158 BAB V PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan seperti yang telah diuraian di atas dapat ditarik keimpulan bahwa: 1. Latar belakang terjadinya perkawinan endogami “colongan” pada masyarakat Osing adalah: (a) sudah saling mengenal, saling mencintai di antara kedua belah pihak namun tidak disetujui oleh orang tua, takut lamaran ditolak, dan faktor perbedaan status sosial dan perekonomian; (b) bibit, bobot dan bebet.Bibit berkaitan dengan keturunan, bobot berkaitan dengan status sosial dan bebet berkaitan dengan kepribadian; (c) adanya tradisi “gredoan” yaitu saling menggoda (Nggridu = goda) antara jejaka dan gadis. Dalam hal tersebut dilakukan dengan artian positif karena gredoan yang dilakukan adalah dengan cara baik-baik untuk mencari pasangan; (d) Tradisi “batokan” merupakan bentuk upaya pihak keluarga perempuan untuk mencarikan jodoh bagi anaknya. Pada kesempatan itu keluarga yang memiliki anak gadis memberikan kesempatan kepada lakilaki warga sekitar untuk berkenalan dengan anak gadisnya melalui transaksi dagang yaitu gadis yang dicarikan jodoh untuk menunggu warung yang dibuatkan oleh pihak orang tuanya; (e) ada pihak keluarga dari perempuan tidak menyetujui. Akhirnya sang laki-laki nekad mencuri kekasihnya untuk dibawa pulang. Sebagai tanggung jawab moral, pihak 159 keluarga laki-laki mengutus “colok” untuk mengabarkan kepada keluarga pihak perempuan bahwa anaknya telah dicuri; (f) perkawinan “colongan” dianggap merupakan kearifan masyarakat Osing untuk memecahkan persoalan hubungan antara laki-laki dan perempuan yang saling mencintai, sehingga tradisi ini juga bisa dilakukan sebagai 'ritual' melanggengkan adat istiadat. 2. Prosesi perkawinan “colongan” terjadi karena: (a) diawali dengan adanya kekasih, laki-laki dan perempuan yang saling mencintai; (b) karena keluarga pihak perempauan tidak menyetujui, maka laki-laki melakukan “colongan”, namun proses “colongan” tersebut sudah direncanakan oleh kedua kekasih tersebut; (c) setelah perempuan dibawa pulang ke rumah sang laki-laki, pihak keluarga laki-laki mengirim “colok” untuk memberitahukan kepada orang tua perempuan. “Colok” biasanya adalah tokoh masyarakat; (d) sesampainya di rumah pihak perempuan, “colok” bernegosiasi untuk merundingkan pernikahan; (e) Setelah disetujui, maka calon pengantin dinikahkan secara resmi menurut hukum agama dan hukum negara. Saat pernikahan resmi dilakukan disemarakan dengan acara arak-arakan. 3. Konsekuensi atas terjadinya perkawinan “colongan” adalah: (a) Perbuatan “colong” (mencuri) perempuan yang dilakukan oleh laki-laki tidak dianggap sebuah tindakan melanggar hukum, kareana dibenarkan oleh hukum Adat; (b) perkawinan tetap dianggap syah menurut hukum adat, hukum agama dan hukum Negara, karena diakhiri dengan pernikahan 160 resmi; (c) pelaku perkawinan “colongan”, terutama pihak perempuan diberi sanksi berupa: penundakan pemberian warisan, jatah warisannya dikurangi, tidak diberi warisan oleh orang tuanya. Semua itu tergantung dari rasa sakit orang tua atas perlakukan anak perempuannya yang melakukan perkawinan “colongan”; (d) harta gono gini dan harta bawaan yang dimiliki oleh keluarga yang melakukan perkawinan “colongan” menjadi suami-istri. B. Saran 1. Tradisi perkawinan “colongan” dapat “dibenarkan” untuk melestarikan Adat dengan catatan: pertama, diantara kedua sejoli harus benar-benar didasarkan rasa saling mencintai dan tanpa ada unsur paksaan/ancaman. Kedua, masing-masing pihak (laki-laki dan perempuan) telah berusaha semaksimal mungkin untuk dapat meyakinkan atau meminta restu kepada orang tua masing-masing atas asmara mereka, sehingga “colongan” adalah upaya terakhir memperjuangkan cintanya. Ketiga, secara administratif telah memenuhi persyaratan sesuai hukum agama dan negara. Keempat, salah satu pihak baik laki-laki atau perempuan belum menikah (jejaka/perawan) atau tidak sedang terikat dalam suatu perkawinan (duda/janda), sehingga tidak menimbulkan kekacauan dari tatanan norma yang berlaku di tengah masyarakat. 2. Para tokoh Adat perlu meneguhkan “aturan main” perkawinan “colongan” yang bisa “dibenarkan” seperti di atas, agar hal tersebut tidak 161 disalahgunakan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, sehingga jangan sampai ada pelaku atau oknum yang menjadikan tradisi ini akhirnya mengandung unsur yang tidak dibenarkan berdasarkan Hukum Adat yang berlaku. 3. Bagi para tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat, senantiasa memberikan pengarahan/pencerahan kepada masyarakatnya pentingnya perkawinan resmi sesuai dengan tuntunan agama dan aturan negara.