Pengembangan indeks resiliensi ekosistem dalam

advertisement
1
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perubahan iklim global telah menempatkan terumbu karang berhadapan
dengan sederet gangguan besar yang tidak dapat dihindari. Pemutihan karang
karena suhu air laut yang meningkat diperkirakan akan semakin pendek siklusnya,
dan akan menjadi peristiwa tahunan di kawasan Phuket dan the Great Barrier Reef
(GBR) pada tahun 2030 (Hoegh-Guldberg 1999). Dengan frekuensi pemutihan
karang secepat itu, sebagian besar populasi karang tidak cukup waktu untuk pulih
kembali. Karang yang mampu berevolusi dengan cepat akan segera berhadapan
dengan air laut yang suhunya tinggi dan semakin asam (Kleypas et al. 1999;
Hoegh-Guldberg et al. 2007). Perubahan iklim global yang terjadi sekarang ini
dikhawatirkan akan menjadi peristiwa kepunahan masal atau kiamat yang keenam
di muka bumi (Veron 2010). Peningkatan dan pemeliharaan resiliensi ekosistem
terumbu karang (ecosystem resilience), yaitu kemampuan ekosistem terumbu
karang untuk menghadapi (mengabsorpsi) gangguan dan membangun kembali
sistem yang didominasi karang (Hughes et al. 2007), merupakan satu-satunya
upaya dalam pengelolaan terumbu karang untuk menghadapi gangguan yang
terkait perubahan iklim global (Bellwood et al. 2004; Hoegh-Guldberg et al.
2007; Nystrom et al. 2008). Pengelolaan terumbu karang dapat mengurangi
gangguan insani, sehingga resiliensi terumbu karang dapat ditingkatkan dan dijaga
untuk menghadapi gangguan alami.
Sebagai ekosistem alami, gangguan (disturbance, perturbation) merupakan
bagian dari faktor yang telah membentuk dan meningkatkan ketahanan terumbu
karang, sehingga pengelolaan terumbu karang perlu memahami tanggapan
terumbu karang terhadap gangguan. Secara alami, terumbu karang memiliki
resiliensi yang tinggi terhadap semua gangguan yang ada (Done 1992; Connell
1997), sehingga telah mampu bertahan selama ratusan juta tahun (Grig 1994).
Tetapi dampak negatif kehadiran manusia di bumi dalam dua abad terakhir telah
menyebabkan resiliensi terumbu karang terhadap gangguan yang ada semakin
kecil (Jackson 1997; Jackson et al. 2001). Secara umum gangguan yang berskala
kecil, yang lebih jarang terjadi dan bersifat akut akan lebih mudah diatasi oleh
2
ekosistem. Sebaliknya, gangguan yang skalanya besar, dengan frekuensi kejadian
yang tinggi, atau yang bersifat kronis akan lebih sulit untuk dihadapi oleh
ekosistem terumbu karang (Connell 1997). Jika gangguan insani yang kronis
bersinergi dengan gangguan alami dengan frekuensi dan skala yang besar, maka
dapat menyebabkan ekosistem kehilangan resiliensinya dan mengalami pergantian
fase atau phase shift (sensu Done 1992; Hughes 1994), yaitu terumbu karang yang
secara alami didominasi oleh komunitas karang berubah menjadi didominasi oleh
komunitas makroalgae.
Definisi resiliensi pertama kali dinyatakan oleh Holling (1973) sebagai
ukuran ketahanan sistem dan kemampuannya mengabsorbsi perubahan dan
gangguan dengan tetap menjaga hubungan antar populasi atau antar peubah pada
kondisi yang sama. Holling dan Gunderson (2002) memberikan definisi resiliensi
ekosistem sebagai besarnya gangguan yang dapat diterima sebelum sistem
berubah strukturnya dengan berubahnya variabel dan proses yang mengendalikan
perilakunya. Dengan mengadopsi definisi Holling, Folke et al. (2004)
memberikan definisi umum resiliensi ekosistem sebagai
ukuran besarnya
gangguan yang dapat diterima oleh suatu sistem sebelum terjadi perubahan
menjadi suatu kondisi (kestabilan) baru yang berbeda pengendalian struktur dan
fungsinya. Holing juga membedakan antara resiliensi ekologis dengan resiliensi
rekayasa (engineering). Definisi yang tersebut sebelumnya adalah resiliensi
ekologis. Resiliensi rekayasa merupakan ukuran laju suatu sistem mencapai
keseimbangan setelah gangguan berlalu. Resiliensi rekayasa ini dianggap tidak
tepat untuk ekosistem yang memiliki kondisi keseimbangan yang banyak.
Hughes et al. (2007) memberikan definisi yang khusus untuk resiliensi terumbu
karang, yaitu kemampuan terumbu karang untuk menghadapi (mengabsorpsi)
gangguan dan membangun kembali sistem yang didominasi karang. Walaupun
semua definisi tersebut dapat menjelaskan arti dari resiliensi, teori resiliensi yang
sudah terakumulasi belum dapat digunakan di dalam pengelolaan terumbu karang
(Nystrom et al. 2008).
Banyak penelitian mengungkapkan bahwa resiliensi ekosistem sangat
berkaitan
dengan
kenakeragaman
hayati.
Keanekaragaman
yang
tinggi
menunjukkan ekosistem lebih resisten terhadap gangguan. Resistensi adalah
3
ketahanan suatu ekosistem terhadap gangguan, dan sulit dipisahkan dari resiliensi.
Keanekaragaman hayati di tingkat genetik memberikan variasi tanggapan dari
spesies yang sama terhadap gangguan yang sama. Karang yang bersimbiosis
dengan zooxanthellae galur D dilaporkan lebih resisten terhadap pemutihan
karang daripada yang bersimbiosis dengan galur A, B dan C (Glyn et al. 2001).
Keanekaragaman hayati di tingkat spesies memberikan kekuatan kepada
komunitas karang terhadap gangguan pemutihan karang dan pemangsaan oleh
Achanthaster plancii atau Drupella. Kedua pemangsa karang tersebut memiliki
preferensi terhadap karang jenis Acroporidae and Pocilloporidae (Moran 1990;
Cumming 1999), sehingga dalam intensitas gangguan yang sedang anggota
komunitas karang lainnya tidak terganggu oleh pemangsa karang tersebut. Karang
Acroporidae dan Pocilloporidae juga mempunyai resistensi yang lebih rendah
terhadap pemutihan karang dibandingkan karang dari famili yang lainnya (Brown
& Suharsono 1990; Feingold et al. 2001; dan yang lainnya). Jika resistensi
komunitas karang tinggi maka keanekaragaman dan kelimpahan karang yang
tersisa setelah gangguan juga tinggi, sehingga pemulihan komunitas menyerupai
kondisi sebelumnya juga lebih cepat.
Keanekaragaman yang tinggi diperlukan untuk berlangsungnya prosesproses ekologis, tetapi resiliensi ekosistem tidak ditentukan oleh keanekaragaman
spesies melainkan keanekaragaman fungsional (Peterson et al. 1998). Peran
ekologis setiap anggota komunitas di dalam ekosistem dapat dikelompokkan ke
dalam sejumlah kelompok fungsional. Kelompok fungsional komunitas karang
dapat ditunjukkan oleh bentuk tumbuh koloninya. Secara konvensional, bentuk
tumbuh karang dikelompokkan ke dalam 13 macam (English et al. 1994, 39).
Walaupun masing-masing bentuk tumbuh dapat menyediakan fasilitas yang sama
sebagai habitat, bentuk tumbuh tersebut mencerminkan derajat kompleksitas
habitat yang berbeda-beda, sehingga merupakan kelompok fungsional yang
berbeda. Suatu ekosistem dapat memiliki keanekaragaman spesies tinggi, tetapi
jika ada satu kelompok fungsional penting yang tidak dapat berjalan fungsinya
akan
menyebabkan
fungsi
ekosistem
terganggu.
Dampak
positif
dari
keanekaragaman di dalam fungsi ekologis terhadap fungsi ekosistem adalah
dimungkinkannya terjadi penurunan keanekaragaman spesies oleh suatu gangguan
4
tanpa diikuti penurunan pada fungsi ekosistem (review in Srivastava & Vellend
2004). Di dalam kasus terumbu karang di Jamaica, misalnya, menghilangnya
populasi penyu dan duyung tidak menyebabkan terjadinya pergantian fase, karena
fungsi ekologisnya dapat digantikan oleh ikan herbivora (Jackson 1997).
Resiliensi ekologis juga sangat ditentukan oleh keselingkupan atau
redundansi spesies dalam suatu skala dan redundansi fungsi ekologis antar skala
(Peterson et al. 1998). Redundansi di dalam (intra) skala ditunjukkan oleh
banyaknya spesies yang menjalankan fungsi ekologis yang sama, misalnya karang
berbentuk massif. Koloni karang berbentuk masif menyediakan habitat yang dapat
dihuni oleh ikan-ikan Serannidae dan Lutjanidae yang berukuran besar. Karang
masif tersebut dapat berasal dari Faviidae, Poritidae, atau yang lainnya.
Sedangkan masing-masing famili karang tersebut terdiri atas banyak spesies.
Redundansi antar skala ditunjukkan oleh adanya sejumlah spesies dengan ukuran
koloni yang berbeda tetapi menjalankan fungsi yang hampir sama. Karang masif
kecil dan karang masif besar berfungsi sama sebagai tempat sembunyi ikan-ikan
dari pemangsanya dengan skala yang berbeda.
Pemulihan ekosistem terumbu karang setelah berlalunya gangguan sangat
tergantung pada memori ekologis ekosistem tersebut. Memori ekologis adalah
komposisi dan distribusi organisme serta interaksinya dalam ruang dan waktu,
termasuk pengalaman ‘life history’ dengan fluktuasi lingkungan (Nystrom &
Folke 2001). Memori ekologis tersebut terdiri atas tiga komponen, yaitu warisan
biologis dan struktural yang selamat dari gangguan (biological and structural
legacy), organisme penghubung bergerak (mobile link), dan daerah pendukung
(support area). Komponen pertama berfungsi sebagai memori internal, sedangkan
komponen kedua dan ketiga berfungsi sebagai memori eksternal di dalam proses
reorganisasi dan rekonstruksi ekosistem tersebut setelah gangguan.
Komponen biologis dan struktural yang selamat dapat menjadi komponen
yang paling penting dalam reorganisasi ekosistem terumbu karang. Ketika suatu
ekosistem mengalami gangguan, maka kemampuan reorganisasi dan rekonstruksi
sistem tersebut sangat tergantung pada keanekaragaman spesies yang masih
tersisa. Komunitas yang tersisa menentukan arah suksesi komunitas baru yang
terbentuk setelah gangguan berlalu, baik komunitas karang, komunitas ikan,
5
maupun komunitas biota lainnya. Semakin tinggi keanekaragaman komunitas
yang tersisa akan semakin mirip struktur dan komposisi komunitas baru tersebut
dengan komunitas sebelumnya. Struktur yang selamat dari terumbu karang
memberikan dua fasilitas dalam suksesi terumbu karang. Pertama, struktur karang
mati dapat menjadi tempat penempelan larva karang atau benthos yang lainnya.
Jika struktur tersebut stabil, maka kolonisasi karang dan benthos lainnya dapat
berjalan lebih cepat dan komunitas karang yang baru lebih cepat terbentuk.
Kedua, struktur terumbu karang menyediakan habitat bagi ikan-ikan karang. Ikanikan herbivora dan invertivora merupakan komponen ekosistem yang penting
dalam menentukan arah suksesi terumbu karang (Bellwood et al. 2004).
Memori eksternal ekosistem, yaitu organisme penghubung yang bergerak
(mobile link), dapat dibedakan sebagai kelompok yang bergerak pasif dan yang
bergerak aktif (Nystrom & Folke 2001). Larva-larva karang, ikan, atau biota
lainnya yang bergerak secara pasif dari satu terumbu ke terumbu lainnya
merupakan komponen penghubung yang pasif. Komponen ini menyediakan suplai
larva yang akan mengkolonisasi ruang terbuka akibat gangguan. Rekolonisasi
terumbu karang melalui proses penyebaran larva ini sangat penting (Pearson
1981), karena ekosistem terumbu karang bersifat terbuka. Rekolonisasi akan
memperkaya keanekaragaman hayati dan meningkatkan kelimpahan populasi.
Pemulihan suatu terumbu karang sangat tergantung pada terumbu karang di
sekitarnya, terutama bagi terumbu karang hilir (sink reef). Di dalam ekosistem
yang bersifat terbuka, seperti terumbu karang, peranan organisme penghubung
sangatlah besar. Hanya sebagian kecil larva karang yang diproduksi di suatu
terumbu karang akan hidup menetap di habitat induknya. Larva karang
mempunyai umur 23-244 hari (Graham et al. 2008), sehingga sebagian besar dari
larva tersebut berpotensi hanyut oleh arus air laut dan kemudian hidup menetap di
suatu terumbu karang yang lain. Penelitian genetika pada karang Goniastrea
aspera menunjukkan bahwa karang di Okinawa Islands menerima larva dari
karang di Kerama Islands, yang berjarak sekitar 50 km (Nishikawa & Sakai
2005). Kehadiran ikan herbivora dari terumbu lain juga sangat penting dalam
proses suksesi terumbu karang. Intensitas herbivori yang rendah menyebabkan
dominansi makroalgae atas komunitas karang (Hughes et al. 2007).
6
Ikan-ikan herbivora di terumbu karang terdiri atas empat famili, yaitu
Achanthuridae, Scaridae, Siganidae dan Kyphosidae. Dari keempat famili
tersebut, tiga famili yang pertama merupakan ikan herbivora utama. Russ (1984)
yang melakukan survei herbivori pada sembilan terumbu karang di GBR,
Australia, membatasi ikan herbivora pada famili Achanthuridae, Scaridae dan
Siganidae. Di Lizard Island, GBR, dan sekitarnya, kelimpahan ketiga ikan
herbivora utama masing-masing adalah Achanthuridae (54%), Scaridae (31%) dan
Siganidae (14%) (Meekan & Choat 1997). Di San Blas Islands, Panama, Meekan
& Choat juga melaporkan pola yang serupa, walaupun ada satu lokasi dimana
Kyphosidae
menunjukkan proporsi kelimpahan
yang sebanding dengan
Achanthuridae, Scaridae dan Siganidae. Di Ambergris Caye, Belize, komposisi
biomassa ikan herbivora berbeda dari Lizard Island dan San Blas Islands tersebut
dengan Scaridae (65,4%) paling dominan diikuti oleh Acanthuridae (30,1%) dan
Pomacentridae (4,5%) (Williams et al. 2001). Dalam skala puluhan atau ratusan
kilometer, hewan herbivora yang berperan penting dalam herbivori dapat berbeda.
Pada terumbu karang di Nymph Island dan Turtle Group, GBR, ikan Scarus
rivulatus dilaporkan merupakan herbivora yang paling penting (Hoey and
Bellwood 2008), sedangkan ikan Siganus canaliculatus dilaporkan merupakan
ikan herbivora penting pada terumbu karang di Pioneer Bay, Orphues Island (Fox
and Bellwood 2008). Jarak antara kedua lokasi tersebut ratusan kilometer.
Sudah lama peneliti terumbu karang mencoba memahami resiliensi
ekosistem terumbu karang. Pada saat ini pengetahuan tentang resiliensi terumbu
karang seharusnya sudah cukup untuk melakukan sesuatu (Nystrom et al. 2008),
sehingga teori resiliensi dapat segera digunakan di dalam praktek pengelolan
terumbu karang. Dalam upaya mempertahankan dan meningkatkan tingkat
resiliensi terumbu karang tersebut dibutuhkan kemampuan untuk mengenali lebih
awal tingkat resiliensi terumbu karang. Pengukuran resiliensi terumbu karang
merupakan langkah awal dalam penggunaan teori resiliensi di dalam pengelolaan
terumbu karang.
Metode untuk mengukur tingkat resiliensi terumbu karang, sayangnya,
masih dalam tahap awal pengembangannya. Pada saat ini, tersedia dua metode
untuk menilai resiliensi terumbu karang, Obura dan Grimsditch (2009) telah
7
membuat panduan penilaian resiliensi terumbu karang, yang dipublikasikan oleh
IUCN (the International Union for the Conservation of Nature and Natural
Resources). Maynard et al. (2010) juga mengembangkan metode penilaian
resiliensi terumbu karang. Kedua metode tersebut masih sulit diterapkan dalam
skala besar di Indonesia, karena kurangnya dukungan financial dan kepakaran.
Metode penilaian lain yang lebih mudah (praktis) dan murah sangat dibutuhkan
agar dapat dilakukan oleh sebagian besar kabupaten di Indonesia.
Di Indonesia, sebagian besar penilaian kondisi terumbu karang dilakukan
dengan metode transek garis, atau line intercept transect (LIT). Metode ini
dikembangkan oleh Loya (1972, 1978) dan dibakukan oleh para peneliti terumbu
karang ASEAN dan Australia sejak awal dekade 1990-an, misalnya P2O (Pusat
Penelitian Oseanografi) LIPI di Indonesia dan PMBC (Phuket Marine Biological
Center) di Thailand. Di Australia, metode LIT sudah diganti dengan metode
transek video, video transect (VT). Metode LIT juga menjadi metode standar pada
Proyek COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and Management Program).
Ribuan orang telah dilatih untuk menggunakan metode LIT tersebut, karena dapat
digunakan baik untuk tujuan yang bersifat praktis (manajemen) maupun untuk
tujuan publikasi ilmiah.
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengembangkan metode penilaian
resiliensi terumbu karang dengan menggunakan LIT. Banyak data yang
sebenarnya dapat diinterpretasikan dari metode LIT (Marsh et al. 1984) bahkan
dalam bentuknya yang paling sederhana, tetapi jarang dilakukan oleh peneliti
terumbu karang. Pada saat ini, data yang diinterpretasikan dari metode LIT pada
umumnya hanya tutupan karang, tutupan makroalgae, dan kekayaan spesies
karang. Tutupan karang yang tinggi menunjukkan kondisi terumbu karang yang
baik. Kondisi sebaliknya diinterpretasikan pada tutupan makroalgae yang tinggi.
Di dalam penelitian ini, data yang dikoleksi dari metode LIT dimanfaatkan secara
maksimal untuk menilai resiliensi terumbu karang. Data tentang jumlah bentuktumbuh (life form) dan ukuran koloni karang, misalnya, selama ini sulit
diinterpretasikan untuk keperluan pengelolaan terumbu karang. Demikian juga
dengan data tentang tutupan karang massif dan submasif serta tutupan karang
8
Acroporidae. Keempat data tersebut akan terintegrasikan di dalam sebuah indeks
untuk menilai resiliensi terumbu karang.
Penelitian ini menjadi yang pertama mengembangkan metode penilaian
resiliensi terumbu karang dengan data dari transek garis. Belum ada penilaian
resiliensi terumbu karang yang menggunakan data dari transek garis, suatu
metode penilaian terumbu karang yang paling umum digunakan di Indonesia dan
kawasan negara-negara ASEAN (Association of South East Asian Nations).
1.2 Tujuan Penelitian
Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah mengembangkan indeks
resiliensi ekosistem dalam pengelolaan terumbu karang. Tujuan umum tersebut
dicapai melalui 4 (empat) tahap penelitian, yaitu:
a) Penyusunan rumus (formulasi) indeks resiliensi ekosistem terumbu karang
dengan menggunakan data dari transek garis (LIT).
b) Uji coba penggunaan indeks untuk menilai resiliensi terumbu karang di
Indonesia
c) Uji coba penggunaan indeks untuk mengukur laju perubahan temporal
indeks resiliensi terumbu karang di Indonesia.
d) Uji coba penggunaan indeks resiliensi untuk menilai dan memprediksi
pemulihan terumbu karang dari gangguan yang bersifat akut dan
berdampak langsung.
1.3. Manfaat Penelitian
Penilaian resiliensi terumbu karang merupakan langkah penting dalam
pengelolaan pesisir terpadu (ICZM, Integrated Coastal Zone Management; atau
ICM, Integrated Coastal Management). Pengukuran resiliensi terumbu karang
menjadi salah satu alat dalam analisis resiko lingkungan (ERA, Environmental
Risk Analysis) untuk implementasi pengelolaan yang berbasis ekosistem (EBM,
Ecosystem-Based Management). Pendekatan EBM merupakan salah satu prinsip
dasar di dalam penerapan ICM (Chua 2006, 94). Penelitian ini memiliki posisi
yang sangat penting karena sudah waktunya teori resiliensi digunakan dalam
implementasi pengelolaan terumbu karang (Nystrom et al. 2008).
9
Perencanaan pengelolaan terumbu karang seharusnya didasarkan pada 3
(tiga) kriteria (Done 1995), yaitu: 1) penilaian kawasan yang memiliki resiko
tinggi, 2) penilaian resiko kehilangan (kerugian) secara kuantitatif, dan 3)
penilaian kemampuan terumbu untuk pulih dalam arti suksesi dan biokonstruksi.
Terumbu karang yang mempunyai nilai tinggi dan resiko tinggi mendapatkan
prioritas yang tinggi dalam pengelolaan. Terumbu karang yang kerusakannya sulit
tergantikan
juga
lebih
diprioritaskan.
Terumbu
karang
yang
peluang
pemulihannya tinggi akan mendapat prioritas yang tinggi pula dalam pengelolaan.
Jika terumbu karang memiliki peluang pemulihan rendah, maka sulit untuk
memberikan jaminan bahwa upaya dan biaya yang dicurahkan di dalam
pengelolaan akan membuahkan hasil yang sepadan. Penilaian tingkat resiliensi
terumbu karang merupakan kriteria ketiga dari perencanaan pengelolaan terumbu
karang, yaitu penilaian peluang pemulihan terumbu karang.
Tingkat resiliensi terumbu karang hendaknya merupakan salah satu
komponen yang penting dalam pemilihan kawasan konservasi terumbu karang.
Terumbu karang yang memiliki tingkat resiliensi lebih tinggi lebih berharga untuk
dikonservasi daripada yang resiliensinya rendah. Sayangnya hingga saat ini belum
ditemukan bagaimana resiliensi ekologis terumbu karang dapat dikenali atau
diukur secara praktis. Pemilihan kawasan konservasi terumbu karang sebagian
besar masih dilakukan secara konvensional didasarkan pada kelimpahan dan
keanekaragaman komunitas karang dan komunitas ikan. Tetapi terumbu karang
yang tutupannya baik dan jumlah spesies karang tinggi belum tentu
mencerminkan resiliensi yang tinggi.
Manfaat dari penelitian ini secara umum sebagai berikut:
a) Indeks resiliensi terumbu karang sangat bermanfaat dalam pemilihan
lokasi kawasan konservasi terumbu karang, dan penentuan zonasi dalam
pengelolaan terumbu karang. Indeks resiliensi yang didapatkan dari
penelitian ini akan menjadi salah satu indikator penentu di dalam
perencanaan zonasi.
b) Indeks resiliensi terumbu karang juga bermanfaat di dalam memilih
pendekatan pengelolaan
yang diperlukan untuk memelihara atau
meningkatkan resiliensi terumbu karang. Komponen-komponen ekosistem
10
yang memiliki kontribusi besar terhadap indeks merupakan faktor yang
harus ditingkatkan dalam memelihara atau meningkatkan resiliensi
terumbu karang.
c) Indeks resiliensi terumbu karang sangat penting untuk melakukan ERA
(Environmental Risk Assessment) dalam kerangka ICM. Terumbu karang
yang indeks resiliensinya rendah memiliki resiko yang lebih besar
daripada yang resiliensinya tinggi. Terumbu karang di kawasan Asia
Tenggara memiliki ancaman gangguan insani dan alami yang sangat besar
(Burke et al. 2002).
1.4 Hipotesis
Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan metode penilaian
terumbu karang, khususnya indeks resiliensi terumbu karang. Tidak ada hipotesis
yang akan diuji secara khusus. Penggunaan sejumlah statistik dalam penelitian ini
dimaksudkan untuk mengkonfirmasi adanya perbedaan antara dua atau lebih
kondisi dari penerapan indeks resiliensi (Tabel 1).
1.5 Kebaruan (Novelty)
a) Rumus indeks resiliensi yang dikembangkan di dalam penelitian ini
merupakan rumus yang baru untuk menilai resiliensi terumbu karang.
Rumus yang dimodifikasi dari indeks resiliensi komunitas tanah dari
Orwin dan Wardle (2004) tersebut memiliki karakteristik yang jauh
berbeda dari rumus awalnya, misalnya perubahan nilai acuan peubah
indikator indeks dari komunitas kontrol dengan komunitas super dan
ditambahkannya faktor koreksi.
b) Penggunaan indeks resiliensi ekosistem untuk menilai dan memprediksi
pemulihan terumbu karang juga belum pernah dilakukan sebelumnya.
Baik Obura dan Grimsditch (2009) maupun Maynard et al. (2010)
keduanya tidak merumuskan model persamaan regresi untuk memprediksi
laju pemulihan terumbu karang.
11
Tabel 1 Daftar pengujian hipotesis nol dan satistik yang digunakan.
Hipotesis nol yang diuji
1) Tidak ada perbedaan rata-rata indeks resiliensi
antara kawasan Indonesia Barat dan Indonesia
Timur.
2) Tidak ada perbedaan rata-rata indeks resiliensi
antar-fisiografi laut.
3) Tidak ada perbedaan rata-rata indeks resiliensi
antar-kabupaten di kawasan Indonesia Timur.
4) Tidak ada perbedaan rata-rata indeks resiliensi
antar-kabupaten di kawasan Indonesia Barat.
5) Tidak ada perbedaan komposisi peubah indikator
indeks resiliensi antar-fisiografi laut.
6) Tidak ada perbedaan komposisi peubah indikator
indeks resiliensi antar-kabupaten di kawasan
Indonesia Timur.
7) Tidak ada perbedaan komposisi peubah indikator
indeks resiliensi antar-kabupaten di kawasan
Indonesia Barat.
8) Tidak ada perbedaan rata-rata indeks antar-waktu
dan antar-kabupaten di kawasan Indonesia Timur.
9) Tidak ada perbedaan rata-rata indeks antar-waktu
dan antar-kabupaten di kawasan Indonesia Timur.
10) Tidak ada hubungan regresi antara nilai awal
indeks dengan dampak gangguan.
11) Tidak ada hubungan regresi antara nilai awal
indeks dengan pemulihan indeks.
12) Tidak ada hubungan regresi antara tutupan karang
awal dengan dampak gangguan.
13) Tidak ada hubungan regresi antara tutupan karang
awal indeks dengan pemulihan tutupan karang.
Statistik
Uji t
Bab
3
Anova
satu faktor
Anova
satu faktor
Anova
satu faktor
Anosim
3
3
Anosim
3
Anosim
3
Anova
dua faktor
Anova
dua faktor
Anova
satu faktor
Anova
satu faktor
Anova
satu faktor
Anova
satu faktor
4
3
3
4
5
5
5
5
c) Peubah CHQ, USS, dan AOF yang digunakan di dalam indeks juga
merupakan peubah baru yang belum pernah digunakan peneliti lain untuk
tujuan penilaian indeks resiliensi maupun untuk tujuan penilaian kondisi
terumbu karang lainnya.
d) Penggunaan data dari transek garis di dalam penilaian resiliensi terumbu
karang juga belum pernah dilakukan oleh peneliti lain. Penelitian lain
menggunakan penilaian pakar dan praktisi (Maynard et al. 2010), atau
menggabungkan metode foto kuadrat dan transek titik dengan lima metode
lainnya (Obura & Grimsditch 2009).
12
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menyusun indeks resiliensi terumbu karang
yang menggunakan data transek garis. Penggunaan transek garis dalam penilaian
resiliensi terumbu karang sangat penting karena metode transek garis merupakan
metode penilaian kondisi terumbu karang yang paling populer di Indonesia dan
Asia Tenggara. Untuk memvalidasi kegunaan indeks, tiga uji coba indeks
dilakukan untuk membandingkan resiliensi terumbu karang secara spasial dan
temporal.
Hasil utama yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
(1) Rumus penilaian indeks resiliensi terumbu karang.
(2) Protokol penilaian indeks resiliensi terumbu karang.
(3) Persamaan regresi untuk memprediksi pemulihan terumbu karang.
1.7. Rancangan Penelitian
Penelitian ini terdiri dari 4 (empat) tahapan, yang masing-masing dibahas
di dalam bab yang terpisah. Tahapan yang paling lama waktunya adalah tahapan
pertama, yang dapat dibagi lagi dalam lima sub-tahapan, yaitu: (a) penyaringan
data, (b) modifikasi rumus indeks, (c) penentuan calon peubah indikator, (d)
pemilihan peubah indikator, serta (e) pembobotan peubah indikator dan (f)
penentuan faktor koreksi dan konstanta. Tahapan kedua hingga keempat
merupakan validasi dari kegunaan indeks di dalam pengelolaan terumbu karang.
Secara umum rancangan penelitian ini disajikan dalam Gambar 1.
Tahapan pertama adalah penyusunan rumus atau formulasi indeks resiliensi, yang akan disajikan pada bab 2. Di dalam formulasi indeks tersebut
digunakan data yang telah dikoleksi sebelumnya oleh P2O LIPI. Dalam tahapan
ini digunakan data 1240 transek, yang berasal dari 540 transek di luar COREMAP
dan 700 transek COREMAP tahun 2009.
13
Gambar 1. Bagan alir rancangan penelitian. IR=indeks resiliensi.
14
Tahapan kedua adalah uji coba penggunaan rumus indeks untuk
membandingkan resiliensi terumbu karang di 15 kabupaten, yang menjadi lokasi
proyek COREMAP. Penelitian ini merupakan validasi kegunaan indeks untuk
membandingkan resiliensi terumbu karang secara spasial. Penelitian tahap kedua
ini juga menggunakan data dari P2O LIPI yang dikoleksi untuk proyek
COREMAP pada tahun 2009, yang berjumlah 649 transek. Penelitian tahap kedua
ini ditulis di dalam bab 3.
Tahapan ketiga yang disajikan pada bab 4 menggunakan sumber data yang
sama dengan penelitian tahap kedua. Karena pada tahap ketiga ini bertujuan untuk
melihat perubahan indeks resiliensi secara temporal, maka selain digunakan data
COREMAP tahun 2009 juga digunakan data tahun 2008, 2007, dan 2006.
Sebenarnya COREMAP pernah mengambil data pada tahun-tahun sebelumnya,
tetapi yang tersedia dalam bentuk LFT (life form table) dan TLT (taxon length
table) paling awal adalah tahun 2006.
Pada penelitian tahap keempat bertujuan mengkaji perilaku indeks dalam
proses pemulihan terumbu karang. Kebutuhan akan data terumbu karang runut
waktu dari transek permanen dengan kurun waktu lama, lebih dari 10 tahun,
merupakan hal yang sulit dipenuhi oleh lembaga penelitian dan universitas di
Indonesia. Kegiatan seperti itu mungkin pernah dilakukan oleh lembaga penelitian
dan universitas, tetapi penyimpanan data yang baik masih menjadi masalah utama.
Data dengan sifat demikian hanya dapat dipenuhi oleh perusahaan multinasional
PT. Newmont Nusa Tenggara (NNT). Penelitian tahap keempat disajikan dalam
bab 5.
Download