9 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kewirausahaan (Entrepreneurship) Entrepreneurship yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai kewiraswastaan atau kewirausahaan adalah kondisi kejiwaan seseorang yang memiliki semangat, kemauan, kemampuan dan kekuatan untuk memindahkan segala sumberdaya ekonomi dari kawasan poduktivitas rendah ke kawasan produktivitas tinggi dengan tambahan hasil yang lebih besar atau lebih menguntungkan. Orang yang memiliki jiwa kewirausahaan disebut entrepreneur (Baptiste Say dalam Riyanti, 2003). Di Amerika Serikat, entrepreneur seringkali diartikan sebagai seseorang yang memulai bisnis baru, kecil dan milik sendiri. Namun menurut Drucker (1985), tidak semua bisnis baru dan kecil adalah wiraswasta atau mewakili kewiraswastaan. Suami istri yang membuka sebuah restoran Padang yang baru disebuah kawasan pastilah menghadapi resiko, lalu apakah mereka itu wiraswastawan ?, apa yang mereka lakukan adalah yang telah berulang kali mereka lakukan sebelumnya. Mereka mengadu untung dengan makin banyaknya orang yang suka makan di luar rumah di daerah itu, tetapi mereka sama sekali tidak menciptakan kepuasan baru atau permintaan konsumen yang baru. Dilihat dari perspektif ini, menurut Drucker mereka bukanlah “wiraswastawan” (entrepreneur), sekalipun usaha mereka itu juga merupakan bisnis baru. Namun usaha McDonald’s adalah kewiraswastaan, ia memang tidak menciptakan sesuatu. Produk akhir yang dihasilkannya, juga bisa dibuat oleh setiap restoran Amerika yang biasa-biasa saja sebelum itu, tetapi dengan menerapkan konsep manajemen dan teknik manajemen (yaitu dengan bertanya “nilai” apa yang paling berharga bagi pelanggan), standarisasi produk, perancangan proses dan peralatan, dan dengan mendasarkan pelatihan pada analisis pekerjaan yang akan dilakukan serta menetapkan standar yang diinginkan, maka McDonald’s secara 10 drastis meningkatkan hasil dari sumberdaya yang ada, dan menciptakan pasar serta pelanggan baru. Inilah yang dinamakan kewiraswastaan (entrepreneurship). Menurut Drucker; entrepreneur adalah orang yang selalu mencari perubahan, menanggapinya dan memanfaatkannya sebagai peluang. Entrepreneur adalah orang yang memindahkan sumberdaya dari daerah yang produktivitas dan hasilnya rendah, ke daerah yang produktivitas dan hasilnya lebih tinggi. Drucker memberikan contoh seorang Bankir. Sebagai entrepreneur tugasnya adalah memobilisasi uang orang lain untuk dialokasikan pada berbagai bidang yang produktivitasnya lebih tinggi sehingga hasilnya lebih besar. Semua Bankir sebelumnya adalah pemilik. Bila mereka membangun jalan kereta api, mereka membiayainya dengan uang sendiri. Sebaliknya Bankir wiraswasta tidak berkeinginan untuk menjadi pemilik, ia mendapatkan keuntungan dengan cara menjual kepada umum saham dari perusahaan yang mereka biayai pada awal pertumbuhannya. Ia mendapat dana investasi dari masyarakat. Dari contoh di atas, dapat dikatakan bahwa ciri yang paling penting dari seorang entrepreneur adalah inovator. Menurut Drucker inovasi merupakan alat spesifik entrepreneurship. Inovasi adalah tindakan yang memberi sumberdaya kekuatan dan kemampuan baru untuk menciptakan kesejahteraan. Inovasi menciptakan sumberdaya. Tidak ada sesuatu pun yang menjadi sumberdaya sampai orang menemukan manfaat dari sesuatu yang terdapat di alam sehingga memberinya nilai ekonomis. Inovasi tidak selalu bersifat teknis, juga tidak selalu berupa “benda.” Menurut Drucker, hanya beberapa inovasi teknis yang bisa menandingi dampak inovasi sosial. Salah satu contoh yang paling menarik dari inovasi sosial dan arti pentingnya dapat dilihat pada Jepang modern. Jepang bukanlah pembaharu (inovator) dalam hal teknologi dan ilmu pengetahuan, melainkan peniru (imitator). Keberhasilan mereka berdasarkan pada inovasi sosial. Lembaga sosial yang didirikan di Jepang, harus bersifat “Jepang” tetapi “modern.” Harus dijalankan oleh orang Jepang tetapi melayani perekonomian yang bersifat “Barat” dan sangat teknis. Teknologi dapat diimpor dengan mudah dengan resiko budaya yang minimum. Sebaliknya lembaga sosial membutuhkan akar budaya untuk dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. 11 Jepang telah membuat keputusan secara sadar satu setengah abad yang lalu, untuk memutuskan sumberdaya yang ada pada mereka untuk inovasi sosial, untuk meniru, mengimpor serta menyadap inovasi dalam bidang teknik dengan sukses yang mengejutkan. Ini berarti bahwa inovasi sosial jauh lebih penting dari pada inovasi teknis dan yang bersifat “kebendaan.” Jika orang Inggris memaknai entrepreneurship sebagai bisnis kecil dan baru, maka orang Jerman menafsirkannya sebagai kemampuan dan kepemilikan, sesuatu yang bahkan lebih menyesatkan. Istilah entrepreneur secara harfiah dalam bahasa Jerman adalah orang yang memiliki dan sekaligus menjalankan sendiri usahanya (dalam bahasa inggris disebut “owner manager”). Dan kata itu digunakan terutama untuk membedakan kata “Boss” yang memiliki perusahaan dengan kata profesional manajer untuk hired hand (tenaga yang digaji). Entrepreneur juga bukan kapitalis, sekalipun tentu saja mereka juga perlu modal untuk semua aktivitas ekonomi (dan sebagian untuk aktivitas non-ekonomi mereka). Mereka juga bukan penanam modal (investor). Tentu saja mereka juga menanggung resiko, tetapi resiko juga ditanggung oleh setiap orang yang melibatkan dirinya dalam setiap jenis kegiatan ekonomi. Unsur pokok dari kegiatan ekonomi adalah kegiatan sumberdaya sekarang untuk harapan masa yang akan datang, dan hal itu berarti ketidakpastian dan resiko. Wiraswastawan juga bukan seorang majikan, tetapi bisa jadi, dan bahkan seringkali seorang pekerja biasa atau seorang yang bekerja sendiri dan seluruhnya dilakukan sendiri (Drucker, 1985). Jadi entrepreneurship menurut Drucker, mempunyai cirinya sendiri, baik dari individu maupun lembaga. Ciri itu bukan suatu gejala kepribadian seseorang. Selama tiga puluh tahun Drucker mengamati orang dengan kepribadian dan tempramen yang amat berbeda satu sama lain, berhasil dengan baik sebagai wiraswastawan. Tetapi yang jelas, orang yang selalu menghendaki kepastian tidak akan dapat menjadi entrepreneur yang baik, bahkan juga tidak akan bisa berhasil dalam segala macam aktivitas lain. Sebaliknya setiap orang yang memiliki keberanian mengambil keputusan dapat belajar menjadi wiraswastawan dan 12 berperilaku wiraswastawan. Maka kewiraswastaan lebih merupakan perilaku dari pada gejala kepribadian, dan dasarnya terletak pada konsep dan teori. Meredith et al.(2001) menjelaskan tentang ciri-ciri dan sifat-sifat seorang entreprenenur yang selengkapnya disajikan pada Tabel 1 berikut. Tabel 1 Ciri dan sifat entrepreneur Nomor Ciri-ciri 1 Percaya diri 2 Berorientasi tugas dan hasil 3 Pengambil resiko 4 Kepemimpinan 5 Keorisinilan 6 Berorientasi ke masa depan Watak a. b. c. a. b. c. d. e. f. a. b. a. b. c. a. b. c. d. e. Memiliki keyakinan Ketidakbergantungan Optimisme Kebutuhan akan prestasi Berorientasi laba Tekun dan tabah Mempunyai tekad kerja keras Mempunyai dorongan yang kuat, Energitik dan inisiatif Kemampuan mengambil resiko Suka pada tantangan Bertingkah laku sebagai pemimpin Dapat bergaul dengan orang lain Menanggapi saran dan kritik Inovatif dan kreatif Fleksibel Punya banyak sumber Serba bisa Mengetahui banyak a. Pandangan ke depan Menurut Meredith et al. (2002) dari semua ciri tersebut, mustahil bisa ditemui seorang wirausahawan mendapat angka tinggi untuk semua sifat-sifat itu, namun besar kemungkinan bahwa wirausahawan tersebut akan mendapat angka tinggi untuk kebanyakan sifat-sifat itu, terutama kepercayaan terhadap diri sendiri, kemampuan mengambil resiko, fleksibilitas, keinginan untuk mencapai sesuatu, dan keinginan untuk tidak tergantung pada orang lain. Adam Smith (dalam Riyanti, 2003) melihat wirausaha sebagai orang yang memiliki pandangan yang tidak lazim yang dapat mengenali tuntutan potensial atas barang dan jasa. Dalam pandangan Smith, wirausaha bereaksi terhadap perubahan ekonomi, lalu menjadi agen ekonomi yang mengubah permintaan menjadi produksi. 13 Ahli ekonomi Prancis Jean Babtise (dalam Riyanti, 2003) berpendapat wirausaha adalah orang memiliki seni dan keterampilan tertentu dalam menciptakan usaha ekonomi yang baru. Dia memiliki pemahaman sendiri akan kebutuhan masyarakat dan dapat memenuhi kebutuhan itu. Wirausaha mempengaruhi masyarakat dengan membuka usaha baru, tetapi pada saat yang sama dia dipengaruhi oleh masyarakat untuk mengenali kebutuhan dan memenuhinya melalui ketajaman manajemen sumberdaya. Menger (dalam Riyanti, 2003) sebaliknya berpendapat bahwa wirausaha adalah orang yang dapat melihat cara-cara ekstrem dan tersusun untuk mengubah sesuatu yang tidak bernilai atau bernilai rendah menjadi sesuatu yang bernilai tinggi (misalnya dari terigu menjadi roti bakar yang lezat), dengan cara memberikan nilai baru ke barang tersebut untuk memenuhi kebutuhan manusia. Model Menger ini diterima luas di Amerika Serikat. Secara komprehensif Meng and Liang (dalam Riyanti, 2003) merangkum pandangan beberapa ahli, dan mendefenisikan wirausaha sebagai: 1. Seorang inovator 2. Seorang pengambil resiko atau a risk-taker 3. Orang yang mempunyai misi dan visi 4. Hasil dari pengalaman masa kanak-kanak 5. Orang yang memiliki kebutuhan berprestasi tinggi 6. Orang yang memiliki locus of control internal Berdasarkan pendapat para ahli yang diuraikan di atas, terdapat ciri umum yang selalu terdapat dalam diri seorang wirausaha, yaitu kemampuan mengubah sesuatu menjadi lebih baik atau menciptakan sesuatu yang benar-benar baru, dalam literatur psikologi dikenal sebagai perilaku kreatif dan inovatif. Banyak ahli menggarisbawahi ciri kreatif dan inovatif sebagai sifat yang terdapat pada wirausaha. Penelitian Cunningham (dalam Riyanti, 2003) terhadap 178 wirausaha dan manager profesional di Singapura, menunjukkan bahwa keberhasilan berkaitan dengan sifat-sifat kepribadian, seperti keinginan untuk melakukan pekerjaan dengan baik, keinginan untuk berhasil, motivasi diri, kepercayaan diri dan berpikir positif, 14 komitmen dan sabar. Cunningham menyimpulkan bahwa sebagian keberhasilan usaha, sangat ditentukan oleh faktor entrepreneur. besar Kepribadian entrepreneur merupakan faktor utama, menyusul sesudahnya faktor kemampuan, faktor teknologi, dan faktor lain. Sifat kepribadian yang paling banyak dibahas oleh para ahli dalam kaitan dengan wirausaha, adalah sifat kreatif dan inovatif. Drucker (1985) juga menegaskan bahwa untuk meraih keberhasilan, seorang wirausaha harus belajar mempraktekan inovasi secara sistematik. Menurut Drucker Inovasi adalah alat khusus bagi entrepreneur. Menurut Riyanti (2003) orang sering menyamakan kreativitas dan inovasi, padahal keduanya memiliki pengertian yang berbeda. Kreativitas berarti menghasilkan sesuatu yang baru. Kreativitas lebih menekankan kemampuan, bukan kegiatan. orang disebut kreatif jika dia memiliki ide/gagasan yang baru tanpa harus merealisasikan gagasannya itu. Inovasi adalah proses melakukan sesuatu yang baru. Jadi kreativitas dan inovasi adalah dua hal yang berbeda. Oleh karena itu inovasi berarti tranformasi dari gagasaan-gagasan kreatif pada aplikasinya yang bermanfaat. Kreativitas merupakan prasyarat untuk inovasi. Inovasi adalah alat spesifik wiraswastawan, suatu alat untuk memanfaatkan perubahan sebagai peluang bagi bisnis yang berbeda atau jasa yang berbeda. Inovasi dapat ditampilkan sebagai ilmu, dapat dipelajari dan dapat dipraktekan. Wiraswastawan perlu secara sengaja mencari sumber inovasi, perubahan dan gejala yang menunjukan adanya peluang untuk inovasi yang berhasil, dan mereka perlu mengetahui dan menerapkan prinsip-prinsip inovasi yang berhasil. (Drucker, 1985). McClelland (1987), pelopor dalam pendidikan kewirausahaan bertolak dari Joseph Schumpeter tentang peranan entrepreneur sebagai unsur dinamik dalam pertumbuhan dan perkembangan ekonomi, melihat bahwa yang menjadi sumber penggerak (motivasi) para intrepreneur itu bukanlah keinginan untuk mendapatkan keuntungan (uang), suatu hal yang bertentangan dengan ilmu ekonomi yang percaya bahwa penggerak (pendorong) manusia dalam kegiatan ekonomi adalah keuntungan. Keunggulan yang dimiliki oleh wiraswasatawan terletak pada kebutuhannnya yang tinggi untuk berprestasi atau keberhasilan mencapai prestasi (n-Ach). 15 2.2. Interaksi dan Pembentukan Perilaku Jhon Dewey (1859 – 1952) seorang filosof dan pendidik berpengaruh pada zamannya mengatakan bahwa ; yang sangat “semua pengetahuan yang dimiliki manusia diperoleh dari hasil komunikasi”. Bahasa memiliki kedudukan yang begitu penting, tanpa didukung oleh sistem ekspresi yang memadai, manusia mustahil bisa saling berinteraksi dan bertindak bersama. Dari proses komunikasi manusia berupaya mencari makna (meaning) suatu obyek atau peristiwa. Perilaku manusia dikatakan sukar dipahami tanpa memahami makna, nilai dan tujuan yang menyertai perilaku itu. Tema “meaning arises through communication” Dewey ini kemudian dieksplorasi lebih dalam oleh Mead, bahkan menjadi asumsi dasar teori interaksi simbolik (Lesmana, 2001). Secara umum kegiatan komunikasi merupakan suatu proses yang ditujukan untuk terjadinya perubahan sikap (attitude change), perubahan pendapat (opinion change), perubahan perilaku (behavior change) dan perubahan sosial (social change). Sesuai dengan pendapat Carl Hovland dalam Effendy (2005), bahwa yang dijadikan obyek studi komunikasi bukan saja penyampaian informasi, melainkan juga pembentukan pendapat umum (public opinion) dan sikap publik (public attitude). Bahkan Hovland memberikan definisi secara khusus, bahwa komunikasi adalah proses mengubah perilaku orang lain. Cooley menempatkan komunikasi pada nilai yang tinggi, suatu mekanisme dalam formasi yang ia sebut the looking glass self yang amat penting. Ini berarti bahwa interaksi dengan orang lain bagaikan sejenis cermin yang membantu membentuk konsep diri seseorang. Bagi Cooley, komunikasi berfungsi sebagai sarana sosialisasi, dan dengan demikian menjadi tali yang mengikat masyarakat. Dasar empirik yang utama dari teori Cooley adalah introspeksi (Effendy, 2003). R. Wayne Pane, Brent D Peterson dan M. Dallas Burnet (dalam Effendy, 2005) menyatakan tujuan sentral kegiatan komunikasi adalah: (1) to secure understanding (2) to establish acceptance dan (3) to motivation action. Pertama (to secure understanding) memastikan diterimanya. Andaikata ia bahwa komunikan mengerti pesan yang sudah dapat mengerti dan dapat menerima, maka 16 penerimaannya haruslah dibina (to establish acceptance). Pada akhirnya kegiatan dimotivasikan (to motivate action). Park dalam Effendy (2003) mendefinisikan komunikasi sebagai proses sosial psikologis dengan mana seseorang mampu menerima sikap dan pandangan orang lain. Park menunjukkan bahwa dua orang atau lebih, dapat bertukar informasi selama berlangsungnya proses komunikasi, dimana masing-masingnya memberikan makna berbeda pada informasi yang diterima. Makna pesan merupakan inti dari komunikasi. Proses komunikasi pada intinya adalah proses penyampaian makna dalam bentuk pesan dengan menggunakan kode-kode tertentu. Pembicaraan, gambar atau lainnya hanyalah merupakan simbol atau kode, sedangkan yang disampaikan adalah apa yang terkandung di dalam simbol/gambar itu. Makna menjadi penting karena padanyalah ukuran suatu bahasa berada. (Mulyana, 2005). Pemberian makna merupakan proses yang aktif. Makna diciptakan dengan kerjasama di antara sumber dan penerima, pembicara dan pendengar, penulis dan pembaca, makna pesan dapat diilustrasikan sebagai lambang atau simbol komunikasi. Karena pesan bersifat abstrak, dengan akal budinya manusia melahirkan sejumlah lambang komunikasi: mimik, gerak-gerik, suara, bahasa lisan, dan bahasa tulisan; yang berfungsi untuk merubah pesan yang abstrak menjadi kongkrit/berwujud (DeVito, 1997). Lambang atau simbol digunakan untuk merujuk pada sebuah obyek. Obyek yang ditunjuk oleh lambang itu adalah apa yang dimaksud oleh kelompok sosial penggunanya, melekat pada budaya setempat. Tidak harus ada hubungan yang penting antara obyek yang ditunjuk dengan lambang yang menunjuknya, sehingga dapat dinyatakan bahwa lambang atau simbol komunikasi sebagai bentuk pesan yang bersifat sembarang. Manusialah yang memberi makna terhadap lambang komunikasi yang digunakan. Kita tidak tahu mengapa hewan tunggangan berkaki empat diberi lambang komunikasi ”kuda” dalam bahasa Indonesia atau ”horse” dalam bahasa Inggris. Sekali suatu lambang komunikasi telah memiliki makna, maka ia melekat 17 terhadapnya. Dengan demikian, kita dapat nyatakan bahwa makna adalah hubungan antara suatu obyek dengan lambangnya (Littlejohn, 1996). Menurut Dewey dalam Denzin (1992) manusia tidak akan bertindak sebelum memahami situasi, dan tindakannya selalu disesuaikannya dengan definisi situasi yang dibuatnya. Karena situasi bisa berubah-rubah, kebenaranpun bersifat relatif. Kebenaran, bagi penganut pragmatisme, tidak pernah bersifat absolut, selalu dikaitkan dengan kebutuhan dan kepentingan manusia. Kebenaran suatu pemikiran atau makna sebuah pernyataan dipengaruhi oleh konsekwensi praktis dari pemikiran dan pernyataan (Hewit, 1991). Menurut William James dalam Denzin (1992) kebenaran suatu pemikiran harus bisa diuji dan diverifikasi di lapangan. Suatu pemikiran bisa bermanfaat untuk sebuah situasi, namun tidak bermanfaat untuk situasi yang lainnya. Dengan kata lain James pun percaya bahwa kebenaran itu bersifat relatif. 2.3 Interaksi Simbolik 2.3.1 Perspektif Interaksi Simbolik Pemikiran filsafat pragmatisme banyak mempengaruhi pemikiran para teoritisi interaksi simbolik. Stephen W. Litlejhon (1996) dalam bukunya “theories of human communication” mengatakan bahwa yang memberikan dasar teori interaksi simbolik adalah George Herbert Mead, Herbert Blumer, Manford Khun, Kenneth Burke, dan Hugh Duncan. Interaksi simbolik adalah suatu perspektif sosiologis yang berakar pada filsafat pragmatisme yang berkembang pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke20. Para penganutnya percaya bahwa perspektif ini mampu menjawab dan menjelaskan pengalaman sehari-hari manusia serta setiap permasalahan yang dihadapinya (Hewitt, 1991). Interaksi simbolik adalah perspektif ilmiah untuk memahami kehidupan masyarakat dan perilaku manusia. Berdasarkan pandangan ini manusia sesungguhnya adalah sosok yang aktif dan dinamis serta goal-oriented, bukan semata-mata 18 mahkluk yang pasif dan responsif, sosok yang tidak mudah dimanipulasi dan sukar diprediksi perilakunya (Lesmana, 2001). Cooley (1864 – 1929) melalui perangkat yang dinamakannya “sympathetic imagination,” menjelaskan bahwa seseorang diyakini dapat mengamati situasi atau melihat permasalahan dari perspektif orang lain. Hal ini dilakukan dengan menempatkan diri pribadi (self) pada posisi orang lain. Konsep “sympathetic imagination” dikemudian hari dieksplorasi oleh George Herbert Mead dan melalui sedikit modifikasi, diubah menjadi konsep “taking the role of the other” atau mengambil peran orang lain, salah satu konsep penting dalam teori interaksi simbolik (Hewitt, 1991). William James (1842-1910) (dalam Denzin, 1992) secara khusus mempelajari hubungan antara mind and body. Menurut James apa yang dilakukan manusia, sebagian besar diyakini lahir dari kesadaran yang reflektif (reflective consciousness). Bagi James, kesadaran merupakan tema utama yang harus dipelajari oleh psikologi. Dua konsep lain yang dikemukakan oleh James adalah diri-pribadi (self) dan realita. Diri-pribadi diakui sebagai pusat kesadaran manusia, terdiri atas “I” dan “Me” (“Aku” dan “Diriku”), masing-masing mewakili subyek dan obyek individu. Tiap manusia sesungguhnya memiliki banyak diri-pribadi: sebagai suami atau istri di rumah, sebagai pendidik di sekolah, sebagai anggota masyarakat dan lain-lain. Konsep “Aku” dan “Diriku” kemudian dikembangkan oleh Mead dalam teorinya interaksi simbolik (Denzin, 1992). Jhon Dewey (1859 – 1952) yang konsepnya “meaning arises through communication”, adalah seorang filosof dan pendidik yang banyak menulis tentang komunikasi. Menurut Dewey, semua pengetahuan yang dimiliki manusia diperoleh dari hasil komunikasi. Bahasa memiliki kedudukan yang begitu penting, sehingga tanpa didukung oleh sistem ekspresi yang memadai, manusia mustahil bisa saling berinteraksi dan bertindak bersama. Dari proses komunikasi manusia berupaya mencari makna (meaning) suatu obyek atau peristiwa. Perilaku manusia dikatakan sukar dipahami tanpa memahami makna, nilai dan tujuan yang menyertai perilaku 19 itu. Konsep Dewey kemudian menjadi salah satu asumsi dasar teori interaksi simbolik (Lesmana,2001) 2.3.2 Pemikiran George H. Mead terhadap Perspektif Interaksi Simbolik George Herbert Mead (1863 – 1931) diakui sebagai “Bapak interaksi simbolik”. Mead belajar ilmu filsafat dan psikologi di Universitas Harvard pada 1887. Disini Ia berkenalan dengan William James yang ketika itu telah menjadi guru besar. Mead bahkan tinggal memberikan tutoring beberapa waktu lamanya di rumah James serta pada anaknya. Gelar doctor dalam ilmu physiological psychology diperolehnya dari universitas Berlin pada 1891. setelah itu Mead mengajar di Universitas Michigan, An Arbor. Di Universitas tersebut, Ia berkenalan dengan Jhon Dewey. Hubungan kerja antara kedua filosof ini sangat erat. Mead mengaku banyak ajaran Dewey yang mempengaruhi pandangannya tentang individu dan masyarakat. Sebaliknya Dewey sangat kagum atas pemikiran-pemikiran Mead. Ketika Dewey diminta menjadi ketua Departemen Filsafat Universitas Chicago, Ia pun mengajukan satu syarat, yaitu diperbolehkan membawa Mead. Maka pada tahun 1894 Mead pindah ke Universitas Chicago dan bekerja sebagai asisten Dewey. Ia mengajar Filsafat pada Universitas tersebut hingga akhir hayatnya pada 1931. Mead tidak pernah menyebut ajarannya dengan istilah “interaksi simbolik”. Adalah Herbert Blumer, salah seorang murid Mead, yang pertama kali pada 1937 memperkenalkan istilah “interaksi simbolik” pada tulisannya Man and Society yang merupakan salah satu bab dalam buku Emerson Schmid. Man and Socity terbit tiga tahun setelah buku klasik Mead berjudul Mind, Self and Society beredar. Buku tersebut sebetulnya merupakan kumpulan bahan kuliah dan ceramah Mead ketika ia mengajar di Universitas Chicago. Bahan-bahan kuliahnya itulah yang secara sistematis kemudian diterbitkan dalam bentuk buku. Masih dalam tahun yang sama, Universitas yang sama juga menerbitkan buku kedua Mead yang berjudul George Herbert Mead on Social Psychology, lagi-lagi merupakan bahan kuliah dan ceramah Mead. Buku ini diedit dan diberi kata 20 pengantar oleh Anselm Strauss, yang juga seorang interaksionis. Dalam ulasannya Strauss juga menyatakan bahwa Mead sesungguhnya tidak pernah menulis satu buku pun sepanjang hidupnya. Buku-bukunya yang diterbitkan setelah Ia meninggal diambil dari artikel-artikelnya yang berjumlah lebih dari 80 judul (Wallace dan Wolf, dalam Lesmana, 2001). George Herbert Blumer, seperti dikutip oleh Fine (1990), membedakan tiga pendekatan dalam psikologi sosial. Pertama, pendekatan yang menggunakan insting manusia dan ajaran evolusi Darwin. Kedua, pendekatan yang menitik beratkan refleksi seperti yang terdapat di dalam tulisan-tulisan para penganut psikolog behavioristik, antara lain Jhon Watson. Ketiga, sintesa dari kedua pendekatan yang menurut pengakuan Blumer didasarkan atas karya-karya gurunya, yaitu Mead. “Psikologi Darwin’” berpandangan bahwa emosi adalah keadaan psikologis, keadaan kesadaran individu, a state of consciousness, yang tidak dapat diformulasikan dalam bentuk sikap atau perilaku. Emosi secara instink sudah ada pada diri seseorang. Memang sikap adakalanya merefleksikan emosi seseorang, namun tanpa sikap dan perilaku yang mendukung, emosi tetap ada dalam diri seseorang, sebab emosi mencerminkan a state of consciousness. Dengan demikian psikologi sosial Darwin, menurut Mead, hampir identik dengan psikologi individu. Perilaku individu dipahami sebagai the inner state dari individu yang bersangkutan (Fine,1990). Para penganut behavioristik mengoreksi psikologi Darwin dengan pendekatan perilaku. Pemahaman atas individu diyakini bersumber pada pemahaman terhadap perilaku atau tindakan serta stimuli lingkungan yang mendorong lahirnya perilaku tersebut. Jhon Watson mengatakan, “behavior is learned”, dan Ia mencoba megungkap hukum-hukum yang mengatur perilaku sebagai reaksi atas stimuli (Hewitt, 1991). Psikologi sosial Mead, sebagai diakui sendiri oleh Mead, sebenarnya juga termasuk aliran behaviorisme, namun behaviorisme yang bersifat sosial. Aliran ketiga ini menekankan pentingnya pemahaman perilaku individu dalam konteks sosial. Ide sentral lain dari psikologi sosial Mead menyangkut realitas sosial yang 21 dikatakan tidak pernah statis, tetapi mengalami perubahan terus menerus. Individu dan perilakunya senantiasa dalam proses “menjadi” (becoming), tidak pernah dalam keadaan “jadi” (become) (Hewit, 1991). Perbedaan pokok lain antara behaviorisme Watson dan behaviorisme Mead ialah pengakuan Mead tentang adanya komponen perilaku yang tidak kalah penting untuk diobservasi, yaitu apa yang disebut Mead minded behavior yang tidak lain adalah kegiatan berpikir dalam diri individu, atau intra-komunikasi. Komponen ini dipandang tidak kalah penting dengan perilaku itu sendiri, walaupun adakalanya sulit diobservasi oleh orang lain. mendapat Bahkan aktifitas mind dan juga self, kemudian fokus yang lebih khusus lagi dalam pemaparan Mead tentang teori interaksi simbolik (Hewitt, 1991). Kedua buku Mead, Mind, self and Society dan George Herbert Mead on Social Psycology banyak mempengaruhi karya Blumer (1969) yang berjudul Symbolic Interactionism Perspective and Methode. Jika orang berbicara tentang teori interaksi simbolik, maka salah satu acuan utamanya adalah buku Blumer yang satu ini. Dalam buku tersebut Blummer memaparkan secara komprehensif teori interaksi simbolik, termasuk aspek metodologisnya (Charon, 1998). Setelah Blumer, teori interaksi simbolik dikembangkan terus, antara lain melalui karya-karya Manford H. Khun (teori Diri-Pribadi, Self Theory), Erving Goffman, Harold Garfinkel, Larry T.Reynolds, Norman Denzin, Anselm Strauss, Harvey A.Faberman, Jerome Manis, Bernart Meltzer, Tomatsu Shibutani, Spencer E. Cahill, Sheldon Stryker, Gary Alan Fine dan Joel M. Charon. Interaksi simbolik kemudian juga memberi inspirsasi bagi lahirnya perspektif-perspektif lain dalam sosiologi yang masih “sendirian”, seperti teori label, dramaturgi Ervin Goffman dan etnomethodologi Harold Garfinkel (Charon, 1998). Setelah 1990 timbul upaya dari kaum interaksionis untuk mengintegrasikan teori interaksi simbolik dengan ajaran pasca modern. Teori pasca-modern menolak mitos obyektivitas dalam ilmu pengetahuan, pemisahan fakta dan nilai, upaya menemukan kebenaran sejati dan hukum yang mengatur realitas ekternal. Pasca- 22 modern juga menolak apa yang disebut obdurate (realitas eksternal yang tidak terbantahkan (Lesmana, 2001). Fine (1990) secara tegas mengemukakan “Institution partly determine behavior,” bahwa perilaku seseorang sebagian ditentukan oleh institusi tempat ia berada. Sedang Denzin (1992) berpendapat “ aparatus budaya” ikut mempengaruhi tindakan individu. Bahkan Gofman, menurut Fine (1990), akhirnya bergeser dari dari seorang interaksionis menjadi strukturalis ketika ia mengemukakan “structure underlies all interactions.” Charon (1998) percaya bahwa struktur yang dimaksud dalam pernyataan Goffman bukanlah “solid structure being handed down to us,” melainkan kualitas struktur yang ada pada proses interaksi sosial. Pendapat Goffman mungkin saja berlebihan oleh kaum interaksionis, namun pendapat interaksionis-awal bahwa individu bebas dalam menentukan segala tindakannya kiranya tidak lagi menjadi pandangan resmi teori interaksi simbolik. 2.3.3 Pandangan Interaksi Simbolik Tentang Diri Secara analitik, Mead membedakan diri pribadi antara “I” dan “Me” (diterjemahkan: Aku dan Diriku). Perbedaan analitik ini sekaligus menunjukan bahwa diri-pribadi bisa dilihat sebagai suatu proses, disamping sebagai obyek. Sebagaimana diketahui suatu tindakan biasanya berawal ketika terjadi gangguan terhadap lingkungan eksternal individu. Terhadap gangguan itu, individu cendrung untuk secepatnya memberikan reaksi. Jika telepon tiba-tiba berdering, atau suatu suara keras di luar rumah, atau apa yang dikatakan oleh seseorang dinilai kurang jelas, ia tergerak untuk memberikan reaksi. Namun setelah reaksi diberikan, individu cendrung untuk mengevaluasi apa yang dilakukannya melalui minded-activity (Lesmana, 2001) Menurut Hewitt (1991), bagian awal dari suatu tindakan individu seringkali belum begitu terorganisir, karena semata-mata lahir dari kebutuhan untuk secepatnya memberikan reaksi. Tindakannya tidak jarang bersifat spontan dan impulsif. Pada 23 tahap evaluasi, individu memikirkan kembali apa yang dilakukannya. Hasilnya bisa berupa kesadaran atau kekeliruan yang dilakukannya, bahkan bisa berupa kecaman terhadap diri sendiri, tapi bisa juga penguatan karena keyakinan bahwa yang dilakukannya memang benar. “Aku” mewakili aspek tindakan yang bersifat spontan dan impulsif ; sedangkan “Diriku” mewakili aspek evaluatif dari tindakan. Menurut Mead, “Aku” mewakili kecendrungan individu yang tidak terarah, individu yang penuh dorongan. “Diriku” mewakili pandangan atau penilaian orang lain terhadap “aku.” Aku sebagaimana dilihat dan diharapkan oleh orang lain, itulah ‘Diriku’. Hal ini berarti, ketika individu mengevaluasi tindakannya, norma-norma yang berlaku di lingkungannya dan perspektif kelompok referensi (reference group) dijadikan acuannya. “Diriku” mengarahkan, sekaligus mengevaluasi, tindakan “Aku”, agar menjadi sasaran dan konform pada norma-norma yang berlaku. Dalam konteks ini, “Diriku” merupakan representasi dari wujud sosial (Lesmana, 2001). Maka diri-pribadi (self) sekaligus subyek dan obyek. “Aku” dan “Diriku” tidak henti-hentinya saling berganti posisi dalam proses interaksi-diri (selfinteraction). Pada suatu saat individu bertindak sebagai “aku,” memberikan reaksi pada obyek dan situasi yang dihadapinya. Pada saat lain, reaksi menjadi bagian dari masa lalu, sekaligus bagian dari “Diriku.” Karena reaksi menjadi obyek yang sudah lalu, individu bisa memanfaatkannya untuk bahan renungan. Seorang ibu yang memarahi anaknya yang dinilai nakal. Ia bertindak sebagai “Aku”. Setelah itu, setelah merenungkan apa yang baru saja dilakukannya, sang ibu mungkin menyesal. Mungkin ia menyadari bahwa hukuman yang dijatuhkan kepada anaknya terlalu berat. Pada saat itu, sang ibu bertindak amarahnya kepada anak menjadi obyek renungan. sebagai “Diriku”; Dalam interaksi-pribadi yang dilakukannya, ibu sebagai “Diriku” menegur ibu sebagai “Aku,” sekaligus mengoreksi tindakan “Aku” (Lesmana, 2001). Sebagai suatu proses sosial, self (diri-pribadi) mempunyai dua makna, pertama; ia terus menerus terlibat dalam dialog antara “Aku” dan “Diriku,” communication with self, atau self-interaction. Kedua self itu sendiri lahir dari pengalaman sosial, pengalaman berinteraksi dengan orang lain, communication with 24 others. Kesadaran bahwa “aku pemalas”, “aku enerjik,” atau “aku pemboros,” sebagiannya karena pengalaman interaksi sosial “Aku” dengan individu lain yang kemudian direfleksikan lagi dalam self-interaction” (Mead, 1967 dalam Lesmana 2001). Karena diri-pribadi terutama dibentuk oleh interaksi sosial yang dilakukan seseorang, dengan siapa ia berinteraksi menjadi sangat menentukan. Mead dalam hal ini memakai istilah “the sigificant other,” orang-orang yang mempunyai arti penting, yang dihormati atau menjadi panutan bagi individu dalam hal tertentu (Charon, 1998). Istilah yang dipakai oleh Shibutani (1995) (dalam Lesmana, 2001) adalah reference group. Masyarakat atau kelompok referensi berfungsi sebagai acuannya untuk bertindak. 2.3.4 Interaksi Simbolik, Inti Pandangannya Profesor Joel M, Charon (1998), seorang interaksionis lulusan Universitas Minnesota, yang kini menjadi ketua Departemen Sosiologi Moorhead State University (Minnesota), memaparkan inti pandangan teori interaksi simbolik sebagai berikut: (1) Interaksi simbolik memusatkan perhatiannya pada hakekat dan dinamika interaksi yang terjadi antar manusia. (2) Tindakan manusia (human action) dipengaruhi oleh interaksi sosial dan interaksinya dengan dirinya sendiri (self interaction). (3) Sebelum melakukan tindakan, manusia terlebih dahulu merumuskan situasi (define the situation) lingkungan yang dihadapinya. (4) Kejadian masa lalu dapat mempengaruhi kejadian saat ini, harapan dan tujuan juga dapat mempengaruhi tindakan saat ini. Namun keputusan yang diambil seseorang selalu didasarkan atas analisis dan rumusan terhadap situasi rill yang dihadapinya saat ini. (5) Berbeda dengan mahkluk hidup lainnya, manusia sesungguhnya adalah sosok yang bebas yang dalam batas tertentu dapat menentukan sendiri tindakannya. 25 Menurut Blommer dan Spradly dalam Endraswara (2001) ada beberapa premis dasar interaksi simbolik; pertama manusia melakukan berbagai hal atas makna yang diberikan oleh berbagai hal itu kepada mereka. Kedua makna berbagai hal itu berasal atau muncul dari interaksi sosial seseorang dengan orang lain. Kebudayaan sebagai sistem makna yang dimiliki bersama, dipelajari, diperbaiki, dipertahankan dan didefinisikan dalam konteks orang yang berinteraksi. Ketiga, makna ditangani atau dimodifikasi melalui satu proses penafsiran yang digunakan oleh orang dalam berbagai hal yang dia hadapi. Di samping tiga premis dasar di atas, Muhajir dalam Endraswara (2001) menambahkan tujuh proposisi,yaitu : (1) Perilaku manusia itu mempunyai makna dibalik yang mengejala, (2) Kemaknaan manusia dicari sumbernya kedalam interaksi sosial, (3) Manusia itu merumuskan proses yang berkembang secara holistik, tidak terpisahkan, tidak linier, dan tidak terduga, (4) Pemaknaan berlaku menurut penafsiran fenomenologi, yaitu sejalan dengan tujuan, dan maksud, bukan berdasarkan mekanik, (5) Konsep mental manusia berkembang secara dialektik, (6) Perilaku manusia itu wajar, kreatif dan konstruktif, bukan elementer-reaktif, (7) Perlu menggunakan metode introspeksi simpatetik, menekankan pendekatan intuitif untuk menangkap makna. 2.3.5 Prinsip-prinsip Dasar Interaksionisme Simbolik Beberapa tokoh interaksionisme simbolik merumuskan beberapa prinsip dasar teori ini, yang meliputi ; (1) Manusia dibekali kemampuan untuk berpikir (2) Kemampuan berpikir dibentuk oleh interaksi sosial (3) Dalam interaksi sosial manusia mempelajari arti dan simbol yang memungkinkan mereka menggunakan kemampuan berpikir mereka (4) Makna dan simbol memungkinkan manusia melanjutkan tindakan khusus dan berinteraksi 26 (5) Manusia mampu mengubah arti dan simbol yang mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi berdasarkan penafsiran mereka terhadap situasi (6) Manusia mampu membuat kebijakan modifikasi dan perubahan, sebagian karena kemampua mereka berinteraksi dengan diri mereka sendiri yang memungkinkan mereka menguji serangkaian peluang tindakan, menilai keuntungan, dan kerugian relatif mereka, dan kemudian memilih satu diantara serangkaian peluang itu. (7) Pola tindakan dan interaksi yang saling berkaitan akan membentuk kelompok dan masyarakat (Ritzer & Goodman, 2007). Kapasitas Berpikir Salah satu konsep dasar mengenai interaksi simbolik adalah apa yang disebut oleh George Herbert Mead (Charon, 1998) sebagai “mind, self and socity.” Mind didefinisikan sebagai the ability (of the invidual) to indicate to one’s self the response that one’s gestures indicates to others.” Mind juga dinamakan “reflecting thinking” memungkinkan individu untuk berhenti sejenak dan menunda respons kepada stimuli. Proses mental itu bertujuan untuk mengorganisir dan mengontrol respons individu kepada stimuli. Mead menjelaskan komponen perilaku yang penting untuk diobservasi, yaitu apa yang disebut Mead sebagai minded behavior, yang tidak lain adalah kegiatan berpikir dalam diri individu, atau intra-komunikasi. Komponen ini dipandang tidak kalah penting dengan perilaku itu sendiri, walaupun adakalanya sulit diobservasi. Intra-komunikasi dalam diri individu dimungkinkan karena tiap-tiap individu memiliki self (diri-pribadi). Self merupakan bagian dari lingkungan yang menjadi obyek perbuatan seseorang. Manusia pun bisa menilai perbuatannya, atau marah terhadap diri sendiri, menyesali tindakan sendiri atau mengakui bahwa perbuatannya salah. Singkat kata ia bisa mengenal diri sendiri (make indication to himself). Bahkan ia bisa berdialog dengan diri sendiri yang dinamakan self-interaction (interaksi pribadi) atau minded activity (berpikir) (Charon, 1998) 27 Intra-komunikasi menurut Mead, tidak berbeda dengan proses berkomunikasi dengan orang lain. Hanya saja, intra-komunikasi berlangsung dalam diri sendiri, sehinggga orang lain tidak dapat memahaminya, namun Mead menolak tudingan psikologi diobservasi. behavioristik yang mengatakan bahwa kegiatan berpikir tidak dapat Menurut Mead, apa yang dipikirkan seseorang bisa saja dituturkan kepada orang lain, sehingga dapat diobservasi. Mead menamakan covert behavior (perilaku tersembunyi atau tidak kasat mata) dan overt behavior (perilaku lahiriah atau kasat mata). Masing-masing untuk aktifitas berpikir dan bentuk tindakan (perilaku) yang dihasilkannya. Masalah perilaku tidak kasat mata sama sekali tidak disinggung dalam psikologi behavioristik yang sering juga disebut psikologi obyektif, padahal proses berpikir menjadi kualitas paling esensial bagi manusia. Mead percaya bahwa pengingkaran atas eksisitensinya sama dengan mengidentifikasikan manusia dengan benda mati (Charon, 1998). Teori interaksi simbolik memusatkan perhatian terutama pada makna dan simbol dari tindakan dan interaksi manusia. Perilaku tersembunyi atau proses berpikir melibatkan simbol dan makna. Perilaku lahiriah adalah perilaku sebenarnya yang dilakukan oleh seorang aktor. Beberapa perilaku tidak melibatkan perilaku tersembunyi (karena kebiasaan atau tanggapan tanpa pikir terhadap rangsangan eksternal). Tetapi, sebagian besar tindakan manusia melibatkan kedua jenis perilaku itu (Ritzer & Goodman, 2007). Teori interaksiaksionisme simbolik tidak membayangkan pikiran sebagai benda, sebagai sesuatu yang memiliki struktur fisik, tetapi lebih membayangkan sebagai proses yang berkelanjutan. Sebagai sebuah proses yang dirinya sendiri merupakan bagian dari proses yang lebih luas dari stimuli dan respon. Pikiran, menurut interaksionisme simbolik, sebenarnya berhubungan dengan setiap aspek lain termasuk sosialisasi, arti, simbol, diri, interaksi dan juga masyarakat (Ritzer, dan Goodman, 2007) Manusia memiliki kapasitas untuk berpikir, kapasitas ini dibentuk dan diperhalus dalam proses interaksi sosial, pandangan ini menyebabkan teoritisi interaksionisme simbolik memusatkan perhatian pada bentuk khusus interaksi sosial 28 yakni sosialisasi. Kemamapuan manusia untuk berpikir dikembangkan sejak dini dalam sosialisasi anak-anak dan diperhalus selama sosialisasi di masa dewasa. Sosialisasi adalah proses dinamis yang memungkinkan manusia mengembangkan kemampuan untuk berpikir, untuk mengembangkan cara hidup manusia itu sendiri. Sosialisasi bukanlah semata-mata proses atau arah dimana aktor menerima informasi, tetapi aktor menyusun dan menyesuaikan informasi itu dengan kebutuhan mereka sendiri (Manis &Melzer, dalam Ritzer & Goodman, 2007). Interaksi Interaksi berarti aksi atau tindakan seseorang yang senantiasa memper- hatikan aksi atau tindakan orang lain yang ditujukan kepadanya, action that takes account one other (Charon,1998), atau seperti yang dikatakan oleh George Simmel dalam Lesmana (2001), action which is mutually determined. Interaksi berarti seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh orang lain, tetapi ia pun senantiasa mempengaruhi orang lain. Interaksi juga berarti tindakan seseorang dibangun atas dasar tindakan orang lain yang ditujukan terhadapnya didalam situasi tertentu. Ini berarti individu juga senantiasa memperhatikan dan menginterpretasikan tindakan mitra interaksinya sebelum bertindak (Lesmana, 2001). Interaksi adalah proses diperlihatkan. dimana kemampuan berpikir dikembangkan dan Semua jenis interaksi tidak hanya interaksi selama sosialisasi, memperbesar kemampuan kita untuk berpikir. Dalam kebanyakan interaksi, aktor harus memperhatikan orang lain dan menentukan kapan dan bagaimana cara menyesuaikan aktivitasnya terhadap orang lain, dan interaksi simbolik memerlukan proses mental itu dengan kebutuhan mereka sendiri (Ritzer dan Goodman 2007). Charon (1998) mendefenisikan interaksi sebagai; “aksi sosial bersama individu-individu yang berkomunikasi satu sama lain mengenai apa yang mereka lakukan dengan mengorientasikan kegiatannya kepada dirinya masing-masing (mutual action individuals, communicating to each other in what they do orienting their acts to each other).” 29 Jhon Dewey mengemukakan bahwa ”meaning arise through communication.” George Herbert Mead kemudian memperjelas pendapat Dewey dengan mengatakan; ” meaning is content of an object which is dependent upon the relation of an organism or group of “communication” organism to it.” Dewey menggunakan istilah sedangkan Mead menggunakan istilah “relation.” sama-sama menunjukan mutlaknya interaksi sosial Keduanya untuk terbentuknya sebuah makna obyek. Pemahaman individu atas makna timbul dari interaksinya dengan lingkungan fisik dan sosial. Interaksi mengandung arti bahwa para pelaku memperhatikan satu sama lain dan senantiasa saling menginterpretasikan pesan yang disampaikan (Lesmana, 2001). Ballis-Lal dalam Lesmana (2001) menjelaskan bahwa tindakan seseorang dibangun atas dasar tindakan mitra-interaksinya melalui proses interpretasi. Langkah yang diambil seorang aktor bergantung pada langkah yang diambil atau akan diambil oleh aktor lain. Itulah yang dimaksud dengan interdependensi antarinteraktan. Dari hasil interaksi sosialnya, individu juga menyadari adanya kebudayaan (the generalized other), istilah yang dipergunakan diperhatikan, bahkan ditaati dalam interaksi sosial. oleh Mead yang perlu Dikatakan oleh Mead “the matured self arises when a generalized other is internalized so that the community exercise control over the conduct of its individual members.” Hanya dengan menghayati dan melaksanakan kebudayaan yang berlaku dalam masyarakat tempat terjadinya interaksi, individu dikatakan bisa mencapai tingkat kedewasaan yang matang (Charon, 1998). Kecuali dipengaruhi oleh interaksi dengan individu lain, tindakan individu juga dipengaruhi oleh interaksi dengan diri-pribadi (self) sebelum mengambil keputusan, individu berdialog dengan diri pribadi mengenai obyek yang dihadapi. Komunikasi dan dialog dengan diri pribadi menjadi sasaran untuk menginterpretasi makna obyek. Konsep diri, pengalamannya terhadap obyek di masa lampau, kepentinganya terhadap obyek tersebut, dan faktor resiko menjadi bahan penting dalam proses interaksi dengan self (Charon, 1998) 30 Simbol Teoritisi interaksi simbolik membayangkan bahasa sebagai sistem simbol yang sangat luas. Kata-kata adalah simbol karena digunakan untuk menggantikan sesuatu yang lain. Kata-kata membuat seluruh simbol yang lain menjadi tepat. Tindakan obyek, dan kata-kata lain eksis dan hanya mempunyai makna karena telah dan dapat dideskripsikan melalui penggunaan kata-kata (Ritzer & Goodman, 2007). Simbol adalah aspek penting yang memungkinkan orang untuk bertindak menurut cara-cara khas yang dilakukan manusia. Karena simbol, manusia tidak memberikan respon secara pasif terhadap realitas yang memaksakan dirinya sendiri, tetapi secara aktif menciptakan dan mencipta ulang dunia tempat mereka berperan (Charon, 1998). Ritzer dan Goodman (2007) menambahkan kegunaan umum dari simbol dan bahasa, khususnya yang mempunyai sejumlah fungsi bagi aktor : 1. Simbol memungkinkan orang menghadapi dunia material dan dunia sosial yang memungkinkan mereka untuk mengatakan, menggolongkan dan mengingat obyek yang mereka jumpai di situ. Dengan cara ini manusia mampu menata kehidupan, agar tidak membingungkan. Bahasa memungkinkan orang mengatakan, menggolongkan dan terutama mengingat secara lebih efisien ketimbang yang dapat mereka lakukan dengan menggunakan jenis simbol lain seperti kesan bergambar. 2. Simbol meningkatkan kemampuan manusia untuk memahami lingkungan. Dari pada dibanjiri oleh banyak stimuli yang tak dapat dibeda-bedakan, aktor dapat berjaga-jaga terhadap bagian lingkungan tertentu ketimbang terhadap bagian lingkungan yang lain. 3. Simbol meningkatkan kemampuan untuk berpikir. Jika sekumpulan simbol bergambar hanya dapat meningkatkan kemampuan berpikir secara terbatas, maka bahasa akan dapat lebih mengembangkan kemampuan ini. Dalam artian ini, berpikir dapat dibayangkan sendiri. sebagai berinteraksi secara simbolik dengan diri 31 4. Simbol meningkatkan kemampuan untuk menyelesaikan berbagai masalah, kemampuan ini mengurangi peluang berbuat kesalahan yang merugikan 5. Simbol memungkinkan aktor mendahului waktu, ruang dan bahkan pribadi mereka sendiri. Melalui penggunaan simbol, aktor dapat membayangkan kehidupan seperti apa dimasa lalu, atau kemungkinan hidup dimasa depan. Lagi pula, aktor dapat secara simbolik mendahului pribadi mereka sendiri dan membayangkan seperti apa kehidupan ini dilihat dari sudut pandang orang lain. Inilah konsep teoritis interaksinisme simbolik yang terkenal: mengambil peran orang lain. 6. Simbol memungkinkan orang untuk membayangkan realitas metafisik seperti surga dan neraka. 7. Simbol memungkinkan orang menghindari diperbudak oleh lingkungan mereka. Mereka dapat lebih aktif – mengatur sendiri mengenai apa yang akan mereka kerjakan. Makna Makna bukan berasal dari proses mental yang menyendiri, tetapi berasal dari interaksi. Manusia mempelajari simbol dan makna di dalam interaksi sosial. Manusia menanggapi simbol dengan cara berpikir. Tanda-tanda mempunyai artinya sendiri. Simbol adalah obyek sosial yang dipakai untuk merepresentasikan (atau menggantikan) apapun yang disetujui orang yang akan mereka representasikan (Charon, 1998). Obyek sosial diartikan sebagai “anything that becomes involved in a social interaction” (Shibutani dalam Lesmana 2001). Jangkauan obyek sosial amat luas, termasuk juga diri (self) ketika terjadi proses intra-komunikasi atau proses berdialog dengan diri sendiri. Obyek diyakini tidak memiliki makna apa-apa. Manusialah yang memberikan makna tertentu pada obyek yang dijumpainya. Obyek-obyek yang dimaksud bisa berbentuk fisik (benda mati, lingkungan), orang, peristiwa atau yang bersifat abstrak seperti gagasan dan ideologi. Memberikan makna berarti memahami apa arti sebuah simbol dari obyek, kemudian bertindak atas dasar pemahaman itu. Makna adalah apa yang dipikirkan , 32 ketika seseorang memikirkan seekor kuda, apa yang dirasakan ketika ia membayangkan sebuah ujian yang sulit, apa yang dinginkan ketika berkhayal menjadi orang kaya. Makna berfungsi menjembatani individu ketika ia berpikir, merasa dan menginginkan sesuatu, dengan obyeknya (Lesmana, 2001). Berdasarkan pengertian obyek sosial tersebut, interaksi simbolik mengajukan tiga asumsi dasar yang berkaitan dengan itu, yaitu; Pertama, manusia bertindak terhadap suatu obyek berdasarkan pemahaman makna obyek tersebut bagi dirinya, atau berdasarkan definisi situasi tempat obyek tersebut berada. Kedua, makna obyek, atau definisi situasi obyek terbentuk oleh interaksi sosial, khususnya interaksi dengan significant others, yaitu orang-orang yang dianggap penting untuk dijadikan referensi untuk satu masalah tertentu. Ketiga, makna obyek tidak konstan, tetapi dapat berubah dari waktu ke waktu melalui proses interpretasi, proses pemahaman kembali makna dan pemahaman kembali situasi (Charon, 1998). Definisi Situasi Analisis dan pemahaman situasi dalam teori interaksi simbolik dinamakan “definisi situasi.” Menurut Charon (1998), humans do not sense their environment directly but instead define their situation as they go along in their action.” Manusia bertindak menurut hasil rumusan situasi yang dibuatnya. Aktor memberikan respons kepada setiap sinyal (cues) yang dijumpai, menganalisisnya dalam definisi situasi, dan bertindak atas dasar konstruksi definisi tersebut. Definisi situasi adalah hasil dari proses eksplorasi untuk mengetahui segala opsi perilaku yang ada dalam situasi tertentu, serta tindakan yang perlu diambil dalam mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan tersebut. Definisi situasi bersifat kognitif, menyangkut pengetahuan mengenai posisi seseorang di dalam waktu dan ruang yang dapat membatasi cara dan pilihan untuk bertindak (Hewit, 1991). Begitu pentingnya defenisi situasi dalam tindakan manusia, sehingga W.I Thomas dan Doroty Thomas (Charon, 1998) berpendapat “ if men define situation as real, they are real in their consequences”. Jika seseorang telah mendefinisikan situasi sebagai sesuatu yang nyata, maka akibatnyapun adalah nyata. Jika seseorang 33 melihat situasi A dapat menimbulkan kejadian B, dan kebenaran atas defenisi situasi A yang dilakukannya tidak diragukan, maka ia percaya bahwa B pasti akan terjadi. Realita bagi seseorang pada hakekatnya sama dengan definisi situasi yang dibuatnya. Definisi situasi diyakini menjadi kuasa-prima lahirnya tindakan. Thomas mengetahui bahwa sebagian besar definisi kita tentang situasi telah disediakan oleh masyarakat untuk kita. Thomas menekankan bahwa yang menjadi sumber definisi sosial terutama keluarga dan komunitas (Charon, 1998). Charon mengakui bahwa menganalisis dan merumuskan situasi mudah. tidaklah Banyak faktor ikut mempengaruhinya; obyek sosial yang ada, tujuan, perspektif, norma, kelompok referensi, pengalaman masa lalu, terhadap apa yang sedang terjadi, dan penilaian semua harus diperhatikan dengan seksama. Definisi situasi itu harus dikonstruksi, bukan sesuatu yang sudah ada sehingga dengan mudah bisa diperoleh siapapun. Konstruksi bisa dilakukan seorang diri, atau bersama interaktan lain dalam proses interaksi. Dari sekian banyak faktor yang mempengaruhi perumusan situasi, tujuan (goals) dan perspektif diyakini dua faktor paling utama. Perbuatan manusia, baik secara individu maupun kolektif, umumnya berorientasi pada tujuan atau perwujudan atas tujuan tertentu. Bagaimana tujuan dikaitkan dengan situasi yang dihadapi, perspektif memegang peran, khususnya perspektif yang dianut oleh referensi dan kelompok yang berkaitan dengan posisinya (Charon, 1998). Perspektif digambarkan sebagai lensa untuk memfilter dan menginter-pretasikan realita. Tingkat pengetahuan mengenai orang lain dan tujuan yang hendak dicapainya serta kekuasaan yang dimiliki orang tersebut terhadap dirinya juga faktor-faktor yang dapat mempengaruhi ketepatan definisi situasi (Hewitt, 1991). Membuat Pilihan (Keputusan) Berdasarkan kemampuan memaknai simbol-simbol dari suatu obyek dan mendefinisikan situasi obyek tersebut, maka manusia dapat membuat pilihan tindakan yang akan mereka lakukan. Orang tidak harus menyetujui arti dan simbol yang dipaksakan terhadap mereka. Berdasarkan penafsiran mereka sendiri, manusia 34 mampu membentuk arti baru dan deretan arti baru terhadap situasi. Jadi menurut teori interaksionisme simbolik, aktor setidaknya mempunyai sedikit otonom. Mereka tidak semata-mata sekedar dibatasi atau ditentukan; mereka dapat membuat pilihan yang unik dan bebas. Begitu pula mereka mampu membangun kehidupan dengan gaya yang unik (Ritzer & Goodman, 2007). Aksi dan Interaksi Dari teori interaksi simbolik akhirnya memberikan sebuah teori aksi (a theory of action). Teori aksi dan reaksi dapat digambarkan seperti diagram berikut ini (Gambar 1). Teori aksi ini bisa dipakai untuk memperoleh pemahaman tentang tindakan individu atau sebab-sebab tindakan (action) individu. Teori tersebut menyebutkan bahwa aksi atau tindakan seseorang terhadap suatu obyek sosial selalu didasarkan atas keputusan yang diambilnya saat itu yang dipengaruhi oleh pemaknaannya terhadap obyek atau definisi situasi dari obyek itu. Tindakan dapat berubah, apabila keputusan yang diambil berubah yang diakibatkan oleh perubahan definisi situasi yang dihadapinya. Perubahan definisi situasi dimungkinkan karena perubahan hasil interaksi yang dialaminya dengan lingkungan dan significant others. 35 Obyek Sosial Interaksi dengan diri sendiri (self-interaction) tujuan perspektif pengalaman Interaksi dengan orang lain (Social- interaction) significant others refference group Definisi Situasi Keputusan Tindakan Gambar 1. Model “AKSI” Charon (1998) 2.4 Hasil Studi Kewirausahaan, Interaksi Simbolik dan Kebaruan Penelitian Beberapa kajian terkait yang dianggap memiliki kesamaan dengan studi ini, baik berdasarkan obyek kajian (entrepreneurship) maupun pendekatan teori yang digunakan (interaksi simbolik), berikut ini disajikan dengan tujuan untuk menjelaskan kebaharuan yang ditawarkan oleh studi ini. Kajian Pambudy (1999), menjelaskan bahwa: (a) perilaku berwirausaha dipengaruhi oleh perilaku komunikasi, yaitu dalam hal pemilihan media komunikasi, partisipasi sosial, keterdedahan media massa, kontak antara sesama peternak, aktivitas peternak dalam kelompok, dan kontak dengan penyuluh pada taraf yang berbeda. Selain itu, juga dipengaruhi oleh karakteristik wirausahawan seperti; umur, 36 tanggungan keluarga, lama berternak, pendidikan dan penghasilan peternak. (b) perilaku berwirausaha dibentuk dari tiga aspek, yaitu pengetahuan berwirausaha, sikap mental berwirausaha, dan keterampilan berwirausaha. (c) perilaku berwirausaha dipengaruhi oleh fungsi agribisnis, baik itu pada tingkat off-farm hulu, on-farm dan off-farm hilir. Kajian Suparta (2001) dalam disertasinya menyimpulkan: (1) 90,30 persen peternak mempunyai sifat kewirausahaan tinggi, yang terbentuk karena pengaruh peubah-peubah yang dapat dialami dan atau dirasakan langsung dalam aktivitas kehidupan sehari-hari, seperti; keterampilan sistem nilai masyarakat lokal, persepsi, penyediaan sapronak, dan pemasaran hasil. (2) semua faktor internal peternak berpengaruh terhadap terbentuknya perilaku agribisnis terutama faktor keterampilan dan sifat kewirausahaan, sedangkan (3) faktor-faktor eksternal berpengaruh terhadap terbentuknya perilaku peternak secara tidak langsung melalui; pengetahuan, persepsi, sikap, keterampilan, motivasi ekternal, dan sifat kewirausahaan. Seperti terlihat dari kajian-kajian di atas, semua peneliti menggunakan paradigma positivistic-scientific (ilmiah). Hal lain yang dapat disimak adalah; penelitian-penelitian tersebut lebih banyak melihat dan didasari oleh teori-teori tentang “faktor apa yang menggerakkan orang berperilaku tertentu (isi).” Penelitianpenelitian tersebut menurut Kast dan Rosenzweig (1995) didasari oleh teori yang fokus pada variabel spesifik yang mempengaruhi perilaku, seperti kondisi internal dan kondisi eksternal yang bersangkutan. Sementara penelitian ini lebih fokus pada keinginan untuk melihat proses terjadi suatu perubahan perilaku seseorang yaitu dalam hal pembentukan dan atau pengembangan jiwa kewirausahaan dari perspektif paradigma kualitatif-naturalistik (alamiah). Studi ini menggunakan metode penelitian kualitatif yaitu fenomenologi. Studi fenomenologi adalah studi yang melihat dan menyajikan realitas sebagaimana tampaknya tanpa memaksakan nilai-nilai atau ukuran-ukuran tertentu didalamnya. Dengan metode tersebut studi ini melihat, bagaimana sesungguhnya realitas perilaku kewirausahaan dihasilkan (diproses). Teori-teori interaksi simbolik, adalah salah satu teori yang ikut memperkaya studi fenomenologi ini. 37 Mulyana (2001) menjelaskan bahwa, akar pemikiran interaksi simbolik mengasumsikan realitas sosial sebagai proses dan bukan sebagai sesuatu yang statis. Artinya, masyarakat dilihat sebagai sebuah interaksi simbolik bagi individu-individu yang ada di dalamnya. Pada hakekatnya tiap manusia bukanlah ’barang jadi’ melainkan barang yang ’akan jadi’, karenanya teori interaksi simbolik membahas pula konsep mengenai ’diri’ (self) yang tumbuh berdasarkan ’negosiasi makna’ dengan orang lain. Dari penelusuran pada beberapa kepustakaan, teori dan konsep interaksi simbolik banyak digunakan oleh para antropolog atau para sosiolog untuk melihat kasus-kasus sosial budaya (peradaban) dalam suatu masyarakat. Untuk kasus-kasus yang lebih sempit seperti perubahan sifat dan ciri individu dalam suatu komunitas bisnis, belum ditemukan. Penggunaan pendekatan teori interaksi simbolik untuk melihat proses pembentukan entrepreneurship adalah kebaharuan lain dari penelitian ini. Dua kajian yang menggunakan teori interaksi simbolik adalah Studi Dramaturgis Komunikasi Politik di DPR RI dan Manajemen Komunikasi Pengemis, yang kedua tulisan ini terdapat dalam buku Metode Penelitian Komunikasi Deddy Mulyana (2007). ”Studi Dramaturgis Komunikasi Politik di DPR RI” merupakan disertasi Arrianie (2010) menyimpulkan bahwa para aktor politik di DPR RI sangat dinamis, mereka memiliki motif yang lebih bersifat individual dalam memainkan peran politik mereka di DPR RI, bukan motif yang berkaitan dengan kepentingan partai politik yang mereka wakili, apalagi dengan kepentingan rakyat banyak. Untuk itu mereka kerap melakukan pengelolaan kesan (impression management) untuk mewujudkan kepentingan mereka. Panggung politik adalah sebuah dunia yang kental dengan manipulasi diri. Makna pesan politik yang sama dalam suatu fraksi boleh jadi dimaknai berbeda oleh politisi dari fraksi yang sama, tapi boleh jadi dimaknai sama oleh politisi dari fraksi yang berbeda. Terdapat kekacauan konsepsi pada panggung politik. Peristiwa yang seharusnya terjadi di panggung belakang (back stage), bisa terjadi di panggung 38 depan (front stage) atau sebaliknya. Apa yang terjadi di pangung depan bagi individu atau kelompok politisi (baik dalam arti partai, fraksi atau komisi) boleh jadi merupakan panggung belakang bagi individu atau kelompok politisi lainnya, atau dapat juga terjadi sebaliknya. Ditemukan pula panggung tengah yang menjadi ajang kompromi politik, yang berada di luar atau mengantarai dua panggung tersebut. Studi ”Manajemen Komunikasi Pengemis” Engkus Kuswarno (dalam Mulyana 2007) antara lain menjelaskan: apabila pengemis diberi sejumlah identitas, maka pengemis merupakan subyek yang melakukan suatu tindakan sosial; pengemis adalah aktor kehidupan; pengemis menciptakan dunianya sendiri; pengemis memiliki hidup yang penuh dengan makna simbolik; dan pengemis memerankan panggung sebuah drama kehidupan serta pengemis hidup komunikasi interpersonal, intrapersonal dengan kemampuan mengelola maupun sistem dimana mereka berada. Interaksi di antara sesama pengemis dan pengemis dengan orang lain yang bukan pengemis, dibangun oleh sistem simbol atau lambang dengan makna tersendiri. Secara intersubyektif pengemis memilih lambang yang dapat berinteraksi dalam sistem sosial mereka. Pengemis berupaya menampilkan dirinya seperti apa yang mereka kehendaki. Mereka wujudkan hal itu dalam bentuk verbal maupun non verbal untuk memberikan kesan yang diharapkan bagi lawan mereka berinteraksi. Mereka menampakkan panggung depan (front stage) di hadapan publik (calon dermawan) yang berbeda dengan panggung belakang (back stage) atau kehidupan keseharian tanpa kehadiran calon dermawan. Dalam konteks tersebut, pengemis memiliki kemampuan untuk mengelola komunikasi mereka didasarkan atas nilai komponen masing-masing (impression management), baik secara intrapersonal, interpersonal maupun sistem dalam arti luas. Kedua kajian di atas lebih banyak melihat bagaimana aktor mengelola kesan (impression management) untuk berbagai alasan. Keduanya lebih banyak bersandar pada teori dramaturgis yang dipopulerkan oleh Erving Gofman dan merupakan varian dari teori interaksi simbolik. 39 Berbeda dengan kajian-kajian tersebut, penelitian ini lebih ditekankan pada keinginan untuk melihat bagaimana aktor memaknai atau menginterpretasikan hubungan atau interaksinya dengan lingkungan sosial (social interaction) terutama dengan orang-orang yang dianggap berpengaruh secara signifikan (significant others). Proses pemaknaan atau penginterpretasian itu sendiri dalam perspektif teori interaksi simblik adalah suatu proses berpikir, atau dengan kata lain disebut interaksi dengan dirinya sendiri (self interaction). Tidak semua orang lain mempunyai pengaruh yang sama terhadap diri kita. Ada yang paling berpengaruh, yaitu orang-orang yang dekat dengan diri kita. George Herbert Mead menyebut mereka significant others – orang lain yang sangat penting. Ketika kita masih kecil, mereka adalah orang tua kita, saudara-saudara kita, dan orang yang tinggal satu rumah dengan kita. Richard Dewey dan W. J. Humber menamainya affective others – orang lain yang dengan mereka kita mempunyai ikatan emosional. Dari merekalah kita secara perlahan-lahan membentuk konsep diri kita (Rakhmat, 2005). Dari hasil interaksi sosialnya, individu juga menyadari adanya kebudayaan (the generalized other), istilah yang dipergunakan diperhatikan, bahkan ditaati dalam interaksi sosial. oleh Mead yang perlu Dikatakan oleh Mead “the matured self arises when a generalized other is internalized so that the community exercise control over the conduct of its individual members.” Hanya dengan menghayati dan melaksanakan kebudayaan yang berlaku dalam masyarakat tempat terjadinya interaksi, individu dikatakan bisa mencapai tingkat kedewasaan yang matang (Charon, 1998). Selanjutnya Rakhmat (2005) menjelaskan bahwa dalam perkembangannya, significant others meliputi semua orang yang mempengaruhi perilaku, pikiran, dan perasaan kita. Mereka mengarahkan tindakan kita, membentuk pikiran kita, dan menyentuh kita secara emosional. Orang-orang ini boleh jadi masih hidup atau sudah mati. Ketika kita tumbuh dewasa, kita mencoba menghimpun penilaian semua orang yang pernah berhubungan dengan kita. Pandangan diri kita terhadap keseluruhan pandangan orang lain terhadap kita disebut generalized others. Memandang diri kita 40 seperti orang-orang lain memandangnya, berarti mencoba menempatkan diri kita sebagai orang lain. Kita mengambil peran orang lain (role taking) yang amat penting artinya dalam pembentukan konsep diri. Dalam bermasyarakat, manusia pasti menjadi anggota dari suatu kelompok. Setiap kelompok pasti mempunyai norma-norma tertentu. Ada kelompok yang secara emosional mengikat kita, dan berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri kita. Ini disebut kelompok rujukan. Dengan melihat kelompok ini, orang mengarahkan perilakunya dan menyesuaikan dirinya dengan ciri-ciri kelompoknya. Kalau kita memilih kelompok rujukan tertentu, maka kita akan menjadikan norma-norma dalam kelompok ini sebagai ukuran perilaku kita.