Siapa yang Berkuasa di Hutan Borneo? On December 8, 2015. By marufmnoor — Kategori: Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan SDA Matahari pagi bersanding dengan kabut yang baru saja ingin terangkat dari pucuk-pucuk dedaunan hijau di hutan batas negeri Indonesia-Malaysia. Hijaunya masih perawan, pepohonan tumbuh perkasa berjejer seluas gunung gemunung yang dibelah oleh sebuah sungai besar, Sungai Sembakung. Sungai yang pangkalnya dari dua negara. Satunya dari Indonesia, dan lainnya dari Malaysia. Orang-orang di hulu sungai ini memanggil dirinya dengan sebutan Masyarakat Adat Suku Dayak Agabag. Siapa yang tidak kenal dengan Suku Dayak? Dayak adalah suku besar di Kalimantan, dan memiliki banyak sub-suku, seperti Dayak Tagelan, Dayak Punan, Dayak Tidung, Dayak Kenya, Dayak Puduk, Dayak Agabag, dan masih banyak sekali sub-suku yang tersebar di dataran dan hutan Borneo. Suku besar yang mendiami hutan Borneo yang merupakan hutan dengan keanekaragaman biodiversitas. Borneo menjadi rumah bagi lebih dari 15.000 jenis tanaman, 300 jenis pohon, dan 221 spesies mamalia. Sekaligus rumah bagi sekian banyak seni dan budaya yang menakjubkan. Hutan Borneo juga terkenal dengan sebutan hutan hujan tropis yang mendunia. Dengan tingkat curah hujan lebih dari 1200 mm per tahun, sehingga hutan Borneo masuk dalam tipe hutan evergreen. Hutan Borneo adalah hutan hujan tropis tertua di dunia yang telah berusia 130 juta tahun, tua 70 tahun dari hutan hujan tropis Amazon.1 Di utara Borneo, masyarakat suku Dayak Agabag telah bertahan hidup bersama hutan. Secara terminologi, masyarakat setempat mengartikan Agabag sebagai pakaian nenek moyang mereka yang menutup bagian perut ke bawah dengan cara melilitkan pengikatnya di pinggang. Suku Dayak Agabag inilah yang mayoritas bermukim dan hidup berkelompok di sepanjang sungai yang pangkalnya bercabang ini, hingga pada muaranya di daerah Sembakung. Tepat berhadapan dengan Pulau Tarakan, di Kalimantan Utara. Ada banyak hal unik dan menarik pada kehidupan masyarakat adat Dayak Agabag ini. Mari kita mulai dari cara mereka bertahan hidup bersama hutan dan sungai. Sungguh orang-orang Dayak Agabag ini akan punah tanpa hutan dan sungai. Meskipun keadaan terkini, tidak kita temukan lagi masyarakat yang betul-betul hidup seratus persen dari hutan tanpa sentuhan modernisasi. Tetapi setidaknya, prinsip hidup kebanyakan mereka masih sangat berpegang pada tata aturan adat. Dan atas itulah, mereka mengklaim diri sebagai satu-satunya masyarakat adat terbesar di Indonesia yang mampu eksis dengan segenap kebiasaan dan adat istiadat nenek moyang mereka. Secara administratif, kampung-kampung di hulu sungai ini masuk dalam wilayah Kecamatan Lumbis Ogong, Kabupaten Nunukan, Propinsi Kalimantan Utara. Sebuah kecamatan yang memiliki 49 desa dan baru memisahkan diri dari Kecamatan Lumbis (Induk) empat tahun yang lalu. Di tepi hulu sungai, terdapat beberapa kampung hingga ke pangkal air, baik kampung yang masuk dalam wilayah Indonesia maupun yang berbelok ke arah pangkal air di Malaysia. Dan di dalamnya terdapat beberapa desa. Inilah keunikannya, kampung ini merupakan penggabungan beberapa desa-desa kecil. Desa kecil ini sungguh adalah adalah desa pengecualian dari amanah dan syarat desa yang ada di Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Faktanya, dalam satu kelompok, biasanya terdapat lima sampai sepuluh desa kecil. Dalam satu desa, hanya terdapat maksimal 30 kepala keluarga. Bahkan ada beberapa desa yang hanya berisi 10 kepala keluarga. Seperti beberapa di desa di Kelompok Sumentobol. Salah satu nama kelompok kampung di sepanjang hulu sungai Sembakung ini. Masyarakat adat hulu sungai batas negeri ini terisolir dengan segala aspek-aspek kemajuan hidup manusia. Satusatunya alat transportasi yang harus dipakai untuk sampai di kampung-kampung hulu ini adalah dengan menggunakan longboat, atau masyarakat lokal menyebutnya perahu tempel dari pusat kecamatan yang terbilang maju dalam beberapa perbandingan dengan kehidupan di hulu sungai akan menghabiskan waktu enam sampai belasan jam dalam berbagai kondisi dan tantangan alam yang dinamis. Semua kampung di hulu sungai ini masih gelap gulita sebab tidak ada yang terlistriki oleh negara dan dipastikan tidak ada sinyal telefon sedikit pun dari semua provider. Jelas, ini tidak hanya sekadar ironi sebuah kampung Kalimantan yang merupakan lumbung batu bara negeri ini. Lumbung sumber energi listrik Indonesia. Keunikan lainnya adalah bahwa, sebab rumitnya akses transportasi yang bisa membuka kehidupan masyarakat hulu ini. Maka segala pemanfaatan sumber daya alam akan berputar dan berakhir di kampung masing-masing. Transaksi jual beli hanya berlangsung pada barang-barang yang memang berasal dari luar. Barang-barang yang tidak mampu diciptakan sendiri oleh masyarakat seperti bensin, beras, gula, garam, dan semacamnya. Selain itu, semuanya masih bisa diatasi dengan sistem adat dan kekeluargaan. Untungnya, mata uang digunakan bertransaksi masih rupiah, padahal gerbang batas Malaysia sudah sangat dekat dan justru hanya pedagang dari Malaysia-lah yang datang menawarkan barangnya menggunakan perahu. Pekerjaan utama mereka adalah mencari kayu gaharu di hutan belantara. Kayu yang harganya sangat mahal, bisa mencapai 500-an juta perkilogramnya. Mencari kayu gaharu bukanlah perkara mudah, terkadang ada unsur hoki di dalamnya. Sekelompok orang yang biasa terdiri 3 sampai 5 orang, naik dan turun gunung menyasar satu persatu pepohonan gaharu yang dicurigai mengandung inti yang dimaksudkan. Pada perkara inilah, istilah hoki itu bisa ditafsirkan. Tidak semua mata akan menuju pada pohon gaharu yang mungkin berisi inti hitam itu. Sebuah pohon yang tumbang bisa jadi itulah pohon gaharu yang telah dicari berhari-hari bahkan berminggu-minggu di hutan. Pekerjaan mencari kayu gaharu bukan tanpa aturan adat. Bahwa setiap desa itu memiliki wilayah hutan adat yang mereka jaga dan pelihara dengan cara mereka sendiri. Membatasinya dengan penanda tertentu sebagai batas hutan adat tiap desa. Pemberian denda melalui hukum adat masih terlihat lebih berkekuatan ketimbang aturan administratif atau hukum kenegaraan. Setiap siapapun warga wajib melapor dan membayar biaya sebelum memasuki hutan adat desa lain. Aturan ini terkhusus untuk keperluan mencari kayu gaharu. Bila hanya berburu babi, maka boleh saja tanpa izin dari ketua adat desa pemilik hutan. Selain mencari kayu gaharu, tentu masyarakat hulu sungai ini membutuhkan asupan makanan. Sumber karbohidrat didapatkan dari ubi-singkong yang diolah menjadi tepung basah, dan orang setempat menyebutnya Ilui. Sebuah makanan khas masyarakat Suku Dayak Agabag yang selalu melengkapi hidangan makan pada lauk yang berkuah. Sedangkan kebutuhan protein dan lemak di dapatkan dari babi hutan yang disediakan oleh hutan Borneo serta dari ikan batu yang tak pernah habis di dalam sungai. Namun babi hutan hanya mampu memenuhi untuk kebutuhan hidup sehari saja. Sebab, tidak ada alat yang mampu mengawetkan daging selama berhari-hari. Babi buruan yang didapatkan, adalah konsumsi bersama dalam sebuah kampung. Satu ekor dagingnya akan terbagi hingga habis di rumah-rumah tetangga terdekat. Selain itu, aturan adat kampung menegaskan untuk tidak memburu anak babi atau babi yang masih kecil. Bila ketahuan bisa jadi akan mendapat denda adat jutaan rupiah. Sedangkan terhadap ikan di sungai, juga diatur oleh adat bahwa hanya boleh menangkapnya dengan cara menjala atau memasang pukat kecil. Menggunakan setrum ikan atau meracun sungai adalah pelanggaran besar terhadap aturan adat, maka pasti akan mendapat denda adat. Hutan selalu penuh dengan aroma kehidupan. Pada suatu saat, orang-orang di hulu sungai ini betapa merindukan kehidupan berbeda yang nampak maju yang ditawarkan oleh modernisasi. Wajah palsu modernisasi yang di dalamnya terbungkus rapi sejumlah agenda pembalakan dan pengerusakan hutan alami. Dalam situasi inilah, terdapat paradoks terhadap pelestarian hutan Kalimantan. Kehidupan modern telah di depan mereka, setelah jalan nasional Indonesia-Malaysia terbuka, maka tantangan dan pola hidup masyarakat adat dalam memandang hutan pasti akan berbeda. Oleh sebab itu, mari tetap kritis menghadapi situasi. Menjaga dan memeperjuangkan kelestarian hutan Indonesia. ]1 Caption Akun Instagram @eigeradventure