Model Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau Sebagai

advertisement
I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Di berbagai kota di Indonesia, baik kota besar maupun kota kecil dan
sekitarnya pembangunan fisik berlangsung dengan pesat. Hal ini di dorong oleh
adanya pertumbuhan penduduk dan aktivitas ekonomi yang semakin tinggi.
Akibatnya, pemenuhan akan permukiman serta sarana dan prasarana kehidupan
penduduk kota yang layak akan semakin tinggi pula.
Sebagai salah satu kota besar di Indonesia, Jakarta mempunyai jumlah
penduduk yang cukup besar dan sebagai suatu kota harus mampu menyediakan
berbagai sarana dan prasarana penunjang kebutuhan hidup penduduknya. Salah
satu yang harus disediakan adalah kebutuhan akan air bersih. Setiap manusia
pasti membutuhkan air bersih untuk berbagai keperluan, misalnya untuk
minum, mandi mencuci, memasak, dan lain sebagainya.
Laju pertumbuhan penduduk yang tinggi dan keterbatasan lahan yang
dimiliki menyebabkan pertumbuhan pembangunan fisik di Kota Jakarta dilakukan
dengan mengkonversi lahan pertanian, hutan dan ruang terbuka lainnya menjadi
lahan terbangun dengan struktur perkerasan dan bangunan. Hal ini menyebabkan
berkurangnya luasan Ruang Terbuka Hijau (RTH) sehingga ruang resapan air
berkurang,
lingkungan
menjadi
gersang
dan
panas
serta
hilangnya
keanekaragaman flora dan fauna. Untuk mencegah terjadinya kerusakan
lingkungan lebih lanjut yang diakibatkan oleh pertumbuhan pembangunan maka
diperlukan adanya perlindungan lingkungan, dimana setiap pembangunan yang
tengah berlangsung harus dapat mengedepankan keterbatasan dan kelebihankelebihan yang dimiliki oleh lingkungan itu sendiri
Pada saat ini, Jakarta lebih banyak kehilangan air bila dibandingkan
beberapa puluh tahun yang lalu. Hal ini disebabkan karena telah
berkurangnya ruang terbuka hijau sebagai tempat meresapnya air ke dalam
tanah. Banyak ruang terbuka hijau yang telah diubah menjadi ruang-ruang
terbangun, yang tujuannya juga untuk memenuhi kebutuhan sosial ekonomi
penduduk kota itu sendiri.
2
Ketidakseimbangan
antara
penambangan
air
tanah
dengan
pengembaliannya, telah menimbulkan berbagai masalah, terutama di kota-kota
besar, termasuk kota Jakarta. Ketidakseimbangan ini muncul akibat terlalu
banyaknya pengambilan air dari dalam tanah, sementara pengembaliannya ke
dalam tanah semakin berkurang. Hal ini terjadi akibat semakin berkurangnya
permukaan tanah yang mampu meresapkan air (hujan) khususnya akibat
bertambahnya luas permukaan yang dikeraskan dalam bentuk bangunanbangunan, jalan, tempat parkir dsb, sehingga semakin banyaknya air hujan yang
terbuang ke laut/danau melalui saluran drainase buatan.
Dalam banyak hal, bertambahnya luas pengerasan ini tidak disertai dengan
suatu usaha untuk menambah masuknya air ke dalam tanah dengan cara lain
(kompensasi) dengan jumlah yang sama dengan yang seharusnya terjadi bila
pengerasan-pengerasan tersebut tidak ada. Banyak areal pertanian dan hutan yang
sebelumnya berperan sebagai tempat meresapnya air (hujan) ke dalam tanah
secara alami telah berubah fungsi akibat adanya bangunan diatasnya, atau akibat
berkurangnya vegetasi diatasnya. Berkurangnya supply air tanah akan
menyebabkan penurunan permukaan air tanah yang sangat menyolok. Dampak
negatif dari fenomena ini sangat luas, selain semakin mahalnya persediaan air
tanah sebagai sumber air bersih juga menyebabkan intrusi air laut sampai jauh ke
daratan, seperti saat ini dijumpai di daerah Jakarta Utara.
Salah satu kebutuhan fisiologis manusia adalah air. Kelancaran
hidup manusia pasti akan terganggu bila tidak tersedia air, dan pada tahap
terakhir, tak ada lagi kehidupan ini. Keberadaan air di muka bumi tergantung
pada siklus air di daerah tersebut. Jumlah air di permukaan bumi selalu tetap,
namun persebarannya tergantung pada pola penggunaan lahan di atasnya.
Tanpa disadari masyarakat, perubahan penggunaan lahan tersebut akan
membawa dampak negatif bagi kehidupan beberapa tahun mendatang. Di
utara Jakarta, air tanah telah terintrusi oleh air laut, sehingga menjadi tidak
layak untuk dikonsumsi. Tidak hanya terjadi di daerah utara Jakarta saja,
namun juga terjadi di sejumlah besar tempat di Jakarta. Semakin banyaknya
ruang terbangun mengakibatkan tempat untuk meresapnya air di saat hujan
3
menjadi berkurang sehingga menimbulkan dampak negatif seperti banjir di
musim hujan dan kurangnya ketersediaan air pada musim kemarau.
Berdasarkan KTT Bumi di Rio de Janeiro tahun 1992 dan Johannesburg
tahun 2002 telah ditetapkan luas RTH ideal kota sehat minimal 30% dari total luas
kota. Standar RTH kota-kota Indonesia yang ditetapkan dalam Inmendagri No 14
Tahun 1988 yaitu 40% sampai 60% dari total wilayah harus dihijaukan. Menurut
Undang-Undang Republik Indonesia No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
pasal 29 ayat 2 menyebutkan proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota
paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas wilayah kota dan diayat 3
disebutkan proporsi ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota paling sedikit
20 (dua puluh) persen dari luas wilayah kota.
Menurut data dari Dinas Pertambangan DKI Jakarta yang dikeluarkan
Satuan Koordinasi Pelaksana (Satkorlak) Penanggulangan Bencana dan
Pengungsi Pemprov DKI Jakarta (2004), hampir seluruh wilayah DKI Jakarta
mengalami kekeringan air tanah dangkal meski dengan tingkat kerawanan yang
berbeda. Dari 267 kelurahan di DKI Jakarta, 24 kelurahan tercatat mengalami
kekeringan air tanah dangkal kategori sangat kritis, 110 kelurahan tergolong kritis,
39 kelurahan sangat rawan, 30 kelurahan dalam kategori rawan, dan 53 kelurahan
masuk kategori waspada.
Mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI sampai tahun
2010, kebutuhan ruang terbuka hijau (RTH) yang ideal terhadap populasi
penduduk Jakarta masih jauh dari harapan. Kondisi RTH tahun 2001 seluas
6.191,86 hektar atau masih 9,06 % dari luas DKI Jakarta yaitu 66.152 ha dan
sasaran RTH tahun 2010 direncanakan sebesar 9.544,81 ha atau 13,94 % dengan
rencana ideal seluas 21.625 ha.
Bertitik tolak dari kebutuhan lahan minimal yang harus disediakan dengan
prediksi jumlah penduduk Jakarta tahun 2010 sebesar 12,5 juta, kebutuhan untuk
RTH Kota Pelayanan Umum atau lahan hijau 2,3 meter persegi (m2) per jiwa
maka kebutuhan lahan untuk RTH Kota Pelayanan Umum sedikitnya 2.875 ha.
Kebutuhan RTH sebagai penyangga lingkungan kota (ruang hijau) adalah 15 m2
per jiwa, sehingga kebutuhan RTH sebagai penyangga lingkungan kota adalah
18.750 ha. Dengan demikian kebutuhan lahan untuk RTH pada tahun 2010 adalah
4
18.750 ha termasuk diantaranya lahan hijau 2.875 ha dan maksimal 21.625 ha
(32,68 %) meliputi ruang hijau dan lahan hijau. Kenyataan di lapangan, pada
tahun 2006 apa yang disebut taman itu sudah banyak yang berubah bentuk
menjadi stasiun pompa bensin, pos polisi atau bangunan lain.
Pengkajian dan penelitian mengenai kebutuhan luas dan lokasi RTH
sebagai daerah resapan di wilayah DKI Jakarta untuk memenuhi kebutuhan air
tanah domestik merupakan suatu hal yang sangat penting, karena hal tersebut
dapat memberikan kontribusi pada usaha pengelolaan RTH sebagai daerah
resapan di wilayah DKI Jakarta.
1.2
Perumusan Masalah
Dari latar belakang yang terkait dengan pengelolaan Ruang Terbuka Hijau
sebagai daerah resapan di Wilayah DKI Jakarta dapat dirumuskan beberapa
permasalahan penelitian sebagai berikut:
1. Laju pertumbuhan penduduk yang tinggi dan keterbatasan lahan yang
dimiliki kota menyebabkan pertumbuhan pembangunan di Kota Jakarta
dilakukan dengan mengkonversi lahan pertanian, lahan hutan dan lahan
terbuka lainnya menjadi lahan terbangun.
2. Semakin luasnya permukaan tanah yang tertutup oleh bangunan dan
berkurangnya luas lahan bervegetasi atau RTH menyebabkan fungsi RTH
sebagai daerah resapan air menjadi berkurang, sehingga memudahkan
terjadinya genangan air dan mengakibatkan berkurangnya air tanah.
3. Ketidakseimbangan
antara
penambangan
air
tanah
dengan
pengembaliannya, telah menimbulkan berbagai masalah diantaranya
kekeringan dan kesulitan mendapatkan air tanah terutama di musim
kemarau.
1.3
Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah tersebut, maka
terdapat beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut :
5
1. Berapa besar luas Ruang Terbuka Hijau yang dibutuhkan wilayah DKI
Jakarta yang berfungsi sebagai daerah resapan untuk memenuhi kebutuhan
air tanah domestik?
2. Dimana alokasi RTH yang potensial sebagai daerah resapan di wilayah
DKI Jakarta?
3. Skenario seperti apa yang diperlukan dalam pengelolaan Ruang Terbuka
Hijau sebagai daerah resapan air di wilayah DKI Jakarta untuk
memaksimumkan resapan air
4. Bagaimana arahan kebijakan yang mungkin dilakukan dalam pengelolaan
Ruang Terbuka Hijau sebagai daerah resapan?
1.4
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah membangun Model Pengelolaan Ruang Terbuka
Hijau sebagai Daerah Resapan dalam rangka peningkatan ketersediaan air di
wilayah DKI Jakarta. Tujuan antara adalah :
1. Mengkaji keberadaan Ruang Terbuka Hijau yang ada dan kemampuannya
dalam memenuhi kebutuhan air tanah domestik.
2. Menyusun alokasi Ruang Terbuka Hijau potensial sebagai daerah resapan
di Wilayah DKI Jakarta
3. Menyusun Model Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau sebagai Daerah
Resapan di wilayah DKI Jakarta.
4. Menyusun skenario kecukupan air tanah yang diperlukan dalam
pengelolaan Ruang Terbuka Hijau sebagai daerah resapan air di wilayah
DKI Jakarta untuk memaksimumkan resapan air.
5. Merumuskan arahan kebijakan pengelolaan Ruang Terbuka Hijau sebagai
daerah resapan air di wilayah DKI Jakarta.
1.5
Manfaat Penelitian
1. Sebagai masukan dalam proses pengambilan kebijakan di bidang
pengelolaan Ruang Terbuka Hijau dalam kaitannya dengan pemanfaatan
daerah resapan, seperti menyusun Perda yang terkait dengan pengelolaan
6
Ruang Terbuka Hijau dan membuat program tindak pengelolaan Ruang
Terbuka Hijau yang lebih baik
2. Sebagai masukan dalam perbaikan rencana tata ruang kota yang terinci
beserta proses revisi lima tahunannya, misalnya rencana tata ruang bagian
wilayah kota dan rencana teknis beberapa kawasan prioritas yang potensial
sebagai daerah resapan.
3. Sebagai
dasar
bagi
penelitian
mengembangkan kriteria daya
lebih
lanjut,
misalnya
dalam
dukung lahan untuk perkotaan,
pengembangan Ruang Terbuka Hijau dan alokasi Ruang Terbuka Hijau
sebagai daerah resapan untuk kota-kota lainnya.
1.6
Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran penelitian didasarkan atas kenyataan makin
berkurangnya luasan Ruang Terbuka Hijau dalam kaitannya dengan daerah
resapan di wilayah DKI Jakarta., yang menyebabkan makin berkurangnya air
yang masuk ke dalam tanah. Pengambilan air yang berlebihan oleh manusia dan
tidak adanya upaya mengembalikan ke dalam tanah mengakibatkan berkurangnya
air tanah. Hal tersebut menyebabkan penurunan muka air tanah, yang pada
akhirnya menurunkan ketersediaan air tanah. Agar muka air tanah relatif stabil
dan meningkat, salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan Pengelolaan
Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebagai Daerah Resapan yang dapat mengkonservasi
air.
Untuk dapat mengelola Ruang Terbuka Hijau sebagai daerah resapan yang
dapat meningkatkan ketersediaan air, ada beberapa faktor yang harus diperhatikan
yaitu faktor yang mempengaruhi luas daerah resapan yang dibutuhkan diantaranya
adalah iklim yaitu curah hujan yang mengindikasi jumlah air yang turun ke
permukaan bumi. Jenis tanah, vegetasi dan tata guna lahan merupakan faktor yang
memberikan pengaruh terhadap jumlah air yang dapat meresap ke dalam tanah.
Selain itu, masalah konservasi air juga perlu diperhatikan dalam mengelola RTH
sebagai daerah resapan. Kerangka pemikiran model pengelolaan Ruang Terbuka
Hijau sebagai daerah resapan di wilayah DKI Jakarta tertera pada Gambar 1.
7
Lahan Ruang Terbuka Hijau Berkurang
Luas Daerah Resapan Air Berkurang
Air Tanah berkurang
Semakin berkurang
karena kurangnya tempat
meresap ke dalam tanah
Semakin berkurang
karena pengambilan
berlebihan oleh manusia
Ketersediaan Air Tanah berkurang
Peta
Sebaran/Zona
Daerah
Resapan Air
Potensial
Model Pengelolaan Ruang Terbuka
Hijau Sebagai Daerah Resapan
Luas Kebutuhan RTH sebagai Daerah Resapan untuk memenuhi Air
Tanah Domestik
Iklim
Curah hujan
Gambar 1.
1.7
Tanah
Tanah berstruktur
baik untuk
meresapkan dan
menyimpan air
(Aquifer)
Potensi lain
PAM,
Danau atau situ
Tata Guna
Lahan
Rasio ruang
terbuka > ruang
terbangun,
Kualitas ruang
terbuka
Kepadatan
Penduduk
Kebutuhan Air
Masyarakat
1. Kecepatan
pengisian air
tanah > konsumsi manusia
2. Pasokan PAM
& sumur resapan
Kerangka Pemikiran Model Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau Sebagai
Daerah Resapan di Wilayah DKI Jakarta
Kebaruan (novelty) Penelitian
Kebaruan (novelty) dari penelitian Model Pengelolaan Ruang Terbuka
Hijau sebagai Daerah Resapan dalam rangka pemenuhan ketersediaan air di
wilayah DKI Jakarta dapat dilihat dari pendekatan penelitian dan hasil sebagai
berikut :
8
1. Penelitian ini merupakan penelitian yang pertama memperhitungkan RTH
sebagai daerah resapan dalam rangka peningkatan ketersediaan air untuk
memenuhi kebutuhan air tanah domestik di wilayah DKI Jakarta.
2. Penelitian ini merupakan penelitian yang pertama kali membangun Model
Dinamik Spasial Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau sebagai Daerah
Resapan dalam rangka pemenuhan ketersediaan air dikaitkan dengan
analisis model spasial alokasi RTH potensial sebagai daerah resapan.
3. Out put yang dihasilkan berupa model dinamik spasial pengelolaan ruang
terbuka hijau sebagai daerah resapan dengan mempertimbangkan model
spasial alokasi RTH potensial sebagai daerah resapan digunakan untuk
menyusun skenario dan merumuskan arahan kebijakan pengelolaan Ruang
Terbuka Hijau sebagai daerah resapan di wilayah DKI Jakarta.
Download