3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kegiatan Penambangan Batubara Menurut UU No. 4 Tahun 2009 yang dimaksud pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan, dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, pengangkutan dan konstruksi, penjualan, penambangan, pengolahan serta kegiatan dan pemurnian, pascatambang. Sedangkan penambangan adalah bagian kegiatan usaha pertambangan untuk memproduksi mineral dan/ atau batubara. Metode penambangan batubara sangat tergantung pada keadaan geologi daerah (lapisan batuan penutup, batuan dasar batubara, dan struktur geologi), keadaan lapisan batubara, dan bentuk deposit. Pada dasarnya dikenal dua metode penambangan batubara yaitu metode tambang bawah tanah dan metode tambang terbuka. Metode tambang bawah tanah dilakukan dengan jalan membuat lubang menuju ke lapisan batubara yang akan ditambang dan membuat lubang bukaan pada lapisan batubara. Metode tambang terbuka dilakukan dengan mengupas material penutup batubara (Sukandarrumidi, 2010). Kegiatan penambangan batubara dapat berdampak pada rusaknya ekosistem. Ekosistem yang rusak diartikan sebagai suatu ekosistem yang tidak dapat lagi menjalankan fungsinya secara optimal, seperti perlindungan tanah, tata air, pengatur cuaca, dan fungsi-fungsi lainnya dalam mengatur perlindungan alam lingkungan (Suprapto, 2010). Dalam prakteknya, penambangan terbuka dilakukan dalam beberapa tahap penambangan, seperti land clearing, pembongkaran dan pemindahan overburden, pembersihan dan penambangan batubara, pengangkutan batubara, penghancuran batubara menjadi ukuran yang dikehendaki, dan reklamasi (Anonim, 2008). 2.2. Reklamasi Lahan Bekas Tambang Reklamasi adalah kegiatan yang bertujuan rnemperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan agar dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai peruntukannya (Kepmen ESDM No. 18 4 Tahun 2008). Tujuan jangka pendek reklamasi adalah membentuk bentang alam (landscape) yang stabil terhadap erosi. Selain itu, reklamasi juga bertujuan untuk mengembalikan lokasi tambang ke kondisi yang memungkinkan untuk digunakan sebagai lahan produktif. Bentuk lahan produktif yang akan dicapai menyesuaikan dengan tataguna lahan pascatambang. Penentuan tataguna lahan pascatambang sangat tergantung pada berbagai faktor, antara lain potensi ekologis lokasi tambang, dan keinginan masyarakat dan pemerintah (Suprapto, 2010). Reklamasi pada umumnya dilakukan dengan metode back filling, dimana diusahakan semaksimal mungkin untuk melakukan penutupan kembali lubang bekas tambang dengan overburden dan bahan tanah hasil penggalian sebelumnya. Bahan tanah ditimbun pada areal yang akan dilakukan reklamasi setelah penutupan dengan overburden dengan susunan bahan induk di bagian bawah kemudian sub soil dan top soil diletakkan paling atas dengan ketebalan ± 1,25 m. Kompos ditambahkan pada saat lahan akan ditanami tanaman penutup tanah (cover crop). Setelah kondisi permukaan tanah sudah tertutup dengan baik, selanjutnya dilakukan penanaman dengan jenis sengon, buah-buahan serta tanaman kehutanan lainnya. Jenis pohon yang akan ditanam dikoordinasikan dengan instansi terkait dalam pelaksanaannya. Secara keseluruhan, reklamasi meliputi pengamanan lahan bekas tambang, pengaturan bentuk lahan (land scaping), pengaturan/ penempatan bahan tambang nilai ekonomis rendah (low grade), pengelolaan top soil, pengendalian erosi, dan revegetasi (Anonim, 2008). 2.3. Kondisi Umum Lahan PT Berau Coal Site Binungan Sebelum Kegiatan Penambangan Kondisi umum lahan PT Berau Coal sebelum kegiatan penambangan yang disajikan berikut ini diambil dari Laporan Analisis Dampak Lingkungan PT Berau Coal Site Binungan Tahun 2008. 2.3.1. Lokasi PT BERAU COAL Secara geografis, wilayah kontrak kerja PT Berau Coal berada pada posisi 0 117 07’ 44,52” BT - 1170 38’ 26,46” BT dan 010 52’ 26,74” LU - 020 25’ 09,78” LU. PT Berau Coal memiliki perjanjian kontrak karya dengan pemerintah Indonesia, dimana konsesi tambang batubara terdapat pada daerah seluas 5 121.559,10 ha meliputi hampir seluruh wilayah Kabupaten Berau di provinsi Kalimantan Timur. PT. Berau Coal saat ini memiliki tiga lokasi karya dan salah satu lokasi yang menjadi daerah penelitian adalah Binungan Mine Operation, berproduksi sejak tahun 1995. Site Binungan terletak pada koordinat 1020 35’ 02” - 1020 37’ 03” BT dan 030 53’ 35” LU - 030 55’ 37” LU. Daerah Binungan secara administratif terletak di daerah Tanjung Redeb, Kecamatan Pegat Bukur, Kabupaten Dati II Berau, Provinsi Kalimantan Timur. Site Binungan Mine Operation (BMO) Gambar 1. Wilayah Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) PT Berau Coal 2.3.2. Iklim dan Curah Hujan Berdasarkan data iklim daerah Berau yang bersumber dari stasiun BMG Kalimarau selama 10 tahun (periode 1995 sampai 2005), lokasi PT Berau Coal Site Binungan termasuk kedalam tipe iklim A atau sangat basah (Schmidt dan Ferguson, 1951) atau tipe Af (Koppen) dengan nilai Q = 0.00 (tanpa bulan kering, yaitu bulan dengan jumlah curah hujan kurang dari 60 mm). Jumlah curah hujan dan hari hujan rata-rata per tahun masing-masing sebesar 2216.18 mm dan 215 hari. Jumlah curah hujan terbesar terjadi pada bulan Desember yaitu sebesar 231.71 mm dan terendah terjadi pada bulan Juli yaitu sebesar 127.82 mm. 6 2.3.3. Kondisi Geologi Daerah Binungan termasuk dari cekungan Berau yang merupakan anak cekungan (sub basin) dari cekungan Tarakan. Cekungan Berau, didominasi oleh batuan sedimen klastik halus sampai kasar dengan beberapa endapan karbonat. Lingkungan pengendapan dimulai dari proses pengangkatan (transgresi) pada zaman Eosen sampai Miosen Awal. Pada zaman Miosen Tengah terjadi penurunan (regresi) dan dilanjutkan dengan pengendapan progradasi ke arah timur dan membentuk endapan delta yang menutupi Prodelta dan Bathyal. Cekungan ini mengalami penurunan secara aktif pada zaman Miosen sampai Pliosen. Secara umum, geologi daerah Binungan terbentuk dari bebatuan Formasi Lati. Batuannya berupa sedimen deltaik yang terdiri dari fraksi klastik halus serta lapisan batubara. Data hasil pemboran eksplorasi menunjukkan dominasi batuan sedimen secara berurutan adalah batulanau (batudebu), batuliat, batupasir, dan batubara. 2.3.4. Fisiografi Lahan Kabupaten Berau merupakan daerah yang memiliki bentuk lahan perbukitan bergelombang lemah dengan elevasi antara 5-100 m di atas permukaan laut. Daerah sekitar Tanjung Redeb merupakan area dataran dengan elevasi antara 5-10 m. Perbukitan terjal terdapat di sebelah selatan yang merupakan perbukitan batu kapur. Daerah Binungan umumnya mempunyai bentuk lahan dataran hingga dataran berbukit kecil (hillocky) dengan punggung paralel yang curam. 2.3.5. Keadaan Tanah Sebelum Kegiatan Penambangan 2.3.5.1 Jenis Tanah Jenis tanah yang terdapat pada areal lahan PT Berau Coal Site Binungan menunjukkan perkembangan yang sedang hingga lanjut, berasal dari batuan sedimen, tersebar dari bentuk lahan dataran hingga perbukitan. Terdapat dua order tanah pada daerah konsesi PT Berau Coal Site Binungan, yaitu Inceptisol dan Ultisol. 7 Tanah Inceptisol berasal dari batuan sedimen, yang mengandung mineral campuran dengan tingkat sementasi batuan lemah. Tanah Inceptisol ini diklasifikasikan kedalam 2 great group yaitu Tropaquepts dan Dystropepts (Soil Survey Staff, 1995). Tanah Ultisol berasal dari batuan sedimen yang mengandung mineral masam dengan tingkat sementasi batuan keras. Tanah Ultisol ini diklasifikasikan kedalam great group tanah Tropudults (Soil Survey Staff, 1995). Berikut diuraikan sifat-sifat tanah di lokasi PT Berau Coal Site Binungan sebelum kegiatan penambangan. 2.3.5.2. Sifat Fisik Tanah Data sifat fisika tanah lokasi PT Berau Coal Site disajikan dalam Tabel Lampiran 1. a. Tekstur Tanah dan Bobot Isi (bulk density) Tekstur tanah lapisan atas (0-20 cm) umumnya lempung liat berpasir (SCL), sedangkan tanah lapisan bawah (20-60 cm) terdiri atas lempung berdebu (SiL), lempung liat berpasir (SCL) hingga liat berlempung (CL). Kandungan liat tanah pada lapisan atas berkisar 20.71-26.97 %, sedangkan pada lapisan bawah berkisar 21.11-32.42 %. Bobot isi tanah pada lokasi PT Berau Coal Site Binungan berkisar 1.17-1.67 g/cm3 (rata-rata sebesar 1.32 g/cm3). 2.3.5.3. Sifat Kimia Tanah Data sifat kimia tanah lokasi PT Berau Coal Site disajikan dalam Tabel Lampiran 2. a. Reaksi Tanah (pH), Al-dd, dan H-dd Reaksi tanah (pH H2O) lapisan atas (0-20 cm) berkisar dari sangat masam sampai masam (4.09-4.64), dengan rata-rata sebesar 4.34 (sangat masam). Pada lapisan tanah bawah (20-60 cm) juga menunjukkan reaksi sangat masam sampai masam (4.32-4.64) dengan rata-rata sebesar 4.49 (sangat masam). Rata-rata aluminium dan hidrogen dapat tukar pada tanah lapisan atas (020 cm) adalah masing-masing sebesar 2.06 me/100g dan 1.44 me/100g sedangkan pada tanah lapisan bawah (20-60 cm) masing-masing sebesar 2.96 me/100g dan 1.64 me/100g. 8 b. C-organik, N-total, P-tersedia dan K-tersedia Kandungan C-organik tanah lapisan atas (0-20 cm) berkisar 0.65-1.41 % (sangat rendah sampai rendah), dengan rata-rata sebesar 1.02 % (rendah). Kandungan C-organik tanah lapisan bawah (20-60 cm) berkisar 0.34-0.53 % (sangat rendah), dengan rata-rata sebesar 0.44 % (sangat rendah). Kandungan Ntotal tanah lapisan atas berkisar dari 0.05-0.07 % (sangat rendah) dan tanah lapisan bawah berkisar 0.04-0.06 % (sangat rendah). Rata-rata kandungan P dan K tersedia tanah pada lapisan atas masing-masing secara berurutan sebesar 2.96 ppm P2O5 (2.40-3.20 ppm P2O5) dan 59.72 ppm K2O (36.80-111.34 ppm K2O). c. Basa-Basa Dapat Ditukar dan Kapasitas Tukar Kation Rata-rata kandungan Ca-dd tanah lapisan atas (0-20 cm) dan lapisan bawah (20-60 cm) masing-masing sebesar 1.44 me/100g (rendah) dan 1.25 me/100g (rendah). Rata-rata kandungan Mg-dd tanah lapisan atas dan lapisan bawah masing-masing sebesar 0.79 me/100g (rendah) dan 1.20 me/100g (sedang). Sementara itu, rata-rata kandungan K-dd dan Na-dd tanah lapisan atas masingmasing sebesar 0.25 me/100 g (rendah) dan 0.37 me/100g (sedang). Kandungan K-dd dan Na-dd tanah lapisan bawah lebih rendah dibandingkan tanah lapisan atas. Rata-rata total kation basa (TKB) tanah lapisan atas sebesar 2.86 me/100g dan tanah lapisan bawah sebesar 1.99 me/100g. Nilai KTK tanah lapisan atas berkisar 3.75 me/100g (sangat rendah) sampai 14.99 me/100g (rendah), pada tanah lapisan bawah adalah berkisar 4.54 me/100g (sangat rendah) sampai 20.61 me/100g (sedang). d. Kejenuhan Aluminium dan Kejenuhan Basa Kejenuhan aluminium tanah lapisan atas berkisar dari 5.95-37.33 % (rendah sampai tinggi), dengan rata-rata sebesar 23.40 % (tinggi), sedangkan pada tanah lapisan bawah berkisar 4.54-28.82 % (sangat rendah sampai tinggi), dengan rata-rata sebesar 20,60 % (tinggi). KB tanah lapisan atas berkisar dari 7.90 % (sangat rendah) sampai 85.13 % (sangat tinggi). Sedangkan pada tanah lapisan bawah berkisar dari 4.54 % (sangat rendah) sampai 18.34 % (sangat rendah). 9 2.4. Sifat-Sifat Tanah 2.4.1. Sifat Fisika Tanah Tekstur tanah adalah perbandingan relatif fraksi pasir, debu, dan liat dalam massa tanah. Fraksi pasir berukuran 2-0.05 mm, fraksi debu berukuran 0.05-0.002 mm, dan fraksi liat berukuran < 0.002 mm. Tekstur tanah merupakan suatu sifat tanah yang relatif kekal dibandingkan sifat tanah lainnya dan mempunyai hubungan erat dengan sifat-sifat tanah yang lain seperti kapasitas menahan air, porositas, kecepatan infiltrasi serta pergerakan air dan udara dalam tanah (Soedarmo dan Djojoprawiro, 1986). Selain itu, tekstur tanah juga mempengaruhi kapasitas tukar kation tanah (Soepardi, 1983). Bobot isi (Bulk Density) menunjukkan perbandingan antara bobot tanah kering dengan volume tanah termasuk volume pori-pori tanah. Satuan bobot isi biasanya ditunjukkan dalam satuan gram/cm3. Bobot isi pada tanah dengan tekstur halus berkisar antara 1.0-1.3 g/cm3, pada tanah dengan tekstur kasar berkisar antara 1.3-1.8 g/cm3 (Soekardi, 1984), dan pada tanah dengan bahan organik tinggi seperti Andisol sekitar 0.85 g/cm3 (Tan, 1991). Secara umum, tanah-tanah bertekstur halus mempunyai bobot isi lebih rendah daripada tanah bertekstur kasar (Soepardi, 1983). Perkembangan struktur yang lebih baik pada tanah dengan tekstur liat membuat bobot isi pada tanah ini lebih rendah dibandingkan dengan tanah berpasir (Foth dan Turk, 1972). Bobot isi tanah ditentukan oleh struktur, ruang pori, padatan tanah dan kandungan bahan organik (Soepardi, 1983). Bobot isi akan berubah dengan adanya pengelolaan sisa tanaman dan pengolahan tanah. Dengan adanya tanaman penutup atau pupuk hijau akan terjadi perbaikan agregasi yang dapat menurunkan bobot isi tanah (Soekardi, 1984). Menurut Arsyad (2009), kapasitas infiltrasi adalah kemampuan tanah menampung air yang masuk kedalam tanah per satuan waktu yang dinyatakan dalam satuan mm/jam atau cm/jam. Kapasitas infiltrasi merupakan laju infiltrasi maksimum atau potensial. Sifat-sifat tanah yang menentukan kapasitas infiltrasi adalah ukuran pori yang halus, kemantapan pori, kandungan air, dan profil tanah (Arsyad, 2009). Selain itu, vegetasi yang ada juga mempengaruhi besarnya kapasitas infiltrasi 10 tanah (Haridjaja et al., 1990). Hal ini disebabkan aktivitas biota tanah seperti aktivitas akar tanaman dan organisme tanah mempengaruhi pembentukan agregat tanah. Banyaknya perakaran meningkatkan granulasi dan aktivitas mikroorganisme yang pada akhirnya meningkatkan porositas tanah dan kestabilan struktur tanah. Sistem perakaran dan serasah yang dihasilkan dapat membantu menaikkan permeabilitas tanah dan kapasitas infiltrasi (Asdak, 2002). Menurut Soepardi (1983), ukuran pori, distribusi ukuran pori, tortousitas dan kesinambungan pori merupakan faktor penting sebagai penentu pergerakan air dalam tanah. Granulasi pada tanah bertekstur halus akan memperlancar aerasi. Hal ini bukan karena bertambahnya jumlah pori, tetapi karena bertambahnya perbandingan antara jumlah pori makro dengan jumlah pori mikro. Meningkatnya pori makro akan menyebabkan aerasi membaik dan laju infiltrasi meningkat. Kapasitas infiltrasi tanah diklasifikasikan menjadi tujuh kategori seperti tertera pada Tabel 1 (Kohnke, 1968). Tabel 1. Klasifikasi Kapasitas Infiltrasi Tanah Kelas Kategori Infiltrasi Kapasitas Infiltrasi (cm/jam) 1 Sangat lambat <0.1 2 Lambat 0.1 – 0.5 3 Agak lambat 0.5 – 2.0 4 Sedang 2.0 – 6.0 5 Agak Cepat 6.0 – 12.5 6 Cepat 12.5 – 25.0 7 Sangat cepat >25.5 2.4.2. Sifat Kimia Tanah Profil tanah alami memiliki lapisan tanah atas yang mengandung sumber bahan organik serta unsur-unsur hara makro dan mikro esensial bagi pertumbuhan tanaman. Hilangnya lapisan tanah atas (top soil) yang proses pembentukannya memerlukan waktu ratusan tahun dianggap sebagai penyebab utama buruknya tingkat kesuburan tanah pada lahan-lahan bekas pertambangan (Setiadi, 1996). Reaksi tanah (pH) menunjukkan tingkat keasaman atau kebasaan suatu tanah. Nilai pH dipengaruhi oleh kelarutan ion H dalam larutan tanah. Istilah pH 11 didefinisikan negatif dari logaritma konsentrasi ion hidrogen di dalam tanah (Anwar dan Sudadi, 2007). Jika di dalam tanah ditemui konsentrasi ion H+ lebih banyak dari ion OH- maka tanah tersebut bereaksi masam (pH < 7). Jika konsentrasi ion OH- lebih banyak dari ion H+ maka tanah tersebut bereaksi basa (pH > 7). Jika konsentrasi ion H+ sama dengan ion OH- maka tanah tersebut bereaksi netral (pH = 7) (Soepardi, 1983). Terdapat dua jenis reaksi tanah atau kemasaman tanah yaitu kemasaman aktif dan potensial. Kemasaman tanah aktif adalah kemasaman yang disebabkan konsentrasi hidrogen yang terdapat bebas dalam larutan tanah. Kemasaman tanah inilah yang terukur pada pengukuran pH. Reaksi tanah potensial adalah kemasaman yang disebabkan banyaknya kandungan hidrogen dan aluminium dalam kompleks jerapan serta alumunium dalam larutan tanah. Nilai pH dipengaruhi oleh kejenuhan basa, jenis koloid, dan jenis kation terjerap (Soepardi, 1983). Bahan organik tanah adalah senyawa organik dalam tanah yang mencakup bahan organik yang telah mengalami dekomposisi baik sebagian ataupun keseluruhan, produk-produk dekomposisi sebagiannya, bahan organik yang telah mengalami resistensi secara kimia maupun biologi dalam tanah, bahan humik, dan biomassa mikrob tanah diluar bagian tumbuhan dan hewan yang belum/ tidak terlapuk (Anwar dan Sudadi, 2007). Kandungan bahan organik untuk tanah mineral pada umumnya adalah ≤ 5 % dari bobot tanah total dan berkisar ≥ 20% untuk tanah organik (Soepardi,1983). Bahan organik dan mikrob dapat mempengaruhi hubungan keseimbangan dalam tanah. Organisme hidup menggunakan unsur-unsur dari larutan tanah untuk membangun jaringan tubuhnya. Kemudian unsur hara dalam tanah dapat diuraikan kembali dengan dekomposisi bahan organik atau dekomposisi dari organisme yang telah mati (Lindsay, 1979). Perombakan bahan organik oleh mikrob pengurai dapat membebaskan karbon (CO2, CH4, dan C), nitrogen (NH4+, NO2-, dan NO3-), sulfur (S, H2S, SO32-, SO42-), fosfor (H2PO4- dan HPO42-), dan unsur-unsur lainnya seperti K+, Ca2+, Mg2+ dan Na+ (Soepardi, 1983). Nitrogen di dalam tanah berada dalam bentuk anorganik (NH4+, NO2-, NO3-, N2O, NO dan N2) dan dalam bentuk organik (protein, asam amino bebas, 12 dan kompleks lainnya). Sekitar 95 % nitrogen di lapisan atas tanah berada dalam bentuk organik (Tisdale et al., 1985). Oleh karena itu, sebagian besar nitrogen di dalam tanah dihasilkan dari dekomposisi bahan organik (Lindsay, 1979). Mineralisasi nitrogen organik merupakan cara untuk menghasilkan nitrogen inorganik yang bisa dimanfaatkan oleh tanaman. Proses mineralisasi ini terdiri dari tiga langkah yaitu aminisasi, amonifikasi, dan nitrifikasi. Aminisasi dan amonifikasi dilakukan oleh mikroorganisme heterotrof dan nitrifikasi dilakukan oleh bakteri autotrof (Tisdale et al., 1985). Nitrogen di dalam tanah akan digunakan oleh tanaman dan jazad mikro, hilang bersama air drainase (leaching), dan hilang ke atmosfer dalam bentuk gas (Soepardi, 1983). Menurut Bradshaw dan Chadwick (1980), keseimbangan hara tanaman menjadi terganggu akibat kegiatan pertambangan, sementara kelarutan unsurunsur yang meracuni tanaman meningkat dan ketersediaan hara N pada tanah galian tambang pada umumnya sangat rendah, walaupun pada beberapa tempat memiliki jumlah N total yang tinggi. Namun demikian, N tetap tidak cukup tersedia untuk usaha revegetasi. C/N rasio dalam bahan organik yang terdapat dalam top soil biasanya berkisar antara 8:1 dan 15:1, dengan nilai rata-rata 10:1 sampai 12:1. C/N rasio berbeda-beda pada suatu daerah dengan daerah lainnya tergantung iklim daerah tersebut sehingga C/N rasio dari tanah ke tanah lain juga berbeda. Perbedaan ini berkaitan terutama suhu dan curah hujan. C/N rasio mempunyai arti penting bagi tanah, yaitu persaingan yang terjadi jika bahan organik mempunyai C/N rasio yang tinggi dimasukkan ke dalam tanah dan sifat kestabilan nisbah ini dalam tanah. Dengan berlangsungnya pelapukan, karbon dan nitrogen dapat hilang melalui penguapan sedangkan nitrat hilang melalui pencucian atau diserap tanaman. Pada suatu saat kecepatan hilangnya kedua unsur ini akan berbanding lurus (sama). Pada saat ini apapun yang terjadi nisbah karbon dan nitrogen menjadi mantab (Soepardi, 1983). Fosfor dalam tanah terdiri dari fosfor anorganik dan fosfor organik. Fosfor anorganik berupa mono-, di-, dan trikalsium fosfat, senyawa apatit, dan senyawa fosfat yang berikatan dengan besi dan alumunium. Fosfor organik berasal dari fitin, asam nukleat, dan fosfolipid (Tisdale et al., 1985). Fosfor dalam tanah tidak 13 bergerak dan rendah ketersediannya. Hal ini disebabkan fosfor terikat oleh liat, bahan organik serta oksida Fe dan Al pada tanah dengan pH rendah dan oleh Ca dan Mg pada tanah dengan pH tinggi (Tan, 1991). Ketersediaan fosfor dalam tanah ditentukan oleh pH tanah, kelarutan dan adanya mineral yang mengandung besi, alumunium dan mangan, ketersediaan kalsium, jumlah dan tingkat dekomposisi bahan organik, dan kegiatan jazad mikro (Soepardi, 1983). Kandungan kalsium dalam tanah mendekati 1.37 % bobot tanah dan dipengaruhi oleh bahan induk dan curah hujan. Pelapukan lanjut dan curah hujan yang tinggi menyebabkan hilangnya kalsium dari tanah (Lindsay, 1979). Kalsium diperoleh dari pelapukan mineral kalsit, dolomit, anortit, augit, hornblende, biotit, apatit, dan epidotit. Dalam larutan tanah kalsium akan mengalami pencucian, diserap tanaman, dijerap liat, dan mengendap menjadi mineral sekunder. Faktor yang mempengaruhi ketersediaan kalsium yang dapat diserap oleh tanaman adalah total ketersediaan kalsium dalam tanah, pH tanah, kapasitas tukar kation (KTK), tipe koloid tanah, perbandingan jumlah kalsium dengan kation terlarut seperti magnesium. (Tisdale et al., 1985). Kandungan magnesium dalam tanah berkisar 0.5 % bobot tanah (Lindsay, 1979). Magnesium dihasilkan oleh pelapukan mineral primer seperti biotit, dolomit, hornblende, olivin, dan serpentin. Magnesium selalu ditemukan pada mineral liat sekunder klorit, illit, montmorillonit, dan vermikulit. Seperti kalsium, magnesium dalam larutan tanah mengalami pencucian, diserap tanaman, dijerap liat, dan mengendap menjadi mineral sekunder (Tisdale et al., 1985). Ketersediaan magnesium dipengaruhi oleh pH, kejenuhan Mg, perbandingan dengan kation lain terutama Ca dan K serta tipe liat (Jones, 1979). Kandungan kalium dalam tanah rata-rata 0.83 % dari bobot tanah (Lindsay, 1979). Kalium dihasilkan dari pelapukan batuan yang mengandung mineral feldspar, mikan, dan sebagainya. Kalium dalam tanah digolongkan menjadi tiga macam yaitu kalium yang relatif tidak tersedia (felspar, mika, dan sebagainya), kalium lambat tersedia (K tidak dipertukarkan), dan kalium segera tersedia (K dapat dipertukarkan dan K dalam larutan tanah). Ketersediaan kalium 14 di dalam tanah dipengaruhi oleh penambahan kalium dari luar, fiksasi kalium, pencucian, dan organisme hidup pada tanah tersebut (Soepardi, 1983). Kandungan natrium dalam tanah diperkirakan 0.63 % bobot tanah (Lindsay, 1979). Natrium ditemukan di dalam tanah dalam tiga bentuk yaitu bentuk terfiksasi oleh Si yang tidak larut, bentuk yang dapat dipertukarkan pada struktur mineral lain, dan bentuk yang larut di dalam tanah. Pada kebanyakan tanah, sebagian besar natrium berada dalam bentuk silikat. Di daerah semiarid dan arid, natrium berada dalam bentuk silikat sama banyaknya dengan NaCl, NaSO4, dan kadang-kadang sebagai Na2CO3 serta garam terlarut lainnya (Tisdale et al., 1985). Kation-kation yang berbeda dapat mempunyai kemampuan yang berbeda untuk menukar kation yang dijerap. Jumlah yang dijerap sering tidak setara dengan yang ditukarkan. Ion-ion divalen biasanya diikat lebih kuat daripada ionion monovalen sehingga akan di lebih sulit dipertukarkan. Besar kecilnya kapasitas tukar kation (KTK) tanah dipengaruhi oleh reaksi tanah, tekstur atau jumlah liat, jenis mineral liat, bahan organik, pengapuran serta pemupukan (Tan,1991). 2.4.3 Sifat Biologi Tanah Golongan-golongan utama yang menyusun populasi mikrob tanah terdiri dari bakteri (autotrof dan heterotrof), aktinomicetes, fungi, ganggang (algae), dan protozoa (Rao, 1994). Menurut Sutedjo et al. (1996), diantara beberapa faktor yang berpengaruh atas berlimpahnya populasi mikrob dalam tanah, yang paling penting yaitu bahan organik, pH, kelembaban tanah, temperatur tanah, aerasi tanah dan keadaan alami pertumbuhan tanaman. Keadaan berlimpahnya mikrob dan penyebarannya di dalam tanah dan juga komposisi populasi pada tipe-tipe tanah yang berbeda, terutama dipengaruhi oleh penambahan bahan organik. Bakteri merupakan kelompok mikrob dalam tanah yang paling dominan dan mungkin meliputi separuh dari biomassa mikroba dalam tanah. Bakteri terdapat dalam segala macam tipe tanah, tetapi populasinya menurun dengan bertambahnya kedalaman tanah (Rao, 1994). 15 Fungi merupakan mikrobia eukariotik, morfologinya berbentuk benang/ hifa (kumpulan hifanya disebut miselium), termasuk mikroba aerobik dan tergolong heterotrof. Fungi memperbanyak diri dengan cara aseksual dan seksual. Fungi kebanyakan terdapat pada tanah bereaksi masam. Meski demikian, ada juga fungi yang terdapat pada tanah netral atau tanah alkalin. Pemberian pupuk anorganik dapat merubah populasi fungi di dalam tanah. Penambahan bahan organik ke dalam tanah berpengaruh pula terhadap jumlah populasi fungi, karena fungi bersifat heterotrof (Ma’shum et al., 2003). Ma’shum et al. (2003) mengemukakan bahwa faktor lingkungan seperti pH tanah, pupuk anorganik, kandungan bahan organik dan kelembaban tanah merupakan faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan fungi Pengukuran respirasi mikrob tanah merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk menentukan tingkat aktivitas mikrob tanah. Tingkat respirasi yang diukur dari besarnya CO2 yang dikeluarkan merupakan indikator yang baik bagi aktifitas mikrob tanah (Anas, 1989). Menurut Ma’shum et al. (2003), peranan mikrob dalam tanah ditunjukkan dalam aktifitasnya dalam memperbaiki struktur tanah dan ketersediaan hara bagi tanaman. Berkaitan dengan pembentukan struktur remah, mikrob berperan sebagai pembangun agregat tanah yang mantap. Hal ini dikarenakan hifa-hifa dari fungi dapat mengikat antar pertikel-partikel tanah dan zat-zat kimia yang dihasilkan bakteri seperti asamasam organik merupakan bahan perekat partikel tanah (Soepardi, 1983). Dalam kaitannya dengan peningkatan ketersediaan hara, mikrob berfungsi untuk mempercepat dekomposisi bahan organik dan sebagai pemacu tingkat kelarutan senyawa anorganik yang tidak tersedia menjadi bentuk tersedia. 2.5. Penelitian yang Berhubungan dengan Perubahan Sifat-Sifat Tanah Lahan Reklamasi Bekas Tambang Batubara Penelitian yang dilakukan Setyawan et al., (2008) pada lahan revegetasi pasca tambang batubara di PT Bukit Asam menunjukkan bahwa keragaman sifat fisik dan kimia tanah di lahan reklamasi terjadi karena perubahan umur reklamasi dan sifat bahan tanah yang digunakan untuk reklamasi lahan bekas tambang. Stabilitas agregat, laju infiltrasi, dan daur hara (C-organik dan N-total) meningkat, sedang bobot isi tanah menurun seiring dengan peningkatan umur reklamasi (1, 2, 16 dan 7 tahun). Bobot isi tanah menurun menurut kedalaman tanah (0-2 cm, 2-5 cm, dan 5-10 cm) sedangkan pH, salinitas, C organik, N total, dan P tersedia menurut kedalaman tanah. Kondisi lahan reklamasi berumur 7 tahun hampir mendekati keadaan lahan hutan, hanya saja berbeda dalam kualitas tegakan dan komunitas vegetasi yang kurang beragam dibandingkan hutan. Bobot isi menurun secara signifikan dalam kaitannya dengan peningkatan umur lahan reklamasi pada kedalaman 0-5 cm. Bobot isi pada kedalaman ini di lahan alami lebih rendah daripada seluruh lahan reklamasi. Selain itu, kandungan C-organik meningkat di semua kedalaman tanah (0-5 cm dan 5-10 cm) dengan meningkatnya umur lahan reklamasi dan menurun dengan kedalaman tanah. Seperti kandungan C-organik, kandungan N-total di kedua kedalaman tersebut setelah reklamasi meningkat selama 15 tahun pertama dan kemudian berfluktuasi (Sourkove et al. 2005). Hasil penelitian Annisa (2010) yang dilakukan pada lahan reklamasi bekas tambang PT Kaltim Prima Coal menunjukkan bahwa proses reklamasi lahan bekas tambang mempengaruhi kualitas tanah bekas tambang terutama pH, Corganik, dan populasi mikrob. Karakteristik kimia yang didapatkan menunjukkan bahwa nilai pH tanah pada lahan reklamasi (0, 5, 9, dan 13 tahun) dan hutan dikategorikan masam yang berkisar antara 3.5-4.5. Nilai C-organik yang didapat untuk setiap lahan reklamasi dan hutan tergolong tinggi berkisar antara 3-5%, sedangkan nilai N-total yang didapat dari setiap lahan reklamasi berkisar antara 0.1-0.2% dan tergolong rendah. Hasil analisis biologi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pada umumnya di setiap umur reklamasi, populasi total mikrob dan total fungi untuk lapisan tanah 0-20 cm lebih tinggi dibandingkan lapisan 20-40 cm, kecuali pada umur reklamasi 0 tahun. Populasi total mikrob mempengaruhi jumlah CO2 yang dihasilkan.