BAB II - UNHAS Repository System

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Bagian pertama tinjauan pustaka ini adalah perspektif empirikal dengan
menampilkan beberapa penelitian yang pernah dilakukan oleh peneliti terdahulu
baik yang dilakukan oleh peneliti dalam negeri maupun dilakukan peneliti
dibeberapa negara lain. Kemudian bagian kedua yakni perspektif teorikal dengan
menguraikan sejumlah teori dan konsep dalam kajian ilmu administrasi publik
menurut berbagai perspektif, model, dan paradigma. Selanjutnya meninjau
beragam pandangan mengenai teori desentralisasi, local government, birokrasi,
dan teori inovasi pemerintahan daerah dalam berbagai perspektif.
2.1. Tinjauan Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu yang ditampilkan pada bagian ini bertujuan untuk
membandingkan penelitian yang akan dilakukan dengan sejumlah penelitian
pernah dilaksanakan oleh orang atau pihak lain. Hal-hal yang ditekankan pada
penelitian terdahulu, meliputi: konsep yang digunakan; pendekatan dan metode
penelitian; hasil penelitian dan relevansinya dengan penelitian yang akan
dilakukan.
1. Eko Prasojo dan Teguh Kurniawan (2006), melakukan kajian terhadap
inovasi pro masyarakat miskin melalui program bebas iuran sekolah sebagai
bentuk inovasi urusan pendidikan di Kabupaten Jembrana. Penelitiannya
berjudul: Bebas Iuran Sekolah dan Jaminan Kesehatan Jembrana: Inovasi
Pro Masyarakat Miskin di Kabupaten Jembrana. Penelitian ini menggunakan
metode kualitatif dengan strategi wawancara mendalam, FGD dan kajian
dokumentasi. Konsep-konsep yang digunakan meliputi inovasi program, best
27
28
practices, kepemimpinan, keberlanjutan, dan kesetaraan gender. Hasil kajian
ini menunjukkan adanya dominasi peran bupati dalam program inovasi,
karena memiliki politicall will dan commitment yang tinggi. Melibatkan
organisasi lokal, program efisiensi dan efektivitas di semua sektor dan
memunculkan perubahan budaya birokrasi.
2. Fadel Muhammad (2007), penelitian disertasi tentang Signifikansi Peran
Kapasitas Manajemen Kewirausahaan terhadap Kinerja Pemerintah Daerah:
Studi Kasus Gorontalo, yang kemudian dikembangkan dalam sebuah buku
berjudul “Reinventing Local Government: Pengalaman dari Daerah”. Fokus
penelitian ini adalah pentingnya penguatan kapasitas manajemen pemerintah
daerah dan pemanfaatan faktor endowment daerah. Melalui metode
penelitian kualitatif dan kuantitatif, serta penerapan konsep New Public
Mamanagent, Reinventing Government, dan Entrepreneurship Government
mengungkap bahwa inovasi pemerintah daerah harus berbasis penguatan
kapasitas manajemen pemerintah daerah. Penguatan kapasitas manajemen
ini dilakukan melalui reformasi tata kelola keuangan, pengembangan
organisasi
matriks,
penerapan
model
mobile
government,
kebijakan
tunjangan kinerja daerah, dan penilaian kinerja individu. Inovasi yang
berkaitan dengan pemanfaatn faktor endowment daerah dan kaitan dengan
lingkungan makro didorong memalui kebijakan yang memudahkan investasi.
3. Graham Orange, Tony Elliman, Ah Lian Kor, dan Rana Tassabehji (2007)
melakukan penelitian tentang inovasi pemerintahan daerah dalam kaitannya
dengan pengembangan nilai publik (public values). Penelitian ini dituangkan
dalam artikel berjudul Local Government and Social or Innovation Values.
Melalui metode penelitian berbasis pustaka dan dokumentasi, penelitian ini
mengembangkan model nilai inovasi pemerintahan daerah yang berdasar
29
tiga dimensi yang saling berkorelasi. Ketiga dimensi nilai inovasi tersebut
meliputi people dimension, process dimension, dan technology dimension.
Sehingga dalam mengukur nilai publik suatu inovasi pemerintahan daerah
harus didasarkan pada ketiga dimensi secara terintegrasi dan holistik.
4. M.A. Ajibola (2008), melakukan penelitian mengenai inovasi kebijakan sistem
pendidikan di Nigeria. Inovasi kebijakan sistem pendidikan ini fokus pada
kebijakan pengembangan kurikulum pendidikan tingkat dasar. Rangkuman
penelitian telah dituangkan dalam artikel berjudul: Innovation and Curriculum
Development for Basic Education in Nigeria: Policy Priorities and Challenges
of Practice and Implementation. Kajian penelitian mengungkap pentingnya
renovasi kurikulum yang realistik dan berpusat pada anak (child-centered).
Kebijakan kurikulum yang menganut prinsip quality dan relevance. Prinsip
quality berkaitan dengan kapasitas kurikulum dalam mendorong munculnya
kepercayaan diri dan kemampuan anak didik dalam menyelesaikan masalah.
Prinsip relevance berkaitan dengan model sistem kurikulum sekolah yang
fleksibel dan adaptif terhadap perubahan global. Merekomendasikan agar
pemerintah Nigeria mengembangkan kebijakan pendidikan berparadigma
inter-disciplinary courses, openended systems, inter-generational and interprofessional relationships, multi-culturalism and sustainability pada semua
tingkatan dan satuan pendidikan.
5. Pan Suk Kim (2009) berjudul: Quality as a Reflection of Innovation? Quality
Management in the Korean Government. Menggunakan konsep inovasi,
Quality Management, Reform, dan Total Quality Management serta metode
penelitian pendekatan studi pustaka. Hasil penelitian yaitu bahwa kualitas
manajerial menjadi unsur utama dari inovasi, sehingga tidak bisa diabaikan
walaupun berfluktuasi. Kualitas manajemen (inovasi) di Korea dipengaruhi
30
oleh praktek di Jepang dan Amerika dan pengaruh manajemen Eropa tidak
begitu nampak dalam praktek.
6. Mark
Evans
(2010),
melakukan
kajian
tentang
kapasitas
inovasi
pemerintahan daerah terhadap delapan studi kasus yang berbeda. Hasil
kajian Evans kemudian dirangkum dalam tulisan “Building the Capacity for
Local Government Innovationm: Case studies from the Australian, New
Zaeland, and British contexts”. Kedelapan kasus tersebut menerapkan
tipologi inovasi meliputi strategic innovation, product innovation, service
innovation, dan governance innovation dan derajat inovasi yang dibedakan
berdasarkan tujuh perspektif yaitu place, novelty, significance, utility,
effectiveness, longevity, dan transferability. Melalui metode FGD dengan
manajer senior pemerintah daerah terungkap beberapa pelajaran penting
bagi pengembangan kapasitas inovasi pemerintah daerah yaitu (a) kapasitas
mengetahui adanya kesenjangan metode dan pemberian pelayanan; (b)
kapasitas membangun kemitraan dengan stakeholders yang memiliki
sumberdaya; (c) kapasitas bertindak dalam kerangka kebijakan legislatif dan
memanfaatkan situasi politik secara tepat; (d) munculnya pemimpin yang
memiliki agenda reformasi untuk inovasi; (e) dukungan dari pemimpin politik
dan menajemen senior; (f) kolaborasi lintas-departemen dan unit pelayanan
melalui komunikasi yang efektif; (g) keterlibatan warga lokal; dan (h)
tersedianya teknologi baru yang mendukung pelaksanaan program inovasi.
7. Joseph J. Capuno (2010), mengkaji pentingnya posisi para pemimpin daerah
sebagai penggerak utama inovasi pemerintahan di daerahnya masingmasing. Hasil kajiannya dimuat dalam artikel berjudul: Leadership and
Innovation under Decentralization: A Case Study of Selected Local
Governments in the Philippines. Melalui metode observasi dan survei
31
terhadap 209 program inovatif serta FGD terhadap 48 manajer pemerintahan
daerah di Filipina dirumuskan beberapa kesimpulan, antara lain: (a) di era
desentralisasi yang sudah berlangsung 20 tahun, pemerintah daerah berhasil
melakukan inovasi dalam berbagai sektor; (b) pemimpin daerah yang masih
berkuasa (incumbent mayors) menjadi pendorong utama lahirnya ide dan
suksesnya pelaksanaan program inovasi di daerahnya; (c) pemimpin yang
berhasil mengembangkan inovasi sangat tergantung pada situasi lingkungan
(sumber daya alam), pengetahuan, pengalaman, dan insentif yang diterima;
(d) jangkauan inovasi daerah yang luas dan bervariasi bermanfaat langsung
pada konstituen; (e) faktor kritis lain selain faktor kepemimpinan adalah faktor
kelembagaan meliputi kapasitas fiskal daerah, kualitas birokrasi daerah,
aparatur yang profesional, dan pelibatan sektor swasta.
8. Comfort Olufunke Akomolafe (2011), topik penelitian tentang manajemen
inovasi dalam sistem pendidikan di Nigeria yang dituangkan dalam artikel
berjudul: Managing Innovations in Education System in Nigeria: A Focus on
Creating and Sustenance of Culture in Innovation. Oleh karena terdapat
kebutuhan sistem pendidikan sekolah yang harus memiliki budaya dinamis
dan berorientasi kedepan, maka fokus kajian pada proses penciptaan dan
pengembangan budaya inovasi sekolah. Melalui metode studi literatur dan
observasi langsung, Akomolafe menyimpulkan bahwa (a) pengembangan
budaya inovasi sekolah adalah upaya meningkatkan kualitas sekolah dan
mempertahankan produktivitas dan efisiensi yang sudah dicapai; (b) inovasi
membutuhkan pembangunan tidak hanya untuk membentuk individu yang
kreatif saja tetapi juga menciptakan lingkungan inovatif yang berkelanjutan;
(c) pemimpin di sekolah harus menciptakan budaya inovasi; dan (d) budaya
inovasi di sekolah wujud sistem pendidikan yang transformatif.
32
9. Lea Hennala, Satu Parjanen dan Tuomo Uotila (2011), meneliti tentang
proses inovasi pelayanan publik yang melibatkan multi-aktor. Penelitiannya
berjudul: Challenges of Multi-Actor Involvement in the Public Sector FrontEnd Innovation Processes Constructing an Open Innovation Model for
Developing Well-Being Services. Menggunakan konsep inovasi, organisasi
sektor publik dan stakeholders dengan constructive research approach dan
kombinasi analisis kuantitatif dan kualitatif menghasilkan suatu model inovasi
terbuka (the open innovation model). Model inovasi terbuka ini mengakui
terutama masuknya informasi dari luar dan pengetahuan dari pengguna
layanan yang berpotensi menghasilkan wawasan baru dan bernilai tambah
terhadap proses pengembangan inovasi.
10. Satu Pekkarinen, Tomi Tura., Lea Hennala & Vesa Harmaakorpi. 2011.
Berjudul: Clashes as Potential for Innovation in Public Service Sector Reform.
Menggunakan konsep inovasi dan reformasi sektor publik dengan metode
penelitian kualitatif (studi kasus dan konten analisis). Hasil penelitiannya
adalah mengungkap beragam tekanan yang mempengaruhi tingkatan inovasi
dan diwujudkan sebagai benturan (clashes) dan menjadi saling bertolak
belakang (controversies) antara cara berfikir yang lama dan cara yang baru.
Tetapi benturan tersebut dapat menjadi dasar yang kuat (platform) bagi
inovasi untuk dianalisis dan difasilitasi secara terbuka.
11. Daniel Adetoritse Tonwe (2011), melakukan kajian terhadap institusi
pemerintahan daerah. Hasil kajian ini kemudian dituangkan dalam tulisan
berjudul: Conceptualizing Local Government from a Multi-Dimensional
Perspective. Melalui studi pustaka, dalam kajian tersebut menjelaskan bahwa
pemahaman yang mendalam terhadap local government sebagai institusi
harus dimaknai dari multi-dimensional perspective. Makna multi-dimensional
33
perspective dari institusi local government meliputi social dimension,
economic
dimension,
geographic
dimension,
legal
dimension,
dan
administrative dimension.
Berikut ini disajikan matriks ringkasan kajian dan penelitian terdahulu.
Pada Tabel 1 berikut berisi sumber penelitian (penulis, tahun, dan judul), hasilhasil penelitian, metode dan konsep-konsep yang digunakan setiap kajian.
Tabel 1. Matriks Ringkasan Penelitian Terdahulu
No.
1
1.
Penulis, Tahun &
Judul Penelitian
2
Eko Prasojo & Teguh
Kurniawan (2006),
“Bebas Iuran Sekolah dan
JKJ: Inovasi Pro
Masyarakat Miskin di
Kabupaten Jembrana”.
2.
Fadel Muhammad (2007)
Signifikansi Peran
Kapasitas Manajemen
Kewirausahaan terhadap
Kinerja Pemda: Studi
Kasus Gorontalo
3.
Graham Orange, Tony
Elliman, Ah Lian Kor, &
Rana Tassabehji (2007)
Local Government and
Social or Innovation
Values
4.
M.A. Ajibola (2008)
Innovation and Curriculum
Development for Basic
Education in Nigeria:
Policy Priorities and
Challenges of Practice
and Implementation
Metode &
Konsep
Hasil Kajian
3
4
Dominasi peran bupati dalam program
inovasi, krn memiliki politicall will dan
commitment yang tinggi. Operasional
program inovatif melibatkan organisasi lokal,
program efisiensi & efektivitas di semua
sektor, dan memunculkan perubahan
budaya birokrasi. Program inovatif yang
berkelanjutan.
Kualitatif & FGD,
wawancara &
kajian dokumen
Inovasi penguatan kapasitas manajemen
pemerintahan yakni reformasi tatakelola
keuangan, organisasi matriks, mobile
government, TKD, penilaian kinerja individu.
Inovasi relasi faktor endowment daerah
dengan lingkungan makro melalui kebijakan
kemudahan investasi
Kuantitatif &
Kualitatif
Pengembangkan model nilai inovasi
pemerintahan daerah yang berdasar tiga
dimensi yang saling berkorelasi. Ketiga
dimensi nilai inovasi tersebut meliputi
people dimension, process dimension, dan
technology dimension. Ketiga dimensi judi
ukuran nilai publik (social values) inovasi.
Studi pustaka &
Dokumentasi
Renovasi kurikulum realistik & berpusat
child-centered. Kebijakan kurikulum yang
menganut prinsip quality (mendorong
kepercayaan diri & kemampuan anak didik
menyelesaikan masalah dan prinsip
relevance (model sistem kurikulum sekolah
fleksibel & adaptif. Paradigma interdisciplinary, openended, inter-generational
and inter-professional, multi-culturalism &
sustainability.
Studi pustaka
Inovasi program,
best practices,
kepemimpinan,
keberlanjutan.
NPM, Reinventing
Government,
Entrepreneurship
Government
Inovasi;
Local government;
Value analysis
Kurikulum
pendidikan dasar;
Inovasi;
Policy
implementation
34
1
5.
2
Pan Suk Kim (2009)
Quality as a Reflection of
Innovation? Quality of
Management in the
Korean Government.
6.
Mark Evans (2010)
Building the Capacity for
Local Government
Innovation: Case Studies
from the Australian, New
Zaeland, and British
Context.
7.
Joseph J. Capuno (2010)
Leadership and Innovation
under Decentralization:
A Case Study of Selected
Local Governments in the
Philippines
8.
Comfort Olufunke
Akomolafe (2011)
Managing Innovations in
Education System in
Nigeria: A Focus on
Creating and Sustenance
of Culture in Innovation
9.
Lea Hennala, Satu
Parjanen & Tuomo Uotila
(2011)
Challenges of Multi-Actor
Involvement in the Public
Sector Front-End
Innovation Processes
Constructing an Open
Innovation Model for
Developing Well-Being
Services
3
4
Fokus pada kualitas manajemen sebagai
refleksi dari inovasi.
Kualitas manajerial adalah unsur utama
inovasi, sehingga tidak bisa diabaikan
walaupun berfluktuasi. Kualitas manajemen
(inovasi) di Korea dipengaruhi oleh praktek
di Jepang dan Amerika dan pengaruh
manajemen Eropa tidak begitu nampak
dalam praktek.
Pengembangan kapasitas inovasi
pemerintah daerah yaitu (a) mengetahui
kesenjangan pelayanan; (b) kemitraan
stakeholders pemilik sumberdaya; (c)
bertindak dalam kerangka legislatif & situasi
politik yg tepat; (d) pemimpin dgm agenda
reformasi utk inovasi; (e) dukungan
pemimpin politik & menajemen senior; (f)
kolaborasi lintas-departemen dan unit
pelayanan; (g) keterlibatan warga lokal; dan
(h) tersedianya teknologi baru.
Studi pustaka
(comparative
perspective)
Hasil kajian yaitu: (a) di era desentralisasi,
pemerintah daerah berhasil berinovasi; (b)
pemimpin (incumbent mayors) pendorong
utama ide dan sukses program inovasi; (c)
pemimpin berhasil tergantung lingkungan,
pengetahuan, pengalaman, & insentif; (d)
jangkauan inovasi luas & variasi bermanfaat
langsung pada konstituen; (e) faktor kritis
lain, adalah kelembagaan meliputi kapasitas
fiskal daerah, kualitas birokrasi daerah,
aparatur profesional, & stakeholers.
Sistem pendidikan sekolah harus berbudaya
dinamis & berorientasi kedepan, maka perlu
proses penciptaan & pengembangan: (a)
upaya meningkatkan kualitas & produktivitas
& efisiensi yg dicapai; (b) inovasi butuh
pembangunan tidak hanya membentuk
individu kreatif saja tetapi menciptakan
inovasi berkelanjutan; (c) pemimpin di
sekolah pencipta budaya inovasi; dan (d)
budaya inovasi di sekolah wujud sistem
pendidikan yang transformatif.
Fokus pada keterlibatan multi-aktor dalam
proses inovasi sektor publik.
Hasil kajian melahirkan model inovasi yg
disebut Model Inovasi Terbuka (the open
innovation model). Masuknya informasi dari
luar dan pengetahuan dari pengguna
layanan berpotensi menghasilkan wawasan
baru dan bernilai tambah dalam proses
pengembangan inovasi.
Kualitatif & regresi
(statistik)
Inovasi, Quality
Management
Reform, TQM
Studi Kasus &
dokumentasi
Inovasi;
Local government;
Public value
managemenet
Leadership;
Inovasi pemerintah
daerah
Studi pustaka &
observasi
Inovasi;
Budaya inovasi;
Kepemimpinan;
Pendidikan
transformasi;
Individu yg kreatif
Constructive
Research pproach
(Kuantitatif &
Kualitatif)
Konsep Inovasi;
Organisasi
Sektor Publik;
Stakeholders
35
1
2
3
10.
Tomi Tura, Satu
Pekkarinen, Lea Hennala
& Vesa Harmaakorpi
(2011)
Fokus pada potensi konflik dalam inovasi
pelayanan publik.
Mengungkap beragam tekanan yang
mempengaruhi derajat inovasi & diwujudkan
sebagai benturan (clashes) & menjadi saling
bertolak belakang (controversies) antara
berfikir cara lama & cara baru. Tetapi
benturan tersebut dapat menjadi dasar yang
kuat (platform) bagi inovasi untuk dianalisis
dan difasilitasi secara terbuka.
Kualitatif
(studi kasus dan
konten analisis)
Pemahaman local government sebagai
institusi harus dimaknai dari multidimensional perspective. Makna multidimensional perspective dari institusi local
government meliputi social dimension,
economic dimension, geographic dimension,
legal dimension, dan administrative
dimension.
Studi literatur
Clashes as Potential for
Innovation in Public
Service Sector Reform
11.
Daniel Adetoritse Tonwe
(2011)
Conceptualizing Local
Government from a MultiDimensional Perspective
4
Inovasi Sektor
Publik;
Potensi konflik
Local Government;
Multi-dimensional
perspektif
Berdasarkan kajian yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu
sebagaimana yang ditampilkan, maka diperoleh beberapa kesimpulan penting
yang dianggap relevan dengan kajian yang akan dilakukan. Beberapa
kesimpulan penting dari kajian terdahulu meliputi: pertama, bahwa kajian inovasi
pemerintahan daerah pada umumnya bisa dikaji dari beragam perspektif.
Beragam perspektif dimaksud yang terdapat pada penelitian terdahulu yaitu (a)
tipologi dan derajat inovasi; (b) nilai dan budaya inovasi; (c) kapasitas inovasi; (d)
kelembagaan; (e) kepemimpinan dan dukungan politik; dan (f) pelibatan aktor
selain pemerintah (swasta dan masyarakat) dalam pengembangan inovasi.
Kedua, kajian inovasi penyelenggaran pemerintahan yang berkaitan
dengan bidang pendidikan masih lebih ditekankan pada inovasi manajemen
sekolah, inovasi proses pembelajaran, dan inovasi kurikulum. Ketiga, kajian
terdahulu juga menunjukkan bahwa penelitian inovasi di sektor publik pada
umumnya tidak hanya dilakukan dengan menggunakan metode analisis
kuantitatif tetapi juga dapat menggunakan metode analisis kualitatif.
36
2.2. Teori dan Perkembangan Administrasi Publik
Salah satu asumsi dasar dalam mengkaji administrasi publik adalah
”administration is a unitary process that can be studied uniformly, at the
municipal administration, state administration, and federal administration”.
Asumsi dasar ini ditulis oleh Leonard D. White (1926) dalam artikelnya yang
berjudul ”Introduction to the Study of Public Administration” sebagaimana
disunting oleh Shafritz, at al (2004:56). Makna yang terkandung dalam asumsi
dasar tersebut adalah bahwa mempelajari disiplin ilmu administrasi publik berarti
mengkaji administrasi publik sebagai kesatuan proses, tidak hanya pada level
federal dan level negara tetapi juga menyangkut administrasi pada level lokal
(municipal).
Oleh karena itu, dalam konteks kajian tentang inovasi pemerintahan
daerah penting diawali dengan memahami perkembangan teori dan konsep
administrasi publik dan pemerintahan daerah. Perkembangan pemikiran
administrasi publik disajikan mulai dari pemahaman administrasi publik dalam
berbagai perspektif, model, dan paradigma yang dikembangkan oleh para
ilmuwan administrasi publik.
Menurut Shafritz & Russel (1999) dalam bukunya ”Introducing Public
Administration” bahwa memahami administrasi publik (public administration)
tidak bisa hanya melalui satu definisi saja, karena masing-masing peminat
administrasi publik memiliki perspektif yang berbeda sehingga menyimpulkan
definisi yang berbeda pula. Oleh karena itu, Shafritz & Russel (1999:5-28)
mengembangkan pemahaman terhadap administrasi publik dalam empat
kategorisasi atau perspektif yang meliputi: political, legal, managerial, dan
occupational perspective, seperti pada Tabel 2 bagian berikut ini.
37
Tabel 2. Category of the definition of public administration
No.
Category/Perspective
Definitions of Public Administration
1.
Political
As what government does?; Both direct and
indirect; A phase in the public policy; Implementing
the public interest; and Doing collectively that which
cannot be so well done.
2.
Legal
As law in action; Regulation; The King’s largesse;
and Theft.
3.
Managerial
As the executive function in government;
Management specialty; Mickey mouse; Art, not
science-or-Vice versa.
4.
Occupational
As an occupational category; An essay contest;
Idealism in action; An academic field; and a
profession.
Sumber: adaptasi dari Shafritz & Russel (1999:5-30)
Pada Tabel 2 diperlihatkan kategorisasi definisi administrasi publik yang
dapat dipahami dalam empat perspektif yakni: pertama, dari perspektif politik
melihat administrasi publik sebagai ”what government does” baik langsung
maupun tidak langsung, suatu tahapan siklus pembuatan kebijakan publik,
implementasi kepentingan publik, dan sebagai kegiatan yang dilakukan secara
kolektif karena tidak dapat dikerjakan secara individual.
Kedua, perspektif legal (hukum), administrasi publik dipandang sebagai
penerapan hukum (law in action), regulasi, kegiatan pemberian sesuatu dari
penguasa atau ”raja” kepada rakyatnya (King’s Largesse), dan sebagai bentuk
”theft” yakni tindakan mengambil sebagian harta orang kaya untuk dibagikan ke
yang miskin secara legal dalam bentuk UU perpajakan (tax regulation), dimana
pihak-pihak yang dirugikan harus tunduk dan mentaatinya.
Ketiga, perspektif manajerial, administrasi publik adalah fungsi eksekutif
dalam pemerintahan, sebagai bentuk spesialisasi dalam manajemen (bagaimana
mencapai hasil melalui orang lain), sebagai ”mikey mouse” simbol dari maladministrative seperti perilaku red tape, inefficiency, korupsi, kolusi, dll, sebagai
38
seni misalnya judgement dan common sense seorang administrator kadang lebih
menentukan dibanding ilmu yang dimilikinya.
Keempat, perspektif okupasi atau jabatan, bahwa administrasi publik
dapat dipahami sebagai bentuk profesi tertentu, gambaran tentang program atau
proyek tertentu yang dibiayai dan dilaksanakan pemerintah, sebagai penerapan
idealisme dimana orang-orang ingin mewujudkan impiannya, dan sebagai bidang
akademik yang akan terus mempelajari seni dan ilmu manajemen untuk
diterapkan di sektor publik.
Tabel 3. Perspective on Public Administration
Characteristic Traditional
Management
Perspective
NPM
Politics
Law
Constitutional
integrity,
procedural due
process, robust
substantive rights,
equel protection,
equity
Adjudicatory
(adversary)
Values
Economy,
efficiency,
effectiveness
Cost-effectiveness,
responsiveness to
cutomers
Representation,
responsiveness,
accountability
Organizational
structure
Ideal-typical
bureaucracy
Competitive,
firmlike
Organizational
pluralism
View of individual
Impersonal case,
rational actor
Customer
Member of group
Individual and/or
member of class,
reasonable person
Cognitive approach
Rational-scientific
Theory,
observation,
measurement,
experimentation
Agreement and
public opinion,
debate
Budgeting
Rational (costbenefit)
Performancebased marketdriven
Decision making
Rationalcomprehensive
Decentralized,
cost-minimizing
Incremental
(distribution of
benefit and
burdens
Incremental
mudding trough
Inductive case
analysis, deductive
legal analysis,
normative
reasoning,
adversary process
Rights funding
Govermental
function
characterized by
Executin
Executin
Legislation
Sumber: Rosembloom & Kravchuk (2005:37)
Precedential
incrementalism
Adjudication
39
Sementara Rosembloom dan Kravchuk (2005:14) memandang bahwa
administrasi publik dapat dipahami dalam tiga pendekatan, sebagaimana tertera
pada Tabel 3 mengenai tiga perspektif dalam memahami administrasi publik.
Ketiga perspektif dan pendekatan tersebut adalah (a) pendekatan manajemen;
(b) pendekatan politik; (c) pendekatan hukum. Masing-masing pendekatan ini
memiliki karakteristik dan penekanan yang berbeda-beda berdasarkan aspek
values, organizational structure, view of individual, cognitive approach,
budgeting, decision making, dan governmental function.
Kajian dan pemahaman terhadap administrasi publik dapat pula dilihat
dari eksistensi model yang dikembangkan oleh para ahli administrasi publik.
Dalam konteks perkembangan administrasi publik, terdapat model ”administrasi
negara baru” atau ”new public administration” yang dikembangkan oleh H.
George Frederickson pada tahun 1980an. Kelima model administrasi negara
baru menurut Frederickson (1988:28-30) meliputi: bureaucracy (classic), neobureaucracy, institution, human relation, dan public choice model, yang dapat
disimak pada Tabel 4 berikut ini.
Tabel 4. Lima Model Administrasi Negara Baru
Teori &
Teoritisi
Fokus Empiris
(Unit Analisis)
2
1
Model
Birokrasi
Klasik
Taylor
Wilson
Weber
Gulick, Urwick
Organisasi
Model
Neobirokrasi
Simon, Cyert
March, Gore
Keputusan
Kelompok Produksi
Instansi Pemerintah
Biro (bureau)
Kelompok Kerja
Nilai yang akan
Dimaksimumkan
Ciri-ciri
3
4
Struktur, hirarki, pengendalian,
otoritas, dikotomi, kebijakanadministrasi, rantai perintah,
kesatuan perintah, rentangan
pengendalian, pengangkatan
atas kemampuan, sentralisasi
Efisiensi
Ekonomi
Efektivitas
Positivis-logis, penelitian
operasi, analisa sistem,
sibernetika, ilmu manajemen,
produktivitas
Rasionalitas
Efisiensi
Ekonomi
40
1
2
3
4
Model Institusi
Limbloom
J. Tompson
Keputusan (rasional)
Keputusan (tambahan)
Perilaku organisasi
(sistem terbuka)
Perilaku organisasi
Perilaku individu dan
organisasi
Biro dan profesi
Perbandingan perilaku
organisasi (kekuasaan)
Perilaku organisasi
(pertukaran)
Organisasi dan kebudayaan
Perilaku organisasi
Perilaku organisasi
(organismis)
Individu dan kelompok kerja
Empiris, positivis, birokrasi
adalah cerminan kebudayaan,
pola-pola perilaku birokrasi
yang memusatkan perhatian
pada kelangsungan,
kompetisi, teknologi,
rasionalitas, inkrementalisme,
kekuasaan
Ilmu
“Analisa yang netral
tentang perilaku
organisasi”
Inkrementalisme
Pluralisme
Kritik
Hubungan antar pribadi dan
antar kelompok, komunikasi,
sanksi, motivasi, perubahan,
latihan, pembagian otoritas,
kebenaran prosedur,
konsensus
Kepuasan pekerja
Antibirokrasi, penerapan
logika ekonomi pada masalahmasalah distribusi pelayanan
publik, amat analisis,
pengibaratan pasar, kontrakkontrak, kekecilan,
desentralisasi, tawar-menawar
Pilihan atau
kehendak warga
negara
Kesempatan
mempergunakan
pelayanan yang
sama
persaingan
Crozier
Downs
Mosher
Etzioni
Blau
Riggs
V. Thompson
Selznick
Model
Hubungan
Kemanusiaan
McGregor
Likert
Bennis
Argyris
Model Pilihan
Publik
Ostrom
Buchanan,
Tullock
Olson
Hubungan
pengawas/pekerja
Daya guna
pengawas/pekerja
Perubahan perilaku
Perubahan perilaku
Hubungan organisasi/klien
dan distribusi barang-barang
masyarakat umum
Desentralisasi struktur yang
tumpang tindih
Sektor publik sebagai pasar
Besarnya kelompok klien
dan distribusi pelayanan
publik
Distribusi
Kepemimpinan dan distribusi
barang
Perkembangan
pribadi
Harga diri individu
Mitchell
Froclich,
Oppenheimer,
Young
Niskanan
Perjanjian pelaksanaan
Sumber: Frederickson (1988:28-30)
Sementara itu Frederickson dan Smith (2003) dalam bukunya yang
berjudul: The Public Administration Theory Primer memperkenalkan paradigma
terkait dengan teori politik birokrasi dalam kajian administrasi publik, yaitu
Allison’s Paradigm of Bureaucraticy Politics. Paradigma Allison ini berangkat dari
pemikiran bahwa teori politik birokrasi berusaha menjelaskan peranan dari
administrasi dan birokrasi dalam pembuatan kebijakan. Kerangka ini secara
41
khusus menolak adanya dikotomi politik-administrasi yang mendasari lahirnya
teori kontrol birokrasi. Beragam studi telah menegaskan bahwa birokrasi dan
para birokrat secara rutin mengalokasikan nilai-nilai dan memutuskan siapa
memperoleh apa, bahwa birokrasi secara logis melakukan apa yang disebut
Meier (1993) sebagai “politics of the first order”. Dengan demikian teori politik
birokrasi jika diamati secara empiris (praktek) sebagaimana telah lama dikatakan
oleh Dwight Waldo (1948) dalam karyanya “The Administrative State”,
administrasi bukanlah aktivitas teknis semata dan netral nilai dimana dapat
dipisahkan dari politik, namun administrasi adalah politik sebagaimana dikutip
oleh Frederickson dan Smith (2003:43).
Paradigma politik birokrasi dituangkan oleh Graham Allison (1971) dalam
karyanya “Essence of decision”, yang direvisi bersama Morton Halperin (1972),
fokusnya pada essence of decision yang menjadi usaha pertama secara serius
dan komprehensif membangun kerangka kerja tawar-menawar dan negosiasi
dalam pengambilan keputusan. Melalui pertanyaan besar tentang pemicu utama
dari kebijakan demokratis yakni why do governments do what they do? In other
words, how is policy made, and who determines or influence it? Allison
memberikan jawaban melalui tiga model teoritisasi sebagaimana dikutip oleh
Frederickson dan Smith (2003:49). Ketiga model teoritisasi Allison meliputi:
pertama, model the actor rational (model aktor rasional) atau Model I (the
classical model). Model I ini menjelaskan bahwa keputusan pemerintah dipahami
sebagai hasil dari single actor dalam membuat keputusan untuk kepentingan
strategis mereka sendiri.
Kedua, model yang didasari oleh paradigma proses organisasional (the
organizational process paradigm) atau Model II. Model II ini mengakui bahwa
terdapat berbagai aktor yang harus terlibat dalam pengambilan keputusan, dan
42
proses pengambilan keputusan sangat terstrukutur melalui standart operational
procedural (SOP) yang disepakati.
Ketiga, model politik birokrasi (the bureaucratic politics paradigm) atau
Model III. Model politik birokrasi atau paradigma politik birokrasi Allison ini
didasari oleh beberapa asumsi, antara lain: (1) Cabang eksekutif terbentuk dari
bermacam-macam organisasi dan individu, yang masing-masing memiliki
sasaran dan agenda yang berbeda-beda, serta aktor-aktor tersebut membawa
isu-isu tertentu yang menarik perhatian dengan motivasi dan kepentingan
masing-masing; (2) Tidak ada aktor dalam cabang eksekutif tersebut yang
mampu bertindak sendiri-sendiri atau sepihak; (3) Keputusan akhir adalah akibat
dari politik (political resultant) dengan kata lain apa yang diputuskan pemerintah
adalah hasil dari proses tawar-menawar atau kompromi dari proses politik; (4)
Terdapat perbedaan antara policy-making dengan pelaksanaannya.
Perkembangan pemikiran administrasi publik dapat juga dipahami melalui
berbagai paradigma yang dipelopori oleh para ahli administrasi publik. Misalnya
Barzelay & Armajani (1992:533) mengungkapkan mengenai paradigma postbureaucratic sebagai antitesa dari paradigma bureaucratic. Pada paradigma
birokrasi menekankan kepentingan publik, efisiensi, administrasi, dan kontrol,
sementara paradigma post-birokratik menekankan hasil yang berguna pada
masyarakat, kualitas dan nilai, produk, keterikatan terhadap norma. Jika
paradigma birokratik mengutamakan fungsi, otoritas dan struktur, maka
paradigma post-birokratik menekankan pada misi, pelayanan dan hasil akhir
(outcome). Bila paradigma birokratik menilai biaya, menekankan tanggungjawab
(reponsibility), maka paradigma post-birokratik menekankan pemberian nilai
(bagi masyarakat), membangun akutabilitas dan memperkuat hubungan kerja.
43
Jika paradigma birokratik mengutamakan ketaatan pada aturan dan
prosedur, maka paradigma post-birokratik menekankan pemahaman dan
penerapan norma-norma, identifikasi dan pemecahan masalah, serta proses
perbaikan yang berkesinambungan. Terakhir, apabila paradigma birokratik
mengutamakan beroperasinya sistem-sistem administrasi, maka paradigma postbirokratik
menekankan
pemisahan
antara
pelayanan
dengan
kontrol,
membangun dukungan terhadap norma-norma, memperluas pilihan pelanggan,
mendorong kegiatan kolektif, memberikan insentif, mengukur dan menganalisis
hasil, dan memperkaya umpan balik.
Tabel 5. Perbandingan Paradigma Bureaucratic dan Post-Bureaucratic
Bureaucratic Paradigm
Post-Bureaucratic Paradigm
Public interest
Results citizens value
Efficiency
Quality and value
Administration
Product
Control
Winning adherence to norms
Specify functions, authority, and
structure
Identify mission, services, customers, and
outcomes
Justify costs
Deliver value
Enforce responsibility
Building accountability
Strengthen working relationship
Follow rules and procedures
Understand and apply norms
Identify and solve problems
Continuously improve processes
Operate administrative systems
Separate service from control
Built support for norms
Expand customers choice
Encourage collective action
Provide incentives
Measure and analysis results
Enrich feedback
Sumber: Barzelay & Armajani (1992:538)
Pandangan Denhardt dan Denhardt (2003) dalam bukunya ”The New
Public Services: Serving Not Steering” mengungkapkan bahwa terdapat tiga
44
paradigma atau
perspektif dalam memahami pemikiran administrasi publik.
Ketiga perspektif yang dimaksud yakni old public administration, new public
management, dan new public services. Demikian halnya Bovaird dan Loffler
(2003), juga mengemukakan pandangan yang mirip dengan padangan Denhardt
dan Denhardt tersebut. Oleh Bovaird dan Loffler menyimpulkan bahwa public
administration, public management, dan public governance adalah tiga
pendekatan yang dapat digunakan dalam kajian-kajian administrasi publik.
Dalam pandangan Denhard dan Denhard, perspektif awal adalah old
public administration, yang merupakan perspektif klasik yang berkembang
sejak munculnya tulisan Woodrow Wilson di tahun 1887 yang berjudul “the study
of administration”. Terdapat dua gagasan utama dalam perspektif ini, yakni (1)
menyangkut pemisahan politik dan administrasi, dan (2) administrasi publik
seharusnya berusaha sekeras mungkin untuk mencapai efisiensi dalam
pelaksanaan tugasnya. Efisiensi ini dapat dicapai melalui struktur organisasi
yang terpadu dan bersifat hierarkis. Gagasan ini terus berkembang melalui para
pakar seperti Frederick Winslow Taylor (1923) dengan “scientific management”,
Leonard D. White (1926) dan W.F. Willoughby (1927) yang mengembangkan
struktur organisasi yang sangat efisien, dan Gullick & Urwick (1937) yang sangat
terkenal dengan akronimnya POSDCORB (Saleh & Muluk, 2006:231).
Dengan mengacu pada dua gagasan utama tersebut, perspektif ini
menaruh perhatian pada fokus pemerintahan pada penyediaan layanan secara
langsung kepada masyarakat melalui badan-badan publik. Perspektif ini
berpandangan bahwa organisasi publik beroperasi paling efisien sebagai suatu
sistem tertutup sehingga keterlibatan warga negara dalam pemerintahan
dibatasi. Perspektif ini berpandangan pula bahwa peran utama administrator
publik dibatasi dengan tegas dalam bidang perencanaan, pengorganisasian,
45
pengelolaan
pegawai,
pengarahan,
pengkoordinasian,
pelaporan,
dan
penganggaran.
Perspektif administrasi publik kedua adalah new public management,
yang pada dasarnya berusaha menggunakan pendekatan sektor swasta dan
bisnis ke dalam sektor publik. Perspektif new public management sering
disingkat dengan NPM ini, berbasis pada teori pilihan publik (public choice
theory), dukungan intelektual bagi perspektif ini berasal dari aliran kebijakan
publik (public policy schools) dan gerakan manajerialis (managerialism
movement). Aliran kebijakan publik dalam beberapa dekade memiliki akar yang
cukup kuat dalam ilmu ekonomi, sehingga analisis kebijakan dan para ahli yang
menggeluti evaluasi kebijakan terlatih dengan konsep market economics, costs
and benefit, dan rational models of choice. Selanjutnya aliran ini mulai
mengalihkan perhatiannya pada implementasi kebijakan, yang selanjutnya
mereka sebut public management, yang sebenarnya sinonim dengan public
administration (Denhardt & Denhardt 2003:12-23).
Dukungan intelektual dari managerialism movement berakar dari
pandangan bahwa keberhasilan sektor bisnis dan publik bergantung pada
kualitas dan profesionalisme para manajernya. Kemudian dapat dicapai melalui
produktivitas yang lebih besar, dan produktivitas ini dapat ditingkatkan melalui
disiplin yan ditegakkan oleh para manajer yang berorientasi efisiensi dan
produktivitas. Untuk memainkan peran penting ini, manajer harus diberi ”the
freedom to manage” dan bahkan ”the right to manage” (Denhardt & Denhardt,
2003).
Menurut Sumartono (2007:10), perspektif NPM dalam prakteknya,
sebagai gerakan manajerialis mempunyai pengaruh besar dalam reformasi
administrasi publik di berbagai negara maju, seperti Selandia Baru, Australia,
46
Inggris, dan Amerika Serikat. Di Inggris, reformasi administrasi publik dijalankan
sejak masa PM Margaret Thatcher. Di Amerika Serikat, gerakan ini mendapat
dukungan dan komitmen dari Al Gore, wakil presiden Amerika Serikat pada
tahun 1993, dengan konsepnya “work better and cost less” (Al Gore, 1993:22).
Kemudian dipopulerkan oleh David Osborne dan Ted Gaebler (1992) melalui
karyanya ”reinventing government”. Gerakan ini menyebar keseluruh dunia
sehingga menjadi inspirasi utama di banyak negara dalam mereformasi
administrasi publik baik dengan melakukan privatisasi gaya Inggris ataupun
gerakan mewirausahakan birokrasi gaya Amerika Serikat.
Perspektif NPM ini menekankan pada penggunaan mekanisme dan
terminologi pasar (market based) yang memandang hubungan antara badanbadan publik (pusat dan daerah) dengan pelanggannya (masyarakat) sebagai
layaknya transaksi yang terjadi antara penjual dan pembeli. Warga masyarakata
sebagai penerima manfaat ditempatkan sebagai costumer atau consumen.
Peran manajer publik berubah karena ditantang untuk selalu menemukan caracara baru dan inovatif dalam mencapai tujuan atau menswastakan berbagai
fungsi yang semula dijalankan oleh pemerintah termasuk penyediaan barang
publik (public goods) dan pelayanan publik (public services).
Fungsi manajer publik untuk mengarahkan bukannya mengayuh (steering
not rowing), yang bermakna bahwa beban pelayanan publik tidak dijalankan
sendiri tetapi sebisa mungkin didorong untuk dijalankan oleh pihak lain melalui
mekanisme pasar. Dengan demikian manajer publik memusatkan perhatian pada
akuntabilitas pada pelanggan dan kinerja tinggi, restrukturisasi badan-badan
publik, mendefinisi ulang misi organisasi, menyederhanakan proses administrasi,
dan mendesentralisasi pembuatan keputusan.
47
Tabel 6. Matriks Paradigma Administrasi Publik Menurut Denhardt dan
Denhardt
Old Public
Administration
New Public
Management
New Public Service
Dasar teoritis &
fondasi
epistimologi
Teori politik
Teori ekonomi
Teori demokrasi
Rasionalitas &
model perilaku
manusia
Rasionalitas synoptic
(administrative man)
Teknis & rasionalitas
ekonomi (economic man)
Rasionalitas strategis
atau rasional formal
(politik, ekonomi, &
organisasi)
Konsep
kepentingan publik
Kepentingan publik
secara politis
dijelaskan &
diekspresikan dalam
aturan hukum
Kepentingan publik
mewakili agregasi
kepentingan individu
Kepentingan publik
adalah hasil dialog
berbagai nilai
Responsivitas
birokrasi publik
Clients & constituents
Customer
Citizen’s
Peran pemerintah
Rowing
Steering
Serving
Pencapaian tujuan
Badan pemerintah
Organisasi privat &
nonprofit
Koalisi antarorganisasi
publik, nonprofit & privat
Akuntabilitas
Hierarki administratif
dengan jenjang yang
tegas
Bekerja sesuai dengan
kehendak pasar
(keinginan pelanggan)
Multiaspek akuntabilitas
hukum, nilai-nilai,
komunitas, norma politik,
standar profesional
Diskresi
Diskresi terbatas
Diskresi diberikan secara
luas
Diskresi dibutuhkan tapi
dibatasi &
bertanggungjawab
Struktur organisasi
Birokratik yang
ditandai dengan
otoritas top-down
Desentralisasi organisasi
dengan kontrol utama
berada pada para agen
Struktur kolaboratif
dengan kepemilikan yang
berbagi secara internal &
eksternal
Asumsi terhadap
motivasi pegawai &
administrator
Gaji & keuntungan,
proteksi
Semangat entrepreneur
Pelayanan publik dengan
keinginan melayani
masyarakat
Aspek
Sumber: Denhardt dan Denhardt (2003:28-29)
Gambaran yang lebih utuh tentang perspektif NPM ini dapat dilihat dari
pengalaman Amerika Serikat sebagaimana tertuang dalam sepuluh prinsip
reinventing government, karya Osborne dan Gaebler (1992). Inti dari prinsipprinsip tersebut sebagai berikut:
48
a) Catalystic
government:
steering
rather
than
rowing.
Pemerintahan
entrepreneur berfungsi memisahkan pembuatan/penetapan keputusan
(steering) dengan peran pemberian pelayanan (rowing). Tugas-tugas
operasional harus dilakukan oleh staf pelaksana yang diberi kewenangan
untuk itu dan para pimpinan yang tidak dibebani tugas-tugas operasional
agar mereka dapat menjalankan tugas utamanya membuat keptusan.
b) Community-owned
government:
empowering
rather
than
serving.
Pemeritahan entrepreneur harus bekerjasama dengan atau melalu
masyarakat
yaitu
dengan
memberdayakan
masyarakat
untuk
mengendalikan lingkungan dan kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri
dantidak lagi menggantungkan pemberian pelayanan kepada birokrat atau
petugas profesional.
c) Competitive government: injecting competition into service delivery.
Pemerintahan entrepreneur di dalam berperan sebagai penyedia pelayanan
harus dilakukan secara konpetetif misalnya harus lebih murah dan lebih
cepat agar pelanggan merasa puas. Monopoli pemerintah tidak lagi tepat
dan
hanya
dengan
pemberian
pelayanan
yang
kompetetif
maka
pemerintahan akan lebih efisien, mendorong inovasi (innovation) dan
merevitalisasi lembaga-lembaga publik.
d) Mission-driven
government:
transforming
rule-driven
organizatitions.
Pemerintah lebih mengutamakan perwujudan misi atau tujuan daripada
peran pengaturan, yang memiliki beberapa keunggulan yaitu lebih efisien,
lebih efektif, lebih inovatif, lebih fleksibel dan lebih bersemangat tinggi untuk
mewujudkan misi dan tujuannya.
e) Result oriented government: funding outcome, not inputs. Pemerintahan
lebih berorientasi pada hasil. Semua peningkatan dan penambahan
49
sumber-sumber harus diperhitungkan lebih matang agar hasil benar-benar
dapat dicapai, tidak sekedar memboroskan sumber-sumber secara
membabi buta.
f)
Customer-driven: meeting the needs of customer, not the bureaucracy.
Pemerintahan menciptakan sistem pelayanan yang ”ramah pelanggan” dan
sesuai dengan sebesar mungkin keinginan pelanggan secara holistik.
Sehingga pemerintah sebagai pemberi pelayanan selalu peka terhadap
kebutuhan dan keinginan pengguna pelayanan.
g) Enterprising government: earning rather than spending. Pemerintahan
didorong
untuk
menggunakan
prinsip-prinsip
kewirausahawan
yang
condong berusaha meningkatkan terus pendapatan yang kemudian bisa
ditabung untuk menambah investasi dengan cara lebih berorintasi pada
keuntungan melalui penggunaan teknik-teknik manajemen yang lebih
rasional.
h) Anticipatory government: prevention rather than cure. Pemerintahan
diharuskan lebih preventif daripada kuratif antisipatif dan proaktif daripada
reaktif, berpandangan kedepan dalam proses pembuatan keptusan,
mengembangkan arah dan tujuan yang lebih strategis dan dinilai sangat
urgen.
i)
Decentralized government: from hierarchy to participation and team work.
Pemerintahan
lebih
mengedepankan
desentralisasi
karena
lebih
memberikan kesempatan atau pemberdayaan yang dibawah untuk
mengembangkan kemampuannya, meningkatkan semangat kerja, lebih
mempunyai komitmen yang tinggi terhadap tugas dan organisasinya
daripada pemerintahan yang sentralistik.
50
j)
Market oriented government: leveraging change through the market.
Pemerintahan entrepreneur lebih berorientasi pada pasar daripada strategi
birokrasi yang bergaya komando. Sasarannya adalah menyusun dan
menstruktur pasar sedemikian rupa dengan mendesain ulang peraturanperaturan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan publik.
Walaupun kesepuluh prinsip pemerintahan entrepreneur tersebut telah
diterapkan secara luas diberbagai negara, tetapi pandangan (Islamy, 2003:53)
menganggap konsep tersebut mempunyai dua kelemahan besar, yaitu (1)
hubungan transaksional antara penyedia pelayanan dan pengguna pelayanan di
organisasi publik cenderung lebih kompleks dibandingkan dengan yang dihadapi
oleh pelanggan di pasar biasa atau normal; dan (2) para pelanggan di organisasi
publik tidak hanya sebagai ”konsumen” tetapi mereka juga adalah warga negara
yang tentu saja memiliki implikasi yang unik dalam proses transaksi tersebut.
Mengacu pada sepuluh prinsip tersebut, dimana diantaranya adalah
bahwa dalam perspektif new public management dianjurkan agar mengadopsi
nilai kompetisi dari sektor bisnis ke dalam manajemen sektor publik. Salah satu
konsep yang berbasis keunggulan berkompetisi adalah konsep inovasi, di mana
konsep ini lebih akrab dibahas dan dikembangkan di sektor bisnis.
Perspektif NPM, seperti halnya perspektif old public administration, tidak
hanya membawa teknik administrasi baru namun juga seperangkat nilai tertentu.
Masalahnya terletak pada nilai-nilai yang dikedepankan tersebut seperti efisiensi,
rasionalitas, produktivitas dan bisnis karena dapat bertentangan dengan nilainilai kepentingan publik dan demokrasi. Jika pemerintahan dijalankan seperti
halnya bisnis dan pemerintah berperan mengarahkan tujuan pelayanan publik
maka pertanyaannya adalah siapakah sebenarnya pemilik dari kepentingan
publik dan pelayanan publik? Atas dasar pemikiran tersebut Denhardt dan
51
Denhardt memberikan kritik terhadap perspektif new public management
sebagaimana yang tertuang dalam kalimat “in our rush to steer, perhaps we are
forgetting who owns the boat.” (Denhardt dan Denhardt, 2003:23).
Selanjutnya, dijelaskan pula bahwa pemilik kepentingan publik yang
sebenarnya adalah masyarakat maka para administrator publik seharusnya
memusatkan perhatiannya pada tanggung jawab melayani dan memberdayakan
warga negara melalui pengelolaan organisasi publik dan implementasi kebijakan
publik.
Perubahan
orientasi
tentang
posisi
warga
negara,
nilai
yang
dikedepankan, dan peran pemerintah ini memunculkan perspektif baru
administrasi publik yang disebut sebagai new public service. Warga negara
seharusnya
ditempatkan
di
depan,
dan
penekanan
tidak
seharusnya
membedakan antara mengarahkan dan mengayuh tetapi lebih pada bagaiamana
membangun institusi publik yang didasarkan pada integritas dan responsivitas.
Pada intinya, perspektif baru ini merupakan “a set of idea about the role of public
administration in the governance system that place public service, democratic
governance, and civic engagement at the center.” (Denhardt dan denhardt,
2003:24).
Pemahaman lebih jauh mengenai perspektif new public service ini dapat
disimak dari tujuh dasar pengembangan pelayanan publik (Denhardt dan
Denhardt, 2003:42-43), yakni:
1. Serve rather than steer. Meningkatnya peran birokrat yang dapat
membantu dan mengarahkan masyarakat untuk mengartikulasikan dan
saling membagi nilai daripada melakukan kontrol terhadap masyarakat.
Peran pemerintah bukan hanya sekedar membuat ketentuan dan
kebijakan, lebih dari itu bertindak dan melakukan negosiasi, fasilitasi dan
menjadi jembatan dalam mengatasi masalah-masalah yang timbul dalam
52
masyarakat (jika perlu bahkan melalui kerjasama antara sektor privat,
masyarakat dan kelompok-kelompok masyarakat).
2. Kepentingan publik
Administrator
adalah tujuan,
publik
harus
dapat
bukan hanya sekedar
membangun
kepentingan
produk.
publik.
Tujuannya bukan untuk menemukan solusi yang cepat melalui pilihan dan
preferensi individu, tetapi lebih dari itu harus menghasilkan shared interest
dan shared responsibility dalam masyarakat.
3. Berfikir strategik dan bertindak demokratik. Kebijakan dan program akan
mencapai hasil yang efektif dan bertanggung jawab apabila dilakukan
melalui usaha-usaha kolektif dan proses yang kolaboratif antara pemerintah
dan masyarakat.
4. Melayani masyarakat bukan pelanggan. Kepentingan publik merupakan
hasil dialog tentang shared values, bukan hanya merupakan agregasi
kepentingan individu. Karena itu, administrator publik bukan hanya bekerja
dalam rangka memberikan pelayanan kepada pelanggan, tetapi lebih
banyak berfokus pada upaya untuk membangun kepercayaan dan relasi
yang kolaboratif dengan dan diantara masyarakat.
5. Akuntabilitas
tidaklah
sederhana.
Administrator
publik
haruslah
memberikan perhatian lebih kepada masyarakat bukan hanya sebagai
pelanggan dalam sebuah pasar. Administrator publik harus berorientasi
pada hukum dan konstitusi, nilai-nilai komunitas, norma-norma politik,
standar profesional dan kepentingan masyarakat.
6. Menghargai masyarakat dan bukan hanya produktivitas. Organisasi publik
dan jaringannya akan bekerja dalam jangka waktu yang panjang, jika ada
penghargaan yang tinggi terhadap proses yang kolaboratif dan nilai
53
kepemimpinan bersama yang didasarkan pada penghargaan kepada
semua orang.
7. Menghargai masyarakat dan pelayanan publik yang lebih tinggi daripada
kewirausahaan. Kepentingan publik dapat dikembangkan secara lebih baik
oleh administrator publik dan masyarakat daripada dilakukan oleh seorang
wirausaha. Karena sesungguhnya uang publik yang digunakan untuk
melayani masyarakat berasal dari uang yang dipungut dari masyarakat.
Pergeseran paradigma administrasi publik sebagaimana dipahami yakni
old public administration, new public management, dan new public service yang
dijelaskan oleh Denhardt dan Denhardt (2003), dapat juga dipahami melalui
pendapat Benington dan Hartley (2001) seperti dikutip Meehan (2003:6), bahwa
pemikiran administrasi publik telah bergeser dari traditional public administration
dan new public management ke model citizen-centered governance. Dimana
model citizen-centered governance oleh Denhardt dan Denhardt (2003)
disamakan dengan perspektif new public service dan networked governance oleh
Hartley (2005) serta post-managerial avenues oleh Vigoda-Gadot (2005). Baik
perspektif
citizen-centered
governance,
new
public
service,
networked
governance maupun perspektif post-managerial avenues pada prinsipnya
menempatkan masyarakat sipil (citizens) sebagai penentu strategi dari kebijakan
publik, serta penyelenggaraan pemerintahan yang dilaksanakan dengan
mengoptimalkan jejaring (network) dan kemitraan (partnership) dengan pihak di
luar pemerintah.
Pemahaman administrasi publik melalui citizen-centered model lebih
khusus dapat dipahami melalui kajian teori governance. Menurut Gerry Stoker
pemikir administrasi publik, dalam salah satu papernya yang dipublikasi oleh
54
Unesco berjudul ”Governance as Theory: Five Propositions” (1998) menguraikan
lima proposisi governance sebagai sebuah teori yaitu:
1. Governance refers to a set of institutions and actors that are drawn from but
also beyond governance;
2. Governance identifies the blurring of boundaries and responsibilities for
tackling social and economic issues;
3. Governance identifies the power dependence involved in the relationships
between institutions involved in collective action;
4. Governance is about autonomus self-governing networks of actors;
5. Governance recognizes the capacity to get things done which does not rest
on the power of government to command or use its authority. It sees
government as able to use new tools and techniques to steer and guide.
Melalui proposisi tersebut dapat dipahami bahwa makna governance
itu merujuk pada institusi dan aktor yang tidak hanya pemerintah, kaburnya
batas-batas dan tanggung jawab dalam mengatasi isu sosial dan ekonomi, dan
adanya ketergantungan dalam hubungan antara institusi yang terlibat dalam aksi
kolektif. Governance juga berkaitan dengan self-governing yang otonom dari
aktor-aktor lainnya dan memperbaiki sesuatu tidak perlu tergantung kekuasaan
pemerintah melalui perintah dan kewenangannya (Stoker, 1998:18).
Pandangan governance dari Stoker memiliki substansi yang relatif
sama dengan pendapat Rhodes (2007:3), bahwa ciri dari governance adalah
organisasi networks yang mana di dalamnya ada tuntutan pasar untuk saling
bertukar sumber daya sebagaimana akan dijelaskan berikut ini. Lebih lanjut
diuraikan karakteristik organisasi networks dalam teori governance, antara lain:
a. Interdependensi antara organisasi. Konsep governance mencakup lingkup
yang lebih luas daripada konsep government, yang meliputi aktor-aktor
55
selain pemerintah seperti sektor swasta (private sector) dan masyarakat
madani (civil society);
b. Interaksi terus-menerus antar organisasi yang terlibat dalam networks
dalam rangka pertukaran sumber daya dan negosiasi dalam berbagi
sumber daya;
c. Interaksi seperti halnya permainan yang diikat dalam kepercayaan dan
negosiasi yang ditetapkan dan disetujui oleh masing-masing organisasi;
d. Tidak ada kewenangan yang mutlak, networks mempunyai derajat yang
signifikan dengan otonomi setiap organisasi. Networks tidak bertanggung
jawab langsung (accountable) kepada pemerintah (negara) mereka
mengatur dirinya sendiri tetapi negara dapat mengaturnya secara tidak
langsung dan tidak sepenuhnya.
2.3. Teori tentang Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah
Menurut Bank Dunia seperti yang dikutip oleh Wasistiono (2010:32)
bahwa dari dua puluh negara yang menjadi mitrakerja dalam desentralisasi,
Indonesia termasuk negara yang melaksanakan ”dentuman besar desentralisasi”
atau ”big bang decentralization”. Dikatakan melaksanakan dentuman besar atau
bahkan revolusi desentralisasi, karena melakukan transfer kewenangan dan
tanggung jawab publik dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah dengan
dimensi yang sangat luas. Ini tampak dari luasnya urusan pemerintahan yang
dilaksanakan oleh daerah otonom sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah dan ditindaklanjuti melalui PP No. 38 Tahun
2007
tentang
Pembagian
Urusan
Pemerintahan
antara
Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
56
Secara teoritis dan empiris, setiap organisasi termasuk negara, selalu
menganut asas sentralisasi sejak kelahirannya sampai akhir hayatnya. Namun,
organisasi yang besar dan sangat rumit tidak mungkin hanya diselenggarakan
dengan asas sentralisasi. Sekiranya hanya dianut asas tersebut, niscaya
penyelenggaraan berbagai fungsi yang dimiliki oleh organisasi tersebut tidak
sepenuhnya efektif. Oleh karena itu, diperlukan juga asas desentralisasi.
Menurut Hoessein (2009: 102) kedua asas tersebut (sentralisasi dan
desentralisasi) tidak dikotomis, tetapi berupa kontinuum. Organisasi yang besar
dapat memilih salah satu diantara dua alternatif tersebut. Tetapi organisasi
negara yang besar harus memilih alternatif yang ketiga: sentralisasi dan
desentralisasi bagi organisasi negara. Sentralisasi berperan untuk menciptakan
keseragaman dalam penyelenggaraan berbagai fungsi organisasi, sedangkan
desentralisasi berperan menciptakan keberagaman dalam penyelenggaraan
berbagai fungsi sesuai dengan keberagaman kondisi masyarakat.
Selanjutnya, disebutkan bahwa penyelenggaraan asas desentralisasi
selalu oleh asas sentralisasi. Dalam tataran organisasi negara dibedakan
penyelenggara desentralisasi dalam negara kesatuan dan negara federal. Dalam
negara kesatuan, desentralisasi diselenggarakan oleh pemerintah (pusat),
sedangkan
dalam
negara
federal,
desentralisasi
diselenggarakan
oleh
(pemerintah) negara bagian.
Mengkaji desentralisasi pada dasarnya harus dipahami bahwa tidak ada
teori tunggal tentang desentralisasi. Hal ini dapat dilihat dalam penjelasan Smith
(1985:18) yang menggunakan istilah decentralization in theory dan bukan theory
of decentralization yang menjadi judul bab dua dalam salah satu bukunya. Bab
ini lebih pada penafsiran teori-teori sosial terhadap desentralisasi, bukan
membahas secara khusus mengenai teori desentralisasi. Perspektif teori-teori
57
sosial yang dibahas oleh Smith meliputi liberal democracy theory, public choice
theory (economic interpretation), dan Marxist theory.
Teori demokrasi liberal (liberal democracy theory) memberikan dukungan
bagi desentralisasi karena mampu mendukung demokrasi pada dua tingkatan.
Pertama, memberikan kontribusi positif bagi perkembangan demokrasi nasional
karena local government itu mampu menjadi sarana pendidikan politik rakyat dan
memberikan pelatihan bagi kepemimpinan politik, serta mendukung penciptaan
stabilitas politik. Lebih jelasnya pendapat Hoessein yang dikutip oleh Muluk
(2007:2), mengungkapkan bahwa dalam konsep otonomi terkandung kebebasan
untuk berprakarsa dalam mengambil keputusan atas dasar aspirasi masyarakat
yang memiliki status demikian tanpa kontrol langsung dari pemerintah pusat.
Oleh karena itu kaitannya dengan demokrasi sangatlah erat.
Kedua, konsep local government mampu memberikan manfaat bagi
masyarakat setempat (locality). Penjelasan Hoessein seperti yang dikutip oleh
Muluk (2007:2), mengingatkan bahwa local government dan local autonomy tidak
dicerna sebagai daerah atau pemerintah setempat tetapi merupakan masyarakat
setempat. Urusan dan kepentingan yang menjadi perhatian keduanya bersifat
lokalitas karena basis politiknya adalah lokalitas bukan bangsa.
Penafsiran
teori
pilihan
publik
(public
choice
theory)
tentang
desentralisasi menunjukkan adanya dukungan ahli ekonomi. Dalam teori ini, para
ahli menganggap bahwa desentralisasi merupakan media yang penting guna
meningkatkan kesejahteraan pribadi. Dalam economic interpretation mengenai
teori pilihan publik, desentralisasi dimaknai secara instrumental atau medium
penting dalam meningkatkan kesejahteraan pribadi melalui pilihan publik.
Menurut perspektif ini, manfaat yang dapat dipetik dari local government,
yaitu pertama, adanya daya tanggap publik (pemerintah daerah) terhadap
58
preferensi individual (public responsiveness to individual preferences). Kedua,
local government memiliki kemampuan untuk memenuhi permintaan akan
barang-barang publik (demand for public goods). Desentralisasi meningkatkan
unit-unit pemerintahan dan derajat spesialisasi fungsinya sehingga meningkatkan
kemampuan pemerintah dalam memenuhi permintaan publik. Hal ini untuk
mengatasi kesulitan dalam mengetahui preferensi masyarakat, karena adanya
relasi yang rumit antara barang, harga, pajak, pemilihan dan preferensi politik,
partisipasi, dan kepemimpinan.
Ketiga, desentralisasi mampu memberikan kepuasan yang lebih baik
dalam menyediakan penawaran barang-barang publik (supply of public goods).
Terdapat banyak persoalan jika penyediaan pelayanan dan barang publik
diselenggarakan secara tersentralisasi. Semakin besar organisasinya maka
semakin besar pula kecenderungan untuk memberi pelayanan. Semakin
monopolistis suatu pemerintah maka semakin kecil insentif dan inovatifnya.
Berdasarkan teori, yurisdiksi yang terfragmentasi akan memberikan kepuasan
kepada konsumen daripada kewenangan yang terkonsolidasi. Desentralisasi
akan memberikan peluang antaryurisdiksi yang berbeda untuk bersaing dalam
memberikan kepuasan kepada publik atas penyediaan barang dan layanan.
Desentralisasi dalam perspektif Marxist, ditafsirkan bahwa desentralisasi
mengakibatkan adanya negara pada tingkat lokal. Para pendukung perspektif ini,
menempatkan desentralisasi sebagai objek dialektika hubungan antarsusunan
pemerintahan dan menuduh bahwa desentralisasi tidak mampu menciptakan
kondisi demokratis di tingkat lokal karena terhambat oleh faktor ekonomi, politik,
dan ekologi. Pandangan Marxist tampaknya masih cenderung melihat negara
sebagai satu kesatuan dan tidak perlu dipisah-pisah antarwilayah geografisnya.
59
Adapun alasan-alasan ketidakpercayaan kelompak Marxist terhadap
desentralisasi, antara lain karena (1) desentralisasi akan melahirkan akumulasi
modal pada tingkat lokal; (2) desentralisasi akan memengaruhi konsumsi kolektif
sehingga akan dipolitisasi; (3) lembaga perwakilan dalam demokrasi lokal tetap
dikuasai oleh kaum kapitalis; (4) pemerintah lokal hanya menjadi perpenjangan
tangan pemerintah pusat dalam menjaga kepentingan monopoly capital; (5)
adanya rintangan politik, ekonomi, dan ekologis yang menyebabkan kegagalan
demokrasi lokal. Untuk itu kelima rintangan atau kelemahan desentralisasi ini,
hanya dapat diatasi oleh sentralisasi yang bertujuan untuk redistribusi dan
keadilan.
Desentralisasi dalam konteks penataan organisasi perangkat daerah,
tampaknya harus dimaknai dalam perspektif liberal democracy dan economic
interpretation. Di mana dalam menata organisasi perangkat daerah harus
berbasis locality. Menurut perspektif demokrasi liberal, upaya-upaya dalam
mengatur kelembagaan pemerintah daerah harus didasari oleh prakarsa atas
aspirasi masyarakat lokal (local choice dan local voice). Sehingga pengaturan
terhadap kelembagaan pemerintah daerah tetap dalam kerangka membangun
local democracy.
Kemudian dalam perspektif economic interpretation, individu senantiasa
berusaha meningkatkan kesejahteraan pribadinya melalui pilihan yang rasional.
Olehnya itu, penataan organisasi perangkat daerah harus diarahkan dalam
rangka menciptakan local government yang memiliki daya tanggap terhadap
preferensi individu, memiliki kemampuan dalam memenuhi permintaan akan
barang dan pelayanan, dan juga diarahkan pada penciptaan local government
yang mampu memberikan kepuasan yang lebih dalam menyediakan penawaran
barang-barang publik dan pelayanan.
60
Secara konseptual, desentralisasi dipandang oleh pakar administrasi
publik sebagai instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Menurut Fesler
dan Leemans seperti dikutip dalam Hoessein (2000:12), memaparkan bahwa
tujuan-tujuan yang akan dicapai melalui desentralisasi merupakan nilai-nilai dari
komunitas politik yang dapat berupa kesatuan bangsa (national unity),
pemerintahan
demokrasi
(democratic
government),
kemandirian
sebagai
penjelmaan dari otonomi, efisiensi administrasi, dan pembangunan sosial
ekonomi. Tujuan tersebut biasanya tercantum dalam kebijakan nasional,
peraturan perundang-undangan dan/atau pernyataan politik para elit nasional
mengenai desentralisasi dan otonomi daerah.
Mengingat beragamnya tujuan yang akan dicapai melalui desentralisasi,
maka tiap negara kerapkali membuat skala prioritas tujuan desentralisasi. Oleh
karena itu, terdapat variasi mengenai skala prioritas antarnegara dan bahkan
antar kurun waktu dalam suatu negara sebagai hasil kekuatan-kekuatan yang
berpengaruh. Hasil kajian lintas negara oleh Hoessein (2000:14) dijelaskan
bahwa pemilihan skala prioritas tujuan desentralisasi pada efisiensi di berbagai
negara acapkali berpasangan dengan kesatuan bangsa, sedangkan pemilihan
skala prioritas tujuan desentralisasi pada demokrasi berpasangan dengan
kemandirian.
Demikian hanya, Halligan dan Aulich seperti dikutip Hoessein (2000:12)
mengajukan dua model pemerintahan daerah, yakni: (1) model local democracy
yang menekankan pada nilai-nilai demokrasi dan nilai-nilai lokal (democratic and
locallity values); (2) model efisiensi struktural (structural efficiency) yang
menekankan
pentingnya
pemberian
pelayanan
secara
efisien
masyarakat lokal (efficient distribution of services to local communities).
kepada
61
Kedua model pemerintahan tersebut, dijelaskan oleh Hoessein (2000:13)
model demokrasi yang menurutnya mempunyai sejumlah nilai, yakni:
1. Pemerintahan daerah didasarkan atas kepercayaan adanya nilai dalam
penyebaran kekuasaan dan keterlibatan berbagai pengambil keputusan
didaerah;
2. Pandangan mengenai kekuatan dalam keanekaragaman sebagai tanggap
terhadap kemajemukan tuntutan;
3. Pemerintahan daerah bersifat lokal yang dapat memfasilitasi akses dan
tanggap masyarakat setempat, karena pemerintahan tersebut dekat
dengan masyarakat;
4. Penyebaran
kekuasaan
merupakan
nilai
yang
fundamental
dan
pemerintahan daerah yang terdiri atas lembaga-lembaga yang didasarkan
atas pemilihan dapat mewakili penyebaran kekuasaan politik yang absah
dalam masyarakat.
Demikian
halnya
model
efisiensi
struktural,
Hoessein
(2000:14)
mengungkap analisisnya terhadap konsekuensi yang lebih rinci dari pemilihan
skala prioritas tujuan desentralisasi pada efisiensi terhadap struktur dan proses
pemerintahan daerah, yakni:
1. Terjadi kecenderungan untuk memangkas susunan daerah otonom;
2. Terjadi kecenderungan mengorbankan demokrasi dengan cara membatasi
peran dan partisipasi lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai lembaga
pembuat kebijakan dan lembaga kontrol;
3. Kecenderungan keengganan pusat untuk menyerahkan wewenang dan
diskresi yang lebih besar kepada daerah otonom;
4. Kecenderungan mengutamakan dekonsentrasi daripada desentralisasi;
62
5. Terjadi semacam paradoks, di satu sisi efisiensi memerlukan wilayah dari
daerah otonom yang luas untuk memungkinkan tersedianya sumber daya
yang lebih mendukung bagi roda pemerintahan daerah, namun pada sisi
lain daerah otonom yang berwilayah luas dikhawatirkan berpotensi menjadi
gerakan separatisme.
Pendapat yang sejalan dengan dua model pemerintahan daerah di atas,
dikemukakan oleh James Manor seperti dikutip oleh Ratnawati (2003:79). James
Manor berpendapat bahwa ada dua perbedaan besar cara pandang terhadap
desentralisasi,
yakni:
Pertama
cara
pandang
administratif
yang
lebih
mengedepankan persepsi ”pusat” memiliki asumsi antara lain: (1) kemajemukan
ditingkat lokal menuntut pendekatan yang fleksibel terhadap wilayah yang
berbeda dan desentralisasi yang demokratik dapat menfasilitasi perencanaan
yang efektif dan sekaligus implementasinya ditingkat lokal; (2) desentralisasi
yang demokratik merupakan saluran patronase untuk mendapatkan dukungan
politik kepada rejim yang berkuasa di tingkat pusat maupun lokal; (3) untuk
mencegah ketidakpuasan regional dan gerakan separatis, pemberian otonomi
perlu dilakukan; (4) tanggung jawab pemberian pelayanan (sumber-sumber
pendapatan) dapat dialihkan ke bawah melalui desentralisasi untuk meringankan
beban pemerintah pusat.
Kedua, cara pandang demokratik yang melihat kekuatan lokal sebagai
positive resources untuk pencapaian tujuan bersama. Rincian cara pandang
kedua ini, antara lain: (1) masyarakat grass roots yang memahami kekhususan
daerahnya seharusnya memiliki kontrol nyata atas bagaimana kebijakan negara
diformulasikan dan dilaksanakan; (2) dukungan kepada rejim dari grass roots
paling baik digerakkan melalui mekanisme pertanggungjawaban dan pemerintah
seharusnya bertanggung jawab atau dekat pada masyarakat lokal; (3)
63
kemajemukan geografis budaya dapat diakomodasi melalui desentralisasi
demokratik; (4) jasa pelayanan yang dibiayai lokal lebih efektif disediakan ketika
masyarakat lokal dapat mempengaruhi proses.
Adapun bentuk-bentuk desentralisasi menurut Turner, M dan Hulme, D.
(1997:153), dapat dibedakan atas dasar pelimpahan (basis of delegation) dan
sifat pelimpahan (nature of delegation) suatu kewenangan. Secara lengkap,
bentuk desentralisasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 7 di bagian berikut ini.
Tabel 7. Bentuk-Bentuk Desentralisasi versi Turner dan Hulme
Nature of Delegation
Within formal political
structures
Within public
administrative
or parastatal structures
From state sector to
private sector
Basis for Delegation
Territorial
Functional
Devolution (political
decentralization, local
government, democratic
decentralization)
Deconcentration (administrative
decentralization, field
administration)
Interest group
Privatization of devolved
functions (deregulation,
contracting out, voucher
schemes)
Privatization of national
functions (divestiture,
deregulation, economic
liberalization)
Representation
Establishment of
parastatals
and guangos
Sumber: Turner, M. & Hulme, D. (1997:153)
Dalam perspektif Rondinelli dan Cheema (1983:13-16) menguraikan
dasar pemikiran (rationale) atau alasan-alasan rasional lahirnya pilihan atas
kebijakan desentralisasi, antara lain:
ï‚·
Desentralisasi dapat mengatasi keterbatasan pemerintah pusat dalam hal
menyusun dan menyesuaikan rencana serta program pembangunan
dengan
kebutuhan-kebutuhan
heterogen.
wilayah
lokal
dan
kelompok
yang
64
ï‚·
Mampu memotong sejumlah besar red tape dan prosedur yang rumit
sebagai karakteristik perencanaan dan manajemen yang terpusat dan
adanya over concentration kekuasaan serta sumber-sumber di pusat.
ï‚·
Hubungan yang lebih dekat antara pejabat pemerintahan lokal dan
masyarakat setempat, memungkinkan keduanya untuk mendapatkan
informasi yang lebih baik guna memformulasi perencanaan atau program
yang lebih realistik dan efektif.
ï‚·
Desentralisasi menjadi penetrasi politik dan administrasi, karena dukungan
elit lokal dan masyarakat seringkali lemah terhadap rencana pembangunan
nasional.
ï‚·
Dalam pembuatan keputusan dan alokasi sumber-sumber, desentralisasi
memungkinkan keterwakilan yang lebih besar dari bermacam-macam
kelompok politik, agama, etnis, dan suku.
ï‚·
Desentralisasi memberikan kesempatan kepada pejabat-pejabat setempat
untuk mengembangkan kecakapan-kecakapan manajerial dan teknis.
Dengan desentralisasi juga dapat meningkatkan kemampuan pejabatpejabat tersebut untuk menangani urusan-urusan yang biasanya tidak
ditangani secara baik oleh departemen pusat, seperti pemeliharaan jalan
dan infrastruktur yang jauh dari ibukota negara.
ï‚·
Efisiensi dari pemerintah pusat meningkat karena membebaskan pejabatpejabat pusat dari tugas-tugas rutin, di mana tugas-tugas tersebut bisa
dilaksanakan secara lebih efektif oleh petugas lapangan atau pejabatpejabat lokal.
ï‚·
Desentralisasi
memungkinkan
koordinasi
yang
lebih
efektif
antara
pemerintah pusat, pemerintah lokal, dan organisasi nonpemerintah (NGO)
untuk lebih fleksibel, inovatif dan kreatif dalam membuat kebijakan-
65
kebijakan dan program-program baru dengan melokalisir pada tempattempat tertentu.
ï‚·
Desentralisasi
dapat
melembagakan
partisipasi
masyarakat
dalam
perencanaan dan manajemen pembangunan secara umum, serta struktur
pemerintahan yang terdesentralisasi memfasilitasi pertukaran informasi
tentang kebutuhan-kebutuhan lokal.
ï‚·
Menjadi alternatif pembuatan keputusan, karena pemerintah pusat
seringkali tidak sensitif terhadap kebutuhan kelompok masyarakat miskin.
ï‚·
Menghasilkan fleksibel, inovatif dan kreatif dalam pemerintahan. Unit-unit
pemerintahan dapat secara leluasa melakukan inovasi dan bereksperimen
dalam berbagai kebijakan dan program.
ï‚·
Desentralisasi memungkinkan fungsi-fungsi manajemen dan perencanaan
pembangunan dapat lebih efektif dilakukan oleh masyarakat lokal sendiri.
ï‚·
Desentralisasi dapat meningkatkan stabilitas politik, karena kelompokkelompok masyarakat (stakeholders) yang berbeda-beda dapat terlibat
secara langsung dalam pembuatan keputusan.
ï‚·
Desentralisasi dapat meningkatkan sejumlah efisiensi dalam penyediaan
pelayanan dan barang publik (public goods and services).
Kemudian Rondinelli dan Cheema (1983:18-25) juga mengidentifikasi
adanya empat jenis desentralisasi sebagai berikut:
1. Dekonsentrasi (deconsentration), yaitu penyerahan sejumlah kewenangan
atau tanggung jawab administrasi kepada tingkatan yang lebih rendah
dalam kementerian atau badan pemerintah;
2. Delegasi (delegation to semi-autonomous or parastatal organizations), yaitu
transfer tanggung jawab untuk fungsi-fungsi secara rinci yang digambarkan
66
pada organisasi-organisasi di luar struktur birokratis yang reguler dan
hanya secara tidak langsung dikendalikan oleh pemerintah pusat;
3. Devolusi
(devolution),
yaitu
pembentukan
dan
penguatan
unit-unit
pemerintahan sub-nasional dengan aktivitas yang secara substansial
berada di luar kontrol pemerintah pusat; dan
4. Privatisasi (transfer of functions from government to non-government
institutions), yaitu memberikan semua tanggung jawab atas fungsi-fungsi
kepada organisasi non pemerintah (NGO) atau perusahaan swasta yang
independen dari pemerintah.
Pandangan lainnya menurut Rondinelli dan Cheema (1983:22), bahwa
desentralisasi dalam bentuk yang murni (devolution) mempunyai karakteristik
mendasar, sebagai berikut:
1. Unit-unit pemerintahan setempat bersifat otonom, mandiri, dan jelas-jelas
sebagai unit pemerintahan bertingkat yang terpisah dari pusat. Pusat
melakukan sedikit atau tanpa kontrol langsung oleh pusat terhadap unit-unit
tersebut;
2. Pemerintah daerah mempunyai batas-batas geografis yang jelas dan diakui
secara hukum di mana mereka menggunakan kekuasaan dan menjalankan
fungsi-fungsi publik;
3. Pemerintah daerah mempunyai status dan kekuasaan mengamankan
sumber-sumber untuk menjalankan fungsi-fungsinya;
4. Implikasi desentralisasi adalah kebutuhan mengembangkan pemerintahan
lokal sebagai institusi, yang dilihat warga setempat sebagai organisasi yang
memberikan pelayanan dan sebagai unit pemerintahan yang mempunyai
pengaruh;
67
5. Dengan
desetralisasi
berarti
ada
hubungan
timbal
balik,
saling
menguntungkan dan hubungan yang terkoordinasikan antara pemerintah
pusat dengan pemerintahan daerah.
Pemerintahan daerah (local government) menurut United Nations yang
dikutip oleh Meenakshisundaram dalam Jha dan Mathur (1999:58) adalah suatu
sub-devisi politik pada suatu bangsa (dalam suatu negara federal di AS), yang
dibentuk atas hukum dan memiliki kewenangan penuh atas urusan lokal
termasuk dalam menarik pajak dan penggunaan tenaga kerja lokal untuk tujuan
tertentu dan pejabat pemerintahan ditentukan melalui pemilihan.
Muthalib dan Ali Khan (1982:2-18), menjelaskan secara komprehensif
pemahaman tentang arti dari konsep local government. Dinyatakan bahwa
secara konseptual local government harus dimaknai secara multi-dimensional.
Makna multi-dimensional tersebut meliputi: (1) dimensi sosial (social dimension);
(2) dimensi ekonomi (economic dimension); (3) dimensi geografis (geografic
dimension); (4) dimensi hukum (legal dimension); (5) dimensi politik (political
dimension); dan (6) dimensi administasi (administrative dimension).
Terkait dengan hal tersebut, Muthalib dan Ali Khan (1982:29-51) juga
mengemukakan kebutuhan terhadap pembangunan desentralisasi (need for
decentralised development). Kebutuhan terhadap pembangunan desentralisasi
bersinggunngan dengan adanya empat fungsi yang dimilikinya, yakni (1)
pembangunan desentralisasi akan meningkatkan partisipasi warga lokal; (2)
mempercepat pembangunan ekonomi lokal; (3) terjadinya transformasi sosial di
tingkat lokal; dan (4) pembangunan desentralisasi menciptakan pemerataan
hasil-hasil pembangunan.
Selanjutnya, menurut Meenakshisundaram seperti dikutip oleh Jha dan
Mathur (1999:60) menguraikan beberapa peran pemerintahan daerah (the role of
68
local government) yang dapat ditemukan dalam sistem pemerintahan yang
terdesentralisasi. Peran pemerintahan daerah yang dimaksud, sebagai berikut:
a. Menjadi senjata
efektif
dalam
menghadapi tekanan lokal dengan
menampung dan mengartikulasikan kepentingan lokal, menjadi media
pendidikan politik bagi masyarakat yang merasakan langsung pelaksanaan
fungsi pemerintahan;
b. Karena kedekatannya secara lokasi, dalam hal penyediaan pelayanan jasa
dapat berlangsung lebih efisien;
c. Perencanaan dapat lebih baik karena lebih mengetahui kondisi lokalnya,
dengan penggunaan tenaga lokal yang lebih efisien pula;
d. Pejabat pemerintah bertanggung jawab lebih baik karena hubungan
dengan publik lebih dekat;
e. Pemerintah daerah dapat menjadi medium komunikasi efektif antara pusat
dengan masyarakat lokal terkait dengan program pemerintah pusat di
daerah.
Pada
hakekatnya
desentralisasi
adalah
mengotonomikan
suatu
masyarakat yang berada dalam teritorial tertentu. Sesuai dengan arahan
konstitusi pengotonomian tersebut dilakukan dengan menjadikan masyarakat
tersebut sebagai provinsi, kabupaten dan kota. Di samping itu desentralisasi juga
merupakan penyerahan atau pengakuan urusan pemerintahan bagi provinsi,
kebupaten
dan
kota.
Dalam
kerangka
hukum
selama
ini
pengertian
desentralisasi hanya menonjolkan aspek penyerahan urusan pemerintahan saja
(Hoessein, 2005:66).
Pada Gambar 1 diperlihatkan bahwa desentralisasi yang terjadi hanya
berupa penyerahan wewenang yang menjadi kompetensi pemerintah (presiden
dan para menteri). Jadi pada dasarnya desentralisasi hanya bersumber dari
69
presiden dan para menteri. Tidak ada penyerahan wewenang dari lembagalembaga tinggi negara lain. Tidak ada yang bersumber dari institusi MA, kecuali
untuk kasus provinsi Nangruh Aceh Darussalam, tidak ada penyerahan
wewenang dari DPR apalagi MPR.
MPR
BPK
MK
DPR
MA
P
PEMERINTAH
MENTERI
DESENTRALISASI
DPRD
POLICY
MAKER
ELECTED
OFFICIALS
PENGATURAN
DAERAH
OTONOM
KDH
APPOINTED
OFFICIALS
PENGAWASAN
POLICY
PENGURUSAN
BIROKRASI
DAERAH
(PERANGKAT
DAERAH)
EXECUTIVE
Gambar 1. Jalur Penyerahan Urusan Pemerintahan
Sumber: Hoessein, et al. (2005:66)
Bahwasanya selalu terdapat sejumlah urusan pemerintahan yang
sepenuhnya diselenggarakan secara sentralisasi beserta penghalusannya
dekonsentrasi. Tetapi tidak pernah terdapat suatu urusan pemerintahan yang
diselenggarakan sepenuhnya secara desentralisasi. Urusan pemerintahan yang
70
menyangkut kepentingan dan kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara
lazimnya diselenggarakan secara sentralisasi dan dekonsentrasi. Urusan yang
mengandung dan menyangkut kepentingan masyarakat setempat (lokalitas)
diselenggarakan secara desentralisasi.
Pembagian urusan pemerintahan, berangkat dari sebuah diktum tidak
mungkin urusan diselenggarakan secara 100% sentralisasi atau 100%
desentralisasi dalam satu negara bangsa. Terdapat urusan pemerintahan yang
sudah merupakan keniscayaan menjadi tanggung jawab penuh pemerintah
yakni: (1) politik luar negeri; (2) pertahanan; (3) keamanan; (4) yustisia; (5)
moneter dan fiskal nasional; dan (6) agama. Di luar urusan-urusan pemerintahan
tersebut, pada prinsipnya urusan pemerintahan terpola menjadi dua bagian
yakni: (1) urusan yang dapat didesentralisasikan; dan (2) urusan pemerintahan
yang tidak dapat diselenggarakan secara terdesentralisasi.
Urusan pemerintahan yang dapat didesentralisasikan terbagi atas: (1)
urusan yang 100 persen memungkinkan didesentralisasikan yang terbagi atas:
(a) menurut prakarsa sendiri; dan (b) yang diwajibkan oleh peraturan perundangundangan. Keduanya atas dasar local needs; (2) urusan yang dapat
didesentralisasikan masih terdapat kemungkinan dilakukan oleh pemerintah
karena berbagai hal tidak memungkinkan 100 persen didesentralisasikan. Oleh
karena itu, terdapat kemungkinan sentralisasi pada urusan seperti ini sehingga
dapat dilakukan melalui (a) medebewind (tugas pembantuan); (b) sentralisasi
murni; dan (c) dekonsentrasi tergantung pada skala ekonomi (efisiensi),
eksternalitas, lokalitas, dan catchment area.
Penjelasan terhadap kriteria-kriteria dalam distribusi urusan pemerintahan
yang disebutkan tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, ekternalitas (spillover) yaitu siapa kena dampak, mereka yang berwenang mengurus. Pendekatan
71
dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan dampak
atau akibat yang ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan tersebut. Apabila
dampak yang ditimbulkan bersifat lokal, maka urusan pemerintahan tersebut
menjadi kewenangan kabupaten/kota. Bila dampaknya bersifat regional menjadi
kewenangan provinsi dan bila bersifat nasional menjadi kewenangan pusat.
Kedua,
pemerintahan
akuntabilitas yaitu pendekatan dalam
dengan
pertimbangan
bahwa
tingkat
pembagian urusan
pemerintahan
yang
menangani sesuatu bagian urusan adalah tingkat pemerintahan yang lebih
langsung atau dekat dengan dampak atau akibat dari urusan yang ditangani
tersebut. Dengan demikian akuntabilitas penyelenggaraan bagian urusan
pemerintahan tersebut kepada masyarakat akan lebih terjamin.
Ketiga, efisiensi yakni otonomi daerah harus mampu menciptakan
pelayanan publik yang efisien dan mencegah high cost economy. Efisiensi
dicapai melalui skala ekonomis (economic of scale) pelayanan publik. Skala
ekonomis dapat dicapai melalui cakupan pelayanan yang optimal. Pendekatan ini
dengan pertimbangan bahwa apabila suatu urusan dalam penanganannya
dipastikan akan lebih berdaya guna dan berhasil guna dilaksanakan oleh suatu
strata pemerintahan, maka strata pemerintahan itulah yang lebih tepat untuk
menangani urusan pemerintahan dimaksud. Daya guna dan hasil guna dapat
diukur dari proses yang lebih cepat, tepat, dan murah, serta hasil dan
manfaatnya lebih besar, luas, dan banyak dengan resiko yang minimal.
Berkaitan dengan sistematika distribusi fungsi atau wewenang dalam
rangka desentralisasi dapat dilacak dalam tulisan Diana Conyers (1986:88-100)
yang berjudul Decentralization and Development: a Framework for Analysis.
dalam tulisan tersebut Conyers mengungkap beberapa hal yang perlu
dipertimbangkan dalam distribusi fungsi atau kewenangan.
72
Pertimbangan-pertimbangan dalam distribusi fungsi atau kewenangan
menurut Conyers tersebut, meliputi:
1. The functional activities over which authority is transferred;
2. The type of authority or powers which are transferred with respect of each
functional activity;
3. The levels or areas to which such authority is transferred;
4. The individual, organisation or agency to which authority is transferred at
each level; dan
5. The legal or administrative means by which authority is transferred.
Pemahaman lebih lengkap tentang distribusi fungsi atau wewenang dapat
dilihat penjelasan Muluk (2007:19) sebagaimana diuraikan berikut ini. Pertama,
menyangkut aktivitas fungsional apa yang perlu di desentralisasi. Komponen ini
meliputi keseluruhan fungsi, kecuali fungsi yang penting bagi kesatuan nasional,
beberapa kategori fungsi, atau fungsi tunggal saja. Dalam hal ini, tampaknya
distribusi fungsi yang terjadi di Indonesia menurut UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah adalah mengikuti cara yang pertama, yakni
menyangkut keseluruhan fungsi, kecuali aktivitas yang penting bagi kesatuan
nasional. Fungsi atau wewenang yang dikecualikan tersebut seperti yang tertera
dalam UU No. 32 Tahun 2004 pasal 10 ayat 3, yaitu: (1) politik luar negeri; (2)
pertahanan; (3) keamanan; (4) yustisia; (5) moneter dan fiskal nasional; dan (6)
agama.
Kedua, tentang kekuasaan apa saja yang perlu dilekatkan dalam aktivitas
atau fungsi yang didesentralisasi. Dalam hal ini ada tiga kategori kekuasan yakni:
(1) kekuasaan dalam pembuatan kebijakan yang dibagi lagi dalam kekuasaan
mengatur (policy making) dan mengurus (policy executing); (2) kekuasaan
keuangan yang berkaitan dengan penerimaan dan pengeluaran; dan (3)
73
kekuasaan dalam bidang kepegawaian yang berhubungan dengan kekuasaan
menentukan prasyarat, penetapan, penunjukan, pemindahan, pengawasan dan
penegakan disiplin.
Ketiga, menyangkut desentralisasi kekuasaan pada tingkat tertentu yang
mencakup tiga tingkatan, yakni: (1) pada tingkatan wilayah (regions), provinsi
atau negara bagian; (2) tingkatan distrik atau kabupaten dan kota; (3) tingkatan
desa atau masyarakat. Kebijakan desentraliisasi di Indonesia yang mengacu
pada UU No. 32 Tahun 2004, kelihatannya tidak lagi merujuk pada istilah
tingkatan karena hubungan antara provinsi dan daerah lainnya kini bersifat
coordinate dan independent.
Keempat, terkait dengan kepada siapa distribusi fungsi diberikan, ada
dua pilihan mendistribusikan kekuasaan, yakni: (1) kepada badan fungsional
khusus yang biasanya menjalankan fungsi tertentu saja (specialized functional
agency); dan (2) kepada badan berbasis wilayah yang menjalankan beragam
fungsi (multi-purpose territorially agency). Di Indonesia kebijakan desentralisasi
yang dianut mengacu pada distribusi fungsi jenis yang kedua, yaitu multi-purpose
territorially agency ketika daerah menjalankan banyak fungsi dan berupa badan
yang berbasis teritorial.
Kelima, menyangkut cara fungsi atau wewenang di desentralisasikan.
Dalam hal bagaimana cara fungsi atau wewenang di desentralisasikan, terdapat
dua cara yakni: (1) legislasi; dan (2) delegasi administrasi. Cara pertama yaitu
legislasi dibagi menjadi constitutional legislation berlaku di negara federal seperti
Amerika Serikat dan ordinary legislation berlaku di negara kesatuan seperti
Indonesia. Ilustrasi alur pembagian dan distribusi urusan-urusan pemerintahan
sebagaimana diatur dalam UU No 32 Tahun 2004 dan PP No 38 Tahun 2007
dapat disimak pada Gambar 2 di bagian berikut ini.
74
Gambar 2. Bagan Pembagian Urusan-urusan Pemerintahan
Sumber: Hoessein, et al (2005:71)
2.4. Manajemen Pemerintahan Daerah
Memahami berbagai isu dalam menajemen pemerintahan daerah menjadi
sangat penting dalam mengkaji lebih dalam tentang inovasi yang dipraktekkan
oleh suatu pemerintahan daerah. Douglas J. Watson dan Wendy L. Hasset
(2003) menyunting sebuah buku berjudul Local Government Management:
Current Issues and Best Practices. Dalam buku ini, Watson dan Hasset
menampilkan beragam tulisan dari banyak ahli administrasi publik. Beragam
tulisan tersebut diklasifikasi dalam beberapa bagian yang merupakan aspek
penting yang harus dipahami dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
75
Berbagai aspek yang dimaksud meliputi: (1) hubungan antara pejabat yang
dipilih (elected officials) dan pegawai profesional (professional staff); (2)
manajemen keuangan dan anggaran (budgeting and financial management); (3)
manajemen aparatur publik (public personnel management); (4) pemerintahan
daerah yang lebih produktif dan responsif (local government more productive and
responsive); dan (5) partisipasi warga dalam pemerintahan daerah (citizen
involvement for participation).
Bagian pertama berkaitan dengan aspek hubungan pejabat yang dipilih
(elected
officials)
dan
pegawai
profesional
(proffesional
staff)
dalam
pemerintahan daerah, pada dasarnya masih kental dengan pemikiran dikotomi
antara politik-administrasi (policy-administration dichotomy) lihat Watson dan
Hassett (2003:1-3). Dalam konteks pemerintahan daerah di Indonesia, yang
disebut sebagai elected officials adalah anggota DPRD dan Kepala Daerah dan
professional staff adalah para pegawai yang diseleksi (selected staff) yang
mengisi organisasi perangkat daerah (local bureaucracy).
Pada bagian pertama ini terdapat beragam pandangan terhadap relasi
pejabat yang dipilih dan pegawai profesional dalam pemerintahan daerah. Karl A.
Bosworth’s (1958) dengan tegas menyatakan bahwa ”the manager is a
politician”, karena peran utama yang dimainkannya sebagai pemimpin politik dan
pemimpin masyarakat. Juga memiliki pengaruh kuat dalam masalah-masalah
anggaran, keputusan-keputusan aparatur, dan kemampuan menasehati badan
perwakilan kota (city councils). Richard J. Stillman II (1977) berpandangan lain,
managers tidak dapat secara total berperan sebagai politician atau professional,
karena mereka harus hati-hati dan secara terus menerus berada diantara dua
kutub (poles of politics and expertise). Nelson Wikstrom (1979) menganggap
council-manager mayors hanya sebagai gelar-jabatan saja, perannya masih
76
terbatasi dan seringkali hanya simbol seremonial sebagai representasi
pemerintahan daerah. Untuk itu peran mayors sebagai policy leadership and
direction, juga memiliki rasa tanggung jawab politik yang kuat dalam mengatasi
masalah-masalah sosial dan isu-isu kontroversial yang dihadapi masyarakat.
Sementara itu, James H. Svara (1985) menyatakan bahwa konsep
tradisional mengenai dikotomi politik-administrasi tidak cukup untuk menjelaskan
adanya hubungan kompleks antara elected officials dan city-managers. Sehingga
peran yang dimainkan oleh keduanya harus digambarkan dalam empat dimensi
proses pemerintahan yakni mission, policy, administration, dan management.
James M. Banovetz (1994), meramalkan bahwa city managers kembali memiliki
peran manajerial lebih kuat dan mengurangi peran kebijakan yang didasarkan
pada perubahan kenyataan politik. Robert S. Montjoy dan Douglas J. Watson
(1995) setelah mereviu beberapa tulisan yang terbaru menyimpulkan adanya dua
dikotomi yaitu the policy-administration dichotomy dan the politics-administation
dichotomy. Dalam literatur banyak dicatat peran city-managers dalam pembuatan
kebijakan. Padahal peran yang sama pentingnya bagi city-managers adalah
membatasi merasuknya politik tertentu dalam keputusan-keputusan manajemen
pemerintahan daerah. Pelayanan city-managers sebagai gatekeeper terhadap
kepala-kepala departemen/dinas yang melakukan pekerjaan atas dasar praktek
profesionalisme yang baik dan tidak merespon permintaan politik dari elected
officials. Terakhir dari James H. Svara (1999) menyimpulkan bahwa citymanagers harus memiliki peran sebagai penggagas sekaligus pelaksananya
(activist-inisiator), sementara itu elected officials lebih berperan sebagai
ombudsmen, current problem solvers, dan overseers of the manager’s work.
Bagian penting kedua dalam manajemen pemerintahan daerah adalah
manajemen keuangan dan anggaran (budgeting and financial management).
77
Dalam Watson dan Hassett (2003:87-89) menyatakan bahwa jika managers
pemerintahan daerah tidak sukses menggunakan dan mengendalikan sumbersumber keuangan yang mereka miliki akan mengalami kegagalan. Kegagalan ini
kemudian berakibat terhadap berkurangnya kepercayaan publik terhadap
pemerintahan dan berdampak negatif pada elected official terhadap siapa
mereka bekerja. Untuk itulah, menjadi alasan mendasar betapa manajemen
keuangan menjadi penting bagi managers pemerintahan daerah. Dinyatakan
pula bahwa kemampuan pemerintahan daerah menyelesaikan misinya adalah
cerminan dari kualitas manajemen anggaran dan praktek manajemen keuangan
lainnya. Hal ini telah banyak diamati oleh para ahli bahwa anggaran
mencerminkan nilai-nilai dan pilihan kebijakan dari publik (policy choices of the
public), para politisi, dan administrator publik profesional.
Bagian penting ketiga dari manajemen pemerintahan daerah menurut
Watson dan Hassett (2003:185-187) adalah perubahan dalam manajemen
aparatur
publik
(public
personnel
management).
Diasumsikan
bahwa
pemerintahan pada semua tingkatan mengalami perubahan besar yang
dipengaruhi oleh kekuatan luar yang berlangsung secara terus menerus.
Misalnya, gerakan politik anti pemerintahan yang sudah berlangsung lebih dari
dua dekade menimbulkan tekanan terhadap pemerintahan untuk menjadi lebih
kecil dan efisien. Kemajuan teknologi telah menciptakan banyak jenis pekerjaan
di sektor publik menjadi usang dan dibutuhkan sejumlah hal baru. Gerakan
privatisasi menyebakan beberapa fungsi di sektor publik dialihkan ke sektor
swasta. Isu-isu hukum dan konstitusi merubah manajemen aparatur publik
secara drastis sepanjang lebih dari tiga dekade. Berbagai pengaruh dalam
manajemen aparatur publik menciptakan banyak tantangan yang harus dihadapi
oleh pemerintahan daerah, misalnya peluang yang sama bagi semua klas warga
78
masyarakat dalam dunia kerja, perlindungan kecelakaan ditempat kerja,
pengaruh minuman dan obat terlarang, pelecehan seksual, dan sebagainya.
Menjadikan pemerintahan daerah lebih produktif dan responsif (making
local government more productive and responsive) merupakan bagian penting
selanjutnya dalam manajemen pemerintahan daerah. Menurut Watson dan
Hassett (2003:279-281) tuntutan agar pemerintahan daerah lebih produktif dan
responsif telah berlangsung lama. Warga masyarakat menolak meningkatkan
pembayaran pajaknya jika secara terus menerus permintaan pelayanan yang
lebih baik tidak diwujudkan oleh pemerintahan daerah. Sementara itu,
pemerintah daerah menghadapi keterbatasan fiskal yang disebabkan oleh inflasi
yang sangat tinggi, berkurangnya bantuan federal, dan krisis ekonomi nasional.
Sehingga para pejabat lokal harus mencari pendekatan baru (new approachs)
untuk meningkatkan penyediaan pelayanan, mengurangi biaya, dan persiapan
dimasa yang datang.
Beberapa pendekatan baru sebagai instrumen meningkatkan efektivitas
pemerintahan daerah di antaranya menurut Louise G. White (1982) adalah
melalui pendekatan management by objectives. Melalui instrumen pendekatan
management by objectives, White mengusulkan kepada councilors melakukan
tiga hal, yakni to set long-term goals; to function effectively as group; dan to work
more effectively with the administrative staff. Bagi Richard G. Higgins (1984)
menyarankan pemerintah menggunakan pendekatan ”cutback management”
atau ”doing more with less” melalui tiga hal yakni: mencari sumber penghasilan
baru; meningkatkan produktivitas program dengan memaksimalkan sumberdaya
yang tersedia (to maximize existing resources); dan secara selektif memangkas
rantai layanan (across-the-board cut in services). Sementara itu, Gregory Streib
(1992) memperkenalkan konsep perencanaan strategis sebagai cara efektif
79
menghadapai lingkungan yang tidak stabil. Demikian juga fungsi-fungsi
manajemen pemerintahan daerah yang meliputi leadership, human resources,
management skills, dan external support mengalami disassociation sehingga
seringkali berjalan tidak efektif dalam proses pembuatan keputusan.
Pendekatan ”total quality management (TQM)” merupakan salah satu
instrumen manajemen yang dianjurkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan
kepada konsumen dan konstituen. Setelah sukses diterapkan di organisasi
sektor swasta, pendekatan TQM ini diperkenalkan pada organisasi pemerintahan
di akhir tahun 1980an. Menurut West, at al (1993), seperti dikutip Watson dan
Hassett (2003:280) bahwa satu di antara empat council-manager cities yang
disurvei telah menerapkan teknik manajemen ini. Terdapat tiga tugas utama
seorang pemimpin dalam penerapan TQM, antara lain: (1) transformational,
yakni tugas pemimpin untuk ”formulating and communicating new, visionary
goals” dan menanamkan dalam organisasi mengenai komitmen terhadap
pelanggan atau konstituen; (2) transactional, yakni tugas pemimpin untuk
membangun komitmen anggota terhadap program dan kebijakan baru, baik
sukarela maupun paksaan; dan (3) representational, yakni berkaitan dengan
proses mendapatkan dukungan dari stakeholders utama, misalnya anggota dari
the city council dan tokoh-tokoh kunci dalam masyarakat.
Tawaran konsep berbeda ditemukan dalam tulisan Marlowe, at al (1994)
sebagaimana dikutip oleh Watson dan Hasset (2003:281) menyatakan bahwa
untuk merespon kekuatan-kekuatan perubahan dalam pemerintahan daerah dan
masyarakat yang sudah bersifat nyata dan berjangka panjang, diperlukan tiga
strategi yang disebut sebagai re-movement. Strategi re-movement yang
dimaksud adalah gerakan reinvention, reengineering, dan restructuring. Ketiga
80
strategi re-movement diyakini mampu mengatasi ketidaktepatan desain struktur
organisasi pemerintahan daerah dalam mengatasi masalah krusial masyarakat.
Pelibatan dan partisipasi warga dalam pemerintahan daerah (citizen
involvement for participation). Dalam Watson dan Hassett (2003:353) disebutkan
bahwa pentingnya pelibatan warga untuk berpartisipasi dalam pemerintahan
daerah didasari oleh asumsi-asumsi paradigma democratic governance. Salah
satu asumsi dasar dalam democratic governance menyatakan bahwa individuindividu yang dipilih oleh warga sebagai pejabat politik (political office),
seharusnya merepresentasikan sejumlah masalah dan kepentingan dari
diperintah. Mereka yang terpilih dianggap representasi karena mereka memiliki
kedekatan baik secara fisik maupun emosional.
Salah satu tulisan yang sangat menarik dan relevan dengan penelitian ini
adalah artikel Paul Teske dan Mark Schneider (1994), berjudul The Bureaucratic
Entrepreneur: the Case of City Managers. Dalam tulisan Teske dan Schneider
(1994) seperti dikutip oleh Watson dan Hassett (2003) menyebutkan bahwa
pendekatan entrepreneurial innovation dan creative leadership sering muncul
sebagai tekanan dari warga municipalities untuk menyelesaikan masalah yang
sedang dihadapi masyarakat. Berkaitan dengan pendekatan entrepreneurial
managers berhadapan dengan dua kondisi berbeda, yakni (1) kondisi internal (an
internal world) yang terbatas pada kebutuhan manajemen local bureaucracy; dan
(2) kondisi eksternal (a complex external world) yang berhadapan dengan
lingkungan politik, hukum, dan lingkungan ekonomi dimana suatu daerah berada.
Isu-isu internal biasanya terkait dengan kemampuan managers memotivasi
pegawai sektor publik untuk bekerja lebih efisien. Bagi entrepreneurial managers
selalu mencari perubahan, sehingga membutuhkan pegawai yang mau
mengatasi kelambanan (inertia) dan menjadi lebih produktif. Isu-isu eksternal
81
berkaitan dengan kendala-kendala dan peluang-peluang ditengah perubahan
lingkungan masyarakat. Juga terkait dengan kebutuhan managers berinteraksi
dengan politisi lokal dan konstituen pendukung kebijakan yang baru.
Hal menarik lainnya ditemukan dalam tulisan Evan M. Berman (1997)
berjudul Dealing with Cynical Citizens, yang menganjurkan agar memasukkan
unsur sentimen ketika membahas keterlibatan dan partisipasi warga dalam
pemerintahan daerah. Berman (1997) sebagaimana dikutip oleh Watson dan
Hasset (2003:355) menyarankan supaya masalah sentimental warga juga
menjadi perhatian dan diminati para akademisi dan praktisi administrasi publik,
terutama dalam membentuk sikap publik. Konsep tentang sentimen warga ini
dapat dipahami melalui teori yang disebut sebagai teori sinisisme (theory of
cynicism). Konsep sinisisme sering ditemui dalam kajian-kajian tentang trust dan
social capital.
Manajemen pemerintahan daerah dapat pula dipahami dari pandangan
John Stewart (1995) dalam bukunya berjudul Understanding the Management of
Local Government: Its Special Purposes, Conditions and Tasks. Menurut Stewart
(1995) manajemen dalam pemerintahan daerah seharusnya dipahami berbeda
dengan manajemen pada umumnya. Mengapa demikian, karena manajemen
dalam pemerintahan daerah adalah bagian dari teori domain publik (public
domain theory) yang memiliki karakterisitik dari segi tujuan (purposes), kondisi
(conditions) dan tugas-tugas (tasks) tertentu.
Kemudian Stewart (1995) menjelaskan bahwa manajemen dalam teori
domain publik ini akan menemui resiko-resiko, baik yang disadari atau tidak
disadari, jika manajemen dalam domain publik menggunakan konsep-konsep
yang ”tidak jelas” yang berasal dari luar teori domain publik tersebut. Namun
tidak berarti bahwa manajemen dalam konteks ini tidak dapat belajar manajemen
82
dari sektor swasta, ataupun sebaliknya. Apa yang tidak dapat dialihkan adalah
model manajemen yang berkaitan dengan tujuan (purposes), kondisi (conditions)
dan tugas-tugas (tasks) tertentu tersebut.
Pemahaman terhadap karakteristik tertentu dari aspek tujuan (purposes),
kondisi (conditions) dan tugas-tugas (tasks) dalam manajemen pemerintahan
daerah tercerminkan oleh beberapa asumsi antara lain: (1) pemerintahan daerah
sebagai institusi politik (political institution); (2) pemerintahan daerah selalu
dilandasi oleh pilihan lokal (local choice); (3) organisasi pemerintahan daerah
tidak bertujuan tunggal tapi multi-purposes, sehingga dalam inti manajemennya
menganut multi-valued choice; (4) legitimasi otoritas lokal didapat melalui
election, karena proses election merupakan metode rekrutmen dalam institusi
kekuasaan dan proses politik yang diikuti oleh partai-partai politik.
Stewart (1995) juga menjelaskan tentang adanya kondisi dan tugas-tugas
tertentu yang harus dipahami dalam manajemen pemerintahan daerah.
Karakteristik dari kondisi yang dimaksud bahwa pada dasarnya otoritas lokal
memiliki area (wilayah), yang mana menunjukkan nama dan identitasnya, area
tempat melaksanakan fungsi-fungsinya secara fokus, area memberi batasan
agar tercapai efektivitas dan efisiensi. Otoritas lokal terkait dengan lingkungan
eksternal, melaksanakan tugas dalam organisasi yang terbuka, sehingga
manajemen bersifat multi-kontak. Tugas pokok otoritas lokal adalah menjalankan
kekuasaan pemerintahan publik, sehingga harus memiliki akuntabilitas, yang
biasanya dinilai memalui prosedur tertentu yang disebut elections. Otoritas lokal
diberi tugas dan kewajiban oleh undang-undang (statutory) dan kekuasaaan
discretionary. Dalam fungsinya sebagai penyedia pelayanan publik, pemerintah
daerah tidak hanya dituntut agar memenuhi prinsip ekonomis, efektif, dan efisien
(3Es) tetapi prinsip equity dan equality harus pula diperhatikan.
83
2.5. Birokrasi Pemerintahan Daerah
Memahami eksistensi birokrasi dalam pemerintahan daerah, dapat dilihat
dari beragam perspektif dan pendekatan. Pemahaman terhadap eksistensi
birokrasi pemerintahan daerah ini terasa penting, mengingat posisi dan peran
birokrasi yang sangat vital dan strategis dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah. Termasuk dalam mendorong penyelenggaraan pemerintahan daerah
yang inovatif. Oleh karena itu, pada bagian ini disajikan beberapa pandangan
dari para pemikir administrasi publik terkait dengan perspektif dan pendekatan
dalam memahami birokrasi pemerintahan daerah tersebut. Selain itu, juga akan
diungkapkan konsep birokrasi pemerintahan daerah yang lazim digunakan dalam
sistem pemerintahan daerah di Indonesia yakni Perangkat Daerah.
Dalam paradigma pemikiran tentang bagaimana birokrasi lahir, para ahli
administrasi publik berpendapat bahwa pada umumnya terdapat dua mainstream
pemikiran (Setiono, 2002:23). Kedua mainstream pemikiran tentang eksistensi
birokrasi tersebut yakni pertama, birokrasi lahir sebagai alat kekuasaan.
Mainstream pertama ini menyebutkan penguasa yang kuat harus dilayani oleh
para pembantu (aparat) yang cerdas dan dapat dipercaya (loyal). Konsep
pemikiran ini menyarankan bahwa apabila ingin kekuasaannya berjalan efektif,
maka harus memiliki organ aparatur yang solid, kuat, profesional, dan kokoh.
Birokrasi dibentuk sebagai sarana bagi penguasa untuk mengimplementasikan
kekuasaan dan kepentingannya dalam mengatur masyarakat.
Kedua, birokrasi lahir dan dibentuk karena kebutuhan masyarakat untuk
dilayani. Mainstream kedua ini menyebutkan bahwa birokrasi itu ada karena
memang rakyat menghendaki eksistensi mereka untuk membantu mencapai
tujuan-tujuan tertentu yang telah ditetapkan bersama. Birokrasi lahir karena
84
adanya kebutuhan lembaga (institutions) yang bertugas menyelenggarakan
pelayanan publik (public services). Kebutuhan terhadap pelayanan publik yang
dijalankan birokrasi, berjalan seiring dengan kebutuhan kolektif (collective needs)
anggota masyarakat terhadap jenis pelayanan tertentu. Dengan demikian
masyarakat perkotaan (urban society), kebutuhan kolektifnya berbeda dengan
masyarakat pedesaan (rural society). Sehingga jenis-jenis organ birokrasi yang
melayani masyarakat desa tentu saja berbeda dengan masyarakat perkotaan.
Kedua mainstream tersebut dalam kenyataan tidaklah berjalan secara
murni. Pada setiap negara pembentukan institusi-institusi birokrasi biasanya
merupakan hasil perpaduan antara kebutuhan penguasa sekaligus kebutuhan
masyarakat. Hanya sedikit institusi birokrasi lahir karena kebutuahn penguasa
saja atau tuntutan masyarakat saja.
Eksistensi birokrasi pemerintahan daerah sebagai obyek kajian, dapat
pula dilihat dari perspektif teoritik mengenai birokrasi. Dalam perspektif teori
birokrasi pada umumnya di awali dengan mereviu prinsip-prinsip birokrasi Max
Weber (1922). Prinsip-prinsip birokrasi Weber yang identik dengan teori birokrasi
klasik ini adalah salah satu teori utama yang berpengaruh terhadap semua organ
birokrasi di hampir setiap negara saat ini. Gagasan-gagasan Weber mengenai
birokrasi rasional dianut oleh hampir sebagian besar pemerintahan, baik yang
demokratis maupun otoriter.
Birokrasi rasional adalah sebuah konsepsi birokrasi yang muncul atas
dasar kaidah-kaidah otoritas hukum, bukan karena sebab lain, seperti otoritas
tradisional ataupun otoritas kharismatik. Oleh karena itu, Weber menyusun lima
kayakinan dasar agar tercipta otoritas hukum yang menjadi dasar adanya
birokrasi rasional. Kelima keyakinan dasar otoritas hukum Weber seperti dikutip
oleh Albrow (2004:42) adalah sebagai berikut:
85
1.
Undang-undang (code) dapat diciptakan dan menuntut kepatuhan dari
para anggota organisasi
2.
Hukum adalah sistem aturan yang abstrak yang diterapkan pada kasus
tertentu, sedangkan administrasi mengurus kepentingan organisasi yang
ada dalam batas-batas hukum.
3.
Orang yang menjalankan otoritas itu harus mentaati tatanan inpersonal
(memisahkan kepentingan tugas dan pribadi).
4.
Orang menaati hukum adalah karena mereka sebagai anggota organisasi
bukan karena sebab lain.
5.
Kepatuhan seharusnya tidak ditujukan pada individu yang memegang
otoritas, tetapi kepada tatanan hukum impersonal yang telah memberikan
wewenang kepada orang itu.
Berdasarkan kelima konsepsi keabsahan birokrasi itu, selanjutnya Weber
menyusun sebuah model birokrasi ideal yang berisi ciri-ciri khusus yaitu hirarki
kewenangan yang jelas, pembagian kerja atas dasar spesialisasi fungsional,
sistem pengaturan hak dan kewajiban pada pejabat, hubungan pribadi yang
bersifat impersonal, dan seleksi pegawai atas dasar kompetensi teknis. Menurut
Zauhar (2005), karakterisitik birokrasi legal rasional inilah yang dimaksudkan
untuk mencapai dan menerapkan nilai-nilai yang dianggap baik. Birokrasi yang
mempunyai ciri-ciri di atas adalah birokrasi yang dapat meningkatkan efisiensi
organisasi, karena itu dinamakan birorasionalitas dan biroefisiensi. Sedangkan
yang lain, yang tidak dapat menimbulkan efisiensi alias pemborosan disebut
sebagai biropatologi.
Menurut Albrow (2004:59) dan Setiono (2002:46) walaupun teori birokrasi
rasional Weber ini menjadi salah satu referensi utama teori birokrasi, namun
beberapa bagian pemikiran tersebut mendapat kritikan yang cukup mendasar
86
dari beberapa pihak. Beberapa bagian pemikiran birokrasi Weber yang dikritik
dan pengkritiknya, antara lain (1) struktur yang berjenjang, dikritik oleh Robert K.
Merton (1940) dan Reinhard Bendix (1940); (2) adanya pemusatan perhatian
yang spesifik pada spesialisasi unit, dikritik oleh Robert K. Merton (1940) dan
Philip Selznick (1949); (3) bentuk birokrasi yang mirip militer, dikritik oleh Carl
Friedrich (1940); dan (4) penekanan pada aspek legalitas, mendapat kritikan dari
Rudolf Smed (1928).
Terhadap berbagai kritikan atas kelemahan dalam konsep dan praktek
birokrasi Weber tersebut, Zauhar (2005) mengusulkan pemikiran-pemikiran
alternatif. Bahwa diperlukan organisasi di mana setiap orang bertanggung jawab
atas keberhasilan keseluruhan (the whole). Untuk itu, pemisahan orang berdasar
fungsi
secara
apriori harus
dihapuskan. Hubungan
antaranggota
lebih
didasarkan pada hakekat permasalahan ketimbang struktur organisasi, dan
kerangka kerja lebih didasarkan pada kesepakatan terbuka ketimbang pada
hirarki dan otoritas. Ini semua merupakan ciri dasar organisasi pasca-birokrasi
yang memandang setiap anggota organisasi sebagai manusia yang utuh, dan
karenanya dianggap lebih cocok bagi kebanyakan negara sedang berkembang.
Birokrasi dapat juga dilihat dari perspektif peran dan fungsi spesifik
birokrasi dalam sistem politik pemerintahan. Menurut Setiono (2002:59) bahwa
peran dan fungsi spesifik birokrasi dalam sistem politik pemerintahan dapat
dilihat dalam beberapa aspek, meliputi: petama, birokrasi berperan dalam proses
input. Artinya birokrasi dapat berperan memberikan usulan dan pendapat
(menyampaikan aspirasi) kepada lembaga legislatif (DPR dan DPRD) untuk
diproses menjadi sebuah kebijakan (policy) atau peraturan (regulation). Dalam
proses ini birokrasi berperan seperti interest group dan pressure group.
87
Kedua, birokrasi berperan dalam proses legislatif. Birokrasi memiliki
berbagai aset informasi yang sangat dibutuhkan dalam pengambilan keputusan
pada lembaga legislatif, maka institusi birokrasi yang terkait dengan suatu
rancangan keputusan biasanya dipanggil untuk memberikan pendapat sebelum
kebijakan dan peraturan tersebut ditetapkan.
Ketiga, birokrasi berperan sebagai interpreter (penerjemah) produk
legislatif. Birokrasi melakukan penafsiran, penjabaran, dan penjelasan atas
sebuah kebijakan dan peraturan yang telah ditetapkan. Peran ini sangat
signifikan mempengaruhi implementasi kebijakan yang ditetapkan oleh insititusi
legislatif. Birokrasi membuat tafsiran dan perincian kebijakan secara teknis,
karena apa yang dihasilkan oleh institusi legislatif masih bersifat global.
Keempat, peran spesifik terakhir birokrasi adalah birokrasi bertindak
sebagai eksekutor dari sebuah keputusan politik. Agar keputusan politik yang
dikeluarkan oleh lembaga legislatif dapat berjalan efektif di tengah masyarakat,
maka birokrasi bertugas mengimplementasikan keputusan-keputusan tersebut.
Setelah memahami paradigma pemikiran mengenai mengapa birokrasi itu
lahir, teori dan konsep awal birokrasi, peran dan fungsi spesifik birokrasi dalam
sistem politik pemerintahan, maka selanjutnya disajikan teori dan konsep yang
menjelaskan apa, bagaimana, dan mengapa birokrasi itu bekerja dalam sebuah
sistem pemerintah daerah.
Bagaimana peran dan fungsi birokrasi yang begitu strategis dijalankan
dalam suatu sistem pemerintahan (daerah)? Jawaban atas pertanyaan ini, salah
satunya dapat dimengerti dengan memahami birokrasi dari perspektif organisasi.
Menurut James Q. Wilson (1989) dalam bukunya berjudul: Bureaucracy: What
Government Agencies Do and Why They Do It, bahwa melalui perspektif
organisasi, maka birokrasi (bureaucracy) dapat dianalisis dalam tiga tingkatan.
88
Ketiga tingkatan dalam birokrasi pemerintahan tersebut, yaitu (1) tingkatan
operasional (operators level); (2) tingkatan manajerial (managers level); dan (3)
tingkatan eksekutif (executives level).
Ketiga tingkatan birokrasi pemerintahan tersebut dijelaskan oleh Wilson
(1989 :27) secara berurutan, bahwa menganalisis birokrasi pada tingkatan
operasional (operators level or rank-and-file employees) adalah memahami
budaya birokrasi dari sudut pandang apa tindakan dan mengapa tindakan
tersebut dilakukan oleh para “operator” (street level bureaucracy). Dalam analisis
ini disebutkan terdapat alasan-alasan yang melatari tindakan yang diambil oleh
para pegawai pada tingkatan ini. Alasan-alasan yang melatari tindakan yang
dimaksud meliputi terkait dengan tujuan formal organisasi, situasi yang dihadapi
(masalah lingkungan), pengalaman yang pernah dilalui, kepercayaan individu
yang dianut, harapan dari kolega, kepentingan dimana organisasi tersebut
berada, dan alasan pendirian suatu organisasi. Kombinasi dari alasan (faktorfaktor) itulah yang membentuk budaya organisasi yang membedakan operator
dalam melihat dan bereaksi terhadap dunia birokrasi. Budaya organisasi ini pula
yang memberikan otoritas diskresi yang dimiliki oleh para operator.
Analisis birokrasi pemerintahan pada tingkatan manajerial (managers
level) berbeda dengan analisis pada tingkatan operasional. Pada tingkatan
manajerial, para manajer bertugas untuk mengalokasikan seluruh sumber daya
yang dimiliki organisasi, mengarahkan para pegawai, dan berusaha mencapai
tujuan organisasi. Budaya manajerial terbentuk oleh sejauh mana mereka
mengatasi
hambatan-hambatan
dalam
menjalankan
tugasnya.
Budaya
manajerial tidak dibentuk oleh keharusan dalam bertindak secara rutin sepanjang
hari sebagaimana tindakan para operator. Lalu bagaimana cara para manajer
mengatasi hambatan-hambatan dalam menjalankan tugasnya? Hal ini sangat
89
dipengaruhi tergantung pada jenis organisasi (production, procedural, craft, and
coping organizations) di mana para manajer bekerja.
Menurut Wilson (1989:28) analisis pada tingkatan eksekutif (executives
level) birokrasi pemerintahan, para pejabat organisasi yang ada pada tingkatan
eksekutif seharusnya memiliki tanggung jawab terhadap organisasinya secara
keseluruhan. Pejabat yang ada pada tingkatan eksekutif memiliki otonomi dan
kewenangan untuk selalu memperhatikan jaminan terhadap posisi dan jabatan
politik yang mereka miliki. Melakukan pengawasan terhadap wilayah kerjanya.
Sehingga pejabat pada tingkatan eksekutif pada dasarnya memiliki tujuan ganda
yakni menjaga organisasi agar tetap eksis dan selalu menjamin posisi dan
jabatan yang dipegangnya. Untuk itu, pejabat eksekutif selalu mencoba dan
melakukan berbagai strategi dan menganjurkan untuk melakukan inovasi.
Hal menarik selain analisis birokrasi pemerintahan dalam tiga tingkatan
sebagaimana diuraikan adalah adanya tipologi organisasi pemerintahan yang
terbagi empat kelompok. Empat kelompok tipologi organisasi pemerintahan
menurut Wilson (1989:158), yakni (1) Production organizations; (2) Procedural
organizations; (3) Craft organizations; dan (4) Coping organizations.
Organisasi pemerintahan yang tergolong kelompok tipologi pertama
production organizations adalah organisasi pemerintahan yang memiliki ciri-ciri
measurable processes and visible or understandable outputs. Di mana kinerja
pada proses kerjanya jelas terukur dan memiliki kinerja hasil (output) yang jelas
dan terukur pula. Contoh tipe organisasi ini adalah organisasi perbankan dan
Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah.
Organisasi pemerintahan yang tergolong kelompok tipologi kedua
procedural organizations adalah organisasi pemerintahan yang memiliki ciri-ciri
measurable processes but they have no visible or easily measurable outputs,
90
yakni organisasi di mana kinerja prosesnya dapat terukur tetapi kinerja outpunya
tidak mudah diukur. Organisasi pemerintahan yang termasuk tipe ini misalnya
organisasi TNI dan organisasi kepolisian.
Tipe organisasi pemerintahan yang ketiga adalah craft organization, yakni
organisasi pemerintahan yang memiliki ciri-ciri kinerja prosesnya yang jelas dan
terukur, tetapi outpunya tidak jelas dan juga tidak terukur. Contoh organisasi
pemerintahan yang termasuk tipe organisasi ini adalah organisasi perguruan
tinggi (universitas) dan organisasi sekolah. Tipologi organisasi pemerintahan
yang terakhir adalah coping organizations, yakni tipe organisasi yang memiliki
ciri-ciri kinerja prosesnya tidak jelas dan sulit untuk diukur tetapi hasil dan
dampaknya jelas serta terukur. Organisasi yang termasuk dalam kelompok tipe
organisasi ini adalah organisasi intelejen.
Perspektif yang berbeda dalam memahami birokrasi pemerintahan
daerah dikemukakan oleh M. A. Muttalib dan Mohd. Akbar Ali Khan (1982).
Dalam bukunya berjudul: Theory of Local Government, kedua pakar ini
mengemukakan pandangannya tentang birokrasi pemerintahan daerah dalam
perspektif local bureaucracy. Menurut Muthalib dan Ali Khan (1982:204)
dikebanyakan negara, termasuk juga beberapa negara maju, beranggapan
bahwa local bureaucracy tidak terlalu penting, bahkan cenderung diabaikan.
Padahal peran local bureaucracy sangat strategis dalam pencapaian tujuan
utama dari pemerintahan daerah, khususnya dalam memberikan pelayanan yang
efektif dan efisien.
Menurut Muthalib dan Ali Khan (1982), isu-isu yang terkait dengan local
bureaucracy
menjadi
faktor
krusial
dalam
upaya
perbaikan
performa
pemerintahan daerah. Oleh sebab itu tuntutan agenda reformasi local
bureaucracy dalam pemerintahan daerah semakin meningkat. Tuntutan agenda
91
reformasi local bureaucracy ini terutama isu-isu yang berhubungan dengan
pelayanan publik di tingkat lokal, yang disebut dengan local civil service. Hal ini
yang menyebabkan posisi pegawai sipil lokal (local civil servants) menjadi sangat
vital. Dengan kata lain local civil servants dapat diibaratkan sebagai spinal cord
dari keseluruhan organisasi.
Berkaitan dengan pemahaman local civil service tersebut, Muthalib dan
Ali Khan (1982) memandang bahwa terdapat beberapa isu krusial dalam
perbaikan performa local bureaucracy. Namun demikian, dalam konteks
penelitian ini hanya mengungkap isu-isu yang menyangkut: (1) status and image
public; (2) pattern of local civil service; (3) elite of local bureaucracy; dan (4)
bureaucracy and democracy.
Isu tentang status and image public dari pelayanan sipil lokal menurut
Muthalib dan Ali Khan (1982:205) dapat dilihat dari tiga dimensi, yakni pertama,
dimensi power yaitu masalah yang berhubungan dengan kurangnya kebebasan
operasional dan terbatasnya kekuasan dalam pemberian pelayanan. Solusinya
adalah menyamakan status pegawai tingkat lokal dan nasional, miningkatkan
status hukum, serta memberi kebebasan seperti yang dilakukan di Perancis,
Mesir dan India. Kedua, dimensi money yakni berhubungan dengan masalah
ketidakcukupan anggaran (inadequated financial). Pendapatan pemerintah
daerah tidak memadai dan anggaran perdepartemen rendah. Solusi yang
ditawarkan adalah pemerintah pusat harus ikut terlibat seperti yang dialami di
Perancis, India dan Mesir.
Dimensi ketiga menyangkut service yaitu berhubungan dengan masalah
terjadinya kompetisi antar sektor publik, semipublik, dan swasta. Daya tarik yang
rendah, gaji pegawai yang kecil, dan jalur karir yang terbatas. Masalah-masalah
tersebut dapat diatasi dengan melakukan standarisasi inter-local government,
92
melakukan menyamaan eselonering, kegiatan pelatihan pegawai, penyediaan
tenaga teknis dan memperbanyak fasilitas pelatihan, serta memanfaatkan
kemajuan teknologi
Isu mengenai pola pelayanan sipil daerah (pattern of local civil service)
menurut Muthalib dan Ali Khan (1982:206) terbagi dua pendekatan yaitu pola
pendekatan legalitas hukum dan pola pendekatan profesionalisme. Pola
pendekatan legalitas hukum ini terdiri tiga jenis yaitu (1) berdasarkan UndangUndang Dasar seperti di Perancis, Jepang, Srilanka, dan Amerika Serikat; (2)
berdasarkan hukum sekunder seperti di Inggris dan Amerika Serikat; dan (3)
melakukan Joint Responsibility Regulation seperti di Mesir dan India. Sementara
itu pola pendekatan profesionalisme meliputi tiga jenis pula yaitu (1) berdasarkan
klasifikasi keahlian profesionalisme seperti Inggris; (2) melakukan standarisasi
pelayanan, kompetensi dan esprit de corp; dan (3) pembentukan komite atau
komisi kepegawaian seperti di Amerika Serikat.
Isu berikutnya adalah isu elite of local bureaucracy dalam pelayanan sipil
daerah. Menurut Muthalib dan Ali Khan (1982:216), bahwa isu elite of local
bureaucracy terdiri atas dua pola yang dianut. Pola pertama adalah pola
eksekutif lokal yang independen dari pengaruh politik dimana elit birokrasi lokal
diangkat dan dikontrol oleh pemerintah pusat. Contoh yang menerapkan pola
pertama ini adalah di Perancis dan India dengan model Chief Executive Officer
(CEO). Pola kedua adalah pola eksekutif lokal yang merupakan elit birokrasi
yang dipilih oleh local council. Contoh penerapan pola kedua ini dapat dilihat di
Amerika Serikat, Jerman, Inggris dengan City Manager dan Chief Executive.
Hubungan antara bureaucracy dan democracy menjadi isu terakhir dalam
perspektif local bureaucracy ini. Gagasan mengenai hubungan antara birokrasi
dan demokrasi, menurut Muthalib dan Ali Khan (1982:224) tiada lain adalah
93
menyangkut hubungan antara pejabat yang dipilih (elected officials) dan pejabat
karir (permanent functionaries). Pola hubungan antara pejabat politik yang dipilih
dengan pejabat karir profesional yang diseleksi saling terkait dengan tradisi
demokrasi yang dianut oleh suatu negara. Bagi negara-negara yang menganut
tradisi demokrasi yang kuat atau memiliki legislatif lokal yang kuat (strong local
council) dan menjadi dominan terhadap proses administrasi, maka akan
memperlemah birokrasi lokal (weak local bureaucracy). Akibatnya kinerja
birokrasi menjadi lambat. Untuk mengatasi agar terjadi keseimbangan antara
birokrasi dan demokrasi pada pola ini, disarankan memperkuat kepemimpinan
administrasi dan menyatukan pintu pertanggungjawaban eksekutif kepada
dewan. Negara-negara yang menganut tradisi demokrasi yang kuat ini adalah
Amerika Serikat, Swedia, dan Inggris.
Pada negara-negara yang menganut tradisi demokrasi yang lemah (weak
local council), biokrasi menjadi lebih dominan dan badan legislatif lemah
sehingga mengakibatkan kompetisi menjadi tidak sehat dan merusak nilai-nilai
demokrasi. Dampak positif pola tradisi demokrasi yang lemah ini karena
menyebabkan kinerja birokrasi menjadi tinggi. Namun, sisi negatifnya karena
ketergantungan pada pemerintah pusat sangat tinggi dan kuat dalam mengontrol
birokrasi. India adalah salah satu negara penganut tradisi demokrasi yang lemah.
Dalam perspektif anatomi organisasi menurut Said (2007:91), bahwa
birokrasi pemerintahan daerah memiliki unsur-unsur pokok yang mana setiap
unsur pokok tersebut memiliki fungsi yang khas. Unsur-unsur pokok yang
dimaksud meliputi: (1) struktur organisasi; (2) visi dan misi organisasi; (3)
personil atau pejabat organisasi; (4) fasilitas pendukung; dan (5) kepemimpinan
birokrasi.
94
Pada Gambar 3 mencerminkan anatomi birokrasi yang menunjukkan
bahwa pada organisasi perangkat daerah juga memiliki struktur organisasi yang
berfungsi mengejawantahkan tujuan pemerintahan daerah. Pemerintahan daerah
juga memiliki visi dan misi yang menjadi rangkaian tujuan yang lebih konkrit yang
akan dicapai dalam jangka waktu tertentu. Personel atau pegawai yang mengisi
ini disebut aparatur organisasi. Mereka inilah yang memiliki peran vital dalam
menentukan apakah visi dan misi organisasi bisa terwujud. Oleh karena itu
aparatur yang mengisi bangunan organisasi itu harus melalui sebuah proses
seleksi (selected). Pemilihan dan seleksi dilakukan untuk menjamin kualitas
aparatur yang sesuai dengan kualifikasi-kualifikasi yang dibutuhkan dalam
mewujudkan visi dan misi organisasi.
Gambar 3. Tingkatan Unsur-Unsur Pokok (Anatomi) Birokrasi
Sumber: Rohdewohld dikutip oleh Said (2007:92)
Selanjutnya menyediakan fasilitas pendukung yang dibutuhkan oleh para
aparatur agar membantu atau memudahkan mereka dalam menjalankan tugas
95
kerjanya secara ril. Fasilitas pendukung yang dimaksud di antaranya adalah
anggaran, bahan dan alat, insentif, serta fasilitas lainnya yang dibutuhkan.
Tahapan yang terakhir, namun tak kalah pentingnya dan sangat vital adalah
unsur leadership. Kepemimpinan inilah yang akan mengorganisir bagaimana
kinerja secara keseluruhan bisa selaras dan mendukung tercapainya tujuan
birokrasi pemerintahan. Pemimpin harus mengarahkan para aparatur agar dapat
melakukan tugas dan fungsinya secara efektif, efisien dan ekonomis, serta
terarah. Tanpa kepemimpinan bisa jadi yang tercipta ialah kerja yang saling
bertabrakan atau mungkin tidak saling berhubungan satu sama lain atau malah
saling menghambat satu dengan yang lainnya.
Pemaparan mengenai anatomi birokrasi akhirnya disimpulkan oleh Said
(2007:134), bahwa birokrasi tak akan bisa sempurna sehingga birokrasi harus
selalu dibenahi. Birokrasi selalu mengikuti dinamika kehidupan manusia yang
melingkupinya dan merespon tuntutan masyarakat yang dilayaninya. Birokrasi
harus secara kontinyu menyelaraskan dirinya sesuai dengan konteks dinamika
disekelilingnya dan tak boleh puas dalam keangkuhan hidup di atas menara
gading. Birokrasi bukanlah institusi absolut yang sakral dan tak boleh
diperbaharui dan disempurnakan. Birokrasi ada bukan untuk melayani dirinya
sendiri. Dengan kata lain, bahwa birokrasi harus fleksibel dan kontekstual sesuai
dengan perkembangan dan tuntutan realitas yang dhadapinya.
Sistem pemerintahan daerah di Indonesia memiliki bentuk pemerintah
daerah seragam dan cenderung demikian sepanjang proses pertumbuhannya.
Jika ada perubahan bentuk pemerintah daerah, hal itu terjadi karena fase
pemerintahan daerahnya bukan karena kemajemukan dalam fase yang sama.
Simak misalnya dalam masa UU No. 22 Tahun 1999, terdapat keseragaman
96
bentuk pemerintah daerah di Indonesia, baik untuk daerah provinsi maupun
daerah kabupaten/kota.
Demikian halnya, dalam UU mengenai pemerintahan daerah sebelum UU
No. 22 Tahun 1999, pemerintah daerah (local authority) sebagai organ
pelaksana pemerintahan di daerah selalu tepat asas dengan mencakup DPRD
(council) dan Kepala Daerah (mayor). Namun, pada UU No. 22 Tahun 1999,
istilah pemerintah daerah hanya diperuntukkan bagi Kepala Daerah beserta
perangkat daerah dan tidak mencakup DPRD yang disebut sebagai Badan
Legislatif Daerah. Kondisi ini disebut sebagai tidak taat asas, karena hanya DPR
yang mempunyai fungsi legislatif dan menjadi bagian dari Badan Legislatif
bersama Presiden dalam tata hukum kita. Padahal DPRD sebenarnya
merupakan bagian dari Badan Eksekutif daerah yang memiliki fungsi pengaturan,
penganggaran, dan pengawasan.
Untuk mengakomodasi persoalan tersebut di atas, para pembuat UU No.
32 Tahun 2004 menghilangkan penggunaan istilah badan legislatif daerah bagi
DPRD dan badan eksekutif daerah bagi Kepala Daerah dan perangkat daerah.
Kini DPRD dan pemerintah daerah disebut sebagai penyelenggara pemerintahan
daerah sebagai terjemahan dari local government atau local authority dalam
khazanah Inggris dan Amerika Serikat.
Dalam kerangka ini, maka organ pemerintah daerah kabupaten/kota
terdiri atas DPRD kabupaten/kota dan Kepala Daerah beserta perangkat daerah
lainnya. Bupati atau Walikota sebagai kepala daerah hanya menjalankan tugas
desentralisasi secara bulat dan tidak menerima tugas dekonsentrasi. Baik Bupati
atau Walikota dan DPRD kabupaten/kota adalah lembaga politik karena proses
pengisiannya melalui cara dipilih (elected) secara demokratis dan terbuka bagi
partai politik.
97
Dalam pandangan yang aplikatif, dapat dilihat dari pandangan Supriyono
(2007:730), yang menyatakan bahwa mengkaji pembangunan struktur dan fungsi
institusi pemerintahan daerah dapat diawali dengan memahami local government
dalam pengertian organ dan fungsi. Di mana dijelaskan dalam Muluk (2009:10)
bahwa dalam pengertian organ, local government berarti pemerintah daerah,
yakni council (DPRD) dan mayor (gubernur, bupati atau walikota), di mana
rekrutmen pejabatnya didasarkan pada pemilihan. Sedangkan dalam pengertian
fungsi, local govenment berarti pemerintahan daerah yang diselenggarakan oleh
pemerintah daerah.
Berkaitan dengan pengertian organ, maka jenis-jenis pemerintah daerah
meliputi: (1) the strong mayor-council form; (2) the weak mayor-council form; (3)
the council-manager plan; (4) the commission form. Kemudian Norton yang
dikutip oleh Supriyono (2007:730) juga menambahkan bentuk the strong mayorcouncil with chief administrative or chief executive officer plan. Chief executive
plan dan semua institusi di bawahnya merupakan birokrasi lokal. Institusi
pemerintahan daerah tersebut dapat menjalankan beragam fungsi pemerintahan
(multi atau general puspose local authority) ataupun melaksanakan suatu fungsi
pemerintahan (single atau special purpose local authority).
Dalam pengertian organ dan fungsi tersebut di atas, maka institusi
pemerintahan daerah di Indonesia dapat dimaknai sebagai organ dan cenderung
termasuk dalam the strong mayor-council form, atau bahkan cenderung
berbentuk the strong mayor-council with chief executive officer. Hal ini tampak
dari keberadaan Kepala Daerah (gubernur, bupati atau walikota) sebagai
padanan mayor dan DPRD sebagai perwujudan dari council. Mengenai fungsi
pemerintahan yang dilaksanakan adalah bersifat multi atau general puspose
98
local authority karena institusi pemerintahan daerah melaksanakan beragam
fungsi pemerintahan.
Perangkat daerah merupakan birokrasi daerah otonom yang proses
pengisiannya atas dasar pengangkatan (appointed) dan tertutup bagi partai
politik. Melalui penjelasan Hoessein (2009:113) dipahami bahwa proses
pengisian seperti ini untuk birokrat daerah otonom dimaksudkan untuk menjamin
netralitas birokrasi. Perangkat daerah ini terdiri atas Sekretariat Daerah, Dinas
Daerah, dan lembaga teknis daerah lainnya yang dibentuk sesuai dengan
kebutuhan daerah. Lembaga teknis daerah bisa berupa Badan, Kantor,
Kecamatan, Kelurahan, dan sebagainya.
Gambar 4. Struktur Perangkat Daerah Kabupaten
Sumber: UU No. 32 Tahun 2004 dan Kaloh (2007:178)
Terkait dengan kedudukan organisasi perangkat daerah ini, Salomo
(2006:2) memberikan penjelasan bahwa organisasi perangkat daerah sebagai
instrumen penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia merupakan salah
99
satu elemen pemerintahan daerah yang sangat penting dengan sejumlah alasan,
sebagai berikut:
1. Organisasi perangkat daerah merupakan “rumah” atau wadah yang
menampung berbagai aspek penting lainnya dalam sistem pemerintahan
daerah, yang menjadi wadah maupun kerangka kerja sistem keuangan,
sistem kepegawaian, sistem perencanaan, sistem pelayanan publik dan
berbagai sistem atau sub-sistem lainnya.
2. Organisasi perangkat daerah adalah wadah di mana pemerintah daerah
menjalankan berbagai kewenangan atau urusan-urusan pemerintahan yang
diembannya.
3. Organisasi perangkat daerah adalah wadah bagi pemerintah daerah untuk
mengemban visi dan misi daerah, tujuan daerah, dan mengemban
pelayanan publik yang menjadi tugas dan tanggung-jawab daerah.
Oleh karena itu, organisasi perangkat daerah mempunyai arti yang
sangat penting bagi pencapaian pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah.
Bahkan Salomo (2006:2), menegaskan bahwa keberhasilan sebuah daerah
dalam menjalankan misinya antara lain tergantung dari struktur organisasi
perangkat daerah yang dibuat. Apakah perangkat daerah telah mengakomodasi
berbagai aspek seperti visi, misi, tujuan, tugas pokok dan fungsi, serta beban
pelayanan?
2.6. Kajian Inovasi Pemerintahan Daerah
Kajian terhadap inovasi pemerintahan, terutama kaitannya dengan
masalah-masalah pemerintahan di tingkat lokal (local problems) dapat ditemui
dalam salah satu karya dari Douglas J. Watson, yang berjudul “Innovative
Government: Creatives Approach to Local Problems” (1999). Dalam karyanya,
100
Watson
(1999:130)
menerangkan
bahwa
pemerintahan
daerah
(local
government) memiliki beberapa alasan yang khas untuk mengembangkan
kemampuan inovasi. Hal ini diungkapkan oleh Watson sebagai berikut:
“.....Local governments have a unique opportunity to be innovative for
several reasons. One is that local governments are very close to the
problems in their communities. ....., local officials have the chance to see
and hear the problems as they develop. A second reason local
governments can be innovative is that there are so many of them doing
basically the same things. Each community serves as a laboratory for
innovation. ....., local governments to solve problems and develop solutions
in different ways. A third reason is that most elected officials on the local
level run for office because they care about their communities and believe
that they can improve them. The last reason is that the level of competence
and expertise found among local public administrators has greatly
increased over the past several decades. Local public administrators are
better trained than they have ever been and are anxious to work for
organizations that allow them to use their talents.” (1999:130-131)
Relevansi pentingnya inovasi diselenggarakan pada tingkat pemerintahan
daerah dengan jelas diungkapkan bahwa unit organisasi pemerintahan daerah
sangat dekat dengan masyarakatnya, sehingga dianggap mengetahui secara
pasti masalah-masalah pada aras lokal. Demikian halnya masalah yang dihadapi
masyarakat sudah barang tentu berbeda sehingga harus pula ditangani dengan
cara yang berbeda pula.
Dalam hal ini Supriyono (2007), menjelaskan bahwa otonomi yang luas
telah memberikan kewenangan yang sangat besar kepada pemerintah daerah
(kabupaten/kota) untuk mengatur dan mengurus pemberian pelayanan publik
sesuai dengan local choice dan local voice masyarakatnya. Pemerintah daerah
memiliki peran besar (strong public sector) di bidang pelayanan publik, termasuk
dalam mengatur berperannya kelompok masyarakat dan pihak swasta. Oleh
karena itu, kondisi ini kiranya mendorong pemerintah daerah untuk selalu
mencari teknik dan strategi yang efektif untuk menjalankan fungsi pelayanan
publik memalui kebijakan dan program yang inovatif.
101
Inovasi penyelenggaraan pemerintahan juga mencakup perubahan dan
pembaharuan struktur ataupun kebiasaan yang telah berlangsung secara rutin.
Brown (2008) seperti dikutip oleh Supriyono (2011:2) mengemukakan adanya
dua konsep inovasi yaitu Expansive Learning Theory (ELT) dan Socio Cultural
Theory (SCT). Konsep perluasan pembelajaran mengandung pemahaman
bahwa inovasi terjadi ketika pandangan tradisional menyediakan suatu pedoman
pelaksanaan suatu pekerjaan tetapi tidak cukup dalam menghadapi tantangan
dan situasi yang baru, karenanya diperlukan pengembangan dan praktek yang
baru melalui alih teknologi (technology transfer). Bagian penting dari pandangan
ini adalah memadukan antara pandangan lama dan baru dalam melaksanakan
sesuatu yang diarahkan pada perubahan dan pembaharuan.
Sementara SCT berpandangan bahwa proses penciptaan pengetahuan
dan pedomannya terarah pada konsepsi inovasi sebagai kolaborasi antara
difersifikasi organisasi dan hasil yang diperoleh individu dalam pembelajaran
organisasi. Di samping diperlukan alih teknologi dan perubahan sistem,
diperlukan pula pembelajaran individu dan organisasi untuk mempercepat
transformasi sosial budaya baik di tingkat organisasi maupun di komunitas
masyarakat yang lebih luas.
Kedua teori ini dalam proses inovasi penyelenggaraan pemerintahan
perlu dipadukan agar diperoleh hasil yang optimal, dari perspektif ELT siklus
pembelajaran dapat diperluas melalui berbagai aktivitas kolaborasi dua atau
lebih komunitas, baik di tingkat nasional, tingkat regional, hingga di tingkat lokal.
Sebagaimana dikemukakan Brown (2008:9)
“National governments have develoved much of the responsibility for
innovation policies to regions. Consequently, it is possible to compare the
implementation of local experiments to transform an industrial and
manufacturing region into a knowledge economy. Different types of policies
102
are affected by different contextual conditions and carry with them different
possibilities for implementation”.
Mencermati skema pada Gambar 5 dapat dijelaskan bahwa inovasi
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan adalah bersifat sistemik,
inovasi pemerintahan yang ada di tingkat nasional pada dasarnya saling
berkaitan dengan inovasi di tingkat regional ataupun di tingkat lokal. Pemahaman
ini terasa semakin penting untuk diimplementasikan di Indonesia sebagai suatu
negara yang menganut paham negara kesatuan (unitary state), karena
hubungan antara pemerintah pusat dan daerah adalah bersifat coordinate dan
sekaligus subordinate. Keberadaan pemerintah daerah adalah merupakan
bagian dari pemerintah pusat, sehingga inovasi pemerintahan yang ada di tingkat
lokal kendati memiliki kemandirian seharusnya tidak menyimpang dari desain
inovasi pemerintahan yang telah ditetapkan di tingkat nasional.
Gambar 5. The Transformation of Policy during Implementation
Sumber: Browm (2008:10)
Pemerintah pusat memiliki peran dalam hal desain konsep inovasi
kebijakan tingkat nasional (makro) yang akan diimplementasikan di tingkat pusat
103
dan daerah. Desain kebijakan inovatif ini perlu dikomunikasikan dengan berbagai
tingkatan pemerintahan agar tujuan inovasi dipahami dan diimplementasikan
dengan baik. Desain dan strategi inovasi yang diperlukan adalah dalam hal
melaksanakan fungsi mengatur (policy formulation) dan mengurus (policy
implementation) penyelenggaraan pemerintahan termasuk dalam pemanfaatan
teknologi yang dapat diimplementasikan pada semua tingkatan pemerintahan.
Desain kebijakan yang telah ditetapkan selanjutnya diimplementasikan di tingkat
regional (meso) dan di tingkat lokal (mikro) dalam bentuk program dan kegiatan
pengelolaan urusan pemerintahan. Makna inovasi implementasi kebijakan ini
adalah berkaitan dengan fungsi pengaturan (policy making) dan fungsi
pengurusan (policy executing) di tingkat regional dan di tingkat lokal.
Kepala Daerah dan DPRD sebagai pejabat politik yang dipilih
melaksanakan fungsi pengaturan, yaitu menetapkan inovasi peraturan daerah
(Perda) dan perundang-undangan lainnya sesuai dengan keinginan dan tuntutan
kebutuhan masyarakat. Selanjutnya Kepala Daerah beserta Perangkat Daerah
(local bureaucracy) sebagai pejabat yang diangkat, melaksanakan inovasi fungsi
pengurusan (policy implementation) penyelenggaraan pemerintahan secara
profesional dengan mengacu pada perundang-undangan yang telah ditetapkan
sebelumnya.
Kebijakan inovatif yang telah ditetapkan selanjutnya diimplementasikan
oleh Perangkat Daerah (local bureaucracy) dibawah kendali Kepala Daerah dan
Sekretaris Daerah. Dalam hal ini diperlukan kinerja berbagai institusi Perangkat
Daerah yang inovatif dalam mengelola urusan pemerintahan, pembangunan, dan
layanan publik. Birokrasi yang inovatif ditandai dengan adanya kreativitas,
ketrampilan, dan kompetensi profesional untuk melakukan perubahan dalam
mengelola urusan pemerintahan yang membawa manfaat sebesar-besarnya
104
untuk kepentingan masyarakat. Implementasi kebijakan yang inovatif dalam hal
ini dapat diwujudkan jika mengedepankan nilai-nilai kreativitas, efektivitas, dan
efisiensi atau nilai-nilai manajerial. Efisiensi yang dimaksud termasuk dalam hal
pengelolaan dana dan pemberian insentif.
Proses
inovasi
penyelenggaraan
pemerintahan
tidak
hanya
memperhatikan keterkaitan inovasi penyelenggaraan dalam ranah tiga tingkatan,
yakni nasional (macro), regional (meso) dan lokal (micro). Namun menurut
Roberts
(1999:99-101)
proses
inovasi
dalam
struktur
penyelenggaraan
pemerintahan suatu negara, juga mendapat pengaruh dari tiga arena institusi
yang berbeda, yakni (1) innovation by legislative design; (2) innovation by
yudicial design; dan (3) innovation by management design.
Terdapat reaksi yang cukup kuat dari individu ataupun kelompok dari
dalam arena institusi legislatif terkait dengan perumusan kebijakan yang inovatif.
Hal ini terjadi terutama pada negara-negara dengan sistem pemerintahan yang
demokratis. Institusi pengadilan juga dapat memberi pengaruh pada keputusankeputusan pemerintah daerah dari aspek legalitasnya.
Pada tingkatan
oprasional, secara teknis suatu kebijakan dan program yang inovatif juga sangat
ditentukan oleh kemampuan institusi perangkat daerah dalam implementasinya.
Menerapkan inovasi di sektor publik tidak dapat sukses begitu saja.
Inovasi di sektor publik membutuhkan beberapa persyaratan yang harus
mendukung. Watson (1999:2-3) menawarkan tiga kondisi persyaratan utama
yang semestinya tersedia jika ingin inovasi di sektor publik berlangsung sukses.
Ketiga persyaratan tersebut, meliputi: (1) budaya organisasi (organizational
culture) yang mendukung dan mendorong lahirnya inovasi; (2) dukungan politik
(political support), para administrator membutuhkan dukungan pejabat politik;
105
dan (3) kompetensi administrasi (administrative competence), inovasi yang
sukses harus dilakukan melalui kecakapan administratif dalam suatu organisasi.
Selain ketiga persyaratan utama tersebut, Watson (1999:4) menyatakan
bahwa lahirnya suatu inovasi dalam pemerintahan biasanya melalui tiga
skenario. Pertama, munculnya tindakan inovatif karena adanya respon atau
tanggapan terhadap krisis yang terjadi dalam organisasi. Kedua, menghadirkan
manajer-manajer publik yang luar biasa dan memiliki dukungan politik yang kuat
di dalam organisasi. Ketiga, inovasi lahir hanya dari organisasi yang menyadari
dan menangkap adanya peluang untuk melakukannya.
2.6.1
Konsep dan Posisi Inovasi dalam Administrasi Publik
Dalam salah satu rilis United Nations melalui Department of Economic
and Social Affairs (UNDESA) pada tahun 2006, menyatakan bahwa umumnya
inovasi dalam pemerintahan adalah ide kreatif yang di mana jika dilaksanakan
dengan sukses akan membantu memecahkan masalah publik yang bersifat
mendesak. Inovasi adalah pelaksanaan ide baru dan cara baru untuk mencapai
suatu
hasil
dalam
melakukan
pekerjaan.
Inovasi
dapat
juga
sebagai
penggabungan elemen-elemen baru sehingga terjadi kombinasi baru dari unsur
yang sudah ada atau mengubah secara signifikan atau meninggalkan cara-cara
tradisional dalam melakukan sesuatu. Prinsipnya inovasi dalam konteks ini terdiri
atas new products, new policies and programs, new approaches, and new
processes.
Selanjutnya, ditegaskan pula bahwa inovasi manajemen di sektor publik
dapat didefinisikan sebagai pengembangan desain baru suatu kebijakan dan
SOP yang baru oleh organisasi publik dimaksudkan untuk mengatasi masalah
kebijakan publik. Sehingga suatu inovasi dalam administrasi negara merupakan
106
jawaban atau solusi yang efektif, kreatif dan unik untuk menjawab masalahmasalah baru atau solusi baru untuk masalah-masalah lama. UNDESA (2006:6)
mengungkapkan dalam kalimat sebagai berikut:
“An innovation in public administration is an effective, creative and unique
answer to new problems or a new answer to old problems”.
Menurut UNDESA (2006) inovasi dalam kajian administrasi publik dapat
dibedakan dalam beberapa tipe atau jenis, meliputi:
1. Institutional innovations, yaitu inovasi kelembagaan yang fokus pada
pembaruan lembaga-lembaga yang sudah dibangun atau menciptakan
lembaga-lembaga yang benar-benar baru (focus on the renewal of
established institutions and/or the creation of new institutions);
2. Organizational innovation, yakni inovasi organisasi berkaitan dengan
memperkernalkan prosedur atau teknik-teknik manajemen yang baru dalam
Administrasi Publik (the introduction of new working procedures or
management techniques in public administration);
3. Process innovation, yaitu inovasi proses di mana fokus pada peningkatan
kualitas penyediaan pelayanan publik (focuses on the improvement of the
quality of public service delivery); dan
4. Conceptual innovation, yaitu inovasi konseptual yang diarahkan pada
pengenalan bentuk-bentuk baru pemerintahan (the introduction of new
forms of governance) misalnya interactive policy-making, engaged
governance, people’s budget reforms, horizontal networks.
Konsep inovasi dalam sektor publik rupanya belum sepopuler di sektor
bisnis. Padahal kajian inovasi dikembangkan seiring dengan upaya menjaga dan
bahkan mengembangkan kemampuan berkompetisi (bersaing) atau competitive
advantage sebuah organisasi. Kemampuan ini dianggap penting untuk menjaga
107
kelangsungan hidup organisasi. Dalam situasi organisasi yang hidup dengan
mengandalkan semata comparative advantage dan pada saat yang sama situasi
kompetisi kurang tampak maka konsep inovasi kurang berkembang dengan baik.
Hal yang sama juga terjadi pada organisasi publik yang tidak mengkhawatirkan
sama sekali masalah kelangsungan hidupnya (Muluk, 2008:37). Kebanyakan
organisasi sektor publik kurang tertantang karena berada dalam iklim yang
nonkompetitif dan bahkan tidak merasa bermasalah dalam hal kelangsungan
hidupnya. Maka wajar jika konsep inovasi kurang berkembang dalam sektor
administrasi publik.
Walaupun konsep inovasi belum lama populer dikalangan ilmuwan
maupun dalam prakteknya di organisasi sektor publik, namun dapat dilacak
posisi dan relevansi konsep inovasi, baik sebagai nilai maupun sebagai strategi
dalam evolusi pemikiran adminisrasi publik. Salah satu sumber dari artikel yang
ditulis bersama oleh Eran Vigoda-Gadot, Aviv Shoham, Nitza Schwabsky, dan
Ayalla Ruvi, berjudul Public Sector Innovation for the Managerial and PostManagerial Era: Promises and Realities in a Globalizing Public Administration
(2005). Artikel ini mengulas dan menganalisis bagaimana keterkaitan inovasi
(innovation) dengan evolusi pemikiran administrasi publik.
Dalam artikel tersebut, Vigoda-Gadot, et al (2005:70) menganalisis
kerterkaitan inovasi dan pemikiran administrasi publik. Ada sepuluh pertanyaan
diajukan yang mencerminkan posisi konsep inovasi dalam perkembangan
pemikiran administrasi publik. Kesepuluh pertanyaan mendasar tersebut dapat
dilihat pada Tabel 8 yang disajikan pada halaman berikut. Kemudian VigodaGadot, et al (2005) membagi tiga perspektif evolusi perkembangan pemikiran
administrasi publik yakni (1) classic public administration canon; (2) new public
management doctrine; dan (3) post-managerial avenues.
108
Tabel 8. An Evolutionary Analysis of Innovation in Public Administration
Evolution
Essential
Questions
Classic Public
Administration Canons
New Public Management
Doctrine
Post-managerial
Avenues
1
Q1. What is
innovation?
2
A threat to old, reliable
mechanisms
3
New ways to respond to
citizens as client and
produce public goods
4
New ways to create
social and psychological
well-being, economic
surpluses, and political
stability combined
Q2. Why do we
need innovation?
Do we need at all?
Improving managerial
qualities in state-owned
bureaucracies to stabilize
the welfare state
A good combination of
managerial, social, and
democratic values
Q3. What are the
disciplinary
origins of
innovation?
Engineering/law/political
sciences
Organizational and
managerial
sciences/economic and
business
A holistic view:
organizational and
managerial sciences/
political sciences/ social
welfare/information and
technology system
Q4. What are the
primary goals of
innovation?
Maintaining the power of
bureaucracy and its
centrality in policymaking
and implementing
process
Improving the operative
power of bureaucracy
through better managerial
skills and the triumph of
professionalism over
politicization
Transforming the cultural
sphere of public
organizations, increasing
global policy and
management learning
and emulation
Q5. Who are the
key beneficiaries
of innovation?
The private sector and
social elites
Citizens as
clients/customers
Citizens as owners and
the global bank of policy
and managerial
knowledge, the
community as a whole
Q6. How to
portray the flow
of innovation
ideas?
Ultimately top down, and
only when innovation
serves political interests
First, top down by
professional managers
who the empower a
bottom-up channel
Top down, bottom-up,
and reliance on extraorganizational source,
learning, and emulation
process
Q7. Primary
players in the
innovation
process?
Top managers, if at all
Managers and employees
who improve their
understanding of the
needs of citizens as
clients
Managers, employees,
and extra-organizational
players (i.e., the private
sector, the third sector,
transnational policy
makers and academics)
109
1
2
3
4
Q8. How to
achieve
innovation?
Almost no need; classicstyle bureaucracies don’t
really need innovation
and see themselves as
islands of stability and
conservatism
Intensive contacts whit the
private sector and
improved learning from
successful innovators in
business firms (PPPspublic private partnership)
Intensive global contacts
whit international
innovators,
benchmarking, learning
and emulation of policy
programs
Q9. How the
evaluate
innovation?
Lack of formal tools and
absence of standard
criteria
Output and outcome
measure and the
development of
performance indicators
(PIs)
Output and outcome
measures as well as
input and process
measures in a
comparative international
view
Q10. What are
the moral
justifications for
innovation?
Higher standard of living
to vast population and
better services to the less
able
Encouraging competition
according to liberal
ideological economy,
increased efficiency and
the saving of public money
Global human progress,
policy learning, and more
equal distribution of
knowledge, practices,
and goods across
nations
Sumber: Diadaptasi dari Vigoda-Gadot, et al (2005:70-71)
Apa yang digambarkan oleh Vigoda-Gadot, et al (2005) sebagaimana
tercermin pada Tabel 8 di atas menunjukkan bahwa pada dasarnya konsep
inovasi sudah ada diera berkembangnya pemikiran classic public administration.
Pemahaman inovasi di era administrasi publik klasik tersebut masih dalam
pengertian yang terbatas. Inovasi hanya dipahami sebatas mekanisme internal
organisasi. Inovasi didominasi oleh top menajer sehingga inovasi lebih bersifat
top down dan hanya bertujuan mempertahankan kekuasan.
Sumber lainnya yang juga membahas bagaimana keterkaitan inovasi
dengan perkembangan pemikiran administrasi publik, dapat ditemukan pada
artikel yang ditulis oleh Jean Hartley berjudul “Innovation in Governance and
Public Services: Past and Present” (2005). Dalam tulisan ini Hartley (2005:29)
menggambarkan hubungan inovasi (innovation) dan perbaikan (improvement)
proses pelayanan publik dengan konsep governance dan public management
dalam pendekatan administrasi publik.
110
Tabel
9. Innovation dan Improvement in Different Conceptions of
Governance and Public Management
Traditional Public
Administration
New Public
Management
Networked
Governance
Innovation
Some large-scale,
national and universal
innovations
Innovations in
organizational form more
than content
Innovation at both
central and local levels
Improvement
Large step-change
improvements initially,
but less capability for
continuous improvement
Improvement in managerial
process and system.
Customer focus produces
quality improvement in
some services
Aiming for both
transformational and
continuous improvement
in front-line services
Role of policymakers
Commanders
Announcers/commissioners
Leaders and interpreters
Role of public
managers
“Clerks and martyrs”
Efficiency and market
maximizes
“Explorers”
Role of the
population
Client
Customers
Co-producers
Sumber: Hartley (2005:29)
2.6.2. Inovasi Dalam Perspektif Teori Organisasi
Kajian inovasi pemerintahan daerah berada dalam lingkup organisasi.
Oleh karena itu penting untuk memahami hubungan antara inovasi dan
perspektif teori organisasi. Van de Van et al (1999) seperti dikutip oleh Lam
(2004:3) mengungkapkan bahwa ”organizational creation is fundamental to the
process of innovation”. Penciptaan organisasi merupakan dasar utama bagi
proses inovasi. Kemampuan dari suatu organisasi untuk berinovasi adalah prakondisi keberhasilan dalam memanfaatkan penemuan sumberdaya dan teknologi
baru. Sebaliknya, pengenalan teknologi baru sering menyajikan peluang yang
kompleks dan tantangan bagi organisasi, yang mengarah ke perubahan dalam
praktek manajerial dan munculnya bentuk-bentuk organisasi baru (Lam, 2004:4).
111
Tabel 10.
Mintzberg's Structural Archetypes and Their Innovative
Potentials
Organization
Archetype
Simple
structure
Key Features
Innovative Potential
An organic type centrally
controlled by one person but can
respond quickly to changes in the
environment, e.g. small start-ups
in high-technology.
Entrepreneurial and often highly
innovative, continually searching for
high-risk environments.
Weaknesses are the vulnerability
to individual misjudgment and
resource limits on growth.
Machine
bureaucracy
A mechanistic organization
characterized by high level of
specialization, standardization
and centralized control. A
continuous effort to routinize
tasks through formalization of
worker skills and experiences,
e.g. mass production firms.
Designed for efficiency and
stability. Good at dealing with
routine problems, but highly rigid
and unable to cope with novelty
and change.
Professional
bureaucracy
A decentralised mechanistic form
which accords a high degree of
autonomy to individual
professionals Characterized by
individual and functional
specialization, with a
concentration of power and status
in the 'authorized experts'.
Universities, hospitals, law and
accounting firms are typical
examples
The individual experts may be
highly innovative within a
specialist domain, but the
difficulties of coordination across
functions and disciplines impose
severe limits on the innovative
capability of the organization as a
whole
Divisionalized
form
A decentralized organic form in
which quasi-autonomous entities
are loosely coupled together by a
central administrative structure.
Typically associated with larger
organizations designed to meet
local environmental challenges.
An ability to concentrate on
developing competency in
specific niches. Weaknesses
include the 'centrifugal pull' away
from central R&D towards local
efforts, and competition between
divisions which inhibit
knowledge sharing.
Adhocracy
A highly flexible project-based
organization designed to deal
with instability and complexity.
Problem-solving teams can be
rapidly reconfigured in response
to external changes and market
demands. Typical examples are
professional partnerships and
software engineering firms.
Capable of fast learning and
unlearning; highly adaptive and
innovative. However, the
unstable structure is prone to
short life, and may be driven over
time toward the bureaucracy.
.
Sumber: Mintzberg (1979); Tidd, et al (1997) dikutip oleh Lam (2004:9).
112
Teori desain organisasi seharusnya fokus pada bentuk struktural
organisasi dan kecenderungan untuk berinovasi. Burns dan Stalker (1961) dan
Mintzberg (1979) seperti dikutip Lam (2004:4) mengungkapkan bahwa
”organizational design theories focus predominantly on the link between
structural forms and the propensity of an organization to innovation”. Dalam
pandangan Mintzberg, sebagaimana disajikan pada Tabel 10, bahwa model
struktur suatu organisasi dapat dibedakan dalam lima tipe organisasi. Kelima tipe
organisasi tersebut meliputi; (1) simple structure; (2) machine bureaucracy; (3)
proffesional bureaucracy; (4) devisionalized form; dan (5) adhocracy. Untuk
memahami lebih komprehensif keterkaitan potensi melakukan inovasi dan bentuk
atau jenis organisasi (organization archetypes).
Perspektif inovasi dalam organisasi salah satunya dapat dipahami melalui
artikel yang dibuat oleh Carol Slappendel yang berjudul Perspectives on
Innovation in Organizations (1996). Dalam pandangan Slappendel (1996:3)
kajian inovasi dalam teori organisasi dapat dilihat dalam tiga perspektif yaitu the
individualist perspective, the structuralist perspective, dan the interactive process
perspective. Perspektif individu, inovasi dikaitkan dengan individu dan aktor-aktor
yang terkait dengan pelaksanaan tugas organisasi. Perspektif struktural, inovasi
bertumpu
pada
pandangan
bahwa
inovasi
hanya
bisa
dilakukan
jika
organisasinya berubah, baik prosedur, struktur dan kulturnya. Sedangkan pada
perspektif adalah perpaduan antara perspektif individu dan struktural yang
bersifat interaktif. Pemahaman yang lebih lengkap dapat disimak pada Tabel 11
pada halaman selanjutnya.
Menurut Said (2010:5) bahwa secara operasional, ketiga perspektif
inovasi dalam organisasi yakni individu, struktural dan interaktif sebagaimana
yang digambarkan pada Tabel 11 dapat diuraikan kedalam beberapa komponen.
113
Beberapa komponen yang berhubungan dengan ketiga perspektif tersebut dapat
dilihat pada Gambar 6 setelah Tabel 11 pada bagian ini.
Tabel 11. The Main Feature of the Three Perspectives of Innovation
Individualist
Structuralist
Interactive process
Individuals cause
innovation
Innovation determined by
structural characteristics
Innovation produced by
the interaction of
structural influences and
the actions of individuals
Conceptualization State and objectively
defined objects of
of an innovation
State and objectively
defined objects of
practices
Innovations are subject to
reinventions and
reconfigurations.
Innovations are perceived
Conceptualization Simple linear with
focus on the
of the innovative
adoptions stage
process
Simple linear with focus
on the adoptions stage
Complex process
Basic assumption
practices
Core concepts
Champions
Leader
Entrepreneurs
Environment
Size
Complexity
Differentiation
Formalization
Centralization
Strategic type
Shocks
Proliferation
Innovative capability
Context
Research
methodology
Cross-sectional
survey
Cross-sectional survey
Case studies
Case histories
Main authors
Rogers
March and Simon
Zaltman, et al.
Van de Ven, et al.
Sumber: Slappendel (1996:3) & Styhre (2007:15)
Pada
tataran
individu,
komponen
yang
harus
dimiliki
meliputi
pengetahuan (knowledge), kemampuan (ability), dan kompetensi (competence).
Pada tataran kelembagaan, komponennya meliputi kepemimpinan (leadership),
sumberdaya (resource), pengambilan keputusan (decition making), dan sistem
imformasi manajemen (SIM). Pada tataran proses interaktif (sistem), yang harus
dipahami adalah mengenai kerangka aturan yang tersedia dan kebijakan
pendukung lainnya.
114
Gambar 6. Wilayah Inovasi Birokrasi Pemerintah
Sumber: Slappendel (1996) dimodifikasi oleh Said (2010)
2.6.3
Karakteristik Inovasi dan Tipologi Inovasi
Secara historis sebetulnya, konsep inovasi (innovation) sebagai strategi
untuk meningkatkan keunggulan dalam bersaing, telah ada kajian yang cukup
panjang yang dimulai sejak berdirinya administrasi sebagai ilmu. Hal ini telah
diungkap oleh Muluk (2008:41), bahwa era 1990-2000an ditandai dengan
berkembangnya
kajian
knowledge
management
yang
mengedepankan
pengelolaan pengetahuan sebagai dasar pembentukan core competence
(kompetensi inti) sehingga organisasi dapat mengembangkan daya inovasinya
yang sulit ditiru oleh organisasi lainnya. Jika ini terjadi maka bisa dipastikan
bahwa organisasi tersebut memiliki keunggulan bersaing. Tokoh-tokoh utama
dalam gerakan ini adalah Peter M. Senge (1990) dengan bukunya (the fifth
115
discipline), Ikujiro Nonaka dan Hirotaka Takeuchi (1995) dengan bukunya
(knowledge creating company), dan masih banyak lainnya.
Konsep inovasi secara umum dapat dipahami dalam konteks perubahan
perilaku.
Inovasi
biasanya
erat
kaitannya
dengan
lingkungan
yang
berkarakteristik dinamis dan berkembang. Pengertian inovasi sendiri sangat
beragam, dan dari banyak perspektif. Menurut Rogers (2003:12), salah satu
penulis buku inovasi terkemuka, menjelaskan bahwa inovasi adalah sebuah ide,
praktek, atau objek yang dianggap baru oleh individu (satu unit) tertentu dan
diadopsi oleh yang lainnya.
Inovasi sebagai salah satu ciri nilai fleksibilitas organisasi bukan hanya
sekedar melakukan sesuatu yang baru, menemukan sesuatu yang baru, atau
membawa suatu gagasan yang baru sebagaimana definisi inovasi pada
umumnya. Namun menurut Sherwood (2002:2), inovasi sebagai suatu proses
memerlukan empat tahapan yakni: (1) tahap pengajuan gagasan yaitu
mempunyai ide lebih dahulu; (2) tahap evaluasi terhadap gagasan yang akan
ditindaklanjuti; (3) tahap pengembangan yaitu memperbaiki gagasan tersebut
dari konsep menjadi realitas yang menghasilkan sesuatu; dan (4) tahap
implementasi yaitu mengupayakan gagasan tersebut sungguh-sungguh terwujud.
Pengertian lain menyebutkan bahwa inovasi adalah kegiatan yang
meliputi seluruh proses menciptakan dan menawarkan jasa atau barang baik
yang sifatnya baru, lebih baik atau lebih murah dibandingkan dengan yang
tersedia sebelumnya. Dapat pula dijelaskan bahwa sebuah inovasi dapat berupa
produk atau jasa yang baru, teknologi proses produksi yang baru, sistem struktur
dan administrasi baru atau rencana baru bagi anggota organisasi.
Pengertian inovasi dapat pula dipahami dalam konteks manajemen sektor
publik. Pemahaman ini dikemukakan oleh Cohen dan Elmicke (1998:2-3) yang
116
mengemukakan bahwa inovasi manajemen sektor publik selalu berkaitan dengan
aspek design dan management terhadap suatu kebijakan dan program.
Rancangan kebijakan berhubungan perumusan kebijakan (policy formulation).
Sedangkan manajemen suatu program terkait dengan pelaksanaan kebijakan
(policy implementation). Pemahamn tersebut diungkapkan oleh Cohen dan
Elmicke, dalam kalimat sebagai berikut:
“The development and implementation of new policy designs and new
standard operating prosedures by public organizations to address public
policy problems”.
Dengan merujuk pada pengertian-pengertian di atas, maka sebuah
inovasi tidak akan bisa berkembang dalam kondisi status quo. Walaupun tidak
ada satu kesepahaman definisi mengenai inovasi, namun secara umum
disimpulkan oleh Rogers dan Shoemaker (1971) seperti dikutip oleh Osborne
dan Brown (2005:127) bahwa inovasi mempunyai beberapa atribut sebagai
berikut:
1. Relative Advantage atau keuntungan relatif, yakni sebuah inovasi harus
mempunyai keunggulan dan nilai lebih dibandingkan dengan inovasi
sebelumnya. Selalu ada sebuah nilai kebaruan yang melekat dalam inovasi
yang menjadi ciri yang membedakannya dengan yang lain.
2. Compatibility atau kesesuaian, yakni inovasi juga sebaiknya mempunyai
sifat kompatibel atau kesesuaian dengan inovasi yang digantinya. Hal ini
dimaksudkan agar inovasi yang lama tidak serta merta dibuang begitu saja,
selain karena alasan faktor biaya yang tidak sedikit, namun juga inovasi
yang lama menjadi bagian dari proses transisi ke inovasi terbaru.
3. Complexity atau kerumitan, artinya dengan sifatnya yang baru, maka
inovasi mempunyai tingkat kerumitan yang boleh jadi lebih tinggi
dibandingkan dengan inovasi sebelumnya. Namun demikian, karena
117
sebuah inovasi menawarkan cara yang lebih baru dan lebih baik, maka
tingkat kerumitan ini pada umumnya tidak menjadi masalah penting.
4. Triability atau kemungkinan dicoba, artinya inovasi hanya bisa diterima
apabila telah teruji dan terbukti mempunyai keuntungan atau nilai lebih
dibandingkan dengan inovasi yang lama. Sehingga sebuah produk inovasi
harus melewati fase “uji publik”, dimana setap orang atau pihak mempunyai
kesempatan untuk mengujii kualitas dari sebuah inovasi.
5. Observability atau kemudahan diamati, artinya bahwa sebuah inovasi harus
juga dapat diamati, dari segi bagaimana ia bekerja dan menghasilkan
sesuatu yang lebih baik.
Sementara itu, harus pula dipahami bahwa terdapat perbedaanperbedaan antara inovasi di sektor publik dan di sektor swasta. Perbedaan ini
dikarenakan adanya nilia-nilai yang dimiliki oleh masing-masing sektor. Nilai-nilai
yang dimiliki oleh sebuah organisasi dan dapat dibandingkan meliputi dimensi
prinsip keorganisasian, struktur organisasi, ukuran kinerja, isu manajemen,
hubungan dengan pengguna akhir, sumber daya manusia, sumber pengetahuan
dan horizon waktu masing-masing organisasi.
Pada dimensi prinsip pengorganisasian sektor bisnis, berupaya untuk
dalam rangka memperoleh profit dan pertumbuhan pendapatan sebanyakbanyaknya, sementara sektor publik lebih pada upaya penegakan kebijakan
publik yang telah ditetapkan. Sektor bisnis pada dimensi struktur organisasi lebih
bervariasi, sementara sektor publik memiliki struktur yang kompleks dan
seringkali terjadi konflik. Dari aspek isu manajemen, pada sektor bisnis beberapa
manajer mempunyai otonomi dan beberapa lainnya dibatasi oleh shareholder,
corporate goverance dan atau keuangan. Sedangkan pada sektor publik
kebanyakan manajer berada pada posisi tertekan secara politik.
118
Tabel 12. Karakteristik Inovasi Sektor Bisnis dan Sektor Publik
Dimensi
Inovasi Sektor Bisnis
Inovasi Sektor Publik
Prinsip
Pengorganisasian
Upaya memperoleh profit, stabilitas atau
pertumbuhan pendapatan
Penegakan kebijakan publik
Pasar yang terus berubah
Kebijakan baru dan atau yang berubah
karena siklus politik
Sistem organisasi yang kompleks,
kadang konflik satu sama lain
Struktur
Pengorganisasian
Ukuran kinerja
Isu manajemen
Hubungan dengan
end-users
Ukuran organisasi yang
Bervariasi
Perubahan besar biasanya mengalokasikan
dana khusus untuk inovasi
Inovasi harus disesuaikan dengan situasi
kompleks, termasuk isu social equity dan
efisiensi ekonomi
Return of Investment
(RoI)
Indikator dan target kinerja yang
banyak
Inovasi memakan biaya besar, dihitung dari
selisih keuntungan penjualan
Keuntungan dari inovasi sangat sulit
diukur
Beberapa manajer mempunyai otonomi,
beberapa lainnya dibatasi oleh shareholder,
corporate goverance
dan atau keuangan
Kebanyakan manajer berada dalam
situasi tekanan politik
Inovasi berhubungan dengan
pengambilan resiko
Inovasi memerlukan persetujuan politik
Pasar adalah sebagai konsumen dan juga
industri. Feedback dari pasar mendorong
ide/inovasi
End-users adalah masyarakat, secara
tradisional adalah warga negara
Inovasi dimotivasi oleh kebutuhan menjaga
hubungan dengan pasar
Rantai supplay
SDM
Sumber
pengetahuan
Horizon waktu
Customer relation tidak terbangun
dengan baik. Inovasi biasanya tidak
didorong oleh faktor end-users
Kebanyakan perusahaan
merupakan bagian dari
rantai supply yang lebih
besar
Sektor publik tergantung
pada sektor bisnis dalam
pengadaan barang dan jasa
Inovasi yang dihasilkanperusahaan kecil
biasanyakalah oleh perusahaan besar,
karena kalah dalam hal dukungan dana
Sektor publik menentukan
standar, sektor bisnis
menawarkan inovasi
Motif ekonomi
Motif idealis
Pegawai didorong untuk membuat perbaikan
atas produk yang dihasilkan
Inovasi kadang dilihat sebagai ancaman,
juga sebagai diadopsi untuk perbaikan
pelayanan publik
Sumber pengetahuan sangat banyak.
Relatif kaku, hanya beberapa bagian dari
sektor publik yang emanfaatkan
universitas
Fleksibel dan luas mulai dari konsultan,
asosiasi perdagangan, dan peneliti
sektor publik
Inovasi bervariasi
Jenis inovasi di beberapa
bagian berbeda
Kebanyakan Short-term
Kebanyakan Long-term
Inovasi memerlukan pembayaran secepatnya
Kesulitan dalam mengetahui konsekuensi
dari sebuah inovasi
Sumber: dimodifikasi dari Koch, Per & Johan Hauknes (2005:24-26)
119
Jenis inovasi di sektor publik dapat juga dilihat menurut Halvorsen
(2005:5), yang membagi tipologi inovasi di sektor publik seperti berikut ini:
1. A new or improved service (pelayanan baru atau pelayanan yang
diperbaiki), misalnya pelayanan kesehatan di rumah.
2. Process innovation (inovasi proses), misalnya perubahan dalam proses
penyediaan pelayanan atau produk.
3. Administrative
innovation
(inovasi
bersifat
administratif),
misalnya
penggunaan instrumen kebijakan baru sebagai hasil dari perubahan
kebijakan.
4. System innovation (inovasi sistem), adalah sistem baru atau perubahan
mendasar dari sistem yang ada dengan mendirikan organisasi baru atau
bentuk baru kerjasama dan interaksi.
5. Conceptual innovation (inovasi konseptual), adalah perubahan dalam
outlook, seperti misalnya manajemen air terpadu atau mobility leasing.
6. Radical change of rationality (perubahan radikal), yang dimaksud adalah
pergeseran pandangan umum atau mental matriks dari pegawai instansi
pemerintah.
Lebih lanjut Halvorsen menjelaskan pula bahwa inovasi itu sendiri dapat
dikategorikan menjadi seperti berikut ini:
1. Incremental innovations and radical innovations. Inovasi ini berhubungan
dengan tingkat keaslian (novelty) dari inovasi itu sendiri. Khususnya di
sektor industri, kebanyakan inovasi bersifat perbaikan secara inkremental
2. Top-down innovations and bottom-up innovations. Ini untuk menjelaskan
siapa yang memimpin proses perubahan perilaku. Makan top-down berarti
manajemen atau organisasi atau hirarkhi yang lebih tinggi, sedangkan
120
bottom-up merujuk pada pekerja atau pegawai pemerintah dan pengambil
keputusan pada tingkat unit (mid-level policy makers).
3. Needs-led innovations and efficiency-led innovation. Proses inovasi yang
diinisiasi
telah
menyelesaikan
permasalahan
dalam
rangka
untuk
meningkatkan efisiensi pelayanan, produk dan prosedur.
INOVASI
PRODUK
LAYANAN
INOVASI
PROSES
PELAYANAN
INOVASI
SISTEM
INOVASI
SEKTOR
PUBLIK
INOVASI
KEBIJAKAN
INOVASI
METODE
PELAYANAN
Gambar 7. Tipologi Inovasi Sektor Publik
Sumber: Muluk (2008:45)
Mulgan dan Albury (2003:3), menyatakan bahwa inovasi yang sukses
adalah merupakan kreasi dan implementasi dari proses, produk, layanan, dan
metode pelayanan baru yang merupakan hasil pengembangan nyata dalam
efisiensi, efektivitas atau kualitas hasil. Oleh karena itu inovasi telah berkembang
jauh dari pemahaman awal yang hanya mencakup inovasi dalam produk
(products & services) dan proses semata. Inovasi produk atau layanan berasal
121
dari perubahan bentuk dan desain produk atau layanan, sementara inovasi
proses berasal dari gerakan pembaruan kualitas yang berkelanjutan dan
mengacu pada kombinasi perubahan organisasi, prosedur, dan kebijakan yang
dibutuhkan untuk berinovasi.
Selain itu Windrum (2008:8) juga dalam karyanya berjudul: Innovation in
Public
Sector
Services:
Entrepreneurship,
Creativity
and
Management,
mengungkapkan adanya taksonomi inovasi yang terdiri dari enam jenis inovasi.
Keenam inovasi sektor publik menurut Windrum yaitu:
a. Service innovation is the introduction of a new service product or an
improvement in the quality of an existing service product.
b. Service delivery innovation involves new or altered ways of delivering to
clients or otherwise interacting with them, for the purpose of supplying
specific public services.
c. Administrative
and
organizational
innovation
changes
the
organizational structures and routines by which front office staff produces
services in a particular way and/or back office staff support front office
services.
d. Conceptual innovation is the development of new world views that
challenge assumptions that underpin existing service products, processes
and organizational. It can occur at all levels and involve the introduction of
new missions, new world views, objectives, strategies and rationales.
e. Policy innovations change the thought or behavioural intentions
associated with a policy belief system (Sabatier, 1987, 1999). Policy
innovations are associated with three types of learning (Glasbergen, 1994).
First, there is learning of how policy instruments can be improved to
achieve a set of goals. Second, there is conceptual learning that follows
changes in shared understanding of a problem and appropriate courses of
action. Third, there is social learning based on shared understanding of the
appropriate roles of policy actors.
f.
Systemic innovation involves new or improved ways of interacting
withother organizations and knowledge bases. As a consequence of
deregulation and increasing competition, partly as the result of budgetary
constraints in public administration and the increasing role of service
outsourcing.
Berdasarkan pembagian jenis inovasi tersebut, oleh Windrum dalam buku
yang sama, memberi penjelasan bahwa jenis inovasi yang pertama sampai
122
dengan ketiga yakni service innovation (inovasi pelayanan), delivery innovation
(inovasi
pemberian
pelayanan),
dan
organizational
innovation
(inovasi
organisasi), merupakan jenis inovasi yang telah lama dikenal dan diujikan pada
studi-studi sektor swasta. Namun selanjutnya dalam rangka pengembangan
analisis terhadap inovasi dalam suatu organisasi, terutama organisasi sektor
publik, maka digunakan jenis atau kategori berikutnya, yakni conceptual
innovation (inovasi konseptual), policy innovation (inovasi kebijakan), dan
systemic innovation (inovasi sistemik).
2.6.4
Strategi dan Faktor-faktor Berpengaruh terhadap Inovasi
Strategi dalam proses inovasi menjadi amat penting untuk memastikan
kesuksesan suatu inovasi dijalankan dalam organisasi publik. Untuk itulah, pada
bagian ini diuraikan beberapa pandangan tentang strategi dan faktor-faktor yang
menghambat dalam proses inovasi. Terkait dengan proses inovasi ini, Behn
(2008:142), menyatakan bahwa terdapat empat jenis proses yang berbeda
dalam penerapan inovasi yang kerap dikembangkan, antara lain:
1. Diffusion,
yakni
proses
inovasi
yang
sifatnya
tidak
disengaja
(unintentional), berlangsung spontan (spontaneous), proses yang tidak
tampak (hidden-hand) dilakukan oleh seseorang ketika mendengar tentang
inovasi dan menyimpulkan bermanfaat untuk di coba. Sering disebut
dengan “the somehow people will learn how to get better approach”.
2. Transfer, yakni pertukaran ide-ide secara informal dan diparaktekkan oleh
suatu jaringan antara individu-individu, biasanya jaringan pertemanan dan
kolega dalam suatu profesi (pekerjaan) yang sama atau area kebijakan,
meskipun berbeda organisasi atau wilayah kerja. Biasanya disebut “the
friends will tell friends about how they are getting better approach”.
123
3. Propagation, yakni suatu upaya berupa pemikiran atau perencanaan yang
telah disiapkan terlebih dahulu (mungkin oleh inovator-inovator, individu
diluar organisasi, atau level pemerintahan yang lebih tinggi) untuk membuat
strategi dialog terhadap pendidikan dan bantuan untuk mentransfer inovasi
dari orang (pihak) lain. Hal ini seringkali disebut sebagai “the we ought to
help people learn how to get better approach”.
4. Replication, yakni suatu usaha sadar yang dilakukan oleh organisasi
(individu di dalam organisasi) yang bekerja keras untuk memperbaiki,
dengan mencari secara aktif terhadap ide-ide, kebijakan, program, dan
praktek yang telah sukses dan dapat diadopsi. Jenis sering disebut dengan
ungkapan “the we want to learn from others who know how to get better
approach”.
Dalam salah satu makalah yang diliris oleh NESTA (2008: 11), mereviu
faktor-faktor kunci yang dapat mempengaruhi sejauh mana pemerintah dan
organisasi sektor publik lainnya, secara mandiri menghasilkan inovasi. Faktorfaktor kunci tersebut mencakup:
a. Jenis organisasi atau rantai penyediaan pelayanan (the type of agency or
service delivery chain);
b. Misi utama organisasi (the agency’s fundamental mission);
c. Cakupan fungsional di mana organisasi beroperasi (the functional area in
which the organization operates);
d. Ukuran dan hirarki organisasi (the size and hierarchy of the organization);
e. Lingkup organisasi (the organization’s national, regional, urban or rural
location);
f.
Kebijakan organsasi yang berkaiatn dengan manusia secara umum (the
organization’s general human relations policies);
124
g. Apakah
organisasi
memiliki kebijakan khusus
dan
program
yang
mendorong inovasi (whether the organization has specific policies and
programmes encouraging innovation).
Dalam proses implementasi inovasi terdapat tiga perspektif yang saling
melengkapi, yakni (1) the individual perspective, menekankan pada aktor individu
sebagai pihak utama dengan prinsip the principal agents dalam melakukan
inovasi; (2) the structural perspective, menganggap bahwa inovasi sangat
tententukan oleh karakteristik organisasi (Slappendel, 1996: 109); dan (3) the
interactive perspective, keberhasilan suatu inovasi merupakan dampak dari
kolaborasi antara kelompok individu, organisasi dan sumber daya yang relevan
(Styhre, 2007: 14)
Inovasi tidak terjadi secara mulus atau tanpa resistensi. Banyak dari
kasus inovasi diantaranya justru terkendala oleh berbagai faktor. Biasanya
budaya organisasi menjadi faktor penghambat terbesar dalam mempromosikan
sebuah inovasi. Selain faktor budaya organisasi, banyak lagi faktor yang dapat
menghambat tumbuhnya inovasi dalam suatu organisasi.
Gambar 8 pada bagian berikut ini memberikan ilustrasi sejumlah
hambatan dalam pengembangan inovasi yang dapat diidentifkasi menjadi
delapan jenis penghambat. Diantaranya yang disebut dengan budaya risk
aversion adalah budaya yang tidak menyukai resiko. Hal ini berkenaan dengan
sifat inovasi yang memiliki segala resiko, termasuk resiko kegagalan. Sektor
publik, khususnya pegawai cenderung enggan berhubungan dengan resiko, dan
memilih untuk melaksanakan pekerjaan secara prosedural-administratif dengan
resiko minimal. Selain itu, secara kelembagaan pun, biasanya karakter unit kerja
di sektor publik pada umumnya tidak memiliki kemampuan dalam menangani
resiko yang muncul sebagai akibat dari pekerjaanya.
125
Culture
of risk aversion
Delivery
pressures and
administrative
burders
Short-term budgets
and planning
horizons
Reluctance to close
down failing
programmes or
organisation
NO
INNOVATION
Poor skills in active
risk or change
management
Over-reliance on
high performers as
sources of
innovation
Technologies available
but constraing culture
or organizational
arrangements
No rewards or
incentives to
innovate or adopt
innovations
Gambar 8. Faktor-faktor Penghambat Inovasi
Sumber: dimodifikasi dari Mulgan & Albury (2003:31)
Hambatan-hambatan lainnya yang dapat ditemukan pada Gambar 8
adalah adanya ketergantungan terhadap figur atau pemimpin tertentu yang
memiliki kinerja tinggi, sehingga kecenderungan kebanyakan pegawai di sektor
publik hanya menjadi pengikut (followers). Ketika figur atau pemimpin tersebut
hilang dan digantikan oleh figur lainnya, maka yang terjadi adalah stagnasi dan
kemacetan kerja. Selain itu, hambatan anggaran yang periodenya terlalu pendek,
serta hambatan administratif yang membuat sistem dalam berinovasi menjadi
tidak fleksibel. Sejalan dengan itu juga, biasanya penghargaan atas karya-karya
inovatif masih sangat sedikit. Sangat disayangkan hanya sedikit apresiasi yang
layak atas prestasi pegawai atau unit yang berinovasi.
Faktor-faktor inovasi yang disampaikan oleh Mulgan dan Albury pada
Gambar 8, pada dasarnya menyangkut dua hal, yakni (1) faktor-faktor inovasi
126
yang bersumber dari individu, baik pegawai maupun pemimpinnya; dan (2)
faktor-faktor inovasi yang bersumber atau berkaitan dengan karakter organisasi.
Terkait dengan faktor-faktor inovasi ini, pengembangan inovasi sektor publik
perlu pula dipahami bahwasanya terdapat faktor-faktor kritis yang lain. Faktorfaktor kritis pengembangan inovasi tersebut, seperti yang dikemukakan oleh
Muluk (2008:49) bahwa inovasi sektor publik bukanlah sebuah kondisi yang
dapat sukses dijalankan dengan sebatas niat saja apalagi terjadi dengan
sendirinya.
Oleh sebab itu dibutuhkan beberapa faktor untuk menjamin keberhasilan
pengembangan sebuah inovasi pemerintahan daerah. Beberapa faktor kritis
tersebut antara lain: (1) kepemimpinan yang mendukung inovasi; (2) pegawai
yang terdidik dan terlatih; (3) budaya organisasi; (4) pengembangan tim dan
kemitraan; dan (5) orientasi kinerja yang terukur. Tanpa kehadiran faktor-faktor
ini maka terjadinya inovasi pemerintahan akan menjadi sulit terealisasi. Dengan
demikian, perlu terus diidentifikasi faktor-faktor kritis tersebut tersebut dan perlu
pula dijamin ketersediaannya.
Download