Untitled - Badan Kebijakan Fiskal

advertisement
BADANKE
BI
J
AKANF
I
S
KAL
KE
ME
NT
E
RI
ANKE
UANGANRI
TI
NJ
AUAN
EKONOMI
,
KEUANGAN,&F
I
S
KAL
Menj
ag
aKomi
t
menRef
or
mas
iunt
ukPer
t
umbuhany
angBer
k
el
anj
ut
an
EDI
S
II
I
I/AGUS
TUS2016
EDISI III / Agustus 2016
Foto Sampul : Petani di Karawang, Jawa Barat
Tinjauan Kebijakan Fiskal diterbitkan oleh Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian
Keuangan, dengan periode publikasi dwi-bulanan dan memuat informasi
mengenai perkembangan kebijakan ekonomi, fiskal, dan keuangan terkini.
Diterbitkan oleh: Badan Kebijakan Fiskal
Pengarah: Kepala Badan Kebijakan Fiskal
Penanggung Jawab: Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro
Editor: Yoopi A, Noeroso L. Wahyudi, Syaifullah, Nasruddin D, Wahyu U, Thomas N, Suharto H, Ferry I, Syahrir Ika, Hidayat Amir
Redaktur Pelaksana: Dalyono
Dewan Redaksi: Ahmad Ali Rif’an, Bhayu P, Taufan P, Immanuel B, Indra Budi, Abdul Aziz, Fathul Kamil, Yusuf Munandar, Dwi Anggi
Desain Grafis: Bramantiyo, Rizki Saputri, Johan Zulkarnain, Bagus Handoko
Foto Sampul: Masyitha Mutiara Ramadhan
Sekretariat: Puguh, Fajar, Innes Clara, Dhoni, Adi Triyono
Alamat Redaksi: Gedung R.M. Notohamiprodjo, Jalan Dr. Wahidin Raya Nomor 1 Jakarta 10710
www.fiskal.kemenkeu.go.id
2
Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
Tinjauan
EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL
Edisi III / Agustus 2016
Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
3
VISI
4
“Menjadi unit terpercaya
dalam perumusan kebijakan fiskal
dan sektor keuangan yang antisipatif
dan responsif untuk mewujudkan
masyarakat Indonesia sejahtera”
Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
KATA PENGANTAR
Pada semester pertama 2016, perekonomian global masih belum menunjukkan pemulihan
yang signifikan. Rilis data ekonomi berbagai negara menunjukkan pertumbuhan yang
melambat seperti yang dialami oleh AS, Zona Euro, dan Jepang. IMF juga kembali merevisi
proyeksi pertumbuhan ekonomi global, yakni dari 3,2 persen pada WEO April 2016 menjadi
3,1 persen pada WEO Juli 2016. Di tengah perkembangan ekonomi global yang masih kurang
kondusif tersebut, perekonomian Indonesia pada semester pertama 2016 mampu tumbuh
solid mencapai 5,04 persen. Namun demikian, pemerintah menyadari bahwa terobosanterobosan kebijakan masih perlu terus dilakukan untuk mendorong efektivitas reformasi
struktural.
Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal Edisi III Tahun 2016 mengambil tajuk Menjaga
Komitmen Reformasi untuk Pertumbuhan yang Berkelanjutan untuk memotret komitmen
pemerintah terhadap reformasi struktural yang sedang dan terus akan berlangsung. Edisi ini
juga menjabarkan arah jangka pendek kebijakan fiskal pemerintah. Adapun pembahasan di
dalamnya mencakup kondisi ekonomi makro dan kinerja fiskal pada semester pertama tahun
2016.
Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal merupakan terbitan dwi-bulanan yang menyajikan
data-data dan informasi terkini mengenai ekonomi makro dan kebijakan fiskal. Diharapkan,
materi yang terangkum dalam Tinjauan ini dapat menjadi referensi masyarakat luas dalam
memahami kondisi ekonomi dan kebijakan fiskal terkini. Tinjauan ini juga disusun sebagai
sarana untuk menginformasikan kebijakan fiskal yang telah dihasilkan kepada para pemangku
kepentingan, untuk selanjutnya, menjadikan para pemangku kepentingan tersebut sebagai
pihak yang memberikan quality control terhadap kebijakan yang disusun. Hal tersebut sejalan
dengan visi Badan Kebijakan Fiskal sebagai unit perumus kebijakan fiskal yang terpercaya,
antisipatif, dan responsif.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada The World Bank-Jakarta dan Government
Partnership Fund-Australian Treasury yang telah mendukung kelancaran terbitnya Tinjauan
ini. Tinjauan Edisi III ini masih mempunyai banyak kekurangan. Untuk itu, kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca sangat kami butuhkan untuk perbaikan ke depan.
Selamat membaca.
Agustus 2016
Suahasil Nazara
Kepala Badan Kebijakan Fiskal
Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
5
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
5
Daftar Isi
6
Daftar Istilah
7
Ringkasan Eksekutif
8
Executive Summary
12
Bagian I: Tinjauan Perkembangan Ekonomi Makro
17
A. Kinerja Ekonomi Global Semester Pertama 2016 Masih Dibayangi Risiko
18
B. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Menguat di Semester Pertama 2016
23
C. Perkembangan Suku Bunga, Inflasi, Nilai Tukar dan Keseimbangan Eksternal
26
D. Stabilitas Perbankan Masih Terjaga
31
E. Kinerja Pasar Modal Indonesia Triwulan Kedua 2016
35
Bagian II: Analisis Kinerja APBN Semester Pertama 2016
39
Menjaga Komitmen Reformasi untuk Pertumbuhan yang Berkelanjutan
40
Lampiran Data Ekonomi Makro dan APBN
57
A. Data Perkembangan Indikator Ekonomi Makro s.d. Juni 2016
58
B. Data Penyerapan APBN s.d. Juni 2016
59
6
Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
DAFTAR ISTILAH
APBN
:
APBNP
:
AS
:
:
BBM
BBRT
BKPM
:
BLU LMAN
:
BoJ
BOPO
:
:
BPJS
bps
BPS
Brexit
CAR
:
:
:
:
:
:
DAK
DPK
DPR
ECB
FDI
:
Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara
Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara Perubahan
Amerika Serikat
LPS
MBR
Bahan Bakar Minyak
NPL
Bahan Bakar Rumah Tangga
Badan Koordinasi Penanaman
Modal
Badan Layanan Umum Lembaga
Manajemen Aset Negara
Bank of Japan
NPWP
OECD
Beban Operasional terhadap
Pendapatan Operasional
Badan Pengelolaan Jaminan Sosial
basis points
Badan Pusat Statistik
British Exit
Capital Adequacy Ratio
PDN
PKH
PLN
PMA
PMDN
PMN
PMTB
Dana Alokasi Khusus
Dana Pihak Ketiga
Dewan Perwakilan Rakyat
European Central Bank
Foreign Direct Investment
PPh
PPN
PTKP
qtq
Free Trade Agreement
RUU
mom
NIM
OJK
PBI
PDB
FTA
:
:
:
:
:
ICP
:
Indonesian Crude Price
SAL
IHSG
:
Indeks Harga Saham Gabungan
SBN
IMF
:
International Monetary Fund
SDA
Iptek
:
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
SDM
K/L
:
Kementerian/Lembaga
SILPA
KEK
:
Kawasan Ekonomi Khusus
SJSN
KI
KIP
KIS
KK
KKKS
KMK
KUMKM
:
TEPRA
KUR
:
Kredit Investasi
Kartu Indonesia Pintar
Kartu Indonesia Sehat
Kredit Konsumsi
Kontraktor Kontrak Kerja Sama
Kredit Modal Kerja
Kredit Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah
Kredit Usaha Rakyat
:
:
:
:
:
:
ROA
THR
TPID
UU
WEO
yoy
ytd
: Lembaga Penjamin Simpanan
: Masyarakat Berpenghasilan
Rendah
: month on month
: Net Interest Margin
: Non Performing Loan
: Nomor Pokok Wajib Pajak
: Organisation for Economic
Cooperation and Development
: Otoritas Jasa Keuangan
: Penerima Bantuan Iuran
: Produk Domestik Bruto
: Pendapatan Dalam Negeri
:
:
:
:
:
:
:
Program Keluarga Harapan
Perusahaan Listrik Negara
Penanaman Modal Asing
Penanaman Modal Dalam Negeri
Penyertaan Modal Negara
Pembentukan Modal Tetap Bruto
Pajak Penghasilan
: Pajak Pertambahan Nilai
: Penghasilan Tidak Kena Pajak
: quarter to quarter
: Return on Asset
: Rancangan Undang-Undang
: Saldo Anggaran Lebih
: Surat Berharga Negara
: Sumber Daya Alam
: Sumber Daya Manusia
: Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran
: Sistem Jaminan Sosial Nasional
: Tim Evaluasi dan Pengawasan
Realisasi Anggaran
: Tunjangan Hari Raya
: Tim Pemantau Inflasi Daerah
: Undang-Undang
: World Economic Outlook
: year on year
: year to date
Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
7
RINGKASAN EKSEKUTIF
Pemulihan ekonomi dunia pada tahun 2016 diperkirakan masih belum signifikan. Dalam rilis
WEO Juli 2016, IMF kembali merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi global, yakni dari 3,2
persen menjadi 3,1 persen, tak berubah dari posisi pertumbuhan ekonomi global di tahun
2015. Beberapa risiko yang masih membebani pemulihan ekonomi dunia antara lain adalah
negara maju (AS) yang belum mencapai tingkat full employment, kebijakan rebalancing
ekonomi Tiongkok, kombinasi harga komoditas yang moderat, serta lemahnya permintaan
global yang menciptakan tekanan bagi negara pengekspor komoditas. Pada sisi lain,
divergensi kebijakan moneter negara maju, yakni antara normalisasi kebijakan moneter oleh
Federal Reserve AS serta kebijakan pelonggaran moneter oleh ECB dan BoJ, berpotensi
menciptakan ketidakpastian dan gejolak di pasar keuangan global. Ketidakpastian tersebut
juga ditambah dengan hasil referendum Brexit di mana rakyat Inggris memutuskan untuk
keluar dari Uni Eropa.
Di tengah ketidakpastian global yang juga menekan perdagangan internasional, ekonomi
Indonesia pada semester pertama dapat tumbuh solid mencapai 5,04 persen. Setelah pada
triwulan pertama ekonomi Indonesia tercatat tumbuh 4,91 persen, pertumbuhan ekonomi
Indonesia pada triwulan kedua dapat mencapai 5,18 persen, didukung dengan penguatan
pada sisi konsumsi dan stabilnya pertumbuhan investasi. Selain penguatan dari sisi konsumsi
dan investasi, konsumsi pemerintah juga mampu tumbuh secara signifikan didorong oleh
realisasi belanja negara yang secara konsisten meningkat. Adapun ekspor dan impor masih
tertekan oleh belum pulihnya kondisi ekonomi global dan rendahnya harga komoditas.
Secara sektoral, konstruksi mengalami pertumbuhan yang signifikan karena adanya kenaikan
belanja pemerintah. Hal ini sekaligus mengonfirmasi pesatnya pembangunan infrastruktur
pada paruh pertama tahun 2016. Sektor lain yang memberikan kontribusi positif adalah
industri pengolahan. Pertumbuhan sektor ini antara lain sebagai dampak positif dari beberapa
kebijakan insentif fiskal yang telah diterapkan pemerintah. Pada sisi lain, sektor
pertambangan masih menunjukkan pelemahan karena belum pulihnya harga komoditas dan
turunnya permintaan global.
Mayoritas pertumbuhan ekonomi Indonesia pada semester pertama 2016 didukung dari
pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa yang lebih banyak mengandalkan sektor industri
pengolahan. Pada sisi lain, wilayah yang memiliki ketergantungan dari perdagangan hasil
kekayaan alam, seperti Papua, Maluku, dan Kalimantan masih menunjukkan perlambatan
karena harga komoditas global yang rendah. Sementara wilayah yang bergantung pada sektor
jasa, seperti Bali dan Nusa Tenggara mengalami pertumbuhan yang positif.
Sementara itu, kinerja indikator ekonomi makro lainnya selama semester pertama 2016
terpantau relatif kuat dan terkendali. Inflasi hingga akhir Juni 2016 terkendali pada tingkat 1,06
persen (ytd) atau 3,45 persen (yoy), didukung oleh perbaikan pada sisi penawaran dan
koordinasi yang baik antara pemerintah, Bank Indonesia, dan TPID dalam menjaga stabilitas
harga. Neraca perdagangan menunjukkan perbaikan dengan defisit ekspor maupun impor
8
Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
yang semakin mengecil. Neraca pembayaran juga tercatat membaik dan membukukan
surplus sebesar 2,33 miliar dolar AS yang didukung oleh arus modal finansial. Perbaikan
neraca pembayaran tersebut juga berdampak pada cadangan devisa yang menunjukkan tren
positif. Indikator lainnya, yakni nilai tukar rupiah pada semester pertama mencatat apresiasi
sebesar 2,89 persen dibandingkan semester kedua 2015 menuju rata-rata Rp13.420 per dolar
AS. Di sisi moneter, Bank Indonesia kembali menurunkan suku bunga acuannya sebesar 25
bps menjadi 6,5 persen pada Juni 2016.
Kondisi fundamental makroekonomi yang sehat masih dibayangi oleh potensi perlambatan
pertumbuhan ekonomi global, sehingga mendorong pemerintah, dengan persetujuan DPR,
melakukan perubahan pada APBN 2016. Hal ini bertujuan untuk menciptakan APBN yang lebih
realistis, kredibel dan berkelanjutan dalam merespon dinamika perekonomian global dan
domestik. Perubahan pada APBNP 2016 tersebut meliputi asumsi makro serta postur
anggaran, dengan berbagai penyesuaian yang lebih realistis serta menambahkan dukungan
kebijakan yang lebih komprehensif. Untuk asumsi makro, pertumbuhan ekonomi disepakati
5,2 persen dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian global yang masih belum
optimal. Inflasi, disepakati sebesar 4,0 persen karena ketersediaan pasokan bahan kebutuhan
yang lebih stabil, serta jalur distribusi yang lebih baik seiring dengan terselesaikannya proyekproyek infrastruktur. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS disepakati sebesar Rp13.500 per
dolar AS. Hal ini dipengaruhi oleh perbaikan ekonomi AS yang diperkirakan akan berjalan
secara gradual, quantitative easing yang masih berlangsung di Jepang dan Kawasan Eropa,
serta rebalancing ekonomi Tiongkok sehingga arus modal ke Indonesia diperkirakan masih
akan tinggi. Dari sisi domestik, stabilitas rupiah didukung oleh persepsi positif terhadap
prospek ekonomi domestik, seiring dengan terus digulirkannya reformasi struktural. Harga
rata-rata minyak mentah Indonesia disepakati sebesar 40,0 dolar AS per barel, atau lebih
rendah dibandingkan dengan yang disepakati dalam APBN 2016. Penurunan asumsi ICP
tersebut dipengaruhi oleh tingkat permintaan yang masih rendah di tengah pasokan minyak
global yang masih melimpah.
Dalam APBNP 2016, postur pendapatan negara dan hibah ditargetkan sebesar Rp1.786,2
triliun, turun dari target APBN 2016 yang sebesar Rp1.822,5 triliun. Penurunan tersebut
terutama bersumber dari menurunnya PNBP sebesar Rp28,8 triliun. Hal ini terjadi karena
masih lemahnya harga minyak mentah dan beberapa harga komoditas global lainnya.
Sementara itu, target penerimaan perpajakan sendiri disepakati sebesar 12,86 persen dari
PDB, turun dari target sebelumnya yang sebesar 13,11 persen dari PDB di tengah penurunan
asumsi pertumbuhan ekonomi dalam APBNP 2016. Salah satu bagian utama dalam APBNP
2016 adalah penerapan kebijakan Amnesti Pajak dalam rangka optimalisasi pendapatan serta
perluasan basis pajak. Kebijakan ini tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan pendapatan
negara saja, akan tetapi juga untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih
berkelanjutan melalui deklarasi dan repatriasi aset. Pada tanggal 28 Juni 2016, Pemerintah
dan DPR telah mengesahkan UU Pengampunan Pajak (Amnesti Pajak) yang menandai
dimulainya era baru reformasi perpajakan.
Di sisi belanja, belanja negara dianggarkan sebesar Rp2.082,9 triliun, turun dari sebelumnya
yang sebesar Rp2.095,7 triliun. Belanja pemerintah pusat mengalami penurunan sebesar
Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
9
Rp15,9 triliun sementara Transfer ke Daerah dan Dana Desa naik sebesar Rp3,1 triliun. Hal ini
menunjukkan komitmen pemerintah dalam menerapkan kebijakan desentralisasi fiskal dan
mendorong peran pemerintah daerah dalam mendukung pembangunan nasional. Pada sisi
lain, Pemerintah telah berhasil melanjutkan penataan subsidi energi yang lebih baik. Dalam
APBNP 2016, fixed subsidy untuk solar ditetapkan Rp500 per liter, atau lebih rendah
dibandingkan sebelumnya yang mencapai Rp1.000 per liter. Hal ini menegaskan komitmen
pemerintah untuk terus berupaya melakukan penataan ulang mekanisme pemberian subsidi
agar lebih tepat sasaran.
Sementara itu, target defisit dalam APBNP 2016 disepakati sebesar Rp296,7 triliun, atau 2,35
persen dari PDB. Meskipun terdapat pelebaran, pemerintah berkomitmen untuk menjaga
defisit anggaran dalam batas aman (di bawah 3 persen) agar kesehatan dan kesinambungan
fiskal tetap terjaga. Di sisi lain, pemerintah berupaya untuk menutup defisit anggaran melalui
bauran instrumen pembiayaan yang sehat dan terukur, serta memanfaatkan sumber-sumber
yang lebih berkesinambungan baik dari pendanaan bilateral maupun multilateral.
Adapun realisasi penerimaan APBN 2016 hingga semester pertama tercatat melambat
dibanding periode yang sama tahun lalu. Pendapatan negara hingga 30 Juni 2016 tercatat
sebesar Rp518,4 triliun atau lebih rendah dari periode yang sama tahun 2015 sebesar Rp536,1
triliun, turun 3,3 persen (yoy). Beberapa hal yang disinyalir mempengaruhi perlambatan
pendapatan yaitu penurunan harga komoditas, khususnya minyak bumi dan rendahnya
aktivitas ekspor impor akibat perlambatan ekonomi global. Secara keseluruhan, realisasi
penerimaan perpajakan pada 30 Juni 2016 mencapai Rp458,2 triliun atau relatif sama dengan
periode akhir Juni tahun 2015, yaitu Rp458,5 triliun. Untuk mencapai target penerimaan
perpajakan tersebut, pemerintah menerapkan berbagai kebijakan yang saling terintegrasi,
antara lain mempertahankan daya beli dan mendorong konsumsi masyarakat, mendorong
pertumbuhan investasi, mengoptimalkan kebijakan Amnesti Pajak, penggalian potensi sektor
unggulan memanfaatkan program geo-tagging, implementasi e-tax invoice, dan
ekstensifikasi, khususnya Wajib Pajak Orang Pribadi yang belum memiliki NPWP.
Pada sisi lain, upaya perbaikan realisasi belanja negara menunjukan kinerja yang lebih baik
dibandingkan tahun sebelumnya. Hingga 30 Juni 2016, belanja pemerintah pusat yang telah
dicairkan sebesar Rp481,3 triliun atau 36,8 persen dari target. Realisasi belanja pemerintah
tersebut lebih besar dibandingkan pencapaian pada periode yang sama tahun lalu, yakni 31,6
persen. Peningkatan ini seiring dengan terjadinya perbaikan pola belanja yang lebih baik.
Beberapa kebijakan yang berkontribusi pada peningkatan dan perbaikan pola belanja
pemerintah antara lain proses lelang lebih awal dan pre funding, serta pemberian reward and
punishment kepada pemerintah daerah terkait dengan pengelolaan kas. Pemerintah
berkomitmen untuk mempertahankan dan meningkatkan profil realisasi belanja tersebut,
sehingga akan memberikan kontribusi yang positif terutama bagi pertumbuhan ekonomi dan
pelayanan pada masyarakat.
Pada semester pertama 2016, defisit anggaran mencapai 1,83 persen, lebih tinggi dibandingkan
periode sebelumnya sebesar 0,73 persen. Kenaikan ini seiring dengan kebijakan pemerintah
dalam mendorong pembangunan infrastruktur dan program-program produktif lainnya.
10
Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
Pemerintah akan tetap berupaya agar kesehatan fiskal tetap terjaga sementara programprogram prioritas juga tetap berjalan dengan baik.
Secara keseluruhan, fundamental makroekonomi Indonesia bisa dikatakan masih sangat baik
meskipun dibayangi berbagai risiko global dan domestik. Adanya potensi risiko tersebut juga
semakin menguatkan perlunya kebutuhan untuk terus membangun pondasi ekonomi yang
lebih solid serta mengembangkan kebijakan-kebijakan yang ‘tidak biasa’. Bagi Indonesia, salah
satu strategi untuk menguatkan ketahanan ekonomi adalah melalui penguatan konsumsi,
serta investasi sebagai sumber pertumbuhan ekonomi yang lebih berkelanjutan, lebih
memberikan nilai tambah, serta mampu mewujudkan perekonomian yang lebih berkualitas
dan merata. Dengan kondisi perekonomian yang penuh dinamika, pengelolaan fiskal
menghadapi tantangan yang cukup berat. Sehingga perlu upaya untuk memitigasi risiko dalam
rangka mengamankan pelaksanaan APBNP 2016 melalui pengendalian defisit dalam batas
yang aman. Upaya tersebut ditempuh melalui optimalisasi pendapatan negara yang selaras
dengan kapasitas perekonomian agar lebih realistis dan kredibel, serta memperkuat kualitas
belanja negara dengan menjaga belanja produktif dan secara simultan melakukan efisiensi
belanja kurang produktif. Upaya berikutnya adalah menjaga keberlanjutan pembiayaan
dengan tetap mengendalikan risiko dalam batas manageable. Pada sisi lain, implementasi
Amnesti Pajak yang merupakan program terobosan untuk menstimulasi pertumbuhan
ekonomi, memperluas basis pajak, serta meningkatkan penerimaan pajak, perlu didukung
pelaksanaannya. Amnesti Pajak diharapkan dapat menjadi awal dari babak baru reformasi
perpajakan, yakni untuk meningkatkan kepatuhan dan menuju sistem perpajakan yang lebih
baik.
Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
11
EXECUTIVE SUMMARY
Global economic recovery will continue to be slow in 2016. In the WEO July edition, the IMF
once again revised down global economic growth projections, from 3.2 percent to 3.1
percent. Risks associated with the world economic recovery include advanced countries (like
the US) not yet achieving full employment, China’s economic rebalancing, low commodity
prices, and weak global demand that weigh on commodity exporters. The divergence of
monetary policy stances in advanced economies, that is between monetary normalization by
the US Federal Reserve and the loose monetary policy of the ECB and BoJ, has seen ongoing
uncertainty and volatility in global financial markets. This uncertainty was added to when the
UK referendum resulted in a vote for the UK to leave the European Union (Brexit).
In the midst of global uncertainties and weaker international trade activity, the Indonesian
economy has still achieved economic growth above 5,04 percent in the first half of 2016.
Indonesia has recorded 5,18 persen economic growth in the second quarter 2016, following
4,9 percent growth in the previous quarter. The keydrivers of this achievement was robust
household consumption and stable investment. Government consumption significantly grew
as a result of consistently improving government spending throughout the year. Whilst export
and import have remained weak as the global economy has not yet fully recovered and
commodity prices still low.
The construction sector experienced significant growth through the first half of 2016 driven
by government spending increases and infrastructure development acceleration. The
manufacturing sector also contributed positively to economic growth, partly as a result of
sectorally targeted fiscal incentives provided by government. Conversely, the mining sector
remained weak due to subdued commodity prices and declining global demand.
Indonesia’s economy is still largely supported by Java’s growth as it is the base for Indonesia’s
manufacturing sector. Those regions that are reliant on natural resources, such as Papua,
Maluku, and Kalimantan, recorded slower growth. Regions more dependent on the services
sector, such as Bali and Nusa Tenggara, have grown positively.
Other macroeconomic indicators have been relatively stable through the first half of 2016,
highlighting Indonesia’s macroeconomic credibility. Inflation has been benign at the level of
1.06 percent (ytd) or 3.45 percent (yoy) as at the end of June 2016, supported by supply side
improvements, as well as effective coordination between government, Bank Indonesia, and
TPID. The trade balance has shown Indonesia’s improvement with a narrowing of export and
import deficits. Balance of payment has also been improving with a US$2.33 billion surplus
recorded, backed by strong financial and capital flows. The improvements in the balance of
payment has led to a rising foreign reserves. Furthermore, the rupiah has appreciated in the
first half of 2016 to reach Rp13,420 per US dollar. On the monetary side, in June 2016, Bank
Indonesia has lowered again its interest rate by 25 bps to the level of 6.5 percent.
12
Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
Parliament has passed the 2016 revised budget against this challenging global background. The
revision aims to create a more realistic, credible and sustainable budget to respond to global
and domestic challenges. The economic growth agreed in the new macro assumption is 5.2
percent, slightly lower than the initial budget of 5.3 percent. Inflation agreed is 4.0 percent,
lower by 0.7 percentage point than inital budget, along with more stable price management
as well as improving supply side. The exchange rate approved is Rp13,500 per US dollar, from
Rp13,900 per US dollar agreed in the initial budget. On the basis of a more gradual US
economic recovery, quantitaive easing in Japan and Europe, and China’s economic
rebalancing that will encourage capital inflows to Indonesia. Domestically, the stability of the
rupiah wil be supported by positive perceptions of Indonesia economic prospects along with
implementation of the governments structural reform agenda. The ICP now set at US$40.0
per barrel, lower than the initial budget assumption by US$10.0. The lower oil price reflects
globally ongoing excess oil supply.
The target for state revenue and grants in the revised budget is Rp1,786.2 trillion, below the
initial target of Rp1,822.5 trillion. The decline is mainly caused by non tax revenue receipt
forecasts decreasing by Rp28.8 trillion. Furthermore, the tax revenue target agreed is 12.86
percent of GDP, a decline from the initial number of 13.11 percent of GDP, as a result of lower
economic growth assumptions. One of the key features of the 2016 Revised Budget is the
implementation of the Tax Amnesty program which aims to optimize revenue and broaden
the tax base. This policy does not solely intend to increase revenue, but also to boost
sustainable economic growth through asset declaration and repatriation.
On spending, the state expenditure allocation is Rp2,082.9 trillion, lower than the initial
allocation of Rp2,095.7 trillion. Central government spending declines by Rp15,909.6 billion
while Transfer to Regions and Village Fund rises by Rp3,133.7 billion. This marks the
government’s ongoing commitment to implementing fiscal decentralization through
encouraging the local government’s role in national development. Government has continued
its improvement in managing subsidy by reducing fixed subsidy for diesel from Rp1,000 to
Rp500 per litre. This shows the government’s commitment to achieving better targeting of its
subsidy systems.
As a result of these changes in revenue and expenditure, the revised deficit in the revised
budget is Rp296.7 trillion, or 2.35 percent of GDP. Despite being higher than the intial budget,
the government is commited to keeping the fiscal deficit under 3 percent to maintain fiscal
sustainability. Furthermore, the government will make sure to cover the deficit through a
sustainable financing mix of bilateral and multilateral financing services.
Revenue realization in the first half of 2016 has declined compared to the same period last year.
The revenue collection this year (Rp518.4 trillion) was lower than last year by 3.3 percent
(yoy). Factors affecting the revenue slowdown are low commodity prices, especially for oil,
and ongoing weakness trade activity. The taxation revenue until 30 June 2016 reached
Rp458.2 trillion or relatively similar to the same period in 2015 of Rp458.5 trillion. To achieve
the target, government is going to accelerate the implementation integrated policies among
other to maintain purchasing power and consumption, to boost investment growth, to
Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
13
optimize tax amnesty, as well as to optimally utilize several program such as geo-tagging, etax invoice, and extensification.
Spending performance in the first half of 2016 was better than previous year. The central
government spending disbursed until 30 June 2016 was Rp481.3 trillion (36.8 percent of the
2016 target). This was higher than previous year’s disbursement of central government
spending (31.6 percent of 2015 target). This improvement can be attributed to policies
supporting spending acceleration such as early procurement, pre-funding, and incentivizing
of regional government’s cash management
In the first half of 2016, the budget deficit reached 1.83 percent of GDP, higher than a year ago
of 0.73 percent. This increase is in line with government policy in pushing forward
infrastructure development and other productive programs. The government will ensure it
maintains Indonesia’s fiscal health while delivering priority programs.
Overall, Indonesia’s macroeconomic fundamentals remain strong with downside global and
domestic risks apparent. These risks have encouraged the necessity of more solid economic
foundation also the need of out of the box policies. The government has shown its
commitment to encouraging growth, optimizing revenue, improving the quality of spending
and ensuring fiscal sustainability
14
Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
Halaman ini sengaja dikosongkan
Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
15
16
Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
BAGIAN I
TINJAUAN
PERKEMBANGAN
EKONOMI MAKRO
Pemulihan perekonomian global masih diwarnai dengan
ketidakpastian sehingga membuat proyeksi pertumbuhan
ekonomi global untuk tahun 2016 berada di bawah tingkat
ekspektasi sebelumnya. Sementara itu, perekonomian
domestik hingga semester pertama 2016 mencatatkan
sinyalemen perbaikan dengan pertumbuhan ekonomi yang
mampu tumbuh 5,04 persen (yoy). Sementara Inflasi pada
akhir Juni 2016 tercatat sebesar 3,45 persen (yoy), dan
diperkirakan akan terus terkendali dan sejalan dengan
sasaran dan target.
Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
17
A. Kinerja Ekonomi Global Semester Pertama 2016
Masih Dibayangi Risiko
Pemulihan ekonomi dunia pada tahun 2016 diperkirakan masih belum signifikan. Dalam rilis
WEO Juli 2016, IMF kembali merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi global, yakni dari 3,2
persen menjadi 3,1 persen, tak berubah dari posisi pertumbuhan ekonomi global di tahun
2015. Sementara itu ekonomi negara maju diperkirakan akan tumbuh 1,8 persen, lebih
rendah dari rilis WEO April 2016 yang sebesar 1,9 persen, dan negara berkembang tumbuh
4,1 persen, tidak bergerak dari proyeksi WEO April 2016.
Grafik 1. Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Dunia
(dalam persen, yoy)
4,2
4
3,8
2015
2016
2017
2014
3,6
3,4
3,4
3,4
3,2
3,1
3,1
Jan-14
Feb-14
Mar-14
Apr-14
Mei-14
Jun-14
Jul-14
Agu-14
Sep-14
Okt-14
Nov-14
Des-14
Jan-15
Feb-15
Mar-15
Apr-15
Mei-15
Jun-15
Jul-15
Agu-15
Sep-15
Okt-15
Nov-15
Des-15
Jan-16
Feb-16
Mar-16
Apr-16
Mei-16
Jun-16
Jul-16
3
Sumber: WEO-IMF, Januari 2014-Juli 2016
Penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi global, terutama di negara maju, didorong oleh
meningkatnya beberapa risiko ekonomi dan keuangan global. Beberapa risiko tersebut antara
lain adalah negara maju yang belum mencapai tingkat pertumbuhan yang sustainable,
kebijakan rebalancing ekonomi Tiongkok, kombinasi harga komoditas yang moderat, serta
lemahnya permintaan global yang menciptakan tekanan bagi negara pengekspor komoditas.
Pada sisi lain, divergensi kebijakan moneter negara maju, yakni normalisasi kebijakan moneter
oleh Federal Reserve AS serta kebijakan pelonggaran moneter oleh ECB dan BoJ berpotensi
menciptakan ketidakpastian dan gejolak di pasar keuangan global. Ketidakpastian tersebut
juga ditambah dengan hasil referendum Brexit di mana negara Inggris memutuskan untuk
keluar dari Uni Eropa.
Secara lebih rinci, proyeksi pertumbuhan ekonomi di beberapa negara maju (AS, Inggris,
Jepang) mengalami revisi dari proyeksi April 2016, sementara proyeksi pertumbuhan di negara
berkembang utama (Tiongkok, India, ASEAN) lebih bervariasi. Pertumbuhan ekonomi AS tahun
2016 diprediksi sebesar 2,2 persen, sementara Zona Euro diprediksi sebesar 1,6 persen, dan
Jepang diprediksi sebesar 0,3 persen. Untuk negara berkembang utama, pada tahun 2016
ekonomi Tiongkok diperkirakan akan tumbuh sebesar 6,6 persen, ekonomi India diperkirakan
tumbuh 7,4 persen, dan ekonomi ASEAN diperkirakan tumbuh 4,8 persen.
18
Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
Grafik 2. Pertumbuhan Ekonomi Berbagai Negara
(dalam persen)
8
6
4
2
0
-2
AS
Zona Euro
2015 Q1
2015 Q2
Inggris
2015 Q3
2015 Q4
Jepang
2016 Q1
Tiongkok
2016 Q2
Sumber: Bloomberg
Kinerja pertumbuhan ekonomi AS yang masih berada di bawah ekspektasi membuat IMF
mengoreksi pertumbuhan ekonomi tahun 2016 menjadi 2,2 persen, turun 0,2 persen dari
proyeksi di WEO April. Pada triwulan kedua, ekonomi AS tumbuh sebesar 1,2 persen (yoy),
melambat dibandingkan pertumbuhan pada triwulan pertama sebesar 1,6 persen (yoy). Salah
satu penyebab rendahnya pertumbuhan ekonomi AS pada triwulan kedua adalah masih
melambatnya pengeluaran bisnis terhadap investasi, khususnya di sektor perumahan. Meski
demikian, belanja konsumen AS tercatat mengalami penguatan. Sementara itu, dampak dari
Brexit diproyeksikan tidak begitu signifikan bagi perekonomian AS. Di sisi kebijakan, rencana
normalisasi kebijakan moneter diperkirakan akan berlangsung secara gradual sehingga
diharapkan dapat mengimbangi fenomena penguatan dolar.
Ekonomi di Zona Eropa pada tahun 2016 diprediksi tumbuh hingga 1,6 persen, lebih tinggi
dibandingkan proyeksi pada WEO April yang sebesar 1,5 persen. Hal tersebut didukung oleh
membaiknya data-data ekonomi di Zona Euro pada awal 2016 sebelum adanya referendum
Brexit. Meski melambat dari realisasi pertumbuhan ekonomi triwulan pertama yang sebesar
1,7 persen (yoy), realisasi pertumbuhan ekonomi triwulan kedua Zona Euro yang tercatat
sebesar 1,6 persen (yoy) dinilai masih sejalan dengan proyeksi IMF. Penyebab perlambatan di
triwulan kedua tersebut diprediksi karena faktor temporer seperti konsumsi rumah tangga
yang kembali normal setelah mengalami kenaikan pada triwulan sebelumnya. Konsumsi
disokong oleh perayaan Paskah dan musim dingin. Beberapa kondisi yang mendukung
pertumbuhan ekonomi di Zona Euro hingga saat ini antara lain adalah menurunnya tingkat
pengangguran ke angka terendah sejak Juli 2011 serta ekspansi kebijakan moneter yang
masih terus dilakukan oleh otoritas kawasan tersebut. Namun demikian, Zona Euro harus
mewaspadai kondisi ekonominya pada tahun 2017 seiring dengan efek jangka panjang
referendum Brexit yang diperkirakan akan mulai terefleksi pada pertumbuhan ekonomi tahun
2017. Untuk tahun 2017, IMF merevisi pertumbuhan ekonomi Zona Euro dari 1,6 persen (yoy)
pada WEO April menjadi 1,4 persen pada WEO Juli. Secara jangka pendek, dampak
referendum Brexit telah tercermin dari peningkatan ketidakpastian yang melemahkan
keyakinan konsumen dan pebisnis.
Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
19
Di antara negara-negara maju di Zona Euro, proyeksi pertumbuhan ekonomi Inggris mengalami
koreksi yang paling dalam. Meski pada awal 2016 realisasi pertumbuhan ekonomi Inggris
tampak lebih kuat, yakni 2,0 persen (yoy) pada triwulan pertama dan 2,2 persen pada triwulan
kedua, tetapi peningkatan ketidakpastian yang terjadi pasca referendum Brexit diperkirakan
akan melemahkan permintaan domestik di Inggris secara signifikan. Depresiasi poundsterling
yang cukup dalam pasca Brexit diperkirakan akan memicu kenaikan inflasi. Selain itu,
terganggunya aktivitas investasi juga dapat memberikan tekanan pada biaya produksi yang
akhirnya berdampak pada daya beli masyarakat. Ekonomi Inggris pada tahun 2016 dan 2017
diproyeksikan akan tumbuh masing-masing sebesar 1,7 persen dan 1,3 persen, turun dari
proyeksi April 2016 yang sebesar 1,9 persen dan 2,2 persen. Pelemahan ekonomi yang lebih
dalam dimungkinkan bisa terjadi sebagai dampak dari hasil referendum Brexit.
Ekonomi Jepang pada triwulan kedua mengalami pelemahan dari periode yang sama pada
tahun sebelumnya dan dari ekspektasi para pelaku pasar keuangan, yakni hanya tumbuh 0,2
persen (annualized rate). Apresiasi yen dalam beberapa bulan belakangan, yang antara lain
dipicu oleh isu Brexit, diperkirakan akan mempengaruhi competitiveness ekspor Jepang
sehingga dapat membebani pertumbuhan ekonomi di 2016. Untuk mendorong
perekonomian, pemerintah meluncurkan paket stimulus pada sektor fiskal dan melakukan
pembelian aset-aset yang bermasalah. Pertumbuhan ekonomi Jepang pada 2016 diperkirakan
sebesar 0,3 persen, turun dibandingkan proyeksi pada WEO April yang sebesar 0,5 persen.
Sementara itu, perekonomian Tiongkok tumbuh 6,7 persen (yoy) pada triwulan pertama dan
kedua tahun 2016, dengan prospek perekonomian jangka pendek yang diprediksi membaik
seiring dengan dukungan kebijakan pemerintah. Kebijakan tersebut di antaranya penurunan
suku bunga pinjaman sebanyak lima kali pada tahun 2015, penerapan ekspansi kebijakan
fiskal, peningkatan belanja infrastruktur, serta percepatan pertumbuhan kredit. Dampak
langsung dari referendum Brexit diperkirakan akan terbatas, mengingat hubungan
perdagangan dan pasar keuangan antara Tiongkok dan Inggris yang tidak begitu signifikan.
Selain itu, otoritas Tiongkok juga siap dalam merespons pengaruh Brexit dan tetap memacu
pertumbuhan ekonomi. Ekonomi Tiongkok pada tahun 2016 diproyeksi tumbuh sebesar 6,6
persen, naik 0,1 persen dari proyeksi April 2016.
20
Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
Boks 1:
Brexit dan Potensi Dampaknya Bagi Indonesia
Tanggal 23 Juni 2016 menjadi hari yang bersejarah bagi Inggris terkait keanggotaannya di Uni
Eropa. Setelah dilakukan referendum yang digelar di 382 wilayah dan diikuti oleh 33 juta
warga Inggris atau 72,2 persen dari permilih terdaftar, hasil perhitungan akhir menunjukkan
bahwa kubu exit atau keluar dari Uni Eropa (Brexit) unggul dengan persentase 51,9 persen
dibandingkan kubu remain atau tetap di dalam Uni Eropa (Bremains) sebesar 48,1 persen.
Sebenarnya, referendum serupa pernah digelar pada tahun 1975, dua tahun setelah Inggris
bergabung dengan Uni Eropa, namun hasilnya memutuskan Inggris tetap di Uni Eropa.
Desakan referendum muncul ketika banyak pihak menilai bahwa keanggotaan Inggris di Uni
Eropa tidak banyak memberikan manfaat, bahkan Uni Eropa dianggap membebani Inggris.
Iuran keanggotaan Inggris di Uni Eropa sejumlah 350 juta poundsterling per tahun dinilai
tidak banyak memberikan keuntungan balik kepada Inggris. Uni Eropa juga dianggap
semakin mengontrol kehidupan sehari-hari rakyat Inggris. Selain itu, penerapan salah satu
prinsip Uni Eropa tentang Free Movement telah membuat Inggris kebanjiran imigran yang
berpotensi menimbulkan permasalahan sosial yang baru.
Brexit diperkirakan akan memberikan tekanan kepada Uni Eropa mengingat Inggris
merupakan salah satu negara dengan perekonomian terbesar setelah Jerman di Uni Eropa.
Dilihat dari kontribusi PDB, berdasarkan data CEIC dan Eurostat, pada tahun 2015 Inggris
menyumbang 17,6 persen dari total PDB nominal Uni Eropa. Dari sisi perdagangan, porsi
ekspor Inggris ke Uni Eropa pada tahun 2015 sebesar 47 persen dan porsi impornya sebesar
54,3 persen. Namun, pada sisi lain, banyak pihak juga menilai Inggris akan rugi jika keluar
dari Uni Eropa. Setidaknya, Inggris diprediksi akan kehilangan pendapatan hingga 145 miliar
dolar AS (setara Rp1.906 triliun) dan 1 juta pekerjaan pada tahun 2020 nanti.
Dampak ekonomi dan politik atas keluarnya Inggris dari Uni Eropa, diperkirakan juga akan
dirasakan oleh 27 anggota Uni Eropa lainnya. Dengan keluarnya Inggris dari Uni Eropa, kerja
sama perdagangan semua negara yang melibatkan Inggris harus ditinjau ulang karena
sebelumnya, setiap perjanjian kerja sama perdagangan yang dibuat dengan negara Uni
Eropa tidak dilakukan secara bilateral, namun melalui Uni Eropa. Jika Inggris keluar dari Uni
Eropa, berarti semua perjanjian yang melibatkan Inggris menjadi tidak berlaku. Dampak
lanjutan dari Brexit adalah munculnya harapan kepada negara-negara yang euroskeptics di
seluruh Eropa. Sekretaris Jenderal OECD, Angel Gurria, memperingatkan ada risiko negara
Uni Eropa lainnya akan mengikuti jejak Inggris dan menggagas referendum untuk
meninggalkan Eropa. Hal ini mulai terlihat ketika partai nasionalis di Prancis menyerukan
digelarnya referendum yang sama (Frexit). Belanda, Denmark, Republik Ceko dan Polandia
juga berpotensi membuat referendum terkait keanggotaan mereka di Uni Eropa. Jika hal ini
terjadi, maka eksistensi Uni Eropa dalam jangka panjang bisa terancam.
Brexit diperkirakan akan mendorong kondisi ekonomi global semakin tidak menentu. Sesaat
setelah kubu exit dinyatakan unggul dalam penghitungan, mata uang Inggris mengalami
penurunan hingga 11 persen terhadap dolar AS dan berada di level terendah sejak tahun
1985. Indeks bursa Inggris juga mengalami pelemahan hingga 10 persen. Pasar saham global
terkoreksi negatif termasuk Indonesia. Aliran modal cukup besar masuk ke aset-aset safe
Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 21
havens antara lain ke komoditas emas
dan mata uang yen. Menyusul kejadian tersebut, IMF
dalam WEO edisi Juli 2016, menurunkan angka prediksi pertumbuhan ekonomi global
sebesar 0,1 persen menjadi sebesar 3,1 persen. IMF menilai, Brexit akan mempengaruhi
volatilitas perekonomian global.
Dampak Brexit bagi Indonesia diperkirakan tidak terlalu besar, tapi tetap perlu diwaspadai.
Transmisi dampak tersebut dapat terjadi melalui jalur pasar keuangan, perdagangan, dan
investasi. Pada pasar keuangan, indeks saham diperkirakan akan mengalami penyesuaian
hingga nantinya kembali ke nilai yang dianggap wajar. Brexit akan lebih banyak
berpengaruh di kawasan Eropa yang berhubungan secara langsung dengan Inggris.
Besarnya pengaruh ke Uni Eropa tersebutlah yang nantinya menimbulkan second round
effect. Namun demikian, potensi pengaruhnya di pasar modal dan pasar uang tersebut
akan bersifat jangka pendek sebab gejolak tersebut lebih digerakkan oleh faktor
sentimen daripada faktor fundamental.
Dari transmisi perdagangan, Brexit kemungkinan tidak akan berpengaruh signifikan
terhadap PDB Indonesia. Neraca perdagangan Indonesia terhadap Inggris selalu surplus,
artinya nilai ekspor Indonesia ke Inggris lebih besar dibandingkan impor Indonesia dari
Inggris. Sampai dengan bulan Mei 2016, neraca perdagangan Indonesia-Inggris masih
mengalami surplus sebesar 159,74 juta dolar AS, dengan nilai ekspor Indonesia ke Inggris
tercatat 364,63 juta dolar AS dan impor sebesar 204,89 juta dolar AS. Saat ini Inggris
berada di urutan keempat bagi Indonesia dalam hal besaran nilai perdagangan dengan
Uni Eropa.
Dari sisi investasi, berdasarkan data BKPM, nilai investasi Inggris di Indonesia sepanjang
triwulan pertama 2016 mencapai 54,87 juta dolar AS dengan penyerapan tenaga kerja
mencapai 6.927 tenaga kerja. Inggris merupakan negara kesepuluh terbesar dalam
jumlah investasi di Indonesia. Nilai investasi Inggris masih di bawah Singapura, Malaysia,
Jepang, dan Belanda. Namun, dibandingkan negara-negara Uni Eropa, investasi Inggris
merupakan kedua terbesar setelah Belanda. Kendati demikian, dilihat dari nilainya,
investasi Inggris juga tidak berpengaruh signifikan terhadap PDB Indonesia.
Pada sisi lain, keluarnya Inggris dari Uni Eropa akan memberikan peluang ekonomi kepada
Indonesia. Brexit berpotensi menimbulkan arus modal keluar dari Inggris dan Uni Eropa,
yang mana dapat memberikan kesempatan positif bagi pasar uang dan FDI di Indonesia.
Selain itu, dengan direstrukturisasinya seluruh perjanjian perdagangan Uni Eropa yang
melibatkan Inggris maka Indonesia dapat mengambil peluang dengan membentuk
bilateral FTA yang lebih menguntungkan dengan Inggris.
22
Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
B. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Menguat
di Semester Pertama 2016
Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia pada semester pertama 2016 mencapai 5,0 persen,
meningkat dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya yakni sebesar 4,7
persen (tabel 1). Peningkatan pertumbuhan ekonomi pada semester pertama 2016 ditopang
oleh stabilnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga dan meningkatkanya konsumsi
pemerintah. Konsumsi rumah tangga tumbuh stabil di tingkat 5,0 persen, didukung dengan
adanya peningkatan aktivitas konsumsi di bulan Ramadan dan hari raya Idul Fitri yang
berlangsung pada semester pertama tahun 2016. Pada saat yang sama, tingkat inflasi dapat
terkendali pada level yang relatif rendah, sehingga turut menjaga daya beli masyarakat.
Sementara itu, pertumbuhan konsumsi pemerintah tumbuh pesat sebesar 4,8 persen
dibandingkan dengan pertumbuhan semester pertama 2015 yang hanya tumbuh sebesar 2,7
persen. Penguatan kinerja konsumsi pemerintah didukung oleh realisasi belanja pemerintah
yang secara konsisten lebih baik dari tahun lalu, termasuk untuk pembangunan infrastruktur.
Tabel 1. Pertumbuhan PDB semester pertama 2016 meningkat secara signifikan dibandingkan
dengan semester pertama 2015
(persen, yoy)
Q1
Q2
S1
2015
Q3
Q4
S2
Y
Q1
2016
Q2
S1
Konsumsi RT dan LNPRT
4,7
4,7
4,7
5,0
5,0
5,0
4,8
5,0
5,1
5,0
Konsumsi Pemerintah
2,9
2,6
2,7
7,1
7,3
7,2
5,4
2,9
6,3
4,8
PMTB
4,6
3,9
4,2
4,8
6,9
5,9
5,1
5,6
5,1
5,3
Ekspor
-0,6
0,0
-0,3
-0,6
-6,4
3,6
-1,9
-3,9
-2,7
-3,1
Impor
PDB
-2,2
4,7
-7,0
4,7
-0,6
4,7
-5,9
4,7
-8,1
5,0
7,0
4,9
-5,8
4,8
-4,2
4,9
-3,0
5,2
-4,0
5,0
Komponen Pengeluaran
Sumber: BPS
Komponen PMTB menunjukkan pertumbuhan yang relatif kuat yaitu sebesar 5,3 persen.
Penguatan kinerja PMTB ditopang oleh realisasi proyek infrastruktur yang terus berlangsung,
tercermin dari indikator pertumbuhan kumulatif konsumsi semen dalam negeri pada
semester pertama 2016 yang meningkat dibandingkan dengan pertumbuhan di semester
pertama tahun 2015. Selain itu, kebijakan penurunan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia
turut mendukung kinerja investasi melalui penyaluran KMK dan KI yang juga tumbuh positif.
Upaya pemerintah dalam memperbaiki iklim investasi maupun iklim usaha meliputi
penyederhanaan proses perizinan juga memberikan dampak positif bagi kinerja realisasi
investasi langsung, tercermin dari indikator PMDN maupun PMA yang terus menunjukan tren
peningkatan. Peningkatan kinerja realisasi investasi langsung di tahun 2016 juga disertai
dengan kenaikan sebaran investasi di luar Jawa menjadi 45,9 persen dari sebelumnya 44,7
persen (triwulan kedua 2015), yang mengindikasikan pemerataan pembangunan.
Berdasarkan asalnya, negara-negara Asia menduduki posisi lima besar investasi asing yang
masuk ke Indonesia. Menurut besaran persentase dari total PMA, lima negara tersebut adalah
Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
23
Singapura (28 persen); Jepang (18 persen); Hong Kong (8 persen); Tiongkok (8 persen) dan
Malaysia (6 persen).
Dari sisi perdagangan internasional, kinerja pertumbuhan ekspor dan impor menunjukkan
perbaikan meskipun masih mengalami kontraksi masing-masing sebesar -3,1 dan -4,0 persen.
Fase kontraksi diakibatkan oleh masih rendahnya harga-harga komoditas serta tingkat
permintaan yang juga masih belum pulih. Kinerja perekonomian negara-negara mitra dagang
Indonesia juga belum cukup menggembirakan, seperti Tiongkok yang masih mengalami
stagnasi serta AS yang mengalami pelemahan pertumbuhan.
Dari sisi lapangan usaha, pada semester pertama 2016 seluruh sektor tumbuh positif kecuali
Pertambangan dan Penggalian (tabel 2). Sektor Industri Pengolahan yang memiliki kontribusi
terbesar kepada pertumbuhan menunjukkan penguatan kinerja dengan pertumbuhan
mencapai 4,7 persen. Penguatan kinerja pertumbuhan sektor tersebut didukung oleh realisasi
investasi terutama PMA pada sektor industri, dan ditunjukan oleh perbaikan indeks produksi
baik pada industri besar, sedang maupun menengah dan kecil. Implementasi paket-paket
kebijakan ekonomi I - XII yang memberikan banyak insentif pada sektor industri seperti
keringanan pajak PPh 21 untuk industri dengan tenaga kerja paling sedikit 5000 orang,
kelonggaran PPn tidak dipungut untuk beberapa industri, penurunan tarif listrik untuk
industri, juga turut serta memberikan dampak positif bagi pertumbuhan sektor ini.
Sektor-sektor jasa secara umum menunjukkan peningkatan pertumbuhan dibanding periode
yang sama tahun sebelumnya. Peningkatan kinerja PMTB dan akselerasi pembangunan
proyek infrastruktur menjadi katalis positif bagi kinerja pada sektor-sektor yang terkait,
seperti sektor Jasa Keuangan dan Asuransi serta sektor Konstruksi. Sektor Jasa Keuangan dan
Asuransi mampu mencatat tingkat pertumbuhan tertinggi yakni sebesar 11,4 persen, sebagai
dampak tingginya kebutuhan pembiayaan yang diiringi dengan turunnya suku bunga acuan
kredit. Sektor Konstruksi juga tumbuh sebesar 7,0 persen, meningkat dibandingkan dengan
capaian semester pertama 2015 sebesar 5,7 persen. Di samping itu, faktor tingginya aktivitas
dan konsumsi masyarakat pada bulan Ramadan dan hari raya Idul Fitri juga menjadi
pendorong kinerja sektor-sektor jasa lainnya, seperti sektor Transportasi dan Pergudangan
(tumbuh 7,4 persen), serta sektor Perdagangan Besar dan Eceran (tumbuh 4,1 persen).
Sementara itu, kinerja sektor primer sepanjang semester pertama 2016 menunjukkan
perbaikan, meskipun secara umum masih melambat. Kinerja sektor Pertanian, Kehutanan,
dan Perikanan tumbuh sebesar 2,5 persen, melambat jika dibandingkan capaian kinerja
periode yang sama tahun sebelumnya. Perlambatan ini terutama sebagai dampak dari
fenomena el nino di akhir tahun 2015 yang mengakibatkan bencana kekeringan di berbagai
wilayah pertanian dan berdampak pada terganggunya aktivitas produksi pertanian, khususnya
untuk tanaman pangan, hortikultura, dan perkebunan. Di sisi lain, kinerja sektor
Pertambangan dan Penggalian masih mencatat kontraksi meskipun pada tingkat yang lebih
rendah, yakni sebesar -1,0 persen. Kontraksi pertumbuhan pada sektor ini terutama
disebabkan oleh masih rendahnya tingkat permintaan dan harga komoditas global yang
24
Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
mendorong penurunan produksi terutama pada pertambangan batu bara dan pertambangan
bijih logam.
Tabel 2. Sektor dengan nilai tambah yang lebih tinggi tumbuh lebih baik dibandingkan dengan sektor lainnya
(persen, yoy)
2015
Lapangan Usaha
2016
Q1
Q2
S1
Q3
Q4
S2
Y
Q1
Q2
S1
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan
4,0
6,9
5,5
3,3
1,6
2,6
4,0
1,8
3,2
2,5
Pertambangan dan Penggalian
-1,3
-5,2
-3,3
-5,7
-7,9
-6,8
-5,1
-1,3
-0,7
-1,0
Industri Pengolahan
4,0
4,1
4,1
4,5
4,4
4,4
4,2
4,6
4,7
4,7
Konstruksi
6,0
5,4
5,7
6,8
8,2
7,5
6,6
7,9
6,2
7,0
Perdagangan Besar dan Eceran;
Reparasi Mobil dan Sepeda Motor
4,1
1,7
2,9
1,4
2,8
2,1
2,5
4,0
4,1
4, 1
Transportasi & Pergudangan
5,8
5,9
5,9
7,3
7,7
7,5
6,7
7,9
6,8
7,4
Informasi dan Komunikasi
10,1
9,7
9,9
10,7
9,7
10,2 10,1
8,3
8,5
8,4
Jasa Keuangan dan Asuransi
8,6
2,6
5,5
10,4 12,5 11,4
8,5
9,3
13,5 11,4
Jasa-jasa lainnya
5,1
6,5
5,8
5,0
5,9
5,5
5,6
6,1
5,6
5,9
4,7
4,7
4,7
4,7
5,0
4,9
4,8
4,9
5,2
5,0
PDB
Sumber: BPS
Peningkatan kinerja ekonomi secara nasional diikuti oleh kenaikan pertumbuhan ekonomi di
berbagai kawasan. Pada semester pertama 2016, sebagian besar kawasan tumbuh lebih tinggi
dibandingkan semester pertama 2015. Pertumbuhan tertinggi dicapai oleh kawasan Sulawesi
sebesar 8,0 persen, disusul oleh Bali-Nusa Tenggara sebesar 7,2 persen. Sementara itu,
kawasan Papua-Maluku mengalami kontraksi sebesar -0,2 persen sejalan dengan kontraksi di
sektor pertambangan.
Pada semester pertama 2016, kontribusi Pulau Jawa terhadap PDB Nasional masih
mendominasi yakni hampir mencapai 60 persen. Porsi Pulau Jawa dan Sumatera yang besar
mengindikasikan bahwa perekonomian nasional masih bergantung pada kawasan barat
Indonesia. Dengan demikian, meskipun perekonomian di kawasan timur Indonesia tumbuh
relatif lebih tinggi, namun dampaknya kurang signifikan terhadap perekonomian nasional.
Untuk itu, perlu adanya kebijakan untuk mendorong perkembangan sektor Industri
Pengolahan khususnya di daerah-daerah timur yang berbasis komoditas guna meningkatkan
nilai tambah dan mendorong perekonomian yang lebih berkelanjutan dalam jangka panjang.
Dalam hal ini, konsep pengembangan KEK yang dilakukan oleh pemerintah dan meliputi
beberapa wilayah di bagian timur Indonesia, menjadi sangat relevan.
Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
25
C. Perkembangan Suku Bunga, Inflasi, Nilai Tukar
dan Keseimbangan Eksternal
Inflasi
Inflasi pada akhir triwulan kedua tahun 2016 tercatat sebesar 3,45 persen (yoy), masih sejalan
dengan sasaran inflasi sebesar 4±1 persen. Perkembangan Inflasi tahunan pada akhir triwulan
kedua ini relatif rendah dibandingkan periode yang sama dalam satu dekade terakhir.
Pelemahan harga minyak dunia merupakan pemicu utama penurunan tingkat inflasi karena
kebijakan reformasi subsidi energi menyebabkan penurunan langsung harga komoditas
energi domestik (grafik 4).
Grafik 3. Komponen Pembentuk Inflasi hingga Juni 2016
(dalam persen, ytd)
2,0
1,5
1,0
0,42
0,51
0,33
0,5 0,45
0,0 0,17
-0,11
-0,5
0,35
-0,26
0,47
0,25
0,47
-0,33
0,57
-0,66
1,06
0,40
0,16
0,62
0,63
0,31
0,89
0,70
-0,61
-0,46
-1,0
Jan-16
Inti
Feb-16
Mar-16
Harga diatur Pemerintah
Apr-16
Mei-16
Harga Bergejolak
Jun-16
Umum
Sumber: Badan Pusat Statistik
Bensin kembali menjadi komoditas yang memberikan kontribusi deflasi terbesar pada triwulan
kedua 2016. Pelemahan harga minyak mentah masih menjadi pemicu utama penurunan harga
komoditas energi, antara lain BBM, BBRT, dan tarif listrik. Sementara itu, dampak tidak
langsungnya terasa melalui penurunan tarif angkutan yang diamanatkan pemerintah melalui
Surat Edaran Menteri Perhubungan Nomor 15 Tahun 2016 dan Peraturan Menteri
Perhubungan Nomor 38 Tahun 2016. Namun demikian, penurunan harga komoditas energi
diperkirakan akan segara berhenti seiring dengan mulai pulihnya harga minyak mentah sejak
bulan Februari 2016. Mempertimbangkan hal-hal tersebut, kontribusi deflasi komponen
Harga Diatur Pemerintah menjadi sebesar 0,46 persen.
Inflasi komponen Harga Bergejolak memberikan sumbangan inflasi kumulatif sebesar 0,63
persen. Angka ini lebih besar dari rata-rata historis selama lima tahun terakhir yang hanya
mencapai 0,44 persen. Dengan kata lain, terdapat risiko peningkatan harga bahan makanan
pokok yang lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya. Harga bahan makanan sempat
mengalami penurunan pada awal triwulan kedua 2016 karena terjadinya puncak musim
panen padi yang mendorong penurunan harga pangan komplementer. Namun demikian,
pada akhir triwulan kedua 2016, harga pangan kembali menguat karena peningkatan
permintaan masyarakat menjelang Hari Besar Keagamaan Nasional (Ramadan dan Idul Fitri).
26
Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
Sementara itu, akumulasi kontribusi komponen Inti yang terus membesar menunjukkan
peningkatan permintaan masyarakat meskipun tidak sebesar periode yang sama dalam dua
tahun terakhir. Pada triwulan kedua 2016, kontribusi terbesar komponen dimaksud terjadi
pada bulan Juni. Hal ini disebabkan oleh terjadinya peningkatan konsumsi terhadap komoditas
makanan jadi pada saat bulan Ramadan, di samping persiapan masyarakat dalam rangka
menyambut hari raya Idul Fitri. Secara total, komponen Inti telah menyumbang inflasi sebesar
0,89 persen sejak awal tahun 2016.
Inflasi tahun kalender sampai dengan bulan Juni telah mencapai 1,06 persen, lebih rendah
dari rata-rata historis lima tahun dalam periode yang sama. Capaian tersebut mengindikasikan
hasil positif atas upaya pemerintah dalam menjaga stabilitas harga agregat. Berdasarkan
perkembangan terbaru dari pergerakan komponen inflasi, untuk menghadapi penguatan
harga pada semester kedua, dalam jangka pendek, pemerintah dapat melakukan upaya untuk
mengendalikan harga beras dan komoditas bahan pokok lainnya.
Nilai Tukar dan Uang Beredar
Penguatan rupiah pada triwulan kedua 2016 di tengah meningkatnya risiko di pasar keuangan
global, membantu memberikan ruang pelonggaran kebijakan moneter. Secara umum,
penguatan Rupiah yang terjadi pada triwulan pertama terus berlanjut meskipun sempat
mengalami pelemahan pada bulan Mei dan Juni 2016. Pelemahan ini seiring dengan
meningkatnya risiko pasar keuangan global yang dipicu oleh pernyataan Federal Reserve
terkait rencana kenaikan suku bunga acuan AS di bulan Juni 2016. Akan tetapi, dengan
ditundanya kenaikan suku bunga acuan AS tersebut, aliran modal kembali masuk sehingga
berkontribusi terhadap apresiasi rupiah. Stabilitas dan apresiasi nilai tukar rupiah
menciptakan ruang bagi kebijakan moneter, sehingga menjadi salah satu faktor yang
mendorong Bank Indonesia menurunkan kembali suku bunga acuan ke level 6,5 persen pada
bulan Juni 2016. Kinerja rupiah juga sempat mengalami pelemahan akibat sentimen dari hasil
referendum di Inggris (Brexit) yang terjadi di akhir bulan Juni 2016. Hasil referendum tersebut
memicu penguatan harga aset safe havens termasuk dolar AS, sehingga sempat menekan
mata uang lain ternasuk rupiah. Sampai dengan akhir Juni 2016, rupiah mengalami apresiasi
4,46 persen (ytd) ke angka Rp13.180 per dolar AS dan rata-rata triwulan kedua 2016 di level
Rp13.317 per dolar AS atau menguat 1,55 persen (qtq).
Terjaganya kondisi perekonomian serta persepsi positif investor terhadap prospek
perekonomian Indonesia ikut berkontribusi positif terhadap rupiah. Dengan pertumbuhan
ekonomi di semester pertama yang relatif stabil, dan didukung oleh membaiknya kinerja
defisit transaksi berjalan serta rendahnya laju inflasi, persepsi investor terhadap
perekonomian Indonesia terjaga dengan baik. Hal ini salah satunya tercermin dari masih
besarnya minat investor asing baik terhadap pasar SBN maupun pasar saham domestik.
Kondisi ini akan berkontribusi terhadap kestabilan dan pergerakan positif rupiah. Sementara
itu, disetujuinya RUU tentang Pengampunan Pajak (Amnesti Pajak) pada tanggal 28 Juni 2016
juga diharapkan dapat mendorong masuknya aliran modal dan dapat menambah pasokan
Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
27
valas dalam negeri guna stabilisasi rupiah ke depan. Pada sisi lain, berbagai kebijakan yang
diambil oleh Pemerintah maupun Bank Indonesia, diharapkan dapat mendorong stabilnya
kinerja nilai tukar rupiah ke depan.
Grafik 4. Pergerakan Rupiah mengalami kecenderungan terapresiasi hingga triwulan pertama 2016
(dalam 1 dolar AS)
Harian
14200
Rata - rata bulanan
14000
13800
13.889
13.855
13.516
13600
13.420
13400
13.193
13.355
13.180
13200
13000
01-Des-15
01-Jan-16
01-Feb-16
01-Mar-16
01-Apr-16
01-Mei-16
01-Jun-16
Sumber: Bloomberg, diolah
s
Kendati demikian, masih terdapat beberapa faktor risiko yang perlu diwaspadai, baik dari
eksternal maupun domestik. Sentimen pasar terhadap arah kebijakan Federal Reserve
diperkirakan tetap menjadi faktor penting yang mempengaruhi dinamika rupiah. Selain itu,
faktor eksternal lain seperti langkah kebijakan yang akan diambil oleh ECB setelah adanya
Brexit, keberlanjutan dari kebijakan ekspansif Jepang melalui kebijakan suku bunga negatif
serta moderasi perekonomian Tiongkok juga diperkirakan masih menjadi risiko bagi
perkembangan rupiah. Dari sisi domestik, perlu dicermati upaya-upaya dalam memperbaiki
kinerja transaksi berjalan serta kecepatan penurunan suku bunga Bank Indonesia agar dapat
turut menjaga kestabilan nilai tukar rupiah.
Di samping itu, perlu diwaspadai pula dampak kecepatan penurunan tingkat suku bunga
terhadap minat masyarakat domestik akan produk dan layanan jasa keuangan secara umum.
Hal ini tercermin dalam penurunan pertumbuhan uang beredar luas (M2). Pada bulan April,
pertumbuhan M2 menurun dari 7,2 persen (yoy) di bulan Februari menuju 7,13 persen (yoy).
Perlambatan pertumbuhan M2 ini disumbang oleh kepemilikan sekuritas di luar saham yang
justru tumbuh negatif. Penurunan pertumbuhan aktiva dalam negeri bersih (net domestic
asset) serta tagihan bersih kepada Pemerintah Pusat menjadi salah satu faktor yang
menyebabkan penurunan pertumbuhan M2. Penurunan kedua indikator ini menggambarkan
adanya penurunan tingkat kepemilikan produk atau penggunaan keuangan secara umum,
termasuk obligasi, oleh masyarakat di dalam negeri. Hal ini disinyalir terjadi karena adanya
kebijakan penurunan suku bunga DPK yang mulai berlaku di bulan Maret 2016. Pertumbuhan
tahunan M2 menurun dari 11,6 persen (yoy) menuju -8,34 persen (yoy).
28
Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
Peningkatan pertumbuhan uang beredar sempit (M1) di tengah melambatnya pertumbuhan
M2 menunjukkan terjadinya peningkatan permintaan terhadap aset-aset yang sangat likuid.
Di tengah perlambatan pertumbuhan M2, komponen M1 justru meningkat dari 11,6 persen
(yoy) menjadi 13,54 persen (yoy). Peningkatan pertumbuhan M2 diiringi penurunan
pertumbuhan simpanan berjangka dan tabungan, baik rupiah maupun valas serta giro valas
(uang kuasi) menunjukkan peningkatan preferensi masyarakat terhadap uang kartal. Hal ini
diperkirakan dipengaruhi oleh penurunan insentif untuk menggunakan jasa keuangan itu
sendiri, seiring suku bunga DPK yang menurun sehingga masyarakat cenderung mengalihkan
asetnya ke instrumen yang lebih likuid. Potensi penurunan suku bunga ke depan yang di
antaranya bersumber dari potensi arus modal masuk melalui skema Amnesti Pajak, perlu
dicermati terutama terkait dampaknya terhadap perkembangan uang beredar.
Neraca Perdagangan Indonesia
Grafik 5. Neraca Perdagangan Indonesia
(dalam juta dolar AS)
1399
1500
1136
1000
500
0
900
508
662
371
14
-500
-498
-1000
Jan-16 Feb-16 Mar-16 Apr-16 May-16 Jun-16
Non Migas
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Migas
Neraca Perdagangan
Neraca perdagangan triwulan kedua 2016
mengalami surplus 1,9 miliar dolar AS,
lebih tinggi 277 juta dolar AS dibandingkan
triwulan sebelumnya. Namun, capaian
tersebut melemah jika dibandingkan
periode yang sama tahun 2015, baik
secara tahunan (-10,2 persen) maupun
dilihat dari akumulasinya (-19,7 persen).
Dalam kurun waktu dua tahun terakhir,
kinerja neraca perdagangan menunjukkan
kecenderungan perbaikan, yang ditopang
oleh mengecilnya defisit neraca migas
sebagai dampak tidak langsung dari
melemahnya harga minyak mentah global
serta beroperasinya kilang minyak baru.
Pada sisi lain, penurunan impor nonmigas, terutama pada komponen bahan baku dan barang
modal telah menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekspor nonmigas hingga akhir triwulan
kedua tahun 2016. Kondisi tersebut semakin tertekan karena belum pulihnya permintaan
dunia. Melemahnya pertumbuhan ekonomi Tiongkok juga turut andil dalam pelemahan
ekspor Indonesia, karena porsi ekspor Indonesia ke Tiongkok cukup besar yaitu sekitar 10,0
persen dari total ekspor Indonesia. Tiongkok menempati posisi tiga besar negara tujuan ekspor
utama. Meskipun demikian, dampak dari pelemahan ekonomi Tiongkok dapat diimbangi,
antara lain dengan membaiknya kinerja ekspor Indonesia ke AS dan Swiss. Ekspor ke AS
tumbuh sebesar 0,6 persen sedangkan ekspor ke Swiss tumbuh di atas 100,0 persen dibanding
dengan kumulatif tahun sebelumnya.
Secara kumulatif, Neraca Perdagangan Indonesia periode Januari-Juni 2016 mencatat surplus
sebesar 3,6 miliar dolar AS, yang ditopang oleh surplus neraca non migas sebesar 5,7 miliar
dolar AS dan mengecilnya defisit neraca migas hingga 2,1 miliar dolar AS.
Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
29
Neraca Pembayaran Indonesia
Grafik 6. Neraca Pembayaran Indonesia
(dalam juta dolar AS)
20.000
120.000
15.000
109.800
110.000
10.000
7.400
5.000
100.000
2.200
(5.000)
(4.700)
(10.000)
(15.000)
90.000
80.000
Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2
2013
2014
Current Account
Overall Balance
Sumber: Bank Indonesia, diolah
2015
2016
Cap. & Fin. Account
Foreign Res. (RHS)
Neraca Pembayaran Indonesia triwulan
kedua 2016 surplus 2,2 miliar dolar AS yang
ditopang oleh menurunnya defisit transaksi
berjalan dan meningkatnya surplus
transaksi modal dan finansial. Kinerja
Neraca Pembayaran triwulan ini membaik
setelah pada triwulan sebelumnya
mengalami defisit sebesar 0,3 miliar dolar
AS.
Penurunan defisit transaksi berjalan
didorong oleh kenaikan surplus neraca
perdagangan nonmigas.
Defisit transaksi berjalan menurun dari 4,8 miliar dolar AS (2,2 persen dari PDB) pada triwulan
pertama 2016 menjadi 4,7 miliar dolar AS (2,0 persen dari PDB) pada triwulan kedua 2016.
Faktor perbaikan harga komoditas utama nonmigas kecuali alat listrik, menjadi penopang
surplus neraca nonmigas. Di sisi lain terdapat penurunan volume ekspor atas komoditas
minyak nabati, batu bara, dan barang dari logam tidak mulia. Sementara itu, peningkatan
impor nonmigas terutama didukung oleh kenaikan impor bahan baku untuk proses industri
manufaktur dalam negeri. Adapun, defisit neraca perdagangan migas melebar seiring dengan
meningkatnya harga minyak dunia. Selain itu, sesuai pola musiman triwulan kedua 2016,
surplus neraca jasa perjalanan mengalami penurunan yang menyebabkan pelebaran defisit
neraca jasa.
Transaksi modal dan finansial pada triwulan kedua 2016 mengalami surplus mencapai 7,4 miliar
dolar AS, lebih besar dibandingkan dengan surplus triwulan sebelumnya yang sebesar 4,6 miliar
dolar AS. Surplus tersebut ditopang oleh aliran masuk modal investasi portofolio yang
didukung oleh persepsi positif investor terhadap prospek perekonomian domestik dan
meredanya ketidakpastian di pasar keuangan global. Adapun aliran masuk modal dalam
transaksi modal dan finansial bersumber dari penerbitan sukuk global pemerintah dan net beli
asing pada instrumen portofolio berdenominasi rupiah, baik SUN maupun saham.
Posisi cadangan devisa Indonesia akhir Juni 2016 yang sebesar 109,8 miliar dolar AS, lebih tinggi
dibandingkan dengan posisi akhir Mei 2016 yang sebesar 103,6 miliar dolar AS. Jumlah
cadangan devisa tersebut cukup untuk membiayai kebutuhan pembayaran impor dan utang
luar negeri pemerintah selama 8,1 bulan dan berada di atas standar kecukupan internasional.
Peningkatan cadangan devisa tersebut dipengaruhi penerimaan cadangan devisa yang
terutama berasal dari penerimaan pajak dan devisa migas Pemerintah serta hasil lelang SBBI
valas.
30
Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
D. Stabilitas Perbankan Masih Terjaga
Stabilitas industri perbankan pada Mei 2016 masih cukup terjaga. Hal ini didukung oleh
ketahanan sistem perbankan yang relatif baik dan terjaganya kinerja pasar keuangan
sepanjang tahun 2016. Risiko kredit dan risiko likuiditas mengalami sedikit peningkatan tapi
masih dalam kisaran yang aman. Rasio kecukupan modal melanjutkan tren penguatan di mana
pada bulan Mei berada pada level 22,4 persen, jauh di atas ketentuan minimum 8 persen.
Dari sisi profitabilitas, indikasi pelemahan kinerja perbankan masih berlanjut sebagaimana
ditunjukkan rasio ROA yang menurun dan rasio BOPO yang meningkat.
Grafik 7. Pertumbuhan DPK dan Kredit
(dalam persen)
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
Jan Feb Mar Apr Mei Jun
Jul
Ags Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei
2015
2016
Kredit
DPK
Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, 2016
Kegiatan industri perbankan juga mengalami perbaikan di bulan Mei setelah sebelumnya
melambat (grafik 6). Perlambatan kegiatan industri perbankan yang terjadi sebelumnya
tersebut, yang dilihat dari trend indikator DPK dan kredit, antara lain disebabkan oleh
melambatnya permintaan domestik. Berbagai kebijakan yang diambil oleh Pemerintah dan
otoritas terkait mulai membuahkan hasil terlihat dari perbaikan pertumbuhan deposit dan
kredit pada bulan Mei yang lebih baik dibanding bulan April, baik secara bulanan maupun
tahunan. Pada Mei 2016, DPK berada pada level Rp4.508 triliun, tumbuh 6,5 persen (yoy).
Pertumbuhan ini lebih tinggi dibanding bulan April 2016 yang sebesar 6,8 persen (yoy) tetapi
lebih rendah dibanding pertumbuhan pada bulan Januari dan Februari tahun ini. Kelompok
Tabungan memiliki pertumbuhan paling tinggi sebesar 18,9 persen. Deposito Berjangka masih
menjadi kelompok dengan porsi terbesar pada DPK yakni 46,6 persen.
Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
31
Grafik 8. Kredit berdasarkan Lapangan Usaha
(dalam persen, besar bubble: porsi kredit)
Pertanian
6,43
30,0
Pertumbuhan Kredit (yoy)
25,0
Konstruksi
4,44
Jasa kesehatan
0,4
20,0
15,0
10,0
Perdagangan
19,57
Transportasi
4,33
Industri Pengolahan
18,18
5,0
0,0
-5,0
-10,0
-15,0
-20,0
0,0
1,0
2,0
3,0
Jasa
Kemasyarakatan
1,35
4,0
5,0
Pertambangan
2,92
6,0
7,0
Non Performing Loan (NPL)
Pertanian
Pertambangan
Perdagangan
Jasa Kemasyarakatan
Jasa kesehatan
Konstruksi
Industri Pengolahan
Transportasi
Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, 2016
Sementara itu, berdasarkan sektor penerima kredit, pada bulan Mei 2016, Sektor Perdagangan
Besar dan Eceran dan sektor Industri Pengolahan masih menjadi sektor dengan proporsi alokasi
kredit terbesar. Sektor Pertanian, Perburuan, dan Kehutanan (Pertanian) serta sektor Jasa
Kesehatan dan Kegiatan Sosial (Jasa Kesehatan) mengalami penumbuhan cukup signifikan.
Harga komoditas yang masih rendah memberikan pukulan cukup besar terhadap kredit di
Sektor Pertambangan dan Penggalian. Pada bulan Mei 2016, sektor tersebut masih mengalami
kontraksi dan memiliki NPL tertinggi (grafik 7).
Tabel 3. Indikator Umum Perbankan
Indikator Umum
Satuan
2015
2016
Des
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Aset
(T Rp)
6,133
6,096
6,119
6,168
6,181
6,243
Dana Pihak Ketiga
(T Rp)
4,413
4,385
4,438
4,469
4,478
4,508
Kredit Pihak Ketiga
(T Rp)
4,058
3,983
3,968
4,000
4,007
4,070
Loan to Deposit Ratio
(%)
92.1
91
89.5
89.6
89.5
90.3
Non-performing Loans
(%)
2.5
2.7
2.9
2.8
2.9
3.1
Rasio Kecukupan Modal
(%)
21.4
21.7
21.9
22.0
22.0
22.4
BOPO
(%)
81.5
84.9
84.2
83.0
82.3
82.4
Net Interest Margin
(%)
5.4
5.6
5.5
5.6
5.6
5.6
Return on Asset
(%)
2.3
2.5
2.3
2.4
2.4
2.3
Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, 2016
32
Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
Boks 2:
Menuju Suku Bunga Single Digit
Suku bunga acuan Bank Indonesia kembali dipangkas sebesar 25 bps menjadi 6,5 persen pada
tanggal 16 Juni 2016 untuk mendorong pertumbuhan kredit dan menopang perekonomian secara
umum. Pemangkasan suku bunga acuan tersebut diharapkan dapat menurunkan suku bunga
kredit sehingga mendorong ekspansi kredit di tengah masih lambatnya perekonomian global. Per
April 2016, rata-rata suku bunga kredit sudah mulai menunjukkan penurunan, seiring dengan
tingkat inflasi yang rendah serta nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang semakin stabil. Suku
bunga kredit menurun ke tingkat 13,39 persen dibandingkan bulan Februari sebesar 13,56
persen. Namun dengan kredit yang masih tumbuh melambat, yakni dari sebesar 8,05 persen
(yoy) pada Februari 2016 menjadi 7,74 persen (yoy) pada April 2016, suku bunga kredit
diharapkan masih dapat diturunkan. Kondisi global maupun domestik saat ini, termasuk potensi
aliran dana masuk dari Amnesti Pajak, cukup mendukung untuk penurunan suku bunga kredit ke
depan.
Berbagai upaya perlu untuk terus dilakukan guna menjaga momentum pertumbuhan tahun 2016
yang diperkirakan akan membaik. Pemerintah dan lembaga otoritas keuangan (Bank Indonesia,
OJK, dan LPS) sangat intensif berkoordinasi dalam upaya mencari terobosan kebijakan untuk
mendukung hal tersebut, salah satunya melalui peningkatan penyaluran kredit perbankan.
Kebijakan ini perlu didukung dengan upaya penurunan suku bunga kredit. Sepanjang tahun 2015,
suku bunga kredit dalam negeri secara rata-rata berada pada kisaran 13,0 persen untuk Bank
Buku IV dan 14,0 persen untuk Bank Buku III. Besaran suku bunga tersebut lebih tinggi di banding
negara peers. Atas hal ini, Pemerintah dan lembaga otoritas keuangan berpandangan perlunya
penurunan suku bunga kredit perbankan menjadi di bawah sepuluh persen (single digit) karena
dinilai masih terdapat ruang yang memungkinkan untuk melakukan hal tersebut.
Menyikapi hal tersebut, dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian global dan domestik,
Bank Indonesia telah menurunkan suku bunga acuannya menjadi 6,5 persen, atau secara total
turun sebanyak 100 bps sejak Desember 2015. Penurunan tersebut diharapkan akan
menurunkan suku bunga deposito perbankan dan pada akhirnya akan menurunkan suku bunga
kredit. Kebijakan besar lain yang dikeluarkan Bank Indonesia, yang secara tidak langsung dapat
membantu mencapai pengurangan suku bunga kredit, adalah dengan mengubah suku bunga
acuan menjadi BI 7 day repo rate mulai bulan Agustus 2016. Suku bunga acuan baru ini
diharapkan dapat membuat transmisi kebijakan moneter berjalan lebih efektif. Selain dua
kebijakan di atas, BI juga menurunkan Giro Wajib Minimum dan Loan-to-Value untuk
meningkatkan penyaluran kredit.
Dengan tujuan yang sama, pada pertengahan bulan Februari 2016, OJK memberi pernyataan
akan memberikan insentif bagi perbankan yang mampu menurunkan margin bunga bersih (NIM)
dan menurunkan rasio BOPO dalam kisaran tertentu. Insentif tersebut berupa kemudahan dalam
membuka kantor cabang dan produk baru. Dengan menurunnya NIM dan BOPO, suku bunga
kredit diharapkan juga dapat menurun. Sementara dari sisi pemerintah, Menteri Keuangan telah
menerbitkan PMK Nomor 77 tahun 2016 yang menetapkan bahwa sejak tanggal 3 Mei 2016
bunga deposito dana Pemerintah di perbankan tidak boleh melebihi suku bunga Bank Indonesia.
Pada sisi lain, LPS juga menurunkan LPS rate pada 13 Mei 2016 untuk memuluskan jalan menuju
single digit. Meski secara filosofi bukan merupakan policy rate, mengingat motivasi
penetapannya lebih bersifat retrospektif,
tetap
berada
dalam
jalur transmisi
EdisiLPS
III /rate
Agustus
2016
| Tinjauan
Ekonomi,
Keuangan,kebijakan
& Fiskal
moneter. Penurunan LPS rate akan membantu penurunan suku bunga deposito perbankan dan
akan semakin lebih cepat lagi ketika suku bunga acuan BI yang baru mulai berlaku.
33
Grafik 9. Suku Bunga Deposito
(dalam persen)
8,50
8,00
7,50
7,00
6,50
1 Bulan
3 Bulan
Jan-16
Feb-16
6 Bulan
Mar-16
Apr-16
12 Bulan
May-16
Sumber: CEIC
Pada sisi lain, LPS juga menurunkan LPS rate pada 13 Mei 2016 untuk memuluskan jalan menuju
single digit. Meski secara filosofi bukan merupakan policy rate, mengingat motivasi
penetapannya lebih bersifat retrospektif, LPS rate tetap berada dalam jalur transmisi kebijakan
moneter. Penurunan LPS rate akan membantu penurunan suku bunga deposito perbankan dan
akan semakin lebih cepat lagi ketika suku bunga acuan Bank Indonesia yang baru mulai berlaku.
Tabel 4. Penurunan Suku Bunga Kredit
(dalam bps)
Korporasi
Bank
Min
Maks
Retail
RataRata
Min
Maks
Konsumsi: KPR
RataRata
Min
Maks
Konsumsi: Non-KPR
RataRata
Min
Maks
RataRata
Buku III*
-31
199
69.9
-26
262
91.9
-10
221
76.8
-39
350
89.3
Buku IV
25
50
31.25
25
205
120
0
50
18.75
0
94
23.5
*Sepuluh Bank (BJB, Bukopin, CIMB Niaga, Danamon, OCBC NISP, Panin, Bank DKI, BTN, Bank Sumut, dan Bank Jatim)
Sumber: CEIC, diolah
Kebijakan-kebijakan tersebut dinilai cukup efektif, dilihat dari pergerakan suku bunga deposito
dan suku bunga pinjaman pada saat ini. Suku bunga deposito sejak Januari 2016 sampai dengan
Mei 2016 turun dengan kisaran sebesar 53 bps untuk tenor 12 bulan sampai dengan 72 bps untuk
tenor 1 bulan (grafik 9). Demikian juga halnya dengan suku bunga kredit untuk horizon waktu
yang sama. Suku bunga kredit pada Bank Buku IV secara umum mengalami penurunan.
Penurunan paling tajam terjadi pada suku bunga kredit retail yang secara rerata sederhana,
bukan tertimbang, turun 92 bps dan 120 bps masing-masing untuk Bank Buku III dan Buku IV
(tabel 4). Dampak awal juga sudah dapat terlihat pada pertumbuhan kredit. Setelah mencatatkan
pertumbuhan bulanan (mom) yang negatif pada bulan Januari dan Februari, pertumbuhan
bulanan pada bulan-bulan berikutnya mulai positif. Pertumbuhan kredit pada bulan Mei 2016
sebesar 1,6 persen (mom) bahkan tercatat lebih besar dari pertumbuhan bulan yang sama pada
tahun 2014 dan 2015 yang sebesar 1,2 persen.
34
Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
E. Kinerja Pasar Modal Indonesia Triwulan Kedua 2016
Posisi IHSG hingga akhir Juni 2016 mencatatkan kinerja yang positif. IHSG menguat sebesar 9,22
persen (ytd), melanjutkan tren penguatan pada bulan sebelumnya yang meningkat 4,44
persen (ytd). Di tengah tren penguatan tersebut, pergerakan harian IHSG mengalami
volatilitas, mengikuti perkembangan rencana referendum Brexit yang berakhir dengan
keputusan Inggris untuk keluar dari keanggotaan Uni Eropa. Dari dalam negeri, perkembangan
pembahasan UU tentang Amnesti Pajak antara pemerintah dengan DPR yang akhirnya
disepakati oleh DPR untuk disahkan menjadi UU, serta penurunan tingkat suku bunga acuan
Bank Indonesia menjadi 6,5 persen, juga mempengaruhi volatilitas pergerakan harga saham
domestik.
Grafik 10. Kinerja IHSG Dibandingkan Indeks Global
(dalam persen)
12,2
10,6
SET
IHSG
4,4
0,5
1,1
KOSPI
2,9
2,1
DJIA
-2,3
-3,9
KLCI
2,7
2,6
S&P 500
FTSE 100
STI
-3,2
Shenzen Comp
-1,5
-5,1
-5,0
Hangseng
Nikkei
4,2
-0,2
-18,2
-9,5
-17,2
-17,6
Juni (%, ytd)
Mei (%, ytd)
9,2
Setelah sempat mengalami tekanan di awal
bulan, IHSG kembali mengalami tren positif
menjelang akhir Juni. Pada pekan pertama
bulan Juni 2016, IHSG sempat melanjutkan
rebound yang terjadi sejak pertengahan
Mei hingga mendekati level 5.000. Namun,
alotnya pembahasan UU Amnesti Pajak
dan pelaksanaan referendum Brexit,
kembali memberikan tekanan kepada
IHSG. Pada tanggal 24 Juni 2016, IHSG
bersama dengan sebagian indeks global
mengalami tekanan cukup dalam seiring
hasil referendum Brexit yang menyatakan
bahwa kubu exit unggul dalam
penghitungan suara.
Sumber: Bloomberg
Jika dilihat dari sisi investor, investor domestik mengalami tekanan aksi jual pada saat
mengetahui hasil referendum Brexit. Namun demikian, investor non residen hanya
membukukan penjualan neto sebesar Rp82 miliar di tengah pelemahan IHSG yang mencapai
0,82 persen. Tekanan tersebut hanya berlangsung dalam satu hari perdagangan saja,
selanjutnya IHSG mengalami tren positif yang cukup signifikan dan bahkan mencatatkan posisi
tertinggi di sepanjang tahun 2016. Posisi IHSG berada di tingkat 5.016,65 pada akhir Juni 2016.
Kondisi tersebut didukung oleh kebijakan otoritas moneter di dunia yang merencanakan
untuk memberikan stimulus guna mengantisipasi dampak Brexit.
Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
35
Grafik 11. Perkembangan IHSG s.d. Juni 2016
5100
BI Rate 7,0%
UU Amnesti Pajak
disetujui DPR
5000
4900
BI Rate 7,25%
4800
4700
4600
BI Rate 6,75%
4500
Tanpa mengesampingkan tren positif yang
dialami indeks global pasca meredanya
tekanan atas keputusan Brexit, penetapan
UU Amnesti Pajak pada tanggal 28 Juni
2016 diperkirakan juga memberikan
sentimen positif bagi kinerja IHSG
mengingat IHSG menguat cukup signifikan
pasca penetapan tersebut.
Hasil Referendum
Brexit
4400
4300
Jan-16
Feb-16 Mar-16
Apr-16
May-16
Jun-16
Sumber: Bloomberg, diolah
36
Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
Halaman ini sengaja dikosongkan
Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
37
38
Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
BAGIAN II ANALISIS KINERJA APBN
SEMESTER PERTAMA
2016
Berbagai dinamika perekonomian telah membuat
pengelolaan fiskal menjadi penuh tantangan.
Melalui APBNP, pemerintah berupaya memitigasi
risiko dan menciptakan anggaran yang lebih realistis,
kredibel dan berkesinambungan melalui optimalisasi
pendapatan, penguatan belanja yang berkualitas,
serta pembiayaan yang berkelanjutan. Hingga
semester pertama 2016, pengelolaan fiskal terbukti
berhasil memberikan kontribusi positif bagi
pertumbuhan ekonomi sejalan dengan realisasi
belanja pemerintah yang membaik.
Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
39
Menjaga Komitmen Reformasi untuk Pertumbuhan yang Berkelanjutan
Dinamika terkini serta prospek perekonomian global dan domestik ke depan mewarnai kinerja
fiskal dan ekonomi makro Indonesia. Mempertimbangkan ketidakpastian kondisi global,
pelemahan kinerja ekspor dan impor secara umum, perlambatan pertumbuhan ekonomi,
tekanan terhadap nilai tukar dan inflasi, dinamika likuiditas global, rendahnya harga
komoditas utama, serta kurang optimalnya lifting minyak mentah, pemerintah berkomitmen
untuk melakukan reformasi dan mengelola fiskal secara kredibel dan realistis.
APBN Perubahan 2016
Dengan memperhatikan perkembangan perekonomian terkini serta realisasi dan pencapaian
APBN 2016, pemerintah telah mengajukan perubahan atas APBN 2016 pada tanggal 2 Juni
2016. UU APBNP tahun 2016 tersebut telah disahkan oleh DPR pada Sidang Paripurna tanggal
28 Juni 2016. Selain menyesuaikan besaran asumsi dasar ekonomi makro, UU APBNP tahun
2016 juga telah memuat beberapa hal strategis antara lain perhitungan kebijakan Amnesti
Pajak dalam penetapan target penerimaan perpajakan, komitmen untuk melanjutkan efisiensi
belanja operasional K/L, mengatur pemberian subsidi yang lebih tepat sasaran, menetapkan
anggaran transfer ke daerah menjadi lebih tinggi dari anggaran K/L, serta menyediakan dana
investasi untuk pembebasan lahan dalam rangka pembangunan infrastruktur melalui BLU
LMAN. Penyesuaian terhadap asumsi dasar ekonomi makro tersebut diharapkan dapat
membuat APBN lebih mendukung pencapaian berbagai sasaran pembangunan tahun 2016 di
tengah berbagai tantangan perekonomian ke depan.
Tabel 5. Asumsi Makro APBN
2016
Indikator
Realisasi
Semester I
APBNP
a.
Pertumbuhan Ekonomi (persen, yoy)
5,2
5,0*)
b.
Inflasi (persen, yoy)
4,0
3,5
c.
Tingkat bunga SPN 3 bulan (persen)
5,5
5,7
d.
Nilai Tukar (rupiah per dolar AS)
13500,0
13420,0
e.
Harga Minyak Mentah Indonesia (dolar AS per barel)
40,0
36,0
f.
Lifting Minyak (ribu barel per hari)
820,0
817,0
g.
Lifting Gas (ribu barel setara minyak per hari)
1150,0
1201,0
*)
Pertumbuhan ekonomi merupakan proyeksi realisasi semester pertama
Sumber: Kementerian Keuangan
Asumsi pertumbuhan ekonomi disepakati sebesar 5,2 persen, atau sedikit lebih rendah
dibandingkan angka yang tercantum dalam APBN 2016 sebesar 5,3 persen. Hal ini terutama
mempertimbangkan masih lemahnya perekonomian dunia pada tahun 2016 seiring masih
belum pulihnya perekonomian negara-negara maju, melambatnya pertumbuhan ekonomi di
negara-negara berkembang khususnya Tiongkok, serta rendahnya harga komoditas. Faktor
40
Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
ketidakpastian juga masih membayangi sektor keuangan global. Di sisi domestik,
pertumbuhan ekonomi Indonesia masih didukung oleh PMTB yang tumbuh seiring
keberlanjutan pembangunan infrastruktur yang didukung oleh peningkatan anggaran
infrastruktur pemerintah, konsumsi rumah tangga yang tumbuh stabil, serta konsumsi
pemerintah yang mengalami peningkatan. Namun, pemerintah masih terus mewaspadai
pertumbuhan negatif ekspor dan impor sebagai akibat masih lemahnya harga komoditas dan
permintaan dunia terutama negara-negara mitra dagang utama Indonesia. Selain itu, ruang
untuk kebijakan moneter dan makro prudensial ke depan diharapkan dapat lebih akomodatif
untuk pertumbuhan ekonomi.
Laju Inflasi disepakati sebesar 4,0 persen atau lebih rendah dibandingkan APBN tahun 2016
yang sebesar 4,7 persen. Ketersediaan pasokan bahan kebutuhan yang lebih stabil, serta jalur
distribusi yang lebih baik seiring dengan terselesaikannya proyek-proyek infrastruktur
menjadi salah satu faktor utama yang mendorong membaiknya laju inflasi pada tahun 2016.
Di sisi lain, potensi risiko peningkatan laju inflasi terutama bersumber dari ketidakstabilan
kondisi ekonomi global, keterlambatan musim panen sebagai dampak perubahan iklim, serta
kecenderungan naiknya harga minyak.
Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS disepakati sebesar Rp13.500 per dolar AS. Hal tersebut
terutama dipengaruhi oleh masih cukup tingginya potensi aliran modal masuk sebagai akibat
dari adanya keputusan Brexit, dan perbaikan pertumbuhan ekonomi AS yang diperkirakan
berjalan secara gradual, serta masih adanya kebijakan quantitative easing di Jepang dan
Kawasan Eropa. Sementara dari sisi domestik, stabilitas rupiah didukung oleh persepsi positif
terhadap prospek ekonomi domestik, seiring dengan reformasi struktural, peningkatan
kualitas infrastruktur, serta adanya kebijakan pengampunan pajak diperkirakan juga turut
berpengaruh positif terhadap masuknya aliran modal ke Indonesia.
Tingkat suku bunga SPN 3 Bulan disepakati sebesar 5,5 persen sama seperti dalam APBN 2016.
Tingkat suku bunga SPN pada tahun 2016 diperkirakan akan dipengaruhi oleh kebijakan
moneter negara maju seperti AS, Kawasan Eropa, dan Jepang. Sementara dari sisi domestik
dipengaruhi oleh kinerja perekonomian nasional yang relatif lebih baik dibandingkan negara
lainnya di kawasan regional, relatif stabilnya nilai tukar rupiah, penurunan suku bunga acuan
Bank Indonesia, inflasi yang terjaga serta berlakunya kebijakan Amnesti Pajak diharapkan
dapat tetap menarik minat investor.
Harga rata-rata minyak mentah Indonesia disepakati sebesar 40,0 dolar AS per barel. Proyeksi
ini didasari oleh meningkatnya permintaan dunia terutama dari negara berkembang dan nonOECD serta penurunan produksi minyak mentah dari negara-negara produsen minyak dalam
upaya menjaga keseimbangan pasar. Selain itu diperkirakan masih terdapat potensi risiko
kenaikan yang dipicu oleh faktor geopolitik.
Lifting minyak dan gas bumi dalam APBNP 2016 disepakati masing-masing sebesar 820 ribu
barel per hari dan 1.150 ribu barel setara minyak per hari. Lifting migas ini masih dipengaruhi
oleh optimalisasi produksi Lapangan Banyu Urip Cepu, penurunan harga minyak mentah
Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
41
dunia yang menjadi kendala investasi untuk eksplorasi migas, risiko penurunan akibat
terdapat beberapa KKKS yang telah mengajukan penundaan produksi, dan rendahnya tingkat
penyerapan gas domestik.
Di sisi fiskal pemerintah berusaha melakukan penyesuaian terhadap APBN 2016 sehingga
posturnya lebih realistis dan berkelanjutan. Seiring dengan penyesuaian sisi fiskal,
perkembangan indikator asumsi dasar ekonomi makro juga akan terus dipantau sampai
dengan akhir tahun 2016. Hal tersebut sebagai acuan dalam mempersiapkan langkah-langkah
antisipasi apabila diperlukan, dalam rangka menjaga stabilitas perekonomian dan
pembangunan nasional.
Substansi penyesuaian dalam pendapatan negara di APBNP 2016 adalah mendorong agar
pendapatan negara tetap optimal dengan memperhatikan perkembangan ekonomi global.
Masih kurang kondusifnya perkembangan negara-negara mitra dagang utama serta
rendahnya harga komoditas membawa risiko pelemahan pada sisi pendapatan negara.
Namun demikian, pemerintah mengupayakan agar pertumbuhan pajak tetap positif, ditopang
dengan terobosan kebijakan pada penerimaan perpajakan. Adapun kebijakan yang dimaksud
antara lain adalah Amnesti Pajak, penggalian potensi sektor unggulan memanfaatkan
program geo-tagging, implementasi e-tax invoice, ekstensifikasi, khususnya Wajib Pajak
Orang Pribadi yang belum memiliki NPWP, dan pemeriksaan Wajib Pajak Badan (PMA) yang
menurut profiling terdapat potensi pajak. Sementara itu berbagai strategi untuk mendukung
pencapaian PNBP ditempuh dengan menahan turunnya lifting, memonitor pengetatan jadwal
proyek migas on stream, dan mempercepat revisi dan penyelesaian berbagai peraturan jenis
dan tarif PNBP, serta perbaikan administrasi tata kelola PNBP.
Sementara untuk memperkuat kualitas belanja ditempuh dengan mendorong belanja yang
produktif. Langkah tersebut dilakukan secara simultan dengan efisiensi belanja operasional
dan nonprioritas dalam kerangka pengendalian defisit anggaran dalam batas aman. Upaya
efisiensi ditempuh dengan pemotongan belanja K/L dan meningkatkan ketepatan sasaran
subsidi antara lain dengan pengurangan fixed subsidi solar yang semula Rp1000 menjadi
Rp500 per liter. Sebelumnya, pemerintah juga telah melakukan percepatan lelang,
penyederhanaan prosedur, pemberian fleksibilitas pelaksanaan anggaran, implementasi
reward dan punishment serta monitoring pelaksanaan disiplin anggaran secara konsisten dan
periodik oleh TEPRA. Berbagai terobosan kebijakan tersebut berhasil mengakselerasi
sekaligus memperbaiki pola penyerapan belanja K/L hingga semester pertama 2016. Realisasi
belanja K/L mencapai Rp262,8 triliun (34,2 persen terhadap pagunya dalam APBNP tahun
2016). Realisasi tersebut dipengaruhi antara lain oleh kebijakan percepatan pengadaan
barang dan jasa (lelang dini); kegiatan monitoring, evaluasi, dan pengawasan yang intensif,
sehingga K/L melaksanakan kegiatan secara lebih optimal; serta kebijakan penghematan atau
pemotongan. Percepatan realisasi belanja untuk pembangunan infrastruktur, gaji ketiga
belas, dan THR pada semester pertama tahun 2016 diharapkan memberi kontribusi positif
dalam menstimulasi perekonomian.
42
Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
Penguatan desentralisasi fiskal juga dilakukan sebagai upaya memperbaiki kualitas belanja
dengan mendorong percepatan penyerapan dan perbaikan pola penyaluran. Upaya tersebut
ditempuh dengan membuat desain penyaluran transfer ke daerah yang disesuaikan dengan
sifat penggunaannya, yaitu untuk jenis dan Transfer ke Daerah yang bersifat block grant, pola
penyalurannya dilakukan secara periodik tanpa mensyaratkan laporan realisasi dari daerah.
Sedangkan untuk jenis dana Transfer ke Daerah yang penggunaannya sudah ditentukan,
seperti DAK, penyalurannya berdasarkan laporan kinerja penyerapan dana dari daerah.
Secara umum, gambaran perubahan postur dalam APBNP 2016 dapat dilihat melalui adanya
pelebaran defisit anggaran sebesar Rp23,5 triliun atau menjadi Rp296,7 triliun (2,35 persen dari
PDB). Hal ini karena penurunan pendapatan negara yang lebih besar dibandingkan belanja
negara. Dalam APBNP 2016, pendapatan negara turun Rp36,3 triliun sementara belanja
negara menurun sebesar Rp12,3 triliun. Seiring dengan pelebaran defisit dari 2,15 persen
menjadi 2,35 persen PDB maka dibutuhkan penambahan pembiayaan untuk menutup
financing gap sekaligus menopang tambahan pembiayaan investasi yang bersumber dari
utang mapun non-utang.
Pemerintah juga menjaga keberlanjutan pembiayaan untuk menutupi pelebaran defisit dengan
tetap mengendalikan risiko dalam batas aman. Upaya tersebut ditempuh melalui pemanfaatan
SAL dan penambahan penerbitan SBN, sekaligus memenuhi kebutuhan pembiayaan investasi
antara lain pemberian PMN kepada PLN, BPJS Kesehatan, dan investasi kepada BLU LMAN.
Lebih lanjut, keberlanjutan pembiayaan dijaga melalui bauran kebijakan yang efisien serta
mendorong terciptanya pembiayaan yang kreatif dan inovatif. Upaya tersebut ditempuh agar
pembiayaan mempunyai daya leverage untuk mengakselerasi pembangunan infrastruktur,
peningkatan akses pembiayaan bagi KUMKM, peningkatan ekspor serta pemenuhan
kebutuhan rumah yang layak dengan harga terjangkau bagi MBR. Tercatat realisasi
pembiayaan dalam semester pertama tahun 2016 mencapai Rp276,6 triliun (93,2 persen),
yang meliputi pembiayaan non-utang mencapai negatif Rp1,2 triliun (1,7 persen) dan
pembiayaan utang mencapai sebesar Rp277,8 triliun (75,9 persen). Adapun SILPA sementara
tercatat sebesar Rp45,9 triliun.
Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
43
Realisasi Semester Pertama APBN-P 2016
Tabel 6. Realisasi APBN-P 2016 Semester Pertama
(dalam triliun rupiah)
2015
Pendapatan Negara dan Hibah
1.761,6
667,9
1.786,2
634,7
%
Realisasi
35,5
I.
Penerimaan Dalam Negeri
1.758,3
667,6
38,0
1.784,2
634,1
35,5
1.
Penerimaan Perpajakan
1.489,3
535,1
35,9
1.539,2
522,0
33,9
2.
PNBP
269,1
132,5
49,2
245,1
112,1
45,7
Uraian
A.
II.
B.
2016
%
Realisasi
37,9
Hibah
APBNP
Smt I
APBN
Smt I
3,3
0,4
12,1
2,0
0,6
28,6
Belanja Negara
1.984,1
752,2
37,9
2.082,9
865,4
41,5
I.
1.319,5
417,5
31,6
1.306,7
481,3
36,8
795,5
195,3
24,6
767,8
262,8
34,2
524,1
222,2
42,4
538,9
218,5
40,6
664,6
334,7
50,4
776,3
384,0
49,5
643,8
326,8
50,8
729,3
357,2
49,0
Belanja Pemerintah Pusat
1.
II.
Belanja K/L
2. Belanja Non K/L
Transfer ke Daerah dan Dana
Desa
1. Transfer ke Daerah
Dana Desa
20,8
7,9
38,0
47,0
26,8
57,1
C.
Keseimbangan Primer
2.
(66,8)
(10,7)
16,0
(105,5)
(143,4)
135,9
D.
Surplus/(Defisit) Anggaran (A-B)
(222,5)
(84,3)
37,9
(296,7)
(230,7)
77,7
(1,9)
(0,7)
(2,4)
(1,8)
Pembiayaan Anggaran (I + II)
222,5
177,2
79,6
296,7
276,6
93,2
I.
242,5
199,8
82,4
299,3
300,9
100,5
(20,0)
(22,6)
113,0
(2,5)
(24,3)
961,5
0,0
92,9
0,0
45,9
% Surplus/(Defisit) Terhadap PDB
E.
Pembiayaan Dalam Negeri
II.
Pembiayaan Luar Negeri (neto)
Kelebihan/(Kekurangan) Pembiayaan
Anggaran
Sumber: Kementerian Keuangan
Hingga semester pertama tahun 2016, realisasi belanja negara terus menunjukkan perbaikan
dengan mencatatkan pertumbuhan yang tinggi. Hingga 30 Juni 2016, belanja pemerintah pusat
yang telah dicairkan sebesar Rp481,3 triliun atau 36,8 persen dari target. Realisasi belanja
pemerintah tersebut lebih besar dibandingkan pencapaian pada periode yang sama tahun
lalu, yakni 31,6 persen. Perbaikan ini didukung oleh hampir seluruh komponen belanja
pemerintah pusat, yang secara konsisten membukukan realisasi yang lebih baik sejak awal
tahun. Perbaikan yang cukup signifikan terlihat pada belanja modal, di mana sampai dengan
semester pertama 2016 mencapai Rp44,4 triliun atau 21,5 persen dari APBNP 2016.
Pencapaian ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata pencapaian belanja modal
dalam lima tahun terakhir yaitu sebesar 15,7 persen. Selain itu, pola realisasi belanja pegawai
dan belanja barang pada semester pertama 2016 juga mengalami perbaikan, di mana masingmasing mencapai Rp100,9 triliun dan Rp94,6 triliun. Pemerintah akan melakukan perbaikan
profil realisasi belanja secara terus menerus agar dampak kepada perekonomian dapat lebih
cepat dirasakan oleh masyarakat. Beberapa langkah yang telah ditempuh pemerintah dalam
44
Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
upaya memperbaiki realisasi belanja adalah pelaksanaan lelang dini dan program pre-funding.
Melalui pelaksanaan lelang dini, K/L mendapatkan keleluasaan untuk melakukan lelang sejak
November 2015. Adapun program pre-funding memungkinkan pemerintah untuk melakukan
penerbitan SBN di tahun 2015, guna memperoleh sumber pembiayaan anggaran 2016.
Sehingga sejak awal tahun 2016, ketersediaan dana untuk membiayai belanja dapat
dipastikan dan proyek-proyek strategis dapat segera dieksekusi. Kebijakan pre-funding
tersebut dilengkapi juga dengan front-loadment penerbitan SBN sejak awal tahun anggaran
2016.
Tabel 7. Realisasi Belanja Pemerintah Pusat Semester Pertama
(dalam triliun rupiah)
A. Kementerian/Lembaga
795,5
2015
Juni
2015
195,3
B. Non Kementerian/Lembaga
524,1
222,2
42,4
538,9
218,5
40,6
155,7
73,6
47,3
191,2
87,3
45,6
212,1
90,1
42,5
177,8
72,3
40,7
137,8
62,6
45,4
94,4
51,0
54,1
74,3
27,4
37,0
83,4
21,3
25,5
31,7
1,0
3,2
22,5
2,8
12,3
1319,5
417,5
31,6
1306,7
481,3
36,8
Belanja Pemerintah Pusat
(triliun rupiah)
APBNP
a.l. a. Pembayaran Bunga Utang
b. Subsidi
i. Subsidi Energi
ii. Subsidi Non Energi
c. Belanja Lain-Lain
Total
% thd
APBNP
24,5
767,8
2016
Juni
2016
262,8
% thd
APBNP
34,2
APBNP
Sumber: Kementerian Keuangan
Grafik 12. Penyerapan Belanja Pemerintah Pusat Menurut Fungsi
(dalam persen)
Pelayanan Umum
37,9
36,8
35,4
34,8
Ketertiban dan Keamanan
Perlindungan Lingkungan Hidup
29,4
18,1
Kesehatan
36,1
19,5
Agama
35,1
35
Perlindungan Sosial
49
00
10
20
30
40
50
60
Sumber: Kementerian Keuangan
Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
45
Grafik 13. Realisasi Belanja K/L per Jenis Belanja Semester Pertama
(dalam persen)
Belanja Barang
Belanja Pegawai
150
100,9
100
50
10,7
0
Januari Februari Maret
75,5
61,4
24,6
7,4
8,6
Januari Februari Maret
April
1,1
Mei
Juni
2016
2015
Belanja Modal
50
40
30
20
10
0
27,2
18
1,5
10,2
26,9
16,7
8,6
Januari Februari Maret
April
2015
26,9
Mei
Juni
2016
Belanja Bantuan Sosial
44,4
5,4
16,7
0
April
2015
42,4
50
46,1
31,8
64,5
71,1
55,8
38,8
23,8
94,6
100
Mei
50
40
30
20
10
0
Juni
42,2
27,3
34
14,9
1,7
6,2
12,1
9,2
Januari Februari Maret
2016
2015
April
16,8
Mei
22,9
Juni
2016
Sumber: Kementerian Keuangan
Tabel 8. Realisasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa Semester Pertama
(dalam triliun rupiah)
Transfer ke Daerah dan Dana Desa
664,6
2015
Juni
2015
334,7
A. Transfer ke Daerah
746,6
326,8
43,8
729,3
357,2
49,0
624,5
321,0
51,4
705,5
348,7
49,4
1. DBH
110,1
52,8
48,0
109,1
53,6
49,2
2. DAU
352,9
205,9
58,3
385,4
224,2
58,2
3. DAK
161,6
62,3
38,6
211,0
70,9
33,6
17,1
5,1
30,0
18,3
5,2
28,3
104,4
0,6
0,6
5,0
2,9
58,1
0,5
0,1
25,0
0,5
0,4
80,0
20,8
7,9
37,9
47,0
26,8
57,1
Uraian
a. Dana Perimbangan
b. Dana Otonomi Khusus
c. Dana Penyesuaian
d. Dana Keistimewaan DIY
e. Dana Desa
APBNP
% thd
APBNP
50,4
Sumber: Kementerian Keuangan
46
Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
776,3
2016
Juni
2016
384
% thd
APBNP
49,5
APBNP
Adapun realisasi penerimaan APBN 2016 hingga semester pertama tercatat melambat
dibanding periode yang sama tahun lalu. Penerimaan negara hingga 30 Juni 2016 tercatat
sebesar Rp634,7 triliun, lebih rendah dari periode yang sama tahun 2015 sebesar Rp667,9
triliun atau turun 3,3 persen (yoy). Secara keseluruhan, realisasi penerimaan perpajakan pada
30 Juni 2016 mencapai Rp522,0 triliun atau lebih rendah dari periode akhir Juni tahun 2015,
yaitu Rp535,1 triliun. Besaran tersebut terdiri atas penerimaan PPh Migas Rp16,3 triliun, PPh
Nonmigas Rp270,5 triliun, PPN Rp169,2 triliun, serta total penerimaan bea cukai sebesar
Rp61,3 triliun. Tak pelak, harga komoditas yang masih rendah serta kinerja ekspor impor yang
belum pulih, masih memberikan tekanan yang cukup kuat pada posisi penerimaan negara
tahun ini. Selain itu, perlambatan pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada triwulan pertama
2016 turut membuat kinerja penerimaan negara belum berjalan optimal.
Tabel 9. Realisasi Penerimaan Perpajakan Semester Pertama
(dalam triliun rupiah)
2015
Uraian
2016
Penerimaan Perpajakan
1489,3
535,1
% thd
APBNP
35,9
a. Pajak Dalam Negeri
1440,0
518,0
36,0
1503,3
504,7
33,6
679,4
280,0
41,2
855,8
286,8
33,5
49,5
27,3
55,1
36,3
16,3
44,9
2. PPh Nonmigas
629,8
252,7
40,1
819,5
270,5
33,0
ii. PPN dan PPnBM
576,5
174,5
30,3
474,2
169,2
35,7
26,7
0,5
1,8
17,7
0,7
4,0
145,7
60,4
41,5
148,1
44
29,7
11,7
2,5
21,5
7,4
4
53,8
i.
Pajak Penghasilan
1. PPh Migas
iii. Pajak Bumi dan Bangunan
iv. Cukai
v. Pajak Lainnya
b. Pajak Perdagangan Internasional
APBNP Juni 2015
1539,2
522
% thd
APBNP
33,9
APBNP Juni 2016
49,3
17,1
34,7
35,9
17,3
48,3
Bea Masuk
37,2
15,2
40,8
33,4
16
48
ii. Bea Keluar
12,1
1,9
16
2,5
1,3
51,5
i.
Sumber: Kementerian Keuangan
Tabel 10. Realisasi PNBP Semester Pertama
(dalam triliun rupiah)
2015
Uraian
2016
Penerimaan Negara Bukan Pajak
269,1
132,5
49,2
245,1
112,1
% thd
APBNP
45,7
A. Penerimaan SDA
APBNP
Juni 2015 % thd APBNP
APBNP
Juni 2016
118,9
56,3
47,3
90,5
27,4
30,2
1) SDA Migas
61,6
42,7
69,3
51,3
18,5
36,1
2) Non Migas
19,8
13,6
68,9
17,4
8,9
51,4
34,2
24,8
72,7
B. Pendapatan Bagian Laba BUMN
37,0
27,5
74,4
C. PNBP Lainnya
90,1
37,0
41,1
84,1
41,8
49,7
11,7
50,5
36,3
18,1
49,8
D. Pendapatan BLU
23,1
Sumber: Kementerian Keuangan
Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
47
Memperhitungkan kondisi penerimaan dan belanja negara tersebut, realisasi defisit sampai
dengan semester pertama 2016 adalah sebesar Rp230,7 triliun atau 1,83 persen dari PDB.
Kondisi ini dipengaruhi oleh belum optimalnya kinerja pendapatan negara dan peningkatan
yang signifikan pada kinerja penyerapan belanja K/L. Meskipun lebih lebar dibanding tahun
2015, defisit APBN tersebut masih dalam tingkatan yang aman. Jumlah tersebut telah ditutup
melalui Pembiayaan Dalam Negeri sebesar Rp300,9 triliun dan Pembiayaan Luar Negeri
sebesar Rp24,3 triliun. Dalam hal ini, masih terdapat surplus sebesar Rp45,9 triliun.
Arah dan Tantangan Kebijakan Fiskal 2017
Di tengah pemulihan perekonomian global dan domestik, pengelolaan fiskal tahun 2017
menghadapi tantangan yang cukup berat. Ruang fiskal untuk menopang belanja produktif dan
prioritas, masih relatif terbatas. Masih tingginya belanja yang bersifat mengikat (mandatory
spending) turut memberi batasan ruang fiskal dalam postur anggaran. Selain itu, optimalisasi
penerimaan negara perlu untuk terus ditingkatkan guna memberi tambahan ruang bagi fiskal
serta pengendalian keseimbangan primer. Pemerintah juga masih menghadapi tantangan
dalam optimalisasi realisasi belanja khususnya yang bersifat produktif. Selama tahun 2016,
pemerintah telah berhasil memperbaiki profil penyerapan belanja sehingga dapat
memberikan dukungan yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Ke depan, hal ini terus
untuk diperbaiki sehingga APBN menjadi alat yang optimal dalam menggerakan laju
perekonomian nasional. Tidak kalah pentingnya, setelah berhasil mengurangi subsidi energi
secara signifikan, pemerintah masih harus terus berupaya menciptakan sistem subsidi yang
lebih tepat sasaran agar dapat dimanfaatkan oleh golongan masyarakat yang betul-betul
membutuhkan.
Pembangunan infrastruktur masih akan menjadi prioritas bagi pemerintah, karena ini adalah
salah kunci utama dalam menciptakan perekonomian yang lebih inklusif. Dengan memacu
pembangunan infrastruktur, daya saing ekonomi dan kesempatan kerja akan meningkat,
sedangkan kemiskinan dan kesenjangan dapat berkurang. Untuk itu, arah kebijakan fiskal
tahun 2017 akan mengambil tema “Pemantapan Pengelolaan Fiskal untuk Peningkatan Daya
Saing dan Mengakselerasi Pertumbuhan Ekonomi yang Berkelanjutan dan Berkeadilan”.
Adapun strategi fiskal yang akan ditempuh antara lain melalui tiga pilar. Pilar pertama yakni
meningkatkan kualitas stimulus. Strategi peningkatan kualitas stimulus fiskal ditempuh untuk
meningkatkan peran APBN dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan
berkeadilan. Dari sisi pendapatan negara, stimulus fiskal dilakukan dengan pemberian insentif
fiskal untuk kegiatan ekonomi strategis yang mendukung iklim investasi dan keberlanjutan
dunia usaha serta peningkatan daya beli. Akan tetapi, penyediaan insentif fiskal dilakukan
tanpa mengorbankan optimalisasi pendapatan. Dari sisi belanja, stimulus fiskal ditempuh
dengan meningkatkan belanja produktif yang difokuskan untuk pembangunan infrastruktur
guna meningkatkan daya saing dan kapasitas perekonomian. Ruang fiskal akan ditingkatkan
melalui efisiensi subsidi dan belanja operasional yakni pengendalian earmarking dan
mandatory spending. Sementara itu dari sisi pembiayaan, kebijakan stimulus fiskal ditempuh
48
Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
antara lain dengan memprioritaskan pemanfaatan utang untuk kegiatan produktif dan
meningkatkan peran swasta serta BUMN dalam mengakselerasi pembangunan infrastruktur.
Inovasi pada instrumen pembiayaan juga akan terus dilakukan, selain untuk diversifikasi
pembiyaan juga sebagai usaha pendalaman pasar modal.
Pilar kedua dalam strategi fiskal adalah memantapkan daya tahan fiskal ditujukan untuk
memperkuat ketahanan fiskal dalam meredam ketidakpastian untuk mendukung pencapaian
target pembangunan. Langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk memantapkan daya
tahan fiskal, antara lain penyediaan bantalan fiskal (fiscal buffer) melalui pemanfaatan SAL.
Selain itu fleksibilitas pengelolaan kebijakan fiskal melalui penguatan payung hukum juga akan
ditingkatkan antara lain melalui UU APBN yang lebih fleksibel dalam mengantisipasi situasi
yang terjadi. Tidak kalah pentingnya, usaha menjaga daya tahan fiskal dilakukan melalui
pengendalian kerentanan fiskal dalam batas toleransi, antara lain menjaga indikator-indikator
fiskal dalam batas aman (debt services ratio, rasio utang terhadap PDB, rasio utang terhadap
PDN, dan rasio pembayaran bunga utang terhadap PDN).
Pilar terakhir dalam strategi fiskal yakni menjaga kesinambungan fiskal, ditujukan untuk
mengendalikan risiko dan menjaga keberlanjutan fiskal dalam mendorong produktivitas APBN
untuk mendukung peningkatan kapasitas perekonomian nasional. Hal tersebut ditempuh
melalui pengendalian defisit anggaran, rasio utang terhadap PDB, dan keseimbangan primer.
Secara umum semangat yang menjiwai dalam perumusan kebijakan fiskal 2017 adalah untuk
pencapaian kebijakan fiskal akan lebih sehat dan memberi kontribusi yang optimal bagi
stabilitas perekonomian dan peningkatan derajat kesejahteraan. APBN 2017 akan diarahkan
untuk mendorong agar fungsi pokok kebijakan fiskal dapat berfungsi secara optimal dalam
menstimulasi perekonomian, menjaga keseimbangan makro, peningkatan kualitas pelayanan
publik, meredistribusi pendapatan, memberikan perlindungan sosial serta mengantisipasi
terhadap ketidakpastian. Hal ini tentunya akan dilakukan dengan tetap memberi dukungan
dan selaras target pembangunan yang hendak dicapai, serta konsisten dan sinergis dengan
arah dan strategi kebijakan jangka menengah.
Dalam tahun 2017 kebijakan fiskal yang ditempuh tetap ekspansif terarah untuk meningkatkan
kapasitas produksi dan daya saing dengan defisit anggaran berkisar 1,9-2,5 persen PDB. Arah
kebijakan pendapatan negara secara umum difokuskan untuk optimalisasi pendapatan
dengan tetap menjaga iklim investasi dan konservasi terhadap lingkungan dan peningakatan
kualitas pelayanan publik. Arah kebijakan belanja negara secara umum difokuskan untuk
peningkatan kualitas belanja dengan mendorong peningkatan belanja produktif, efisiensi
belanja operasional dan nonprioritas, subsidi tepat sasaran, peningkatan efektiftas program
perlindungan sosial, penguatan dan kualitas desentralisasi fiskal dan antisipasi ketidakpastian.
Arah kebijakan pembiayaan difokuskan untuk mendukung keberlanjutan pembiayaan dengan
mengembangkan pembiayan kreatif dan inovatif untuk leverage pembangunan infrastruktur
dan peningkatan akses pembiayaan bagi KUMKM, peningkatan ekspor serta penyediaan
rumah bagi MBR.
Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
49
Kerangka Kebijakan Fiskal Jangka Menengah-Medium Term Fiscal Framework
2015-2020
Arah kebijakan fiskal dalam jangka menengah 2015-2020 diarahkan untuk “Memperkokoh
Pengelolaan Fiskal Untuk Mendukung Pertumbuhan Ekonomi Yang Berkelanjutan Dan
Berkeadilan Dalam Rangka Mewujudkan Kesejahteraan”. Upaya untuk mewujudkan hal
tersebut ditempuh dengan dua strategi utama yaitu mendorong pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan dan berkeadilan (equitable growth), serta menjaga keberlanjutan fiskal (fiscal
sustainability) dalam jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.
Pemerintah telah menyiapkan berbagai strategi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan dan berkeadilan (equitable growth). Menjaga iklim investasi yang kondusif
adalah hal utama yang perlu menjadi fokus dalam mencapai pertumbuhan yang lebih inklusif.
Meskipun saat ini konsumsi masyarakat masih menjadi kontributor utama pertumbuhan
ekonomi, ke depan hal ini perlu lebih diimbangi dengan kontribusi yang lebih besar dari
sumber pertumbuhan yang lebih berkelanjutan seperti investasi. Beberapa langkah yang
dapat dilakukan untuk memperkuat kinerja invetasi yakni stabilisasi politik dan penguatan
demokratisasi, penegakan dan kepastian hukum, konsistensi kebijakan, deregulasi dan
debirokratisasi (reformasi birokrasi), serta pemberian insentif fiskal pada kegiatan ekonomi
strategis.
Selain menjaga iklim investasi, peningkatan daya saing dan daya beli masyarakat perlu untuk
terus diperkuat. Peningkatan daya saing adalah langkah krusial bagi Indonesia di tengah
perekonomian dunia yang semakin terbuka dan kompetitif. Pembangunan infrastruktur yang
bekualitas adalah komitmen utama dari pemerintah dalam menjawab permasalah utama
perekonomian termasuk dalam peningkatan kapasitas produksi dan daya saing nasional. Hal
ini perlu dibarengi dengan upaya lain seperti efisiensi sistem logistik dan peningkatan kualitas
SDM dan penguasaan Iptek. Sedangkan dalam rangka mendorong daya beli masyarakat
berbagai program kesejahteraan seperti perluasan PKH, peningkatan PBI, KIP, KIS, SJSN, KUR,
subsidi tepat sasaran, dan penyesuaian PTKP telah disediakan oleh pemerintah. Hal ini
merupakan kesadaran bahwa daya beli masyarakat yang mendorong konsumsi hingga saat ini
masih menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi.
Berbagai upaya mencapai pertumbuhan jangka menengah, perlu dilengkapi dengan penguatan
harmonisasi dan koordinasi antar institusi. Harmonisasi antar kebijakan di sektor fiskal,
moneter, keuangan dan riil akan terus diperkuat guna mengendalikan inflasi, stabilisasi nilai
tukar, mendorong pertumbuhan yang berkelanjutan, dan menjaga suku bunga yang
kompetitif.
Keberlanjutan fiskal (fiscal sustainability) perlu untuk dijaga melalui peningkatan produktivitas
APBN, efisiensi alokasi anggaran. Meningkatkan produktivitas APBN dalam mendukung
pencapaian target pembangunan antara lain melalui peningkatan rasio perpajakan,
peningkatan belanja produktif sebagai pendukung pembangunan infrastruktur dasar dan
konektivitas guna meningkatkan kapasitas produksi dan daya saing, serta mengarahkan
50
Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
pemanfaatan utang untuk kegiatan produktif. Adapun meningkatkan efisiensi pengalokasian
anggaran antara lain dengan melakukan efisiensi belanja yang bersifat rutin, seperti belanja
operasional, yang tidak boleh melampui pendapatan, penghematan kegiatan perjalanan
dinas, konsinyering, dan sejenisnya.
Keberlangsungan juga ditempuh dengan penguatan daya tahan fiskal serta pengendalian risiko.
Memperkuat daya tahan fiskal (durability) adalah upaya menciptakan bantalan penopang
agar pelaksanaan program-program prioritas tetap dapat dilaksanakan di tengah tekanan
fiskal yang kuat. Hal ini ditempuh dengan memperkuat bantalan fiskal dan meningkatkan
fleksibilitas dalam pengelolaan fiskal khususnya dalam kondisi darurat. Sementara itu,
pengendalian risiko (risk control) dilakukan dalam rangka memelihara keberlanjutan fiskal baik
jangka pendek maupun jangka menengah. Hal ini ditempuh melalui menjaga kerentanan fiskal
(fiscal vulnerability) dalam batas toleransi, menjaga keberlanjutan fiskal (fiscal sustainability)
melalui pengendalian defisit dan rasio utang dalam batas aman serta mengendalikan
keseimbangan primer menuju positif.
Melalui kombinasi equitable growth dan fiscal sustainability tersebut diharapkan tiga fungsi
pokok kebijakan fiskal yaitu alokasi, stabilisasi dan, distribusi, akan dapat berfungsi secara
optimal. Hal ini perlu dilakukan sehingga kebijakan fiskal dapat memberi kontribusi positif
dalam mendukung pencapaian sasaran pembangunan. Dengan demikian, tujuan untuk
mewujudkan Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan pada asas
gotong royong diharapkan dapat tercapai.
Terdapat tiga kebijakan utama dalam kebijakan fiskal jangka menengah 2015–2020 untuk
menciptakan APBN yang semakin berkualitas. Pertama, memberi penekanan pada
peningkatan kualitas belanja produktif dan prioritas (big push policy) yang antara lain
difokuskan untuk mendorong percepatan pembangunan infrastruktur dalam rangka
peningkatan kapasitas produksi dan daya saing, peningkatan kualitas dan ruang lingkup
program perlindungan sosial dalam rangka percepatan pengurangan kemiskinan dan
kesenjangan serta penguatan dan peningkatan kualitas desentralisasi fiskal. Kedua,
memperlebar ruang fiskal melalui optimalisasi penerimaan perpajakan, efisiensi subsidi serta
efisiensi belanja operasional dan nonprioritas. Ketiga, memperkuat daya tahan dan
pengendalian risiko melalui pengendalian defisit dan rasio utang dalam batas yang dapat
dikendalikan. Melalui kebijakan jangka menengah tersebut diharapkan pengelolaan fiskal
dalam perspektif jangka menengah 2015-2020, akan senantiasa konsisten dalam mendukung
pencapaian target pembangunan sekaligus menjaga keberlanjutan fiskal dalam jangka
menengah.
Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
51
Boks 3:
Dampak Makro Amnesti Pajak
Pada tanggal 28 Juni 2016, Dewan Perwakilan Rakyat secara resmi mengesahkan Undang-Undang
nomor 11 tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (Amnesti Pajak). Amnesti Pajak diartikan sebagai
penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tanpa dikenai sanksi administrasi maupun sanksi
pidana perpajakan. Di tengah kondisi perekonomian global yang belum menunjukkan tanda-tanda
pemulihan yang signifikan dalam waktu dekat, maka Amnesti Pajak menjadi sebuah terobosan
kebijakan untuk mendukung pencapaian target penerimaan sektor perpajakan dalam APBN-P 2016.
Amnesti Pajak merupakan usaha pemerintah untuk menarik dana milik WNI yang masih berada di luar
negeri, untuk dapat menjadi sumber pembiayaan pembangunan sektor riil di dalam negeri. Repatriasi
aset tersebut juga diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang ditandai dengan
peningkatan likuiditas domestik, perbaikan nilai tukar rupiah, penurunan suku bunga, serta
peningkatan investasi. Dalam jangka panjang, Amnesti Pajak bertujuan untuk membenahi
administrasi perpajakan melalui peningkatan kepatuhan wajib pajak dan perluasan basis data
perpajakan sehingga menjadi lebih valid, komprehensif, dan terintegrasi. Hal tersebut pada
gilirannya akan meningkatkan penerimaan perpajakan secara optimal dan berkelanjutan di masa
depan.
Periode Amnesti Pajak berlangsung sejak bulan Juli 2016 sampai dengan 31 Maret 2017. Dalam
periode ini, setiap WNI diberi kesempatan untuk melaporkan harta kekayaan yang selama ini belum
dilaporkan, baik harta di dalam negeri maupun luar negeri. WNI yang menempatkan harta hasil
repatriasi ke dalam instrumen pasar keuangan di wilayah NKRI akan mendapatkan insentif berupa
tarif tebusan yang lebih kecil daripada mereka yang hanya melaporkan harta tanpa melakukan
repatriasi kekayaan. Skema tarif tebusan inilah yang membedakan kebijakan Amnesti Pajak tahun
2016 dengan Sunset Policy tahun 2008-2009 yang hanya memberikan penghapusan sanksi
administrasi. Klasifikasi tarif yang ditentukan dalam kebijakan Amnesti Pajak merupakan insentif
yang diharapkan dapat menjadi katalis dalam merepatriasi harta WNI di luar negeri untuk
diinvestasikan di Indonesia.
Penentuan tarif Tax Amnesty sendiri dibagi berdasarkan tiga kategori, yakni bagi usaha kecil
menengah, bagi wajib pajak yang bersedia merepatriasi asetnya yang berada di luar negeri, serta
deklarasi aset di luar negeri tanpa repatriasi. Untuk wajib pajak usaha kecil menengah yang
mengungkapkan harta sampai Rp10 miliar akan dikenai tarif tebusan sebesar 0,5 persen, sedangkan
yang mengungkapkan lebih dari Rp 10 miliar dikenai 2,0 persen. Sementara itu, wajib pajak yang
bersedia merepatriasi asetnya yang berada di luar negeri akan diberikan tarif tebusan sebesar 2,0
persen untuk periode Juli-September 2016, 3,0 persen untuk periode Oktober-Desember 2016, dan
5,0 persen untuk periode 1 Januari 2017 sampai 31 Maret 2017. Terakhir, wajib pajak yang
mendeklarasikan asetnya di luar negeri tanpa repatriasi akan dikenai tarif 4,0 persen untuk periode
Juli-September 2016, 6,0 persen untuk periode Oktober-Desember 2016, dan 10,0 persen untuk
periode Januari-Maret 2017.
Harta yang dimaksud adalah penambahan harta yang belum dilaporkan kepada Direktorat Jenderal
Pajak. Dengan jangka waktu minimal repatriasi tiga tahun sejak tanggal dilaporkan, repatriasi aset
diharapkan dapat menambah likuiditas di pasar keuangan domestik melalui penempatan pada
instrumen keuangan di antaranya surat berharga Negara, BUMN maupun swasta, investasi
keuangan pada bank, investasi di sektor riil (investasi infrastruktur melalui kerja sama pemerintah
dan badan usaha, investasi sektor riil berdasarkan prioritas yang ditentukan pemerintah) maupun
bentuk investasi lainnya yang sah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan (misalnya emas
batangan dan properti).
52
Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
Dalam jangka pendek, dengan masuknya dana repatriasi melalui jalur perbankan, likuiditas domestik
diharapkan akan bertambah. Hal tersebut dapat membantu memperbaiki kinerja nilai tukar rupiah
dan lebih lanjut menurunkan harga-harga secara umum, yang berdampak pada turunnya Cost of
instrumen keuangan di antaranya surat berharga negara, BUMN, maupun swasta, investasi
keuangan pada bank, investasi di sektor riil (investasi infrastruktur melalui kerja sama pemerintah
dan badan usaha, investasi sektor riil berdasarkan prioritas yang ditentukan pemerintah) maupun
bentuk investasi lainnya yang sah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan (misalnya emas
batangan dan properti).
Dalam jangka pendek, dengan masuknya dana repatriasi melalui jalur perbankan, likuiditas domestik
diharapkan akan bertambah. Hal tersebut dapat membantu memperbaiki kinerja nilai tukar rupiah
dan lebih lanjut menurunkan harga-harga secara umum, yang berdampak pada turunnya Cost of
Fund dan tingkat suku bunga yang mendukung peningkatan penyaluran kredit.
Dalam jangka menengah dan panjang, peningkatan penyaluran kredit perbankan dapat mendorong
aktivitas investasi dan kinerja sektor riil di Indonesia. Di sisi lain, dana repatriasi yang terhimpun dan
diinvestasikan di instrumen pasar modal dapat dimanfaatkan secara langsung untuk membiayai
sektor-sektor strategis termasuk proyek infrastruktur strategis nasional. Oleh sebab itu,
pembentukan instrumen yang secara langsung dapat mengalirkan dana repatriasi ke proyek-proyek
tersebut misalnya obligasi BUMN infrastruktur dan obligasi proyek serta sekuritisasi aset BUMN
dapat menjadi alternatif. Investasi infrastruktur menjadi prioritas karena dipercaya akan
memberikan efek multiplier bagi sektor lainnya melalui peningkatan efektivitas distribusi barang
dan jasa sehingga memberikan manfaat jangka panjang bagi perekonomian Indonesia. Di sisi lain,
pemanfaatkan dana repatriasi bagi pembiayaan sektor strategis di pasar keuangan diharapkan
dapat menjadi katalis pengembangan pasar keuangan domestik sehingga ke depannya tersedia
alternatif sumber pembiayaan perekonomian.
Penyusunan dan pelaksanaan Amnesti Pajak telah mempertimbangkan manfaat dan risiko yang
mungkin timbul sebagai akibat dari penerapan kebijakan tersebut. Pemerintah juga mengambil
pengalaman dari proses dan pelaksanaan pengampunan pajak di negara-negara yang telah atau
sedang melaksanakan program serupa. Dua tolak ukur utama dari keberhasilan program Amnesti
Pajak dalam jangka pendek adalah penambahan penerimaan perpajakan dan jumlah dana yang
berhasil direpatriasi. Berkaca dari negara-negara yang melaksanakan kebijakan pengampunan
pajak, terdapat berbagai variasi tingkat keberhasilan maupun kegagalan yang dapat menjadi
pelajaran bagi Indonesia.
Program Amnesti Pajak yang cukup berhasil meningkatkan pendapatan perpajakan dilaksanakan oleh
AS, yang selama 1980-2004 tercatat menghasilkan 6,6 miliar dolar AS. Selain itu, keberhasilan
program Amnesti Pajak juga ditunjukkan oleh negara Argentina pada tahun 1995 tercatat
meningkatkan penerimaan sebesar 3,9 miliar dolar AS. Program Amnesti Pajak di India pada tahun
1997-1998 juga mencatat penerimaan sebesar 100 miliar rupee atau 1,5 miliar dolar AS dan
meningkatkan penerimaan pajak yang selama lima tahun sebelumnya kurang dari 3,0 persen
menjadi 3,6 persen PDB.
Sebaliknya, program Amnesti Pajak cenderung kurang berhasil di negara-negara yang melaksanakan
program Amnesti Pajak secara berulang. Hal tersebut sebagaimana ditunjukkan oleh negara Irlandia
yang memberlakukan Amnesti Pajak pada tahun 1988, 1993, dan 1999, Italia yang melaksanakan
27 program Amnesti Pajak selama 20 tahun atau 59 kali apabila dihitung dari permulaan abad 20,
serta Filipina yang melaksanakan 15 program selama 11-12 tahun. Program Amnesti Pajak di
negara-negara tersebut cenderung kurang berhasil dalam meningkatkan penerimaan perpajakan
dan tingkat kepatuhan pajak.
Merujuk kepada contoh-contoh penerapan Amnesti Pajak di berbagai negara, untuk mendukung
keberhasilan pelaksanaan program Amnesti
Pajak tahun 2016, pemerintah telah mengambil langkahEdisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 53
langkah antisipasi. Di antaranya adalah dengan memenuhi kaidah jendela waktu yang terbatas
(sembilan bulan) serta tarif tebusan yang semakin tinggi menjelang tenggat waktu usainya program
Amnesti Pajak. Pemerintah juga menerapkan sanksi tegas untuk setiap upaya penghindaran pajak
seusai masa berlaku Amnesti Pajak 2016. Selain itu penerapan Automatic Exchange of Information
Merujuk kepada contoh-contoh penerapan Amnesti Pajak di berbagai negara, untuk mendukung
keberhasilan pelaksanaan program Amnesti Pajak tahun 2016, pemerintah telah mengambil langkahlangkah antisipasi. Di antaranya adalah dengan memenuhi kaidah jendela waktu yang terbatas
(sembilan bulan) serta tarif tebusan yang semakin tinggi menjelang tenggat waktu usainya program
Amnesti Pajak. Pemerintah juga menerapkan sanksi tegas untuk setiap upaya penghindaran pajak
seusai masa berlaku Amnesti Pajak 2016. Selain itu penerapan Automatic Exchange of Information
yang telah mendapatkan komitmen dari 101 negara dan akan berlaku mulai tahun 2018 juga
memberikan disinsentif bagi warga negara yang menyembunyikan hartanya. Program Amnesti
Pajak tahun 2016 menjamin prinsip keadilan bagi wajib pajak melalui tarif tebusan yang jauh lebih
rendah (0,5 persen atau 2 persen) bagi mereka yang memiliki omzet setahun sampai dengan Rp4,8
milyar atau tergolong pengusaha kecil dan menengah.
54
Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
Halaman ini sengaja dikosongkan
Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
55
56
Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
BAGIAN III LAMPIRAN
DATA EKONOMI
MAKRO DAN APBN
Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
57
Indikator
Yield
(5YR)
Yield
(10YR)
IHSG
SUN,
Saham,
SBI
Pertumbuhan Ekonomi
Growth (%)
Nominal (triliun)
Inflasi (%)
IHK
Core
Administrative Price
Volatile Food
Nilai Tukar (Rp/US$1)
Rata-rata
End Of Period
Suku Bunga (%)
BI Rate
Kredit Konsumsi (eop)
Kredit Modal Kerja
(eop)
Kredit Investasi (eop)
Harga Minyak (US$/barel)
Rata-rata (ICP)
WTI
Brent
SUN dan Saham
Obligasi
Saham
NFB
Perbankan (%)
CAR
LDR
NPL
Pertumbuhan Kredit
7,61
3.704
6,83
79,43
91,38
94,3
12,83
12,28
6,5
14,53
9.087
9.023
6,20
6.446,85
6,96
125,17
4,28
5,4
17,74
2010
34.684
6,03
3.746
5,43
111,5
98,83
107,58
12,16
12,04
6
14,15
8.776
9.088
6,46
7.419,19
3,79
129,91
4,34
2,78
3,37
2011
17,30
83,58
1,9
34.684
5,19
4.316
4,76
112,7
94,05
112,10
11,49
11,27
5,75
13,58
9.380
9.670
6,26
8.229,44
4,3
135,49
4,4
2,66
5,68
2012
21,35
18,36
89,7
1,77
63.943
8,83
4.274
8,03
105,8
97,61
108,8
12,12
11,82
7,5
13,13
10.451
12.189
5,78
9.087,28
8,38
146,84
4,98
16,65
11,83
2013
11,56
19,40
89,42
2,2
-28.314
7,80
5.227
7,70
59,6
53,27
55,76
12,79
12,36
7,75
13,58
12.438
12.440
5,01
10.565,82
8,36
119
4,93
17,57
10,88
2014
10,12
21,16
91,95
2,49
5.353
8,75
4.593
8,82
35,5
37
35,8
12,46
12,12
7,5
13,88
13.362
13.795
4,79
11.540,79
3,35
122,99
3,95
0,39
4,84
2015
Dec
9,31
21,51
90,95
2,73
17.476
8,26
4.615
8,24
27,5
33,6
34,7
12,46
11,96
7,25
13,94
13.889
13.846
4,14
123,62
3,62
3,48
6,77
Jan
8,05
21,7
89,5
2,87
13.871
8,26
4.771
7,97
28,9
33,8
36,0
12,4
11,93
7,00
13,93
13.516
13.395
4,42
123,51
3,59
3,98
7,87
Feb
8,88
21,76
89,6
2,83
21.229
7,67
4.845
7,38
34,2
38,3
38,7
12,28
11,83
6,75
13,91
13.193
13.276
4,45
123,75
3,5
2,76
9,59
Mar
9,13
21,73
89,52
2,93
23.798
7,74
4.839
7,46
37,2
45,9
46,4
12,14
11,71
6,75
13,91
13.180
13.204
3,6
123,19
3,41
-0,84
9,44
Apr
10,38
22,2
90,32
3,1
-4.390
7,87
4.770
7,58
44,7
49,1
48,3
11,97
11,6
6,75
13,86
13.420
13.615
3,33
123,48
3,41
-0,95
8,15
Mei
30.835
7,45
5.017
7,32
44,5
48,3
48,4
11,82
11,49
6,50
13,83
13.355
13.180
3,45
124,29
3,49
-0,5
8,12
Jun
Data Perkembangan Indikator Ekonomi Makro s.d. Juni 2016
163.679
16,10
80
2,6
23,13
2016
17
76,8
2,9
24,67
12,1
23,28
Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
58
Uraian
A. Pendapatan Negara dan Hibah
I. Penerimaan Dalam Negeri
1. Penerimaan Perpajakan
a. Pajak Dalam Negeri
b. Pajak Perdagangan Internasional
2. Penerimaan Negara Bukan Pajak
a. Penerimaan Sumber Daya Alam
b. Bagian Laba BUMN
c. PNBP Lainnya
d. Pendapatan BLU
II. Hibah
B. Belanja Negara
I Belanja Pemerintah Pusat
1. Belanja Pegawai
2. Belanja Barang
3. Belanja Modal
4. Pembayaran Kewajiban Utang
5. Subsidi
6. Belanja Hibah
7. Bantuan Sosial
8. Belanja Lainnya
II. Transfer Ke Daerah Dan Dana Desa
1. Transfer ke Daerah
a. Dana Perimbangan
i. Dana Transfer Umum
- Dana Bagi Hasil
- Dana Alokasi Umum
ii. Dana Transfer Khusus
b. Dana Insentif Daerah
c. Dana Otonomi Khusus dan Keistimewaan
DIY
d. Dana Transfer Lainnya
2. Dana Desa
C. Keseimbangan Primer
D. Surplus/Defisit Anggaran (A - B)
E. Pembiayaan
I. Pembiayaan Dalam Negeri
Ii. Pembiayaan Luar Negeri (neto)
1. Penarikan Pinjaman Luar Negeri (Bruto)
a. Pinjaman Program
b. Pinjaman Proyek
2. Penerusan SLA
3. Pembayaran Cicilan Pokok Utang LN
1.822,5
1.820,5
1.546,7
1.506,6
40,1
273,8
124,9
34,2
79,4
35,4
2,0
2.095,7
1.325,6
347,5
325,4
201,6
184,9
182,6
4,0
54,9
24,7
770,2
723,2
700,4
491,5
106,1
385,4
208,9
5,0
APBN
0,0
0,0
0,0
(49,5)
(67,7)
71,2
74,2
(2,9)
0,7
0,0
0,7
0,0
(3,6)
82,6
82,6
70,9
68,0
2,9
11,7
4,2
0,0
7,4
0,1
0,0
150,3
50,2
24,6
1,1
1,5
18,1
3,0
0,0
1,7
0,1
100,1
100,1
100,1
89,0
24,8
64,2
11,2
0,0
Jan
0,1
0,0
0,0
(61,0)
(86,7)
74,0
72,0
2,0
7,4
6,7
0,7
0,0
(5,4)
156,2
156,2
132,5
126,7
5,8
23,7
9,4
0,0
13,6
0,6
0,0
242,9
109,9
51,2
7,4
5,4
25,7
14,6
0,0
3,5
2,2
133,0
133,0
132,9
120,5
24,8
95,7
12,4
0,0
Feb
0,1
0,0
7,1
(90,3)
(143,3)
165,9
167,8
(1,9)
7,8
6,7
1,1
0,0
(9,8)
247,6
247,6
204,7
196,0
8,7
42,9
13,8
0,0
21,6
7,5
0,0
390,9
193,5
73,1
24,6
10,2
52,9
21,1
0,0
9,2
2,3
197,4
190,3
190,2
153,1
25,6
127,5
37,2
0,0
Mar
3,3
17,6
(94,7)
(158,2)
203,3
209,9
-6,7
8,9
6,7
2,2
0,0
(15,6)
386,5
386,3
320,6
309,1
11,4
65,8
17,2
10
29
9,5
0,2
544,8
276,2
97,3
42,4
18
63,5
40,3
0,1
12,1
2,4
268,6
251
244,8
186,2
26,2
160
58,6
2,9
Apr
5,6
23,7
(110,2)
(189)
214,8
223,9
-9
11,7
6,7
5
(0,2)
(20,6)
496,8
496,1
406,9
392,6
14,3
89,2
23
19,8
34,2
12,1
0,7
685,8
357,4
119,9
64,5
27,2
78,8
47,5
0,2
16,8
2,5
328,4
304,8
296,3
227,4
35,1
192,3
68,9
2,9
Mei
5,6
26,8
(143,4)
(230,7)
276,6
300,9
-24,3
13,2
6,7
6,4
(0,3)
(37,2)
634,7
634,1
522
504,7
17,3
112,1
27,4
24,8
41,8
18,1
0,6
865,4
481,3
156,9
94,6
44,4
87,3
72,3
0,2
22,9
2,8
384
357,2
348,7
277,8
53,6
224,2
70,9
2,9
Jun
Data Penyerapan APBN s.d. Juni 2016
85,4%
85,0%
83,3%
83,7%
70,8%
94,3%
86,0%
101,6%
87,1%
152,4%
315,2%
90,5%
88,9%
93,9%
89,5%
82,7%
100,2%
87,7%
67,4%
93,6%
28,1%
93,7%
93,5%
93,1%
93,1%
70,9%
100,0%
93,4%
17,8
0,0
47,0
(88,2)
(273,2)
273,2
272,8
0,4
75,1
36,8
38,3
(5,9)
(68,8)
2016
2015
Realisasi
(Unaudited)
1.504,5
1.494,1
1.240,4
1.205,5
34,9
253,7
102,3
37,6
78,5
35,2
10,4
1.796,6
1.173,6
281,1
232,4
209,0
156,0
186,0
3,1
97,0
8,9
623,0
602,2
485,8
431,0
78,1
352,9
54,9
100,0%
94,6%
100,0%
203,7%
131,3%
143,0%
1,6%
-52,0%
159,5%
734,7%
54,5%
24,4%
102,8%
% APBNP
1.761,6
1.758,3
1.489,3
1.440,0
49,3
269,1
118,9
37,0
90,1
23,1
3,3
1.984,1
1.319,5
299,3
259,7
252,8
155,7
212,1
4,6
103,6
31,7
664,6
643,8
521,8
463,0
110,1
352,9
58,8
17,6
98,8
20,8
(136,1)
(292,1)
318,1
3,8
10,4
77,5
55,1
22,4
(1,1)
(66,0)
APBNP
17,6
104,4
20,8
(66,8)
(222,5)
222,5
242,5
(20,0)
48,6
7,5
41,1
(4,5)
(64,2)
59
Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
Halaman ini sengaja dikosongkan
60
Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
61
62
Edisi III / Agustus 2016 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal
Download