BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu masalah kesehatan yang terjadi baik di negara maju maupun berkembang adalah penyakit jantung serta pembuluh darah atau kardiovaskuler dimana penyakit ini menjadi penyebab kematian tertinggi di dunia setiap tahunnya. Menurut data World Health Organization (2014), pada tahun 2012, penyakit kardiovaskuler mengakibatkan kematian hingga 17,5 juta orang. Penyakit jantung koroner menyebabkan kematian sebanyak 7,4 juta orang di dunia dan penyakit stroke menjadi penyebab kematian 6,7 juta orang (WHO, 2014). Di Indonesia dari Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) yang dilakukan secara berkala oleh Departemen Kesehatan menunjukkan bahwa penyakit kardiovaskuler memberikan kontribusi sebesar 19,8% dari seluruh penyebab kematian pada tahun 1993 dan meningkat menjadi 24,4% pada tahun 1998 (Deitcher& Rogers, 2004; Manurung, 2003). Serangan jantung terjadi ketika kerusakan dialami oleh bagian otot jantung (myocardium) akibat berkurangnya pasokan darah ke bagian otot jantung. Berkurangnya pasokan darah ke jantung secara tiba-tiba dapat terjadi ketika salah satu arteri koroner tersumbat selama beberapa saat, salah satunya akibat adanya penggumpalan darah karena agregasi platelet. Banyak peneliti melaporkan bahwa penyumbatan pembuluh darah otak dan jantung sering terjadi akibat hiperaktivitas 1 2 fungsi platelet. Hiperaktivitas platelet dapat meningkatkan agregasi platelet yang menimbulkan sumbat pada pembuluh (Wirawan, 2007). Platelet merupakan salah satu komponen di dalam darah yang memiliki peranan penting dalam hemostatis. Platelet akan membentuk agregasi atau menggumpal saat terjadi luka pada pembuluh darah. Sumbat atau aggregat tersebut terbentuk dari agregat-agregat platelet atau disebut trombus. Agregasi platelet memegang peranan penting dalam patogenesis trombosis akut pada penyakit jantung koroner, stroke, dan penyakit arteri perifer (Jagroop et al., 2007; O’Donnell et al., 2001) Pemeriksaan agregasi platelet bertujuan mendeteksi abnormalitas fungsi platelet (Wirawan, 2007; Jagroop et al., 2007). Pemeriksaan dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti makroskopik, mikroskopik dan menggunakan analyzer, tetapi yang paling sering dikerjakan menggunakan analyzer berdasarkan perubahan transmisi cahaya (Wirawan, 2007; Penz et al., 2010). Pada penggunaan analyzer diperlukan bahan pemeriksaan berupa platelet rich plasma (PRP) dengan menggunakan pengaduk dan agonis. Agregasi platelet dapat diinduksi oleh sejumlah agonis yang mempengaruhi reseptor platelet, yaitu diantaranya adalah ADP, epinefrin, kolagen, dan trombin (Jagroop et al., 2007; O’Donnell et al., 2001). Pada keadaan normal, agregasi platelet mencegah perdarahan pada tubuh. Namun, pada pembentukan trombus patologis, aggregat terbentuk walaupun tidak ada luka pembuluh darah (Putri et al., 2014). Trombus patologis yang terbentuk tersebut bisa menyebabkan penyakit kelainan vaskuler. Penyakit kelainan vaskuler bisa ditangani dengan obat-obatan yang bersifat antitrombosis, antiplatelet, 3 antikoagulan, dan fibrinolotik. Dari berbagai jenis obat tersebut, antiplatelet merupakan obat yang paling banyak digunakan (Putri et al., 2014). Antiplatelet adalah obat yang dapat menghambat agregasi platelet. Aspirin merupakan salah satu dari obat antiplatelet tersebut. Antiplatelet menyebabkan terhambatnya pembentukan agregat/trombus. Trombus sering ditemukan pada sistem arteri kecil yang bekerja mencegah pelekatan (adhesi) platelet dengan dinding pembuluh darah yang cedera atau dengan platelet lainnya, yang merupakan langkah awal terbentuknya trombus. Namun pada sejumlah individu ditemukan laporan terjadinya resistensi terhadap penggunaan aspirin sebagai antiplatelet (Hankey & Eikelboom, 2006). Sementara temuan lain dilaporkan bahwa pemakaian aspirin berakibat apoptosis pada platelet dan berhubungan pada efek samping yaitu hemorrhagic (Zhao et al., 2012). Selain itu aspirin yang tergolong Non-Steroidal Anti-Inflammatory Drug (NSAID) tersebut memiliki efek samping yaitu menyebabkan iritasi bahkan pendarahan pada lambung (Thiagarajan & Jankowski, 2012). Kerugian dalam pemakaian aspirin tersebut mendasari pencarian antiplatelet alternatif dari bahan alam yang dapat menekan agregasi platelet. Peneliti tertarik untuk menemukan agen antiplatelet dari tanaman asal Indonesia, karena Indonesia sendiri diketahui memiliki keanekaragaman tanaman yang masih perlu dieksplorasi. Tanaman obat secara luas telah dapat diterima diseluruh dunia untuk memelihara dan meningkatkan kualitas hidup manusia. Kecenderungan manusia untuk kembali ke alam dalam hal memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari termasuk dalam menggunakan obat bagi masalah kesehatannya kini semakin besar. WHO 4 sendiri menganggap bahwa obat yang berasal dari tanaman obat sangat penting peranannya dalam menunjang upaya kesehatan masyarakat (Soemantri, 1993). Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman hayati nomor satu di dunia melampaui negara Brasil yang mempunyai hutan terluas di dunia. Di bumi ini terdapat 500.000 spesies tumbuhan dan lebih dari 30.000 spesies tumbuhan hidup di kepulauan Indonesia (Aspan, 2004; Kuo & King, 2001). Potensi biodiversitas tumbuhan obat yang besar tersebut mempunyai peluang yang besar untuk ditemukannya senyawa aktif baru yang memberikan insentif kuat bagi terselenggaranya upaya pelestarian pemanfaatan tumbuhan obat di Indonesia (Anonim, 2001). Penelitian pendahuluan berhasil menyeleksi 13 ekstrak tanaman aktif sebagai antiplatelet dari sebanyak 149 macam ekstrak tanaman yang diseleksi melalui metode agregasi platelet terinduksi CaCl2 pada microplate. Tiga belas ekstrak tanaman tersebut diantaranya adalah ekstrak etanolik daun Averrhoa bilimbi, kulit buah Garcinia mangostana, buah Piper cubeba, kelopak buah Physalis angulata, ekstrak metanol batang dan daun Rubus chrysophyllus, batang dan daun Ficus sp, kulit batang Cinnamomum sintoc Bl., herba Tetracera maingayi, herba Cissus sp., herba Leea aequata, herba Pandorea sp., ekstrak kloroform herba Tetracera maingayi, serta ekstrak diklorometan kelopak buah Physalis angulata. Data lengkap hasil skrining antiplatelet tersaji pada lampiran 1. Dari 13 tanaman yang aktif pada penelitian pendahuluan, dipilih Piper cubeba sebagai obyek penelitian lebih lanjut dengan pertimbangan aktivitas ekstrak etanolnya yang konsisten memberikan hasil positif terhadap penghambatan 5 agregasi platelet yang diinduksi oleh CaCl2. Selain itu, jumlah tanaman ini melimpah dan mudah didapatkan serta belum diteliti sebagai antiplatelet. P. cubeba merupakan salah satu tanaman yang sering dipakai sebagai obatobatan. Tanaman P. cubeba dikenal di Jawa sebagai tanaman kemukus. Buah kemukus telah banyak digunakan sebagai campuran obat tradisional yang dimaksudkan untuk melancarkan air seni, mengobati penyakit kembung, dan sering digunakan untuk mengobati infeksi pada saluran kencing (Sudarsono et al., 1996). Tanaman ini digunakan juga sebagai karminativa, ekspetoran pada bronkitis serta sebagai rempah-rempah India dan dipakai juga untuk penghangat badan dan pemeliharaan badan sehabis bersalin (Anonim, 1989). Selain itu bermanfaat pula sebagai peluruh kentut, peluruh liur, dan pencegah mual (Anonim, 1985). Seduhan serbuk biji kemukus juga dipakai untuk obat sesak nafas (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991). Buah kemukus mengandung beberapa senyawa lignan seperti cubebin, hinokinin, clusin, dihydrocubebin, dihydroclusin, cubebinin, yatein, cubbinulide (cordigerine), dihydroyatein, isoyatein, cubebinone (Badheka et al., 1987), dan senyawa butyrolactane (Sudarsono et al., 1996). P. cubeba diduga memiliki aktivitas yang berperan penting pada penghambatan aktivitas enzim siklooksigenase yang bekerja pada mekanisme terjadinya inflamasi maupun agregasi platelet oleh adanya senyawa lignan yang terkandung. 6 B. Rumusan Masalah Bagaimana aktivitas antiplatelet ekstrak etanolik buah Piper cubeba L.f. pada platelet yang diinduksi epinefrin? C. Tujuan Penelitian Mengetahui potensi aktivitas antiplatelet ekstrak etanolik buah Piper cubeba L.f. pada platelet yang diinduksi epinefrin. D. Manfaat Penelitian 1. Memberikan bukti ilmiah khasiat tanaman obat melalui penelitian ilmiah. 2. Sebagai salah satu langkah untuk mendorong inovasi dan kemajuan dalam bidang penelitian, terutama penemuan agen antiplatelet. 3. Membantu pemanfaatan obat tradisional di Indonesia melalui pendekatan ilmiah. E. Tinjauan Pustaka 1. Platelet Platelet atau trombosit merupakan sel terkecil dari komponen darah yang berperanan besar dalam mekanisme hemostasis dan trombosis. Hemostasis adalah peristiwa berhentinya pendarahan (Sherwood, 2001) sedangkan trombosis adalah pembentukan suatu masa solid atau agregat dari 7 elemen darah di dalam sistem kardiovaskuler yang utuh pada manusia (Colman, 1993; Chandrasoma, 1995). Platelet merupakan sel yang diproduksi oleh megakariosit dari sumsum tulang manusia (White & Jennings, 1999). Secara normal, platelet beredar dalam darah dalam bentuk tidak aktif, tetapi menjadi aktif karena berbagai rangsangan (Mycek et al., 2001). Rangsangan dapat muncul oleh adanya perlukaan pada sel endotel ataupun pemberian agonis pada platelet (White & Jennings, 1999). a. Morfologi Platelet Ukuran platelet bervariasi dari sekitar 1 sampai 4 mikron, sebagian sel berbentuk piringan dan tidak berinti (Sacher & McPherson, 2004). Garis tengah platelet berkisar pada 0,75-2,25 mm. Meskipun platelet ini tidak berinti tetapi masih dapat melakukan sintesis protein, namun sangat terbatas, karena di dalam sitoplasma masih terdapat sejumlah RNA. (Sadikin, 2001). Platelet dalam sirkulasi berbentuk diskoid (cakram) dan memiliki permukaan relatif mulus (Sherwood, 2001). Dalam keadaan inaktif trombosit bentuknya seperti cakram bikonveks dengan diameter 2-4 µm. Platelet dapat mengalami perubahan bentuk ketika teraktivasi yaitu dari bentuk diskus menjadi sferis berseudopoda (White & Jennings, 1999). Struktur anatomi platelet dapat dibagi menjadi 4 zona dengan masing-masing zona mempunyai fungsi khusus. Keempat zona tersebut adalah zona perifer, zona sol gel, zona organel dan zona membran. Zona perifer berguna untuk agregasi dan adhesi. Zona ini terdiri dari jaket 8 eksterior atau glikokaliks, unit membran trilaminer, dan area submembran (White & Jennings, 1999). Zona sol-gel menunjang struktur dan mekanisme kontraksi, terdiri dari matriks interior trombosit atau sitoskeleton, termasuk di dalamnya adalah mikrofilamen aktin, struktur filamen (myosin) dan sirkumferensial mengelilingi sel trombosit, mengandung 5-20 bundel (White & Jennings, 1999). Zona organel termasuk di dalamnya adalah mitokondria, peroksisom, lisosom dan granula, yang berperan pengeluaran isi trombosit. Zona sistem membran terdiri dari Surface-connected Open Canalicular System (SCOCS), dense tubular system (DTS), dan sistem membran kompleks (White & Jennings, 1999). Dense granul : Serotonin, nucleotide (ADP), Ca2+ α-granul : fibrinogen, vWF, factor koagulasi, dan glikoprotein mitokondria Lysomal granul : Clearing factor Membran plasma Sistem membran terbuka Gambar 1. Struktur Platelet (de Jong & Dekker, 2010) Pada gambar 1, ditunjukkan platelet memiliki granul-granul yang unik yaitu alfa granul dan dense granul yang memiliki peran dalam aktivasi agregasi platelet. Pada alfa granul diantaranya terdapat fibrinogen, vWF, faktor koagulasi, dan glikoprotein. Sedangkan pada dense granul, terdapat diantaranya yaitu ADP, serotonin, serta kalsium (Harrison, 2005). 9 Pada membran platelet terdapat 4 reseptor glikoprotein yang penting, yaitu: - Gp Ib-V-IX komplek - berikatan dengan vWF pada kolagen. - Gp Ia/IIa (Integrin α2β1) - berikatan dengan kolagen. - Gp VI – berikatan dengan kolagen - Gp IIb/IIIa (Integrin αIIbβ3) – berikatan dengan fibrinogen dan vWF (White & Jennings, 1999) b. Platelet dalam Keadaan Normal Dalam keadaan normal, platelet memproduksi prostasiklin yang berguna menghambat terjadinya agregasi trombosit. Prostasiklin adalah jenis prostaglandin yang dihasilkan sel endotel dan dapat menghambat terjadinya agregasi platelet melalui peningkatan siklik adenosine monofosfat (cAMP) intrasel platelet (Sherwood, 2001; Morrow & Roberts, 2001). Selain prostasiklin (PGI2), sel endotel juga melepaskan beberapa senyawa lain yang berperan mencegah aktivasi dan agregasi platelet. Diantaranya adalah nitric oxydie (NO) yang selain mencegah aktivasi dan agregasi platelet, juga berperan dalam vasodilatasi. Heparin sulfat yang berguna untuk mengaktivasi antitrombin, thrombomodulin yang merubah afinitas trombin dari aktivasi faktor proclotting menjadi aktivator faktor antikoagulan, serta TFPI (Tissue factor pathway inhibitor) yang menghambat kerja tissue factor atau Xa complex (Broos et al., 2012). 10 c. Aktivasi Platelet Mekanisme pembentukan agregasi platelet merupakan rangkaian peristiwa yang terdiri dari adhesi, aktivasi, sekresi, dan agregasi. Gambar 2 menjelaskan rangkaian peristiwa tersebut. Aktivasi platelet diawali dengan adanya trauma atau penyakit tertentu yang merusak permukaan endotel pembuluh darah sehingga platelet segera menempel pada fibril kolagen subendotel yang terbuka melalui reseptor spesifik Gp Ib-V-IX pada platelet diperantarai oleh von willebrand factor (vWF) yang membentuk jembatan antara fibril kolagen dengan reseptor Gp Ib-V-IX pada platelet (Colman & Waish, 1993; Handin, 2001; Majerus & Tollefsen, 2001). vWF merupakan suatu glikoprotein multimerik yang menjadi pusat mediator untuk adhesi platelet dan dapat berikatan pada kolagen melalui 2 resptor utama platelet yaitu Gp Ib dan Gp IIb/IIIa. vWF tedapat pada Weibel-Palade body di sel endotel, di dalam α-granul dari platelet, serta pada plasma dengan konsentrasi sekitar 10 g/mL (Varga-Szabo et al, 2008). Selama proses tersebut berjalan, platelet membentuk koneksi dengan kolagen melalui reseptor Gp VI dan Gp Ia/IIa. Ikatan Gp VI dan Gp Ia/IIa dengan kolagen merupakan ikatan dengan afinitas lemah dan tidak dapat untuk memediasi adhesi itu sendiri, namun hal ini dapat memicu sinyal intraseluler yang mengakibatkan perubahan bentuk platelet serta menginduksi pelepasan (Varga-Szabo et al., 2008). 11 Gambar 2. Mekanisme pembentukan agregasi platelet, adhesi, aktivasi, sekresi, agregasi (Harrison, 2005) Platelet yang menempel pada fibril kolagen dan teraktivasi berubah bentuk menjadi sferis berseudopoda serta melepaskan zat tromboksan A2 (TXA2) dan isi granul alfa serta granul dense yang diantaranya melapaskan adenosin difosfat (ADP). Sebagai secondary mediators, ADP dan TXA2 akan memberikan kontribusinya terhadap aktivasi sel dengan menstimulasi reseptor G protein (Gq, G12/G13, Gi), yang akan memberikan pesan yang berbeda untuk menginduksi platelet. ADP akan berperan pada terjadinya perubahan konformasi yang diperlukan reseptor Gp IIb/IIIa-kalsium platelet untuk dapat berikatan dengan fibrinogen. Fibrinogen secara simultan akan berikatan dengan reseptor Gp IIb/IIIa-kalsium dari 2 platelet yang terpisah dan menyebabkan terjadinya agregasi platelet (Birkin, 1984; Handin, 2001). TXA2 dan ADP yang dilepaskan akan berikatan dengan reseptornya pada platelet lain yang berdekatan sehingga teraktivasi dan mengakibatkan 12 terjadinya agregasi platelet yang lebih banyak. Penumpukan platelet yang beragregasi dan distabilkan oleh fibrin akan membentuk sumbat hemostasis (Colman & Waish, 1993; Chandrasoma & Taylor, 1995; Sherwood, 2001; Hirsh, 1993). Aktivasi platelet dapat pula terjadi bila suatu agonis seperti epinefrin, ADP, atau trombin berikatan pada permukaan reseptornya pada platelet (Colman & Waish, 1993; Birkin, 1984; Handin, 2001). Pada kondisi dimana agonis-agonis tersebut tersedia pada konsentrasi tinggi, maka hal ini memungkinkan terjadinya aktivasi platelet secara independen (Varga-Szabo et al., 2008). Berukut adalah jalur aktivasi platelet melalui ikatan agonis dengan reseptornya (Tabel 1). Tabel 1. Agonis dan Reseptornya (Badimon & Vuahur, 2008) Agonis ADP ATP Kolagen Gas 6 Epinefrin Platelet Activating Factor von Willbrand Factor Fibrinogen Fibrinocetin Laminin Serotonin Trombin Trombosopondin Tromboxan A2 Vasopressin Vitronectin Reseptor Platelet P2Y1, P2Y12 P2X1 GPIa/IIa, Axl, Tyro-3, Mer α2-adrenergic PAF-receptor GPIb, GPIIb/IIIa GPIIb/IIIa GPIc/IIa, GPIIb/IIIa GPIc/IIa 5-HT2 PAR-1, PAR-2 Vitronectin receptor, GPIIb/IIIa TP V1 Vitronectin receptor 13 Agonis ADP memiliki dua reseptor yang tersedia pada platelet, P2Y1 yang memodulasi mobilisasi ion Ca2+ dan perubahan bentuk serta P2Y12 yang membantu sekresi platelet dan terlibat dalam agregrasi irreversible (Fabre, 1999; Dorsam & Kunapuli, 2004). Trombin mengkativasi platelet melalui jalur PAR1 dan PAR4 (Zhou & Schmaier, 2005). Sementara pada epinefrin, platelet dapat teraktivasi melalui ikatannya pada respetor α-2 adrenergik (A2AR) (Zhou & Schmaier, 2005). 2. Antiplatelet Obat antiplatelet digunakan untuk mengurangi terjadinya agregasi platelet. Agregasi platelet dihambat sebagai upaya untuk mengurangi pembentukan agregat yang dilakukan dengan cara menghambat aktivasi platelet dengan berbagai cara, yaitu menghambat pembentukan TXA2 dan pemberian antagonis resepor-reseptor yang ada di membran platelet, peningkatan kadar adenosin monofosfat siklik (cAMP), ataupun pengurangan Ca2+. Beberapa hal tersebut sangat berpengaruh dalam aktivasi dan agregasi (Li et al., 2010). Obat antiplatelet, terutama aspirin, terbukti dapat mengurangi risiko infark miokard pada pasien dengan angina tidak stabil, meningkatkan ketahanan hidup pasien yang pernah mengalami infark miokard, dan menurunkan risiko stroke pada pasien dengan serangan iskemik sementara (Mycek et al., 2001; Neal, 2005). Aspirin menghambat sintesis TXA2 di dalam platelet pada pembuluh darah dengan menghambat secara irreversible enzim siklooksigenase (COX). 14 Aspirin menghambat dengan cara mengasetilasi enzim tersebut. Aspirin dosis kecil hanya dapat menekan pembentukan TXA2 dan sebagai antiplatelet dosis efektif aspirin adalah 80-320 mg perhari (Dewoto, 2008). TXA2 merupakan produk dari COX-1 yang mengaktivasi agregasi platelet sedangkan prostasiklin atau PGI2 dihasilkan oleh sel endotel untuk menghambat aktivasi agregasi platelet (Despopoulos, 2003). TXA2 merupakan penginduksi kuat agregasi platelet. PGI2 menstimulasi reseptor yang berbeda pada platelet dan pada akhirnya meningkatkan cAMP. Peningkatan cAMP yang terjadi kemudian berhubungan dengan penurunan kalsium intraseluler dan inhibisi agregasi platelet (Neal, 2005). Peristiwa yang menjadi kunci pada aktivasi dan agregasi platelet adalah peningkatan Ca2+ sitoplasma (Elvers et al., 2012). Hal ini menyebabkan perubahan konformasi reseptor Gp IIb/IIIa inaktif pada membran plasma menjadi reseptor yang memiliki afinitas yang tinggi terhadap fibrinogen, yang membentuk ikatan silang di antara platelet, dan menyebabkan agregasi. TXA2, trombin, dan 5HT mengaktivasi fosfolipase C, dan inositol-1,4,5-trisfosfat (IP3) yang dihasilkan menstimulasi pelepasan kalsium dari retikulum endoplasma. ADP menghambat adenilat siklase dan mengakibatkan penurunan cAMP sehingga meningkatkan ion kalsium. Semua obat antiplatelet bekerja satu arah untuk menghambat jalur aktivasi platelet yang tergantung ion kalsium (Neal, 2005). 15 3. Kemukus a. Nama Daerah Di Indonesia tanaman ini memiliki nama umum kemukus, dan nama daerah kemekuh (Simalur), kemukus (Melayu), rinu (Sunda), kemukus (Jawa Tengah), kemokos (Madura), Pamukusu (Makasar) (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991). b. Morfologi Kemukus merupakan herba tahunan yang tumbuh membelit dan memanjat. Batangnya tidak berkayu, lunak, beruas, cabang-cabang dengan permukaan licin dan simpodiil, dengan diameter batang 5-15 mm dan panjang 5-15 meter, mempunyai akar pelekat dan berwarna hijau. Daunnya merupakan daun tunggal, bulat telur dengan pangkal berbentuk jantung dan ujung meruncing, tepi rata, berseling atau tersebar. Bekas dudukan daun Nampak jelas. Panjang daun 8,5-15,5 cm, lebar 3-9,5 cm dan berwarna hijau. Bunga kemukus merupakan bunga majemuk, berbentuk bulir, panjang 3-10 cm, tangkai 6-20 mm, berwarna hijau. Daun pelindung memanjang sampai berbentuk elips, melekat pada tangkai bulir, benang sari berjumlah 3, berwarna putih, sedangkan putik berjumlah 3-5 dengan warna kuning kehijauan. Biji kecil dan berbentuk bola, berwarna putih kecoklatan. Akarnya serabut dan berwarna kuning kecoklatan (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991). 16 Gambar 3. Buah kemukus Buah kemukus berbentuk hampir bulat, umumnya bergaris tengah lebih kurang 5-10 mm, tebal kurang dari 1 mm, kadang-kadang bagian pangkal di daerah benjolan agak cekung, permukaan luar umumnya berkerut keras serupa anyaman jala, rata berwarna coklat tua kelabu sampai hitam dan permukaan dalam licin berwarna coklat muda (Anonim, 1977). c. Klasifikasi Tanaman kemukus dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Bangsa : Piperales Suku : Piperacea Marga : Piper Jenis : Piper cubeba L.f. (Tjitrosoepomo, 1994) 17 d. Ekologi dan Penyebaran Tanaman kemukus tumbuh subur di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Tumbuhan ini ditanam juga di India dan Malaysia. Tanaman ini tumbuh baik di dataran rendah sampai pada ketinggian 300 m diatas permukaan laut dan paling baik di tempat-tempat yang terlindungi (Anonim, 1977). e. Kandungan Buah kemukus mengandung senyawa lignan terdiri dari cubebin, hinokinin, clusin, dihydrocubebin, dihydroclusin, cubebinin, yatein, cubbinulide (cordigerine), dihydroyatein, isoyatein, cubebinone (Badheka et al., 1987), butyrolactane (Sudarsono et al., 1996). Kemukus juga mengandung minyak atsiri sekitar 18% termasuk dl-sabinene, d-∆4-careen, 14-cineole, d-terpinen-q-ol, alkohol terpen lain, L-adinene dan seskuiterpen lain (Claus et al., 1970). Konstituen lain dalam jumlah kecil antara lain champhor, azulene, terpineol, oleoresin 3%, dan arbebic acid 1%, dammar 2,5-3,5%, piperin 0,1-0,4%, gom, dan pati. Hasil kromatografi lapis tipis (KLT) ekstrak etanolik buah kemukus positif mengandung senyawa lignan, minyak atsiri, dan terpenoid, sedangkan senyawa alkaloid dan flavonoid menunjukkan hasil yang negatif (Abdullah, 2006). Hasil KLT infusa buah kemukus menunjukkan adanya kandungan lignan, flavonoid, dan terpenoid (Rosa, 2002). 18 f. Kegunaan dan Khasiat Buah kemukus telah banyak digunakan sebagai campuran obat tradisional yang dimaksudkan untuk melancarkan air seni, mengobati penyakit kembung, dan sering digunakan untuk mengobati infeksi pada saluran kencing (Sudarsono et al., 1996). Selain itu sebagai karminativa, ekspetoran pada bronkitis serta sebagai rempah-rempah India dan dipakai juga untuk penghangat badan serta pemeliharaan badan sehabis bersalin (Anonim, 1989 ). Digunakan pula sebagai peluruh kentut, peluruh liur, dan pencegah mual (Anonim, 1985 ). Seduhan serbuk biji kemukus juga dipakai untuk obat sesak nafas (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991). Penelitian antiradang ekstrak buah kemukus menggunakan cakar tikus yang dibuat bengkak oleh karagenin menunjukkan bahwa ekstrak buah kemukus berkhasiat sebagai antiradang (Wahyono, 2005). Aktivitas tersebut diperkirakan karena adanya kandungan kubebin dalam ekstrak tersebut. Selain itu kubebin juga diketahui menghambat jalur siklooksigenase (COX-1) salah satu pencetus timbulnya radang (Wahyono, 2005). Haryono (1998) menyatakan bahwa sediaan infusa buah kemukus dapat berefek analgetik pada tikus dan mencit jantan lokal seiring dengan kenaikan dosis infusa buah kemukus yang diberikan peroral. Metode yang digunakan adalah metode Randall-Selitto dan metode geliat. 19 4. Light Transmission Aggregometry Salah satu pemeriksaan untuk menilai aktivitas antiplatelet adalah menggunakan metode turbidimetri mengikuti model Born dan Cross (1963) dengan menggunakan light transmission aggregometry (LTA). Prinsip kerjanya yaitu dengan mengukur perubahan transmisi cahaya yang melewati suspensi platelet yang ditambahkan agonis yang akan menimbulkan agregasi. Alat ini distandardisasi memakai platelet rich plasma (PRP) sebagai 0% agregasi dan platelet poor plasma (PPP) sebagai 100% agregasi. Transmisi cahaya yang melewati sampel sebanding dengan agregasi yang ditimbulkan (Mehta et al., 1983). Sebelum pemeriksaan alat agregometer dipanaskan lebih dahulu selama 30 menit atau hingga suhu pada agregometer mencapai suhu 37oC. PRP dimasukkan dalam kuvet dan diinkubasi pada suhu tersebut. Magnetic stirrer dimasukkan dalam kuvet dan diputar dengan kecepatan 1000 rpm. Respon agregasi platelet dihitung dengan membagi jarak dari baseline ke agregasi maksimal dengan jarak dari baseline ke agregasi 100% (Mehta et al., 1983; White & Jennings, 1999). Sebelum penambahan agonis platelet (agregator), transmisi cahaya melalui PRP rendah karena platelet masih tersuspensi homogen dalam PRP. Pada gambar 4, terlihat setelah penambahan agonis platelet beragregasi kemudian agregat tersebut melayang dipermukaan akibat adanya pusaran, namun bisa juga mengendap apabila agregat yang terbentuk berukuran besar dan menempel pada stirrer. Hal ini mengakibatkan terjadinya peningkatan 20 transmisi cahaya dikarenakan dengan adanya agregasi. Platelet yang semula berupa suspensi platelet yang mempunyai kekeruhan lebih tinggi, membentuk agregat sehingga mengakibatkan perubahan kekeruhan pada plasma. Akibatnya PRP menjadi jernih dan mendekati nilai transmisi PPP (Mehta et al., 1983; White & Jennings, 1999). Gambar 4. Kerja agregometer secara turbidimetri (White & Jennings, 1999) Agonis yang berbeda menghasilkan pola agregasi yang berbeda. Pola agregasi platelet dikenal respon primer terhadap penambahan agonis, diikuti respon sekunder dari pelepasan isi granul pada platelet seperti pada gambar 4. Respon tersebut dikenal sebagai gelombang pertama dan kedua. Respon bifasik ini dapat tidak terlihat pada penambahan agonis konsentrasi tinggi (White & Jennings, 1999). 21 Menurut White & Jennings (1999), ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pada pemeriksaan platelet menggunakan metode ini: - Pemberian antikoagulan sitrat (baik buffer maupun non-buffer) dengan perbandingan 9 bagian darah dan 1 bagian antikoagulan (0,1 – 0,129 M) tidak mempengaruhi hasil uji terutama pada agonis ADP, kolagen dan epinefrin. - Darah ditampung pada wadah plastik dan bukan gelas agar tidak terjadi agregasi spontan akibat platelet bersentuhan dengan permukaan gelas. - Suhu pada PRP dipertahankan pada suhu kamar karena suhu dingin dapat mengakibatkan agregasi spontan pada saat rewarming dan stirring pada suspensi platelet. - Jumlah platelet pada PRP diharapkan berjumlah sekitar 250000300000/mm3. - Untuk memastikan platelet berinteraksi satu dengan lainnya, pemberian stirrer sangat penting dilakukan. Penambahan agonis pada platelet yang tidak diberi stirrer akan mengakibatkan pembentukan mikroagregat yang tidak terlihat. Selain beberapa hal diatas hal yang perlu diperhatikan pula untuk memastikan PRP tetap dalam keadaan konstan, pemeriksaan dikerjakan segera setelah pengambilan darah karena bila lebih dari 3 jam dapat mempengaruhi pada hasil pemeriksaan. Pasien yang akan diambil darahnya tidak diperbolehkan minum obat terutama anti inflamasi sekurangnya seminggu sebelum pemeriksaan dilakukan, karena dikhawatirkan mempengaruhi hasil 22 pemeriksaan. Serta pasien diharapkan istirahat sejenak kurang lebih 15 menit sebelum diambil darahnya agar tidak terpengaruh hormon adrenalin, yang kemungkinan dapat berpengaruh pada hasil (Winther & Trap-Jensen, 1988). 5. Aktivasi Platelet Oleh Epinefrin Gambar 5. Proses aktivasi platelet melalui ikatan agonis dengan reseptornya (VargaSzabo et al., 2008) Epinefrin diketahui dapat menginduksi platelet melalui ikatannya dengan reseptor α2-adrenergik (A2AR) (gambar 5). O’Brien, (1963) pertama kali membuat hipotesis bahwa epinefrin dapat menginduksi platelet melalui ikatannya dengan reseptor alfa, setelah penelitiannya mengenai pentholamin yang merupakan alfa-receptor blocker dapat menghambat agregasi platelet yang diinduksi epinefrin. Dugaan epinefrin menginduksi platelet melalui 23 A2AR diperkuat oleh penelitian lain yang melaporkan bahwa induksi epinefrin pada platelet dapat dihambat oleh yohimbin yang merupakan antagonis α2 namun tidak terhambat oleh α1-antagonist prazosin, ataupun phenoxybenzamine yang merupakan β-antagonist (Hye Sook Yun-Choi et al., 2000). Rangsangan epinefrin pada A2AR akan menyebabkan penurunan aktivitas adenilat siklase atau AC (Zhou & Schmaier, 2005). Dengan tidak aktifnya AC, kadar cAMP menurun (Spalding, 1998), sehingga kemungkinan Ca2+ dapat terlepas ke sitosol melalui rangsangan IP3 (Zhou & Schmaier, 2005). Epinefrin juga diketahui mampu menginduksi agregasi platelet dengan meningkatkan kemampuan aktivasi platelet yang diinduksi oleh agonis lain (Satoh et al., 2002). Epinefrin meningkatkan respon agregasi hampir dari kebanyakan agonis meskipun dengan konsentrasi agonis lain yang tersedia pada konsentrasi yang sedikit. Agonis lain seperti ADP, PAF, ataupun serotonin bisa pula muncul akibat adanya pelepasan isi granul dari platelet (Shattil et al., 1989). Ikatan epinefrin dengan reseptor A2AR mampu menghambat pembentukan cAMP melalui ikatan A2AR pada Gi tipe G-protein Gz (Offermanns, 2006). Dengan terhambatnya pembentukan cAMP, maka Ca2+ intrasel kemungkinan akan meningkat dan berakibat pada kemudahan perubahan bentuk platelet serta pelepasan granul, yang natinya digunakan untuk memicu agregasi lebih lanjut. cAMP mengatur kanal ion secara langsung. 24 Kadar cAMP yang tinggi mampu menghambat mobilisasi serta pelepasan Ca2+ (Feijge et al., 2004). 6. Ekstraksi Ekstrak merupakan sediaan pekat yang diperoleh dengan cara mengekstraksi zak aktif baik dari simplisia nabati maupun hewani menggunakan pelarut yang sesuai. Proses mendapatkan ekstrak tersebut disebut ekstraksi. Ekstraksi atau penyarian merupakan proses penarikan zat yang dapat larut sehingga terpisah dari zat yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Kecepatan difusi zat yang larut untuk melalui lapisan batas antara bahan yang mengandung zat tersebut dengan cairan penyari menjadi faktor yang sangat penting yang mempengaruhi kecepatan penyarian. Kecepatan melintasi lapisan batas dipengaruhi oleh derajat perbedaan konsentrasi, tebal lapisan batas, dan koefisien difusi (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986). Simplisia adalah bahan alamiah yang telah dikeringkan yang belum mengalami pengolahan yang digunakan untuk pengobatan. Simplisia dapat dikelompokan menjadi simplisia nabati, hewani, dan pelikan atau mineral. Proses pembuatan simplisia sendiri terdiri dari pengumpulan bahan, sortasi basah, pencucian, perajangan, pengeringan, sortasi kering, pengepakan, penyimpanan, dan pemeriksaan mutu (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1985) Pelarut yang digunakan dalam proses pembuatan ekstrak adalah pelarut yang optimal untuk senyawa aktif yang diinginkan sehingga senyawa tersebut 25 dapat terpisahkan dari bahan dan kandungan lain yang tidak diinginkan (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2000). Kriteria yang perlu dipenuhi oleh pelarut yang baik diantaranya murah dan mudah diperoleh, stabil secara fisika dan kimia, bereaksi netral, tidak mudah menguap dan terbakar, selektif yang berarti hanya menarik zat aktif yang dikehendaki, tidak mempengaruhi zat berkhasiat, dan diperbolehkan menurut peraturan. Pelarut yang banyak digunakan oleh perusahaan obat tradisional adalah air, etanol atau etanol-air (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986). Etanol menjadi pertimbangan sebagai penyari karena merupakan pelarut semipolar yang dapat melarutkan berbagai senyawa, kapang dan kuman sulit tumbuh dalam etanol 20% keatas, selain itu tidak beracun, netral, dapat bercampur dengan air pada segala perbandingan, dan untuk menguapkan pelarut dibutuhkan waktu yang relatif lebih cepat. Kerugian dari penggunaan etanol sebagai penyari adalah harganya yang relatif lebih mahal dibandingkan dengan air. Etanol sering dicampurkan dengan air dalam berbagai perbandingan dengan tujuan meningkatkan selektivitas penyarian (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986). Salah satu metode ekstraksi yang sering digunakan adalah maserasi. Maserasi merupakan proses penyarian melalui perendaman simplisia menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan. Prinsip metode maserasi adalah pencapaian konsentrasi pada kesetimbangan. Maserasi kinetik diartikan sebagai adanya pengadukan yang kontinyu. Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut 26 setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2000). Keuntungan metode maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana serta mudah dilakukan. Kerugian metode maserasi adalah pengerjaannya yang membutuhkan waktu yang lama dan penyariannya kurang sempurna. Pada maserasi diperlukan adanya pengadukan dengan tujuan agar gradien konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan pelarut tetap terjaga. Hasil penyarian atau maserat perlu dibiarkan selama waktu tertentu agar zat-zat yang tidak diperlukan mengendap (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986). 7. Kromatografi Lapis Tipis Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan metode kromatografi yang paling sederhana dibandingkan dengan metode kromatografi lainnya. Dasar dari KLT adalah campuran yang akan dipisahkan, berupa larutan, ditotolkan pada fase diam berupa bercak. Kromatografi adalah metode pemisahan fisikokimia berbentuk kromatografi planar dengan fase diam berupa lapisan tipis yang seragam pada permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, pelat alumunium, atau pelat pelastik (Gandjar & Rohman, 2010; Stahl 1985). Keuntungan metode KLT dibanding metode kromatografi lainnya adalah relatif lebih murah dan mudah, peralatan yang sederhana, banyak digunakan untuk tujuan analisis, identifikasi pemisahan komponen dapat dilakukan dengan menggunakan pereaksi warna, fluoresensi, atau dengan 27 radiasi menggunakan sinar ultraviolet, pemisahan dapat dilakukan secara menaik, menurun, atau dengan cara elusi dua dimensi, dan ketepatan penetuan kadar lebih baik karena komponen yang ditentukan adalah bercak yang tidak bergerak (Gandjar & Rohman, 2010). Fase diam adalah fase yang diam di tempat, baik pada kolom maupun pada permukaan planar (Skoog et al., 2014). Fase diam yang biasa digunakan pada KLT adalah silika gel dan serbuk selulosa (Gandjar & Rohman, 2010). Fase gerak yang digunakan pada KLT harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu fase gerak tidak boleh mempengaruhi secara kimiawi atau melarutkan fase diam karena akan merusak sistem kromatografi, fase gerak tidak boleh menghasilkan transformasi kimia dari komponen senyawa yang dipisahkan, fase gerak harus mudah dihilangkan dari fase diam atau penjerap, dan fase gerak harus sesuai dengan metode deteksinya (Waksmundzaka-Hajnos et al., 2008). Jika fase diam yang digunakan polar, fase gerak yang digunakan sebaiknya nonpolar atau sedikit polar. Sistem seperti ini disebut sistem fase normal. Jika sebaliknya, fase diam bersifat non polar dan fase gerak bersifat polar, maka sistem ini disebut fase terbalik (Waksmundzaka-Hajnos et al., 2008). Metode deteksi pada KLT ditujukan untuk meningkatkan sensitivitas, selektivitas dan memberikan bukti mengenai kualitas pemisahan. Deteksi secara visualisasi digunakan untuk senyawa yang tidak berwarna. Senyawa tertentu akan mengabsorbsi cahaya UV atau berfluoresensi saat tereksitasi oleh UV atau sinar tampak namun beberapa memerlukan penyemprotan dengan reagen tertentu (Wall, 2005). 28 F. Landasan Teori Hingga saat ini, efek antiplatelet telah diamati pada beberapa tanaman yang termasuk buah-buahan, diantaranya adalah anggur hitam (Vitis vinifera L.) (Keevil et al., 2000), nanas (Ananas comosus L. Merr) (Glaser & Hilberg, 2006), Strawberry (Fragariax ananassa L. Duch) (Naemura et al., 2005), tomat (Solanum lycopersicon Mill.) (Dutta-Roy et al., 2001), melon (Cucumis melo L. var. inodorus) (Altman et al., 1985), dan kiwi (Actimidia chinensis Planchon) (Duttaroy & Jorgensen, 2004), serta pada kelompok bahan alam lain seperti bawang putih (Allium cepa L) (Ali et al., 1999), bawang merah (Allium sativum L.) (Cavagnaro et al., 2007), dan daun bawang (Allium schoenoprasum L.) (Chen et al.,2000). Piper cubeba termasuk dalam genus piper dimana beberapa spesies dari genus ini telah banyak diteliti aktivitasnya sebagai antiplatelet. Namun, penelitian terhadap Piper cubeba maupun senyawa kandungan utamanya belum dilakukan. Menurut Lei & Chang (2003), Piper betle berpotensi sebagai agen anti agregasi platelet melalui efek antioksidannya terhadap reactive oxygen spesies. Selain itu telah diisolasi senyawa dari Piper longum yaitu piperin, pipernonaline, piperoctadecalidine, dan piperlongumine yang memiliki aktivitas penghambatan agregasi platelet kelinci yang terinduksi oleh kolagen, asam arakhidonat, dan platelet activating factor (Park & Lee, 2007). Di samping itu, berbagai penelitian serupa pada Piper futokadsura oleh Chen et al (1993), Piper arborescens (Tsai & Chen, 2005), dan Piper phillippinum (Chen et al., 2007) menunjukkan bahwa genus Piper memiliki aktivitas antiagregasi platelet. 29 Selain itu, penelitian terdahulu menemukan bahwa kemukus memiliki aktivitas antiinflamasi (Choi & Hwang, 2003; Yam & Drewe, 2008) dan kemungkinan berhubungan dengan agregasi platelet karena keterlibatan COX-1 dalam inflamasi maupun agregasi platelet (Smith et al., 1996; Vane & Botting, 1998). Oleh karena itu efek antiagregasi platelet dari ekstrak etanol buah Piper cubeba menarik untuk dilakukan. G. Hipotesis Ekstrak etanolik buah Piper cubeba L.f. mampu menghambat agregasi platelet yang diinduksi epinefrin.