NGA`ASAN

advertisement
NGA’ASAN
Newsletter: Media Belajar, Berpikir, dan Berpihak
EDISI III-SEPTEMBER 2005
Dari Redaksi
Nga’asan dalam konsepsi Tou
Minahasa memiliki makna aktif
sebagai spirit intelektualitas. Nga’as
ini sendiri secara harafiah berarti
otak. Sehing ga, ngaasan dapat
dimaknai sebagai proses sadar dari
optimalisasi
sumber-sumber
intelektualisme dalam kesadaran
yang dimiliki setiap orang.
Tabea.....!!!
Pergerakan dan perjuangan menuju
Indonesia Merdeka diwarnai perdebatan
bentuk negara oleh para founding father
Indonesia, bukan tanpa pilihan lain walau
sampai hari ini NKRI eksis dan
menggerogoti segenap hak dasar rakyat,
tigabelas tahun sebelum proklamasi Moh
Hatta memperingatkan “ jangan sampai
bentuk negara Indonesia menjadi
PERSATEAN Indonesia ”. Namun apa
yang terjadi, Orde Lama dan Orde Baru
menjadi momok sejarah entah, saksi-saksi
dibungkam untuk pembenaran rezim.
Orde Lama dan Orde Baru samasama ganas menggilas pluralis bangsa.
Bangsa Indonesia membutuhkan
strateg y kongkrit untuk kembali
menyatukan langkah anak-anak bangsa
yang nyaris dan bahkan terceraiberai oleh
skenario devide et impere gaya baru.
Secara spesific bagi Tou Minahasa,
Nga’as ne tua rior wo tarekan selayaknya
memerdekakan hak-hak dasar se kasuat
tou untuk mentransformasi perubahan
menuju Persatuan Indonesia yang real
merdeka.
Pembaca YangBudiman...
DemikeberlangsunganpenerbitanNga’asan,
dengan hati terbuka kami menerima
sumbangan sukarela dari anda yang merasa
peduli dengan keberadaan media ini di :
NoRek. 1703817240BCAKCP Tomohon
Media Tou Minahasa: Belajar, Berpikir, dan Berpihak
UTAMA
Federalisme Bukan
Disintegrasi
FOKUS
Tai Minya (Etno)
Nasionalisme Minahasa
LASTe
Cak Nur
Dan Revolusi Pemikiran
UTAMA
Ngaasan- EDISI III-SEPTEMBER 2005
Mencermati MOU Indonesia dan GAM
A
da yang tidak runut ketika kesepakatan perjanjian
damai antara Gerakan Aceh Merdeka dengan
pihak pemerintah Indonesia atau disingkat MOU.
Yakni, butir-butir kesepakatan MOU setelah diekspose
mengejutkan banyak pihak. Diantaranya ketua DPR Agung
Laksono yang mengaku tidak tahu menahu dengan hasil
kesepakatan yang jelas-jelas sudah mengarah pada sistem
Federalisme untuk Aceh.
Menyadari bahwa pihak Indonesia sudah kecolongan
memberikan privilege kepada pihak GAM, muncul
ketakutan yang cenderung paranoid membuat sejumlah
pihak panik bahwa hal yang sama juga akan diminta oleh
daerah-daerah lain di Indonesia yang juga tidak ingin hakhak daerahnya diinjak-injak.
Akibatnya, seluruh anak bangsa pun menjadi ramai
mengguncingkan prihal Aceh dengan segala akibatakibatnya, hitung-hitungannya dan konsekwensinya. Tentu
tidak fair kalau ada satu diantara kedua bela pihak yang
tidak mengindahkan kesepakatan damai tersebut. Karena
kesepakatan tersebut diambil dengan sadar. Sadar se sadarsadarnya bahwa nyawa manusia jauh lebih berharga dari
pada kepentingan-kepentingan politik yang tidak kunjung
habis-habisnya.
Lagi pula, Pembukaan UUD 45 kita, menyebutkan
dengan tegas tentang kemanusiaan yang harus dijunjung
tinggi sebagai dasar dari semangat kemerdekaan bangsa
Indonesia. Seperti juga pada sila kedua, kemanusiaan yang
adil dan beradab. Sangat tegas bangsa Indonesia mestinya
menempatkan manusia-manusianya sebagai subjek utama
dalam hakekat bernegara. Sistem bernegara hanyalah alat,
model, perangkat yang bertujuan untuk sepenuhnya
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Sehingga tidak ada jalan lain selain menempatkan harkat
dan derajad manusia di Aceh khususnya dan Indonesia
umumnya jauh di atas kepentingan GAM dan Indonesia.
Sehingga, dua kelompok yang bertikai bersedia
mengurangi porsi kepentingan pada masing-masing kubu.
GAM bersedia meletakan senjata dan berjanji untuk
setia pada Indonesia, di lain pihak Indonesia bersedia
memotong kue kewenangan monopoli dan centralistis
dengan memberikan kewenangan yang cukup besar
kepada Aceh untuk mengurusi dearahnya sendiri. Winwin solution ini menyebabkan, Indonsia tidak kehilangan
Aceh dan manusia-manusianya, baik sipil maupun
bersenjata, yang belakangan menjadi korban pertikaian.
Demikian juga dengan Aceh tidak kehilangan martabad
dan harga diri yang sejak 30 tahun mereka perjuangkan
dengan mengorbankan jiwa, raga, dan materi yang tidak
dapat dihitung dengan kalkulasi rasional.
Pada nilai equilibrium inilah kesepakatan damai itu
mendapat jalan yang lurus. Tidak peduli apakah MOU
telah menabrak sistem hukum, dan bahkan sistem negara,
MOU adalah hasil klimaks dari kesadaran kedua belah
pihak bahwa satu nyawa manusia jauh lebih berharga dari
pada doktrin integrasi yang sudah membunuh sekitar 30
ribu rakyat Aceh selama konflik berlangsung.
Ngaasan edisi ke tiga ini akan mengangkat hasil MOU
GAM dan pihak Indonesia sebagai topik utama dan
menjadi cermin bagi semangat berbangsa dan bernegara
rakyat Indonesia selama 60 tahun Indonesia merdeka.
Refleksi ilmiah ini harus dicermati secara intelektual dengan
dialog untuk mencari solusi yang elegan bagi bangsa
Indonesia. Bukan dengan konfrontasi yang anarkis apalagi
menisbihkan kemanusiaan yang adalah subjek utama dari
prinsip berbangsa dan bernegara itu sendiri. Bagian fokus,
Ngaasan tetap menampilkan gagasan-gagasan segar
tentang Minahasa kedepan. Sentuhan akhir oleh Dr. Bert
Supit menyoroti sikap kritis kita yang mulai redup.
Selamat Membaca...!
Nga’asan ini diterbitkan atas kerja sama: YSN, ICRES, MAM, PM, Perpustakaan Minahasa AZR Wenas.
Penanggungjawab: Dr. Bert Adriaan Supit. Penasehat: DR Jong Ohoitimur, Pdt. J.R. Pandeiroth, Pdt. J.L. Posumah, Bert Tua’ Supit, Drh.
L. Lantang, Prof Dr. AE Sinolungan SH, DR. Max Ruindungan, Dr. Rampen, Drs. E.P. Rumayar SH, Audy Wuisang,Msi, Beni
Matindas. Direktur: Octo Supit. Chief Editor: Veldy Umbas. Dewan Redaksi: Octo Supit, Jootje Kawengian, Matulandi Supit SH, Jull
Takaliuang, Sandra Rondonuwu STh SH, Irvan Basri, Sonny Mumbunan, Fredy Wowor. Koresponden: Kartini Joseph, (Jerman), Denny
Sondakh (USA), Nora Worang (Kanada), Froly Lelengboto (NewZeland), Sony Wuisan (Jakarta). Redaktur: Denny Pinontoan, Daniel
Kaligis. Staf Redaksi: Edwin, Jonly. Tata Letak: dactfay. Alamat Redaksi: Jl. Raya Kakaskasen III No. 412 Tomohon 95362- Sulut. Telp/
fax 0431 354739, 3300242. Email: [email protected], [email protected]. http://nggaasan.tripod.com. http://
icres.tripod.com. Rek.1703817240 BCA KCP. Tomohon.
UTAMA
Ngaasan- EDISI III-SEPTEMBER 2005
Federalisme =
/ Disintegrasi
(Tanggapan atas sesat pikir para pembela unitarian Indonesia)
B
ermula dari sebuah diskusi yang menggagas refleksi
kemerdekaan 60 tahun Indonesia merdeka serta
relevansinya dengan berbagai problem sosial di
Indonesia, di antaranya soal Papua dan Aceh—yang mana
Aceh telah menandatangani MOU dengan pemerintah
Indonesia di Helsinky tepat menjelang HUT Indonesia
ke 60, maka dialog Federalisme ini makin mengemuka,
menjadi isu hangat dan penting untuk dibicarakan.
Momentum ini menjadi refleksi segar untuk bangsa
Indonesia menelaah secara ilmiah, akademik dan analitik
terhadap sistem bernegara yang telah dijalani rakyatnya.
Telaah ini tidak salah dan tidak bisa disalahkan karena
Bung Karno sendiri dalam proklamasinya mengatakan,
“hal-hal pemindahan kekuasaan dan lain-lainnya,” akan
diatur selanjutnya. Dan memang setelah Indonesia merdeka
tahun 1945, bangsa ini mengalami sekian kali trial and erorr
sistem bernegara. Itupun, tidak ada yang final, karena
amanat undang-undang pun mengatur tentang perubahan
undang-undang sesuai dengan kondisi yang berlaku.
Secara koinsiden, Gerakan Aceh Merdeka yang baru
saja menandatangani MOU, oleh beberapa media
menyebut-nyebut model federalisme, bahkan, sesepuh
PDIP Sutarjo Suryoguritno dan juga Cahyo Kumolo
melihat MOU ini adalah bentuk federal yang sama
diterapkan di negara-negara maju lainnya (Kompas 15/
8) juga diperkuat oleh Suryana anggota fraksi PDIP
besoknya (Kompas 16/8). Pendapat lain juga datang dari
pengamat Ikrar Nusa Bakti yang jelas-jelas melihat bentuk
MOU ini adalah bentuk yang persis Federal, juga di
dukung oleh pendapat para tokoh bangsa lainnya seperti
Solahudin Wahid.
Apapun tanggapan kita, setuju atau menolak, model
federal tetap sudah terjadi di Aceh dalam kadar apapun,
meng gunakan atribut daerah, parpol lokal, dan
penggunaan suku bunga di luar BI, sudah merupakan
pengistimewaan yang luar dari biasa dalam sistem negara
kesatuan unitaris. Argumentasi apapun, di mana-mana,
bentuk negara kesatuan tidak ada pembedaan,
pengkhususan, pengisitimewaan yang sangat sangat
mencolok seperti yang di peroleh masyarakat Aceh.
Dan banyak pihak pun seperti halnya Indra J. Piliang,
pengamat CSIS (Kompas 22/8) menyebutnya sebagai
bentuk Federalisme atau bentuk yang bisa menjadi embrio
bagi negara Federal. Sama seperti yang pernah dulu
disebutkan oleh beberapa tokoh bangsa ini, baik itu
Amien Rais, Nazarudin Syamsudin, Adnan Buyung
Nasution, Y.B. Mangunwijaya, Anhar Gonggong, Arief
Budiman, Faizal Basri, dll. Di mana, ide yang sama juga
dilontarkan dulu oleh Muhamad Hatta, Sam Ratulangie
(Mempelopori dengan mendirikan Persatuan Minahasa),
Anak Agung Gde Agung, dll. Prinsipnya, karena mereka
melihat kemajemukan bangsa Indonesia yang terdiri dari
sekian banyak bangsa-bangsa, tidak bisa diatur dalam
model negara yang sentralistis atau kesatuan atau unitarian.
Pendapat ini juga pernah dilontarkan oleh Roger Paget,
dan para Indonesianis lainnya.
Namun, sayangnya, argumentasi intelektual, akademik,
dan analitik ini malah ditanggapi secara sembrono,
sarkastik dan represif oleh segelintir orang. Padahal yang
kita bersama butuhkan adalah membuka dialog yang luas
dan argumentatif untuk mencari sintesa keilmuan melalui
dialektika berpikir demi majunya bangsa Indonesia.
Artinya, kalau memang ide federalisme tidak disetujui,
dapat saja berargumentasi secara intelektuil, dengan model
akademik dan analitikal dengan mengacu pada prinsipprinsip kovenan hak-hak asasi manusia yang telah
disepakati oleh seluruh negara di muka bumi ini, seperti,
kemanusiaan, kemerdekaan, demokrasi, pluralisme,
soverenitas sebagai rana sosial manusia yang perlu
diselaraskan dalam kehidupan sosial berbangsa dan
bernegara.
Kata Federalisme itu berasal dari kata Fidere yang
berarti, Trust, atau kepercayaan, saling percaya, saling
memahami,
menghormati
perbedaan,
dan
mengedepankan manusia sebagai subjek dari semua
prosesnya. Singkatnya, Federalisme itu lalu menjadi model
sistem negara seperti yang diterapkan di Amerika Serikat,
Kanada, Australia, Brazilia, German, India, Malaysia,
Mexico, dan Switzerlan. Model yang lain adalah,
konfederasi adalah sistem yang tidak lazim yang seperti
digunakan oleh Inggris raya. Bentuk negara yang lain
adalah unitaris, seperti yang dianut oleh Indonesia,
Kamerun, Kenya, Uruguay, Maroko dan lain-lain. Bentuk
negara kesatuan seperti ini pun, biasanya tepat dan cocok
diberlakukan di suatu negara karena monokultur, seperti
Jepang dan Korea Selatan.
Model/sistem negara itu adalah satu dari tiga model
sistem besar yang lazim digunakan oleh negara-negara di
dunia. Dan itu adalah pilihan. Choices!!! Seperti anda
memilih makan rw, steak, sate atau tidak sama sekali, bukan
seperti hidup mati, yang tanpa pilihan. Dengan demikian,
bangsa Indonesia datang pada pilihan unitarian, yang di
kemudian hari disebut sebagai Negara Kesatuan.
Nah, karena itu adalah pilihan, maka tidak ada harga
mati untuk pilihan itu. Sama seperti slogan SHS, yang
mengagung-agungkan perubahan, maka pilihan tadi dapat
UTAMA
pula kita rubah, tergantung kebutuhan, dan itu dijamin
dalam undang-undang.
Itu adalah teknis. Pertanyaan mendasar sesungguhnya
adalah apa hakekat bernegara itu!!! Sederhananya kita
menjawab, hakekat bernegara adalah agar manusia di
dalam negara itu dilindungi, menjadi sejahtera, bebas
beragama, bebas berpendapat, merdeka dari segala bentuk
penjajahan, dan berkehidupan sosial (termasuk tata etika
dan sosial).
Apa jadinya kalau, negara ini tidak menjaminkan hal
itu. Yang terjadi adalah, pembantaian berdarah seperti
peristiwa pasca G/30S/PKI, 27 Juli, pemerkosaan massal
bulan Mei, pembunuhan massal (genocide) di mana-mana,
pembakaran gereja di mana-mana, busung lapar di mana,
pendidikan mahal, rumah sakit tak terjangkau, orang
miskin mencapai angka tertinggi di dunia, korupsi
merajalela, telah terjadi disintegrasi seperti Timor Timur
dan ancaman serupa datang dari Aceh, Maluku, Riau,
Kalimantan, dan Papua (di Minahasa hanya sebatas
wacana) dan para elit yang sudah buta hati tega
membiarkan hal ini (atau tidak dapat melihat) karena
mereka sedang menikmati enaknya berkuasa, maka
relevan dan tidak salah mengatakan bahwa negara ini gagal
bernegara dan memberikan perlindungan bagi rakyatnya.
Beberapa analisis yang mengatakan bahwa negara ini
gagal antara lain bahwa;
Pertama, Karakter rakyat Indonesia yang pluralis sulit
berinteraksi dalam negara yang sentralistis (negara
kesatuan). Kedua, secara geo politik, masyarakat Indonesia
kurang terakomodasi aspirasi politiknya dalam negara
yang sentralistis (negara kesatuan). Ketiga, secara budaya,
masyarakat Indonesia telah memiliki kedaulatan,
souverinitas jauh sebelum formalitas negara Indonesia di
terima secara aklamasi oleh seluruh bangsa-bangsa di
Indonesia, jelas mengalami diskriminasi dan bahkan
tereliminasi oleh kebijakan yang sentralistik dan
hegemonik oleh model pemerintahan yang sentralistis
(negara kesatuan).
Sehingga para cendekiawan, akademisi, pakar,
intelektual, Rohaniwan, rakyat, pemerhati dan pejuang hakhak asasi manusia, datang pada solusi yang menurut
mereka masuk akal dan cocok dengan karakter bangsa
Indonesia, yakni Negara Federal. Di mana dalam konsepsi
Negara Federal Indonesia, segala persoalan bangsa yang
selama ini menghambat majunya Indonesia dapat diatasi,
di antaranya karena; Pertama, Sistem Federal
mendistribusikan kekuasaan yang terpusat ke pada daerah
(state, province), dengan pola yang lebih menguntungkan
rakyat daerah. Dan negara akan lebih fokus berkonsentrasi
pada urusan keutuhan negara dengan mengelola Tentara,
berhubungan dengan negara sahabat. Sementara daerah/
Ngaasan- EDISI III-SEPTEMBER 2005
provinsi, diberi kewenangan luas untuk mengurusi dirinya
sendiri dengan kewenangan membuat undang-undang
dan kebijakan yang sesuai dengan karakteristik daerahnya
masing-masing. Dan ini sudah terjadi di Aceh.
Kedua, dengan sistem Federal, tantangan perubahan
jaman yang begitu cepat dapat diikuti dengan baik.
Globalisasi, Indutrialisasi dan Modernisasi sudah tidak
dapat dipisahkan dari dunia yang terus bergerak. Indonesia
adalah satu dari ratusan negara yang masuk dalam mesin
giling raksasa yang akan tergilas dalam model ekonomi
kapitalis seperti ini. Perdebatan panjang yang tiada henti
adalah bagaimana dua akses modal besar tidak mendistoris
kepentingan rakyat banyak, buruh, proletar, seluruh entitas
bangsa. Alternatif solusinya antara lain mengikuti irama
modal arus modal tersebut. Artinya, ekspansi modal
besar-besar negara-negara industri maju harus diimbangi
oleh kualitas dan kemampuan daya saing dalam pasar
bebas (mau tidak mau ini sudah terjadi).
Hal lainnya adalah karakteristik geo sosial dan ekonomi
tiap daerah sangat berbeda. Sehingga, potensi kompentitif
tiap daerah pun berbeda. Dalam konteks ini, perlakukan
pemerintah juga dapat dibedakan berdasarkan pontensi.
Negara sentralistis tidak akan memiliki cukup energi
menggerakan roda ekonomi yang berputar begitu cepat
untuk ribuan karakteristik budaya Indonesia. Etos kerja
dan pola produksi yang juga terdiversifikasi sepanjang
bentangan alam, membuat pemerintah Jakarta dengan
perpajangan tangan Pemrov dan Pemda tetap saja
kerepotan memenuhi selera dan keinginan rakyat yang
terus bergerak cepat, saat mana teknologi informasi telah
menyebabkan rakyat di pelosok sekali pun bisa mengakses
internet dan melakukan hubungan komunikasi
internasional.
Dengan demikian, akselerasi di bidang ekonomi akan
sangat tergantung pada kebijakan pemerintah yang jelasjelas akan lebih responsif dan akomodatif dalam sistem
negara Federal, di mana tiap-tiap daerah memiliki
kewenangan untuk itu. Perdagangan bebas antar negara
dalam model negara kesatuan menyebabkan model
ekonomi biaya tinggi. Bahkan, malah dapat mematikan
industri lokal, lihat bagaimana industri minyak goreng
berbahan mentah kelapa sawit melumpuhkan potensi
ekonomi Sulut seperti Kopra. Juga, DPRD dan Gubernur
Sulut tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantu rakyat/
petani cengkih menaikan harga ke level yang paling wajar,
dan tetap menyerahkan pada mekanisme pasar pura-pura
bebas (baca: supply and demand palsu), karena memang,
anak kecil pun tahu kalau pemerintah pusat melakukan
persengkongkolan jahat dengan mafia cengkih untuk
memasok stock cengkih murah dari Madagaskar seperti
yang juga terjadi pada komoditas pertanian lainnya.
UTAMA
Ketiga, demokrasi sejati mendapatkan alur yang tepat
dalam sistem federalisme. Indonesia telah menyadari itu,
bahkan telah ikut mengadopsi sistemnya. Seperti dalam
pemilihan Dewan Perwakilan Daerah yang tak ubahnya
dengan Senat di Amerika Serikat. Sayangnya perannya
tidak significan karena dalam model negara kesatuan ala
Indonesia, DPD memang hanya pajangan yang tak banyak
perannya. Agak berbeda dengan senat di Amerika yang
juga menjadi anggota Kongres bersama-sama dengan house
of representatives, senat memiliki peran sentral dan kuat.
Dengan demikian, maka negara Federal sebenarnya
bukanlah momok yang harus ditakuti dan ditakut-takuti
hanya karena mitos dan sesat pikir terhadap rasa
nasionalisme pseudo yang berlebihan atas negara kesatuan.
Bahkan wacana Federal itu sendiri adalah ide yang dapat
dibantah secara argumentatif bila memang ingin mencari
kebenaran yang sesungguhnya. Seperti itu juga, maka
penganjur Federalisme akan memberikan argumentasi
ilmiah dan analitik sebagai solusi bangsa Indonesia yang
makin terpuruk.
Mungkin juga kita masih tidak memahami dan
cenderung mengalami sesat pikir tentang ide federalisme
seperti yang banyak dikampanyenegatifkan oleh orangorang tentang federalisme, diantaranya: Pertama, traumatik
sejarah bangsa Indonesia yang hitam dan kelam, telah
menyebabkan generasi Indonesia sekarang menjadi
generasi paranoid. Segala sesuatu dicurigai, dan bahkan
demi simbol-simbol dan sesuatu yang abstrak, nyawa dan
darah manusia menjadi halal di Indonesia. Mengidentikan
Federalisme dengan Van Mok dengan strategi Devide et
imperanya. Simplifikasi seperti ini rasanya terlalu sempit,
picik, dan dikembangkan oleh orang-orang yang malas
berpikir. Gagasan ini sudah berkali-kali dibantah dan
dijelaskan oleh Anak Agung Gde Agung putra Bali itu.
Bahwa, tidak terdapat korelasi yang tepat antara strategi
Van Mock dengan keinginan menempatkan kedaulatan
bangsa-bangsa di Indonesia. Bahwa itu terjadi secara
koinsendent, itu bisa dipahami, meski itu dua hal yang
berbeda dan tidak dapat disimplifikasikan seperti itu saja.
Seperti juga menganggap federalisme yang sebagai batu
loncatan menuju negara merdeka teritorial. Ini pun terlalu
mengada-ada dan berhasil mengindoktrinasi rakyat di
masa orde baru. Kenyataannya, Timor-Timur tidak perlu
menjadi federalisme dulu untuk merdeka. Lagi pula, dalam
Federalisme, kedaulatan rakyat justru lebih terakomodir
dan dengan demikian justru dapat mencegah disintegrasi
yang sedang membayangi Negara ini.
Kedua, mengidentikan RIS dengan sistem parlementer
yang memang berada pada rentang waktu yang
bersamaan. Sehingga kegagalan parlementer seolah-olah
juga menjadi kegagalan RIS. Padahal RIS tidak pernah
Ngaasan- EDISI III-SEPTEMBER 2005
dijalankan secara utuh ketika RIS itu sendiri disepakati
karena pertentangan antara unitaris dan federalis.
Ketiga, ada anggapan bahwa NKRI berarti jaminan
atas model berbangsa yang cicita-citakan oleh Pancasila
dan UUD 45. Kenyataannya, di Aceh berlaku Syariat Islam,
yang juga sudah diikuti oleh daerah-daerah lain. Sama juga
dengan Undang-undang Sisdiknas, Undang-undang
perkawinan, sistem perbankan nasional, yang sudah
menyangkal konstitusi negara kesatuan. Dan berbagai
peraturan dan perundang-undangan lainnya, telah
menyebabkan bentuk negara di dalam negara, dan ini
pengingkaran yang tak kentara dan justru disahkan oleh
DPR RI. Hal ini tidak dapat dibantah lagi. Bahwa telah
terjadi bentuk negara dalam negara. Sistem bernegara
yang diametris seperti itu hanya terdapat dalam bentuk
negara Federal
Keempat, ketakutan melemahnya dominasi partai politik
yang jelas-jelas sangat sentralistis. Dan itu malah makin
diprofokatif dan sengaja dihembus-hembuskan karena
ketakutan atas kehilangan peran partai politik yang selama
ini menikmati kekuasaan yang mendominasi kedaulatan
rakyat. Alasan yang paling mendasar antara lain adalah,
karena tingkat sentralisasi dan dominasi kekuasaan parpol
nasional yang amat tinggi dan sedang dinikmati oleh elit
politik, tidak tega membagi kekuasaannya kepada rakyat
daerah. Ini jelas sangat benar karena pada prakteknya,
akomodasi kepentingan masyarakat daerah mengalami
penyumbatan besar oleh kepentingan partai yang
sentralistis dan ini sangat kentara dalam UU Partai politik
yang malu-malu dan tidak jujur menempatkan rakyat
berdaulat penuh. Sentralisasi dan dominasi parpol nasional
sering menghilangkan peran masyarakat daerah dalam
artikulasi kepentingan lokal maupun dalam pemilihan
kepala daerah dan lembaga-lembaga perwakilan daerah.
Beberapa sesat pikir inilah yang tampaknya masih akan
menyebabkan kita terseok-seok terus, dalam kubangan
kesengsaraan berbangsa dan bernegara.
Sebagai anak bangsa, yang menghormati para
pendahulu, sesepuh orang Minahasa yang ikut dalam
revolusi kemerdekaan, sejak kesepakatan-kesepakatan
tahun 1908, proklamasi berbangsa oleh Pemuda tahun
1928 sampai proklamasi kemerdekaan tahun 1945. Dan
dalam konsepsi itulah, cita-cita kemerdekaan yang
sesungguhnya seperti yang dicita-citakan oleh the founding
fathers itu kita letakan, merdeka dari segala bentuk
penjajahan, baik dari bangsa asing, maupun oleh bangsa
Indonesia sendiri, seperti amanat proklamasi dan UUD
45 itu sendiri. (Veldy Umbas)
***
UTAMA
Ngaasan- EDISI III-SEPTEMBER 2005
Indonesia Merdeka?
Oleh: Denni Pinontoan
“Merdeka! Merdeka! Merdeka!” Teriak seorang murid
Sekolah Dasar sambil berlari-lari kecil waktu tujuhbelasan
di sebuah kampung. Tangan kanannya memegang bendera
merah-putih.
“Wei, kacino¸ hati-hati, tu jalang ba lubang-lubang!” teriak
seorang ibu dari tepi jalan.
Si kacino yang berlari, tiba-tiba berhenti. “Iya, ya.
Jalannya banyak yang berlubang. O, barangkali lubanglubang ini yang Pak Guru bilang di sekolah akibat bom
pada masa perang dunia kedua,” guman si kacino.
“Merdeka?”
Cerita di atas hanya rekaan yang besar kemungkinan
bisa (pernah) terjadi di Indonesia entah di mana, siapa
dan kapan.
“Ketika orang Indonesia berbicara peri ketuhanan –
nama yang disebut dengan fasih dan pandai di dalam
hafalan Pancasilanmya – maka Tuhan dalam pikiran orang
Indonesia adalah jongos yang bisa disuruh-suruh untuk
membuatnya pintar jadi maling atas uang negara dan uang
rakyat.”
Kalimat di atas, bukan lanjutan gumanan si murid
SD cerita rekaan saya itu. Kalimat itu sebuah
potongan dialog antara Lakshmi dan Miyahira dua
malaikat penjaga Joko Trianto dan Mary Jane Storm,
tokoh-tokoh fiksi Remy Sylado dalam novelnya
Menunggu Matahari Melbourne.
Novel yang menceritakan perjumpaan antara
Joko Trianto, pemuda modern asal Indonesia
dengan Mary Jane Storm ini, pemudi asal Australia,
banyak mengritik perilaku para penyeleng gara
pemerintahan yang korup, cara beragama dan
bermoral di negara yang bernama Indonesia ini.
“…Yang paling menonjol dari orang Indonesia
adalah kemunafikannya. Kemunafikan orang
Indonesia ini ditularkan oleh pemimpinpemimpinnya.” Begitu kata Lakshmi kepada
Miyahira.
Si kacino berteriak “merdeka” dalam
ketidakmerdekaan. Remy Sylado dalam kata-kata
Lakshmi, si malaikat fiktif, menggugat Indonesia
yang kata banyak orang telah merdeka itu. Teriakan
“merdeka” si Kacino fiktif itu, meneriakan realitas
dari ketidaksadaran akibat ketidaktahuan, bahwa
Indonesia dari segi pembangunan, agak ragu kalau
disebut benar-benar sudah merdeka. Masih terlalu
jauh perbedaan kemajuan pembangunan, misalnya
antara lain, antara Papua, Aceh, Tanah Minahasa
dengan Jakarta. Sementara, Lakshmi, tokoh fiksi itu,
membeberkan antara lain penyebab kesenjangan
pembangunan itu, yaitu kerakusan dan kemunafikan,
yang katanya ditularkan oleh pemimpinpemimpinnya. Dengan kata lain, hal-hal jelek itu,
pertama-tama berasal dari para pemimpinnya.
Masih terlalu banyak orang miskin, orang bodoh,
orang sakit (sakit apa saja yang disebabkan oleh apa
saja), orang-orang korban ketidakadilan (apakah
karena mahalnya pengadilan atau begitu mudahnya
keadilan disulap menjadi ketidakadilan dan
sebaliknya), orang-orang korban diskriminasi,
eksploitasi dan lain sebagainya di Indonesia. Belum
lagi, bom yang meledak pada saat yang tak terduga
– karena memang aparat kita masih kalah dengan
kepinteran teroris – yang mengingatkan kita pada
cerita-cerita di era perang memperjungkan
kemerdekaan. Atau juga kerusuhan di sejumlah
daerah, yang masih sulit berakhir damai. “Merdeka?”
Ada juga indikator lain menilai kebenaran
kemerdekaan Indonesia, yaitu soal kebebasan yang
sering disamakan artinya dengan kemerdekaan.
Kebebasan beragama contohnya. Di sejumlah
daerah, hingga kini masih terdengar ada rumah
ibadah yang ditutup. Menariknya, yang menutup
rumah ibadah itu, adalah organisasi masyarakat atau
individu, bukan pemerintah. Soal itu, pertanyaan kita
barangkali bukan ada atau tidak peraturan atau
undang-undang yang menjamin kebebasan beragama
dan kebebasan-kebebasan yang lain, melainkan
apakah ada atau tidak proses eksekusi dan
pengawasan dari peraturan atau undang-undang itu.
“Indonesia Merdeka?” Bicara butul kwa tamang!
Ini perlu diluruskan atau dibetulkan.
Bicara soal usaha meluruskan atau membetulkan,
saya teringat nama Confucius. Ia lahir pada tahun
551 SM, di negara Lu (sekarang disebut Provinsi
Shantung) Cina. Confucius adalah seorang nabi juga
pemikir/filsuf. Ia hidup di masa ketika negaranya
sedang mengalami berbagai kekacauan: korupsi,
ancaman disintegrasi, kejahatan yang merajalela,
degradasi moral dan anarki intelektual. Pemikiranpemikirannya banyak di antaranya yang masih
UTAMA
relevan sekarang. Pemikiran-pemikiran Confucius
itu, adalah sebuah respon intelektual terhadap
sejumlah persoalan sosial politik yang sedang
menggila di zamannya.
Confucius berpendapat, pada situasi semacam
itu pertama-pertama yang harus dilakukan adalah
pembetulan nama-nama. Maksudnya, nama-nama
yang dikenakan kepada masing-masing orang harus
dibetulkan dan disesuaikan dengan aktualitanya. Jadi,
jika seseorang itu adalah penguasa, maka dia haruslah
benar-benar menjadi penguasa yang berkewajiban
dan bertanggungjawab mengatur rakyat. Mengatur
adalah meluruskan, bukan untuk membengkokkan.
Jika yang terjadi membengkokkan, misalnya
melakukan korupsi sehingga rakyat menjadi miskin
dan menderita, maka si penguasa itu tidak pantas
disebut sebagai seorang penguasa. Ia hanya cocok
disebut koruptor. Selanjutnya, seorang bapak,
haruslah menjadi seorang bapak sesuai kewajiban
dan tanggungjawab sebagai seorang bapak. Seorang
ibu dan anak, juga demikian.
Sebab menurut Confucius, ketidaksesuain nama
dengan aktualita (kenyataan) akan melahirkan anarki
dan degradasi moral dalam diri para cendekiawan.
Confucius percaya, bahwa nama-nama itu telah
ditentukan secara alamiah. Jika terjadi
ketidakasesuain antara nama dan kenyataannya,
maka menurut Confucius akan terjadi
ketidakteraturan tindakan. Inilah kekacauan itu.
Saya pikir, bukan cuma nama-nama pada orang
atau benda yang perlu dibetulkan kalau sudah tidak
betul, melainkan juga nama status situasi, kondisi
atau perasaan. Seperti kata “merdeka” yang banyak
orang bangga dilekatkan pada kata “Indonesia”.
“Merdeka” adalah sebuah status kondisi fisik
maupun psikis seseorang, sebuah komunitas/
kelompok, bangsa atau negara yang telah bebas,
tidak lagi terikat oleh belenggu yang menyebabkan
penderitaan, kesakitan, kesusahan, oleh atau karena
kuasa psikis dan fisik individu, komunitas/
kelompok, bisa juga atau bangsa dan negara lain.
Untuk Indonesia, kata ini, di tahun-tahun awal
Proklamasi 17 Agustus 1945-nya, pertama-tama
menunjuk pada kemerdekaan dari kuasa psikis dan
fisik bangsa penjajah.
Tapi, barangakali sekarang, di Indonesia yang
ke-60 tahun, kata ini perlu direlevankan dengan
konteks. Maksudnya, semua sudah tahu, secara de
Ngaasan- EDISI III-SEPTEMBER 2005
facto dan de jure, Indonesia sudah bebas dari
penjajahan bangsa asing sejak 17 Agustus 60 tahun
silam, tapi aktualitanya, masih terjadi ketidakberesan
kehidupan politik, sosial, budaya dan beragama
(yang militan dan fanatik buta). Pelakunya adalah
adalah anak-anak bangsa Indonesia sendiri. Merekamereka itu adalah para koruptor, penguasa yang
menghisap, pembunuh atas nama agama (juga
Tuhan), pengusaha yang gemar menghisap sumber
daya tenaga dan alam orang lain tanpa belas kasih
dan pengadil yang tidak adil. Fakta-fakta itu,
menuntut usaha pembetulan kata “merdeka” yang
setiap tujuhbelasan lantang diteriakan mulai dari anak
sekolah dasar sampai presiden, disesuaikan dengan
aktualita Indonesia. Agar, seperti kata Confucius,
tidak terjadi ketidakaturan atau kekacauan.
Usaha pelurusan dan pembetulan, barangkali
antara lain juga mempertimbangkan teriakan
“merdeka” bocah murid SD dalam cerita rekaan
saya di atas, gugatan-gugatan Remy Sylado dalam
novelnya Menunggu Matahari Melbourne, suara-suara
minta dikasihani para pengemis di emperen-emperen
tokoh milik para konglomerat di Jakarta, Manado,
M a k a s s a r, S u r a b a y a , Yo g y a k a r t a , d a n l a i n
sebagainya, para korban pencemaran akibat limbah
di sejumlah daerah pertambangan, orang-orang tak
bersalah yang kalah di pengadilan, anak-anak yang
putus sekolah karena mahalnya biaya pendidikan,
pasien yang susah hidup dan sudah mati karena tak
mampu bayar biaya obat-obatan di rumah sakit, dan
lain-lain, dan lain-lain.
Maksud saya, kalau itu kemudian kita sepakati
menjadi indikator untuk menilai status Indonesia,
maka mari kita teriak bersama: “Indonesia belum
(tidak) Merdeka!”…Atau kalau kita tidak ingin
berteriak begitu, kita gunakan cara lain. Misalnya,
kata “merdeka” itu kita betulkan dengan menjadikan
bangsa-bangsa di Indonesia yang hingga kini tidak
merdeka, menjadi merdeka sungguhan, dengan hari
jadinya sendiri. Berani? Mari kita coba: satu, dua,
ti…
Maaf, kalau pernyataannya harus seperti itu.
Namanya juga menggugat atau minimal sebuah
usaha pembetulan dan pelurusan status Indonesia.
Bukit Inspirasi Tomohon,
2 hari jelang HUT RI ke-60
Ngaasan- EDISI III-SEPTEMBER 2005
FOKUS
Our Nation Needs
(Tinjauan menuju PERSATUAN Indonesia)
Oleh: Daniel Kaligis
P
ergerakan dan perjuangan menuju Indonesia
Merdeka diwarnai perdebatan bentuk negara
oleh para founding father Indonesia, bukan tanpa
pilihan lain, walau sampai hari ini NKRI eksis dan
menggerogoti segenap hak dasar rakyat, tigabelas tahun
sebelum proklamasi Moh Hatta memperingatkan “
jangan sampai bentuk negara Indonesia menjadi
PERSATEAN Indonesia.” Namun apa yang terjadi,
Orde Lama dan Orde Baru menjadi momok sejarah
entah, saksi-saksi dibungkam untuk pembenaran rezim.
Orde Lama dan Orde Baru sama-sama ganas menggilas
pluralis bangsa.
Catatan sebelum proklamasi, karena Indonesia
terbagi atas pulau-pulau dan golongan bangsa-bangsa,
maka perlulah tiap-tiap golongan kecil atau besar
mendapat otonomi, mendapat hak untuk menentukan
nasib sendiri, dapat mengatur pemerintahan sendiri
menurut keperluan dan keyakinan sendiri, asal saja
peraturan-peraturan itu tidak bertentangan dengan
dasar-dasar pemerintahan umum yang disepakati
bersama. Jadinya keluar Indonesia satu, kedalam
Indonesia terdiri dari beberapa badan yang mempunyai
otonomi yang sempurna dan yang hidup. <Moh. Hatta,
dalam : Ke Arah Indonesia Merdeka>
Ribuan pulau dengan keragaman adat dan budaya,
ternyata bukan persoalan mudah untuk sebuah sistem
Negara. Ujicoba bentuk negara kesatuan selang 60 tahun
sudah mematahkan bentuk-bentuk kearifan dan budaya
lokal di daerah-daerah (cultural genocide) selanjutnya
memaksakan dominasi eksternal melalui kebijakan
transmigrasi, resetlement, dan eksploitasi sumberdaya.
Inilah alasan kuat untuk mengatakan bahwa negara ini
gagal mewujudkan cita-cita nasional sesuai amanat
undang-undang dasar.
Nota Kesepahaman RI – GAM sudah
ditandatangani para pihak bersetru di Helsinki,
Finlandia, 15 Agustus silam. Secara de jure NAD masih
berada dalam genggam NKRI, dan penyelesaian
konflik RI – GAM akan dilaksanaan secara damai,
menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua.
Walau, undang-undang bar u tentang
penyelenggaraan pemerintahan di Aceh nanti berlaku
paling lambat 31 Maret 2006, namun sejak 15 Agustus
2005 Aceh akan melaksanakan kewenangan dalam
semua sektor publik, yang akan diselenggarakan
bersamaan dengan administrasi sipil dan peradilan,
kecuali dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan
luar, keamanan nasional, hal ihwal moneter dan fiskal,
kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama, dimana
kebijakan tersebut merupakan kewenangan Pemerintah
Republik Indonesia sesuai dengan konstitusi.
Selanjutnya persetujuan internasional yang dilakukan
Pemerintah Indonesia terkait hal ihwal kepentingan
khusus Aceh akan diberlakukan dengan konsultasi dan
persetujuan legislatif Aceh. Pula keputusan DPR-RI yang
terkait Aceh dilakukan dengan konsultasi dan
persetujuan legislatif Aceh. Kebijakan administrasi yang
diambil pemerintah Indonesia berkaitan dengan Aceh
akan dilaksanakan dengan konsultasi dan persetujuan
Kepala Pemerintah Aceh.
Tak bisa dipungkiri Nota Kesepahaman RI – GAM
mengisyratkan bahwa atmosfir federal sementara
berhembus di Aceh, parpol lokal, atribut daerah, dan
penggunaan suku bunga di luar BI. Kasat mata, Aceh
merdeka dari penjajahan Jawa.
Bolehkah Nota Kesepahaman RI – GAM
dilaksanakan merata di seluruh wilayah Indonesia. Atau
kesepahaman ini masih saja tetap dibelok-belokkan
media proJakarta dan dipelintir seakan Aceh yang
menuntut hak-hak dasar mereka belum tepat waktu,
dan tak berarti bagi daerah lain. Daerah lain, bersiaplah
untuk tetap jadi anak tiri dan sapi perah bingo-bingo yaki
dengan berhala kitab suci NKRI.
Model pemerintahan dan sistem yang coba
dikekalkan dan berlangsung hingga hari ini adalah demi
mempertahankan kekuasaan,dan menumpuk modal dan
akses ekonomi segelintir orang saja. NKRI mengajarkan
kepatuhan pada simbol negara semata, bukan pada
praktik melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah
darah Indonesia. Pluralis bangsa sengaja diseragamkan,
diintervensi, ditelanjangi setelanjang-telanjangnya, guna
mengontrol tiap-tiap manusia Indonesia dan menjaga
persatuan semu dengan todongan senapan. Komunitas
bodoh dipelihara guna dieksploitasi, yang pinter
dijinakkan kursi kekuasaan yang kreatif dianggap makar,
yang coba meluruskan persoalan dituduh subversif.
Petualangan di jazirah NKRI yang per mai,
diperkirakan ada 200 kasus pembantaian yang dilakukan
selama rezim Orde Baru dengan berbagai motif. Total
perkiraan korban mencapai tidak kurang dari 1.000.000
FOKUS
jiwa meninggal. Selama Orde Baru berkuasa tidak
kurang dari 4. 000.000 rakyat telah menjadi korban
kezaliman rezim.
Sejarawan Ong Hok Giam dalam suatu kesempatan
pernah menyampaikan bahwa, jika dibandingkan antara
jumlah korban saat kekuasaan kolonial Belanda selama
350 tahun dengan kekuasaan Orde Baru selama 32 tahun
maka jumlah korban saat Orde Baru berkuasa jauh lebih
besar dibandingkan dengan saat kolonial Belanda
menjajah Indonesia.
Kesatuan Indonesia itulah yang selalu dibungkus
program seakan-akan atas nama rakyat. Dan manusiamanusia seragam sama-sama mengangguk mengiyakan,
tak malu pada realitas bahwa atas nama kesatuan itulah
semua rakat dilibat hutang luar negeri, dunia menilai
Indonesia salah satu negara terkorup (diperkirakan
masih ada sekitar 1.200 macam bentuk korupsi, kolusi
dan manipulasi yang dilakukan oleh Soeharto dan kronikroninya -Militer, Birokrat dan konglomeratkonglomerat yang mulia- dengan jumlah uang rakyat
yang dikorupsi tidak kurang dari 220 Milyar Dollar
AS, mulai tahun 1967 sampai saat ini, dan manusiamanusia seragam itu tanpa malu-malu menyanyikan
Indonesia tanah air beta, disumpah dengan kitab suci
untuk mengabdi bagi dewa-dewa pembangunan yang
sudah membantai rakyatnya sendiri.
Negara ini adalah negara doyan sumpah, sumpah
pemuda, sumpah jabatan, sumpah pocong, sumpeh
luuuu....!!!
Otonomi bo’ong-bo’ongan turun ke daerah-daerah
sebagai permen karet yang kalau ditelan pasti diare dan
mencret. Rakyat dipaksa meningkatkan PAD dan
semuanya akan diboyong ke pusat katanya ada
pembagiannya untuk rakyat (kalau ingat), bukang for
rakyat kasiang, bangsat! Rakyat sudah menjadi sapi yang
dicekok hidung ditarik kian kemari mau saja. Kesatuan
adalah tuannya dan dia adalah budak sistem tanpa
mampu berargumen dan mempertanyakan mengapa
ia sapi.
Sumpeh, negara ini sudah mengajarkan persatuan yang
salah kaprah dan salah arah. Tentang Persatuan
Indonesia, DR. Sam. Ratulangie, 26 November 1938
dalam Nationale Commentaren menulis “Persatuan
nasional dari bangsa Indonesia adalah suatu persatuan
politis. Kenyataan ini didasarkan pada kemauan politis
yang sukarela untuk membentuk satu persatuan bangsa
Ngaasan- EDISI III-SEPTEMBER 2005
dan negara Indonesia yang berdaulat. Dengan mengakui
dan menghormati akan perbedaan etnis dan budaya
pluralitas bangsa Indonesia yang bersatu dengan segala
konsekwensinya, kita semua harus menerima, menerima
dan berjuang untuk persatuan politis bangsa Indonesia
tersebut – Namun, dilain pihak adalah satu keharusan
yang seimbang bahwa Persatuan Indonesia harus
mengakui dan menghormati hak azasi dari tiap
kelompok etnis untuk mempertahankan otonomi
mereka dalam batas wilayah kelompok etnis tersebut”
NKRI menjadi satu opsi bentuk negara dan
dijalankan sejak 17 Agustus 1945 dan berlaku hingga
saat ini di Indonesia. Pemikir-pemikir kerakyatan dalam
RTD 22 Agustus 2005 Refleksi enampuluh taon
MERDEKA, delapan taon REFORMASI bergulir :
Mempertanyakan komitmen bernegara dalam bingkai NKRI,
coba merefleksikan kesaksian anak bangsa bahwa bentuk
NKRI yang tidak dibenah akan hancur dengan
sendirinya. Persoalan mendasar yang sampai saat ini
tak tuntas dan tak difollow-up negara yakni persoalan
hak-hak dasar tiap rakyat. Penguasa kerepotan sendiri
bermain indah untuk mempertahankan posisi, dan
rakyat menjadi bulan-bulanan ujicoba sistem yang
menelantarkan keadilan sosial bagi seluruh bangsa
Indonesia. Kropotkin menyindir Negara Kesatuan
sebagai inkarnasi setan yang dikotori kepentingankepentingan borjuis nasionalis yang xenophobic.
Negara ini butuh satu hal, ajarkan kebenaran pada
anak-anak kita niscaya kita merdeka. Ajarkan persatuan
yang memerdekakan hak-hak dasar manusia untuk
berkarya, berkata dan hidup.
Karena itu, mungkin bangsa Indonesia harus rela
dan berani menelaah persoalan mendasar bangsa ini.
Yakni pada komitmen dan kontrak yang seharusnya
disepakati bersama oleh semua elemen bangsa
Indonesia. Yakni kontrak untuk bernegara dalam satu
Indonesia yang plural, dengan menghormati perbedaan,
perbedaan--bukan penyeragaman, kearifan lokal
budaya-budaya bangsa-bangsa di Indonesia, dengan
menempatkan nilai-nilai manusia diatas semua ideologi
dan kepentingan. Sehingga rakyat secara merdeka
mendapatkan akses yang proporsional terhadap hakhak ekonomi, sosial dan budaya yang menjadi hak dasar
yang hakiki yang kodradi.
Mestinya, tidak ada kata terlambat untuk
perubahan!!! ***
UTAMA Ngaasan- EDISI III-SEPTEMBER 2005
60 TAHUN NKRI
(Suatu Kajian Kritis atas Harga yang Sangat Mahal)
Oleh Dr. Bert Adriaan Supit
S
udah 60 tahun Indonesia merdeka dari kungkungan
kolonialisme yang menjajah Indonesia selama
berabad abad. Sejarah kolonialisme telah
meninggalkan pengalaman berupa penindasan yang penuh
dengan darah dan air mata. Namun setelah Indonesia
merdeka selama 60 tahun, darah dan air mata terus
berkelanjutan bahkan ribuan sampai jutaan jiwa bangsa
besar Indonesia telah dikorbankan demi mempertahankan
NKRI. Pengorbanan jiwa oleh bangsa Indonesia sendiri
selama 60 tahun merdeka dimulai dari Peristiwa Madiun;
Darul Islam; Peristiwa Andi Azis; RMS; PRRI dan
Permesta; G30S; OPM/Papua/Pembunuhan Theys;
GAM/Aceh; Peristiwa Berdarah 27 Juli 1997; Peristiwa
Berdarah Mei 1998; Pengorbanan para Mahasiswa;
Kemerdekaan Timor Timur; Peristiwa Ambon, Sampit,
Halmahera, Poso, Palu dan Tentena; Bom Bali – Jakarta,
dll; dan last but not least peristiwa ‘pembunuhan’ pahlawan
HAM Munir.
Cita-cita kemerdekaan untuk mensejahtrakan seluruh
bangsa Indonesia ternyata tidak juga benar-benar
membebaskan bangsa Indonesia dari model hegemoni
dan penguasaan hak-hak sosial rakyatnya. Dalam konsepsi
NKRI selama 60 tahun, Negara yang dikuasai oleh kaum
elit politik dan militer yang berwatak ‘absolut power’ telah
menjadi sangat deterministik, mematikan hampir semua
kesadaran demokrasi sosial dan kultural demi langgengnya
kekuasaan sentralistik yang tetap saja ingin menguasai
sumber-sumber ekonomi alam yang berlimpah
didaerah-daerah luar pulau Jawa. Gilirannya,
kesenjangan demi kesenjangan makin tak terhindarkan,
baik kesenjangan sosial maupun spasial sangat nampak
antara pusat dan daerah, antara Jawa dan luar Jawa, apalagi
daerah di Indonesia bagian Timur dimana hidup sebagian
besar masyarakatnya yang berpredikat ‘minoritas ganda’
sejak rejim orde baru sampai sekarang mengalami
berbagai macam ‘diskriminasi’ dari kaum ‘mayoritas
ganda’ dalam Republik Indonesia yang 60 tahun lalu telah
diproklamirkan bersama oleh seluruh bangsa Indonesia
tanpa perbedaan latar belakang kedudukan sosial, budaya,
ras maupun agama. Ini juga antara lain menjadi pemicu
maraknya gugatan masyarakat daerah luar pulau Jawa yang
merasa dilecehkan keadilan sosialnya yang diantaranya
bahkan terancam berdisintegrasi dengan NKRI. Kenyataan
kemerdekaan Timor Timur yang sudah menjadi mimpi
buruk Indonesia merdeka; dan sekarang kasus perjuangan
Keadilan dan HAM kaum minoritas ‘bangsa’ Aceh dan
‘bangsa’ Papua kini telah ikut menjadi sorotan dunia
internasional.
Dengan persetujuan (MoU) Helshinki maka GAM telah
memperoleh keuntungan yang luar biasa dibandingkan
dengan daerah yang lain di Indonesia biarpun perjuangan
kemerdekaannya melalui referendum bangsa Aceh untuk
sementara sama sekali tidak disebutkannya. Sebaliknya
pengakuan pemerintah NKRI atas suatu
pemerintahan luas di Aceh(NAD), keuntungan
ekonomi dan moneter Aceh (a.l. perdagangan
internasional langsung, pinjaman luar negeri, bagi
hasil pajak dan pendapatan alam Aceh serta
penentuan suku bunga bank sendiri) dan last but
not least perolehan hak atas pembentukan partai
lokal sangat menguntungkan Aceh.
Dilain pihak, terjadi diskriminasi yang luar biasa
terhadap daerah Papua yang ironis penduduk aslinya adalah
mayoritas beragama Kristen. Daerah Papua malah
dipecah-pecah sehingga terjadi pertentangan diantara para
penduduk asli. Ini yang disebut Divide et Impera. Dan
Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) malah berani
mengungkapan bahwa Papua tidak wajar mendapat
Otonomi Khusus karena penduduk tanah Papua sudah
mayoritas orang Jawa yang beragama Islam. Hal tersebut
benar-benar adalah suatu sikap yang ‘konyol’ yang
melecehkan penduduk asli yang notabene beragama
Kristen.
Ini jelas menjadi persoalan serius karena semangat
Nasionalisme (Kebangsaan) Indonesia yang 60 tahun silam
diproklamirkan para Founding Fathers RI ternyata
mengalami dekadensi dan pembusukan yang signifikan.
Karena selama 60 tahun Indonesia merdeka bangsa besar
Indonesia yang dipimpin oleh para elit politik, birokrat
dan militer tidak juga, bahkan gagal membentuk
bangunan karakter manusia Indonesia yang kokoh
bagi sebuah Nation Building Indonesia. Jelas pula
bahwa Nasionalisme Indonesia ternyata semu dan rapuh
UTAMA
lantaran semangat patriotisme Nasionalisme Indonesia ini
selama 60 tahun merdeka tidak dibangun dari bawah
(baca:daerah) dengan sifat dan wajah yang beraneka
ragam (kebhinekaan) seperti Indonesia berjuang
melawan kolonialisme dahulu; melainkan selama 60 tahun
Indonesia merdeka terjadi bentuk-bentuk pemaksaan
dengan kekerasan yang ‘idiologis-militeristis’ yang topdown, dengan semata-mata demi keuntungan dan
kepentingan para penguasa dan pengusaha elit politik dan
militer di Jakarta dan pusat-pusat kekuasaan yang berada
di propinsi, kabupaten dan kota yang memang sudah dan
sedang menikmati akan kemerdekaan republik ini
ketimbang rakyat yang masih menderita. Rakyat seakanakan menerima saja nasibnya melalui pemilihan umum
yang memilih wakil-wakilnya, namun setelah menikmati
manisnya kekuasaan, lantas bersikap ‘cuek’ atas nasib rakyat.
Kondisi ini makin runyam apalagi sejak reformasi
bergulir, bangsa Indonesia mulai tenggelam dalam
euphoria yang berlebihan. Terjadi pengkaburan makna
demokrasi yang berdampak pada saling klaim kekuasaan
dan kepentingan. Setelah 60 tahun merdeka terjadi
penguatan radikalisasi agama yang ingin memaksakan
‘idiologi agama’ kaum mayoritas atas kaum minoritas
dan ‘semangat pluralisme’ dalam cita-cita Pancasila dan
Bhineka Tunggal Ika mulai mengendor dan terkikis.
Apalagi dengan dikeluarkannya Fatwa MUI yang
mengharamkan pluralisme, maka lengkaplah sudah
kehancuran dasar pijakan Pancasila bangsa
Indonesia. Para elit politik, militer dan bisnis yang
kehilangan kenikmatan kekuasaan selama rejim orde baru,
mulai melakukan manuver-manuver kooptasi dan
kooperasi dengan ‘kekuatan-kekuatan radikal’ untuk
melakukan destabilisasi kehidupan berbangsa dan
bernegara. Baku sikat dan baku hantam antar ideologi,
aliran maupun kepentingan menjadi babak baru model
demokrasi Indonesia masa reformasi dan otonomi yang
‘setengah hati’. Tidak juga disadari bahwa dalam era
otonomi ‘setengah hati’ itu, korupsi masal berwajah
korupsi legal dan ilegal marak dimana-mana dari pusat
sampai kedaerah. Korupsi legal itu a.l. dimungkinkan
melalui penggunaan yang tidak transparan dan
accountable dari APBN dan APBD-APBD yang
didukung secara legal oleh UU dan PP yang dibuat secara
sentralistis.
NKRI sebagai negara hukum menjadi bahan penilaian
yang kontroversial yang sinis oleh para pengamat hukum
Ngaasan- EDISI III-SEPTEMBER 2005
internasional. Peristiwa-peristiwa berdarah yang sangat
menyedihkan muncul di Jakarta, Ambon, Halmahera, Poso,
Tentena serta di Aceh dan Papua. Semuanya itu, dilengkapi
dengan pembunuhan politik seperti kasus diracuninya
Pahlawan HAM Munir, telah menjadi trademark Indonesia
yang buruk dan memalukan didunia internasional. Efek
domino sebenarnya sedang terjadi di Indonesia.
NKRI yang dipertahankan mati-matian oleh kaum
konservatif militer, islam politik, islam radikal dan
kelompok ultra nasionalis di pusat dan daerah adalah ibarat
kapal yang sedang oleng dan menuju kebangkrutan
karakter. Ironi selama 60 tahun Indonesia merdeka
dengan sistem negara dan pemerintahan NKRI, semua
(sudah lima) Presiden RI mulai dari Presiden Soekarno
sampai kepada anaknya Megawati Sukarnoputri,
semuanya gagal dan jatuh diterpa sistem yang
sentralistis dan elitis itu. Lanjutan ironi dari nasib
Presiden-Presiden NKRI terdahulu sedang dialami
sekarang lagi oleh Presiden SBY dimana a.l. seorang yang
bernama Sri Bintang Pamungkas sudah berani menuntut
supaya SBY mundur saja karena belum setahun berkuasa
sudah gagal dengan politik ekonominya yang dilengkapi
oleh ‘MoU Helshinki’ yang melecehkan Papua dan daerahdaerah lain yang masih merupakan ‘anak manis’ dan ‘anak
manja’.
Lebih gawat dan memprihatinkan lagi, bahwa sesuai
dengan amandemen ke 4 UUD 45 Bab XVI pasal 37, 5
tentang Sistem Negara Kesatuan yang telah menjadi harga
mati dan tidak boleh dirobah-robah lagi. Nampaknya para
elit politisi ‘ultranasionalis’ dan tentara ‘konservatif ’ di
republik ini telah menjadikan system itu ibarat suatu
‘dogma’ baru bagi rakyat Indonesia. Dan oleh sebab itu,
Indonesia akan tetap terpuruk dalam ‘dogma’ buatan
manusia itu dengan melecehkan ke-anekaragam-an bangsa
Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Slogan yang
mengsakralkan Negara Kesatuan sebagai harga mati
(dengan penerapan otonomi setengah hati sekalipun) sama
sekali telah melecehkan hukum alam yang mengatakan
bahwa harga mati atau yang abadi hanya berlaku bagi
perobahan dan pembaharuan, termasuk bagaimana
mengatur perobahan dan pembaharuan yang
menyeluruh dari sebuah Negara yang sangat luas
dan sangat beraneka ragam seperti Republik
Indonesia. Para elit militer dan politik di Indonesia harus
diajak untuk berpikir secara realistis sambil melakukan
dialog dan kajian intelektual secara kritis dan analitis tentang
UTAMA
pemerintahan di Indonesia yang dijalankan secara
amburadul selama 60 tahun dan supaya mereka tidak hanya
terpaku secara nostalgis dan kaku dalam suatu doktrin
kekuasaan yang elitis feodalistis.
Disinilah konsep Indonesia sebagai sebuah nation
mengalami kemunduran bahkan kegagalan selama 60
tahun merdeka. Sejumlah pengamat Indonesia malah
menyebut Indonesia telah gagal membangun bangunan
kebangsaan dengan national character-nya. Kesadaran
berbangsa dan bernegara mulai dipersoalkan dan digugat.
Nation Republik Indonesia yang dibangun 60 tahun yang
lalu atas dasar sebuah kumpulan bangsa-bangsa, agama
dan kelompok dengan beraneka warna dan budaya sedang
dikhianati. Persinggungan antara agama, ras, kelompok,
serta dominasi militer konservatif dan politik yang elitis
ternyata telah menyulut pertikaian dan disintegrasi yang
sudah sulit diselesaikan lagi dalam konteks Negara
Kesatuan. Enam puluh tahun merdeka dengan
mempertahankan keutuhan NKRI dimana darah dan
air mata terus mengalir, sudah cukup. Harus ada system
alternatif negara dan pemerintahan yang lain yang masih
dapat mempersatukan dengan damai bangsa Indonesia
yang diciptakan manusia sejak tahun 1928 (sumpah
pemuda) dan 1945 (proklamasi kemerdekaan). MoU
antara pemerintah NKRI dan GAM sudah
membuktikan itu.
Parahnya lagi, dalam konteks kapal yang sedang oleng,
para pakar akademisi dan intelektual serta kelompok
politisi di Indonesia pada umumnya masih bingung dan
ambivalen mengambil sikap yang jelas(dengan sengaja?).
Lebih parah lagi Gereja dan ummat Kristen yang selalu
menjadi sasaran ketidak adilan ‘kekuasaan’ lebih bingung
lagi dan tanpa disadari sama sekali tidak mempunya i
konsep tawar menawar politis yang kuat atas keadaan
yang tidak adil yang dialaminya. Bahkan mungkin juga,
Gereja dan ummat Kristen tidak tau atau tidak mau tau
bagaimana lagi harus bersikap, padahal akselerasi
perobahan dan pembaharuan dalam dinamika sosial sudah
sangat ting gi karena memang perobahan dan
pembaharuan adalah abadi dan terus berdialektika
mencapai kondisi yang lebih baik dari kemarin dan
kini.
Ironisnya, dalam kondisi bangsa yang sekarat
seperti ini, masih sangat sedikit kelompok, termasuk
Gereja Kristen, yang berani membawa suara
kenabian dan berani mengambil posisi dengan
Ngaasan-EDISI III-SEPTEMBER 2005
sebuah konsep politis yang jelas untuk berpihak
secara konkrit kepada yang lemah, tersisih dan
teraniaya seperti saudara-saudara kita di Aceh,
Papua, Maluku dan Poso/Tentena. Seharusnya
dihari hari yang kelam seperti sekarang ini
kelompok-kelompok gerakan moral itu, termasuk
Gereja Kristen harus lebih gigih menentukan sikap
dan posisi sebagai pembawa suara kenabian. Sudah
waktunya Gereja dan ummat Kristen diseluruh
Indonesia memberikan dukungan solidaritasnya
yang meyakinkan atas perjuangan keadilan dan hak
azasi manusia dari saudara-saudara seiman kita
ditanah Papua. Jangan ada dan tidak boleh ada
diskriminasi terhadap orang-orang Papua yang
diciptakan menurut ‘gambar Allah’ seperti seluruh
ummatNya dibumi Indonesia ini. Bila ada
‘penyelesaian damai’ di Aceh, maka harus ada pula
penyelesaian damai di Papua yang menghargai
eksistensi dan harga diri bangsa Papua.
Seterusnya, para pelaku yang berpolitik praktis
(termasuk militer, birokrat dan pebisnis) yang sedang
menikmati atas hasil kemerdekaan selama 60 tahun ini
dapat lebih fleksibel untuk peka dan mendengar suara
hati nurani rakyat sambil mencari dan menemukan solusi
politik alternatif terhadap model berbangsa dan bernegara
yang sesungguhnya memberikan tempat yang lebih aman
bagi perdamaian dan pluralisme berdasarkan Pancasila
dan Bhineka Tunggal Ika, sambil menutup rapat-rapat
pintu dari kepungan peminggiran hak-hak azasi manusia,
kemiskinan, kesewenang-wenangan dan otoritarian dengan
karakter elitis-feodalistis.
Semoga, setelah 60 tahun Indonesia Merdeka dengan
wajah lesu dan pakaian yang compang camping, masih
ada manusia-manusia Indonesia yang punya idealisme dan
semangat yang membara seperti para pemikir pendahulu
kita yang sangat demokratis a.l. Moh. Hatta dan Oom
Sam Ratulangi untuk melakukan perobahan dan
pembaharuan yang mendasar dan menyeluruh atas
system negara dan pemerintahan Indonesia demi
lestarinya Republik Indonesia Raya yang menghargai
keadilan dan kebenaran bagi pembangunan yang
merata untuk seluruh rakyat Indonesia dari Sabang
sampai Merauke.
Semoga, dan Selamat Hari Jadi yang ke 60 untuk
Republik Indonesia Raya. ***
UTAMA
Ngaasan-EDISI III-SEPTEMBER 2005
Mengevaluasi Model Pengelolaan Masyaraat
Dan Sumber Daya Alam
Oleh: Matulandi P.L. Supit
H
iruk – pikuk reformasi versi ’98 yang berhasil
dilokalisasi sekedar mengkritisi rezim super –
sentralistik ala Soeharto ternyata tidak menyelesaikan
persoalan mendasarnya. Rezimnya tumbang tapi perilakunya
tetap eksis. Mungkin saja penguasa dilihat sebagai wakil Tuhan
sehingga memiliki segala kekebalan dan keistimewaan.
Sementara itu rakyat selaku pemilik sumberdaya alam harus
takluk dibawah kekuasaan tersebut.
Memperhatikan sejarah ketatanegaraan Indonesia
seluruhnya mempersoalkan ketidakadilan ekonomi antara
pusat dan daerah. Persoalan tersebut terekspresi mulai dari
demonstrasi hingga saling bunuh misalnya, PERMESTA,
PRRI, RMS, DI/TII ditahun ’50an. Timor Leste, GAM,
OPM ditahun ‘80an hingga kini. Belum terhitung konflik
horisontal yang berlatar penguasaan terhadap sumberdaya
alam seperti, Maluku Utara, Ambon, Posso, dan seterusnya.
Ada apa dibalik semuanya itu?
KETIKA NKRI DIPERTAHANKAN
Latar belakang obsesi unitarisme menciptakan negara
kesatuan adalah kesuksesan dua imperium yang pernah ada
di masa lalu yaitu, Sriwijaya (imperium pertama) dan
Majapahit (imperium kedua) dengan gamblang tergambar
dalam pidato - pidato provokatif Soekarno, “..... berpuluh puluh tahun kita bangsa Indonesia telah berjuang untuk
memerdekakan tanah air kita. Bahkan telah beratus - ratus
tahun !”. (Manifes Politik 17 Agustus 1959) dan argumentasi
ilmiah Mr. Muhammad Yamin (Persiapan Naskah UUD 1945,
Prof. Mr. Muh Yamin, 1960).
Kedua imperium pernah menguasai hampir semua pulau
yang tersebar disekitarnya (sekarang ini disebut wilayah RI).
Bentuk monarkhi absolut merupakan pola pemerintahan yang
dijalankan guna menguasai daerah - daerah seberang. Jadi
daerah - daerah seberang ditaklukkan untuk kemudian wajib
memberi upeti kepada kaisar sebagai penguasa tunggal.
Berdasarkan gambaran masa lalu disusun strategi unitarisme
untuk membentuk imperium ketiga yaitu Republik Indonesia.
Perwujudan obsesi tersebut tergambar pada kata Pancasila
hingga bahasa Indonesia yang dominan mengkonversi kata
dari bahasa Sansekerta serta penamaan simbol alat
perlengkapan negara serta ruangan - ruangan di Gedung
DPR – MPR - RI. Pembenaran atas tujuan adalah, “Program
(politik) Nasional itu ialah perjuangan sejak runtuhnya Negara
Indonesia yang kedua yaitu, Majapahit pada permulaan abad
XVI, dengan tidak berorganisasi sampai penghabisan abad
XIX dengan berorganisasi modern dengan menjalankan
massa aksi teratur dalam abad XX”. (Muh. Yamin 1960 : 51)
Secara umum disimpulkan bahwa Soekarno adalah
inisiator dan fasilitator imperium ketiga dengan jargon
Revolusioner dan Soeharto sebagai kaisar pertama yang
memerintah dengan jargon Pembangunan. Mengamati kedua
jargon beserta isinya maka jelas tahapan strategis yang telah
dibuat oleh unitarisme selama kurun waktu 70 tahun (1928
s/d 1998).
Momentum 1998 adalah saat yang ditunggu - tunggu
oleh semua pihak yang didustai dan tersingkir selama 39 tahun.
Celah waktu yang diciptakan melalui gerakan reformasi Mei
1998 merupakan saat yang paling merdeka bagi seluruh rakyat
untuk menentukan sikap bagi masa depan, apakah kembali
pada komitmen 1959 atau menciptakan sesuatu yang baru.
Proses tersebut sedang berlangsung diantara ketiga kelompok
yaitu yang mempertahankan sistem imperium melalui UUD
1945 dengan segala kelemahan dan keburukannya, yang
menghendaki revisi UUD 1945 sesuai dengan nilai - nilai
yang hidup dalam masyarakat dewasa ini (living law) melalui
amandemen (revisionist sampai retooling); dan yang
menghendaki membuat konstitusi baru.
Solusi yang tepat guna mengatasi krisis kenegaraan akibat
krisis ekonomi adalah otonomi daerah yang seluas - luasnya
(konfederasi) atau federasi. Melalui solusi seperti ini negara
dapat dipertahankan eksistensinya dan ekonomi dapat
dipulihkan dalam tempo yang singkat. Mempertahankan
sistem imperium melalui UUD 1945 jelas sudah bangkrut.
Upaya - upaya menggunakan UUD 1945 sebagai alat guna
mencapai kesejahteraan sosial tidak dipercaya lagi oleh banyak
orang. Untuk itu kesempatan emas yang telah terbentang
dihadapan kita merupakan jalan menuju pembaruan strategi
kesejahteraan rakyat di masa depan (lihat http://
www.matulandi: Pandangam Sam Ratulangi Tentang
Ketatanegaraan Indonesia -1999)
Kekisruhan ketatanegaraan dan ekonomi pasca Soeharto
coba diatasi dengan memberi otonomi (UU: 22/99 tentang
Pemda) dan amandemen UUD ’45 tidak segera
menyelesaikan persoalan. Ketidakpuasan Timor – Timur atas
pencaplokan RI berakhir dengan Kemerdekaannya,
sementara itu Aceh dan Papua yang lebih dulu berjuang untuk
memperoleh keadilan dalam rumah NKRI tetap ditindas
dengan berbagai cara oleh pemerintah Jakarta/Pusat.
Menyimak Tiga puluh dua tahun lebih rezim Orde Baru
berkuasa, berbagai tindak kejahatan dan pelanggaran HAM
dilakukan guna mempertahankan kekuasaan, serta
menumpuk harta kekayaan. Sampai saat ini diperkirakan
sekitar 200 kasus pembunuhan / pembantaian yang
dilakukan oleh Orde Baru dengan berbagai motif, total
perkiraan korban mencapai tidak kurang dari 1.000.000 jiwa
(meninggal). Dengan demikian maka selama 32 tahun Orde
Baru berkuasa tidak kurang dari 4. 000.000 jiwa rakyat telah
menjadi korban. Jika dibandingkan antara jumlah korban
saat kekuasaan kolonial Belanda selama 350 tahun dengan
kekuasaan Orde Baru selama 32 tahun maka jumlah korban
UTAMA
saat Orde Baru berkuasa jauh lebih besar dibandingkan dengan
saat kolonial Belanda menjajah Indonesia. Selain itu kasus
penggusuran tanah berjumlah sangat banyak ( sekitar 1.800
kasus yang tercatat ) di berbagai daerah dengan perkiraan
korban gusuran tidak kurang dari 3. 000.000 jiwa. Motif
umum penggusuran ini adalah pengambilan hak tanah rakyat
untuk kepentingan public.
Diperkirakan masih ada sekitar 1.200 macam bentuk
korupsi, kolusi dan manipulasi yang dilakukan oleh Soeharto
dan kroni-kroninya ( Militer, birokrat dan swasta/
konglomerat ) dengan jumlah uang rakyat yang dikorupsi
tidak kurang dari 220 Milyar Dollar AS, mulai tahun 1967
sampai saat ini. Selain beberapa diatas, masih banyak terjadi
kasus lainnya antara lain adalah : Penangkapan semena-mena,
Pembredelan Media massa ( Tempo, Detik, Editor, dll ),
Penculikan aktivis mahasiswa, Aktivis Buruh, Penyalahgunaan
kewenangan dan sebagainya.
Dari seluruh peristiwa kekejaman dan berbagai
pelanggaran HAM tersebut ternyata sampai saat ini tidak
satupun yang terungkap. Bahkan sebaliknya, hukum (sistem
dan birokrasi) pada kenyataannya justeru memberikan vonis
bebas kepada Soeharto dan kroninya. dari kenyataan itu maka
sesungguhnya kita tahu dan sadar bahwa Hukum ternyata
memang tidak berpihak kepada rakyat dan rasa keadilan
yang hidup di masyarakat, hukum justru dijadikan alat untuk
melanggengkan kekuasaan (http://www.geocities.com/
frontnasional/kasusorba.htm).
Lepas dari seluruh kekejaman dan perampokan dimasa
lalu, Indonesia harus menerima kenyataan berbagai bencana
alam (Lombok, Nabire, Aceh danseterusnya) serta semakin
lemahnya daya beli masyarakat akibat kemiskinan (busung
lapar dansebagainya) menjadi hadiah 60 tahun Indonesia
Merdeka. Kemalangan terus berlanjut ketika minyak
perbarrelnya terus meningkat hingga US$. 66 berpengaruh
langsung pada melemahnya rupiah terhadap dollar Amerika.
Dalam kondisi yang terpuruk seperti itu SBY – MJK mencoba
memperbaiki dengan gerakan ganyang korupsi dan hemat
energi.
Sementara itu Aceh yang bergolak harus segera diakhiri
karena berbagai sebab yakni, (1) konflik Aceh tidak dapat
diisolasi dari perhatian dunia internasional (merupakan akibat
langsung tsunami); (2) semakin menipisnya anggaran perang
yang bisa disiapkan oleh pemerintah diperhadapkan dengan;
(3) kewajiban pemerintah untuk merehabilitasi kerusakan
infrastruktur akibat tsunami. Paling tidak pertimbangan tersebut
mendorong terjadinya perdamaian antara dua kekuatan
bersenjata yang bertikai tersebut (RI dan GAM). Dalam hal
ini RI sebagai pihak yang menginisiasi kesepakatan perdamaian
tersebut apabila diamati klausula MOU 15 Agustus 2005.
MUNGKINKAH
NKRI
MEMBERI
KEMERDEKAAN
Keterangan di atas menunjukkan betapa mahalnya harga
yang harus dibayar rakyat untuk mempertahankan NKRI yang
tidak kunjung membawa pada kesejahteraan yang dituju.
Sejak awal berdirinya negara ini dibawah Proklamasi dan
UUD 1945 jelas pada kedua naskah yaitu, “... hal – hal
pemindahan kekuasaan dan lain – lain akan diatur dalam tempo
yang sesingkat –singkatnya.” (Proklamasi 17 Agustus 1945) dan
Ngaasan-EDISI III-SEPTEMBER 2005
“... akan dibicarakan 6 bulan setelah perang asia timur raya.” (Amanat
UUD 1945). Kedua pernyataan itu tidak pernah terlaksana
hingga kini, malahan selama 39 tahun (terhitung sejak Dekrit
5 Juli 1959 sampai 1998) pelaksanaan secara murni dan
konsekwen justru melahirkan mutan (perpaduan genetik antara
feodalisme dan militerisme). Manusia Indonesia kehilangan
martabat karena tidak lagi berpegang pada adat – istiadat yang
terbangun berdasarkan asal – usulnya. Seragamisme menjadi
mutlak untuk mencapai keadilan dan kemakmuran; demokrasi
dijadikan alat untuk tetap melegalkan kekuasaan mayoritas
atas minoritas. Untuk itu negara adalah segala – galanya
mengatur seluruh hajat hidup rakyatnya. Sementara itu
Kesultanan Jogya dan sekitarnya dipertahankan dengan status
istimewa sedangkan yang lainnya dihapuskan demi melawan
feodalisme danseterusnya.
Rakyat (minoritas) diajarkan untuk menanggalkan
identitasnya berganti dengan identitas nasional yang berorientasi
mayoritas; demokrasi prosedural (dengan kriteria kepatuhan dan
sejenisnya) merupakan sarana seleksi kepemimpinan diseluruh
tingkatan; penciptaan ketergantungan rakyat terhadap
kekuasaan (rakyat kehilangan kepercayaan diri untuk bertindak baik
untuk dirinya maupun kelompoknya).
Di awal pembentukan negara ini telah tercium akan terjadi
ketidakadilan antara mayoritas dan minoritas antara lain
pernyataan Mohammad Hatta bahwa, tentang “persatean” dan
perdebatan sengit antara sistem yang memerdekakan dan yang
menjajah (“terlepas dari penjajahan bangsa putih, jatuh pada
penjajahan bangsa sendiri”). Kekhawatiran itu ternyata berwujud
ketika rezim sentralistik ala Soekarno yang dilegitimasi oleh
UUDSementara 1950 (merupakan kompromi Unitaris dan
Federalis) melahirkan pemerasan daerah – daerah yang
akhirnya berujung pada penolakan hampir diseluruh negeri.
Penolakan terjadi dalam berbagai bentuk yang masing – masing
menggambarkan ciri khas kedaerahan seperti PERMESTA
yang bernuansa kerakyatan, DI / TII yang bernuansa Islam
dan lainsebagainya. Semuanya menuntut keadilan bagi
rakyatnya.
Akhir gejolak daerah adalah merangkul kepentingan –
kepentingan tersebut dimulai dari Dekrit 5 Juli 1959 Kembali
Ke UUD 1945 dengan proyek NASAKOM dan MANIPOL
– USDEK. Praktis tuntutan daerah seolah – olah terjawab
dan akhirnya terjadi kesepakatan damai. Harapan bahwa
kemerdekaan untuk mengelola masyarakat sendiri menuju
kesejahteraan tidak terwujud melalui proyek tersebut harus
tertunda ketika kelompok sosialis – komunis harus berhadapan
langsung dengan nasionalis memperebutkan kekuasaaan.
Kembali lagi asumsi bahwa daerah tidak mampu untuk
mengelola dirinya sendiri menguat ketia elite nasional
bersihkukuh untuk mengendalikan semuanya dari Jakarta. Atas
legitimasi UUD 1945 bahwa pengelolaan masyarakat dan
sumberdaya alam dilakukan secara terpusat oleh negara maka
seluruh piranti pelaksanaannya mengacuh kesana. Berdasarkan
penafsiran itu secara legal kemerdekaan dicabut dari
tempatnya. Kebebasan berpendapat dimatikan, kebebasan
untuk melindungi hak milik dicabut, dan seterusnya agar
kesejahteraan dapat diperoleh. Apa yang terjadi? Sekitar 200
kasus pembunuhan / pembantaian total perkiraan korban
mencapai tidak kurang dari 4.000.000 jiwa (meninggal). Kasus
penggusuran tanah berjumlah sekitar 1.800 kasus yang tercatat
diberbagai daerah dengan perkiraan korban gusuran tidak
kurang dari 3. 000.000 jiwa. Motif umum penggusuran ini
UTAMA
adalah pengambilan hak tanah rakyat untuk kepentingan public.
Dan masih ada sekitar 1.200 macam bentuk korupsi, kolusi
dan manipulasi yang dilakukan oleh Soeharto dan kronikroninya ( Militer, birokrat dan swasta/ konglomerat ) dengan
jumlah uang rakyat yang dikorupsi tidak kurang dari 220 Milyar
Dollar AS, mulai tahun 1967 sampai saat ini dimana semuanya
untuk memelihara kekuasaan itu sendiri. Pelumpuhan daerah
dengan penyeragaman pemerintahan dan pendidikan
menghancurkan identitas dan kultur spesifik yang mengayomi
warganya. Kesemuanya membuktikan bahwa kemerdekaan
telah dicabut guna sinambungnya kekuasaan. Memperhatikan
fakta – fakta diatas menunjukkan bahwa kemerdekaan yang
diamanatkan dalam Pembukaan Alinea 1 UUD 1945 belum
terlaksana hingga kini.
APA YANG HARUS DIPERJUANGKAN
Memperingati 60 tahun kemerdekaan bangsa Indonesia
seharusnya kita merinci sejumlah kemajuan yang telah dicapai.
Namun kali ini kita harus berhitung seberapa banyak yang
harus dikorbankan bagi kemerdekaan itu sendiri. Hari ini kita
masih menuntut keadilan atas kemerdekaan itu sendiri, negara
tidak pernah memenuhi tugasnya untuk memerdekakan
warganya selain menuntut kewajiban yang semakin
memberatkan. Ekonomi tidak pernah berpihak kepada rakyat
apalagi politik. Rakyat harus menanggung atau membeyar
seluruh biaya mempertahankan kekuasaan dengan keringat
dan harta bendanya sementara haknya tidak pernah dilindungi
apalagi diakui.
Sekarang kita diperhadapkan pada kuatnya keinginan
pengusa dan elite nasional untuk tetap mempertahankan situasi
dan kondisi bangsa menghadapi gejolak politik dan ekonomi
yang sepanjang 60 tahun terbukti tidak bisa diselesaikan
seluruhnya di Jakarta. Jakarta bukanlah superkomputer yang
dapat menyelesaikan persoalan – persoalan bangsa –bangsa di
Republik Indonesia. Pengalaman menunjukkan bahwa
mengelola bangsa besar yang merupakan gabungan bangsa –
bangsa ini harus dilakukan berdasarkan prinsip serikat. Selama
350 tahun Kolonial Belanda memerintah berdasarkan prinsip
serikat dengan sistem kontribusi yakni, mempertahankan
kerajaan dan komunitas adat walaupun diawal abad 20 sistem
pemerintahan Belanda adalah kesatuan yang turut
mempengaruhi pemerintahan diwilayah koloni. Begitu pula
dengan USA mengelola bangsanya yang besar dan terdiri dari
hampir seluruh etnik dunia memilih sistem serikat ketimbang
kesatuan. Hal serupa dengan Malaysia yang berlatar belakang
kerajaan mempertahankannya dengan sistem serikat.
Secara sederhana pilihan sistem serikat ditujukan pada
penghormatan dan pengakuan atas kemerdekaan bangsa /
komunitas yang memiliki identitas dan kulturnya sendiri.
Kemudian bangsa – bangsa itu bersepakat berkoordinasi untuk
melindungi satu dengan yang lainnya dari ancaman yang datang
dari luar. Pemerintah federal dilihat sebagai bangunan
pertahanan melindungi kemerdekaan bangsa – bangsa yang
terhimpun didalamnya. Sebaliknya yang terjadi pada sistem
kesatuan adalah meniadakan perbedaan dan mengelola seluruh
potensi manusia dan sumberdaya alam dibawah satu tangan
yaitu pusat. Melaksanakan proyek – proyek penyeragaman
yang melahirkan manusia – manusia yang sangat tergantung
dan loyal atas perintah sesuai struktur Pusat – Daerah. Hasilnya
adalah seleksi kepatuhan yang menjadikan pemimpin –
pemimpin republik.
Hukum tidak pernah dibuat mendahului peristiwa. Fakta
– fakta diatas menunjukkan bahwa batang tubuh konstitusi
Ngaasan-EDISI III-SEPTEMBER 2005
1945 sama sekali sudah ketinggalan zaman atau tidak sesuai
lagi dengan kebutuhan bangsa dalam bernegara. Model
pengelolaan masyarakat dan sumberdaya alam yang sentralistik
jelas tidak sesuai dengan kemerdekaan bangsa – bangsa yang
tergabung dalam Republik Indonesia. Ketidakadilan telah
menodai kesepakatan berbangsa dan bernegara, oleh karena
itu harus dipastikan lagi bahwa hal itu tidak terjadi lagi dialam
kemerdekaan. Kepastian harus diperoleh melalui inti
kesepakatan bermasyarakat yaitu konstitusi, darisana datangnya
kepastian yang menjamin perilaku berbangsa dan bernegara.
BAGAIMANA MENCAPAINYA
Konsitituante hasil bentukan Pemilu 1955 (Pemilu yang
pertama dan terhitung demokratis dalam berbangsa dan
bernegara sendiri) mencoba menjawab amanat Proklamasi dan
Konstitusi 1945 tentang merumuskan dan melahirkan konstitus
Indonesia yang sesuai dengan kepentingan bangsa – bangsa
yang tergabung dalam Republik Indonesia. Namun upaya yang
mulia ini terhadang dengan berbagai kepentingan yang
cenderung merupakan “kepentingan mayoritas”. Mengamati
komposisi konstituante hasil Pemilu 1955 adalah Nasionalis,
Islamis dan Komunis maka pengelolaan masyarakat dan
sumberdaya alam yang bersifat serikat jelas akan dihadang
tanpa kompromi. Pengelolaan yang bersifat serikat dianggap
merugikan kepentingan mayoritas karena pengelolaan yang
dilakukan secara parsial melumpuhkan rentang kendali
kepentingan dimaksud. Melumpuhkan semangat daerah untuk
mengelola potensinya sendiri merupakan langkah awal menuju
penguasaan secara utuh seluruh sumberdaya diwilayah
Republik Indonesia. Untuk itu segala bentuk penolakan daerah
harus dihancurkan melalui kekuatan militer dan provokasi
ketidakmampuan daerah untuk mengelola potensinya.
Strategi penghancuran “percaya diri” daerah atas
potensinya mendorong tulisan ini untuk menyumbangkan solusi
dalam upaya memformulasikan kontra strategi yang dibangun
oleh pemerintah pusat atas nama sistem kesatuan. Bangunan
yang dimaksud secara sederhana adalah mencari antitesis atas
tesis yang dibangun berdasarkan sistem kesatuan. Antitesis
dimaksud didasarkan pada kondisi dan kebutuhan riil setempat
melalui pendekatan partisipatif. Artinya, suatu daerah tentunya
memiliki identitas dan kultur sendiri untuk mengelola potensinya
dipadukan dengan kebutuhan riil setempat. Untuk mencapai
keterpaduan dilakukan melalui mekanisme dialogis yang
melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Langkah ini membawa
pengaruh ganda yaitu, menghargai dan mengakui keberadaan
satuan – satuan politis yang ada dimasyarakat sekaligus
membangun “rasa percaya diri” masyarakat tersebut.
Paduan tindak (strategi) untuk membangun penghargaan
/ pengakuan dan percaya diri pada bangsa – bangsa yang
bersatu dalam Republik Indonesia dapat bervariasi dari
bangsa yang satu dengan yang lainnya sesuai dengan kondisi
dan kebutuhan riilnya. Namun yang terpenting untuk mencapai
langkah dimaksud adalah sejauhmana kesadaran yang dimiliki
oleh bangsa – bangsa dimaksud atas ketidakadilan yang telah
dihasilkan oleh sistem kesatuan yang dipilih dan dilaksanakan
selama 60 tahun Indonesia Merdeka.
Masih adakah niat untuk memperbaiki ketidakadilan yang
telah berlangsung selama ini? Masih adakah keinginan untuk
mempertahankan identitas dan kultur didalam sistem
pengelolaan masyarakat dan sumberdaya alam (negara)? ***
FOKUS
Ngaasan-EDISI III-SEPTEMBER 2005
Tai minya (etno) nasionalisme Minahasa
Oleh Martin Korengkeng
K
ami memang berbeda. Berbeda, relatif terhadap
bangsa-bangsa lain yang bersepakat bersatu dalam
abstraksi Indonesia. Kami punya syarat-syarat
keras dan lunak untuk disebut bangsa, nasion. Perhatikan
tanah dan masyarakat kami. Lihat kepercayaan kami.
Kalian niscaya mendapati perbedaan itu. Ada masa, putraputra kami bahkan menjadi tentara terbaik carteran
maskapai kolonial. Ada waktu, sekolah dan siswa kami
belasan kali lebih banyak dari Batavia – meski penduduk
kami hanya seperlima kota yang kelak jadi ibukota negara
itu. Pandang pula cara kami berpakaian, cara kami
bertutur, cara kami makan, tindak-tanduk kami…
Saya mesti berhenti dengan daftar fakta-fakta terpilih
ini. Melanjutkannya mestilah membuat Anda semakin sulit
membedakan saya dengan pria jahat berjenggot lucu yang
mengagungkan keunggulan ras Aria itu, atau, pada kadar
tertentu, dengan wakil presiden kita yang kadang “anticina” itu.
Baiklah. Kekristenan yang dikenalkan kolonialisme
membantu membentuk sukarela salah satu ke-esa-an kami.
Kesatuan sebagai sebuah masyarakat terbayang, sebuah
perceived community Andersonian. Pembaratan, yang juga
dikenalkan kolonialisme, sempat menjadi inspirasi segelintir
orang untuk mendorong tanah air kami menjadi Twaalf
de Provincie, propinsi ke-12 Belanda. Pembaratan serupa
pula yang menebalkan keputusan sebagian (besar) orang
kami berpihak pada kekuasaan kolonial. Tahun 1829, saat
perang Jawa menjelang kehabisan nafas, 800 orang kami
direkrut untuk menghantam Diponegoro. Selanjutnya,
ribuan putra-putra kami yang lain dijaring untuk
memenangkan perang Aceh, membantu menancap kuku
kolonial disana.
Sepah-sepah pembaratan itu sebagian masih berbekas
hingga kini: buku-buku penuntun wisata mengkategorikan
restoran-restoran kami paling bersih; minggu pagi jalanjalan menuju gereja tak jauh beda dengan arena mode
wewene-wewene Minahasa; kami biasa berekspresi; kami
kosmopolit; elit kami gemar berpesta; kami
mengomentari apa yang perlu diberi catatan; buta huruf
di tanah kami paling rendah di republik ini; terma-terma
semisal “binaut”, “maar”, atau “untersuk”, kami comot dari
sumber asli tanpa banyak perubahan bunyi. Ada sisa-sisa
bahwa kami bangsa para pendidik, para birokrat, para
administrator, para klerkenproletariaat.
Tapi pembaratan itu sempat pula menumbuhkan tunas
yang lain, seperti lahan padi ditumbuhi ilalang yang tak
dikehendaki. Pemberontakan yang digelorakan kaum
republiken Minahasa dalam KRIS (Kebaktian Rakjat
Indonesia Sulawesi) di kota-kota di Jawa melawan Belanda
melemahkan tesis KNIL yang dilekatkan atas Tou
Minahasa diatas. Munculnya gereja nasionalis KGPM
(Karapatan Gereja Protestan Minahasa) menjadi antitesa
dari GMIM (Gereja Masehi Injili Minahasa) yang dulu
menjadi antek Belanda. Hal lainnya, sempatkan pergi ke
Gramedia Manado, ambil waktu mencari buku kecil
bersampul komik berjudul “Perang Tondano”. Buku itu
bercerita pemberontakan heroik petani Minahasa melawan
tipu-muslihat VOC, ekonomi baru (kolonial) berdaya saing
tinggi dan kerja-paksa berorientasi ekspor. Meski tak semua
isi buku itu benar, imajinasi didalamnya, saya kira, mestinya
membuat dia layak menempati rak buku disamping
koleksi Harry Potter atau buku-buku “teologi beras”.
Sayang pembaratan itu, yang semestinya
bergandengtangan dengan pencerahan, dengan hubunganhubungan masyarakat yang baru, rupanya saat ini tidak
banyak menyisakan masyarakat Minahasa yang berani,
yang berinisiatif, yang menghargai kerja, yang teguh dengan
nilai-nilai liberal. Semoga saya tidak keliru, Orde Baru nyaris
sepenuhnya meluluhlantakkan sisi, wajah, dan warisan baik
pembaratan itu.
Lalu nasionalisme macam mana yang hendak kita
bicarakan dari potong-potong kenyataan diatas? Atau,
karena berbicara bangsa Minahasa, etno-nasionalisme yang
bagaimana?. Biasanya pertanyaan serupa ini sering
diungkap gundah kala tidak ada putra Minahasa jadi
menteri. Mungkin juga, pertanyaan itu muncul kembali
penuh gereget ketika satu dua gereja dibakar atau saat harga
cengkih jatuh. Hari-hari ini, barangkali ia terselip diantara
lembaran-lembaran MoU – yang sangat “federalistik” itu
– antara GAM dan Pemerintah RI.
Tema nasionalisme dan Minahasa membawa saya ke
pertarungan teoritik yang ramai, seramai sabung ayam
yang pura-pura digerebek di daerah-daerah Minahasa agar
cukongnya menaikkan setoran. Ada petarung-petarung
hebat di medan teori itu, meski tak semua jurus ampuh
pun memadai memenangkan penjelasan utuh atas tema
ini. Analis Marxis, misalnya. Dalam hal nasionalisme,
penyatu lapis sosial bernama “kelas” barangkali bukanlah
penjelas tunggal untuk mengurai representasi kepentingan
yang bisa tumpang tindih atas nasion. Pemberontakan
petani bersenjata berbendera PERMESTA di gununggunung Minahasa, misalnya, adalah lebih sulit diredam,
dan terus berlangsung bertahun-tahun, bahkan ketika
Manado sudah jatuh, dan pemimpin (opportunis?) mereka
FOKUS
mengangkat bendera putih. Pada tingkatan tertentu, begitu
analisa Henley, harga diri sebagai bagian dari bangsa, nasion,
Minahasa menjelaskan militansi petani tersebut. Perhatikanlah:
sampai sekarangpun, terkait dengan “Minahasa”, dapat
dimengerti mengapa anak-cucu petani-petani tersebut sangat
bangga dengan warisan sejarah tersebut. Meski kesadaran
heroik itu tidak jarang sering dimanipulasi oleh brigadebrigadean, walak-walak (jadi-jadian) atau oleh elit-elitan, yang
gemar makan untung serta merugikan collective interest petani
Minahasa secara tak langsung.
Walau begitu, baik para pendekar Weberian atau lulusan
perguruan post-modern mestilah tak segera petantang-petenteng
menggunakan jurus-jurus keutamaan partikularitas.
Kekhususan suku misalnya. Salah satu cara mengujinya:
Bagaimana menjelaskan intelektual sewaan (asal) Minahasa
yang berselubung “ilmuwan” mampu berkomplot dengan
birokrat dan koruptor (asal) Jawa untuk melogamberati laut
Minahasa di Buyat? atau bersama-sama makelar (asal) Jawa
membenarkan penentuan nilai air PDAM Manado
sepenuhnya mengemis budi baik mekanisme pasar?. Dalam
aliansi tidak suci ini, ada bentuk-bentuk lintas suku.
Di lain waktu, diajukan tema nasionalisme lalu mencoba
mengaitkannya dengan Minahasa, pikiran saya malah melayang
pada Sangihe dan Talaud. Pada “imperialisme” Minahasa
atas kawasan ini sejak Landstreek van Manado diteguhkan. Lalu,
pada disain spasial bernama KAPET Manado-Bitung yang
meneguhkan keterbelakangan relatif SaTal melulu sebagai
pinggiran. Terus, pada teguhnya kebiasaan korupsi lebih dari
50 persen dana pengembangan SaTal (oleh birokrat Minahasa
di Manado). Rupanya, eksploitasi tidak hanya mengambil
bentuk pusat-daerah, jawa-luar jawa, kawasan barat-timur
atau penggolongan-penggolongan membosankan itu.
Berdiskusi nasionalisme Minahasa, penting memperhatikan
aspek yang sering pura-pura dilupakan ini.
Yang hampir pasti adalah bahwa Minahasa detik ini adalah
Minahasa yang menyejarah. Satu bentuk entitas kompleks
yang meruang dan mewaktu. Begitu pula kesadaran atas
“nasion”nya, atas nasionalismenya. Ia antara lain menyaksikan
– dan turut dibentuk – oleh perang antar walak
memperebutkan kapling-kapling sumberdaya, eksploitasi
dibawah kolonialisme, wacana etno-nasionalisme plintatplintut ala Sam Ratulangi, muslihat internasionalisme palsu
elit-elit PKI, tipu daya petinggi angkatan darat berselubung
pembangunan daerah PERMESTA, konsepsi kurang beres
negara unitarian Suharto. Yang paling mutakhir, Minahasa
mungkin cermin dari konstruk desentralisasi-pasar dan Otda
neoliberal yang digadang Bank Dunia dan IMF.
Musti banakal sadiki
Bisa dipahami bila Tou Minahasa kecewa dengan kekinian
kondisi Minahasa – ekonomi, politik, sosial-budaya. Kecewa
Ngaasan-EDISI III-SEPTEMBER 2005
dengan pencapaian-pencapaian luar biasa yang kemudian
hilang itu. Juga, yang tak kalah penting, kecewa sekaligus kesal
dengan persatuan sukarela dan kesepakatan-kesepakatan
berbangsa yang lalu sekarang dikhianati.
Saya akan ambil satu dari sekian banyak sisi diskusi tentang
kekecewaan itu. Kiranya jelas bagi siapapun, terkait
Nasionalisme Minahasa, jawaban atas kekecewaan itu tidak
pernah diberi gratis diatas nampan perak. Seperti hal lain
dibawah kolong langit, ia membutuhkan kerja keras – hal
mana mungkin makin langka di Minahasa. Juga, keteguhan
usaha menemukan terus “persoalan utama” Minahasa
termasuk siapa-siapa yang mampu bekerja dalam, dan setia
untuk, pencarian jawaban itu.
“Pada saat-saat ia menemukan bentuk, nasionalisme Minahasa
diartikulasi oleh pelayan gereja dan negara”, demikian David Henley
(1996) menulis salah satu pokok disertasinya, “tidaklah pernah
[artikulasi tersebut] oleh sebuah gerakan massa atau instrumen penting
dari mobilisasi politis”.
Perihal Henley ini penting untuk setidaknya memberi
terang mengapa, misalnya, saat melakukan paparan pada
pertemuan INFID di Tomohon 2 tahun lalu, Bert Adrian
Supit, tetua Ornop Sulut itu, berakhir kebingungan mengejar
ekor mimpi federalismenya sendiri. Ia berguna pula untuk
keperluan diskusi mengapa ketika democratic space dibuka
sedikit, “otonomi” daerah menghasilkan pembelahanpembelahan, beranak pinak wilayah-wilayah politis secara tak
karuan membonceng libido elit dan parasit baru (dengan
fam-fam asli Minahasa).
“Torang musti banakal sadiki kwa!”, usul seorang analis (asal)
Minahasa di sela-sela rehat minum teh sebuah seminar tentang
pelabuhan internasional Bitung. “Lia jo Aceh, biar nda war-war
mo jadi pelabuhan internasional, mar Sabang bole dapa. Sementara
Bitung apa…?”, lanjutnya dengan suara pelan, nyaris berbisik,
khawatir terdengar. Saya menangkap maksud baik dia: Sudah
waktunya Minahasa menaikkan daya tawarnya.
Kaum muda, generasi baru
Minahasa harus “merdeka”!. Secara ekonomi, politik,
sosial, budaya, ekologi!. Sesegera pekik itu berakhir, realitas
lantas menyuguhkan paket kerja keras untuk digumuli. Siapa
yang berani menerima tawaran ini? Menggumuli pilihan
bekerja keras?
Benar. Siapapun yang akrab dengan dinamika politik
Sulawesi Utara mungkin sepakat bahwa pergumulan itu
terlampau berat untuk dipikul para alumnus GOLKAR atau
mereka yang pernah magang atau terinspirasi tingkah dan
laku oportunis aparatus politik ini. Ada yang sepakat bahwa
FOKUS
Ngaasan-EDISI III-SEPTEMBER 2005
tugas itu akan jauh lebih enteng andai diemban kaum muda
Minahasa.
Kaum muda Minahasa macam mana?. Generasi baru
yang menikmati membaca dan menghargai ilmu. Mereka
berpikir bebas. Satu tindak dan tuturnya. Tidak korup. Karena
diri
bukan untuk digadai, mereka teguh atas pilihan-pilihannya,
atas kata-katanya, sebagaimana laki-laki Minahasa dulu
bertarung. Bukan cuma gelisah dengan jamannya, anak-anak
muda itu mau mengorganisir diri dan menyingsing lengan
baju, bekerja keras.
Mereka tidak hanya bekerja dibawah alternatif tersedia,
tapi selalu melihat celah menciptakan alternatif baru.
Pada penulis, seorang tamang yang kecewa pernah
membuang beberapa penggal kalimat berikut: “…apa yang
bisa diharap dari anak-anak muda [Minahasa] itu. Cuma ikoiko, iyo-iyo, seperti kumpulan ternak”. Siapapun yang marah
dengan kalimat itu, tentu bukanlah ternak.
Putus asa bukanlah absolut. Tapi marah juga belumlah
cukup. Sidang pembaca Nga´asan yang terhormat, saya melihat
tamang itu secara mendua. Pertama ia keliru. Atau, tidak
sepenuhnya tepat. Dalam rentang 5 tahun pasca-Suharto,
Minahasa menyaksikan kemunculan anak-anak mudanya yang
bukan cuma memiliki kapasitas analitik yang baik, juga
keberanian mengambil pilihan berbeda dibanding sebayanya
– Sandra Rondonuwu di UKIT, atau Nadya Sumampow
dan Freddy Wowor di UNSRAT, juga Andre di UNIMA,
untuk menyebut beberapa wakil terbaiknya. Anak-anak muda
ini tentu tidak sepenuhnya benar, tapi gairah yang mereka
miliki mungkin mampu memindahkan gunung Klabat.
Sayang, seiring waktu, generasi anak-anak muda itu hilang
ditelan angin. Tapi, disini tetap satu hal bisa kita simpulkan:
dari ketidakpedulian separah Minahasa ternyata mampu
memunculkan orang-orang muda ini, bukan hanya siklus
reproduksi orang-orang bebal. Sebagaimana juga
kolonialisme telah melahirkan anak-anak tak dikehendaki itu
– Sukarno, Sjahrir, Hatta, Tan Malaka atau Ratulangi sendiri.
Kedua, pernyataan tamang itu bisa jadi benar. Diantara
kerumunan mimpi menjadi PNS, hiruk-pikuk Nyong-Noni
Sulut, atau kedangkalan fantasi telenovela dan Indonesian Idol,
kerja menyisir pemuda-pemudi semacam mereka adalah
serumit menelisik jarum di tumpukan jerami.
Pada akhirnya, Minahasa tanah tercinta itu (meminjam
ekspresi subversif Graafland) bisa berdaulat lalu jadi “besar”
dan berdiri setara atau menjadi tak lebih dari sekadar titik di
utara Celebes, tanpa peran apa-apa.
Tai minya? Ini perihal memilih. Dan bekerja. ***
Kolom Perpustakaan Minahasa, AZR Wenas
Permesta
(sebuah koreksi dan solusi)
Oleh: Jootje Kawengian
Memutar ulang atau menceriterakan ulang suatu
peristiwa penting, itu sejarah.Tetapi menyusun
ulang atau merekonstruksi ulang suatu peristiuwa
sejarah, itu namanya meluruskan sejarah.
Dua maret satu sembilan lima tujuh (2 Maret
1957), tidak dapat dipungkiri adalah suatu peristiwa
sejarah di negara tercinta Indonesia ini. Karena pada
hari itu, di Makasar, telah dibacakan satu teks
proklamasi, yaitu, Proklamasi Perjuangan Semesta,
Proklamasi Permesta. Yang menandatangani teks
proklamasi itu berjumlah lima puluh satu ( 51 )
orang. Tokoh-tokoh penting, terkemuka di Wilayah
Indonesia Bagian Timur.
Sebuah konsepsi Perjuangan Semesta yang di
dalamnya sangat sarat dengan muatan koreksi
sekaligus solusi tentang penyelenggaraan dan
penataan Negara ke depan baik yang menyangkut
penataan pemerintahan, penataan ekonomi,
penataan budaya, penataan sosial, penataan politik,
penataan militer,dll, maupun tentang tingkah laku
dan sikap politik para pemimpin bangsa,dalam
rangka mempertahankan arah dan cita-cita
perjuangan bangsa dan keutuhan Negara Republik
Indonesia.
Ketika segenap lapisan masyarakat di Minahasa
mendengarkan Proklamasi Permesta itu, sambutan
yang sangat luar biasa menggema dari semua
kekuatan Minahasa. Boleh disimpulkan bahwa
samua pejabat pemerintahan baik sipil maupun
militer, wakil-wakil rakayat, termasuk di dalamnya
FOKUS
tokoh-tokoh adat, budaya dan agama, penerimaaan
masyarakat Minahasa hanya dapat diungkapkan
dengan kalimat ini, “deng rumpu so jadi Permesta, artinya
samua sudah menjadi Permesta.
Mari kita lihat reaksi ditingkat nasional.
Pada Oktober 1958 Menteri Kehakiman, G.A.
Maengkom mengundangkan UU No.8/1958 untuk
berdirinya Dewan Perancang Pembangunan
Nasional. Hasil rancangan Deppernas – Yang tegas
menyatakan rujukannya pada….dst – ini bahkan
dinamakan “ Pembangunan Semesta “—yang tidak
ada beda maknanya dengan Permesta: Pembangunan
menyeluruh secara terpadu. Pelaksanaan “Permesta
Baru” ini ditandai upacara simbolis pengayunan
cangkul pertama oleh Presiden Sukarno pada hari
pertama tahun 1961 yang kemudian diresmikan
sebagai “ Hari Pembangunan Semesta “. ( Apa Beda
Permesta dan PRRI. Bert Supit, Jun NH Nainggolan,
BE Matindas.hal 19 )
Dua tahun kemudian, tepatnya 2 Maret 1959,
Perdana Menteri H. Juanda, di depan Rapat Pleno
DPR, menyampaikan keterangan pemerintah
mengenai Demokrasi Terpimpin dalam rangka
kembali ke UUD 1945, khusus menjelaskan UUD
1945 pasal 33, bahwa pasal itulah yang harus
senantiasa dipakai sebagai pedoman dalam
Pembangunan Semesta. (Penerbitan khusus
Kementerian Penerangan RI, Kembali ke Undangundang Dasar1945, hal 44).
Layakkah atau wajarkah, permesta dalam catatan
nasional disejarahkan sebagai pemberontak apalagi
separatis?
Coba kita simak sejenak beberapa kalimat dalam
Piagam Permesta.Di dalam angka romawi tiga, (III).
Cara-cara Perjuangan. Ayat 1. Pertama-tama dengan
meyakinkan selur uh pemimpin dari lapisan
masyarakat, bahwa kita tidak melepaskan diri dari
Republik Indonesia,...dst.
Selanjutnya di dalam angka romawi dua, (II).
Tujuan Perjuangan ayat 2 titik 2.1, untuk
kepentingan pembelaan dan praktisnya
pembangunan, maka kepada 4 propinsi yang ada
dalam wilayah Indonesia Bagian Timur harus segera
di berikan otonomi seluas-luasnya.
( Piagam Perjuangan Permesta )
Apakah ini bukan konsep Perjuangan (baca:
Pemberontakan ) di dalam kemerdekaan ?
Ngaasan EDISI III-SEPTEMBER 2005
Atau Ketika KML Tobing menyusun catatancatatan dari Dolf Runturambi dibawah judul
Permesta, Kandasnya Sebuah Cita-Cita, dan oleh
Barbara S Harvey dengan buku berjudul : Permesta,
Perjuangan Setengah Hati, lalu Bert Supit, Jun NH
Nainggolan, BE Matindas dengan judul, Apa Beda
Permesta dan PRRI mau menjelaskan kepada
sesama anak bangsa, bahwa kedepan torang samua
mau melihat Indonesia sebagai Negara besar, kuat
dan maju dalam segala bidang.
Sebagai sesama anak bangsa, pikiran sederhana
yang timbul sekarang ini ialah, apa yang sudah
dikonsepkan dan diperjuangkan oleh Permesta
dengan segala macam konsekwensinya, apa yang
sementara dilakukan oleh GAM dan Pemerintah
Indonesia sekarang ini, ditambah dengan aspirasi
Dewan Adat Papua akhir-akhir ini, akan terwujud,
jikalau yang melakukan perjuangan ini juga adalah
wakil rakyat yang sekarang ini sedang duduk di
lembaga-lembaga DPR-RI, MPR, DPRD baik kota
dan kabupaten.
Dijauhkanlah dari rakyat, pikiran-pikiran yang
mengatakan bahwa mereka yang sementara duduk
sebagai pelayan-pelayan masyarakat di bidang
pemerintahan, mereka yang duduk sebagai wakilwakil rakyat di Legislatif , tidak melayani atau tidak
memperjuangkan aspirasi-aspirasi rakyat yang
dilayani dan diwakilinya.
Kepada rakyat Aceh dan Papua, juga kepada
torang samua, tetaplah di dalam Negara Republik
Indonesia. Galang persatuan dan kebanggan serta
kecintaan terhadap Indonesi. Karena betapapun
penghianatan terhadap cita-cita kemerdekaan yang
telah dilakukan negara ini kepada rakyatnya, rakyat
Indonesia masih berada dalam kerinduan yang sama
untuk melihat masa depan bangsa ini yang lebih baik
dan bermartabat. Bahkan, darah dan jiwa para
pejuang bangsa ini telah menorehkan goresan abadi
bahwa Indonesia harus bersatu melawan segala
bentuk penjajahan, baik penjajahan secara teritorial,
maupun secara sosial dan politik.
Setelah 60 tahun Indonesia merdeka, maka saat
inilah saat yang tepat bagi Indonesia yang matang,
dewasa, berpengalaman untuk menempatkan hakhak rakyat di atas kepentingan kekuasaan yang
menindas dan menghianati nilai-nilai kemanusiaan.
Pakatuan wo pakalawiren.***
Ngaasan Edisi II-Agustus 2005
FOKUS
Peranan Walak Dan Hukum Tua
Mengembangkan Pendidikan Di Minahasa
Oleh: Harry Kawilarang
M
asyarakat Minahasa mengenal pendidikan sejak
pertengahan abad ke-16 sejak masuknya pengaruh
Portugis dan Spanyol. Kedua negeri kolonial ini
menyebarkan agama Roma-Katolik terutama di wilayah
pantai juga melalui pengembangan pendidikan. Lagi pula
penyebaran pendidikan sekolah memperoleh minat besar
dikalangan penduduk setempat. Dalam laporan perjalanannya
ditahun 1675, Pendeta Jacobus Montanus, melaporkan:
“Pada waktu sekolah didirikan di Manado, terdapat 25 murid
dari berbagai latar belakang. Para murid begitu cepat
menguasai huruf aksara hingga dapat membaca dengan fasih
dan mudah mengikuti berbagai mata-pelajaran yang
menggunakan Bahasa Melayu, sebagai bahasa pengantar.”
Proses pendidikan berkembang pesat hingga pada 1695 tanah
Minahasa telah memiliki 6 sekolah dengan 7 tenaga pengajar
dan 220 murid, tulis Montanus.
Proses Diaspora
Dilihat dari peta ethnografi, turunan Minahasa
merupakan perpaduan hasil pembauran antara masyarakat
kepulauan dengan masyarakat pendatang yang memiliki
ikatan hubungan dengan masyarakat pegunungan Himalaya
di daratan Asia yang melakukan diaspora dan menyebar
keberbagai penjuru Asia hingga benua Amerika sejak ribuan
tahun lalu. Hubungan relasi dikaitkan dengan perbendaharaan
beberapa dialek bahasa dan berkulit langsat merupakan ciri
khas keturunan Rumpun Melayu Tua. Rumpun ini berasal
dari pegunungan Himalaya yang kemudian
melakukan proses diaspora di jaman es menyebar
keberbagai penjuru. Ada yang menuju kebagian Utara hingga
kedaratan Cina hingga Mongolia. Yang lainnya menyelusuri
sungai-sungai ke wilayah Selatan dan Tenggara-Asia hingga
delta Mekong. Perjalanan berlanjut keberbagai gugusan
nusantara, terutama di Kalimantan, Nias, Mentawai hingga
Sulawesi Utara. Ciri khas mereka tidak membentuk suatu
kelompok pemerintahan setempat (Non-State Peoples)
dalam tatanan organisasi sosial. Faktor ini menempatkan
mereka terkucil dari dunia luar, selain karena hidup
dipegunungan, juga sibuk dengan perkebunan mereka.
Tatanan Organisasi Pemerintahan
Tatanan organisasi melulu dilakukan menurut garis
kekeluargaan yang dipimpin oleh pemimpin marga sebagai
kepala keluarga. Tatanan organisasi masyarakat mulai
berkembang dengan tumbuhnya pemerintahan desa yang
dihuni oleh beberapa kelompok individual memperbaiki
kepentingan kampung hingga terwujud ikatan kohesif yang
homogen. Sistem organisasi sosial menuju pemerintahan
berkembang dengan dilakukannya lembaga struktural, yakni
pemimpin sebagai figur disebut Walak, dan Hukum-Tua,
yang berfungsi sebagai panglima keamanan desa dan
pengelola administrasi pemerintahan.
Posisi Walak diperoleh dari hasil pemilihan para kepala
keluarga yang disahkan oleh Lembaga Penasehat Desa
setempat yang berfungsi sebagai pengayom sosial-budaya.
Lembaga ini umumnya terdiri dari para, para mantan walak,
orang tua-tua yang dan orang-orang yang ditokohkan karena
prestasi membina keluarga ataupun dalam memajukan
kebajikan bagi kepentinganmasyarakat desa.
Persyaratan menjadi Walak juga tidak mudah. Selain
memiliki kekuatan sosial-ekonomi, juga memiliki penampilan
intelektual, serta bersikap informal dalam sikap terhadap
pergaulan hidup sehari-hari. Para walak tidak digaji selama
masa jabatan. Fungsinya adalah sebagai koordinator dan
bertanggung jawab sebagai stabilisator keamanan bagi
kepentingan masyarakat desa. Karena sudah menjadi karakter
bahwa sistim keamanan pemerintahan Non-Kerajaan”, dari
ancaman luar, termasuk tetangganya sendiri bila merusak
ketenteraman hidup. Untuk itu menetap dipegunungan dan
membiarkan diri terkucil dari dunia luar.
Peranan Mapalus Memajukan Pendidikan
Namun isolasi mendatangkan keterbelakangan mulai
disadari sepenuhnya oleh para walak. Bagi mereka yang walau
memiliki status sosial tinggi, tetapi menjadari kekurangannya
karena buta aksara dan tidak dapat berkomunikasi dengan
dunia luar. Apalagi setelah tata-niaga ekonomi dunia mulai
berkembang dan menjalar kepedalaman Minahasa di abad
pertengahan. Sejak itupun para walak mulai memprakarsai
pendidikan bagi para turunan masyarakat desa. Selain untuk
berkomunikasi, juga mengenal keadaan perkembangan dunia
yang berkembang dari masa kemasa. Pendidikan berkembang
di Minahasa juga berkat peranan para Walak dan [1]Hukum
Tua, mendirikan sekolah-sekolah di masing-masing kampung.
Istilah Walak merupakan pemuka masyarakat yang
memperoleh gelar Tonaas, yang ditokohkan terhadap
seseorang yang berprestasi dilingkungan sebagai panutan.
Sedangkan fungsi Hukum Tua adalah pimpinan pemerintahan
desa yang terpilih oleh masyarakat setempat melalui pemilihan
demokratis. Syarat pencalonan seorang Hukum Tua dinilai
selain memiliki kekuatan sosial-ekonomi, juga dapat
memantapkan konsep program kerja demi perbaikan
kemajuan desa.
Motivasi dari pengembangan kemajuan didasari pada aturan
Mapalus, merupakan pandangan hidup mengandung nilai-nilai
budaya etika terbentuknya ethos kerja atas dasar azas kebersamaan
Minahasa. Panutan Mapalus merupakan salah satu aspek
dikembangkannya dunia pendidikan di tanah Minahasa tidak
didasari pada panutan figur seseorang ataupun sekelompok
manusia dalam menjalankan berbagai kegiatan. Pengadaan
Mapalus merupakan bagian dari kesepakatan para Walak
menyatukan Minahasa dalam satu kesatuan yang terdapat melalui
persekutuan Watu Pinabetengan (monumen di desa Pinabetengan,
FOKUS
Minahasa) dimasa silam. Penyatuan kesepakatan Mapalus terjadi,
karena pada dasarnya masyarakat Minahasa terdiri atas sistem
“clan” yang masing-masing membangun “Tara-Tara” (rumah
panjang). Dari rumah timbul panutan pandangan hidup dan
menjadi ciri khas masyarakat Melayu Tua. Karena dari lingkungan
rumah yang mendidik Mapalus sebagai dasar terwujudnya sifat
solidaritas masyarakat Minahasa menangkal dari ancaman penetrasi
luar.
Keampuhan Mapalus terjadi ketika persada Minahasa
menjadi fazal ekonomi dari kesultanan Ternate. Namun kekuasaan
Ternate tidak berhasil menyentuh hinterlands yang merupakan
sentra-sentra budaya kekuatan masyarakat Minahasa dilindungi
oleh keperkasaan para walak menghadapi penetrasi kekuatan
luar. Spanyol juga hanya berada di pesisir pantai, tetapi tidak
memasuki pedalaman. Itulah salah satu contoh dari panutan
Mapalus mempertahankan identitas Minahasa.
Motivasi Mapalus dikembangkan pada sektor pendidikan
diperkenalkan para misionares Kristen dari Eropa dan dapat
diterima para pemuka masyarakat Minahasa. Selain pengadaan
sarana gereja juga dibangun sekolah-sekolah. Dunia pendidikan
diwarnai dengan berkembangnya pemahaman Kristenisasi yang
cepat menyebar pada masyarakat Minahasa. Setiap sekolah
diwajibkan menyertakan alkitab sebagai bagian yang sangat integral
dalam dunia pendidikan. Sebagai hasilnya, penyebaran Katholik
dan Protestantisme berkembang pesat di mulai dari lingkungan
masyarakat Minahasa. Wajib belajarpun dikenakkan bagi setiap
anak yang berusia antara 6 - 14 tahun tanpa kecuali. Tidak ada
alasan orang-tua tidak menyekolahkan anak mereka karena alasan
beaya. Sebab semua beaya pendidikan ditanggung langsung oleh
para walak dan hukum-tua. Lagi pula pendidikan pada masa itu
bukan merupakan sesuatu yang mewah, hingga memungkinkan
para orangtua menyekolahkan anak mereka, hingga dimasa
datang Minahasa memiliki buta-aksara paling minim di Indonesia.
Para pimpinan desa melakukan inisiatif untuk mengembangkan
pendidikan dan sering pula meng”impor” tenaga pengajar dari
Batavia.
Para pengajar juga terangsang, sebab jaminan hidup seharihari diperhatikan langsung oleh para Hukum-Tua. Untuk
menarik minat, umumnya para guru memperoleh tunjangan
sosial diatur oleh pemuka masyarakat setempat.
Antara lainnya memperoleh satu hingga dua gantang beras
dan upah gaji berkisar antara 8 - 10 Gulden setiap bulannya.
Sejak itupun posisi dunia pendidikan berkembang pesat di
Minahasa. Begitu besarnya hingga Minahasa dikenal sebagai
yang paling maju dalam pertumbuhan pendidikan. Pada
kurun waktu 1846 - 1849, jumlah murid di Minahasa
mencapai limaribu-enam murid. Sedangkan jumlah murid
di tanah Jawa berjumlah
[1]limabelasribu-limaratus-tigapuluhlima pelajar., Itupun
banyak diantara mereka adalah anak-anak para ambtenaar
ataupun tentara turunan Minahasa yang berada di tanah Jawa.
Di Yogyakarta, misalnya terdapat 50 murid turunan Minahasa
yang memasuki sekolah Eropa ketika dilakukan sensus pelajar
pada 1876.
Keranjingan membaca, menulis dan ilmu mathematika
berkembang pesat terutama pada abad ke-19. Walau ajaran
alkitab tidak masuk kurikulum, namun menjadi mata-pelajaran
terutama pada sekolah-sekolah Kristen yang beayanya
ditopang sepenuhnya oleh Hukum-Tua dan para jemaat pada
Ngaasan-EDISI III-SEPTEMBER 2005
1848. Begitu besarnya animo belajar hingga Minahasa
kekurangan guru. Kota Tomohon, merupakan sentral dunia
pendidikan di Minahasa kewalahan karena tenaga pengajar
terbatas melayani sekitar 500 murid. Pihak misi Kristen tidak
mampu menambah tenaga guru karena jumlah terbatas.
Untuk mengatasi, dikembangkan sarana sekolah pendidikan
guru oleh para pemuka desa agar tidak bergantung pada
tenaga-pengajar “impor” yang biasanya disediakan Misi
Kristen dari Batavia. Bermula dengan sekolah pendidikan
guru di desa Sonder, pada 1852, berlanjut di [1]Tanawangko,
pada 1855, yang kemudian ditambah di [1]Tondano, pada
1873.
Hasil “Swadaya Tenaga Pengajar” masyarakat setempat
dapat diatasi berkat peranan para hukum-tua dibantu Jemaat
Gereja ketika pada 1868 mendirikan sekolah pada masingmasing kampung dan menampung hasil pendidikan guru.
Sebagai hasilnya aturanpun diberlakukan untuk membatasi
jumlah murid disetiap kelas. Misalnya, jumlah 100 murid
dilayani dua tenaga pengajar. Peningkatan mutu pendidikan
dikembangkan dengan didirikannya [1]Sekolah Raja, di
Tondano pada 6 Desember 1863.
Peranana Surat Kabar Cahaya Siang
Pertumbuhan intelektualisme Minahasa juga berkembang
pesat dengan hadirnya penerbitan surat kabar Cahaya Siang,
di Tanawangko, pada 1868 yang diprakarsai oleh beberapa
misionares gereja asal Jerman. Media ini merupakan media
cetak jurnalistik berbahasa Indonesia pertama turut
memperkaya khazanah berwawasan luas ditanah Minahasa.
Cahaya Siang turut membantu menjalankan kampanye buta
aksara pada penduduk setempat. Selain itu turut
meningkatkan pengetahuan mengenai perkembangan dunia
yang diperoleh melalui pemberitaan komunikasi laporan
gereja-gereja.
Pertumbuhan intelektual juga berkat peranan lingkungan
keluarga di rumah yang turut membesarkan. Pengetahuan
ethika berharmonisasi dikembangkan hasil rintisan Walanda
Maramis, yang mengilhami pertumbuhan pada generasi
melalui peranan orang-tua turut mewarnai pembawaan sikap.
Dari rumah pula timbul “demokrasi meja makan” antara
orang-tua dan anak hingga terwujud “intellectual exercises”
dengan bahan-bahan obrolan yang diperoleh dari hasil
pendidikan formal yang didasari pada nilai kristiani ditunjang
dari rumah. Ditambah dengan bahan-bahan informasi
mengenai perkembangan dunia melalui media-cetak Cahaya
Siang, Buletin gereja yang didirikan pada 1868 di Tanawangko
oleh kalangan misionaris Jerman pada setiap terbitan
disebarkan keberbagai
pelosok desa Minahasa, dan turut berperan
mengembangkan budaya membaca dan masyarakat mulai
mengenal media jurnalistik modern.
Penyebaran Guru-Guru Minahasa Ke berbagai Pelosok Nusantara
Perkembangan dunia pendidikan guru turut
menumbuhkan pendidikan keberbagai pelosok nusantara
hingga Minahasa dikenal sebagai produsen pendidik dan
sempat berkembang dengan ekspor komoditi guru dan
menyebar di berbagai pelosok nusantara dari Aceh hingga
Irian, dan dikenal sebagai perintis kemajuan dibidang
pendidikan sejak pertengahan abad ke-19. Sarana pendidikan
di Minahasa hanya terbatas hingga tingkat sekolah guru saja
FOKUS
dan tidak memiliki sarana pendidikan perguruan tinggi.
Umumnya pendidikan hanya mencapai hingga tingkat
MULO (setingkat SMP). Yang terakhir inipun baru terjadi
ketika “Politik_Ethis”, diterapkan di awal abad ke-20 dengan
pengembangan proses desentralisasi.
Semula daerah-daerah luar Jawa terkebelakang, karena
pemerintahan
Hindia-Belanda
meprioritaskan
pengembangan di Jawa kemudian Sumatera. Kebijakan ethis
untuk pendidikan dikembangkan hingga tingkat perguruan
tinggi yang pembangunannya diprioritaskan di Batavia dan
Bandung. Di Batavia di dirikan pendidikan kedokteran,
hukum dan ekonomi. Di Bandung didirikan perguruan Tinggi
Teknologi, karena kota ini dibangun sebagai Pusat Pertahanan
Militer.
Bandung yang di masa kemudian menjadi ibukota
provinsi Jawa-Barat meraih gelar “Kota Mahasiswa” juga
mengalami pembentukan sebagai kota kosmopolitan.
Sedangkan pengembangan sarana pendidikan umumnya
diprakarsai para pemuka masyarakat bersama berbagai misi
gereja Kristen Protestan dan Katolik. Walau Minahasa hanya
memiliki sarana pendidikan guru, tetapi menjadi daya tarik
bagi para pelajar, terutama dari Indonesia-Timur. Perguruan
tinggi di Tanawangko dan seminari di Pineleng pernah dikenal
para pelajar dari Maluku, Irian, Timor dan Flores
mengembangkan ilmu.
Namun terbatasnya tingkat perguruan tinggi di daerah
menjadi penyebab timbulnya minat merantau selain untuk
memperdalam ilmu, juga menambah pengalaman pada
masyarakat daerah berbagai kepulauan, termasuk turunan
Minahasa berada dikota-kota besar di tanah Jawa. Dimasa
lalu yang menjadi profesi idamana turunan Minahasa antara
lain sebagai Pengabar Injil, Guru, Militer dan pegawai
administrasi serta pelaut.
Tetapi desentralisasi sektor pendidikan di Indonesia tidak
berkembang akibat politik depresi pemerintahan kolonial
dan depresi ekonomi yang mempengaruh konstelasi
internasional hingga dunia dilanda dua pepera-ngan pada
abad ke-20 (Ikuti pemaparan pada lembaran-lembaran
berikut). Sungguhpun dengan keterbatasan sarana pendidikan
formal, namun dasar dari pendidikan kristiani yang diperoleh
dari rumah telah membentuk turunan Minahasa bersifat
terbuka.
Sifat ini turut mewarnai perjalanan hidupnya hingga
mudah berintegrasi serta beradaptasi dengan lingkungan
masyarakat diperantauan yang dapat menerima karena
keterbukaannya menyebarkan ilmu yang diperolehnya.
Kesemua dasar dari perkembangan pendidikan itu diperoleh
berkat peranan para Hukum-Tua. Faktor inipun tidak terlepas
dari motivasi Mapalus sebagai ethos kerja yang menjiwai
para intelektual Minahasa turut menyebarkan ilmu yang
diperolehnya pada siapapun.
Pembawaan nilai kristiani dari hasil pendidikan rumah
dibawanya serta hingga mudah berintegrasi dengan
masyarakat dirantauan. Sifat keterbukaan yang dijiwai pada
pendekatan integritas dengan menyumbangkan pemikiran
dan semua kemampuan yang terbaik menjadi latar-belakang
hingga masyarakat turunan Minahasa mudah bergaul dengan
lingkungan masyarakat dimana ia berada. Sikap integritas di
iringi rasa solidaritas dengan lingkungan yang diperoleh dari
didikan rumah dan menjadi pembawaan hidup dalam
melakukan berbagai kegiatan bagi kepentingan bersama. Sifat
Ngaasan-EDISI III-SEPTEMBER 2005
Pembawaan itulah yang merupakan kekuatan bagi idealisme
turunan Minahasa turut berpartisipasi memperjuangkan
tuntutan kebebasan hak-hak azasi bersama masyarakat
diperantauan.
Sifat keterbukaan dengan memberi segala pengetahuan
yang terbaik yang dimilikinya hingga masyarakat turunan
Minahasa turut mewarnai pertumbuhan pemikiran
sekularisme kepada masyarakat setempat mengembangkan
pemahaman masyarakat pluralistik.
Dari pembawaan rumah yang didasari pada panutan Mapalus
tidak mengenal pembagian kelas sosial masyarakat yang pernah
dialami turunan masyarakat lainnya terutama pada masa
pemerintahan Kolonial yang melakukan pengkotakan ethnik.
Praktek pengkotakan misalnya terjadi di Batavia dengan hadirnya
berbagai lokasi kampung ethnis yang saling terpisah yang juga
diterapkan baik dilingkungan masyarakat desa maupun dikota
besar. Sedangkan sistem pengkotakan ditanah Minahasa sama
sekali tidak berkembang. Karena didukung pada pembawaan
masyarakat Minahasa yang menjadikan panutan Mapalus sebagai
falsafah hidup.
Itulah sebabnya hingga turunan masyarakat Non-Kawanua
yang berada di tanah Minahasa mudah berbaur karena sikap
keterbukaan masyarakat Minahasa. Contohnya saja ketika
Kampung Jawa dibangun terhadap masyarakat Jawa di Tondano.
Mereka ini umumnya terdiri dari turunan Pangeran Diponegoro
dan para pemuka Perang Jawa (1825-1830) yang ingin
“dikucilkan” oleh Belanda. Begitu pula turunan Imam Bonjol
dan para pemuka Perang Padri (1820 - 1830) yang di “kucilkan”
di daerah Pineleng. Nyatanya walau berbeda latar-belakang budaya
dan agama, tetapi menghidupkan suasana harmoni hidup
berdampingan hingga dengan mudah terjalin proses pembauran dengan masyarakat Minahasa menerima mereka dengan
keterbukaan tanpa harus melakukan pengkotakan. Pendidikan
Kristiani di Minahasa tidak terlepas dari usaha membendung
penetrasi yang dilakukan Spanyol yang berada di Filipina oleh
Belanda. Namun dengan menyerap dan mendalami pengetahuan
westernisasi ternyata juga dijadikan sebagai senjata menghadapi
kolonialisme Belanda pula. Dilain pihak merupakan keuntungan
bagi masyarakat Minahasa memperoleh pengetahuan sebagai
bekal kearah pemikiran modernisasi. Penyebaran ini didasari pada
pandangan “memanusiakan manusia” atau dengan istilah Si Tou
Ti mou Tou, yang dimashurkan GSSJ Ratulangie.
Pandangan inilah hingga masyarakat tenaga pengajar asal
Minahasa menjadi konsisten mendidik diberbagai pelosok
nusantara. Hasil penyebaran pendidikan turut membekali
penduduk gugusan nusantara dijauhi dari keterkucilan dunia
luar, dan mengikuti berbagai peristiwa dunia. Dengan
demikian memperluas pengetahuan dan wawasan terhadap
berbagai kejadian internasional. Untuk itu melakukan kesiapan
berantisipasi agar tidak menjadi korban dari ketidak tahuan
hingga menjadi mangsa dari panggung politik dunia. Proses
kebangkitan nasionalisme awal abad ke-20 juga terjadi setelah
terjadi perubahan wajah dunia. Itupun diperoleh setelah
berhasil memantau keadaan dunia internasional yang disaring
melalui pandangan analisa sesuai kemampuan intelektual.
Itulah salah satu peranan yang dilakukan turunan masyarakat
Minahasa berpartisipasi aktiftif mengembangkan pendidikan
intelektualisme hingga terbentuk kesatuan masyarakat
pluralistik Indonesia dari Sabang hingga Merauke.
Perkembangan dunia pendidikan turut mewarnai
pertumbuhan trend budaya-nasionalisme sekuler dikalangan
penduduk gugusan nusantara sejak awal abad ke-20.***
LASTe
Ngaasan-EDISI III-SEPTEMBER 2005
Harga Mati dan TVRI Tempo Doeloe
Oleh Veldy Umbas
D
i satu diskusi kebangsaan, seorang pembicara
berteriak lantang, gegap gempita sangat dengan
emosional, “Tidak ada warna lain. Yang ada
adalah putih atau hitam.” Kemudian secara sederhana,
pembicara tersebut menghubung-hubungkannya dengan
makna integrasi atau disintegrasi.
Simbol-simbol seperti itu mengingatkan kita pada
jaman revolusi kemerdekaan, seperti pekik kemerdekaan.
Merdeka atau mati. Sebuah slogan atau di masa
demokrasi modern sekarang sering di sebut yel-yel untuk
menyemangati sebuah kegiatan atau pertandingan.
Semuanya merujuk pada sebuah proses penguatan ide
tunggal dan tanpa dialog yang terbuka. Harga mati! Begitu
argumentasi mereka. Artinya, sesuatu “ide” gagasan yang
final, absolut, mutlak, paripurna, final, yang tidak dapat
lagi didiskusikan. Mendiskusikannya berarti mati!
Barangkali seperti itu batasan harga yang dipatok.
Kemutlakan ide memang bukan barang baru. Sejak
pertentangan para pencinta kebijaksanaan tentang dunia
ide, sudah mempertentangkan kebenaran dan hakikat
kebenaran itu.
Sehingga tersebutlah beberapa pemikir seperti
Descartes, Spinoza, Plato yang mengemukakan gagasan
rasionalisme akal untuk menemukan kebenaran itu.
Epsitemologis seperti ini disebut rasionalisme. Sementara
Francis Bacon. Berkeley, Locke dan Hume sangat
menekankan pada epistemologis empirisisme yang mana
pengalaman melahirkan gagasan yang menuju pada
kebenaran.
Meski berbeda pendekatan namun spiritnya sama,
yakni menempatkan ilmu pengetahuan (epistem) sebagai
spirit analitikalnya. Bukan pada emosional yang
cenderung irasional. Biasanya mereka menjadi
deterministik, sentralistik, hegemonik , bahkan
ekspansionis.
Walaupun ini tetap saja mendapat tempat yang nyaman
untuk bertumbuh. Lihat bagaimana nasionalisme gaya
Hitler (kemutlakan Nasionalisme-Sosialisme yang sering
disebut ultra nasonalisme), berhasil mendapatkan pengikut
walau harus mengorbankan hampir 60 juta korban jiwa.
Atas nama integrasi Jerman, nasionalisme, dan keunggulan
ras Arian, Nazi telah mengakibatkan darah menjadi sangat
halal dan mengaliri hampir semua sungai-sungai di Eropa.
Pol Pot di Kamboja dengan korban hampir 2 juta jiwa.
Di Indonesia sendiri, kisah tragis tak kalah sadis juga
terjadi selama 60 tahun Indonesia merdeka. Terhitung
sekitar lebih dari 4 juta jiwa melayang hanya karena
perbedaan ideologi. Beberapa diantaranya terjadi pada
peristiwa pembataian PKI diperkirakan mencapai 2 juta
lebih jiwa , Papua 2000 jiwa, DOM Aceh 30 ribu jiwa,
kasus Tanjung Priuk, Warsidi Lampung, Waduk Nipa, 27
Juli, pemerkosaan massal Mei, kasus tanah Haur Koneng,
Petrus (penembakan misterius), dari Hok Gie sampai
Munir, sungguh sebuah tragedi yang memiluhkan.
Beruntung konstitusi kita, memiliki spirit humanisme
yang jelas-jelas menentang kebiadaban, pelecehan hakhak asasi manusia, bahkan menjamin kemerdekaan
penduduknya untuk mengeluarkan pendapat secara lisan
maupun tulisan. Artinya, epistemologi di republik ini justru
dijamin oleh undang-undang.
Epistemologis memang menjadi alat pencarian
kebenaran yang terus-menerus bergerak, yang oleh Hegel
mengidentikan dengan proses dialektika. Bahwa ide atau
gagasan akan selalu mengalami anti tesis, bersintesis lalu
menjadi tesis baru yang akan diantitesis lagi. Seperti itu
ide akan terus bergerak menuju pada realitas kebenaran
yang sesungguhnya.
Agak berbeda dengan dogma atau doktrin yang telah
mencapai sintesis klimaksnya dan dogma itu menolak
untuk mengalami pengujian apapun. Dogma biasanya
menjadi subur di ladang agama dan kepercayaan. Dia
jarang dan hampir tidak pernah mengalami revisi. Karena
apapun kelemahan dari kebenaran dogmatis itu tetap akan
diterima dengan harga mati. Dan ini sangat emosional
serta menisbihkan alat-alat rasional, akademik, serta logika.
Sehingga yang kita butuhkan sebenarnya adalah dialog,
bukan konfrontasi, apalagi anarkisme.
Lalu apa relevansinya antara Harga Mati dan TVRI
tempoe doeloe yang menjadi judul tulisan ini? Relevansinya
sangat jelas. Silogismenya adalah, TVRI tempo doeloe
warnanya hanya hitam putih, di jaman NKRI sangat
rentang untuk disentuh, didiskusikan, apalagi direvisi. Di
jaman, semua TV kini full color, barangkali dialog NKRI
tidak relevan lagi menggunakan cara pandang hitam putih
dengan harga mati.
Jelas keindahan akan jauh lebih nampak dari sekedar
dua warna itu. Perbedaan adalah warna itu sendiri.
Semakin kaya perbedaan, semakin kaya warna, semakinlah
mosaik Indonesia menjadi lebih indah. Dan Indonesia
pun menjadi taman sari yang sangat mengaggumkan,
seperti kata bung Karno. Karena itu, mari kita
mengaggumi warna Indonesia yang plural, apapun warna
anda. ***
Ngaasan-EDISI III-SEPTEMBER 2005
LASTe
Cak Nur Dan Revolusi Pemikiran Kita
Oleh Dr. Bert A. Supit
Turut berbelasungkawa atas kepergian
Cak Nur…
Duka yang mendalam atas
kepergian Cak Nur adalah renungan komplentatif yang harus
menjadi koreksi besar terhadap bangsa ini. Adalah duka atas
kebebalan bangsa ini yang tidak mau belajar dan malah betah
berlama-lama dalam keterpurukan yang menyesakkan.
Yang tersisa dari Cak Nur adalah gagasan-gagasan segar
yang diusulkan sebagai alternatif solusi bangsa yang tidak
kunjung pulih dari sekarat sosial berbangsa dan bernegara.
Ia tentu bukan tanpa koreksi, dan memang ide Cak Nur
bukan paripurna. Pluralisme Cak Nur bukanlah pulau gading
di tengah lautan ide yang diskursif. Kawan-kawan lain malah
mengejek pluralisme Cak Nur adalah pluralisme borjuis.
Apapun kritikan itu, ia telah ‘mengada’ seiring dengan waktu
yang melesat seperti panah yang keluar dari busur eksistensialis
jaman.
Waktu memang sangat pemaaf dan memberi ruang
besar dan luas untuk koreksi mana kala ia mengevolusi gagasan
yang mengada (being). Namun tak jarang waktu menjadi
beringas dan destruktif mana kala ide gagasan mandeg, statis
dan status quo.
Memang diperlukan energi yang sangat besar dalam
waktu yang tepat untuk meledakan gagasan yang besar demi
kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Bung Karno cs dulu
berhasil melakukan revolusi baik fisik maupun paradigma
untuk segera dan cepat keluar dari kukungan penderitaan
setelah lebih 3 abad evolusi penjajahan nusantara. Betapa
sebuah era yang penuh nostalgia itu telah melahirkan the
founding fathers revolusioner yang gigih memperjuangkan
kemerdekaan bangsa Indonesia.
Namun jaman harus berganti. Revolusi kemerdekaan,
orde lama tumbang oleh orde baru. Cita-cita kemerdekaan
diwarisi generasi orde baru yang berbau kepentingan
pragmatis. Dan sekali lagi waktu menjadi sangat pelan
berevolusi selam 32 tahun titik stationer kemandegan politik.
Nalar Hegel hampir saja tidak runut dalam konsepsi dialektis,
karena 32 tahun terlalu lama untuk sebuah tesa. Rezim Orde
Baru telah menjadi tesis baru yang solid dan tak tergoyahkan,
sampai akhirnya, anti tesis Reformasi meruntuhkan orde
pembangunan dengan propaganda kestabilan politik dibantu
dwi fungsi ABRI.
Juga tak butuh waktu lama, reformasi 1998 menghilang
begitu saja, untuk tiba-tiba memberikan kesempatan ular
berganti kulit dan para pelaku orde baru itu kembali ke
panggung politik dalam bentuk yang baru. Reformasi 1998
dinilai sejumlah kalangan gagal. Gus Dur, Cak Nur, Sri
Bintang Pamungkas, Amin Rais, sampai pada Budiman
Sujadmiko yang telah mengusung reformasi nasional, serta
kami di Sulawesi Utara, menjadi saksi bahwa reformasi lapuk
dalam evolusi sosial Indonesia 60 tahun.
Bagi saya, reformasi Indonesia kandas lantaran tidak
diikuti oleh “revolusi pemikrian,” sehingga semua menjadi
tidak siap, mungkin benar, buah revolusi akan jatuh hanya
ketika ia sendiri sudah matang dan siap. Apalagi di jaman
sekarang, varian politik tidak lagi tunggal, seperti jaman
kemerdekaan dahulu, kini hampir semua orang terjerembab
ke dalam vested interest dialektika sistem-sistem besar di dunia
ini.Yakni, kepentingan ekonomi global, kepentingan
kekuasaan nasional (sentralisme kekuasaan), dan kepentingan
eksistensi agama. Sejak masa kolonialisme dengan model
sistem merkantilisme, negara-negara barat mengakupasi
negara-negara lemah Asia dan Afrika demi kepentingan;
agama, emas, dan kejayaan (gospel, gold, glory). Era sosialisme
maupun komunisme yang mengusung ide revolusi tidak
cukup kuat menahan hantaman kepentingan modal besar
swasta akhirnya seolah-olah membenarkan teorema Francis
Fukuyama (The End Of History And The Last Men) bahwa
Kapitalisme modern dengan neoliberalisme telah berhasil
memenangkan pertarungan, juga demi kepentigan
penguasaan modal yang tak ubahnya jaman kolonialisme.
Artinya, bahwa individualisme, materialisme, hedonisme
telah menang atas kolektivisme, idealisme dan naturalisme.
Berturut-turut, sense of crisis menghilang dan semua orang
akan terjebak dalam pragmatisme vested interest, baik dalam
bidang sosial, politik, dan ekonomi. Mungkin saja Adam
Smith benar soal dampak positif dari individualisme.
Mungkin juga salah. Namun dalam keadaan seperti ini saya
merasa sangat lonely. Kawan-kawan perjuangan saya yang
revolusioner sejak kami menggemakan dewan reformasi di
Sulawesi Utara perlahan surut oleh vested pragmatism itu. Di
nasional, berguguran mengikuti evolusi alam, seperti Romo
Mangun, Munir, Agus Wirahadikusuma, Baharudin Lopa,
bahkan Cak Nur yang meninggal karena sakit.
Sehingga simpulan saya, refolusi hanyalah letupan-letupan
kecil hasrat yang mendesak dalam evolusi kehidupan. Waktu
tetap memberi ruang yang luas dan sama untuk membiarkan
gagasan itu menjadi lapuk dan hilang. Atau ia akan terus
menyejarah merangsek hadir dan membuktikan
komitmennya terhadap kemanusian, keadilan dan kebenaran.
Yang terakhir ini haruslah menjadi basis ideologi kita untuk
terus menerus digemakan, dikumandakan hingga menjadi
letupan besar gagasan sebagai revolusi pemikiran dengan
menggunakan hati nurani yang jernih untuk melawan
ketidakadilan, penindasan, dan penistaan tanpa kenal lelah
dan kenal waktu. Manusia boleh gugur, tapi gagasan akan
terus tinggal abadi bersama waktu. ***
Download