Case Study Interaction Of Owner – Manage

advertisement
9
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kewirausahaan (Entrepreneurship)
Entrepreneurship yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai
kewiraswastaan atau kewirausahaan adalah kondisi kejiwaan seseorang yang
memiliki semangat, kemauan, kemampuan dan kekuatan untuk memindahkan segala
sumberdaya ekonomi dari kawasan poduktivitas rendah ke kawasan produktivitas
tinggi dengan tambahan hasil yang lebih besar atau lebih menguntungkan. Orang
yang memiliki jiwa kewirausahaan disebut entrepreneur (Baptiste Say dalam Riyanti,
2003).
Di Amerika Serikat, entrepreneur seringkali diartikan sebagai seseorang
yang memulai bisnis baru, kecil dan milik sendiri. Namun menurut Drucker (1985),
tidak semua bisnis baru dan kecil adalah wiraswasta atau mewakili kewiraswastaan.
Suami istri yang membuka sebuah restoran Padang yang baru disebuah kawasan
pastilah menghadapi resiko, lalu apakah mereka itu wiraswastawan ?, apa yang
mereka lakukan
adalah yang telah
berulang kali mereka lakukan sebelumnya.
Mereka mengadu untung dengan makin banyaknya orang yang suka makan di luar
rumah di daerah itu, tetapi mereka sama sekali tidak menciptakan kepuasan baru atau
permintaan konsumen yang baru.
Dilihat dari perspektif ini, menurut Drucker
mereka bukanlah “wiraswastawan” (entrepreneur), sekalipun usaha mereka itu juga
merupakan bisnis baru.
Namun usaha McDonald’s adalah kewiraswastaan, ia memang tidak
menciptakan sesuatu. Produk akhir yang dihasilkannya, juga bisa dibuat oleh setiap
restoran Amerika yang biasa-biasa saja sebelum itu,
tetapi dengan menerapkan
konsep manajemen dan teknik manajemen (yaitu dengan bertanya “nilai” apa yang
paling berharga bagi pelanggan), standarisasi produk, perancangan proses dan
peralatan, dan dengan mendasarkan pelatihan pada analisis pekerjaan yang akan
dilakukan serta menetapkan standar yang diinginkan, maka McDonald’s
secara
10
drastis meningkatkan hasil dari sumberdaya yang ada, dan menciptakan pasar serta
pelanggan baru. Inilah yang dinamakan kewiraswastaan (entrepreneurship).
Menurut Drucker; entrepreneur adalah orang yang selalu mencari perubahan,
menanggapinya dan memanfaatkannya sebagai peluang. Entrepreneur adalah orang
yang memindahkan sumberdaya dari daerah yang produktivitas dan hasilnya rendah,
ke daerah yang produktivitas dan hasilnya lebih tinggi. Drucker memberikan contoh
seorang Bankir. Sebagai entrepreneur tugasnya adalah memobilisasi uang orang lain
untuk dialokasikan pada berbagai bidang yang produktivitasnya lebih tinggi sehingga
hasilnya lebih besar.
Semua Bankir sebelumnya adalah pemilik.
Bila mereka
membangun jalan kereta api, mereka membiayainya dengan uang sendiri. Sebaliknya
Bankir wiraswasta tidak berkeinginan untuk menjadi pemilik, ia mendapatkan
keuntungan dengan cara menjual kepada umum saham dari perusahaan yang mereka
biayai pada awal pertumbuhannya. Ia mendapat dana investasi dari masyarakat.
Dari contoh di atas, dapat dikatakan bahwa ciri yang paling penting dari
seorang entrepreneur adalah inovator. Menurut Drucker inovasi merupakan alat
spesifik
entrepreneurship.
Inovasi adalah tindakan yang memberi sumberdaya
kekuatan dan kemampuan baru untuk menciptakan kesejahteraan. Inovasi
menciptakan sumberdaya. Tidak ada sesuatu pun yang menjadi sumberdaya sampai
orang menemukan manfaat dari sesuatu yang terdapat di alam sehingga memberinya
nilai ekonomis. Inovasi tidak selalu bersifat teknis, juga tidak selalu berupa “benda.”
Menurut Drucker, hanya beberapa inovasi teknis yang bisa menandingi dampak
inovasi sosial.
Salah satu contoh yang paling menarik dari inovasi sosial dan arti pentingnya
dapat dilihat pada Jepang modern. Jepang bukanlah pembaharu (inovator) dalam hal
teknologi dan ilmu pengetahuan, melainkan peniru (imitator). Keberhasilan mereka
berdasarkan pada inovasi sosial. Lembaga sosial yang didirikan di Jepang, harus
bersifat “Jepang” tetapi “modern.”
Harus dijalankan oleh orang Jepang tetapi
melayani perekonomian yang bersifat “Barat” dan sangat teknis. Teknologi dapat
diimpor dengan mudah dengan resiko budaya yang minimum. Sebaliknya lembaga
sosial membutuhkan akar budaya untuk dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.
11
Jepang telah membuat keputusan secara sadar satu setengah abad yang lalu, untuk
memutuskan sumberdaya yang ada pada mereka untuk inovasi sosial, untuk meniru,
mengimpor serta menyadap inovasi dalam bidang teknik dengan sukses yang
mengejutkan. Ini berarti bahwa inovasi sosial jauh lebih penting dari pada inovasi
teknis dan yang bersifat “kebendaan.”
Jika orang Inggris memaknai entrepreneurship sebagai bisnis kecil dan baru,
maka orang Jerman menafsirkannya sebagai kemampuan dan kepemilikan, sesuatu
yang bahkan lebih menyesatkan. Istilah entrepreneur secara harfiah dalam bahasa
Jerman adalah orang yang memiliki dan sekaligus menjalankan sendiri usahanya
(dalam bahasa inggris disebut “owner manager”). Dan kata itu digunakan terutama
untuk membedakan kata “Boss” yang memiliki perusahaan dengan kata profesional
manajer untuk hired hand (tenaga yang digaji).
Entrepreneur juga bukan kapitalis, sekalipun tentu saja mereka juga perlu
modal untuk semua aktivitas ekonomi (dan sebagian untuk aktivitas non-ekonomi
mereka). Mereka juga bukan penanam modal (investor). Tentu saja mereka juga
menanggung resiko, tetapi resiko juga ditanggung oleh setiap orang yang melibatkan
dirinya dalam setiap jenis kegiatan ekonomi. Unsur pokok dari kegiatan ekonomi
adalah kegiatan sumberdaya sekarang untuk harapan masa yang akan datang, dan hal
itu berarti ketidakpastian dan resiko. Wiraswastawan juga bukan seorang majikan,
tetapi bisa jadi, dan bahkan seringkali seorang pekerja biasa atau seorang yang
bekerja sendiri dan seluruhnya dilakukan sendiri (Drucker, 1985).
Jadi entrepreneurship menurut Drucker, mempunyai cirinya sendiri, baik dari
individu maupun lembaga.
Ciri itu bukan suatu gejala kepribadian seseorang.
Selama tiga puluh tahun Drucker mengamati orang dengan kepribadian dan
tempramen yang amat berbeda satu sama lain, berhasil dengan baik
sebagai
wiraswastawan. Tetapi yang jelas, orang yang selalu menghendaki kepastian tidak
akan dapat menjadi entrepreneur yang baik, bahkan juga tidak akan bisa berhasil
dalam segala macam aktivitas lain.
Sebaliknya setiap orang yang memiliki
keberanian mengambil keputusan dapat belajar menjadi wiraswastawan dan
12
berperilaku wiraswastawan. Maka kewiraswastaan lebih merupakan perilaku dari
pada gejala kepribadian, dan dasarnya terletak pada konsep dan teori.
Meredith et al.(2001) menjelaskan tentang ciri-ciri dan sifat-sifat seorang
entreprenenur yang selengkapnya disajikan pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1 Ciri dan sifat entrepreneur
Nomor
Ciri-ciri
1
Percaya diri
2
Berorientasi tugas dan hasil
3
Pengambil resiko
4
Kepemimpinan
5
Keorisinilan
6
Berorientasi ke masa depan
Watak
a.
b.
c.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
a.
b.
a.
b.
c.
a.
b.
c.
d.
e.
Memiliki keyakinan
Ketidakbergantungan
Optimisme
Kebutuhan akan prestasi
Berorientasi laba
Tekun dan tabah
Mempunyai tekad kerja keras
Mempunyai dorongan yang kuat,
Energitik dan inisiatif
Kemampuan mengambil resiko
Suka pada tantangan
Bertingkah laku sebagai pemimpin
Dapat bergaul dengan orang lain
Menanggapi saran dan kritik
Inovatif dan kreatif
Fleksibel
Punya banyak sumber
Serba bisa
Mengetahui banyak
a. Pandangan ke depan
Menurut Meredith et al. (2002) dari semua ciri tersebut, mustahil bisa ditemui
seorang wirausahawan mendapat angka tinggi untuk semua sifat-sifat itu, namun
besar kemungkinan bahwa wirausahawan tersebut akan mendapat angka tinggi untuk
kebanyakan sifat-sifat itu, terutama kepercayaan terhadap diri sendiri, kemampuan
mengambil resiko, fleksibilitas, keinginan untuk mencapai sesuatu, dan keinginan
untuk tidak tergantung pada orang lain.
Adam Smith (dalam Riyanti, 2003) melihat wirausaha sebagai orang yang
memiliki pandangan yang tidak lazim yang dapat mengenali tuntutan potensial atas
barang dan jasa. Dalam pandangan Smith, wirausaha bereaksi terhadap perubahan
ekonomi, lalu menjadi agen ekonomi yang mengubah permintaan menjadi produksi.
13
Ahli ekonomi Prancis Jean Babtise (dalam Riyanti, 2003) berpendapat
wirausaha adalah orang memiliki seni dan keterampilan tertentu dalam menciptakan
usaha ekonomi yang baru.
Dia memiliki pemahaman sendiri akan kebutuhan
masyarakat dan dapat memenuhi kebutuhan itu.
Wirausaha mempengaruhi
masyarakat dengan membuka usaha baru, tetapi pada saat yang sama dia dipengaruhi
oleh masyarakat untuk mengenali kebutuhan dan memenuhinya melalui ketajaman
manajemen sumberdaya.
Menger (dalam Riyanti, 2003) sebaliknya berpendapat bahwa wirausaha
adalah orang yang dapat melihat cara-cara ekstrem dan tersusun untuk mengubah
sesuatu yang tidak bernilai atau bernilai rendah menjadi sesuatu yang bernilai tinggi
(misalnya dari terigu menjadi roti bakar yang lezat), dengan cara memberikan nilai
baru ke barang tersebut untuk memenuhi kebutuhan manusia. Model Menger ini
diterima luas di Amerika Serikat.
Secara komprehensif Meng and Liang (dalam Riyanti, 2003) merangkum
pandangan beberapa ahli, dan mendefenisikan wirausaha sebagai:
1. Seorang inovator
2. Seorang pengambil resiko atau a risk-taker
3. Orang yang mempunyai misi dan visi
4. Hasil dari pengalaman masa kanak-kanak
5. Orang yang memiliki kebutuhan berprestasi tinggi
6. Orang yang memiliki locus of control internal
Berdasarkan pendapat para ahli yang diuraikan di atas, terdapat ciri umum
yang selalu terdapat dalam diri seorang wirausaha, yaitu kemampuan mengubah
sesuatu menjadi lebih baik atau menciptakan sesuatu yang benar-benar baru, dalam
literatur psikologi dikenal sebagai perilaku kreatif dan inovatif.
Banyak ahli
menggarisbawahi ciri kreatif dan inovatif sebagai sifat yang terdapat pada wirausaha.
Penelitian Cunningham (dalam Riyanti, 2003) terhadap 178 wirausaha dan
manager profesional di Singapura, menunjukkan bahwa keberhasilan berkaitan
dengan sifat-sifat kepribadian, seperti keinginan untuk melakukan pekerjaan dengan
baik, keinginan untuk berhasil, motivasi diri, kepercayaan diri dan berpikir positif,
14
komitmen dan sabar. Cunningham
menyimpulkan
bahwa
sebagian
keberhasilan usaha, sangat ditentukan oleh faktor entrepreneur.
besar
Kepribadian
entrepreneur merupakan faktor utama, menyusul sesudahnya faktor kemampuan,
faktor teknologi, dan faktor lain.
Sifat kepribadian yang paling banyak dibahas oleh para ahli dalam kaitan
dengan wirausaha, adalah sifat kreatif dan inovatif. Drucker (1985) juga menegaskan
bahwa untuk meraih keberhasilan, seorang wirausaha harus belajar mempraktekan
inovasi secara sistematik.
Menurut Drucker Inovasi
adalah alat khusus bagi
entrepreneur. Menurut Riyanti (2003) orang sering menyamakan kreativitas dan
inovasi, padahal keduanya memiliki pengertian yang berbeda. Kreativitas berarti
menghasilkan sesuatu yang baru. Kreativitas lebih menekankan kemampuan, bukan
kegiatan. orang disebut kreatif jika dia memiliki ide/gagasan yang baru tanpa harus
merealisasikan gagasannya itu. Inovasi adalah proses melakukan sesuatu yang baru.
Jadi kreativitas dan inovasi adalah dua hal yang berbeda. Oleh karena itu inovasi
berarti tranformasi dari gagasaan-gagasan kreatif pada aplikasinya yang bermanfaat.
Kreativitas merupakan prasyarat untuk inovasi.
Inovasi adalah alat spesifik wiraswastawan, suatu alat untuk memanfaatkan
perubahan sebagai peluang bagi bisnis yang berbeda atau jasa yang berbeda. Inovasi
dapat
ditampilkan sebagai ilmu, dapat
dipelajari dan dapat
dipraktekan.
Wiraswastawan perlu secara sengaja mencari sumber inovasi, perubahan dan gejala
yang menunjukan adanya peluang untuk inovasi yang berhasil, dan mereka perlu
mengetahui dan menerapkan prinsip-prinsip inovasi yang berhasil. (Drucker, 1985).
McClelland (1987), pelopor dalam pendidikan kewirausahaan bertolak dari
Joseph Schumpeter tentang peranan entrepreneur sebagai unsur dinamik
dalam
pertumbuhan dan perkembangan ekonomi, melihat bahwa yang menjadi sumber
penggerak (motivasi) para intrepreneur itu bukanlah keinginan untuk mendapatkan
keuntungan (uang), suatu hal yang bertentangan dengan ilmu ekonomi yang percaya
bahwa penggerak (pendorong) manusia dalam kegiatan ekonomi adalah keuntungan.
Keunggulan yang dimiliki oleh wiraswasatawan terletak pada kebutuhannnya yang
tinggi untuk berprestasi atau keberhasilan mencapai prestasi (n-Ach).
15
2.2. Interaksi dan Pembentukan Perilaku
Jhon Dewey (1859 – 1952) seorang filosof dan pendidik
berpengaruh pada zamannya
mengatakan bahwa ;
yang sangat
“semua pengetahuan yang
dimiliki manusia diperoleh dari hasil komunikasi”. Bahasa memiliki kedudukan yang
begitu penting, tanpa didukung oleh sistem ekspresi yang memadai, manusia mustahil
bisa saling berinteraksi dan bertindak bersama. Dari proses komunikasi manusia
berupaya mencari makna (meaning) suatu obyek atau peristiwa. Perilaku manusia
dikatakan sukar dipahami tanpa memahami makna, nilai dan tujuan yang menyertai
perilaku itu. Tema “meaning arises through communication” Dewey ini kemudian
dieksplorasi lebih dalam oleh Mead, bahkan menjadi asumsi dasar teori interaksi
simbolik (Lesmana, 2001).
Secara umum kegiatan komunikasi merupakan suatu proses yang ditujukan
untuk terjadinya perubahan sikap (attitude change), perubahan pendapat (opinion
change), perubahan perilaku (behavior change) dan perubahan sosial (social change).
Sesuai dengan pendapat Carl Hovland dalam Effendy (2005), bahwa yang dijadikan
obyek studi
komunikasi bukan saja penyampaian informasi,
melainkan juga
pembentukan pendapat umum (public opinion) dan sikap publik (public attitude).
Bahkan Hovland memberikan definisi secara khusus, bahwa komunikasi adalah
proses mengubah perilaku orang lain.
Cooley menempatkan komunikasi pada nilai yang tinggi, suatu mekanisme
dalam formasi yang ia sebut the looking glass self yang amat penting. Ini berarti
bahwa interaksi dengan orang lain bagaikan sejenis cermin yang membantu
membentuk konsep diri seseorang.
Bagi Cooley, komunikasi berfungsi sebagai
sarana sosialisasi, dan dengan demikian menjadi tali yang mengikat masyarakat.
Dasar empirik yang utama dari teori Cooley adalah introspeksi (Effendy, 2003).
R. Wayne Pane, Brent D Peterson dan M. Dallas Burnet (dalam Effendy,
2005) menyatakan tujuan sentral
kegiatan komunikasi
adalah: (1)
to secure
understanding (2) to establish acceptance dan (3) to motivation action. Pertama (to
secure understanding) memastikan
diterimanya. Andaikata ia
bahwa komunikan
mengerti pesan yang
sudah dapat mengerti dan dapat menerima, maka
16
penerimaannya haruslah dibina (to establish acceptance). Pada akhirnya kegiatan
dimotivasikan (to motivate action).
Park dalam Effendy (2003) mendefinisikan komunikasi sebagai proses sosial
psikologis dengan mana seseorang mampu menerima sikap dan pandangan orang
lain. Park menunjukkan bahwa dua orang atau lebih, dapat bertukar informasi
selama berlangsungnya proses komunikasi, dimana masing-masingnya memberikan
makna berbeda pada informasi yang diterima.
Makna pesan merupakan inti dari komunikasi.
Proses komunikasi pada
intinya adalah proses penyampaian makna dalam bentuk pesan dengan menggunakan
kode-kode tertentu. Pembicaraan, gambar atau lainnya hanyalah merupakan simbol
atau kode, sedangkan yang disampaikan adalah
apa yang terkandung di dalam
simbol/gambar itu. Makna menjadi penting karena padanyalah ukuran suatu bahasa
berada. (Mulyana, 2005).
Pemberian makna merupakan proses yang aktif. Makna diciptakan dengan
kerjasama di antara sumber dan penerima, pembicara dan pendengar, penulis dan
pembaca, makna pesan dapat diilustrasikan sebagai lambang atau simbol komunikasi.
Karena pesan bersifat abstrak, dengan akal budinya manusia melahirkan sejumlah
lambang komunikasi: mimik, gerak-gerik, suara, bahasa lisan, dan bahasa tulisan;
yang berfungsi untuk merubah pesan yang abstrak menjadi kongkrit/berwujud
(DeVito, 1997).
Lambang atau simbol digunakan untuk merujuk pada sebuah obyek. Obyek
yang ditunjuk oleh lambang itu adalah apa yang dimaksud oleh kelompok sosial
penggunanya, melekat pada budaya setempat.
Tidak harus ada hubungan yang
penting antara obyek yang ditunjuk dengan lambang yang menunjuknya, sehingga
dapat dinyatakan bahwa lambang atau simbol komunikasi sebagai bentuk pesan yang
bersifat sembarang.
Manusialah yang memberi makna terhadap lambang komunikasi yang
digunakan.
Kita tidak tahu mengapa hewan tunggangan berkaki empat diberi
lambang komunikasi ”kuda” dalam bahasa Indonesia atau ”horse” dalam bahasa
Inggris. Sekali suatu lambang komunikasi telah memiliki makna, maka ia melekat
17
terhadapnya. Dengan demikian, kita dapat nyatakan bahwa makna adalah hubungan
antara suatu obyek dengan lambangnya (Littlejohn, 1996).
Menurut Dewey dalam Denzin (1992) manusia tidak akan bertindak sebelum
memahami situasi, dan tindakannya selalu disesuaikannya dengan definisi situasi
yang dibuatnya. Karena situasi bisa berubah-rubah, kebenaranpun bersifat relatif.
Kebenaran, bagi penganut pragmatisme, tidak pernah bersifat absolut, selalu
dikaitkan dengan kebutuhan dan kepentingan manusia.
Kebenaran suatu pemikiran atau makna sebuah pernyataan dipengaruhi oleh
konsekwensi
praktis dari
pemikiran dan pernyataan (Hewit, 1991).
Menurut
William James dalam Denzin (1992) kebenaran suatu pemikiran harus bisa diuji dan
diverifikasi di lapangan. Suatu pemikiran bisa bermanfaat untuk sebuah situasi,
namun tidak bermanfaat untuk situasi yang lainnya. Dengan kata lain James pun
percaya bahwa kebenaran itu bersifat relatif.
2.3 Interaksi Simbolik
2.3.1 Perspektif Interaksi Simbolik
Pemikiran filsafat pragmatisme banyak mempengaruhi pemikiran para
teoritisi interaksi simbolik. Stephen W. Litlejhon (1996) dalam bukunya “theories
of human communication” mengatakan bahwa
yang memberikan dasar teori
interaksi simbolik adalah George Herbert Mead, Herbert Blumer, Manford Khun,
Kenneth Burke, dan Hugh Duncan.
Interaksi simbolik adalah suatu perspektif sosiologis yang berakar pada
filsafat pragmatisme yang berkembang pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke20. Para penganutnya percaya bahwa perspektif ini mampu menjawab dan
menjelaskan pengalaman sehari-hari manusia serta setiap permasalahan yang
dihadapinya (Hewitt, 1991).
Interaksi simbolik adalah perspektif ilmiah untuk memahami kehidupan
masyarakat dan perilaku manusia. Berdasarkan pandangan ini manusia sesungguhnya
adalah sosok yang aktif dan dinamis serta goal-oriented,
bukan semata-mata
18
mahkluk yang pasif dan responsif, sosok yang tidak mudah dimanipulasi dan sukar
diprediksi perilakunya (Lesmana, 2001).
Cooley (1864 – 1929) melalui perangkat yang dinamakannya “sympathetic
imagination,” menjelaskan bahwa seseorang diyakini dapat mengamati situasi atau
melihat permasalahan dari perspektif orang lain.
Hal ini dilakukan dengan
menempatkan diri pribadi (self) pada posisi orang lain.
Konsep
“sympathetic
imagination” dikemudian hari dieksplorasi oleh George Herbert Mead dan melalui
sedikit modifikasi, diubah menjadi konsep “taking the role of the other”
atau
mengambil peran orang lain, salah satu konsep penting dalam teori interaksi simbolik
(Hewitt, 1991).
William James (1842-1910) (dalam Denzin, 1992) secara khusus mempelajari
hubungan antara mind and body. Menurut James apa yang dilakukan manusia,
sebagian
besar diyakini lahir
dari
kesadaran yang reflektif
(reflective
consciousness). Bagi James, kesadaran merupakan tema utama yang harus dipelajari
oleh psikologi. Dua konsep lain yang dikemukakan oleh James adalah diri-pribadi
(self) dan realita.
Diri-pribadi diakui sebagai pusat kesadaran manusia, terdiri atas “I” dan
“Me” (“Aku” dan “Diriku”), masing-masing mewakili subyek dan obyek individu.
Tiap manusia sesungguhnya memiliki banyak diri-pribadi: sebagai suami atau istri di
rumah, sebagai pendidik di sekolah,
sebagai anggota masyarakat dan lain-lain.
Konsep “Aku” dan “Diriku” kemudian dikembangkan oleh Mead dalam teorinya
interaksi simbolik (Denzin, 1992).
Jhon Dewey (1859 – 1952) yang konsepnya “meaning arises through
communication”, adalah seorang filosof dan pendidik yang banyak menulis tentang
komunikasi. Menurut Dewey, semua pengetahuan yang dimiliki manusia diperoleh
dari hasil komunikasi. Bahasa memiliki kedudukan yang begitu penting, sehingga
tanpa didukung oleh sistem ekspresi yang memadai, manusia mustahil bisa saling
berinteraksi dan bertindak bersama.
Dari proses komunikasi manusia berupaya
mencari makna (meaning) suatu obyek atau peristiwa. Perilaku manusia dikatakan
sukar dipahami tanpa memahami makna, nilai dan tujuan yang menyertai perilaku
19
itu.
Konsep Dewey kemudian menjadi salah satu asumsi dasar teori interaksi
simbolik (Lesmana,2001)
2.3.2 Pemikiran George H. Mead terhadap Perspektif Interaksi Simbolik
George Herbert Mead (1863 – 1931) diakui sebagai “Bapak interaksi
simbolik”. Mead belajar ilmu filsafat dan psikologi di Universitas Harvard pada
1887. Disini Ia berkenalan dengan William James yang ketika itu telah menjadi guru
besar.
Mead bahkan tinggal
memberikan tutoring
beberapa waktu lamanya di rumah James serta
pada anaknya.
Gelar doctor dalam ilmu physiological
psychology diperolehnya dari universitas Berlin pada 1891.
setelah itu Mead
mengajar di Universitas Michigan, An Arbor.
Di Universitas tersebut, Ia berkenalan dengan Jhon Dewey. Hubungan kerja
antara kedua filosof ini sangat erat. Mead mengaku banyak ajaran Dewey yang
mempengaruhi pandangannya tentang individu dan masyarakat. Sebaliknya Dewey
sangat kagum atas pemikiran-pemikiran Mead.
Ketika Dewey diminta menjadi
ketua Departemen Filsafat Universitas Chicago, Ia pun mengajukan satu syarat,
yaitu diperbolehkan membawa Mead.
Maka pada tahun 1894 Mead pindah ke
Universitas Chicago dan bekerja sebagai asisten Dewey. Ia mengajar Filsafat pada
Universitas tersebut hingga akhir hayatnya pada 1931.
Mead tidak pernah menyebut ajarannya dengan istilah “interaksi simbolik”.
Adalah Herbert Blumer, salah seorang murid Mead, yang pertama kali pada 1937
memperkenalkan istilah “interaksi simbolik” pada tulisannya Man and Society yang
merupakan salah satu bab dalam buku Emerson Schmid. Man and Socity terbit tiga
tahun setelah buku klasik Mead berjudul Mind, Self and Society beredar. Buku
tersebut sebetulnya merupakan kumpulan bahan kuliah dan ceramah Mead ketika ia
mengajar di Universitas Chicago.
Bahan-bahan kuliahnya itulah yang secara
sistematis kemudian diterbitkan dalam bentuk buku.
Masih dalam tahun yang sama, Universitas yang sama juga menerbitkan buku
kedua Mead yang berjudul George Herbert Mead on Social Psychology, lagi-lagi
merupakan bahan kuliah dan ceramah Mead.
Buku ini diedit dan diberi kata
20
pengantar oleh Anselm Strauss, yang juga seorang interaksionis. Dalam ulasannya
Strauss juga menyatakan bahwa Mead sesungguhnya tidak pernah menulis satu buku
pun sepanjang hidupnya.
Buku-bukunya yang diterbitkan setelah Ia meninggal
diambil dari artikel-artikelnya yang berjumlah lebih dari 80 judul (Wallace dan Wolf,
dalam Lesmana, 2001).
George Herbert Blumer, seperti dikutip oleh Fine (1990), membedakan tiga
pendekatan dalam psikologi sosial. Pertama, pendekatan yang menggunakan insting
manusia dan ajaran evolusi Darwin. Kedua, pendekatan yang menitik beratkan
refleksi seperti yang terdapat
di dalam tulisan-tulisan para penganut psikolog
behavioristik, antara lain Jhon Watson. Ketiga, sintesa dari kedua pendekatan yang
menurut pengakuan Blumer didasarkan atas karya-karya gurunya, yaitu Mead.
“Psikologi Darwin’” berpandangan bahwa emosi adalah keadaan psikologis,
keadaan kesadaran individu, a state of consciousness, yang tidak dapat
diformulasikan dalam bentuk sikap atau perilaku. Emosi secara instink sudah ada
pada diri seseorang. Memang sikap adakalanya merefleksikan emosi seseorang,
namun tanpa sikap dan perilaku yang mendukung, emosi tetap ada dalam diri
seseorang, sebab emosi mencerminkan a state of consciousness. Dengan demikian
psikologi sosial Darwin, menurut Mead, hampir identik dengan psikologi individu.
Perilaku individu dipahami sebagai the inner state dari individu yang bersangkutan
(Fine,1990).
Para penganut behavioristik mengoreksi
psikologi Darwin dengan
pendekatan perilaku. Pemahaman atas individu diyakini bersumber pada pemahaman
terhadap perilaku atau tindakan serta stimuli lingkungan yang mendorong lahirnya
perilaku tersebut. Jhon Watson mengatakan, “behavior is learned”, dan Ia mencoba
megungkap hukum-hukum yang mengatur perilaku sebagai
reaksi atas stimuli
(Hewitt, 1991).
Psikologi sosial Mead, sebagai diakui sendiri oleh Mead, sebenarnya juga
termasuk aliran behaviorisme, namun behaviorisme yang bersifat sosial. Aliran
ketiga ini menekankan pentingnya pemahaman perilaku individu dalam konteks
sosial. Ide sentral lain dari psikologi sosial Mead menyangkut realitas sosial yang
21
dikatakan tidak pernah statis, tetapi mengalami perubahan terus menerus. Individu
dan perilakunya senantiasa dalam proses “menjadi” (becoming), tidak pernah dalam
keadaan “jadi” (become) (Hewit, 1991).
Perbedaan pokok lain antara behaviorisme Watson dan behaviorisme Mead
ialah pengakuan Mead tentang adanya komponen perilaku yang tidak kalah penting
untuk diobservasi, yaitu apa yang disebut Mead minded behavior yang tidak lain
adalah kegiatan berpikir dalam diri individu, atau intra-komunikasi. Komponen ini
dipandang tidak kalah penting dengan perilaku itu sendiri, walaupun adakalanya sulit
diobservasi oleh orang lain.
mendapat
Bahkan aktifitas mind
dan juga self, kemudian
fokus yang lebih khusus lagi dalam pemaparan Mead tentang teori
interaksi simbolik (Hewitt, 1991).
Kedua buku Mead, Mind, self and Society dan George Herbert Mead on
Social Psycology banyak mempengaruhi karya Blumer (1969) yang berjudul
Symbolic Interactionism Perspective and Methode. Jika orang berbicara tentang teori
interaksi simbolik, maka salah satu acuan utamanya adalah buku Blumer yang satu
ini. Dalam buku tersebut Blummer memaparkan secara komprehensif teori interaksi
simbolik, termasuk aspek metodologisnya (Charon, 1998).
Setelah Blumer, teori interaksi simbolik
dikembangkan terus, antara lain
melalui karya-karya Manford H. Khun (teori Diri-Pribadi, Self Theory), Erving
Goffman, Harold Garfinkel, Larry T.Reynolds, Norman Denzin, Anselm Strauss,
Harvey A.Faberman, Jerome Manis, Bernart Meltzer, Tomatsu Shibutani, Spencer E.
Cahill, Sheldon Stryker, Gary Alan Fine dan Joel M. Charon. Interaksi simbolik
kemudian juga memberi inspirsasi bagi lahirnya perspektif-perspektif lain dalam
sosiologi yang masih “sendirian”, seperti teori label, dramaturgi Ervin Goffman dan
etnomethodologi Harold Garfinkel (Charon, 1998).
Setelah 1990 timbul upaya dari kaum interaksionis untuk mengintegrasikan
teori interaksi simbolik dengan ajaran pasca modern. Teori pasca-modern menolak
mitos obyektivitas dalam ilmu pengetahuan, pemisahan fakta dan nilai,
upaya
menemukan kebenaran sejati dan hukum yang mengatur realitas ekternal. Pasca-
22
modern juga menolak apa yang disebut obdurate (realitas eksternal yang tidak
terbantahkan (Lesmana, 2001).
Fine (1990) secara tegas mengemukakan “Institution partly determine
behavior,” bahwa perilaku seseorang sebagian ditentukan oleh institusi tempat ia
berada. Sedang Denzin (1992) berpendapat “ aparatus budaya” ikut mempengaruhi
tindakan individu. Bahkan Gofman, menurut Fine (1990), akhirnya bergeser dari dari
seorang interaksionis menjadi
strukturalis ketika ia mengemukakan “structure
underlies all interactions.”
Charon (1998) percaya bahwa struktur yang dimaksud dalam pernyataan
Goffman bukanlah “solid structure being handed down to us,” melainkan kualitas
struktur yang ada pada proses interaksi sosial. Pendapat Goffman mungkin saja
berlebihan oleh kaum interaksionis, namun pendapat interaksionis-awal bahwa
individu bebas dalam menentukan segala tindakannya kiranya tidak lagi menjadi
pandangan resmi teori interaksi simbolik.
2.3.3 Pandangan Interaksi Simbolik Tentang Diri
Secara analitik,
Mead
membedakan diri pribadi antara “I” dan “Me”
(diterjemahkan: Aku dan Diriku). Perbedaan analitik ini sekaligus menunjukan
bahwa diri-pribadi
bisa dilihat sebagai suatu proses, disamping sebagai obyek.
Sebagaimana diketahui suatu tindakan biasanya berawal ketika terjadi gangguan
terhadap lingkungan eksternal individu. Terhadap gangguan itu, individu cendrung
untuk secepatnya memberikan reaksi. Jika telepon tiba-tiba berdering, atau suatu
suara keras di luar rumah, atau apa yang dikatakan oleh seseorang dinilai kurang
jelas, ia tergerak untuk memberikan reaksi. Namun setelah reaksi diberikan, individu
cendrung untuk mengevaluasi apa yang dilakukannya melalui minded-activity
(Lesmana, 2001)
Menurut Hewitt (1991), bagian awal dari suatu tindakan individu seringkali
belum begitu terorganisir, karena semata-mata lahir dari kebutuhan untuk secepatnya
memberikan reaksi. Tindakannya tidak jarang bersifat spontan dan impulsif. Pada
23
tahap evaluasi, individu memikirkan kembali apa yang dilakukannya. Hasilnya bisa
berupa kesadaran atau kekeliruan yang dilakukannya, bahkan bisa berupa kecaman
terhadap diri sendiri,
tapi bisa juga penguatan karena keyakinan bahwa yang
dilakukannya memang benar. “Aku” mewakili aspek tindakan yang bersifat spontan
dan impulsif ; sedangkan “Diriku” mewakili aspek evaluatif dari tindakan.
Menurut Mead, “Aku” mewakili kecendrungan individu yang tidak terarah,
individu yang penuh dorongan. “Diriku” mewakili pandangan atau penilaian orang
lain terhadap “aku.” Aku sebagaimana dilihat dan diharapkan oleh orang lain, itulah
‘Diriku’. Hal ini berarti, ketika individu mengevaluasi tindakannya, norma-norma
yang berlaku di lingkungannya dan perspektif kelompok referensi (reference group)
dijadikan acuannya.
“Diriku” mengarahkan, sekaligus mengevaluasi, tindakan
“Aku”, agar menjadi sasaran dan konform pada norma-norma yang berlaku. Dalam
konteks ini, “Diriku” merupakan representasi dari wujud sosial (Lesmana, 2001).
Maka diri-pribadi (self) sekaligus subyek dan obyek. “Aku” dan “Diriku”
tidak henti-hentinya saling berganti posisi dalam proses interaksi-diri (selfinteraction). Pada suatu saat individu bertindak sebagai “aku,” memberikan reaksi
pada obyek dan situasi yang dihadapinya. Pada saat lain, reaksi menjadi bagian dari
masa lalu, sekaligus bagian dari “Diriku.” Karena reaksi menjadi obyek yang sudah
lalu, individu bisa memanfaatkannya untuk bahan renungan.
Seorang ibu yang memarahi anaknya yang dinilai nakal. Ia bertindak sebagai
“Aku”. Setelah itu, setelah merenungkan apa yang baru saja dilakukannya, sang ibu
mungkin menyesal. Mungkin ia menyadari bahwa hukuman yang dijatuhkan kepada
anaknya terlalu berat.
Pada saat itu,
sang ibu bertindak
amarahnya kepada anak menjadi obyek renungan.
sebagai “Diriku”;
Dalam interaksi-pribadi yang
dilakukannya, ibu sebagai “Diriku” menegur ibu sebagai “Aku,” sekaligus
mengoreksi tindakan “Aku” (Lesmana, 2001).
Sebagai suatu proses sosial, self (diri-pribadi) mempunyai dua makna,
pertama; ia terus menerus terlibat dalam dialog antara “Aku” dan “Diriku,”
communication with self, atau self-interaction. Kedua self itu sendiri lahir dari
pengalaman sosial, pengalaman berinteraksi dengan orang lain, communication with
24
others.
Kesadaran bahwa “aku pemalas”, “aku enerjik,” atau “aku pemboros,”
sebagiannya karena pengalaman interaksi sosial “Aku” dengan individu lain yang
kemudian direfleksikan lagi dalam self-interaction” (Mead, 1967 dalam Lesmana
2001).
Karena diri-pribadi terutama dibentuk oleh interaksi sosial yang dilakukan
seseorang, dengan siapa ia berinteraksi menjadi sangat menentukan. Mead dalam hal
ini memakai istilah “the sigificant other,” orang-orang yang mempunyai arti penting,
yang dihormati atau menjadi panutan bagi individu dalam hal tertentu (Charon,
1998). Istilah yang dipakai oleh Shibutani (1995) (dalam Lesmana, 2001) adalah
reference group. Masyarakat atau kelompok referensi berfungsi sebagai acuannya
untuk bertindak.
2.3.4 Interaksi Simbolik, Inti Pandangannya
Profesor Joel M, Charon (1998), seorang interaksionis lulusan Universitas
Minnesota, yang kini menjadi ketua Departemen Sosiologi Moorhead State
University (Minnesota), memaparkan inti pandangan teori interaksi simbolik sebagai
berikut:
(1) Interaksi simbolik memusatkan perhatiannya pada hakekat dan dinamika
interaksi yang terjadi antar manusia.
(2) Tindakan manusia (human action) dipengaruhi oleh interaksi
sosial dan
interaksinya dengan dirinya sendiri (self interaction).
(3) Sebelum melakukan tindakan, manusia terlebih dahulu merumuskan situasi
(define the situation) lingkungan yang dihadapinya.
(4) Kejadian masa lalu dapat mempengaruhi kejadian saat ini, harapan dan tujuan
juga dapat mempengaruhi tindakan saat ini. Namun keputusan yang diambil
seseorang selalu didasarkan atas analisis dan rumusan terhadap situasi rill yang
dihadapinya saat ini.
(5) Berbeda dengan mahkluk hidup lainnya, manusia sesungguhnya adalah sosok
yang bebas yang dalam batas tertentu dapat menentukan sendiri tindakannya.
25
Menurut Blommer dan Spradly dalam Endraswara (2001) ada beberapa
premis dasar interaksi simbolik;
pertama manusia melakukan berbagai hal atas
makna yang diberikan oleh berbagai hal itu kepada mereka. Kedua makna berbagai
hal itu berasal atau muncul dari
interaksi sosial seseorang dengan orang lain.
Kebudayaan sebagai sistem makna yang dimiliki bersama, dipelajari, diperbaiki,
dipertahankan dan didefinisikan dalam konteks orang yang berinteraksi.
Ketiga,
makna ditangani atau dimodifikasi melalui satu proses penafsiran yang digunakan
oleh orang dalam berbagai hal yang dia hadapi.
Di samping tiga premis dasar di atas, Muhajir dalam Endraswara (2001)
menambahkan tujuh proposisi,yaitu :
(1) Perilaku manusia itu mempunyai makna dibalik yang mengejala,
(2) Kemaknaan manusia dicari sumbernya kedalam interaksi sosial,
(3) Manusia itu merumuskan
proses yang berkembang secara holistik, tidak
terpisahkan, tidak linier, dan tidak terduga,
(4) Pemaknaan berlaku menurut penafsiran fenomenologi, yaitu sejalan dengan
tujuan, dan maksud, bukan berdasarkan mekanik,
(5) Konsep mental manusia berkembang secara dialektik,
(6) Perilaku manusia itu wajar, kreatif dan konstruktif, bukan elementer-reaktif,
(7) Perlu menggunakan
metode introspeksi simpatetik, menekankan pendekatan
intuitif untuk menangkap makna.
2.3.5 Prinsip-prinsip Dasar Interaksionisme Simbolik
Beberapa tokoh interaksionisme simbolik merumuskan beberapa prinsip
dasar teori ini, yang meliputi ;
(1) Manusia dibekali kemampuan untuk berpikir
(2) Kemampuan berpikir dibentuk oleh interaksi sosial
(3) Dalam interaksi sosial manusia mempelajari arti dan simbol yang memungkinkan
mereka menggunakan kemampuan berpikir mereka
(4) Makna dan simbol memungkinkan manusia melanjutkan tindakan khusus dan
berinteraksi
26
(5) Manusia mampu mengubah arti dan simbol yang mereka gunakan dalam
tindakan dan interaksi berdasarkan penafsiran mereka terhadap situasi
(6) Manusia mampu membuat kebijakan modifikasi dan perubahan, sebagian karena
kemampua mereka berinteraksi dengan diri mereka sendiri yang memungkinkan
mereka
menguji serangkaian peluang tindakan, menilai keuntungan, dan
kerugian relatif mereka, dan kemudian memilih satu diantara
serangkaian
peluang itu.
(7) Pola tindakan dan interaksi yang saling berkaitan akan membentuk kelompok
dan masyarakat (Ritzer & Goodman, 2007).
Kapasitas Berpikir
Salah satu konsep dasar mengenai interaksi simbolik adalah apa yang disebut
oleh George Herbert Mead (Charon, 1998) sebagai “mind, self and socity.” Mind
didefinisikan
sebagai the ability (of the invidual) to indicate to one’s self the
response that one’s gestures indicates to others.” Mind juga dinamakan “reflecting
thinking” memungkinkan individu untuk berhenti sejenak dan menunda respons
kepada stimuli.
Proses mental itu bertujuan untuk mengorganisir dan mengontrol
respons individu kepada stimuli.
Mead menjelaskan komponen perilaku yang penting untuk diobservasi, yaitu
apa yang disebut Mead sebagai minded behavior, yang tidak lain adalah kegiatan
berpikir dalam diri individu, atau intra-komunikasi. Komponen ini dipandang tidak
kalah penting dengan perilaku itu sendiri, walaupun adakalanya sulit diobservasi.
Intra-komunikasi dalam diri individu dimungkinkan karena tiap-tiap individu
memiliki self (diri-pribadi). Self merupakan bagian dari lingkungan yang menjadi
obyek perbuatan seseorang. Manusia pun
bisa menilai perbuatannya, atau marah
terhadap diri sendiri, menyesali tindakan sendiri atau mengakui bahwa perbuatannya
salah.
Singkat kata ia bisa mengenal diri sendiri (make indication to himself).
Bahkan ia bisa berdialog dengan diri sendiri yang dinamakan self-interaction
(interaksi pribadi) atau minded activity (berpikir) (Charon, 1998)
27
Intra-komunikasi menurut Mead, tidak berbeda dengan proses berkomunikasi
dengan orang lain. Hanya saja, intra-komunikasi berlangsung dalam diri sendiri,
sehinggga orang lain tidak dapat memahaminya, namun Mead menolak tudingan
psikologi
diobservasi.
behavioristik yang mengatakan bahwa kegiatan berpikir tidak dapat
Menurut Mead, apa yang dipikirkan seseorang bisa saja dituturkan
kepada orang lain, sehingga dapat diobservasi.
Mead menamakan covert behavior (perilaku tersembunyi atau tidak kasat
mata) dan overt behavior (perilaku lahiriah atau kasat mata). Masing-masing untuk
aktifitas berpikir dan bentuk tindakan (perilaku) yang dihasilkannya.
Masalah
perilaku tidak kasat mata sama sekali tidak disinggung dalam psikologi behavioristik
yang sering juga disebut psikologi obyektif, padahal proses berpikir menjadi kualitas
paling esensial bagi manusia. Mead percaya bahwa pengingkaran atas eksisitensinya
sama dengan mengidentifikasikan manusia dengan benda mati (Charon, 1998).
Teori interaksi simbolik memusatkan perhatian terutama pada makna dan
simbol dari tindakan dan interaksi manusia.
Perilaku tersembunyi atau proses
berpikir melibatkan simbol dan makna. Perilaku lahiriah adalah perilaku sebenarnya
yang dilakukan oleh seorang aktor. Beberapa perilaku tidak melibatkan perilaku
tersembunyi (karena kebiasaan atau tanggapan
tanpa pikir terhadap rangsangan
eksternal). Tetapi, sebagian besar tindakan manusia melibatkan kedua jenis perilaku
itu (Ritzer & Goodman, 2007).
Teori interaksiaksionisme simbolik tidak membayangkan
pikiran sebagai
benda, sebagai sesuatu yang memiliki struktur fisik, tetapi lebih membayangkan
sebagai proses yang berkelanjutan.
Sebagai sebuah proses yang dirinya sendiri
merupakan bagian dari proses yang lebih luas dari stimuli dan respon. Pikiran,
menurut interaksionisme simbolik, sebenarnya berhubungan dengan setiap aspek
lain termasuk sosialisasi, arti, simbol, diri, interaksi dan juga masyarakat (Ritzer, dan
Goodman, 2007)
Manusia memiliki kapasitas untuk berpikir, kapasitas ini dibentuk dan
diperhalus dalam proses interaksi sosial, pandangan ini menyebabkan teoritisi
interaksionisme simbolik memusatkan perhatian pada bentuk khusus interaksi sosial
28
yakni sosialisasi.
Kemamapuan manusia untuk berpikir dikembangkan sejak dini
dalam sosialisasi
anak-anak dan diperhalus selama sosialisasi di masa dewasa.
Sosialisasi adalah proses dinamis yang memungkinkan manusia mengembangkan
kemampuan untuk berpikir, untuk mengembangkan cara hidup manusia itu sendiri.
Sosialisasi bukanlah semata-mata proses atau arah dimana aktor menerima informasi,
tetapi aktor menyusun dan menyesuaikan informasi itu dengan kebutuhan mereka
sendiri (Manis &Melzer, dalam Ritzer & Goodman, 2007).
Interaksi
Interaksi berarti aksi atau tindakan seseorang yang senantiasa
memper-
hatikan aksi atau tindakan orang lain yang ditujukan kepadanya, action that takes
account one other (Charon,1998), atau seperti yang dikatakan oleh George Simmel
dalam Lesmana (2001), action which is mutually determined. Interaksi berarti
seseorang
tidak hanya dipengaruhi oleh orang lain, tetapi ia pun senantiasa
mempengaruhi orang lain. Interaksi juga berarti tindakan seseorang dibangun atas
dasar tindakan orang lain yang ditujukan terhadapnya didalam situasi tertentu. Ini
berarti individu juga senantiasa memperhatikan dan menginterpretasikan tindakan
mitra interaksinya sebelum bertindak (Lesmana, 2001).
Interaksi adalah proses
diperlihatkan.
dimana kemampuan berpikir dikembangkan dan
Semua jenis interaksi tidak hanya interaksi selama sosialisasi,
memperbesar kemampuan kita untuk berpikir. Dalam kebanyakan interaksi, aktor
harus memperhatikan orang lain dan menentukan kapan dan bagaimana cara
menyesuaikan aktivitasnya terhadap orang lain, dan interaksi simbolik memerlukan
proses mental itu dengan kebutuhan mereka sendiri (Ritzer dan Goodman 2007).
Charon (1998) mendefenisikan interaksi sebagai; “aksi sosial bersama
individu-individu yang berkomunikasi satu sama lain mengenai apa yang mereka
lakukan
dengan mengorientasikan kegiatannya kepada dirinya masing-masing
(mutual action individuals, communicating to each other in what they do orienting
their acts to each other).”
29
Jhon Dewey mengemukakan bahwa ”meaning arise through communication.”
George Herbert Mead kemudian memperjelas pendapat Dewey dengan mengatakan;
” meaning is content of an object which is dependent upon the relation of an
organism or group of
“communication”
organism to it.”
Dewey menggunakan istilah
sedangkan Mead menggunakan istilah “relation.”
sama-sama menunjukan mutlaknya interaksi sosial
Keduanya
untuk terbentuknya sebuah
makna obyek. Pemahaman individu atas makna timbul dari interaksinya dengan
lingkungan fisik dan sosial.
Interaksi mengandung arti bahwa para pelaku
memperhatikan satu sama lain dan senantiasa saling menginterpretasikan pesan yang
disampaikan (Lesmana, 2001).
Ballis-Lal dalam Lesmana (2001) menjelaskan bahwa tindakan seseorang
dibangun atas dasar tindakan
mitra-interaksinya melalui proses interpretasi.
Langkah yang diambil seorang aktor bergantung pada langkah yang diambil atau
akan diambil oleh aktor lain. Itulah yang dimaksud dengan interdependensi antarinteraktan.
Dari hasil interaksi sosialnya, individu juga menyadari adanya kebudayaan
(the generalized other), istilah yang dipergunakan
diperhatikan, bahkan ditaati dalam interaksi sosial.
oleh Mead yang perlu
Dikatakan oleh Mead “the
matured self arises when a generalized other is internalized so that the community
exercise control over the conduct of its individual
members.”
Hanya dengan
menghayati dan melaksanakan kebudayaan yang berlaku dalam masyarakat tempat
terjadinya interaksi, individu dikatakan bisa mencapai tingkat kedewasaan yang
matang (Charon, 1998).
Kecuali dipengaruhi oleh interaksi dengan individu lain, tindakan individu
juga dipengaruhi
oleh interaksi dengan diri-pribadi (self)
sebelum mengambil
keputusan, individu berdialog dengan diri pribadi mengenai obyek yang dihadapi.
Komunikasi dan dialog dengan diri pribadi menjadi sasaran untuk menginterpretasi
makna obyek.
Konsep diri, pengalamannya terhadap obyek di masa lampau,
kepentinganya terhadap obyek tersebut, dan faktor resiko menjadi bahan penting
dalam proses interaksi dengan self (Charon, 1998)
30
Simbol
Teoritisi interaksi simbolik membayangkan bahasa sebagai sistem simbol
yang sangat luas. Kata-kata adalah simbol karena digunakan untuk menggantikan
sesuatu yang lain.
Kata-kata membuat seluruh simbol yang lain menjadi tepat.
Tindakan obyek, dan kata-kata lain eksis dan hanya mempunyai makna karena telah
dan dapat dideskripsikan melalui penggunaan kata-kata (Ritzer & Goodman, 2007).
Simbol adalah aspek penting yang memungkinkan orang untuk bertindak
menurut cara-cara khas yang dilakukan manusia.
Karena simbol, manusia tidak
memberikan respon secara pasif terhadap realitas yang memaksakan dirinya sendiri,
tetapi secara aktif menciptakan dan mencipta ulang dunia tempat mereka berperan
(Charon, 1998).
Ritzer dan Goodman (2007) menambahkan kegunaan umum dari simbol dan
bahasa, khususnya yang mempunyai sejumlah fungsi bagi aktor :
1. Simbol memungkinkan orang menghadapi dunia material dan dunia sosial yang
memungkinkan mereka untuk mengatakan, menggolongkan dan mengingat obyek
yang mereka jumpai di situ. Dengan cara ini manusia mampu menata kehidupan,
agar tidak membingungkan.
Bahasa memungkinkan orang mengatakan,
menggolongkan dan terutama mengingat secara lebih efisien ketimbang yang
dapat mereka
lakukan dengan menggunakan jenis simbol lain seperti kesan
bergambar.
2. Simbol meningkatkan kemampuan manusia untuk memahami lingkungan. Dari
pada dibanjiri oleh banyak stimuli yang tak dapat dibeda-bedakan, aktor dapat
berjaga-jaga terhadap
bagian lingkungan tertentu ketimbang terhadap bagian
lingkungan yang lain.
3. Simbol meningkatkan kemampuan untuk berpikir.
Jika sekumpulan simbol
bergambar hanya dapat meningkatkan kemampuan berpikir secara terbatas, maka
bahasa akan dapat lebih mengembangkan kemampuan ini. Dalam artian ini,
berpikir dapat dibayangkan
sendiri.
sebagai berinteraksi secara simbolik dengan diri
31
4. Simbol meningkatkan kemampuan
untuk menyelesaikan berbagai masalah,
kemampuan ini mengurangi peluang berbuat kesalahan yang merugikan
5. Simbol memungkinkan aktor mendahului waktu, ruang dan bahkan pribadi mereka
sendiri.
Melalui penggunaan simbol,
aktor dapat membayangkan kehidupan
seperti apa dimasa lalu, atau kemungkinan hidup dimasa depan. Lagi pula, aktor
dapat secara simbolik mendahului pribadi mereka sendiri dan membayangkan
seperti apa kehidupan ini dilihat dari sudut pandang orang lain. Inilah konsep
teoritis interaksinisme simbolik yang terkenal: mengambil peran orang lain.
6. Simbol memungkinkan orang untuk membayangkan realitas metafisik seperti
surga dan neraka.
7. Simbol memungkinkan orang menghindari diperbudak oleh lingkungan mereka.
Mereka dapat lebih aktif – mengatur sendiri mengenai apa yang akan mereka
kerjakan.
Makna
Makna bukan berasal dari proses mental yang menyendiri, tetapi berasal dari
interaksi.
Manusia mempelajari simbol dan makna di dalam interaksi sosial.
Manusia menanggapi simbol dengan cara berpikir. Tanda-tanda mempunyai artinya
sendiri. Simbol adalah obyek sosial yang dipakai untuk merepresentasikan (atau
menggantikan)
apapun yang disetujui orang yang akan mereka representasikan
(Charon, 1998).
Obyek sosial diartikan sebagai “anything that becomes involved in a social
interaction” (Shibutani dalam Lesmana 2001). Jangkauan obyek sosial amat luas,
termasuk juga diri (self) ketika terjadi proses intra-komunikasi atau proses berdialog
dengan diri sendiri. Obyek diyakini tidak memiliki makna apa-apa. Manusialah yang
memberikan makna tertentu pada obyek yang dijumpainya.
Obyek-obyek yang
dimaksud bisa berbentuk fisik (benda mati, lingkungan), orang, peristiwa atau yang
bersifat abstrak seperti gagasan dan ideologi.
Memberikan makna berarti memahami apa arti sebuah simbol dari obyek,
kemudian bertindak atas dasar pemahaman itu. Makna adalah apa yang dipikirkan ,
32
ketika seseorang memikirkan seekor kuda, apa yang dirasakan ketika ia
membayangkan sebuah ujian yang sulit, apa yang dinginkan ketika berkhayal menjadi
orang kaya. Makna berfungsi menjembatani individu ketika ia berpikir, merasa dan
menginginkan sesuatu, dengan obyeknya (Lesmana, 2001).
Berdasarkan pengertian obyek sosial tersebut, interaksi simbolik mengajukan
tiga asumsi dasar yang berkaitan dengan itu, yaitu; Pertama, manusia bertindak
terhadap suatu obyek berdasarkan pemahaman makna obyek tersebut bagi dirinya,
atau berdasarkan definisi situasi tempat obyek tersebut berada. Kedua, makna obyek,
atau definisi situasi obyek terbentuk oleh interaksi sosial, khususnya interaksi dengan
significant others, yaitu orang-orang yang dianggap penting untuk dijadikan
referensi untuk satu masalah tertentu. Ketiga, makna obyek tidak konstan, tetapi
dapat berubah dari waktu ke waktu melalui proses interpretasi, proses pemahaman
kembali makna dan pemahaman kembali situasi (Charon, 1998).
Definisi Situasi
Analisis dan pemahaman situasi dalam teori interaksi simbolik dinamakan
“definisi situasi.”
Menurut Charon (1998), humans do not sense their environment
directly but instead define their situation as they go along in their action.” Manusia
bertindak menurut hasil rumusan situasi yang dibuatnya. Aktor memberikan respons
kepada setiap sinyal (cues) yang dijumpai, menganalisisnya dalam definisi situasi,
dan bertindak atas dasar konstruksi definisi tersebut.
Definisi situasi adalah hasil dari proses eksplorasi untuk mengetahui segala
opsi perilaku yang ada dalam situasi tertentu, serta tindakan yang perlu diambil
dalam mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan tersebut. Definisi situasi bersifat
kognitif, menyangkut pengetahuan mengenai posisi seseorang di dalam waktu dan
ruang yang dapat membatasi cara dan pilihan untuk bertindak (Hewit, 1991).
Begitu pentingnya defenisi situasi dalam tindakan manusia, sehingga W.I
Thomas dan Doroty Thomas (Charon, 1998) berpendapat “ if men define situation as
real, they are real in their consequences”. Jika seseorang telah mendefinisikan
situasi sebagai sesuatu yang nyata, maka akibatnyapun adalah nyata. Jika seseorang
33
melihat situasi A dapat menimbulkan kejadian B, dan kebenaran atas defenisi situasi
A yang dilakukannya tidak diragukan, maka ia percaya bahwa B pasti akan terjadi.
Realita bagi seseorang pada hakekatnya sama dengan definisi situasi yang dibuatnya.
Definisi situasi diyakini menjadi kuasa-prima lahirnya tindakan. Thomas mengetahui
bahwa sebagian besar definisi kita tentang situasi telah disediakan oleh masyarakat
untuk kita.
Thomas menekankan bahwa yang menjadi sumber definisi sosial
terutama keluarga dan komunitas (Charon, 1998).
Charon mengakui bahwa menganalisis dan merumuskan situasi
mudah.
tidaklah
Banyak faktor ikut mempengaruhinya; obyek sosial yang ada, tujuan,
perspektif, norma,
kelompok referensi, pengalaman masa lalu,
terhadap apa yang sedang terjadi,
dan penilaian
semua harus diperhatikan dengan seksama.
Definisi situasi itu harus dikonstruksi, bukan sesuatu yang sudah
ada sehingga
dengan mudah bisa diperoleh siapapun. Konstruksi bisa dilakukan seorang diri, atau
bersama interaktan lain dalam proses interaksi.
Dari sekian banyak faktor yang mempengaruhi perumusan situasi, tujuan
(goals) dan perspektif diyakini dua faktor paling utama. Perbuatan manusia, baik
secara individu maupun kolektif, umumnya berorientasi pada tujuan atau perwujudan
atas tujuan tertentu.
Bagaimana tujuan dikaitkan dengan situasi yang dihadapi,
perspektif memegang peran, khususnya perspektif yang dianut oleh
referensi
dan
kelompok
yang berkaitan dengan posisinya (Charon, 1998). Perspektif
digambarkan sebagai
lensa untuk memfilter dan menginter-pretasikan realita.
Tingkat pengetahuan mengenai orang lain dan tujuan yang hendak dicapainya serta
kekuasaan yang dimiliki orang tersebut terhadap dirinya juga faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi ketepatan definisi situasi (Hewitt, 1991).
Membuat Pilihan (Keputusan)
Berdasarkan kemampuan
memaknai simbol-simbol dari suatu obyek dan
mendefinisikan situasi obyek tersebut, maka manusia dapat membuat pilihan tindakan
yang akan mereka lakukan. Orang tidak harus menyetujui arti dan simbol yang
dipaksakan terhadap mereka.
Berdasarkan penafsiran mereka sendiri, manusia
34
mampu membentuk arti baru dan deretan arti baru terhadap situasi. Jadi menurut teori
interaksionisme simbolik, aktor setidaknya mempunyai sedikit otonom. Mereka tidak
semata-mata sekedar dibatasi atau ditentukan; mereka dapat membuat pilihan yang
unik dan bebas. Begitu pula mereka mampu membangun kehidupan dengan gaya
yang unik (Ritzer & Goodman, 2007).
Aksi dan Interaksi
Dari teori interaksi simbolik akhirnya memberikan sebuah teori aksi (a theory
of action). Teori aksi dan reaksi dapat digambarkan seperti diagram berikut ini
(Gambar 1). Teori aksi ini bisa dipakai untuk memperoleh pemahaman tentang
tindakan individu atau sebab-sebab tindakan (action) individu.
Teori tersebut
menyebutkan bahwa aksi atau tindakan seseorang terhadap suatu obyek sosial selalu
didasarkan atas keputusan yang diambilnya saat itu yang dipengaruhi
oleh
pemaknaannya terhadap obyek atau definisi situasi dari obyek itu. Tindakan dapat
berubah, apabila keputusan yang diambil berubah yang diakibatkan oleh perubahan
definisi situasi yang dihadapinya. Perubahan definisi situasi dimungkinkan karena
perubahan hasil interaksi yang dialaminya dengan lingkungan dan significant others.
35
Obyek Sosial
Interaksi dengan
diri sendiri
(self-interaction)
 tujuan
 perspektif
 pengalaman
Interaksi dengan
orang lain
(Social- interaction)
 significant others
 refference group
Definisi Situasi
Keputusan
Tindakan
Gambar 1. Model “AKSI” Charon (1998)
2.4 Hasil Studi Kewirausahaan, Interaksi Simbolik dan Kebaruan
Penelitian
Beberapa kajian terkait yang dianggap memiliki kesamaan dengan studi ini,
baik berdasarkan obyek kajian (entrepreneurship) maupun pendekatan teori yang
digunakan (interaksi simbolik), berikut ini disajikan dengan tujuan untuk menjelaskan
kebaharuan yang ditawarkan oleh studi ini.
Kajian Pambudy (1999), menjelaskan bahwa: (a) perilaku berwirausaha
dipengaruhi oleh perilaku komunikasi, yaitu dalam hal pemilihan media komunikasi,
partisipasi sosial, keterdedahan media
massa, kontak antara sesama peternak,
aktivitas peternak dalam kelompok, dan kontak dengan penyuluh pada taraf yang
berbeda. Selain itu, juga dipengaruhi oleh karakteristik wirausahawan seperti; umur,
36
tanggungan keluarga, lama berternak, pendidikan dan penghasilan peternak.
(b)
perilaku berwirausaha dibentuk dari tiga aspek, yaitu pengetahuan berwirausaha,
sikap mental berwirausaha, dan keterampilan berwirausaha.
(c) perilaku
berwirausaha dipengaruhi oleh fungsi agribisnis, baik itu pada tingkat off-farm hulu,
on-farm dan off-farm hilir.
Kajian Suparta (2001) dalam disertasinya menyimpulkan: (1) 90,30 persen
peternak mempunyai sifat kewirausahaan tinggi, yang terbentuk karena pengaruh
peubah-peubah yang dapat dialami dan atau dirasakan langsung dalam aktivitas
kehidupan sehari-hari, seperti; keterampilan sistem nilai masyarakat lokal, persepsi,
penyediaan sapronak, dan pemasaran hasil. (2) semua faktor internal peternak
berpengaruh terhadap terbentuknya perilaku agribisnis terutama faktor keterampilan
dan sifat kewirausahaan, sedangkan (3) faktor-faktor eksternal berpengaruh terhadap
terbentuknya perilaku peternak secara tidak langsung melalui; pengetahuan, persepsi,
sikap, keterampilan, motivasi ekternal, dan sifat kewirausahaan.
Seperti terlihat dari
kajian-kajian di atas, semua peneliti menggunakan
paradigma positivistic-scientific (ilmiah). Hal lain yang dapat disimak adalah;
penelitian-penelitian tersebut lebih banyak melihat dan didasari oleh teori-teori
tentang “faktor apa yang menggerakkan orang berperilaku tertentu (isi).” Penelitianpenelitian tersebut menurut Kast dan Rosenzweig (1995) didasari oleh teori yang
fokus pada variabel spesifik yang mempengaruhi perilaku, seperti kondisi internal
dan kondisi eksternal yang bersangkutan. Sementara penelitian ini lebih fokus pada
keinginan untuk melihat proses terjadi suatu perubahan perilaku seseorang yaitu
dalam hal pembentukan dan atau pengembangan jiwa kewirausahaan dari perspektif
paradigma kualitatif-naturalistik (alamiah).
Studi ini menggunakan metode penelitian kualitatif yaitu fenomenologi.
Studi fenomenologi adalah studi yang melihat dan menyajikan realitas sebagaimana
tampaknya tanpa memaksakan nilai-nilai atau ukuran-ukuran tertentu didalamnya.
Dengan metode tersebut studi ini melihat, bagaimana sesungguhnya realitas perilaku
kewirausahaan dihasilkan (diproses). Teori-teori interaksi simbolik, adalah salah satu
teori yang ikut memperkaya studi fenomenologi ini.
37
Mulyana (2001) menjelaskan bahwa, akar pemikiran interaksi simbolik
mengasumsikan realitas sosial sebagai proses dan bukan sebagai sesuatu yang statis.
Artinya, masyarakat dilihat sebagai sebuah interaksi simbolik bagi individu-individu
yang ada di dalamnya.
Pada hakekatnya tiap manusia bukanlah ’barang jadi’
melainkan barang yang ’akan jadi’, karenanya teori interaksi simbolik membahas
pula konsep
mengenai ’diri’ (self) yang tumbuh berdasarkan ’negosiasi makna’
dengan orang lain.
Dari penelusuran pada beberapa kepustakaan, teori dan konsep interaksi
simbolik banyak digunakan oleh para antropolog atau para sosiolog untuk melihat
kasus-kasus sosial budaya (peradaban) dalam suatu masyarakat. Untuk kasus-kasus
yang lebih sempit seperti perubahan sifat dan ciri individu dalam suatu komunitas
bisnis, belum ditemukan.
Penggunaan pendekatan teori interaksi simbolik untuk
melihat proses pembentukan entrepreneurship adalah kebaharuan lain dari penelitian
ini.
Dua kajian yang menggunakan teori interaksi simbolik adalah Studi
Dramaturgis Komunikasi Politik di DPR RI dan Manajemen Komunikasi Pengemis,
yang kedua tulisan ini terdapat dalam buku Metode Penelitian Komunikasi Deddy
Mulyana (2007).
”Studi Dramaturgis Komunikasi Politik di DPR RI” merupakan disertasi
Arrianie (2010) menyimpulkan bahwa para aktor politik di DPR RI sangat dinamis,
mereka memiliki motif yang lebih bersifat individual dalam memainkan peran politik
mereka di DPR RI, bukan motif yang berkaitan dengan kepentingan partai politik
yang mereka wakili, apalagi dengan kepentingan rakyat banyak. Untuk itu mereka
kerap melakukan pengelolaan kesan (impression management) untuk mewujudkan
kepentingan mereka.
Panggung politik adalah sebuah dunia yang kental dengan manipulasi diri.
Makna pesan politik yang sama dalam suatu fraksi boleh jadi dimaknai berbeda
oleh politisi dari fraksi yang sama, tapi boleh jadi dimaknai sama oleh politisi dari
fraksi yang berbeda. Terdapat kekacauan konsepsi pada panggung politik. Peristiwa
yang seharusnya terjadi di panggung belakang (back stage), bisa terjadi di panggung
38
depan (front stage) atau sebaliknya. Apa yang terjadi di pangung depan bagi individu
atau kelompok politisi
(baik dalam arti partai, fraksi atau komisi) boleh jadi
merupakan panggung belakang bagi individu atau kelompok politisi lainnya, atau
dapat juga terjadi sebaliknya. Ditemukan pula panggung tengah yang menjadi ajang
kompromi politik, yang berada di luar atau mengantarai dua panggung tersebut.
Studi ”Manajemen Komunikasi Pengemis” Engkus Kuswarno (dalam
Mulyana 2007) antara lain menjelaskan: apabila pengemis diberi sejumlah identitas,
maka pengemis merupakan subyek yang melakukan suatu tindakan sosial; pengemis
adalah aktor kehidupan; pengemis menciptakan dunianya sendiri; pengemis memiliki
hidup yang penuh dengan makna simbolik; dan pengemis memerankan panggung
sebuah drama kehidupan
serta pengemis hidup
komunikasi interpersonal, intrapersonal
dengan kemampuan mengelola
maupun sistem dimana mereka berada.
Interaksi di antara sesama pengemis dan pengemis dengan orang lain yang bukan
pengemis, dibangun oleh sistem simbol atau lambang dengan makna tersendiri.
Secara intersubyektif pengemis memilih lambang yang dapat berinteraksi dalam
sistem sosial mereka.
Pengemis berupaya menampilkan dirinya seperti apa yang mereka kehendaki.
Mereka wujudkan hal itu dalam bentuk verbal maupun non verbal untuk memberikan
kesan yang diharapkan bagi lawan mereka berinteraksi.
Mereka menampakkan
panggung depan (front stage) di hadapan publik (calon dermawan) yang berbeda
dengan panggung belakang (back stage) atau kehidupan keseharian tanpa kehadiran
calon dermawan. Dalam konteks tersebut, pengemis memiliki kemampuan untuk
mengelola komunikasi mereka didasarkan atas nilai komponen masing-masing
(impression management), baik secara intrapersonal, interpersonal maupun sistem
dalam arti luas.
Kedua kajian di atas lebih banyak melihat bagaimana aktor mengelola kesan
(impression management) untuk berbagai alasan. Keduanya lebih banyak bersandar
pada teori dramaturgis yang dipopulerkan oleh Erving Gofman dan merupakan varian
dari teori interaksi simbolik.
39
Berbeda dengan kajian-kajian tersebut, penelitian ini lebih ditekankan pada
keinginan untuk melihat bagaimana aktor memaknai atau menginterpretasikan
hubungan atau interaksinya dengan lingkungan sosial (social interaction) terutama
dengan orang-orang yang dianggap berpengaruh secara signifikan (significant
others). Proses pemaknaan atau penginterpretasian itu sendiri dalam perspektif teori
interaksi simblik adalah suatu proses berpikir, atau dengan kata lain disebut interaksi
dengan dirinya sendiri (self interaction).
Tidak semua orang lain mempunyai pengaruh yang sama terhadap diri kita.
Ada yang paling berpengaruh, yaitu orang-orang yang dekat dengan diri kita. George
Herbert Mead menyebut mereka significant others – orang lain yang sangat penting.
Ketika kita masih kecil, mereka adalah orang tua kita, saudara-saudara kita, dan orang
yang tinggal satu rumah dengan kita. Richard Dewey dan W. J. Humber menamainya
affective others – orang lain yang dengan mereka kita mempunyai ikatan emosional.
Dari merekalah kita secara perlahan-lahan membentuk konsep diri kita (Rakhmat,
2005).
Dari hasil interaksi sosialnya, individu juga menyadari adanya kebudayaan
(the generalized other), istilah yang dipergunakan
diperhatikan, bahkan ditaati dalam interaksi sosial.
oleh Mead yang perlu
Dikatakan oleh Mead “the
matured self arises when a generalized other is internalized so that the community
exercise control over the conduct of its individual
members.”
Hanya dengan
menghayati dan melaksanakan kebudayaan yang berlaku dalam masyarakat tempat
terjadinya interaksi, individu dikatakan bisa mencapai tingkat kedewasaan yang
matang (Charon, 1998).
Selanjutnya Rakhmat (2005) menjelaskan bahwa dalam perkembangannya,
significant others meliputi semua orang yang mempengaruhi perilaku, pikiran, dan
perasaan kita. Mereka mengarahkan tindakan kita, membentuk pikiran kita, dan
menyentuh kita secara emosional. Orang-orang ini boleh jadi masih hidup atau sudah
mati. Ketika kita tumbuh dewasa, kita mencoba menghimpun penilaian semua orang
yang pernah berhubungan dengan kita. Pandangan diri kita terhadap keseluruhan
pandangan orang lain terhadap kita disebut generalized others. Memandang diri kita
40
seperti orang-orang lain memandangnya, berarti mencoba menempatkan diri kita
sebagai orang lain. Kita mengambil peran orang lain (role taking) yang amat penting
artinya dalam pembentukan konsep diri.
Dalam bermasyarakat, manusia pasti menjadi anggota dari suatu kelompok.
Setiap kelompok pasti mempunyai norma-norma tertentu. Ada kelompok yang secara
emosional mengikat kita, dan berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri kita. Ini
disebut kelompok rujukan. Dengan melihat kelompok ini, orang mengarahkan
perilakunya dan menyesuaikan dirinya dengan ciri-ciri kelompoknya. Kalau kita
memilih kelompok rujukan tertentu, maka kita akan menjadikan norma-norma dalam
kelompok ini sebagai ukuran perilaku kita.
Download