DIALOG KEPEMUDAAN YISC AL-AZHAR FORUM PEMUDA AL-AZHAR Gedung Aula Buya Hamka, Komp. Masjid Agung Al-Azhar Jl. Sisingamangaraja, Kebayoran Baru, Jakarta – Selatan Makalah ‘Mengenang Sosok & Pergerakan Alm Buya Hamka’ “Dialog Kepemudaan: Peran dan Tantangan Pemuda Islam dalam Pembangunan Peradaban Islam di Indonesia” YISC Al-Azhar, Al-Azhar Insitute, Forum Pemuda Al-Azhar Aula Masjid Agung Al-Azhar, 13 /10/12 PENDIDIKAN KARAKTER GENERASI MUDA: Peran Sekolah dan Keluarga Azyumardi Azra* Profesor DR Hamka memberikan banyak perhatian kepada ikhwal pendidikan, termasuk pendidikan karakter. Dalam banyak tulisannya, Buya Hamka selalu menekankan, pendidikan bukanlah sekadar soal pengembangan nalar peserta didik (generasi muda secara keseluruhan), tetapi juga adalah pembentukan akhlaq al-karimah dan akal-budi. Karena itu, dalam pandangan Buya Hamka, proses pendidikan mesti bertujuan untuk ‘penghambaan dan [aktualisasi] peran kekhalifahan manusia di muka bumi. Sebab itu, pendidikan mesti tidak berorientasi kepada hal-hal yang bersifat material belaka, yang tidak bakal mampu membawa manusia kepada kebahagiaan rohani. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang dapat memadukan berbagai potensi fitrah manusia; akal pikiran, perasaan, dan sifat-sifat kemanusiaannya secara seimbang dan serasi. Dengan demikian, secara keseluruhan, Profesor Hamka sangat menekankan pentingnya ‘pendidikan karakter’, yang menyempurnakan peserta didik—anakanak, remaja dan pemuda (generasi muda)—menjadi ‘manusia paripurna’ (al-insan al-kamil). Dalam mencapai tujuan tersebut, Buya Hamka pada saat yang sama juga menekankan pentingnya peran tiga institusi pendidikan: keluarga, sekolah, dan lingkungan masyarakat. Tak kurang pentingnya, Buya Hamka menampilkan secara relatif sempurna sosok berkarakter, yang menjadi uswah hasanah dalam integritas diri, ketegasan pribadi ketika berhadapan dengan kekuasaan dan godaan materi rejim Orde Baru. 1 DIALOG KEPEMUDAAN YISC AL-AZHAR FORUM PEMUDA AL-AZHAR Gedung Aula Buya Hamka, Komp. Masjid Agung Al-Azhar Jl. Sisingamangaraja, Kebayoran Baru, Jakarta – Selatan Tapi pada saat yang sama, Buya Hamka adalah pribadi yang toleran dan pemaaf yang memimpin shalat janazah Presiden RI pertama Soekarno ketika wafat. Padahal, Soekarno pernah menjebloskannya ke penjara. Krisis Karakter Bangsa Pendidikan karakter kembali menemukan momentum beberapa tahun belakangan; bahkan menjadi salah satu program prioritas Kementerian Pendidikan Nasional (kini Kemendikbud). Meski sebenarnya dalam beberapa tahun terakhir, telah banyak perbincangan baik melalui konperensi, seminar dan forum publik lainnya, belum banyak terobosan kongkrit dalam memajukan pendidikan karakter. Memang, pendidikan karakter sudah saatnya dapat terlaksana secara kongkrit melalui lembaga-lembaga pendidikan dan masyarakat luas. Segera jelas, pendidikan karakter terkait tidak hanya dengan sekolah, rumah dan lingkungan masyarakat, tetapi juga dengan bidang-bidang lain, khususnya budaya, pendidikan umumnya, dan agama. Ketiga bidang kehidupan terakhir ini berhubungan erat dengan nilai-nilai yang sangat penting bagi manusia dalam berbagai aspek kehidupannya. Budaya atau kebudayaan umumnya mencakup nilainilai luhur yang secara tradisional menjadi panutan bagi masyarakat. Pendidikan— selain mencakup proses transfer dan transmisi ilmu pengetahuan—juga merupakan proses sangat strategis dalam menanamkan nilai untuk rangka pembudayaan anak manusia. Sementara itu, agama mengandung ajaran tentang berbagai nilai luhur dan mulia bagi manusia untuk mencapai harkat kemanusiaan dan kebudayaannya. Tetapi, ketiga sumber nilai yang penting bagi kehidupan itu dalam waktu tertentu dapat tidak fungsional sepenuhnya dalam terbentuknya individu dan masyarakat berkarakter, berkeadaban, dan berharkat. Budaya, pendidikan dan bahkan agama boleh jadi mengalami disorientasi karena terjadinya perubahan cepat berdampak luas, misalnya, industrialisasi, urbanisasi, modernisasi dan terakhir sekali globalisasi. Pembicaran tentang membangun kembali watak dan karakter guna revitalisasi kebangggaan dan kehormatan bangsa telah memenuhi ruang publik sejak jatuhnya Presiden Soeharto dari kekuasaannya pada 1998 hingga sekarang ini—telah lebih daripada satu dasawarsa. Perubahan dramatis, cepat dan berjangka panjang dalam kehidupan politik yang pada gilirannya juga menimbulkan disorientasi sosial dan kultural memunculkan wacana dan harapan tentang perlunya pembentukan kembali watak bangsa; ungkapan Presiden pertama RI, Soekarno tentang ‘nation and character building’ kembali menemukan relevansinya. 2 DIALOG KEPEMUDAAN YISC AL-AZHAR FORUM PEMUDA AL-AZHAR Gedung Aula Buya Hamka, Komp. Masjid Agung Al-Azhar Jl. Sisingamangaraja, Kebayoran Baru, Jakarta – Selatan Berakhirnya kekuasaan Orde Baru, berbarengan dengan munculnya krisis dalam berbagai aspek kehidupan bangsa menimbulkan krisis pula dalam watak dan ketahanan bangsa. Semakin derasnya arus globalisasi yang membawa berbagai bentuk dan ekspresi budaya global merupakan faktor tambahan penting yang mengakibatkan pengikisan watak bangsa berlangsung semakin lebih cepat dan luas. Akibat lebih lanjut, krisis watak bangsa menimbulkan disrupsi dan dislokasi dalam kehidupan sosial dan kultural bangsa, sehingga dapat mengancam integritas dan ketahanan bangsa secara keseluruhan. Periode sejak masa pasca-Soeharto sampai sekarang ini yang sering disebut sebagai “masa reformasi” agaknya hanya mampu mewujudkan sebagian dari citacita pembentukan masyarakat Indonesia yang berkarakter; tetapi masih banyak lagi agenda yang harus dilakukan. Untuk menyebut satu bidang kehidupan saja, Indonesia memang menjadi lebih demokratis, bahkan kini mungkin “terlalu demokratis” alias kebablasan. Jika pada masa Soeharto kita memiliki “too little too late democracy”, kini kita agaknya mempunyai “too much democracy”, yang secara salah masih saja diekspresikan dalam bentuk mobocracy berkepanjangan. Konsolidasi demokrasi belum sepenuhnya terwujud, meski Indonesia sukses melaksanakan Pemilu legislatif dan Presiden 2004; Pemilu Legislatif 9 April 2009, dan Pilpres 8 Juni 2009, yang berjalan relatif aman, dan damai. Namun pada pihak lain, Pemilukada yang berlangsung seolah-olah tidak pernah putus di berbagai daerah sering berujung konflik horizontal; keadaban nyaris lenyap dalam aksi massa yang terlibat dalam pertikaian politik. Dengan begitu terlihat masyarakat kita mengalami berbagai disorientasi. Karena itulah harapan dan seruan dari berbagai kalangan masyarakat kita dalam beberapa tahun terakhir untuk pembangunan kembali watak atau karakter kemanusiaan melalui pendidikan karakter menjadi semakin meningkat dan nyaring. Kebijakan Kemendikbud mengutamakan pendidikan karakter dapat menjadi momentum penting dalam konteks ini di tanah air kita. Jika dilacak lebih jauh, krisis dalam watak dan karakter bangsa itu juga terkait banyak dengan semakin tiadanya harmoni dalam keluarga (Cf. International Education Foundation 2000). Banyak keluarga mengalami disorientasi bukan hanya karena menghadapi limpahan atau sebaliknya kesulitan ekonomi, tetapi juga karena serbuan globalisasi nilai dan gaya hidup yang tidak selalu kompatibel dengan nilai dan norma agama, sosial-budaya nasional dan lokal Indonesia. Sebagai contoh, gaya hidup hedonistik, materialistik dan permissif seperti banyak ditayangkan dalam telenovela dan sinetron pada berbagai saluran TV Indonesia, mempercepat disorientasi dan dislokasi keluarga dan rumahtangga. 3 DIALOG KEPEMUDAAN YISC AL-AZHAR FORUM PEMUDA AL-AZHAR Gedung Aula Buya Hamka, Komp. Masjid Agung Al-Azhar Jl. Sisingamangaraja, Kebayoran Baru, Jakarta – Selatan Akibatnya, tidak heran kalau banyak anak-anak yang keluar dari keluarga dan rumahtangga hampir tidak memiliki watak dan karakter; dalam istilah Buya Hamka, berakal-berbudi. Banyak di antara anak-anak yang alim dan bajik di rumah, tetapi nakal di sekolah, terlibat dalam tawuran, penggunaan obat terlarang, dan berbagai bentuk tindakan kriminal lain, seperti perampokan bis kota dan sebagainya. Inilah anak-anak yang bukan hanya tidak memiliki kebajikan (righteousness) dan inner beauty dalam karakternya, tetapi malah mengalami kepribadian terbelah (split personality, yang dalam penuturan Buya Hamka memiliki gambaran sebagai berikut: “Di sinilah keheranan kita melihat orang yang setiap hari menyisir rambutnya, tetapi tidak pernah menyisir otaknya; membusungkan dadanya, tetapi tidak membusungkan hatinya”. Sekolah menjadi seolah tidak berdaya menghadapi kenyataan ini. Dan sekolah selalu menjadi kambing hitam dari merosotnya watak dan karakter bangsa. Padahal, sekolah sendiri menghadapi berbagai masalah berat menyangkut kurikulum yang overload, fasilitas yang tidak memadai, kesejahteraan guru dan tenaga kependidikan yang rendah. Menghadapi beragam masalah ini sekolah seolah kehilangan relevansinya dengan pembentukan karakter. Sekolah, sebagai konsekuensinya, lebih merupakan sekadar tempat bagi transfer of knowledge daripada character building, tempat pengajaran daripada pendidikan. Keragaman Budaya dan Multikulturalisme Padahal dengan membangun karakter kita dapat memperkokoh jati diri dan ketahanan masyarakat Indonesia multi-kultural, yang memiliki berbagai ragam budaya. Keragaman budaya merupakan salah satu kekayaan bangsa ini, yang tidak dimiliki bangsa-bangsa lain. Bahkan secara konstitusional, baik dalam UUD 1945, Pancasila maupun dalam prinsip negara bhinneka tunggal ika, keragaman budaya itu sudah mendapatkan landasannya yang kuat. Pengakuan terhadap keragaman budaya itu hampir sama sebangun dengan prinsip multikulturalisme, yang berdasarkan pada ‘politik pengakuan’ (politics of recognition), mengakui setiap warga memiliki posisi yang setara satu sama lain. Tak kurang pentingnya, pengakuan terhadap keragaman itu didasarkan pada prinsip saling menghormati dan menghargai di tengah berbagai perbedaan yang ada. Keragaman budaya dan multi-kulturalisme di tanahair kita dapat terancam jika masing-masing entitas dan kelompok budaya hanya mengunggulkan budaya masing-masing, dan pada saat yang sama kurang atau tidak menghargai budaya lainnya. Karena itu, penghargaan pada keragaman budaya mesti tidak dipandang 4 DIALOG KEPEMUDAAN YISC AL-AZHAR FORUM PEMUDA AL-AZHAR Gedung Aula Buya Hamka, Komp. Masjid Agung Al-Azhar Jl. Sisingamangaraja, Kebayoran Baru, Jakarta – Selatan telah selesai atau dibiarkan berkembang dengan sendirinya; sebaliknya justru harus diperkuat terus menerus melalui berbagai jalur interaksi sosial dan pendidikan pada berbagai levelnya. Dalam konteks itu kita juga mesti memperkuat bangsa Indonesia yang memiliki jati diri dan ketahanan; berkepribadian dan berkarakter yang tangguh; berpegang teguh pada nilai-nilai demokratis dan keadaban; menghargai tinggi law and order; berkeadilan sosial, politik, dan ekonomi; memiliki kesalehan individual formal dan kesalehan komunal-sosial sekaligus; berkeadaban (civility) dalam lingkup civil society; menghargai keragaman dan kehidupan multikultural; dan memiliki perspektif lokal, nasional dan global sekaligus. Daftar ciri-ciri ideal ini tentu saja masih bisa ditambah lagi. Keadaban (civility) ini penting ditekankan. Karena dalam beberapa tahun terakhir masyarakat kita cenderung semakin kehilangan “keadaban” (civility). Kita menyaksikan amuk massa; tawuran kini tidak lagi hanya terjadi di lingkungan pelajar dan kampung, tetapi juga antar mahasiswa—bahkan di lingkungan satu perguruan tinggi. Merosotnya keadaban ini juga bisa disaksikan pada berbagai kalangan masyarakat lainnya; sejak semakin meluasnya KKN melalui “desentralisasi” korupsi yang menumpang desentralisasi dan otonomi daerah. Banyak anak bangsa telah kehilangan “rasa malu”, sehingga keadabannya hampir tidak terlihat sama sekali. Bisa dipastikan, kenyataan ini merupakan gejala terjelas dari krisis sosial yang semakin parah dalam masyarakat kita. Karena itulah kita perlu kembali berbicara tentang pendidikan karakter. Mengantipasi perubahan zaman yang gundah ini, Profesor Hamka menyatakan: “Pendidikan hendaknya membentuk anak supaya menjadi anggota yang berfaedah di dalam pergaulan hidup, penuh dirinya dengan rasa kemanusiaan...cinta kepada persaudaraan dan kemerdekaan. Pendidikan demokratis”. Lanjut Buya Hamka: “Beri anak kebebasan berfikir dan tuntunlah ia di dalam kebebasan itu; jangan diperkosa perjalanan pikirannya, baik oleh gurunya atau oleh ayah bundanya, supaya jangan dia sebagai kayu yang layu pucuknya...Pendidikan yang bersifat pimpinan, yang bersifat membukakan jalan, adalah seumpama udara dan cahaya matahari; biarkan dia kena udara dan kena cahaya matahari, dia akan sanggup hidup sendirinya”. Peran Keluarga Berbicara tentang pendidikan karakter, baik dikutip ungkapan indah Phillips dalam The Great Learning(2000:11): “If there is righteousness in the heart, there 5 DIALOG KEPEMUDAAN YISC AL-AZHAR FORUM PEMUDA AL-AZHAR Gedung Aula Buya Hamka, Komp. Masjid Agung Al-Azhar Jl. Sisingamangaraja, Kebayoran Baru, Jakarta – Selatan will be beauty in the character; if there is beauty in the character, there will be harmony in the home; if there is harmony in the home, there will be order in the nation; if there is order in the nation, there will be peace in the world”. Mempertimbangkan berbagai kenyataan pahit yang kita hadapi seperti dikemukakan di atas, pendidikan karakter merupakan langkah sangat penting dan strategis untuk membangun kembali jati diri bangsa. Tetapi penting segera dikemukakan—seperti terlihat dalam pernyataan Phillips tadi—bahwa pendidikan karakter haruslah melibatkan semua pihak; rumahtangga dan keluarga; sekolah; dan lingkungan sekolah lebih luas (masyarakat). Karena itu, langkah pertama yang harus dilakukan adalah menyambung kembali hubungan dan educational networks yang nyaris terputus antara ketiga lingkungan pendidikan ini. Pembentukan watak dan pendidikan karakter tidak akan berhasil selama antara ketiga lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan dan harmonisasi. Dengan demikian, rumahtangga dan keluarga sebagai lingkungan pembentukan watak dan pendidikan karakter pertama dan utama mestilah diberdayakan kembali. Sebagaimana disarankan Phillips, keluarga hendaklah kembali menjadi “school of love”, sekolah untuk kasih sayang (Phillips 2000). Dalam perspektif Islam, keluarga sebagai “school of love” dapat disebut sebagai “madrasah mawaddah wa rahmah, tempat belajar yang penuh cinta sejati dan kasih sayang. Islam memberikan perhatian yang sangat besar kepada pembinaan keluarga (usrah). Keluarga merupakan basis dari ummah (bangsa); dan karena itu keadaan keluarga sangat menentukan keadaan ummah itu sendiri. Bangsa terbaik (khayr ummah) yang merupakan ummah wahidah (bangsa yang satu) dan ummah wasath (bangsa yang moderat), sebagaimana dicita-citakan Islam hanya dapat terbentuk melalui keluarga yang dibangun dan dikembangkan atas dasar mawaddah wa rahmah. Berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan Anas r.a, keluarga yang baik memiliki empat ciri. Pertama; keluarga yang memiliki semangat (ghirah) dan kecintaan untuk mempelajari dan menghayati ajaran-ajaran agama dengan sebaikbaiknya untuk kemudian mengamalkan dan mengaktualisasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, keluarga di mana setiap anggotanya saling menghormati dan menyayangi; saling asah dan asuh. Ketiga, keluarga yang dari segi nafkah (konsumsi) tidak berlebih-lebihan; tidak ngoyo atau tidak serakah dalam usaha mendapatkan nafkah; sederhana atau tidak konsumtif dalam pembelanjaan. Keempat, keluarga yang sadar akan kelemahan dan kekurangannya; dan karena itu selalu berusaha meningkatkan ilmu dan pengetahuan setiap anggota 6 DIALOG KEPEMUDAAN YISC AL-AZHAR FORUM PEMUDA AL-AZHAR Gedung Aula Buya Hamka, Komp. Masjid Agung Al-Azhar Jl. Sisingamangaraja, Kebayoran Baru, Jakarta – Selatan keluarganya melalui proses belajar dan pendidikan seumur hidup (life long learning), min al-mahdi ila al-lahdi. Datang dari keluarga mawaddah wa rahmah dengan ciri-ciri seperti di atas, maka anak-anak telah memiliki potensi dan bekal yang memadai untuk mengikuti proses pembelajaran di sekolah. Dan, sekali lagi, sekolah—seperti sudah sering dikemukakan banyak orang--seyogyanya tidak hanya menjadi tempat belajar, namun sekaligus juga tempat memperoleh pendidikan, termasuk pendidikan watak dan pendidikan nilai. Dalam pandangan Profesor Hamka, sekolah, pada hakikatnya bukanlah sekedar tempat “transfer of knowledge” belaka. Seperti juga dikemukakan Fraenkel (1977:1-2), sekolah tidaklah semata-mata tempat di mana guru menyampaikan pengetahuan melalui berbagai mata pelajaran. Sekolah juga adalah lembaga yang mengusahakan usaha dan proses pembelajaran yang berorientasi pada nilai (value-oriented enterprise). Lebih lanjut, Fraenkel mengutip John Childs yang menyatakan, bahwa organisasi sebuah sistem sekolah dalam dirinya sendiri merupakan sebuah usaha moral (moral enterprise), karena ia merupakan upaya sengaja masyarakat manusia untuk mengontrol pola perkembangannya. Pembentukan watak dan pendidikan karakter melalui sekolah tidak bisa dilakukan semata-mata melalui pembelajaran pengetahuan, tetapi adalah melalui penanaman atau pendidikan nilai-nilai. Apakah nilai-nilai tersebut? Secara umum, kajian tentang nilai biasanya mencakup dua bidang pokok, estetika, dan etika (atau akhlak, moral, budi pekerti). Estetika mengacu kepada hal-hal tentang dan justifikasi terhadap apa yang dipandang manusia sebagai “indah”, apa yang mereka senangi. Sedangkan etika mengacu kepada hal-hal tentang dan justifikasi terhadap tingkah laku yang pantas berdasarkan standar yang berlaku dalam masyarakat, baik bersumber dari agama, adat istiadat, konvensi, dan sebagainya. Standar itu adalah nilai moral atau akhlak tentang tindakan yang baik dan yang buruk. Lingkungan masyarakat luas memiliki pengaruh besar terhadap keberhasilan penanaman nilai-nilai estetika dan etika untuk pembentukan karakter. Dari perspektif Islam, menurut Quraish Shihab (1996:321), situasi kemasyarakatan dengan sistem nilai yang dianutnya, mempengaruhi sikap dan cara pandang masyarakat secara keseluruhan. Jika sistem nilai dan pandangan mereka terbatas pada “kini dan di sini”, upaya dan ambisinya terbatas pada kini dan di sini pula. Dalam konteks itu, banyak ayat al-Qur’an ayatnya menekankan tentang kebersamaan anggota masyarakat menyangkut pengalaman sejarah yang sama, tujuan bersama, gerak langkah yang sama, solidaritas yang sama. Di sinilah, tulis Quraish Shihab, muncul gagasan dan ajaran tentang amar ma`ruf dan nahy 7 DIALOG KEPEMUDAAN YISC AL-AZHAR FORUM PEMUDA AL-AZHAR Gedung Aula Buya Hamka, Komp. Masjid Agung Al-Azhar Jl. Sisingamangaraja, Kebayoran Baru, Jakarta – Selatan munkar; dan tentang fardhu kifayah, tanggung jawab bersama dalam menegakkan nilai-nilai yang baik dan mencegah nilai-nilai yang buruk. Pendidikan Nilai Pembentukan karakter merupakan bagian dari pendidikan nilai (values education) yang dilakukan melalui ketiga kelembagaan pendidikan, keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat, seperti ditekankan Buya Hamka. Menurut Hamka, terdapat tiga aspek penting dalam diri anak didik yang perlu dibentuk, yaitu: hati (qalb), jasad (jism), dan akal (‘aql). Dengan kepaduan yang serasi dan seimbang di antara ketiga aspek ini dapat diwujudkan anak, remaja dan pemuda yang berkarakter. Pendidikan karakter melalui sekolah merupakan usaha mulia yang mendesak dilakukan. Bahkan, kalau kita berbicara tentang masa depan, sekolah bertanggungjawab bukan hanya dalam mencetak peserta didik yang unggul dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga dalam jati diri, karakter dan kepribadian. Dan hal ini relevan dan kontekstual bukan hanya di negara-negara yang tengah mengalami krisis watak seperti Indonesia, tetapi juga bagi negaranegara maju sekalipun (cf. Fraenkel 1977: Kirschenbaum & Simon 1974). Usaha pembentukan watak melalui sekolah, hemat saya, selain dengan pendidikan karakter di atas, secara berbarengan dapat pula dilakukan melalui pendidikan nilai dengan langkah-langkah sebagai berikut: Pertama, menerapkan pendekatan “modelling” atau “exemplary” atau “uswah hasanah”. Yakni mensosialisasikan dan membiasakan lingkungan sekolah untuk menghidupkan dan menegakkan nilai-nilai akhlak dan moral yang benar melalui model atau teladan. Setiap guru dan tenaga kependidikan lain di lingkungan sekolah hendaklah mampu menjadi “uswah hasanah” yang hidup (living exemplary) bagi setiap peserta didik. Mereka juga harus terbuka dan siap untuk mendiskusikan dengan peserta didik tentang berbagai nilai-nilai yang baik tersebut. Kedua, menjelaskan atau mengklarifikasikan kepada peserta didik secara terus menerus tentang berbagai nilai yang baik dan yang buruk. Usaha ini bisa dibarengi pula dengan langkah-langkah; memberi penghargaan (prizing) dan menumbuhsuburkan (cherising) nilai-nilai yang baik dan sebaliknya mengecam dan mencegah (discouraging) berlakunya nilai-nilai yang buruk; menegaskan nilainilai yang baik dan buruk secara terbuka dan kontinu; memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk memilih berbagai alternatif sikap dan tindakan berdasarkan nilai; melakukan pilihan secara bebas setelah menimbang dalam- 8 DIALOG KEPEMUDAAN YISC AL-AZHAR FORUM PEMUDA AL-AZHAR Gedung Aula Buya Hamka, Komp. Masjid Agung Al-Azhar Jl. Sisingamangaraja, Kebayoran Baru, Jakarta – Selatan dalam berbagai konsekuensi dari setiap pilihan dan tindakan; membiasakan bersikap dan bertindak atas niat dan prasangka baik (husn al-zhan) dan tujuantujuan ideal; membiasakan bersikap dan bertindak dengan pola-pola yang baik yang diulangi secara terus menerus dan konsisten. Ketiga, menerapkan pendidikan berdasarkan karakter (character-based education). Hal ini bisa dilakukan dengan menerapkan character-based approach ke dalam setiap mata pelajaran nilai yang ada di samping matapelajaran-mata pelajaran khusus untuk pendidikan karakter, seperti pelajaran agama, pendidikan kewarganegaraan (PKn), sejarah, Pancasila dan sebagainya. Memandang kritik terhadap matapelajaran-matapelajaran terakhir ini, perlu dilakukan reorientasi baik dari segi isi/muatan dan pendekatan, sehingga mereka tidak hanya menjadi verbalisme dan sekedar hapalan, tetapi betul-betul berhasil membantu pembentukan kembali karakter dan jatidiri bangsa. Wallahu a`lam bish-shawab. Bibliografi Azra, Azyumardi, 2006, “Faith, Values, and Integrity in Public Life”, makalah disampaikan pada World Ethics Forum: Leadership, Ethics, and Integrity in Public Life, Oxford, International Institute for Public Ethics (IPPE) dan The World Banl, 9-12 April, 2006. Azra, Azyumardi, 2003 (cetakan 2, 2006), Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan Demokratisasi, Jakarta: Penerbit Kompas. Azra, Azyumardi, 1999a, “Membangun Kembali Karakter Bangsa: Peran dan Tantangan Perguruan Tinggi”, makalah disampaikan pada Dies Natalis ke-50 Universitas Gadjah Mada, 13 Nopember 1999. Azra, Azyumardi, 1999b, “Pembinaan Pendidikan Akhlak Didik pada Era Reformasi”, pokokpokok pikiran untuk Seminar tentang Pendidikan Anak dalam Indonesia Baru, Direktorat Pembinaan Pendidikan Islam pada Sekolah Umum, Depag RI, Jakarta, 2 Nopember 1999. Azra, Azyumardi, 1999c, “Catatan tentang Evaluasi atas Arah Pendidikan serta Fungsionalisasi Pemikiran Pendidikan di Indonesia”, makalah pada Diskusi Ahli “Pendidikan Indonesia untuk Masa Depan yang Lebih Baik”, Yayasan Fase Baru Indonesia, Jakarta, 25 Oktober 1999. Hamka, 2002, Dari Hati Ke Hati, Jakarta, Pustaka Panjimas. Hamka, 1986, Tafsir al-Azhar, Juz I sampai Juz XXX, Jakarta: Pustaka Panjimas. Hamka, 1983, Lembaga Budi, cetakan 9, Jakarta: Pustaka Panjimas. Hamka, 1982, Kebudayaan Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka Panjimas. 9 DIALOG KEPEMUDAAN YISC AL-AZHAR FORUM PEMUDA AL-AZHAR Gedung Aula Buya Hamka, Komp. Masjid Agung Al-Azhar Jl. Sisingamangaraja, Kebayoran Baru, Jakarta – Selatan Hamka, 1981, Pelajaran Agama Islam, Kota Bharu, Pustaka Aman Press; 1952, Jakarta: Penerbit Bulan Bintang. Hamka, 1980, Falsafah Hidup, Kuala Lumpur: Pustaka Antara; cet 3, 1950, Jakarta: Pustaka Panji Masyarakat. Hamka, 1979, Kenang-kenangan Hidup, 4 jilid, Jakarta: Bulan Bintang. Hamka, 1971, Islam, Alim Ulama dan Pembangunan, Jakarta: Pusat Dakwah Islam Indonesia. Hamka, 1951, Urat Tungang Pancasila, Jakarta: Keluarga. Hamka, 1946, Islam dan Demokrasi, tempat dan penerbit tidak diketahui. International Education Foundation, 2000, “The Need for Character Education”, makalah pada National Conference on Character Building, Jakarta, 25-26 Nopember, 2000. Fraenkel, Jack R., 1977, How to Teach about Values: An Analytical Approach, Englewood, NJ: Prentice Hall. Kirschenbaum, Howard & Sydney B. Simon, 1974, “Values and Futures Movement in Education”, dalam Alvin Toffler (ed.), Learning for Tomorrow: The Role of the Future in Education, New York: Random House. Navis, AA, 1999, “Pendidikan dalam Membentuk Watak Bangsa”, makalah pada Diskusi Ahli “Pendidikan Indonesia untuk Masa Depan yang Lebih Baik”, Yayasan Fase Baru Indonesia, Jakarta, 25 Oktober 1999. Phillips, C. Thomas, 2000, “Family as the School of Love”, makalah pada National Conference on Character Building, Jakarta, 25-26 Nopember, 2000. Shihab, M. Quraish, 1996, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu`I atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan. *Azyumardi Azra adalah Direktur Sekolah PascaSarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta sejak Januari 2007 sampai sekarang; dan juga pernah menjabat Deputi Kesra pada Sekretariat Wakil Presiden RI (Mei 2007-Oktober 2009). Sebelumnya, dia adalah Rektor IAIN/UIN selama dua periode (1998-2002, dan 2002-2006). Ia juga gurubesar kehormatan Universitas Melbourne (2006-9); Komite Akademis Aga Khan International University London (2006-8); anggota Dewan Penasehat Centre for the Study of Contemporary Islam (CSCI, University of Melbourne); anggota Board of Trustees International Islamic University, Islamabad, Pakistan (2005-sekarang); anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI, 2005-sekarang); anggota Dewan Riset Nasional (DRN, 2005-sekarang); anggota Presidium ICMI (2006-2010). Memperoleh MA, MPhil dan PhD dari Columbia University, New York (1992), pada Mei 2005 dia memperoleh DR HC dalam humane letters dari Carroll College, Montana, USA. Dia mempresentasikan makalah pada banyak seminar dan konperensi baik di dalam maupun luar negeri; dan telah menerbitkan lebih dari 23 buku; di antaranya dalam bahasa Inggris: editor, Shari’a and Politics in Indonesia (Singapore: ISEAS, 2005); Indonesia, Islam and Democracy: Dynamic in Global Contexts (2006), Islam in the Indonesian World: An Account of Institutional 10 DIALOG KEPEMUDAAN YISC AL-AZHAR FORUM PEMUDA AL-AZHAR Gedung Aula Buya Hamka, Komp. Masjid Agung Al-Azhar Jl. Sisingamangaraja, Kebayoran Baru, Jakarta – Selatan Development (Mizan International: 2007); (co-contributing editor), Islam Beyond Conflict: Indonesian Islam and Western Political Theory (London: Ashagate: 2008); dan (co-editor), Varieties of Religious Authority: Changes and Challenges of 20th Century Indonesian Islam (Singapore: ISEAS, 2010). Lebih 30 artikelnya dalam bahasa Inggris telah diterbitkan dalam berbagai buku dan jurnal pada tingkat internasional. Dia juga anggota Dewan Penasehat UNDEF New York (2006-8); International IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance), Stockholm (2007-sampai sekarang); Multi Faith Centre, Griffith University, Brisbane (2005-sekarang); Institute of Global Ethics and Religion (2004-sekarang); Council on Faith, World Economic Forum, Davos, Swiss (2008-sekarang); Bali Democracy Forum (2008-sekarang). Pada 2005 ia mendapatkan The Asia Foundation Award dalam rangka 50 tahun TAF atas peran pentingnya dalam modernisasi pendidikan Islam; dalam rangka Peringatan Hari Kemerdekaan RI, pada 15 Agustus 2005 ia mendapat anugerah Bintang Mahaputra Utama RI yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atas jasanya dalam pengembangan Islam moderat; dan pada Juli 2010 ia mendapatkan penghargaan Honorary CBE (Commander of the Order of the British Empire) dari Ratu Kerajaan Inggris atas jasa-jasanya dalam hubungan antaragama dan peradaban. 11