
Berdasarkan pengertian ini good governance berorientasi pada, yaitu:
Pertama, orientasi ideal negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan
nasional; Kedua, pemerintahan yang berfungsi secara ideal, yaitu
secara efektif dan efisien dalam melakukan upaya mencapai tujuan
nasional. Orientasi pertama mengacu pada demokratisasi dalam
kehidupan bernegara dengan elemen-elemen konstituennya seperti:
legitimacy (apakah pamerintah dipilih dan mendapatkan kepercayaan
dari rakyatnya), accountability (akuntabilitas), securing of human
rights (perlindungan HAM), autonomi and devolution of power
(kekuatan otonomi dan devaluasi), dan assurance of civilian control
(pengawasan masyarakat). Sedangkan orientasi kedua, tergantung pada
sejauh mana pemerintahan mempunyai kompetensi, dan sejauh mana
stuktur serta mekanisme politik serta administratif berfungsi secara
efektif dan efisien.
OECD dan World Bank mensinonimkan good governance
dengan penyelenggaraan pembangunan yang solid dan bertangung
jawab yang sejalan dengan demokrasi dan pasar yang efisien,
penghindaran salah alokasi dana investasi yang langka, pencegahan
korupsi baik secara politik maupun administratif menjalankan disiplin
anggaran serta panciptaan legal and political frame works bagi
tumbuhnya aktivitas kewiraswastaan. Sedangkan UNDP sendiri
memberikan definisi good governance sabagai hubungan yang sinergis
dan konstruktif diantara negara, sektor swasta dan masyarakat
(society).
Berdasarkan hal
ini UNDP
kemudian mengajukan
kerakteristik good governance, sebagai berikut:
1) Kesetaraan, yaitu memberi peluang yang sama bagi setiap
anggota masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan;
2) Pengawasan,
penyelenggaraan
mengusahakan
yaitu
upaya
pemerintah
ketertiban
pengawasan
dan
swasta
pembangunan
dan
terhadap
dengan
masyarakat
luas,
melakukan kontrol dan supervisi terhadap administrasi publik
dan mengembangkan aktivitas dengan melibatkan masyarakat
dan organisasi-organisasi kemasyarakatan;
3) Penegakan hukum, yaitu adanya penegakan hukum yang adil
bagi semua pihak tanpa pengecualian, menjunjung tinggi HAM
dan memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat;
4) Daya tanggap, yaitu meningkatnya kepekaan penyelenggaraan
pemerintahan terhadap aspirasi dari aparat pemerintahan untuk
mengatasi masalah, complain dan aspirasi dari masyarakat
untuk mencari solusi yang bermanfaat bagi masyarakat banyak;
5) Efisiensi.dan efektivitas, yaitu terselenggaranya pelayanan
kepada masyarakat dengan menggunakan sumber daya yang
tersedia secara optimal dan bertanggungjawab;
6) Partisipasi,
yaitu
mendorong
setiap
warga
untuk
mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat dalam
proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan
masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung;
7) Profesionalisme, yaitu meningkatnya kemampuan dan moral
penyelenggaraan
kepemerintahan
sehingga
mampu
memberikan pelayanan yang mudah, cepat, tepat dengan biaya
yang terjangkau;
8) Akuntabilitas, yaitu meningkatnya tanggung jawab dan
tanggung gugat para pengambil keputusan dalam segala bidang
yang menyangkut kepentingan masyarakat luas;
9) Wawasan ke depan, yaitu membangun daerah berdasarkan visi
dan strategi yang jelas dan mengikutsertakan warga dalam
seluruh proses pembangunan, sehingga warga merasa memiliki
dan ikut bertanggungjawab terhadap kemajuan daerahnya;
10) Transparansi, yaitu adanya kepercayaan timbal balik antara
pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan
menjamin kemudahan dalam memperoleh informasi yang
akurat dan memadai.
Kesepuluh karakteristik tersebut di atas saling memperkuat dan
tidak dapat berdiri sendiri. Atas dasar uraian di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa wujud good governance adalah penyelenggaraan
pemerintahan negara yang solid dan bertanggungjawab, serta efisien
dan efektif, dengan menjaga kesinergisan interaksi yang konstruktif
diantara domain-domain negara, sektor swasta dan masyarakat
(society). Oleh karena good governance meliputi sistem administrasi
negara, maka upaya mewujudkan good governance juga merupakan
upaya melakukan penyempurnaan pada sistem administrasi negara
yang berlaku pada suatu negara secara menyeluruh.
Jika dilihat dari ketiga domain dalam governance, tampaknya
domain state menjadi domain yang paling memegang peranan penting
dalam mewujudkan good governance karena berfungsi pengaturan
yang memfasilitasi domain sektor dunia usaha swasta dan masyarakat
(society), serta fungsi administratif penyelenggaraan pemerintahan
melekat pada domain ini. Peran pemerintah melalui kebijakankebijakan publiknya sangat penting dalam memfasilitasi terjadinya
mekanisme pasar yang benar sehingga penyimpangan-penyimpangan
yang terjadi di dalam pasar dapat dihindari. Oleh karena itu, upaya-
upaya perwujudan kearah good governance dapat dimulai dengan
membangun landasan demokratisasi penyelenggaraan negara dan
bersamaan dengan ini dilakukan upaya pembenahan penyelenggaraan
negara dan bersamaan dengan itu dilakukan upaya pembenahan
penyelenggaraan pemerintahan sehingga dapat mewujudkan good
governance.
2. Pembahasan
a. Peran Pengawasan dalam Mewujudkan Good Governance Di
Lingkungan Inspektorat Jenderal Departemen Agama
Secara universal diakui perlunya akuntabilitas dan transparansi
dalam penyelenggaraan pemerintahan. Keduanya merupakan bagian
dari persyaratan/prinsip penyelenggaraan kepemerintahan yang baik
(good governance). Dalam hal ini, pengawasan intern dan ekstern
pemerintahan mempunyai peranan yang sangat penting untuk
memberikan jaminan bagi terwujudnya syarat-syarat kepemerintahan
yang baik (good governance) tersebut, termasuk akuntabilitas dan
transparansi. Melalui pengawasan intern dan ekstern pemerintah,
didapatkan penilaian yang independen dan obyektif tentang kebenaran
(veracity),
ketepatan
(akurasi),
kredibilitas
dan
keandalan
informasi/laporan yang disajikan oleh penyelenggaraan pemerintahan.
Selain hal tersebut diatas kita juga bisa melihat dari sepuluh
prinsip-prinsip good governance, ada empat prinsip yang disebut
pertama merupakan domain pengawasan. Oleh karena itu, untuk
membangun sinergis dalam penegakan good governance, harus ada
pengawasan yang berkelanjutan. Dalam konteks tersebut, maka
pengawasan merupakan instrumen utama dalam mewujudkan tata
kelola pemerintahan yang baik, karena melalui pengawasan dapat diuji
sejauhmana penerapan prinsip-prinsip good governance, sesuai dengan
mekanisme dan alat uji atau alat verifikasi yang telah diatur dalam
berbagai peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan hal tersebut, pelaksanaan pengawasan yang
selama ini sekedar untuk memenuhi unsur manajemen pemerintahan,
pada dasarnya masih merupakan tataran mikro (good government),
sedangkan pada tataran makronya harus dilihat sebagai conditio sine
qua non bagi terwujudnya good governance.
Dalam suatu organisasi, sistem pengawasan memegang
peranan penting untuk memastikan bahwa segala sesuatunya berjalan
sesuai dengan mandat, visi, misi, tujuan utama yaitu akuntabilitas dan
proses belajar. Dari sisi akuntabilitas, sistem pengawasan akan
memastikan bahwa anggaran telah dipergunakan sesuai dengan etika
dan aturan hukum dalam rangka memenuhi rasa keadilan. Dan sisi
proses belajar, sistem pengawasan akan memberikan informasi tentang
dampak dari program dan kegiatan yang telah dilakukan, sehingga
pengambil keputusan dapat belajar tentang bagaimana menciptakan
program dan kegiatan yang lebih efektif.
b. Akuntabilitas Kinerja Inspektorat Jenderal Departemen Agama
(SAKIP)
Akuntabilitas
merupakan
perwujudan
kewajiban
untuk
mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan
misi organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah
ditetapkan
melalui
suatu
media
pertanggungjawaban
yang
dilaksanakan secara periodik. Dalam dunia birokrasi, akuntabilitas
kinerja suatu instansi pemerintah merupakan perwujudan kewajiban
untuk
mempertanggungjawabkan
keberhasilan
atau
kegagalan
pelaksanaan misi suatu instansi dalam mewujudkan good governance.
Perlunya akuntabilitas semakin kuat dengan tingginya tuntutan
untuk menciptakan suatu penyelenggaraan pemerintahan yang baik
(good governance) dalam hal ini Inspektorat Jenderal Departemen
Agama
menegakan akuntabilitasnya sesuai dengan TAP MPR RI
Nomor XI/MPR/1998, UU Nomor 28 Tahun 1999 yang ditindak
lanjuti dengan Inpres Nomor 7 Tahun 1999 tentang akuntabilitas
kinerja instansi pemerintah.
Dalam konsekuensi dari perlunya penegakan akuntabilitas
publik, maka diperlukan suatu sistem akuntabilitas publik yang
didalamnya berisi pertanggungjawaban pemerintah dengan orientasi
pada kinerja. Sistem ini nantinya berfungsi sebagai alat untuk
peningkatan kinerja instansi sektor publik. Sistem inilah yang dikenal
dengan
nama
SAKIP
(Sistem
Akuntabilitas
Kinerja
Instansi
Pemerintah) yang mana terdiri dari:
1) Pengukuran Kinerja
Pengukuran kinerja terdiri dari pengukuran kinerja kegiatan
dan pengukuran pencapaian sasaran:
a) Pengukuran Kinerja Kegiatan (PKK)
Pengukuran kinerja kegiatan yakni mengukur tingkat
capaian kinerja kegiatan dimulai dengan menetapkan indokator
kinerja kegiatan berdasarkan kelompok inputs, outputs,
outcomes, benefits, dan impacts; merupakan rencana tingkat
pencapaian/target; mengetahui realisasi indikator kinerja
kegiatan; menghitung rencana dan realisasi untuk mendapatkan
prosentasenya.
Pada tahun 2007 Inspektorat Jenderal Departemen
Agama memiliki 181 kegiatan. Rencana kegiatan semua sudah
direalisasikan walaupun outcomesnya belum memenuhi target
100 persen. Pada saat ini indikator pengukuran kinerja kegiatan
baru mencapai input, output dan outcomes karena belum
terbangun sistem informasi yang dapat memberikan data yang
dapat mengukur benefits, dan impacts.
b) Pengukuran Pencapaian Sasaran (PPS)
Pengukuran pencapaian sasaran meliputi: menetapkan
indikator sasaran; menetapkan rencana tingkat capaian target;
mengetahui realisasi indikator sasaran; menghitung prosentasi
realisasi dibandingkan dengan rencananya. Pada tahun 2007
Inspektorat Jenderal Departemen Agama memiliki 181 sasaran.
Semua sasaran yang telah direncanakan dapat tercapai
semuanya, walaupun belum 100 persen.
Berdasarkan pengukuran pencapaian sasaran yang
tertuang dalam formulir Pengukuran Pencapaian Sasaran (PPS)
diperoleh kesimpulan bahwa mayoritas sasaran memperoleh
nilai prosentase keberhasilan di atas 90 persen. Sasaran yang
memiliki prestasi manonjol ini terutama adalah sasaran
pelaksanaan audit dan pemantauan.
Sedangkan sasaran dan kegiatan yang memperoleh
tingkat prosentase pencapaian target di bawah 80 persen
terutama terjadi pada sasaran terselenggaranya rapat koordinasi
dan pelatihan-pelatihan peningkatan kualitas SDM.
Hal ini terjadi disebabkan oleh kondisi waktu bagi para
SDM pengawasan. Seringkali terjadi tabrakan waktu yang
dialami para SDM pengawasan, terutama para auditor. Satu sisi
dia harus menjalankan tugasnya di lapangan (luar kantor).
Namun di sisi lain ada beberapa kegiatan kantor yang menurut
kehadirannya, terutama berupa kegiatan kantor yang manuntut
kehadirannya, terutama kegiatan kantor rapat koordinasi dan
pelatihan-pelatihan peningkatan kualitas SDM.
Mencari waktu untuk dapat berkumpulnya semua
orang dalam waktu yang sama bagi Inspektorat Jenderal
Departemen Agama adalah sesuatu yang sulit. Inilah yang
menjadi kendala dalam pencapaian keberhasilan kinerja yang
telah direncanakan di Inspektorat Jenderal.
Tabel. 4.5
Pengukuran Pencapaian Sasaran Akuntabilitas Kinerja
Tahun 2007
Satuan Organisasi : Inspektorat Jenderal Departemen Agama
Satuan kerja
: Bagian Perencanaan dan Keuangan
(10 dari 64 Sasaran Akuntabilitas Kinerja)
No
Uraian
1
Terlaksananya audit
bidang haji di Arab
Saudi
2
Terselenggaranya audit
komprehensif
3
Tersusunnya realisasi
RKAT dan Non RKAT
(triwulan)
Indikator
Terlaksana
LHP
Peningkatan
pelayanan ibadah
haji
Terlaksana audit
Teraudit
LHP
Meningkatkan
Kualitas kinerja
Buku realisai
RKAT dan Non
RKAT
Peningkatan
efektivitas, efisien
dan ekonomis
audit
Realisasi
Ren tk
Capaian
Target
1 tim
1 Eks
100%
%
1 tim
1 eks
80%
100
100
80
242tim
1205
auditn
242tim
1205
Auditn
100
100
242 eks
100%
120 Eks
242 eks
80%
120 Eks
100
85
100
100%
80%
80
4
5
6
7
8
9
10
Tersusunnya laporan
evaluasi pelaksanaan
tugas
Buku laporan
pelaksanaan tugas
Peningkatan
kualitas kinerja
120 Eks
120 Eks
100
100%
80%
80
Tersusunnya buku
revisi RAKT tahun
2007
Buku revisi
RKAT tahun
2007
Peningkatan
kualitias kegiatan
Itjen tahun 2008
Buku monitoring
tim kerja
Terpenuhinya
informasi kinerja
Buku laporan
pelaksanaan
anggaran
Peningkatan
efektivitas
pengguna
anggaran
Buku RKA-KL
tahun 2008
Peningkatan
kualitas keg Itjen
tahun 2008
Terlaksana
Meningkatkan
kualitas informasi
perencanaan
Terselenggara
Peningkatan
pelayanan pada
pimpinan
35 Eks
35 Eks
100
100%
80%
80
70 Eks
70 Eks
100
100%
80%
80
120 Eks
120 Eks
100
100%
80%
80
40 Eks
40 Eks
100
100%
85%
85
4 Keg
100%
4 Keg
80%
100
80
1 Keg
100%
1 Keg
75%
100
75
Tersusunnya buku
monitoring tim kerja
Tersusunnya laporan
pelaksanaan anggaran
(triwulan)
Tersusunnya rencana
kerja anggaran
kementerian
Negara/lembaga tahun
2008
Tersusunnya system
informasi perencanaan
Terselenggaranya
penyelesaian keg
mendesak lainnya
2) Evaluasi Kinerja
Semua rencana kinerja berupa terselenggaranya audit dan
pemantauan terhadap auditan/satuan organisasi/satuan kerja di
lingkungan Departemen Agama hampir seluruhnya dapat teraudit
atau terpantau. Kalaupun ada rencana kinerja audit tidak dapat
tercapai 100% disebabkan oleh kondisi auditan. Ada beberapa
auditan yang tidak dapat terjangkau oleh para auditor/pemantau
karena sulitnya faktor alam, mengakibatkan terjadinya ganti
auditan/satker
untuk
pelaksanaan
audit/pemantauan.
Juga,
pemekaran wilayah yang belum terakses oleh Departemen Agama
juga menjadi permasalahan tersendiri bagi Inspektorat Jenderal
Departemen Agama dalam mengemban tugas dan fungsinya dalam
bidang pengawasan.
Faktor pendukung keberhasilan ini terutama adalah
kesiapan SDM pengawasan dalam menjalankan tugasnya, baik
kesiapan fisik maupun non-fisik. Disamping itu faktor eksternal
berupa kondisi pemerintahan yang berjalan cukup kondusif di
tahun 2007 juga mempengaruhi tingkat kelancaran pelaksanaan
tugas Inspektorat Jenderal Departemen Agama.
Namun
demikian
keberhasilan
dalam
pelaksanaan
pengawasan ini perlu mendapat dukungan dari semua pihak
terutama para auditan untuk menindaklanjuti hasil audit. Hal ini
karena kondisi makro pemerintah Indonesia yang masih lemah
dalam penegakan hukum akan mempengaruhi tingkat penyelesaian
tindak lanjut hasil audit belum dapat berjalan secara maksimal
terutama dalam pemberantasan KKN.
a) Kesimpulan Hasil Evaluasi
Untuk membuat kesimpulan hasil evaluasi tersebut di
atas, digunakan skala pengukuran kinerja dibuat berdasarkan
pertimbangan masing-masing instansi, antara lain dengan skala
pengukuran ordinal, yaitu:
Tabel 4.3
Pengukuran Ordinal
Akuntabilitas Kinerja
80 s/d 100
= Baik
Sangat Baik
Sangat Berhasil
70 = X < 80
= Sedang atau
Baik
55 = X < 70
= Kurang
Sedang
Cukup Berhasil
X < 55
= Sangat Kurang
Kurang Baik
Tidak Berhasil
atau
Berhasil
Pengukuran Ordinal (dalam %)
(Buku Pedoman Penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, LAN
Oktober 2005.)
Tabel. 4.6
Pengukuran Kinerja Kegiatan
Variabel
Pengukuran
Kinerja Kegiatan
Tahun 2007
Sub Variabel
No
indikator
Realisasi
Skala
%
Ordinal
Baik
Penyelenggaraan
pengawasan &
pemerintahan
akuntabilitas
kementrian/lembaga
1
Menyelenggara
kan
sidak
pimpinan
80
Penyelenggaraan
pengawasan &
pemerintahan
akuntabilitas
kementrian/lembaga
2
Menyelenggara
kan
pemantauan
embarkasi haji
80
Penyelenggaraan
pengawasan &
pemerintahan
akuntabilitas
kementerian/lembaga
3
Menyelenggara
kan
pemantauan
debarkasi haji
80
Penyelenggaraan
pengawasan &
pemerintahan
akuntabilitas
kementerian/lembaga
4
Menyelenggara
kan
pemantauan
perpustakaan
dan lab pada
madrasah
(APBNP)
80
Penyelenggaraan
pengawasan &
pemerintahan
akuntabilitas
kementerian/lembaga
5
Menyelenggara
kan
pemantauan
dan evaluasi
pelayanan
pendidikan
pada madrasah
80
Penyelenggaraan
pengawasan &
pemerintahan
akuntabilitas
kementerian/lembaga
6
Menyelenggara
kan perjalanan
dinas pusat dan
DKI Jakarta
80
Penyelenggaraan
pengawasan &
pemerintahan
akuntabilitas
kementerian/lembaga
7
Menyelenggara
kan perjalanan
lain-lain
80
Penyelenggaraan
pengawasan &
pemerintahan
akuntabilitas
kementerian/lembaga
8
Melaksanakan
audit bidang
haji di Arab
Saudi
80
Penyelenggaraan
pengawasan &
pemerintahan
akuntabilitas
kementerian/lembaga
9
Menyelenggara
kan
pemantauan
Dumas
85
Penyelenggaraan
pengawasan &
pemerintahan
akuntabilitas
kementerian/lembaga
10
Menyelenggara
kan
pelaksanaan
Non PKPT
(pemantauan
Yanmas pada
KUA
kecamatan)
81
Cat:
Gambar 4.7
Efektivitas Skala Ordinal
Pencapaian Kinerja Kegiatan
Y
Pencapaian
B
A
A
Kinerja Kegiatan
X
C
D
Keterangan:
A = Baik, Sangat Baik, Sangat Berhasil
B = Sedang, Baik, Berhasil
C = Kurang, Sedang, Cukup Berhasil
D = Sangat Kurang, Kurang Baik, Tidak Berhasil
Tabel. 4.7
Pengukuran Pencapaian Sasaran Akuntabilitas Kinerja
Tahun 2007
Satuan Organisasi : Inspektorat Jenderal Departemen Agama
Satuan kerja
Variabel
Pengukuran
Pencapaian Sasaran
Akuntabilitas Kinerja
: Bagian Perencanaan dan Keuangan
Sub Variabel
No
Indikator
Realisasi
%
Terlaksananya
audit bidang haji
di Arab Saudi
1
80
Terselenggaranya
audit
komprehensif
2
Terlaksana
LHP
Peningkatan
pelayanan ibadah
haji
Terlaksana audit
Teraudit
Tersusunnya
realisasi RKAT
dan Non RKAT
(triwulan)
Tersusunnya
laporan evaluasi
pelaksanaan tugas
Tersusunnya
buku revisi
RAKT tahun
2007
Tersusunnya
buku monitoring
tim kerja
Tersusunnya
laporan
LHP
Meningkatkan
Kualitas kinerja
Buku realisai
RKAT dan Non
RKAT
Peningkatan
efektivitas, efisien
dan ekonomis
audit
Buku laporan
pelaksanaan tugas
Peningkatan
kualitas kinerja
Buku revisi
RKAT tahun
2007
Peningkatan
kualitias kegiatan
Itjen tahun 2008
Buku monitoring
tim kerja
Terpenuhinya
informasi kinerja
Buku laporan
pelaksanaan
80
80
80
80
80
Skala
Ordinal
Baik
pelaksanaan
anggaran
(triwulan)
anggaran
Peningkatan
efektivitas
pengguna
anggaran
Buku RKA-KL
tahun 2008
Peningkatan
kualitas keg Itjen
tahun 2008
Tersusunnya
rencana kerja
anggaran
kementerian
Negara/lembaga
tahun 2008
Tersusunnya
system informasi
perencanaan
Terlaksana
Meningkatkan
kualitas informasi
perencanaan
Terselenggara
Peningkatan
pelayanan pada
pimpinan
Terselenggaranya
penyelesaian keg
mendesak lainnya
80
85
80
80
Gambar. 4.7
Efektivitas Skala Ordinal
Pencapaian Sasaran Akuntabilitas Kinerja
Y
Pencapaian
B
A
A
Sasaran
Akuntabilitas Kinerja
X
C
D
Keterangan:
A = Baik, Sangat Baik, Sangat Berhasil
B = Sedang, Baik, Berhasil
C = Kurang, Sedang, Cukup Berhasil
D = Sangat Kurang, Kurang Baik, Tidak Berhasil
3) Analisis Akuntabilitas Kinerja
Analisis pencapaian kinerja pada dasarnya diarahkan pada
usaha untuk mengukur tingkat keberhasilan visi yang telah
ditetapkan. Visi ini kemudian dijabarkan dalam misi. Selanjutnya
untuk mewujudkan misi tersebut ditetapkan tujuan, sasaran,
kebijakan, program dan kegiatannya. Oleh karena itu maka analisis
pencapaian
kinerja
selanjutnya
secara
rinci
dilaksanakan
berdasarkan tingkat keberhasilan kegiatan-kegiatan yang telah
ditetapkan.
Berdasarkan evaluasi kinerja yang tertuang dalam formulir
PKK dan PPS bahwa capaian kinerja Inspektorat Jenderal
Departemen Agama Tahun 2007 sudah baik apabila dilihat dari
pencapaian target rencana yang telah ditetapkan. Hal ini
disebabkan tingkat semangat para APFE (aparat pengawas
fungsional pemerintah) di lingkungan Itjen Departemen Agama
yang cukup tinggi dalam menghadapi perubahan yang banyak
terjadi. Walaupun menghadapi kendala terbatasnya anggaran
dibanding dengan orbik yang terus meningkat, apalagi di era
otonomi daerah sekarang yang banyak terjadi pemekaran satuan
kerja.
Berdasarkan laporan akuntabilitas kinerja tersebut daiats maka
perlu adanya usaha yang dilakukan secara terus-menerus untuk
meningkatkan nilai capaian kinerja. Caranya antara lain melalui
peningkatan koordinasi dengan pihak-pihak terkait dan peningkatan
profesionalisme kerja terus-menerus dilakukan sesuai dengan prinsip
good governance yaitu akuntability yaitu pembuat keputusan dalam
pemeritahan,
sektor
swasta
dan
masyarakat
(civil
society)
bertanggungjawab kepada publik dan lembaga-lembaga stakeholder.
Akuntabilitas tergantung pada organisasi dan sifat keputusan yang
dibuat, apakah keputusan tersebut untuk kepentingan internal atau
eksternal organisasi.
Dengan adanya Renstra (Rencana Strategis) dan LAKIP
(Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintahan) Inspektorat
Jenderal Departemen Agama dalam pelaksanaan kepemerintahan yang
melibatkan stakeholders, dapat mengetahui secara terperinci mengenai
akuntabilitas kinerja dalam Pencapaian Pencapaian Sasaran Kinerja
(PPS) dan Pengukuran Kinerja Kegiatan (PKK) yang menunjukan
tingkat keberhasilan 80% dari 100% atau dalam skala ordinal
menunjukan
bahwa
akuntabilitas
kinerja
Inspektorat
Jenderal
Departemen Agama dinyatakan baik.
Di lihat dari tingkat keberhasilan yang dicapai, maka dapat
dikatakan bahwa akuntabilitas Inspektorat Jenderal Departemen
Agama telah berhasil mewujudkan good governance dengan
mengimplementasikan prinsip-prinsip good governance di dalam
pelaksanaan akuntabilitas kinerjanya yang berpedoman pada sistem
akuntabilitas
kinerja
instansi
pemerintah
(SAKIP),
sehingga
terciptanya pencapaian tujuan, sasaran dan hasil kerja yang dapat
dipertanggungjawabkan secara jujur, efektif, dan efisien.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Peranan sistem pengawasan dalam sistem pengendalian manajemen untuk
mewujudkan
good
governance
dilingkungan
Inspektorat
Jenderal
Departemen Agama
Sistem pengawasan dalam pengendalian manajemen memiliki
peranan yang penting untuk mewujudkan good governance yaitu untuk
memastikan bahwa segala sesuatunya berjalan sesuai dengan mandat, visi,
misi dan tujuan utama yaitu akuntabilitas dan proses belajar. Dari sisi
akuntabilitas, sistem pengawasan akan memastikan bahwa anggaran telah
dipergunakan sesuai dengan etika dan aturan hukum dalam rangka
memenuhi rasa keadilan. Dan dari sisi proses belajar, sistem pengawasan
akan memberikan informasi tentang dampak dari program dan kegiatan
yang telah dilakukan, sehingga pengambil keputusan dapat belajar tentang
bagaimana menciptakan program dan kegiatan yang lebih efektif.
2. Sejauh Mana Akuntabilitas Kinerja Inspektorat Jenderal Departemen
Agama Dalam Mewujudkan Good Governance
Pada Tahun 2007 Inspektorat Jenderal Departemen Agama
memiliki 181 kegiatan (dari 181 kegiatan). Seluruh kegiatan yang
direncanakan dapat direalisasikan walaupun tidak 100 persen. Berdasarkan
pengukuran pencapaian sasaran dan kegiatan yang tertuang dalam formulir
PPS dan PKK diperoleh kesimpulan bahwa hampir seluruh sasaran dan
kegiatan memperoleh nilai prosentase keberhasilan di atas 80 persen.
Dari hal tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa akuntabilitas
kinerja Inspektorat Jenderal Departemen Agama tahun 2007 berdasarkan
evaluasi kinerja yang tertuang dalam formulir PKK (Pengukuran Kinerja
Kegiatan) dan PPS (Pengukuran Pencapaian Sasaran) dinyatakan sudah
baik dalam mewujudkan good governance dilihat dari pencapaian target
yang telah ditetapkan. Hal ini disebabkan tingkat semangat para APFP
(Aparat Pengawas Fungsional Pemerintah) di lingkungan Inspektorat
Jenderal Departemen Agama yang cukup tinggi dalam menghadapi
perubahan yang banyak terjadi.
B. Implikasi
Selama peneliti melakukan studi kasus pada Inspektorat Jenderal
Departemen Agama R.I. peneliti mengetahui bahwa jika dalam suatu instansi
khususnya instansi pemerintahan memiliki sistem pengawasan yang baik pada
sistem pengendalian manajemennya, akan menciptakan suatu koordinasi yang
harmonis, serta akan meningkatkan kualitas akuntabilitas kinerja instansi
tersebut. Koordinasi tersebut dapat berjalan lancer bila masing-masing pihak
melaksanakan tanggungjawabnya dengan sungguh-sungguh. Maka secara
tidak langsung dapat membantu instansi tersebut mewujudkan good
governance dilingkungannya, dan akan memberikan keuntungan pada instansi
tersebut.
C. Saran
Didasarkan dari Laporan Akuntabilitas Kinerja Inspektorat Jenderal
Tahun 2007 yang memuat laporan hasil kinerja didapat beberapa hambatan
yang dihadapi yang mempengaruhi tingkat keberhasilan kinerja. Diantaranya:
1. Derasnya perubahan di bidang politik pemerintahan, antara lain, banyak
terjadi pemekaran wilayah, baik di tingkat propinsi, kabupaten maupun
kecamatan yang belum ditindak lanjuti;
2. Krisis kepercayaan masyarakat terhadap aparatur negara dan lemahnya
penegakan hukum;
Atas dasar dari permasalahan tersebut, saran yang dapat saya
sampaikan yaitu:
1. Departemen Agama harus segera menindak lanjuti derasnya perubahan di
bidang politik pemerintahan yang terdiri dari pemekaran wilayah, baik di
tingkat propinsi, kabupaten maupun kecamatan dengan cara memekarkan
satuan kerjanya sesuai dengan perkembangan yang ada;
2. Lemahnya kepercayaan masyarakat terhadap aparatur negara, Inspektorat
Jenderal
Departemen
Agama
dapat
menumbuhkan
kepercayaan
masyarakat terhadap aparatur negara dengan menindaklanjuti hasil audit
secara cepat, tepat dan komprehensif yang dilakukan sesuai dengan
rekomendasi yang telah ditetapkan.
Demikian adanya saran yang dapat saya sampaikan yang kiranya dapat
dipertimbangkan untuk menjadi masukan dalam pelaksanaan kinerja
Inspektorat Jederal Departemen Agama yang sudah baik agar dapat menjadi
lebih baik dalam mewujudkan good governance di lingkungan Inspektorat
Jenderal Departemen Agama.
DAFTAR PUSTAKA
Anthony, Robert, Govindrajan, Vinjay. “Management Control System”, 12th
Edition, The McGraw-Hill Companies, Inc, 2007.
Departemen Agama. RI. “Buku Panduan Seminar Nasional Pengawasan Konsep,
Strategi dan Implementasi Good Governance dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan”. Departemen Agama RI. 2007.
Draft, L. “MANAGEMENT”, 6th Edition, hal.522-551, Jakarta: Salemba Empat,
2006.
Frank J, Fabozzi. “Investment Management”, Edisi Pertama, Jakarta: Salemba
Empat, 2005.
H.A. Simon. “Communication in Organisation”, dikutip dari Majalah
Administrasi Negara, Tahun II No.10.
Hamid, Abdul. “Pedoman Penulisan Skripsi”, Jakarta: FEIS UIN Syarif
Hidayatullah, 2007.
Hariadi, Bambang. “Strategi Manajemen (Strategi Memenangkan Perang
Bisnis)”, hal.21-44, Cetakan Ke-2, Malang: Bayumedia Publishing,
2005.
IBK, Bayangkara, “Audit Manajemen”, hal.15-29, Jakarta: Salemba Empat, 2008.
Ikatan Akuntan Indonesia, “Standar Profesional Akuntansi Publik (per 1 Januari
2001)”. Cetakan ke-1, Jakarta: Salemba Empat, 2001.
Inpres RI Nomor 9 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Pendayagunaan
Aparatur Negara.
Instruksi Presiden RI Nomor 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah.
J.B. Ghartey, “Crisis Accountability and Development in Third World”, London,
1987.
Kinicki, Angelo. “Perilaku Organisasi”, Edisi-5, hal.556, Jakarta: Salemba
Empat, 2005.
L.V. Carino, “Accountability, Corruption and Democracy”, A Clarification of
Concepts, in the Asian Review of Publik Administration, vol. III No. 2,
Desember 1991.
LAN. “Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja
Pemerintah dan good governance”, Jakarta: LAN, 2002.
Instansi
LAN. “Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja
Pemerintah (No.589/IX/6/Y/99)”, Jakarta: LAN. 1999.
Instansi
LAN. “Buku Pedoman Penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah”, 2005.
Mahmudi. ”Kerangka Pengukuran Kinerja Pemerintah Daerah”. Akuntansui dan
Keuangan Vol 3, No. 01, Universitas Indonesia. 2002.
Manulang, M. “Dasar-dasar Manajemen”, Bab5, hal.176, Gajah Mada
University, Press. 2006.
M.D. Yango. Institutional Mechanism for Promoting Accountability in the
Philippines Civil Service, in Asian Review of Public Administration,
Vol. III No. 2, December 1991.
Munir, Ningky. “Knowledge Management Audit”, Pedoman Organisasi Dalam
Mengelola Pengetahuan, Jakarta: Sekolah Tinggi Manajemen PPM,
2008.
Oxford Advance Learner’s Dictionary, Oxford University Press, 1989.
Ray H, Garrison. “Management Accounting”, Edisi Indonesia, Jakarta: Salemba
Empat, 2007.
Rees, David and McBean. “Management People Strategy and Theory (Edisi-2,
cetakan 1 hal.248)”, Jakarta: Kencana. 2007.
Rodi, Kertamuja. ”Peranan Auditing Kinerja dalam Meningkatkan Efisiensi dan
Efektifitas”. Akuntansi dan Keuangan. Vol 5 No. 2. Des 2001.
Sawyer’s, Lawrence B. “Internal Auditing”, Edisi-5, Jakarta: Salemba Empat,
2005.
S. Paul. ”Accountability in Public Service: Exit, Voice and Control”. The World
Development Journal, Vol 20. No. 7.
Sayle, Allan J. “Manajemen Audit, The Assement Of Quality Manajemen
System”, Second Edition. Great Britain. Quality Press, 2000.
Sekaran, Umma. “Business Research Methods for Managers”, A Skill-Building
Approach, 4th Edition, New York, John Wiley&Sons, Inc, 2003.
S.H. Saleh dan A. Iqbal, Accountability: the Endless Prophecy. Asian and
Pasific Development Journal, Vol. 20, No.7.
Siahaan, Hinsa. “Manajemen Resiko”, Jakarta: PT Elex Komunitas Eksindo,
2007.
Simanjuntak J, Payaman. “Manajemen dan Evaluasi Kinerja”, Jakarta: Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia, 2008.
Sulastiningsih. “Peran Anggaran dalam Meningkatkan Prestasi Manajer”.
Manajemen, Ekonomi dan Bisnis. Vol 3 (1-3) 1999.
TAP MPR RI nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang
Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Tokyo Declaration of Guidelines on Public Accoutability, 1985.
UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan
Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Widjaja, Amin. “Dasar-Dasar Audit Manajemen”, Jakarta: Harvarindo, 2008.
Widjaja, Amin. “Memahami Internal Audit”, Jakarta: Haravindo, 2008.
Download