BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bagian pertama tinjauan pustaka ini adalah perspektif empirikal dengan menampilkan beberapa penelitian yang pernah dilakukan oleh peneliti terdahulu baik yang dilakukan oleh peneliti dalam negeri maupun dilakukan peneliti dibeberapa negara lain. Kemudian bagian kedua yakni perspektif teorikal dengan menguraikan sejumlah teori dan konsep dalam kajian ilmu administrasi publik menurut berbagai perspektif, model, dan paradigma. Selanjutnya meninjau beragam pandangan mengenai teori desentralisasi, local government, birokrasi, dan teori inovasi pemerintahan daerah dalam berbagai perspektif. 2.1. Tinjauan Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu yang ditampilkan pada bagian ini bertujuan untuk membandingkan penelitian yang akan dilakukan dengan sejumlah penelitian pernah dilaksanakan oleh orang atau pihak lain. Hal-hal yang ditekankan pada penelitian terdahulu, meliputi: konsep yang digunakan; pendekatan dan metode penelitian; hasil penelitian dan relevansinya dengan penelitian yang akan dilakukan. 1. Eko Prasojo dan Teguh Kurniawan (2006), melakukan kajian terhadap inovasi pro masyarakat miskin melalui program bebas iuran sekolah sebagai bentuk inovasi urusan pendidikan di Kabupaten Jembrana. Penelitiannya berjudul: Bebas Iuran Sekolah dan Jaminan Kesehatan Jembrana: Inovasi Pro Masyarakat Miskin di Kabupaten Jembrana. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan strategi wawancara mendalam, FGD dan kajian dokumentasi. Konsep-konsep yang digunakan meliputi inovasi program, best 27 28 practices, kepemimpinan, keberlanjutan, dan kesetaraan gender. Hasil kajian ini menunjukkan adanya dominasi peran bupati dalam program inovasi, karena memiliki politicall will dan commitment yang tinggi. Melibatkan organisasi lokal, program efisiensi dan efektivitas di semua sektor dan memunculkan perubahan budaya birokrasi. 2. Fadel Muhammad (2007), penelitian disertasi tentang Signifikansi Peran Kapasitas Manajemen Kewirausahaan terhadap Kinerja Pemerintah Daerah: Studi Kasus Gorontalo, yang kemudian dikembangkan dalam sebuah buku berjudul “Reinventing Local Government: Pengalaman dari Daerah”. Fokus penelitian ini adalah pentingnya penguatan kapasitas manajemen pemerintah daerah dan pemanfaatan faktor endowment daerah. Melalui metode penelitian kualitatif dan kuantitatif, serta penerapan konsep New Public Mamanagent, Reinventing Government, dan Entrepreneurship Government mengungkap bahwa inovasi pemerintah daerah harus berbasis penguatan kapasitas manajemen pemerintah daerah. Penguatan kapasitas manajemen ini dilakukan melalui reformasi tata kelola keuangan, pengembangan organisasi matriks, penerapan model mobile government, kebijakan tunjangan kinerja daerah, dan penilaian kinerja individu. Inovasi yang berkaitan dengan pemanfaatn faktor endowment daerah dan kaitan dengan lingkungan makro didorong memalui kebijakan yang memudahkan investasi. 3. Graham Orange, Tony Elliman, Ah Lian Kor, dan Rana Tassabehji (2007) melakukan penelitian tentang inovasi pemerintahan daerah dalam kaitannya dengan pengembangan nilai publik (public values). Penelitian ini dituangkan dalam artikel berjudul Local Government and Social or Innovation Values. Melalui metode penelitian berbasis pustaka dan dokumentasi, penelitian ini mengembangkan model nilai inovasi pemerintahan daerah yang berdasar 29 tiga dimensi yang saling berkorelasi. Ketiga dimensi nilai inovasi tersebut meliputi people dimension, process dimension, dan technology dimension. Sehingga dalam mengukur nilai publik suatu inovasi pemerintahan daerah harus didasarkan pada ketiga dimensi secara terintegrasi dan holistik. 4. M.A. Ajibola (2008), melakukan penelitian mengenai inovasi kebijakan sistem pendidikan di Nigeria. Inovasi kebijakan sistem pendidikan ini fokus pada kebijakan pengembangan kurikulum pendidikan tingkat dasar. Rangkuman penelitian telah dituangkan dalam artikel berjudul: Innovation and Curriculum Development for Basic Education in Nigeria: Policy Priorities and Challenges of Practice and Implementation. Kajian penelitian mengungkap pentingnya renovasi kurikulum yang realistik dan berpusat pada anak (child-centered). Kebijakan kurikulum yang menganut prinsip quality dan relevance. Prinsip quality berkaitan dengan kapasitas kurikulum dalam mendorong munculnya kepercayaan diri dan kemampuan anak didik dalam menyelesaikan masalah. Prinsip relevance berkaitan dengan model sistem kurikulum sekolah yang fleksibel dan adaptif terhadap perubahan global. Merekomendasikan agar pemerintah Nigeria mengembangkan kebijakan pendidikan berparadigma inter-disciplinary courses, openended systems, inter-generational and interprofessional relationships, multi-culturalism and sustainability pada semua tingkatan dan satuan pendidikan. 5. Pan Suk Kim (2009) berjudul: Quality as a Reflection of Innovation? Quality Management in the Korean Government. Menggunakan konsep inovasi, Quality Management, Reform, dan Total Quality Management serta metode penelitian pendekatan studi pustaka. Hasil penelitian yaitu bahwa kualitas manajerial menjadi unsur utama dari inovasi, sehingga tidak bisa diabaikan walaupun berfluktuasi. Kualitas manajemen (inovasi) di Korea dipengaruhi 30 oleh praktek di Jepang dan Amerika dan pengaruh manajemen Eropa tidak begitu nampak dalam praktek. 6. Mark Evans (2010), melakukan kajian tentang kapasitas inovasi pemerintahan daerah terhadap delapan studi kasus yang berbeda. Hasil kajian Evans kemudian dirangkum dalam tulisan “Building the Capacity for Local Government Innovationm: Case studies from the Australian, New Zaeland, and British contexts”. Kedelapan kasus tersebut menerapkan tipologi inovasi meliputi strategic innovation, product innovation, service innovation, dan governance innovation dan derajat inovasi yang dibedakan berdasarkan tujuh perspektif yaitu place, novelty, significance, utility, effectiveness, longevity, dan transferability. Melalui metode FGD dengan manajer senior pemerintah daerah terungkap beberapa pelajaran penting bagi pengembangan kapasitas inovasi pemerintah daerah yaitu (a) kapasitas mengetahui adanya kesenjangan metode dan pemberian pelayanan; (b) kapasitas membangun kemitraan dengan stakeholders yang memiliki sumberdaya; (c) kapasitas bertindak dalam kerangka kebijakan legislatif dan memanfaatkan situasi politik secara tepat; (d) munculnya pemimpin yang memiliki agenda reformasi untuk inovasi; (e) dukungan dari pemimpin politik dan menajemen senior; (f) kolaborasi lintas-departemen dan unit pelayanan melalui komunikasi yang efektif; (g) keterlibatan warga lokal; dan (h) tersedianya teknologi baru yang mendukung pelaksanaan program inovasi. 7. Joseph J. Capuno (2010), mengkaji pentingnya posisi para pemimpin daerah sebagai penggerak utama inovasi pemerintahan di daerahnya masingmasing. Hasil kajiannya dimuat dalam artikel berjudul: Leadership and Innovation under Decentralization: A Case Study of Selected Local Governments in the Philippines. Melalui metode observasi dan survei 31 terhadap 209 program inovatif serta FGD terhadap 48 manajer pemerintahan daerah di Filipina dirumuskan beberapa kesimpulan, antara lain: (a) di era desentralisasi yang sudah berlangsung 20 tahun, pemerintah daerah berhasil melakukan inovasi dalam berbagai sektor; (b) pemimpin daerah yang masih berkuasa (incumbent mayors) menjadi pendorong utama lahirnya ide dan suksesnya pelaksanaan program inovasi di daerahnya; (c) pemimpin yang berhasil mengembangkan inovasi sangat tergantung pada situasi lingkungan (sumber daya alam), pengetahuan, pengalaman, dan insentif yang diterima; (d) jangkauan inovasi daerah yang luas dan bervariasi bermanfaat langsung pada konstituen; (e) faktor kritis lain selain faktor kepemimpinan adalah faktor kelembagaan meliputi kapasitas fiskal daerah, kualitas birokrasi daerah, aparatur yang profesional, dan pelibatan sektor swasta. 8. Comfort Olufunke Akomolafe (2011), topik penelitian tentang manajemen inovasi dalam sistem pendidikan di Nigeria yang dituangkan dalam artikel berjudul: Managing Innovations in Education System in Nigeria: A Focus on Creating and Sustenance of Culture in Innovation. Oleh karena terdapat kebutuhan sistem pendidikan sekolah yang harus memiliki budaya dinamis dan berorientasi kedepan, maka fokus kajian pada proses penciptaan dan pengembangan budaya inovasi sekolah. Melalui metode studi literatur dan observasi langsung, Akomolafe menyimpulkan bahwa (a) pengembangan budaya inovasi sekolah adalah upaya meningkatkan kualitas sekolah dan mempertahankan produktivitas dan efisiensi yang sudah dicapai; (b) inovasi membutuhkan pembangunan tidak hanya untuk membentuk individu yang kreatif saja tetapi juga menciptakan lingkungan inovatif yang berkelanjutan; (c) pemimpin di sekolah harus menciptakan budaya inovasi; dan (d) budaya inovasi di sekolah wujud sistem pendidikan yang transformatif. 32 9. Lea Hennala, Satu Parjanen dan Tuomo Uotila (2011), meneliti tentang proses inovasi pelayanan publik yang melibatkan multi-aktor. Penelitiannya berjudul: Challenges of Multi-Actor Involvement in the Public Sector FrontEnd Innovation Processes Constructing an Open Innovation Model for Developing Well-Being Services. Menggunakan konsep inovasi, organisasi sektor publik dan stakeholders dengan constructive research approach dan kombinasi analisis kuantitatif dan kualitatif menghasilkan suatu model inovasi terbuka (the open innovation model). Model inovasi terbuka ini mengakui terutama masuknya informasi dari luar dan pengetahuan dari pengguna layanan yang berpotensi menghasilkan wawasan baru dan bernilai tambah terhadap proses pengembangan inovasi. 10. Satu Pekkarinen, Tomi Tura., Lea Hennala & Vesa Harmaakorpi. 2011. Berjudul: Clashes as Potential for Innovation in Public Service Sector Reform. Menggunakan konsep inovasi dan reformasi sektor publik dengan metode penelitian kualitatif (studi kasus dan konten analisis). Hasil penelitiannya adalah mengungkap beragam tekanan yang mempengaruhi tingkatan inovasi dan diwujudkan sebagai benturan (clashes) dan menjadi saling bertolak belakang (controversies) antara cara berfikir yang lama dan cara yang baru. Tetapi benturan tersebut dapat menjadi dasar yang kuat (platform) bagi inovasi untuk dianalisis dan difasilitasi secara terbuka. 11. Daniel Adetoritse Tonwe (2011), melakukan kajian terhadap institusi pemerintahan daerah. Hasil kajian ini kemudian dituangkan dalam tulisan berjudul: Conceptualizing Local Government from a Multi-Dimensional Perspective. Melalui studi pustaka, dalam kajian tersebut menjelaskan bahwa pemahaman yang mendalam terhadap local government sebagai institusi harus dimaknai dari multi-dimensional perspective. Makna multi-dimensional 33 perspective dari institusi local government meliputi social dimension, economic dimension, geographic dimension, legal dimension, dan administrative dimension. Berikut ini disajikan matriks ringkasan kajian dan penelitian terdahulu. Pada Tabel 1 berikut berisi sumber penelitian (penulis, tahun, dan judul), hasilhasil penelitian, metode dan konsep-konsep yang digunakan setiap kajian. Tabel 1. Matriks Ringkasan Penelitian Terdahulu No. 1 1. Penulis, Tahun & Judul Penelitian 2 Eko Prasojo & Teguh Kurniawan (2006), “Bebas Iuran Sekolah dan JKJ: Inovasi Pro Masyarakat Miskin di Kabupaten Jembrana”. 2. Fadel Muhammad (2007) Signifikansi Peran Kapasitas Manajemen Kewirausahaan terhadap Kinerja Pemda: Studi Kasus Gorontalo 3. Graham Orange, Tony Elliman, Ah Lian Kor, & Rana Tassabehji (2007) Local Government and Social or Innovation Values 4. M.A. Ajibola (2008) Innovation and Curriculum Development for Basic Education in Nigeria: Policy Priorities and Challenges of Practice and Implementation Metode & Konsep Hasil Kajian 3 4 Dominasi peran bupati dalam program inovasi, krn memiliki politicall will dan commitment yang tinggi. Operasional program inovatif melibatkan organisasi lokal, program efisiensi & efektivitas di semua sektor, dan memunculkan perubahan budaya birokrasi. Program inovatif yang berkelanjutan. Kualitatif & FGD, wawancara & kajian dokumen Inovasi penguatan kapasitas manajemen pemerintahan yakni reformasi tatakelola keuangan, organisasi matriks, mobile government, TKD, penilaian kinerja individu. Inovasi relasi faktor endowment daerah dengan lingkungan makro melalui kebijakan kemudahan investasi Kuantitatif & Kualitatif Pengembangkan model nilai inovasi pemerintahan daerah yang berdasar tiga dimensi yang saling berkorelasi. Ketiga dimensi nilai inovasi tersebut meliputi people dimension, process dimension, dan technology dimension. Ketiga dimensi judi ukuran nilai publik (social values) inovasi. Studi pustaka & Dokumentasi Renovasi kurikulum realistik & berpusat child-centered. Kebijakan kurikulum yang menganut prinsip quality (mendorong kepercayaan diri & kemampuan anak didik menyelesaikan masalah dan prinsip relevance (model sistem kurikulum sekolah fleksibel & adaptif. Paradigma interdisciplinary, openended, inter-generational and inter-professional, multi-culturalism & sustainability. Studi pustaka Inovasi program, best practices, kepemimpinan, keberlanjutan. NPM, Reinventing Government, Entrepreneurship Government Inovasi; Local government; Value analysis Kurikulum pendidikan dasar; Inovasi; Policy implementation 34 1 5. 2 Pan Suk Kim (2009) Quality as a Reflection of Innovation? Quality of Management in the Korean Government. 6. Mark Evans (2010) Building the Capacity for Local Government Innovation: Case Studies from the Australian, New Zaeland, and British Context. 7. Joseph J. Capuno (2010) Leadership and Innovation under Decentralization: A Case Study of Selected Local Governments in the Philippines 8. Comfort Olufunke Akomolafe (2011) Managing Innovations in Education System in Nigeria: A Focus on Creating and Sustenance of Culture in Innovation 9. Lea Hennala, Satu Parjanen & Tuomo Uotila (2011) Challenges of Multi-Actor Involvement in the Public Sector Front-End Innovation Processes Constructing an Open Innovation Model for Developing Well-Being Services 3 4 Fokus pada kualitas manajemen sebagai refleksi dari inovasi. Kualitas manajerial adalah unsur utama inovasi, sehingga tidak bisa diabaikan walaupun berfluktuasi. Kualitas manajemen (inovasi) di Korea dipengaruhi oleh praktek di Jepang dan Amerika dan pengaruh manajemen Eropa tidak begitu nampak dalam praktek. Pengembangan kapasitas inovasi pemerintah daerah yaitu (a) mengetahui kesenjangan pelayanan; (b) kemitraan stakeholders pemilik sumberdaya; (c) bertindak dalam kerangka legislatif & situasi politik yg tepat; (d) pemimpin dgm agenda reformasi utk inovasi; (e) dukungan pemimpin politik & menajemen senior; (f) kolaborasi lintas-departemen dan unit pelayanan; (g) keterlibatan warga lokal; dan (h) tersedianya teknologi baru. Studi pustaka (comparative perspective) Hasil kajian yaitu: (a) di era desentralisasi, pemerintah daerah berhasil berinovasi; (b) pemimpin (incumbent mayors) pendorong utama ide dan sukses program inovasi; (c) pemimpin berhasil tergantung lingkungan, pengetahuan, pengalaman, & insentif; (d) jangkauan inovasi luas & variasi bermanfaat langsung pada konstituen; (e) faktor kritis lain, adalah kelembagaan meliputi kapasitas fiskal daerah, kualitas birokrasi daerah, aparatur profesional, & stakeholers. Sistem pendidikan sekolah harus berbudaya dinamis & berorientasi kedepan, maka perlu proses penciptaan & pengembangan: (a) upaya meningkatkan kualitas & produktivitas & efisiensi yg dicapai; (b) inovasi butuh pembangunan tidak hanya membentuk individu kreatif saja tetapi menciptakan inovasi berkelanjutan; (c) pemimpin di sekolah pencipta budaya inovasi; dan (d) budaya inovasi di sekolah wujud sistem pendidikan yang transformatif. Fokus pada keterlibatan multi-aktor dalam proses inovasi sektor publik. Hasil kajian melahirkan model inovasi yg disebut Model Inovasi Terbuka (the open innovation model). Masuknya informasi dari luar dan pengetahuan dari pengguna layanan berpotensi menghasilkan wawasan baru dan bernilai tambah dalam proses pengembangan inovasi. Kualitatif & regresi (statistik) Inovasi, Quality Management Reform, TQM Studi Kasus & dokumentasi Inovasi; Local government; Public value managemenet Leadership; Inovasi pemerintah daerah Studi pustaka & observasi Inovasi; Budaya inovasi; Kepemimpinan; Pendidikan transformasi; Individu yg kreatif Constructive Research pproach (Kuantitatif & Kualitatif) Konsep Inovasi; Organisasi Sektor Publik; Stakeholders 35 1 2 3 10. Tomi Tura, Satu Pekkarinen, Lea Hennala & Vesa Harmaakorpi (2011) Fokus pada potensi konflik dalam inovasi pelayanan publik. Mengungkap beragam tekanan yang mempengaruhi derajat inovasi & diwujudkan sebagai benturan (clashes) & menjadi saling bertolak belakang (controversies) antara berfikir cara lama & cara baru. Tetapi benturan tersebut dapat menjadi dasar yang kuat (platform) bagi inovasi untuk dianalisis dan difasilitasi secara terbuka. Kualitatif (studi kasus dan konten analisis) Pemahaman local government sebagai institusi harus dimaknai dari multidimensional perspective. Makna multidimensional perspective dari institusi local government meliputi social dimension, economic dimension, geographic dimension, legal dimension, dan administrative dimension. Studi literatur Clashes as Potential for Innovation in Public Service Sector Reform 11. Daniel Adetoritse Tonwe (2011) Conceptualizing Local Government from a MultiDimensional Perspective 4 Inovasi Sektor Publik; Potensi konflik Local Government; Multi-dimensional perspektif Berdasarkan kajian yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu sebagaimana yang ditampilkan, maka diperoleh beberapa kesimpulan penting yang dianggap relevan dengan kajian yang akan dilakukan. Beberapa kesimpulan penting dari kajian terdahulu meliputi: pertama, bahwa kajian inovasi pemerintahan daerah pada umumnya bisa dikaji dari beragam perspektif. Beragam perspektif dimaksud yang terdapat pada penelitian terdahulu yaitu (a) tipologi dan derajat inovasi; (b) nilai dan budaya inovasi; (c) kapasitas inovasi; (d) kelembagaan; (e) kepemimpinan dan dukungan politik; dan (f) pelibatan aktor selain pemerintah (swasta dan masyarakat) dalam pengembangan inovasi. Kedua, kajian inovasi penyelenggaran pemerintahan yang berkaitan dengan bidang pendidikan masih lebih ditekankan pada inovasi manajemen sekolah, inovasi proses pembelajaran, dan inovasi kurikulum. Ketiga, kajian terdahulu juga menunjukkan bahwa penelitian inovasi di sektor publik pada umumnya tidak hanya dilakukan dengan menggunakan metode analisis kuantitatif tetapi juga dapat menggunakan metode analisis kualitatif. 36 2.2. Teori dan Perkembangan Administrasi Publik Salah satu asumsi dasar dalam mengkaji administrasi publik adalah ”administration is a unitary process that can be studied uniformly, at the municipal administration, state administration, and federal administration”. Asumsi dasar ini ditulis oleh Leonard D. White (1926) dalam artikelnya yang berjudul ”Introduction to the Study of Public Administration” sebagaimana disunting oleh Shafritz, at al (2004:56). Makna yang terkandung dalam asumsi dasar tersebut adalah bahwa mempelajari disiplin ilmu administrasi publik berarti mengkaji administrasi publik sebagai kesatuan proses, tidak hanya pada level federal dan level negara tetapi juga menyangkut administrasi pada level lokal (municipal). Oleh karena itu, dalam konteks kajian tentang inovasi pemerintahan daerah penting diawali dengan memahami perkembangan teori dan konsep administrasi publik dan pemerintahan daerah. Perkembangan pemikiran administrasi publik disajikan mulai dari pemahaman administrasi publik dalam berbagai perspektif, model, dan paradigma yang dikembangkan oleh para ilmuwan administrasi publik. Menurut Shafritz & Russel (1999) dalam bukunya ”Introducing Public Administration” bahwa memahami administrasi publik (public administration) tidak bisa hanya melalui satu definisi saja, karena masing-masing peminat administrasi publik memiliki perspektif yang berbeda sehingga menyimpulkan definisi yang berbeda pula. Oleh karena itu, Shafritz & Russel (1999:5-28) mengembangkan pemahaman terhadap administrasi publik dalam empat kategorisasi atau perspektif yang meliputi: political, legal, managerial, dan occupational perspective, seperti pada Tabel 2 bagian berikut ini. 37 Tabel 2. Category of the definition of public administration No. Category/Perspective Definitions of Public Administration 1. Political As what government does?; Both direct and indirect; A phase in the public policy; Implementing the public interest; and Doing collectively that which cannot be so well done. 2. Legal As law in action; Regulation; The King’s largesse; and Theft. 3. Managerial As the executive function in government; Management specialty; Mickey mouse; Art, not science-or-Vice versa. 4. Occupational As an occupational category; An essay contest; Idealism in action; An academic field; and a profession. Sumber: adaptasi dari Shafritz & Russel (1999:5-30) Pada Tabel 2 diperlihatkan kategorisasi definisi administrasi publik yang dapat dipahami dalam empat perspektif yakni: pertama, dari perspektif politik melihat administrasi publik sebagai ”what government does” baik langsung maupun tidak langsung, suatu tahapan siklus pembuatan kebijakan publik, implementasi kepentingan publik, dan sebagai kegiatan yang dilakukan secara kolektif karena tidak dapat dikerjakan secara individual. Kedua, perspektif legal (hukum), administrasi publik dipandang sebagai penerapan hukum (law in action), regulasi, kegiatan pemberian sesuatu dari penguasa atau ”raja” kepada rakyatnya (King’s Largesse), dan sebagai bentuk ”theft” yakni tindakan mengambil sebagian harta orang kaya untuk dibagikan ke yang miskin secara legal dalam bentuk UU perpajakan (tax regulation), dimana pihak-pihak yang dirugikan harus tunduk dan mentaatinya. Ketiga, perspektif manajerial, administrasi publik adalah fungsi eksekutif dalam pemerintahan, sebagai bentuk spesialisasi dalam manajemen (bagaimana mencapai hasil melalui orang lain), sebagai ”mikey mouse” simbol dari maladministrative seperti perilaku red tape, inefficiency, korupsi, kolusi, dll, sebagai 38 seni misalnya judgement dan common sense seorang administrator kadang lebih menentukan dibanding ilmu yang dimilikinya. Keempat, perspektif okupasi atau jabatan, bahwa administrasi publik dapat dipahami sebagai bentuk profesi tertentu, gambaran tentang program atau proyek tertentu yang dibiayai dan dilaksanakan pemerintah, sebagai penerapan idealisme dimana orang-orang ingin mewujudkan impiannya, dan sebagai bidang akademik yang akan terus mempelajari seni dan ilmu manajemen untuk diterapkan di sektor publik. Tabel 3. Perspective on Public Administration Characteristic Traditional Management Perspective NPM Politics Law Constitutional integrity, procedural due process, robust substantive rights, equel protection, equity Adjudicatory (adversary) Values Economy, efficiency, effectiveness Cost-effectiveness, responsiveness to cutomers Representation, responsiveness, accountability Organizational structure Ideal-typical bureaucracy Competitive, firmlike Organizational pluralism View of individual Impersonal case, rational actor Customer Member of group Individual and/or member of class, reasonable person Cognitive approach Rational-scientific Theory, observation, measurement, experimentation Agreement and public opinion, debate Budgeting Rational (costbenefit) Performancebased marketdriven Decision making Rationalcomprehensive Decentralized, cost-minimizing Incremental (distribution of benefit and burdens Incremental mudding trough Inductive case analysis, deductive legal analysis, normative reasoning, adversary process Rights funding Govermental function characterized by Executin Executin Legislation Sumber: Rosembloom & Kravchuk (2005:37) Precedential incrementalism Adjudication 39 Sementara Rosembloom dan Kravchuk (2005:14) memandang bahwa administrasi publik dapat dipahami dalam tiga pendekatan, sebagaimana tertera pada Tabel 3 mengenai tiga perspektif dalam memahami administrasi publik. Ketiga perspektif dan pendekatan tersebut adalah (a) pendekatan manajemen; (b) pendekatan politik; (c) pendekatan hukum. Masing-masing pendekatan ini memiliki karakteristik dan penekanan yang berbeda-beda berdasarkan aspek values, organizational structure, view of individual, cognitive approach, budgeting, decision making, dan governmental function. Kajian dan pemahaman terhadap administrasi publik dapat pula dilihat dari eksistensi model yang dikembangkan oleh para ahli administrasi publik. Dalam konteks perkembangan administrasi publik, terdapat model ”administrasi negara baru” atau ”new public administration” yang dikembangkan oleh H. George Frederickson pada tahun 1980an. Kelima model administrasi negara baru menurut Frederickson (1988:28-30) meliputi: bureaucracy (classic), neobureaucracy, institution, human relation, dan public choice model, yang dapat disimak pada Tabel 4 berikut ini. Tabel 4. Lima Model Administrasi Negara Baru Teori & Teoritisi Fokus Empiris (Unit Analisis) 2 1 Model Birokrasi Klasik Taylor Wilson Weber Gulick, Urwick Organisasi Model Neobirokrasi Simon, Cyert March, Gore Keputusan Kelompok Produksi Instansi Pemerintah Biro (bureau) Kelompok Kerja Nilai yang akan Dimaksimumkan Ciri-ciri 3 4 Struktur, hirarki, pengendalian, otoritas, dikotomi, kebijakanadministrasi, rantai perintah, kesatuan perintah, rentangan pengendalian, pengangkatan atas kemampuan, sentralisasi Efisiensi Ekonomi Efektivitas Positivis-logis, penelitian operasi, analisa sistem, sibernetika, ilmu manajemen, produktivitas Rasionalitas Efisiensi Ekonomi 40 1 2 3 4 Model Institusi Limbloom J. Tompson Keputusan (rasional) Keputusan (tambahan) Perilaku organisasi (sistem terbuka) Perilaku organisasi Perilaku individu dan organisasi Biro dan profesi Perbandingan perilaku organisasi (kekuasaan) Perilaku organisasi (pertukaran) Organisasi dan kebudayaan Perilaku organisasi Perilaku organisasi (organismis) Individu dan kelompok kerja Empiris, positivis, birokrasi adalah cerminan kebudayaan, pola-pola perilaku birokrasi yang memusatkan perhatian pada kelangsungan, kompetisi, teknologi, rasionalitas, inkrementalisme, kekuasaan Ilmu “Analisa yang netral tentang perilaku organisasi” Inkrementalisme Pluralisme Kritik Hubungan antar pribadi dan antar kelompok, komunikasi, sanksi, motivasi, perubahan, latihan, pembagian otoritas, kebenaran prosedur, konsensus Kepuasan pekerja Antibirokrasi, penerapan logika ekonomi pada masalahmasalah distribusi pelayanan publik, amat analisis, pengibaratan pasar, kontrakkontrak, kekecilan, desentralisasi, tawar-menawar Pilihan atau kehendak warga negara Kesempatan mempergunakan pelayanan yang sama persaingan Crozier Downs Mosher Etzioni Blau Riggs V. Thompson Selznick Model Hubungan Kemanusiaan McGregor Likert Bennis Argyris Model Pilihan Publik Ostrom Buchanan, Tullock Olson Hubungan pengawas/pekerja Daya guna pengawas/pekerja Perubahan perilaku Perubahan perilaku Hubungan organisasi/klien dan distribusi barang-barang masyarakat umum Desentralisasi struktur yang tumpang tindih Sektor publik sebagai pasar Besarnya kelompok klien dan distribusi pelayanan publik Distribusi Kepemimpinan dan distribusi barang Perkembangan pribadi Harga diri individu Mitchell Froclich, Oppenheimer, Young Niskanan Perjanjian pelaksanaan Sumber: Frederickson (1988:28-30) Sementara itu Frederickson dan Smith (2003) dalam bukunya yang berjudul: The Public Administration Theory Primer memperkenalkan paradigma terkait dengan teori politik birokrasi dalam kajian administrasi publik, yaitu Allison’s Paradigm of Bureaucraticy Politics. Paradigma Allison ini berangkat dari pemikiran bahwa teori politik birokrasi berusaha menjelaskan peranan dari administrasi dan birokrasi dalam pembuatan kebijakan. Kerangka ini secara 41 khusus menolak adanya dikotomi politik-administrasi yang mendasari lahirnya teori kontrol birokrasi. Beragam studi telah menegaskan bahwa birokrasi dan para birokrat secara rutin mengalokasikan nilai-nilai dan memutuskan siapa memperoleh apa, bahwa birokrasi secara logis melakukan apa yang disebut Meier (1993) sebagai “politics of the first order”. Dengan demikian teori politik birokrasi jika diamati secara empiris (praktek) sebagaimana telah lama dikatakan oleh Dwight Waldo (1948) dalam karyanya “The Administrative State”, administrasi bukanlah aktivitas teknis semata dan netral nilai dimana dapat dipisahkan dari politik, namun administrasi adalah politik sebagaimana dikutip oleh Frederickson dan Smith (2003:43). Paradigma politik birokrasi dituangkan oleh Graham Allison (1971) dalam karyanya “Essence of decision”, yang direvisi bersama Morton Halperin (1972), fokusnya pada essence of decision yang menjadi usaha pertama secara serius dan komprehensif membangun kerangka kerja tawar-menawar dan negosiasi dalam pengambilan keputusan. Melalui pertanyaan besar tentang pemicu utama dari kebijakan demokratis yakni why do governments do what they do? In other words, how is policy made, and who determines or influence it? Allison memberikan jawaban melalui tiga model teoritisasi sebagaimana dikutip oleh Frederickson dan Smith (2003:49). Ketiga model teoritisasi Allison meliputi: pertama, model the actor rational (model aktor rasional) atau Model I (the classical model). Model I ini menjelaskan bahwa keputusan pemerintah dipahami sebagai hasil dari single actor dalam membuat keputusan untuk kepentingan strategis mereka sendiri. Kedua, model yang didasari oleh paradigma proses organisasional (the organizational process paradigm) atau Model II. Model II ini mengakui bahwa terdapat berbagai aktor yang harus terlibat dalam pengambilan keputusan, dan 42 proses pengambilan keputusan sangat terstrukutur melalui standart operational procedural (SOP) yang disepakati. Ketiga, model politik birokrasi (the bureaucratic politics paradigm) atau Model III. Model politik birokrasi atau paradigma politik birokrasi Allison ini didasari oleh beberapa asumsi, antara lain: (1) Cabang eksekutif terbentuk dari bermacam-macam organisasi dan individu, yang masing-masing memiliki sasaran dan agenda yang berbeda-beda, serta aktor-aktor tersebut membawa isu-isu tertentu yang menarik perhatian dengan motivasi dan kepentingan masing-masing; (2) Tidak ada aktor dalam cabang eksekutif tersebut yang mampu bertindak sendiri-sendiri atau sepihak; (3) Keputusan akhir adalah akibat dari politik (political resultant) dengan kata lain apa yang diputuskan pemerintah adalah hasil dari proses tawar-menawar atau kompromi dari proses politik; (4) Terdapat perbedaan antara policy-making dengan pelaksanaannya. Perkembangan pemikiran administrasi publik dapat juga dipahami melalui berbagai paradigma yang dipelopori oleh para ahli administrasi publik. Misalnya Barzelay & Armajani (1992:533) mengungkapkan mengenai paradigma postbureaucratic sebagai antitesa dari paradigma bureaucratic. Pada paradigma birokrasi menekankan kepentingan publik, efisiensi, administrasi, dan kontrol, sementara paradigma post-birokratik menekankan hasil yang berguna pada masyarakat, kualitas dan nilai, produk, keterikatan terhadap norma. Jika paradigma birokratik mengutamakan fungsi, otoritas dan struktur, maka paradigma post-birokratik menekankan pada misi, pelayanan dan hasil akhir (outcome). Bila paradigma birokratik menilai biaya, menekankan tanggungjawab (reponsibility), maka paradigma post-birokratik menekankan pemberian nilai (bagi masyarakat), membangun akutabilitas dan memperkuat hubungan kerja. 43 Jika paradigma birokratik mengutamakan ketaatan pada aturan dan prosedur, maka paradigma post-birokratik menekankan pemahaman dan penerapan norma-norma, identifikasi dan pemecahan masalah, serta proses perbaikan yang berkesinambungan. Terakhir, apabila paradigma birokratik mengutamakan beroperasinya sistem-sistem administrasi, maka paradigma postbirokratik menekankan pemisahan antara pelayanan dengan kontrol, membangun dukungan terhadap norma-norma, memperluas pilihan pelanggan, mendorong kegiatan kolektif, memberikan insentif, mengukur dan menganalisis hasil, dan memperkaya umpan balik. Tabel 5. Perbandingan Paradigma Bureaucratic dan Post-Bureaucratic Bureaucratic Paradigm Post-Bureaucratic Paradigm Public interest Results citizens value Efficiency Quality and value Administration Product Control Winning adherence to norms Specify functions, authority, and structure Identify mission, services, customers, and outcomes Justify costs Deliver value Enforce responsibility Building accountability Strengthen working relationship Follow rules and procedures Understand and apply norms Identify and solve problems Continuously improve processes Operate administrative systems Separate service from control Built support for norms Expand customers choice Encourage collective action Provide incentives Measure and analysis results Enrich feedback Sumber: Barzelay & Armajani (1992:538) Pandangan Denhardt dan Denhardt (2003) dalam bukunya ”The New Public Services: Serving Not Steering” mengungkapkan bahwa terdapat tiga 44 paradigma atau perspektif dalam memahami pemikiran administrasi publik. Ketiga perspektif yang dimaksud yakni old public administration, new public management, dan new public services. Demikian halnya Bovaird dan Loffler (2003), juga mengemukakan pandangan yang mirip dengan padangan Denhardt dan Denhardt tersebut. Oleh Bovaird dan Loffler menyimpulkan bahwa public administration, public management, dan public governance adalah tiga pendekatan yang dapat digunakan dalam kajian-kajian administrasi publik. Dalam pandangan Denhard dan Denhard, perspektif awal adalah old public administration, yang merupakan perspektif klasik yang berkembang sejak munculnya tulisan Woodrow Wilson di tahun 1887 yang berjudul “the study of administration”. Terdapat dua gagasan utama dalam perspektif ini, yakni (1) menyangkut pemisahan politik dan administrasi, dan (2) administrasi publik seharusnya berusaha sekeras mungkin untuk mencapai efisiensi dalam pelaksanaan tugasnya. Efisiensi ini dapat dicapai melalui struktur organisasi yang terpadu dan bersifat hierarkis. Gagasan ini terus berkembang melalui para pakar seperti Frederick Winslow Taylor (1923) dengan “scientific management”, Leonard D. White (1926) dan W.F. Willoughby (1927) yang mengembangkan struktur organisasi yang sangat efisien, dan Gullick & Urwick (1937) yang sangat terkenal dengan akronimnya POSDCORB (Saleh & Muluk, 2006:231). Dengan mengacu pada dua gagasan utama tersebut, perspektif ini menaruh perhatian pada fokus pemerintahan pada penyediaan layanan secara langsung kepada masyarakat melalui badan-badan publik. Perspektif ini berpandangan bahwa organisasi publik beroperasi paling efisien sebagai suatu sistem tertutup sehingga keterlibatan warga negara dalam pemerintahan dibatasi. Perspektif ini berpandangan pula bahwa peran utama administrator publik dibatasi dengan tegas dalam bidang perencanaan, pengorganisasian, 45 pengelolaan pegawai, pengarahan, pengkoordinasian, pelaporan, dan penganggaran. Perspektif administrasi publik kedua adalah new public management, yang pada dasarnya berusaha menggunakan pendekatan sektor swasta dan bisnis ke dalam sektor publik. Perspektif new public management sering disingkat dengan NPM ini, berbasis pada teori pilihan publik (public choice theory), dukungan intelektual bagi perspektif ini berasal dari aliran kebijakan publik (public policy schools) dan gerakan manajerialis (managerialism movement). Aliran kebijakan publik dalam beberapa dekade memiliki akar yang cukup kuat dalam ilmu ekonomi, sehingga analisis kebijakan dan para ahli yang menggeluti evaluasi kebijakan terlatih dengan konsep market economics, costs and benefit, dan rational models of choice. Selanjutnya aliran ini mulai mengalihkan perhatiannya pada implementasi kebijakan, yang selanjutnya mereka sebut public management, yang sebenarnya sinonim dengan public administration (Denhardt & Denhardt 2003:12-23). Dukungan intelektual dari managerialism movement berakar dari pandangan bahwa keberhasilan sektor bisnis dan publik bergantung pada kualitas dan profesionalisme para manajernya. Kemudian dapat dicapai melalui produktivitas yang lebih besar, dan produktivitas ini dapat ditingkatkan melalui disiplin yan ditegakkan oleh para manajer yang berorientasi efisiensi dan produktivitas. Untuk memainkan peran penting ini, manajer harus diberi ”the freedom to manage” dan bahkan ”the right to manage” (Denhardt & Denhardt, 2003). Menurut Sumartono (2007:10), perspektif NPM dalam prakteknya, sebagai gerakan manajerialis mempunyai pengaruh besar dalam reformasi administrasi publik di berbagai negara maju, seperti Selandia Baru, Australia, 46 Inggris, dan Amerika Serikat. Di Inggris, reformasi administrasi publik dijalankan sejak masa PM Margaret Thatcher. Di Amerika Serikat, gerakan ini mendapat dukungan dan komitmen dari Al Gore, wakil presiden Amerika Serikat pada tahun 1993, dengan konsepnya “work better and cost less” (Al Gore, 1993:22). Kemudian dipopulerkan oleh David Osborne dan Ted Gaebler (1992) melalui karyanya ”reinventing government”. Gerakan ini menyebar keseluruh dunia sehingga menjadi inspirasi utama di banyak negara dalam mereformasi administrasi publik baik dengan melakukan privatisasi gaya Inggris ataupun gerakan mewirausahakan birokrasi gaya Amerika Serikat. Perspektif NPM ini menekankan pada penggunaan mekanisme dan terminologi pasar (market based) yang memandang hubungan antara badanbadan publik (pusat dan daerah) dengan pelanggannya (masyarakat) sebagai layaknya transaksi yang terjadi antara penjual dan pembeli. Warga masyarakata sebagai penerima manfaat ditempatkan sebagai costumer atau consumen. Peran manajer publik berubah karena ditantang untuk selalu menemukan caracara baru dan inovatif dalam mencapai tujuan atau menswastakan berbagai fungsi yang semula dijalankan oleh pemerintah termasuk penyediaan barang publik (public goods) dan pelayanan publik (public services). Fungsi manajer publik untuk mengarahkan bukannya mengayuh (steering not rowing), yang bermakna bahwa beban pelayanan publik tidak dijalankan sendiri tetapi sebisa mungkin didorong untuk dijalankan oleh pihak lain melalui mekanisme pasar. Dengan demikian manajer publik memusatkan perhatian pada akuntabilitas pada pelanggan dan kinerja tinggi, restrukturisasi badan-badan publik, mendefinisi ulang misi organisasi, menyederhanakan proses administrasi, dan mendesentralisasi pembuatan keputusan. 47 Tabel 6. Matriks Paradigma Administrasi Publik Menurut Denhardt dan Denhardt Old Public Administration New Public Management New Public Service Dasar teoritis & fondasi epistimologi Teori politik Teori ekonomi Teori demokrasi Rasionalitas & model perilaku manusia Rasionalitas synoptic (administrative man) Teknis & rasionalitas ekonomi (economic man) Rasionalitas strategis atau rasional formal (politik, ekonomi, & organisasi) Konsep kepentingan publik Kepentingan publik secara politis dijelaskan & diekspresikan dalam aturan hukum Kepentingan publik mewakili agregasi kepentingan individu Kepentingan publik adalah hasil dialog berbagai nilai Responsivitas birokrasi publik Clients & constituents Customer Citizen’s Peran pemerintah Rowing Steering Serving Pencapaian tujuan Badan pemerintah Organisasi privat & nonprofit Koalisi antarorganisasi publik, nonprofit & privat Akuntabilitas Hierarki administratif dengan jenjang yang tegas Bekerja sesuai dengan kehendak pasar (keinginan pelanggan) Multiaspek akuntabilitas hukum, nilai-nilai, komunitas, norma politik, standar profesional Diskresi Diskresi terbatas Diskresi diberikan secara luas Diskresi dibutuhkan tapi dibatasi & bertanggungjawab Struktur organisasi Birokratik yang ditandai dengan otoritas top-down Desentralisasi organisasi dengan kontrol utama berada pada para agen Struktur kolaboratif dengan kepemilikan yang berbagi secara internal & eksternal Asumsi terhadap motivasi pegawai & administrator Gaji & keuntungan, proteksi Semangat entrepreneur Pelayanan publik dengan keinginan melayani masyarakat Aspek Sumber: Denhardt dan Denhardt (2003:28-29) Gambaran yang lebih utuh tentang perspektif NPM ini dapat dilihat dari pengalaman Amerika Serikat sebagaimana tertuang dalam sepuluh prinsip reinventing government, karya Osborne dan Gaebler (1992). Inti dari prinsipprinsip tersebut sebagai berikut: 48 a) Catalystic government: steering rather than rowing. Pemerintahan entrepreneur berfungsi memisahkan pembuatan/penetapan keputusan (steering) dengan peran pemberian pelayanan (rowing). Tugas-tugas operasional harus dilakukan oleh staf pelaksana yang diberi kewenangan untuk itu dan para pimpinan yang tidak dibebani tugas-tugas operasional agar mereka dapat menjalankan tugas utamanya membuat keptusan. b) Community-owned government: empowering rather than serving. Pemeritahan entrepreneur harus bekerjasama dengan atau melalu masyarakat yaitu dengan memberdayakan masyarakat untuk mengendalikan lingkungan dan kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri dantidak lagi menggantungkan pemberian pelayanan kepada birokrat atau petugas profesional. c) Competitive government: injecting competition into service delivery. Pemerintahan entrepreneur di dalam berperan sebagai penyedia pelayanan harus dilakukan secara konpetetif misalnya harus lebih murah dan lebih cepat agar pelanggan merasa puas. Monopoli pemerintah tidak lagi tepat dan hanya dengan pemberian pelayanan yang kompetetif maka pemerintahan akan lebih efisien, mendorong inovasi (innovation) dan merevitalisasi lembaga-lembaga publik. d) Mission-driven government: transforming rule-driven organizatitions. Pemerintah lebih mengutamakan perwujudan misi atau tujuan daripada peran pengaturan, yang memiliki beberapa keunggulan yaitu lebih efisien, lebih efektif, lebih inovatif, lebih fleksibel dan lebih bersemangat tinggi untuk mewujudkan misi dan tujuannya. e) Result oriented government: funding outcome, not inputs. Pemerintahan lebih berorientasi pada hasil. Semua peningkatan dan penambahan 49 sumber-sumber harus diperhitungkan lebih matang agar hasil benar-benar dapat dicapai, tidak sekedar memboroskan sumber-sumber secara membabi buta. f) Customer-driven: meeting the needs of customer, not the bureaucracy. Pemerintahan menciptakan sistem pelayanan yang ”ramah pelanggan” dan sesuai dengan sebesar mungkin keinginan pelanggan secara holistik. Sehingga pemerintah sebagai pemberi pelayanan selalu peka terhadap kebutuhan dan keinginan pengguna pelayanan. g) Enterprising government: earning rather than spending. Pemerintahan didorong untuk menggunakan prinsip-prinsip kewirausahawan yang condong berusaha meningkatkan terus pendapatan yang kemudian bisa ditabung untuk menambah investasi dengan cara lebih berorintasi pada keuntungan melalui penggunaan teknik-teknik manajemen yang lebih rasional. h) Anticipatory government: prevention rather than cure. Pemerintahan diharuskan lebih preventif daripada kuratif antisipatif dan proaktif daripada reaktif, berpandangan kedepan dalam proses pembuatan keptusan, mengembangkan arah dan tujuan yang lebih strategis dan dinilai sangat urgen. i) Decentralized government: from hierarchy to participation and team work. Pemerintahan lebih mengedepankan desentralisasi karena lebih memberikan kesempatan atau pemberdayaan yang dibawah untuk mengembangkan kemampuannya, meningkatkan semangat kerja, lebih mempunyai komitmen yang tinggi terhadap tugas dan organisasinya daripada pemerintahan yang sentralistik. 50 j) Market oriented government: leveraging change through the market. Pemerintahan entrepreneur lebih berorientasi pada pasar daripada strategi birokrasi yang bergaya komando. Sasarannya adalah menyusun dan menstruktur pasar sedemikian rupa dengan mendesain ulang peraturanperaturan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan publik. Walaupun kesepuluh prinsip pemerintahan entrepreneur tersebut telah diterapkan secara luas diberbagai negara, tetapi pandangan (Islamy, 2003:53) menganggap konsep tersebut mempunyai dua kelemahan besar, yaitu (1) hubungan transaksional antara penyedia pelayanan dan pengguna pelayanan di organisasi publik cenderung lebih kompleks dibandingkan dengan yang dihadapi oleh pelanggan di pasar biasa atau normal; dan (2) para pelanggan di organisasi publik tidak hanya sebagai ”konsumen” tetapi mereka juga adalah warga negara yang tentu saja memiliki implikasi yang unik dalam proses transaksi tersebut. Mengacu pada sepuluh prinsip tersebut, dimana diantaranya adalah bahwa dalam perspektif new public management dianjurkan agar mengadopsi nilai kompetisi dari sektor bisnis ke dalam manajemen sektor publik. Salah satu konsep yang berbasis keunggulan berkompetisi adalah konsep inovasi, di mana konsep ini lebih akrab dibahas dan dikembangkan di sektor bisnis. Perspektif NPM, seperti halnya perspektif old public administration, tidak hanya membawa teknik administrasi baru namun juga seperangkat nilai tertentu. Masalahnya terletak pada nilai-nilai yang dikedepankan tersebut seperti efisiensi, rasionalitas, produktivitas dan bisnis karena dapat bertentangan dengan nilainilai kepentingan publik dan demokrasi. Jika pemerintahan dijalankan seperti halnya bisnis dan pemerintah berperan mengarahkan tujuan pelayanan publik maka pertanyaannya adalah siapakah sebenarnya pemilik dari kepentingan publik dan pelayanan publik? Atas dasar pemikiran tersebut Denhardt dan 51 Denhardt memberikan kritik terhadap perspektif new public management sebagaimana yang tertuang dalam kalimat “in our rush to steer, perhaps we are forgetting who owns the boat.” (Denhardt dan Denhardt, 2003:23). Selanjutnya, dijelaskan pula bahwa pemilik kepentingan publik yang sebenarnya adalah masyarakat maka para administrator publik seharusnya memusatkan perhatiannya pada tanggung jawab melayani dan memberdayakan warga negara melalui pengelolaan organisasi publik dan implementasi kebijakan publik. Perubahan orientasi tentang posisi warga negara, nilai yang dikedepankan, dan peran pemerintah ini memunculkan perspektif baru administrasi publik yang disebut sebagai new public service. Warga negara seharusnya ditempatkan di depan, dan penekanan tidak seharusnya membedakan antara mengarahkan dan mengayuh tetapi lebih pada bagaiamana membangun institusi publik yang didasarkan pada integritas dan responsivitas. Pada intinya, perspektif baru ini merupakan “a set of idea about the role of public administration in the governance system that place public service, democratic governance, and civic engagement at the center.” (Denhardt dan denhardt, 2003:24). Pemahaman lebih jauh mengenai perspektif new public service ini dapat disimak dari tujuh dasar pengembangan pelayanan publik (Denhardt dan Denhardt, 2003:42-43), yakni: 1. Serve rather than steer. Meningkatnya peran birokrat yang dapat membantu dan mengarahkan masyarakat untuk mengartikulasikan dan saling membagi nilai daripada melakukan kontrol terhadap masyarakat. Peran pemerintah bukan hanya sekedar membuat ketentuan dan kebijakan, lebih dari itu bertindak dan melakukan negosiasi, fasilitasi dan menjadi jembatan dalam mengatasi masalah-masalah yang timbul dalam 52 masyarakat (jika perlu bahkan melalui kerjasama antara sektor privat, masyarakat dan kelompok-kelompok masyarakat). 2. Kepentingan publik Administrator adalah tujuan, publik harus dapat bukan hanya sekedar membangun kepentingan produk. publik. Tujuannya bukan untuk menemukan solusi yang cepat melalui pilihan dan preferensi individu, tetapi lebih dari itu harus menghasilkan shared interest dan shared responsibility dalam masyarakat. 3. Berfikir strategik dan bertindak demokratik. Kebijakan dan program akan mencapai hasil yang efektif dan bertanggung jawab apabila dilakukan melalui usaha-usaha kolektif dan proses yang kolaboratif antara pemerintah dan masyarakat. 4. Melayani masyarakat bukan pelanggan. Kepentingan publik merupakan hasil dialog tentang shared values, bukan hanya merupakan agregasi kepentingan individu. Karena itu, administrator publik bukan hanya bekerja dalam rangka memberikan pelayanan kepada pelanggan, tetapi lebih banyak berfokus pada upaya untuk membangun kepercayaan dan relasi yang kolaboratif dengan dan diantara masyarakat. 5. Akuntabilitas tidaklah sederhana. Administrator publik haruslah memberikan perhatian lebih kepada masyarakat bukan hanya sebagai pelanggan dalam sebuah pasar. Administrator publik harus berorientasi pada hukum dan konstitusi, nilai-nilai komunitas, norma-norma politik, standar profesional dan kepentingan masyarakat. 6. Menghargai masyarakat dan bukan hanya produktivitas. Organisasi publik dan jaringannya akan bekerja dalam jangka waktu yang panjang, jika ada penghargaan yang tinggi terhadap proses yang kolaboratif dan nilai 53 kepemimpinan bersama yang didasarkan pada penghargaan kepada semua orang. 7. Menghargai masyarakat dan pelayanan publik yang lebih tinggi daripada kewirausahaan. Kepentingan publik dapat dikembangkan secara lebih baik oleh administrator publik dan masyarakat daripada dilakukan oleh seorang wirausaha. Karena sesungguhnya uang publik yang digunakan untuk melayani masyarakat berasal dari uang yang dipungut dari masyarakat. Pergeseran paradigma administrasi publik sebagaimana dipahami yakni old public administration, new public management, dan new public service yang dijelaskan oleh Denhardt dan Denhardt (2003), dapat juga dipahami melalui pendapat Benington dan Hartley (2001) seperti dikutip Meehan (2003:6), bahwa pemikiran administrasi publik telah bergeser dari traditional public administration dan new public management ke model citizen-centered governance. Dimana model citizen-centered governance oleh Denhardt dan Denhardt (2003) disamakan dengan perspektif new public service dan networked governance oleh Hartley (2005) serta post-managerial avenues oleh Vigoda-Gadot (2005). Baik perspektif citizen-centered governance, new public service, networked governance maupun perspektif post-managerial avenues pada prinsipnya menempatkan masyarakat sipil (citizens) sebagai penentu strategi dari kebijakan publik, serta penyelenggaraan pemerintahan yang dilaksanakan dengan mengoptimalkan jejaring (network) dan kemitraan (partnership) dengan pihak di luar pemerintah. Pemahaman administrasi publik melalui citizen-centered model lebih khusus dapat dipahami melalui kajian teori governance. Menurut Gerry Stoker pemikir administrasi publik, dalam salah satu papernya yang dipublikasi oleh 54 Unesco berjudul ”Governance as Theory: Five Propositions” (1998) menguraikan lima proposisi governance sebagai sebuah teori yaitu: 1. Governance refers to a set of institutions and actors that are drawn from but also beyond governance; 2. Governance identifies the blurring of boundaries and responsibilities for tackling social and economic issues; 3. Governance identifies the power dependence involved in the relationships between institutions involved in collective action; 4. Governance is about autonomus self-governing networks of actors; 5. Governance recognizes the capacity to get things done which does not rest on the power of government to command or use its authority. It sees government as able to use new tools and techniques to steer and guide. Melalui proposisi tersebut dapat dipahami bahwa makna governance itu merujuk pada institusi dan aktor yang tidak hanya pemerintah, kaburnya batas-batas dan tanggung jawab dalam mengatasi isu sosial dan ekonomi, dan adanya ketergantungan dalam hubungan antara institusi yang terlibat dalam aksi kolektif. Governance juga berkaitan dengan self-governing yang otonom dari aktor-aktor lainnya dan memperbaiki sesuatu tidak perlu tergantung kekuasaan pemerintah melalui perintah dan kewenangannya (Stoker, 1998:18). Pandangan governance dari Stoker memiliki substansi yang relatif sama dengan pendapat Rhodes (2007:3), bahwa ciri dari governance adalah organisasi networks yang mana di dalamnya ada tuntutan pasar untuk saling bertukar sumber daya sebagaimana akan dijelaskan berikut ini. Lebih lanjut diuraikan karakteristik organisasi networks dalam teori governance, antara lain: a. Interdependensi antara organisasi. Konsep governance mencakup lingkup yang lebih luas daripada konsep government, yang meliputi aktor-aktor 55 selain pemerintah seperti sektor swasta (private sector) dan masyarakat madani (civil society); b. Interaksi terus-menerus antar organisasi yang terlibat dalam networks dalam rangka pertukaran sumber daya dan negosiasi dalam berbagi sumber daya; c. Interaksi seperti halnya permainan yang diikat dalam kepercayaan dan negosiasi yang ditetapkan dan disetujui oleh masing-masing organisasi; d. Tidak ada kewenangan yang mutlak, networks mempunyai derajat yang signifikan dengan otonomi setiap organisasi. Networks tidak bertanggung jawab langsung (accountable) kepada pemerintah (negara) mereka mengatur dirinya sendiri tetapi negara dapat mengaturnya secara tidak langsung dan tidak sepenuhnya. 2.3. Teori tentang Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah Menurut Bank Dunia seperti yang dikutip oleh Wasistiono (2010:32) bahwa dari dua puluh negara yang menjadi mitrakerja dalam desentralisasi, Indonesia termasuk negara yang melaksanakan ”dentuman besar desentralisasi” atau ”big bang decentralization”. Dikatakan melaksanakan dentuman besar atau bahkan revolusi desentralisasi, karena melakukan transfer kewenangan dan tanggung jawab publik dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah dengan dimensi yang sangat luas. Ini tampak dari luasnya urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh daerah otonom sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan ditindaklanjuti melalui PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. 56 Secara teoritis dan empiris, setiap organisasi termasuk negara, selalu menganut asas sentralisasi sejak kelahirannya sampai akhir hayatnya. Namun, organisasi yang besar dan sangat rumit tidak mungkin hanya diselenggarakan dengan asas sentralisasi. Sekiranya hanya dianut asas tersebut, niscaya penyelenggaraan berbagai fungsi yang dimiliki oleh organisasi tersebut tidak sepenuhnya efektif. Oleh karena itu, diperlukan juga asas desentralisasi. Menurut Hoessein (2009: 102) kedua asas tersebut (sentralisasi dan desentralisasi) tidak dikotomis, tetapi berupa kontinuum. Organisasi yang besar dapat memilih salah satu diantara dua alternatif tersebut. Tetapi organisasi negara yang besar harus memilih alternatif yang ketiga: sentralisasi dan desentralisasi bagi organisasi negara. Sentralisasi berperan untuk menciptakan keseragaman dalam penyelenggaraan berbagai fungsi organisasi, sedangkan desentralisasi berperan menciptakan keberagaman dalam penyelenggaraan berbagai fungsi sesuai dengan keberagaman kondisi masyarakat. Selanjutnya, disebutkan bahwa penyelenggaraan asas desentralisasi selalu oleh asas sentralisasi. Dalam tataran organisasi negara dibedakan penyelenggara desentralisasi dalam negara kesatuan dan negara federal. Dalam negara kesatuan, desentralisasi diselenggarakan oleh pemerintah (pusat), sedangkan dalam negara federal, desentralisasi diselenggarakan oleh (pemerintah) negara bagian. Mengkaji desentralisasi pada dasarnya harus dipahami bahwa tidak ada teori tunggal tentang desentralisasi. Hal ini dapat dilihat dalam penjelasan Smith (1985:18) yang menggunakan istilah decentralization in theory dan bukan theory of decentralization yang menjadi judul bab dua dalam salah satu bukunya. Bab ini lebih pada penafsiran teori-teori sosial terhadap desentralisasi, bukan membahas secara khusus mengenai teori desentralisasi. Perspektif teori-teori 57 sosial yang dibahas oleh Smith meliputi liberal democracy theory, public choice theory (economic interpretation), dan Marxist theory. Teori demokrasi liberal (liberal democracy theory) memberikan dukungan bagi desentralisasi karena mampu mendukung demokrasi pada dua tingkatan. Pertama, memberikan kontribusi positif bagi perkembangan demokrasi nasional karena local government itu mampu menjadi sarana pendidikan politik rakyat dan memberikan pelatihan bagi kepemimpinan politik, serta mendukung penciptaan stabilitas politik. Lebih jelasnya pendapat Hoessein yang dikutip oleh Muluk (2007:2), mengungkapkan bahwa dalam konsep otonomi terkandung kebebasan untuk berprakarsa dalam mengambil keputusan atas dasar aspirasi masyarakat yang memiliki status demikian tanpa kontrol langsung dari pemerintah pusat. Oleh karena itu kaitannya dengan demokrasi sangatlah erat. Kedua, konsep local government mampu memberikan manfaat bagi masyarakat setempat (locality). Penjelasan Hoessein seperti yang dikutip oleh Muluk (2007:2), mengingatkan bahwa local government dan local autonomy tidak dicerna sebagai daerah atau pemerintah setempat tetapi merupakan masyarakat setempat. Urusan dan kepentingan yang menjadi perhatian keduanya bersifat lokalitas karena basis politiknya adalah lokalitas bukan bangsa. Penafsiran teori pilihan publik (public choice theory) tentang desentralisasi menunjukkan adanya dukungan ahli ekonomi. Dalam teori ini, para ahli menganggap bahwa desentralisasi merupakan media yang penting guna meningkatkan kesejahteraan pribadi. Dalam economic interpretation mengenai teori pilihan publik, desentralisasi dimaknai secara instrumental atau medium penting dalam meningkatkan kesejahteraan pribadi melalui pilihan publik. Menurut perspektif ini, manfaat yang dapat dipetik dari local government, yaitu pertama, adanya daya tanggap publik (pemerintah daerah) terhadap 58 preferensi individual (public responsiveness to individual preferences). Kedua, local government memiliki kemampuan untuk memenuhi permintaan akan barang-barang publik (demand for public goods). Desentralisasi meningkatkan unit-unit pemerintahan dan derajat spesialisasi fungsinya sehingga meningkatkan kemampuan pemerintah dalam memenuhi permintaan publik. Hal ini untuk mengatasi kesulitan dalam mengetahui preferensi masyarakat, karena adanya relasi yang rumit antara barang, harga, pajak, pemilihan dan preferensi politik, partisipasi, dan kepemimpinan. Ketiga, desentralisasi mampu memberikan kepuasan yang lebih baik dalam menyediakan penawaran barang-barang publik (supply of public goods). Terdapat banyak persoalan jika penyediaan pelayanan dan barang publik diselenggarakan secara tersentralisasi. Semakin besar organisasinya maka semakin besar pula kecenderungan untuk memberi pelayanan. Semakin monopolistis suatu pemerintah maka semakin kecil insentif dan inovatifnya. Berdasarkan teori, yurisdiksi yang terfragmentasi akan memberikan kepuasan kepada konsumen daripada kewenangan yang terkonsolidasi. Desentralisasi akan memberikan peluang antaryurisdiksi yang berbeda untuk bersaing dalam memberikan kepuasan kepada publik atas penyediaan barang dan layanan. Desentralisasi dalam perspektif Marxist, ditafsirkan bahwa desentralisasi mengakibatkan adanya negara pada tingkat lokal. Para pendukung perspektif ini, menempatkan desentralisasi sebagai objek dialektika hubungan antarsusunan pemerintahan dan menuduh bahwa desentralisasi tidak mampu menciptakan kondisi demokratis di tingkat lokal karena terhambat oleh faktor ekonomi, politik, dan ekologi. Pandangan Marxist tampaknya masih cenderung melihat negara sebagai satu kesatuan dan tidak perlu dipisah-pisah antarwilayah geografisnya. 59 Adapun alasan-alasan ketidakpercayaan kelompak Marxist terhadap desentralisasi, antara lain karena (1) desentralisasi akan melahirkan akumulasi modal pada tingkat lokal; (2) desentralisasi akan memengaruhi konsumsi kolektif sehingga akan dipolitisasi; (3) lembaga perwakilan dalam demokrasi lokal tetap dikuasai oleh kaum kapitalis; (4) pemerintah lokal hanya menjadi perpenjangan tangan pemerintah pusat dalam menjaga kepentingan monopoly capital; (5) adanya rintangan politik, ekonomi, dan ekologis yang menyebabkan kegagalan demokrasi lokal. Untuk itu kelima rintangan atau kelemahan desentralisasi ini, hanya dapat diatasi oleh sentralisasi yang bertujuan untuk redistribusi dan keadilan. Desentralisasi dalam konteks penataan organisasi perangkat daerah, tampaknya harus dimaknai dalam perspektif liberal democracy dan economic interpretation. Di mana dalam menata organisasi perangkat daerah harus berbasis locality. Menurut perspektif demokrasi liberal, upaya-upaya dalam mengatur kelembagaan pemerintah daerah harus didasari oleh prakarsa atas aspirasi masyarakat lokal (local choice dan local voice). Sehingga pengaturan terhadap kelembagaan pemerintah daerah tetap dalam kerangka membangun local democracy. Kemudian dalam perspektif economic interpretation, individu senantiasa berusaha meningkatkan kesejahteraan pribadinya melalui pilihan yang rasional. Olehnya itu, penataan organisasi perangkat daerah harus diarahkan dalam rangka menciptakan local government yang memiliki daya tanggap terhadap preferensi individu, memiliki kemampuan dalam memenuhi permintaan akan barang dan pelayanan, dan juga diarahkan pada penciptaan local government yang mampu memberikan kepuasan yang lebih dalam menyediakan penawaran barang-barang publik dan pelayanan. 60 Secara konseptual, desentralisasi dipandang oleh pakar administrasi publik sebagai instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Menurut Fesler dan Leemans seperti dikutip dalam Hoessein (2000:12), memaparkan bahwa tujuan-tujuan yang akan dicapai melalui desentralisasi merupakan nilai-nilai dari komunitas politik yang dapat berupa kesatuan bangsa (national unity), pemerintahan demokrasi (democratic government), kemandirian sebagai penjelmaan dari otonomi, efisiensi administrasi, dan pembangunan sosial ekonomi. Tujuan tersebut biasanya tercantum dalam kebijakan nasional, peraturan perundang-undangan dan/atau pernyataan politik para elit nasional mengenai desentralisasi dan otonomi daerah. Mengingat beragamnya tujuan yang akan dicapai melalui desentralisasi, maka tiap negara kerapkali membuat skala prioritas tujuan desentralisasi. Oleh karena itu, terdapat variasi mengenai skala prioritas antarnegara dan bahkan antar kurun waktu dalam suatu negara sebagai hasil kekuatan-kekuatan yang berpengaruh. Hasil kajian lintas negara oleh Hoessein (2000:14) dijelaskan bahwa pemilihan skala prioritas tujuan desentralisasi pada efisiensi di berbagai negara acapkali berpasangan dengan kesatuan bangsa, sedangkan pemilihan skala prioritas tujuan desentralisasi pada demokrasi berpasangan dengan kemandirian. Demikian hanya, Halligan dan Aulich seperti dikutip Hoessein (2000:12) mengajukan dua model pemerintahan daerah, yakni: (1) model local democracy yang menekankan pada nilai-nilai demokrasi dan nilai-nilai lokal (democratic and locallity values); (2) model efisiensi struktural (structural efficiency) yang menekankan pentingnya pemberian pelayanan secara efisien masyarakat lokal (efficient distribution of services to local communities). kepada 61 Kedua model pemerintahan tersebut, dijelaskan oleh Hoessein (2000:13) model demokrasi yang menurutnya mempunyai sejumlah nilai, yakni: 1. Pemerintahan daerah didasarkan atas kepercayaan adanya nilai dalam penyebaran kekuasaan dan keterlibatan berbagai pengambil keputusan didaerah; 2. Pandangan mengenai kekuatan dalam keanekaragaman sebagai tanggap terhadap kemajemukan tuntutan; 3. Pemerintahan daerah bersifat lokal yang dapat memfasilitasi akses dan tanggap masyarakat setempat, karena pemerintahan tersebut dekat dengan masyarakat; 4. Penyebaran kekuasaan merupakan nilai yang fundamental dan pemerintahan daerah yang terdiri atas lembaga-lembaga yang didasarkan atas pemilihan dapat mewakili penyebaran kekuasaan politik yang absah dalam masyarakat. Demikian halnya model efisiensi struktural, Hoessein (2000:14) mengungkap analisisnya terhadap konsekuensi yang lebih rinci dari pemilihan skala prioritas tujuan desentralisasi pada efisiensi terhadap struktur dan proses pemerintahan daerah, yakni: 1. Terjadi kecenderungan untuk memangkas susunan daerah otonom; 2. Terjadi kecenderungan mengorbankan demokrasi dengan cara membatasi peran dan partisipasi lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai lembaga pembuat kebijakan dan lembaga kontrol; 3. Kecenderungan keengganan pusat untuk menyerahkan wewenang dan diskresi yang lebih besar kepada daerah otonom; 4. Kecenderungan mengutamakan dekonsentrasi daripada desentralisasi; 62 5. Terjadi semacam paradoks, di satu sisi efisiensi memerlukan wilayah dari daerah otonom yang luas untuk memungkinkan tersedianya sumber daya yang lebih mendukung bagi roda pemerintahan daerah, namun pada sisi lain daerah otonom yang berwilayah luas dikhawatirkan berpotensi menjadi gerakan separatisme. Pendapat yang sejalan dengan dua model pemerintahan daerah di atas, dikemukakan oleh James Manor seperti dikutip oleh Ratnawati (2003:79). James Manor berpendapat bahwa ada dua perbedaan besar cara pandang terhadap desentralisasi, yakni: Pertama cara pandang administratif yang lebih mengedepankan persepsi ”pusat” memiliki asumsi antara lain: (1) kemajemukan ditingkat lokal menuntut pendekatan yang fleksibel terhadap wilayah yang berbeda dan desentralisasi yang demokratik dapat menfasilitasi perencanaan yang efektif dan sekaligus implementasinya ditingkat lokal; (2) desentralisasi yang demokratik merupakan saluran patronase untuk mendapatkan dukungan politik kepada rejim yang berkuasa di tingkat pusat maupun lokal; (3) untuk mencegah ketidakpuasan regional dan gerakan separatis, pemberian otonomi perlu dilakukan; (4) tanggung jawab pemberian pelayanan (sumber-sumber pendapatan) dapat dialihkan ke bawah melalui desentralisasi untuk meringankan beban pemerintah pusat. Kedua, cara pandang demokratik yang melihat kekuatan lokal sebagai positive resources untuk pencapaian tujuan bersama. Rincian cara pandang kedua ini, antara lain: (1) masyarakat grass roots yang memahami kekhususan daerahnya seharusnya memiliki kontrol nyata atas bagaimana kebijakan negara diformulasikan dan dilaksanakan; (2) dukungan kepada rejim dari grass roots paling baik digerakkan melalui mekanisme pertanggungjawaban dan pemerintah seharusnya bertanggung jawab atau dekat pada masyarakat lokal; (3) 63 kemajemukan geografis budaya dapat diakomodasi melalui desentralisasi demokratik; (4) jasa pelayanan yang dibiayai lokal lebih efektif disediakan ketika masyarakat lokal dapat mempengaruhi proses. Adapun bentuk-bentuk desentralisasi menurut Turner, M dan Hulme, D. (1997:153), dapat dibedakan atas dasar pelimpahan (basis of delegation) dan sifat pelimpahan (nature of delegation) suatu kewenangan. Secara lengkap, bentuk desentralisasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 7 di bagian berikut ini. Tabel 7. Bentuk-Bentuk Desentralisasi versi Turner dan Hulme Nature of Delegation Within formal political structures Within public administrative or parastatal structures From state sector to private sector Basis for Delegation Territorial Functional Devolution (political decentralization, local government, democratic decentralization) Deconcentration (administrative decentralization, field administration) Interest group Privatization of devolved functions (deregulation, contracting out, voucher schemes) Privatization of national functions (divestiture, deregulation, economic liberalization) Representation Establishment of parastatals and guangos Sumber: Turner, M. & Hulme, D. (1997:153) Dalam perspektif Rondinelli dan Cheema (1983:13-16) menguraikan dasar pemikiran (rationale) atau alasan-alasan rasional lahirnya pilihan atas kebijakan desentralisasi, antara lain: ï‚· Desentralisasi dapat mengatasi keterbatasan pemerintah pusat dalam hal menyusun dan menyesuaikan rencana serta program pembangunan dengan kebutuhan-kebutuhan heterogen. wilayah lokal dan kelompok yang 64 ï‚· Mampu memotong sejumlah besar red tape dan prosedur yang rumit sebagai karakteristik perencanaan dan manajemen yang terpusat dan adanya over concentration kekuasaan serta sumber-sumber di pusat. ï‚· Hubungan yang lebih dekat antara pejabat pemerintahan lokal dan masyarakat setempat, memungkinkan keduanya untuk mendapatkan informasi yang lebih baik guna memformulasi perencanaan atau program yang lebih realistik dan efektif. ï‚· Desentralisasi menjadi penetrasi politik dan administrasi, karena dukungan elit lokal dan masyarakat seringkali lemah terhadap rencana pembangunan nasional. ï‚· Dalam pembuatan keputusan dan alokasi sumber-sumber, desentralisasi memungkinkan keterwakilan yang lebih besar dari bermacam-macam kelompok politik, agama, etnis, dan suku. ï‚· Desentralisasi memberikan kesempatan kepada pejabat-pejabat setempat untuk mengembangkan kecakapan-kecakapan manajerial dan teknis. Dengan desentralisasi juga dapat meningkatkan kemampuan pejabatpejabat tersebut untuk menangani urusan-urusan yang biasanya tidak ditangani secara baik oleh departemen pusat, seperti pemeliharaan jalan dan infrastruktur yang jauh dari ibukota negara. ï‚· Efisiensi dari pemerintah pusat meningkat karena membebaskan pejabatpejabat pusat dari tugas-tugas rutin, di mana tugas-tugas tersebut bisa dilaksanakan secara lebih efektif oleh petugas lapangan atau pejabatpejabat lokal. ï‚· Desentralisasi memungkinkan koordinasi yang lebih efektif antara pemerintah pusat, pemerintah lokal, dan organisasi nonpemerintah (NGO) untuk lebih fleksibel, inovatif dan kreatif dalam membuat kebijakan- 65 kebijakan dan program-program baru dengan melokalisir pada tempattempat tertentu. ï‚· Desentralisasi dapat melembagakan partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan manajemen pembangunan secara umum, serta struktur pemerintahan yang terdesentralisasi memfasilitasi pertukaran informasi tentang kebutuhan-kebutuhan lokal. ï‚· Menjadi alternatif pembuatan keputusan, karena pemerintah pusat seringkali tidak sensitif terhadap kebutuhan kelompok masyarakat miskin. ï‚· Menghasilkan fleksibel, inovatif dan kreatif dalam pemerintahan. Unit-unit pemerintahan dapat secara leluasa melakukan inovasi dan bereksperimen dalam berbagai kebijakan dan program. ï‚· Desentralisasi memungkinkan fungsi-fungsi manajemen dan perencanaan pembangunan dapat lebih efektif dilakukan oleh masyarakat lokal sendiri. ï‚· Desentralisasi dapat meningkatkan stabilitas politik, karena kelompokkelompok masyarakat (stakeholders) yang berbeda-beda dapat terlibat secara langsung dalam pembuatan keputusan. ï‚· Desentralisasi dapat meningkatkan sejumlah efisiensi dalam penyediaan pelayanan dan barang publik (public goods and services). Kemudian Rondinelli dan Cheema (1983:18-25) juga mengidentifikasi adanya empat jenis desentralisasi sebagai berikut: 1. Dekonsentrasi (deconsentration), yaitu penyerahan sejumlah kewenangan atau tanggung jawab administrasi kepada tingkatan yang lebih rendah dalam kementerian atau badan pemerintah; 2. Delegasi (delegation to semi-autonomous or parastatal organizations), yaitu transfer tanggung jawab untuk fungsi-fungsi secara rinci yang digambarkan 66 pada organisasi-organisasi di luar struktur birokratis yang reguler dan hanya secara tidak langsung dikendalikan oleh pemerintah pusat; 3. Devolusi (devolution), yaitu pembentukan dan penguatan unit-unit pemerintahan sub-nasional dengan aktivitas yang secara substansial berada di luar kontrol pemerintah pusat; dan 4. Privatisasi (transfer of functions from government to non-government institutions), yaitu memberikan semua tanggung jawab atas fungsi-fungsi kepada organisasi non pemerintah (NGO) atau perusahaan swasta yang independen dari pemerintah. Pandangan lainnya menurut Rondinelli dan Cheema (1983:22), bahwa desentralisasi dalam bentuk yang murni (devolution) mempunyai karakteristik mendasar, sebagai berikut: 1. Unit-unit pemerintahan setempat bersifat otonom, mandiri, dan jelas-jelas sebagai unit pemerintahan bertingkat yang terpisah dari pusat. Pusat melakukan sedikit atau tanpa kontrol langsung oleh pusat terhadap unit-unit tersebut; 2. Pemerintah daerah mempunyai batas-batas geografis yang jelas dan diakui secara hukum di mana mereka menggunakan kekuasaan dan menjalankan fungsi-fungsi publik; 3. Pemerintah daerah mempunyai status dan kekuasaan mengamankan sumber-sumber untuk menjalankan fungsi-fungsinya; 4. Implikasi desentralisasi adalah kebutuhan mengembangkan pemerintahan lokal sebagai institusi, yang dilihat warga setempat sebagai organisasi yang memberikan pelayanan dan sebagai unit pemerintahan yang mempunyai pengaruh; 67 5. Dengan desetralisasi berarti ada hubungan timbal balik, saling menguntungkan dan hubungan yang terkoordinasikan antara pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah. Pemerintahan daerah (local government) menurut United Nations yang dikutip oleh Meenakshisundaram dalam Jha dan Mathur (1999:58) adalah suatu sub-devisi politik pada suatu bangsa (dalam suatu negara federal di AS), yang dibentuk atas hukum dan memiliki kewenangan penuh atas urusan lokal termasuk dalam menarik pajak dan penggunaan tenaga kerja lokal untuk tujuan tertentu dan pejabat pemerintahan ditentukan melalui pemilihan. Muthalib dan Ali Khan (1982:2-18), menjelaskan secara komprehensif pemahaman tentang arti dari konsep local government. Dinyatakan bahwa secara konseptual local government harus dimaknai secara multi-dimensional. Makna multi-dimensional tersebut meliputi: (1) dimensi sosial (social dimension); (2) dimensi ekonomi (economic dimension); (3) dimensi geografis (geografic dimension); (4) dimensi hukum (legal dimension); (5) dimensi politik (political dimension); dan (6) dimensi administasi (administrative dimension). Terkait dengan hal tersebut, Muthalib dan Ali Khan (1982:29-51) juga mengemukakan kebutuhan terhadap pembangunan desentralisasi (need for decentralised development). Kebutuhan terhadap pembangunan desentralisasi bersinggunngan dengan adanya empat fungsi yang dimilikinya, yakni (1) pembangunan desentralisasi akan meningkatkan partisipasi warga lokal; (2) mempercepat pembangunan ekonomi lokal; (3) terjadinya transformasi sosial di tingkat lokal; dan (4) pembangunan desentralisasi menciptakan pemerataan hasil-hasil pembangunan. Selanjutnya, menurut Meenakshisundaram seperti dikutip oleh Jha dan Mathur (1999:60) menguraikan beberapa peran pemerintahan daerah (the role of 68 local government) yang dapat ditemukan dalam sistem pemerintahan yang terdesentralisasi. Peran pemerintahan daerah yang dimaksud, sebagai berikut: a. Menjadi senjata efektif dalam menghadapi tekanan lokal dengan menampung dan mengartikulasikan kepentingan lokal, menjadi media pendidikan politik bagi masyarakat yang merasakan langsung pelaksanaan fungsi pemerintahan; b. Karena kedekatannya secara lokasi, dalam hal penyediaan pelayanan jasa dapat berlangsung lebih efisien; c. Perencanaan dapat lebih baik karena lebih mengetahui kondisi lokalnya, dengan penggunaan tenaga lokal yang lebih efisien pula; d. Pejabat pemerintah bertanggung jawab lebih baik karena hubungan dengan publik lebih dekat; e. Pemerintah daerah dapat menjadi medium komunikasi efektif antara pusat dengan masyarakat lokal terkait dengan program pemerintah pusat di daerah. Pada hakekatnya desentralisasi adalah mengotonomikan suatu masyarakat yang berada dalam teritorial tertentu. Sesuai dengan arahan konstitusi pengotonomian tersebut dilakukan dengan menjadikan masyarakat tersebut sebagai provinsi, kabupaten dan kota. Di samping itu desentralisasi juga merupakan penyerahan atau pengakuan urusan pemerintahan bagi provinsi, kebupaten dan kota. Dalam kerangka hukum selama ini pengertian desentralisasi hanya menonjolkan aspek penyerahan urusan pemerintahan saja (Hoessein, 2005:66). Pada Gambar 1 diperlihatkan bahwa desentralisasi yang terjadi hanya berupa penyerahan wewenang yang menjadi kompetensi pemerintah (presiden dan para menteri). Jadi pada dasarnya desentralisasi hanya bersumber dari 69 presiden dan para menteri. Tidak ada penyerahan wewenang dari lembagalembaga tinggi negara lain. Tidak ada yang bersumber dari institusi MA, kecuali untuk kasus provinsi Nangruh Aceh Darussalam, tidak ada penyerahan wewenang dari DPR apalagi MPR. MPR BPK MK DPR MA P PEMERINTAH MENTERI DESENTRALISASI DPRD POLICY MAKER ELECTED OFFICIALS PENGATURAN DAERAH OTONOM KDH APPOINTED OFFICIALS PENGAWASAN POLICY PENGURUSAN BIROKRASI DAERAH (PERANGKAT DAERAH) EXECUTIVE Gambar 1. Jalur Penyerahan Urusan Pemerintahan Sumber: Hoessein, et al. (2005:66) Bahwasanya selalu terdapat sejumlah urusan pemerintahan yang sepenuhnya diselenggarakan secara sentralisasi beserta penghalusannya dekonsentrasi. Tetapi tidak pernah terdapat suatu urusan pemerintahan yang diselenggarakan sepenuhnya secara desentralisasi. Urusan pemerintahan yang 70 menyangkut kepentingan dan kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara lazimnya diselenggarakan secara sentralisasi dan dekonsentrasi. Urusan yang mengandung dan menyangkut kepentingan masyarakat setempat (lokalitas) diselenggarakan secara desentralisasi. Pembagian urusan pemerintahan, berangkat dari sebuah diktum tidak mungkin urusan diselenggarakan secara 100% sentralisasi atau 100% desentralisasi dalam satu negara bangsa. Terdapat urusan pemerintahan yang sudah merupakan keniscayaan menjadi tanggung jawab penuh pemerintah yakni: (1) politik luar negeri; (2) pertahanan; (3) keamanan; (4) yustisia; (5) moneter dan fiskal nasional; dan (6) agama. Di luar urusan-urusan pemerintahan tersebut, pada prinsipnya urusan pemerintahan terpola menjadi dua bagian yakni: (1) urusan yang dapat didesentralisasikan; dan (2) urusan pemerintahan yang tidak dapat diselenggarakan secara terdesentralisasi. Urusan pemerintahan yang dapat didesentralisasikan terbagi atas: (1) urusan yang 100 persen memungkinkan didesentralisasikan yang terbagi atas: (a) menurut prakarsa sendiri; dan (b) yang diwajibkan oleh peraturan perundangundangan. Keduanya atas dasar local needs; (2) urusan yang dapat didesentralisasikan masih terdapat kemungkinan dilakukan oleh pemerintah karena berbagai hal tidak memungkinkan 100 persen didesentralisasikan. Oleh karena itu, terdapat kemungkinan sentralisasi pada urusan seperti ini sehingga dapat dilakukan melalui (a) medebewind (tugas pembantuan); (b) sentralisasi murni; dan (c) dekonsentrasi tergantung pada skala ekonomi (efisiensi), eksternalitas, lokalitas, dan catchment area. Penjelasan terhadap kriteria-kriteria dalam distribusi urusan pemerintahan yang disebutkan tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, ekternalitas (spillover) yaitu siapa kena dampak, mereka yang berwenang mengurus. Pendekatan 71 dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan dampak atau akibat yang ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan tersebut. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat lokal, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan kabupaten/kota. Bila dampaknya bersifat regional menjadi kewenangan provinsi dan bila bersifat nasional menjadi kewenangan pusat. Kedua, pemerintahan akuntabilitas yaitu pendekatan dalam dengan pertimbangan bahwa tingkat pembagian urusan pemerintahan yang menangani sesuatu bagian urusan adalah tingkat pemerintahan yang lebih langsung atau dekat dengan dampak atau akibat dari urusan yang ditangani tersebut. Dengan demikian akuntabilitas penyelenggaraan bagian urusan pemerintahan tersebut kepada masyarakat akan lebih terjamin. Ketiga, efisiensi yakni otonomi daerah harus mampu menciptakan pelayanan publik yang efisien dan mencegah high cost economy. Efisiensi dicapai melalui skala ekonomis (economic of scale) pelayanan publik. Skala ekonomis dapat dicapai melalui cakupan pelayanan yang optimal. Pendekatan ini dengan pertimbangan bahwa apabila suatu urusan dalam penanganannya dipastikan akan lebih berdaya guna dan berhasil guna dilaksanakan oleh suatu strata pemerintahan, maka strata pemerintahan itulah yang lebih tepat untuk menangani urusan pemerintahan dimaksud. Daya guna dan hasil guna dapat diukur dari proses yang lebih cepat, tepat, dan murah, serta hasil dan manfaatnya lebih besar, luas, dan banyak dengan resiko yang minimal. Berkaitan dengan sistematika distribusi fungsi atau wewenang dalam rangka desentralisasi dapat dilacak dalam tulisan Diana Conyers (1986:88-100) yang berjudul Decentralization and Development: a Framework for Analysis. dalam tulisan tersebut Conyers mengungkap beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam distribusi fungsi atau kewenangan. 72 Pertimbangan-pertimbangan dalam distribusi fungsi atau kewenangan menurut Conyers tersebut, meliputi: 1. The functional activities over which authority is transferred; 2. The type of authority or powers which are transferred with respect of each functional activity; 3. The levels or areas to which such authority is transferred; 4. The individual, organisation or agency to which authority is transferred at each level; dan 5. The legal or administrative means by which authority is transferred. Pemahaman lebih lengkap tentang distribusi fungsi atau wewenang dapat dilihat penjelasan Muluk (2007:19) sebagaimana diuraikan berikut ini. Pertama, menyangkut aktivitas fungsional apa yang perlu di desentralisasi. Komponen ini meliputi keseluruhan fungsi, kecuali fungsi yang penting bagi kesatuan nasional, beberapa kategori fungsi, atau fungsi tunggal saja. Dalam hal ini, tampaknya distribusi fungsi yang terjadi di Indonesia menurut UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah mengikuti cara yang pertama, yakni menyangkut keseluruhan fungsi, kecuali aktivitas yang penting bagi kesatuan nasional. Fungsi atau wewenang yang dikecualikan tersebut seperti yang tertera dalam UU No. 32 Tahun 2004 pasal 10 ayat 3, yaitu: (1) politik luar negeri; (2) pertahanan; (3) keamanan; (4) yustisia; (5) moneter dan fiskal nasional; dan (6) agama. Kedua, tentang kekuasaan apa saja yang perlu dilekatkan dalam aktivitas atau fungsi yang didesentralisasi. Dalam hal ini ada tiga kategori kekuasan yakni: (1) kekuasaan dalam pembuatan kebijakan yang dibagi lagi dalam kekuasaan mengatur (policy making) dan mengurus (policy executing); (2) kekuasaan keuangan yang berkaitan dengan penerimaan dan pengeluaran; dan (3) 73 kekuasaan dalam bidang kepegawaian yang berhubungan dengan kekuasaan menentukan prasyarat, penetapan, penunjukan, pemindahan, pengawasan dan penegakan disiplin. Ketiga, menyangkut desentralisasi kekuasaan pada tingkat tertentu yang mencakup tiga tingkatan, yakni: (1) pada tingkatan wilayah (regions), provinsi atau negara bagian; (2) tingkatan distrik atau kabupaten dan kota; (3) tingkatan desa atau masyarakat. Kebijakan desentraliisasi di Indonesia yang mengacu pada UU No. 32 Tahun 2004, kelihatannya tidak lagi merujuk pada istilah tingkatan karena hubungan antara provinsi dan daerah lainnya kini bersifat coordinate dan independent. Keempat, terkait dengan kepada siapa distribusi fungsi diberikan, ada dua pilihan mendistribusikan kekuasaan, yakni: (1) kepada badan fungsional khusus yang biasanya menjalankan fungsi tertentu saja (specialized functional agency); dan (2) kepada badan berbasis wilayah yang menjalankan beragam fungsi (multi-purpose territorially agency). Di Indonesia kebijakan desentralisasi yang dianut mengacu pada distribusi fungsi jenis yang kedua, yaitu multi-purpose territorially agency ketika daerah menjalankan banyak fungsi dan berupa badan yang berbasis teritorial. Kelima, menyangkut cara fungsi atau wewenang di desentralisasikan. Dalam hal bagaimana cara fungsi atau wewenang di desentralisasikan, terdapat dua cara yakni: (1) legislasi; dan (2) delegasi administrasi. Cara pertama yaitu legislasi dibagi menjadi constitutional legislation berlaku di negara federal seperti Amerika Serikat dan ordinary legislation berlaku di negara kesatuan seperti Indonesia. Ilustrasi alur pembagian dan distribusi urusan-urusan pemerintahan sebagaimana diatur dalam UU No 32 Tahun 2004 dan PP No 38 Tahun 2007 dapat disimak pada Gambar 2 di bagian berikut ini. 74 Gambar 2. Bagan Pembagian Urusan-urusan Pemerintahan Sumber: Hoessein, et al (2005:71) 2.4. Manajemen Pemerintahan Daerah Memahami berbagai isu dalam menajemen pemerintahan daerah menjadi sangat penting dalam mengkaji lebih dalam tentang inovasi yang dipraktekkan oleh suatu pemerintahan daerah. Douglas J. Watson dan Wendy L. Hasset (2003) menyunting sebuah buku berjudul Local Government Management: Current Issues and Best Practices. Dalam buku ini, Watson dan Hasset menampilkan beragam tulisan dari banyak ahli administrasi publik. Beragam tulisan tersebut diklasifikasi dalam beberapa bagian yang merupakan aspek penting yang harus dipahami dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. 75 Berbagai aspek yang dimaksud meliputi: (1) hubungan antara pejabat yang dipilih (elected officials) dan pegawai profesional (professional staff); (2) manajemen keuangan dan anggaran (budgeting and financial management); (3) manajemen aparatur publik (public personnel management); (4) pemerintahan daerah yang lebih produktif dan responsif (local government more productive and responsive); dan (5) partisipasi warga dalam pemerintahan daerah (citizen involvement for participation). Bagian pertama berkaitan dengan aspek hubungan pejabat yang dipilih (elected officials) dan pegawai profesional (proffesional staff) dalam pemerintahan daerah, pada dasarnya masih kental dengan pemikiran dikotomi antara politik-administrasi (policy-administration dichotomy) lihat Watson dan Hassett (2003:1-3). Dalam konteks pemerintahan daerah di Indonesia, yang disebut sebagai elected officials adalah anggota DPRD dan Kepala Daerah dan professional staff adalah para pegawai yang diseleksi (selected staff) yang mengisi organisasi perangkat daerah (local bureaucracy). Pada bagian pertama ini terdapat beragam pandangan terhadap relasi pejabat yang dipilih dan pegawai profesional dalam pemerintahan daerah. Karl A. Bosworth’s (1958) dengan tegas menyatakan bahwa ”the manager is a politician”, karena peran utama yang dimainkannya sebagai pemimpin politik dan pemimpin masyarakat. Juga memiliki pengaruh kuat dalam masalah-masalah anggaran, keputusan-keputusan aparatur, dan kemampuan menasehati badan perwakilan kota (city councils). Richard J. Stillman II (1977) berpandangan lain, managers tidak dapat secara total berperan sebagai politician atau professional, karena mereka harus hati-hati dan secara terus menerus berada diantara dua kutub (poles of politics and expertise). Nelson Wikstrom (1979) menganggap council-manager mayors hanya sebagai gelar-jabatan saja, perannya masih 76 terbatasi dan seringkali hanya simbol seremonial sebagai representasi pemerintahan daerah. Untuk itu peran mayors sebagai policy leadership and direction, juga memiliki rasa tanggung jawab politik yang kuat dalam mengatasi masalah-masalah sosial dan isu-isu kontroversial yang dihadapi masyarakat. Sementara itu, James H. Svara (1985) menyatakan bahwa konsep tradisional mengenai dikotomi politik-administrasi tidak cukup untuk menjelaskan adanya hubungan kompleks antara elected officials dan city-managers. Sehingga peran yang dimainkan oleh keduanya harus digambarkan dalam empat dimensi proses pemerintahan yakni mission, policy, administration, dan management. James M. Banovetz (1994), meramalkan bahwa city managers kembali memiliki peran manajerial lebih kuat dan mengurangi peran kebijakan yang didasarkan pada perubahan kenyataan politik. Robert S. Montjoy dan Douglas J. Watson (1995) setelah mereviu beberapa tulisan yang terbaru menyimpulkan adanya dua dikotomi yaitu the policy-administration dichotomy dan the politics-administation dichotomy. Dalam literatur banyak dicatat peran city-managers dalam pembuatan kebijakan. Padahal peran yang sama pentingnya bagi city-managers adalah membatasi merasuknya politik tertentu dalam keputusan-keputusan manajemen pemerintahan daerah. Pelayanan city-managers sebagai gatekeeper terhadap kepala-kepala departemen/dinas yang melakukan pekerjaan atas dasar praktek profesionalisme yang baik dan tidak merespon permintaan politik dari elected officials. Terakhir dari James H. Svara (1999) menyimpulkan bahwa citymanagers harus memiliki peran sebagai penggagas sekaligus pelaksananya (activist-inisiator), sementara itu elected officials lebih berperan sebagai ombudsmen, current problem solvers, dan overseers of the manager’s work. Bagian penting kedua dalam manajemen pemerintahan daerah adalah manajemen keuangan dan anggaran (budgeting and financial management). 77 Dalam Watson dan Hassett (2003:87-89) menyatakan bahwa jika managers pemerintahan daerah tidak sukses menggunakan dan mengendalikan sumbersumber keuangan yang mereka miliki akan mengalami kegagalan. Kegagalan ini kemudian berakibat terhadap berkurangnya kepercayaan publik terhadap pemerintahan dan berdampak negatif pada elected official terhadap siapa mereka bekerja. Untuk itulah, menjadi alasan mendasar betapa manajemen keuangan menjadi penting bagi managers pemerintahan daerah. Dinyatakan pula bahwa kemampuan pemerintahan daerah menyelesaikan misinya adalah cerminan dari kualitas manajemen anggaran dan praktek manajemen keuangan lainnya. Hal ini telah banyak diamati oleh para ahli bahwa anggaran mencerminkan nilai-nilai dan pilihan kebijakan dari publik (policy choices of the public), para politisi, dan administrator publik profesional. Bagian penting ketiga dari manajemen pemerintahan daerah menurut Watson dan Hassett (2003:185-187) adalah perubahan dalam manajemen aparatur publik (public personnel management). Diasumsikan bahwa pemerintahan pada semua tingkatan mengalami perubahan besar yang dipengaruhi oleh kekuatan luar yang berlangsung secara terus menerus. Misalnya, gerakan politik anti pemerintahan yang sudah berlangsung lebih dari dua dekade menimbulkan tekanan terhadap pemerintahan untuk menjadi lebih kecil dan efisien. Kemajuan teknologi telah menciptakan banyak jenis pekerjaan di sektor publik menjadi usang dan dibutuhkan sejumlah hal baru. Gerakan privatisasi menyebakan beberapa fungsi di sektor publik dialihkan ke sektor swasta. Isu-isu hukum dan konstitusi merubah manajemen aparatur publik secara drastis sepanjang lebih dari tiga dekade. Berbagai pengaruh dalam manajemen aparatur publik menciptakan banyak tantangan yang harus dihadapi oleh pemerintahan daerah, misalnya peluang yang sama bagi semua klas warga 78 masyarakat dalam dunia kerja, perlindungan kecelakaan ditempat kerja, pengaruh minuman dan obat terlarang, pelecehan seksual, dan sebagainya. Menjadikan pemerintahan daerah lebih produktif dan responsif (making local government more productive and responsive) merupakan bagian penting selanjutnya dalam manajemen pemerintahan daerah. Menurut Watson dan Hassett (2003:279-281) tuntutan agar pemerintahan daerah lebih produktif dan responsif telah berlangsung lama. Warga masyarakat menolak meningkatkan pembayaran pajaknya jika secara terus menerus permintaan pelayanan yang lebih baik tidak diwujudkan oleh pemerintahan daerah. Sementara itu, pemerintah daerah menghadapi keterbatasan fiskal yang disebabkan oleh inflasi yang sangat tinggi, berkurangnya bantuan federal, dan krisis ekonomi nasional. Sehingga para pejabat lokal harus mencari pendekatan baru (new approachs) untuk meningkatkan penyediaan pelayanan, mengurangi biaya, dan persiapan dimasa yang datang. Beberapa pendekatan baru sebagai instrumen meningkatkan efektivitas pemerintahan daerah di antaranya menurut Louise G. White (1982) adalah melalui pendekatan management by objectives. Melalui instrumen pendekatan management by objectives, White mengusulkan kepada councilors melakukan tiga hal, yakni to set long-term goals; to function effectively as group; dan to work more effectively with the administrative staff. Bagi Richard G. Higgins (1984) menyarankan pemerintah menggunakan pendekatan ”cutback management” atau ”doing more with less” melalui tiga hal yakni: mencari sumber penghasilan baru; meningkatkan produktivitas program dengan memaksimalkan sumberdaya yang tersedia (to maximize existing resources); dan secara selektif memangkas rantai layanan (across-the-board cut in services). Sementara itu, Gregory Streib (1992) memperkenalkan konsep perencanaan strategis sebagai cara efektif 79 menghadapai lingkungan yang tidak stabil. Demikian juga fungsi-fungsi manajemen pemerintahan daerah yang meliputi leadership, human resources, management skills, dan external support mengalami disassociation sehingga seringkali berjalan tidak efektif dalam proses pembuatan keputusan. Pendekatan ”total quality management (TQM)” merupakan salah satu instrumen manajemen yang dianjurkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada konsumen dan konstituen. Setelah sukses diterapkan di organisasi sektor swasta, pendekatan TQM ini diperkenalkan pada organisasi pemerintahan di akhir tahun 1980an. Menurut West, at al (1993), seperti dikutip Watson dan Hassett (2003:280) bahwa satu di antara empat council-manager cities yang disurvei telah menerapkan teknik manajemen ini. Terdapat tiga tugas utama seorang pemimpin dalam penerapan TQM, antara lain: (1) transformational, yakni tugas pemimpin untuk ”formulating and communicating new, visionary goals” dan menanamkan dalam organisasi mengenai komitmen terhadap pelanggan atau konstituen; (2) transactional, yakni tugas pemimpin untuk membangun komitmen anggota terhadap program dan kebijakan baru, baik sukarela maupun paksaan; dan (3) representational, yakni berkaitan dengan proses mendapatkan dukungan dari stakeholders utama, misalnya anggota dari the city council dan tokoh-tokoh kunci dalam masyarakat. Tawaran konsep berbeda ditemukan dalam tulisan Marlowe, at al (1994) sebagaimana dikutip oleh Watson dan Hasset (2003:281) menyatakan bahwa untuk merespon kekuatan-kekuatan perubahan dalam pemerintahan daerah dan masyarakat yang sudah bersifat nyata dan berjangka panjang, diperlukan tiga strategi yang disebut sebagai re-movement. Strategi re-movement yang dimaksud adalah gerakan reinvention, reengineering, dan restructuring. Ketiga 80 strategi re-movement diyakini mampu mengatasi ketidaktepatan desain struktur organisasi pemerintahan daerah dalam mengatasi masalah krusial masyarakat. Pelibatan dan partisipasi warga dalam pemerintahan daerah (citizen involvement for participation). Dalam Watson dan Hassett (2003:353) disebutkan bahwa pentingnya pelibatan warga untuk berpartisipasi dalam pemerintahan daerah didasari oleh asumsi-asumsi paradigma democratic governance. Salah satu asumsi dasar dalam democratic governance menyatakan bahwa individuindividu yang dipilih oleh warga sebagai pejabat politik (political office), seharusnya merepresentasikan sejumlah masalah dan kepentingan dari diperintah. Mereka yang terpilih dianggap representasi karena mereka memiliki kedekatan baik secara fisik maupun emosional. Salah satu tulisan yang sangat menarik dan relevan dengan penelitian ini adalah artikel Paul Teske dan Mark Schneider (1994), berjudul The Bureaucratic Entrepreneur: the Case of City Managers. Dalam tulisan Teske dan Schneider (1994) seperti dikutip oleh Watson dan Hassett (2003) menyebutkan bahwa pendekatan entrepreneurial innovation dan creative leadership sering muncul sebagai tekanan dari warga municipalities untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi masyarakat. Berkaitan dengan pendekatan entrepreneurial managers berhadapan dengan dua kondisi berbeda, yakni (1) kondisi internal (an internal world) yang terbatas pada kebutuhan manajemen local bureaucracy; dan (2) kondisi eksternal (a complex external world) yang berhadapan dengan lingkungan politik, hukum, dan lingkungan ekonomi dimana suatu daerah berada. Isu-isu internal biasanya terkait dengan kemampuan managers memotivasi pegawai sektor publik untuk bekerja lebih efisien. Bagi entrepreneurial managers selalu mencari perubahan, sehingga membutuhkan pegawai yang mau mengatasi kelambanan (inertia) dan menjadi lebih produktif. Isu-isu eksternal 81 berkaitan dengan kendala-kendala dan peluang-peluang ditengah perubahan lingkungan masyarakat. Juga terkait dengan kebutuhan managers berinteraksi dengan politisi lokal dan konstituen pendukung kebijakan yang baru. Hal menarik lainnya ditemukan dalam tulisan Evan M. Berman (1997) berjudul Dealing with Cynical Citizens, yang menganjurkan agar memasukkan unsur sentimen ketika membahas keterlibatan dan partisipasi warga dalam pemerintahan daerah. Berman (1997) sebagaimana dikutip oleh Watson dan Hasset (2003:355) menyarankan supaya masalah sentimental warga juga menjadi perhatian dan diminati para akademisi dan praktisi administrasi publik, terutama dalam membentuk sikap publik. Konsep tentang sentimen warga ini dapat dipahami melalui teori yang disebut sebagai teori sinisisme (theory of cynicism). Konsep sinisisme sering ditemui dalam kajian-kajian tentang trust dan social capital. Manajemen pemerintahan daerah dapat pula dipahami dari pandangan John Stewart (1995) dalam bukunya berjudul Understanding the Management of Local Government: Its Special Purposes, Conditions and Tasks. Menurut Stewart (1995) manajemen dalam pemerintahan daerah seharusnya dipahami berbeda dengan manajemen pada umumnya. Mengapa demikian, karena manajemen dalam pemerintahan daerah adalah bagian dari teori domain publik (public domain theory) yang memiliki karakterisitik dari segi tujuan (purposes), kondisi (conditions) dan tugas-tugas (tasks) tertentu. Kemudian Stewart (1995) menjelaskan bahwa manajemen dalam teori domain publik ini akan menemui resiko-resiko, baik yang disadari atau tidak disadari, jika manajemen dalam domain publik menggunakan konsep-konsep yang ”tidak jelas” yang berasal dari luar teori domain publik tersebut. Namun tidak berarti bahwa manajemen dalam konteks ini tidak dapat belajar manajemen 82 dari sektor swasta, ataupun sebaliknya. Apa yang tidak dapat dialihkan adalah model manajemen yang berkaitan dengan tujuan (purposes), kondisi (conditions) dan tugas-tugas (tasks) tertentu tersebut. Pemahaman terhadap karakteristik tertentu dari aspek tujuan (purposes), kondisi (conditions) dan tugas-tugas (tasks) dalam manajemen pemerintahan daerah tercerminkan oleh beberapa asumsi antara lain: (1) pemerintahan daerah sebagai institusi politik (political institution); (2) pemerintahan daerah selalu dilandasi oleh pilihan lokal (local choice); (3) organisasi pemerintahan daerah tidak bertujuan tunggal tapi multi-purposes, sehingga dalam inti manajemennya menganut multi-valued choice; (4) legitimasi otoritas lokal didapat melalui election, karena proses election merupakan metode rekrutmen dalam institusi kekuasaan dan proses politik yang diikuti oleh partai-partai politik. Stewart (1995) juga menjelaskan tentang adanya kondisi dan tugas-tugas tertentu yang harus dipahami dalam manajemen pemerintahan daerah. Karakteristik dari kondisi yang dimaksud bahwa pada dasarnya otoritas lokal memiliki area (wilayah), yang mana menunjukkan nama dan identitasnya, area tempat melaksanakan fungsi-fungsinya secara fokus, area memberi batasan agar tercapai efektivitas dan efisiensi. Otoritas lokal terkait dengan lingkungan eksternal, melaksanakan tugas dalam organisasi yang terbuka, sehingga manajemen bersifat multi-kontak. Tugas pokok otoritas lokal adalah menjalankan kekuasaan pemerintahan publik, sehingga harus memiliki akuntabilitas, yang biasanya dinilai memalui prosedur tertentu yang disebut elections. Otoritas lokal diberi tugas dan kewajiban oleh undang-undang (statutory) dan kekuasaaan discretionary. Dalam fungsinya sebagai penyedia pelayanan publik, pemerintah daerah tidak hanya dituntut agar memenuhi prinsip ekonomis, efektif, dan efisien (3Es) tetapi prinsip equity dan equality harus pula diperhatikan. 83 2.5. Birokrasi Pemerintahan Daerah Memahami eksistensi birokrasi dalam pemerintahan daerah, dapat dilihat dari beragam perspektif dan pendekatan. Pemahaman terhadap eksistensi birokrasi pemerintahan daerah ini terasa penting, mengingat posisi dan peran birokrasi yang sangat vital dan strategis dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Termasuk dalam mendorong penyelenggaraan pemerintahan daerah yang inovatif. Oleh karena itu, pada bagian ini disajikan beberapa pandangan dari para pemikir administrasi publik terkait dengan perspektif dan pendekatan dalam memahami birokrasi pemerintahan daerah tersebut. Selain itu, juga akan diungkapkan konsep birokrasi pemerintahan daerah yang lazim digunakan dalam sistem pemerintahan daerah di Indonesia yakni Perangkat Daerah. Dalam paradigma pemikiran tentang bagaimana birokrasi lahir, para ahli administrasi publik berpendapat bahwa pada umumnya terdapat dua mainstream pemikiran (Setiono, 2002:23). Kedua mainstream pemikiran tentang eksistensi birokrasi tersebut yakni pertama, birokrasi lahir sebagai alat kekuasaan. Mainstream pertama ini menyebutkan penguasa yang kuat harus dilayani oleh para pembantu (aparat) yang cerdas dan dapat dipercaya (loyal). Konsep pemikiran ini menyarankan bahwa apabila ingin kekuasaannya berjalan efektif, maka harus memiliki organ aparatur yang solid, kuat, profesional, dan kokoh. Birokrasi dibentuk sebagai sarana bagi penguasa untuk mengimplementasikan kekuasaan dan kepentingannya dalam mengatur masyarakat. Kedua, birokrasi lahir dan dibentuk karena kebutuhan masyarakat untuk dilayani. Mainstream kedua ini menyebutkan bahwa birokrasi itu ada karena memang rakyat menghendaki eksistensi mereka untuk membantu mencapai tujuan-tujuan tertentu yang telah ditetapkan bersama. Birokrasi lahir karena 84 adanya kebutuhan lembaga (institutions) yang bertugas menyelenggarakan pelayanan publik (public services). Kebutuhan terhadap pelayanan publik yang dijalankan birokrasi, berjalan seiring dengan kebutuhan kolektif (collective needs) anggota masyarakat terhadap jenis pelayanan tertentu. Dengan demikian masyarakat perkotaan (urban society), kebutuhan kolektifnya berbeda dengan masyarakat pedesaan (rural society). Sehingga jenis-jenis organ birokrasi yang melayani masyarakat desa tentu saja berbeda dengan masyarakat perkotaan. Kedua mainstream tersebut dalam kenyataan tidaklah berjalan secara murni. Pada setiap negara pembentukan institusi-institusi birokrasi biasanya merupakan hasil perpaduan antara kebutuhan penguasa sekaligus kebutuhan masyarakat. Hanya sedikit institusi birokrasi lahir karena kebutuahn penguasa saja atau tuntutan masyarakat saja. Eksistensi birokrasi pemerintahan daerah sebagai obyek kajian, dapat pula dilihat dari perspektif teoritik mengenai birokrasi. Dalam perspektif teori birokrasi pada umumnya di awali dengan mereviu prinsip-prinsip birokrasi Max Weber (1922). Prinsip-prinsip birokrasi Weber yang identik dengan teori birokrasi klasik ini adalah salah satu teori utama yang berpengaruh terhadap semua organ birokrasi di hampir setiap negara saat ini. Gagasan-gagasan Weber mengenai birokrasi rasional dianut oleh hampir sebagian besar pemerintahan, baik yang demokratis maupun otoriter. Birokrasi rasional adalah sebuah konsepsi birokrasi yang muncul atas dasar kaidah-kaidah otoritas hukum, bukan karena sebab lain, seperti otoritas tradisional ataupun otoritas kharismatik. Oleh karena itu, Weber menyusun lima kayakinan dasar agar tercipta otoritas hukum yang menjadi dasar adanya birokrasi rasional. Kelima keyakinan dasar otoritas hukum Weber seperti dikutip oleh Albrow (2004:42) adalah sebagai berikut: 85 1. Undang-undang (code) dapat diciptakan dan menuntut kepatuhan dari para anggota organisasi 2. Hukum adalah sistem aturan yang abstrak yang diterapkan pada kasus tertentu, sedangkan administrasi mengurus kepentingan organisasi yang ada dalam batas-batas hukum. 3. Orang yang menjalankan otoritas itu harus mentaati tatanan inpersonal (memisahkan kepentingan tugas dan pribadi). 4. Orang menaati hukum adalah karena mereka sebagai anggota organisasi bukan karena sebab lain. 5. Kepatuhan seharusnya tidak ditujukan pada individu yang memegang otoritas, tetapi kepada tatanan hukum impersonal yang telah memberikan wewenang kepada orang itu. Berdasarkan kelima konsepsi keabsahan birokrasi itu, selanjutnya Weber menyusun sebuah model birokrasi ideal yang berisi ciri-ciri khusus yaitu hirarki kewenangan yang jelas, pembagian kerja atas dasar spesialisasi fungsional, sistem pengaturan hak dan kewajiban pada pejabat, hubungan pribadi yang bersifat impersonal, dan seleksi pegawai atas dasar kompetensi teknis. Menurut Zauhar (2005), karakterisitik birokrasi legal rasional inilah yang dimaksudkan untuk mencapai dan menerapkan nilai-nilai yang dianggap baik. Birokrasi yang mempunyai ciri-ciri di atas adalah birokrasi yang dapat meningkatkan efisiensi organisasi, karena itu dinamakan birorasionalitas dan biroefisiensi. Sedangkan yang lain, yang tidak dapat menimbulkan efisiensi alias pemborosan disebut sebagai biropatologi. Menurut Albrow (2004:59) dan Setiono (2002:46) walaupun teori birokrasi rasional Weber ini menjadi salah satu referensi utama teori birokrasi, namun beberapa bagian pemikiran tersebut mendapat kritikan yang cukup mendasar 86 dari beberapa pihak. Beberapa bagian pemikiran birokrasi Weber yang dikritik dan pengkritiknya, antara lain (1) struktur yang berjenjang, dikritik oleh Robert K. Merton (1940) dan Reinhard Bendix (1940); (2) adanya pemusatan perhatian yang spesifik pada spesialisasi unit, dikritik oleh Robert K. Merton (1940) dan Philip Selznick (1949); (3) bentuk birokrasi yang mirip militer, dikritik oleh Carl Friedrich (1940); dan (4) penekanan pada aspek legalitas, mendapat kritikan dari Rudolf Smed (1928). Terhadap berbagai kritikan atas kelemahan dalam konsep dan praktek birokrasi Weber tersebut, Zauhar (2005) mengusulkan pemikiran-pemikiran alternatif. Bahwa diperlukan organisasi di mana setiap orang bertanggung jawab atas keberhasilan keseluruhan (the whole). Untuk itu, pemisahan orang berdasar fungsi secara apriori harus dihapuskan. Hubungan antaranggota lebih didasarkan pada hakekat permasalahan ketimbang struktur organisasi, dan kerangka kerja lebih didasarkan pada kesepakatan terbuka ketimbang pada hirarki dan otoritas. Ini semua merupakan ciri dasar organisasi pasca-birokrasi yang memandang setiap anggota organisasi sebagai manusia yang utuh, dan karenanya dianggap lebih cocok bagi kebanyakan negara sedang berkembang. Birokrasi dapat juga dilihat dari perspektif peran dan fungsi spesifik birokrasi dalam sistem politik pemerintahan. Menurut Setiono (2002:59) bahwa peran dan fungsi spesifik birokrasi dalam sistem politik pemerintahan dapat dilihat dalam beberapa aspek, meliputi: petama, birokrasi berperan dalam proses input. Artinya birokrasi dapat berperan memberikan usulan dan pendapat (menyampaikan aspirasi) kepada lembaga legislatif (DPR dan DPRD) untuk diproses menjadi sebuah kebijakan (policy) atau peraturan (regulation). Dalam proses ini birokrasi berperan seperti interest group dan pressure group. 87 Kedua, birokrasi berperan dalam proses legislatif. Birokrasi memiliki berbagai aset informasi yang sangat dibutuhkan dalam pengambilan keputusan pada lembaga legislatif, maka institusi birokrasi yang terkait dengan suatu rancangan keputusan biasanya dipanggil untuk memberikan pendapat sebelum kebijakan dan peraturan tersebut ditetapkan. Ketiga, birokrasi berperan sebagai interpreter (penerjemah) produk legislatif. Birokrasi melakukan penafsiran, penjabaran, dan penjelasan atas sebuah kebijakan dan peraturan yang telah ditetapkan. Peran ini sangat signifikan mempengaruhi implementasi kebijakan yang ditetapkan oleh insititusi legislatif. Birokrasi membuat tafsiran dan perincian kebijakan secara teknis, karena apa yang dihasilkan oleh institusi legislatif masih bersifat global. Keempat, peran spesifik terakhir birokrasi adalah birokrasi bertindak sebagai eksekutor dari sebuah keputusan politik. Agar keputusan politik yang dikeluarkan oleh lembaga legislatif dapat berjalan efektif di tengah masyarakat, maka birokrasi bertugas mengimplementasikan keputusan-keputusan tersebut. Setelah memahami paradigma pemikiran mengenai mengapa birokrasi itu lahir, teori dan konsep awal birokrasi, peran dan fungsi spesifik birokrasi dalam sistem politik pemerintahan, maka selanjutnya disajikan teori dan konsep yang menjelaskan apa, bagaimana, dan mengapa birokrasi itu bekerja dalam sebuah sistem pemerintah daerah. Bagaimana peran dan fungsi birokrasi yang begitu strategis dijalankan dalam suatu sistem pemerintahan (daerah)? Jawaban atas pertanyaan ini, salah satunya dapat dimengerti dengan memahami birokrasi dari perspektif organisasi. Menurut James Q. Wilson (1989) dalam bukunya berjudul: Bureaucracy: What Government Agencies Do and Why They Do It, bahwa melalui perspektif organisasi, maka birokrasi (bureaucracy) dapat dianalisis dalam tiga tingkatan. 88 Ketiga tingkatan dalam birokrasi pemerintahan tersebut, yaitu (1) tingkatan operasional (operators level); (2) tingkatan manajerial (managers level); dan (3) tingkatan eksekutif (executives level). Ketiga tingkatan birokrasi pemerintahan tersebut dijelaskan oleh Wilson (1989 :27) secara berurutan, bahwa menganalisis birokrasi pada tingkatan operasional (operators level or rank-and-file employees) adalah memahami budaya birokrasi dari sudut pandang apa tindakan dan mengapa tindakan tersebut dilakukan oleh para “operator” (street level bureaucracy). Dalam analisis ini disebutkan terdapat alasan-alasan yang melatari tindakan yang diambil oleh para pegawai pada tingkatan ini. Alasan-alasan yang melatari tindakan yang dimaksud meliputi terkait dengan tujuan formal organisasi, situasi yang dihadapi (masalah lingkungan), pengalaman yang pernah dilalui, kepercayaan individu yang dianut, harapan dari kolega, kepentingan dimana organisasi tersebut berada, dan alasan pendirian suatu organisasi. Kombinasi dari alasan (faktorfaktor) itulah yang membentuk budaya organisasi yang membedakan operator dalam melihat dan bereaksi terhadap dunia birokrasi. Budaya organisasi ini pula yang memberikan otoritas diskresi yang dimiliki oleh para operator. Analisis birokrasi pemerintahan pada tingkatan manajerial (managers level) berbeda dengan analisis pada tingkatan operasional. Pada tingkatan manajerial, para manajer bertugas untuk mengalokasikan seluruh sumber daya yang dimiliki organisasi, mengarahkan para pegawai, dan berusaha mencapai tujuan organisasi. Budaya manajerial terbentuk oleh sejauh mana mereka mengatasi hambatan-hambatan dalam menjalankan tugasnya. Budaya manajerial tidak dibentuk oleh keharusan dalam bertindak secara rutin sepanjang hari sebagaimana tindakan para operator. Lalu bagaimana cara para manajer mengatasi hambatan-hambatan dalam menjalankan tugasnya? Hal ini sangat 89 dipengaruhi tergantung pada jenis organisasi (production, procedural, craft, and coping organizations) di mana para manajer bekerja. Menurut Wilson (1989:28) analisis pada tingkatan eksekutif (executives level) birokrasi pemerintahan, para pejabat organisasi yang ada pada tingkatan eksekutif seharusnya memiliki tanggung jawab terhadap organisasinya secara keseluruhan. Pejabat yang ada pada tingkatan eksekutif memiliki otonomi dan kewenangan untuk selalu memperhatikan jaminan terhadap posisi dan jabatan politik yang mereka miliki. Melakukan pengawasan terhadap wilayah kerjanya. Sehingga pejabat pada tingkatan eksekutif pada dasarnya memiliki tujuan ganda yakni menjaga organisasi agar tetap eksis dan selalu menjamin posisi dan jabatan yang dipegangnya. Untuk itu, pejabat eksekutif selalu mencoba dan melakukan berbagai strategi dan menganjurkan untuk melakukan inovasi. Hal menarik selain analisis birokrasi pemerintahan dalam tiga tingkatan sebagaimana diuraikan adalah adanya tipologi organisasi pemerintahan yang terbagi empat kelompok. Empat kelompok tipologi organisasi pemerintahan menurut Wilson (1989:158), yakni (1) Production organizations; (2) Procedural organizations; (3) Craft organizations; dan (4) Coping organizations. Organisasi pemerintahan yang tergolong kelompok tipologi pertama production organizations adalah organisasi pemerintahan yang memiliki ciri-ciri measurable processes and visible or understandable outputs. Di mana kinerja pada proses kerjanya jelas terukur dan memiliki kinerja hasil (output) yang jelas dan terukur pula. Contoh tipe organisasi ini adalah organisasi perbankan dan Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah. Organisasi pemerintahan yang tergolong kelompok tipologi kedua procedural organizations adalah organisasi pemerintahan yang memiliki ciri-ciri measurable processes but they have no visible or easily measurable outputs, 90 yakni organisasi di mana kinerja prosesnya dapat terukur tetapi kinerja outpunya tidak mudah diukur. Organisasi pemerintahan yang termasuk tipe ini misalnya organisasi TNI dan organisasi kepolisian. Tipe organisasi pemerintahan yang ketiga adalah craft organization, yakni organisasi pemerintahan yang memiliki ciri-ciri kinerja prosesnya yang jelas dan terukur, tetapi outpunya tidak jelas dan juga tidak terukur. Contoh organisasi pemerintahan yang termasuk tipe organisasi ini adalah organisasi perguruan tinggi (universitas) dan organisasi sekolah. Tipologi organisasi pemerintahan yang terakhir adalah coping organizations, yakni tipe organisasi yang memiliki ciri-ciri kinerja prosesnya tidak jelas dan sulit untuk diukur tetapi hasil dan dampaknya jelas serta terukur. Organisasi yang termasuk dalam kelompok tipe organisasi ini adalah organisasi intelejen. Perspektif yang berbeda dalam memahami birokrasi pemerintahan daerah dikemukakan oleh M. A. Muttalib dan Mohd. Akbar Ali Khan (1982). Dalam bukunya berjudul: Theory of Local Government, kedua pakar ini mengemukakan pandangannya tentang birokrasi pemerintahan daerah dalam perspektif local bureaucracy. Menurut Muthalib dan Ali Khan (1982:204) dikebanyakan negara, termasuk juga beberapa negara maju, beranggapan bahwa local bureaucracy tidak terlalu penting, bahkan cenderung diabaikan. Padahal peran local bureaucracy sangat strategis dalam pencapaian tujuan utama dari pemerintahan daerah, khususnya dalam memberikan pelayanan yang efektif dan efisien. Menurut Muthalib dan Ali Khan (1982), isu-isu yang terkait dengan local bureaucracy menjadi faktor krusial dalam upaya perbaikan performa pemerintahan daerah. Oleh sebab itu tuntutan agenda reformasi local bureaucracy dalam pemerintahan daerah semakin meningkat. Tuntutan agenda 91 reformasi local bureaucracy ini terutama isu-isu yang berhubungan dengan pelayanan publik di tingkat lokal, yang disebut dengan local civil service. Hal ini yang menyebabkan posisi pegawai sipil lokal (local civil servants) menjadi sangat vital. Dengan kata lain local civil servants dapat diibaratkan sebagai spinal cord dari keseluruhan organisasi. Berkaitan dengan pemahaman local civil service tersebut, Muthalib dan Ali Khan (1982) memandang bahwa terdapat beberapa isu krusial dalam perbaikan performa local bureaucracy. Namun demikian, dalam konteks penelitian ini hanya mengungkap isu-isu yang menyangkut: (1) status and image public; (2) pattern of local civil service; (3) elite of local bureaucracy; dan (4) bureaucracy and democracy. Isu tentang status and image public dari pelayanan sipil lokal menurut Muthalib dan Ali Khan (1982:205) dapat dilihat dari tiga dimensi, yakni pertama, dimensi power yaitu masalah yang berhubungan dengan kurangnya kebebasan operasional dan terbatasnya kekuasan dalam pemberian pelayanan. Solusinya adalah menyamakan status pegawai tingkat lokal dan nasional, miningkatkan status hukum, serta memberi kebebasan seperti yang dilakukan di Perancis, Mesir dan India. Kedua, dimensi money yakni berhubungan dengan masalah ketidakcukupan anggaran (inadequated financial). Pendapatan pemerintah daerah tidak memadai dan anggaran perdepartemen rendah. Solusi yang ditawarkan adalah pemerintah pusat harus ikut terlibat seperti yang dialami di Perancis, India dan Mesir. Dimensi ketiga menyangkut service yaitu berhubungan dengan masalah terjadinya kompetisi antar sektor publik, semipublik, dan swasta. Daya tarik yang rendah, gaji pegawai yang kecil, dan jalur karir yang terbatas. Masalah-masalah tersebut dapat diatasi dengan melakukan standarisasi inter-local government, 92 melakukan menyamaan eselonering, kegiatan pelatihan pegawai, penyediaan tenaga teknis dan memperbanyak fasilitas pelatihan, serta memanfaatkan kemajuan teknologi Isu mengenai pola pelayanan sipil daerah (pattern of local civil service) menurut Muthalib dan Ali Khan (1982:206) terbagi dua pendekatan yaitu pola pendekatan legalitas hukum dan pola pendekatan profesionalisme. Pola pendekatan legalitas hukum ini terdiri tiga jenis yaitu (1) berdasarkan UndangUndang Dasar seperti di Perancis, Jepang, Srilanka, dan Amerika Serikat; (2) berdasarkan hukum sekunder seperti di Inggris dan Amerika Serikat; dan (3) melakukan Joint Responsibility Regulation seperti di Mesir dan India. Sementara itu pola pendekatan profesionalisme meliputi tiga jenis pula yaitu (1) berdasarkan klasifikasi keahlian profesionalisme seperti Inggris; (2) melakukan standarisasi pelayanan, kompetensi dan esprit de corp; dan (3) pembentukan komite atau komisi kepegawaian seperti di Amerika Serikat. Isu berikutnya adalah isu elite of local bureaucracy dalam pelayanan sipil daerah. Menurut Muthalib dan Ali Khan (1982:216), bahwa isu elite of local bureaucracy terdiri atas dua pola yang dianut. Pola pertama adalah pola eksekutif lokal yang independen dari pengaruh politik dimana elit birokrasi lokal diangkat dan dikontrol oleh pemerintah pusat. Contoh yang menerapkan pola pertama ini adalah di Perancis dan India dengan model Chief Executive Officer (CEO). Pola kedua adalah pola eksekutif lokal yang merupakan elit birokrasi yang dipilih oleh local council. Contoh penerapan pola kedua ini dapat dilihat di Amerika Serikat, Jerman, Inggris dengan City Manager dan Chief Executive. Hubungan antara bureaucracy dan democracy menjadi isu terakhir dalam perspektif local bureaucracy ini. Gagasan mengenai hubungan antara birokrasi dan demokrasi, menurut Muthalib dan Ali Khan (1982:224) tiada lain adalah 93 menyangkut hubungan antara pejabat yang dipilih (elected officials) dan pejabat karir (permanent functionaries). Pola hubungan antara pejabat politik yang dipilih dengan pejabat karir profesional yang diseleksi saling terkait dengan tradisi demokrasi yang dianut oleh suatu negara. Bagi negara-negara yang menganut tradisi demokrasi yang kuat atau memiliki legislatif lokal yang kuat (strong local council) dan menjadi dominan terhadap proses administrasi, maka akan memperlemah birokrasi lokal (weak local bureaucracy). Akibatnya kinerja birokrasi menjadi lambat. Untuk mengatasi agar terjadi keseimbangan antara birokrasi dan demokrasi pada pola ini, disarankan memperkuat kepemimpinan administrasi dan menyatukan pintu pertanggungjawaban eksekutif kepada dewan. Negara-negara yang menganut tradisi demokrasi yang kuat ini adalah Amerika Serikat, Swedia, dan Inggris. Pada negara-negara yang menganut tradisi demokrasi yang lemah (weak local council), biokrasi menjadi lebih dominan dan badan legislatif lemah sehingga mengakibatkan kompetisi menjadi tidak sehat dan merusak nilai-nilai demokrasi. Dampak positif pola tradisi demokrasi yang lemah ini karena menyebabkan kinerja birokrasi menjadi tinggi. Namun, sisi negatifnya karena ketergantungan pada pemerintah pusat sangat tinggi dan kuat dalam mengontrol birokrasi. India adalah salah satu negara penganut tradisi demokrasi yang lemah. Dalam perspektif anatomi organisasi menurut Said (2007:91), bahwa birokrasi pemerintahan daerah memiliki unsur-unsur pokok yang mana setiap unsur pokok tersebut memiliki fungsi yang khas. Unsur-unsur pokok yang dimaksud meliputi: (1) struktur organisasi; (2) visi dan misi organisasi; (3) personil atau pejabat organisasi; (4) fasilitas pendukung; dan (5) kepemimpinan birokrasi. 94 Pada Gambar 3 mencerminkan anatomi birokrasi yang menunjukkan bahwa pada organisasi perangkat daerah juga memiliki struktur organisasi yang berfungsi mengejawantahkan tujuan pemerintahan daerah. Pemerintahan daerah juga memiliki visi dan misi yang menjadi rangkaian tujuan yang lebih konkrit yang akan dicapai dalam jangka waktu tertentu. Personel atau pegawai yang mengisi ini disebut aparatur organisasi. Mereka inilah yang memiliki peran vital dalam menentukan apakah visi dan misi organisasi bisa terwujud. Oleh karena itu aparatur yang mengisi bangunan organisasi itu harus melalui sebuah proses seleksi (selected). Pemilihan dan seleksi dilakukan untuk menjamin kualitas aparatur yang sesuai dengan kualifikasi-kualifikasi yang dibutuhkan dalam mewujudkan visi dan misi organisasi. Gambar 3. Tingkatan Unsur-Unsur Pokok (Anatomi) Birokrasi Sumber: Rohdewohld dikutip oleh Said (2007:92) Selanjutnya menyediakan fasilitas pendukung yang dibutuhkan oleh para aparatur agar membantu atau memudahkan mereka dalam menjalankan tugas 95 kerjanya secara ril. Fasilitas pendukung yang dimaksud di antaranya adalah anggaran, bahan dan alat, insentif, serta fasilitas lainnya yang dibutuhkan. Tahapan yang terakhir, namun tak kalah pentingnya dan sangat vital adalah unsur leadership. Kepemimpinan inilah yang akan mengorganisir bagaimana kinerja secara keseluruhan bisa selaras dan mendukung tercapainya tujuan birokrasi pemerintahan. Pemimpin harus mengarahkan para aparatur agar dapat melakukan tugas dan fungsinya secara efektif, efisien dan ekonomis, serta terarah. Tanpa kepemimpinan bisa jadi yang tercipta ialah kerja yang saling bertabrakan atau mungkin tidak saling berhubungan satu sama lain atau malah saling menghambat satu dengan yang lainnya. Pemaparan mengenai anatomi birokrasi akhirnya disimpulkan oleh Said (2007:134), bahwa birokrasi tak akan bisa sempurna sehingga birokrasi harus selalu dibenahi. Birokrasi selalu mengikuti dinamika kehidupan manusia yang melingkupinya dan merespon tuntutan masyarakat yang dilayaninya. Birokrasi harus secara kontinyu menyelaraskan dirinya sesuai dengan konteks dinamika disekelilingnya dan tak boleh puas dalam keangkuhan hidup di atas menara gading. Birokrasi bukanlah institusi absolut yang sakral dan tak boleh diperbaharui dan disempurnakan. Birokrasi ada bukan untuk melayani dirinya sendiri. Dengan kata lain, bahwa birokrasi harus fleksibel dan kontekstual sesuai dengan perkembangan dan tuntutan realitas yang dhadapinya. Sistem pemerintahan daerah di Indonesia memiliki bentuk pemerintah daerah seragam dan cenderung demikian sepanjang proses pertumbuhannya. Jika ada perubahan bentuk pemerintah daerah, hal itu terjadi karena fase pemerintahan daerahnya bukan karena kemajemukan dalam fase yang sama. Simak misalnya dalam masa UU No. 22 Tahun 1999, terdapat keseragaman 96 bentuk pemerintah daerah di Indonesia, baik untuk daerah provinsi maupun daerah kabupaten/kota. Demikian halnya, dalam UU mengenai pemerintahan daerah sebelum UU No. 22 Tahun 1999, pemerintah daerah (local authority) sebagai organ pelaksana pemerintahan di daerah selalu tepat asas dengan mencakup DPRD (council) dan Kepala Daerah (mayor). Namun, pada UU No. 22 Tahun 1999, istilah pemerintah daerah hanya diperuntukkan bagi Kepala Daerah beserta perangkat daerah dan tidak mencakup DPRD yang disebut sebagai Badan Legislatif Daerah. Kondisi ini disebut sebagai tidak taat asas, karena hanya DPR yang mempunyai fungsi legislatif dan menjadi bagian dari Badan Legislatif bersama Presiden dalam tata hukum kita. Padahal DPRD sebenarnya merupakan bagian dari Badan Eksekutif daerah yang memiliki fungsi pengaturan, penganggaran, dan pengawasan. Untuk mengakomodasi persoalan tersebut di atas, para pembuat UU No. 32 Tahun 2004 menghilangkan penggunaan istilah badan legislatif daerah bagi DPRD dan badan eksekutif daerah bagi Kepala Daerah dan perangkat daerah. Kini DPRD dan pemerintah daerah disebut sebagai penyelenggara pemerintahan daerah sebagai terjemahan dari local government atau local authority dalam khazanah Inggris dan Amerika Serikat. Dalam kerangka ini, maka organ pemerintah daerah kabupaten/kota terdiri atas DPRD kabupaten/kota dan Kepala Daerah beserta perangkat daerah lainnya. Bupati atau Walikota sebagai kepala daerah hanya menjalankan tugas desentralisasi secara bulat dan tidak menerima tugas dekonsentrasi. Baik Bupati atau Walikota dan DPRD kabupaten/kota adalah lembaga politik karena proses pengisiannya melalui cara dipilih (elected) secara demokratis dan terbuka bagi partai politik. 97 Dalam pandangan yang aplikatif, dapat dilihat dari pandangan Supriyono (2007:730), yang menyatakan bahwa mengkaji pembangunan struktur dan fungsi institusi pemerintahan daerah dapat diawali dengan memahami local government dalam pengertian organ dan fungsi. Di mana dijelaskan dalam Muluk (2009:10) bahwa dalam pengertian organ, local government berarti pemerintah daerah, yakni council (DPRD) dan mayor (gubernur, bupati atau walikota), di mana rekrutmen pejabatnya didasarkan pada pemilihan. Sedangkan dalam pengertian fungsi, local govenment berarti pemerintahan daerah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah. Berkaitan dengan pengertian organ, maka jenis-jenis pemerintah daerah meliputi: (1) the strong mayor-council form; (2) the weak mayor-council form; (3) the council-manager plan; (4) the commission form. Kemudian Norton yang dikutip oleh Supriyono (2007:730) juga menambahkan bentuk the strong mayorcouncil with chief administrative or chief executive officer plan. Chief executive plan dan semua institusi di bawahnya merupakan birokrasi lokal. Institusi pemerintahan daerah tersebut dapat menjalankan beragam fungsi pemerintahan (multi atau general puspose local authority) ataupun melaksanakan suatu fungsi pemerintahan (single atau special purpose local authority). Dalam pengertian organ dan fungsi tersebut di atas, maka institusi pemerintahan daerah di Indonesia dapat dimaknai sebagai organ dan cenderung termasuk dalam the strong mayor-council form, atau bahkan cenderung berbentuk the strong mayor-council with chief executive officer. Hal ini tampak dari keberadaan Kepala Daerah (gubernur, bupati atau walikota) sebagai padanan mayor dan DPRD sebagai perwujudan dari council. Mengenai fungsi pemerintahan yang dilaksanakan adalah bersifat multi atau general puspose 98 local authority karena institusi pemerintahan daerah melaksanakan beragam fungsi pemerintahan. Perangkat daerah merupakan birokrasi daerah otonom yang proses pengisiannya atas dasar pengangkatan (appointed) dan tertutup bagi partai politik. Melalui penjelasan Hoessein (2009:113) dipahami bahwa proses pengisian seperti ini untuk birokrat daerah otonom dimaksudkan untuk menjamin netralitas birokrasi. Perangkat daerah ini terdiri atas Sekretariat Daerah, Dinas Daerah, dan lembaga teknis daerah lainnya yang dibentuk sesuai dengan kebutuhan daerah. Lembaga teknis daerah bisa berupa Badan, Kantor, Kecamatan, Kelurahan, dan sebagainya. Gambar 4. Struktur Perangkat Daerah Kabupaten Sumber: UU No. 32 Tahun 2004 dan Kaloh (2007:178) Terkait dengan kedudukan organisasi perangkat daerah ini, Salomo (2006:2) memberikan penjelasan bahwa organisasi perangkat daerah sebagai instrumen penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia merupakan salah 99 satu elemen pemerintahan daerah yang sangat penting dengan sejumlah alasan, sebagai berikut: 1. Organisasi perangkat daerah merupakan “rumah” atau wadah yang menampung berbagai aspek penting lainnya dalam sistem pemerintahan daerah, yang menjadi wadah maupun kerangka kerja sistem keuangan, sistem kepegawaian, sistem perencanaan, sistem pelayanan publik dan berbagai sistem atau sub-sistem lainnya. 2. Organisasi perangkat daerah adalah wadah di mana pemerintah daerah menjalankan berbagai kewenangan atau urusan-urusan pemerintahan yang diembannya. 3. Organisasi perangkat daerah adalah wadah bagi pemerintah daerah untuk mengemban visi dan misi daerah, tujuan daerah, dan mengemban pelayanan publik yang menjadi tugas dan tanggung-jawab daerah. Oleh karena itu, organisasi perangkat daerah mempunyai arti yang sangat penting bagi pencapaian pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah. Bahkan Salomo (2006:2), menegaskan bahwa keberhasilan sebuah daerah dalam menjalankan misinya antara lain tergantung dari struktur organisasi perangkat daerah yang dibuat. Apakah perangkat daerah telah mengakomodasi berbagai aspek seperti visi, misi, tujuan, tugas pokok dan fungsi, serta beban pelayanan? 2.6. Kajian Inovasi Pemerintahan Daerah Kajian terhadap inovasi pemerintahan, terutama kaitannya dengan masalah-masalah pemerintahan di tingkat lokal (local problems) dapat ditemui dalam salah satu karya dari Douglas J. Watson, yang berjudul “Innovative Government: Creatives Approach to Local Problems” (1999). Dalam karyanya, 100 Watson (1999:130) menerangkan bahwa pemerintahan daerah (local government) memiliki beberapa alasan yang khas untuk mengembangkan kemampuan inovasi. Hal ini diungkapkan oleh Watson sebagai berikut: “.....Local governments have a unique opportunity to be innovative for several reasons. One is that local governments are very close to the problems in their communities. ....., local officials have the chance to see and hear the problems as they develop. A second reason local governments can be innovative is that there are so many of them doing basically the same things. Each community serves as a laboratory for innovation. ....., local governments to solve problems and develop solutions in different ways. A third reason is that most elected officials on the local level run for office because they care about their communities and believe that they can improve them. The last reason is that the level of competence and expertise found among local public administrators has greatly increased over the past several decades. Local public administrators are better trained than they have ever been and are anxious to work for organizations that allow them to use their talents.” (1999:130-131) Relevansi pentingnya inovasi diselenggarakan pada tingkat pemerintahan daerah dengan jelas diungkapkan bahwa unit organisasi pemerintahan daerah sangat dekat dengan masyarakatnya, sehingga dianggap mengetahui secara pasti masalah-masalah pada aras lokal. Demikian halnya masalah yang dihadapi masyarakat sudah barang tentu berbeda sehingga harus pula ditangani dengan cara yang berbeda pula. Dalam hal ini Supriyono (2007), menjelaskan bahwa otonomi yang luas telah memberikan kewenangan yang sangat besar kepada pemerintah daerah (kabupaten/kota) untuk mengatur dan mengurus pemberian pelayanan publik sesuai dengan local choice dan local voice masyarakatnya. Pemerintah daerah memiliki peran besar (strong public sector) di bidang pelayanan publik, termasuk dalam mengatur berperannya kelompok masyarakat dan pihak swasta. Oleh karena itu, kondisi ini kiranya mendorong pemerintah daerah untuk selalu mencari teknik dan strategi yang efektif untuk menjalankan fungsi pelayanan publik memalui kebijakan dan program yang inovatif. 101 Inovasi penyelenggaraan pemerintahan juga mencakup perubahan dan pembaharuan struktur ataupun kebiasaan yang telah berlangsung secara rutin. Brown (2008) seperti dikutip oleh Supriyono (2011:2) mengemukakan adanya dua konsep inovasi yaitu Expansive Learning Theory (ELT) dan Socio Cultural Theory (SCT). Konsep perluasan pembelajaran mengandung pemahaman bahwa inovasi terjadi ketika pandangan tradisional menyediakan suatu pedoman pelaksanaan suatu pekerjaan tetapi tidak cukup dalam menghadapi tantangan dan situasi yang baru, karenanya diperlukan pengembangan dan praktek yang baru melalui alih teknologi (technology transfer). Bagian penting dari pandangan ini adalah memadukan antara pandangan lama dan baru dalam melaksanakan sesuatu yang diarahkan pada perubahan dan pembaharuan. Sementara SCT berpandangan bahwa proses penciptaan pengetahuan dan pedomannya terarah pada konsepsi inovasi sebagai kolaborasi antara difersifikasi organisasi dan hasil yang diperoleh individu dalam pembelajaran organisasi. Di samping diperlukan alih teknologi dan perubahan sistem, diperlukan pula pembelajaran individu dan organisasi untuk mempercepat transformasi sosial budaya baik di tingkat organisasi maupun di komunitas masyarakat yang lebih luas. Kedua teori ini dalam proses inovasi penyelenggaraan pemerintahan perlu dipadukan agar diperoleh hasil yang optimal, dari perspektif ELT siklus pembelajaran dapat diperluas melalui berbagai aktivitas kolaborasi dua atau lebih komunitas, baik di tingkat nasional, tingkat regional, hingga di tingkat lokal. Sebagaimana dikemukakan Brown (2008:9) “National governments have develoved much of the responsibility for innovation policies to regions. Consequently, it is possible to compare the implementation of local experiments to transform an industrial and manufacturing region into a knowledge economy. Different types of policies 102 are affected by different contextual conditions and carry with them different possibilities for implementation”. Mencermati skema pada Gambar 5 dapat dijelaskan bahwa inovasi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan adalah bersifat sistemik, inovasi pemerintahan yang ada di tingkat nasional pada dasarnya saling berkaitan dengan inovasi di tingkat regional ataupun di tingkat lokal. Pemahaman ini terasa semakin penting untuk diimplementasikan di Indonesia sebagai suatu negara yang menganut paham negara kesatuan (unitary state), karena hubungan antara pemerintah pusat dan daerah adalah bersifat coordinate dan sekaligus subordinate. Keberadaan pemerintah daerah adalah merupakan bagian dari pemerintah pusat, sehingga inovasi pemerintahan yang ada di tingkat lokal kendati memiliki kemandirian seharusnya tidak menyimpang dari desain inovasi pemerintahan yang telah ditetapkan di tingkat nasional. Gambar 5. The Transformation of Policy during Implementation Sumber: Browm (2008:10) Pemerintah pusat memiliki peran dalam hal desain konsep inovasi kebijakan tingkat nasional (makro) yang akan diimplementasikan di tingkat pusat 103 dan daerah. Desain kebijakan inovatif ini perlu dikomunikasikan dengan berbagai tingkatan pemerintahan agar tujuan inovasi dipahami dan diimplementasikan dengan baik. Desain dan strategi inovasi yang diperlukan adalah dalam hal melaksanakan fungsi mengatur (policy formulation) dan mengurus (policy implementation) penyelenggaraan pemerintahan termasuk dalam pemanfaatan teknologi yang dapat diimplementasikan pada semua tingkatan pemerintahan. Desain kebijakan yang telah ditetapkan selanjutnya diimplementasikan di tingkat regional (meso) dan di tingkat lokal (mikro) dalam bentuk program dan kegiatan pengelolaan urusan pemerintahan. Makna inovasi implementasi kebijakan ini adalah berkaitan dengan fungsi pengaturan (policy making) dan fungsi pengurusan (policy executing) di tingkat regional dan di tingkat lokal. Kepala Daerah dan DPRD sebagai pejabat politik yang dipilih melaksanakan fungsi pengaturan, yaitu menetapkan inovasi peraturan daerah (Perda) dan perundang-undangan lainnya sesuai dengan keinginan dan tuntutan kebutuhan masyarakat. Selanjutnya Kepala Daerah beserta Perangkat Daerah (local bureaucracy) sebagai pejabat yang diangkat, melaksanakan inovasi fungsi pengurusan (policy implementation) penyelenggaraan pemerintahan secara profesional dengan mengacu pada perundang-undangan yang telah ditetapkan sebelumnya. Kebijakan inovatif yang telah ditetapkan selanjutnya diimplementasikan oleh Perangkat Daerah (local bureaucracy) dibawah kendali Kepala Daerah dan Sekretaris Daerah. Dalam hal ini diperlukan kinerja berbagai institusi Perangkat Daerah yang inovatif dalam mengelola urusan pemerintahan, pembangunan, dan layanan publik. Birokrasi yang inovatif ditandai dengan adanya kreativitas, ketrampilan, dan kompetensi profesional untuk melakukan perubahan dalam mengelola urusan pemerintahan yang membawa manfaat sebesar-besarnya 104 untuk kepentingan masyarakat. Implementasi kebijakan yang inovatif dalam hal ini dapat diwujudkan jika mengedepankan nilai-nilai kreativitas, efektivitas, dan efisiensi atau nilai-nilai manajerial. Efisiensi yang dimaksud termasuk dalam hal pengelolaan dana dan pemberian insentif. Proses inovasi penyelenggaraan pemerintahan tidak hanya memperhatikan keterkaitan inovasi penyelenggaraan dalam ranah tiga tingkatan, yakni nasional (macro), regional (meso) dan lokal (micro). Namun menurut Roberts (1999:99-101) proses inovasi dalam struktur penyelenggaraan pemerintahan suatu negara, juga mendapat pengaruh dari tiga arena institusi yang berbeda, yakni (1) innovation by legislative design; (2) innovation by yudicial design; dan (3) innovation by management design. Terdapat reaksi yang cukup kuat dari individu ataupun kelompok dari dalam arena institusi legislatif terkait dengan perumusan kebijakan yang inovatif. Hal ini terjadi terutama pada negara-negara dengan sistem pemerintahan yang demokratis. Institusi pengadilan juga dapat memberi pengaruh pada keputusankeputusan pemerintah daerah dari aspek legalitasnya. Pada tingkatan oprasional, secara teknis suatu kebijakan dan program yang inovatif juga sangat ditentukan oleh kemampuan institusi perangkat daerah dalam implementasinya. Menerapkan inovasi di sektor publik tidak dapat sukses begitu saja. Inovasi di sektor publik membutuhkan beberapa persyaratan yang harus mendukung. Watson (1999:2-3) menawarkan tiga kondisi persyaratan utama yang semestinya tersedia jika ingin inovasi di sektor publik berlangsung sukses. Ketiga persyaratan tersebut, meliputi: (1) budaya organisasi (organizational culture) yang mendukung dan mendorong lahirnya inovasi; (2) dukungan politik (political support), para administrator membutuhkan dukungan pejabat politik; 105 dan (3) kompetensi administrasi (administrative competence), inovasi yang sukses harus dilakukan melalui kecakapan administratif dalam suatu organisasi. Selain ketiga persyaratan utama tersebut, Watson (1999:4) menyatakan bahwa lahirnya suatu inovasi dalam pemerintahan biasanya melalui tiga skenario. Pertama, munculnya tindakan inovatif karena adanya respon atau tanggapan terhadap krisis yang terjadi dalam organisasi. Kedua, menghadirkan manajer-manajer publik yang luar biasa dan memiliki dukungan politik yang kuat di dalam organisasi. Ketiga, inovasi lahir hanya dari organisasi yang menyadari dan menangkap adanya peluang untuk melakukannya. 2.6.1 Konsep dan Posisi Inovasi dalam Administrasi Publik Dalam salah satu rilis United Nations melalui Department of Economic and Social Affairs (UNDESA) pada tahun 2006, menyatakan bahwa umumnya inovasi dalam pemerintahan adalah ide kreatif yang di mana jika dilaksanakan dengan sukses akan membantu memecahkan masalah publik yang bersifat mendesak. Inovasi adalah pelaksanaan ide baru dan cara baru untuk mencapai suatu hasil dalam melakukan pekerjaan. Inovasi dapat juga sebagai penggabungan elemen-elemen baru sehingga terjadi kombinasi baru dari unsur yang sudah ada atau mengubah secara signifikan atau meninggalkan cara-cara tradisional dalam melakukan sesuatu. Prinsipnya inovasi dalam konteks ini terdiri atas new products, new policies and programs, new approaches, and new processes. Selanjutnya, ditegaskan pula bahwa inovasi manajemen di sektor publik dapat didefinisikan sebagai pengembangan desain baru suatu kebijakan dan SOP yang baru oleh organisasi publik dimaksudkan untuk mengatasi masalah kebijakan publik. Sehingga suatu inovasi dalam administrasi negara merupakan 106 jawaban atau solusi yang efektif, kreatif dan unik untuk menjawab masalahmasalah baru atau solusi baru untuk masalah-masalah lama. UNDESA (2006:6) mengungkapkan dalam kalimat sebagai berikut: “An innovation in public administration is an effective, creative and unique answer to new problems or a new answer to old problems”. Menurut UNDESA (2006) inovasi dalam kajian administrasi publik dapat dibedakan dalam beberapa tipe atau jenis, meliputi: 1. Institutional innovations, yaitu inovasi kelembagaan yang fokus pada pembaruan lembaga-lembaga yang sudah dibangun atau menciptakan lembaga-lembaga yang benar-benar baru (focus on the renewal of established institutions and/or the creation of new institutions); 2. Organizational innovation, yakni inovasi organisasi berkaitan dengan memperkernalkan prosedur atau teknik-teknik manajemen yang baru dalam Administrasi Publik (the introduction of new working procedures or management techniques in public administration); 3. Process innovation, yaitu inovasi proses di mana fokus pada peningkatan kualitas penyediaan pelayanan publik (focuses on the improvement of the quality of public service delivery); dan 4. Conceptual innovation, yaitu inovasi konseptual yang diarahkan pada pengenalan bentuk-bentuk baru pemerintahan (the introduction of new forms of governance) misalnya interactive policy-making, engaged governance, people’s budget reforms, horizontal networks. Konsep inovasi dalam sektor publik rupanya belum sepopuler di sektor bisnis. Padahal kajian inovasi dikembangkan seiring dengan upaya menjaga dan bahkan mengembangkan kemampuan berkompetisi (bersaing) atau competitive advantage sebuah organisasi. Kemampuan ini dianggap penting untuk menjaga 107 kelangsungan hidup organisasi. Dalam situasi organisasi yang hidup dengan mengandalkan semata comparative advantage dan pada saat yang sama situasi kompetisi kurang tampak maka konsep inovasi kurang berkembang dengan baik. Hal yang sama juga terjadi pada organisasi publik yang tidak mengkhawatirkan sama sekali masalah kelangsungan hidupnya (Muluk, 2008:37). Kebanyakan organisasi sektor publik kurang tertantang karena berada dalam iklim yang nonkompetitif dan bahkan tidak merasa bermasalah dalam hal kelangsungan hidupnya. Maka wajar jika konsep inovasi kurang berkembang dalam sektor administrasi publik. Walaupun konsep inovasi belum lama populer dikalangan ilmuwan maupun dalam prakteknya di organisasi sektor publik, namun dapat dilacak posisi dan relevansi konsep inovasi, baik sebagai nilai maupun sebagai strategi dalam evolusi pemikiran adminisrasi publik. Salah satu sumber dari artikel yang ditulis bersama oleh Eran Vigoda-Gadot, Aviv Shoham, Nitza Schwabsky, dan Ayalla Ruvi, berjudul Public Sector Innovation for the Managerial and PostManagerial Era: Promises and Realities in a Globalizing Public Administration (2005). Artikel ini mengulas dan menganalisis bagaimana keterkaitan inovasi (innovation) dengan evolusi pemikiran administrasi publik. Dalam artikel tersebut, Vigoda-Gadot, et al (2005:70) menganalisis kerterkaitan inovasi dan pemikiran administrasi publik. Ada sepuluh pertanyaan diajukan yang mencerminkan posisi konsep inovasi dalam perkembangan pemikiran administrasi publik. Kesepuluh pertanyaan mendasar tersebut dapat dilihat pada Tabel 8 yang disajikan pada halaman berikut. Kemudian VigodaGadot, et al (2005) membagi tiga perspektif evolusi perkembangan pemikiran administrasi publik yakni (1) classic public administration canon; (2) new public management doctrine; dan (3) post-managerial avenues. 108 Tabel 8. An Evolutionary Analysis of Innovation in Public Administration Evolution Essential Questions Classic Public Administration Canons New Public Management Doctrine Post-managerial Avenues 1 Q1. What is innovation? 2 A threat to old, reliable mechanisms 3 New ways to respond to citizens as client and produce public goods 4 New ways to create social and psychological well-being, economic surpluses, and political stability combined Q2. Why do we need innovation? Do we need at all? Improving managerial qualities in state-owned bureaucracies to stabilize the welfare state A good combination of managerial, social, and democratic values Q3. What are the disciplinary origins of innovation? Engineering/law/political sciences Organizational and managerial sciences/economic and business A holistic view: organizational and managerial sciences/ political sciences/ social welfare/information and technology system Q4. What are the primary goals of innovation? Maintaining the power of bureaucracy and its centrality in policymaking and implementing process Improving the operative power of bureaucracy through better managerial skills and the triumph of professionalism over politicization Transforming the cultural sphere of public organizations, increasing global policy and management learning and emulation Q5. Who are the key beneficiaries of innovation? The private sector and social elites Citizens as clients/customers Citizens as owners and the global bank of policy and managerial knowledge, the community as a whole Q6. How to portray the flow of innovation ideas? Ultimately top down, and only when innovation serves political interests First, top down by professional managers who the empower a bottom-up channel Top down, bottom-up, and reliance on extraorganizational source, learning, and emulation process Q7. Primary players in the innovation process? Top managers, if at all Managers and employees who improve their understanding of the needs of citizens as clients Managers, employees, and extra-organizational players (i.e., the private sector, the third sector, transnational policy makers and academics) 109 1 2 3 4 Q8. How to achieve innovation? Almost no need; classicstyle bureaucracies don’t really need innovation and see themselves as islands of stability and conservatism Intensive contacts whit the private sector and improved learning from successful innovators in business firms (PPPspublic private partnership) Intensive global contacts whit international innovators, benchmarking, learning and emulation of policy programs Q9. How the evaluate innovation? Lack of formal tools and absence of standard criteria Output and outcome measure and the development of performance indicators (PIs) Output and outcome measures as well as input and process measures in a comparative international view Q10. What are the moral justifications for innovation? Higher standard of living to vast population and better services to the less able Encouraging competition according to liberal ideological economy, increased efficiency and the saving of public money Global human progress, policy learning, and more equal distribution of knowledge, practices, and goods across nations Sumber: Diadaptasi dari Vigoda-Gadot, et al (2005:70-71) Apa yang digambarkan oleh Vigoda-Gadot, et al (2005) sebagaimana tercermin pada Tabel 8 di atas menunjukkan bahwa pada dasarnya konsep inovasi sudah ada diera berkembangnya pemikiran classic public administration. Pemahaman inovasi di era administrasi publik klasik tersebut masih dalam pengertian yang terbatas. Inovasi hanya dipahami sebatas mekanisme internal organisasi. Inovasi didominasi oleh top menajer sehingga inovasi lebih bersifat top down dan hanya bertujuan mempertahankan kekuasan. Sumber lainnya yang juga membahas bagaimana keterkaitan inovasi dengan perkembangan pemikiran administrasi publik, dapat ditemukan pada artikel yang ditulis oleh Jean Hartley berjudul “Innovation in Governance and Public Services: Past and Present” (2005). Dalam tulisan ini Hartley (2005:29) menggambarkan hubungan inovasi (innovation) dan perbaikan (improvement) proses pelayanan publik dengan konsep governance dan public management dalam pendekatan administrasi publik. 110 Tabel 9. Innovation dan Improvement in Different Conceptions of Governance and Public Management Traditional Public Administration New Public Management Networked Governance Innovation Some large-scale, national and universal innovations Innovations in organizational form more than content Innovation at both central and local levels Improvement Large step-change improvements initially, but less capability for continuous improvement Improvement in managerial process and system. Customer focus produces quality improvement in some services Aiming for both transformational and continuous improvement in front-line services Role of policymakers Commanders Announcers/commissioners Leaders and interpreters Role of public managers “Clerks and martyrs” Efficiency and market maximizes “Explorers” Role of the population Client Customers Co-producers Sumber: Hartley (2005:29) 2.6.2. Inovasi Dalam Perspektif Teori Organisasi Kajian inovasi pemerintahan daerah berada dalam lingkup organisasi. Oleh karena itu penting untuk memahami hubungan antara inovasi dan perspektif teori organisasi. Van de Van et al (1999) seperti dikutip oleh Lam (2004:3) mengungkapkan bahwa ”organizational creation is fundamental to the process of innovation”. Penciptaan organisasi merupakan dasar utama bagi proses inovasi. Kemampuan dari suatu organisasi untuk berinovasi adalah prakondisi keberhasilan dalam memanfaatkan penemuan sumberdaya dan teknologi baru. Sebaliknya, pengenalan teknologi baru sering menyajikan peluang yang kompleks dan tantangan bagi organisasi, yang mengarah ke perubahan dalam praktek manajerial dan munculnya bentuk-bentuk organisasi baru (Lam, 2004:4). 111 Tabel 10. Mintzberg's Structural Archetypes and Their Innovative Potentials Organization Archetype Simple structure Key Features Innovative Potential An organic type centrally controlled by one person but can respond quickly to changes in the environment, e.g. small start-ups in high-technology. Entrepreneurial and often highly innovative, continually searching for high-risk environments. Weaknesses are the vulnerability to individual misjudgment and resource limits on growth. Machine bureaucracy A mechanistic organization characterized by high level of specialization, standardization and centralized control. A continuous effort to routinize tasks through formalization of worker skills and experiences, e.g. mass production firms. Designed for efficiency and stability. Good at dealing with routine problems, but highly rigid and unable to cope with novelty and change. Professional bureaucracy A decentralised mechanistic form which accords a high degree of autonomy to individual professionals Characterized by individual and functional specialization, with a concentration of power and status in the 'authorized experts'. Universities, hospitals, law and accounting firms are typical examples The individual experts may be highly innovative within a specialist domain, but the difficulties of coordination across functions and disciplines impose severe limits on the innovative capability of the organization as a whole Divisionalized form A decentralized organic form in which quasi-autonomous entities are loosely coupled together by a central administrative structure. Typically associated with larger organizations designed to meet local environmental challenges. An ability to concentrate on developing competency in specific niches. Weaknesses include the 'centrifugal pull' away from central R&D towards local efforts, and competition between divisions which inhibit knowledge sharing. Adhocracy A highly flexible project-based organization designed to deal with instability and complexity. Problem-solving teams can be rapidly reconfigured in response to external changes and market demands. Typical examples are professional partnerships and software engineering firms. Capable of fast learning and unlearning; highly adaptive and innovative. However, the unstable structure is prone to short life, and may be driven over time toward the bureaucracy. . Sumber: Mintzberg (1979); Tidd, et al (1997) dikutip oleh Lam (2004:9). 112 Teori desain organisasi seharusnya fokus pada bentuk struktural organisasi dan kecenderungan untuk berinovasi. Burns dan Stalker (1961) dan Mintzberg (1979) seperti dikutip Lam (2004:4) mengungkapkan bahwa ”organizational design theories focus predominantly on the link between structural forms and the propensity of an organization to innovation”. Dalam pandangan Mintzberg, sebagaimana disajikan pada Tabel 10, bahwa model struktur suatu organisasi dapat dibedakan dalam lima tipe organisasi. Kelima tipe organisasi tersebut meliputi; (1) simple structure; (2) machine bureaucracy; (3) proffesional bureaucracy; (4) devisionalized form; dan (5) adhocracy. Untuk memahami lebih komprehensif keterkaitan potensi melakukan inovasi dan bentuk atau jenis organisasi (organization archetypes). Perspektif inovasi dalam organisasi salah satunya dapat dipahami melalui artikel yang dibuat oleh Carol Slappendel yang berjudul Perspectives on Innovation in Organizations (1996). Dalam pandangan Slappendel (1996:3) kajian inovasi dalam teori organisasi dapat dilihat dalam tiga perspektif yaitu the individualist perspective, the structuralist perspective, dan the interactive process perspective. Perspektif individu, inovasi dikaitkan dengan individu dan aktor-aktor yang terkait dengan pelaksanaan tugas organisasi. Perspektif struktural, inovasi bertumpu pada pandangan bahwa inovasi hanya bisa dilakukan jika organisasinya berubah, baik prosedur, struktur dan kulturnya. Sedangkan pada perspektif adalah perpaduan antara perspektif individu dan struktural yang bersifat interaktif. Pemahaman yang lebih lengkap dapat disimak pada Tabel 11 pada halaman selanjutnya. Menurut Said (2010:5) bahwa secara operasional, ketiga perspektif inovasi dalam organisasi yakni individu, struktural dan interaktif sebagaimana yang digambarkan pada Tabel 11 dapat diuraikan kedalam beberapa komponen. 113 Beberapa komponen yang berhubungan dengan ketiga perspektif tersebut dapat dilihat pada Gambar 6 setelah Tabel 11 pada bagian ini. Tabel 11. The Main Feature of the Three Perspectives of Innovation Individualist Structuralist Interactive process Individuals cause innovation Innovation determined by structural characteristics Innovation produced by the interaction of structural influences and the actions of individuals Conceptualization State and objectively defined objects of of an innovation State and objectively defined objects of practices Innovations are subject to reinventions and reconfigurations. Innovations are perceived Conceptualization Simple linear with focus on the of the innovative adoptions stage process Simple linear with focus on the adoptions stage Complex process Basic assumption practices Core concepts Champions Leader Entrepreneurs Environment Size Complexity Differentiation Formalization Centralization Strategic type Shocks Proliferation Innovative capability Context Research methodology Cross-sectional survey Cross-sectional survey Case studies Case histories Main authors Rogers March and Simon Zaltman, et al. Van de Ven, et al. Sumber: Slappendel (1996:3) & Styhre (2007:15) Pada tataran individu, komponen yang harus dimiliki meliputi pengetahuan (knowledge), kemampuan (ability), dan kompetensi (competence). Pada tataran kelembagaan, komponennya meliputi kepemimpinan (leadership), sumberdaya (resource), pengambilan keputusan (decition making), dan sistem imformasi manajemen (SIM). Pada tataran proses interaktif (sistem), yang harus dipahami adalah mengenai kerangka aturan yang tersedia dan kebijakan pendukung lainnya. 114 Gambar 6. Wilayah Inovasi Birokrasi Pemerintah Sumber: Slappendel (1996) dimodifikasi oleh Said (2010) 2.6.3 Karakteristik Inovasi dan Tipologi Inovasi Secara historis sebetulnya, konsep inovasi (innovation) sebagai strategi untuk meningkatkan keunggulan dalam bersaing, telah ada kajian yang cukup panjang yang dimulai sejak berdirinya administrasi sebagai ilmu. Hal ini telah diungkap oleh Muluk (2008:41), bahwa era 1990-2000an ditandai dengan berkembangnya kajian knowledge management yang mengedepankan pengelolaan pengetahuan sebagai dasar pembentukan core competence (kompetensi inti) sehingga organisasi dapat mengembangkan daya inovasinya yang sulit ditiru oleh organisasi lainnya. Jika ini terjadi maka bisa dipastikan bahwa organisasi tersebut memiliki keunggulan bersaing. Tokoh-tokoh utama dalam gerakan ini adalah Peter M. Senge (1990) dengan bukunya (the fifth 115 discipline), Ikujiro Nonaka dan Hirotaka Takeuchi (1995) dengan bukunya (knowledge creating company), dan masih banyak lainnya. Konsep inovasi secara umum dapat dipahami dalam konteks perubahan perilaku. Inovasi biasanya erat kaitannya dengan lingkungan yang berkarakteristik dinamis dan berkembang. Pengertian inovasi sendiri sangat beragam, dan dari banyak perspektif. Menurut Rogers (2003:12), salah satu penulis buku inovasi terkemuka, menjelaskan bahwa inovasi adalah sebuah ide, praktek, atau objek yang dianggap baru oleh individu (satu unit) tertentu dan diadopsi oleh yang lainnya. Inovasi sebagai salah satu ciri nilai fleksibilitas organisasi bukan hanya sekedar melakukan sesuatu yang baru, menemukan sesuatu yang baru, atau membawa suatu gagasan yang baru sebagaimana definisi inovasi pada umumnya. Namun menurut Sherwood (2002:2), inovasi sebagai suatu proses memerlukan empat tahapan yakni: (1) tahap pengajuan gagasan yaitu mempunyai ide lebih dahulu; (2) tahap evaluasi terhadap gagasan yang akan ditindaklanjuti; (3) tahap pengembangan yaitu memperbaiki gagasan tersebut dari konsep menjadi realitas yang menghasilkan sesuatu; dan (4) tahap implementasi yaitu mengupayakan gagasan tersebut sungguh-sungguh terwujud. Pengertian lain menyebutkan bahwa inovasi adalah kegiatan yang meliputi seluruh proses menciptakan dan menawarkan jasa atau barang baik yang sifatnya baru, lebih baik atau lebih murah dibandingkan dengan yang tersedia sebelumnya. Dapat pula dijelaskan bahwa sebuah inovasi dapat berupa produk atau jasa yang baru, teknologi proses produksi yang baru, sistem struktur dan administrasi baru atau rencana baru bagi anggota organisasi. Pengertian inovasi dapat pula dipahami dalam konteks manajemen sektor publik. Pemahaman ini dikemukakan oleh Cohen dan Elmicke (1998:2-3) yang 116 mengemukakan bahwa inovasi manajemen sektor publik selalu berkaitan dengan aspek design dan management terhadap suatu kebijakan dan program. Rancangan kebijakan berhubungan perumusan kebijakan (policy formulation). Sedangkan manajemen suatu program terkait dengan pelaksanaan kebijakan (policy implementation). Pemahamn tersebut diungkapkan oleh Cohen dan Elmicke, dalam kalimat sebagai berikut: “The development and implementation of new policy designs and new standard operating prosedures by public organizations to address public policy problems”. Dengan merujuk pada pengertian-pengertian di atas, maka sebuah inovasi tidak akan bisa berkembang dalam kondisi status quo. Walaupun tidak ada satu kesepahaman definisi mengenai inovasi, namun secara umum disimpulkan oleh Rogers dan Shoemaker (1971) seperti dikutip oleh Osborne dan Brown (2005:127) bahwa inovasi mempunyai beberapa atribut sebagai berikut: 1. Relative Advantage atau keuntungan relatif, yakni sebuah inovasi harus mempunyai keunggulan dan nilai lebih dibandingkan dengan inovasi sebelumnya. Selalu ada sebuah nilai kebaruan yang melekat dalam inovasi yang menjadi ciri yang membedakannya dengan yang lain. 2. Compatibility atau kesesuaian, yakni inovasi juga sebaiknya mempunyai sifat kompatibel atau kesesuaian dengan inovasi yang digantinya. Hal ini dimaksudkan agar inovasi yang lama tidak serta merta dibuang begitu saja, selain karena alasan faktor biaya yang tidak sedikit, namun juga inovasi yang lama menjadi bagian dari proses transisi ke inovasi terbaru. 3. Complexity atau kerumitan, artinya dengan sifatnya yang baru, maka inovasi mempunyai tingkat kerumitan yang boleh jadi lebih tinggi dibandingkan dengan inovasi sebelumnya. Namun demikian, karena 117 sebuah inovasi menawarkan cara yang lebih baru dan lebih baik, maka tingkat kerumitan ini pada umumnya tidak menjadi masalah penting. 4. Triability atau kemungkinan dicoba, artinya inovasi hanya bisa diterima apabila telah teruji dan terbukti mempunyai keuntungan atau nilai lebih dibandingkan dengan inovasi yang lama. Sehingga sebuah produk inovasi harus melewati fase “uji publik”, dimana setap orang atau pihak mempunyai kesempatan untuk mengujii kualitas dari sebuah inovasi. 5. Observability atau kemudahan diamati, artinya bahwa sebuah inovasi harus juga dapat diamati, dari segi bagaimana ia bekerja dan menghasilkan sesuatu yang lebih baik. Sementara itu, harus pula dipahami bahwa terdapat perbedaanperbedaan antara inovasi di sektor publik dan di sektor swasta. Perbedaan ini dikarenakan adanya nilia-nilai yang dimiliki oleh masing-masing sektor. Nilai-nilai yang dimiliki oleh sebuah organisasi dan dapat dibandingkan meliputi dimensi prinsip keorganisasian, struktur organisasi, ukuran kinerja, isu manajemen, hubungan dengan pengguna akhir, sumber daya manusia, sumber pengetahuan dan horizon waktu masing-masing organisasi. Pada dimensi prinsip pengorganisasian sektor bisnis, berupaya untuk dalam rangka memperoleh profit dan pertumbuhan pendapatan sebanyakbanyaknya, sementara sektor publik lebih pada upaya penegakan kebijakan publik yang telah ditetapkan. Sektor bisnis pada dimensi struktur organisasi lebih bervariasi, sementara sektor publik memiliki struktur yang kompleks dan seringkali terjadi konflik. Dari aspek isu manajemen, pada sektor bisnis beberapa manajer mempunyai otonomi dan beberapa lainnya dibatasi oleh shareholder, corporate goverance dan atau keuangan. Sedangkan pada sektor publik kebanyakan manajer berada pada posisi tertekan secara politik. 118 Tabel 12. Karakteristik Inovasi Sektor Bisnis dan Sektor Publik Dimensi Inovasi Sektor Bisnis Inovasi Sektor Publik Prinsip Pengorganisasian Upaya memperoleh profit, stabilitas atau pertumbuhan pendapatan Penegakan kebijakan publik Pasar yang terus berubah Kebijakan baru dan atau yang berubah karena siklus politik Sistem organisasi yang kompleks, kadang konflik satu sama lain Struktur Pengorganisasian Ukuran kinerja Isu manajemen Hubungan dengan end-users Ukuran organisasi yang Bervariasi Perubahan besar biasanya mengalokasikan dana khusus untuk inovasi Inovasi harus disesuaikan dengan situasi kompleks, termasuk isu social equity dan efisiensi ekonomi Return of Investment (RoI) Indikator dan target kinerja yang banyak Inovasi memakan biaya besar, dihitung dari selisih keuntungan penjualan Keuntungan dari inovasi sangat sulit diukur Beberapa manajer mempunyai otonomi, beberapa lainnya dibatasi oleh shareholder, corporate goverance dan atau keuangan Kebanyakan manajer berada dalam situasi tekanan politik Inovasi berhubungan dengan pengambilan resiko Inovasi memerlukan persetujuan politik Pasar adalah sebagai konsumen dan juga industri. Feedback dari pasar mendorong ide/inovasi End-users adalah masyarakat, secara tradisional adalah warga negara Inovasi dimotivasi oleh kebutuhan menjaga hubungan dengan pasar Rantai supplay SDM Sumber pengetahuan Horizon waktu Customer relation tidak terbangun dengan baik. Inovasi biasanya tidak didorong oleh faktor end-users Kebanyakan perusahaan merupakan bagian dari rantai supply yang lebih besar Sektor publik tergantung pada sektor bisnis dalam pengadaan barang dan jasa Inovasi yang dihasilkanperusahaan kecil biasanyakalah oleh perusahaan besar, karena kalah dalam hal dukungan dana Sektor publik menentukan standar, sektor bisnis menawarkan inovasi Motif ekonomi Motif idealis Pegawai didorong untuk membuat perbaikan atas produk yang dihasilkan Inovasi kadang dilihat sebagai ancaman, juga sebagai diadopsi untuk perbaikan pelayanan publik Sumber pengetahuan sangat banyak. Relatif kaku, hanya beberapa bagian dari sektor publik yang emanfaatkan universitas Fleksibel dan luas mulai dari konsultan, asosiasi perdagangan, dan peneliti sektor publik Inovasi bervariasi Jenis inovasi di beberapa bagian berbeda Kebanyakan Short-term Kebanyakan Long-term Inovasi memerlukan pembayaran secepatnya Kesulitan dalam mengetahui konsekuensi dari sebuah inovasi Sumber: dimodifikasi dari Koch, Per & Johan Hauknes (2005:24-26) 119 Jenis inovasi di sektor publik dapat juga dilihat menurut Halvorsen (2005:5), yang membagi tipologi inovasi di sektor publik seperti berikut ini: 1. A new or improved service (pelayanan baru atau pelayanan yang diperbaiki), misalnya pelayanan kesehatan di rumah. 2. Process innovation (inovasi proses), misalnya perubahan dalam proses penyediaan pelayanan atau produk. 3. Administrative innovation (inovasi bersifat administratif), misalnya penggunaan instrumen kebijakan baru sebagai hasil dari perubahan kebijakan. 4. System innovation (inovasi sistem), adalah sistem baru atau perubahan mendasar dari sistem yang ada dengan mendirikan organisasi baru atau bentuk baru kerjasama dan interaksi. 5. Conceptual innovation (inovasi konseptual), adalah perubahan dalam outlook, seperti misalnya manajemen air terpadu atau mobility leasing. 6. Radical change of rationality (perubahan radikal), yang dimaksud adalah pergeseran pandangan umum atau mental matriks dari pegawai instansi pemerintah. Lebih lanjut Halvorsen menjelaskan pula bahwa inovasi itu sendiri dapat dikategorikan menjadi seperti berikut ini: 1. Incremental innovations and radical innovations. Inovasi ini berhubungan dengan tingkat keaslian (novelty) dari inovasi itu sendiri. Khususnya di sektor industri, kebanyakan inovasi bersifat perbaikan secara inkremental 2. Top-down innovations and bottom-up innovations. Ini untuk menjelaskan siapa yang memimpin proses perubahan perilaku. Makan top-down berarti manajemen atau organisasi atau hirarkhi yang lebih tinggi, sedangkan 120 bottom-up merujuk pada pekerja atau pegawai pemerintah dan pengambil keputusan pada tingkat unit (mid-level policy makers). 3. Needs-led innovations and efficiency-led innovation. Proses inovasi yang diinisiasi telah menyelesaikan permasalahan dalam rangka untuk meningkatkan efisiensi pelayanan, produk dan prosedur. INOVASI PRODUK LAYANAN INOVASI PROSES PELAYANAN INOVASI SISTEM INOVASI SEKTOR PUBLIK INOVASI KEBIJAKAN INOVASI METODE PELAYANAN Gambar 7. Tipologi Inovasi Sektor Publik Sumber: Muluk (2008:45) Mulgan dan Albury (2003:3), menyatakan bahwa inovasi yang sukses adalah merupakan kreasi dan implementasi dari proses, produk, layanan, dan metode pelayanan baru yang merupakan hasil pengembangan nyata dalam efisiensi, efektivitas atau kualitas hasil. Oleh karena itu inovasi telah berkembang jauh dari pemahaman awal yang hanya mencakup inovasi dalam produk (products & services) dan proses semata. Inovasi produk atau layanan berasal 121 dari perubahan bentuk dan desain produk atau layanan, sementara inovasi proses berasal dari gerakan pembaruan kualitas yang berkelanjutan dan mengacu pada kombinasi perubahan organisasi, prosedur, dan kebijakan yang dibutuhkan untuk berinovasi. Selain itu Windrum (2008:8) juga dalam karyanya berjudul: Innovation in Public Sector Services: Entrepreneurship, Creativity and Management, mengungkapkan adanya taksonomi inovasi yang terdiri dari enam jenis inovasi. Keenam inovasi sektor publik menurut Windrum yaitu: a. Service innovation is the introduction of a new service product or an improvement in the quality of an existing service product. b. Service delivery innovation involves new or altered ways of delivering to clients or otherwise interacting with them, for the purpose of supplying specific public services. c. Administrative and organizational innovation changes the organizational structures and routines by which front office staff produces services in a particular way and/or back office staff support front office services. d. Conceptual innovation is the development of new world views that challenge assumptions that underpin existing service products, processes and organizational. It can occur at all levels and involve the introduction of new missions, new world views, objectives, strategies and rationales. e. Policy innovations change the thought or behavioural intentions associated with a policy belief system (Sabatier, 1987, 1999). Policy innovations are associated with three types of learning (Glasbergen, 1994). First, there is learning of how policy instruments can be improved to achieve a set of goals. Second, there is conceptual learning that follows changes in shared understanding of a problem and appropriate courses of action. Third, there is social learning based on shared understanding of the appropriate roles of policy actors. f. Systemic innovation involves new or improved ways of interacting withother organizations and knowledge bases. As a consequence of deregulation and increasing competition, partly as the result of budgetary constraints in public administration and the increasing role of service outsourcing. Berdasarkan pembagian jenis inovasi tersebut, oleh Windrum dalam buku yang sama, memberi penjelasan bahwa jenis inovasi yang pertama sampai 122 dengan ketiga yakni service innovation (inovasi pelayanan), delivery innovation (inovasi pemberian pelayanan), dan organizational innovation (inovasi organisasi), merupakan jenis inovasi yang telah lama dikenal dan diujikan pada studi-studi sektor swasta. Namun selanjutnya dalam rangka pengembangan analisis terhadap inovasi dalam suatu organisasi, terutama organisasi sektor publik, maka digunakan jenis atau kategori berikutnya, yakni conceptual innovation (inovasi konseptual), policy innovation (inovasi kebijakan), dan systemic innovation (inovasi sistemik). 2.6.4 Strategi dan Faktor-faktor Berpengaruh terhadap Inovasi Strategi dalam proses inovasi menjadi amat penting untuk memastikan kesuksesan suatu inovasi dijalankan dalam organisasi publik. Untuk itulah, pada bagian ini diuraikan beberapa pandangan tentang strategi dan faktor-faktor yang menghambat dalam proses inovasi. Terkait dengan proses inovasi ini, Behn (2008:142), menyatakan bahwa terdapat empat jenis proses yang berbeda dalam penerapan inovasi yang kerap dikembangkan, antara lain: 1. Diffusion, yakni proses inovasi yang sifatnya tidak disengaja (unintentional), berlangsung spontan (spontaneous), proses yang tidak tampak (hidden-hand) dilakukan oleh seseorang ketika mendengar tentang inovasi dan menyimpulkan bermanfaat untuk di coba. Sering disebut dengan “the somehow people will learn how to get better approach”. 2. Transfer, yakni pertukaran ide-ide secara informal dan diparaktekkan oleh suatu jaringan antara individu-individu, biasanya jaringan pertemanan dan kolega dalam suatu profesi (pekerjaan) yang sama atau area kebijakan, meskipun berbeda organisasi atau wilayah kerja. Biasanya disebut “the friends will tell friends about how they are getting better approach”. 123 3. Propagation, yakni suatu upaya berupa pemikiran atau perencanaan yang telah disiapkan terlebih dahulu (mungkin oleh inovator-inovator, individu diluar organisasi, atau level pemerintahan yang lebih tinggi) untuk membuat strategi dialog terhadap pendidikan dan bantuan untuk mentransfer inovasi dari orang (pihak) lain. Hal ini seringkali disebut sebagai “the we ought to help people learn how to get better approach”. 4. Replication, yakni suatu usaha sadar yang dilakukan oleh organisasi (individu di dalam organisasi) yang bekerja keras untuk memperbaiki, dengan mencari secara aktif terhadap ide-ide, kebijakan, program, dan praktek yang telah sukses dan dapat diadopsi. Jenis sering disebut dengan ungkapan “the we want to learn from others who know how to get better approach”. Dalam salah satu makalah yang diliris oleh NESTA (2008: 11), mereviu faktor-faktor kunci yang dapat mempengaruhi sejauh mana pemerintah dan organisasi sektor publik lainnya, secara mandiri menghasilkan inovasi. Faktorfaktor kunci tersebut mencakup: a. Jenis organisasi atau rantai penyediaan pelayanan (the type of agency or service delivery chain); b. Misi utama organisasi (the agency’s fundamental mission); c. Cakupan fungsional di mana organisasi beroperasi (the functional area in which the organization operates); d. Ukuran dan hirarki organisasi (the size and hierarchy of the organization); e. Lingkup organisasi (the organization’s national, regional, urban or rural location); f. Kebijakan organsasi yang berkaiatn dengan manusia secara umum (the organization’s general human relations policies); 124 g. Apakah organisasi memiliki kebijakan khusus dan program yang mendorong inovasi (whether the organization has specific policies and programmes encouraging innovation). Dalam proses implementasi inovasi terdapat tiga perspektif yang saling melengkapi, yakni (1) the individual perspective, menekankan pada aktor individu sebagai pihak utama dengan prinsip the principal agents dalam melakukan inovasi; (2) the structural perspective, menganggap bahwa inovasi sangat tententukan oleh karakteristik organisasi (Slappendel, 1996: 109); dan (3) the interactive perspective, keberhasilan suatu inovasi merupakan dampak dari kolaborasi antara kelompok individu, organisasi dan sumber daya yang relevan (Styhre, 2007: 14) Inovasi tidak terjadi secara mulus atau tanpa resistensi. Banyak dari kasus inovasi diantaranya justru terkendala oleh berbagai faktor. Biasanya budaya organisasi menjadi faktor penghambat terbesar dalam mempromosikan sebuah inovasi. Selain faktor budaya organisasi, banyak lagi faktor yang dapat menghambat tumbuhnya inovasi dalam suatu organisasi. Gambar 8 pada bagian berikut ini memberikan ilustrasi sejumlah hambatan dalam pengembangan inovasi yang dapat diidentifkasi menjadi delapan jenis penghambat. Diantaranya yang disebut dengan budaya risk aversion adalah budaya yang tidak menyukai resiko. Hal ini berkenaan dengan sifat inovasi yang memiliki segala resiko, termasuk resiko kegagalan. Sektor publik, khususnya pegawai cenderung enggan berhubungan dengan resiko, dan memilih untuk melaksanakan pekerjaan secara prosedural-administratif dengan resiko minimal. Selain itu, secara kelembagaan pun, biasanya karakter unit kerja di sektor publik pada umumnya tidak memiliki kemampuan dalam menangani resiko yang muncul sebagai akibat dari pekerjaanya. 125 Culture of risk aversion Delivery pressures and administrative burders Short-term budgets and planning horizons Reluctance to close down failing programmes or organisation NO INNOVATION Poor skills in active risk or change management Over-reliance on high performers as sources of innovation Technologies available but constraing culture or organizational arrangements No rewards or incentives to innovate or adopt innovations Gambar 8. Faktor-faktor Penghambat Inovasi Sumber: dimodifikasi dari Mulgan & Albury (2003:31) Hambatan-hambatan lainnya yang dapat ditemukan pada Gambar 8 adalah adanya ketergantungan terhadap figur atau pemimpin tertentu yang memiliki kinerja tinggi, sehingga kecenderungan kebanyakan pegawai di sektor publik hanya menjadi pengikut (followers). Ketika figur atau pemimpin tersebut hilang dan digantikan oleh figur lainnya, maka yang terjadi adalah stagnasi dan kemacetan kerja. Selain itu, hambatan anggaran yang periodenya terlalu pendek, serta hambatan administratif yang membuat sistem dalam berinovasi menjadi tidak fleksibel. Sejalan dengan itu juga, biasanya penghargaan atas karya-karya inovatif masih sangat sedikit. Sangat disayangkan hanya sedikit apresiasi yang layak atas prestasi pegawai atau unit yang berinovasi. Faktor-faktor inovasi yang disampaikan oleh Mulgan dan Albury pada Gambar 8, pada dasarnya menyangkut dua hal, yakni (1) faktor-faktor inovasi 126 yang bersumber dari individu, baik pegawai maupun pemimpinnya; dan (2) faktor-faktor inovasi yang bersumber atau berkaitan dengan karakter organisasi. Terkait dengan faktor-faktor inovasi ini, pengembangan inovasi sektor publik perlu pula dipahami bahwasanya terdapat faktor-faktor kritis yang lain. Faktorfaktor kritis pengembangan inovasi tersebut, seperti yang dikemukakan oleh Muluk (2008:49) bahwa inovasi sektor publik bukanlah sebuah kondisi yang dapat sukses dijalankan dengan sebatas niat saja apalagi terjadi dengan sendirinya. Oleh sebab itu dibutuhkan beberapa faktor untuk menjamin keberhasilan pengembangan sebuah inovasi pemerintahan daerah. Beberapa faktor kritis tersebut antara lain: (1) kepemimpinan yang mendukung inovasi; (2) pegawai yang terdidik dan terlatih; (3) budaya organisasi; (4) pengembangan tim dan kemitraan; dan (5) orientasi kinerja yang terukur. Tanpa kehadiran faktor-faktor ini maka terjadinya inovasi pemerintahan akan menjadi sulit terealisasi. Dengan demikian, perlu terus diidentifikasi faktor-faktor kritis tersebut tersebut dan perlu pula dijamin ketersediaannya.