alergi sebagai faktor risiko terhadap kejadian otitis

advertisement
 BAB 2
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1 Anatomi telinga tengah
Telinga tengah terdiri dari membran timpani, kavum timpani, tuba Eustacius dan
prosesus mastoideus (Moore, 1989 ; Dhingra, 2004).
2.1.1 Membran timpani
Membran timpani di bentuk dari dinding lateral kavum timpani yang memisahkan
liang telinga luar dari kavum timpani. Membran timpani mempunyai ukuran panjang
vertikal rata-rata 9 -10 mm, diameter 8 - 9 mm dan tebalnya kira-kira 0,1 mm. Membran
timpani miring ke medial dari posterior superior ke anterior inferior, membentuk sudut
kira-kira 140º antara kavum timpani dan liang telinga luar (Moore, 1989).
Membran timpani terdiri dari tiga lapisan. Lapisan skuamosa membatasi telinga luar
sebelah medial, lapisan mukosa membatasi telinga tengah sebelah lateral dan jaringan
fibrosa terletak diantara kedua lapisan tersebut. Lapisan fibrosa terdiri dari serat
melingkar dan serat radial yang menjadikan bentuk dan konsistensi membran timpani.
Serat-serat radial masuk kedalam perikondrium lengan maleus dan kedalam anulus
fibrosa, membentuk gambaran kerucut yang penting secara fungsional. Serat melingkar
memberikan kekuatan bagi membran timpani telinga tanpa mempengaruhi vibrasi,
dibantu oleh beberapa serat tegak lurus yang memperkuat bentuknya. Sifat arsitektur
membran timpani membuatnya dapat menyebarkan energi vibrasi secara ideal (Austin,
1997).
Universitas Sumatera Utara
Membran timpani dibagi dalam dua bagian :
a. Pars tensa, merupakan bagian terbesar dari membran timpani. Bagian
pinggirnya menebal membentuk jaringan cincin fibrokartilaginous yang disebut
dengan annulus timpanikus yang terdapat didalam sulkus timpanikus. Bagian
sentral dari pars tensa melekuk kedalam ke ujung maleus disebut umbo. Refleks
cahaya dapat terlihat memancar dari ujung maleus ke pinggir membran timpani
di kuadran anteroinferior.
b. Pars flaksida (Shrapnel’s membrane), terletak diatas prosesus lateral maleus
antara notch of Rivinus dan plika maleolaris anterior dan plika maleolaris
posterior (Dhingra, 2004).
c.
2.1.2 Kavum timpani (Telinga tengah)
Telinga tengah (kavum timpani) terdiri dari suatu ruang yang terletak di antara
membran timpani dan kapsul telinga dalam, tulang-tulang dan otot yang terdapat di
dalamnya beserta penunjangnya, tuba Eustachius dan sistem sel-sel udara mastoid.
Batas-batas superior dan inferior membran timpani membagi kavum timpani menjadi
epitimpanum atau atik, mesotimpanum dan hipotimpanum (Austin, 1997).
Hipotimpanum adalah suatu ruang dangkal yang terletak lebih rendah dari
membran timpani. Permukaan tulang pada bagian ini tampak seperti gambaran kerang
karena adanya sel-sel udara berbentuk cangkir. Dinding ini menutupi bulbus yugularis.
Kadang-kadang suatu celah pada dinding ini menyebabkan sebagian bulbus yugularis
dapat masuk kedalam hipotimpanum (Austin, 1997).
Universitas Sumatera Utara
Mesotimpanum, disebelah medial dibatasi oleh kapsul otik, yang letaknya lebih
rendah daripada nervus fasial pars timpani. Suatu penonjolan yang melengkung pada
bagian basal kohlea terletak tepat disebelah medial membran timpani dan disebut
promontorium. Didalam promontorium terdapat beberapa saluran-saluran berisi sarafsaraf yang membentuk pleksus timpanikus. Disebelah posterior promontorium pada
bagian superior terdapat foramen ovale (vestibuler) dan pada bagian inferior terdapat
foramen rotundum (kohlear), yang keduanya terletak pada dasar suatu lekukan. Kedua
lekukan tersebut berhubungan pada batas posterior mesotimpanum melalui suatu fosa
yang dalam, yaitu sinus timpanikus. Pada foramen ovale terdapat lempeng kaki stapes
yang terletak pada bidang sagital. Foramen rotundum terlindung dari penglihatan
karena bagian ini terletak pada bidang melintang sebelah anterior suatu tepi penonjolan
dari promontorium. Foramen rotundum ditutupi oleh suatu membran yang tipis yaitu
membran timpani sekunder. Dinding posterior mesotimpanum dibentuk oleh tulang
yang menutupi saraf fasial pars desendens. Tulang ini biasanya mempunyai sel-sel
pneumatisasi dan sering mempunyai hubungan dengan sistem sel udara mastoid.
Sebelah superior dinding ini terdapat suatu penonjolan berbentuk kerucut yang disebut
eminensia piramid, melindungi muskulus stapedius dan tendonnya. Suatu cabang saraf
ke-7 menginervasi otot tersebut. Disebelah lateral eminensia piramid terdapat foramen
untuk nervus korda timpani yang berjalan dibagian inferior melalui suatu saluran untuk
bergabung dikanalis fasial atau pada foramen stilomastoid (Austin, 1997).
Suatu ruang yang secara klinis sangat penting ialah sinus posterior atau resesus
fasial yang terdapat disebelah lateral kanalis fasial dan prosesus piramidal. Dibatasi
sebelah lateral oleh anulus timpanikus posterosuperior, sebelah superior oleh prosesus
Universitas Sumatera Utara
brevis inkus yang melekat ke fosa inkudis. Ruang ini memanjang dari ruang telinga
tengah posterosuperior ke aditus ad antrum dan penyakit sering tersembunyi disini.
Pendekatan terhadap ruang ini dari antrum mastoid akan membuka struktur timpanum
posterior dan nervus fasial (Austin, 1997).
Bagian anterior saluran fasial pars timpani ditandai oleh penonjolan berbentuk
pengait di ujung oleh posterior saluran otot tensor timpani, yaitu prosesus kokleariform
yang membuat tendon muskulus tensor tersebut membelok kelateral kedalam telinga
tengah. Saluran muskulus tensor timpani berjalan kedepan ke dalam permukaan
superior tuba Eustachius dan merupakan tanda batas anterosuperior mesotimpanum
(Austin, 1997).
Pada dinding anterior mesotimpanum terdapat orificium timpani tuba Eustacius pada
bagian superior dan membentuk bagian tulang dinding saluran karotis asenden pada
bagian inferior. Dinding ini biasanya mengalami pneumatisasi yang baik dan dapat
dijumpai bagian-bagian tulang yang lemah (Austin, 1997).
Dalam epitimpanum terdapat inkus dan maleus. Di bagian superior epitimpanum
dibatasi oleh suatu penonjolan tipis os petrosus, yaitu tegmen timpani yang merupakan
kelanjutan tegmen mastoid posterior. Dinding medial atik dibentuk oleh kapsul atik yang
ditandai oleh tonjolan kanalis semisirkuler lateral. Pada bagian anterior terdapat bagian
ampula kanalis superior, dan lebih anterior ada gangglion genikulatum yang merupakan
tanda ujung anterior ruang atik. Dinding anterior terpisah dari maleus oleh suatu ruang
yang sempit, dan disini dapat dijumpai muara se-sel udara yang membuat pneumatisasi
pangkal tulang pipi (zygoma). Dinding lateral atik dibentuk oleh os skuama yang
Universitas Sumatera Utara
berlanjut ke arah lateral sebagai dinding liang telinga luar bagian tulang sebelah atas.
Di posterior, atik menyempit menjadi jalan masuk ke antrum mastoid, yaitu aditus ad
antrum (Austin, 1997).
2.1.3 Tuba Eustachius
Tuba Eustachius menghubungkan rongga telinga tengah dengan nasofaring.
Bagian lateral tuba Eustachius adalah yang bertulang, sementara duapertiga bagian
medial bersifat kartilaginosa. Origo otot tensor timpani terletak disebelah atas bagian
bertulang sementara kanalis karotikus terletak dibagian bawahnya. Bagian bertulang
rawan berjalan melintasi dasar tengkorak untuk masuk ke faring diatas otot konstriktor
superior. Bagian ini biasanya tertutup tetapi dapat dibuka melalui kontraksi otot levator
palatinum dan tensor palatinum yang masing-masing disarafi pleksus faringealis dan
saraf mandibularis. Tuba Eustachius berfungsi untuk menyeimbangkan tekanan udara
pada kedua sisi membran timpani (Liston, 1997).
Pada orang dewasa perbedaan tinggi muara tuba Eustachius di kavum timpani dan
nasofaring sekitar 25 mm. Tuba Eustachius panjangnya 30 sampai 40 mm, pada anak
ukurannya lebih pendek dan lebih datar. Dinding tuba Eustachius mempunyai bagian
tulang rawan yang merupakan 2/3 seluruh panjangnya mulai dari muaranya di kavum
timpani, sedangkan 1/3 bagian yang lain berdinding tulang rawan, turun ke arah
nasofaring. Dinding tulang rawan ini tidak lengkap, dinding bawah dan lateral bawah
merupakan jaringan ikat yang bergabung dengan m. tensor dan levator veli palatini.
Pada keadaan istirahat, lumen tuba Eustachius tertutup. Terdapat mekanisme pentil
Universitas Sumatera Utara
pada tuba ini, udara lebih sukar masuk ke kavum timpani dari pada keluar (Helmi,
2005).
Fungsi tuba Eustachius :
1. Mengatur ventilasi dari telinga tengah dan memelihara keseimbangan tekanan
pada kedua sisi dari membran timpani.
2. Drainase dari telinga tengah.
3. Melindungi dari tekanan suara nasofaring dan sekret dari nasofaring (Kumar,
1996).
Tuba biasanya tertutup dan akan terbuka melalui kontraksi aktif otot tensor veli
palatini pada saat menelan, atau saat menguap atau membuka rahang. Ventilasi
memungkinkan keseimbangan tekanan atmosfer pada kedua sisi membran timpani.
Tuba akan membuka melalui kerja otot bilamana terdapat perbedaan tekanan sebesar
20 hingga 40 mmHg. Untuk melakukan fungsi ini, diperlukan otot tensor veli palatini
yang utuh (Paparella, 1997).
2.1.4 Prosesus mastoid
- Pneumatisasi
Sistem sel udara pneumatik tumbuh sehubungan dengan pembesaran tulang
temporal sebagai suatu penumbuhan ke luar dari telinga tengah dan antrum. Kelompokkelompok sel udara dapat diklasifikasikan berdasarkan asal perkembangannya. Sel-sel
yang berkembang dari antrum merupakan kelompok terbesar, terbentuk di dalam
prosesus mastoid yang membesar. Sel-sel mastoid terletak di sebelah luar suatu
lempeng tulang yang biasanya dijumpai pada pertemuan prosesus antrum os petrosa
Universitas Sumatera Utara
dan prosesus timpani os skuama (sutura petroskuamosa) yang dikenal dengan nama
septum korner. Sebelah dalam septum ini dijumpai sel-sel antrum yang merupakan
perluasan antrum asli ke arah medial ke dalam os petrosa. Perluasan tersebut dapat
terjadi jauh ke dalam petrosa sampai ke pinggir kanalis semisirkuler dan kanal auditori
interna. Sinus sigmoid mungkin dikelilingi oleh suatu kelompok sinus yang dapat
meluas ke skuama. Perluasan sel-sel tersebut ke arah anterior dan lateral dapat
mencapai zigoma (sel-sel zigoma) dan berhubungan dengan atik. Sel-sel ujung mastoid
kadang-kadang membentuk suatu daerah koalesens yang besar di ujung prosesus
mastoid (Austin, 1997).
Mastoid terdiri dari sebuah tulang korteks dengan sebuah “sarang lebah
(honeycomb)” dari sel udara dibawahnya. Tergantung dari pertumbuhan sel udara,
mastoid dibagi tiga tipe :
1. Well-pneumatised atau cellular, sel-sel mastoid pertumbuhannya baik dan septa
tipis.
2. Diploetic, mastoid terdiri dari marrow spaces dan sedikit sel-sel udara.
3. Sclerotic atau acellular, tidak dijumpai sel-sel atau marrow spaces (Dhingra,
2004).
2.1.5 Vaskularisasi kavum timpani
Vaskularisasi kavum timpani berasal dari cabang-cabang kecil arteri karotis
eksterna. Cabang-cabang pembuluh darah kecil tersebut adalah: a.timpani anterior
yang merupakan cabang dari a. maksilaris yang masuk ke telinga tengah melalui fisura
Universitas Sumatera Utara
petrotimpani. Arteri ini mendarahi bagian anterior kavum timpani termasuk mukosa
membran timpani.
a. Arteri timpani posterior yang merupakan cabang stilomastoid yang dapat berasal
dari a. aurikularis posterior atau a. oksipital. A.timpani posterior masuk ke kavum
timpani bersama korda timpani lalu mendarahi bagian posterior kavum timpani.
b. Arteri timpani inferior yang berasal dari cabang asendens a. karotis eksterna
yang masuk ke kavum timpani melalui kanalikulus timpani bersama dengan
cabang timpani n. IX lalu mendarahi terutama bagian inferior kavum timpani.
c. Arteri petrosus superfisialis dan a. timpani superior yang merupakan cabangcabang a. meningea media yang masuk ke kavum timpani masing-masing
melalui lubang kecil di tegmen timpani dan melalui fisura petroskuamosa, lalu
mendarahi bagian superior kavum timpani.
d. Arteri karotikotimpani yang merupakan satu-satunya cabang berasal dari a.
karotis interna, masuk ke kavum timpani dengan menembus lamina tulang tipis
yang membatasi kanalis karotikus dengan telinga tengah (Helmi, 2005).
Aliran vena jalan seiring dengan arterinya untuk bermuara pada sinus petrosus
superior dan pleksus pterigoideus (Helmi, 2005).
2.2 Definisi
Otitis media supuratif kronis adalah radang telinga tengah dengan perforasi
membran timpani dan riwayat keluarnya sekret dari telinga (otorea) tersebut lebih dari 2
bulan, baik terus menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin encer atau kental, bening
atau berupa nanah. Batasan waktu 2 bulan tersebut dari negara ke negara bervariasi,
Universitas Sumatera Utara
WHO menentukan batasan waktu 2 minggu (Helmi, 2005). Bailey dan Scott-Brown’s
mengatakan batasan waktu OMSK adalah lebih dari 3 bulan (Canter, 1997 ; Kenna,
2006).
2.3 Kekerapan
Prevalensi OMSK di Indonesia secara umum adalah 3,9%. Pasien OMSK
merupakan 25% dari pasien-pasien yang berobat di poliklinik THT di RS Cipto
Mangunkusumo, Jakarta (Helmi, 2005). Data poliklinik THT RSUP H. Adam Malik
Medan tahun 2006 menunjukkan pasien OMSK merupakan 26% dari seluruh kunjungan
pasien (Aboet, 2007). Di negara lain prevalensinya bervariasi dari negara ke negara,
WHO mengklasifikasinya menjadi negara berprevalensi paling tinggi (>4%), tinggi (24%), rendah (1-2%), paling rendah (<1%). Negara berprevalensi paling tinggi termasuk
Tanzania, India, Kepulauan Salomon, Guam, Aborigin Australia dan Greenland. Negara
dengan prevalensi tinggi termasuk Nigeria, Angola, Mozambique, Republik of Korea,
Thailand, Philippines, Malaysia, Vietnam, Micronesia, China, Eskimos. Negara
berprevalensi rendah termasuk Brazil, Kenya. Sedangkan negara berprevalensi paling
rendah adalah Gambia, Saudi Arabia, Israel, Australia, United Kingdom, Denmark,
Finland, American Indians. Indonesia belum masuk daftar, melihat klasifikasi itu
Indonesia masuk dalam Negara dengan OMSK prevalensi tinggi (Helmi, 2005 ; WHO,
2004).
Beberapa peneliti melaporkan bahwa OMSK tipe benigna mempunyai hubungan
dengan faktor alergi. Suparyadi pada tahun 1990 di Semarang dalam penelitiannya
terhadap 60 orang OMSK tipe benigna mendapatkan 25,67% penderita kemungkinan
Universitas Sumatera Utara
mempunyai faktor alergi. Sri Harmadji pada tahun 1991 di Surabaya dengan kasus
yang sama mendapatkan 33,3% dari 30 penderita kemungkinan faktor alergi (Harmadji,
1993). Farida et al, pada tahun 2006 di Makassar mendapatkan hubungan bermakna
kejadian alergi pada OMSK benigna melalui tes kulit cukit sebesar 86,2%, menunjukkan
bahwa alergi merupakan faktor risiko OMSK benigna (Farida et al, 2006). Lasisi et al,
pada tahun 2008 di Nigeria melaporkan terdapat hubungan antara otitis media supuratif
dan alergi pada sekitar 80% pasien dengan alergi (Lasisi, 2008).
2.4 Etiologi dan Patogenesis
2.4.1 Etiologi
Menurut Ballenger faktor-faktor yang menyebabkan infeksi telinga tengah supuratif
menjadi kronis sangat majemuk, antara lain :
1. Gangguan fungsi tuba Eustachius yang kronis akibat :
a.infeksi hidung dan tenggorok yang kronis atau berulang.
b.obstruksi anatomi tuba Eustachius partial atau total.
2. Perforasi membran timpani yang menetap.
3. Terjadinya metaplasia skuamosa atau perubahan patologik menetap lainnya
pada telinga tengah.
4. Obstruksi menetap terhadap aerasi telinga tengah atau rongga mastoid. Hal ini
dapat disebabkan oleh jaringan parut, penebalan mukosa, polip, jaringan
granulasi atau timpanosklerosis.
5. Terdapat daerah-daerah dengan sekuester atau osteomielitis persisten dimastoid.
Universitas Sumatera Utara
6. Faktor-faktor konstitusi dasar seperti alergi, kelemahan umum atau perubahan
pertahanan tubuh (Ballenger, 1997).
Terjadinya OMSK hampir selalu dimulai dengan otitis media berulang pada anak,
jarang yang dimulai setelah dewasa. Terjadinya otitis media disebabkan multifaktor
antara lain infeksi virus atau bakteri, gangguan fungsi tuba, alergi, kekebalan tubuh,
lingkungan dan sosial ekonomi. Anak lebih mudah mendapat infeksi telinga tengah
karena struktur tuba anak yang berbeda dengan dewasa serta kekebalan tubuh yang
belum berkembang sempurna sehingga bila terjadi infeksi saluran napas atas maka
otitis media merupakan komplikasi yang sering terjadi. Fokus infeksi biasanya berasal
dari nasofaring (adenoiditis, tonsilitis, rinitis, sinusitis) mencapai telinga tengah melalui
tuba Eustacius (Helmi, 2005).
Secara umum OMSK dapat disebabkan oleh:
1.Lingkungan
Dalam berbagai penelitian, dijumpai hubungan yang erat antara pasien OMSK dan
sosial ekonomi, dimana insidens yang tinggi dijumpai pada sosial ekonomi yang rendah
(Browning, 1997). Prevalensi lebih tinggi berkisar 5-6 kali lebih banyak dibanding
penduduk dengan sosial ekonomi baik (Mangape, 1995).
Universitas Sumatera Utara
Mayoritas peneliti dari berbagai negara melaporkan faktor yang berpengaruh
terhadap otitis media antara lain:
1.Kondisi sosial ekonomi
2.Kebersihan perorangan (personal hygiene)
3.Jumlah keluarga dalam satu keluarga
4.Kondisi tempat tinggal
5.Malnutrisi
6.Kurangnya sarana kesehatan
7.Kurangnya pengobatan pada stadium dini (Mangape, 1995).
2.Genetik
Hubungan antara faktor genetik dengan terjadinya OMSK masih menjadi
pertanyaan sehubungan dengan adanya kecenderungan pada ras tertentu untuk
terjadinya OMSK. Sebagai contoh diduga bahwa ras kulit putih Amerika lebih
cenderung menderita OMSK dibandingkan ras negro Amerika (Browning, 1997).
Peran faktor genetik masih diperdebatkan akhir-akhir ini, khususnya apakah insiden
OMSK berhubungan dengan ukuran sel-sel udara mastoid yang diduga telah terganggu
secara genetik. Secara histologis, tidak diragukan lagi bahwa dengan adanya proses
inflamasi yang berulang, maka sel-sel udara mastoid menjadi lebih sklerotik secara
progresif (Browning, 1997).
Universitas Sumatera Utara
3.Riwayat otitis media sebelumnya
Secara umum dikatakan bahwa otitis media kronis merupakan sekuele dari otitis
media akut dan otitis media efusi, tetapi tidak diketahui faktor apa yang menyebabkan
mengapa satu telinga berlanjut menjadi kondisi yang kronis, sedangkan telinga lainnya
tidak (Browning, 1997).
4.Faktor infeksi
Bakteri hampir selalu dijumpai pada isolasi mukopus atau dari mukosa telinga
tengah pada otitis media kronis yang aktif. Proporsi berbagai organisme berbeda-beda
diantara beberapa penelitian, tetapi organisme yang paling banyak dijumpai adalah
bakteri gram negatif, bowel-type flora dan kadang-kadang dijumpai berbagai organisme
yang berbeda dari satu telinga (Browning, 1997).
Telah terbukti bahwa bakteri dapat menghasilkan substansi yang mempengaruhi
fungsi silia sehingga akan menyebabkan stasis sekresi didalam telinga tengah. Selain
itu juga diketahui bahwa kolonisasi polimikrobial menyebabkan kerusakan yang lebih
hebat dibandingkan dengan monomikrobial (Browning, 1997).
5.Infeksi saluran napas
Sebagian besar pasien mengeluh keluarnya cairan dari telinga setelah mengalami
infeksi saluran napas atas. Dalam hal ini diduga infeksi virus akan mempengaruhi
mukosa telinga tengah sehingga kurang resisten terhadap organisme yang secara
normal
memang
ditemukan
didalam
telinga
tengah
sehingga
memudahkan
pertumbuhan bakteri (Browning, 1997).
Universitas Sumatera Utara
6.Autoimun
Penderita dengan penyakit autoimun cenderung mempunyai insiden yang lebih
tinggi terhadap OMSK (Browning, 1997).
7.Alergi
Walaupun sebagian penulis menganggap alergi merupakan faktor yang penting,
tetapi tetap harus dibuktikan bahwa individu dengan alergi mempunyai insidens OMSK
yang lebih tinggi dibandingkan dengan non-alergi (Browning, 1997).
8.Gangguan fungsi tuba Eustachius
Pada otitis media kronis yang aktif, tuba Eustachius sering mengalami sumbatan
akibat edema, tetapi apakah hal ini merupakan fenomena primer atau sekunder tetap
tidak diketahui. Pada telinga yang inaktif, berbagai metode telah digunakan untuk
mengevaluasi fungsi tuba Eustacius dan sebagian besar menduga bahwa tuba telah
gagal untuk mengembalikan tekanan negatif dalam telinga tengah menjadi normal
(Browning, 1997).
2.4.2 Klasifikasi
Secara klinis, OMSK dibagi dalam dua tipe :
1.Tipe tubotimpanik
Di sebut juga tipe benigna, meliputi bagian anteroinferior dari telinga tengah dan
berhubungan dengan perforasi sentral. Tidak ada dijumpai komplikasi yang
serius pada tipe ini.
Universitas Sumatera Utara
2.Tipe atikoantral
Di sebut juga tipe berbahaya atau danger tipe, meliputi bagian posterosuperior
dari telinga tengah (atik, antrum dan mastoid) dan berhubungan dengan
perforasi atik atau perforasi marginal. Penyakit ini sering berhubungan dengan
proses erosi tulang seperti kolesteatoma, granulasi atau osteitis. Risiko
terjadinya komplikasi tinggi pada tipe ini (Dhingra, 2004).
Tipe jinak (benigna) biasanya didahului dengan gangguan fungsi tuba yang
menyebabkan kelainan kavum timpani, disebut juga tipe mukosa karena proses
peradangannya
biasanya
hanya
pada
mukosa
telinga
tengah.
Tipe
bahaya
(atikoantaral) karena proses biasanya dimulai di daerah atik, disebut juga tipe tulang
karena penyakit menyebabkan erosi tulang. Di Indonesia tipe bahaya lebih terkenal
sebagai tipe maligna (Helmi, 2005).
Faktor predisposisi (predisposing factors) pada penyakit tubotimpanal adalah:
1.Infeksi saluran napas atas yang berulang, nasal alergi, rinosinusitis kronis.
2.Pembesaran adenoid pada anak-anak, tonsilitis kronis.
3.Mandi dan berenang dikolam renang, mengorek telinga dengan alat yang
terkontaminasi.
4.Malnutrisi dan hipogammaglobulinemia
5.Otitis media supuratif akut yang rekuren (Ramalingam et al, 1993 ; Kumar, 1996)
Universitas Sumatera Utara
2.4.3 Patogenesis
Patogenesis OMSK benigna terjadi karena proses patologi telinga tengah, pada
tipe ini didahului oleh kelainan fungsi tuba maka disebut juga sebagai penyakit
tubotimpanik. Terjadinya OMSK hampir selalu dimulai dengan otitis media berulang
pada anak, jarang dimulai setelah dewasa. Terjadinya otitis media disebabkan
multifaktor antara lain infeksi virus atau bakteri, gangguan fungsi tuba, alergi, kekebalan
tubuh, lingkungan dan sosial ekonomi. Anak lebih mudah mendapat infeksi telinga
tengah karena struktur tuba anak yang berbeda dengan dewasa serta kekebalan tubuh
yang belum berkembang sempurna sehingga bila terjadi infeksi saluran nafas atas,
maka otitis media merupakan komplikasi yang sering terjadi. Fokus infeksi biasanya
berasal dari nasofaring (adenoiditis, tonsilitis, rinitis, sinusitis), mencapai telinga tengah
melalui tuba Eustachius. Kadang-kadang infeksi berasal dari telinga luar masuk ke
telinga tengah melalui perforasi membran timpani, maka terjadilah proses inflamasi. Bila
terbentuk pus akan terperangkap didalam kantong mukosa telinga tengah. Dengan
pengobatan yang cepat dan adekuat dan dengan perbaikan fungsi ventilasi telinga
tengah, biasanya proses patologis akan berhenti dan kelainan mukosa akan kembali
normal. Bila terjadi perforasi membran timpani yang permanen, mukosa telinga tengah
akan terpapar ke dunia luar sehingga memungkinkan terjadinya infeksi berulang setiap
waktu. Hanya pada beberapa kasus keadaan telinga tengah tetap kering dan pasien
tidak sadar akan penyakitnya. Bila terjadi infeksi maka mukosa telinga tengah tampak
tipis dan pucat (Helmi, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Mukosa telinga tengah yang normal memperlihatkan kurang dalam sel-sel
imunokompeten pada beberapa penelitian sebelumnya, tetapi sel-sel itu diaktivasi
dengan infeksi mikroba, telinga tengah dapat menjadi tempat yang aktif secara
imunologi, baik dengan imunitas mukosa atau imunitas sistemik, sama halnya dengan
imunitas untuk melawan berbagai kuman patogen. Karena itu dapat juga diterangkan
bahwa epitel mukosa telinga tengah dapat diaktivasi untuk menghasilkan berbagai
kemokin (seperti IL-8 melalui Toll-like receptors) dan perekrutan sel-sel imunokompeten
ke telinga tengah bersama sama dengan sistem imun di sistem dibagian lain mukosa
dalam mengekspresikan suatu respon imun lokal pada telinga tengah selama suatu
otitis media (Barenkam et al, 2003).
Sebagai respons alergi terjadi sekresi berbagai mediator dan sitokin yang
mempengaruhi terjadinya inflamasi dan kondisi ini dapat berulang hingga kronis.
Interleukin-1 (IL-1) merupakan sitokin yang kadarnya tinggi pada pasien-pasien OMSK.
Demikian juga tumor necrosis factor-α (TNF-α). Selain faktor fungsi tuba, patogenesis
OMSK juga dipengaruhi oleh faktor mukosa telinga tengah sebagai target organ alergi.
Pada biopsi mukosa telinga tengah didapatkan esinophilic cationic protein (ECP), IL-5
dan binding major protein (BMP) yang lebih tinggi pada pasien otitis media dibanding
dengan pasien non otitis media (Restuti, 2006).
Penyakit alergi THT seperti halnya penyakit alergi pada umumnya adalah suatu
reaksi abnormal yang bersifat khas, timbul pada orang yang berbakat alergi (atopi) dan
terjadi bila ada kontak dengan suatu bahan tertentu (alergen). Penyakit ini sebagai
manifestasi reaksi antigen antibodi. Pada kontak pertama dengan antigen/alergen tubuh
membentuk antibodi IgE spesifik yang menempel pada permukaan sel mastosit/basofil.
Universitas Sumatera Utara
Pada keadaan ini orang tersebut sudah siap untuk mendapatkan penyakit alergi. Pada
kontak ulang dengan alergen yang sama, maka alergen akan menempel pada IgE pada
permukaan sel mastosit/basofil tersebut sehingga menyebabkan degranulasi sel-sel
mastosit/basofil, sehingga terlepaslah bahan-bahan mediator antara lain histamin.
Bahan-bahan mediator ini akan berkumpul pada organ sasaran antara lain pada kulit
liang telinga luar, mukosa telinga, hidung dan tenggorok sehingga menimbulkan reaksi
alergi. Mukosa kavum timpani merupakan salah satu organ sasaran, hal ini dijelaskan
oleh Siegel :
1. Telinga tengah berfungsi sebagai ”Shock organ”.
2. Merupakan perluasan dari reaksi alergi saluran napas bagian atas
(Harmadji, 1993).
Dari berbagai penelitian, ditemukan bahwa inflamasi yang disebabkan oleh reaksi
alergi pada saluran napas atas dan bawah berhubungan dengan sitokin-sitokin yang
dihasilkan oleh sel Th2 seperti interleukin-4 (IL-4) dan IL-5. Proses ini merupakan hasil
dari infiltrasi eosinofil yang merupakan karakteristik dari respon alergi. IL-4 membantu
produksi IgE oleh sel-sel B dan mengatur adhesi molekul sel vaskular pada sel endotel,
yang lebih jauh akan membantu transmigrasi eosinofil ke jaringan. IL-5 bertindak
sebagai faktor penstimulasi koloni (colony stimulating factor) untuk eosinofil, dan
membantu proliferasi eosinofil serta diferensiasinya dijaringan (Wright et al, 2000).
Peningkatan sekresi IgE didalam telinga tengah tinggi pada OMSK dibanding
OMA. Maka alergi berperan pada OMSK dan IgE meningkat didalam sekresi otitis
media yang merupakan respon mukosa (Lasisi, 2008).
Universitas Sumatera Utara
2.5 Alergi
Penyakit alergi merupakan reaksi hipersensitivitas dari organ yang terkena. Istilah
atopi adalah didapatkannya IgE hiperresponsif, sedangkan alergi adalah ekspresi klinis
dari penyakit yang dimediatori oleh IgE. Pasien atopi dapat mempunyai atau tidak
mempunyai gejala alergi. Frekwensi atopi di negara-negara berkembang adalah 3040%, tetapi hanya sebagian yang menderita alergi, yaitu asma bronkial alergi 5-10%,
rinitis alergi 10-20% dan alergi makanan 1-3% (Mahdi, 2008).
Pada penyakit karena alergi/atopi bila dirangsang dengan alergen, timbul reaksi
pembentukan IgE sedangkan pada orang normal tidak terjadi. IgE antibodi terikat pada
Fc reseptor dipermukaan sel mastosit dan basofil, ini tidak berbahaya apabila tidak
terpapar dengan antigen yang sama. Ikatan antigen dengan IgE antibodi menjembatani
antibodi dengan reseptor dan merangsang lepasnya granula yang berisi histamin serta
mediator lainnya (Mahdi, 2008).
Pada individu yang cenderung alergi, paparan terhadap beberapa antigen
menyebabkan beberapa antigen menyebabkan aktivasi sel Th2 dan produksi IgE.
Individu normal tidak mempunyai respon Th2 yang kuat terhadap sebagian besar
antigen asing. Ketika beberapa individu terpapar antigen seperti protein pada serbuk
sari (pollen), makanan tertentu, racun pada serangga, kutu binatang dan lain-lain,
respon sel T yang dominan adalah pembentukan sel Th2. Individu yang atopi dapat
alergi terhadap satu atau lebih alergen diatas. Hipersensitivitas tipe cepat terjadi
sebagai akibat dari aktivasi sel Th2 yang berespon terhadap antigen protein atau zat
kimia yang terikat pada protein. Antigen yang menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe
cepat (reaksi alergik) sering disebut sebagai alergen (Munasir et al, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Interleukin (IL) 4 dan IL 13 yaitu sebagian dari sitokin yang disekresi oleh sel Th2,
akan menstimulasi limfosit B yang spesifik terhadap antigen asing untuk berdiferensiasi
menjadi sel plasma yang kemudian memproduksi IgE. Oleh sebab itu, individu yang
atopi akan memproduksi IgE dalam jumlah besar sebagai respon terhadap antigen
yang tidak akan menimbulkan respon IgE pada sebagian besar orang. Kecenderungan
ini mempunyai dasar genetika yang kuat dengan banyak gen yang berperan. Hubungan
antara genetik dan imunologik kemungkinan terletak pada keseimbangan antara sel
Th1 dan Th2 merupakan faktor penting. Sekarang telah diketahui bahwa orang-orang
dengan penyakit alergi didapatkan peningkatan sel Th2 mempunyai nilai prediksi
peningkatan kadar Th2. Produksi sitokinnya seperti IL4 dan IL6 akan meningkat,
sebaliknya pada orang-orang tanpa gejala alergi produksi Th2 rendah (Munasir et al,
2007; Mahdi, 2008).
2.5.1 Reaksi Hipersensitivitas tipe 1
Alergi merupakan reaksi
hipersensitivitas tipe I, alergen yang masuk kedalam
tubuh menimbulkan respon imun dengan dibentuknya IgE. Reaksi ini diawali dengan
tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi yang ditimbulkan terdiri
dari dua fase, yaitu reaksi alergi fase cepat (RAFC) dan reaksi alergi fase lambat
(RAFL). Reaksi fase cepat berlangsung sampai satu jam setelah kontak dengan
alergen, dan mencapai puncaknya pada 15-20 menit pasca pajanan alergen,
sedangkan RAFL berlangsung 2-4 jam kemudian, dengan puncak reaksi pada 6-8 jam
setelah pajanan dan dapat berlangsung 24-48 jam (Sumarman, 2001 ; Irawati et al,
2008).
Universitas Sumatera Utara
2.5.2. Tahap Sensitisasi
Reaksi alergi dimulai dengan respons pengenalan alergen oleh sel darah putih,
yaitu sel makrofag, monosit atau sel dendritik. Sel-sel tersebut berperan sebagai
antigen presenting sel (APC) atau sel penyaji dan berada di mukosa saluran napas. Sel
penyaji akan menangkap alergen yang menempel pada permukaan mukosa, yang
kemudian setelah diproses akan dibentuk fragmen pendek peptida imunogenik.
Fragmen ini akan bergabung dengan molekul-molekul HLA-kelas II membentuk
kompleks peptid-MHC-kelas II yang kemudian akan dipresentasikan pada limfosit T
yaitu helper T cell (sel Th0). Selanjutnya sel APC akan melepaskan sitokin yang salah
satunya adalah interleukin 1 (IL 1). Sitokin ini mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi
menjadi sel Th1 dan Th2. Sel Th1 dan Th2 ini akan memproduksi IL-3, IL-4, IL-5 dan IL13. Sitokin IL-4 dan IL-13 akan ditangkap reseptornya pada permukaan sel B-istirahat
(resting B cell), sehingga sel B teraktivasi dan memproduksi immunoglobulin E (IgE).
IgE disirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE dipermukaan
sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Individu
yang mengandung kompleks tersebut dianggap tersensitisasi, dan setiap saat akan
mudah masuk ke reaksi hipersensitivitas tipe 1 (Sumarman, 2001 ; Irawati et al, 2008).
2.5.3 Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC)
Molekul IgE dalam sirkulasi darah akan memasuki jaringan dan ditangkap oleh
reseptor IgE yang berada pada permukaan mastosit/basofil, sehingga akan teraktifasi.
Bila ada 2 light chain IgE berkontak dengan alergen spesifiknya, maka akan terjadi
degranulasi sel yang berakibat terlepasnya mediator-mediator alergi yang terbentuk
Universitas Sumatera Utara
(Performed Mediators), terutama histamin. Histamin yang terlepas akan menyebabkan
hipersekresi
kelenjar
mukosa.
Efek
lain
adalah
vasodilatasi
dan
penurunan
permeabilitas pembuluh darah dengan akibat pembengkakan mukosa. Selain histamin
juga akan dikeluarkan Newly Formed Mediators, antara lain prostaglandin D2 (PGD2),
Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF), serta berbagai
sitokin seperti IL3, IL4, IL5, IL6, Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor
(GM-CSF), dan lain-lain (Sumarman, 2001 ; Irawati et al, 2008).
Sel mastosit juga akan melepaskan molekul-molekul kemotaktik. Molekul-molekul
tersebut terdiri dari ECTA (Eosinophil Chemotactic Factor of Anaphylactic) akan
menyebabkan penumpukan sel eosinofil dan neutrofil di organ sasaran (Sumarman,
2001 ; Irawati et al, 2008).
2.5.4 Reaksi Alergi tipe Lambat (RAFL)
Reaksi alergi fase cepat dapat berlanjut terus sebagai RAFL dengan tanda khas,
yaitu terlihatnya penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi yang berakumulasi di
jaringan sasaran, seperti eosinofil, limfosit, basofil dan mastosit. Hal tersebut juga
disertai dengan peningkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5, dan GM-CSF dan ICAM-1
(Sumarman, 2001 ; Irawati et al, 2008).
Universitas Sumatera Utara
2.6 Diagnosis
2.6.1 Diagnosis OMSK
Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis yang teliti pemeriksaan klinis
(otoskopi) yang cermat, serta pemeriksaan penunjang seperti X-Ray, Scanning,
audiometri (Abboet, 2004).
Diagnosis tepat memerlukan beberapa alat pemeriksaan antara lain lampu kepala
yang cukup baik, corong telinga, alat pembersih sekret telinga, alat pengisap sekret,
otoskop atau mikroskop/endoskop. Sekret telinga dibersihkan dengan alat pembersih
sekret atau alat pengisap sekret, selanjutnya digunakan otoskop untuk melihat lebih
jelas lokasi perforasi, kondisi sisa membran timpani dan kavum timpani. Tidak jarang
pula diagnosis yang tepat tentang tipe OMSK baru dapat ditegakkan dengan bantuan
mikroskop atau endoskop (Helmi, 2005).
Diagnosis OMSK ditegakkan bila ditemukan perforasi membran timpani dengan
riwayat otore menetap atau berulang lebih dari 3 bulan. Sebaiknya diagnosis OMSK
disertai dengan keterangan jenis dan derajat ketulian. OMSK yang terbatas di telinga
tengah hanya menyebabkan tuli konduktif. Bila terdapat tuli campur ada menandakan
komplikasi ke labirin, dapat juga akibat penggunaan obat topikal yang ototoksik (Helmi,
2005).
Pemeriksaan pencitraan mastoid bukan pemeriksaan rutin tetapi perlu untuk melihat
perkembangan
pneumatisasi
mastoid
dan
perluasan
penyakit.
Pemeriksaan
mikrobiologi sekret telinga penting untuk menentukan antibiotik yang tepat, tetapi
antibiotik lini pertama tidak harus menunggu pemeriksaan ini. Hal lain yang perlu
diperhatikan dalam diagnosis OMSK adalah tanda-tanda dini komplikasi (Helmi, 2005).
Universitas Sumatera Utara
2.6.2 Diagnosis Alergi
Diagnosis alergi ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Anamnesis berupa gejala klinis yang timbul sesuai dengan organ yang
menjadi sasaran, mulai penyakit, musim, lingkungan, serta riwayat alergi dalam
keluarga. Pemeriksaan fisik mencakup pemeriksaan telinga, hidung dan tenggorok
secara lengkap, serta organ lain yang berpotensial menunjukkan alergi (King at al,
1998).
Pemeriksaan mata dapat menunjukkan adanya tanda-tanda alergi. Tanda-tanda
tersebut yaitu edema pada konjungtiva, mata berair, mata gatal, garis Dennie-Morgan
pada kelopak mata, serta bayangan gelap di daerah bawah mata (allergic schinners).
Pada telinga kemungkinan terdapatnya eksema pada kulit liang telinga. Pemeriksaan
pada hidung dapat menunjukkan adanya mukosa hidung yang edema, tampak basah,
berwarna pucat atau livid serta sekret encer yang banyak (King at al, 1998).
Gambaran lidah geografik (geographic tongue) dapat ditemukan pada penderita
alergi makanan. Terkadang lidah berwarna merah. Tidak jarang pada penderita alergi
ditemukan pembesaran tonsil dan adenoid. Mulut biasanya agak terbuka. Gejala lain
pada penderita alergi yaitu adanya kelainan pada kulit berupa eksema dan urtikaria
(King at al, 1998).
Pemeriksaan penunjang untuk alergi yang dilakukan secara in-vivo yaitu uji kulit.
Terdapat berbagai cara untuk uji kulit yang dilakukan yaitu prick test, scratch test,
friction test, patch test dan intradermal test. Di antara berbagai test ini yang lebih
disukai adalah cara prick test, karena mudah melakukannya, murah, spesifik dan aman.
Menurut laporan yang ada di Indonesia, prick test ini hampir tidak pernah menimbulkan
Universitas Sumatera Utara
efek samping. Tes kulit sebagai sarana penunjang diagnosis penyakit alergi, telah
dilakukan sejak lebih 100 tahun yang lalu, karena cara pelaksanaannya cukup
sederhana dan terbukti mempunyai korelasi yang baik dengan kadar IgE spesifik atau
dengan tes provokasi. Tujuannya adalah untuk menentukan antibodi IgE spesifik dalam
kulit pasien, yang secara tidak langsung menggambarkan adanya antibodi yang serupa
pada organ yang sakit. Tes kulit hanya dilakukan terhadap alergen yang dicurigai
merupakan penyebab keluhan pasien dan terhadap alergen-alergen yang ada pada
lingkungan pasien (Tanjung et al, 2007).
Tes kulit cukit sebagai salah satu tes alergi dengan menggunakan ekstrak
alergen merupakan alat diagnostik yang jitu yang membuktikan telah terjadinya fase
sensitisasi oleh alergen tertentu pada seorang individu. Hasil tes yang positif
menunjukkan adanya reaksi hipersensitifitas yang segera pada individu tersebut atau
dengan kata lain pada epikutan individu tersebut terdapat komplek Ig E sel mast.
(Sumarman, 2001; Huggins et al, 2004).
Keuntungan tes kulit cukit adalah:
1. Lebih mudah dikerjakan dan sederhana.
2. Tidak merasa sakit.
3. Karena memakai pelarut gliserin maka lebih stabil dari pada pelarut air.
4. Relatif lebih aman dengan reaksi anafilaktik yang kecil karena jumlah alergen
yang dimasukan juga sedikit.
5. Lebih cepat meskipun mengadapi penderita yang sensitif sekali, lama
mengerjakan tusuk sampai selesai tidak lebih dari 1 jam (Rizalina, 2000).
Universitas Sumatera Utara
Untuk menjamin akurasinya, tes kulit harus dilaksanakan setelah terlampaui masa
'wash out' antihistamin sedatif 2-4 hari dan antihistamin non sedatif 7 hari, kecuali
asetamizol 6-8 minggu, kortikosteroid 2-3 bulan. (Sumarman, 2001)
Tes kulit cukit (skin prick test) memiliki sensitifitas dan spesifitas tinggi. Puluhan
alergen dapat dikerjakan pada satu kali tes. Tes dilakukan pada bagian volar lengan
bawah dengan penusukan sederhana epikutan sehingga tidak melewati membran
basalis yang dapat menimbulkan pendarahan yang bisa menyebabkan hasil tes
menjadi tidak akurat. Tes ini menggunakan jarum tuberkulin no 26 atau 26½. Tes kulit
tusuk ini hampir tidak menimbulkan rasa sakit, sehingga lebih disukai pasien. Hasil tes
dapat di evaluasi dalam waktu singkat (10-15 menit), serentak untuk 25-30 alergen.
Alergen yang digunakan terdiri atas satu seri alergen hirup, satu seri alergen makanan,
larutan histamin sebagai kontrol positif, serta larutan saline atau buffer phosfat sebagai
kontrol negatif. Jumlah alergen sebaiknya terbatas sampai sekitar enam alergen utama
saja (housedust mite 2-3 spesies, pollen, mold dan binatang peliharaan). Tes kulit untuk
alergen hirup lebih memiliki nilai klinis yang berharga daripada makanan. (Sumarman,
2001).
Beberapa metode yang dilakukan untuk menginterpretasikan hasil tes kulit tusuk:
1. Mengukur diameter bintul (wheal) yang terjadi dengan menggunakan planimeter.
Respon positif dinyatakan apabila ditemukan setiap adanya wheal yang
mempunyai ukuran diameter ≥ 9 mm2 diatas kontrol negatif (saline) (Jackola et
al, 2003).
2. Membandingkan bintul yang terjadi pada masing-masing ekstrak alergen yang
diberikan dengan kontrol positif (histamin) dan kontrol negatif (saline).
Universitas Sumatera Utara
3. Metode ini disebut metode Pepys dengan penilaian sebagai berikut :
(Madiadipoera,1996 ; Sumarman, 2001)
+1 (ringan)
: apabila bintul (wheal) lebih besar dari kontrol
negatif dan atau terdapat eritema.
+2 (sedang)
: apabila bintul lebih kecil dari kontrol positif
tetapi 2 mm lebih besar dari kontrol negatif.
+3 (kuat)
: apabila bintul sama besar dengan kontrol
positif
+4 (sangat kuat)
: apabila bintul lebih besar dari kontrol positif.
4. Menurut GLORIA (Global Resource in Allergy), 2003, bintul (wheal) yang terjadi
dengan diameter
> 3 mm menunjukkan bahwa menghasilkan antibodi IgE
terhadap alergen yang spesifik. (Kaplan et al, 2003).
2.7
Penatalaksanaan
Terapi OMSK tidak jarang memerlukan waktu lama, serta harus berulang-ulang.
Sekret yang keluar tidak cepat kering atau selalu kambuh lagi. Keadaan ini antara lain
disebabkan oleh satu atau beberapa keadaan yaitu : adanya perforasi membran timpani
yang permanen, sehingga telinga tengah berhubungan dengan dunia luar, terdapat
sumber infeksi di faring, nasofaring, hidung dan sinus paranasal, sudah terbentuk
jaringan patologik yang irreversibel dalam rongga mastoid, ataupun gizi dan higiene
Universitas Sumatera Utara
yang kurang. Prinsip terapi OMSK benigna adalah konsevatif dengan medikamentosa.
(Djaafar et al, 2008)
Penatalaksanaan terhadap alergi dilakukan bila terdapat satu atau lebih kriteria
berikut, (1). Terdapat riwayat atopi, (2). Riwayat alergi pada keluarga, dan (3). Terdapat
gejala alergi saluran napas pada saat diperiksa (Mahdi, 2008). Untuk penatalaksananan
alergi, yang paling ideal adalah avoidance, yaitu menghindari kontak dengan alergen
penyebab dan eliminasi. Terapi medikamentosa yang diberikan berupa antihistamin,
antihistamin dikombinasikan dengan dekongestan, kortikosteroid topikal, antikolinergik
topikal, anti leukotrien dan anti IgE. Pengobatan masa yang akan datang yaitu berupa
DNA rekombinan. Bila pengobatan tidak memberikan hasil yang memuaskan, dapat
dipikirkan untuk dilakukan imunoterapi pada alergi inhalan, sedangkan untuk alergi
makanan dapat dilakukan dengan eliminasi untuk tipe cepat dan netralisasi untuk tipe
lambat (Irawati et al, 2008).
Untuk keluarga atopi, maka perlu dijelaskan upaya pencegahan sebagai berikut:
-
Saat Kehamilan.
Penderita tidak diperkenankan merokok, sedapat mungkin menjahui binatang
peliharaan, menghindari debu rumah dan tungau.
-
Setelah bayi lahir.
Dianjurkan pemberian ASI saja untuk waktu yang lama (>6 bulan), hindari
pemberian makanan tambahan yang potensial alergi (telur, ikan, coklat) pada
umur kurang dari 1 tahun lingkungan sekitar harus bebas dari asap rokok, bulu
binatang, debu rumah dan harus mendapat ventilasi dari sinar matahari yang
cukup (Rizalina, 2000).
Universitas Sumatera Utara
Download