ii. sintesis permasalahan pengelolaan risiko iklim

advertisement
11
II.
SINTESIS PERMASALAHAN PENGELOLAAN RISIKO IKLIM
UNTUK SISTEM USAHA TANI BERBASIS PADI MELALUI
PEMANFAATAN KALENDER TANAM DINAMIK
2.1.
Kabupaten Pacitan
Kabupaten Pacitan yang terletak di bagian paling barat daya Propinsi Jawa
Timur dan berada di kawasan pantai selatan Pulau Jawa berbatasan langsung
dengan Propinsi Jawa Tengah, memiliki luas wilayah daratan 1.419, 44 Km2.
Secara administratif terbagi dalam 12 kecamatan, 5 kelurahan, 159 desa dan
1.032 dusun. Letak geografis berada antara 110
˚55’
– 111˚25’ Bujur Timur dan
7˚55’ – 8˚17’ Lintang Selatan. Sekitar 21% dari luas Kabupaten Pacitan adalah
kawasan pegunungan kapur (kars) dengan topografi:
85% wilayah berbukit
sampai bergunung, 10% bergelombang, dan 5% wilayah datar.
Kabupaten Pacitan merupakan salah satu kabupaten yang cukup kering di
Provinsi Jawa Timur. Hal itu sejalan dengan Wahab et al. (2007) menyatakan
bahwa pada pada Musim Tanam 2002/2003, luas tanam Kab. Pacitan seluas
13.005 Ha, sedangkan pada MK 2003 seluas 3.071 Ha. Terjadi musim kemarau
panjang yang menyebabkan kekeringan dan puso. Luas areal yang terkena
bencana alam kekeringan pada MK-2003 adalah 2.074,67 Ha. Dari jumlah
tersebut 1.570,67 Ha mengalami puso.
Kabupaten Pacitan adalah
Bila rata-rata produktivitas padi di
38,5 kw/ha GKG, maka terjadi kehilangan hasil
produksi padi sebesar 79,87 ton GKG atau sekitar 67.56%. Dari hasil survei yang
dilaksanakan pada 2(dua) desa menunjukkan bahwa semua petani mengalami
kekeringan dalam berusahatani terutama untuk tanaman pangan (padi + palawija).
Walaupun kekeringan yang melanda hampir terjadi setiap tahun, tetapi kekeringan
paling serius yang dialami petani pada 5 (lima) tahun terakhir adalah terjadi pada
tahun 2003 (Wahab et al 2007).
Akibat kekeringan tahun 2003, luas panen tanaman padi mengalami
penurunan sebesar 12,2 % dibanding luas tanam tahun 1999, sedangkan produksi
terjadi penurunan lebih besar yaitu mencapai 15,2 %. Bahkan untuk tanaman
kedelai telah terjadi penurunan lebih besar yaitu pada luas panen sebesar 28,5 %,
sedangkan untuk produksi mencapai penurunan sebesar 23,8 % (Wahab et al.
2007).
12
Gambar 2.1 Peta administratif Kabupaten Pacitan
2.2.
Road Map sektor Pertanian
Dalam hubungannya dengan pengelolaan risiko iklim terhadap pertanian,
diperlukan suatu acuan, yang tertuang dalam Road Map. Road Map 2012-2020
disusun berdasarkan analisis dan kajian secara komprehensif terhadap dinamika
dan skenario perubahan iklim, kerentanan sektor pertanian dan berbagai kebijakan
pemerintah terkait.
Road map dipilah berdasarkan tahapan dan waktu
pelaksanaan kegiatan sejak 2012 sampai 2020. Program dan kegiatan tersebut
dikelompokkan ke dalam lima bagian utama: (1) penelitian dan pengembangan, (2)
diseminasi dan advokasi, (3) antisipasi perubahan iklim, (4) adaptasi dan mitigasi,
dan (5) manajemen adaptasi dan mitigasi (Tim Road Map Sektor Pertanian 2011).
1.
Penelitian dan Pengembangan
Kegiatan penelitian dan pengembangan untuk mendukung rencana aksi
sektor pertanian secara umum bertujuan untuk melakukan inventarisasi emisi GRK
dan penyerapan karbon sektor pertanian, analis dampak perubahan iklim, mencari
teknologi mitigasi dan adaptasi, dan menetapkan strategi dan kebijakan.
13
Penelitian adaptasi perubahan iklim sektor pertanian difokuskan pada
tanaman pangan dan hortikultura untuk RPJM 2012-2020. Ruang lingkup
penelitian adaptasi mencakup pengembangan varietas tanaman yang adaptif,
teknik pengelolaan tanah dan air, dan teknik budidaya tanaman. Penelitian mitigasi
perubahan iklim difokuskan pada subsektor perkebunan dan pertanian di lahan
gambut.
Hasil penelitian akan disintesis untuk menghasilkan usulan kebijakan
dalam pembangunan pertanian, terutama yang berkaitan dengan antisipasi,
adaptasi, dan mitigasi perubahan iklim.
2.
Advokasi dan Diseminasi
Penelitian advokasi kebijakan dan diseminasi teknologi diarahkan bagi
upaya peningkatan pemahaman petani dan masyarakat luas tentang pemanfaatan
informasi iklim dan UU/peraturan terkait. Tindakan advokasi diarahkan pada
sosialisasi
advokasi
peraturan
perundangan yang
menyangkut
ketentuan
pelestarian lingkungan dan pengembangan dan replikasi SLPTT.
3.
Antisipasi Perubahan Iklim
Kegiatan antisipasi bertujuan untuk menetapkan arah dan strategi
kebijakan secara dini, serta menyiapkan program, teknologi, tool, pengembangan
kapasitas (capacity building), roadmap dan pedoman umum dalam rangka
menghadapi dampak perubahan iklim. Kegiatan antisipasi perubahan iklim tahun
2012-2020 diarahkan pada 1) pengembangan infrasruktur, terutama jaringan
irigasi, 2) Pengembangan sistem prediksi hujan dan awal musim, peringatan dini
banjir dan kekeringan, 3) penyusunan roadmap, pedoman umum mitigasi dan
adaptasi, kalender tanam dinamik, 4) Peningkatan kapasitas SDM dalam
pemahaman perubahan iklim dan penerapan teknologi adaptasi dan mitigasi
perubahan iklim dan 5) Penyusunan dan penerapan (enforcement) peraturan
perundangan mengenai lahan pertanian.
4.
Adaptasi dan Mitigasi
Program adaptasi iklim mencakup fasilitasi pemerintah untuk aplikasi
teknologi budidaya pertanian yang adaptif terhadap perubahan iklim (penyediaan
varietas adaptif, fasilitasi penerapan teknik pengelolaan lahan dan air),
peningkatan
indeks
panen,
penurunan
risiko
gagal
panen,
peningkatan
produktivitas dan kapasitas irigasi. Mitigasi GRK mencakup ekstensifikasi
perkebunan pada lahan terlantar, pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan,
dan aplikasi teknologi rendah emisi seperti penyiapan lahan tanpa bakar,
14
pengembangan biofuel, penggunaan bahan organik dan pakan ternak rendah
emisi.
5.
Manajemen Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim
Untuk dapat mengukur kerberhasilan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan
iklim diperlukan manajemen mitigasi dan adaptasi perubahan iklim mencakup
aspek perencanaan, pengorganisasian, pengendalian, monitoring, evaluasi dan
pelaporan.
2.3.
Keragaman dan perubahan iklim dan efeknya terhadap produksi padi
Perubahan iklim mempengaruhi sektor pertanian baik secara langsung
maupun tidak langsung diantaranya melalui efeknya terhadap suhu dan perubahan
curah hujan dalam biologi dan fisik lingkungan (Brown dan Rosenberg 1997 yang
diacu dalam Mestre-Sanchís dan Feijóo-Bello 2009). Ketersediaan air merupakan
salah satu konsekuensi paling dramatis perubahan iklim untuk sektor pertanian
(Mestre-Sanchís
dan
Feijóo-Bello
2009).
Penurunan
kelembaban
tanah
menyiratkan pengurangan yang signifikan pada produktivitas tanaman lahan
kering potensial. Di sisi lain, peningkatan hujan lebat berdampak pada erosi dan
tanah.
Ketika terjadi
perubahan iklim,
produksi tanaman terpengaruh.
Ada
banyak studi yang mempertimbangkan jenis dan jumlah produksi untuk perubahan
tanaman tertentu, tempat dan skenario.
Lainnya mencoba memperluas
pengetahuan tentang perubahan produksi dan
dampak ekonomi serta
kesejahteraan daerah mereka (Adams et al. 1990; Brown dan Rosenberg 1997;
Brown et al. 2000; Easterling et al. 2000 dalam Mestre-Sanchís dan Feijóo-Bello
2009). Pendekatan yang digunakan untuk menilai respon tanaman untuk
perubahan iklim bervariasi dari model regresi sederhana hingga model yang
kompleks.
Dalam lima tahun terakhir, petani di Jawa dan Sumatera telah
mengeluhkan kejadian cuaca yang tidak normal yaitu permulaan musim hujan
bergeser 10-20 hari lebih lambat dan musim kemarau sekitar 10-60 hari lebih
cepat (Handoko et al. 2008). Perubahan iklim yang terjadi telah mengubah pola
tanam yang dilakukan oleh petani. Secara umum Provinsi Jawa Barat dan Jawa
Timur yang pasokan airnya lebih tersedia, memiliki intensitas tanam yang lebih
tinggi dibandingkan dengan provinsi lainnya di luar Jawa. Namun, di kedua
15
provinsi tersebut telah terjadi perubahan pola tanam, yang sebelumnya padi-padipadi menjadi padi-padi-palawija. Hal ini mengindikasikan bahwa petani telah
menyesuaikan terhadap adanya perubahan iklim (utamanya berupa penurunan
curah hujan dan jumlah bulan hujan) dengan menyesuaikan jenis tanaman yang
diusahakan, yaitu dari padi yang memerlukan pasokan air yang banyak ke palawija
yang memerlukan lebih sedikit air (Handoko et al. 2008)
Naylor et al. (2007) memproyeksikan bahwa wilayah-wilayah sebelah
selatan garis ekuator seperti Sumatera, Jawa, Bali dan sebagian wilayah Timur
Indonesia akan mengalami keterlambatan awal musim hujan dengan periode
musim hujan yang lebih singkat dan intensitas hujan yang lebih tinggi. Pada musim
kemarau, curah hujan lebih rendah dengan awal musim yang lebih cepat (Gambar
2.2). Perubahan pola curah hujan tersebut akan meningkatkan frekuensi banjir dan
kekeringan.
Mundurnya awal musim hujan 1 bulan akan berdampak pada
penurunan produksi padi di Jawa/Bali antara 7-18% (Naylor et al. 2007).
Frekuensi banjir
meningkat
rainfall
Pola hujan
sekarang
Pola hujan
mendatang
Frekuensi kekeringan
meningkat
Aug
Gambar 2.2
2.4.
Dec
May
Kemungkinan pergeseran curah hujan di Jawa dan Bali (Naylor et
al. 2007)
ENSO dan kaitannya dengan musim hujan dan kekeringan
Musim hujan di Indonesia dipengaruh oleh El Niño - Southern Oscillation
(ENSO) yang sangat kuat pengaruhnya pada bulan September-Desember
(Hamada et al.
2002). Pengaruh ENSO semakin berkurang selama bulan
Desember – Februari (Giannini et al. 2007) sehingga waktu masuknya musim
hujan dan kemarau dapat diramalkan dengan memperhatikan kekuatan pengaruh
16
ENSO. Mengingat prediktabilitas variabilitas iklim musiman terkait dengan ENSO,
dapat digunakan untuk mengurangi resiko pertanian.
Haryanto (1998) menyatakan bahwa curah hujan DAS Citarum terkait erat
dengan fase SOI. Baik El-Nino maupun La-Nina hanya berkaitan erat dengan
anomali curah hujan pada musim kemarau, sedangkan dengan anomali curah
hujan musim penghujan keterkaitan fase SOI dengan curah hujan DAS Citarum
menjadi lemah. Bila pada musim kemarau terjadi El-Nino maka anomali terbesar
yang pernah terjadi pada curah hujan DAS Citarum adalah -84% atau rata-ratanya
-36%. Sedangkan bila terjadi La-Nina, anomali terbesar yang pernah terjadi adalah
+65% atau rata-ratanya +39%. Bila pada musim penghujan terjadi El-Nino, maka
anomali terbesar yang pernah terjadi pada curah hujan DAS Citarum adalah -31%
atau rata-ratanya -5%, sedangkan bila terjadi La-Nina anomali terbesar yang
pernah terjadi adalah +8% atau rata-ratanya +5%.
Falcon et al. (2006) melakukan pengamatan pengaruh ENSO terhadap
keragaman hujan di seluruh Provinsi di Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa
keragaman curah hujan seluruh Provinsi di Pulau Jawa-Madura, dan Bali secara
signifikan dipengaruhi oleh fenomena ENSO. Lebih lanjut Battisti et al. (2007)
menganalisis korelasi ENSO terhadap curah hujan bulanan di Indonesia. Untuk
Pulau Jawa, keragaman curah hujannya pada bulan Januari-April tidak berkorelasi
dengan fenomena ENSO, curah hujan bulan Mei-Agustus berkorelasi dengan
ENSO sebesar 40-60%, sedangkan curah hujan pada bulan September-Desember
sangat berkorelasi (Nilai korelasi 80-100%).
Sejak tahun 1844, Indonesia telah mengalami kejadian kekeringan tidak
kurang dari 43 kali. Dari 43 kejadian tersebut, hanya 6 kali yang kejadiannya tidak
bersamaan kejadian fenomena ENSO (Boer dan Subbiah 2005).
Hal ini
menunjukkan, bahwa keragaman hujan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh
fenomena ini. Pada saat fenomena El-Nino berlangsung, hujan pada sebagian
besar wilayah Indonesia umumnya di bawah normal.
Pengamatan terhadap
tahun-tahun El-Nino yang terjadi dalam periode 1896 sampai 1987, diperoleh
bahwa untuk setiap 1oC peningkatan anomali suhu muka laut di daerah Nino 3
rata-rata curah hujan wilayah di Indonesia pada musim kering turun sekitar 60 mm.
Penurunan curah hujan wilayah dapat mencapai 80 mm dari normal apabila suhu
muka laut di Nino-3 naik sampai 1.8 oC di atas normal (Boer dan Subbiah 2005).
17
Salah satu penyebab terjadinya kekeringan adalah musim hujan berakhir
lebih awal dari biasanya atau dari normalnya. Menurut Boer et al. (2009), pada
saat fenomena El-Nino berlangsung, pada banyak daerah musim hujan dapat
berakhir lebih cepat dari biasanya atau hujan mendadak hilang pada bulan-bulan
berikutnya, sehingga tanaman kedua terkena kekeringan.
Masalah ini muncul
karena pada waktu musim tanam pertama berakhir, hujan biasanya masih banyak
dan petani biasanya akan melanjutkannya dengan penanaman kedua.
Setelah
penanaman dilakukan, musim hujan berakhir lebih cepat sehingga tanaman
terkena kekeringan. Lebih lanjut Boer et al. (2009) menjelaskan bahwa dampak
dari kekeringan yang terjadi adalah kegagalan panen pada tanaman musim
kemarau. Gagal panen tidak hanya dapat terjadi pada lahan tadah hujan, tetapi
juga pada lahan beririgasi.
Hal ini terjadi karena sumber air utama musim
kemarau adalah air irigasi, tetapi karena hujan turun di bawah normal, maka
jumlah air irigasi menjadi berkurang sehingga tidak cukup untuk bisa mengairi
semua pertanaman yang ada dan akhirnya menimbulkan masalah kekeringan.
2.5.
Model Simulasi DSSAT
The decision support system for agrotechnology transfer (DSSAT) awalnya
dikembangkan oleh ilmuwan jaringan internasional, yang bekerja sama dalam
proyek Benchmark Sites Network for Agrotechnology Transfer (Jones et al. 2003),
untuk memfasilitasi penerapan model tanaman dalam pendekatan sistem
penelitian agronomi. Penyusunan awalnya didorong oleh kebutuhan untuk
mengintegrasikan pengetahuan tentang tanah, iklim, tanaman, dan manajemen
untuk membuat keputusan yang lebih baik dalam mentransfer teknologi produksi
dari satu lokasi ke lokasi lain di mana tanah dan iklim berbeda (Jones et al. 2003).
DSSAT adalah kumpulan program-program independen yang beroperasi
bersama-sama. Database menggambarkan cuaca, tanah, kondisi percobaan dan
pengukuran, dan informasi genotipe untuk menerapkan model pada situasi yang
berbeda.
Perangkat lunak membantu pengguna mempersiapkan database
tersebut dan membandingkan hasil simulasi dengan pengamatan untuk memberi
mereka keyakinan terhadap model atau untuk menentukan apakah modifikasimodifikasi diperlukan untuk meningkatkan akurasi (Jones et al. 2003). Selain itu,
program
yang
terdapat
dalam
DSSAT
memungkinkan
pengguna
untuk
18
mensimulasikan opsi untuk pengelolaan tanaman selama beberapa tahun untuk
menilai risiko yang terkait dengan opsi masing-masing.
DSSAT pertama kali dirilis (v2.1) pada tahun 1989; rilis tambahan dibuat
pada tahun 1994 (V3.0) (Tsuji et al. 1994 dalam Jones et al. 2003) Dan 1998
(v3.5) (Hoogenboom et al. 1999 dalam Jones et al. 2003).
Dalam
perkembangannya DSSAT direvisi kembali dengan intinya adalah menyusun
cropping system model yang baru (DSSAT-CSM).
Tujuan dari DSSAT- CSM (Jones et al. 2003) adalah:
1. Untuk
simulasi
sistem
produksi
tanaman
monokultur
dengan
mempertimbangkan cuaca, genetika, tanah air, karbon tanah dan nitrogen, dan
manajemen dalam satu atau beberapa musim serta rotasi tanaman pada
setiap lokasi dimana input minimum disediakan.
2. menyediakan sebuah platform untuk menggabungkan modul faktor abiotik dan
biotik lainnya secara lebih mudah, seperti fosfor tanah dan penyakit tanaman.
3. untuk menyediakan platform yang memungkinkan seseorang untuk dengan
mudah membandingkan modul alternatif untuk komponen tertentu dalam
memfasilitasi perbaikan model, evolusi, dan dokumentasi, dan
4. untuk menyediakan kemudahan dalam memperkenalkan CSM ke aplikasi
tambahan program dalam suatu modul.
DSSAT-CSM memiliki driver program utama, sebuah unit modul lahan, dan
modul untuk komponen-komponen utama yang membentuk unit lahan dalam
sistem tanaman (Gambar 2.3). Modul Primer adalah cuaca, tanah, tanaman,
penghubung tanah-tanaman-atmosfer dan komponen-komponen pengelolaannya.
Secara keseluruhan, komponen ini menggambarkan perubahan-perubahan waktu
dalam tanah dan tanaman yang terjadi pada satu unit lahan sebagai respons
terhadap cuaca dan manajemen.
Untuk berjalannya model, DSSAT memerlukan data minimum, mencakup
data di wilayah mana model akan dioperasikan, pada cuaca harian selama siklus
pertumbuhan, karakteristik tanah pada awal siklus atau urutan tumbuh tanaman,
dan pada pengelolaan tanaman (misalnya tingkat pembibitan, aplikasi pupuk,
irigasi) (Jones et al. 2003 ; Thorp et al.
2008).
Data cuaca yang diperlukan
mencakup data harian intensitas radiasi matahari total pada bagian atas kanopi
tanaman, suhu udara maksimum dan minimum di atas tanaman, dan curah hujan.
Namun, diakui bahwa semua data cuaca yang diperlukan untuk wilayah tertentu
19
dan periode waktu tertentu sering tidak tersedia. Dalam kasus tersebut, untuk
memenuhi data minimum diupayakan dengan menghitung nilai pengganti atau
menggunakan data dari site di dekatnya. Untuk menghitung nilai pengganti,
statistik iklim di site tertentu adalah penting dan sangat mungkin diperlukan (Jones
et al. 2003).
Gambar 2.3
Sekilas komponen dan struktur modular dari DSSAT-CSM
Model tanaman DSSAT telah banyak digunakan selama 15 tahun terakhir
oleh banyak peneliti pada aplikasi yang berbeda. Banyak dari aplikasi ini telah
dilakukan untuk mempelajari manajemen pilihan pada lokasi penelitian, termasuk
pupuk, irigasi, hama, dan pertanian spesifik lokasi. Aplikasi ini telah dilakukan oleh
peneliti pertanian
dari berbagai disiplin ilmu,
sering bekerja dalam tim untuk
mengintegrasikan sistem analisis tanaman dengan menggunakan model bidang
penelitian agronomi dan informasi sosial ekonomi untuk menjawab pertanyaanpertanyaan yang kompleks tentang produksi, ekonomi, dan lingkungan.
Sebuah aspek penting dari banyak studi ini adalah pertimbangan bahwa
cuaca mempengaruhi kinerja tanaman, berinteraksi dengan cara yang rumit
dengan tanah dan tanaman.
Peneliti telah menerapkan model-model untuk
mempelajari ketidakpastian produksi tanaman terkait dengan variabilitas cuaca
dan risiko ekonomi terkait dengan variabilitas iklim (Jones et al. 2003).
20
Pada DSSAT versi 4.0, tersedia EasyGrapher (Yang dan Huffman 2004)
yaitu tampilan grafis dan program validasi statistik yang dirancang untuk model
DSSAT. EasyGrapher dapat mempercepat validasi DSSAT output, yang biasanya
membutuhkan waktu dan usaha untuk mengekspor output data ke dalam paket
statistik eksternal. Hal ini memungkinkan pengguna untuk membuat grafik validasi,
menampilkan simulasi data terhadap kebenaran data tanah dan menghitung
statistik validasi seperti root mean square error, mean error, efisiensi peramalan
dan t-tes berpasangan.
Selanjutnya Thorp et al. (2008) memperkenalkan sebuah prototipe sistem
pendukung keputusan (DSS) yang disebut Apollo yang dikembangkan untuk
membantu peneliti dalam menggunakan DSSAT model pertumbuhan tanaman
untuk menganalisis set data pertanian secara presisi. Karena model DSSAT ditulis
untuk mensimulasikan pertumbuhan dan perkembangan tanaman dalam unit
tanah homogen, Apollo DSS memiliki fungsi khusus untuk menjalankan model
DSSAT untuk mensimulasikan dan menganalisis variabel dan pengelolaan tanah
secara spasial. DSS memiliki modul yang memungkinkan pengguna untuk
membangun file input untuk model simulasi spasial di zona standar manajemen,
mengkalibrasi model untuk mensimulasikan hasil variabilitas spasial secara
history, validasi model untuk musim tidak digunakan untuk kalibrasi, dan
memperkirakan respon tanaman dan dampak lingkungan dari nitrogen, populasi
tanaman, kultivar, dan dosis irigasi.
2.6.
Sistem Inferensi Fuzzy (Fuzzy Inference System)
Logika fuzzy merupakan salah satu komponen pembentuk soft computing.
Pertama kali diperkenalkan oleh Prof. Lofti A. Zadeh pada tahun 1965. Dasar
logika fuzzy adalah teori himpunan fuzzy. Pada teori himpunan fuzzy, peranan
derajat keanggotaan sebagai penentu keberadaan elemen dalam suatu himpunan
sangatlah penting. Nilai keanggotaan atau derajat keanggotaan atau membership
function menjadi ciri utama dari penalaran logika fuzzy tersebut (Kusumadewi dan
Purnomo 2010). Dalam banyak hal, logika fuzzy digunakan sebagai suatu cara
untuk memetakan permasalahan dari input menuju output yang diharapkan.
Logika fuzzy dapat dianggap sebagai kotak hitam yang menghubungkan antara
ruang input menuju ke ruang output.
21
Beberapa keunggulan logika fuzzy (Kusumadewi dan Purnomo 2010),
diantaranya adalah :
1.
Konsep logika fuzzy yang menggunakan dasar teori himpunan, mudah
dimengerti.
2.
Sangat fleksibel, artinya mampu beradaptasi dengan perubahan-perubahan
dan ketidakpastian yang menyertai permasalahan.
3.
Memiliki toleransi terhadap data yang tidak tepat, sehingga jika ada data yang
tidak homogen, logika fuzzy memiliki kemampuan untuk menangani data
tersebut.
4.
Mampu memodelkan fungsi-fungsi nonlinear yang sangat kompleks.
5.
Dapat membangun dan mengaplikasikan pengalaman-pengalaman para
pakar secara langsung tanpa harus melalui proses pelatihan.
6.
Dapat bekerjasama dengan teknik-teknik kendali secara konvensional.
7.
Logika fuzzy didasarkan pada bahasa alami, sehingga mudah dimengerti.
Pada himpunan tegas (crisp), nilai keanggotaan hanya ada dua
kemungkinan, yaitu 0 atau 1. Pada himpunan fuzzy, nilai keanggotaan terletak
pada rentang 0 sampai 1. Terkadang kemiripan antara keanggotaan fuzzy dengan
probabilitas menimbulkan kerancuan, karena keduanya memiliki nilai interval [0,1],
namun interpretasi nilainya sangat berbeda, antara fuzzy dan probablitas.
Keanggotaan fuzzy memberikan suatu ukuran terhadap pendapat atau keputusan,
sedangkan probabilitas mengindikasikan proporsi terhadap keseringan suatu hasil
bernilai benar dalam jangka panjang (Kusumadewi dan Purnomo 2010).
Ada tiga operator dasar untuk mengkombinasi dan memodifikasi himpunan
fuzzy, yang diciptakan Zadeh, yaitu operator AND, OR dan NOT (Kusumadewi dan
Purnomo 2010). Tiap-tiap aturan (proposisi) pada basis pengetahuan fuzzy akan
berhubungan dengan suatu relasi fuzzy.
Bentuk umum dari aturan yang
digunakan dalam fungsi implikasi adalah :
IF x is A THEN y is B
Dengan x dan y adalah skalar, dan A dan B adalah himpunan fuzzy. Proposisi
yang mengikuti
IF disebut sebagai anteseden, sedangkan proposisi yang
mengikuti THEN disebut sebagai konsekuen.
Sistem Inferensi Fuzzy (Fuzzy Inference System atau FIS) merupakan
suatu kerangka komputasi yang didasarkan pada teori himpunan fuzzy, aturan
fuzzy berbentuk IF-THEN, dan penalaran fuzzy (Kusumadewi dan Hartati 2010).
22
Sistem inferensi fuzzy menerima input crisp. Input ini kemudian dikirim ke basis
pengetahuan yang berisi n aturan fuzzy dalam bentuk IF-THEN. Fire strength
akan dicari pada setiap aturan. Apabila jumlah aturan lebih dari satu, maka akan
dilakukan agregasi dari semua aturan.
Selanjutnya, pada hasil agregasi akan
dilakukan defuzzy untuk mendapatkan nilai crisp sebagai output system (Gambar
2.4).
Aturan-1
IF-THEN
fuzzy
crips
AGREGASI
INPUT
Aturan-n
fuzzy
fuzzy
IF-THEN
DEFUZZY
crisp
OUTPUT
Gambar 2.4
Diagram blok Sistem Inferensi Fuzzy (Kusumadewi dan Hartati
2010)
Ada beberapa metode Fuzzy Inference System (FIS) (Kusumadewi dan
Purnomo 2010), yaitu :
1.
Metode Tsukamoto
Metode Tsukamoto merupakan perluasan dari penalaran monoton, pada
metode ini, setiap konsekuen pada aturan yang berbentuk IF-THEN harus
direpresentasikan
dengan
suatu
himpunan
fuzzy
dengan
fungsi
23
keanggotaan yang monoton. Sebagai hasilnya, output hasil inferensi dari
tiap-tiap aturan diberikan secara tegas (crisp) berdasarkan α-predikat (fire
strength).
Hasil akhirnya diperoleh dengan menggunakan rata-rata
terbobot.
2.
Metode Mamdani
Metode Mamdani dikenal sebagai metode max-min yang diperkenalkan
oleh Ebrahim Mamdani pada tahun 1975.
Untuk mendapatkan output pada metode Mamdani, diperlukan 4 tahapan,
yaitu:
a. Pembentukan himpunan fuzzy
Pada Metode Mamdani, baik variabel input maupun variabel output
dibagi menjadi satu atau lebih himpunan fuzzy.
b. Aplikasi fungsi implikasi
Pada metode Mamdani, fungsi implikasi yang digunakan adalah Min.
c. Komposisi aturan
Ada 3 metode komposisi aturan yang digunakan dalam melakukan
inferensi sistem fuzzy, yaitu: max, additive dan probabilistik OR
(probor).
Pada Metode Max, solusi himpunan fuzzy diperoleh dengan
cara mengambil nilai maksimum aturan, kemudian menggunakannya
untuk memodifikasi daerah fuzzy, dan mengaplikasikannya ke output
dengan menggunakan operator OR (union). Jika semua proposisi telah
dievaluasi, maka output akan berisi suatu himpunan fuzzy yang
merefleksikan kontribusi dari tiap-tiap preposisi. Pada metode Additive
(sum), solusi himpunan fuzzy diperoleh denagn cara melakukan
bounded-sum terhadap semua output daerah fuzzy.
Sedangkan
metode probabilistik OR (probor), solusi himpunan fuzzy diperoleh
dengan cara melakukan product terhadap semua output daerah fuzzy.
d. Penegasan (defuzzy)
Input dari proses defuzzifikasi adalah suatu himpunan fuzzy yang
diperoleh dari komposisi aturan-aturan fuzzy, sedangkan output yang
dihasilkan merupakan suatu bilangan pada domain himpunan fuzzy
tersebut. Sehingga jika diberikan suatu himpunan fuzzy dalam range
tertentu, maka harus dapat diambil suatu nilai crisp tertentu sebagai
output.
24
3.
Metode Sugeno
Penalaran menggunakan metode Sugeno hampir sama dengan penalaran
pada metode Mamdani, hanya saja output system tidak berupa himpunan
fuzzy, melainkan berupa konstanta atau persamaan linear. Metode ini
diperkenalkan tahun 1985 oleh Takagi-Sugeno Kang, sehingga metode ini
sering juga dinamakan dengan metode TSK (Kusumadewi dan Purnomo
2010)
2.7.
Bayesian dan Decision Network
Dalam dekade terakhir, Bayesian Network semakin banyak diterapkan
dalam berbagai bidang ilmu. Barton et al. (2008) melaporkan bahwa Bayesian
Network juga diterapkan di bawah ketidakpastian pengelolaan lingkungan dan juga
untuk pengelolaan air terpadu.
Bayesian Network terdiri dari struktur grafis dan deskripsi hubungan
probabilistik antara variabel dalam sistem (Borsuk et al. 2004). Oleh karena itu,
maka pada Bayesian Network, peluang dari suatu peubah tertentu dapat diketahui
kalau diketahui nilai peubah lain. Lebih jauh Borsuk et al. (2004) menyatakan
bahwa struktur grafis secara eksplisit merupakan asumsi sebab akibat yang
memungkinkan suatu rantai sebab akibat terhubung secara kompleks yang
memungkinkan adanya hubungan bersyarat. Setiap hubungan ini kemudian dapat
secara independen diukur menggunakan sub model yang sesuai untuk jenis dan
skala informasi yang tersedia. Pendekatan ini sangat berguna untuk pemodelan
ekologis karena pola diprediksi dapat muncul pada berbagai skala, sehingga
dibutuhkan bermacam-macam bentuk model.
Sedangkan pada Decision Network, kita dapat mengetahui bagaimana
kaitan dari tiga hal, yaitu keputusan yang diambil, resiko yang terjadi, serta
ketidakpastian dari peubah-peubah dalam Bayesian Network. Decision Network
(DN)
atau sering
disebut
juga
sebagai
Influenced
Network
merupakan
pengembangan dari Bayesian Network (BN).
Ada tiga hal yang merupakan hal penting dalam suatu Bayesian Network
yaitu :
•
Himpunan node (setiap peubah diwakili satu node)
•
Link antar dua node (merepresentasikan keterkaitan sebab-akibat dari node
sumber ke node terminal)
25
•
Tabel peluang bersyarat pada stiap node dengan syarat parent dari node
tersebut.
Pada Decision Network, kita dapat mengetahui bagaimana kaitan dari tiga
hal, yaitu keputusan yang diambil, resiko yang terjadi, serta ketidakpastian dari
peubah-peubah dalam Bayesian Network.
Decision Network merupakan hasil
integrasi antara Bayesian Network dengan keputusan yang diambil dan fungsi
utility (fungsi keuntungan/risiko).
Decision Network (DN) terdiri dari tiga jenis node, yaitu :
a. Chance node : node yang merepresentasikan peubah-peubah dalam
BN. Node ini dilambangkan dengan simbol
Chance node :
b. Decision node : node yang merepresentasikan peubah keputusan,
sehingga nilai dari node ini adalah semua kemungkinan keputusan
yang bisa diambil. Decision node dilambangkan dengan :
Decision node :
c. Utility node : node yang merepresentasikan nilai resiko yang mungkin
terjadi. Oleh karena itu, nilai dari node ini adalah semua kemungkinan
resiko yang bisa terjadi akibat dari keputusan yang diambil dan
ketakpastian yang ada pada BN. Utility node dilambangkan dengan :
Utility node :
2.8.
Kalender Tanam
Sebuah studi mengenai kalender tanam dilakukan di Malaysia oleh Lee et
al. (2005).
Studi ini membahas cara-cara dan sarana untuk mengatasi masalah
kelangkaan air dengan menetapkan kalender untuk jadwal tanam dengan
mempertimbangkan curah hujan, sungai yang tersedia dan kebutuhan air irigasi di
aliran sebagai acuan. Sebuah pendekatan neraca air dengan menggunakan data
cuaca dan curah hujan selama 48 tahun digunakan dalam penelitian ini.
26
Pola tanam existing adalah padi-padi (Gambar 2.5). Kalender tanam
dicirikan oleh dua musim: main season dan off season. Dalam jadwal kalender ini,
off season berlangsung dari Mei sampai Oktober sedangkan main season dari
November sampai April. Pada off season, kalender tanam existing menghadapi
kelangkaan air. Varietas yang ditanam merupakan varietas dengan produksi tinggi
dan pematangan cepat, dengan durasi pertumbuhan 120-125 hari. Jadwal tanam
secara tradisional mengikuti pola curah hujan di Malaysia (Hill, 1977 dalam Lee et
al. 2005).
Gambar 2.5
Kalender tanam existing (Lee et al. 2005)
Jadwal penanaman tanaman yang telah disesuaikan untuk menghasilkan
manfaat maksimal dari aliran sungai maupun dari distribusi curah hujan
ditunjukkan pada Gambar 2.6. Jadwal tanam yang diusulkan memperhitungkan
fitur penting sebagai berikut: (1)
periode persiapan lahan bertepatan dengan
curah hujan, (2) target panen dari tanaman dalam periode kering;
dan (3)
menghindari penanaman pada bulan November / Desember dimana intensitas
angin musim timur laut pada puncaknya. Dengan demikian, tanaman main-season
kemudian harus dijadwalkan antara bulan September dan Februari, sedangkan
27
panen off season ditetapkan antara bulan Maret dan Agustus. Jadwal tanam telah
diatur sebagai berikut; tanaman main-season dimulai sebelum dimulainya musim
timur laut, dan berakhir dengan panen pada bulan Februari, saat kering. Untuk
tanaman off season, ditargetkan untuk panen pada bulan Agustus, menghindari
datangnya monsun timur laut pada bulan September.
Kalender tanam yang
diusulkan dapat mengurangi kebutuhan air irigasi sebesar 30% dan 19% masingmasing pada saat main-season dan off season, sehingga jadwal tanam menjadi
lebih baik (Lee et al. 2005).
Gambar 2.6
Kalender tanam usulan (Lee et al. 2005)
28
Gambar 2.7
Peta kalender tanam level kabupaten untuk skenario tahun basah
Pulau Jawa (Las et al. 2007a)
Penyusunan mengenai kalender tanam telah dilakukan mulai
TA 2007
(Pulau Jawa), tahun 2008 (Pulau Sumatera) di Departemen Pertanian melalui
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, dan telah menyusun Peta
Kalender Tanam Pulau Jawa dan Sumatera berbasis kabupaten dengan skala
1:1.000.000 (Gambar 2.7) dan berbasis kecamatan dengan skala 1:250.000
(Gambar 2.8). Peta ini menggambarkan waktu tanam dan pola tanam tanaman
semusim, terutama padi, berdasarkan potensi dan dinamika sumber daya iklim
dan air (Las et al. 2007a dan Las et al. 2007b). Sedangkan pada tahun 2009,
sudah disusun Peta Kalender Tanam Tanaman Pangan Pulau Kalimantan dan
Pulau Sulawesi 1:1.000.000 dan Atlas Kalender Tanam Tanaman Pangan Pulau
Kalimantan dan Pulau Sulawesi 1:250.000 (Runtunuwu et al. 2009).
Peta kalender tanam tersebut disusun berdasarkan kondisi periode tanam
yang dilakukan oleh petani saat ini, dan berdasarkan tiga kejadian iklim yaitu tahun
basah (TB), tahun normal (TN), dan tahun kering (TK). Dengan demikian kalender
dan pola tanam yang akan diterapkan dapat disesuaikan dengan masing-masing
kondisi iklim tersebut. Peta kalender tanam dalam atlas ini disusun sesederhana
mungkin agar mudah dipahami oleh para penyuluh, petugas dinas pertanian,
kelompok tani dan petani dalam mengatur kalender tanam dan pola tanam, sesuai
dengan dinamika iklim. Atlas ini juga memiliki keunggulan, yaitu dinamis, karena
29
disusun berdasarkan beberapa kondisi iklim, operasional pada skala kecamatan,
spesifik lokasi, karena mempertimbangkan kondisi sumberdaya iklim dan air
setempat, mudah diperbaharui), dan mudah dipahami oleh pengguna karena
disusun secara spasial dan tabular dengan uraian yang jelas.
Gambar 2.8
Peta Kalender Tanam level kabupaten untuk tahun basah di Pulau
Jawa (Las et al. 2007a).
30000
120000
Kalimantan Timur
2007 TN
2004 TB
2003 TN
2002 TN
60000
2001 TK
2000 TN
40000
20000
2004 TB
20000
2003 TN
2002 TN
15000
2001 TK
2000 TN
10000
5000
0
0
J
F
M
A
M
J
J
A
S
O
N
D
J
Bulan
50000
F
M
A
M
Kalimantan Tengah
J
J
A
S
Kalimantan Selatan
2006 TN
Luas Tanam (ha)
2003 TN
30000
2002 TN
2001 TK
2000 TN
20000
N
D
N
D
2007 TN
100000
2006 TN
2005 TK
2004 TB
O
Bulan
120000
2007 TN
40000
Luas Tanam (ha)
2006 TN
2005 TK
2005 TK
80000
2007 TN
25000
Kalimantan Barat
2006 TN
Luas Tanam (ha)
Luas Tanam (ha)
100000
2005 TK
80000
2004 TB
2003 TN
2002 TN
60000
2001 TK
2000 TN
40000
20000
10000
0
0
J
J
F
M
A
M
J
J
Bulan
Gambar 2.9
A
S
O
N
D
F
M
A
M
J
J
A
S
O
Bulan
Distribusi kalender tanam rata-rata propinsi Kalimantan: (a)
Kalimantan Barat, (b) Kalimantan Tengah, (c) Kalimantan Timur,
dan (d) Kalimantan Selatan (Runtunuwu et al. 2009).
30
Jika diperhatikan kalender tanam per propinsi pada Gambar 2.10, waktu
tanam di Kalimantan Barat relatif seragam antar tahun. Tidak terlihat perubahan
luas tanam yang signifikan pada tahun normal, tahun basah dan tahun kering.
Selain itu juga luas penanaman pada MT2 sangat kecil dibanding dengan luas
taman pada waktu MT1.
Sebagai tindak lanjut dari kegiatan kalender tanam Departemen Pertanian
juga mulai melakukan sosialisasi kalender tanam. Pada tahun 2007 selain telah
dihasilkan Atlas Kalender Tanam Tanaman Pangan Pulau Jawa yang berisikan
saran informasi tanggal tanam untuk setiap kecamatan di Pulau Jawa dengan
output yang dihasilkan, selain Atlas juga Buku, CD dan WEB.
Kegiatan ini
dilanjutkan dengan kegiatan sosialisasi agar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat
pertanian d seluruh Pulau Jawa. Pada bulan Desember 2007, kegiatan sosialisasi
telah dlakukan oleh Litbang Pertanian melalui Balai Besar Sumberdaya Lahan
Pertanian (BBSDLP) yang diikuti oleh Dinas Pertanian di Pulau Jawa. Pada tahun
2008, Litbang Pertanian bekerjasama dengan Direktorat Pengelolaan Lahan dan
Air juga melakukan kegiatan sosialisasi Kalender Tanam di seluruh Indonesia
secara bertahap (Runtunuwu et al. 2009).
Materi utama yang disampaikan pada setiap kegiatan sosialisasi ada tiga
hal, yaitu (1) Kalender Tanam Untuk Menghadapi Dampak Perubahan Iklim pada
Sektor Pertanian, (2) Dasar Penyusunan Kalender Tanam, dan (3) Cara membaca
Atlas dan Buku Kalender Tanam.
Sejak tahun 2010 dirintis pengembangan model kalender tanam dinamik,
yang mengakomodasi sifat dinamik perubahan variabel lain penentu sifat iklim,
seperti fase SOI dan SST.
Model kalender tanam dinamik diharapkan dapat
mudah digunakan oleh pengambil kebijakan sebagai alat bantu pengambil
keputusan untuk menyusun strategi pertanaman pada musim tanam tertentu yang
menyesuaikan dengan kondisi iklim.
Pengembangan alat bantu pengambilan
keputusan tersebut diharapkan juga dapat membantu otoritas lokal untuk
mengevaluasi dan menilai tingkat risiko pengambilan keputusan tertentu pada
musim tertentu berdasarkan prakiraan iklim yang diberikan, sehingga dapat
meminimalkan risiko iklim tetapi di sisi lain dapat meningkatkan keuntungan
ekonomi. Kegiatan ini dimulai dengan kegiatan di proyek I-MHERE IPB 2-C (Boer
et al. 2010), dan pada saat yang sama risetnya dikembangkan lebih jauh lagi
31
dengan kegiatan KKP3T dengan menggunakan metode yang lebih diperluas
cakupannya (Buono et al. 2010).
Salah satu pendekatan model kalender tanam dinamik adalah jejaring
pengambilan keputusan (Decision Network).
Dalam Decision Network (DN),
keputusan pemilihan pola ditetapkan berdasarkan informasi iklim dan informasi
lainnya yang diperoleh sebelum keputusan dibuat (Buono et al. 2010). Informasi
dimaksud diantaranya anomali SST yang dapat digunakan sebagai indikator
tentang kemungkinan perubahan awal masuk musim hujan, prakiraan panjang
musim hujan atau sifat hujan pada musim tanam. Hal itu sejalan dengan pendapat
Lo et al. (2007) dan Robertson et al. (2009) yang menyatakan bahwa awal musim
serta kekuatan dan durasi dari musim hujan merupakan karakteristik kunci dari
keragaman hujan dan berkaitan dengan kuat pada keragaman pola ENSO.
Gambar 2.10 Tampilan untuk masuk ke aplikasi web Kalender Tanam Terpadu
Gambar 2.11 Tampilan peta tematik kekeringan skala nasional pada Kalender
Tanam Terpadu
32
Pada akhir tahun 2011, Badan Litbang Pertanian yang dimotori oleh Balai
Besar Sumberdaya Lahan Pertanian meluncurkan ”Soft Launching Kalender
Tanam Terpadu”.
Pada kalender tanam terpadu sudah menggabungkan
teknologi-teknologi yang mendukung untuk tercapainya produksi yang optimal,
diantaranya
varietas,
pemupukan,
metodologi
identifikasi
bencana
banjir,
kekeringan dan OPT serta menggunakan prediksi musim. Kalender tanam tepadu
ditunjang dengan basisdata yang terorganisir dengan baik.
Kalender tanam
terpadu dapat diakses pengguna dan bersifat user friendly.
Pengguna dapat
mengakses dan juga menambahkan data pada feature yang sudah disediakan,
sesuai lokasi yang ingin diketahui.
Pertanian,
Akses tersedia di situs Badan litbang
http://www.litbang.deptan.go.id/, klik Kalender Tanam Terpadu.
Contoh tampilan dari Kalender Tanam Terpadu disajikan pada Gambar 2.10 dan
2.11.
Download