BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 LOKASI PENGAMBILAN BAHAN LUMPUR Sudah satu tahun lebih sejak 29 Mei 2006, lautan lumpur panas telah menyembur di daerah Porong Sidoarjo, Jawa Timur, 35 Km di selatan kota kedua terbesar Indonesia, Surabaya. Awal terjadinya erupsi lumpur berada pada sumur eksplorasi gas Banajr Panji-1 yang telah mencapai pengeboran pada kedalaman 3 Km dari permukaan tanah. Lumpur awalnya mengalir lewat celah pengeboran sampai 1,8 Km dimana semen dimasukan untuk menghentikan aliran tersebut. Hal ini menyebabkan lumpur yang tertekan mencari celah lain untuk sampai ke permukaan yang akhirnya muncul di sekitar 180 m dari posisi sumur eksplorasi tersebut. Erupsi lumpur ini bukan hanya terus berlanjut tetapi debitnya pun meningkat dari pada awalnya 5000 m3/hari sampai 150.000 m3/hari yang dilaporkan pada Januari 2007. Diliahat dari kejadian ini dan berdasarkan data-data geologi, hal ini adalah peristiwa geologis yang disebut ”Mud Volcano’ yang kemungkinan besar sulit untuk dihentikan dan bisa berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama hingga puluhan tahun. Bahan lumpur untuk sampel uji diambil di bagian utara dari kolam lumpur di Porong Sidoarjo Jawa Timur yaitu daerah yang terdekat dengan pusat semburan lumpur yang terbesar. Hal ini dimaksudkan agar sampel yang terambil belum terkontaminasi dengan zat atau mineral ikutan lain yang ada dalam kolam penampungan atau pond, sehingga sampel yang terambil merupakan lumpur yang masih baru. 6 Gambar 2.1 : Peta lokasi pengambilan sampel lumpur dari Porong, Sidoarjo Jawa Timur (3) Gambar 2.2 : Citra satelit kolam penampungan luapan lumpur (4). 2.2 FENOMENA GUNUNG LUMPUR Banjar Panji-1 adalah Sumur eksplorasi yang menargetkan gas yang ada pada jaman Oligo-Miocene pada Forasi Karbonat Kujang di Basin Jawa Timur. Pada tanggal 29 Mei 2006 adalah awal terjadinya erupsi gas, air dan lumpur di lokasi pengeboran eksplorasi milik PT. Lapindo Brantas. Semburan lumpur ini kemudian disebut ”LuSi” atau Lumpur ”mud” Sidoarjo yang terjadi pada saat pengeboran disekitar lubang bor Banjar Panji-1. Hal ini diduga dipipicu oleh pengeboran pada daerah ”overpressured porous and permeable limestones” pada kedalaman 2830 meter di bawah permukaan tanah, dan diyakini bahwa lubang bor menyebabkan adanya koneksi tekanan tinggi 7 antara aquifer dan lapisan lumpur dibawah tanah. Jika pada titik ini tidak terlindung oleh steel casing, maka tekanan yang besar akan menyebabkan ”hydarulic fracture” atau keretakan, dan fracture dapat menjalar sampai ke permukaaan dimana fluida dan sediment yang terperangkap dapat ikut terbawa sehingga terjadi erupsi. Gambar 2.3 : Skema tiga dimensi dari proses pembentukan mud volcano (5) Mud volcano atau gunung lumpur adalah gejala alam yang unik dan biasa terjadi di daerah ”compressional tectonic belts” serta slope di bawah laut. Pada basin Jawa Timur, terdapat serangkaian ”East-west Striking half-graben” yang aktif pada masa Paleogene dan aktif kembali terkompresi pada masa awal Miocene sampai sekarang. Pada basin oligo-miocene sampai sekarang dipenuhi material carbonate laut dangkal dan lumpur laut yang beberapa bagian mengalami ”overpressured” dan sebagian kecil dari daerah inilah lokasi dari sumur eksplorasi Banjar Panji-1 Porong Sidoarjo. 8 Skema 3 dimensi proses terjadinya erupsi lumpur pada sumur Banjar Panji-1 dapat dilihat pada gambar berikut : Gambar 2.4 : Skema tiga dimensi proses terjadinya luapan lumpur di Porong, Sidoarjo (6). 9 Menurut sumber data geologi yang ada, dari bulan Maret sampai Mei 2006 proses pengeboran awalnya memasuki (A)lapisan masa Pleistocene yaitu formasi Pucangan dan Kabuh, (B)Pada Mei 2006 kemudian ~1000 M memasuki lapisan ”overpressured muds” dan sebagian ”sand interbeds” yaitu pada lapisan ’upper Kalibeng Formation”, (C)lalu ~1300 M memasuki lapisan ”interbeded sands and muds”,dan (D)akhirnya mata bor menenembus lapisan limestone yang dianggap sebagai Formasi Kujung yang juga overpressured dan kemudian terjadi ”kick” atau influx fluida ke dalam sumur bor, karena tidak ada casing hal ini menyebabkan hydrofracture di lapisan tersebut. Selanjutnya fluida dan drilling mud memasuki sumur bor dan menekan keatas melewati lapisan berpori ( permeable ) dan fracture system. Hal ini terjadi terus-menerus yang menyebabkan terjadinya mixing pada lapisan lumpur dan terdorong keatas hingga mencapai permukaan. Karena banyaknya material yang keluar maka pada lapisan tersebut terjadi pergeseran kebawah sehingga di permukaan tanah terjadi subsidence, dan pada lubang dipermukaan akan terbentuk kaldera. Lumpur panas yang keluar berasal dari suatu lapisan tebal di bawah tanah yang berisi lumpur ”overpressured shale” yang dapat keluar karena adanya perbedaaan tekanan tinggi, lebih tinggi dari pada tekanan hidrostatis. Lapisan itu bersifat labil dan sangat mudah bergerak. Hal ini karena belum matangnya proses sedimentasi pada lapisan tersebut atau lapisan ini belum terkompaksi secara sempurna. Lumpur ini berasal dari sedimentasi batuan vulkanik yang umurnya tidak lebih dari 5 juta tahun yang diendapkan pada laut dangkal. Hal ini diperkuat dengan rasa air yang keluar bersama lumpur tersebut yang terasa asin. Hasil analisa memperlihatkan kandungan air didominasi oleh unsur Natrium (Na), Magnesium (Mg), dan Kalsium (Ca) dengan rata-rata kandungan diatas 8 mg/L dan Klorida (Cl) rata-rata 1.8 mg/L ( ). Pada lapisan batuan yang telah mengalami proses perubahan hidrotermal (panas air) yang berasal dari endapan laut kuno biasanya dijumpai adanya kandungan mineralmineral seperti pirit, albit, kaolinit, dan halit. Mineral-mineral ini kemungkinan terkandung dalam lumpur yang menyembur di Porong ini, dan dapat dilihat hasilnya jika dilakukan pengujian dengan difraksi sinar-x. 10 Tabel 2.1 Kandungan mineral Lumpur dari Mud Volcano (7) Nama Mineral Nama Senyawa Rumus Senyawa Albite Sodium aluminum silicate NaAlSi3O8 Quartz Silicone Oxide SiO2 Orthoclas Potasium sodium aluminum silicate (Na,K) (Al Si3 O8) Kaolinite Aluminum hydroxide silicate Potassium calcium magnesium sufate hydrate Al2Si2O5(OH)4 Halite K2Ca2Mg(SO4)4.2H2O 2.3 Karakteristik Lumpur Sidoarjo Sediment laut dangkal dapat terkumpul pada lempeng oceanic dan bergeser kebawah lempeng continental, jika sediment tersebut terakumulasi secara cepat kebawah lempeng continental maka air dapat terjebak di dalam pori dan hal ini dapat menyebabkan sediment tidak terkompaksi oleh tekanan, sehingga reservoir lumpur terjebak di dalam. Pada kasus di Sidoarjo reservoir lumpur terdapat di sekitar 2.7 Km dibawah permukaan tanah. Analisa kimia mengenai kandungan yang terdapat didalam lumpur asal Sidoarjo ini dapat diperlihatkan melalui tabel 2.2. Pada sampel lumpur yang merupakan campuran antara padatan dan cairan ini kemudian dilkukan pengendapan untuk memisahkan antara air dan padatannya. Air hasil pemisahan ini terasa asin, hal ini menjelaskan adanya kandungan garam didalamnya. Lumpur ini diperkirakan berasal dari lapisan sedimentasi laut dangkal Madura Purba yang terkubur pada zaman Pleistocene pada daerah Upper Kalibeng Formation. Karena lumpur yang keluar merupakan lumpur panas, hasil mixing antara fluidsediment yang ada pada lapisan ini kemungkinan besar didaerah tersebut juga berlangsung aktivitas geotermal yang memiliki temperatur tinggi sehingga erupsi lumpur tersebut memiliki temperatu sekitar 60 0C dan mengeluarkan gas hidrogen sulfida yang bersifat asam. Hasil analisa XRD untuk sampel lumpur memperlihatkan adanya keunikan pada karakteristiknya yaitu terdapatnya mineral albit. 11 Mineral albit merupakan mineral silikat yang terbentuk dari proses altreasi pada lingkungan yang asam yang berasal dari mineral jenis feldspar dengan proses yang disebut albitisasi baik pada temperatur tinggi maupun rendah. Adanya mineral ini menunjukan bahwa lumpur ini berasal dari proses sedimentasi pada lautan dangkal. Sedangkan pada lapisan lempung biasa terdapat kandungan Kaolonit, Montmorillonit, dan Illit. Perdebatan terjadi apakah lumpur tersebut aman untuk dialirkan kelaut. Menurut para pakar, lumpur ini berasal dari laut maka tidak ada salahnya jika kembali dialirkan ke laut. Dari hasil komposisi kimia dari lumpur juga dapat memperlihatkan bahwa kandungan unsur yang terdapat dalam lumpur rata-rata memilki ambang batas standar yang diperbolehkan untuk dibuang ke laut. Namun mekanismenya harus ditentukan secara seksama. Tabel 2.1 Karakteristik Kimiawi Air Lumpur Sidoarjo (8) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 Parameter Bau Temperatur pH Besi (Fe) Mangan (Mn) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Fluorida (F) Chromium (Cr) Cadmium (Cd) Timbal (Pb) Cobalt (Co) Nikel (Ni) Sianida (CN) Belerang (S) Nitrat Nitrit Amoniak bebas Klorin (Cl) Phenol Oil and grease Satuan Standar C 40 6.5 - 9 15 5 3 15 20 1 0.1 1 0.6 0.5 0.5 0.1 30 3 5 0.04 1 15 mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L Hasil Minimum bau 25 6.81 0.36 0 0.015 0.084 0 0.0027 0.0003 0.01 0.34 0.08 < 0.01 0.01 < 0.1 0.003 < 0.04 0 0.023 3 Lab Maksimum bau 31 7.48 6.99 3.6 0.08 0.145 0.63 0.23 0.001 0.31 0.73 0.62 0.04 0.1 1.32 0.02 42.73 0.02 17.25 35 12 2.4 PROSES PEMBAKARAN BAHAN KERAMIK Keramik adalah bahan padat anorganik non logam yang dibakar pada suhu tinggi. Bahan keramik merupakan bahan dasar penyusun kerak bumi seperti SiO2, Al2O3, CaO, MgO, K2O, Na2O dan sebaginya yang tersedia di alam. Beberapa produk keramik diantaranya adalah gerabah, porselan, gelas, semen, bata dan refrraktori. Produk keramik dapat diproduksi dalam berbagai bentuk ukuran, komposisi bahan, temperatur pembakaran dan bermacam-macam bentuk produk. Beberapa proses yang dilakukan untuk pembuatan keramik yaitu: penyiapan bahan mentah, proses pembentukan, dan proses pembakaran. Proses pembakaran terdiri dari beberapa tahapan yaitu: Reaksi pendahuluan menuju sintering, termasuk didalamnya habis terbakarnya bahan pengikat, sintering, dan pendinginan termasuk didalamnya annealing secara thermal dan kimia. Sintering adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kondisi produk selama pembakaran. Kondisi ini menunjukkan bahwa dalam produk, partikel-partikel telah saling bergabung, bersama-sama membentuk agregat yang lebih kuat. Istilah sintering sering diinterpretasikan untuk menyatakan telah terjadinya penyusutan dan densifikasi. Temperatur sintering produk umumnya tidak melebihi 1/2 sampai 2/3 temperatur leleh namun cukup untuk mendifusi atom dalam keadaan padat. Sintering terdiri dari tiga tahap yaitu : 1. Tahap awal, memiliki ciri : • Bentuk pori membulat • Pembentukan leher di titik kontak antar partikel • Densitas relatif berkisar 0.5 – 0.6 densitas teoritis 2. Tahap menengah, memiliki ciri : • Ukuran leher bertambah • Jumlah porositas berkurang • Jarak antar partikel mengecil • Terbentuk saluran pori berbentuk pipa • Densitas relatif mencapai 0.8 -0.9 densitas teoritis 13 3. Tahap akhir, memiliki ciri : • Hubungan antar pori terputus • Terbentuk pori yang terisolasi di batas partikel • Ukuran butir meningkat Gambar 2.5: Perubahan geometri partikel bola selama sintering, (a) Sebelum berlangsung, (b) Tahap awal, (c) Tahap antara, (d) Tahap akhir, (e) Proses selesai ( ). Tahap awal sintering sangat berpengaruh terhadap penyusutan benda uji. Pembentukan dan pertumbuhan leher terjadi melalu beberapa mekanisme perpindahan massa, diantarnya : 1. Evaporasi kondensasi 2. Difusi kisi pada permukaan 3. Difusi permukaan 4. Difusi batas butir 5. Difusi kisi pada batas butir 14 Gamabar 2.6 Mekanisme perpindahan massa pada sintering : (1) Evaporasi kondensasi; (2) Difusi kisi pada permukaan; (3) Difusi permukaan; (4) Difusi batas butir; (5) Difusi kisi pada batas butir Mekanisme 1, 2, dan 3 dikenal sebagai mekanisme adhesi karena hanya menyebabkan perpindahan massa dari permukaan menuju leher tanpa mengalami penyusutan permukaan partikel. Sedangkan mekanisme 4 dan 5 dikenal sebagai densifikasi karena menyebabkan penyusutan produk sinter. Gambar 2.7 : Skematik geometri partikel bola yang mengalami perpindahan massa( ). Berdasarkan pengetahuan bahwa pembakaran pada suhu tertentu terhadap suatu material akan menyebabkan perubahan sifat fisik mekanik dan mineraloginya, maka dalam penelitian ini akan dicoba mencampurkan lumpur tersebut dengan bahan lain agar sesuai untuk bahan pembuatan batubata misalnya, ditambahkan clay atau pasir, yang kemudian dibakar pada suhu tertentu untuk melihat perubahan sifat fisik dan mekaniknya. 15 Dalam pembuatan batubata ataupun bahan keramik lainnya, ada tiga faktor bahan baku yang berperan dalam prosesnya, faktor-faktor tersebut adalah : 1. Bahan pengikat 2. Bahan pengisi 3. Bahan pelebur 1) Bahan pengikat, harus memiliki sifat plastis dan fungsinya pada saat sebelum dibakar adalah kemudahan untuk dibentuk dan kekuatan kering. Sedangkan apabila telah dibakar akan memberikan warna yang spesifik dan kekutan bakar yang tinggi. Contohnya ball clay. 2) Bahan pengisi, sifatnya harus memiliki susut yang rendah dan titik lebur yang tinggi. Sebelum dibakar berfungsi sebagai kerangka/agregat yang mencegah perubahan bentuk dan mengatur susut kering. Setelah dibakar dapat sebagai kerangka/agregat dan mengurangi susut bakar, tetapi bahan pengisi ini dapat memperbesar porositas. Comtohnya silika 3) Bahan pelebur, biasanya memiliki susut lebur rendah. Sebelum pembakaran berfungsi sebagai kerangka/agregat, mengurangi susut kering dan mencegah perubahan bentuk. Setelah pembakaran bahan pelebur dapat membentuk massa gelas, mengikat butiran agregat satu dengan lain sehingga menjadi kompak, mengurangi porositas dan menambah susut bakar. Contohnya feldspar. Pengujian sifat fisik dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat-sifat fisik dari batubata yang dihasilkan apakah dapat digolongkan ke dalam klasifikasi batubata sebagai bahan konstruksi yang memiliki sifat fisik cukup baik atau tidak. Karena pembakaran produk yang dihasilkan berasal dari lumpur asal Sidoarjo ini akan diterapkan untuk pembuatan batubata, maka acuan yang dipakai adalah Standar Nasional Indonesia dalam pembuatan batubata dan sifat-sifat yang perlu diperhatikan dalam pembuatan batubata adalah : 1. Penyusutan 16 2. Densifikasi 3. Waktu pembakaran 4. Kuat lentur 2.4.1 Penyusutan Linear Penyusutan linear atau penyusutan panjang adalah proses berkurangnya ukuran panjang dari suatu benda uji dari tanah-tanah dan masa-masa keramik, baik dalam keadaan kering maupun dalam keadaan sesudah dibakar yang dibandingkan terhadap waktu pembakaran. Penyusutan dalam keramik dibedakan antara susut kering dan susut bakar. Susut kering adalah pengurangan panjang suatu benda uji dari keadaan plastis ke keadaan kering udara, yang diperhitungkan dari keadaan plastis, atau berkurangnya ukuran benda uji setelah dikeringkan terhadap ukuran benda uji pada waktu masih basah atau setelah dicetak (dalam %). Susut kering sebaiknya tidak lebih dari 10% (menurut manuskrip Standard SNI,1983) Susut bakar adalah berkurangnya ukuran benda uji setelah dibakar terhadap ukuran benda uji setelah kering (dalam %). Biasanya susut kering dijumlah dengan susut bakar, hasil penjumlahan tersebut sering disebut susut jumlah. ∆l x100% lo W − W2 Susut Bakar = 1 x100% W1 Penyusutan = dimana : ∆l adalah perubahan panjang benda uji (mm) lo adalah panjang awal (mm) sedangkan untuk penyusutan linear dihitung dengan menggunakan rumus : t2 ⎡ ∆L ⎤ ⎢⎣ Lo ⎥⎦ = Z (T ). Am n 2.4.2 Susut Bakar Pengukuran ini dilakukan untuk mengetahui seberapa berat benda uji pada awal sebelum pembakaran dengan berat setelah pembakaran pada suhu tertentu. Hal ini dimaksudkan supaya dapat diketahui pengurangan berat benda uji seiring dengan penambahan atau pengurangan bahan bakunya dari berbagai suhu pembakaran. 17 Cara pengukuran densifikasi adalah benda uji setelah kering, dibakar, kemudian ditimbang dan diukur panjang, lebar serta tingginya. Volum benda uji dapat dihitung dari perkalian panjang, lebar, dan tinggi. 2.4.3 Kuat Lentur Kuat lentur adalah hasil bagi momen lentur yang terbesar dan momentum perlawanan yang terjadi pada beban lentur maksimum atau pada patahnya benda uji. Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar benda uji dapat menahan beban (beban pada saat patahnya benda uji). Pengujian dilakukan dengan alat khusus dimana benda uji ditempatkan pada dua buah batang penumpu berbentuk silinder atau persegi panjang dan berjarak sumbu 10 cm kemudian diberi beban secara tegak lurus dengan kecepatan tertentu sampai benda uji patah. Beban maksimum yang mematahkan benda uji diberi symbol G. adapun kuat lentur benda uji dapat dihitung dengan rumus: K = 3 .G . P 2 . L .t 2 Gambar 2.8 : Skema pengujian kuat lentur (8) Dimana : K = kuat lentur (kg/cm2) G = beban yang mematahkan benda uji (kg) P = Jarak antara kedua titik penumpu (cm) L = Lebar benda uji (cm) t = Tebal benda uji (cm) 18