pengaruh suhu permukaan laut terhadap jumlah dan ukuran hasil

advertisement
PENGARUH SUHU PERMUKAAN LAUT TERHADAP
JUMLAH DAN UKURAN HASIL TANGKAPAN IKAN
CAKALANG DI PERAIRAN TELUK PALABUHANRATU
JAWA BARAT
MARIO LIMBONG
SKRIPSI
DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
2
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :
PENGARUH SUHU PERMUKAAN LAUT TERHADAP
JUMLAH DAN UKURAN HASIL TANGKAPAN IKAN
CAKALANG DI PERAIRAN TELUK PALABUHANRATU
JAWA BARAT
Adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Adapun semua sumber
data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Maret 2008
Yang membuat pernyataan,
Mario Limbong
C54104005
3
ABSTRAK
Mario Limbong. Pengaruh Suhu Permukaan Laut Terhadap Jumlah dan
Ukuran Hasil Tangkapan Ikan Cakalang di Perairan Teluk Palabuhanratu
Jawa Barat. Dibimbing oleh Domu Simbolon
Penentuan daerah penangkapan ikan dapat diduga dari kondisi perairan
yang merupakan habitat dari suatu spesies. Kondisi perairan biasanya
digambarkan dengan parameter oseanografi. Salah satu indikator untuk
mengetahui keberadaan suatu spesies ikan yaitu suhu permukaan laut.
Keberadaan ikan cakalang sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor oseanografi,
salah satunya yaitu suhu permukaan laut.
Penelitian dilakukan dalam dua tahap yaitu, tahap pertama di perairan
Teluk Palabuhanratu dengan basis operasi di PPN Palabuhanratu (AgustusOktober 2007). Penelitian ini menggunakan metode survei, sedangkan
pengambilan data melalui eksperimental fishing dengan cara purposive sampling,
sebanyak 10 kapal payang. Suhu permukaan laut diperoleh dengan mendownload dari internet (http://oceancolor.gsfc.nasa.gov).
Suhu permukaan laut di perairan Teluk Palabuhanratu pada bulan Agustus,
SPL berkisar 22oC – 29oC dengan SPL dominan antara 26oC-29oC. Kisaran SPL
pada bulan September yaitu antara 21oC – 27oC dengan SPL dominan antara
24oC – 27oC. Kisaran SPL pada bulan Oktober adalah 20oC-31oC dengan suhu
dominan pada kisaran 24oC-29oC. Ikan cakalang banyak tertangkap pada kisaran
suhu 25oC-29oC. Daerah penangkapan ikan cakalang pada bulan Agustus sampai
Oktober 2007 terdapat di perairan Teluk Ciletuh, Ujung Karangbentang, Cimaja,
Teluk Cikepuh, Ujung Genteng dan Gedogan. Suhu permukaan laut (SPL) tidak
berpengaruh terhadap hasil tangkapan ikan cakalang di perairan Teluk
Palabuhanratu.
Kata kunci: Suhu Permukaan Laut, Cakalang dan Palabuhanratu
4
@ Hak cipta milik Mario Limbong, 2008
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis
dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun,
baik cetak, fotokopi, mikrofilm dan sebagainya.
5
PENGARUH SUHU PERMUKAAN LAUT TERHADAP
JUMLAH DAN UKURAN HASIL TANGKAPAN IKAN
CAKALANG DI PERAIRAN TELUK PALABUHANRATU
JAWA BARAT
Oleh :
MARIO LIMBONG
C54104005
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan pada
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
6
SKRIPSI
Judul : Pengaruh Suhu Permukaan Laut Terhadap Jumlah dan Ukuran Hasil
Tangkapan Ikan Cakalang di Perairan Teluk Palabuhanratu, Jawa Barat.
Nama : Mario Limbong
NRP
: C54104005
Disetujui :
Pembimbing I
Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si.
NIP. 131 879 352
Mengetahui,
Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc.
NIP. 131 578 799
Tanggal Lulus: 11 Maret 2008
7
KATA PENGANTAR
Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan pada Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertania Bogor. Judul skripsi ini
adalah “ PENGARUH SUHU PERMUKAAN LAUT TERHADAP JUMLAH
DAN UKURAN HASIL TANGKAPAN IKAN CAKALANG DI PERAIRAN
TELUK PALABUHANRATU, JAWA BARAT.”
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, sehingga
penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak
yang membutuhkan.
Bogor, Maret 2008
Penulis
8
UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr.Ir.Domu Simbolon, M.Si sebagai komisi pembimbing, atas segala saran
dan bimbingannya;
2. Dosen penguji tamu: Dr.Ir.M.Fedi A.Sondita, M.Sc dan Dr.Ir.Budi
Wiryawan, M.Sc yang telah banyak memberi saran serta perbaikan;
3. Ir.Ronny Irawan Wahyu M.Phil dan Dr.Eko Sri Wiyono, S.Pi, M.Si sebagai
perwakilan komisi pendidikan atas saran serta perbaikan dalam penyusunan
skripsi ini;
4. Dosen-dosen Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan yang telah
mengajar dan mendidik selama masa perkulihan;
5. Bapak, Mama, Abang, Kakak, Adek dan Keluarga Besar Op.Sahat Limbong
yang telah memberikan semangat dan juga dukungan doa;
6. Teman-teman seperjuangan PSP’41 yang telah membantu dalam
perkuliahan dan penelitian saya;
7. Richard, Agus, Christian, Theo, Benardo, Debby, Landes, Maryo, Supardi
yang sering mengganggu penulis dalam penyelesaian skripsi ini;
8. Kang “Wahyu” yang telah memberikan waktu dan tempat kepada penulis
selama pengambilan data;
9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu
penulis sehingga terselesainya penulisan skripsi ini
Bogor, Maret 2008
Penulis
9
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Singkam pada tanggal 6 Maret
1986 dari pasangan J. Limbong dan E. Sitanggang. Penulis
adalah anak ke tiga dari enam bersaudara. Tahun 1992
mengawali pendidikan di SD N 173783 Singkam dan pada
tahun 1998 penulis melanjutkan ke Sekolah
Lanjutan
Tingkat Pertama Negeri 1 Sianjur Mula-Mula. Pada tahun
2001 penulis melanjutkan pendidikannya di Sekolah
Menengah Umum Kartika I-2 Medan.
Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2004 melalui jalur
USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) dan terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan pada Program studi Pemanfaatan Sumberdaya
Perikanan. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam berbagai kegiatan
organisasi. Penulis pernah menjabat sebagai anggota Departemen Informasi dan
Komunikasi HIMAFARIN 2005-2006, Ketua Persekutuan Fakultas FPIK,
Anggota Unit Kegiatan Mahasiswa PMK tahun 2004 sampai sekarang.
Pada tahun 2007 penulis melakukan penelitian dengan judul Pengaruh
Suhu Permukaan Laut Terhadap Jumlah dan Ukuran Hasil Tangkapan Ikan
Cakalang di Perairan Teluk Palabuhanratu, Jawa Barat sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar sarjana perikanan pada Program studi Pemanfaatan
Sumberdaya Perikanan.
10
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ................................................................................................... i
DAFTAR TABEL ......................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... iv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. v
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang ...................................................................................... 1
1.2 Tujuan .................................................................................................. 3
1.3 Manfaat ................................................................................................ 3
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sistem Penginderaan Jauh .................................................................... 4
2.2 Karakteristik Sensor MODIS ............................................................. 5
2.3 Taksonomi Ikan Cakalang ................................................................... 9
2.4 Tingkah Laku Ikan Cakalang .............................................................. 11
2.5 Kondisi Oseanografi yang Mempengaruhi Penyebaran
Ikan Cakalang
................................................................................... 11
2.6 Suhu Permukaan Laut ......................................................................... 14
2.7 Keadaan Geografis dan Topografis Palabuhanratu ............................... 16
2.8 Keadaan Iklim, Musim dan Daerah Penangkapan di Palabuhanratu .... 16
2.9 Keadaan Umum Perikanan Tangkap .................................................... 18
2.9.1 Alat penangkapan ikan .............................................................. 18
2.9.2 Kapal/Perahu ............................................................................. 20
2.9.3 Nelayan ..................................................................................... 21
3 METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................. 24
3.2 Jenis dan Sumber Data ........................................................................ 25
3.3 Metode Pengumpulan Data ................................................................ 25
3.4 Analisis Data ...................................................................................... 27
3.4.1 Hasil tangkapan .......................................................................... 27
3.4.2 Suhu permukaan laut
................................................................ 27
11
Halaman
3.4.3 Hubungan hasil tangkapan dengan SPL
................................. 29
4 HASIL
4.1 Hasil Tangkapan Ikan Cakalang ......................................................... 31
4.2 Suhu Permukaan Laut ......................................................................... 33
4.3 Hubungan SPL dengan Hasil Tangkapan Ikan Cakalang ................... 34
5 PEMBAHASAN
5.1 Variabilitas Hasil Tangkapan Ikan Cakalang ……………………….. 38
5.2 Sebaran Temporal dan Spasial SPL di Perairan Teluk
Palabuhanratu ..................................................................................... 39
5.3 Pengaruh SPL Terhadap Hasil Tangkapan Ikan Cakalang ………. ... 41
5.4 Penyebaran Daerah Penangkapan Ikan Cakalang …………………... 44
6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan ......................................................................................... 47
6.2 Saran ................................................................................................... 47
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 48
LAMPIRAN ................................................................................................... 52
12
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Spesifikasi MODIS ................................... ................................................. 6
2. Karakteristik kanal-kanal sensor MODIS .................................................... 7
3. Data satelit ocean color dan spesifikasinya ................................................ 8
4. Perkembangan jumlah alat tangkap periode 1998-2006 di Palabuhanratu ... 19
5. Perkembangan jumlah kapal yang menggunakan PPN Palabuhanratu
sebagai fishing base periode 2000-2006 ...................................................... 21
6. Perkembangan jumlah nelayan di Perairan Teluk Palabuhanratu
periode 1998-2006 ...................................................................................... 22
7. Sumber sumber data primer dan sekunder ................................................... 25
8. Kisaran SPL optimum penangkapan ikan cakalang di sebagian
wilayah Indonesia ...................................................................................... 42
9. Evaluasi DPI berdasarkan jumlah ikan, ukuran dan sebaran SPL .............. 44
13
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Bentuk morfologi ikan cakalang ( Katsuwonus pelamis ) .......................... 9
2. Perubahan suhu pada kedalaman yang berbeda-beda ................................ 15
3. Peta daerah penelitian ................................................................................ 24
4. Jumlah Hasil Tangkapan dan CPUE bulan Agustus, September dan
Oktober 2007 .............................................................................................. 31
5. Hasil tangkapan harian pada bulan Agustustus 2007 – Oktober 2007 ....... 31
6. CPUE harian pada bulan Agustus 2007- Oktober 2007 ............................. 32
7. Ukuran Ikan pada bulan Agustus 2007 – Oktober 2007 ............................ 32
8. Ukuran Bulanan Ikan Cakalang bulanan pada bulan Agustus, bulan
September dan bulan Oktober .................................................................... 33
9. Sebaran SPL pada bulan Agustus, bulan September dan bulan Oktober ... 35
10. Hubungan SPL dengan hasil tangkapan ikan cakalang .............................. 36
11. Hubungan SPL dengan hasil tangkapan setiap waktu akuisisi .................. 36
12. Hubungan SPL dengan ukuran panjang ikan cakalang .............................. 37
13. Hubungan SPL dengan ukuran panjang setiap waktu akuisisi ................... 37
14. Perubahan DPI selama periode Agustus samapai Oktober 2007 ............... 46
14
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Data CPUE 2005-2006 PPN Palabuhanratu .............................................. 52
2. Citra sebaran SPL pada bulan Agustus 2007 ............................................. 53
3. Citra sebaran SPL pada bulan September 2007 ......................................... 54
4. Citra sebaran SPL pada bulan Oktober 2007 ............................................. 55
5. SPL dan hasil tangkapan pada bulan Agustus-Oktober 2007 .................... 56
6. Uji Normalitas ............................................................................................ 59
7. Perhitungan regresi linear sederhana ......................................................... 60
8. Perubahan DPI pada bulan Agustus sampai Oktober 2007 ....................... 61
9. Daerah Perairan Teluk Palabuhanratu yang tertutup awan ........................ 62
15
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perikanan merupakan salah satu sektor ekonomi potensial yang diharapkan
dapat
memenuhi kebutuhan
manusia yang
semakin
sulit. Peningkatan
pertumbuhan manusia tidak sebanding dengan peningkatan sumber daya alam
yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Hal ini mendorong sektor
perikanan untuk meningkatkan hasil tangkapannya. Indonesia merupakan negara
perairan yang masih memiliki kendala dalam bidang penangkapan ikan. Salah satu
kendala yang dihadapi oleh nelayan-nelayan Indonesia adalah keterbatasan
pengetahuan dalam penentuan posisi penangkapan yang efisien atau daerah
penangkapan ikan yang potensial.
Perairan Palabuhanratu yang terletak di selatan Jawa Barat, merupakan salah
satu daerah perikanan yang potensial di Indonesia. Nelayan di Palabuhanratu
melakukan penangkapan ikan hanya berdasarkan pengalaman untuk menentukan
daerah penangkapan sehingga mereka memerlukan biaya yang besar dan waktu
yang lama. Jenis-jenis ikan yang terdapat di Palabuhanratu sangat banyak
sehingga daerah ini merupakan tempat yang strategis bagi nelayan lokal maupun
nelayan yang datang dari luar Palabuhanratu. Cakalang merupakan salah satu jenis
ikan yang paling banyak tertangkap oleh alat tangkap payang dan gillnet di
Palabuhanratu. Musim penangkapan cakalang berlangsung antara Juni sampai
Oktober dan puncaknya terjadi pada Agustus sampai September. Informasi
tentang keberadaan cakalang tersebut masih sulit diperoleh secara pasti di perairan
Teluk Palabuhanratu.
Daerah penangkapan cakalang di perairan Teluk Palabuhanratu seyogianya
dapat diketahui dengan memperhatikan parameter oseanografi, seperti suhu
permukaan laut. Hal ini disebabkan karena setiap spesies ikan memiliki kisaran
suhu tertentu yang sesuai dengan kebiasaan hidupnya yang dapat ditoleransi oleh
tubuhnya sehingga dapat mempengaruhi penyebaran ikan di suatu perairan.
Dengan cara membandingkan keberadaan ikan yang tertangkap dengan suhu
permukaan laut yang disukainya, keberadaan ikan cakalang dan jenis ikan lain
dapat diketahui.
16
Pengamatan suhu permukaan laut untuk mendeteksi keberadaan ikan
cakalang sangat tepat karena cakalang merupakan spesies yang lapisan renangnya
terdapat pada lapisan atas dekat permukaan. Laevastu dan Hayes (1981)
mengemukakan bahwa suhu berpengaruh terhadap penyebaran ikan cakalang.
Suhu optimum untuk ikan cakalang di Pasifik Timur Laut sebesar 20 – 26oC,
sedangkan di Pasifik Tenggara berada pada kisaran 20-28oC. Untuk Indonesia
menurut Gunarso (1985) cakalang dapat ditemukan pada kisaran suhu antara 2829oC.
Gunarso (1985) mengatakan bahwa kebiasaan cakalang bergerombol
sewaktu dalam keadaan aktif mencari makan. Jumlah cakalang dalam suatu
gerombolan berkisar beberapa ekor sampai ribuan ekor. Individu suatu schooling
cakalang mempunyai ukuran yang relatif sama. Ikan yang berukuran lebih besar
berada pada lapisan yang lebih dalam dengan schooling yang kecil, sedangkan
ikan yang berukuran kecil berada pada lapisan permukaan dengan kepadatan yang
besar (Irawan, 1995). Apakah faktor oseanografi berpengaruh terhadap
penyebaran ukuran ikan cakalang? Ikan cakalang ukuran besar berbeda
kemampuan adaptasinya dengan ikan cakalang ukuran kecil dalam mengatasi
perubahan lingkungan. Dengan mengetahui ukuran ikan cakalang, maka dapat
melihat sebagian sifat-sifatnya dalam mengatasi perubahan lingkungan.
Untuk mengetahui parameter oseanografi suhu permukaan laut (SPL)
perairan Indonesia yang sangat luas maka metode konvensional sangat sulit
dilakukan karena membutuhkan biaya yang sangat besar dan waktu yang lama.
Hal ini mendorong untuk memanfaatkan teknologi satelit dalam pengamatan
fenomena oseanografi khususnya suhu permukaan laut. Satelit ini mampu
menentukan nilai SPL optimum yang disukai ikan, termasuk ikan cakalang.
Dengan mengetahui penyebaran SPL optimum ikan cakalang, maka nelayan dapat
memprediksi daerah penangkapan sehingga menghemat waktu, biaya dan tenaga
untuk melakukan operasi penangkapan. Oleh karena itu penelitian tentang
pengaruh SPL terhadap jumlah dan ukuran hasil tangkapan ikan cakalang di
peraiaran Teluk Palabuhanratu ini perlu dilakukan.
17
1.2 Tujuan
1) Menentukan penyebaran SPL di perairan Palabuhanratu
2) Menentukan komposisi (jumlah dan ukuran) hasil tangkapan cakalang
3) Memprediksi pengaruh SPL terhadap jumlah dan ukuran panjang (size)
hasil tangkapan cakalang
1.3 Manfaat
1) Nelayan dapat melakukan penangkapan ikan cakalang secara produktif
dengan mengetahui penyebaran daerah penangkapan ikan yang potensial
2) Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, khususnya penerapan berbagai
penginderaan jauh dalam pendeteksian daerah penangkapan ikan
18
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Sistem Penginderaan Jauh
Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi
mengenai objek dan lingkungannya dari jarak jauh tanpa sentuhan fisik. Biasanya
teknik ini menghasilkan beberapa bentuk citra yang selanjutnya diproses dan
diinterpretasikan guna menghasilkan data yang bermanfaat untuk aplikasi di
bidang pertanian, perikanan, kelautan, arkeologi dan bidang-bidang lainnya
(Purbowaseso, 1995). Teknologi penginderaan jauh pada dasarnya meliputi tiga
bagian utama yaitu: perolehan data, pemrosesan data dan interpretasi data.
Wahana yang dipergunakan adalah pesawat udara atau satelit buatan yang telah
dilengkapi dengan peralatan perekam data (sensor). Komponen dasar dari sistem
penginderaan jauh antara lain : (1) gelombang elektromagnetik sebagai sumber
radiasi (sumber energi) yang digunakan; (2) atmosfer sebagai media lintasan dari
gelombang elektromagnetik; (3) sensor sebagai alat yang mendeteksi gelombang
elektromagnetik; (4) objek.
Sumber energi yang digunakan dalam pencitraan adalah gelombang
elektromagnetik. Sumber energi dipisahkan menjadi dua, yaitu sumber energi
pasif yaitu sumber energi berupa radiasi gelombang elektromagnetik matahari,
dan sumber energi aktif yaitu sumber energi buatan, misalnya radar. Energi
elektromagnetik adalah paket elektris dan magnetik yang bergerak tegak lurus
dengan kecepatan sinar pada frekuensi pada
panjang gelombang tertentu
(Sutanto, 1987).
Sensor
adalah
alat
yang
digunakan
untuk
mendeteksi
radiasi
elektromagnetik yang dipantulkan atau dipancarkan oleh suatu benda dan
mengubahnya menjadi nilai nyata yang dapat direkam atau diproses (Butler et al,
1989). Sensor dibedakan menjadi dua berdasarkan energinya yaitu sensor aktif
dan sensor pasif. Sensor aktif adalah sensor yang mengiluminasikan objek dan
akan menginduksi benda tersebut untuk memancarkan radiasi sehingga
menyebabkan pantulan radiasi tersebut. Sensor pasif adalah sensor yang akan
menerima dan merekam baris demi baris gelombang elektromagnetik yang
dipantulkan atau dipancarkan bumi dan atmosfer. Semua sensor mempunyai
19
kepekaan spektral tertentu sehingga sensor tidak peka terhadap seluruh panjang
gelombang.
Atmosfer adalah media lintasan gelombang elektromagnetik. Atmosfer
mempunyai pengaruh terhadap jalannya gelombang elektromagnetik. Pengaruh
atmosfer adalah fungsi panjang gelombang yang pengaruhnya bersifat selektif
terhadap panjang gelombang sehingga timbul jendela atmosfer. Jendela atmosfer
adalah bagian spektrum elektromagnetik yang dapat mencapai bumi. Dalam
jendela atmosfer terdapat hambatan atmosfer yaitu kendala yang disebabkan oleh
hamburan pada spektrum tampak dan serapan dalam spektrum inframerah termal
yang disebabkan butir-butir di atmosfer berupa debu, uap air dan gas (Sutanto,
1987). Objek yang terdeteksi oleh satelit dapat dibedakan karena setiap objek di
permukaan bumi mempunyai sifat reflektansi yang khas terhadap panjang
gelombang yang mengenai objek tersebut dan setiap saluran pada sensor satelit
menerima pantulan dan pancaran dari objek pada panjang gelombang tertentu.
2.2
Karakteristik Sensor MODIS
MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) adalah salah
satu instrumen penting di dalam satelit Terra (EOS AM) yang diluncurkan pada
tanggal 18 Desember 1999 dan Aqua (EOS PM) yang diluncurkan pada tanggal
4 Mei 2002 (www.modis.gsfc.nasa.gov). MODIS mengorbit pada ketinggian
sampai 705 km di atas permukaan bumi dan dapat bertahan sampai 6 tahun
(Tabel 1). Sebenarnya tujuan utama Aqua dan Terra adalah memahami proses
yang saling berkait antara atmosfer, laut, dan daratan dengan perubahan sistem
cuaca dan pola iklim di bumi. Namun, karena sensor MODIS yang dipasang di
kedua satelit tersebut dapat mengukur hampir semua parameter darat, laut, dan
udara, kegunaannya menjadi sangat luas. Mulai dari indek tumbuhan, kelembaban
tanah, kadar aerosol di udara, suhu permukaan laut, dan kandungan klorofil laut.
Seluruhnya ada 86 parameter yang bisa diukur oleh masing-masing satelit,
sehingga banyak keperluan lain bisa ditumpangkan
Garis edar satelit Terra di sekitar bumi diatur sedemikian sehingga melintasi
dari utara ke selatan dan melewati garis khatulistiwa pada pagi hari, sedangkan
satelit Aqua melintas dari selatan ke utara dan berada di atas garis khatulistiwa di
20
sore hari (www.modis.gsfc.nasa.gov). Terra MODIS dan Aqua MODIS
mengamati keseluruhan permukaan bumi setiap 1 hingga 2 hari, memperoleh data
di 36 spektral kanal (Tabel 2). Data ini akan meningkatkan pemahaman terhadap
proses dan dinamika global yang terjadi di daratan, samudera dan lapisan atmosfer
yang lebih rendah. MODIS memainkan peranan yang penting dalam
pengembangan model sistem bumi secara global, yang mampu meramalkan
perubahan global dengan cukup teliti untuk membantu pembuat kebijakan dalam
membuat keputusan penting mengenai perlindungan lingkungan.
Tabel 1. Spesifikasi MODIS
Orbit:
705 km, 10:30 a.m. descending node (Terra) or 1:30 p.m. ascending node
(Aqua), sun-synchronous, near-polar, circular
Scan Rate:
20.3 rpm, cross track
Swath
Dimensions:
2330 km (cross track) by 10 km (along track at nadir)
Telescope:
17.78 cm diam. off-axis, afocal (collimated), with intermediate field stop
Size:
1.0 x 1.6 x 1.0 m
Weight:
228.7 kg
Power:
162.5 W (single orbit average)
Data Rate:
10.6 Mbps (peak daytime); 6.1 Mbps (orbital average)
Quantization:
12 bits
Spatial
Resolution:
250 m (bands 1-2)
500 m (bands 3-7)
1000 m (bands 8-36)
Design Life:
6 years
Sumber: NASA Research Announcement (http://simbios.gsfc.nasa.gov)
Sensor MODIS dilengkapai dengan sensifitas radiometrik tinggi (12 bit)
dengan memiliki 36 spektral kanal yang berkisar pada panjang gelombang 0,4 –
14,4 μ m (www.modis.gsfc.nasa.gov). Selang panjang gelombang pada masingmasing kanal dirancang cukup sempit agar mampu menghasilkan data
penginderaan jauh yang lebih akurat. Kanal-kanal tersebut bekerja pada kisaran
panjang gelombang sinar tampak dan infra merah. Kanal-kanal dengan resolusi
spasial 1 km yang menghasilkan karakteristik ocean colour mempunyai kesamaan
dengan kanal-kanal yang ada pada SeaWiFS (Tabel 3).
21
Tabel 2 Karakteristik kanal-kanal sensor MODIS
Primary Use
Band
Bandwidth (nm)
Spectral
Radiance1
Required
SNR2
Land/Cloud/Aerosols
Boundaries
1
620 - 670
21.8
128
2
841 - 876
24.7
201
Land/Cloud/Aerosols
Properties
3
459 - 479
35.3
243
4
545 - 565
29.0
228
5
1230 - 1250
5.4
74
6
1628 - 1652
7.3
275
7
2105 - 2155
1.0
110
8
405 - 420
44.9
880
9
438 - 448
41.9
838
10
483 - 493
32.1
802
11
526 - 536
27.9
754
12
546 - 556
21.0
750
13
662 - 672
9.5
910
14
673 - 683
8.7
1087
15
743 - 753
10.2
586
16
862 - 877
6.2
516
17
890 - 920
10.0
167
18
931 - 941
3.6
57
19
915 - 965
15.0
250
Primary Use
Band
Bandwidth (µm)
Spectral
Radiance1
Required
NE[delta]T(K)3
Surface/Cloud
Temperature
20
3.660 - 3.840
0.45(300K)
0.05
21
3.929 - 3.989
2.38(335K)
2.00
22
3.929 - 3.989
0.67(300K)
0.07
23
4.020 - 4.080
0.79(300K)
0.07
Atmospheric
Temperature
24
4.433 - 4.498
0.17(250K)
0.25
25
4.482 - 4.549
0.59(275K)
0.25
Cirrus Clouds
Water Vapor
26
1.360 - 1.390
6.00
150(SNR)
27
6.535 - 6.895
1.16(240K)
0.25
Ocean Color/
Phytoplankton/
Biogeochemistry
Atmospheric
Water Vapor
28
7.175 - 7.475
2.18(250K)
0.25
Cloud Properties
29
8.400 - 8.700
9.58(300K)
0.05
Ozone
30
9.580 - 9.880
3.69(250K)
0.25
Surface/Cloud
Temperature
31
10.780 - 11.280
9.55(300K)
0.05
32
11.770 - 12.270
8.94(300K)
0.05
Cloud Top
Altitude
33
13.185 - 13.485
4.52(260K)
0.25
34
13.485 - 13.785
3.76(250K)
0.25
35
13.785 - 14.085
3.11(240K)
0.25
36
14.085 - 14.385
2.08(220K)
0.35
1
Spectral Radiance values are (W/m2 -µm-sr)
2
SNR = Signal-to-noise ratio
3
NE(delta)T = Noise-equivalent temperature difference
Note: Performance goal is 30-40% better than required
Sumber: NASA Research Announcement (http://simbios.gsfc.nasa.gov)
22
Tabel 3 Data satelit ocean color dan spesifikasinya
Jenis
Data
Spesifikasi
Data
Sumber Data
SeaWiFS
• 8 bands
(Visible,
NIR)
• Resolusi
spasial:
4km
(GAC),
1km
(LAC)
• Perioda:
1997sekarang
NASA (order, electronically)
CZCS
• 6 bands
• Perioda:
19781986
OCTS
• 18 bands
• Resolusi
spasial:
1km
MODIS
Aqua
• 36 bands
• Resolusi
spasial:
250 m
(bands 12), 500 m
(bands 37), 1000
m (bands
8-36)
• Perioda:
2002sekarang
Data (level 1, 2):
http://oceancolor.gsfc.nasa.gov/cgi/
browse.pl?sen=am
•
•
•
•
Parameter
terukur
(Produk)
Klorofil-a
Endapan
terlarut (TSM)
Kekeruhan
perairan
batimetri
http://daac.gsfc.nasa.gov/data
• Klorofil-a
• Surface
temperature
Data (level 3) images:
http://oceancolor.gsfc.nasa.gov/cgi/level3.
pl
LAPAN
• Klorofil-a
• Klorofil-a
• Endapan
terlarut (TSM)
• Kekeruhan
perairan
• Suhu
permukaan
laut
Sumber: NASA Research Announcement (http://simbios.gsfc.nasa.gov)
23
2.3
Taksonomi Ikan Cakalang
Sistematika cakalang menurut Matsumoto, Skillman dan Dizon (1985)
adalah:
Filum : Vertebrata
Subfilum : Craniata
Superclass : Gnatnostomata
Series : Pisces
Class : Teleostomi
Subclass : Actinopterygii
Order : Perciformes
Suborder : Scombroidei
Family : Scombridae
Subfamily : Scombrinae
Tribe : Thunnini
Genus : Katsuwonus
Spesies : Katsuwonus pelamis
Gambar 1 Bentuk morfologi ikan cakalang ( Katsuwonus pelamis ).
Matsumoto et al. (1984) mengemukakan bahwa cakalang memiliki tubuh
yang padat, penampang bulat, lateral line melengkung ke bawah tepat di bawah
sirip punggung kedua, sirip dada pendek dan berbentuk segitiga. Warna tubuh
pada saat ikan masih hidup adalah biru baja (steel blue), tingled dengan lustrous
violet di sepanjang permukaan punggung dan intensitasnya menyusut di sisi tubuh
hingga ketinggian pada pangkal sirip dada. Sebagian dari badannya termasuk
bagian abdomen, berwarna putih hingga kuning muda, garis-garis vetikal
evanescent muda tampak di bagian sisi tubuhnya pada saat baru tertangkap. Jenis
24
ikan cakalang secara normal adalah heteroseksual yaitu dapat dibedakan atas
penentuan jenis kelamin jantan dan betina. Sesuai dengan pertumbuhan, maka
Nakamura (1969) membagi cakalang ke dalam enam tingkatan ekologi, yaitu:
1. Tingkat larva dan post larva, yaitu untuk ikan yang panjang kurang
dari 15 mm
2. Prajuvenil, yaitu ikan yang berukuran antara tingkatan post larva
dengan tingkatan dimana ikan mulai diusahakan secara komersial
3. Juvenil, yaitu ikan muda yang ada di perairan neritik dengan ukuran
15 cm
4. Adolescent, yaitu ikan muda yang menyebar dari perairan neretik ke
tengah lautan mencari makan
5. Spawners, yaitu ikan yang sudah mencapai kedewasaan kelamin
(seksual)
6. Spent fish, yaitu ikan yang sudah pernah memijah
Ukuran ikan cakalang diberbagai perairan dunia pada saat pertama kali
memijah/ matang gonad adalah berbeda. Dalam perkembangannya, cakalang akan
mencapai tingkat dewasa pada tahap ke empat. Pada tahap ini cakalang dapat
mencapai panjang 39,1 cm untuk jantan dan 40,7 untuk yang betina (Waldrom,
1962). Matsumoto (1984 ) mengemukakan bahwa ikan cakalang mulai memijah
ketika panjang sekitar 40 cm dan setiap kali memijah dapat menghasilkan
1.000.000 – 2.000.000 telur. Cakalang memijah sepanjang tahun di perairan
ekuator atau antara musim semi sampai awal musim gugur untuk daerah
subtropis. Masa pemijahan akan menjadi semakin pendek dengan semakin jauh
dari ekuator. FAO (1983) mengemukakan bahwa cakalang umumnya berukuran
40-80 cm dengan ukuran maksimum 100 cm.
Berdasarkan pengamatan Muhammad (1970) diacu dalam Amiruddin
(1993) di perairan Indonesia terdapat hubungan yang nyata antara kelimpahan
cakalang dengan ikan pelagis kecil serta plankton. Dengan semakin banyaknya
ikan kecil dan plankton, maka cakalang akan berkumpul untuk mencari makan.
Ikan cakalang mencari makan berdasarkan penglihatan dan rakus terhadap
mangsanya. Cakalang sangat rakus pada pagi hari, kemudian menurun pada
tengah hari dan meningkat pada waktu senja (Ayodhyoa, 1981).
25
2.4
Tingkah Laku Cakalang
Cakalang biasanya membentuk gerombolan (schooling) pada saat ikan
tersebut aktif mencari makanan. Bila ikan tersebut aktif mencari makan, maka
gerombolan tersebut bergerak dengan cepat sambil melocat-loncat di permukaan
air (Amiruddin, 1993). Penyebaran cakalang di kawasan barat samudera Pasifik
melebar dari lintang utara ke lintang selatan tetapi menyempit di kawasan timur
karena terbatasnya penyebaran air hangat yang cocok untuk pemijahan oleh arus
dingin yang mengalir menuju kawasan tropik di kedua belah bumi. Di Samudera
Hindia, penyebaran ikan cakalang melebar menuju selatan ke arah ujung selatan
benua Afrika, sekitar 36o LS. Ada tiga alasan utama yang menyebabkan beberapa
jenis ikan melakukan migrasi yaitu :
1. Mencari perairan yang kaya akan makanan
2. Mencari tempat untuk memijah; dan
3. Terjadinya perubahan beberapa faktor lingkungan perairan seperti suhu air,
salinitas dan arus (Nikolsky, 1963).
Ikan cakalang bersifat epipelagis dan oseanik, peruaya jarak jauh. Cakalang
sangat menyenangi daerah dimana terjadi pertemuan arus atau arus konvergensi
yang banyak terjadi pada daerah yang mempunyai banyak pulau. Selain itu,
cakalang juga menyenangi pertemuan antara arus panas dan arus dingin serta
daerah upwelling. Penyebaran cakalang secara vertikal terdapat mulai dari
permukaan sampai kedalaman 260 m pada siang hari, sedangkan pada malam hari
akan menuju permukaan (migrasi diurnal). Penyebaran geografis cakalang
terdapat terutama pada perairan tropis dan perairan panas di daerah lintang
sedang.
2.5
Kondisi Oseanografi yang Mempengaruhi Penyebaran Ikan Cakalang
Pola kehidupan ikan tidak bisa dipisahkan dari adanya berbagai kondisi
lingkunngan. Fluktuasi keadaan lingkungan mempunyai pengaruh yang besar
terhadap periode migrasi musiman serta terdapatnya ikan di suatu tempat
(Gunarso, 1985). Faktor oseanografi yang secara langsung mempengaruhi
keberadaan ikan cakalang yaitu suhu, arus dan salinitas perairan.
26
Suhu permukaan laut dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk
menduga keberadaan organisme di suatu perairan, khususnya ikan. Hal ini karena
sebagian besar organisme bersifat poikilotermik. Tinggi rendahnya suhu
permukaan laut pada suatu perairan terutama dipengaruhi oleh radiasi. Perubahan
intensitas cahaya akan mengakibatkan terjadinya perubahan suhu air laut baik
horizontal, mingguan, bulanan maupun tahunan (Edmondri, 1999).
Pengaruh suhu secara langsung terhadap kehidupan di laut adalah dalam laju
fotosintesis tumbuh-tumbuhan dan proses fisiologi hewan, khususnya derajat
metabolisme dan siklus reproduksi. Secara tidak langsung suhu berpengaruh
terhadap daya larut oksigen yang digunakan untuk respirasi biota laut (Edmondri,
1999). Pengaruh suhu terhadap tingkah laku ikan akan terlihat jelas pada waktu
ikan melakukan pemijahan. Setiap ikan mempunyai kisaran suhu tertentu untuk
melakukan pemijahan, bahkan mungkin dengan suatu siklus musiman yang
tertentu pula (Gunarso, 1985).
Aktifitas metabolisme serta penyebaran ikan dipengaruhi oleh suhu perairan
dan ikan sangat peka terhadap perubahan suhu walaupun hanya sebesar 0,03 oC
sekalipun. Suhu merupakan faktor penting untuk menentukan dan menilai suatu
daerah penangkapan ikan. Berdasarkan variasi suhu, tinggi rendahnya variasi suhu
merupakan faktor penting dalam penentuan migrasi suatu jenis ikan (Gunarso,
1985).
Pada suatu daerah penangkapan ikan cakalang, suhu permukaan laut yang
disukai oleh jenis ikan tersebut biasanya berkisar antara 16-26 oC, walaupun untuk
Indonesia suhu optimum adalah 28-29 oC (Gunarso, 1985). Selanjutnya Hela and
Laevastu (1981) mengatakan bahwa penyebaran ikan cakalang di suatu perairan
adalah pada suhu 17-23 oC dan suhu optimum untuk penangkapan adalah
20-22 oC dengan lapisan renang antara 0-40 m. Ikan cakalang sensitif terhadap
perubahan suhu, khususnya waktu makan yang terikat pada kebiasaan-kebiasaan
tertentu (Tampubolon, 1990). Gunarso (1985) mengatakan bahwa suhu yang
terlalu tinggi, tidak normal atau tidak stabil akan mengurangi kecepatan makan
ikan. Ikan cakalang dapat tertangkap secara teratur di Samudera Hindia bagian
timur pada suhu 27-30 oC ( Tampubolon, 1990).
27
Hela and Laevastu (1981) mengatakan bahwa pengaruh suhu permukaan
laut terhadap penyebaran cakalang untuk perairan tropis adalah kecil karena suhu
relatif sama (konstan) sepanjang tahunnya. Walaupun demikian suhu dapat
menandakan adanya current boundaries. Kemudian dijelaskan penyebaran tuna
dan cakalang sering mengikuti penyebaran atau sirkulasi arus. Garis konvergensi
di antara arus dingin dan arus panas merupakan daerah yang banyak makanan dan
diduga daerah tersebut merupakan fishing ground yang baik untuk perikanan tuna
dan cakalang.
Arus merupakan gerakan mengalir suatu massa air yang dapat disebabkan
oleh tiupan angin, perbedaan dalam densitas air laut, gerakan gelombang panjang
dan arus yang disebabkan oleh pasang surut. Angin yang berhebus di perairan
Indonesia terutama adalah angin musim yang dalam setahun terjadi dua kali
perbalikan arah yang mantap, masing-masing disebut angin barat dan angin timur
(Nontji, 1993). Penyebaran ikan cakalang sering mengikuti penyebaran atau
sirkulasi arus. Daerah pertemuan antara arus panas dan arus dingin merupakan
daerah yang banyak organisme dan diduga daerah tersebut merupakan fishing
ground yang baik bagi perikanan cakalang (Hela and Laevastu, 1981).
Blackburn (1965) berpendapat bahwa kuat lemahnya arus menentukan arah
pergerakan tuna dan cakalang. Pada kondisi arus kuat, tuna dan cakalang akan
melawan arus dan pada arus lemah akan mengikuti arus. Peranan arus terhadap
tingkah laku ikan menurut Hela and Laevastu (1981) adalah sebagai berikut :
1. Arus mengangkat telur-telur ikan dan anak-anak ikan dari spawning ground
ke nursery ground dan selanjutnya dari nursery ground ke feeding ground;
2. Migrasi ikan dewasa dapat dipengaruhi oleh arus yaitu sebagai alat orientasi;
3. Tingkah laku ikan diurnal juga dipengaruhi oleh arus, khususnya oleh arus
pasang surut;
4. Arus, khususnya pada daerah-daerah batas alih perairan berbeda
mempengaruhi distribusi ikan dewasa dimana pada daerah tersebut terdapat
makanan ikan; dan
5. Arus dapat mempengaruhi aspek-aspek lingkungan dan secara tidak
langsung menentukan spesies-spesies tertentu dan bahkan membatasi
distribusi spesies tersebut secara geografis.
28
Selanjutnya Gunarso (1985) menambahkan bahwa ikan-ikan yang menginjak
dewasa akan mengikuti arus balik ke masing-masing daerah pemijahan, tempat
mereka akan melakukan pemijahan.
Nontji (1993) menyatakan bahwa salinitas merupakan salah satu perameter
yang berperan penting dalam sistem ekologi laut. Beberapa jenis organisme ada
yang bertahan dengan perubahan nilai salinitas yang besar (euryhaline) dan ada
pula organisme yang hidup pada kisaran nilai salinitas yang sempit (stenohaline).
Salinitas dapat dipergunakan untuk menentukan karakteristik oseanografi,
selanjutnya dapat dipergunakan untuk memperkirakan daerah penyebaran
populasi ikan cakalang di suatu perairan.
Ikan cakalang hidup pada perairan dengan kadar salinitas antara 33-35 o/oo.
Cakalang banyak ditemukan pada perairan dengan salinitas permukaan berkisar
antara 32-35 o/oo
dan jarang ditemui pada perairan dengan salinitas rendah
(Suharto, 1992). Gunarso (1985) mengemukakan bahwa cakalang hidup pada
perairan dengan kadar salinitas antara 33-35 o/oo dan jarang dijumpai pada
perairan dengan kadar salinitas yang lebih rendah atau tinggi dari itu. Blackburn
(1965) menyatakan bahwa salinitas perairan yang biasa dihuni oleh beberapa jenis
tuna berbeda-beda, yaitu 18-38 o/oo untuk madidihang dan tuna sirip biru,
33-35 o/oo untuk tuna albakor dan 32-35 o/oo untuk cakalang.
2.6
Suhu Permukaan Laut
Suhu merupakan besaran fisika yang menyatakan banyaknya bahang yang
terkandung dalam suatu benda. Suhu air laut terutama di lapisan permukaan
sangat tergantung pada jumlah bahang dari sinar matahari (Weyl, 1970). Suhu
perairan bervariasi baik secara vertikal maupun horizontal. Secara horizontal
suhu bervariasi sesuai dengan garis lintang dan secara vertikal sesuai dengan
kedalaman. Variasi suhu secara vertikal di perairan Indonesia pada umumnya
dapat dibedakan menjadi tiga lapisan, yaitu lapisan homogen (mixed layer) di
bagian atas, lapisan termoklin di bagian tengah dan lapisan dingin di bagian
bawah. Lapisan homogen berkisar sampai kedalaman 50-70 meter, pada lapisan
ini terjadi pangadukan air yang mengakibatkan suhu lapisan menjadi homogen
(sekitar 28oC), lapisan termoklin merupakan lapisan dimana suhu menurun cepat
29
terhadap kedalaman, terdapat pada lapisan 100-200 meter (Gambar 2). Lapisan
dingin biasanya kurang dari 5oC, terdapat pada kedalaman lebih dari 200 meter
(Nontji, 1993).
0
Suhu ( C )
0
2
5
15
20
25 28
Lapisan homogen
K edalam an ( m)
100
Termoklin
200
400
800
Lapisan dingin
1200
Gambar 2 Perubahan suhu pada kedalaman laut yang berbeda-beda.
Suhu permukaan laut dipengaruhi oleh panas matahari, arus permukaan,
keadaan awan, upwelling, divergensi dan konvergensi terutama pada daerah muara
dan sepanjang garis pantai ( Hela dan Laevastu, 1981). Faktor-faktor meteorologi
juga berperan yaitu curah hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara,
kecepatan angin dan intensitas radiasi matahari. Variasi suhu musiman pada
permukaan untuk daerah tropis sangat kecil, dimana variasi rata-rata musiman
kurang dari 2oC yang terjadi di daerah khatulistiwa.
Suhu di perairan nusantara umumnya berkisar antara 28oC – 31oC. Pada
lokasi yang sering terjadi penaikan air (upwelling) seperti di Laut Banda, suhu air
permukaan bisa turun sampai 25oC karena air yang dingin di lapisan bawah
terangkat ke permukaan. Suhu dekat pantai biasanya sedikit lebih tinggi
dibandingkan dengan suhu di lepas pantai (Nontji, 1993). Suhu permukaan laut
30
Indonesia secara umum berkisar antara 26oC – 29oC, dan variasinya mengikuti
perubahan musim (Birowo, 1979 diacu dalam Dahuri et al.,1996). SPL hangat
untuk perairan Indonesia berkisar antara 27oC-31oC dan SPL dingin berada pada
kisaran dibawah 27oC (www.rsgisforum.net).
2.7
Keadaan Geografis dan Topografis Palabuhanratu
Palabuhanratu merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Sukabumi
yang memiliki luas wilayah 10.287,985 ha yang terdiri atas 13 desa, yaitu: Desa
Citepus, Tonjong, Citarik, Pasisuren, Cidadap, Loji, Cibuntu, Mekarasih,
Kertajaya, Cihaur, Biruwangi dan Desa Cibodas. Secara geografis daerah ini
terletak diantara 06o97’ – 07o03’ LS dan 106o59’ – 106o62’ BT. Daerah
Kecamatan Palabuhanratu sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Cikidang,
sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Simpenan, sebelah barat berbatasan
dengan Cikakak dan Samudera Indonesia dan sebelah timur berbatasan dengan
Bantar Gadung.
Bentuk topografi wilayah Kecamatan Palabuhanratu umumnya meliputi
permukaan daratan, bergelombang, bergunung, dataran rendah, daerah aliran
sungai serta daerah pantai. Topografi dasar laut (bathymetric) perairan Teluk
Palabuhanratu adalah curam dengan kedalaman antara 3 – 4 meter (perairan
pantai/muara) sampai kedalaman 200 meter. Teluk ini dikelilingi pegunungan
terjal yang berkelanjutan di bawah laut. Selanjutnya di bagian tengah perairan
teluk merupakan lereng kontinental (continental shelf). Pada jarak yang tidak
terlalu jauh dari pantai kedalamannya telah mencapai 200 meter. Sungai-sungai
yang bermuara di Teluk Palabuhanratu adalah sungai-sungai besar terdiri dari
Sungai Cimandiri/Citarik dan Sungai Cibareno. Sungai-sungai kecil terdiri dari
Sungai Cimaja, Cipelautan, Cibuntu/Citamiang, Cikantak dan Sungai Citepus.
2.8
Keadaan Iklim, Musim dan Daerah Penangkapan di Palabuhanratu
Berdasarkan data klimatologi stasiun Maranginan Palabuhanratu, bahwa
musim hujan di Palabuhanratu berlangsung dari bulan November sampai April,
dimana (71 %) curah hujan tahunan dalam periode tersebut mencapai 1.662 mm,
dan rata-rata curah hujan bulanan mencapai 192 mm. Curah hujan tahunanya
31
termasuk besar yaitu sebesar 2.565 mm dan rata-rata bulanan berkisar 84-376 mm.
Hampir setiap bulan di Palabuhanratu terjadi hujan. Temperatur rata-rata bulanan
berkisar antara 25,8 oC samapi 28,8 oC. Kawasan Palabuhanratu mempunyai iklim
Monsoon dan pola angin di sekitar Palabuhanratu dipengaruhi oleh musim
tersebut, yaitu musim barat selama bulan November-Maret dan musim timur pada
bulan Mei-September. Kecepatan angin berkisar antara 4,4 – 23,5 km/jam.
Kecepatan angin cukup kencang (>20 km/jam) bertiup pada bulan AgustusDesember. Secara keseluruhan angin dominan bertiup dari tenggara (22,6 %) dan
barat (13,6 %). Bila dipilah menurut bulannya, angin dominan bertiup dari arah
barat dan barat laut (Januari), dari barat laut (Februari), barat laut (Maret), dari
tenggara (April-Oktober), dari tenggara dan barat (November), dari barat laut
(Desember).
Pada umumnya kegiatan perikanan dilakukan setiap hari sepanjang tahun,
namun hasil tangkapan dipengaruhi oleh musim penangkapan ikan. Kondisi ini
berhubungan dengan adanya musim barat dan musim timur. Musim barat
biasanya terjadi pada bulan Desember sampai April, sedangkan musim timur
terjadi pada bulan Juni sampai Oktober. Namun demikian, karena pengaruh elnino keadaan tersebut tidak dapat lagi diprediksi sebab angin dan gelombang laut
yang besar bisa datang secara tiba-tiba. Pada musim timur, hasil tangkapan
perikanan sangat melimpah, sebaliknya pada musim barat hasil tangkapan sedikit
(Pariworo et al.,1988). Berdasarkan variasi terhadap hasil tangkapan, Tampubolon
(1990) menyimpulkan bahwa musim penangkapan di Palabuhanratu dapat
digolongkan dalam tiga musim, yaitu :
1. Musim banyak ikan (Juni – September)
2. Musim sedang ikan ( Maret – Mei dan Oktober – November);dan
3. Musim kurang ikan ( Desember – Februari)
Daerah penangkapan yang umum digunakan oleh nelayan Palabuhanratu adalah di
wilayah teluk hingga muara teluk. Sebagian nelayan yang menggunakan alat
tangkap seperti gillnet dan longline melakukan operasi penangkapan di luar teluk.
Pemilihan daerah penangkapan di Palabuhanratu juga bergantung pada musim
tangkapan. Di Palabuhanratu, pada musim barat nelayan banyak beroperasi di
daerah Bengkulu, Padang, Pulau Nias, Pulau Enggano. Sedangkan pada musim
32
timur, daerah operasinya di sekitar daerah selatan Jawa, Ujung Kulon, Ujung
Genteng, Cilacap, Yogyakarta, Bali, Pulau Christmas, Lombok.
2.9 Keadaan Umum Perikanan Tangkap
2.9.1
Alat penangkapan ikan
Kegiatan perikanan tangkap di Palabuhanratu didukung oleh berbagai jenis
unit penangkapan ikan dengan jumlah yang cukup besar. Unit penangkapan ikan
tersebut meliputi payang, pancing, bagan, gillnet, purse seine, rawai, tuna
longline, rampus, trammel net, jaring klitik, pancing layur dan pancing tonda.
Metode pengoperasian alat tangkap di Palabuhanratu dilihat dari teknologi
dan peralatan masih tergolong tradisional, serta jangkauan operasi unit
penangkapan masih terbatas di daerah pantai sehingga nelayan sangat tergantung
pada sumberdaya di daerah pantai. Berdasarkan data yang didapat, beberapa alat
tangkap mengalami penurunan dari segi jumlah dalam kurun waktu delapan tahun
terakhir. Berdasarkan catatan kantor PPN Palabuhanratu, perkembangan alat
tangkap secara keseluruhan periode 1998-2006 disajikan dalam Tabel 4.
Alat tangkap yang digunakan oleh perikanan cakalang di perairan
Palabuhanratu adalah payang dan gillnet. Menurut von Brandt (1984) payang
termasuk kedalam kelompok seine net atau denise seine. Seine net adalah alat
penangkap ikan yang mempunyai bagian badan, sayap dan tali penarik yang
sangat panjang dengan atau tanpa kantong. Alat penangkap ikan ini dioperasikan
dengan cara melingkari area seluas-luasnya dan kemudian menarik alat ke kapal
atau pantai. Payang merupakan salah satu dari seine net yang dioperaikan dengan
cara melingkari kawanan ikan lalu ditarik ke atas kapal yang tidak bergerak.
Subani dan Barus (1989) menerangkan bahwa ukuran mata jaring mulai dari
ujung kantong sampai ujung kaki berbeda-beda, bervariasi mulai dari 1 cm atau
kurang sampai ± 40 cm. Berbeda dengan trawl dasar yang memiliki tali ris atas
yang lebih pendek daripada tali ris bawah, payang memiliki tali ris bawah yang
lebih pendek. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan ikan lolos ke
arah bawah, karena pada umumnya payang digunakan untuk menangkap jenisjenis ikan pelagis yang biasa hidup di bagian lapisan atas perairan dan mempunyai
sifat cenderung bergerak ke lapisan bawah bila terkurung jaring. Mawardi (1990)
33
mengungkapkan bahwa yang menjadi tujuan utama dari operasi penangkapan
payang di Palabuhanratu adalah jenis-jenis ikan pelagis yang mempunyai nilai
ekonomis penting seperti cakalang (Katsuwonus pelamis), tongkol (Auxis thazard)
dan banjar (Euthynus alleteratus).
Tabel 4 Perkembangan jumlah alat tangkap periode 1998-2006 di Palabuhanratu
No Alat Tangkap 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
64
64
64
98
Payang
126 242 202 188
Pancing
93
95
102
97
Bagan
72
141 179
92
Gillnet
5
Purse seine
7
15
103
65
Rawai
Tuna longline
14
Rampus
44
Trammel net
Jaring klitik
Pancing layur
Pancing tonda
Jumlah
497 652 555 468
Sumber : Kantor PPN Palabuhanratu 2006
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
64
204
102
135
7
12
39
563
84
168
107
151
5
8
17
14
557
86
159
91
142
8
11
20
46
27
22
8
620
84
100
243
22
3
7
33
15
6
4
22
8
537
151
222
194
48
1
5
17
40
19
13
710
Spesifikasi payang Palabuhanratu yang diteliti oleh Mawardi (1990) adalah
sebagai berikut: jumlah keliling mata pada bagian kantong adalah 850 mata,
selanjutnya dari bagian badan jumlah mata tersebut mangecil yaitu 825 mata
sampai 625 mata. Jumlah mata dibagian sayap adalah 300 sampai 250 mata.
Ukuran mata (mesh size) dari bagian kantong hingga sayap membesar. Ukuran
mata dibagian kantong adalah 20 mm sampai 180 mm, dibagian badan 215
sampai 330 mm dan bagian kaki dari 335 mm sampai 375 mm. Jaring dibuat dari
bahan twine polyamide dengan diameter 1,32 mm. Tali ris yang digunakan terbuat
dari bahan twine polyetyilene dengan diameter 5,0 mm. Panjang tali ris atas adalah
420 m sedangkan tali ris bawah 340 m. Selain itu jaring juga dilengakapi dengan
tali selambar sepanjang 15 m pada sayap kiri dan 200 m pada sayap kanan. Tali
selambar terbuat dari twine PE berdiameter 16 mm. Pelampung yang digunakan
ada dua jenis yaitu pelampung plastik dan pelampung bambu. Bahan pemberat
yang digunakan adalah timah hitam dan campuran timah dan semen.
34
Jaring insang (gillnet) merupakan satu jenis alat penangkap ikan dari bahan
jaring yang bentuknya empat persegi panjang dimana mata jaring dari bagian
jaring utama ukurannya sama, jumlah mata jaring ke arah panjang atau ke arah
horizontal mesh legth (ML) jauh lebih banyak dari pada jumlah mata jaring ke
arah vertikal atau ke arah dalam mesh depth (MD), pada bagian atasnya
dilengkapi dengan beberapa pelampung (floats) dan bagian bawah dilengkapi
dengan beberapa pemberat (sinkers) sehingga dengan adanya dua gaya yang
berlawanan memungkinkan jaring insang dapat dipasang di daerah penangkapan
dalam keadaan tegak.
Bagian-bagian jaring insang terdiri dari : pelampung (float), tali pelampung
(float line), tali ris atas dan bawah, tali penggantung badan jaring bagian atas dan
bawah (upper bolch and under bolch), srampad atas dan bawah (upper selvedge
and under selvegde), badan jaring atau jaring utama (main net), tali pemberat
(sinker line) dan pemberat (sinker).
2.9.2
Kapal/perahu
Menurut Ayodhyoa (1981), kapal ikan adalah kapal yang digunakan dalam
usaha menangkap dan mengumpulkan sumberdaya perairan, pekerjaan-pekerjaan
riset, training, kontrol dan sebagainya yang berhubungan dengan usaha tersebut
diatas. Sedangkan menurut Fyson (1985), kapal ikan adalah kapal khusus yang
sengaja dibentuk untuk menjalankan tugas tertentu. Ukuran, perlengkapan, dek,
kapasitas daya angkut, akomodasi, mesin dan perlengkapan semua dihubungkan
dalam melaksanakan operasi perencanaan.
Kapal ikan merupakan faktor penting diantara komponen unit penangkapan
ikan lainnya dan merupakan modal terbesar yang ditawarkan pada usaha
penangkapan ikan. Kapal-kapal yang beroperasi di PPN Palabuhanratu
dikelompokkan berdasarkan ukuran dapat dibagi menjadi dua, yaitu perahu motor
tempel dan kapal motor. Kapal/perahu umumnya terbuat dari kayu. Perkembangan
jumlah kapal/perahu di Palabuhanratu dapat dilihat pada Tabel 5.
35
Tabel 5 Perkembangan jumlah kapal yang menggunakan PPN Palabuhanratu
sebagai fishing base periode 2000-2006
Kapal/Perahu Perikanan (unit)
Tahun
PMT
275
1998
278
1999
181
2000
186
2001
135
2002
128
2003
264
2004
248
2005
287
2006
Sumber : Kantor PPN Palabuhanratu 2006
KM
Jumlah (unit)
146
181
235
343
317
253
266
428
511
421
459
416
529
452
381
530
676
798
Kapal payang yang digunakan oleh nelayan Palabuhanratu terbuat dari kayu.
Ciri khusus kapal payang tersebut adalah adanya tiang pengamat diatas dek yang
disebut tiang kakapa dan adanya meja di bagian belakang yang berfungsi untuk
menaruh pemberat saat dilakukan penarikan jaring. Kapal payang menggunakan
tenaga penggerak berasal dari motor tempel. Kapal ini tidak mempunyai rumahrumah agar luasan dek saat pengoperasian alat cukup luas sehingga tidak
mengganggu operasi penangkapan ikan.
Kapal gillnet adalah salah satu jenis kapal ikan yang mengoperasikan alat
tangkap ikan secara statis. Kapal gillnet didesain agar memiliki lambung yang
cukup besar untuk mempermudah penyimpanan dan penanganan alat tangkap dan
dapat menampung hasil tangkapan dalam jumlah yang cukup besar, namun kapal
tidak boleh terlalu tinggi sehingga dapat mempermudah proses penarikan jaring
dan tidak mengurangi kestabilan kapal.
2.9.3 Nelayan
Nelayan yang ada di Palabuhanratu berdasarkan asalnya dapat dikategorikan
sebagai nelayan asli yaitu penduduk setempat yang telah turun temurun berprofesi
sebagai nelayan dan nelayan pendatang. Berdasarkan waktunya nelayan di
Palabuhanratu dapat dikelompokkan menjadi nelayan penuh dan sambilan.
Nelayan penuh merupakan nelayan yang sehari-harinya berprofesi sebagai
nelayan, sedangkan nelayan sambilan adalah nelayan yang hanya pada waktuwaktu tertentu saja melakukan pekerjaan menangkap ikan.
36
Perkembangan jumlah nelayan tahun 1998-2006 di Palabuhanratu dapat
dilihat pada Tabel 6. Dari Tabel 6 terlihat bahwa jumlah nelayan di Palabuhanratu
mengalami peningkatan yang cukup besar pada tahun 1999, 2003 dan 2006
dengan persentase kenaikan sebesar 22,49 %, 32,59 % dan 24,73 %.
Tabel 6
Perkembangan jumlah nelayan di Perairan Teluk Palabuhanratu periode
1998-2006
Tahun Jumlah Nelayan (orang ) Perkembangan (%)
2.094
1998
22.49
2.565
1999
-8.23
2.354
2000
0.98
2.377
2001
5.97
2.519
2002
32.59
3.340
2003
2.96
3.439
2004
1.72
3.498
2005
24.73
4.363
2006
Sumber : Kantor PPN Palabuhanratu 2006
Selain pengelompokan seperti di atas nelayan Palabuhanratu dapat dibagi
menjadi nelayan pemilik dan nelayan buruh. Nelayan pemilik adalah orang yang
memiliki armada penangkapan ikan atau disebut juga juragan. Juragan ini dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu :
1. Juragan laut adalah pemilik armada/perahu penangkapan yang ikut dalam
operasi penangkapan.
2. Juragan perahu adalah pemilik armada atau perahu penangkapan tetapi tidak
ikut dalam operasi penangkapan ikan.
Nelayan payang dalam penangkapan ikan cakalang di Palabuhanratu dalam
satu unit penangkapan berjumlah 10-20 orang dengan pembagian tugas sebagai
berikut :
1. Juru mudi, bertugas untuk mengemudikan kapal dan bertanggung jawab
terhadap kondisi mesin.
2.Pengawas, untuk mencari atau mengintai gerombolan ikan
3.Petawur, untuk melemparkan jaring
4. Juru batu, untuk membereskan pemberat, pelampung dan jaring sebelum
dan setelah operasi penangkapan dilakukan.
37
5.Bubulang, untuk memperbaiki jaring yang rusak saat operasi
penangkapan.
6.Pandega, untuk menarik jaring.
Nelayan gillnet di Palabuhanratu berjumlah 4-5 orang dengan pembagian
tugas yang berbeda. Nakhoda bertugas sebagai kapten kapal yang bertanggung
jawab terhadap kapal dan yang memegang kemudi kapal. Juru masak bertugas
untuk menyiapkan makanan. Teknisi bertanggung jawab terhadap mesin kapal.
Anak buah kapal betugas melakukan operasi penangkapan ikan.
38
3 METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah tahap
pengumpulan data di perairan Teluk Palabuhanratu dengan pendaratan di PPN
Palabuhanratu, Kecamatan Sukabumi (Gambar 3) yang dilaksanakan pada bulan
Agustus sampai Oktober 2007. Tahap kedua dilaksanakan pada bulan Desember
sampai Januari 2007 dengan men-download citra suhu permukaan laut dari
internet (http://oceancolor.gsfc.nasa.gov).
Gambar 3 Peta daerah penelitian.
39
3.2 Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan terdiri dari data primer dan data sekunder.
Pengumpulan data primer diperoleh melalui penangkapan ikan yaitu posisi dan
waktu penangkapan, jumlah hasil tangkapan cakalang, ukuran panjang cakalang.
Sedangkan data sekunder yang digunakan adalah citra SPL, jumlah alat tangkap,
jumlah kapal dan jumlah nelayan di Palabuhanratu. Sumber-sumber data primer
dan sekunder dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Sumber sumber data primer dan sekunder
No
Jenis Data
Sumber
Data Primer
I
1
2
3
Posisi dan waktu penangkapan Nelayan kapal sampel
cakalang
Nelayan kapal sampel
Jumlah hasil tangkapan cakalang
Nelayan kapal sampel
Ukuran panjang cakalang
Data Sekunder
II
1
2
3
4
Citra SPL
Jumlah alat tangkap di
Palabuhanratu
Jumlah kapal di Palabuhanratu
Jumlah nelayan di Palabuhanratu
http://oceancolor.gsfc.nasa.gov
Kantor PPN Palabuhanratu 2006
Kantor PPN Palabuhanratu 2006
Kantor PPN Palabuhanratu 2006
3.3 Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei. Metode
survei merupakan penyelidikan yang diadakan untuk memperoleh fakta-fakta dari
gejala-gejala yang ada dan mencari keterangan yang aktual (Nazir, 1998). Untuk
penentuan sampel kapal pada kegiatan penangkapan ikan dilakukan secara sengaja
atau purposive sampling yaitu kapal payang sebanyak 10 unit dengan
pertimbangan sebagai berikut : sampel kapal beroperasi di Perairan Teluk
Palabuhanratu, sampel kapal layak beroperasi, sampel kapal terpilih dapat
mewakili seluruh jenis unit penangkapan dengan tujuan utama penangkapannya
adalah ikan cakalang. Pada setiap kapal sampel dicatat waktu operasi
penangkapan ikan, posisi penangkapan, jumlah dan ukuran panjang cakalang.
Jumlah hasil tangkapan dari kapal sampel yang telah ditentukan dicatat pada
kuisioner dalam bentuk fishing log yang telah disediakan pada setiap posisi
40
setting. Fishing log dibagikan kepada enumerator yang ada pada kapal sampel
pada saat mereka melaut. Di samping jumlah hasil tangkapan pada setiap setting,
enumerator juga mencatat (menandai) posisi lintang dan bujur penangkapan
(setting) pada peta daerah penangkapan ikan yang telah dibagikan karena kapalkapal sampel tidak dilengkapai dengan GPS. Peta daerah penangkapan ikan dibagi
menjadi beberapa pixel dengan luasan 4.63 km x 4.63 km. Ukuran panjang
cakalang dicatat dalam fishing log pada setiap setting. Ikan cakalang diambil
secara acak yang lebih dekat dengan nelayan sebanyak dua atau tiga ekor ikan
tanpa memperhatikan kriteria lain dan diukur panjang total. Kemudian panjang
ukuran ikan yang tertangkap dirata-ratakan pada setiap setting.
Data kegiatan penangkapan ini juga diperoleh melalui wawancara terhadap
sejumlah responden di samping melalui operasi penangkapan ikan. Responden
ditetapkan secara purposive sampling, yaitu terhadap ABK, nahkoda atau pemilik
kapal sampel. Jumlah ABK sebanyak 5 orang dan nahkoda sebanyak 5 orang.
Data suhu permukaan laut diperoleh dengan cara men-download citra SPL
yang bebas awan dari internet (http://oceancolor.gsfc.nasa.gov). Citra SPL ini
dipilih sesuai dengan waktu dan posisi operasi penangkapan ikan. Jenis citra SPL
yang digunakan adalah citra Aqua MODIS level 2 karena citra ini khusus untuk
keperluan kelautan dan perikanan. Dengan memilih level 2 pada citra Aqua
MODIS, maka tampilan warna perairan di Teluk Palabuhanratu dapat dilihat
dengan baik sehingga pengamatan perbedaan suhu permukaaan luat dapat dilihat
dengan jelas.
Data tambahan diperoleh dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten
Sukabumi, tempat pelelangan ikan dan instansi-instansi terkait lainnya yang erat
kaitannya dengan penelitian ini. Data ini meliputi kondisi umum lokasi penelitian,
data produksi bulanan dan tahunan, spesifikasi dan perkembangan unit
penangkapan ikan cakalang (nelayan, kapal dan alat tangkap), informasi lainnya
yang erat kaitannya dengan topik penelitian.
41
3.4 Analisis Data
3.4.1
Hasil tangkapan
Data hasil tangkapan yang meliputi komposisi berat hasil tangkapan dan
ukuran spesies hasil tangkapan dianalisis menurut skala ruang (posisi lintang dan
bujur
daerah
penangkapan)
dan
skala
waktu
(periode
waktu
operasi
penangkapan). Jumlah tangkapan cakalang yang dikelompokkan dalam periode
harian dan bulanan dikonversi dalam bentuk CPUE (kg/unit), kemudian disajikan
dalam bentuk grafik. Selanjutnya penyebaran jumlah hasil tangkapan tersebut
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu banyak, sedang dan sedikit. Pengelompokan
ini didasarkan pada hasil tangkapan bulanan pada tahun 2005 - 2006 di perairan
Teluk Palabuhanratu dengan unit penangkapan payang. Hasil tangkapan bulanan
tahun 2005 - 2006 dibagi menjadi 3 kelas melalui penentuan rata-ratanya dan
selanjutnya dijadikan kategori untuk pembagian jumlah hasil tangkapan.
Frekuensi ukuran panjang cakalang yang tertangkap menurut periode waktu
(bulanan dan harian) disajikan dalam bentuk grafik. Selanjutnya penyebaran
ukuran panjang tersebut dikelompokkan menjadi dua, yaitu ukuran besar dan
ukuran kecil. Ukuran ikan dikelompokkan berdasarkan ukuran ikan yang sudah
dewasa yaitu mulai ukuran 40 cm (Matsumoto, 1984).
3.4.2
Suhu permukaan laut
Data suhu permukaan laut diketahui dengan melakukan analisis digital
terhadap citra satelit Aqua MODIS level 2 yang diperoleh dengan men-download
citra suhu permukaan laut dari internet (http://oceancolor.gsfc.nasa.gov) yang
mempunyai akstensi file *.bz2 kemudian ditampilkan dalam bentuk JPG.
Konsentrasi suhu permukaan laut pada daerah penangkapan ikan pada saat trip
operasi penangkapan dapat dihitung dengan menggunakan software SeaDAS 4.7
yang dioperasikan dengan program linux. Langkah-langkah pemrosesan citra dan
SPL adalah sebagai berikut :
1. Import data
Langkah pertama adalah mengimpor data satelit yang sudah diekstrak.
MODIS ditampilkan dalam bentuk produk sst karena yang diolah adalah SPL.
42
2. Pemotongan citra (cropping).
Perekaman oleh sensor satelit mencakup daerah rekaman yang sesuai dengan
sapuan sensor, oleh karena itu perlu dilakukan pembatasan wilayah pada citra
agar citra hanya memuat daerah penelitian perairan Teluk Palabuhanratu.
Daerah tersebut mempunyai batas geografis pada 06o97LS’ – 07o03’ LS dan
106o59’BT – 106o62’ BT.
3. Klasifikasi
Klasifikasi dilakukan untuk membedakan antara darat, awan dan laut. Laut
yang dimaksudkan disini yaitu nilai suhu permukaan laut. Pemberian warna
(color lut) berfungsi untuk memudahkan dalam pengamatan secara visual.
Pada citra SPL terdapat color bar yang memiliki selang 4 oC dan setiap 1 oC
memiliki warna yang berbeda sehingga dapat terlihat jelas perbedaan
konsentrasi suhu permukaan laut pada setiap daerah penangkapan ikan. Suhu
terendah pada color bar adalah -2 oC dan tertinggi yaitu 35 oC.
4. Menghitung Suhu Permukaan Laut
Perhitungan SPL dapat dilakukan dengan memakai fungsi cursor position
pada titik daerah penangkapan ikan. Cursor position menampilkan nilai SPL,
waktu perekaman data (sensor) dan posisi daerah penangkapan.
5. Pembentukan peta daerah penangkapan ikan
Pembuatan daerah penangkapan ikan dilakukan dengan menggunakan
program Photoshop CS2 dalam bentuk JPG.
6. Pembuatan layout
Pembuatan layout dilakukan di Arcview dengan menambahkan legenda, skala
dan arah utara.
Citra suhu permukaan laut yang telah dibuat dalam peta sebaran suhu
permukaan laut dianalisa secara visual dan diinterpretasikan dengan melihat pola
distribusi suhu permukaan laut. Data suhu permukaan laut ini dapat dijadikan
indikasi tentang keberadaan ikan cakalang. Penyebaran SPL disajikan dalam
bentuk citra, selanjutnya dianalisis dengan program SeaDAS untuk memperoleh
kisaran SPL, SPL dominan, SPL rata-rata di setiap posisi setting yang selanjutnya
disajikan dalam bentuk tabel.
43
3.4.3
Hubungan hasil tangkapan dengan SPL
Hubungan antara hasil tangkapan dengan suhu permukaan laut pada posisi
dan waktu yang bersamaan dianalisis dengan cara menyajikan diagram pencar.
Kedua variabel tersebut juga disajikan dalam bentuk persamaan matematis, yaitu
persamaan regresi sederhana (Wallpole, 1995) sebagai berikut:
Y = a + bx
Keterangan:Y: Berat hasil tangkapan ikan cakalang (kg)
x: Suhu permukaan laut ( oC )
a : Intersep
b: Koefisien regresi untuk suhu permukaan laut
Untuk menentukan derajat hubungan antara variabel hasil tangkapan dan
variabel SPL maka dilakukan analisis korelasi. Semakin tinggi nilai korelasi
maka hubungan antara kedua koefisien semakin erat. Analisis korelasi dilakukan
dengan menggunakan perangkat lunak microsoft excel dan SPSS ver. 13.0.
Derajat hubungan dinyatakan dengan koefisien korelasi (r) yang merupakan akar
dari koefisien determinasi (R2).
∑ (Yi −Y ) − ∑ (Yi − Yˆ )
∑ (Yi − Y )
2
2
2
R =
2
-
Keterangan: Y : Rata-rata variabel Y
V
Y : Nilai Y dari persamaan regresi
R2: Koefisien determinasi
Dimana kisaran nilai koefisien korelasi adalah : -1 ≤ r ≤ +1
Korelasi erat jika : r ≥ 0.7 dan r ≤ - 0.6 , dan korelasi tidak erat jika : -0.6 < r < 0.7
Jumlah hasil tangkapan cakalang, ukuran panjang cakalang, serta profil suhu
permukaan laut selanjutnya digunakan untuk memprediksi daerah penangkapan
potensial. Pada ketiga indikator tersebut diberi nilai bobot dengan teknik scooring
dengan ketentuan sebagai berikut :
1. Jika pada suatu DPI diperoleh nilai CPUE yang masuk dalam kategori tinggi
( >300 kg/unit ) diberi bobot 5, CPUE sedang ( 100-300 kg/unit ) diberi bobot
3 dan CPUE rendah ( <100 kg/unit ) diberi bobot 1. Pengelompokan nilai
44
CPUE ini didasarkan pada penyebaran bulanan CPUE cakalang selama 2
tahun (2005-2006), sebagaimana disajikan pada Lampiran 1.
2. Jika cakalang yang tertangkap pada suatu DPI masuk dalam kategori ukuran
besar ( ≥ 40 cm/ekor) diberi bobot 3, sedangkan ukuran kecil (<40 cm/ekor)
diberi bobot 1. Pengelompokan ikan ukuran besar/kecil ini mengacu pada
pendapat Matsumoto (1984).
3. Jika SPL didominasi oleh SPL optimum untuk penangkapan, maka DPI
tersebut dapat dikategorikan sebagai DPI yang baik dan diberi bobot 3 dan
jika tidak didominasi oleh SPL optimum diberi bobot 1.
Setelah diperoleh nilai bobot untuk masing-masing indikator pada suatu DPI
tertentu, selanjutnya bobot tersebut dijumlahkan. Dalam hal ini, ketiga indikator
diasumsikan mempunyai pengaruh yang sama terhadap penilaian suatu DPI.
Langkah terakhir dalam penentuan DPI ini adalah dengan cara
mengelompokkan nilai bobot gabungan yang merupakan penjumlahan ketiga
indikator menjadi tiga, yaitu :
1. Jika nilai bobot gabungan berada pada kisaran tertinggi, maka DPI tersebut
dikategorikan sebagai DPI potensial.
2. Jika nilai bobot gabungan berada pada kisaran menengah, maka DPI tersebut
dikategorikan sebagai DPI sedang.
3. Jika nilai bobot gabungan berada pada kisaran terendah, maka DPI tersebut
dikategorikan sebagai DPI kurang potensial.
45
4 HASIL
4.1 Hasil Tangkapan Ikan Cakalang
Jumlah tangkapan ikan cakalang pada bulan Agustus-Oktober 2007
cenderung berfluktuasi. Hasil tangkapan pada bulan Agustus lebih sedikit yaitu
sebesar 8,098 kg jika dibandingkan dengan bulan Oktober dan September dengan
CPUE sebesar 5,473 kg/unit. Pada bulan September didapatkan jumlah hasil
tangkapan yang terbanyak yaitu sebesar 37,855 kg dengan CPUE sebesar 15,555
kg/unit, sedangkan pada bulan Oktober jumlah hasil tangkapan adalah sebesar
15,910 kg dengan CPUE sebesar 8,817 kg/unit (Gambar 4).
40000
35000
30000
25000
Hasil tangkapan (Kg)
20000
CPUE (Kg/Unit)
15000
10000
5000
0
Agustus
Gambar 4
September
Oktober
Jumlah Hasil Tangkapan dan CPUE bulan Agustus, September,
Oktober 2007.
Hasil tangkapan harian cenderung berfluktuasi selama periode bulan
Agustus –Oktober (Gambar 5). Hasil tangkapan terbanyak terjadi pada tanggal 10
Oktober 2007 sebanyak 4,000 kg sedangkan hasil tangkapan paling rendah terjadi
pada tanggal 20 September 2007 yaitu sebanyak 30 kg.
4500
Hasil Tangkapan (Kg)
4000
3500
3000
2500
2000
1500
1000
500
0
Tanggal Akuisisi
Gambar 5 Hasil tangkapan harian pada bulan Agustustus 2007 – Oktober 2007.
46
Hasil tangkapan harian cenderung berfluktuasi selama periode bulan
Agustus –Oktober. Namun jika diperhatikan lebih seksama pada grafik CPUE
(Gambar 6), ditemukan nilai CPUE yang tinggi dan terjadi secara rutin dari
periode waktu tertentu, yaitu :
1. Periode waktu sempit, yaitu pada tanggal 3 Agustus 2007 – 5 Agustus 2007.
2. Periode waktunya lebih lama dari bulan Agustus, yaitu pada tanggal 5 Oktober
2007 – 11 Oktober 2007.
3. Periode waktunya paling lama, yaitu pada tanggal 5 September 2007 – 15
September 2007.
2500
CPUE (Kg/Unit)
2000
1500
1000
500
O
kt
O
kt
O
kt
15
9
6
S
pt
S
pt
30
S
pt
26
S
pt
23
S
pt
20
S
pt
17
S
pt
14
S
pt
11
A
g
A
g
A
g
A
g
A
g
A
g
S
pt
8
5
30
27
23
20
7
4
1
A
g
0
Tanggal Akuis is i
Gambar 6 CPUE harian pada bulan Agustus 2007- Oktober 2007.
Jumlah ikan cakalang yang dijadikan sampel untuk menentukan komposisi
ukuran panjang pada bulan Agustus, September dan Oktober sebanyak 117 ekor.
Dari 117 ekor sampel ikan cakalang, ternyata sebanyak 71% merupakan ikan
dengan ukuran kecil dan 29% adalah ikan dengan ukuran besar (Gambar 7).
Menurut nelayan payang di Palabuhanratu, ikan cakalang yang ukurannya 40 cm
atau lebih termasuk dalam kategori besar sedangkan ikan yang ukuran dibawah 40
cm merupakan kategori ukuran kecil.
29%
Ukuran Kecil
Ukuran Besar
71%
Gambar 7 Ukuran ikan cakalang pada bulan Agustus 2007 – Oktober 2007.
47
Ukuran ikan pada bulan Agustus didominasi oleh ikan yang berukuran kecil
yaitu 79% sedangkan sisanya hanya 21% berukuran besar. Pada bulan September,
ukuran ikan yang mendominasi adalah ukuran kecil yang mencapai 63%
sedangkan ikan ukuran besar hanya 37%. Pada bulan Oktober ditemukan lagi pola
yang sama dengan bulan Agustus dan September, ukuran kecil yang mendominasi
yaitu sebanyak 89% dan ukuran besar hanya 11% (Gambar 8).
(a)
21%
n= 29
Uk uran K ec il
Uk uran B es ar
79%
(b)
63 %
n= 70
U k u ran K ec il
U k u ran B es ar
37 %
(c)
11%
n= 18
Uk uran K ec il
Uk uran B es ar
89%
Gambar 8 Ukuran Bulanan Ikan Cakalang pada Bulan (a) Agustus,
(b) September dan (c) Oktober.
4.2 Suhu Permukaan Laut
Penyebaran suhu permukaan laut perairan Teluk Palabuhanratu pada
koordinat 06o97’ – 07o03’ LS dan 106o59’ – 106o62’ BT berupa gambar citra
menampilkan sebaran suhu permukaan laut secara jelas dengan pemberian warna
(pallet) yang berbeda pada setiap kisaran suhu yang berbeda. Dari keseluruhan
citra suhu permukaan laut yang dihasilkan terlihat bahwa SPL pada bulan
48
Agustus-Oktober sangat bervariasi mulai dari suhu terendah yang bernilai 20oC
sampai yang tertinggi yaitu 31 oC (Lampiran 2, Lampiran 3 dan Lampiran 4).
Pada bulan Agustus, SPL berkisar 22oC – 29oC (Gambar 9-a) dengan SPL
dominan antara 26oC-29oC . Perairan yang didominasi suhu dingin lebih sering
terjadi yaitu pada tanggal 1 Agustus, 2 Agustus, 3 Agustus, 11 Agustus, 19
Agustus, 20 Agustus, 21 Agustus, 22 Agustus, 23 Agustus, 26 Agustus, 27
Agustus, 29 Agustus dan 31 Agustus 2007. Sedangkan perairan yang didominasi
suhu hangat terjadi pada tanggal 4 Agustus 2007 – 7 Agustus 2007 dan tanggal 28
Agustus 2007. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada citra (Lampiran 2).
Kisaran SPL dominan secara keseluruhan pada bulan September merupakan
SPL dingin. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada citra (Lampiran 3).
Kisaran SPL yaitu antara 21oC – 27oC dengan SPL dominan antara 24oC – 27oC
(Gambar 9-b). Pada bulan Oktober 2007, frekuensi munculnya suhu hangat lebih
jarang, yaitu tanggal 5 Oktober, 6 Oktober, 10 Oktober dan 11 Oktober. Suhu
dingin terjadi dengan frekuensi sering yaitu pada tanggal 4 Oktober, 7 Oktober, 8
Oktober, 9 Oktober, 15 Oktober dan 18 Oktober 2007. Untuk lebih lengkapnya
dapat dilihat pada citra (Lampiran 4). Kisaran SPL pada bulan Oktober adalah
20oC-29oC dengan suhu dominan pada kisaran 24oC-28oC (Gambar 9-c).
4.3 Hubungan SPL dengan Hasil Tangkapan Ikan Cakalang
Suhu permukaan laut dapat digunakan sebagai salah satu indikator untuk
mengetahui keberadaan suatu spesies ikan pada suatu perairan. Setiap spesies ikan
mempunyai toleransi nilai suhu tertentu yang disenangi untuk melangsungkan
hidupnya sehingga mempengaruhi keberadaan dan penyebaran ikan di perairan.
Untuk melihat keterkaitan atau hubungan antara SPL dengan keberadaan
ikan cakalang, maka data in-situ hasil tangkapan dioverlay terhadap data ex-situ
SPL pada posisi daerah dengan waktu yang bersamaan menggunakan SPSS 13
(Gambar 10). Adapun data SPL dan hasil tangkapan tersebut termasuk waktu
akuisisi data dapat dilihat pada Lampiran 5. Uji kenormalan data menggunakan uji
Kolmogorov-Smirnov. Berdasarkan uji tersebut ternyata bahwa data menyebar
normal (Lampiran 6).
49
(a)
(b)
30
30
28
28
26
24
SPL
SPL
26
22
24
22
20
20
18
18
1
2 3
4 5
6 7 11 19 20 21 22
23
26 27 28
29
30
3 7
14 16
21 24 25
27
30
Waktu Akuisisi
Waktu Akuisisi
(c)
30
28
SPL
26
24
22
20
18
4
5
6
7
8
10
11
15 17 18
Waktu Akuisisi
Gambar 9 Sebaran SPL pada bulan (a) Agustus, (b) September dan (c) Oktober.
Hubungan suhu permukaan laut terhadap hasil tangkapan ikan cakalang
dihitung dengan menggunakan regresi linear sederhana. Persamaan regresi linear
sederhana sebagai penduga model regresi untuk menggambarkan suhu permukaan
terhadap hasil tangkapan ikan cakalang. Berdasarkan Gambar 10, dapat dilihat
bahwa hasil tangkapan ikan cakalang terbanyak terdapat pada SPL yang berkisar
antara 25oC-29oC.
Berdasarkan perhitungan diperoleh persamaan regresi Y = 9.2442x + 296.75
dengan
nilai koefisien determinasi sebesar 0.71% (Gambar 10). Hal ini
menunjukkan bahwa model yang digunakan hanya dapat menjelaskan model
sesungguhnya sebesar 0.71% sehingga sisanya dijelaskan oleh faktor lain sebesar
99.29%. Nilai koefisien korelasi yang diperoleh sebesar 0.0843 yang berarti
hubungan antara suhu permukaan laut dengan hasil tangkapan ikan cakalang
adalah tidak erat. Perhitungan regresi linear sederhana dapat dilihat pada
Lampiran 7.
50
Hasil tangkapan (Kg)
3500
3000
2500
y = 9.2442x + 296.75
2000
R = 0.0017
1500
n = 103
2
1000
500
0
10
12
14
16
18
20
22
24
26
28
30
32
34
SPL
Gambar 10 Hubungan SPL dengan hasil tangkapan ikan cakalang.
Hubungan hasil tangkapan dengan suhu permukaan laut yang tidak erat
tersebut juga jelas terlihat pada Gambar 11. Pada Gambar 11 terlihat bahwa tidak
terdapat suatu pola yang jelas yang menunjukkan meningkat atau menurunnya
hasil tangkapan jika suhu permukaan laut naik atau turun.
3500
SPL
30
3000
25
2500
SPL
20
2000
Hasil Tangkapan
15
1500
10
1000
5
500
0
Hasil Tangkapan
35
0
1
5
9 13 17 21 25 29 33 37 41 45 49 53 57 61 65 69 73 77 81 85 89 93 97 101
Waktu Akuisisi
Gambar 11 Hubungan SPL dengan hasil tangkapan setiap setting.
Hubungan suhu permukaan laut dengan ukuran panjang ikan cakalang dapat
dihitung dengan menggunakan regresi linear sederhana. Berdasarkan perhitungan
pada Lampiran 7 diperoleh persamaan regresi Y = 52.724 – 0.7464x dengan nilai
koefisien determinasi sebesar 3.4% (Gambar 12). Nilai koefisien korelasi yang
diperoleh sebesar 0.1844 yang berarti hubungan antara suhu permukaan laut
dengan ukuran panjang ikan cakalang adalah tidak erat. Namun demikian
51
berdasarkan Gambar 13, terlihat pola atau trend yang menunjukkan bahwa ikan
ukuran kecil lebih dominan tertangkap pada suhu tinggi sedangkan ikan ukuran
besar tertangkap baik pada suhu tinggi maupun rendah.
70
Kecil
Ukuran Panjang (cm)
60
Besar
y = -0.7464x + 52.724
R2 = 0.0338
50
n=103
40
30
20
10
0
10
12
14
16
18
20
22
24
26
28
30
32
34
SPL
Gambar 12 Hubungan SPL dengan ukuran panjang ikan cakalang.
70
35
30
60
25
50
20
40
15
30
20
10
Ukuran Panjang
5
10
0
0
1
5
9 13 17 21 25 29 33 37 41 45 49 53 57 61 65 69 73 77 81 85 89 93 97 101
Waktu Akuisisi
Gambar 13 Hubungan SPL dengan ukuran panjang setiap setting.
Ukuran Panjang (cm)
SPL
SPL
52
5 PEMBAHASAN
5.1 Variabilitas Hasil Tangkapan Ikan Cakalang
Jumlah hasil tangkapan tertinggi terdapat pada bulan September, kemudian
menyusul bulan Oktober dan paling rendah pada bulan Agustus (Gambar 4).
Namun demikian, hasil tangkapan ikan cakalang bulan Agustus ini masih
termasuk kategori banyak jika dibandingkan dengan hasil tangkapan bulanan pada
tahun 2005-2006 di perairan Teluk Palabuhanratu (Lampiran 1). Tangkapan
cakalang yang paling banyak pada bulan September ternyata sesuai dengan
pendapat Tampubolon (1990) yang menyatakan bahwa bulan Juni sampai
September merupakan musim puncak di daerah perairan Teluk Palabuhanratu.
Hasil tangkapan harian pada bulan Oktober dan September hampir sama.
Namun secara kumulatif hasil tangkapan ikan cakalang pada bulan September
lebih tinggi dibandingkan dengan bulan Oktober. Hal ini disebabkan karena
pengambilan data pada bulan Oktober dilakukan hanya sampai pertengahan bulan
karena nelayan sampel tidak melakukan operasi penangkapan ikan. Harga ikan
cakalang pada bulan Oktober sangat murah dan juga karena hari libur Idul Fitri
menyebabkan nelayan tidak pergi menangkap ikan. Harga cakalang yang sangat
murah dikarenakan jumlah hasil tangkapan yang banyak. Hasil tangkapan yang
didaratkan di PPN Palabuhanratu cukup banyak dan tidak mendapat penanganan
yang baik dari pihak pelabuhan. Disamping itu, ruang penyimpanan (cool room)
yang tidak tersedia membuat mutu ikan tidak baik sehingga mengurangi minat
konsumen untuk membeli.
Hasil tangkapan yang rendah pada bulan Agustus disebabkan banyak
nelayan payang yang tidak menangkap ikan. Selama bulan Agustus sampai awal
bulan September, angin berhembus kencang dari arah tenggara sehingga nelayan
sulit mendeteksi keberadaan ikan pada saat operasi penangkapan ikan sehingga
nelayan memilih tidak melaut dan mencari pekerjaan lain seperti buruh bangunan.
Angin yang kencang mengakibatkan badai, gelombang tinggi serta arus
permukaan yang cukup kuat. Akibatnya nelayan mengalami kesulitan untuk
mengoperasikan payang dan mendeteksi keberadaan schooling ikan cakalang.
Disamping itu, ada kemungkinan ikan cakalang akan bermigrasi menghindari
53
perairan yang bergelombang dan mencari perairan yang lebih tenang untuk
menghindari tekanan (Laevastu and Hayes, 1981).
Jika dilihat pada Gambar 7, proporsi ikan ukuran besar yang didapat pada
trip penangkapan nelayan payang periode bulan Agustus sampai Oktober 2007
untuk ikan cakalang hanya sebesar 29% (17,941 kg) dari total tangkapan 61,863
kg. Hasil tangkapan pada bulan Agustus yang ukuran besar hanya sebesar 21%,
pada bulan September 37% dan pada bulan Oktober hanya sebesar 11% (Gambar
8). Hal tersebut mengindikasikan walaupun hasil tangkapan cukup banyak, namun
berdasarkan aspek lingkungan tidak optimum atau kurang berwawasan
lingkungan.
Nelayan payang di daerah Palabuhanratu tidak memperhatikan kriteria
ukuran besar atau kecil. Semua jenis ikan yang tertangkap dengan jaring payang
dimasukkan ke dalam palkah (blong) tanpa memperhatikan ukurannya. Disamping
itu, nelayan payang memiliki ukuran mata jaring yang sangat kecil, sehingga ikan
cakalang yang berukuran kecil pasti tertangkap. Dalam hal ini dibutuhkan peran
serta Pemerintah Daerah dan ahli perikanan tangkap untuk membuat suatu
regulasi atau kebijakan tentang pengaturan ukuran hasil tangkapan yang layak.
5.2 Sebaran Temporal dan Spasial SPL di Perairan Teluk Palabuhanratu
Secara umum, SPL di perairan Teluk Palabuhanratu pada bulan Agustus
termasuk hangat namun pada wilayah-wilayah tertentu didominasi oleh SPL
dingin. Selanjutnya, SPL pada bulan September 2007 menurun dengan didominasi
oleh suhu dingin. Sedangkan pada bulan Oktober 2007, sebagian besar daerah
perairan Teluk Palabuhanratu cenderung hangat kembali walaupun masih
ditemukan wilayah-wilayah tertentu yang suhunya dingin.
Suhu permukaan laut pada bulan Agustus 2007 termasuk hangat disebabkan
oleh musim timur. Pada bulan September dan Oktober 2007 ditemukan fluktuasi
suhu yang drastis seperti dari tanggal 22 September ke tanggal 23 September dan
tanggal 8 Oktober ke tanggal 9 Oktober 2007. Hal ini terkait erat dengan
munculnya musim peralihan pada bulan September dan Oktober.
Timbulnya suhu dingin pada bulan September 2007 kemungkinan terkait
dengan terjadinya upwelling. Menurut Purba et al. (1994) bahwa upwelling yang
54
intensif terjadi di perairan Teluk Palabuhanratu pada bulan September dan
upwelling kurang intensif pada bulan Juli dan Agustus. Wyrtki (1962)
manyatakan bahwa proses air naik pada perairan tropis ada hubungannya dengan
angin musim yang terjadi di daerah tersebut (angin musim timur). Proses air naik
di daerah pantai didasari oleh teori Ekman yang menyatakan jika tertiup angin
tetap di atas permukaan laut, maka masa air pada lapisan Ekman akan dibelokkan
90o ke arah kanan untuk belahan bumi utara dan ke arah kiri untuk belahan bumi
selatan dari arah angin. Bila angin bertiup sejajar dengan pantai dan pantai berada
di sebelah kanan arah angin (belahan bumi selatan), maka lapisan Ekman akan
mengalir meninggalkan pantai. Berdasarkan hukum kontinuitas, air di lapisan
bawah akan naik ke permukaan. Dengan mekanisme tersebut di selatan Jawa akan
terjadi proses air naik (upwelling) pada waktu musim timur, karena pada musim
timur di daerah ini bertiup angin pasat tenggara dengan arah yang sejajar pantai
selatan Jawa.
SPL pada bulan September 2007 di daerah perairan Teluk Palabuhanratu
didominasi oleh suhu dingin dengan kisaran antara 24oC-27oC. Sedangkan pada
penelitian sebelumnya (Ismajaya, 2006), SPL perairan Teluk Palabuhanratu pada
bulan September 2005 termasuk hangat dengan kisaran nilai 27.10-29.00oC. Hal
ini terjadi karena adanya dinamika perubahan lingkungan walaupun pada daerah
yang sama. Dari citra satelit juga terlihat bahwa SPL hangat terkonsentrasi di
daerah pantai dan semakin menurun ke arah perairan lepas pantai. Hal ini
disebabkan karena daerah pantai di perairan Teluk Palabuhanratu banyak
mendapat masukan air tawar yang membawa SPL hangat dari sungai-sungai di
sekitarnya.
Pada tanggal 4 September 2007 dan tanggal 9 Oktober 2007, perairan Teluk
Palabuhanratu ditutupi awan yang tebal (Lampiran 9). Hal ini menyebabkan
intensitas radiasi matahari sangat sedikit sehingga suhu permukaan laut sangat
dingin. Awan yang menutupi perairan menyebabkan hanya sebagian kecil
perairan yang dapat dilihat kisaran suhu permukaan lautnya. Awan menyebabkan
terhalangnya pancaran tenaga elektromagnetik dari permukaan air, sehingga tidak
semua wilayah terekam oleh sensor satelit. Sebagian tenaga elektromagnetik
tersebut ada yang diserap ataupun dipantulkan yang menyebabkan tenaga
55
elektromagnetik yang terekam menjadi rendah, sehingga suhu permukaan laut
yang dihasilkan pun menjadi rendah. Lebih rendahnya SPL dapat juga disebabkan
oleh faktor-faktor oseanografi lainnya seperti arus. Namun demikian, perlu
pangamatan yang lebih detail untuk melihat sejauh mana pengaruh arus terhadap
SPL di perairan Teluk Palabuhanratu.
Pada saat penelitian masih ditemukan kisaran SPL dingin sebesar 20oC.
Kisaran SPL ini berbeda dengan SPL dingin yang dikemukakan oleh Badan
Meteorologi dan Geofisika untuk perairan Indonesia yaitu pada kisaran 25-270C.
Hal ini disebabkan karena energi elektromagnetik yang dipantulkan oleh perairan
tidak terekam dengan baik. Sebagian energi tersebut diserap oleh partikel-partikel
udara terutama oleh awan sebelum terbaca oleh sensor sehingga diperoleh suhu
yang dingin (sampai 20oC).
Penentuan kisaran SPL pada setiap operasi penangkapan ikan dengan
menggunakan hasil citra satelit masih memiliki kelemahan. Luasan sapuan sensor
MODIS yang besar mengakibatkan kisaran SPL yang didapat masih dalam daerah
yang luas (resolusi rendah). Disamping itu, satelit Aqua MODIS mengelilingi
bumi pada sore hari sehingga data SPL pada saat operasi penangkapan ikan masih
kurang akurat karena operasi penangkapan ikan tidak hanya dilakukan pada sore
hari. Namun demikian, perubahan suhu harian di perairan tropis tidak terlalu
signifikan.
5.3 Pengaruh SPL Terhadap Hasil Tangkapan Ikan Cakalang
Kisaran suhu permukaan laut pada saat penelitian berkisar antara 20oC-31oC.
Kondisi ini membuktikan bahwa ikan cakalang masih dapat mentolerir suhu
permukaan laut dingin 20oC dan suhu panas sampai 31oC. Namun demikian hasil
tangkapan ikan cakalang terbanyak ditemukan
pada kisaran suhu 25oC-29oC
(Gambar 10). Hal ini menunjukkan bahwa suhu yang cocok untuk penangkapan
ikan cakalang di perairan Teluk Palabuhanratu adalah 25oC-29oC. Hasil tangkapan
tidak ditemukan pada SPL diatas 29oC kemungkinan disebabkan karena ikan
cakalang akan berenang lebih dalam sehingga payang tidak dapat menjangkaunya.
Berdasarkan informasi nelayan payang di perairan Teluk Palabuhanratu, alat
tangkap payang dioperasikan pada kedalaman kurang lebih 10 meter.
56
Berdasarkan
uji regresi didapatkan bahwa suhu permukaan laut tidak
berpengaruh terhadap jumlah hasil tangkapan ikan cakalang di perairan Teluk
Palabuhanratu. Hal ini disebabkan karena kisaran SPL saat penelitian (20oC-31oC)
masih berada pada suhu penangkapan cakalang sebagaimana disebutkan oleh
Gunarso (1985), bahwa suhu optimum untuk penangkapan cakalang di Indonesia
berkisar antara 28oC-29oC. Dengan demikian, ikan cakalang dapat dengan mudah
beradaptasi terhadap perubahan suhu yang terjadi.
Suhu permukaan laut optimum untuk kegiatan penangkapan cakalang bisa
saja bervariasi berdasarkan perubahan waktu (temporal) dan tempat (spasial).
Penyebaran ikan cakalang di suatu wilayah perairan tidak hanya dipengaruhi oleh
satu faktor oseanografi tertentu. Kemungkinan penyebaran ikan cakalang di suatu
tempat secara dominan dipengaruhi oleh SPL tetapi di daerah lain penyebarannya
dipengaruhi oleh arus. Pada bulan Maret sampai Juni 2005 di Perairan Laut
Maluku diketahui bahwa SPL dengan hasil tangkapan terbanyak berkisar antara
26oC-32oC (Arifin, 2006). Pada Tabel 8 disajikan SPL optimum untuk
penangkapan ikan cakalang di beberapa wilayah di Indonesia.
Tabel 8 Kisaran SPL optimum penangkapan ikan cakalang di sebagian wilayah
Indonesia
No
Author
Perairan
Waktu
SPL optimum
(oC)
1
Nora Anggraini
P.Mentawai
2
Rudy Permadi
P.Laut Banda
3
Ibrahim Arifin
P.Laut
Maluku
Musim Barat 2003
23-24
Musim Peralihan
(Barat-Timur) 2003
Musim Timur 2003
Musim Peralihan
(Timur-Barat) 2003
Agustus-Oktober
2002
Maret-Juni 2005
24-25
29-30
26-27
26-28
26-32
Menurut penelitian sebelumnya (Anggraini, 2003), SPL di perairan
Mentawai berpengaruh terhadap hasil tangkapan ikan cakalang. Hal ini dapat
terjadi karena kondisi faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi penyebaran
cakalang kemungkinan berbeda secara spasial. Disamping itu, pengaruh SPL
57
terhadap penyebaran cakalang untuk perairan tropis adalah kecil karena suhu
relatif sama (konstan) sepanjang tahun (Hela and Laevastu, 1981). Dalam hasil
perhitungan statistik dapat dilihat bahwa hanya 0.71% dari SPL yang dapat
memprediksi hasil tangkapan ikan cakalang di perairan Teluk Palabuhanratu.
Untuk mendapatkan hasil yang lebih lengkap, diperlukan perhitungan yang
melibatkan karakteristik perairan lainnya, seperti arus, salinitas, klorofil a, dan
lain-lain. Disamping itu, pengaruh faktor-faktor teknis produksi seperti
keterampilan nelayan, alat tangkap, dan sebagainya diperlukan dalam penelitianpenelitian lanjutan.
Berdasarkan uji statistik sebagaimana disajikan pada Gambar 12, SPL tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap ukuran panjang ikan cakalang. Namun
demikian berdasarkan gambar 13, terlihat suatu pola yang menunjukkan bahwa
ikan cakalang yang ukuran kecil cenderung tertangkap pada SPL yang lebih
hangat sedangkan ikan cakalang yang berukuran besar tertangkap pada SPL
hangat dan dingin. Hal ini disebabkan karena metabolisme tubuh ikan cakalang
yang berukuran kecil hanya mampu menyesuaikan dengan SPL yang lebih hangat.
Ikan cakalang yang berukuran besar mampu berada pada suhu yang dingin
maupun suhu yang hangat karena memiliki sistem metabolisme tubuh yang sudah
baik (Arifin, 2006).
Ikan cakalang yang berukuran kecil lebih banyak tertangkap karena berada
di lapisan permukaan sehingga dapat tertangkap dengan payang. Ikan cakalang
yang berukuran besar biasanya berada pada lapisan lebih dalam sehingga tidak
terjangkau semua oleh alat tangkap payang. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Irawan (1995), bahwa ikan yang berukuran lebih besar berada pada lapisan yang
lebih dalam dengan schooling yang kecil, sedangkan ikan yang berukuran kecil
berada pada lapisan permukaan dengan kepadatan yang besar.
5.4 Penyebaran Daerah Penangkapan Ikan Cakalang
Penentuan Daerah Penangkapan Ikan (DPI) potensial didasarkan pada tiga
indikator, yaitu jumlah tangkapan ikan cakalang, ukuran panjang dan sebaran SPL
pada daerah penangkapan. Penentuan DPI potensial dalam periode bulan Agustus
sampai Oktober dapat dilihat pada Lampiran 8. Berdasarkan Lampiran 8,
58
diperoleh kategori DPI bulanan sebagaimana disajikan pada Tabel 9 dan Gambar
14. Dari Tabel 9 dan Gambaran 14, terlihat bahwa DPI potensial untuk
penangkapan ikan cakalang secara rutin selama bulan Agustus-Oktober 2007
terdapat di Teluk Ciletuh dan Ujung Karangbentang. Selanjutnya DPI yang
kurang potensial selama bulan Agustus-Oktober 2007 terdapat di Teluk Bedog.
Kondisi DPI yang masih potensial untuk penangkapan cakalang terdapat di
Cimaja, Teluk Cikepuh, Ujung Genteng dan Gedogan. Hal ini didasari oleh
kejadian frekuensi timbulnya kategori DPI potensial lebih sering dibandingkan
dengan kategori DPI sedang dan kurang. Sedangkan DPI kategori sedang terdapat
di Karang Payung, Teluk Amunan, Ujung Penarikan, Cisolok, Teluk Amurah,
Guhagede, Ujung Sodongparat, Citepus, Panggeleseram, GOA dan Cisaar. Hal ini
didasari oleh kejadian, yang mana frekuensi timbulnya kategori DPI potensial
labih sedikit selama periode Agustus sampai Oktober 2007.
Tabel 9 Evaluasi DPI berdasarkan jumlah ikan, ukuran dan sebaran SPL
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
DPI
Karang Payung
Cimaja
Tel.Ciletuh
Ujg.Karangbentang
Tel.Cikepuh
Ujung Genteng
Ug.Penarikan
Cisolok
Gedogan
Tl.Amuran
Guhagede
Ug.Sodong Parat
Citepus
Tl.Bedog
Panggeleseram
Cisaar
GOA
Kategori DPI bulan
Agustus September Oktober
Potensial Sedang
Potensial Potensial
Potensial Potensial
Potensial
Potensial Potensial
Potensial
Kurang
Potensial
Potensial
Potensial Potensial
Sedang
Potensial
Sedang
Potensial
Kurang
Potensial
Potensial
Potensial
Sedang
Potensial
Potensial Sedang
Potensial
Sedang
Kurang
Potensial
Sedang
Potensial
Sedang
Sedang
Kategori DPI
Gabungan
Sedang
Masih Potensial
Potensial
Potensial
Masih Potensial
Masih Potensial
Sedang
Sedang
Masih Potensial
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Kurang
Sedang
Sedang
Sedang
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya (Ismajaya, 2006), diperoleh empat
daerah potensial penangkapan ikan tongkol pada periode Agustus sampai Oktober
2005 yaitu : Citepus, Gedogan, Sodongparat dan Teluk Ciletuh. Hal ini
mengindikasikan bahwa Gedogan dan Teluk Ciletuh merupakan daerah potensial
59
untuk ikan cakalang dan ikan tongkol. Hal ini dapat terjadi karena tingkah laku
ikan tongkol hampir mirip dengan ikan cakalang (Ismajaya, 2006).
Posisi penangkapan yang potensial terbanyak didapat pada bulan September
yaitu di perairan Cimaja, Ujung Karangbentang, Teluk Ciletuh, Teluk Amuran,
Ujung Penarikan, Cisolok, Teluk Cikepuh, Guhagede, Gedogan, Citepus,
Panggeleseram , Ujung Genteng dan Cisaar. Pada bulan Agustus, DPI potensial
cakalang terdapat di Karang Payung, Ujung Karangbentang, Ujung Genteng,
Ujung Sodongparat, Teluk Ciletuh dan Cimaja. Sedangkan bulan Oktober DPI
potensial untuk cakalang terdapat di Ujung Karangbentang, Teluk Cikepuh,
Gedogan dan Teluk Ciletuh. Pada bulan Agustus 2007 terdapat DPI cakalang
yang kurang potensial yaitu di Teluk Cikepuh dan Gedogan.
Frekuensi timbulnya DPI potensial pada bulan September lebih sering jika
dibandingkan dengan bulan Agustus dan September 2007. DPI potensial pada
bulan September 2007 sebanyak 13 DPI. Hal ini dapat terjadi karena bulan
September merupakan musim puncak ikan cakalang di perairan Teluk
Palabuhanratu sehingga banyak nelayan sampel yang melakukan penangkapan
ikan. Pada bulan Agustus 2007 terdapat 6 DPI potensial. Hal ini dapat terjadi
karena pengaruh angin kencang dari arah tenggara sehingga ikan cakalang di
sekitar perairan Teluk Palabuhanratu bermigrasi ke tempat lain yang lebih tenang.
Sedangkan, pada bulan Oktober 2007 terdapat 4 DPI potensial. Hal ini terjadi
karena pengaruh musim peralihan sehingga ikan cakalang yang tertangkap
merupakan ikan yang berukuran kecil. DPI potensial terkonsentrasi di perairan
Ujung Karangbentang pada bulan Agustus 2007. Pada bulan September 2007, DPI
potensial terkonsentrasi di Teluk Cikepuh. Sedangkan DPI potensial pada bulan
Oktober 2007 terkonsentrasi di Gedogan. Perubahan DPI potensial dari bulan
Agustus 2007 sampai bulan Oktober 2007 disebabkan oleh perubahan kondisi
oseanografi lingkungan perairan Teluk Palabuhanratu sehingga mempengaruhi
tingkah laku ikan cakalang.
60
Gambar 14 Perubahan DPI selama periode Agustus sampai Oktober 2007.
61
6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Sebaran SPL di perairan Teluk Palabuhanratu pada bulan Agustus sampai
Oktober 2007 berkisar antara 20oC-31oC. Pada bulan Agustus, SPL berkisar
22oC – 29oC dengan SPL dominan antara 26oC-29oC. Kisaran SPL pada bulan
September yaitu antara 21oC – 27oC dengan SPL dominan antara 24oC – 27oC.
Kisaran SPL pada bulan Oktober adalah 20oC-29oC dengan suhu dominan pada
kisaran 24oC-28oC.
Komposisi jumlah hasil tangkapan cakalang pada bulan Agustus sampai
Oktober 2007 cenderung berfluktuasi. Hasil tangkapan pada bulan Agustus,
September dan Oktober 2007 masing-masing sebesar 8,098 kg, 37,855 kg dan
15,910 kg. Ukuran cakalang yang tertangkap didominasi ukuran kecil yaitu 71%
sedangkan ukuran yang besar hanya 29% dari total hasil tangkapan 61,863 kg.
Suhu permukaan laut tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah dan ukuran
hasil tangkapan ikan cakalang di perairan Teluk Palabuhanratu. Namun, terdapat
pola atau trend yang menunjukkan bahwa ikan ukuran kecil lebih dominan
tertangkap pada suhu hangat sedangkan ikan cakalang ukuran besar dapat
tertangkap pada suhu hangat dan dingin. Hasil tangkapan ikan cakalang terbanyak
terdapat pada kisaran SPL antara 25oC-29oC.
6.2
Saran
1) Perlu dilakukan penelitian yang serupa tetapi menggunakan GPS sehingga
posisi kapal pada waktu melakukan operasi penangkapan lebih akurat.
2) Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan hasil
tangkapan terhadap faktor oseanografi lainnya seperti arus dan klorofil a.
3) Perlu dilakukan penelitian dengan musim yang berbeda supaya dapat
terlihat penyebaran daerah penangkapan ikan selama satu tahun.
4) Perlu dilakukan penelitian dengan menggunakan citra satelit lain yang
lebih akurat pencatatan SPL dan memiliki resolusi yang tinggi.
62
DAFTAR PUSTAKA
Amiruddin. 1993. Analisis Hasil Tangkapan Cakalang (Katsuwonus pelamis)
dengan Pole and Line di Perairan Teluk Bone dalam Hubungannya
dengan Kondisi Oseanografi Fisika. [Skripsi] (Tidak Dipublikasikan).
Bogor: Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. 90 hal.
Anggraini, N. 2003. Hubungan Suhu Permukaan Laut Terhadap Pola Perubahan
Musim Penangkapan Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) di Perairan
Mentawai, Sumatera Barat. [Skripsi] (Tidak Dipublikasikan). Bogor:
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 68 hal
Anonymous. 2007. Forum Remote Sensing dan GIS Indonesia.
www.rsgisforum.net (12 Desember 2007).
Anonymous. 2008. Data Production and Distribution Status.
www.oceancolor.gsfc.nasa.gov (19 Januari 2008).
Arifin, I. 2006. Penentuan Daerah Penangkapan Ikan Cakalang dengan Data
Satelit Multi Sensor di Perairan Laut Maluku. [Skripsi] (Tidak
Dipublikasikan). Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya
Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian
Bogor. 86 hal.
Ayodhyoa, H A U. 1981. Metode Penangkapan Ikan. Bogor: Yayasan Dewi Sri.
94 hal.
Birowo, S. 1979. Kemungkinan Terjadinya Upwelling di Laut Flores dan Teluk
Bone. Jakarta: Lembaga Oseanologi Nasional-LIPI. Hal 1-12.
Blackburn. 1965. Oceanography and the Ecology of Thunnus. In Barnes N.
(editor). Oceanography And The Marine Biology. Vol III. London: G.
Allen and Unwin Ltd. 299-322p.
Butler, M. J. A., M. C. Mouchot, V. Berale dan C. Leblanc. 1989. The Aplication
of The Remote Sensing Technologi to Marine Fisheries, An Introduction
Manual. Rome: FAO Fisheries Paper 295. 165 p.
Dahuri, R, J. Rais, S.p Ginting dan M. J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya
Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta: PT. Pradnya
Paramita. 229 hal.
Edmondri. 1999. Studi Daerah Penangkapan Ikan Cakalang dan Madidihang di
Perairan Sumatera Barat pada Musim Timur. [Skripsi] (Tidak
Dipublikasikan). Bogor: Jurusan Pemanfaatn Sumberdaya Perikanan.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 48 hal.
63
FAO. 1983. FAO Spesies Cataloque, Vol 2 Scombrids Of The World United
Nation Development Programme. Rome: Food and Agriculture
Organization, Organization of United Nation.
Fyson, J. 1985. Design of Small Fishing Vessels. England: Fishing News Books
Ltd. 320p.
Gunarso, W. 1985. Tingkah Laku Ikan dalam Hubungannya dengan Alat, Metode
dan Taktik Penangkapan. Bogor: Fakultas Perikanan. Institut Pertanian
Bogor. 149 hal.
Hela, I. and Laevastu, T. 1993. Fisheries Oceanography. London: Fishing News
Book Ltd. 238p.
Irawan, B. 1995. Analisis Tingkat Pengusahaan Sumberdaya Ikan Cakalang
(Katsuwonus pelamis) di Perairan Sumatera Barat dengan Pendekatan
Hasil Tangkapan yang Didaratkan di PPNB, Padang. [Skripsi] (Tidak
Dipublikasikan). Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya
Perikanan. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. 89 hal.
Ismajaya. 2006. Hubungan Suhu Permukaan Laut dengan Daerah Penangkapan
Ikan Tongkol di Perairan Teluk Palabuhanratu, Jawa Barat. [Skripsi]
(Tidak Dipublikasikan). Bogor: Jurusan Pemanfaatn Sumberdaya
Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian
Bogor. 57 hal.
Laevastu, T., Murray L. Hayes. 1981. Fisheries Oceanography and Ecology.
England: Fishing News Book Ltd. Farnham-Surrey.199 hal.
Matsumoto, W M, R A Skillman and A E Dizon. 1985. Synopsis of Biological
Data on Skipjack Tuna (Katsuwonus pelamis, L.). Terjemahan oleh M.
Fedi A. Sondita. 1999. Bogor: Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya
Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian
Bogor. 144 hal.
Matsumoto, W M. 1984. Distribution, Relative Abundance and Movement of
Skipjack Tuna (Katsuwomus pelamis) In The Pacipic Ocean Based on
Japanes Tuna Longline Catches. 1964 – 67. U. S. Dep. Commer.,
NOAA Tech. Rep. NMFS SSRF- 965, 30 p.
Mawardi, W. 1990. Studi Modifikasi Jaring Payang untuk Meningkatkan
Efektivitas Penangkapan Ikan di Palabuhanratu, Sukabumi. [Skripsi].
(Tidak Dipublikasikan). Bogor: Jurusan Pemanfaatn Sumberdaya
Perikanan. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor.hal 16-32.
Muhammad, S. 1970. Suatu Tinjauan Tentang Fishing ground Tuna Longline di
Perairan Indonesia dan Sekitarnya. Bogor: Fakultas Perikanan. Institut
Pertanian Bogor.
64
Nakamura, H. 1969. Tuna Distribution and Migration. London: Fishing News
(book) Ltd.
NASA. 2007. Components and Specifications of MODIS.
www.modis.gsfc.nasa.gov (23 Juni 2207).
Nazir, M. 1998. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. 622 hal.
Nikolsky, G.V. 1963. The Ecology of Fisheries. Translated from Russian by L.
Barkett. London: Academic Press. 352p.
Nontji A. 1993. Laut Nusantara. Jakarta: Penerbit Djambatan.368 hal.
Pariworo, J.I. M. Eidman, S. Raharjo, M.Purba, Tri, P.R. Widodo, U.Juariah.
Hutapea, J.H. 1988. Studi Upwelling di Perairan Selatan Pulau Jawa.
Laporan Penelitian. Bogor: Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor.
PPN Palabuhanratu. 2006. Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.
Palabuhanratu: PPN Palabuhanratu. hal 1-2.
Purba, M. A.Saleh dan I.M. Natih. 1994. Variasi Suhu Permukaan Laut Serta Sifat
Oseanografi Lainnya dan Kemungkinan Aplikasinya Dalam Penentuan
Lokasi Penangkapan Ikan di Perairan Selatan Jawa. Laporan Penelitian.
Fakultas Perikanan .Institut Pertanian Bogor.
Purbowaseso, B. 1995. Penginderaan Jauh Terapan. Jakarta: Universitas Indonesia
Press. 467 hal.
Subani W, dan Barus H. R. 1989. Alat Penangkapan Ikan dan Udang Laut di
Indonesia. Jurnal Penelitian Perikanan Laut No.50 tahun 1988/1989.
Jakarta: Balai Penelitian Perikanan Laut. Departemen Pertanian.20 hal.
Suharto, T. 1992. Fluktuasi Hasil Tangkapan Cakalang (Katsuwonus pelamis),
Hubungannya dengan Kondisi Oseanografi di Perairan Utara Irian Jaya.
[Skripsi] (Tidak Dipublikasikan). Bogor: Departemen Pemanfaatan
Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. 69
hal.
Sutanto. 1987. Penginderaan Jauh Jilid II. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press.
Tampubolon, N. 1990. Suatu Studi Tentang Perikanan Cakalang dan Tuna Serta
Kemungkinan Pengembangannya di Pelabuhanratu, Jawa Barat.
[Skripsi] (Tidak Dipublikasikan). Bogor: Departemen Pemanfaatan
Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor.
Von Brandt, A. 1984. Fish Catching Methods of The World. FAO Fishing News
Books, Ltd. Farnham. Surrey, England. p. 301-3187.
65
Walpole, R. E. 1995. Pengantar Statistika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Wandron, K.D. 1962. Synopsis On The Biological Data On Skipjack (Katsuwonus
pelamis) Pacific Ocean. Italy: World Scientific Meeting on the Biology
of Tuna and Related Spesies No.22.
Weyl, P. K. 1970. Oceanography An Introduction to The Marine Environment.
John Wiley & Sons.
Wyrtki K. 1962. Physical Oceanography of the Southeast Asean Water. Naga
Report Vol II. California: The University of California, Scrips
Institution of Oceanography. La Jolla. 195p.
66
67
Lampiran 1. Data CPUE 2005-2006 PPN Palabuhanratu
Produksi Cakalang (Payang)
Waktu
Payang
CPUE
Januari
2005
1596
2006
1175
2005
767
2006
390
2005
2.08
2006
3.01
Februari
50180
2868
680
701
73.79
4.09
Maret
98008
11766
607
552
161.46
21.32
April
208139
38765
608
418
342.33
92.74
Mei
974026
40895
891
507
1,093.18
80.66
Juni
230375
102869
506
668
455.29
154.00
Juli
22581
76283
304
837
74.28
91.14
Agustus
54954
-
687
701
79.99
-
September
2019
-
405
1,030
4.99
-
-
-
410
508
-
-
November
3263
-
407
915
8.02
-
Desember
33230
-
567
825
58.61
-
Oktober
68
Lampiran 2. Citra sebaran SPL pada bulan Agustus 2007
69
Lampiran 3. Citra sebaran SPL pada bulan September 2007
70
Lampiran 4. Citra sebaran SPL pada bulan Oktober 2007
71
Lampiran 5. SPL dan Hasil tangkapan pada bulan Agustus-Oktober 2007
Posisi
Bujur Timur
Hasil
Tangkapan
(Kg)
SPL
( OC )
31 Agustus
Tl.Cikepuh
Ug.Sodong parat
Cisolok
Cisolok
Gedogan
Gedogan
7o 14’
7o 06’
7o 13’
7o 19’
7o 00’
7o 07’
7o 06’
7o 22’
7o 14’
7o 09’
o
7 02’
o
7 03’
7o 03’
6o 58’
7o 13’
7o 01’
7o 05’
7o 01’
6o 55’
7o 06’
7o 08’
7o 06’
7o 05’
7o 13’
7o 14’
6o 58’
6o 59’
7o 06’
7o 06’
106o 23’ 30’’
106o 30’ 30’’
106o 22’ 20’’
106o 21’ 55’’
106o 23’ 30’’
106o 26’ 05’’
106o 30’ 20’’
106o 22’ 55’’
106o 21’ 25’’
106o 23’ 40’’
o
106 22’ 30’’
o
106 22’ 30’’
106o 22’ 30’’
106o 28’ 30’’
106o 22’ 35’’
106o 21’ 30’’
106o 30’ 40’’
106o 22’ 30’’
106o 26’ 30’’
106o 28’ 30’’
106o 26’ 20’’
106o 29’ 30’’
106o 30’ 30’’
106o 22’ 45’’
106o 21’ 20’’
106o 26’ 05’’
106o 25’ 45’’
106o 29’ 45’’
106o 29’ 45’’
35
95
300
300
200
900
180
500
600
200
300
100
800
400
200
90
150
160
800
24
300
374
50
80
385
25
50
30
470
23
21
22
25
awan
26
20
28
29
29
29
28
27
27
27
27
27
26
26
27
awan
awan
25
27
29
29
27
27
27
3 September
Karang Payung
7o 00’
106o 23’ 55’’
Tanggal
Akuisisi
1 Agustus
2 Agustus
3 Agustus
4 Agustus
5 Agustus
6 Agustus
7 Agustus
11 Agustus
19 Agustus
20 Agustus
21 Agustus
22 Agustus
23 Agustus
25 Agustus
26 Agustus
27 Agustus
28 Agustus
29 Agustus
4 September
5 September
6 September
Nama
DPI
Lintang
Selatan
Tel. Cikepuh
Gadogan
Cikepuh
Ci Panarikan
Karang Payung
Ujung Karangbentang
Gedongan
Ujung Genteng
Sedong Parat
Tel.Ciletun
Karang Payung
Karang Payung
Karang Payung
Cimaja
Tel.Budog
Guha gede
Cisaar
Guha gede
Cisolok
Gedogan
Cibanteng
Gedogan
Cisaar
300
23
Cisolok
6 59’
106 28’ 05’’
576
awan
Tel.Bedog
7o 12’
106o 22’ 50’’
420
awan
o
o
o
o
Gedogan
7 06’
106 29’ 55’’
90
awan
Ujung karangbentang
7o 08’
106o 26’ 33’’
1200
awan
Cimaja
6o 59’
106o 28’ 05’’
Tel.Ciletuh
o
7 10’
o
640
25
o
350
23
o
106 26’ 20’’
7 September
Ujg.Karangbentang
7 08’
106 26’ 10’’
510
25
8 September
Tel.Amunan
7o 16’
106o 21’ 45’’
430
25
o
95
26
o
Tel.Cikepuh
o
7 12’
o
106 22’ 40’’
Ujung Genteng
7 22’
106 23’ 05’’
2300
25
Kg.bentang
6o 59’
106o 25’ 30’
275
27
72
Lampiran 5 (Lanjutan)
9 September
Ug.Penarikan
Cisolok
10 September
106o 21’ 42’’
720
25
o
370
25
o
900
26
o
200
25
o
400
26
o
360
26
o
106 25’ 45’’
o
106 30’ 10’’
o
106 21’ 55’’
7 06’
7 16’
o
7 00’
o
7 01’
o
106 23’ 55’’
106 22’ 30’’
Panggeleseran
6 59’
106 28’ 55’’
270
awan
Sodong Parat
7o 14’
106o 21’ 10’’
800
26
o
400
awan
o
Karang Payung
o
7 02’
o
106 22’ 30’’
Gedogan
7 06’
106 29’ 10’’
250
27
Guha Gede
7o 01’
106o 22’ 30’’
620
awan
Guha Gede
7o 01’
106o 22’ 45’’
480
20
o
o
Karang Payung
7 03’
106 22’ 30’’
150
20
Cimaja
6o 59’
106o 28’ 55’
400
20
o
900
20
o
1200
27
Ug.Sodong Parat
13 September
6 59’
Tl.Amurah
Guhagede
12 September
o
Gedogan
Karang Payung
11 September
7o 18’
Cisolok
o
7 14’
o
6 59’
o
106 21’ 55’’
106 26’ 20’’
o
14 September
Gedogan
7 06’
106 30’ 05’’
830
23
15 September
Cimaja
6o 59’
106o 28’ 15’’
1700
24
o
1700
23
o
820
27
o
500
26
o
420
28
o
250
27
o
Guha Gede
16 September
19 September
106 26’ 30’’
7 08’
o
7 13’
o
7 06’
o
106 22’ 25’’
106 29’ 10’’
Karang Payung
7 09’
106 25’ 00’’
500
21
Gedogan
7o 06’
106o 29’ 25’’
150
awan
Tel.Cikepuh
7o 13’
106o 22’ 05’’
365
25
o
o
Tl.Bedog
7 12’
106 22’ 55’’
27
24
Panggeleseram
6o 59’
106o 25’ 15’’
720
25
Ciletuh
7o 10’
106o 22’ 30’’
415
25
o
o
Ug.Penarikan
7 18’
106 21’ 55’’
515
23
Tel.Celetuh
7o 10’
106o 26’ 45’’
670
26
o
330
25
o
100
27
o
Gedogan
21 September
106 29’ 45’’
o
6 59’
Panggeleseran
20 September
106 22’ 25’’
o
Kg.bentang
Gedogan
18 September
7 01’
Citepus
Tel.Cikepuh
17 September
o
o
7 03’
o
7 06’
o
106 25’ 10’’
106 29’ 40’’
Tel.Cikepuh
7 13’
106 22’ 30’’
1400
25
Karang Payung
7o 05’
106o 28’ 50’’
30
25
o
50
25
o
Karang Payung
o
7 03’
o
106 31’ 10’’
22 September
Citepus
6 59’
106 30’ 50’’
900
25
23 September
24 September
Cimaja
Ujung Penarikan
Cimaja
Gedogan
6o 59’
7o 18’
6o 59’
7o 06’
106o 30’ 50’’
106o 21’ 55’’
106o 30’ 50’’
106o 29’ 40’’
320
349
24
153
24
25
27
23
73
Lampiran 5 (Lanjutan)
25 September
26 September
27 September
29 September
30 September
4 Oktober
5 Oktober
6 Oktober
7 Oktober
Cimaja
Gedogan
Teluk Ciletuh
Cisaar
Guhagede
Guhagede
Cimaja
Teluk Cikepuh
Ujung Penarikan
Gedogan
Ujung Genteng
Gedogan
Cimaja
Cisaar
Gedogan
6o 59’
7o 06’
7o 05’
7o 01’
7o 10’
7o 01’
6o 59’
7o 18’
7o 06’
7o 13’
7o 22’
7o 06’
7o 05’
o
6 59’
o
7 06’
106o 30’ 50’’
106o 29’ 40’’
106o 30’ 40’’
106o 22’ 25’’
106o 26’ 45’’
106o 22’ 25’’
106o 30’ 50’’
106o 21’ 55’’
106o 29’ 40’’
106o 22’ 30’’
106o 23’ 05’’
106o 29’ 40’’
106o 30’ 40’’
o
106 30’ 50’’
o
106 29’ 40’’
629
908
150
841
270
1211
797
205
227
248
930
915
745
375
560
27
27
27
27
27
27
23
23
26
25
23
26
27
26
27
Uj.Karangbentang
7o 03’
106o 27’ 30’’
Karang Bentang
Tel.Cikepuh
Tel.Cikepuh
Gedogan
8 Oktober
Cisaar
Ciletuh
Gedogan
9 Oktober
17 Oktober
18 Oktober
7 14’
o
7 14’
o
7 05’
o
7 07’
o
7 10’
o
7 06’
o
800
28
o
1300
27
o
700
20
o
1000
24
o
200
25
o
560
24
o
1200
25
o
106 25’ 10’’
106 22’ 55’’
106 22’ 55’’
106 30’ 30’’
106 28’ 50’’
106 22’ 30’’
106 30’ 10’’
7 08’
106 26’ 10’’
1700
awan
7o 03’
106o 22’ 20’’
560
awan
o
1200
awan
o
3200
29
o
800
28
o
300
27
o
960
25
o
300
25
o
460
25
o
320
27
Gedogan
GOA
Karang Bentang
15 Oktober
o
27
Karang Payung
Uj.Karangbentang
11 Oktober
7 03’
350
o
Karang Bentang
Gedogan
10 Oktober
o
GOA
Ciletuh
Gedogan
o
7 06’
o
7 06’
o
7 10’
o
7 01’
o
7 07’
o
7 01’
o
7 10’
o
7 05’
106 30’10’’
106 29’ 50’’
106 25’ 05’’
106 31’ 20’’
106 22’ 40’’
106 31’ 30’’
106 22’ 20’’
106 27’ 40’’
74
Lampiran 6. Uji Normalitas
Uji Kolmogorov-Smirnov
N
Normal Parameters(a,b)
Most Extreme Differences
Mean
Std. Deviation
Ukuran
Panjang
Hasil
Tangkapan
53
53
53
34.245
9.313
561.132
510.208
25.774
2.016
SPL
Absolute
0.123
0.159
0.181
Positive
Negative
0.123
-0.098
0.159
-0.149
0.121
-0.181
Kolmogorov-Smirnov Z
0.893
1.160
1.320
Asymp. Sig. (2-tailed)
0.403
0.135
0.061
Hipotesis :
Angka signifikan (SIG) > 0,05 maka data berdistribusi normal
Angka signifikan (SIG) < 0,05 maka data tidak berdistribusi normal
SIG ukuran panjang = 0,403 > 0,05
SIG hasil tangkapan = 0,135 > 0,05
SIG SPL = 0,061 > 0,05
Keputusan :
Data berdistribusi normal.
75
Lampiran 7. Perhitungan regresi linear sederhana
Untuk Hasil Tangkapan dengan SPL
SUMMARY OUTPUT
Regression Statistics
Multiple R
0.084161
R Square
0.001783
Adjusted R Square
-0.00275
Standard Error
490.5378
Observations
103
ANOVA
df
Regression
Residual
Total
1
101
102
SS
173371.6
24303359
24476731
MS
173371.6
240627.3
Fhit
0.7204
Ftab
3.9351
Standard
Coefficients
Intercept
X Variable 1
Error
t Stat
P-value
296.75342
492.60226
0.22
0.824
9.244062
19.338645
0.849
0.398
Lower
95%
867.5469
21.94761
Upper
95%
1086.833
54.7777
Lower
95.0%
867.5469
21.94760
Upper
95.0%
1086.834
54.77773
Untuk Ukuran Panjang dengan SPL
SUMMARY OUTPUT
Regression Statistics
Multiple R
0.1843435
R Square
0.0338825
Adjusted R Square
0.024418
Standard Error
8.6433726
Observations
103
ANOVA
df
Regression
Residual
Total
Intercept
X Variable 1
1
101
102
SS
265.4351171
7545.496922
7810.932039
MS
265.4
74.71
Fhit
3.553
Ftab
3.9351
Coefficients
52.724081
Standard
Error
8.67974921
t Stat
5.765
Pvalue
9E-08
Lower
95%
32.82079
Upper
95%
67.257
Lower
95.0%
32.82079
Upper
95.0%
67.25736
-0.7464924
0.340750742
-1.88
0.0623
-1.31825
0.0336
-1.318250
0.0336654
76
Lampiran 8. Perubahan DPI pada bulan Agustus sampai Oktober 2007
DPI
Agustus 2007
Tel. Cikepuh
Gedogan
Ujung Panarikan
Karang Payung
Uj. Karangbentang
Ujung Genteng
Ug Sodong Parat
Tel.Ciletuh
Cimaja
Tel.Budog
Guha gede
Cisolok
Cisaar
September 2007
Karang Payung
Cimaja
Tel.Ciletuh
Ujg.Karangbentang
Tel.Cikepuh
Ujung Genteng
Ug.Penarikan
Cisolok
Gedogan
Tl.Amuran
Guhagede
Ug.Sodong Parat
Citepus
Tl.Bedog
Panggeleseram
Cisaar
Oktober 2007
Uj.Karangbentang
Tel.Cikepuh
Gedogan
Cisaar
Tel. Ciletuh
GOA
CPUE
(Kg/Unit)
Indikator DPI
Ukuran
panjang (cm)
SPL ( oC )
Kategori DPI
Kategori
Bobot
Kategori
Bobot
Kategori
Bobot
Bobot
Kategori
138
160
300
350
900
500
493
200
400
200
125
292
100
3
3
3
5
5
5
5
3
5
3
3
3
3
33
28
32
37
45
37
38
41
27
35
24
23
24
1
1
1
1
3
1
1
3
1
1
1
1
1
24
24
25
27
26
28
29
29
27
27
27
27
26
1
1
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
5
5
7
9
11
9
9
9
9
7
7
7
7
Kurang
Kurang
Sedang
Potensial
Potensial
Potensial
Potensial
Potensial
Potensial
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
238
657
396
428
516
1615
453
785
479
315
804
850
860
27
525
608
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
1
5
5
35
36
42
26
33
44
36
39
37
35
37
36
39
35
34
33
1
1
3
1
1
3
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
23
25
25
26
26
24
25
26
25
25
25
23
26
24
25
27
1
3
3
3
3
1
3
3
3
3
3
1
3
1
3
3
7
9
11
9
9
9
9
9
9
9
9
7
9
3
9
9
Sedang
Potensial
Potensial
Potensial
Potensial
Potensial
Potensial
Potensial
Potensial
Potensial
Potensial
Sedang
Potensial
Kurang
Potensial
Potensial
728
1000
1430
200
510
300
5
5
5
3
5
3
28
25
32
25
31
30
1
1
1
1
1
1
27
26
27
25
25
27
3
3
3
3
3
3
9
9
9
7
9
7
Potensial
Potensial
Potensial
Sedang
Potensial
Sedang
77
Lampiran 9. Daerah Perairan Teluk Palabuhanratu yang tertutup awan
SPL tanggal 4 Sptember 2007
SPL tanggal 9 Oktober 2007
Download