LUARAN IBU DAN BAYI PADA PENDERITA PREEKLAMPSIA BERAT DAN EKLAMPSIA DENGAN ATAU TANPA SINDROMA HELLP SARAH DINA Bagian Obstetri Dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Penyakit hipertensi dalam kehamilan (HDK) atau preeklampsia sampai sekarang masih merupakan masalah kebidanan yang belum dapat dipecahkan dengan tuntas. HDK adalah salah satu dari 3 penyebab kematian utama ibu disamping perdarahan dan infeksi.1,2 Dari data statistik di negara maju menunjukkan bahwa 10 – 30% dari semua kematian ibu disebabkan oleh preeklampsia, dan juga sebagai penyebab utama morbiditas dan mortalitas perinatal. Mortalitas akan meningkat sesuai dengan berat dan lamanya preeklampsia. Menurut Simanjuntak (1999) pada penelitian retrospektif 5 tahun (1993 – 1997) dijumpai 33 kasus (5,10%) kematian ibu dari 647 kasus preeklampsia berat.3 Penanganan kasus preeklampsia masih tetap kontroversi, karena sampai saat ini etiologi dan patofisiologi penyakit HDK masih belum jelas diketahui sehingga penanganan dan pencegahannya yang baik dan sempurna belum bisa dilaksanakan dan masih bersifat empiris.1,2,4 Penyebab dari preeklampsia sampai saat ini belum diketahui namun be rada pada uterus gravida. Kenaikan tekanan darah dan tanda- tanda maternal lainnya hanyalah gambaran sekunder semata- mata yang merupakan refleksi dari suatu problema intra uterin. Dengan demikian tanda- tanda preeklampsia harus benarbenar dipandang sebagai konsekuensi dari suatu proses patologis yang lebih fundamental pada sistim target maternal yang spesifik yaitu sistim arteri, hepar, ginjal dan sistim koagulasi. 1 Tiga kelainan sistim target maternal yang sering terjadi bersamaan pada kasus preeklampsia dan eklampsia pertama sekali dilaporkan oleh Pritchard Dikutip dari 1 pada tahun 1954 yaitu kelainan laboratorium berupa hemolisis intravaskuler, peninggian kadar enzim- enzim hepar dan jumlah trombosit yang rendah. Weinstein Dikutip dari 1 pada tahun 1982 menyebutnya sebagai varian preeklampsia berat yang unik dan untuk pertama kalinya memperkenalkan istilah SINDROMA HELLP yang merupakan singkatan dari haemolysis (H), elevated liver enzymes (EL) dan low platelet counts (LP). 1 Sibai (1990) berkesimpulan bahwa sindroma HELLP merupakan suatu kondisi pada wanita hamil yang perlu benar-benar diperhatikan dalam kaitannya dengan proses patologis pada sistim target maternal dibalik tanda- tanda klasik preeklampsia dan eklampsia. 5 Sindroma ini juga dihubungkan denga n keadaan penyakit yang berat atau akan berkembang menjadi lebih berat serta dengan prognosa maternal dan luaran perinatal yang lebih jelek, walaupunpun angka- angka kematian maternal dan ©2003 Digitized by USU digital library 1 perinatal yang dikemukakan masih sangat bervariasi mengingat perbedaan kriteria diagnostik yang digunakan serta saat diagnosa ditegakkan. 5 B. MASALAH PENELITIAN Dari latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut : 1. Apakah sindroma HELLP mempengaruhi luaran yang jelek dari ibu dan bayi . 2. Di Bagian Obstetri dan Ginekologi FK- USU/ RSHAM- RSPM belum ada data mengenai luaran ibu dan bayi pada penderita preeklampsia berat dan eklampsia dengan sindroma HELLP. C. KERANGKA PEMIKIRAN Akibat adanya faktor- faktor penyebab seperti iskemia plasenta, Very Low Density Lipoprotein versus aktivitas pertahanan toksisitas, maladaptasi imun dan penyakit genetik menyebabkan terjadinya preeklampsia dan eklampsia, yang selanjutnya menyebabkan gangguan sirkulasi sistemik dan gangguan koagulasi. 6 Manifestasi dari gangguan ini menyebabkan terjadinya hemolisis, peninggian enzim hepar dan penurunan jumlah trombosit. Kumpulan dari gejala multisistim ini yang dikenal dengan sindroma HELLP. Sindroma HELLP berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi yang jelek. 5 Pereklampsia/Eklampsia Hemolisis Enzim Hepar ↑↑ Jumlah Trombosit ↓↓ SINDROMA HELLP LUARAN JELEK ? Luaran Anak : - Asfiksia Berat - PJT - KJDK ©2003 Digitized by USU digital library Luaran Ibu : - DIC - Solusio Plasenta - Gagal Ginjal - Edema Paru - Ibu Mati 2 Gambar 1. Kerangka Pemikiran (PJT = Pertumbuhan Janin Terhambat, KJDK = Kematian Janin Dalam Kehamilan, DIC = Disseminated Intravascular Coagulation). D. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran dari parameter sindroma HELLP dalam hubungannya mempengaruhi luaran ibu dan bayi pada penderita preeklampsia berat dan eklampsia. E. MANFAAT PENELITIAN Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi data dasar dari parameter sindroma HELLP dalam mempengaruhi luaran ib u dan bayi pada penderita preeklamsia berat dan eklampsia. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat diperoleh masukan untuk penelitian lebih lanjut. F. HIPOTESIS Terdapat hubungan antara adanya parameter sindroma HELLP dalam hubungannya mempengaruhi luaran ibu dan bayi pada penderita preeklampsi berat dan eklampsi. BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN Terminologi HELLP diperkenalkan pertama sekali oleh Weinstein (1982) yang merupakan singkatan dari Hemolysis, Elevated Liver Enzymes dan Low Platelet counts. Sindroma ini merupakan kumpulan dari gejala multisistim pada preeklampsia berat dan eklampsia dengan karakteristik trombositopenia, hemolisis (anemia hemolisis mikroangiopatik) dan enzym hepar yang abnormal. Sindroma ini sebelumnya telah dipublikasikan oleh Pritchard Dikutip dari 7 dan kawan- kawan (1954) yang melaporkan adanya tiga kelainan pada sistim target maternal pada penelitiannya terhadap 3 kasus eklampsia dan hanya satu orang yang hidup. Dan pada tahun 1972, McKay Dikutip dari 7 melaporkan sindroma HELLP pada 4 kasus eklampsia, didapati dua orang mengalami ruptur hepar dan satu orang mati. 7 Sindroma ini selalu dianggap sebagai varian dari preeklampsia, tetapi sindroma ini juga dapat berdiri sendiri. Sindroma ini dapat muncul pada preeklampsia ringan, namun hipertensi akan muncul dan menjadi berat apabila kehamilannya tidak segera diakhiri.8 Karena sindroma HELLP berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas ibu dan janin maka diperlukan diagnosa yang tepat dan penanganan yang cepat untuk sindroma ini. 5,8 ©2003 Digitized by USU digital library 3 A. DEFINISI Definisi dari sindroma HELLP sampai saat ini masih kontroversi. Menurut Godlin (1982) Dikutip dari 5 sindroma HELLP merupakan bentuk awal dari preeklampsia berat. Weinstein (1982) Dikutip dari 5 melaporkan sindroma HELLP merupaka n varian yang unik dari preeklampsia tetapi Mackenna dkk (1983) Dikutip dari 5 melaporkan bahwa sindroma ini tidak berhubungan dengan preeklampsia. Dan dilain pihak banyak penulis melaporkan bahwa sindroma HELLP merupakan bentuk yang ringan dari Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) yang terlewatkan karena pemeriksaan laboratorium yang tidak adekwat. 5 Salah satu alasan yang menyebabkan kontroversi terhadap sindroma ini, karena adanya perbedaan dalam kriteria diagnostik dan metode yang digunakan pada waktu penelitian (Tabel I). Walaupun hampir semua peneliti sepakat bahwa sindroma ini merupakan petanda keadaan penyakit yang berat dan dengan prognosa yang jelek. 5,9 Tabel I. Perbandingan dari Kriteria Diagnostik Sindroma HELLP Jumla SGOT SGPT LDH Hapto Peneliti h (IU/L) (IU/L) (IU/L) globulin Tromb (mg/dl) osit (x 10 3 ) Weinstein (1982) < 100 Abnorm Abnorm al al Sibai (1990) < 100 > 70 > 600 Harms dkk (1991) < 150 > 15 > 19 > 240 De Boer dkk (1999) < 100 > 50 > 180 Visser & Wallenburg < 100 > 30 > 30 (1995) Neiger dkk (1995) < 150 > 60 Hamm dkk (1996) < 150 > 16 > 20 < 70 Schwerj dkk (1996) < 150 > 15 > 17 > 240 Martin dkk (1999) < 150 ≥ 40 ≥ 40 ≥ 600 (Dikutip dari Hohllagschwandtner 9) Bilirubin (mg/dl) Abnorm al > 1,2 > 1,0 > 0,8 > 1,0 - B. ANGKA KEJADIAN Angka kejadian dari sindroma HELLP sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Hal ini disebabkan karena timbulnya sindroma ini sulit diduga serta gambaran klinisnya yang mirip dengan gejala penyakit non obstetrik. Menurut Sibai dkk (1986) Dikutip dari 5 angka kejadian sindroma HELLP berkisar 2 – 12 % dari seluruh penderita preeklampsia berat. Sedangkan angka kejadian sindroma HELLP pada seluruh kehamilan berkisar antara 0,2 sampai 0,6 %. 8,10 Di RS Dr. Pirngadi Medan menurut penelitian Siregar (1997) yang dilakukan selama satu tahun angka kejadian sindroma HELLP didapati 1,54 % (1 kasus dari 65 kasus preeklampsia berat dan eklampsia).11 Sofoewan (2000) melaporkan pada penelitian retrospektif di RS Dr. Sardjito Yogyakarta didapati 3 kasus (4,4 %) sidroma HELLP Murni dan 11 kasus ( 16,2 %) sindroma HELLP Parsial dari 68 kasus preeklampsia berat yang ditelitinya sejak Januari1998 sampai September 2000. 12 ©2003 Digitized by USU digital library 4 C. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI Etiologi dan patogenesis dari sindroma HELLP ini selalu dihubungkan dengan preeklampsia, walaupun etiologi dan patogenesis dari preeklampsia sampai saat ini juga belum dapat diketahui dengan pasti. 13,14 Banyak teori yang dikembangkan dari dulu hingga kini untuk mengungkapkan patogenesis dari preeklampsia, namun dalam dekade terakhir ini perhatian terfokus pada aktivasi atau disfungsi dari sel endotel. Tetapi apa penyebab dari perubahan endotel ini belum juga diketahui dengan pasti. Saat ini ada empat buah hipotesis yang sedang diteliti untuk mengungkapkan etiologi dari preeklampsia, yaitu : iskemia plasenta, Very Low Density Lipoprotein versus aktivitas pertahanan toksisitas, maladaptasi imun dan penyakit genetik. Sindroma HELLP ini merupakan manifestasi akhir dari hasil kerusakan endotel mikrovaskular dan aktivasi dari trombosit intravaskular. 6,14 Efek pada janin PJT Perubahan respon immun ibu kegagalan thd trofoblas dari migrasi trofoblas DM HTK HNI LAC Tidak ada perubahan fisiologik pada bagian miometrial arteri spiralis ↓↓↓ aliran darah intervilus kerusakan trofoblas & sel endotel ibu / janin Produk dari trofoblas atau ↓↓↓ PgI2 ↑↑↑ TXA 2 Kerusakan sel endotel ( ↓ PgI2 ) Vasopasme + pembentukan + hiperplasia Fibrin miointimal Arteriosis akut agregasi TXA 2 Aktivasi FX2 Trombosit growth factor Efek dari koagulasi ibu Efek lokal aliran darah uteroplacental Efek sistemik pada ibu Gambar 2. Patogenesis dari preeklampsia (Dikutip dari Cohen 14) (DM : Diabetes Mellitus ; HTK : Hipertensi Kronik ; HNI : Hidrops Non Immun ; LAC : Lupus Anticoagulant ; PgI2 : Prostacylin ; TXA2 : Thromboxane ; FX 2 : activated factor X ; PJT : Pertumbuhan Janin Terhambat). ©2003 Digitized by USU digital library 5 Gambar di atas memperlihatkan secara skematis patofisiologi dari preeklampsia. Adanya kegagalan invasi dari trofoblas pada trimester kedua dalam menginvasi tunika muskularis arteri spiralis, menyebabkan vasokonstriksi arterial pada bagian uteroplasenta. Kegagalan ini disebabkan oleh gagalnya sel-sel trofoblas dalam mengekspresikan integrin yang merupakan ‘molekul pelekat’ (adhesion molecules) atau kegagalan VEGF (Vascular Endothelial Growth Factor) dalam mengekspresikan integrin. 6,14 Keadaan ini menyebabkan penurunan aliran darah intervilus, hipoksia dan akhirnya terjadi kerusakan sel endotel ibu dan janin. Dan selanjutnya mengakibatkan efek terhambatnya pertumbuhan janin intrauterin (PJT). Akibat kerusakan dari endotel ini terjadi pelepasan zat - zat vasoaktif, dimana tromboksan (TXA2 ) meningkat dibandingkan dengan prostasiklin (PgI2 ).6,14 Adanya perubahan respon imun ibu terhadap trofoblas akibat dari perubahan ‘polymorphism’ HLA-G (human leucocyte antigens – G) terhadap trofoblas, menyebabkan terjadinya proses imunologis. Hal ini mengakibatkan terjadinya gangguan pertumbuhan dan invasi dari trofoblas. Proses imunologis akibat perubahan respon imun ibu juga mempengaruhi terjadinya kerusakan sel endotel, ini terbukti dengan dilepaskannya sel mediator pada sel endotel. 6,15 Kerusakan dari sel endotel menyebabkan terjadinya gangguan keseimbangan rasio TXA2 dan PgI2 , penurunan produksi dari nitric oxide dan merangsang terjadinya agregasi dari trombosit yang seterusnya akan mengakibatkan vasospasme. 6,13-16 Dengan berkurangnya fungsi endotel, menyebabkan bertambahnya tahanan vaskuler, meningkatnya produk peroksida lipid dan meningkatnya aktifitas radikal bebas. Anion peroksida ini mengganggu keseimbangan rasio TXA 2 dan PgI 2 sehingga TXA2 menjadi lebih dominan. Anion peroksida juga menambah agregasi trombosit, serta menyebabkan asam lemak tak jenuh pada membra n fospolipid mengalami konversi menjadi peroksida lipid. Peroksida lipid ini menyebabkan kerusakan endotel lebih lanjut. 6,13-18 Kerusakan integritas endotel diikuti dengan hilangnya kapasitas vasodilator, yang mana dapat dinilai dengan meningkatnya respo n terhadap angiotensin II dan noradrenalin. 13,14,18 Kerusakan dari sel endotel arteri spiralis mengakibatkan hipoksia dan seterusnya menjadi aterosis akut. Aterosis akut ditandai dengan adanya diskontinuitas dari sel endotel, gangguan fokal pada membrana basalis, deposisi trombosit, terbentuknya mural trombus dan akhirnya terjadi nekrosis fibrinoid. Dengan rangsangan dari trombosit growth factor terjadi perubahan proliferasi yang tidak teratur pada tunika intima, dan pada tunika media mengakibatkan hiperplasia.14 Aterosis akut ini merupakan keadaan yang patognomonis pada preeklampsia. Walaupun aterosis akut ini dapat juga terjadi pada keadaan hipertensi kronis, Diabetes Mellitus, penyakit ginjal maupun Lupus.14 Efek semua kejadian yang telah disebutkan di atas terjadilah gangguan sirkulasi sistemik dan gangguan koagulasi pada ibu yang selanjutnya menjadi sindroma HELLP. 5,13 Pada keadaan normal setiap sel mempunyai daya pertahanan terhadap serangan ekstrasellular. Membran sel sangat berperan dalam fungsi pertahanan ini. Sel darah merah pada penderita preeklampsia tidak memiliki pertahanan terhadap radikal ©2003 Digitized by USU digital library 6 bebas yang selanjutnya mengakibatkan membran sel darah merah menjadi tidak stabil dan mengalami kerusakan. Daya pertahanan membran sel darah merah ini berhubungan dengan kadar prostasiklin di dalam plasma melalui gen superoxidase dismutase (SOD). Penurunan aktivitas dari SOD ini mengakibatkan penurunan daya pertahanan terhadap radikal bebas. 19 Perubahan stabilitas membran sel darah merah menyebabkan masuknya kalsium ke dalam sel, terjadi peningkatan aktivitas sel dan terjadi perubahan dari rigiditas membran. Perubahan ini menyebabkan sel darah merah berubah bentuknya, mudah pecah (fragmentasi) dan sel cenderung menjadi lisis. Keadaan di atas dapat menerangkan terjadinya hemolisis pada penderita preeklampsia. 19 ©2003 Digitized by USU digital library 7 Pada sindroma HELLP terjadi anemia hemolitik mikroangiopati. Akibat fragmentasi sel darah merah, sel darah merah menjadi menjadi lebih mudah keluar dari pembuluh darah yang kecil. Dimana pembuluh darah tersebut telah mengalami kebocoran akibat kerusakan endotel dan adanya deposit fibrin. Pada gambaran darah tepi terlihat gambaran spherocytes, schistocytes, triangular cell dan burr cell. 5,8,19 Gambar 3. Schistocytes dan Spherocytes (Dikutip dari Weinstein 7) ©2003 Digitized by USU digital library 8 Gambar 4. Burr cell (Dikutip dari Weinstein 7) Gambar 5. Perdarahan yang berat terpusat disekitar triad portal (P), tetapi mengenai hampir seluruh lobulus hepar (Dikutip dari Barton 20) ©2003 Digitized by USU digital library 9 Gambar 6. Deposisi fibrin pada daerah periportal (Dikutip dari Barton 21 ) Gambar 7. Sel hepatosit yang mengandung gumpalan lemak yang kecil, disebut lemak mikrovaskuler (Dikutip dari Barton 21) Pada sindroma HELLP terjadi perubahan pada hepar dimana gamb aran histopatologisnya berupa nekrosis parenkhim periportal dan atau fokal yang disertai dengan deposit hialin yang besar dari bahan seperti fibrin yang terdapat pada sinusoid. Pada penelitian dengan imunoflourescen dijumpai mikrotrombi fibrin dan deposit fibrinogen pada sinusoid dan daerah hepatoselular yang nekrosis. Adanya mikrotrombi dan deposit fibrin pada sinusoid tersebut menyebabkan obstruksi aliran darah di hepar yang merupakan dasar dari terjadinya peningkatan enzim hepar dan terdapatnya nyeri perut kuadran kanan atas. Gambaran nekrosis selular dan ©2003 Digitized by USU digital library 10 perdarahan dapat terlihat dengan MRI. Pada kasus yang berat dapat dijumpai adanya perdarahan intrahepatik dan hematom subkapsular atau ruptur hepar. 5,8,19,20 Barton dkk (1992) melaporkan pada penelitian terhadap 11 pasien sindroma HELLP yang dilakukan biopsi pada heparnya didapati perdarahan periportal 8 orang (73%) yang 25%- nya terdapat nekrosis lobular. Deposit fibrin periportal didapati pada 6 orang (55%), dengan satu orang tanpa perdarahan periportal. Gambaran perdarahan periportal dan deposit fibrin mempunyai hubungan bermakna dengan tingkat keparahan dari sindroma HELLP. 20 Oosterhof dkk (1994) melaporkan pada penelitian mengukur indeks pulsasi (pulsatility index) dengan USG Doppler didapati peningkatan resistensi pada arteri hepatika. Hal ini menunjukkan terdapatnya vasokonstriksi pada arteri hepatika yang bertanggung jawab untuk terjadinya sindroma HELLP nantinya. 21 Perubahan histopatologis pada hepar yang terdapat pada sindroma HELLP dapat dibedakan dari penyakit perlemakan hepar yang akut. Hal ini dilaporkan oleh Usta dkk (1994) pada perlemakan hepar yang akut dengan pemeriksaan mikroskop elektron didapatinya gambaran steatosi (perlemakan mikrovaskular) derajat rendah yang difus pada daerah sentrilobular. Gambaran ini berbeda bermakna terhadap perubahan histopatologi hepar pada sindroma HELLP. 22 Penurunan jumlah trombosit pada sindroma HELLP disebabkan oleh meningkatnya konsumsi atau destruksi dari trombosit. Meningkatnya konsumsi trombosit disebabkan oleh agregasi trombosit. Hal ini akibat dari kerusakan endotel, penurunan produksi prostasiklin, proses imunologis maupun peningkatan jumlah radikal bebas. Penyebab dari destruksi trombosit sampai saat ini belum diketahui. Dijumpainya peningkatan megakaryosit pada biopsi sumsum tulang menunjukkan pendeknya life span dari trombosit dan cepatnya proses daur ulang. 5,8 Beberapa peneliti terdahulu beranggapan bahwa DIC merupakan proses primer yang terjadi pada sindroma HELLP. Walaupun didapatinya gambaran histologis dari mikrotrombi yang mirip antara sindroma HELLP dan DIC tetapi pada sindroma HELLP tidak dijumpai koagulopati intravaskular. Pada sindroma HELLP terjadi mikroangiopati dengan kadar fibrinogen yang normal (Tabel. 2). 5,8,19 Jadi DIC yang terjadi pada sindroma ini bukan merupakan proses primer tetapi merupakan kelanjutan dari proses patofisiologis sindroma HELLP itu sendiri (sekunder) . 5,8,19 ©2003 Digitized by USU digital library 11 Tabel II. Perbedaan DIC dan Mikroangiopati DIC Mikroangiopati Etiologi Tromboplastin, fibrin Patologi Fibrin intravaskular Hubungannya dengan kehamilan Kadar fibrinogen Jumlah Trombosit Sel darah merah Solusio plasenta Dikutip dari Studd trombin, Rendah Sedang sampai menurun Sedikit fragmentasi Kerusakan sel endotel, aktivasi trombosit, defisiensi produksi autokoid vasodilator Agregasi dan deposisi trombosit intravaskular preeklampsia / sindroma HELLP Normal atau tinggi Sedang sampai menurun Sedang untuk terjadi fragmentasi 19 Van Dam dkk (1989) melaporkan dari 18 pasien dengan sindroma HELLP pada pemeriksaan laboratorium saat masuk rumah sakit, didapati 7 orang dengan DIC yang manifes. Tetapi pada saat melahirkan dilakukan pemeriksaan laboratorium lagi maka didapati 10 orang dengan DIC manifes. Setelah 72 jam post partum hanya 4 orang yang tidak terbukti DIC. Hal ini menunjukkan bahwa DIC terjadi sejalan dengan progresivitas penyakit. Dan DIC merupakan petunjuk dari derajat keparahan dari sindroma HELLP. 23 D. KLASIFIKASI Ada dua klasifikasi yang dipergunakan pada sindroma HELLP, yaitu : 1. Berdasarkan jumlah keabnormalan yang didapati. Audibert dkk (1996) 24 melaporkan pembagian sindroma HELLP berdasarkan jumlah keabnormalan parameter yang di dapati yaitu : sindroma HELLP Murni bila didapati ketiga parameter di bawah ini, yaitu : hemolisis, peningkatan enzim hepar dan penurunan jumlah trombosit dengan karakteristik : gambaran darah tepi dijumpainya burr cell, schistocyte atau spherocytes ; LDH > 600 IU/L ; SGOT > 70 IU/L ; bilirubin > 1,2 ml/dL dan jumlah trombosit < 100.000/ mm3 . Sedangkan sindroma HELLP Parsial yaitu bila dijumpainya satu atau lebih tetapi tidak ketiga parameter sindroma HELLP. Lebih jauh lagi sindroma HELLP Parsial dapat dibagi beberapa sub grup lagi yaitu Hemolysis (H), Low Trombosit counts (LP), Hemolysis + low trombosit counts (H+LP), hemolysis + elevated liver enzymes (H+EL). 24 ,25 2. Berdasarkan jumlah dari trombosit. Martin (1991) 10,25 mengelompokkan penderita sindroma HELLP dalam 3 kelas, yaitu : kelas I jumlah trombosit ≤ 50.000/mm3 , kelas II jumlah trombosit > 50.000 - ≤ 100.000/mm3 kelas III jumlah trombosit > 100.000 - ≤ 150.000/mm3 . ©2003 Digitized by USU digital library 12 E. GAMBARAN KLINIS 1. KARAKTERISTIK PENDERITA Weinsten (1982) melaporkan sindroma HELLP didapati pada nulipara 68% dan pada multipara 34%. Pada nulipara umur rerata 24,0 tahun (16 – 40 tahun), dengan usia kehamilan rerata 32,5 minggu (24 – 36,5 minggu). Sedangkan pada multipara umur rerata 25,6 tahun (18 – 38 tahun) dengan usia kehamilan rerata 33,3 minggu (25 – 39 minggu).7 Sibai (1990) melaporkan karakteristik penderita sindroma HELLP berkulit putih, multipara dengan riwayat luaran kehamilan yang jelek, usia ibu > 25 tahun, dan gejala muncul sebelum kehamilan aterm ( < 36 minggu). Gejala dapat muncul antepartum dan postpartum. Gejala sindroma HELLP pada antepartum dijumpai 69%, dimana 4% pada usia kehamilan 17- 20 minggu, 11% pada usia kehamilan 21 –26 minggu, dan selebihnya muncul pada pertengahan trimester ketiga. 31% gejala timbul pada postpartum. 5,8 Pada kasus postpartum timbulnya bervariasi antara beberapa jam sampai 6 hari setelah persalinan. Sebahagian besar muncul pada 48 jam postpartum. Pada kelompok ini, 79% penderita sindroma HELLP telah menderita preeklampsia sebelum persalinan. Namun 21% tidak menderita preeklampsia baik sebelum maupun pada saat persalinan. 8,26 2. GEJALA DAN TANDA KLINIS Gejala yang paling sering dijumpai adalah nyeri pada daerah epigastrium atau kwadran kanan atas (90%), nyeri kepala, malaise sampai beberapa hari sebelum dibawa ke rumah sakit (90%), serta mual dan muntah (45 – 86%). 5,7,8 Penambahan berat badan dan edema (60%), hipertensi dapat tidak dijumpai sekitar 20% kasus, didapatinya hipertensi ringan (30%) dan hipertensi berat (50%). 5,8 Magann dkk (1993) melaporkan hubungan antara kenaikan tekanan darah dengan jumlah trombosit. Dimana didapatinya tekanan darah sistolik berbeda secara bermakna pada ketiga kelompok pasien. Pasien dengan Kelas I (jumlah trombosit ≤ 50.000/mm3 ) ternyata lebih sering dengan tekanan darah ≤ 150 mmHg dibanding dengan pasien kelas II (jumlah trombosit > 50.000 - ≤ 100.000/mm3 ) dan kelas III (jumlah trombosit > 100.000 - ≤ 150.000/mm3 ), walaupun rerata puncak tekanan sistolik postpartum tidak berbeda secara bermakna. Hipertensi berat ternyata tidak dijumpai pada semua penderita dengan sindroma ini. 10,26 Pada beberapa kasus dijumpai hepatomegali, kejang- kejang, jaundice, perdarahan gastrointestinal dan perdarahan gusi. Sangat jarang dijumpai hipoglikemia, koma, hiponatremia, gangguan mental, buta kortikal dan diabetes insipidus yang nefrogenik. Edema pulmonum dan gagal ginjal akut biasanya dijumpai pada kasus sindroma HELLP yang timbulnya postpartum atau antepartum yang ditangani secara konservatif. 26 3. PEMERIKSAAN LABORATORIUM Proses yang dinamis dari sindroma ini, sangat mempengaruhi gambaran parameter dari laboratorium. Gambaran parameter ini tidak konstan dipengaruhi oleh pola penyakit yang menunjukkan perbaikan atau kemunduran. 10 ©2003 Digitized by USU digital library 13 Pemeriksaan laboratorium pada sindroma HELLP sangat diperlukan, karena diagnosa ditegakkan berdasarkan hasil laboratorium. Walaupun sampai saat ini belum ada batasan yang tegas mengenai nilai batas untuk masing- masing parameter. Hal ini terlihat dari banyaknya penelitian terhadap sindroma HELLP yang bertujuan untuk membuat suatu keputusan nilai batas dari masing- masing parameter. (Tabel. 1) 9 a. Hemolisis Gambaran hapusan darah tepi sebagai parameter terjadinya hemolisis, adalah dengan didapatinya burr cell dan atau schistocyte, dan atau helmet cell. Menurut Weinstein (1982) dan Sibai (1986) gambaran ini merupakan gambaran yang spesifik terjadinya hemolisis pada sindroma HELLP. 7, 26 Proses hemolisis pada sindroma HELLP oleh karena kerusakan dari sel darah merah intravaskuler, menyebabkan hemoglobin keluar dari intravaskuler. Lepasnya hemoglobin ini akan terikat dengan haptoglobin, dimana kompleks hemaglobin- haptoglobin akan dimetabolisme di hepar dengan cepat. Hemoglobin bebas pada sistim retikuloendotel akan berubah menjadi bilirubin. Peningkatan kadar bilirubin menunjukkan terjadinya hemolisis. 18 Pada wanita hamil normal kadar bilirubin berkisar 0,1 – 1,0 mg/ dL. Dan pada sindroma HELLP kadar ini meningkat yaitu > 1,2 mg/dL. 5,27 Hemolisis intravaskuler menyebabkan sumsum tulang merespon dengan mengaktifkan proses eritropoesis, yang mengakibatkan beredarnya sel darah merah yang imatur. Sel darah merah imatur ini mudah mengalami destruksi, dan mengeluarkan isoenzim eritrosit. Isoenzim ini akan terikat dengan plasma lactic dehidrogenase (LDH). Kadar LDH yang tinggi juga menunjukkan terjadinya peroses hemolisis. 18 Pada wanita hamil normal kadar LDH berkisar 340 – 670 IU/L. Dan pada sindroma HELLP kadar ini meningkat yaitu > 600 IU/L. 5,27 b. Peningkatan Kadar Enzim Hepar. Serum aminotranferase yaitu aspartat aminotranferase (serum glutamat oksaloasetat transaminase/SGOT) dan alanine aminotranferase ( serum glutamat piruvat transaminase/SGPT) meningkat pada kerusakan sel hepar. Pada Preeklampsia, SGOT dan SGPT meningkat pada seperlima kasus, dimana 50% diantaranya adalah peningkatan SGOT. Menurut penelitian Martin dkk (1991) 10 kadar SGOT lebih tinggi dari SGPT pada sindroma HELLP. Peninggian ini menunjukkan fase akut dan progresivitas dari sindroma ini. Peningkatan SGOT dan SGPT juga merupakan tanda terjadinya ruptur kapsul hepar. 13 Pada wanita hamil normal kadar SGOT berkisar 0 – 35 IU/L . Dan pada sindroma HELLP kadar ini meningkat yaitu >70 IU/L. 5,27 Lactat Dehidrogenase (LDH) adalah enzim katalase yang bertanggung jawab terhadap proses oksidasi laktat menjadi piruvat. Peningkatan LDH menggambarkan terjadinya kerusakan pada sel hepar, walaupun peningkatan kadar LDH juga merupakan tanda terjadinya hemolisis. Peningkatan kadar LDH tanpa disertai peningkatan kadar SGOT dan SGPT menunjukkan terjadinya hemolisis. Martin dkk ( 1991) 10 melaporkan pada sindroma HELLP kadar puncak LDH 581 –2380 IU/L dengan rerata 1369 IU/L, dimana kadar puncak ini ©2003 Digitized by USU digital library 14 didapatkan pada 24 – 48 jam post partum. LDH dapat dipergunakan untuk mendeteksi hemolisis dan kerusakan hepar. Oleh sebab itu parameter ini sangat berguna dalam mendiagnosa sindroma HELLP.13,28 Peningkatan bilirubin pada Preeklampsia sangat jarang, pada kasus eklampsia hanya 4 – 20%. Dan peningkatan ini jarang sampai lima kali lipat. Hiperbilirubinemia yang tidak terkonjugasi menunjukkan hemolisis intra vaskuler. Hiperbilirubinemia yang terkonjugasi menunjukkan kerusakan pada perenkhim hepar. 13 c. Jumlah Trombosit yang Rendah Pada kehamilan normal belum diketahui batasan jumlah trombosit yang spesifik. Sebagian besar laporan mengatakan jumlah trombosit rerata menurun selama kehamilan walaupun secara statistik tidak signifikan. 18 Pada wanita hamil normal kadar trombosit berkisar > 150.000/ mm3 . Dan pada sindroma HELLP kadar ini menurun sampai < 100.000/ mm3 . 5,27 Martin dkk (1991) melaporkan dari 158 preeklampsia berat dengan sindroma HELLP didapati kadar trombosit berbeda- beda. Didapatinya 19% pasien pada saat masuk rumah sakit dengan jumlah trombosit > 150.000/mm3 , 35% antara 100.000 – 150.000/mm3 , 31% antara 50.000 – 100.000/mm3 dan 15% < 50.000/mm3 . (Gambar 6) 10,28 Gambar 8. Arah dan derajat perobahan konsenterasi trombosit pada 158 pasien sindroma HELLP (Dikutip dari Martin 10) F. PENANGANAN Sampai saat ini penanganan sindroma HELLP masih kontroversi. Beberapa peneliti menganjurkan terminasi kehamilan dengan segera tanpa memperhitungkan usia kehamilan, mengingat besarnya resiko maternal serta jeleknya luaran perinatal apabila kehamilan diteruskan. Beberapa peneliti lain menganjurkan pendekatan yang konservatif untuk mematangkan paru- paru janin dan atau memperbaiki gejala klinis ibu . Namun semua peneliti sepakat bahwa terminasi kehamilan merupakan satusatunya terapi defenitif. 30-33 ©2003 Digitized by USU digital library 15 Visser W dkk (1995) pada penelitian terhadap 128 pasien Preeklampsia dengan sindroma HELLP melaporkan bahwa dengan menunda terminasi kehamilan pada sindroma HELLP lebih aman dan berguna untuk ibu dan janin.32 Pendekatan konservatif dengan mematangkan paru-paru janin dan atau memperbaiki gejala klinis ibu dengan mempergunakan kortikosteroid. Tompkins dan Thigarajah (1999) melaporkan pemberian kortikosteroid baik Betametason maupun Deksametason meningkatkan pematangan paru, meningkatkan jumlah trombosit, mempengaruhi fungsi hepar (kadar SGOT,SGPT dan LDH menurun) serta memungkinkan untuk pemberian anastesia regional. 33 Amorim dkk (1999) melaporkan pemberian kortikosteroid antepartum, Betametason 12 mg / IM yang diulang 24 jam kemudian dan diberikan tiap minggu sampai persalinan pada kehamilan 26 sampai 34 minggu dapat meningkatkan pematangan paru janin.34 Magan dkk (1994) melaporkan pemberian kortikosteroid antepartum, Deksametason 10 mg / IV / 12 jam diberikan sampai persalinan pada kehamilan < 32 minggu, mendapatkan persalinan terjadi 41 ± 15 jam setelah pemberian kortikosteroid. Mereka berpendapat dengan pemberian kortikosteroid dapat menunda persalinan, memaksimumkan status hematologis ibu, memaksimumkan sistim organ pada janin dan ibu dapat dirujuk ke pusat pelayanan dengan aman. 35 Magann dkk (1994) melaporkan pemberian kortikosteroid post partum, Deksametason 10 mg / 12 jam 2 kali pemberian, dilanjutkan dengan 5 mg / 12 jam pada 24 jam dan 36 jam post partum, mendapatkan penurunan tekanan darah dan peningkatan jumlah trombosit pada 24 jam post partum serta penurunan LDH dan SGOT pada 36 jam post partum. 36 Isler dkk (2001) melakukan penelitian prospektif tentang efikasi dari Deksamethason dan Betametason. Dilaporkan bahwa pemberian Deksametason 10 mg/12 jam/IV lebih efektif dibandingkan dengan pemberian Betametason 12 mg/24 jam /IM. Pemberian Deksametason dapat diberikan langsung kedaerah intravaskular, dimana Betametason (tidak dapat diberikan secara intravena) harus diabsorbsi terlebih dahulu setelah pemberian secara intramuskuler. Hal ini menyebabkan terlambatnya onset of action atau berkurangnya efektifitas obat waktu sampai di pembuluh darah. 37 Prinsip penanganan pada sindroma HELLP sama dengan Preeklampsia berat. Prioritas pertama adalah stabilisasi kondisi ibu terutama terhadap abnormalitas pembekuan darah. Penanganan sindroma HELLP secara ringkas dapat dilihat dari tabel 3. 13,30 ©2003 Digitized by USU digital library 16 Tabel III. Penatalaksanaan Sindroma HELLP 1. Penilaian dan stabilisasi kondisi ibu : a. Bila DIC (+), koreksi faktor pembekuan b. Pemberian profilaksis anti kejang dengan Sulfas Magnesikus c. Penanganan hipertensi berat d. Rujuk ke fasilitas kesehatan yang memadai e. CT- scan dan USG abdomen bila dicurigai adanya hematom hepar subkapsular 2. Evaluasi kesejahteraan janin: a. Non Stress Test b. Profil biofisik c. Ultrasonografi biometri 3. Evaluasi kematangan paru, jika usia kehamilan < 35 minggu a. Jika paru telah matang, segera lahirkan b. Jika paru belum matang, beri kortikosteroid, kemudian lahirkan Jika usia kehamilan ≥ 35 minggu, setelah kondisi ibu stabil, segera lahirkan (Dikutip dari Walker 13 ) Adanya sindroma HELLP ini tidak merupakan indikasi untuk melahirkan segera dengan cara seksio sesarea. Yang harus dipertimbangkan adalah kondisi ibu dan bayi. Ibu yang telah mengalami stabilisasi dapat melahirkan pervaginam, bila tidak ada kontra indikasi obstetrik. Persalinan dapat diinduksi dengan oksitosin pada semua kehamilan ≥ 32 minggu. Ataupun kehamilan < 32 minggu dengan serviks yang telah matang untuk diinduksi. Pada kehamilan < 32 minggu dengan serviks yang belum matang, seksio sesarea elektif merupakan pilihan. Penatalaksanaan seksio sesarea pada sindroma HELLP dapat dilihat pada tabel 4. 13 Magann dkk (1994) melaporkan pada usia kehamilan < 30 minggu dengan serviks yang matang lebih aman dilakukan persalinan pervaginam. Resiko untuk terjadinya perdarahan intraventrikuler pada bay i hampir 80% didapati pada persalinan dengan seksio sesarea. Selain itu juga didapati stress yang terjadi pada ibu dan bayi serta peningkatan komplikasi pada seksio sesarea. Hal ini merupakan alasan mengapa persalinan pervaginam merupakan pilihan. 3 8 Tabe l IV. Penatalaksanaan Seksio Sesarea pada Sindroma HELLP • Anastesi Umum • Pemberian trombosit 10 unit sebelum operasi jika jumlah trombosit , 50.000/mm3 • Plika vesikouterina (bladder flap) dibiarkan terbuka • Drain subfascial • Penutupan kulit secara sekunder atau pemasangan drain subkutan • Pemberian transfusi post operasi • Monitor ketat 48 jam post partum (Dikutip dari Walker 13 ) Briggs dkk (1996) melaporkan pemasangan drain subfascial atau subkutaneus, pemberian transfusi darah, trombosit atau fresh frozen plasma intrapartum tidak mempengaruhi angka kejadian dari komplikasi luka operasi. Komplikasi luka operasi ( hematom atau infeksi) pada pasien yang dilakukan penutupan luka operasi ©2003 Digitized by USU digital library 17 perprimum atau sekunder secara statistik tidak bermakna hanya tergantung dari insisi yang dilakukan ( pfannensteil atau mid line). 39 Schorr dkk (1998) melaporkan seksio sesarea pada sindroma HELLP, terjadinya komplikasi luka operasi dua kali lebih sering pada insisi Pfanneinsteil dibandingkan dengan insisi mid line. 40 G. PROGNOSA Penderita sindroma HELLP mempunyai kemungkinan 19 – 27 % untuk mendapat resiko sindroma ini pada kehamilan berikutnya. Dan mempunyai resiko sampai 43% untuk mendapat preeklampsia pada kehamilan berikutnya. sindroma HELLP kelas I merupakan resiko terbesar untuk berulangnya sindroma ini pada kehamilan selanjutnya.8 Sibai dkk (1995) melaporkan penderita dengan normotensif sebelum menderita sindroma HELLP mempunyai kemungkinan 19% untuk terjadinya preeklampsia, 27% terjadi kelainan hipertensi lainnya dan 3% terjadi sindroma HELLP pada kehamilan berikutnya. Tetapi bila penderita sindroma HELLP dengan riwayat kronik hipertensi sebelumnya, maka 75% akan terjadi preeklampsia dan 5% kemungkinan terjadi sindroma HELLP pada kehamilan berikutnya. 41 Sibai dkk (1993) melaporkan angka kematian ibu pada sindroma HELLP 1,1 %. Dengan komplikasi seperti DIC (21%), solusio plasenta (16%),gagal ginjal akut ( 7,7 %), edema pulmonum (6%), hematom hepar subkapsular (0,9%) dan ablasi retina (0,9%). 42,43 Isler dkk (1999) melaporkan penyebab kematian ibu pada sindroma HELLP adalah perdarahan intrakranial atau stroke ( 45%), gagal jantung paru (40%), DIC (39%), sindroma gagal nafas (28%), gagal ginjal (28%), perdarahan hepar atau ruptur (20%) dan ensefalopati hipoksia (16%). 60% dari kematian ibu dengan sindroma HELLP kelas I. 44 Angka morbiditas dan mortalitas pada bayi berkisar 10 – 60% tergantung dari keparahan penyakit ibu. Bayi yang ibunya menderita sindroma HELLP akan mengalami pertumbuhan janin terhambat (PJT) dan sindroma kegagalan pernafasan. 8,43 Abramovici dkk (1999) melaporkan angka kematian bayi 5,5 %, dari 269 bayi dengan ibu sindroma HELLP. Hampir 90% penyebab kematian karena sindroma gagal nafas. Morbiditas dan mortalitas bayi tergantung dari usia kehamilan dari pada ada atau tidaknya sindroma HELLP.45 ©2003 Digitized by USU digital library 18 BAB III METODE PENELITIAN A. RANCANGAN PENELITIAN 46 Jenis penelitian ini adalah survei deskriptif analitik . B. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian dilakukan di Bagian Obstetri dan Ginekologi FK USU / RSUP H. Adam Malik - RSUD Dr. Pirngadi Medan. Penelitian laboratorium dilakukan di Patologi Klinik Pelengkap RSUD Dr. Pirngadi Medan. Mulai tanggal 1 Maret 2001 sampai dengan 31 Januari 2002. C. POPULASI PELITIAN 46 1. Populasi Penelitian Populasi penelitian adalah seluruh ibu hamil dengan Preeklampsia berat dan Eklampsi. 2. Besar Sampel Jumlah sampel ditentukan dengan rumus sampel tunggal untuk estimasi proporsi suatu populasi dengan menggunakan ketepatan absolut, 5 % yaitu : N = zα2 .ρ.q d2 N = besar sampel ρ = proporsi preeklampsia berat (dari kepustakaan = 6%) q = (1-ρ) = 100% - 6 % = 94 % d = tingkat ketepatan absolut yang dikhendaki (0,05) α = tingkat kemaknaan (0,05) zα = distribusi z (1,96) N = (1,96)2 x 0,06 x 0,94 = 3,8416 x 0,0564 = 86,67 (0,05) 2 0,0025 Drop out 10 % Total N = 87 + 8,7 = 95,7 dibulatkan menjadi 100. 3. Kriteria Penerimaan a. Semua kasus preeklampsia berat dan eklampsia dengan kehamilan tunggal dimasukkan kedalam penelitian ini, baik primipara maupun multipara. b. Penilaian parameter sindroma HELLP dengan pemeriksaan laboratorium : jumlah trombosit ,SGOT, LDH dan bilirubin . c . Bersedia ikut dalam penelitian. 4. Kriteria Penolakan Ibu hamil dengan riwayat diabetes melitus, penyakit hati, penyakit darah, super imposed preeklampsia, dan gemeli. 5. BATASAN OPERASIONAL a. Preeklampsia berat adalah komplikasi kehamilan setelah kehamilan 20 minggu dengan kriteria : tekanan darah ≥ 160/110 mmHg, edema dan/atau proteinuria lebih 5 gram/24jam atau kwalitatif 3+/4+. b. Eklampsia adalah timbulnya kelainan akut pada wanita hamil, dalam persalinan atau nifas yang ditandai dengan timbulnya kejang dan/atau ©2003 Digitized by USU digital library 19 c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. m. n. o. p. koma, yang sebelumnya menunjukkan tanda-tanda preeklampsia dan kejang timbul bukan karena tanda kelainan neurologik. Sindroma HELLP : Jumlah Trombosit < 100.000/mm3 , kadar SGOT > 70 IU/L, kadar LDH > 600 IU/L dan kadar Bilirubin > 1,2 mg/dL Sindroma HELLP Murni adalah bila semua kriteria sindroma HELLP terpenuhi Sindroma HELLP Parsial adalah bila salah satu atau lebih tapi tidak ketiga kriteria sindroma HELLP terpenuhi Kematian ibu adalah kematian penderita preklampsi dan eklampsi pada usia kehamilan ≥ 28 minggu selama dalam perawatan ( termasuk antepartum, intrapartum dan post partum). DIC adalah penyakit akibat kelainan pembekuan darah, dengan tanda klinis : perdarahan post partum, dijumpainya petechie, trombositopenia (< 100.000/ mm3 ), kadar fibrinogen menurun (< 300 mg/dL), masa protrombin memanjang (≥14 detik) dan masa parsial tromboplastin juga memanjang (≥ 40 detik). Solusio Plasenta adalah lepasnya plasenta yang letaknya normal sebelum janin lahir, dengan tanda klinis : perdarahan pervaginam, nyeri, perut tegang, janin sukar dipalpasi, auskultasi denyut jantung janin sukar terdengar, pasien dalam keadaan syok. Gagal Ginjal Akut adalah perubahan yang tiba- tiba dari kemampuan ginjal untuk mempertahankan ekskresi air yang cukup untuk keseimbangan di dalam tubuh, dengan tanda klinis : oliguria sampai anuria, proteinuria, hematuria, anoreksia dan muntah- muntah, kadar ureum dan kreatinin yang meninggi. Edema Paru adalah tertumpuknya cairan pada paru- paru akibat ekstravasasi cairan ke jaringan ekstraseluler, dengan tanda klinis : sesak, batuk- batuk, sianosis, ronkhi basah basal dan gambaran edema paru pada foto toraks. Lahir Mati adalah janin yang pada waktu dilahirkan tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan dengan berat badan janin ≥ 1000 gr dan usia kehamilan ≥ 28 minggu. Kematian Neonatal Dini adalah janin yang mengalami kematian dalam 1 minggu kehidupan dengan berat badan janin ≥ 1000 gr dan usia kehamilan ≥ 28 minggu. Kematian Perinatal adalah bayi yang lahir mati ditambahkan dengan kematian neonatal dini. Nilai APGAR adalah penilaian pada bayi baru lahir yang meliputi penilaian frekwensi nadi, usaha bernafas, otot, reaksi terhadap rangsangan dan warna kulit. Penilaian dilakukan pada 1 menit, 5 menit pasca persalinan dimana : 1. Nilai apgar 7 – 10 : bayi dianggap sehat dan tidak memerlukan tindakan khusus. 2. Nilai apagar 4 – 6 : bayi mengalami asfiksia sedang 3. Nilai apgar 0 – 3 : bayi mengalami asfiksia berat. Bayi Sesuai Masa Kehamilan (SMK) adalah berat badan lahir bayi sesuai dengan umur kehamilan ( berada diantara 10 – 90 persentil kurva pertumbuhan Battalgi dan Lubchenco). Bayi Kecil untuk Masa Kehamilan (KMK) adalah berat badan lahir bayi kecil untuk umur kehamilannya (< 10 persentil kurva pertumbuhan Battalgi dan Lubchenco). ©2003 Digitized by USU digital library 20 q. Bayi Besar untuk Masa Kehamilan (BMK) adalah berat badan lahir bayi lebih besar dari umur kehamilannya ( > 90 persentil kurva pertumbuhan Battalgi dan Lubchenco). 6. BAHAN DAN CARA KERJA a. b. c. d. e. f. g. h. Pasien yang memenuhi kriteria penerimaan diminta persetujuannya secara tertulis untuk ikut serta dalam penelitian. Dicatat identitas penderita mengenai nama, umur, paritas, haid terakhir dan ditentukan usia kehamilan. Dilakukan pemeriksaan tekanan darah, pemeriksaan apakah ada edema atau tidak dan pemeriksan protein urin. Diambil darah vena sebanyak 10 cc dengan spuit steril 10 cc kemudian diperiksakan ke Bagian Patologi Klinik Pelengkap RSPM. Trombosit darah diperiksa dengan alat Cobas micros. Pemeriksaan SGOT, LDH dan Bilirubin setelah disentrifugasi diperiksa dengan alat Vitalab micro. Pada ibu dilakukan penanganan sesuai dengan standar penanganan preeklampsia dan eklampsia di bagian Obstetri dan Ginekologi FK USU RSHAM – RSPM. Dicatat cara persalinan ibu, luaran ibu (komplikasi dan kematian ibu) dan luaran anak (apgar skor menit ke-5 dan berat badan anak). 7. MANAJEMEN DAN ANALISIS DATA Terhadap data yang telah dikumpulkan dilakukan editing dan cleaning data. Selanjutnya untuk melihat perbedaan data- data katagori seperti katagori umur, paritas, usia kehamilan dan lainnya terhadap kelompok preeklampsia berat, sindroma HELLP Parsial dan sindroma HELLP Murni digunakan uji Kai Kwadrat. Dan untuk melihat perbedaan nilai rerata seperti berat badan dan parameter sindroma HELLP digunakan uji Anova. Dikatakan berbeda bermakna apabila P< 0,05. 8. ETIKA PENELITIAN Semua peserta diberi penjelasan mengenai tujuan dan cara yang akan dijalankan pada penelitian ini. Penelitian dijalankan setelah didapat persetujuan sukarela dari masing- masing peserta dengan menandatangani surat pernyataan persetujuan. Setiap peserta berhak mengetahui hasil pemeriksaan yang dilakukan terhadapnya. Karena alasan tertentu peserta boleh menarik diri dari penelitian. ©2003 Digitized by USU digital library 21 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penelitian ini berlangsung mulai tanggal 1 Maret 2001 sampai dengan 31 Januari 2002. Dari 100 kasus preeklampsia berat yang memenuhi kriteria penerimaan, 65 kasus diantaranya preeklampsia berat dengan nilai laboratorium normal (PEB), 32 kasus preeklampsia berat dengan sindroma HELLP Parsial (SHP) dan 3 kasus preeklampsia berat dengan sindroma HELLP Murni (SHM). Dari 32 kasus preeklampsia berat dengan sindroma HELLP Parsial terdapat 23 kasus hemolisis (H), 1 kasus peningkatan enzim hepar (EL), 2 kasus hemolisis dengan trombositopenia (H + LP) dan 6 kasus hemolisis dengan peningkatan enzim hepar (H + EL). JUMLAH KASUS 70 60 SHM 50 SHP (H+EL) 40 30 SHP (H+LP) SHP (EL) SHP (H) 20 PEB 10 0 PEB SHP SHM Gambar 9. Jumlah kasus preeklampsia berat dengan Sindroma HELLP (PEB: preeklampsia berat, SHP : Sindorma HELLP Parsial, SHM : Sindroma HELLP Murni, H : Hemolisis, EL : Peningkatan Enzim Hepar, LP : Trombositopeni) Dalam penelitian ini ditemukan 65 kasus (65%) preeklampsia berat dengan nilai laboratorium normal (PEB), 3 kasus (3%) sindroma HELLP Murni (SHM) dan 32 kasus (32%) dengan sindroma HELLP Parsial (SHP) . Angka kejadian sindroma HELLP dilaporkan sangat bervariasi. Menurut Sibai (1986) angka kejadian sindroma HELLP berkisar 2 –12% dari seluruh penderita preeklampsia berat. Sedangkan angka kejadian sindroma HELLP pada seluruh kehamilan berkisar antara 0,2 – 0,6%. Kecilnya angka kejadian ini disebabkan oleh karena ada penderita yang tidak terdiagnosa, diagnosa terlambat, kesalahan diagnosa ataupun mempergunakan kriteria yang berbeda dalam menegakkan diagnosa.8,12 Audibert dkk (1996) mendapatkan dari 316 kasus preeklampsia berat dijumpai penderita PEB 178 kasus (56%), penderita SHM sebesar 67 kasus (21%) dan penderita SHP sebesar 71 kasus (22%).24 Sedangkan Morikawa dkk (2001) mendapatkan dari 99 kasus preeklampsia berat ditemukannya 44% penderita PEB , 27% penderita SHP dan 28% penderita SHM .25 ©2003 Digitized by USU digital library 22 Sofoewan (2001) dalam 68 kasus preeklampsia berat yang ditelitinya mendapatkan 54 kasus (79,4%) penderita PEB, 3 kasus (4,4%) penderita SHM dan 11 kasus (16,2%) penderita SHP .12 1. Karakteristik Penderita a. Umur ibu Tabel V. Sebaran kasus berdasarkan umur ibu pada kelompok preeklampsia berat, sindroma HELLP Parsial dan sindroma HELLP Murni. Umur ibu PEB SHP SHM (tahun) N % N % N % ≤ 20 4 6,2 5 15,6 1 33,3 21- 35 46 70,8 20 62,5 1 33,3 > 35 15 23,0 7 21,9 1 33.3 Jumlah 65 100,0 32 100,0 3 100,0 Mean 29,58 28,16 30,67 SD 6,84 6,83 11,02 Pada penelitian ini didapati penderita terbanyak pada kelompok umur 21 – 35 tahun yaitu 67/100 kasus (67%). Disamping itu terlihat bahwa penderita SHM sebahagian besar terdapat pada kelompok umur beresiko tinggi (umur ≤ 20 tahun dan > 40 tahun) yaitu sebanyak 66,6 % dan pada penderita SHP sebanyak 37,5% berada pada kelompok resiko tinggi. Sedangkan pada PEB hanya 29,2% yang berada pada kelompok resiko tinggi. b. Paritas Tabel VI . Sebaran kasus berdasarkan jumlah paritas pada kelompok preeklampsia berat, sindroma HELLP Parsial dan sindroma HELLP Murni. Paritas PEB SHP SHM N % N % N % 0 46 70,8 28 87,5 2 66,7 1- 3 11 16,9 0 0 0 0 8 12,3 4 12,5 1 33,3 65 100,0 32 100,0 3 100,0 ≥ 4 Jumlah Dari tabel di atas terlihat bahwa jumlah paritas yang terbanyak pada kelompok PEB, SHP dan SHM adalah pada paritas 0 dengan persentase pada kelompok PEB 70,8%, pada kelompok SHP 87,4% dan pada kelompok SHM 66,7%. Kalau diperhatikan kelompok penderita resiko tinggi (paritas 0 dan ≥ 4) jelas terlihat perbedaannya, yaitu pada kelompok PEB 73,1%, kelompok SHP 100% dan kelompok SHM 100%. ©2003 Digitized by USU digital library 23 Gambaran klasik dari sindroma HELLP banyak dijumpai pada wanita multigravida dengan umur yang lebih tua dibandingkan dengan yang dijumpai pada preeklampsia yaitu wanita muda dengan nulipara.43 Audibert dkk (1996) melaporkan usia ibu pada penderita preekla mpsia berat dengan laboratorium normal (PEB) 22,5 ± 6,4 tahun, preeklampsia berat dengan sindroma HELLP Parsial (SHP) 24,6 ± 6,2 tahun dan preeklampsia berat dengan sindroma HELLP Murni (SHM) 24,8 ± 5,8 tahun. Dengan jumlah nulipara pada penderita PEB 66 %, SHP 65 % dan SHM 56 %. 24 Sedangkan pada penelitian Morikawa (2001) didapati usia ibu pada penderita PEB 31,9 ± 6,4 tahun, usia ibu pada SHP 30,7 ± 5,4 tahun dan usia ibu pada SHM 28,9 ± 4,1 tahun.25 Sofoewan (2001) pada penelitiannya mendapatkan usia ibu pada penderita PEB 29,28 ± 6,87 tahun, usia ibu pada SHP 28,64 ± 6,48 tahun dan usia ibu pada SHM 33,67± 4,73 tahun. Dengan jumlah nulipara pada penderita PEB 53,7 %, SHP 18,2 % dan SHM 66,7 %. 12 c. Usia Kehamilan Tabel VII. Sebaran kasus berdasarkan usia kehamilan pada kelompok preeklampsia berat, sindroma HELLP Parsial dan sindroma HELLP Murni. Usia Kehamilan PEB SHP SHM (minggu) N % N % N % < 37 12 18,5 8 25,0 1 33,3 37 - 40 45 69,2 23 71,9 2 66,7 8 12,3 1 3,1 0 0 65 100,0 32 100,0 3 100,0 ≥ 40 Jumlah Mean 39,10 37,50 36,7 SD 0,61 0,57 0,58 Dari tabel di atas terlihat bahwa usia kehamilan pada penelitian ini didapatkan 70% pada kelompok 38 – 40 minggu. Dan terlihat pada tabel ini bahwa usia kehamilan pada kelompok SHM lebih rendah dibandingkan dengan usia kehamilan kelompok SHP maupun PEB. Menurut Haddad dkk (2000) dijumpainya hubungan usia kehamilan dan terjadinya sindroma HELLP, dimana sindroma HELLP lebih sering dijumpai pada usia kehamilan yang lebih muda. 47 Audibert dkk (1996) melaporkan pada penelitiannya didapati usia kehamilan pada penderita PEB 34,5± 3,8 minggu, SHP 32,7 ± 4,2 minggu dan SHM 31,7 ± 3,9 minggu.24 Sedangkan Morikawa dkk (2001) mendapatkan pada penelitiannya usia kehamilan pada penderita PEB 36,4 ± 4,1 minggu , SHP 34,2 ± 3,2 minggu dan SHM 34,9 ±3,5 minggu. 25 ©2003 Digitized by USU digital library 24 d. Tekanan Darah Tabel VIII. Nilai rerata tekanan darah sistolik dan diastolik pada kelompok preeklampsia berat, sindroma HELLP Parsial dan sindroma HELLP Murni. Tekanan Darah (mmHg) PEB SHP Mean Sistolik 173,31 14,64 183,44 Diastolik 108,00 10,64 108,75 SD Mean SHM SD p* Mean SD 22,80 196,67 32,15 0,008 12,12 106,67 11,55 0,925 * ANOVA Dari tabel nilai rerata tekanan darah dapat disimpulkan bahwa tekanan darah sistolik berbeda bermakna (p < 0,05) pada kelompok preeklampsia berat, sindroma HELLP Parsial dan sindroma HELLP Murni. Pada rerata tekanan darah sistolik memperlihatkan tekanan darah sistolik yang makin tinggi pada kelompok SHP dan SHM bila dibandingkan dengan kelompok PEB. Sedangkan pada tekanan darah diastolik tidak dijumpainya perbedaan bermakna (p>0,05) pada kelompok preeklampsia berat, sindroma HELLP Parsial dan sindroma HELLP Murni. e. Edema Tabel IX. Sebaran kasus berdasarkan edema pada kelompok preeklampsia berat, sindroma HEL LP Parsial dan sindroma HELLP Murni. Edema PEB SHP SHM N % N % N % Edema Tibial 52 80,0 21 65,6 0 0 Edema Menyeluruh 13 20,0 11 34,4 3 100, 0 Jumlah 65 100,0 32 100,0 3 100,0 Uji Kai Kuadrat (p = 0,005) Dari tabel di atas dapat disimpulkan ada perbedaan bermakna (p < 0,05) berdasarkan edema pada kelompok preeklampsia berat, sindroma HELLP Parsial dan sindroma HELLP Murni. Edema terlihat meningkat pada kelompok SHP (34,4%) dan kelompok SHM (100%) bila dibandingkan dengan kelompok PEB (20%). Pada sindroma HELLP peningkatan tekanan darah dan edema tidak dijumpai atau hanya sedikit. Menurut Sibai (1990) tidak dijumpainya peningkatan tekanan darah sebanyak 30% dan dijumpainya peningkatan tekanan darah sekitar 50% dari kasus. Penambahan berat badan dan edema dijumpai sekitar 60% dari kasus.5,8 Dan Martin dkk (1999) pada penelitiannya didapatkan tidak dijumpainya perbedaan bermakna pada tekanan darah antara kelompok sindroma HELLP dibandingkan dengan kelompok preeklampsia berat. 48 ©2003 Digitized by USU digital library 25 Morikawa (2001) melaporkan tekanan darah sistolik pada penderita PEB 164,1± 21,1 mmHg , SHP 166,8 ± 24,7 mmHg dan SHM 166,6 ± 24,1 mmHg. Dan tekanan darah diastolik pada penderita PEB 98,3 ± 15,1 mmHg , SHP 103,2 ± 16,0 mmHg dan SHM 105,0 ± 16,6 mmHg. 25 Pada penelitian Sofoewan (2001) didapatkan tekanan darah sistolik pada penderita PEB 173,31 ± 14,64 mmHg, SHP 177,27 ± 28,32 mmHg dan SHM 195 ± 27,84 mmHg. Dan tekanan darah diastolik pada penderita PEB 112,32 ± 9,25 mmHg , SHP 119,55 ± 21,50 mmHg dan SHM 116,67 ± 11,55 mmHg.12 f. Proteinuria Kwalitatif Tabel X. Sebaran kasus berdasarkan kadar proteinuria kwalitatif pada kelompok preeklampsia berat, sindroma HELLP Parsial dan sindroma HELLP Murni. Proteinuria PEB SHP SHM N % N % N % - 17 26,2 0 0 0 0 +1/+2 24 36,9 13 40,6 1 33,3 +3/+4 24 36,9 19 59,4 2 66,7 Jumlah 65 100,0 32 100,0 3 100,0 Uji Kai Kuadrat (p = 0,014) Dari tabel di atas dapat disimpulkan ada perbedaan bermakna (p < 0,05) berdasarkan kadar proteinuria kwalitatif pada kelompok preeklampsia berat, sindroma HELLP Parsial dan sindroma HELLP Murni. Dimana pada kelompok SHM didapati proteinuria +3/+4 sebanyak 66,7%. Sedangkan pada kelompok PEB dan SHP didapati proteinuria +3/+4 sebanyak PEB 36,9% dan SHP 59,4 % . Dari penelitian ini terlihat bahwa kadar proteinuria makin meningkat pada SHM dibandingkan dengan SHP dan PEB. Pada penelitian yang dilakukan oleh Martin dkk (1999) terhadap pemeriksaan proteinuria mempergunakan dipstick didapati bahwa proteinuria +1/+2 dijumpai pada kelompok preeklampsia berat 33% dan pada kelompok sindroma HELLP 14% sedangkan pada proteinuria +3/+4 didapati pada kelompok sindroma HELLP 66% dan pada kelompok preeklampsia berta 40%. 48 Dari karateristik penderita pada penelitian ini dapat disimpulkan karakteristik penderita pada kelompok sindroma HELLP Murni dapat terlihat pada tabel di bawah ini. ©2003 Digitized by USU digital library 26 Tabel XI. Karakteristik penderita pada kelompok preeklampsia berat dengan sindroma HELLP Murni Karakteristik Penderita Keterangan Umur ibu Paritas ≤ 20 tahun dan > 40 tahun paritas 0 dan paritas ≥ 4 Usia kehamilan Tekanan darah sistolik 36,7 ± 0,58 minggu lebih muda 196,67 ± 32,15 mmHg lebih tinggi Edema Proteinuria kwalitatif 2. resiko tinggi resiko tinggi seluruh tubuh makin meningkat +3/+4 makin meningkat Nilai Rerata Trombosit, SGOT, Bilirubin dan LDH Tabel XII. Nilai rerata Trombosit, SGOT, Bilirubin dan LDH pada kelompok preeklampsia berat, sindroma HELLP Parsial dan sindroma HELLP Murni. Variabel Trombosit (/mm3 ) SGOT (IU/L) Bilirubin (mg/dL) LDH (IU/L) PEB Mean SD SHP Mean SD SHM Mean SD p * 239,05 69,42 229,91 59,32 74,0 21,17 0,0001 31,23 16,47 65,19 80,70 240,0 165,23 0,0001 0,70 0,27 0,95 0,42 1,48 0,42 0,001 379,15 133,26 792,75 381,35 1594,33 642,83 0,0001 * ANOVA Dari tabel di atas dapat disimpulkan ada perbedaan bermakna (p < 0,05) terhadap kadar Trombosit, SGOT, Bilirubin dan LDH pada kelompok preeklampsia berat, sindroma HELLP Parsial dan sindroma HELLP Murni. Akibat dari proses yang dinamis pada sindroma HELLP, sangat mempengaruhi gambaran parameter laboratorium. Tetapi gambaran parameter ini tidak konstan dipengaruhi oleh pola penyakit yang menunjukkan perbaikan atau kemunduran. Pada penelitian terlihat bahwa semakin berat perjalanan penyakit yang diderita semakin bermakna perbedaan nilai laboratoriumnya. Pemeriksaan laboratorium pada sindroma HELLP sangat diperlukan, karena diagnosa ditegakkan berdasarkan hasil laboratorium. Walaupun sampai saat ini belum ada batasan yang tegas nilai batas untuk masing- masing para meter.13 Sofoewan (2001) melaporkan pada penelitiannya didapatkan kadar trombosit pada PEB 739,50 ± 72,04 /mm3 , SHP 160,09 ± 109,38 /mm3 , SHM 55,67 ± 39,00/mm3 . Dan kadar SGOT pada PEB 29,87 ± 11,72 IU/ L SHP 124,18 ± 68,79 IU/L, dan 384,33 ± 92,66 IU/L.12 ©2003 Digitized by USU digital library 27 3. Cara Persalinan Tabel XIII. Sebaran kasus berdasarkan cara persalinan pada kelompok preeklampsia berat, sindroma HELLP Parsial dan sindroma HELLP Murni. PEB SHP SHM Cara Persalinan N % N % N % Pervaginam 41 63,1 12 37,5 0 0 Perabdominal 24 36,9 20 62,5 3 100,0 Jumlah 65 100,0 32 100,0 3 100,0 Dari tabel di atas terlihat peningkatan angka persalinan perabdominal bila dibandingkan kelompok PEB (36,9%), kelompok SHP (62,5%) dan kelompok SHM (100%). Seluruh persalinan perabdominal pada penelitian ini dilakukan pada 47 kasus (47%). Tingginya angka persalinan perabdominal ini disebabkan karena protokol penanganan penderita preeklampsia berat yang mengharuskan terminasi dilakukan apabila tidak dijumpai kemajuan terapi sesudah 24 jam. Prinsip pe nanganan pada sindroma HELLP sama dengan Preeklampsia berat. Prioritas pertama adalah stabilisasi kondisi ibu terutama terhadap abnormalitas pembekuan darah. Adanya sindroma HELLP tidak merupakan indikasi untuk melahirkan segera dengan cara seksio sesarea. Yang harus dipertimbangkan adalah kondisi ibu dan bayi. Ibu yang telah mengalami stabilisasi dapat melahirkan pervaginam, bila tidak ada kontra indikasi obstetrik. Persalinan dapat diinduksi dengan oksitosin pada semua kehamilan ≥ 32 minggu. Ataupun kehamilan < 32 minggu dengan serviks yang telah matang untuk diinduksi. Pada kehamilan < 32 minggu dengan serviks yang belum matang, seksio sesarea elektif merupakan pilihan. 13 Sofoewan (2001) melaporkan pada penelitiannya didapati cara persalinan seksio sesarea pada PEB 35/54 kasus (19%), SHP 5/11 kasus (45,5%) dan SHM 3/3 kasus (100%). Indikasi dilakukannya seksio sesarea pada kelompok SHM adalah gawat janin dan pertumbuhan janin terhambat. 12 Pada penelitian ini indikasi dilakukan persalinan perabdominal yaitu, pada SHM adalah gawat janin pada keseluruhan kasus. Sedangkan indikasi seksio sesarea pada SHP adalah gawat janin 8 kasus, solusio plasenta 5 kasus, gagal induksi 3 kasus, impending eklampsia 3 kasus dan previous seksio sesarea 1 kasus. Audibert dkk (1996) melaporkan pada penelitiannya didapati persalinan secara seksio sesarea pada SHM 75 %, pada SHP 52 % dan pada PEB 48%. Tingginya angka persalinan dengan cara seksio sesarea pada SHM dengan alasan bahwa untuk menghindari terjadinya komplikasi yang lebih buruk lagi terhadap ibu, maka persalinan dipercepat dengan cara seksio sesarea. 24 ©2003 Digitized by USU digital library 28 4. Luaran Ibu Tabel XIV. Sebaran kasus berdasarkan komplikasi ibu pada kelompok preeklampsia berat, sindroma HELLP Parsial dan sindroma HELLP Murni Luaran Ibu PEB SHP SHM N % N % N % 63 96,9 24 75,0 0 0 DIC 0 0 3 9,4 2 0 Solusio Plasenta 2 3,1 5 15,6 0 0 Gagal Ginjal 0 0 0 0 1 33,3 Edema Paru 0 0 0 0 0 0 65 100,0 32 100,0 3 100,0 Komplikasi (- ) Komplikasi (+) : Jumlah Uji Kai Kuadrat (p = 0,0001) Dari tabel di atas dapat disimpulkan ada perbedaan bermakna (p < 0,05) berdasarkan komplikasi yang terjadi pada kelompok preeklampsia berat, sindroma HELLP parsial dan sindroma HELLP murni. Pada penelitian ini komplikasi yang terbanyak adalah solusio plasenta 7/100 kasus (7%) sedangkan pada SHM komplikasi yang terbanyak adalah DIC 2/3 kasus (66,7%). Audibert dkk (1996) mendapatkan komplikasi yang terbanyak pada SHM adalah DIC (15%) diikuti dengan solusio plasenta (9%), edema paru (8%) dan gagal ginjal (3%). 24 Tabel XV. Sebaran kasus berdasarkan komplikasi ibu pada kelompok preeklampsia berat, sindroma HELLP Parsial dan sindroma HELLP Murni Luaran Ibu Komplikasi (- ) Komplikasi (+) Ibu mati Jumlah PEB N 63 2 0 65 % 96,9 3,1 0 100,0 SHP N 24 6 2 32 % 75,0 18,8 6,2 100,0 SHM N 0 1 2 3 % 0 33,3 66,7 100,0 Pada tabel di atas terlihat bahwa komplikasi yang terjadi dan tidak menyebabkan kematian ibu pada PEB, SHP dan SHM adalah 9/100 kasus (9%) dan ibu mati terjadi pada 4/100 kasus (4%). Penyebab ke matian ibu pada kelompok SHP dan SHM adalah DIC. Dan pada kelompok PEB tidak didapati kematian ibu. ©2003 Digitized by USU digital library 29 70 60 50 Komp (-) 40 Komp (+) 30 Ibu Mati 20 10 0 PEB SHP SHM Gambar 10. Jumlah kasus preeklampsia berat dengan Sindroma HELLP Hubungannya dengan Luaran Ibu (KOMP : komplikasi) Sibai dkk (1993) melaporkan angka kematian ibu pada sindroma HELLP 0 – 24 %. Dengan komplikasi seperti DIC (21%), solusio plasenta (16%), gagal ginjal akut (7,7 %), edema pulmonum (6%), hematom subkapsular hepar (0,9%) dan ablasi retina (0,9%). 33,34 Isler dkk (1999) melaporkan penyebab kematian ibu pada sindroma HELLP adalah perdarahan intra kranial atau stroke ( 45%), gagal jantung paru (40%), DIC (39%), sindroma gagal nafas (28%), gagal ginjal (28%), perdarahan hepar atau ruptur (20%) dan hipoxic encephalopathy (16%). Dan 60% dari kematian ibu dengan sindroma HELLP kelas I, yaitu kadar trombosit < 50.000/mm 3 . 35 Sofoewan (2001) melaporkan komplikasi yang terbanyak adalah gagal ginjal dimana didapatinya pada kelompok PEB 6/54 kasus (6%), SHP 3/11 kasus (27,3%) dan SHM 2/3 kasus (66,7%). Dan pada laporannya tidak dijumpainya kematian ibu. 12 Sedangkan Morikawa dkk (2001) melaporkan komplikasi yang terbanyak pada kelompok SHM dan SHP adalah DIC sebanyak 59,3% dan 14,3%. Pada laporannya juga tidak ditemukan kematian ibu. 25 Tingginya angka kematian ibu pada penelitian ini kemungkinan diakibatkan oleh kondisi ibu yang sudah jelek waktu masuk rumah sakit. Menurut kepustakaan pemberian kortikosteroid antepartum pada penderita sindroma HELLP dapat menunda persalinan, memaksimumk an status hematologis ibu, memaksimumkan sistim organ pada janin yang akhirnya dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas ibu. 35 Dari penelitian ini didapati angka kematian ibu pada SHP sama dengan pada SHM (2 kasus SHP dan 2 kasus SHM). Hal ini menunjukkan bahwa baik SHP maupun SHM memberikan kontribusi yang sama terhadap luaran ibu yang jelek. Menurut Audibert dkk (1996) pada SHP dijumpai juga komplikasi yang sama dengan SHM walaupun angka morbiditasnya tidak sama. Oleh karena itu pasien preeklampsia berat dengan SHP harus juga mendapat penanganan yang sama seperti halnya SHM . 24 ©2003 Digitized by USU digital library 30 5. Luaran Bayi Tabel XVI. Sebaran kasus berdasarkan nilai Apgar bayi pada kelompok preeklampsia berat, sindroma HELLP Parsial dan sindroma HELLP Murni Luaran Bayi PEB SHP SHM N % N % N % Tidak dijumpai asfiksia (7 – 10 ) 45 69,2 19 59,4 0 0 Asfiksia Sedang (4 – 6 ) 17 26,2 5 15,6 1 33,3 Asfiksia Berat ( 0 – 3 ) 3 4,6 8 25,0 2 66,7 Jumlah 65 100,0 32 100,0 3 100,0 Uji Kai Kuadrat (p =0,024) Dari tabel di atas dapat disimpulkan ada perbedaan bermakna (p < 0,05) berdasarkan nilai Apgar bayi pada kelompok preeklampsia berat, sindroma HELLP Parsial dan sindroma HELLP Murni. Dari tabel di atas juga terlihat bahwa bayi yang mengalami asfiksia lebih banyak pada kelompok SHP (40,6%) dan kelompok SHM (100%) bila dibandingkan dengan kelompok PEB (30,8%). Pada penelitian ini didapati asfiksia berat (kematian bayi dan gawat bayi yang berat ) pada 13/100 kasus (13%). Pada kelompok PEB didapatinya asfiksia berat 4,6%, pada kelompok SHP 25% dan pada kelompok SHM 66,7% dari kasus. Dari 13 orang bayi yang mengalami asfiksia berat terdapat 12 orang bayi mati setelah penilaian 5 menit. Penyebab kematian pada penelitian ini 4 kasus diantaranya diakibatkan oleh solusio plasenta, 3 kasus disebabkan usia kehamilan dibawah 38 minggu dan 5 kasus akibat asfiksia berat. Pada kelompok SHM dan SHP seluruh bayi yang asfiksia mati dan pada PEB 2 orang bayi mati. Jadi angka kematian bayi pada penelitian ini didapati pada kelompok PEB 3,1%, pada kelompok SHP 25% dan pada kelompok SHM 66,7%. Angka morbiditas dan mortalitas pada bayi berkisar 10 – 60% tergantung dari keparahan penyakit ibu. Bayi yang ibunya menderita sindroma HELLP umumnya mengalami perkembangan janin terhambat (PJT) dan sindroma kegagalan pernafasan. 5,34 Menurut Ambramovici dkk (1999) morbiditas dan mortalitas bayi berhubungan dengan usia kehamilan dibandingkan dengan ada atau tidaknya sindroma HELLP. Oleh karena itu penanganan ekspektatif pada ibu dengan sindroma HELLP harus dipikirkan untuk luaran bayi yang lebih baik. ©2003 Digitized by USU digital library 31 Tabel XVII. Sebaran kasus berdasarkan berat badan bayi / usia kehamilan pada kelompok preeklampsia berat, sindroma HELLP Parsial dan sindroma HELLP Murni Berat Badan / PEB SHP SHM Usia Kehamilan N % N % N % SMK 49 75,4 24 75,0 1 33,3 KMK 14 21,5 7 21,9 2 66,7 BMK 2 3,1 1 3,1 0 0 65 100,0 32 100,0 3 100,0 Jumlah Uji Kai Kuadrat (p = 0,501) Dari tabel di atas dapat disimpulkan tidak ada perbedaan bermakna (p > 0,05) berdasarkan berat badan bayi / usia kehamilan pada kelompok preeklampsia berat, sindroma HELLP Parsial dan sindroma HELLP Murni. Pada tabel ini terlihat bayi dengan kecil masa kehamilan (KMK) atau perkembangan janin terhambat terdapat 2/3 kasus (66,7%) pada kelompok SHM, pada kelompo k SHP 21,9% dan pada kelompok PEB 21,5%. Tabel XVIII. Nilai rerata berat badan bayi pada kelompok preeklampsia berat, sindroma HELLP Parsial dan sindroma HELLP Murni. Variabel Berat badan (gr) * ANOVA PEB SHP SHM Mean SD Mean SD Mean SD 2801,54 557,69 2773,44 645,33 2033,33 862,17 p* 0,682 Dari tabel di atas didapat bahwa tidak ada perbedaan bermakna (p > 0,05) berdasarkan nilai rerata berat badan bayi pada kelompok preeklampsia berat, sindroma HELLP Parsial dan sindroma HELLP Murni. Dari sini dapat disimpulkan bahwa sindroma HELLP tidak mempengaruhi berat badan bayi. Dalam hal ini berat badan bayi dipengaruhi oleh karena preeklampsia. Menurut Redman Dikutip dari 1 terjadinya KMK pada preeklampsia oleh karena terjadinya iskemia uteroplasenta pada kehamilan trimester kedua sehingga terjadi pertumbuhan janin terhambat. Keadaan ini terjadi sebelum munculnya sindroma HELLP. Sofoewan (2001) melaporkan pada kelompok PEB didapati perkembangan janin terhambat 1,1 %, kematian janin intra uterin 7,4% dan gawat janin 5,6%. Dan pada kelompok SHP didapati perkembangan janin terhambat 72,7 %, kematian janin intra uterin 36,4% dan gawat janin 27,3 %. Sedangkan pada SHM didapatinya perkembangan janin terhambat 100 %, kematian janin intra uterin 33,3 % dan gawat janin 66,7% .12 Morikawa dkk (2001) pada penelitiannya mendapatkan perkembangan janin terhambat 23,8 %, luaran bayi yang jelek ( kematian janin dan gawat janin yang ©2003 Digitized by USU digital library 32 berat) 2,4% pada kelompok PEB. Dan pada kelompok SHP didapatinya perkembangan janin terhambat 65,4 %, luaran bayi yang jelek 7,7%. Sedangkan pada SHM didapatinya perkembangan janin terhambat 50,0 %, luaran bayi yang jelek 16,7%.25 6. Hubungan Parameter Sindroma HELLP dengan Luaran Ibu dan Bayi. a. Jumlah Trombosit. Tabel. XIX. Sebaran kasus berdasarkan jumlah trombosit dengan luaran ibu dan bayi pada penderita preeklampsia berat dan eklampsia. Jumlah Trombosit (/mm3 ) Luaran Ibu & Bayi > 150.000 150. 000 – 100.000 < 100.000 *p N % N % N % Komplikasi Ibu (-) 83 92,3 4 100,0 0 0 Komplikasi Ibu (+) 7 7,7 0 0 2 33,3 Ibu Mati 0 0 0 0 4 66,7 Tidak dijumpai asfiksia 60 65,9 3 75,0 1 20,0 Asfiksia Sedang 21 23,1 1 25,0 1 20,0 Asfiksia Berat * Uji Kai Kwadrat 10 11,0 0 0 3 60,0 0,0001 0,038 Dari tabel di atas terlihat bahwa pada kadar trombosit < 100.000 /mm3 dijumpai kematian ibu 66,7 % dan 33,3 % dijumpainya komplikasi ke organ lain. Terhadap luaran bayi pada kadar trombosit <100.000 /mm3 dijumpai asfiksia berat 60%. Asfiksia sedang dijumpai 20% dan tidak dijumpainya asfiksia 20%. Sedangkan pada kadar trombosit > 100.000/mm3 berhubungan dengan terjadinya komplikasi pada ibu sebesar 7,4% dan tidak berhubungan dengan kematian ibu. Pada luaran bayi hanya 11% yang berhubungan dengan asfiksia berat. Pada penelitian ini didapatkan pada kadar < 100.000 /mm3 berhubungan dengan luaran ibu yang jelek pada 100% kasus. Menurut Martin dkk (1999) akibat dari terjadinya trombositopenia akan mengakibatkan perubahan yang jelek pada seluruh sistim organ tubuh secara bermakna, yang pada akhirnya a kan menyebabkan kematian ibu. Mereka menetapkan bahawa kadar trombosit < 100.000/mm3 meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas ibu. Romero dkk (1989) Dikutip dari 32 melaporkan bahwa trombositopenia merupakan indikator yang paling baik terhadap luaran ibu dan bayi. Tetapi trombositopenia bukan merupakan alasan untuk melakukan terminasi segera selain alasan usia kehamilan sudah aterm. Menurut Visser dkk (1995) menunda terminasi kehamilan lebih aman untuk ibu dan bayi apabila usia kehamilan belum aterm. Pengawasan yang ketat terhadap ©2003 Digitized by USU digital library 33 hemodinamik ibu dan penanganan yang tepat sangat diperlukan agar luaran ibu dan bayi lebih baik. 32 b. Kadar SGOT. Tabel. XX. Sebaran kasus berdasarkan kadar SGOT dengan luaran ibu dan bayi pada penderita preeklampsia berat dan eklampsia SGOT ( IU/L) Luaran Ibu & Bayi < 35 35 – 70 >70 *p N % N % N % Komplikasi Ibu (-) 74 94,9 8 66,7 5 50,0 Komplikasi Ibu (+) 2 2,6 4 33,3 3 30,0 Ibu Mati 2 2,6 0 0 2 20,0 54 69,2 6 50,0 4 40,0 18 23,1 3 25,0 2 20,0 6 7,7 3 25,0 4 40,0 Tidak dijumpai asfiksia Asfiksia Sedang Asfiksia Berat * Uji Kai Kwadrat 0,0001 0,010 Dari tabel di atas terlihat bahwa jika kadar SGOT > 70 IU/L dijumpai komplikasi ke organ lain sebanyak 30% dan 20% dijumpai kematian ibu. Sedangkan pada kadar SGOT < 70 IU/L hanya 8,9 % yang dijumpai dengan terjadinya komplikasi dan kematian ibu. Jadi pada penelitian ini dapat dikatakan bahwa kadar SGOT > 70 IU/L berhubungan dengan luaran ibu yang jelek sebesar 50% dari kasus. Dari tabel ini terlihat juga bahwa kadar SGOT berhubungan terhadap Apgar skor bayi ( p > 0,05). Pada kadar SGOT > 70 IU/mL didapati 40% tidak dijumpai asfiksia, 20% asfiksia sedang dan 40% asfiksia berat. Pada kadar SGOT < 70 IU/mL hanya 7,8% berhubungan dengan terjadinya asfiksia berat. c. Kadar Bilirubin Tabel. XXI. Sebaran kasus berdasarkan kadar Bilirubin dengan luaran ibu pada penderita preeklampsia berat dan eklampsia Bilirubin (mg/dL) Luaran Ibu & Bayi < 1,0 1,0 – 1,2 > 1,2 *p N % N % N % Komplikasi Ibu (-) 33 94,3 50 96,2 4 30,7 Komplikasi Ibu (+) 2 5,7 2 3,8 5 38,6 Ibu Mati 0 0 0 0 4 30,7 18 51,4 42 80,7 4 30,8 14 40,0 8 15,4 1 7,7 3 8,6 2 3,9 8 61,5 Tidak dijumpai asfiksia Asfiksia Sedang Asfiksia Berat * Uji Kai Kwadrat ©2003 Digitized by USU digital library 0,0001 0,001 34 Dari tabel di atas terlihat bahwa kadar Bilirubin > 1,2 mg/dL dijumpai komplikasi ke organ lain sebesar 38,6% dan 30,7% dijumpai kematian ibu. Sedangkan pada kadar Bilirubin < 1,2 mg/dL hanya 4,6% yang dijumpai dengan terjadinya komplikasi pada ibu dan tidak berhubungan dengan kematian ibu . Jadi pada penelitian ini didapatkan kadar Bilirubin > 1,2 mg/dL berhubungan dengan luaran ibu yang jelek sebesar 69,2% dari kasus. Dan dari tabel ini terlihat juga bahwa kadar Bilirubin berhubungan terhadap Apgar skor bayi (p > 0,05). Pada kadar Bilirubin > 1,2 mg/dL tidak dijumpai asfiksia sebesar 30,8%, dijumpai asfiksia sedang 7,7% dan dijumpai asfiksia berat 61,5%. Sedangkan pada kadar Bilirubin < 1,2 mg/dL dijumpai asfiksia berat hanya sebesar 5,7%. d. Kadar LDH Tabel. XXII. Sebaran kasus berdasarkan kadar LDH dengan luaran ibu pada penderita preeklampsia berat dan eklampsia LDH (IU/L) Luaran Ibu & Bayi < 340 340 – 600 > 600 *p N % N % N % Komplikasi Ibu (-) 32 94,1 31 96,9 24 70,6 Komplikasi Ibu (+) 2 5,9 1 3,1 6 17,6 Ibu Mati 0 0 0 0 4 11,8 21 61,8 21 65,6 22 64,7 13 38,2 8 25,0 2 5,9 0 0 3 9,4 10 29,4 Tidak dijumpai asfiksia Asfiksia Sedang Asfiksia Berat * Uji Kai Kwadrat 0,001 0,009 Dari tabel di atas terlihat bahwa kadar LDH > 600 IU/L dijumpai komp likasi ke organ lain 17,6% dan 11,8% dijumpai kematian ibu. Pada kadar LDH < 600 IU/L hanya 4,5% yang dijumpai komplikasi pada ibu dan tidak berhubungan dengan kematian ibu. Jadi pada penelitian ini didapatkan pada kadar LDH > 600 IU/L berhubungan dengan luaran ibu yang jelek 29,4% dari kasus. Dari tabel ini terlihat juga bahwa kadar LDH berpengaruh terhadap Apgar skor bayi ( p > 0,05). Pada kadar LDH > 600 IU/L tidak dijumpai asfiksia sebesar 64,7 %, dijumpainya asfiksia sedang 5,9 % dan asfiksia berat sebesar 29,4%. Sedangkan kadar LDH < 600 IU/L hanya 4,5% yang berhubungan dengan terjadinya asfiksia berat. Dari keempat parameter sindroma HELLP yang telah dibicarakan di atas, semuanya memperlihatkan hubungan yang bermakna (p < 0,05) antara parameter sindroma HELLP (jumlah trombosit, kadar SGOT, kadar Bilirubin dan kadar LDH) dengan gambaran luaran yang jelek (adanya komplikasi dan kematian) pada ibu dan bayi. Kadar Trombosit < 100.000/mm3 , 100% memberikan gambaran yang jelek terhadap luaran ibu, 80% terhadap luaran bayi. Kadar SGOT > 70 IU/L 50% memberikan gambaran yang jelek terhadap luaran ibu, 60% terhadap luaran bayi. Kadar Bilirubin ©2003 Digitized by USU digital library 35 > 1,2 mg/dL 69% memberikan gambaran yang jelek terhadap luaran ibu, 69% terhadap luaran bayi. Dan kadar LDH > 600 IU/L 20% memberikan gambaran yang jelek terhadap luaran ibu, 35% terhadap luaran bayi. Berdasarkan besar proporsi luaran ibu dan bayi yang jelek terhadap keempat parameter sindroma HELLP, ternyata yang paling berperan adalah kadar trombosit < 100.000/mm3 . BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN 1. Dilihat dari karakteristik penderita preeklampsia berat dan eklampsia maka sindroma HELLP lebih besar kemungkinannya terjadi pada : - kelompok umur resiko tinggi (< 20 dan > 35 tahun) - kelompok paritas resiko tinggi ( 0 dan ≥ 4) - kelompok usia kehamilan yang lebih muda - tekanan darah sistolik yang lebih tinggi - edema seluruh tubuh - kadar proteinuria lebih tinggi (+3/+4). 2. Pada kelompok sindroma HELLP Parsial dan sindroma HELLP Murni didapati luaran ibu dan bayi yang jelek. 3. Komplikasi yang terjadi pada sindroma HELLP Parsial dan sindroma HELLP Murni adalah DIC, Solusio Plasenta dan Gagal ginjal. 4. Kadar Trombosit < 100.000/mm3 , SGOT > 70 IU/mL, Bilirubin > 1,2 mg/dL dan LDH > 600 IU/L memperlihatkan hubungan dengan luaran ibu dan bayi yang jelek. Kadar trombosit < 100.000/mm3 yang paling berperan terhadap proporsi luaran ibu dan bayi yang jelek. B. SARAN 5. 1. Pada penderita preeklampsia berat dengan sindroma HELLP bila dijumpai kadar trombosit < 100.000/mm3 harus lebih berhati- hati dan diberikan perhatian khusus dan sebaiknya dilakukan pemberian trombosit dan kortikosteroid untuk menghindari terjadinya luaran ibu dan bayi yang jelek. 2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dalam menegakkan diagnostik preeklampsia berat dengan sindroma HELLP untuk menghindari terjadinya luaran ibu dan bayi yang jelek. 3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai dasar untuk penelitian lebih lanjut terhadap preeklampsia berat dengan sindroma HELLP. ©2003 Digitized by USU digital library 36 DAFTA R PUSTAKA 1. Cuningham FG, Mac Donald PC, Gant NF, etal. Hypertensive Disorders in Pregnancy. William Obstetrics . Ed. 20th . Conecticut : Appleton & Lange 1997 : 693 – 744. 2. Mabie WC, Sibai BM. Hypertensive State of Pregnancy. In : De Cherney AH, Pernoll ML. Current Obstetrics & Gynecologyc Diagnosis & Treament. Appelton & Lange, 1996 : 380- 97. 3. Simanjuntak JR. Evaluasi Kematian Maternal Penderita Preeklampsia Berat di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 1993 –1997. Medan : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Tesis. 1999. 4. Tim Standard Terapi Bagian OBGIN FK – USU/ RS Dr. Pirngadi Medan. Pedoman Diagnosis dan Terapi Obstetri dan Ginekologi RS. Dr. Pirngadi Medan: Bagian/UPF Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan FK- USU RS. Dr. Pirngadi Medan, 1996 : 1 – 18. 5. Sibai BM. The HELLP Syndrome (hemolysis, elevated liver enzymes and low trombosit counts) : Much ado About Nothing ?. AmJ Obstet Gynecol 1990 ; 162 : 311 – 6. 6. Dekker GA, Sibai BM. Ethiology and Pathogenesis of Preeclampsia : Current Concept. AmJ Obstet Gynecol 1998 ; 179 : 1359 – 75. 7. Weinstein L. Syndrome of Hemolysis, Elevated Liver Enzymes and Low Trombosit counts : A Severe Consequence of Hypertension in Pregnancy. AmJ Obstet Gynecol 1982 ; 142 : 159 – 67. 8. Padden MO. HELLP Syndrome : Recognation and Perinatal Management. Available at : http ://www.findarticles.com. 9. Hohllagschwandtner M, Todesca DB. HELLP (hemolysis, elevated liver enzymes and low trombosit counts) Needs Help. AmJ Obstet Gynecol 2000:182 (5). 10. Martin JN, Blakes PG, Perry KG, etal. The Natural Hystory of HELLP Syndrome : Patern of Disease Progression and Regression. AmJ Obstet Gynecol 1991; 164 : 1500 –13. 11. Siregar MF. Luaran Janin dan Ibu pada Penderita Preeklampsiaa di RSUD Dr. Pirngadi Medan. Medan : Universitas Sumatera Utara. Tesis. 1997. 12. Sofoewan S. Pregnancy Outcome of Women with Severe Preeclampsia With and Without HELLP Syndrome. Dalam : AUFOG Accredited Ultrasound and Workshop. Bandung. 2001. 13. Dekker GA, Walker JJ. Maternal Assesment in Pregnancy Induced Hypertensive Disorder : Special Investigation and Their Pathophysiological Basis. In : Walker ©2003 Digitized by USU digital library 37 JJ, Gant NF. Hypertension in pregnancy. London : Chapman&Hall. 1997 :107 – 62. 14. Lockwood CJ, Paidas MJ. Preeclampsia and Hypertensive Disorders. In : Cohen WR. Complication in Pregnancy. Ed. 5th . Philadelphia : Lippicott Williams & Wilkins. 2000 : 207 – 26. 15. Churchill D, Beevers DG. Hypetension in Pregnancy. London: BMJ Books. 1999. 16. Arbogast BW, Taylor RN. Molecular Mechanism of Preeclampsia. Germany : Springer-Verlag. 1996 17. Martin JN, Rinehart BK, May WL, etal. The Spectrum of Severe Preeclampsia : Comparative Analysis by HELLP (hemolysis, elevated liver enzymes and low trombosit counts) Syndrome Classification. AmJ Obstet Gynecol 1999 ; 180 : 1373 – 84. 18. Arias F. Practical Guide to Highrisk Pregnancy and Delivary. Ed.2 St. Louis : Mosby Year Book. 1999 : 183 – 279. 19. Walker J. Current Toughts on the Pathophysiology of Preeclampsia /Eclampsia. In : Studd J. Progress in Obtetrics and Gynecology. London : Churchill Livingstone.1998 : 177 – 89. 20. Lewandoski K, Hellman A. Atlas of Hematology. Departement of Hematology Medical University of Gda´nsk. Poland. Available at : http : // www. hematologica.pl/index.html. 21. Barton JR, Riely CA, Adamec TA, etal. Hepatic Hispatologic in Condition does not Correlate with Laboratory Abnormalities in HELLP Syndrome (hemolysis, elevated liver enzymes and low trombosit counts). AmJ. Obstet Gynecol 1992 ; 167 : 1538 – 43. 22. Oesterhof H, Voorhoeve P, Arnodudse JG. Enhancement of Hepatic Artery Resistence to Blood Fflow in Preeclampia in ppresence or Absence of HELLP Syndrome. AmJ Obstet Gynecol 1994; 171 : 526- 30. 23. Usta IM, Barton JR, Amon EA, etal. Acute Fatty Liver of Pregnancy : An Experience in Diagnosis and Management of Cases. AmJ Obstet Gynecol 1994 : 171 : 1342- 7. 24. Van Dam P, Reiner M, Baekelandt M, etal. Disseminated Intravascular Coagulation and The Syndrome of Hemolysis, Elevated Liver Enzymes and Low Trombosit in Severe Preeclampsia. Obstet Gynecol 1989 : 73 : 97- 102. 25. Audibert F, Friedmman SA, Frangieh AY, etal. Clinical Utility of Strict Diagnostic Criteria for the HELLP (hemolysis, elevated liver enzymes and low trombosit counts) Syndrome. AmJ Obstet Gynecol 1996; 175; 460 – 4. 26. Morikawa H, Umikage H, Yamasaki M. Clinical Difference Between HELLP Syndrome and Partial HELLP Syndrome. Dalam : AUFOG Accredited Ultrasound and Workshop. Bandung. 2001. ©2003 Digitized by USU digital library 38 27. Martin JN, May WL, Magann EF, etal. Early risk assesment of severe preeclampsia: admission baterry of symptom and laboratory test to predict likelihood of subsequent significant maternal morbidity. AmJ Obstet Gynecol 1999 ; 180 : 1407 – 14. 28. Maggan EF, Cauhan SP, Naef RW, etal. Standar Parameters of Preeclampsia : Can the Clinican Depand Upon Them to Reliably Identifythe Patientwith The Hellp Syndrome? Aust NZ Obstet Gynecol 1993 ; 32 : 122 - 26 29. Sibai BM, Taslimi MM, El- Nazer A, etal. Maternal and Perinatal Outcome Associated with the Syndrome of hemolysis, elevated liver enzymes and low trombosit counts in Severe Preeclampsia. AmJ Obstet Gynecol 1986 ; 155 : 501 – 9. 30. Martin JN, May WL, Magann EF, etal. Early Risk Assesment of Severe Preeclampsia: Admission Baterry of Symptom and Laboratory Test to Predict Llikelihood of Subsequent Significant Maternal Morbidity. AmJ Obstet Gynecol 1999 ; 180 : 1407 – 14. 31. Bowers D, Wenk RE. Clinical Laboratory Referent Values. In : Cohen WR. Complication in Pregnancy. Ed. 5th . Philadelphia : Lippicott Williams & Wilkins. 2000 : 873 – 81. 32. Roberts WE, Perry KG, Woods JB, etal. The Intrapartum Trombosit Count in Patient with HELLP (hemolysis, elevated liver enzymes and low trombosit counts) Syndrome : Is It Predictive of Later Hemorrhagic Complication ?. AmJ Obstet Gynecol 1994 ; 171 : 799 – 804. 33. Poole JH. Aggressive Management of HELLP Syndrome and Eclampsia. AACN Clinical Issues Advanced Practice in Acute & Critical Care 1997 : 8 (4). 34. Queenan JT. Management of High Risk Pregnancy. Blackwell Scientific Publication, 1994 : 378 – 85.Gleeson R, Wlshe JJ. HELLP Syndrome Continues to be A Diagnostic and Management Dilemma. ImJ Edit orials, 1997;90 (8). Available et : http://www.imj.ie/issue07/editorial5.htm 35. Visser W, Wallenburg HC. Temporising Management of Severe Preeclampsia With and Without the HELLP Syndrome. BJOG 1995 : 102 : 111 – 17. 36. Tompkins MJ, Thiagarajah S. HELLP (hemolysis, elevated liver enzymes and low trombosit counts) Syndrome : The Benefit of Corticosteroids. AmJ Obstet Gynecol 1999 ; 181 : 304 – 9. 37. Amorim M, Santoz LC, Faunders A. Cotricosteroid Therapy for Prevention of Respiratory Distress Syndrome in Severe Preeclampsia. AmJ Obstet Gynecol 1999; 180 : 1283 – 8. 38. Magann EF, Bass D, Chauhan S, etal. Antepartum Corticosteroid : Disease Stabilazation in Patient with The Syndrome of HELLP. AmJ Obstet Gynecol 1994; 171 : 1148 – 53. ©2003 Digitized by USU digital library 39 39. Magann EF, Perry KG, Meyderch EF, etal. Post Partum Corticosteroid : Accelarated Recovery from The Syndrome of HELLP. AmJ Obstet Gynecol 1994 ;171 : 1154 – 8. 40. Isler CM, Barrileux S, Magann EF, etal. A Prospective, Randomized Trial Comparing The Efficacy of Dexamethasone and Bethamethasone for The Treatment of Antepartum HELLP Syndrome. AmJ Obstet Gynecol 2001; 184 : 1332 – 9. 41. Magann EF, Roberts WE, Perry KG, etal. Factor Relevant to Mode of Pretem Delivary with Syndrome of HELLP (hemolysis, elevated liver enzymes and low trombosit counts). AmJ Obstet Gynecol 1994; 170 : 1828 – 34. 42. Brings R, Chari RS, Mercer B, etal. Post Operative Incission Complication after Caserean Section in Patient with Antepartun Syndrome of HELLP ; Does Delayed Primary Closure Make a Diffrence?. AmJ Obstet Gynecol 1996; 175 : 893- 6. 43. Schorr JS, Sullivan CA, Calfee E, etal. Wound Complication Following Caserean Delivary of Patient with HELLP Syndrome : Pfaneinsteil Versus Vertical Skin Incision. Hypertension in Pregnancy 1998; 17(3) ; 265 – 70. 44. Sibai BM, Ramadhan MK, Chari RS, etal. Pregnancies Complicated by HELLP Syndrome (hemolysis, elevated liver enzymes and low trombosit counts) : Subsequent Pregnancy Outcome and Longterm Prognosis. AmJ Obstet Gynecol 1995 ; 172 : 125 – 9. 45. Sibai MD, Ramadhan MK, Usta I, etal. Maternal Morbidity and Mortality in 442 Pregnancies with Hemolysis, Elevated Liver enzymes and Low Platelet counts (HELLP Syndrome). AmJ Obstet Gynecol 1993 ; 169 : 1000 – 6. 46. The HELLP Syndrome Society. //www.community/HELLPsyndrome.com. Available at : http: 47. Isler CM, Reinhaart BK, Terrone DA, etal. Maternal Mortality Associated with HELLP (hemolysis, elevated liver enzymes and low trombosit counts) Syndrome. AmJ Obstet Gynecol 1999 ; 181 ; 924 – 8. 48. Ambramovici D, Friedman SA, Mercer BM, et al. Neonatal Outcome in Severe Ppreeclampsia at 24 to 36weeks’ Gestation : Does the HELLP Syndrome Mater?. AmJ obtet Gynecol 1999; 180 : 221- 5. 49. Sastromoro S, Ismael S. Metode Penelitian Klinis, Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK- UI. Jakarta: Binarupa Aksara. 1995. 50. Haddad B, Barton Jr, Livingstone JC, et al. Risk Factors for Adverse Maternal Outcomes Among Women with HELLP Syndrom. AmJ Obstet Gynecol 2000; 183 : 444-8. 51. Martin JN, Rienhart BK, May WL, etal. The Spectrum of Severe Preeclampsia : Comparative Analysis by HELLP Syndrome Clasification. AmJ Obstet Gynecol 1999; 180: 1373-84. ©2003 Digitized by USU digital library 40