NGA’ASAN Newsletter: Media Belajar, Berpikir, dan Berpihak EDISI III-SEPTEMBER 2005 Dari Redaksi Nga’asan dalam konsepsi Tou Minahasa memiliki makna aktif sebagai spirit intelektualitas. Nga’as ini sendiri secara harafiah berarti otak. Sehing ga, ngaasan dapat dimaknai sebagai proses sadar dari optimalisasi sumber-sumber intelektualisme dalam kesadaran yang dimiliki setiap orang. Tabea.....!!! Pergerakan dan perjuangan menuju Indonesia Merdeka diwarnai perdebatan bentuk negara oleh para founding father Indonesia, bukan tanpa pilihan lain walau sampai hari ini NKRI eksis dan menggerogoti segenap hak dasar rakyat, tigabelas tahun sebelum proklamasi Moh Hatta memperingatkan “ jangan sampai bentuk negara Indonesia menjadi PERSATEAN Indonesia ”. Namun apa yang terjadi, Orde Lama dan Orde Baru menjadi momok sejarah entah, saksi-saksi dibungkam untuk pembenaran rezim. Orde Lama dan Orde Baru samasama ganas menggilas pluralis bangsa. Bangsa Indonesia membutuhkan strateg y kongkrit untuk kembali menyatukan langkah anak-anak bangsa yang nyaris dan bahkan terceraiberai oleh skenario devide et impere gaya baru. Secara spesific bagi Tou Minahasa, Nga’as ne tua rior wo tarekan selayaknya memerdekakan hak-hak dasar se kasuat tou untuk mentransformasi perubahan menuju Persatuan Indonesia yang real merdeka. Pembaca YangBudiman... DemikeberlangsunganpenerbitanNga’asan, dengan hati terbuka kami menerima sumbangan sukarela dari anda yang merasa peduli dengan keberadaan media ini di : NoRek. 1703817240BCAKCP Tomohon Media Tou Minahasa: Belajar, Berpikir, dan Berpihak UTAMA Federalisme Bukan Disintegrasi FOKUS Tai Minya (Etno) Nasionalisme Minahasa LASTe Cak Nur Dan Revolusi Pemikiran UTAMA Ngaasan- EDISI III-SEPTEMBER 2005 Mencermati MOU Indonesia dan GAM A da yang tidak runut ketika kesepakatan perjanjian damai antara Gerakan Aceh Merdeka dengan pihak pemerintah Indonesia atau disingkat MOU. Yakni, butir-butir kesepakatan MOU setelah diekspose mengejutkan banyak pihak. Diantaranya ketua DPR Agung Laksono yang mengaku tidak tahu menahu dengan hasil kesepakatan yang jelas-jelas sudah mengarah pada sistem Federalisme untuk Aceh. Menyadari bahwa pihak Indonesia sudah kecolongan memberikan privilege kepada pihak GAM, muncul ketakutan yang cenderung paranoid membuat sejumlah pihak panik bahwa hal yang sama juga akan diminta oleh daerah-daerah lain di Indonesia yang juga tidak ingin hakhak daerahnya diinjak-injak. Akibatnya, seluruh anak bangsa pun menjadi ramai mengguncingkan prihal Aceh dengan segala akibatakibatnya, hitung-hitungannya dan konsekwensinya. Tentu tidak fair kalau ada satu diantara kedua bela pihak yang tidak mengindahkan kesepakatan damai tersebut. Karena kesepakatan tersebut diambil dengan sadar. Sadar se sadarsadarnya bahwa nyawa manusia jauh lebih berharga dari pada kepentingan-kepentingan politik yang tidak kunjung habis-habisnya. Lagi pula, Pembukaan UUD 45 kita, menyebutkan dengan tegas tentang kemanusiaan yang harus dijunjung tinggi sebagai dasar dari semangat kemerdekaan bangsa Indonesia. Seperti juga pada sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab. Sangat tegas bangsa Indonesia mestinya menempatkan manusia-manusianya sebagai subjek utama dalam hakekat bernegara. Sistem bernegara hanyalah alat, model, perangkat yang bertujuan untuk sepenuhnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Sehingga tidak ada jalan lain selain menempatkan harkat dan derajad manusia di Aceh khususnya dan Indonesia umumnya jauh di atas kepentingan GAM dan Indonesia. Sehingga, dua kelompok yang bertikai bersedia mengurangi porsi kepentingan pada masing-masing kubu. GAM bersedia meletakan senjata dan berjanji untuk setia pada Indonesia, di lain pihak Indonesia bersedia memotong kue kewenangan monopoli dan centralistis dengan memberikan kewenangan yang cukup besar kepada Aceh untuk mengurusi dearahnya sendiri. Winwin solution ini menyebabkan, Indonsia tidak kehilangan Aceh dan manusia-manusianya, baik sipil maupun bersenjata, yang belakangan menjadi korban pertikaian. Demikian juga dengan Aceh tidak kehilangan martabad dan harga diri yang sejak 30 tahun mereka perjuangkan dengan mengorbankan jiwa, raga, dan materi yang tidak dapat dihitung dengan kalkulasi rasional. Pada nilai equilibrium inilah kesepakatan damai itu mendapat jalan yang lurus. Tidak peduli apakah MOU telah menabrak sistem hukum, dan bahkan sistem negara, MOU adalah hasil klimaks dari kesadaran kedua belah pihak bahwa satu nyawa manusia jauh lebih berharga dari pada doktrin integrasi yang sudah membunuh sekitar 30 ribu rakyat Aceh selama konflik berlangsung. Ngaasan edisi ke tiga ini akan mengangkat hasil MOU GAM dan pihak Indonesia sebagai topik utama dan menjadi cermin bagi semangat berbangsa dan bernegara rakyat Indonesia selama 60 tahun Indonesia merdeka. Refleksi ilmiah ini harus dicermati secara intelektual dengan dialog untuk mencari solusi yang elegan bagi bangsa Indonesia. Bukan dengan konfrontasi yang anarkis apalagi menisbihkan kemanusiaan yang adalah subjek utama dari prinsip berbangsa dan bernegara itu sendiri. Bagian fokus, Ngaasan tetap menampilkan gagasan-gagasan segar tentang Minahasa kedepan. Sentuhan akhir oleh Dr. Bert Supit menyoroti sikap kritis kita yang mulai redup. Selamat Membaca...! Nga’asan ini diterbitkan atas kerja sama: YSN, ICRES, MAM, PM, Perpustakaan Minahasa AZR Wenas. Penanggungjawab: Dr. Bert Adriaan Supit. Penasehat: DR Jong Ohoitimur, Pdt. J.R. Pandeiroth, Pdt. J.L. Posumah, Bert Tua’ Supit, Drh. L. Lantang, Prof Dr. AE Sinolungan SH, DR. Max Ruindungan, Dr. Rampen, Drs. E.P. Rumayar SH, Audy Wuisang,Msi, Beni Matindas. Direktur: Octo Supit. Chief Editor: Veldy Umbas. Dewan Redaksi: Octo Supit, Jootje Kawengian, Matulandi Supit SH, Jull Takaliuang, Sandra Rondonuwu STh SH, Irvan Basri, Sonny Mumbunan, Fredy Wowor. Koresponden: Kartini Joseph, (Jerman), Denny Sondakh (USA), Nora Worang (Kanada), Froly Lelengboto (NewZeland), Sony Wuisan (Jakarta). Redaktur: Denny Pinontoan, Daniel Kaligis. Staf Redaksi: Edwin, Jonly. Tata Letak: dactfay. Alamat Redaksi: Jl. Raya Kakaskasen III No. 412 Tomohon 95362- Sulut. Telp/ fax 0431 354739, 3300242. Email: [email protected], [email protected]. http://nggaasan.tripod.com. http:// icres.tripod.com. Rek.1703817240 BCA KCP. Tomohon. UTAMA Ngaasan- EDISI III-SEPTEMBER 2005 Federalisme = / Disintegrasi (Tanggapan atas sesat pikir para pembela unitarian Indonesia) B ermula dari sebuah diskusi yang menggagas refleksi kemerdekaan 60 tahun Indonesia merdeka serta relevansinya dengan berbagai problem sosial di Indonesia, di antaranya soal Papua dan Aceh—yang mana Aceh telah menandatangani MOU dengan pemerintah Indonesia di Helsinky tepat menjelang HUT Indonesia ke 60, maka dialog Federalisme ini makin mengemuka, menjadi isu hangat dan penting untuk dibicarakan. Momentum ini menjadi refleksi segar untuk bangsa Indonesia menelaah secara ilmiah, akademik dan analitik terhadap sistem bernegara yang telah dijalani rakyatnya. Telaah ini tidak salah dan tidak bisa disalahkan karena Bung Karno sendiri dalam proklamasinya mengatakan, “hal-hal pemindahan kekuasaan dan lain-lainnya,” akan diatur selanjutnya. Dan memang setelah Indonesia merdeka tahun 1945, bangsa ini mengalami sekian kali trial and erorr sistem bernegara. Itupun, tidak ada yang final, karena amanat undang-undang pun mengatur tentang perubahan undang-undang sesuai dengan kondisi yang berlaku. Secara koinsiden, Gerakan Aceh Merdeka yang baru saja menandatangani MOU, oleh beberapa media menyebut-nyebut model federalisme, bahkan, sesepuh PDIP Sutarjo Suryoguritno dan juga Cahyo Kumolo melihat MOU ini adalah bentuk federal yang sama diterapkan di negara-negara maju lainnya (Kompas 15/ 8) juga diperkuat oleh Suryana anggota fraksi PDIP besoknya (Kompas 16/8). Pendapat lain juga datang dari pengamat Ikrar Nusa Bakti yang jelas-jelas melihat bentuk MOU ini adalah bentuk yang persis Federal, juga di dukung oleh pendapat para tokoh bangsa lainnya seperti Solahudin Wahid. Apapun tanggapan kita, setuju atau menolak, model federal tetap sudah terjadi di Aceh dalam kadar apapun, meng gunakan atribut daerah, parpol lokal, dan penggunaan suku bunga di luar BI, sudah merupakan pengistimewaan yang luar dari biasa dalam sistem negara kesatuan unitaris. Argumentasi apapun, di mana-mana, bentuk negara kesatuan tidak ada pembedaan, pengkhususan, pengisitimewaan yang sangat sangat mencolok seperti yang di peroleh masyarakat Aceh. Dan banyak pihak pun seperti halnya Indra J. Piliang, pengamat CSIS (Kompas 22/8) menyebutnya sebagai bentuk Federalisme atau bentuk yang bisa menjadi embrio bagi negara Federal. Sama seperti yang pernah dulu disebutkan oleh beberapa tokoh bangsa ini, baik itu Amien Rais, Nazarudin Syamsudin, Adnan Buyung Nasution, Y.B. Mangunwijaya, Anhar Gonggong, Arief Budiman, Faizal Basri, dll. Di mana, ide yang sama juga dilontarkan dulu oleh Muhamad Hatta, Sam Ratulangie (Mempelopori dengan mendirikan Persatuan Minahasa), Anak Agung Gde Agung, dll. Prinsipnya, karena mereka melihat kemajemukan bangsa Indonesia yang terdiri dari sekian banyak bangsa-bangsa, tidak bisa diatur dalam model negara yang sentralistis atau kesatuan atau unitarian. Pendapat ini juga pernah dilontarkan oleh Roger Paget, dan para Indonesianis lainnya. Namun, sayangnya, argumentasi intelektual, akademik, dan analitik ini malah ditanggapi secara sembrono, sarkastik dan represif oleh segelintir orang. Padahal yang kita bersama butuhkan adalah membuka dialog yang luas dan argumentatif untuk mencari sintesa keilmuan melalui dialektika berpikir demi majunya bangsa Indonesia. Artinya, kalau memang ide federalisme tidak disetujui, dapat saja berargumentasi secara intelektuil, dengan model akademik dan analitikal dengan mengacu pada prinsipprinsip kovenan hak-hak asasi manusia yang telah disepakati oleh seluruh negara di muka bumi ini, seperti, kemanusiaan, kemerdekaan, demokrasi, pluralisme, soverenitas sebagai rana sosial manusia yang perlu diselaraskan dalam kehidupan sosial berbangsa dan bernegara. Kata Federalisme itu berasal dari kata Fidere yang berarti, Trust, atau kepercayaan, saling percaya, saling memahami, menghormati perbedaan, dan mengedepankan manusia sebagai subjek dari semua prosesnya. Singkatnya, Federalisme itu lalu menjadi model sistem negara seperti yang diterapkan di Amerika Serikat, Kanada, Australia, Brazilia, German, India, Malaysia, Mexico, dan Switzerlan. Model yang lain adalah, konfederasi adalah sistem yang tidak lazim yang seperti digunakan oleh Inggris raya. Bentuk negara yang lain adalah unitaris, seperti yang dianut oleh Indonesia, Kamerun, Kenya, Uruguay, Maroko dan lain-lain. Bentuk negara kesatuan seperti ini pun, biasanya tepat dan cocok diberlakukan di suatu negara karena monokultur, seperti Jepang dan Korea Selatan. Model/sistem negara itu adalah satu dari tiga model sistem besar yang lazim digunakan oleh negara-negara di dunia. Dan itu adalah pilihan. Choices!!! Seperti anda memilih makan rw, steak, sate atau tidak sama sekali, bukan seperti hidup mati, yang tanpa pilihan. Dengan demikian, bangsa Indonesia datang pada pilihan unitarian, yang di kemudian hari disebut sebagai Negara Kesatuan. Nah, karena itu adalah pilihan, maka tidak ada harga mati untuk pilihan itu. Sama seperti slogan SHS, yang mengagung-agungkan perubahan, maka pilihan tadi dapat UTAMA pula kita rubah, tergantung kebutuhan, dan itu dijamin dalam undang-undang. Itu adalah teknis. Pertanyaan mendasar sesungguhnya adalah apa hakekat bernegara itu!!! Sederhananya kita menjawab, hakekat bernegara adalah agar manusia di dalam negara itu dilindungi, menjadi sejahtera, bebas beragama, bebas berpendapat, merdeka dari segala bentuk penjajahan, dan berkehidupan sosial (termasuk tata etika dan sosial). Apa jadinya kalau, negara ini tidak menjaminkan hal itu. Yang terjadi adalah, pembantaian berdarah seperti peristiwa pasca G/30S/PKI, 27 Juli, pemerkosaan massal bulan Mei, pembunuhan massal (genocide) di mana-mana, pembakaran gereja di mana-mana, busung lapar di mana, pendidikan mahal, rumah sakit tak terjangkau, orang miskin mencapai angka tertinggi di dunia, korupsi merajalela, telah terjadi disintegrasi seperti Timor Timur dan ancaman serupa datang dari Aceh, Maluku, Riau, Kalimantan, dan Papua (di Minahasa hanya sebatas wacana) dan para elit yang sudah buta hati tega membiarkan hal ini (atau tidak dapat melihat) karena mereka sedang menikmati enaknya berkuasa, maka relevan dan tidak salah mengatakan bahwa negara ini gagal bernegara dan memberikan perlindungan bagi rakyatnya. Beberapa analisis yang mengatakan bahwa negara ini gagal antara lain bahwa; Pertama, Karakter rakyat Indonesia yang pluralis sulit berinteraksi dalam negara yang sentralistis (negara kesatuan). Kedua, secara geo politik, masyarakat Indonesia kurang terakomodasi aspirasi politiknya dalam negara yang sentralistis (negara kesatuan). Ketiga, secara budaya, masyarakat Indonesia telah memiliki kedaulatan, souverinitas jauh sebelum formalitas negara Indonesia di terima secara aklamasi oleh seluruh bangsa-bangsa di Indonesia, jelas mengalami diskriminasi dan bahkan tereliminasi oleh kebijakan yang sentralistik dan hegemonik oleh model pemerintahan yang sentralistis (negara kesatuan). Sehingga para cendekiawan, akademisi, pakar, intelektual, Rohaniwan, rakyat, pemerhati dan pejuang hakhak asasi manusia, datang pada solusi yang menurut mereka masuk akal dan cocok dengan karakter bangsa Indonesia, yakni Negara Federal. Di mana dalam konsepsi Negara Federal Indonesia, segala persoalan bangsa yang selama ini menghambat majunya Indonesia dapat diatasi, di antaranya karena; Pertama, Sistem Federal mendistribusikan kekuasaan yang terpusat ke pada daerah (state, province), dengan pola yang lebih menguntungkan rakyat daerah. Dan negara akan lebih fokus berkonsentrasi pada urusan keutuhan negara dengan mengelola Tentara, berhubungan dengan negara sahabat. Sementara daerah/ Ngaasan- EDISI III-SEPTEMBER 2005 provinsi, diberi kewenangan luas untuk mengurusi dirinya sendiri dengan kewenangan membuat undang-undang dan kebijakan yang sesuai dengan karakteristik daerahnya masing-masing. Dan ini sudah terjadi di Aceh. Kedua, dengan sistem Federal, tantangan perubahan jaman yang begitu cepat dapat diikuti dengan baik. Globalisasi, Indutrialisasi dan Modernisasi sudah tidak dapat dipisahkan dari dunia yang terus bergerak. Indonesia adalah satu dari ratusan negara yang masuk dalam mesin giling raksasa yang akan tergilas dalam model ekonomi kapitalis seperti ini. Perdebatan panjang yang tiada henti adalah bagaimana dua akses modal besar tidak mendistoris kepentingan rakyat banyak, buruh, proletar, seluruh entitas bangsa. Alternatif solusinya antara lain mengikuti irama modal arus modal tersebut. Artinya, ekspansi modal besar-besar negara-negara industri maju harus diimbangi oleh kualitas dan kemampuan daya saing dalam pasar bebas (mau tidak mau ini sudah terjadi). Hal lainnya adalah karakteristik geo sosial dan ekonomi tiap daerah sangat berbeda. Sehingga, potensi kompentitif tiap daerah pun berbeda. Dalam konteks ini, perlakukan pemerintah juga dapat dibedakan berdasarkan pontensi. Negara sentralistis tidak akan memiliki cukup energi menggerakan roda ekonomi yang berputar begitu cepat untuk ribuan karakteristik budaya Indonesia. Etos kerja dan pola produksi yang juga terdiversifikasi sepanjang bentangan alam, membuat pemerintah Jakarta dengan perpajangan tangan Pemrov dan Pemda tetap saja kerepotan memenuhi selera dan keinginan rakyat yang terus bergerak cepat, saat mana teknologi informasi telah menyebabkan rakyat di pelosok sekali pun bisa mengakses internet dan melakukan hubungan komunikasi internasional. Dengan demikian, akselerasi di bidang ekonomi akan sangat tergantung pada kebijakan pemerintah yang jelasjelas akan lebih responsif dan akomodatif dalam sistem negara Federal, di mana tiap-tiap daerah memiliki kewenangan untuk itu. Perdagangan bebas antar negara dalam model negara kesatuan menyebabkan model ekonomi biaya tinggi. Bahkan, malah dapat mematikan industri lokal, lihat bagaimana industri minyak goreng berbahan mentah kelapa sawit melumpuhkan potensi ekonomi Sulut seperti Kopra. Juga, DPRD dan Gubernur Sulut tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantu rakyat/ petani cengkih menaikan harga ke level yang paling wajar, dan tetap menyerahkan pada mekanisme pasar pura-pura bebas (baca: supply and demand palsu), karena memang, anak kecil pun tahu kalau pemerintah pusat melakukan persengkongkolan jahat dengan mafia cengkih untuk memasok stock cengkih murah dari Madagaskar seperti yang juga terjadi pada komoditas pertanian lainnya. UTAMA Ketiga, demokrasi sejati mendapatkan alur yang tepat dalam sistem federalisme. Indonesia telah menyadari itu, bahkan telah ikut mengadopsi sistemnya. Seperti dalam pemilihan Dewan Perwakilan Daerah yang tak ubahnya dengan Senat di Amerika Serikat. Sayangnya perannya tidak significan karena dalam model negara kesatuan ala Indonesia, DPD memang hanya pajangan yang tak banyak perannya. Agak berbeda dengan senat di Amerika yang juga menjadi anggota Kongres bersama-sama dengan house of representatives, senat memiliki peran sentral dan kuat. Dengan demikian, maka negara Federal sebenarnya bukanlah momok yang harus ditakuti dan ditakut-takuti hanya karena mitos dan sesat pikir terhadap rasa nasionalisme pseudo yang berlebihan atas negara kesatuan. Bahkan wacana Federal itu sendiri adalah ide yang dapat dibantah secara argumentatif bila memang ingin mencari kebenaran yang sesungguhnya. Seperti itu juga, maka penganjur Federalisme akan memberikan argumentasi ilmiah dan analitik sebagai solusi bangsa Indonesia yang makin terpuruk. Mungkin juga kita masih tidak memahami dan cenderung mengalami sesat pikir tentang ide federalisme seperti yang banyak dikampanyenegatifkan oleh orangorang tentang federalisme, diantaranya: Pertama, traumatik sejarah bangsa Indonesia yang hitam dan kelam, telah menyebabkan generasi Indonesia sekarang menjadi generasi paranoid. Segala sesuatu dicurigai, dan bahkan demi simbol-simbol dan sesuatu yang abstrak, nyawa dan darah manusia menjadi halal di Indonesia. Mengidentikan Federalisme dengan Van Mok dengan strategi Devide et imperanya. Simplifikasi seperti ini rasanya terlalu sempit, picik, dan dikembangkan oleh orang-orang yang malas berpikir. Gagasan ini sudah berkali-kali dibantah dan dijelaskan oleh Anak Agung Gde Agung putra Bali itu. Bahwa, tidak terdapat korelasi yang tepat antara strategi Van Mock dengan keinginan menempatkan kedaulatan bangsa-bangsa di Indonesia. Bahwa itu terjadi secara koinsendent, itu bisa dipahami, meski itu dua hal yang berbeda dan tidak dapat disimplifikasikan seperti itu saja. Seperti juga menganggap federalisme yang sebagai batu loncatan menuju negara merdeka teritorial. Ini pun terlalu mengada-ada dan berhasil mengindoktrinasi rakyat di masa orde baru. Kenyataannya, Timor-Timur tidak perlu menjadi federalisme dulu untuk merdeka. Lagi pula, dalam Federalisme, kedaulatan rakyat justru lebih terakomodir dan dengan demikian justru dapat mencegah disintegrasi yang sedang membayangi Negara ini. Kedua, mengidentikan RIS dengan sistem parlementer yang memang berada pada rentang waktu yang bersamaan. Sehingga kegagalan parlementer seolah-olah juga menjadi kegagalan RIS. Padahal RIS tidak pernah Ngaasan- EDISI III-SEPTEMBER 2005 dijalankan secara utuh ketika RIS itu sendiri disepakati karena pertentangan antara unitaris dan federalis. Ketiga, ada anggapan bahwa NKRI berarti jaminan atas model berbangsa yang cicita-citakan oleh Pancasila dan UUD 45. Kenyataannya, di Aceh berlaku Syariat Islam, yang juga sudah diikuti oleh daerah-daerah lain. Sama juga dengan Undang-undang Sisdiknas, Undang-undang perkawinan, sistem perbankan nasional, yang sudah menyangkal konstitusi negara kesatuan. Dan berbagai peraturan dan perundang-undangan lainnya, telah menyebabkan bentuk negara di dalam negara, dan ini pengingkaran yang tak kentara dan justru disahkan oleh DPR RI. Hal ini tidak dapat dibantah lagi. Bahwa telah terjadi bentuk negara dalam negara. Sistem bernegara yang diametris seperti itu hanya terdapat dalam bentuk negara Federal Keempat, ketakutan melemahnya dominasi partai politik yang jelas-jelas sangat sentralistis. Dan itu malah makin diprofokatif dan sengaja dihembus-hembuskan karena ketakutan atas kehilangan peran partai politik yang selama ini menikmati kekuasaan yang mendominasi kedaulatan rakyat. Alasan yang paling mendasar antara lain adalah, karena tingkat sentralisasi dan dominasi kekuasaan parpol nasional yang amat tinggi dan sedang dinikmati oleh elit politik, tidak tega membagi kekuasaannya kepada rakyat daerah. Ini jelas sangat benar karena pada prakteknya, akomodasi kepentingan masyarakat daerah mengalami penyumbatan besar oleh kepentingan partai yang sentralistis dan ini sangat kentara dalam UU Partai politik yang malu-malu dan tidak jujur menempatkan rakyat berdaulat penuh. Sentralisasi dan dominasi parpol nasional sering menghilangkan peran masyarakat daerah dalam artikulasi kepentingan lokal maupun dalam pemilihan kepala daerah dan lembaga-lembaga perwakilan daerah. Beberapa sesat pikir inilah yang tampaknya masih akan menyebabkan kita terseok-seok terus, dalam kubangan kesengsaraan berbangsa dan bernegara. Sebagai anak bangsa, yang menghormati para pendahulu, sesepuh orang Minahasa yang ikut dalam revolusi kemerdekaan, sejak kesepakatan-kesepakatan tahun 1908, proklamasi berbangsa oleh Pemuda tahun 1928 sampai proklamasi kemerdekaan tahun 1945. Dan dalam konsepsi itulah, cita-cita kemerdekaan yang sesungguhnya seperti yang dicita-citakan oleh the founding fathers itu kita letakan, merdeka dari segala bentuk penjajahan, baik dari bangsa asing, maupun oleh bangsa Indonesia sendiri, seperti amanat proklamasi dan UUD 45 itu sendiri. (Veldy Umbas) *** UTAMA Ngaasan- EDISI III-SEPTEMBER 2005 Indonesia Merdeka? Oleh: Denni Pinontoan “Merdeka! Merdeka! Merdeka!” Teriak seorang murid Sekolah Dasar sambil berlari-lari kecil waktu tujuhbelasan di sebuah kampung. Tangan kanannya memegang bendera merah-putih. “Wei, kacino¸ hati-hati, tu jalang ba lubang-lubang!” teriak seorang ibu dari tepi jalan. Si kacino yang berlari, tiba-tiba berhenti. “Iya, ya. Jalannya banyak yang berlubang. O, barangkali lubanglubang ini yang Pak Guru bilang di sekolah akibat bom pada masa perang dunia kedua,” guman si kacino. “Merdeka?” Cerita di atas hanya rekaan yang besar kemungkinan bisa (pernah) terjadi di Indonesia entah di mana, siapa dan kapan. “Ketika orang Indonesia berbicara peri ketuhanan – nama yang disebut dengan fasih dan pandai di dalam hafalan Pancasilanmya – maka Tuhan dalam pikiran orang Indonesia adalah jongos yang bisa disuruh-suruh untuk membuatnya pintar jadi maling atas uang negara dan uang rakyat.” Kalimat di atas, bukan lanjutan gumanan si murid SD cerita rekaan saya itu. Kalimat itu sebuah potongan dialog antara Lakshmi dan Miyahira dua malaikat penjaga Joko Trianto dan Mary Jane Storm, tokoh-tokoh fiksi Remy Sylado dalam novelnya Menunggu Matahari Melbourne. Novel yang menceritakan perjumpaan antara Joko Trianto, pemuda modern asal Indonesia dengan Mary Jane Storm ini, pemudi asal Australia, banyak mengritik perilaku para penyeleng gara pemerintahan yang korup, cara beragama dan bermoral di negara yang bernama Indonesia ini. “…Yang paling menonjol dari orang Indonesia adalah kemunafikannya. Kemunafikan orang Indonesia ini ditularkan oleh pemimpinpemimpinnya.” Begitu kata Lakshmi kepada Miyahira. Si kacino berteriak “merdeka” dalam ketidakmerdekaan. Remy Sylado dalam kata-kata Lakshmi, si malaikat fiktif, menggugat Indonesia yang kata banyak orang telah merdeka itu. Teriakan “merdeka” si Kacino fiktif itu, meneriakan realitas dari ketidaksadaran akibat ketidaktahuan, bahwa Indonesia dari segi pembangunan, agak ragu kalau disebut benar-benar sudah merdeka. Masih terlalu jauh perbedaan kemajuan pembangunan, misalnya antara lain, antara Papua, Aceh, Tanah Minahasa dengan Jakarta. Sementara, Lakshmi, tokoh fiksi itu, membeberkan antara lain penyebab kesenjangan pembangunan itu, yaitu kerakusan dan kemunafikan, yang katanya ditularkan oleh pemimpinpemimpinnya. Dengan kata lain, hal-hal jelek itu, pertama-tama berasal dari para pemimpinnya. Masih terlalu banyak orang miskin, orang bodoh, orang sakit (sakit apa saja yang disebabkan oleh apa saja), orang-orang korban ketidakadilan (apakah karena mahalnya pengadilan atau begitu mudahnya keadilan disulap menjadi ketidakadilan dan sebaliknya), orang-orang korban diskriminasi, eksploitasi dan lain sebagainya di Indonesia. Belum lagi, bom yang meledak pada saat yang tak terduga – karena memang aparat kita masih kalah dengan kepinteran teroris – yang mengingatkan kita pada cerita-cerita di era perang memperjungkan kemerdekaan. Atau juga kerusuhan di sejumlah daerah, yang masih sulit berakhir damai. “Merdeka?” Ada juga indikator lain menilai kebenaran kemerdekaan Indonesia, yaitu soal kebebasan yang sering disamakan artinya dengan kemerdekaan. Kebebasan beragama contohnya. Di sejumlah daerah, hingga kini masih terdengar ada rumah ibadah yang ditutup. Menariknya, yang menutup rumah ibadah itu, adalah organisasi masyarakat atau individu, bukan pemerintah. Soal itu, pertanyaan kita barangkali bukan ada atau tidak peraturan atau undang-undang yang menjamin kebebasan beragama dan kebebasan-kebebasan yang lain, melainkan apakah ada atau tidak proses eksekusi dan pengawasan dari peraturan atau undang-undang itu. “Indonesia Merdeka?” Bicara butul kwa tamang! Ini perlu diluruskan atau dibetulkan. Bicara soal usaha meluruskan atau membetulkan, saya teringat nama Confucius. Ia lahir pada tahun 551 SM, di negara Lu (sekarang disebut Provinsi Shantung) Cina. Confucius adalah seorang nabi juga pemikir/filsuf. Ia hidup di masa ketika negaranya sedang mengalami berbagai kekacauan: korupsi, ancaman disintegrasi, kejahatan yang merajalela, degradasi moral dan anarki intelektual. Pemikiranpemikirannya banyak di antaranya yang masih UTAMA relevan sekarang. Pemikiran-pemikiran Confucius itu, adalah sebuah respon intelektual terhadap sejumlah persoalan sosial politik yang sedang menggila di zamannya. Confucius berpendapat, pada situasi semacam itu pertama-pertama yang harus dilakukan adalah pembetulan nama-nama. Maksudnya, nama-nama yang dikenakan kepada masing-masing orang harus dibetulkan dan disesuaikan dengan aktualitanya. Jadi, jika seseorang itu adalah penguasa, maka dia haruslah benar-benar menjadi penguasa yang berkewajiban dan bertanggungjawab mengatur rakyat. Mengatur adalah meluruskan, bukan untuk membengkokkan. Jika yang terjadi membengkokkan, misalnya melakukan korupsi sehingga rakyat menjadi miskin dan menderita, maka si penguasa itu tidak pantas disebut sebagai seorang penguasa. Ia hanya cocok disebut koruptor. Selanjutnya, seorang bapak, haruslah menjadi seorang bapak sesuai kewajiban dan tanggungjawab sebagai seorang bapak. Seorang ibu dan anak, juga demikian. Sebab menurut Confucius, ketidaksesuain nama dengan aktualita (kenyataan) akan melahirkan anarki dan degradasi moral dalam diri para cendekiawan. Confucius percaya, bahwa nama-nama itu telah ditentukan secara alamiah. Jika terjadi ketidakasesuain antara nama dan kenyataannya, maka menurut Confucius akan terjadi ketidakteraturan tindakan. Inilah kekacauan itu. Saya pikir, bukan cuma nama-nama pada orang atau benda yang perlu dibetulkan kalau sudah tidak betul, melainkan juga nama status situasi, kondisi atau perasaan. Seperti kata “merdeka” yang banyak orang bangga dilekatkan pada kata “Indonesia”. “Merdeka” adalah sebuah status kondisi fisik maupun psikis seseorang, sebuah komunitas/ kelompok, bangsa atau negara yang telah bebas, tidak lagi terikat oleh belenggu yang menyebabkan penderitaan, kesakitan, kesusahan, oleh atau karena kuasa psikis dan fisik individu, komunitas/ kelompok, bisa juga atau bangsa dan negara lain. Untuk Indonesia, kata ini, di tahun-tahun awal Proklamasi 17 Agustus 1945-nya, pertama-tama menunjuk pada kemerdekaan dari kuasa psikis dan fisik bangsa penjajah. Tapi, barangakali sekarang, di Indonesia yang ke-60 tahun, kata ini perlu direlevankan dengan konteks. Maksudnya, semua sudah tahu, secara de Ngaasan- EDISI III-SEPTEMBER 2005 facto dan de jure, Indonesia sudah bebas dari penjajahan bangsa asing sejak 17 Agustus 60 tahun silam, tapi aktualitanya, masih terjadi ketidakberesan kehidupan politik, sosial, budaya dan beragama (yang militan dan fanatik buta). Pelakunya adalah adalah anak-anak bangsa Indonesia sendiri. Merekamereka itu adalah para koruptor, penguasa yang menghisap, pembunuh atas nama agama (juga Tuhan), pengusaha yang gemar menghisap sumber daya tenaga dan alam orang lain tanpa belas kasih dan pengadil yang tidak adil. Fakta-fakta itu, menuntut usaha pembetulan kata “merdeka” yang setiap tujuhbelasan lantang diteriakan mulai dari anak sekolah dasar sampai presiden, disesuaikan dengan aktualita Indonesia. Agar, seperti kata Confucius, tidak terjadi ketidakaturan atau kekacauan. Usaha pelurusan dan pembetulan, barangkali antara lain juga mempertimbangkan teriakan “merdeka” bocah murid SD dalam cerita rekaan saya di atas, gugatan-gugatan Remy Sylado dalam novelnya Menunggu Matahari Melbourne, suara-suara minta dikasihani para pengemis di emperen-emperen tokoh milik para konglomerat di Jakarta, Manado, M a k a s s a r, S u r a b a y a , Yo g y a k a r t a , d a n l a i n sebagainya, para korban pencemaran akibat limbah di sejumlah daerah pertambangan, orang-orang tak bersalah yang kalah di pengadilan, anak-anak yang putus sekolah karena mahalnya biaya pendidikan, pasien yang susah hidup dan sudah mati karena tak mampu bayar biaya obat-obatan di rumah sakit, dan lain-lain, dan lain-lain. Maksud saya, kalau itu kemudian kita sepakati menjadi indikator untuk menilai status Indonesia, maka mari kita teriak bersama: “Indonesia belum (tidak) Merdeka!”…Atau kalau kita tidak ingin berteriak begitu, kita gunakan cara lain. Misalnya, kata “merdeka” itu kita betulkan dengan menjadikan bangsa-bangsa di Indonesia yang hingga kini tidak merdeka, menjadi merdeka sungguhan, dengan hari jadinya sendiri. Berani? Mari kita coba: satu, dua, ti… Maaf, kalau pernyataannya harus seperti itu. Namanya juga menggugat atau minimal sebuah usaha pembetulan dan pelurusan status Indonesia. Bukit Inspirasi Tomohon, 2 hari jelang HUT RI ke-60 Ngaasan- EDISI III-SEPTEMBER 2005 FOKUS Our Nation Needs (Tinjauan menuju PERSATUAN Indonesia) Oleh: Daniel Kaligis P ergerakan dan perjuangan menuju Indonesia Merdeka diwarnai perdebatan bentuk negara oleh para founding father Indonesia, bukan tanpa pilihan lain, walau sampai hari ini NKRI eksis dan menggerogoti segenap hak dasar rakyat, tigabelas tahun sebelum proklamasi Moh Hatta memperingatkan “ jangan sampai bentuk negara Indonesia menjadi PERSATEAN Indonesia.” Namun apa yang terjadi, Orde Lama dan Orde Baru menjadi momok sejarah entah, saksi-saksi dibungkam untuk pembenaran rezim. Orde Lama dan Orde Baru sama-sama ganas menggilas pluralis bangsa. Catatan sebelum proklamasi, karena Indonesia terbagi atas pulau-pulau dan golongan bangsa-bangsa, maka perlulah tiap-tiap golongan kecil atau besar mendapat otonomi, mendapat hak untuk menentukan nasib sendiri, dapat mengatur pemerintahan sendiri menurut keperluan dan keyakinan sendiri, asal saja peraturan-peraturan itu tidak bertentangan dengan dasar-dasar pemerintahan umum yang disepakati bersama. Jadinya keluar Indonesia satu, kedalam Indonesia terdiri dari beberapa badan yang mempunyai otonomi yang sempurna dan yang hidup. <Moh. Hatta, dalam : Ke Arah Indonesia Merdeka> Ribuan pulau dengan keragaman adat dan budaya, ternyata bukan persoalan mudah untuk sebuah sistem Negara. Ujicoba bentuk negara kesatuan selang 60 tahun sudah mematahkan bentuk-bentuk kearifan dan budaya lokal di daerah-daerah (cultural genocide) selanjutnya memaksakan dominasi eksternal melalui kebijakan transmigrasi, resetlement, dan eksploitasi sumberdaya. Inilah alasan kuat untuk mengatakan bahwa negara ini gagal mewujudkan cita-cita nasional sesuai amanat undang-undang dasar. Nota Kesepahaman RI – GAM sudah ditandatangani para pihak bersetru di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus silam. Secara de jure NAD masih berada dalam genggam NKRI, dan penyelesaian konflik RI – GAM akan dilaksanaan secara damai, menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua. Walau, undang-undang bar u tentang penyelenggaraan pemerintahan di Aceh nanti berlaku paling lambat 31 Maret 2006, namun sejak 15 Agustus 2005 Aceh akan melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik, yang akan diselenggarakan bersamaan dengan administrasi sipil dan peradilan, kecuali dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ihwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama, dimana kebijakan tersebut merupakan kewenangan Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan konstitusi. Selanjutnya persetujuan internasional yang dilakukan Pemerintah Indonesia terkait hal ihwal kepentingan khusus Aceh akan diberlakukan dengan konsultasi dan persetujuan legislatif Aceh. Pula keputusan DPR-RI yang terkait Aceh dilakukan dengan konsultasi dan persetujuan legislatif Aceh. Kebijakan administrasi yang diambil pemerintah Indonesia berkaitan dengan Aceh akan dilaksanakan dengan konsultasi dan persetujuan Kepala Pemerintah Aceh. Tak bisa dipungkiri Nota Kesepahaman RI – GAM mengisyratkan bahwa atmosfir federal sementara berhembus di Aceh, parpol lokal, atribut daerah, dan penggunaan suku bunga di luar BI. Kasat mata, Aceh merdeka dari penjajahan Jawa. Bolehkah Nota Kesepahaman RI – GAM dilaksanakan merata di seluruh wilayah Indonesia. Atau kesepahaman ini masih saja tetap dibelok-belokkan media proJakarta dan dipelintir seakan Aceh yang menuntut hak-hak dasar mereka belum tepat waktu, dan tak berarti bagi daerah lain. Daerah lain, bersiaplah untuk tetap jadi anak tiri dan sapi perah bingo-bingo yaki dengan berhala kitab suci NKRI. Model pemerintahan dan sistem yang coba dikekalkan dan berlangsung hingga hari ini adalah demi mempertahankan kekuasaan,dan menumpuk modal dan akses ekonomi segelintir orang saja. NKRI mengajarkan kepatuhan pada simbol negara semata, bukan pada praktik melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Pluralis bangsa sengaja diseragamkan, diintervensi, ditelanjangi setelanjang-telanjangnya, guna mengontrol tiap-tiap manusia Indonesia dan menjaga persatuan semu dengan todongan senapan. Komunitas bodoh dipelihara guna dieksploitasi, yang pinter dijinakkan kursi kekuasaan yang kreatif dianggap makar, yang coba meluruskan persoalan dituduh subversif. Petualangan di jazirah NKRI yang per mai, diperkirakan ada 200 kasus pembantaian yang dilakukan selama rezim Orde Baru dengan berbagai motif. Total perkiraan korban mencapai tidak kurang dari 1.000.000 FOKUS jiwa meninggal. Selama Orde Baru berkuasa tidak kurang dari 4. 000.000 rakyat telah menjadi korban kezaliman rezim. Sejarawan Ong Hok Giam dalam suatu kesempatan pernah menyampaikan bahwa, jika dibandingkan antara jumlah korban saat kekuasaan kolonial Belanda selama 350 tahun dengan kekuasaan Orde Baru selama 32 tahun maka jumlah korban saat Orde Baru berkuasa jauh lebih besar dibandingkan dengan saat kolonial Belanda menjajah Indonesia. Kesatuan Indonesia itulah yang selalu dibungkus program seakan-akan atas nama rakyat. Dan manusiamanusia seragam sama-sama mengangguk mengiyakan, tak malu pada realitas bahwa atas nama kesatuan itulah semua rakat dilibat hutang luar negeri, dunia menilai Indonesia salah satu negara terkorup (diperkirakan masih ada sekitar 1.200 macam bentuk korupsi, kolusi dan manipulasi yang dilakukan oleh Soeharto dan kronikroninya -Militer, Birokrat dan konglomeratkonglomerat yang mulia- dengan jumlah uang rakyat yang dikorupsi tidak kurang dari 220 Milyar Dollar AS, mulai tahun 1967 sampai saat ini, dan manusiamanusia seragam itu tanpa malu-malu menyanyikan Indonesia tanah air beta, disumpah dengan kitab suci untuk mengabdi bagi dewa-dewa pembangunan yang sudah membantai rakyatnya sendiri. Negara ini adalah negara doyan sumpah, sumpah pemuda, sumpah jabatan, sumpah pocong, sumpeh luuuu....!!! Otonomi bo’ong-bo’ongan turun ke daerah-daerah sebagai permen karet yang kalau ditelan pasti diare dan mencret. Rakyat dipaksa meningkatkan PAD dan semuanya akan diboyong ke pusat katanya ada pembagiannya untuk rakyat (kalau ingat), bukang for rakyat kasiang, bangsat! Rakyat sudah menjadi sapi yang dicekok hidung ditarik kian kemari mau saja. Kesatuan adalah tuannya dan dia adalah budak sistem tanpa mampu berargumen dan mempertanyakan mengapa ia sapi. Sumpeh, negara ini sudah mengajarkan persatuan yang salah kaprah dan salah arah. Tentang Persatuan Indonesia, DR. Sam. Ratulangie, 26 November 1938 dalam Nationale Commentaren menulis “Persatuan nasional dari bangsa Indonesia adalah suatu persatuan politis. Kenyataan ini didasarkan pada kemauan politis yang sukarela untuk membentuk satu persatuan bangsa Ngaasan- EDISI III-SEPTEMBER 2005 dan negara Indonesia yang berdaulat. Dengan mengakui dan menghormati akan perbedaan etnis dan budaya pluralitas bangsa Indonesia yang bersatu dengan segala konsekwensinya, kita semua harus menerima, menerima dan berjuang untuk persatuan politis bangsa Indonesia tersebut – Namun, dilain pihak adalah satu keharusan yang seimbang bahwa Persatuan Indonesia harus mengakui dan menghormati hak azasi dari tiap kelompok etnis untuk mempertahankan otonomi mereka dalam batas wilayah kelompok etnis tersebut” NKRI menjadi satu opsi bentuk negara dan dijalankan sejak 17 Agustus 1945 dan berlaku hingga saat ini di Indonesia. Pemikir-pemikir kerakyatan dalam RTD 22 Agustus 2005 Refleksi enampuluh taon MERDEKA, delapan taon REFORMASI bergulir : Mempertanyakan komitmen bernegara dalam bingkai NKRI, coba merefleksikan kesaksian anak bangsa bahwa bentuk NKRI yang tidak dibenah akan hancur dengan sendirinya. Persoalan mendasar yang sampai saat ini tak tuntas dan tak difollow-up negara yakni persoalan hak-hak dasar tiap rakyat. Penguasa kerepotan sendiri bermain indah untuk mempertahankan posisi, dan rakyat menjadi bulan-bulanan ujicoba sistem yang menelantarkan keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia. Kropotkin menyindir Negara Kesatuan sebagai inkarnasi setan yang dikotori kepentingankepentingan borjuis nasionalis yang xenophobic. Negara ini butuh satu hal, ajarkan kebenaran pada anak-anak kita niscaya kita merdeka. Ajarkan persatuan yang memerdekakan hak-hak dasar manusia untuk berkarya, berkata dan hidup. Karena itu, mungkin bangsa Indonesia harus rela dan berani menelaah persoalan mendasar bangsa ini. Yakni pada komitmen dan kontrak yang seharusnya disepakati bersama oleh semua elemen bangsa Indonesia. Yakni kontrak untuk bernegara dalam satu Indonesia yang plural, dengan menghormati perbedaan, perbedaan--bukan penyeragaman, kearifan lokal budaya-budaya bangsa-bangsa di Indonesia, dengan menempatkan nilai-nilai manusia diatas semua ideologi dan kepentingan. Sehingga rakyat secara merdeka mendapatkan akses yang proporsional terhadap hakhak ekonomi, sosial dan budaya yang menjadi hak dasar yang hakiki yang kodradi. Mestinya, tidak ada kata terlambat untuk perubahan!!! *** UTAMA Ngaasan- EDISI III-SEPTEMBER 2005 60 TAHUN NKRI (Suatu Kajian Kritis atas Harga yang Sangat Mahal) Oleh Dr. Bert Adriaan Supit S udah 60 tahun Indonesia merdeka dari kungkungan kolonialisme yang menjajah Indonesia selama berabad abad. Sejarah kolonialisme telah meninggalkan pengalaman berupa penindasan yang penuh dengan darah dan air mata. Namun setelah Indonesia merdeka selama 60 tahun, darah dan air mata terus berkelanjutan bahkan ribuan sampai jutaan jiwa bangsa besar Indonesia telah dikorbankan demi mempertahankan NKRI. Pengorbanan jiwa oleh bangsa Indonesia sendiri selama 60 tahun merdeka dimulai dari Peristiwa Madiun; Darul Islam; Peristiwa Andi Azis; RMS; PRRI dan Permesta; G30S; OPM/Papua/Pembunuhan Theys; GAM/Aceh; Peristiwa Berdarah 27 Juli 1997; Peristiwa Berdarah Mei 1998; Pengorbanan para Mahasiswa; Kemerdekaan Timor Timur; Peristiwa Ambon, Sampit, Halmahera, Poso, Palu dan Tentena; Bom Bali – Jakarta, dll; dan last but not least peristiwa ‘pembunuhan’ pahlawan HAM Munir. Cita-cita kemerdekaan untuk mensejahtrakan seluruh bangsa Indonesia ternyata tidak juga benar-benar membebaskan bangsa Indonesia dari model hegemoni dan penguasaan hak-hak sosial rakyatnya. Dalam konsepsi NKRI selama 60 tahun, Negara yang dikuasai oleh kaum elit politik dan militer yang berwatak ‘absolut power’ telah menjadi sangat deterministik, mematikan hampir semua kesadaran demokrasi sosial dan kultural demi langgengnya kekuasaan sentralistik yang tetap saja ingin menguasai sumber-sumber ekonomi alam yang berlimpah didaerah-daerah luar pulau Jawa. Gilirannya, kesenjangan demi kesenjangan makin tak terhindarkan, baik kesenjangan sosial maupun spasial sangat nampak antara pusat dan daerah, antara Jawa dan luar Jawa, apalagi daerah di Indonesia bagian Timur dimana hidup sebagian besar masyarakatnya yang berpredikat ‘minoritas ganda’ sejak rejim orde baru sampai sekarang mengalami berbagai macam ‘diskriminasi’ dari kaum ‘mayoritas ganda’ dalam Republik Indonesia yang 60 tahun lalu telah diproklamirkan bersama oleh seluruh bangsa Indonesia tanpa perbedaan latar belakang kedudukan sosial, budaya, ras maupun agama. Ini juga antara lain menjadi pemicu maraknya gugatan masyarakat daerah luar pulau Jawa yang merasa dilecehkan keadilan sosialnya yang diantaranya bahkan terancam berdisintegrasi dengan NKRI. Kenyataan kemerdekaan Timor Timur yang sudah menjadi mimpi buruk Indonesia merdeka; dan sekarang kasus perjuangan Keadilan dan HAM kaum minoritas ‘bangsa’ Aceh dan ‘bangsa’ Papua kini telah ikut menjadi sorotan dunia internasional. Dengan persetujuan (MoU) Helshinki maka GAM telah memperoleh keuntungan yang luar biasa dibandingkan dengan daerah yang lain di Indonesia biarpun perjuangan kemerdekaannya melalui referendum bangsa Aceh untuk sementara sama sekali tidak disebutkannya. Sebaliknya pengakuan pemerintah NKRI atas suatu pemerintahan luas di Aceh(NAD), keuntungan ekonomi dan moneter Aceh (a.l. perdagangan internasional langsung, pinjaman luar negeri, bagi hasil pajak dan pendapatan alam Aceh serta penentuan suku bunga bank sendiri) dan last but not least perolehan hak atas pembentukan partai lokal sangat menguntungkan Aceh. Dilain pihak, terjadi diskriminasi yang luar biasa terhadap daerah Papua yang ironis penduduk aslinya adalah mayoritas beragama Kristen. Daerah Papua malah dipecah-pecah sehingga terjadi pertentangan diantara para penduduk asli. Ini yang disebut Divide et Impera. Dan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) malah berani mengungkapan bahwa Papua tidak wajar mendapat Otonomi Khusus karena penduduk tanah Papua sudah mayoritas orang Jawa yang beragama Islam. Hal tersebut benar-benar adalah suatu sikap yang ‘konyol’ yang melecehkan penduduk asli yang notabene beragama Kristen. Ini jelas menjadi persoalan serius karena semangat Nasionalisme (Kebangsaan) Indonesia yang 60 tahun silam diproklamirkan para Founding Fathers RI ternyata mengalami dekadensi dan pembusukan yang signifikan. Karena selama 60 tahun Indonesia merdeka bangsa besar Indonesia yang dipimpin oleh para elit politik, birokrat dan militer tidak juga, bahkan gagal membentuk bangunan karakter manusia Indonesia yang kokoh bagi sebuah Nation Building Indonesia. Jelas pula bahwa Nasionalisme Indonesia ternyata semu dan rapuh UTAMA lantaran semangat patriotisme Nasionalisme Indonesia ini selama 60 tahun merdeka tidak dibangun dari bawah (baca:daerah) dengan sifat dan wajah yang beraneka ragam (kebhinekaan) seperti Indonesia berjuang melawan kolonialisme dahulu; melainkan selama 60 tahun Indonesia merdeka terjadi bentuk-bentuk pemaksaan dengan kekerasan yang ‘idiologis-militeristis’ yang topdown, dengan semata-mata demi keuntungan dan kepentingan para penguasa dan pengusaha elit politik dan militer di Jakarta dan pusat-pusat kekuasaan yang berada di propinsi, kabupaten dan kota yang memang sudah dan sedang menikmati akan kemerdekaan republik ini ketimbang rakyat yang masih menderita. Rakyat seakanakan menerima saja nasibnya melalui pemilihan umum yang memilih wakil-wakilnya, namun setelah menikmati manisnya kekuasaan, lantas bersikap ‘cuek’ atas nasib rakyat. Kondisi ini makin runyam apalagi sejak reformasi bergulir, bangsa Indonesia mulai tenggelam dalam euphoria yang berlebihan. Terjadi pengkaburan makna demokrasi yang berdampak pada saling klaim kekuasaan dan kepentingan. Setelah 60 tahun merdeka terjadi penguatan radikalisasi agama yang ingin memaksakan ‘idiologi agama’ kaum mayoritas atas kaum minoritas dan ‘semangat pluralisme’ dalam cita-cita Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika mulai mengendor dan terkikis. Apalagi dengan dikeluarkannya Fatwa MUI yang mengharamkan pluralisme, maka lengkaplah sudah kehancuran dasar pijakan Pancasila bangsa Indonesia. Para elit politik, militer dan bisnis yang kehilangan kenikmatan kekuasaan selama rejim orde baru, mulai melakukan manuver-manuver kooptasi dan kooperasi dengan ‘kekuatan-kekuatan radikal’ untuk melakukan destabilisasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Baku sikat dan baku hantam antar ideologi, aliran maupun kepentingan menjadi babak baru model demokrasi Indonesia masa reformasi dan otonomi yang ‘setengah hati’. Tidak juga disadari bahwa dalam era otonomi ‘setengah hati’ itu, korupsi masal berwajah korupsi legal dan ilegal marak dimana-mana dari pusat sampai kedaerah. Korupsi legal itu a.l. dimungkinkan melalui penggunaan yang tidak transparan dan accountable dari APBN dan APBD-APBD yang didukung secara legal oleh UU dan PP yang dibuat secara sentralistis. NKRI sebagai negara hukum menjadi bahan penilaian yang kontroversial yang sinis oleh para pengamat hukum Ngaasan- EDISI III-SEPTEMBER 2005 internasional. Peristiwa-peristiwa berdarah yang sangat menyedihkan muncul di Jakarta, Ambon, Halmahera, Poso, Tentena serta di Aceh dan Papua. Semuanya itu, dilengkapi dengan pembunuhan politik seperti kasus diracuninya Pahlawan HAM Munir, telah menjadi trademark Indonesia yang buruk dan memalukan didunia internasional. Efek domino sebenarnya sedang terjadi di Indonesia. NKRI yang dipertahankan mati-matian oleh kaum konservatif militer, islam politik, islam radikal dan kelompok ultra nasionalis di pusat dan daerah adalah ibarat kapal yang sedang oleng dan menuju kebangkrutan karakter. Ironi selama 60 tahun Indonesia merdeka dengan sistem negara dan pemerintahan NKRI, semua (sudah lima) Presiden RI mulai dari Presiden Soekarno sampai kepada anaknya Megawati Sukarnoputri, semuanya gagal dan jatuh diterpa sistem yang sentralistis dan elitis itu. Lanjutan ironi dari nasib Presiden-Presiden NKRI terdahulu sedang dialami sekarang lagi oleh Presiden SBY dimana a.l. seorang yang bernama Sri Bintang Pamungkas sudah berani menuntut supaya SBY mundur saja karena belum setahun berkuasa sudah gagal dengan politik ekonominya yang dilengkapi oleh ‘MoU Helshinki’ yang melecehkan Papua dan daerahdaerah lain yang masih merupakan ‘anak manis’ dan ‘anak manja’. Lebih gawat dan memprihatinkan lagi, bahwa sesuai dengan amandemen ke 4 UUD 45 Bab XVI pasal 37, 5 tentang Sistem Negara Kesatuan yang telah menjadi harga mati dan tidak boleh dirobah-robah lagi. Nampaknya para elit politisi ‘ultranasionalis’ dan tentara ‘konservatif ’ di republik ini telah menjadikan system itu ibarat suatu ‘dogma’ baru bagi rakyat Indonesia. Dan oleh sebab itu, Indonesia akan tetap terpuruk dalam ‘dogma’ buatan manusia itu dengan melecehkan ke-anekaragam-an bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Slogan yang mengsakralkan Negara Kesatuan sebagai harga mati (dengan penerapan otonomi setengah hati sekalipun) sama sekali telah melecehkan hukum alam yang mengatakan bahwa harga mati atau yang abadi hanya berlaku bagi perobahan dan pembaharuan, termasuk bagaimana mengatur perobahan dan pembaharuan yang menyeluruh dari sebuah Negara yang sangat luas dan sangat beraneka ragam seperti Republik Indonesia. Para elit militer dan politik di Indonesia harus diajak untuk berpikir secara realistis sambil melakukan dialog dan kajian intelektual secara kritis dan analitis tentang UTAMA pemerintahan di Indonesia yang dijalankan secara amburadul selama 60 tahun dan supaya mereka tidak hanya terpaku secara nostalgis dan kaku dalam suatu doktrin kekuasaan yang elitis feodalistis. Disinilah konsep Indonesia sebagai sebuah nation mengalami kemunduran bahkan kegagalan selama 60 tahun merdeka. Sejumlah pengamat Indonesia malah menyebut Indonesia telah gagal membangun bangunan kebangsaan dengan national character-nya. Kesadaran berbangsa dan bernegara mulai dipersoalkan dan digugat. Nation Republik Indonesia yang dibangun 60 tahun yang lalu atas dasar sebuah kumpulan bangsa-bangsa, agama dan kelompok dengan beraneka warna dan budaya sedang dikhianati. Persinggungan antara agama, ras, kelompok, serta dominasi militer konservatif dan politik yang elitis ternyata telah menyulut pertikaian dan disintegrasi yang sudah sulit diselesaikan lagi dalam konteks Negara Kesatuan. Enam puluh tahun merdeka dengan mempertahankan keutuhan NKRI dimana darah dan air mata terus mengalir, sudah cukup. Harus ada system alternatif negara dan pemerintahan yang lain yang masih dapat mempersatukan dengan damai bangsa Indonesia yang diciptakan manusia sejak tahun 1928 (sumpah pemuda) dan 1945 (proklamasi kemerdekaan). MoU antara pemerintah NKRI dan GAM sudah membuktikan itu. Parahnya lagi, dalam konteks kapal yang sedang oleng, para pakar akademisi dan intelektual serta kelompok politisi di Indonesia pada umumnya masih bingung dan ambivalen mengambil sikap yang jelas(dengan sengaja?). Lebih parah lagi Gereja dan ummat Kristen yang selalu menjadi sasaran ketidak adilan ‘kekuasaan’ lebih bingung lagi dan tanpa disadari sama sekali tidak mempunya i konsep tawar menawar politis yang kuat atas keadaan yang tidak adil yang dialaminya. Bahkan mungkin juga, Gereja dan ummat Kristen tidak tau atau tidak mau tau bagaimana lagi harus bersikap, padahal akselerasi perobahan dan pembaharuan dalam dinamika sosial sudah sangat ting gi karena memang perobahan dan pembaharuan adalah abadi dan terus berdialektika mencapai kondisi yang lebih baik dari kemarin dan kini. Ironisnya, dalam kondisi bangsa yang sekarat seperti ini, masih sangat sedikit kelompok, termasuk Gereja Kristen, yang berani membawa suara kenabian dan berani mengambil posisi dengan Ngaasan-EDISI III-SEPTEMBER 2005 sebuah konsep politis yang jelas untuk berpihak secara konkrit kepada yang lemah, tersisih dan teraniaya seperti saudara-saudara kita di Aceh, Papua, Maluku dan Poso/Tentena. Seharusnya dihari hari yang kelam seperti sekarang ini kelompok-kelompok gerakan moral itu, termasuk Gereja Kristen harus lebih gigih menentukan sikap dan posisi sebagai pembawa suara kenabian. Sudah waktunya Gereja dan ummat Kristen diseluruh Indonesia memberikan dukungan solidaritasnya yang meyakinkan atas perjuangan keadilan dan hak azasi manusia dari saudara-saudara seiman kita ditanah Papua. Jangan ada dan tidak boleh ada diskriminasi terhadap orang-orang Papua yang diciptakan menurut ‘gambar Allah’ seperti seluruh ummatNya dibumi Indonesia ini. Bila ada ‘penyelesaian damai’ di Aceh, maka harus ada pula penyelesaian damai di Papua yang menghargai eksistensi dan harga diri bangsa Papua. Seterusnya, para pelaku yang berpolitik praktis (termasuk militer, birokrat dan pebisnis) yang sedang menikmati atas hasil kemerdekaan selama 60 tahun ini dapat lebih fleksibel untuk peka dan mendengar suara hati nurani rakyat sambil mencari dan menemukan solusi politik alternatif terhadap model berbangsa dan bernegara yang sesungguhnya memberikan tempat yang lebih aman bagi perdamaian dan pluralisme berdasarkan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika, sambil menutup rapat-rapat pintu dari kepungan peminggiran hak-hak azasi manusia, kemiskinan, kesewenang-wenangan dan otoritarian dengan karakter elitis-feodalistis. Semoga, setelah 60 tahun Indonesia Merdeka dengan wajah lesu dan pakaian yang compang camping, masih ada manusia-manusia Indonesia yang punya idealisme dan semangat yang membara seperti para pemikir pendahulu kita yang sangat demokratis a.l. Moh. Hatta dan Oom Sam Ratulangi untuk melakukan perobahan dan pembaharuan yang mendasar dan menyeluruh atas system negara dan pemerintahan Indonesia demi lestarinya Republik Indonesia Raya yang menghargai keadilan dan kebenaran bagi pembangunan yang merata untuk seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Semoga, dan Selamat Hari Jadi yang ke 60 untuk Republik Indonesia Raya. *** UTAMA Ngaasan-EDISI III-SEPTEMBER 2005 Mengevaluasi Model Pengelolaan Masyaraat Dan Sumber Daya Alam Oleh: Matulandi P.L. Supit H iruk – pikuk reformasi versi ’98 yang berhasil dilokalisasi sekedar mengkritisi rezim super – sentralistik ala Soeharto ternyata tidak menyelesaikan persoalan mendasarnya. Rezimnya tumbang tapi perilakunya tetap eksis. Mungkin saja penguasa dilihat sebagai wakil Tuhan sehingga memiliki segala kekebalan dan keistimewaan. Sementara itu rakyat selaku pemilik sumberdaya alam harus takluk dibawah kekuasaan tersebut. Memperhatikan sejarah ketatanegaraan Indonesia seluruhnya mempersoalkan ketidakadilan ekonomi antara pusat dan daerah. Persoalan tersebut terekspresi mulai dari demonstrasi hingga saling bunuh misalnya, PERMESTA, PRRI, RMS, DI/TII ditahun ’50an. Timor Leste, GAM, OPM ditahun ‘80an hingga kini. Belum terhitung konflik horisontal yang berlatar penguasaan terhadap sumberdaya alam seperti, Maluku Utara, Ambon, Posso, dan seterusnya. Ada apa dibalik semuanya itu? KETIKA NKRI DIPERTAHANKAN Latar belakang obsesi unitarisme menciptakan negara kesatuan adalah kesuksesan dua imperium yang pernah ada di masa lalu yaitu, Sriwijaya (imperium pertama) dan Majapahit (imperium kedua) dengan gamblang tergambar dalam pidato - pidato provokatif Soekarno, “..... berpuluh puluh tahun kita bangsa Indonesia telah berjuang untuk memerdekakan tanah air kita. Bahkan telah beratus - ratus tahun !”. (Manifes Politik 17 Agustus 1959) dan argumentasi ilmiah Mr. Muhammad Yamin (Persiapan Naskah UUD 1945, Prof. Mr. Muh Yamin, 1960). Kedua imperium pernah menguasai hampir semua pulau yang tersebar disekitarnya (sekarang ini disebut wilayah RI). Bentuk monarkhi absolut merupakan pola pemerintahan yang dijalankan guna menguasai daerah - daerah seberang. Jadi daerah - daerah seberang ditaklukkan untuk kemudian wajib memberi upeti kepada kaisar sebagai penguasa tunggal. Berdasarkan gambaran masa lalu disusun strategi unitarisme untuk membentuk imperium ketiga yaitu Republik Indonesia. Perwujudan obsesi tersebut tergambar pada kata Pancasila hingga bahasa Indonesia yang dominan mengkonversi kata dari bahasa Sansekerta serta penamaan simbol alat perlengkapan negara serta ruangan - ruangan di Gedung DPR – MPR - RI. Pembenaran atas tujuan adalah, “Program (politik) Nasional itu ialah perjuangan sejak runtuhnya Negara Indonesia yang kedua yaitu, Majapahit pada permulaan abad XVI, dengan tidak berorganisasi sampai penghabisan abad XIX dengan berorganisasi modern dengan menjalankan massa aksi teratur dalam abad XX”. (Muh. Yamin 1960 : 51) Secara umum disimpulkan bahwa Soekarno adalah inisiator dan fasilitator imperium ketiga dengan jargon Revolusioner dan Soeharto sebagai kaisar pertama yang memerintah dengan jargon Pembangunan. Mengamati kedua jargon beserta isinya maka jelas tahapan strategis yang telah dibuat oleh unitarisme selama kurun waktu 70 tahun (1928 s/d 1998). Momentum 1998 adalah saat yang ditunggu - tunggu oleh semua pihak yang didustai dan tersingkir selama 39 tahun. Celah waktu yang diciptakan melalui gerakan reformasi Mei 1998 merupakan saat yang paling merdeka bagi seluruh rakyat untuk menentukan sikap bagi masa depan, apakah kembali pada komitmen 1959 atau menciptakan sesuatu yang baru. Proses tersebut sedang berlangsung diantara ketiga kelompok yaitu yang mempertahankan sistem imperium melalui UUD 1945 dengan segala kelemahan dan keburukannya, yang menghendaki revisi UUD 1945 sesuai dengan nilai - nilai yang hidup dalam masyarakat dewasa ini (living law) melalui amandemen (revisionist sampai retooling); dan yang menghendaki membuat konstitusi baru. Solusi yang tepat guna mengatasi krisis kenegaraan akibat krisis ekonomi adalah otonomi daerah yang seluas - luasnya (konfederasi) atau federasi. Melalui solusi seperti ini negara dapat dipertahankan eksistensinya dan ekonomi dapat dipulihkan dalam tempo yang singkat. Mempertahankan sistem imperium melalui UUD 1945 jelas sudah bangkrut. Upaya - upaya menggunakan UUD 1945 sebagai alat guna mencapai kesejahteraan sosial tidak dipercaya lagi oleh banyak orang. Untuk itu kesempatan emas yang telah terbentang dihadapan kita merupakan jalan menuju pembaruan strategi kesejahteraan rakyat di masa depan (lihat http:// www.matulandi: Pandangam Sam Ratulangi Tentang Ketatanegaraan Indonesia -1999) Kekisruhan ketatanegaraan dan ekonomi pasca Soeharto coba diatasi dengan memberi otonomi (UU: 22/99 tentang Pemda) dan amandemen UUD ’45 tidak segera menyelesaikan persoalan. Ketidakpuasan Timor – Timur atas pencaplokan RI berakhir dengan Kemerdekaannya, sementara itu Aceh dan Papua yang lebih dulu berjuang untuk memperoleh keadilan dalam rumah NKRI tetap ditindas dengan berbagai cara oleh pemerintah Jakarta/Pusat. Menyimak Tiga puluh dua tahun lebih rezim Orde Baru berkuasa, berbagai tindak kejahatan dan pelanggaran HAM dilakukan guna mempertahankan kekuasaan, serta menumpuk harta kekayaan. Sampai saat ini diperkirakan sekitar 200 kasus pembunuhan / pembantaian yang dilakukan oleh Orde Baru dengan berbagai motif, total perkiraan korban mencapai tidak kurang dari 1.000.000 jiwa (meninggal). Dengan demikian maka selama 32 tahun Orde Baru berkuasa tidak kurang dari 4. 000.000 jiwa rakyat telah menjadi korban. Jika dibandingkan antara jumlah korban saat kekuasaan kolonial Belanda selama 350 tahun dengan kekuasaan Orde Baru selama 32 tahun maka jumlah korban UTAMA saat Orde Baru berkuasa jauh lebih besar dibandingkan dengan saat kolonial Belanda menjajah Indonesia. Selain itu kasus penggusuran tanah berjumlah sangat banyak ( sekitar 1.800 kasus yang tercatat ) di berbagai daerah dengan perkiraan korban gusuran tidak kurang dari 3. 000.000 jiwa. Motif umum penggusuran ini adalah pengambilan hak tanah rakyat untuk kepentingan public. Diperkirakan masih ada sekitar 1.200 macam bentuk korupsi, kolusi dan manipulasi yang dilakukan oleh Soeharto dan kroni-kroninya ( Militer, birokrat dan swasta/ konglomerat ) dengan jumlah uang rakyat yang dikorupsi tidak kurang dari 220 Milyar Dollar AS, mulai tahun 1967 sampai saat ini. Selain beberapa diatas, masih banyak terjadi kasus lainnya antara lain adalah : Penangkapan semena-mena, Pembredelan Media massa ( Tempo, Detik, Editor, dll ), Penculikan aktivis mahasiswa, Aktivis Buruh, Penyalahgunaan kewenangan dan sebagainya. Dari seluruh peristiwa kekejaman dan berbagai pelanggaran HAM tersebut ternyata sampai saat ini tidak satupun yang terungkap. Bahkan sebaliknya, hukum (sistem dan birokrasi) pada kenyataannya justeru memberikan vonis bebas kepada Soeharto dan kroninya. dari kenyataan itu maka sesungguhnya kita tahu dan sadar bahwa Hukum ternyata memang tidak berpihak kepada rakyat dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat, hukum justru dijadikan alat untuk melanggengkan kekuasaan (http://www.geocities.com/ frontnasional/kasusorba.htm). Lepas dari seluruh kekejaman dan perampokan dimasa lalu, Indonesia harus menerima kenyataan berbagai bencana alam (Lombok, Nabire, Aceh danseterusnya) serta semakin lemahnya daya beli masyarakat akibat kemiskinan (busung lapar dansebagainya) menjadi hadiah 60 tahun Indonesia Merdeka. Kemalangan terus berlanjut ketika minyak perbarrelnya terus meningkat hingga US$. 66 berpengaruh langsung pada melemahnya rupiah terhadap dollar Amerika. Dalam kondisi yang terpuruk seperti itu SBY – MJK mencoba memperbaiki dengan gerakan ganyang korupsi dan hemat energi. Sementara itu Aceh yang bergolak harus segera diakhiri karena berbagai sebab yakni, (1) konflik Aceh tidak dapat diisolasi dari perhatian dunia internasional (merupakan akibat langsung tsunami); (2) semakin menipisnya anggaran perang yang bisa disiapkan oleh pemerintah diperhadapkan dengan; (3) kewajiban pemerintah untuk merehabilitasi kerusakan infrastruktur akibat tsunami. Paling tidak pertimbangan tersebut mendorong terjadinya perdamaian antara dua kekuatan bersenjata yang bertikai tersebut (RI dan GAM). Dalam hal ini RI sebagai pihak yang menginisiasi kesepakatan perdamaian tersebut apabila diamati klausula MOU 15 Agustus 2005. MUNGKINKAH NKRI MEMBERI KEMERDEKAAN Keterangan di atas menunjukkan betapa mahalnya harga yang harus dibayar rakyat untuk mempertahankan NKRI yang tidak kunjung membawa pada kesejahteraan yang dituju. Sejak awal berdirinya negara ini dibawah Proklamasi dan UUD 1945 jelas pada kedua naskah yaitu, “... hal – hal pemindahan kekuasaan dan lain – lain akan diatur dalam tempo yang sesingkat –singkatnya.” (Proklamasi 17 Agustus 1945) dan Ngaasan-EDISI III-SEPTEMBER 2005 “... akan dibicarakan 6 bulan setelah perang asia timur raya.” (Amanat UUD 1945). Kedua pernyataan itu tidak pernah terlaksana hingga kini, malahan selama 39 tahun (terhitung sejak Dekrit 5 Juli 1959 sampai 1998) pelaksanaan secara murni dan konsekwen justru melahirkan mutan (perpaduan genetik antara feodalisme dan militerisme). Manusia Indonesia kehilangan martabat karena tidak lagi berpegang pada adat – istiadat yang terbangun berdasarkan asal – usulnya. Seragamisme menjadi mutlak untuk mencapai keadilan dan kemakmuran; demokrasi dijadikan alat untuk tetap melegalkan kekuasaan mayoritas atas minoritas. Untuk itu negara adalah segala – galanya mengatur seluruh hajat hidup rakyatnya. Sementara itu Kesultanan Jogya dan sekitarnya dipertahankan dengan status istimewa sedangkan yang lainnya dihapuskan demi melawan feodalisme danseterusnya. Rakyat (minoritas) diajarkan untuk menanggalkan identitasnya berganti dengan identitas nasional yang berorientasi mayoritas; demokrasi prosedural (dengan kriteria kepatuhan dan sejenisnya) merupakan sarana seleksi kepemimpinan diseluruh tingkatan; penciptaan ketergantungan rakyat terhadap kekuasaan (rakyat kehilangan kepercayaan diri untuk bertindak baik untuk dirinya maupun kelompoknya). Di awal pembentukan negara ini telah tercium akan terjadi ketidakadilan antara mayoritas dan minoritas antara lain pernyataan Mohammad Hatta bahwa, tentang “persatean” dan perdebatan sengit antara sistem yang memerdekakan dan yang menjajah (“terlepas dari penjajahan bangsa putih, jatuh pada penjajahan bangsa sendiri”). Kekhawatiran itu ternyata berwujud ketika rezim sentralistik ala Soekarno yang dilegitimasi oleh UUDSementara 1950 (merupakan kompromi Unitaris dan Federalis) melahirkan pemerasan daerah – daerah yang akhirnya berujung pada penolakan hampir diseluruh negeri. Penolakan terjadi dalam berbagai bentuk yang masing – masing menggambarkan ciri khas kedaerahan seperti PERMESTA yang bernuansa kerakyatan, DI / TII yang bernuansa Islam dan lainsebagainya. Semuanya menuntut keadilan bagi rakyatnya. Akhir gejolak daerah adalah merangkul kepentingan – kepentingan tersebut dimulai dari Dekrit 5 Juli 1959 Kembali Ke UUD 1945 dengan proyek NASAKOM dan MANIPOL – USDEK. Praktis tuntutan daerah seolah – olah terjawab dan akhirnya terjadi kesepakatan damai. Harapan bahwa kemerdekaan untuk mengelola masyarakat sendiri menuju kesejahteraan tidak terwujud melalui proyek tersebut harus tertunda ketika kelompok sosialis – komunis harus berhadapan langsung dengan nasionalis memperebutkan kekuasaaan. Kembali lagi asumsi bahwa daerah tidak mampu untuk mengelola dirinya sendiri menguat ketia elite nasional bersihkukuh untuk mengendalikan semuanya dari Jakarta. Atas legitimasi UUD 1945 bahwa pengelolaan masyarakat dan sumberdaya alam dilakukan secara terpusat oleh negara maka seluruh piranti pelaksanaannya mengacuh kesana. Berdasarkan penafsiran itu secara legal kemerdekaan dicabut dari tempatnya. Kebebasan berpendapat dimatikan, kebebasan untuk melindungi hak milik dicabut, dan seterusnya agar kesejahteraan dapat diperoleh. Apa yang terjadi? Sekitar 200 kasus pembunuhan / pembantaian total perkiraan korban mencapai tidak kurang dari 4.000.000 jiwa (meninggal). Kasus penggusuran tanah berjumlah sekitar 1.800 kasus yang tercatat diberbagai daerah dengan perkiraan korban gusuran tidak kurang dari 3. 000.000 jiwa. Motif umum penggusuran ini UTAMA adalah pengambilan hak tanah rakyat untuk kepentingan public. Dan masih ada sekitar 1.200 macam bentuk korupsi, kolusi dan manipulasi yang dilakukan oleh Soeharto dan kronikroninya ( Militer, birokrat dan swasta/ konglomerat ) dengan jumlah uang rakyat yang dikorupsi tidak kurang dari 220 Milyar Dollar AS, mulai tahun 1967 sampai saat ini dimana semuanya untuk memelihara kekuasaan itu sendiri. Pelumpuhan daerah dengan penyeragaman pemerintahan dan pendidikan menghancurkan identitas dan kultur spesifik yang mengayomi warganya. Kesemuanya membuktikan bahwa kemerdekaan telah dicabut guna sinambungnya kekuasaan. Memperhatikan fakta – fakta diatas menunjukkan bahwa kemerdekaan yang diamanatkan dalam Pembukaan Alinea 1 UUD 1945 belum terlaksana hingga kini. APA YANG HARUS DIPERJUANGKAN Memperingati 60 tahun kemerdekaan bangsa Indonesia seharusnya kita merinci sejumlah kemajuan yang telah dicapai. Namun kali ini kita harus berhitung seberapa banyak yang harus dikorbankan bagi kemerdekaan itu sendiri. Hari ini kita masih menuntut keadilan atas kemerdekaan itu sendiri, negara tidak pernah memenuhi tugasnya untuk memerdekakan warganya selain menuntut kewajiban yang semakin memberatkan. Ekonomi tidak pernah berpihak kepada rakyat apalagi politik. Rakyat harus menanggung atau membeyar seluruh biaya mempertahankan kekuasaan dengan keringat dan harta bendanya sementara haknya tidak pernah dilindungi apalagi diakui. Sekarang kita diperhadapkan pada kuatnya keinginan pengusa dan elite nasional untuk tetap mempertahankan situasi dan kondisi bangsa menghadapi gejolak politik dan ekonomi yang sepanjang 60 tahun terbukti tidak bisa diselesaikan seluruhnya di Jakarta. Jakarta bukanlah superkomputer yang dapat menyelesaikan persoalan – persoalan bangsa –bangsa di Republik Indonesia. Pengalaman menunjukkan bahwa mengelola bangsa besar yang merupakan gabungan bangsa – bangsa ini harus dilakukan berdasarkan prinsip serikat. Selama 350 tahun Kolonial Belanda memerintah berdasarkan prinsip serikat dengan sistem kontribusi yakni, mempertahankan kerajaan dan komunitas adat walaupun diawal abad 20 sistem pemerintahan Belanda adalah kesatuan yang turut mempengaruhi pemerintahan diwilayah koloni. Begitu pula dengan USA mengelola bangsanya yang besar dan terdiri dari hampir seluruh etnik dunia memilih sistem serikat ketimbang kesatuan. Hal serupa dengan Malaysia yang berlatar belakang kerajaan mempertahankannya dengan sistem serikat. Secara sederhana pilihan sistem serikat ditujukan pada penghormatan dan pengakuan atas kemerdekaan bangsa / komunitas yang memiliki identitas dan kulturnya sendiri. Kemudian bangsa – bangsa itu bersepakat berkoordinasi untuk melindungi satu dengan yang lainnya dari ancaman yang datang dari luar. Pemerintah federal dilihat sebagai bangunan pertahanan melindungi kemerdekaan bangsa – bangsa yang terhimpun didalamnya. Sebaliknya yang terjadi pada sistem kesatuan adalah meniadakan perbedaan dan mengelola seluruh potensi manusia dan sumberdaya alam dibawah satu tangan yaitu pusat. Melaksanakan proyek – proyek penyeragaman yang melahirkan manusia – manusia yang sangat tergantung dan loyal atas perintah sesuai struktur Pusat – Daerah. Hasilnya adalah seleksi kepatuhan yang menjadikan pemimpin – pemimpin republik. Hukum tidak pernah dibuat mendahului peristiwa. Fakta – fakta diatas menunjukkan bahwa batang tubuh konstitusi Ngaasan-EDISI III-SEPTEMBER 2005 1945 sama sekali sudah ketinggalan zaman atau tidak sesuai lagi dengan kebutuhan bangsa dalam bernegara. Model pengelolaan masyarakat dan sumberdaya alam yang sentralistik jelas tidak sesuai dengan kemerdekaan bangsa – bangsa yang tergabung dalam Republik Indonesia. Ketidakadilan telah menodai kesepakatan berbangsa dan bernegara, oleh karena itu harus dipastikan lagi bahwa hal itu tidak terjadi lagi dialam kemerdekaan. Kepastian harus diperoleh melalui inti kesepakatan bermasyarakat yaitu konstitusi, darisana datangnya kepastian yang menjamin perilaku berbangsa dan bernegara. BAGAIMANA MENCAPAINYA Konsitituante hasil bentukan Pemilu 1955 (Pemilu yang pertama dan terhitung demokratis dalam berbangsa dan bernegara sendiri) mencoba menjawab amanat Proklamasi dan Konstitusi 1945 tentang merumuskan dan melahirkan konstitus Indonesia yang sesuai dengan kepentingan bangsa – bangsa yang tergabung dalam Republik Indonesia. Namun upaya yang mulia ini terhadang dengan berbagai kepentingan yang cenderung merupakan “kepentingan mayoritas”. Mengamati komposisi konstituante hasil Pemilu 1955 adalah Nasionalis, Islamis dan Komunis maka pengelolaan masyarakat dan sumberdaya alam yang bersifat serikat jelas akan dihadang tanpa kompromi. Pengelolaan yang bersifat serikat dianggap merugikan kepentingan mayoritas karena pengelolaan yang dilakukan secara parsial melumpuhkan rentang kendali kepentingan dimaksud. Melumpuhkan semangat daerah untuk mengelola potensinya sendiri merupakan langkah awal menuju penguasaan secara utuh seluruh sumberdaya diwilayah Republik Indonesia. Untuk itu segala bentuk penolakan daerah harus dihancurkan melalui kekuatan militer dan provokasi ketidakmampuan daerah untuk mengelola potensinya. Strategi penghancuran “percaya diri” daerah atas potensinya mendorong tulisan ini untuk menyumbangkan solusi dalam upaya memformulasikan kontra strategi yang dibangun oleh pemerintah pusat atas nama sistem kesatuan. Bangunan yang dimaksud secara sederhana adalah mencari antitesis atas tesis yang dibangun berdasarkan sistem kesatuan. Antitesis dimaksud didasarkan pada kondisi dan kebutuhan riil setempat melalui pendekatan partisipatif. Artinya, suatu daerah tentunya memiliki identitas dan kultur sendiri untuk mengelola potensinya dipadukan dengan kebutuhan riil setempat. Untuk mencapai keterpaduan dilakukan melalui mekanisme dialogis yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Langkah ini membawa pengaruh ganda yaitu, menghargai dan mengakui keberadaan satuan – satuan politis yang ada dimasyarakat sekaligus membangun “rasa percaya diri” masyarakat tersebut. Paduan tindak (strategi) untuk membangun penghargaan / pengakuan dan percaya diri pada bangsa – bangsa yang bersatu dalam Republik Indonesia dapat bervariasi dari bangsa yang satu dengan yang lainnya sesuai dengan kondisi dan kebutuhan riilnya. Namun yang terpenting untuk mencapai langkah dimaksud adalah sejauhmana kesadaran yang dimiliki oleh bangsa – bangsa dimaksud atas ketidakadilan yang telah dihasilkan oleh sistem kesatuan yang dipilih dan dilaksanakan selama 60 tahun Indonesia Merdeka. Masih adakah niat untuk memperbaiki ketidakadilan yang telah berlangsung selama ini? Masih adakah keinginan untuk mempertahankan identitas dan kultur didalam sistem pengelolaan masyarakat dan sumberdaya alam (negara)? *** FOKUS Ngaasan-EDISI III-SEPTEMBER 2005 Tai minya (etno) nasionalisme Minahasa Oleh Martin Korengkeng K ami memang berbeda. Berbeda, relatif terhadap bangsa-bangsa lain yang bersepakat bersatu dalam abstraksi Indonesia. Kami punya syarat-syarat keras dan lunak untuk disebut bangsa, nasion. Perhatikan tanah dan masyarakat kami. Lihat kepercayaan kami. Kalian niscaya mendapati perbedaan itu. Ada masa, putraputra kami bahkan menjadi tentara terbaik carteran maskapai kolonial. Ada waktu, sekolah dan siswa kami belasan kali lebih banyak dari Batavia – meski penduduk kami hanya seperlima kota yang kelak jadi ibukota negara itu. Pandang pula cara kami berpakaian, cara kami bertutur, cara kami makan, tindak-tanduk kami… Saya mesti berhenti dengan daftar fakta-fakta terpilih ini. Melanjutkannya mestilah membuat Anda semakin sulit membedakan saya dengan pria jahat berjenggot lucu yang mengagungkan keunggulan ras Aria itu, atau, pada kadar tertentu, dengan wakil presiden kita yang kadang “anticina” itu. Baiklah. Kekristenan yang dikenalkan kolonialisme membantu membentuk sukarela salah satu ke-esa-an kami. Kesatuan sebagai sebuah masyarakat terbayang, sebuah perceived community Andersonian. Pembaratan, yang juga dikenalkan kolonialisme, sempat menjadi inspirasi segelintir orang untuk mendorong tanah air kami menjadi Twaalf de Provincie, propinsi ke-12 Belanda. Pembaratan serupa pula yang menebalkan keputusan sebagian (besar) orang kami berpihak pada kekuasaan kolonial. Tahun 1829, saat perang Jawa menjelang kehabisan nafas, 800 orang kami direkrut untuk menghantam Diponegoro. Selanjutnya, ribuan putra-putra kami yang lain dijaring untuk memenangkan perang Aceh, membantu menancap kuku kolonial disana. Sepah-sepah pembaratan itu sebagian masih berbekas hingga kini: buku-buku penuntun wisata mengkategorikan restoran-restoran kami paling bersih; minggu pagi jalanjalan menuju gereja tak jauh beda dengan arena mode wewene-wewene Minahasa; kami biasa berekspresi; kami kosmopolit; elit kami gemar berpesta; kami mengomentari apa yang perlu diberi catatan; buta huruf di tanah kami paling rendah di republik ini; terma-terma semisal “binaut”, “maar”, atau “untersuk”, kami comot dari sumber asli tanpa banyak perubahan bunyi. Ada sisa-sisa bahwa kami bangsa para pendidik, para birokrat, para administrator, para klerkenproletariaat. Tapi pembaratan itu sempat pula menumbuhkan tunas yang lain, seperti lahan padi ditumbuhi ilalang yang tak dikehendaki. Pemberontakan yang digelorakan kaum republiken Minahasa dalam KRIS (Kebaktian Rakjat Indonesia Sulawesi) di kota-kota di Jawa melawan Belanda melemahkan tesis KNIL yang dilekatkan atas Tou Minahasa diatas. Munculnya gereja nasionalis KGPM (Karapatan Gereja Protestan Minahasa) menjadi antitesa dari GMIM (Gereja Masehi Injili Minahasa) yang dulu menjadi antek Belanda. Hal lainnya, sempatkan pergi ke Gramedia Manado, ambil waktu mencari buku kecil bersampul komik berjudul “Perang Tondano”. Buku itu bercerita pemberontakan heroik petani Minahasa melawan tipu-muslihat VOC, ekonomi baru (kolonial) berdaya saing tinggi dan kerja-paksa berorientasi ekspor. Meski tak semua isi buku itu benar, imajinasi didalamnya, saya kira, mestinya membuat dia layak menempati rak buku disamping koleksi Harry Potter atau buku-buku “teologi beras”. Sayang pembaratan itu, yang semestinya bergandengtangan dengan pencerahan, dengan hubunganhubungan masyarakat yang baru, rupanya saat ini tidak banyak menyisakan masyarakat Minahasa yang berani, yang berinisiatif, yang menghargai kerja, yang teguh dengan nilai-nilai liberal. Semoga saya tidak keliru, Orde Baru nyaris sepenuhnya meluluhlantakkan sisi, wajah, dan warisan baik pembaratan itu. Lalu nasionalisme macam mana yang hendak kita bicarakan dari potong-potong kenyataan diatas? Atau, karena berbicara bangsa Minahasa, etno-nasionalisme yang bagaimana?. Biasanya pertanyaan serupa ini sering diungkap gundah kala tidak ada putra Minahasa jadi menteri. Mungkin juga, pertanyaan itu muncul kembali penuh gereget ketika satu dua gereja dibakar atau saat harga cengkih jatuh. Hari-hari ini, barangkali ia terselip diantara lembaran-lembaran MoU – yang sangat “federalistik” itu – antara GAM dan Pemerintah RI. Tema nasionalisme dan Minahasa membawa saya ke pertarungan teoritik yang ramai, seramai sabung ayam yang pura-pura digerebek di daerah-daerah Minahasa agar cukongnya menaikkan setoran. Ada petarung-petarung hebat di medan teori itu, meski tak semua jurus ampuh pun memadai memenangkan penjelasan utuh atas tema ini. Analis Marxis, misalnya. Dalam hal nasionalisme, penyatu lapis sosial bernama “kelas” barangkali bukanlah penjelas tunggal untuk mengurai representasi kepentingan yang bisa tumpang tindih atas nasion. Pemberontakan petani bersenjata berbendera PERMESTA di gununggunung Minahasa, misalnya, adalah lebih sulit diredam, dan terus berlangsung bertahun-tahun, bahkan ketika Manado sudah jatuh, dan pemimpin (opportunis?) mereka FOKUS mengangkat bendera putih. Pada tingkatan tertentu, begitu analisa Henley, harga diri sebagai bagian dari bangsa, nasion, Minahasa menjelaskan militansi petani tersebut. Perhatikanlah: sampai sekarangpun, terkait dengan “Minahasa”, dapat dimengerti mengapa anak-cucu petani-petani tersebut sangat bangga dengan warisan sejarah tersebut. Meski kesadaran heroik itu tidak jarang sering dimanipulasi oleh brigadebrigadean, walak-walak (jadi-jadian) atau oleh elit-elitan, yang gemar makan untung serta merugikan collective interest petani Minahasa secara tak langsung. Walau begitu, baik para pendekar Weberian atau lulusan perguruan post-modern mestilah tak segera petantang-petenteng menggunakan jurus-jurus keutamaan partikularitas. Kekhususan suku misalnya. Salah satu cara mengujinya: Bagaimana menjelaskan intelektual sewaan (asal) Minahasa yang berselubung “ilmuwan” mampu berkomplot dengan birokrat dan koruptor (asal) Jawa untuk melogamberati laut Minahasa di Buyat? atau bersama-sama makelar (asal) Jawa membenarkan penentuan nilai air PDAM Manado sepenuhnya mengemis budi baik mekanisme pasar?. Dalam aliansi tidak suci ini, ada bentuk-bentuk lintas suku. Di lain waktu, diajukan tema nasionalisme lalu mencoba mengaitkannya dengan Minahasa, pikiran saya malah melayang pada Sangihe dan Talaud. Pada “imperialisme” Minahasa atas kawasan ini sejak Landstreek van Manado diteguhkan. Lalu, pada disain spasial bernama KAPET Manado-Bitung yang meneguhkan keterbelakangan relatif SaTal melulu sebagai pinggiran. Terus, pada teguhnya kebiasaan korupsi lebih dari 50 persen dana pengembangan SaTal (oleh birokrat Minahasa di Manado). Rupanya, eksploitasi tidak hanya mengambil bentuk pusat-daerah, jawa-luar jawa, kawasan barat-timur atau penggolongan-penggolongan membosankan itu. Berdiskusi nasionalisme Minahasa, penting memperhatikan aspek yang sering pura-pura dilupakan ini. Yang hampir pasti adalah bahwa Minahasa detik ini adalah Minahasa yang menyejarah. Satu bentuk entitas kompleks yang meruang dan mewaktu. Begitu pula kesadaran atas “nasion”nya, atas nasionalismenya. Ia antara lain menyaksikan – dan turut dibentuk – oleh perang antar walak memperebutkan kapling-kapling sumberdaya, eksploitasi dibawah kolonialisme, wacana etno-nasionalisme plintatplintut ala Sam Ratulangi, muslihat internasionalisme palsu elit-elit PKI, tipu daya petinggi angkatan darat berselubung pembangunan daerah PERMESTA, konsepsi kurang beres negara unitarian Suharto. Yang paling mutakhir, Minahasa mungkin cermin dari konstruk desentralisasi-pasar dan Otda neoliberal yang digadang Bank Dunia dan IMF. Musti banakal sadiki Bisa dipahami bila Tou Minahasa kecewa dengan kekinian kondisi Minahasa – ekonomi, politik, sosial-budaya. Kecewa Ngaasan-EDISI III-SEPTEMBER 2005 dengan pencapaian-pencapaian luar biasa yang kemudian hilang itu. Juga, yang tak kalah penting, kecewa sekaligus kesal dengan persatuan sukarela dan kesepakatan-kesepakatan berbangsa yang lalu sekarang dikhianati. Saya akan ambil satu dari sekian banyak sisi diskusi tentang kekecewaan itu. Kiranya jelas bagi siapapun, terkait Nasionalisme Minahasa, jawaban atas kekecewaan itu tidak pernah diberi gratis diatas nampan perak. Seperti hal lain dibawah kolong langit, ia membutuhkan kerja keras – hal mana mungkin makin langka di Minahasa. Juga, keteguhan usaha menemukan terus “persoalan utama” Minahasa termasuk siapa-siapa yang mampu bekerja dalam, dan setia untuk, pencarian jawaban itu. “Pada saat-saat ia menemukan bentuk, nasionalisme Minahasa diartikulasi oleh pelayan gereja dan negara”, demikian David Henley (1996) menulis salah satu pokok disertasinya, “tidaklah pernah [artikulasi tersebut] oleh sebuah gerakan massa atau instrumen penting dari mobilisasi politis”. Perihal Henley ini penting untuk setidaknya memberi terang mengapa, misalnya, saat melakukan paparan pada pertemuan INFID di Tomohon 2 tahun lalu, Bert Adrian Supit, tetua Ornop Sulut itu, berakhir kebingungan mengejar ekor mimpi federalismenya sendiri. Ia berguna pula untuk keperluan diskusi mengapa ketika democratic space dibuka sedikit, “otonomi” daerah menghasilkan pembelahanpembelahan, beranak pinak wilayah-wilayah politis secara tak karuan membonceng libido elit dan parasit baru (dengan fam-fam asli Minahasa). “Torang musti banakal sadiki kwa!”, usul seorang analis (asal) Minahasa di sela-sela rehat minum teh sebuah seminar tentang pelabuhan internasional Bitung. “Lia jo Aceh, biar nda war-war mo jadi pelabuhan internasional, mar Sabang bole dapa. Sementara Bitung apa…?”, lanjutnya dengan suara pelan, nyaris berbisik, khawatir terdengar. Saya menangkap maksud baik dia: Sudah waktunya Minahasa menaikkan daya tawarnya. Kaum muda, generasi baru Minahasa harus “merdeka”!. Secara ekonomi, politik, sosial, budaya, ekologi!. Sesegera pekik itu berakhir, realitas lantas menyuguhkan paket kerja keras untuk digumuli. Siapa yang berani menerima tawaran ini? Menggumuli pilihan bekerja keras? Benar. Siapapun yang akrab dengan dinamika politik Sulawesi Utara mungkin sepakat bahwa pergumulan itu terlampau berat untuk dipikul para alumnus GOLKAR atau mereka yang pernah magang atau terinspirasi tingkah dan laku oportunis aparatus politik ini. Ada yang sepakat bahwa FOKUS Ngaasan-EDISI III-SEPTEMBER 2005 tugas itu akan jauh lebih enteng andai diemban kaum muda Minahasa. Kaum muda Minahasa macam mana?. Generasi baru yang menikmati membaca dan menghargai ilmu. Mereka berpikir bebas. Satu tindak dan tuturnya. Tidak korup. Karena diri bukan untuk digadai, mereka teguh atas pilihan-pilihannya, atas kata-katanya, sebagaimana laki-laki Minahasa dulu bertarung. Bukan cuma gelisah dengan jamannya, anak-anak muda itu mau mengorganisir diri dan menyingsing lengan baju, bekerja keras. Mereka tidak hanya bekerja dibawah alternatif tersedia, tapi selalu melihat celah menciptakan alternatif baru. Pada penulis, seorang tamang yang kecewa pernah membuang beberapa penggal kalimat berikut: “…apa yang bisa diharap dari anak-anak muda [Minahasa] itu. Cuma ikoiko, iyo-iyo, seperti kumpulan ternak”. Siapapun yang marah dengan kalimat itu, tentu bukanlah ternak. Putus asa bukanlah absolut. Tapi marah juga belumlah cukup. Sidang pembaca Nga´asan yang terhormat, saya melihat tamang itu secara mendua. Pertama ia keliru. Atau, tidak sepenuhnya tepat. Dalam rentang 5 tahun pasca-Suharto, Minahasa menyaksikan kemunculan anak-anak mudanya yang bukan cuma memiliki kapasitas analitik yang baik, juga keberanian mengambil pilihan berbeda dibanding sebayanya – Sandra Rondonuwu di UKIT, atau Nadya Sumampow dan Freddy Wowor di UNSRAT, juga Andre di UNIMA, untuk menyebut beberapa wakil terbaiknya. Anak-anak muda ini tentu tidak sepenuhnya benar, tapi gairah yang mereka miliki mungkin mampu memindahkan gunung Klabat. Sayang, seiring waktu, generasi anak-anak muda itu hilang ditelan angin. Tapi, disini tetap satu hal bisa kita simpulkan: dari ketidakpedulian separah Minahasa ternyata mampu memunculkan orang-orang muda ini, bukan hanya siklus reproduksi orang-orang bebal. Sebagaimana juga kolonialisme telah melahirkan anak-anak tak dikehendaki itu – Sukarno, Sjahrir, Hatta, Tan Malaka atau Ratulangi sendiri. Kedua, pernyataan tamang itu bisa jadi benar. Diantara kerumunan mimpi menjadi PNS, hiruk-pikuk Nyong-Noni Sulut, atau kedangkalan fantasi telenovela dan Indonesian Idol, kerja menyisir pemuda-pemudi semacam mereka adalah serumit menelisik jarum di tumpukan jerami. Pada akhirnya, Minahasa tanah tercinta itu (meminjam ekspresi subversif Graafland) bisa berdaulat lalu jadi “besar” dan berdiri setara atau menjadi tak lebih dari sekadar titik di utara Celebes, tanpa peran apa-apa. Tai minya? Ini perihal memilih. Dan bekerja. *** Kolom Perpustakaan Minahasa, AZR Wenas Permesta (sebuah koreksi dan solusi) Oleh: Jootje Kawengian Memutar ulang atau menceriterakan ulang suatu peristiwa penting, itu sejarah.Tetapi menyusun ulang atau merekonstruksi ulang suatu peristiuwa sejarah, itu namanya meluruskan sejarah. Dua maret satu sembilan lima tujuh (2 Maret 1957), tidak dapat dipungkiri adalah suatu peristiwa sejarah di negara tercinta Indonesia ini. Karena pada hari itu, di Makasar, telah dibacakan satu teks proklamasi, yaitu, Proklamasi Perjuangan Semesta, Proklamasi Permesta. Yang menandatangani teks proklamasi itu berjumlah lima puluh satu ( 51 ) orang. Tokoh-tokoh penting, terkemuka di Wilayah Indonesia Bagian Timur. Sebuah konsepsi Perjuangan Semesta yang di dalamnya sangat sarat dengan muatan koreksi sekaligus solusi tentang penyelenggaraan dan penataan Negara ke depan baik yang menyangkut penataan pemerintahan, penataan ekonomi, penataan budaya, penataan sosial, penataan politik, penataan militer,dll, maupun tentang tingkah laku dan sikap politik para pemimpin bangsa,dalam rangka mempertahankan arah dan cita-cita perjuangan bangsa dan keutuhan Negara Republik Indonesia. Ketika segenap lapisan masyarakat di Minahasa mendengarkan Proklamasi Permesta itu, sambutan yang sangat luar biasa menggema dari semua kekuatan Minahasa. Boleh disimpulkan bahwa samua pejabat pemerintahan baik sipil maupun militer, wakil-wakil rakayat, termasuk di dalamnya FOKUS tokoh-tokoh adat, budaya dan agama, penerimaaan masyarakat Minahasa hanya dapat diungkapkan dengan kalimat ini, “deng rumpu so jadi Permesta, artinya samua sudah menjadi Permesta. Mari kita lihat reaksi ditingkat nasional. Pada Oktober 1958 Menteri Kehakiman, G.A. Maengkom mengundangkan UU No.8/1958 untuk berdirinya Dewan Perancang Pembangunan Nasional. Hasil rancangan Deppernas – Yang tegas menyatakan rujukannya pada….dst – ini bahkan dinamakan “ Pembangunan Semesta “—yang tidak ada beda maknanya dengan Permesta: Pembangunan menyeluruh secara terpadu. Pelaksanaan “Permesta Baru” ini ditandai upacara simbolis pengayunan cangkul pertama oleh Presiden Sukarno pada hari pertama tahun 1961 yang kemudian diresmikan sebagai “ Hari Pembangunan Semesta “. ( Apa Beda Permesta dan PRRI. Bert Supit, Jun NH Nainggolan, BE Matindas.hal 19 ) Dua tahun kemudian, tepatnya 2 Maret 1959, Perdana Menteri H. Juanda, di depan Rapat Pleno DPR, menyampaikan keterangan pemerintah mengenai Demokrasi Terpimpin dalam rangka kembali ke UUD 1945, khusus menjelaskan UUD 1945 pasal 33, bahwa pasal itulah yang harus senantiasa dipakai sebagai pedoman dalam Pembangunan Semesta. (Penerbitan khusus Kementerian Penerangan RI, Kembali ke Undangundang Dasar1945, hal 44). Layakkah atau wajarkah, permesta dalam catatan nasional disejarahkan sebagai pemberontak apalagi separatis? Coba kita simak sejenak beberapa kalimat dalam Piagam Permesta.Di dalam angka romawi tiga, (III). Cara-cara Perjuangan. Ayat 1. Pertama-tama dengan meyakinkan selur uh pemimpin dari lapisan masyarakat, bahwa kita tidak melepaskan diri dari Republik Indonesia,...dst. Selanjutnya di dalam angka romawi dua, (II). Tujuan Perjuangan ayat 2 titik 2.1, untuk kepentingan pembelaan dan praktisnya pembangunan, maka kepada 4 propinsi yang ada dalam wilayah Indonesia Bagian Timur harus segera di berikan otonomi seluas-luasnya. ( Piagam Perjuangan Permesta ) Apakah ini bukan konsep Perjuangan (baca: Pemberontakan ) di dalam kemerdekaan ? Ngaasan EDISI III-SEPTEMBER 2005 Atau Ketika KML Tobing menyusun catatancatatan dari Dolf Runturambi dibawah judul Permesta, Kandasnya Sebuah Cita-Cita, dan oleh Barbara S Harvey dengan buku berjudul : Permesta, Perjuangan Setengah Hati, lalu Bert Supit, Jun NH Nainggolan, BE Matindas dengan judul, Apa Beda Permesta dan PRRI mau menjelaskan kepada sesama anak bangsa, bahwa kedepan torang samua mau melihat Indonesia sebagai Negara besar, kuat dan maju dalam segala bidang. Sebagai sesama anak bangsa, pikiran sederhana yang timbul sekarang ini ialah, apa yang sudah dikonsepkan dan diperjuangkan oleh Permesta dengan segala macam konsekwensinya, apa yang sementara dilakukan oleh GAM dan Pemerintah Indonesia sekarang ini, ditambah dengan aspirasi Dewan Adat Papua akhir-akhir ini, akan terwujud, jikalau yang melakukan perjuangan ini juga adalah wakil rakyat yang sekarang ini sedang duduk di lembaga-lembaga DPR-RI, MPR, DPRD baik kota dan kabupaten. Dijauhkanlah dari rakyat, pikiran-pikiran yang mengatakan bahwa mereka yang sementara duduk sebagai pelayan-pelayan masyarakat di bidang pemerintahan, mereka yang duduk sebagai wakilwakil rakyat di Legislatif , tidak melayani atau tidak memperjuangkan aspirasi-aspirasi rakyat yang dilayani dan diwakilinya. Kepada rakyat Aceh dan Papua, juga kepada torang samua, tetaplah di dalam Negara Republik Indonesia. Galang persatuan dan kebanggan serta kecintaan terhadap Indonesi. Karena betapapun penghianatan terhadap cita-cita kemerdekaan yang telah dilakukan negara ini kepada rakyatnya, rakyat Indonesia masih berada dalam kerinduan yang sama untuk melihat masa depan bangsa ini yang lebih baik dan bermartabat. Bahkan, darah dan jiwa para pejuang bangsa ini telah menorehkan goresan abadi bahwa Indonesia harus bersatu melawan segala bentuk penjajahan, baik penjajahan secara teritorial, maupun secara sosial dan politik. Setelah 60 tahun Indonesia merdeka, maka saat inilah saat yang tepat bagi Indonesia yang matang, dewasa, berpengalaman untuk menempatkan hakhak rakyat di atas kepentingan kekuasaan yang menindas dan menghianati nilai-nilai kemanusiaan. Pakatuan wo pakalawiren.*** Ngaasan Edisi II-Agustus 2005 FOKUS Peranan Walak Dan Hukum Tua Mengembangkan Pendidikan Di Minahasa Oleh: Harry Kawilarang M asyarakat Minahasa mengenal pendidikan sejak pertengahan abad ke-16 sejak masuknya pengaruh Portugis dan Spanyol. Kedua negeri kolonial ini menyebarkan agama Roma-Katolik terutama di wilayah pantai juga melalui pengembangan pendidikan. Lagi pula penyebaran pendidikan sekolah memperoleh minat besar dikalangan penduduk setempat. Dalam laporan perjalanannya ditahun 1675, Pendeta Jacobus Montanus, melaporkan: “Pada waktu sekolah didirikan di Manado, terdapat 25 murid dari berbagai latar belakang. Para murid begitu cepat menguasai huruf aksara hingga dapat membaca dengan fasih dan mudah mengikuti berbagai mata-pelajaran yang menggunakan Bahasa Melayu, sebagai bahasa pengantar.” Proses pendidikan berkembang pesat hingga pada 1695 tanah Minahasa telah memiliki 6 sekolah dengan 7 tenaga pengajar dan 220 murid, tulis Montanus. Proses Diaspora Dilihat dari peta ethnografi, turunan Minahasa merupakan perpaduan hasil pembauran antara masyarakat kepulauan dengan masyarakat pendatang yang memiliki ikatan hubungan dengan masyarakat pegunungan Himalaya di daratan Asia yang melakukan diaspora dan menyebar keberbagai penjuru Asia hingga benua Amerika sejak ribuan tahun lalu. Hubungan relasi dikaitkan dengan perbendaharaan beberapa dialek bahasa dan berkulit langsat merupakan ciri khas keturunan Rumpun Melayu Tua. Rumpun ini berasal dari pegunungan Himalaya yang kemudian melakukan proses diaspora di jaman es menyebar keberbagai penjuru. Ada yang menuju kebagian Utara hingga kedaratan Cina hingga Mongolia. Yang lainnya menyelusuri sungai-sungai ke wilayah Selatan dan Tenggara-Asia hingga delta Mekong. Perjalanan berlanjut keberbagai gugusan nusantara, terutama di Kalimantan, Nias, Mentawai hingga Sulawesi Utara. Ciri khas mereka tidak membentuk suatu kelompok pemerintahan setempat (Non-State Peoples) dalam tatanan organisasi sosial. Faktor ini menempatkan mereka terkucil dari dunia luar, selain karena hidup dipegunungan, juga sibuk dengan perkebunan mereka. Tatanan Organisasi Pemerintahan Tatanan organisasi melulu dilakukan menurut garis kekeluargaan yang dipimpin oleh pemimpin marga sebagai kepala keluarga. Tatanan organisasi masyarakat mulai berkembang dengan tumbuhnya pemerintahan desa yang dihuni oleh beberapa kelompok individual memperbaiki kepentingan kampung hingga terwujud ikatan kohesif yang homogen. Sistem organisasi sosial menuju pemerintahan berkembang dengan dilakukannya lembaga struktural, yakni pemimpin sebagai figur disebut Walak, dan Hukum-Tua, yang berfungsi sebagai panglima keamanan desa dan pengelola administrasi pemerintahan. Posisi Walak diperoleh dari hasil pemilihan para kepala keluarga yang disahkan oleh Lembaga Penasehat Desa setempat yang berfungsi sebagai pengayom sosial-budaya. Lembaga ini umumnya terdiri dari para, para mantan walak, orang tua-tua yang dan orang-orang yang ditokohkan karena prestasi membina keluarga ataupun dalam memajukan kebajikan bagi kepentinganmasyarakat desa. Persyaratan menjadi Walak juga tidak mudah. Selain memiliki kekuatan sosial-ekonomi, juga memiliki penampilan intelektual, serta bersikap informal dalam sikap terhadap pergaulan hidup sehari-hari. Para walak tidak digaji selama masa jabatan. Fungsinya adalah sebagai koordinator dan bertanggung jawab sebagai stabilisator keamanan bagi kepentingan masyarakat desa. Karena sudah menjadi karakter bahwa sistim keamanan pemerintahan Non-Kerajaan”, dari ancaman luar, termasuk tetangganya sendiri bila merusak ketenteraman hidup. Untuk itu menetap dipegunungan dan membiarkan diri terkucil dari dunia luar. Peranan Mapalus Memajukan Pendidikan Namun isolasi mendatangkan keterbelakangan mulai disadari sepenuhnya oleh para walak. Bagi mereka yang walau memiliki status sosial tinggi, tetapi menjadari kekurangannya karena buta aksara dan tidak dapat berkomunikasi dengan dunia luar. Apalagi setelah tata-niaga ekonomi dunia mulai berkembang dan menjalar kepedalaman Minahasa di abad pertengahan. Sejak itupun para walak mulai memprakarsai pendidikan bagi para turunan masyarakat desa. Selain untuk berkomunikasi, juga mengenal keadaan perkembangan dunia yang berkembang dari masa kemasa. Pendidikan berkembang di Minahasa juga berkat peranan para Walak dan [1]Hukum Tua, mendirikan sekolah-sekolah di masing-masing kampung. Istilah Walak merupakan pemuka masyarakat yang memperoleh gelar Tonaas, yang ditokohkan terhadap seseorang yang berprestasi dilingkungan sebagai panutan. Sedangkan fungsi Hukum Tua adalah pimpinan pemerintahan desa yang terpilih oleh masyarakat setempat melalui pemilihan demokratis. Syarat pencalonan seorang Hukum Tua dinilai selain memiliki kekuatan sosial-ekonomi, juga dapat memantapkan konsep program kerja demi perbaikan kemajuan desa. Motivasi dari pengembangan kemajuan didasari pada aturan Mapalus, merupakan pandangan hidup mengandung nilai-nilai budaya etika terbentuknya ethos kerja atas dasar azas kebersamaan Minahasa. Panutan Mapalus merupakan salah satu aspek dikembangkannya dunia pendidikan di tanah Minahasa tidak didasari pada panutan figur seseorang ataupun sekelompok manusia dalam menjalankan berbagai kegiatan. Pengadaan Mapalus merupakan bagian dari kesepakatan para Walak menyatukan Minahasa dalam satu kesatuan yang terdapat melalui persekutuan Watu Pinabetengan (monumen di desa Pinabetengan, FOKUS Minahasa) dimasa silam. Penyatuan kesepakatan Mapalus terjadi, karena pada dasarnya masyarakat Minahasa terdiri atas sistem “clan” yang masing-masing membangun “Tara-Tara” (rumah panjang). Dari rumah timbul panutan pandangan hidup dan menjadi ciri khas masyarakat Melayu Tua. Karena dari lingkungan rumah yang mendidik Mapalus sebagai dasar terwujudnya sifat solidaritas masyarakat Minahasa menangkal dari ancaman penetrasi luar. Keampuhan Mapalus terjadi ketika persada Minahasa menjadi fazal ekonomi dari kesultanan Ternate. Namun kekuasaan Ternate tidak berhasil menyentuh hinterlands yang merupakan sentra-sentra budaya kekuatan masyarakat Minahasa dilindungi oleh keperkasaan para walak menghadapi penetrasi kekuatan luar. Spanyol juga hanya berada di pesisir pantai, tetapi tidak memasuki pedalaman. Itulah salah satu contoh dari panutan Mapalus mempertahankan identitas Minahasa. Motivasi Mapalus dikembangkan pada sektor pendidikan diperkenalkan para misionares Kristen dari Eropa dan dapat diterima para pemuka masyarakat Minahasa. Selain pengadaan sarana gereja juga dibangun sekolah-sekolah. Dunia pendidikan diwarnai dengan berkembangnya pemahaman Kristenisasi yang cepat menyebar pada masyarakat Minahasa. Setiap sekolah diwajibkan menyertakan alkitab sebagai bagian yang sangat integral dalam dunia pendidikan. Sebagai hasilnya, penyebaran Katholik dan Protestantisme berkembang pesat di mulai dari lingkungan masyarakat Minahasa. Wajib belajarpun dikenakkan bagi setiap anak yang berusia antara 6 - 14 tahun tanpa kecuali. Tidak ada alasan orang-tua tidak menyekolahkan anak mereka karena alasan beaya. Sebab semua beaya pendidikan ditanggung langsung oleh para walak dan hukum-tua. Lagi pula pendidikan pada masa itu bukan merupakan sesuatu yang mewah, hingga memungkinkan para orangtua menyekolahkan anak mereka, hingga dimasa datang Minahasa memiliki buta-aksara paling minim di Indonesia. Para pimpinan desa melakukan inisiatif untuk mengembangkan pendidikan dan sering pula meng”impor” tenaga pengajar dari Batavia. Para pengajar juga terangsang, sebab jaminan hidup seharihari diperhatikan langsung oleh para Hukum-Tua. Untuk menarik minat, umumnya para guru memperoleh tunjangan sosial diatur oleh pemuka masyarakat setempat. Antara lainnya memperoleh satu hingga dua gantang beras dan upah gaji berkisar antara 8 - 10 Gulden setiap bulannya. Sejak itupun posisi dunia pendidikan berkembang pesat di Minahasa. Begitu besarnya hingga Minahasa dikenal sebagai yang paling maju dalam pertumbuhan pendidikan. Pada kurun waktu 1846 - 1849, jumlah murid di Minahasa mencapai limaribu-enam murid. Sedangkan jumlah murid di tanah Jawa berjumlah [1]limabelasribu-limaratus-tigapuluhlima pelajar., Itupun banyak diantara mereka adalah anak-anak para ambtenaar ataupun tentara turunan Minahasa yang berada di tanah Jawa. Di Yogyakarta, misalnya terdapat 50 murid turunan Minahasa yang memasuki sekolah Eropa ketika dilakukan sensus pelajar pada 1876. Keranjingan membaca, menulis dan ilmu mathematika berkembang pesat terutama pada abad ke-19. Walau ajaran alkitab tidak masuk kurikulum, namun menjadi mata-pelajaran terutama pada sekolah-sekolah Kristen yang beayanya ditopang sepenuhnya oleh Hukum-Tua dan para jemaat pada Ngaasan-EDISI III-SEPTEMBER 2005 1848. Begitu besarnya animo belajar hingga Minahasa kekurangan guru. Kota Tomohon, merupakan sentral dunia pendidikan di Minahasa kewalahan karena tenaga pengajar terbatas melayani sekitar 500 murid. Pihak misi Kristen tidak mampu menambah tenaga guru karena jumlah terbatas. Untuk mengatasi, dikembangkan sarana sekolah pendidikan guru oleh para pemuka desa agar tidak bergantung pada tenaga-pengajar “impor” yang biasanya disediakan Misi Kristen dari Batavia. Bermula dengan sekolah pendidikan guru di desa Sonder, pada 1852, berlanjut di [1]Tanawangko, pada 1855, yang kemudian ditambah di [1]Tondano, pada 1873. Hasil “Swadaya Tenaga Pengajar” masyarakat setempat dapat diatasi berkat peranan para hukum-tua dibantu Jemaat Gereja ketika pada 1868 mendirikan sekolah pada masingmasing kampung dan menampung hasil pendidikan guru. Sebagai hasilnya aturanpun diberlakukan untuk membatasi jumlah murid disetiap kelas. Misalnya, jumlah 100 murid dilayani dua tenaga pengajar. Peningkatan mutu pendidikan dikembangkan dengan didirikannya [1]Sekolah Raja, di Tondano pada 6 Desember 1863. Peranana Surat Kabar Cahaya Siang Pertumbuhan intelektualisme Minahasa juga berkembang pesat dengan hadirnya penerbitan surat kabar Cahaya Siang, di Tanawangko, pada 1868 yang diprakarsai oleh beberapa misionares gereja asal Jerman. Media ini merupakan media cetak jurnalistik berbahasa Indonesia pertama turut memperkaya khazanah berwawasan luas ditanah Minahasa. Cahaya Siang turut membantu menjalankan kampanye buta aksara pada penduduk setempat. Selain itu turut meningkatkan pengetahuan mengenai perkembangan dunia yang diperoleh melalui pemberitaan komunikasi laporan gereja-gereja. Pertumbuhan intelektual juga berkat peranan lingkungan keluarga di rumah yang turut membesarkan. Pengetahuan ethika berharmonisasi dikembangkan hasil rintisan Walanda Maramis, yang mengilhami pertumbuhan pada generasi melalui peranan orang-tua turut mewarnai pembawaan sikap. Dari rumah pula timbul “demokrasi meja makan” antara orang-tua dan anak hingga terwujud “intellectual exercises” dengan bahan-bahan obrolan yang diperoleh dari hasil pendidikan formal yang didasari pada nilai kristiani ditunjang dari rumah. Ditambah dengan bahan-bahan informasi mengenai perkembangan dunia melalui media-cetak Cahaya Siang, Buletin gereja yang didirikan pada 1868 di Tanawangko oleh kalangan misionaris Jerman pada setiap terbitan disebarkan keberbagai pelosok desa Minahasa, dan turut berperan mengembangkan budaya membaca dan masyarakat mulai mengenal media jurnalistik modern. Penyebaran Guru-Guru Minahasa Ke berbagai Pelosok Nusantara Perkembangan dunia pendidikan guru turut menumbuhkan pendidikan keberbagai pelosok nusantara hingga Minahasa dikenal sebagai produsen pendidik dan sempat berkembang dengan ekspor komoditi guru dan menyebar di berbagai pelosok nusantara dari Aceh hingga Irian, dan dikenal sebagai perintis kemajuan dibidang pendidikan sejak pertengahan abad ke-19. Sarana pendidikan di Minahasa hanya terbatas hingga tingkat sekolah guru saja FOKUS dan tidak memiliki sarana pendidikan perguruan tinggi. Umumnya pendidikan hanya mencapai hingga tingkat MULO (setingkat SMP). Yang terakhir inipun baru terjadi ketika “Politik_Ethis”, diterapkan di awal abad ke-20 dengan pengembangan proses desentralisasi. Semula daerah-daerah luar Jawa terkebelakang, karena pemerintahan Hindia-Belanda meprioritaskan pengembangan di Jawa kemudian Sumatera. Kebijakan ethis untuk pendidikan dikembangkan hingga tingkat perguruan tinggi yang pembangunannya diprioritaskan di Batavia dan Bandung. Di Batavia di dirikan pendidikan kedokteran, hukum dan ekonomi. Di Bandung didirikan perguruan Tinggi Teknologi, karena kota ini dibangun sebagai Pusat Pertahanan Militer. Bandung yang di masa kemudian menjadi ibukota provinsi Jawa-Barat meraih gelar “Kota Mahasiswa” juga mengalami pembentukan sebagai kota kosmopolitan. Sedangkan pengembangan sarana pendidikan umumnya diprakarsai para pemuka masyarakat bersama berbagai misi gereja Kristen Protestan dan Katolik. Walau Minahasa hanya memiliki sarana pendidikan guru, tetapi menjadi daya tarik bagi para pelajar, terutama dari Indonesia-Timur. Perguruan tinggi di Tanawangko dan seminari di Pineleng pernah dikenal para pelajar dari Maluku, Irian, Timor dan Flores mengembangkan ilmu. Namun terbatasnya tingkat perguruan tinggi di daerah menjadi penyebab timbulnya minat merantau selain untuk memperdalam ilmu, juga menambah pengalaman pada masyarakat daerah berbagai kepulauan, termasuk turunan Minahasa berada dikota-kota besar di tanah Jawa. Dimasa lalu yang menjadi profesi idamana turunan Minahasa antara lain sebagai Pengabar Injil, Guru, Militer dan pegawai administrasi serta pelaut. Tetapi desentralisasi sektor pendidikan di Indonesia tidak berkembang akibat politik depresi pemerintahan kolonial dan depresi ekonomi yang mempengaruh konstelasi internasional hingga dunia dilanda dua pepera-ngan pada abad ke-20 (Ikuti pemaparan pada lembaran-lembaran berikut). Sungguhpun dengan keterbatasan sarana pendidikan formal, namun dasar dari pendidikan kristiani yang diperoleh dari rumah telah membentuk turunan Minahasa bersifat terbuka. Sifat ini turut mewarnai perjalanan hidupnya hingga mudah berintegrasi serta beradaptasi dengan lingkungan masyarakat diperantauan yang dapat menerima karena keterbukaannya menyebarkan ilmu yang diperolehnya. Kesemua dasar dari perkembangan pendidikan itu diperoleh berkat peranan para Hukum-Tua. Faktor inipun tidak terlepas dari motivasi Mapalus sebagai ethos kerja yang menjiwai para intelektual Minahasa turut menyebarkan ilmu yang diperolehnya pada siapapun. Pembawaan nilai kristiani dari hasil pendidikan rumah dibawanya serta hingga mudah berintegrasi dengan masyarakat dirantauan. Sifat keterbukaan yang dijiwai pada pendekatan integritas dengan menyumbangkan pemikiran dan semua kemampuan yang terbaik menjadi latar-belakang hingga masyarakat turunan Minahasa mudah bergaul dengan lingkungan masyarakat dimana ia berada. Sikap integritas di iringi rasa solidaritas dengan lingkungan yang diperoleh dari didikan rumah dan menjadi pembawaan hidup dalam melakukan berbagai kegiatan bagi kepentingan bersama. Sifat Ngaasan-EDISI III-SEPTEMBER 2005 Pembawaan itulah yang merupakan kekuatan bagi idealisme turunan Minahasa turut berpartisipasi memperjuangkan tuntutan kebebasan hak-hak azasi bersama masyarakat diperantauan. Sifat keterbukaan dengan memberi segala pengetahuan yang terbaik yang dimilikinya hingga masyarakat turunan Minahasa turut mewarnai pertumbuhan pemikiran sekularisme kepada masyarakat setempat mengembangkan pemahaman masyarakat pluralistik. Dari pembawaan rumah yang didasari pada panutan Mapalus tidak mengenal pembagian kelas sosial masyarakat yang pernah dialami turunan masyarakat lainnya terutama pada masa pemerintahan Kolonial yang melakukan pengkotakan ethnik. Praktek pengkotakan misalnya terjadi di Batavia dengan hadirnya berbagai lokasi kampung ethnis yang saling terpisah yang juga diterapkan baik dilingkungan masyarakat desa maupun dikota besar. Sedangkan sistem pengkotakan ditanah Minahasa sama sekali tidak berkembang. Karena didukung pada pembawaan masyarakat Minahasa yang menjadikan panutan Mapalus sebagai falsafah hidup. Itulah sebabnya hingga turunan masyarakat Non-Kawanua yang berada di tanah Minahasa mudah berbaur karena sikap keterbukaan masyarakat Minahasa. Contohnya saja ketika Kampung Jawa dibangun terhadap masyarakat Jawa di Tondano. Mereka ini umumnya terdiri dari turunan Pangeran Diponegoro dan para pemuka Perang Jawa (1825-1830) yang ingin “dikucilkan” oleh Belanda. Begitu pula turunan Imam Bonjol dan para pemuka Perang Padri (1820 - 1830) yang di “kucilkan” di daerah Pineleng. Nyatanya walau berbeda latar-belakang budaya dan agama, tetapi menghidupkan suasana harmoni hidup berdampingan hingga dengan mudah terjalin proses pembauran dengan masyarakat Minahasa menerima mereka dengan keterbukaan tanpa harus melakukan pengkotakan. Pendidikan Kristiani di Minahasa tidak terlepas dari usaha membendung penetrasi yang dilakukan Spanyol yang berada di Filipina oleh Belanda. Namun dengan menyerap dan mendalami pengetahuan westernisasi ternyata juga dijadikan sebagai senjata menghadapi kolonialisme Belanda pula. Dilain pihak merupakan keuntungan bagi masyarakat Minahasa memperoleh pengetahuan sebagai bekal kearah pemikiran modernisasi. Penyebaran ini didasari pada pandangan “memanusiakan manusia” atau dengan istilah Si Tou Ti mou Tou, yang dimashurkan GSSJ Ratulangie. Pandangan inilah hingga masyarakat tenaga pengajar asal Minahasa menjadi konsisten mendidik diberbagai pelosok nusantara. Hasil penyebaran pendidikan turut membekali penduduk gugusan nusantara dijauhi dari keterkucilan dunia luar, dan mengikuti berbagai peristiwa dunia. Dengan demikian memperluas pengetahuan dan wawasan terhadap berbagai kejadian internasional. Untuk itu melakukan kesiapan berantisipasi agar tidak menjadi korban dari ketidak tahuan hingga menjadi mangsa dari panggung politik dunia. Proses kebangkitan nasionalisme awal abad ke-20 juga terjadi setelah terjadi perubahan wajah dunia. Itupun diperoleh setelah berhasil memantau keadaan dunia internasional yang disaring melalui pandangan analisa sesuai kemampuan intelektual. Itulah salah satu peranan yang dilakukan turunan masyarakat Minahasa berpartisipasi aktiftif mengembangkan pendidikan intelektualisme hingga terbentuk kesatuan masyarakat pluralistik Indonesia dari Sabang hingga Merauke. Perkembangan dunia pendidikan turut mewarnai pertumbuhan trend budaya-nasionalisme sekuler dikalangan penduduk gugusan nusantara sejak awal abad ke-20.*** LASTe Ngaasan-EDISI III-SEPTEMBER 2005 Harga Mati dan TVRI Tempo Doeloe Oleh Veldy Umbas D i satu diskusi kebangsaan, seorang pembicara berteriak lantang, gegap gempita sangat dengan emosional, “Tidak ada warna lain. Yang ada adalah putih atau hitam.” Kemudian secara sederhana, pembicara tersebut menghubung-hubungkannya dengan makna integrasi atau disintegrasi. Simbol-simbol seperti itu mengingatkan kita pada jaman revolusi kemerdekaan, seperti pekik kemerdekaan. Merdeka atau mati. Sebuah slogan atau di masa demokrasi modern sekarang sering di sebut yel-yel untuk menyemangati sebuah kegiatan atau pertandingan. Semuanya merujuk pada sebuah proses penguatan ide tunggal dan tanpa dialog yang terbuka. Harga mati! Begitu argumentasi mereka. Artinya, sesuatu “ide” gagasan yang final, absolut, mutlak, paripurna, final, yang tidak dapat lagi didiskusikan. Mendiskusikannya berarti mati! Barangkali seperti itu batasan harga yang dipatok. Kemutlakan ide memang bukan barang baru. Sejak pertentangan para pencinta kebijaksanaan tentang dunia ide, sudah mempertentangkan kebenaran dan hakikat kebenaran itu. Sehingga tersebutlah beberapa pemikir seperti Descartes, Spinoza, Plato yang mengemukakan gagasan rasionalisme akal untuk menemukan kebenaran itu. Epsitemologis seperti ini disebut rasionalisme. Sementara Francis Bacon. Berkeley, Locke dan Hume sangat menekankan pada epistemologis empirisisme yang mana pengalaman melahirkan gagasan yang menuju pada kebenaran. Meski berbeda pendekatan namun spiritnya sama, yakni menempatkan ilmu pengetahuan (epistem) sebagai spirit analitikalnya. Bukan pada emosional yang cenderung irasional. Biasanya mereka menjadi deterministik, sentralistik, hegemonik , bahkan ekspansionis. Walaupun ini tetap saja mendapat tempat yang nyaman untuk bertumbuh. Lihat bagaimana nasionalisme gaya Hitler (kemutlakan Nasionalisme-Sosialisme yang sering disebut ultra nasonalisme), berhasil mendapatkan pengikut walau harus mengorbankan hampir 60 juta korban jiwa. Atas nama integrasi Jerman, nasionalisme, dan keunggulan ras Arian, Nazi telah mengakibatkan darah menjadi sangat halal dan mengaliri hampir semua sungai-sungai di Eropa. Pol Pot di Kamboja dengan korban hampir 2 juta jiwa. Di Indonesia sendiri, kisah tragis tak kalah sadis juga terjadi selama 60 tahun Indonesia merdeka. Terhitung sekitar lebih dari 4 juta jiwa melayang hanya karena perbedaan ideologi. Beberapa diantaranya terjadi pada peristiwa pembataian PKI diperkirakan mencapai 2 juta lebih jiwa , Papua 2000 jiwa, DOM Aceh 30 ribu jiwa, kasus Tanjung Priuk, Warsidi Lampung, Waduk Nipa, 27 Juli, pemerkosaan massal Mei, kasus tanah Haur Koneng, Petrus (penembakan misterius), dari Hok Gie sampai Munir, sungguh sebuah tragedi yang memiluhkan. Beruntung konstitusi kita, memiliki spirit humanisme yang jelas-jelas menentang kebiadaban, pelecehan hakhak asasi manusia, bahkan menjamin kemerdekaan penduduknya untuk mengeluarkan pendapat secara lisan maupun tulisan. Artinya, epistemologi di republik ini justru dijamin oleh undang-undang. Epistemologis memang menjadi alat pencarian kebenaran yang terus-menerus bergerak, yang oleh Hegel mengidentikan dengan proses dialektika. Bahwa ide atau gagasan akan selalu mengalami anti tesis, bersintesis lalu menjadi tesis baru yang akan diantitesis lagi. Seperti itu ide akan terus bergerak menuju pada realitas kebenaran yang sesungguhnya. Agak berbeda dengan dogma atau doktrin yang telah mencapai sintesis klimaksnya dan dogma itu menolak untuk mengalami pengujian apapun. Dogma biasanya menjadi subur di ladang agama dan kepercayaan. Dia jarang dan hampir tidak pernah mengalami revisi. Karena apapun kelemahan dari kebenaran dogmatis itu tetap akan diterima dengan harga mati. Dan ini sangat emosional serta menisbihkan alat-alat rasional, akademik, serta logika. Sehingga yang kita butuhkan sebenarnya adalah dialog, bukan konfrontasi, apalagi anarkisme. Lalu apa relevansinya antara Harga Mati dan TVRI tempoe doeloe yang menjadi judul tulisan ini? Relevansinya sangat jelas. Silogismenya adalah, TVRI tempo doeloe warnanya hanya hitam putih, di jaman NKRI sangat rentang untuk disentuh, didiskusikan, apalagi direvisi. Di jaman, semua TV kini full color, barangkali dialog NKRI tidak relevan lagi menggunakan cara pandang hitam putih dengan harga mati. Jelas keindahan akan jauh lebih nampak dari sekedar dua warna itu. Perbedaan adalah warna itu sendiri. Semakin kaya perbedaan, semakin kaya warna, semakinlah mosaik Indonesia menjadi lebih indah. Dan Indonesia pun menjadi taman sari yang sangat mengaggumkan, seperti kata bung Karno. Karena itu, mari kita mengaggumi warna Indonesia yang plural, apapun warna anda. *** Ngaasan-EDISI III-SEPTEMBER 2005 LASTe Cak Nur Dan Revolusi Pemikiran Kita Oleh Dr. Bert A. Supit Turut berbelasungkawa atas kepergian Cak Nur… Duka yang mendalam atas kepergian Cak Nur adalah renungan komplentatif yang harus menjadi koreksi besar terhadap bangsa ini. Adalah duka atas kebebalan bangsa ini yang tidak mau belajar dan malah betah berlama-lama dalam keterpurukan yang menyesakkan. Yang tersisa dari Cak Nur adalah gagasan-gagasan segar yang diusulkan sebagai alternatif solusi bangsa yang tidak kunjung pulih dari sekarat sosial berbangsa dan bernegara. Ia tentu bukan tanpa koreksi, dan memang ide Cak Nur bukan paripurna. Pluralisme Cak Nur bukanlah pulau gading di tengah lautan ide yang diskursif. Kawan-kawan lain malah mengejek pluralisme Cak Nur adalah pluralisme borjuis. Apapun kritikan itu, ia telah ‘mengada’ seiring dengan waktu yang melesat seperti panah yang keluar dari busur eksistensialis jaman. Waktu memang sangat pemaaf dan memberi ruang besar dan luas untuk koreksi mana kala ia mengevolusi gagasan yang mengada (being). Namun tak jarang waktu menjadi beringas dan destruktif mana kala ide gagasan mandeg, statis dan status quo. Memang diperlukan energi yang sangat besar dalam waktu yang tepat untuk meledakan gagasan yang besar demi kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Bung Karno cs dulu berhasil melakukan revolusi baik fisik maupun paradigma untuk segera dan cepat keluar dari kukungan penderitaan setelah lebih 3 abad evolusi penjajahan nusantara. Betapa sebuah era yang penuh nostalgia itu telah melahirkan the founding fathers revolusioner yang gigih memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Namun jaman harus berganti. Revolusi kemerdekaan, orde lama tumbang oleh orde baru. Cita-cita kemerdekaan diwarisi generasi orde baru yang berbau kepentingan pragmatis. Dan sekali lagi waktu menjadi sangat pelan berevolusi selam 32 tahun titik stationer kemandegan politik. Nalar Hegel hampir saja tidak runut dalam konsepsi dialektis, karena 32 tahun terlalu lama untuk sebuah tesa. Rezim Orde Baru telah menjadi tesis baru yang solid dan tak tergoyahkan, sampai akhirnya, anti tesis Reformasi meruntuhkan orde pembangunan dengan propaganda kestabilan politik dibantu dwi fungsi ABRI. Juga tak butuh waktu lama, reformasi 1998 menghilang begitu saja, untuk tiba-tiba memberikan kesempatan ular berganti kulit dan para pelaku orde baru itu kembali ke panggung politik dalam bentuk yang baru. Reformasi 1998 dinilai sejumlah kalangan gagal. Gus Dur, Cak Nur, Sri Bintang Pamungkas, Amin Rais, sampai pada Budiman Sujadmiko yang telah mengusung reformasi nasional, serta kami di Sulawesi Utara, menjadi saksi bahwa reformasi lapuk dalam evolusi sosial Indonesia 60 tahun. Bagi saya, reformasi Indonesia kandas lantaran tidak diikuti oleh “revolusi pemikrian,” sehingga semua menjadi tidak siap, mungkin benar, buah revolusi akan jatuh hanya ketika ia sendiri sudah matang dan siap. Apalagi di jaman sekarang, varian politik tidak lagi tunggal, seperti jaman kemerdekaan dahulu, kini hampir semua orang terjerembab ke dalam vested interest dialektika sistem-sistem besar di dunia ini.Yakni, kepentingan ekonomi global, kepentingan kekuasaan nasional (sentralisme kekuasaan), dan kepentingan eksistensi agama. Sejak masa kolonialisme dengan model sistem merkantilisme, negara-negara barat mengakupasi negara-negara lemah Asia dan Afrika demi kepentingan; agama, emas, dan kejayaan (gospel, gold, glory). Era sosialisme maupun komunisme yang mengusung ide revolusi tidak cukup kuat menahan hantaman kepentingan modal besar swasta akhirnya seolah-olah membenarkan teorema Francis Fukuyama (The End Of History And The Last Men) bahwa Kapitalisme modern dengan neoliberalisme telah berhasil memenangkan pertarungan, juga demi kepentigan penguasaan modal yang tak ubahnya jaman kolonialisme. Artinya, bahwa individualisme, materialisme, hedonisme telah menang atas kolektivisme, idealisme dan naturalisme. Berturut-turut, sense of crisis menghilang dan semua orang akan terjebak dalam pragmatisme vested interest, baik dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi. Mungkin saja Adam Smith benar soal dampak positif dari individualisme. Mungkin juga salah. Namun dalam keadaan seperti ini saya merasa sangat lonely. Kawan-kawan perjuangan saya yang revolusioner sejak kami menggemakan dewan reformasi di Sulawesi Utara perlahan surut oleh vested pragmatism itu. Di nasional, berguguran mengikuti evolusi alam, seperti Romo Mangun, Munir, Agus Wirahadikusuma, Baharudin Lopa, bahkan Cak Nur yang meninggal karena sakit. Sehingga simpulan saya, refolusi hanyalah letupan-letupan kecil hasrat yang mendesak dalam evolusi kehidupan. Waktu tetap memberi ruang yang luas dan sama untuk membiarkan gagasan itu menjadi lapuk dan hilang. Atau ia akan terus menyejarah merangsek hadir dan membuktikan komitmennya terhadap kemanusian, keadilan dan kebenaran. Yang terakhir ini haruslah menjadi basis ideologi kita untuk terus menerus digemakan, dikumandakan hingga menjadi letupan besar gagasan sebagai revolusi pemikiran dengan menggunakan hati nurani yang jernih untuk melawan ketidakadilan, penindasan, dan penistaan tanpa kenal lelah dan kenal waktu. Manusia boleh gugur, tapi gagasan akan terus tinggal abadi bersama waktu. ***