BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 Anatomi telinga tengah Telinga tengah terdiri dari membran timpani, kavum timpani, tuba Eustacius dan prosesus mastoideus (Moore, 1989 ; Dhingra, 2004). 2.1.1 Membran timpani Membran timpani di bentuk dari dinding lateral kavum timpani yang memisahkan liang telinga luar dari kavum timpani. Membran timpani mempunyai ukuran panjang vertikal rata-rata 9 -10 mm, diameter 8 - 9 mm dan tebalnya kira-kira 0,1 mm. Membran timpani miring ke medial dari posterior superior ke anterior inferior, membentuk sudut kira-kira 140º antara kavum timpani dan liang telinga luar (Moore, 1989). Membran timpani terdiri dari tiga lapisan. Lapisan skuamosa membatasi telinga luar sebelah medial, lapisan mukosa membatasi telinga tengah sebelah lateral dan jaringan fibrosa terletak diantara kedua lapisan tersebut. Lapisan fibrosa terdiri dari serat melingkar dan serat radial yang menjadikan bentuk dan konsistensi membran timpani. Serat-serat radial masuk kedalam perikondrium lengan maleus dan kedalam anulus fibrosa, membentuk gambaran kerucut yang penting secara fungsional. Serat melingkar memberikan kekuatan bagi membran timpani telinga tanpa mempengaruhi vibrasi, dibantu oleh beberapa serat tegak lurus yang memperkuat bentuknya. Sifat arsitektur membran timpani membuatnya dapat menyebarkan energi vibrasi secara ideal (Austin, 1997). Universitas Sumatera Utara Membran timpani dibagi dalam dua bagian : a. Pars tensa, merupakan bagian terbesar dari membran timpani. Bagian pinggirnya menebal membentuk jaringan cincin fibrokartilaginous yang disebut dengan annulus timpanikus yang terdapat didalam sulkus timpanikus. Bagian sentral dari pars tensa melekuk kedalam ke ujung maleus disebut umbo. Refleks cahaya dapat terlihat memancar dari ujung maleus ke pinggir membran timpani di kuadran anteroinferior. b. Pars flaksida (Shrapnel’s membrane), terletak diatas prosesus lateral maleus antara notch of Rivinus dan plika maleolaris anterior dan plika maleolaris posterior (Dhingra, 2004). c. 2.1.2 Kavum timpani (Telinga tengah) Telinga tengah (kavum timpani) terdiri dari suatu ruang yang terletak di antara membran timpani dan kapsul telinga dalam, tulang-tulang dan otot yang terdapat di dalamnya beserta penunjangnya, tuba Eustachius dan sistem sel-sel udara mastoid. Batas-batas superior dan inferior membran timpani membagi kavum timpani menjadi epitimpanum atau atik, mesotimpanum dan hipotimpanum (Austin, 1997). Hipotimpanum adalah suatu ruang dangkal yang terletak lebih rendah dari membran timpani. Permukaan tulang pada bagian ini tampak seperti gambaran kerang karena adanya sel-sel udara berbentuk cangkir. Dinding ini menutupi bulbus yugularis. Kadang-kadang suatu celah pada dinding ini menyebabkan sebagian bulbus yugularis dapat masuk kedalam hipotimpanum (Austin, 1997). Universitas Sumatera Utara Mesotimpanum, disebelah medial dibatasi oleh kapsul otik, yang letaknya lebih rendah daripada nervus fasial pars timpani. Suatu penonjolan yang melengkung pada bagian basal kohlea terletak tepat disebelah medial membran timpani dan disebut promontorium. Didalam promontorium terdapat beberapa saluran-saluran berisi sarafsaraf yang membentuk pleksus timpanikus. Disebelah posterior promontorium pada bagian superior terdapat foramen ovale (vestibuler) dan pada bagian inferior terdapat foramen rotundum (kohlear), yang keduanya terletak pada dasar suatu lekukan. Kedua lekukan tersebut berhubungan pada batas posterior mesotimpanum melalui suatu fosa yang dalam, yaitu sinus timpanikus. Pada foramen ovale terdapat lempeng kaki stapes yang terletak pada bidang sagital. Foramen rotundum terlindung dari penglihatan karena bagian ini terletak pada bidang melintang sebelah anterior suatu tepi penonjolan dari promontorium. Foramen rotundum ditutupi oleh suatu membran yang tipis yaitu membran timpani sekunder. Dinding posterior mesotimpanum dibentuk oleh tulang yang menutupi saraf fasial pars desendens. Tulang ini biasanya mempunyai sel-sel pneumatisasi dan sering mempunyai hubungan dengan sistem sel udara mastoid. Sebelah superior dinding ini terdapat suatu penonjolan berbentuk kerucut yang disebut eminensia piramid, melindungi muskulus stapedius dan tendonnya. Suatu cabang saraf ke-7 menginervasi otot tersebut. Disebelah lateral eminensia piramid terdapat foramen untuk nervus korda timpani yang berjalan dibagian inferior melalui suatu saluran untuk bergabung dikanalis fasial atau pada foramen stilomastoid (Austin, 1997). Suatu ruang yang secara klinis sangat penting ialah sinus posterior atau resesus fasial yang terdapat disebelah lateral kanalis fasial dan prosesus piramidal. Dibatasi sebelah lateral oleh anulus timpanikus posterosuperior, sebelah superior oleh prosesus Universitas Sumatera Utara brevis inkus yang melekat ke fosa inkudis. Ruang ini memanjang dari ruang telinga tengah posterosuperior ke aditus ad antrum dan penyakit sering tersembunyi disini. Pendekatan terhadap ruang ini dari antrum mastoid akan membuka struktur timpanum posterior dan nervus fasial (Austin, 1997). Bagian anterior saluran fasial pars timpani ditandai oleh penonjolan berbentuk pengait di ujung oleh posterior saluran otot tensor timpani, yaitu prosesus kokleariform yang membuat tendon muskulus tensor tersebut membelok kelateral kedalam telinga tengah. Saluran muskulus tensor timpani berjalan kedepan ke dalam permukaan superior tuba Eustachius dan merupakan tanda batas anterosuperior mesotimpanum (Austin, 1997). Pada dinding anterior mesotimpanum terdapat orificium timpani tuba Eustacius pada bagian superior dan membentuk bagian tulang dinding saluran karotis asenden pada bagian inferior. Dinding ini biasanya mengalami pneumatisasi yang baik dan dapat dijumpai bagian-bagian tulang yang lemah (Austin, 1997). Dalam epitimpanum terdapat inkus dan maleus. Di bagian superior epitimpanum dibatasi oleh suatu penonjolan tipis os petrosus, yaitu tegmen timpani yang merupakan kelanjutan tegmen mastoid posterior. Dinding medial atik dibentuk oleh kapsul atik yang ditandai oleh tonjolan kanalis semisirkuler lateral. Pada bagian anterior terdapat bagian ampula kanalis superior, dan lebih anterior ada gangglion genikulatum yang merupakan tanda ujung anterior ruang atik. Dinding anterior terpisah dari maleus oleh suatu ruang yang sempit, dan disini dapat dijumpai muara se-sel udara yang membuat pneumatisasi pangkal tulang pipi (zygoma). Dinding lateral atik dibentuk oleh os skuama yang Universitas Sumatera Utara berlanjut ke arah lateral sebagai dinding liang telinga luar bagian tulang sebelah atas. Di posterior, atik menyempit menjadi jalan masuk ke antrum mastoid, yaitu aditus ad antrum (Austin, 1997). 2.1.3 Tuba Eustachius Tuba Eustachius menghubungkan rongga telinga tengah dengan nasofaring. Bagian lateral tuba Eustachius adalah yang bertulang, sementara duapertiga bagian medial bersifat kartilaginosa. Origo otot tensor timpani terletak disebelah atas bagian bertulang sementara kanalis karotikus terletak dibagian bawahnya. Bagian bertulang rawan berjalan melintasi dasar tengkorak untuk masuk ke faring diatas otot konstriktor superior. Bagian ini biasanya tertutup tetapi dapat dibuka melalui kontraksi otot levator palatinum dan tensor palatinum yang masing-masing disarafi pleksus faringealis dan saraf mandibularis. Tuba Eustachius berfungsi untuk menyeimbangkan tekanan udara pada kedua sisi membran timpani (Liston, 1997). Pada orang dewasa perbedaan tinggi muara tuba Eustachius di kavum timpani dan nasofaring sekitar 25 mm. Tuba Eustachius panjangnya 30 sampai 40 mm, pada anak ukurannya lebih pendek dan lebih datar. Dinding tuba Eustachius mempunyai bagian tulang rawan yang merupakan 2/3 seluruh panjangnya mulai dari muaranya di kavum timpani, sedangkan 1/3 bagian yang lain berdinding tulang rawan, turun ke arah nasofaring. Dinding tulang rawan ini tidak lengkap, dinding bawah dan lateral bawah merupakan jaringan ikat yang bergabung dengan m. tensor dan levator veli palatini. Pada keadaan istirahat, lumen tuba Eustachius tertutup. Terdapat mekanisme pentil Universitas Sumatera Utara pada tuba ini, udara lebih sukar masuk ke kavum timpani dari pada keluar (Helmi, 2005). Fungsi tuba Eustachius : 1. Mengatur ventilasi dari telinga tengah dan memelihara keseimbangan tekanan pada kedua sisi dari membran timpani. 2. Drainase dari telinga tengah. 3. Melindungi dari tekanan suara nasofaring dan sekret dari nasofaring (Kumar, 1996). Tuba biasanya tertutup dan akan terbuka melalui kontraksi aktif otot tensor veli palatini pada saat menelan, atau saat menguap atau membuka rahang. Ventilasi memungkinkan keseimbangan tekanan atmosfer pada kedua sisi membran timpani. Tuba akan membuka melalui kerja otot bilamana terdapat perbedaan tekanan sebesar 20 hingga 40 mmHg. Untuk melakukan fungsi ini, diperlukan otot tensor veli palatini yang utuh (Paparella, 1997). 2.1.4 Prosesus mastoid - Pneumatisasi Sistem sel udara pneumatik tumbuh sehubungan dengan pembesaran tulang temporal sebagai suatu penumbuhan ke luar dari telinga tengah dan antrum. Kelompokkelompok sel udara dapat diklasifikasikan berdasarkan asal perkembangannya. Sel-sel yang berkembang dari antrum merupakan kelompok terbesar, terbentuk di dalam prosesus mastoid yang membesar. Sel-sel mastoid terletak di sebelah luar suatu lempeng tulang yang biasanya dijumpai pada pertemuan prosesus antrum os petrosa Universitas Sumatera Utara dan prosesus timpani os skuama (sutura petroskuamosa) yang dikenal dengan nama septum korner. Sebelah dalam septum ini dijumpai sel-sel antrum yang merupakan perluasan antrum asli ke arah medial ke dalam os petrosa. Perluasan tersebut dapat terjadi jauh ke dalam petrosa sampai ke pinggir kanalis semisirkuler dan kanal auditori interna. Sinus sigmoid mungkin dikelilingi oleh suatu kelompok sinus yang dapat meluas ke skuama. Perluasan sel-sel tersebut ke arah anterior dan lateral dapat mencapai zigoma (sel-sel zigoma) dan berhubungan dengan atik. Sel-sel ujung mastoid kadang-kadang membentuk suatu daerah koalesens yang besar di ujung prosesus mastoid (Austin, 1997). Mastoid terdiri dari sebuah tulang korteks dengan sebuah “sarang lebah (honeycomb)” dari sel udara dibawahnya. Tergantung dari pertumbuhan sel udara, mastoid dibagi tiga tipe : 1. Well-pneumatised atau cellular, sel-sel mastoid pertumbuhannya baik dan septa tipis. 2. Diploetic, mastoid terdiri dari marrow spaces dan sedikit sel-sel udara. 3. Sclerotic atau acellular, tidak dijumpai sel-sel atau marrow spaces (Dhingra, 2004). 2.1.5 Vaskularisasi kavum timpani Vaskularisasi kavum timpani berasal dari cabang-cabang kecil arteri karotis eksterna. Cabang-cabang pembuluh darah kecil tersebut adalah: a.timpani anterior yang merupakan cabang dari a. maksilaris yang masuk ke telinga tengah melalui fisura Universitas Sumatera Utara petrotimpani. Arteri ini mendarahi bagian anterior kavum timpani termasuk mukosa membran timpani. a. Arteri timpani posterior yang merupakan cabang stilomastoid yang dapat berasal dari a. aurikularis posterior atau a. oksipital. A.timpani posterior masuk ke kavum timpani bersama korda timpani lalu mendarahi bagian posterior kavum timpani. b. Arteri timpani inferior yang berasal dari cabang asendens a. karotis eksterna yang masuk ke kavum timpani melalui kanalikulus timpani bersama dengan cabang timpani n. IX lalu mendarahi terutama bagian inferior kavum timpani. c. Arteri petrosus superfisialis dan a. timpani superior yang merupakan cabangcabang a. meningea media yang masuk ke kavum timpani masing-masing melalui lubang kecil di tegmen timpani dan melalui fisura petroskuamosa, lalu mendarahi bagian superior kavum timpani. d. Arteri karotikotimpani yang merupakan satu-satunya cabang berasal dari a. karotis interna, masuk ke kavum timpani dengan menembus lamina tulang tipis yang membatasi kanalis karotikus dengan telinga tengah (Helmi, 2005). Aliran vena jalan seiring dengan arterinya untuk bermuara pada sinus petrosus superior dan pleksus pterigoideus (Helmi, 2005). 2.2 Definisi Otitis media supuratif kronis adalah radang telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan riwayat keluarnya sekret dari telinga (otorea) tersebut lebih dari 2 bulan, baik terus menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin encer atau kental, bening atau berupa nanah. Batasan waktu 2 bulan tersebut dari negara ke negara bervariasi, Universitas Sumatera Utara WHO menentukan batasan waktu 2 minggu (Helmi, 2005). Bailey dan Scott-Brown’s mengatakan batasan waktu OMSK adalah lebih dari 3 bulan (Canter, 1997 ; Kenna, 2006). 2.3 Kekerapan Prevalensi OMSK di Indonesia secara umum adalah 3,9%. Pasien OMSK merupakan 25% dari pasien-pasien yang berobat di poliklinik THT di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta (Helmi, 2005). Data poliklinik THT RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2006 menunjukkan pasien OMSK merupakan 26% dari seluruh kunjungan pasien (Aboet, 2007). Di negara lain prevalensinya bervariasi dari negara ke negara, WHO mengklasifikasinya menjadi negara berprevalensi paling tinggi (>4%), tinggi (24%), rendah (1-2%), paling rendah (<1%). Negara berprevalensi paling tinggi termasuk Tanzania, India, Kepulauan Salomon, Guam, Aborigin Australia dan Greenland. Negara dengan prevalensi tinggi termasuk Nigeria, Angola, Mozambique, Republik of Korea, Thailand, Philippines, Malaysia, Vietnam, Micronesia, China, Eskimos. Negara berprevalensi rendah termasuk Brazil, Kenya. Sedangkan negara berprevalensi paling rendah adalah Gambia, Saudi Arabia, Israel, Australia, United Kingdom, Denmark, Finland, American Indians. Indonesia belum masuk daftar, melihat klasifikasi itu Indonesia masuk dalam Negara dengan OMSK prevalensi tinggi (Helmi, 2005 ; WHO, 2004). Beberapa peneliti melaporkan bahwa OMSK tipe benigna mempunyai hubungan dengan faktor alergi. Suparyadi pada tahun 1990 di Semarang dalam penelitiannya terhadap 60 orang OMSK tipe benigna mendapatkan 25,67% penderita kemungkinan Universitas Sumatera Utara mempunyai faktor alergi. Sri Harmadji pada tahun 1991 di Surabaya dengan kasus yang sama mendapatkan 33,3% dari 30 penderita kemungkinan faktor alergi (Harmadji, 1993). Farida et al, pada tahun 2006 di Makassar mendapatkan hubungan bermakna kejadian alergi pada OMSK benigna melalui tes kulit cukit sebesar 86,2%, menunjukkan bahwa alergi merupakan faktor risiko OMSK benigna (Farida et al, 2006). Lasisi et al, pada tahun 2008 di Nigeria melaporkan terdapat hubungan antara otitis media supuratif dan alergi pada sekitar 80% pasien dengan alergi (Lasisi, 2008). 2.4 Etiologi dan Patogenesis 2.4.1 Etiologi Menurut Ballenger faktor-faktor yang menyebabkan infeksi telinga tengah supuratif menjadi kronis sangat majemuk, antara lain : 1. Gangguan fungsi tuba Eustachius yang kronis akibat : a.infeksi hidung dan tenggorok yang kronis atau berulang. b.obstruksi anatomi tuba Eustachius partial atau total. 2. Perforasi membran timpani yang menetap. 3. Terjadinya metaplasia skuamosa atau perubahan patologik menetap lainnya pada telinga tengah. 4. Obstruksi menetap terhadap aerasi telinga tengah atau rongga mastoid. Hal ini dapat disebabkan oleh jaringan parut, penebalan mukosa, polip, jaringan granulasi atau timpanosklerosis. 5. Terdapat daerah-daerah dengan sekuester atau osteomielitis persisten dimastoid. Universitas Sumatera Utara 6. Faktor-faktor konstitusi dasar seperti alergi, kelemahan umum atau perubahan pertahanan tubuh (Ballenger, 1997). Terjadinya OMSK hampir selalu dimulai dengan otitis media berulang pada anak, jarang yang dimulai setelah dewasa. Terjadinya otitis media disebabkan multifaktor antara lain infeksi virus atau bakteri, gangguan fungsi tuba, alergi, kekebalan tubuh, lingkungan dan sosial ekonomi. Anak lebih mudah mendapat infeksi telinga tengah karena struktur tuba anak yang berbeda dengan dewasa serta kekebalan tubuh yang belum berkembang sempurna sehingga bila terjadi infeksi saluran napas atas maka otitis media merupakan komplikasi yang sering terjadi. Fokus infeksi biasanya berasal dari nasofaring (adenoiditis, tonsilitis, rinitis, sinusitis) mencapai telinga tengah melalui tuba Eustacius (Helmi, 2005). Secara umum OMSK dapat disebabkan oleh: 1.Lingkungan Dalam berbagai penelitian, dijumpai hubungan yang erat antara pasien OMSK dan sosial ekonomi, dimana insidens yang tinggi dijumpai pada sosial ekonomi yang rendah (Browning, 1997). Prevalensi lebih tinggi berkisar 5-6 kali lebih banyak dibanding penduduk dengan sosial ekonomi baik (Mangape, 1995). Universitas Sumatera Utara Mayoritas peneliti dari berbagai negara melaporkan faktor yang berpengaruh terhadap otitis media antara lain: 1.Kondisi sosial ekonomi 2.Kebersihan perorangan (personal hygiene) 3.Jumlah keluarga dalam satu keluarga 4.Kondisi tempat tinggal 5.Malnutrisi 6.Kurangnya sarana kesehatan 7.Kurangnya pengobatan pada stadium dini (Mangape, 1995). 2.Genetik Hubungan antara faktor genetik dengan terjadinya OMSK masih menjadi pertanyaan sehubungan dengan adanya kecenderungan pada ras tertentu untuk terjadinya OMSK. Sebagai contoh diduga bahwa ras kulit putih Amerika lebih cenderung menderita OMSK dibandingkan ras negro Amerika (Browning, 1997). Peran faktor genetik masih diperdebatkan akhir-akhir ini, khususnya apakah insiden OMSK berhubungan dengan ukuran sel-sel udara mastoid yang diduga telah terganggu secara genetik. Secara histologis, tidak diragukan lagi bahwa dengan adanya proses inflamasi yang berulang, maka sel-sel udara mastoid menjadi lebih sklerotik secara progresif (Browning, 1997). Universitas Sumatera Utara 3.Riwayat otitis media sebelumnya Secara umum dikatakan bahwa otitis media kronis merupakan sekuele dari otitis media akut dan otitis media efusi, tetapi tidak diketahui faktor apa yang menyebabkan mengapa satu telinga berlanjut menjadi kondisi yang kronis, sedangkan telinga lainnya tidak (Browning, 1997). 4.Faktor infeksi Bakteri hampir selalu dijumpai pada isolasi mukopus atau dari mukosa telinga tengah pada otitis media kronis yang aktif. Proporsi berbagai organisme berbeda-beda diantara beberapa penelitian, tetapi organisme yang paling banyak dijumpai adalah bakteri gram negatif, bowel-type flora dan kadang-kadang dijumpai berbagai organisme yang berbeda dari satu telinga (Browning, 1997). Telah terbukti bahwa bakteri dapat menghasilkan substansi yang mempengaruhi fungsi silia sehingga akan menyebabkan stasis sekresi didalam telinga tengah. Selain itu juga diketahui bahwa kolonisasi polimikrobial menyebabkan kerusakan yang lebih hebat dibandingkan dengan monomikrobial (Browning, 1997). 5.Infeksi saluran napas Sebagian besar pasien mengeluh keluarnya cairan dari telinga setelah mengalami infeksi saluran napas atas. Dalam hal ini diduga infeksi virus akan mempengaruhi mukosa telinga tengah sehingga kurang resisten terhadap organisme yang secara normal memang ditemukan didalam telinga tengah sehingga memudahkan pertumbuhan bakteri (Browning, 1997). Universitas Sumatera Utara 6.Autoimun Penderita dengan penyakit autoimun cenderung mempunyai insiden yang lebih tinggi terhadap OMSK (Browning, 1997). 7.Alergi Walaupun sebagian penulis menganggap alergi merupakan faktor yang penting, tetapi tetap harus dibuktikan bahwa individu dengan alergi mempunyai insidens OMSK yang lebih tinggi dibandingkan dengan non-alergi (Browning, 1997). 8.Gangguan fungsi tuba Eustachius Pada otitis media kronis yang aktif, tuba Eustachius sering mengalami sumbatan akibat edema, tetapi apakah hal ini merupakan fenomena primer atau sekunder tetap tidak diketahui. Pada telinga yang inaktif, berbagai metode telah digunakan untuk mengevaluasi fungsi tuba Eustacius dan sebagian besar menduga bahwa tuba telah gagal untuk mengembalikan tekanan negatif dalam telinga tengah menjadi normal (Browning, 1997). 2.4.2 Klasifikasi Secara klinis, OMSK dibagi dalam dua tipe : 1.Tipe tubotimpanik Di sebut juga tipe benigna, meliputi bagian anteroinferior dari telinga tengah dan berhubungan dengan perforasi sentral. Tidak ada dijumpai komplikasi yang serius pada tipe ini. Universitas Sumatera Utara 2.Tipe atikoantral Di sebut juga tipe berbahaya atau danger tipe, meliputi bagian posterosuperior dari telinga tengah (atik, antrum dan mastoid) dan berhubungan dengan perforasi atik atau perforasi marginal. Penyakit ini sering berhubungan dengan proses erosi tulang seperti kolesteatoma, granulasi atau osteitis. Risiko terjadinya komplikasi tinggi pada tipe ini (Dhingra, 2004). Tipe jinak (benigna) biasanya didahului dengan gangguan fungsi tuba yang menyebabkan kelainan kavum timpani, disebut juga tipe mukosa karena proses peradangannya biasanya hanya pada mukosa telinga tengah. Tipe bahaya (atikoantaral) karena proses biasanya dimulai di daerah atik, disebut juga tipe tulang karena penyakit menyebabkan erosi tulang. Di Indonesia tipe bahaya lebih terkenal sebagai tipe maligna (Helmi, 2005). Faktor predisposisi (predisposing factors) pada penyakit tubotimpanal adalah: 1.Infeksi saluran napas atas yang berulang, nasal alergi, rinosinusitis kronis. 2.Pembesaran adenoid pada anak-anak, tonsilitis kronis. 3.Mandi dan berenang dikolam renang, mengorek telinga dengan alat yang terkontaminasi. 4.Malnutrisi dan hipogammaglobulinemia 5.Otitis media supuratif akut yang rekuren (Ramalingam et al, 1993 ; Kumar, 1996) Universitas Sumatera Utara 2.4.3 Patogenesis Patogenesis OMSK benigna terjadi karena proses patologi telinga tengah, pada tipe ini didahului oleh kelainan fungsi tuba maka disebut juga sebagai penyakit tubotimpanik. Terjadinya OMSK hampir selalu dimulai dengan otitis media berulang pada anak, jarang dimulai setelah dewasa. Terjadinya otitis media disebabkan multifaktor antara lain infeksi virus atau bakteri, gangguan fungsi tuba, alergi, kekebalan tubuh, lingkungan dan sosial ekonomi. Anak lebih mudah mendapat infeksi telinga tengah karena struktur tuba anak yang berbeda dengan dewasa serta kekebalan tubuh yang belum berkembang sempurna sehingga bila terjadi infeksi saluran nafas atas, maka otitis media merupakan komplikasi yang sering terjadi. Fokus infeksi biasanya berasal dari nasofaring (adenoiditis, tonsilitis, rinitis, sinusitis), mencapai telinga tengah melalui tuba Eustachius. Kadang-kadang infeksi berasal dari telinga luar masuk ke telinga tengah melalui perforasi membran timpani, maka terjadilah proses inflamasi. Bila terbentuk pus akan terperangkap didalam kantong mukosa telinga tengah. Dengan pengobatan yang cepat dan adekuat dan dengan perbaikan fungsi ventilasi telinga tengah, biasanya proses patologis akan berhenti dan kelainan mukosa akan kembali normal. Bila terjadi perforasi membran timpani yang permanen, mukosa telinga tengah akan terpapar ke dunia luar sehingga memungkinkan terjadinya infeksi berulang setiap waktu. Hanya pada beberapa kasus keadaan telinga tengah tetap kering dan pasien tidak sadar akan penyakitnya. Bila terjadi infeksi maka mukosa telinga tengah tampak tipis dan pucat (Helmi, 2005). Universitas Sumatera Utara Mukosa telinga tengah yang normal memperlihatkan kurang dalam sel-sel imunokompeten pada beberapa penelitian sebelumnya, tetapi sel-sel itu diaktivasi dengan infeksi mikroba, telinga tengah dapat menjadi tempat yang aktif secara imunologi, baik dengan imunitas mukosa atau imunitas sistemik, sama halnya dengan imunitas untuk melawan berbagai kuman patogen. Karena itu dapat juga diterangkan bahwa epitel mukosa telinga tengah dapat diaktivasi untuk menghasilkan berbagai kemokin (seperti IL-8 melalui Toll-like receptors) dan perekrutan sel-sel imunokompeten ke telinga tengah bersama sama dengan sistem imun di sistem dibagian lain mukosa dalam mengekspresikan suatu respon imun lokal pada telinga tengah selama suatu otitis media (Barenkam et al, 2003). Sebagai respons alergi terjadi sekresi berbagai mediator dan sitokin yang mempengaruhi terjadinya inflamasi dan kondisi ini dapat berulang hingga kronis. Interleukin-1 (IL-1) merupakan sitokin yang kadarnya tinggi pada pasien-pasien OMSK. Demikian juga tumor necrosis factor-α (TNF-α). Selain faktor fungsi tuba, patogenesis OMSK juga dipengaruhi oleh faktor mukosa telinga tengah sebagai target organ alergi. Pada biopsi mukosa telinga tengah didapatkan esinophilic cationic protein (ECP), IL-5 dan binding major protein (BMP) yang lebih tinggi pada pasien otitis media dibanding dengan pasien non otitis media (Restuti, 2006). Penyakit alergi THT seperti halnya penyakit alergi pada umumnya adalah suatu reaksi abnormal yang bersifat khas, timbul pada orang yang berbakat alergi (atopi) dan terjadi bila ada kontak dengan suatu bahan tertentu (alergen). Penyakit ini sebagai manifestasi reaksi antigen antibodi. Pada kontak pertama dengan antigen/alergen tubuh membentuk antibodi IgE spesifik yang menempel pada permukaan sel mastosit/basofil. Universitas Sumatera Utara Pada keadaan ini orang tersebut sudah siap untuk mendapatkan penyakit alergi. Pada kontak ulang dengan alergen yang sama, maka alergen akan menempel pada IgE pada permukaan sel mastosit/basofil tersebut sehingga menyebabkan degranulasi sel-sel mastosit/basofil, sehingga terlepaslah bahan-bahan mediator antara lain histamin. Bahan-bahan mediator ini akan berkumpul pada organ sasaran antara lain pada kulit liang telinga luar, mukosa telinga, hidung dan tenggorok sehingga menimbulkan reaksi alergi. Mukosa kavum timpani merupakan salah satu organ sasaran, hal ini dijelaskan oleh Siegel : 1. Telinga tengah berfungsi sebagai ”Shock organ”. 2. Merupakan perluasan dari reaksi alergi saluran napas bagian atas (Harmadji, 1993). Dari berbagai penelitian, ditemukan bahwa inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada saluran napas atas dan bawah berhubungan dengan sitokin-sitokin yang dihasilkan oleh sel Th2 seperti interleukin-4 (IL-4) dan IL-5. Proses ini merupakan hasil dari infiltrasi eosinofil yang merupakan karakteristik dari respon alergi. IL-4 membantu produksi IgE oleh sel-sel B dan mengatur adhesi molekul sel vaskular pada sel endotel, yang lebih jauh akan membantu transmigrasi eosinofil ke jaringan. IL-5 bertindak sebagai faktor penstimulasi koloni (colony stimulating factor) untuk eosinofil, dan membantu proliferasi eosinofil serta diferensiasinya dijaringan (Wright et al, 2000). Peningkatan sekresi IgE didalam telinga tengah tinggi pada OMSK dibanding OMA. Maka alergi berperan pada OMSK dan IgE meningkat didalam sekresi otitis media yang merupakan respon mukosa (Lasisi, 2008). Universitas Sumatera Utara 2.5 Alergi Penyakit alergi merupakan reaksi hipersensitivitas dari organ yang terkena. Istilah atopi adalah didapatkannya IgE hiperresponsif, sedangkan alergi adalah ekspresi klinis dari penyakit yang dimediatori oleh IgE. Pasien atopi dapat mempunyai atau tidak mempunyai gejala alergi. Frekwensi atopi di negara-negara berkembang adalah 3040%, tetapi hanya sebagian yang menderita alergi, yaitu asma bronkial alergi 5-10%, rinitis alergi 10-20% dan alergi makanan 1-3% (Mahdi, 2008). Pada penyakit karena alergi/atopi bila dirangsang dengan alergen, timbul reaksi pembentukan IgE sedangkan pada orang normal tidak terjadi. IgE antibodi terikat pada Fc reseptor dipermukaan sel mastosit dan basofil, ini tidak berbahaya apabila tidak terpapar dengan antigen yang sama. Ikatan antigen dengan IgE antibodi menjembatani antibodi dengan reseptor dan merangsang lepasnya granula yang berisi histamin serta mediator lainnya (Mahdi, 2008). Pada individu yang cenderung alergi, paparan terhadap beberapa antigen menyebabkan beberapa antigen menyebabkan aktivasi sel Th2 dan produksi IgE. Individu normal tidak mempunyai respon Th2 yang kuat terhadap sebagian besar antigen asing. Ketika beberapa individu terpapar antigen seperti protein pada serbuk sari (pollen), makanan tertentu, racun pada serangga, kutu binatang dan lain-lain, respon sel T yang dominan adalah pembentukan sel Th2. Individu yang atopi dapat alergi terhadap satu atau lebih alergen diatas. Hipersensitivitas tipe cepat terjadi sebagai akibat dari aktivasi sel Th2 yang berespon terhadap antigen protein atau zat kimia yang terikat pada protein. Antigen yang menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe cepat (reaksi alergik) sering disebut sebagai alergen (Munasir et al, 2007). Universitas Sumatera Utara Interleukin (IL) 4 dan IL 13 yaitu sebagian dari sitokin yang disekresi oleh sel Th2, akan menstimulasi limfosit B yang spesifik terhadap antigen asing untuk berdiferensiasi menjadi sel plasma yang kemudian memproduksi IgE. Oleh sebab itu, individu yang atopi akan memproduksi IgE dalam jumlah besar sebagai respon terhadap antigen yang tidak akan menimbulkan respon IgE pada sebagian besar orang. Kecenderungan ini mempunyai dasar genetika yang kuat dengan banyak gen yang berperan. Hubungan antara genetik dan imunologik kemungkinan terletak pada keseimbangan antara sel Th1 dan Th2 merupakan faktor penting. Sekarang telah diketahui bahwa orang-orang dengan penyakit alergi didapatkan peningkatan sel Th2 mempunyai nilai prediksi peningkatan kadar Th2. Produksi sitokinnya seperti IL4 dan IL6 akan meningkat, sebaliknya pada orang-orang tanpa gejala alergi produksi Th2 rendah (Munasir et al, 2007; Mahdi, 2008). 2.5.1 Reaksi Hipersensitivitas tipe 1 Alergi merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I, alergen yang masuk kedalam tubuh menimbulkan respon imun dengan dibentuknya IgE. Reaksi ini diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi yang ditimbulkan terdiri dari dua fase, yaitu reaksi alergi fase cepat (RAFC) dan reaksi alergi fase lambat (RAFL). Reaksi fase cepat berlangsung sampai satu jam setelah kontak dengan alergen, dan mencapai puncaknya pada 15-20 menit pasca pajanan alergen, sedangkan RAFL berlangsung 2-4 jam kemudian, dengan puncak reaksi pada 6-8 jam setelah pajanan dan dapat berlangsung 24-48 jam (Sumarman, 2001 ; Irawati et al, 2008). Universitas Sumatera Utara 2.5.2. Tahap Sensitisasi Reaksi alergi dimulai dengan respons pengenalan alergen oleh sel darah putih, yaitu sel makrofag, monosit atau sel dendritik. Sel-sel tersebut berperan sebagai antigen presenting sel (APC) atau sel penyaji dan berada di mukosa saluran napas. Sel penyaji akan menangkap alergen yang menempel pada permukaan mukosa, yang kemudian setelah diproses akan dibentuk fragmen pendek peptida imunogenik. Fragmen ini akan bergabung dengan molekul-molekul HLA-kelas II membentuk kompleks peptid-MHC-kelas II yang kemudian akan dipresentasikan pada limfosit T yaitu helper T cell (sel Th0). Selanjutnya sel APC akan melepaskan sitokin yang salah satunya adalah interleukin 1 (IL 1). Sitokin ini mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi sel Th1 dan Th2. Sel Th1 dan Th2 ini akan memproduksi IL-3, IL-4, IL-5 dan IL13. Sitokin IL-4 dan IL-13 akan ditangkap reseptornya pada permukaan sel B-istirahat (resting B cell), sehingga sel B teraktivasi dan memproduksi immunoglobulin E (IgE). IgE disirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE dipermukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Individu yang mengandung kompleks tersebut dianggap tersensitisasi, dan setiap saat akan mudah masuk ke reaksi hipersensitivitas tipe 1 (Sumarman, 2001 ; Irawati et al, 2008). 2.5.3 Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) Molekul IgE dalam sirkulasi darah akan memasuki jaringan dan ditangkap oleh reseptor IgE yang berada pada permukaan mastosit/basofil, sehingga akan teraktifasi. Bila ada 2 light chain IgE berkontak dengan alergen spesifiknya, maka akan terjadi degranulasi sel yang berakibat terlepasnya mediator-mediator alergi yang terbentuk Universitas Sumatera Utara (Performed Mediators), terutama histamin. Histamin yang terlepas akan menyebabkan hipersekresi kelenjar mukosa. Efek lain adalah vasodilatasi dan penurunan permeabilitas pembuluh darah dengan akibat pembengkakan mukosa. Selain histamin juga akan dikeluarkan Newly Formed Mediators, antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF), serta berbagai sitokin seperti IL3, IL4, IL5, IL6, Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor (GM-CSF), dan lain-lain (Sumarman, 2001 ; Irawati et al, 2008). Sel mastosit juga akan melepaskan molekul-molekul kemotaktik. Molekul-molekul tersebut terdiri dari ECTA (Eosinophil Chemotactic Factor of Anaphylactic) akan menyebabkan penumpukan sel eosinofil dan neutrofil di organ sasaran (Sumarman, 2001 ; Irawati et al, 2008). 2.5.4 Reaksi Alergi tipe Lambat (RAFL) Reaksi alergi fase cepat dapat berlanjut terus sebagai RAFL dengan tanda khas, yaitu terlihatnya penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi yang berakumulasi di jaringan sasaran, seperti eosinofil, limfosit, basofil dan mastosit. Hal tersebut juga disertai dengan peningkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5, dan GM-CSF dan ICAM-1 (Sumarman, 2001 ; Irawati et al, 2008). Universitas Sumatera Utara 2.6 Diagnosis 2.6.1 Diagnosis OMSK Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis yang teliti pemeriksaan klinis (otoskopi) yang cermat, serta pemeriksaan penunjang seperti X-Ray, Scanning, audiometri (Abboet, 2004). Diagnosis tepat memerlukan beberapa alat pemeriksaan antara lain lampu kepala yang cukup baik, corong telinga, alat pembersih sekret telinga, alat pengisap sekret, otoskop atau mikroskop/endoskop. Sekret telinga dibersihkan dengan alat pembersih sekret atau alat pengisap sekret, selanjutnya digunakan otoskop untuk melihat lebih jelas lokasi perforasi, kondisi sisa membran timpani dan kavum timpani. Tidak jarang pula diagnosis yang tepat tentang tipe OMSK baru dapat ditegakkan dengan bantuan mikroskop atau endoskop (Helmi, 2005). Diagnosis OMSK ditegakkan bila ditemukan perforasi membran timpani dengan riwayat otore menetap atau berulang lebih dari 3 bulan. Sebaiknya diagnosis OMSK disertai dengan keterangan jenis dan derajat ketulian. OMSK yang terbatas di telinga tengah hanya menyebabkan tuli konduktif. Bila terdapat tuli campur ada menandakan komplikasi ke labirin, dapat juga akibat penggunaan obat topikal yang ototoksik (Helmi, 2005). Pemeriksaan pencitraan mastoid bukan pemeriksaan rutin tetapi perlu untuk melihat perkembangan pneumatisasi mastoid dan perluasan penyakit. Pemeriksaan mikrobiologi sekret telinga penting untuk menentukan antibiotik yang tepat, tetapi antibiotik lini pertama tidak harus menunggu pemeriksaan ini. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam diagnosis OMSK adalah tanda-tanda dini komplikasi (Helmi, 2005). Universitas Sumatera Utara 2.6.2 Diagnosis Alergi Diagnosis alergi ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis berupa gejala klinis yang timbul sesuai dengan organ yang menjadi sasaran, mulai penyakit, musim, lingkungan, serta riwayat alergi dalam keluarga. Pemeriksaan fisik mencakup pemeriksaan telinga, hidung dan tenggorok secara lengkap, serta organ lain yang berpotensial menunjukkan alergi (King at al, 1998). Pemeriksaan mata dapat menunjukkan adanya tanda-tanda alergi. Tanda-tanda tersebut yaitu edema pada konjungtiva, mata berair, mata gatal, garis Dennie-Morgan pada kelopak mata, serta bayangan gelap di daerah bawah mata (allergic schinners). Pada telinga kemungkinan terdapatnya eksema pada kulit liang telinga. Pemeriksaan pada hidung dapat menunjukkan adanya mukosa hidung yang edema, tampak basah, berwarna pucat atau livid serta sekret encer yang banyak (King at al, 1998). Gambaran lidah geografik (geographic tongue) dapat ditemukan pada penderita alergi makanan. Terkadang lidah berwarna merah. Tidak jarang pada penderita alergi ditemukan pembesaran tonsil dan adenoid. Mulut biasanya agak terbuka. Gejala lain pada penderita alergi yaitu adanya kelainan pada kulit berupa eksema dan urtikaria (King at al, 1998). Pemeriksaan penunjang untuk alergi yang dilakukan secara in-vivo yaitu uji kulit. Terdapat berbagai cara untuk uji kulit yang dilakukan yaitu prick test, scratch test, friction test, patch test dan intradermal test. Di antara berbagai test ini yang lebih disukai adalah cara prick test, karena mudah melakukannya, murah, spesifik dan aman. Menurut laporan yang ada di Indonesia, prick test ini hampir tidak pernah menimbulkan Universitas Sumatera Utara efek samping. Tes kulit sebagai sarana penunjang diagnosis penyakit alergi, telah dilakukan sejak lebih 100 tahun yang lalu, karena cara pelaksanaannya cukup sederhana dan terbukti mempunyai korelasi yang baik dengan kadar IgE spesifik atau dengan tes provokasi. Tujuannya adalah untuk menentukan antibodi IgE spesifik dalam kulit pasien, yang secara tidak langsung menggambarkan adanya antibodi yang serupa pada organ yang sakit. Tes kulit hanya dilakukan terhadap alergen yang dicurigai merupakan penyebab keluhan pasien dan terhadap alergen-alergen yang ada pada lingkungan pasien (Tanjung et al, 2007). Tes kulit cukit sebagai salah satu tes alergi dengan menggunakan ekstrak alergen merupakan alat diagnostik yang jitu yang membuktikan telah terjadinya fase sensitisasi oleh alergen tertentu pada seorang individu. Hasil tes yang positif menunjukkan adanya reaksi hipersensitifitas yang segera pada individu tersebut atau dengan kata lain pada epikutan individu tersebut terdapat komplek Ig E sel mast. (Sumarman, 2001; Huggins et al, 2004). Keuntungan tes kulit cukit adalah: 1. Lebih mudah dikerjakan dan sederhana. 2. Tidak merasa sakit. 3. Karena memakai pelarut gliserin maka lebih stabil dari pada pelarut air. 4. Relatif lebih aman dengan reaksi anafilaktik yang kecil karena jumlah alergen yang dimasukan juga sedikit. 5. Lebih cepat meskipun mengadapi penderita yang sensitif sekali, lama mengerjakan tusuk sampai selesai tidak lebih dari 1 jam (Rizalina, 2000). Universitas Sumatera Utara Untuk menjamin akurasinya, tes kulit harus dilaksanakan setelah terlampaui masa 'wash out' antihistamin sedatif 2-4 hari dan antihistamin non sedatif 7 hari, kecuali asetamizol 6-8 minggu, kortikosteroid 2-3 bulan. (Sumarman, 2001) Tes kulit cukit (skin prick test) memiliki sensitifitas dan spesifitas tinggi. Puluhan alergen dapat dikerjakan pada satu kali tes. Tes dilakukan pada bagian volar lengan bawah dengan penusukan sederhana epikutan sehingga tidak melewati membran basalis yang dapat menimbulkan pendarahan yang bisa menyebabkan hasil tes menjadi tidak akurat. Tes ini menggunakan jarum tuberkulin no 26 atau 26½. Tes kulit tusuk ini hampir tidak menimbulkan rasa sakit, sehingga lebih disukai pasien. Hasil tes dapat di evaluasi dalam waktu singkat (10-15 menit), serentak untuk 25-30 alergen. Alergen yang digunakan terdiri atas satu seri alergen hirup, satu seri alergen makanan, larutan histamin sebagai kontrol positif, serta larutan saline atau buffer phosfat sebagai kontrol negatif. Jumlah alergen sebaiknya terbatas sampai sekitar enam alergen utama saja (housedust mite 2-3 spesies, pollen, mold dan binatang peliharaan). Tes kulit untuk alergen hirup lebih memiliki nilai klinis yang berharga daripada makanan. (Sumarman, 2001). Beberapa metode yang dilakukan untuk menginterpretasikan hasil tes kulit tusuk: 1. Mengukur diameter bintul (wheal) yang terjadi dengan menggunakan planimeter. Respon positif dinyatakan apabila ditemukan setiap adanya wheal yang mempunyai ukuran diameter ≥ 9 mm2 diatas kontrol negatif (saline) (Jackola et al, 2003). 2. Membandingkan bintul yang terjadi pada masing-masing ekstrak alergen yang diberikan dengan kontrol positif (histamin) dan kontrol negatif (saline). Universitas Sumatera Utara 3. Metode ini disebut metode Pepys dengan penilaian sebagai berikut : (Madiadipoera,1996 ; Sumarman, 2001) +1 (ringan) : apabila bintul (wheal) lebih besar dari kontrol negatif dan atau terdapat eritema. +2 (sedang) : apabila bintul lebih kecil dari kontrol positif tetapi 2 mm lebih besar dari kontrol negatif. +3 (kuat) : apabila bintul sama besar dengan kontrol positif +4 (sangat kuat) : apabila bintul lebih besar dari kontrol positif. 4. Menurut GLORIA (Global Resource in Allergy), 2003, bintul (wheal) yang terjadi dengan diameter > 3 mm menunjukkan bahwa menghasilkan antibodi IgE terhadap alergen yang spesifik. (Kaplan et al, 2003). 2.7 Penatalaksanaan Terapi OMSK tidak jarang memerlukan waktu lama, serta harus berulang-ulang. Sekret yang keluar tidak cepat kering atau selalu kambuh lagi. Keadaan ini antara lain disebabkan oleh satu atau beberapa keadaan yaitu : adanya perforasi membran timpani yang permanen, sehingga telinga tengah berhubungan dengan dunia luar, terdapat sumber infeksi di faring, nasofaring, hidung dan sinus paranasal, sudah terbentuk jaringan patologik yang irreversibel dalam rongga mastoid, ataupun gizi dan higiene Universitas Sumatera Utara yang kurang. Prinsip terapi OMSK benigna adalah konsevatif dengan medikamentosa. (Djaafar et al, 2008) Penatalaksanaan terhadap alergi dilakukan bila terdapat satu atau lebih kriteria berikut, (1). Terdapat riwayat atopi, (2). Riwayat alergi pada keluarga, dan (3). Terdapat gejala alergi saluran napas pada saat diperiksa (Mahdi, 2008). Untuk penatalaksananan alergi, yang paling ideal adalah avoidance, yaitu menghindari kontak dengan alergen penyebab dan eliminasi. Terapi medikamentosa yang diberikan berupa antihistamin, antihistamin dikombinasikan dengan dekongestan, kortikosteroid topikal, antikolinergik topikal, anti leukotrien dan anti IgE. Pengobatan masa yang akan datang yaitu berupa DNA rekombinan. Bila pengobatan tidak memberikan hasil yang memuaskan, dapat dipikirkan untuk dilakukan imunoterapi pada alergi inhalan, sedangkan untuk alergi makanan dapat dilakukan dengan eliminasi untuk tipe cepat dan netralisasi untuk tipe lambat (Irawati et al, 2008). Untuk keluarga atopi, maka perlu dijelaskan upaya pencegahan sebagai berikut: - Saat Kehamilan. Penderita tidak diperkenankan merokok, sedapat mungkin menjahui binatang peliharaan, menghindari debu rumah dan tungau. - Setelah bayi lahir. Dianjurkan pemberian ASI saja untuk waktu yang lama (>6 bulan), hindari pemberian makanan tambahan yang potensial alergi (telur, ikan, coklat) pada umur kurang dari 1 tahun lingkungan sekitar harus bebas dari asap rokok, bulu binatang, debu rumah dan harus mendapat ventilasi dari sinar matahari yang cukup (Rizalina, 2000). Universitas Sumatera Utara