Warta Plasma Nutfah Indonesia Nomor 25 Tahun 2013

advertisement
Warta
s
Nomor 25 Tahun 2013
ISSN 1410-2021
Plasma Nutfah Indonesia
Media Komunikasi Komisi Nasional Sumber Daya Genetik
Sifat Kualitatif dan Kuantitatif
Mangga Malam
Warta Plasma Nutfah Indonesia
merupakan media komunikasi dan
pemasyarakatan plasma nutfah,
terbit secara berkala satu kali
setahun. Redaksi menerima
sumbangan naskah berupa artikel
maupun berita (news) tentang
keplasmanutfahan. Isi warta
Plasma Nutfah Indonesia dapat
dikutip tanpa izin Redaksi maupun
penulis tetapi perlu menyebut
sumbernya.
Berita Utama
Sifat Kualitatif dan Kuantitatif
Mangga Malam
1
Artikel
Padi Lokal Srijaya: Umur
Genjah, Efisien Pupuk,
Disukai Petani dan Pedagang
4
Berita
Percepatan Implementasi
Program Pemuliaan melalui
Pengelolaan Sumber Daya
Genetik dan Analisis Genom
Mangga termasuk komoditas hortikultura yang mempunyai prospek
untuk dikembangkan, mengingat mempunyai kandungan gizi tinggi,
mudah dibudidayakan dan digemari oleh banyak konsumen karena
aroma dan cita rasa yang khas. Buah mangga memiliki kandungan vitamin A dan C yang cukup tinggi, masing-masing 1.000 IU/100 g dan 20
mg/100 g bobot segar. Bahkan mangga merupakan salah satu sumber
betakaroten alami yang sangat potensial melarutkan radikal bebas
(http://forlima-wordpress.com. 2008) sehingga penting bagi kesehatan.
Mangga dapat dikonsumsi dalam bentuk segar maupun dalam bentuk
olahan, mempunyai peluang yang sangat besar untuk ekspor. Permintaan mangga di pasar dunia luar negeri cukup besar, tetapi belum dapat dipenuhi, karena kualitas dan kuantitas yang kurang baik serta kontinuitas
suplai yang tidak rutin.
Isi Nomor Ini
Pangan Tradisional Sumatera
Utara Berbasis Budaya dan
Pelestarian In Situ
M
angga (Mangifera indica L) merupakan tanaman buah yang
potensial dikembangkan karena mempunyai tingkat keragaman genetik yang tinggi, sesuai dengan agroklimat Indonesia,
dan disukai oleh hampir semua lapisan masyarakat dan memiliki pasar
yang luas. Selain itu, mangga merupakan salah satu buah unggulan
nasional. Beberapa buah unggulan nasional yang memiliki peluang
pasar selain mangga adalah pisang, jeruk, pepaya, durian, manggis,
sawo, apokat, melon, dan semangka.
Peningkatan produksi mangga dapat ditempuh melalui intensifikasi,
diversifikasi (macam-macam jenis mangga termasuk mangga lokal
1
2
4
5
3
2
16
Penampilan Mangga Golek (1), Malam (2), Arumanis (3), dan Malam Lumut (4).
Warta Plasma Nutfah Indonesia Nomor 25 Tahun 2013
1
unggul), rehabilitasi dan ekstensifikasi. Kebijakan diversifikasi dapat ditempuh dengan mendiseminasikan mangga unggul yang
telah dilepas pemerintah.
Sampai tahun 2003, pemerintah telah melepas 17 varietas
unggul mangga yang berasal dari
berbagai daerah. Di Kabupaten
Gunungkidul, Provinsi Daerah
Istimewa (DI) Yogyakarta, terdapat satu jenis mangga yang telah
dibudidayakan sejak tahun 1900an, yaitu “mangga Malam”.
Mangga malam berasal dari
kata mangga, artinya buah mangga dan malam berarti matang sekali (overripe), sehingga mangga
Malam akan nikmat apabila dikonsumsi dalam keadaan matang
benar.
Berdasarkan informasi dari
Dinas Pertanian Kabupaten Gunungkidul, pada tahun 1970 kondisi vegetasi di Watugajah, Gunungkidul didominasi oleh mangga. Pada tahun 2005 populasi
mangga keseluruhan di Gunungkidul mencapai 196.900 pohon,
termasuk mangga malam 155.815
pohon.
Warta
Plasma Nutfah Indonesia
Penanggung Jawab
Sekretaris Komisi Nasional
Sumber Daya Genetik
Karden Mulya
Redaksi
Sutrisno
Hermanto
Joko Prasetiyono
Ida N. Orbani
Alamat Redaksi
Sekretariat Komisi Nasional
Sumber Daya Genetik
Jl. Tentara Pelajar 3A, Bogor
Tel./Faks. (0251) 8327031
E-mail: [email protected]
2
Penampilan mangga malam
yang sudah masak benar sangat
menarik. Mangga Malam sering
dipromosikan dalam berbagai
pameran, di antaranya pameran
mangga Malam pada tanggal 21
Oktober 2003 di Balai Desa
Wonosari, Kabupaten Gunungkidul, diikuti petani pemilik
pohon mangga Malam. Pada saat
ini populasi mangga Malam meningkat dan menjadi salah satu
sumber penghasilan keluarga petani di Watugajah, Gunungkidul.
Mengingat mangga Malam
merupakan salah satu kekayaan
sumber daya genetik nasional
yang memiliki keunggulan spesifik, diperlukan karakterisasi sifat kualitatif dan kuantitatif untuk
menggali potensi mangga Malam.
Tidak menutup kemungkinan gengen yang membawa karakter tertentu terdapat pada tanaman
mangga Malam, yang diperlukan
dalam proses pemuliaan tanaman.
Dari kegiatan karakterisasi akan
dihasilkan deskripsi tanaman,
yang penting artinya sebagai pedoman dalam pemanfaatan sumber genetik dalam program pemuliaan.
Karakterisasi meliputi data
paspor, karakterisasi tanaman, dan
evaluasi awal. Karakterisasi sifat
kualitatif dan kuantitatif bertujuan
untuk (1) mendapatkan informasi
karakter mangga Malam sebagai
genotipe yang memperkaya plasma nutfah di Indonesia, khususnya di Gunungkidul, DI Yogyakarta, dan mendapatkan deskripsi
tanaman, (2) menambah pilihan
atau alternatif dari varietas mangga yang sudah dilepas, (3) mendukung keberhasilan pengembangan
komoditas mangga yang memiliki
keunggulan mutu hasil, produktivitas dan prospek pasar, (4)
mengangkat potensi daerah asal
mangga malam untuk mendukung
peningkatan Pendapatan Asli
Daerah (PAD); (5) mendorong
promosi wisata agro di Kabupaten
Gunungkidul, dan (6) meningkatkan kesejahteraan petani melalui
komoditas mangga malam. Dalam
era otonomi daerah, setiap daerah
mempunyai hak dan kewajiban
untuk mengelola dan mendapatkan keuntungan dari sumber daya
genetik asli daerah secara lebih
leluasa.
Asal Usul Mangga Malam
Pada tahun 1900 terdapat
populasi alam sebanyak 20 pohon.
Melalui seleksi masa positif
terpilih turunan pohon mangga
malam yang sekarang dikenal dan
dikembangkan.
Di Kabupaten Gunungkidul
terdapat berbagai nama mangga
lokal maupun yang sudah dilepas.
Di daerah perbukitan Batur
Agung yang mencakup Kecamatan Gedangsari, Patuk, Nglipar,
Ngawen, Semin, terdapat pertanaman mangga. Pada tahun
1900 terdapat pohon mangga di
pekarangan rumah di Dusun
Watugajah, Desa Watugajah, Kecamatan Gedangsari, Kabupaten
Gunungkidul. Pada tahun 1971 dicanangkan program penghijauan
untuk pengembangan mangga
malam atas inisiatif Kepala Desa
dengan cara mengumpulkan biji
mangga dari pohon mangga Malam yang ada. Program penghijauan dilanjutkan pada tahun 1975
oleh Pemerintah Provinsi DI
Yogyakarta. Pada tahun 1977 terdapat program pembangunan kantor desa, sehingga pohon mangga
Malam peninggalan yang ada
ditebang karena generasi pohon
mangga Malam yang baru telah
ada. Sampai sekarang pohon
mangga generasi baru berumur
+34 tahun, masih dirawat dengan
baik dan masih produktif dengan
hasil +90-150 buah/pohon/tahun.
Warta Plasma Nutfah Indonesia Nomor 25 Tahun 2013
Pada tahun 2002 BPSTPH
DIY menetapkan satu pohon
mangga Malam sebagai pohon
induk tunggal di Dusun Watugajah, Desa Watugajah, Kecamatan
Gedangsari,
Kabupaten
Gunungkidul.
Daging buah mangga Malam
berwarna oranye seperti warna
madu (bagian dalam) dan di
lingkar luarnya berwarna kuning,
merupakan ciri khas mangga
Malam. Ciri khas mangga Malam
tersebut dapat dipertahankan oleh
masyarakat Gunungkidul karena
dalam budi daya mangga Malam
tidak dibiasakan melakukan pengerodongan buah mangga. Konsumen buah mangga lebih menyukai hasil panen buah mangga
yang tidak dikerodong, karena
warna kulit buah yang dikerodong
lebih muda.
Karakter Morfologi
Mangga Malam
Berdasarkan pengamatan terhadap 67 sifat morfologi mangga
Arumanis, Manalagi, dan Golek,
ternyata mangga malam berbeda
dengan ketiga varietas pembanding. Deskripsi karakter morfologi mangga Malam sebagai berikut:
A. Data umum/paspor data
: Mangifera indica L.
a. Nama jenis
tanaman
: Mangga Malam
b. Nama
varietas/klon
c. Lokasi
Provinsi
: DIY
Kabupaten
: Gunungkidul
Kecamatan
: Gedangsari
Desa
: Watugajah
Dusun
: Watugajah
: 200-400 m dpl
d. Tinggi
tempat
e. Jenis tanah
: Lempung
f. pH tanah
: 6,8
g. Asal tanaman : Biji
: 34 tahun
h. Perkiraan
umur
tanaman
i. Cara
perbanyakan
j. Jumlah
koleksi
k. Tempat
tumbuh
l. Penyebaran
m. Bahan
terpilih
n. Tanaman
induk terpilih
o. Nomor
pohon induk
p. Status
q. Tumbuhan
lain di sekitar
r. Pemilik PIT
Nama
Alamat
lengkap
Nomor PIT
Tanam tahun
Ditetapkan
sebagai PIT
B. Data Tanaman
1. Karakter pohon
Tinggi pohon
Lingkar batang
Bentuk tajuk
Keadaan tajuk
Bentuk batang
Percabangan
Letak cabang
terendah
Tekstur kulit
batang
Warna kulit
2. Karakter daun
Bentuk daun
Tepi daun
Ujung daun
Belahan daun
Warna daun
bagian atas
Warna daun
bagian bawah
Permukaan
daun bagian
atas/bawah
Tipe daun
Arah daun
menghadap
Warta Plasma Nutfah Indonesia Nomor 25 Tahun 2013
: Vegetatif
: 155.815 pohon
: Pekarangan
: Terbatas
Gunungkidul
: 37
: Populasi
: PI/Mg/XVI/226.067
: Sudah dibudidaya
: Sejenis dan lainnya
(sawo buah, jambu
air, dan lain-lain)
: Sukijatmo
: Dusun Watugajah,
Desa Watugajah,
Kec. Gedangsari,
Kab. Gunungkidul
: PI/MG/XVI/226.067
: 1971
: 2002
:
:
:
:
:
:
4-8 m
118 cm
Membulat
Sedang
Silindris
Melengkung ke
atas
: 1-5 m
: Kasar
: Coklat tua
: Bulat memanjang
(oblong)
: Berombak
: Meruncing
pendek
: Simetris
: Hijau muda
: Hijau muda
: Berkerut suram
: Datar
: Ke atas
Ukuran daun
(cm)
Panjang tangkai
daun (cm)
Siklus daun
baru
3. Karakter bunga
Warna bunga
Kedudukan
bunga
Jumlah bunga
pertandan
Warna kelopak
bunga
Jumlah benang
sari
4. Karakter buah
Tipe buah
Bentuk buah
Tekstur kulit
buah
Panjang buah
(cm)
Lebar buah
(cm)
Tebal buah
(cm)
Berat buah/biji
Warna kulit
buah
Duri buah
Rambut buah
Warna daging
buah
Rasa daging
buah
Tekstur daging
buah
Kadar gula
Kandungan air
Aroma
Panjang tangkai
buah (cm)
Ketahanan
buah dalam
pengangkutan
Ketahanan buah
dalam
penyimpanan
5. Produksi
Jadwal berbuah
: P 15,3-26,8;
L 6,1-8,1
: 2,0-4,2
: Ritmik
: Kuning keputihan
: Ujung batang/
cabang/batang
: 215-500 kuntum
: Hijau muda
: 6/kuntum
: Buni
: Bulat telur
: Halus, bertotol
putih
: 10,3-11,8
: 7,5-8,3
: 6,5-7,0
: 306,0-392,5 g
: Kuning tua
: Tidak berduri
: Tidak berambut
: Bagian dalam
oranye, bagian
luar kuning
: Manis ndalu
: Halus tanpa serat
:
:
:
:
15 brix
Basah
Sangat harum
3,77-9,46
: Tahan
: 5 hari (suhu
ruangan)
: Konsisten bulan
7-9
Panen musiman : Pertengahan
dibanding
varietas lain
Produksi/pohon/ : 90-150 buah
tahun atau/
musim
3
Karakter Kualitatif dan
Kuantitatif Mangga Malam
Karakter kualitatif yang
mencolok pada mangga Malam
ialah kulit buah yang sudah masak
benar berwarna kuning kemerahan, rasa sangat manis dan aroma
sangat harum; berbeda dengan
mangga Arumanis dan Golek.
tif dan kualitatif tersebut maka
dapat disusun deskripsi tanaman
mangga Malam.
Kristamtini dan Prajitno al KS
Berdasarkan hasil karakterisasi morfologi, karakter kuantita-
ARTIKEL
Padi Lokal Srijaya: Umur Genjah, Efisien Pupuk,
Disukai Petani dan Pedagang
E
ksplorasi dilakukan pada
17 Maret 2009, di Desa
Wahas, Kecamatan Balong
Panggang, Kabupaten Gresik.
Tanaman padi Srijaya ditanam
pada musim hujan, pada awal
Nopember dan panen awal Februari dan pada MK I Maret-Mei.
Dengan jenis lahan tadah hujan.
Petani, pedagang, dan konsumen
menyebutnya dengan Srijaya, Sri
Ayu atau Mentik. Disebut mentik
karena butiran gabahnya seperti
beras mentik dan tekstur nasinya
pulen.
Varietas ini sudah 23 tahun
yang lalu dikembangkan petani
dan sampai saat ini masih disukai
petani setempat. Keunggulan
Srijaya adalah (1) lebih tahan terhadap hama wereng coklat karena
wilayah ini merupakan daerah
endemik hama wereng coklat, (2)
berumur genjah 92 hari, (3) kebutuhan pupuk sangat irit, (4) hasil
gabah lumayan, dan (4) pada penanaman MK I bulan Maret tanah
tidak perlu diolah (no tillage).
Dari keunggulan tersebut maka
biaya usahataninya lebih rendah.
Dibandingkan dengan VUB
(Ciherang, IR64), harga beras
Srijaya lebih mahal Rp 200/kg.
Hal ini disebabkan karena waktu
4
panen lebih dulu dari padi VUB
yang panennya 20-25 hari kemudian.
Penyebaran Varietas Srijaya
Penyebaran padi Srijaya adalah Kecamatan Balong Panggang
dengan luas areal 1.500 ha dan di
Kecamatan Benjeng 200 ha
sehingga total luas pertanaman di
kedua kecamatan 1.700 ha. Menurut informasi Penyuluh Pertanian
Kabupaten. Mojokerto, di Kecamatan Dawar Blandong juga terdapat areal pertanaman padi
Srijaya.
Karakteristik
1. Terdapat dua varietas Srijaya,
yaitu Srijaya Putih (dengan ciri
pangkal batang putih) dan
Srijaya Merah (pangkal batang
berwarna merah/ungu).
2. Jumlah anakan produktif Srijaya Putih anakan lebih sedikit,
Srijaya Merah lebih banyak.
3. Tinggi tanaman Srijaya Putih
lebih tinggi sehingga mudah
roboh.
4. Kedua varietas tahan terhadap
serangan hama wereng coklat.
5. Umur panen 80-92 hari, bergantung cara tanam:
- pada cara tanam pindah,
umur panen 90-92 hari.
- pada cara tanam tugal benih,
umur panen 80-82 hari.
6. Hasil 5-6 t/ha gabah kering
giling (GKG).
7. Rendemen
beras
58-60%
gabah kering panen (GKP) dan
68-70% GKG.
8. Rasa nasi pulen, tetapi lebih
pulen Srijaya Merah.
9. Bentuk gabah bulat.
Kedua varietas tetap disukai
dan ditanam petani, digunakan sebagai pergiliran varietas.
Pola Usaha Tani
1. Pola tanam
Padi-padi-palawija/kakungkakung, indeks pertanaman
(IP) 400%. Palawija adalah
kedelai, sedang kakung diambil bijinya sebagai bahan
baku pestisida. Pola usaha tani
ini di lahan tadah hujan sudah
maksimal, berarti petani setempat telah mampu memilih
komoditas dan komponen teknologi untuk diterapkan, sesuai
dengan kondisi agroekologi.
Warta Plasma Nutfah Indonesia Nomor 25 Tahun 2013
2. Penerapan teknologi
Cara tanam
- Musim hujan
Penanaman dilakukan secara
tanam pindah, tanah diolah
sempurna, pesemaian dilakukan dan bibit dicabut pada
umur 10-12 hari. Kebutuhan
benih 40 kg/ha, penanaman
4-5 bibit per lubang. Jarak
tanam 18 cm x 18 cm atau
20 cm x 20 cm
- Musim kemarau
Pada penanaman MK II tanah tanpa olah, benih ditanam segera setelah panen,
benih ditugal di antara singgang padi terdahulu, dengan
kebutuhan benih 50 kg/ha.
Teknologi tersebut diterapkan karena petani menyadari
bahwa pada lahan tadah hujan waktu ketersediaan air
terbatas, dan cara tersebut
untuk mengejar panen. Selain itu tanam padi yang kedua
ini lebih menguntungkan,
karena petani tidak mengeluarkan biaya pengolahan tanah dan biaya pesemaian dan waktu panen lebih
cepat sekitar 12 hari dibanding tanam pindah.
Pemupukan
Kebutuhan pupuk hanya ½
dosis dari padi VUB, yaitu
Nampak pangkal berwarna merah pada Srijaya/mentik merah.
Ponska 140 kg, urea 35 kg, dan
SP-36 35 kg, pupuk organik
selalu diberikan pada setiap
musim tanam, dengan demikian biaya pupuk lebih irit
Rp 620.000. Ponska dan SP-36
diberikan sebagai pupuk dasar,
yaitu pada saat tanaman berumur 7-10 HST dan urea sebagai pupuk susulan pertama diberikan pada 30-35 HST.
Pengendalian
penyakit
hama
dan
Serangan hama dan penyakit
pada pertanaman padi Srijaya
hampir tidak ditemui. Berbeda
kalau menanam Ciherang,
hampir setiap musim diserang
hama wereng coklat.
Pemasaran Hasil
Harga beras Srijaya cukup
kompetitif, sekitar Rp 6.1006.300/kg dari petani, lebih mahal
Rp 200 dibandingkan dengan
beras varietas unggul.
Untuk mengembangkan varietas Srijaya, petani setempat
mengharapkan pemurnian benih
oleh instansi terkait di lingkup
Kementerian Pertanian di Jawa
Timur.
Wigati Istuti dan Amik Krismawati
BPTP Jawa Timur
Pangan Tradisional Sumatera Utara
Berbasis Budaya dan Pelestarian In Situ
P
angan tradisional adalah
makanan dan minuman
yang dikonsumsi masyarakat dari golongan etnik setempat.
Resepnya menggunakan bahan
baku lokal dan memiliki rasa yang
sesuai dengan selera masyarakat
setempat. Selain itu pangan tradisional diwariskan dari generasi ke
generasi secara in formal, dengan
bumbunya yang khas. Pangan tradisional dicirikan oleh bahan baku
Warta Plasma Nutfah Indonesia Nomor 25 Tahun 2013
lokal di mana makanan tersebut
berasal.
Pangan tradisional dapat
menjadi tidak populer karena pergeseran gaya hidup. Misalnya,
5
kini masyarakat modern lebih menyukai produk yang mudah diolah
dan mudah disajikan. Akan tetapi,
bila pangan tradisonal terikat
dengan budaya masyarakat, akan
tetap bertahan dari generasi ke
generasi, dan bahan baku lokal
pun terpelihara. Secara tidak langsung pelestarian sumber daya
genetik dilakukan oleh etnis tersebut.
Sumatera Utara adalah salah
satu daerah di Indonesia yang terdiri dari etnis asli dan pendatang.
Etnis aslinya adalah etnis Batak
dan Melayu. Etnis Batak umumnya mendiami kawasan dataran
medium dan dataran tinggi, dan
dibedakan lagi menjadi Batak
Toba, Batak Karo, Pakpak, Batak
Simalungun, dan Mandailing.
Identitas Batak ini dicirikan dari
marga masyarakat. Etnis Melayu
umumnya mendiami daerah pesisir pantai dan tidak bermarga.
Kedua etnis asli ini memanfaatkan tanaman lokal untuk masakan
khas, yang kemudian membudaya
dalam kehidupan sehari-hari sampai sekarang.
Arsik, tombur, naniura, gulai
holat, bubur pedas, daun ubi tumbuk, sayur bangun-bangun, cimpa,
tuak, adalah nama pangan tradisional yang khas di Sumatera
Utara. Bahan-bahan yang digunakan adalah bahan dasar bumbu
masakan Indonesia seperti, cabai,
bawang merah, kunyit, jahe, dan
sebagainya, sedangkan di masing
masing daerah, juga menggunakan bahan khas. Di Sumatera
Utara bahan baku khas seperti
andaliman, bawang batak, unte
jungga, rimbang, bunga kencong,
dan asam sihala atau cekala,
bangun-bangun, daun singkut,
balakka, raru, dan daun kentutkentut. Bahan bahan ini merupakan sumber daya genetik yang
sudah lama ada di Sumatera Utara.
6
Lestari secara in situ karena sudah
membudaya dikalangan etnis asli.
Jika etnis ini merantau, mereka
membawa bahan tersebut, juga dilestarikan secara ex situ.
Budaya Batak dan Pelestarian
Sumber Daya Genetik In Situ
Budaya Batak yang khas, diawali dari kepemilikan marga dan
sesama marga tidak boleh menikah. Dalam hubungan kekerabatan adat secara umum, ada dua posisi dalam kedudukannya secara
adat. Posisi pertama adalah Hulahula (Batak Toba, Simalungun)
atau Kalimbubu (bahasa Karo).
Posisi kedua, Boru atau Beru.
Yang menjadi Boru adalah pihak
marga lain yang mengambil istri
dari marga pihak Kalimbubu. Dalam acara adat sukacita atau dukacita, posisi ini langsung terlihat
dengan posisi tempat duduknya
yang terpisah. Hula-hula atau
Kalimbubu adalah pihak yang dilayani (dihormati) sedangkan beru
atau Boru adalah yang melayani.
Dalam budaya Batak Toba,
acara adat selalu dimulai atau
ditutup dengan makan bersama.
Pihak Hula-hula selalu menyediakan makanan tradisional berbahan
baku ikan mas dan harus dimasak
dengan cara naniarsik. Ini diberikan ke Boru. Pihak Boru menyediakan makanan berbahan baku
daging hewan dimasak nanilompa
untuk diberikan kepada Hulahula. Selalu saling memberi makanan, dengan cara masakan yang
standar, yaitu ikan Mas naniarsik
dan dilompa (baca: loppa). Pihak
Boru juga menyediakan minuman
khas yang disebut tuak. Minuman
ini memang tidak wajib disediakan pada setiap acara makan. Jika
mereka mampu, pihak Hula-hula
juga menyediakan makanan menu
lain, yaitu ikan Mas naniura.
Naniura adalah makanan Batak
Toba yang khas, karena hanya di-
masak melalui fermentasi asam,
tanpa api atau tanpa pemanasan.
Sayurnya yang khas adalah daun
ubi tumbuk.
Bumbu yang digunakan untuk masakan Batak Toba khas diperoleh dari sekitar tempat tinggal
(lokal). Bumbu masakan naniloppa adalah cabai merah, cabai
rawit, jahe, bawang merah, bawang putih, serai, lengkuas, kelapa sangrai, dan andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC).
Sedangkan untuk bumbu ikan
Mas naniarsik, digunakan cabai
merah, serai, jahe, lengkuas, kunyit, andaliman (Zanthoxylum
acanthopodium), bawang batak
(Allium chinense), dan asam sihala atau cekala (Etlingera elatior).
Sedangkan untuk membuat bumbu naniura digunakan asam segar
yang disebut unte jungga (Citrus
macrophylla). Rasa unte jungga
lebih asam dari jeruk nipis. Etnis
Batak yang tinggal dekat Danau
Toba sangat mahir mengolah panganan tradisional ini. Tanaman
yang khas dari bumbu masakan
Batak Toba ini ialah andaliman,
bawang batak, unte jungga, asam
cekala/sihala, dan sayur daun
umbi tumbuk diberi buah rimbang
(Solanum torvum Sw) dan bunga
kencong. Karena dibutuhkan oleh
budaya Batak, tanaman ini tetap
dipelihara di lokasi asalnya (pelestarian in situ). Apabila pindah
ke lokasi lain, mereka membawa
tanaman sesuai dengan agroekosistemnya (pelestarian ex situ).
Budaya yang tidak dapat dipisahkan dari orang Batak pada
saat bayi lahir. Syukuran menyambut anak lahir dengan makan bersama. Makanan yang disajikan adalah sayur bangunbangun (Coleus amboinicus).
Sayur ini dipercaya berfungsi
menambah air susu ibu.
Warta Plasma Nutfah Indonesia Nomor 25 Tahun 2013
Lain halnya dengan Budaya
Batak Karo, etnis ini mempunyai
budaya syukuran sekali setahun,
syukuran panen pertnian yang disebut kerja tahun atau pesta panen
sekali setahun. Mereka mengundang handai tolan untuk makan di
rumah mereka, gratis tanpa imbalan apa-apa, sebagai ucapan syukur kepada Tuhan. Selain menyediakan makan nasi dan lauk pauk,
makanan yang khas pada acara
budaya ini ialah cimpa dan
lemang. Cimpa adalah makanan
ringan yang terbuat dari pulut atau
ketan, yang di dalamnya ada inti
kelapa gula merah diberi lada hitam dan kencur untuk penghangat
badan, yang spesifik dari cimpa
adalah pembungkusnya daun
singkut (Curculigo orchioides).
Aroma daun singkut yang khas
akan keluar tatkala dikukus menempel pada ketan yang dimakan,
menambah cita rasa khas cimpa.
Batak Mandailing memakan
gulai holat. Holat yang berarti
kelat atau sepat bahannya diambil
dari kulit pohon balangka (baca:
balakka). Bahan khusus ini dimasukkan ke dalam gulai ikan yang
berlemak, untuk membuang rasa
“neg”. Pohon balakka (Phylantus
emblica) satu famili dengan cerme, banyak terdapat di Padang
Bolak, (Kabupaten Padang Lawas
Utara) dan di tempat lain di
Sumatera Utara.
Karakteristik Sumber Daya
Genetik Bahan Pangan
Tradisional
Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC)
Bagian tanaman yang dimakan adalah buah dan biji, digiling
dengan cabai dan bumbu lainnya,
dimasak, rasa dan aromanya menjadi khas. Andaliman termasuk
Famili Rutaceae (keluarga jerukjerukan). Tanaman berkayu ini
mempunyai tinggi 3-5 m. Habitat
tumbuhnya pada dataran sedang
basah sampai tinggi basah. Bentuk tanaman perdu, cabang mulai
tumbuh pada ketinggian 20 cm,
dengan kedudukan cabang mendatar. Batangnya berkayu bulat,
warna hijau kehitaman, penuh
duri, berukuran kasar dan halus.
Daunnya daun majemuk dengan
anak daun berjumlah ganjil 3-7,
dipenuhi oleh duri halus, dan beraroma khas kuat. Ukuran daun 812 cm. Warna daun sebelah atas
hijau tua, sebelah bawah hijau
muda.
Andaliman mulai berbuah
setelah tanaman berumur setahun.
Masa produktifnya 3 tahun sehingga umurnya sekitar 5 tahun
saja. Warna kulit buah muda hijau
dan bila tua berwarna merah.
Warna daging buah matang merah. Buah dan biji daging buah
melekat sangat kuat dengan kulit.
Kalau dilepas bentuknya menjadi
tidak teratur. Rasa manis dan pahit tidak ada, tetapi yang ada rasa
bergetar di lidah. Aroma tajam
dan khas, seperti jeruk. Tiap buah
terdapat satu biji, jumlah juring
satu per buah. Tebal kulit 1 mm,
berat kulit per buah 30%, berat
per buah 1,4 g. Tingkat juicy sedikit, dan kulit buah kasar. Ketahanan segar pada suhu kamar seminggu. Buah andaliman ada dua
tipe, yang kecil disebut si manuk,
banyak terdapat di Desa Gonting
Raya, Kecamatan Raya, Kabupaten Simalungun, sedangkan yang
lebih besar disebut si horbo, banyak terdapat di Parsoburan
(Tobasamosir).
Cara pemanfaatan sebagai
bumbu masak, buah dan biji digiling halus dicampurkan dengan
bumbu masakan lainnya, untuk
naniarsik, nanilompa, dan naniura. Bisa juga sebagai sambal segar digiling dengan cabai rawit diberi garam dan air jeruk nipis.
Buah dan biji andaliman penghilang rasa “neg” pada makanan
yang mengandung protein atau
lemak, dan penambah aroma.
Kegunaan lain adalah sebagai
tropical spa.
Pasar penjualan adalah pasar
tradisional di Sumatera Utara,
Proyek Senen Jakarta, dan pasar
bumbu khas Batak di Pasar Anyar
Minuman tuak adalah minuman dengan bahan baku dari air
nira aren, yang diberi kulit kayu,
yang disebut raru. Kulit kayu raru
dimasukkan untuk mengubah rasa
nira aren yang manis menjadi beralkohol, terasa agak pahit. Ada
beberapa jenis kayu yang digunakan sebagai raru, tetapi paling banyak didatangkan dari Sibolga
yang terkenal dengan Raru Sibolga (Shorea balanocarpoides).
Andaliman
Warta Plasma Nutfah Indonesia Nomor 25 Tahun 2013
7
Bogor. Hasil penelitian andaliman
belum banyak, tetapi diketahui
bahwa buahnya mengandung trigeminal, senyawa perangsang selera makan dan berfungsi sebagai
antioksidan.
Bawang
nense)
Batak (Allium
chi-
Bagian tanaman yang dimakan adalah umbi dan daunnya, dicampur pada masakan ikan arsik,
susu arsik. Bawang batak termasuk subfamili Alloidae, famili
Amaryllidaceae, genus Allium.
Tinggi tanaman 40-50 cm. Habitat
tumbuhnya pada dataran sedang
basah sampai dataran tinggi
basah.
Umbinya berwarna putih, sedangkan daunnya hijau berongga.
Umbi berkembang menjadi anakan. Tanaman bawang batak tidak
sulit merawatnya, karena adaptif
pada tanah yang kurang subur.
Hama dan penyakit bawang batak
tidak banyak sehingga biaya perawatannya lebih murah.
Tanaman herba tahunan ini
diperbanyak dengan anakan sehingga tidak memiliki masa dormansi seperti bawang merah.
Jumlah umbi bawang 5-10 per
rumpun. Bentuk umbi oval dan
aromanya khas. Tanaman ini
aututetraploid 2n = 32, menghasilkan daun sepanjang tahun. Di
Sumatera Utara belum pernah
dijumpai berbunga tetapi di negara subtropika tanaman ini berbunga dan berbiji. Panjang akar bawang batak 40-50 cm, seperti
panjang daunnya.
Petani menanamnya pada
lahan yang tidak luas, hanya 200800 m2. Hasil bawang Batak pada
lahan seluas 600 m2 berkisar 120150 kg. Jarak tanam 20 cm x
25 cm. Kandungan nutrisi bawang
Batak adalah kadar air 73,5%;
8
protein 1,7%; gula 11,5%; TSS
4,2%; vitamin B1 8,66; vitamin C
0,16, lisin 0,16; arpasginase
valley 0,161; aspartite acide
throine 0,13%; arginin 0,13%; B
acid serine 0,13; glutamat 0,07;
alanin 0,09; metionin 0,03;
γ-amino-butyric acid 0,12; leusin
isoleusin 0,10.
Kencong (Etlingera elatior)
Kencong atau kecombrang
(Sunda), buahnya disebut asam
sihala/cekala, bahasa latinnya Etlingera elatior atau, Nicolaia speciosa atau Phaeomeria speciosa.
Bunga, batang pucuk, dan
buah kencong atau kecombrang
disukai warga Sumatera Utara,
baik dari etnis Melayu maupun
Batak. Di Sumatera Utara ada satu jenis sayur yang hampir selalu
dapat ditemukan di semua warung
dan rumah makan, yaitu sayur
daun ubi tumbuk. Sayur ini dibuat
dari daun singkong yang ditumbuk, dimasak dengan sedikit santan, ditambah ikan teri, dengan
bumbu bunga kencong, dan rimbang atau cempokak. Sayur sederhana ini cocok mendampingi
hampir semua jenis lauk pauk
yang populer di Sumatera Utara.
Anyang adalah sayuran etnis
Melayu, sejenis urap sayur dengan parutan kelapa yang disangrai dengan bumbu, juga sering
memakai bunga kencong. Rajangan halus bunga kencong pada
umumnya memberikan aroma harum dan rasa asam. Untuk masak
ikan Mas arsik digunakan buah
kencong yang namanya disebut
asam sihala (Batak Toba) atau
asam cekala (Batak Karo). Bentuk
buah dalam satu tandan seperti
buah nenas. Buahnya dilepas dari
tandan, dicuci bersih, lalu digeprak satu per satu sampai agak
terurai kulit buahnya, diperas seperti memeras kelapa. Airnya saja
Kencong
yang diambil, ampasnya dibuang.
Aromanya yang khas semakin tajam setelah dimasak dengan ikan.
Batang tanaman kencong
yang dimanfaatkan adalah batang
yang masih muda, disebut rias
(Batak Toba). Batangnya dikupas,
hingga diperoleh umbut (batang
dalam) yang warnanya putih atau
core. Umbut dipotong sepanjang
jari, dimasukkan ke dalam ikan
arsik, menambah rasa asam, jika
tidak ada asam sihala/cekala.
Selain itu batang kecombrang dijadikan campuran sambal, disebut
sambal rias (Batak Toba). Umbut
dikukus sampai lunak, kemudian
digiling dengan cabai rawit, andaliman, tomat rebus, dan kemiri
goreng atau kemiri bakar. Sambal
ini dimakan dengan ikan bakar
atau ikan goreng.
Kencong atau kecombrang
termasuk famili Zingiberaceae
(keluarga lengkuas-lengkuasan),
tanamanya berumpun seperti
lengkuas. Diameter dan tinggi
tanaman 2-3 kali lebih tinggi dari
lengkuas, tanaman terna ini mempunyai tinggi 5 m. Habitat tumbuhnya pada dataran rendah sampai tinggi. Kecombrang di, yaitu
Warta Plasma Nutfah Indonesia Nomor 25 Tahun 2013
kecombrang bunga merah jambu,
buahnya hijau dan kecombrang
berbunga merah marun, buahnya
berwarna merah, sedangkan rasa
asamnya tidak berbeda.
jadi merah ketika masak. Berbiji
banyak, coklat kehitaman, diselubungi salut biji (arilus) putih bening atau kemerahan yang berasa
masam.
Batang semu berbentuk bulat, membesar di pangkalnya, semakin ke pucuk semakin kecil,
tumbuh tegak dan banyak, berdekat-dekatan, membentuk rumpun jarang, keluar dari rimpang
yang menjalar di bawah tanah.
Rimpang tebal, berwarna krem
kemerah-jambuan ketika masih
muda. Daun 15-30 helai tersusun
dalam dua baris, berseling di batang semu, helaian daun jorong
lonjong, 20-90 cm x 10-20 cm,
dengan pangkal membulat atau
bentuk jantung, tepi bergelombang, dan ujung meruncing pendek, gundul namun dengan bintikbintik halus dan rapat, hijau
mengkilap, sisi bawah keunguan
ketika muda.
Kencong berpeluang menjadi
pengawet alami. Nilai nutrisi per
100 g tanaman dewasa, yaitu
karbohidrat 4,4 g; serat pangan
1,2 g; lemak 1,0 g protein 1,3 g;
air 91 g; kalsium 32 mg (3%);
besi 4 mg (32%), magnesium 27
mg (7%); fosfor 30 mg (4%);
kalium 541 mg (12%); dan seng
0,1 mg (1%).
Bunga dalam karangan berbentuk gasing, bertangkai panjang
0,5-2,5 m x 1,5-2,5 cm, dengan
daun pelindung bentuk jorong, 718 cm x 1-7 cm, berwarna merah
jambu hingga merah terang, berdaging, melengkung membalik
jika mekar. Kelopak berbentuk tabung, panjang 3-3,5 cm, bertajuk
3, terbelah. Mahkota berbentuk
tabung, merah jambu atau merah
tua marun, hingga 4 cm. Labellum
serupa sudip, sekitar 4 cm panjangnya, berwarna merah jambu
terang atau merah marun dengan
tepi putih atau kuning.
Unte Jungga (Citrus macrophylla)
Jeruk ini rasa asamnya melebihi jeruk nipis, digunakan untuk
makanan naniura, yang dimanfaatkan oleh etnis Batak Toba ialah
air buahnya yang masih muda
atau sudah tua. Air buah unte
jungga ini disiramkan ke ikan
Mas yang sudah dilepas tulang
atau durinya. Ikan difermentasi
menggunakan asam dari unte
jungga ditambah air kunyit dan
garam. Tanpa dimasak dengan api
atau air panas, ikan sudah dapat
dimakan dengan bumbu sambal
lainnya.
Buah berjejal dalam bongkol
atau tandan hampir bulat kerucut
gasing di sepertiga ujungnya, berdiameter 10-20 cm untuk tandannya, masing-masing butir 2-2,5
cm besarnya. Berat per buah 4-14
g, sedangkan berat per bongkol
atau tandan 200-800 g. Buah bermata seperti nenas berambut halus
pendek di luarnya, hijau dan menWarta Plasma Nutfah Indonesia Nomor 25 Tahun 2013
Unte jungga, di Minangkabau disebut asam sundai (Citrus
macropylla), termasuk famili Rutaceae, ordo Sapindales. Jenis jeruk ini baik digunakan sebagai
batang bawah jeruk lemon, karena
akan membuat tanaman menjadi
pendek, dibandingkan jika menggunakan jeruk purut. Unte jungga
jeruk tahan terhadap penyakit busuk pangkal batang yang disebabkan oleh jamur Phypthopthora.
Selain itu toleran terhadap tanah
salin.
Pohon unte jungga kecil berkayu, perdu atau semak besar,
tinggi 2-15 m, dengan batang atau
ranting berduri panjang tetapi tidak rapat. Daun hijau abadi dengan tepi rata, tunggal, permukaan biasanya licin dan agak berminyak. Bunga tunggal atau dalam kelompok, lima mahkota
bunga kadang-kadang empat, berwarna putih atau kuning pucat,
stamen banyak, seringkali sangat
harum. Buah bertipe “buah jeruk”
(hesperidium), semacam buah
buni, membulat atau seperti tabung, ukuran bervariasi dengan
diameter 2-30 cm, tergantung
jenisnya, kulit buah biasanya
berdaging dengan minyak atsiri
Unte Jungga
9
yang banyak. Hama yang sering
menyerang tanaman jeruk adalah
kutu daun, ulat Pappilio memnon,
Philocnitis, sedangkan penyakit
yang sering mengifeksi adalah
embun tepung, embun jelaga, dan
virus keriting.
Di tempat lain, buah dan
daunnya dimanfaatkan sebagai
penyedap kue/puding. Aroma
yang khas berasal dari sejumlah
flavonoid dan beberapa terpenoid.
Daging buah mengandung banyak
asam sitrat yang memberikan rasa
masam yang tajam tetapi segar.
Perbanyakan unte jungga dari biji buah yang telah masak
fisiologis. Biji dikeluarkan dari
buah, dikeringanginkan, kemudian disemai. Setelah berdaun
empat ditanam ke polibag, sampai
2-3 bulan. Setelah itu siap ditanam ke lapang atau dijadikan
batang bawah. Habitat tumbuhnya
di dataran medium sampai dataran
rendah, tetapi masih toleran
ditanam di dataran rendah.
Rimbang (Solanum torvum Sw)
Nama lainnya takokak, atau
turkey berry. Takokak atau terung
pipit (Solanum torvum Sw.) adalah tumbuhan dari suku terungterungan (Solanaceae). Habitat
tumbuhnya pada dataran rendah
sampai dataran tinggi basah.
Nama dalam perdagangan
internasional tidak baku, beberapa
di antaranya adalah turkey berry
“buni turki” atau mini-eggplant
“terung mini”. Takokak adalah
tumbuhan semak kecil, yang tingginya dapat mencapai 5 m, jika di
bawah pohon lain atau naungan,
namun biasanya kurang dari 2 m.
Hampir semua bagian tumbuhan
ini berduri, kecuali buah yang ditutupi rambut. Daun bulat telur
dengan pangkal seperti jantung
atau membulat, dengan ujung
10
Rimbang
yang tumpul. Panjang daun 7-20
cm dan lebar 4-18 cm. Tangkai
bunga pendek, sering bercabang
dan banyak bunga, bentuk bunga
bintang berwarna putih di tengahnya berwarna kuning. Buahnya
berjenis buah buni, kecil, dan
banyak. Rimbang tumbuh liar di
hutan semak dan hutan terbuka.
Hidup di dataran rendah sampai
dataran tinggi hingga ketinggian
1.600 m dpl.
Pohon rimbang dikenal tahan
penyakit yang menyerang batang
dan biasa dijadikan batang bawah.
Tanaman ini diperbanyak dari biji
yang sudah tua meskipun pada
umumnya sering disebarkan oleh
burung (melalui kotoran burung).
Buah rimbang selain di percaya masyarakat untuk menyembuhkan mata minus, mengandung
vitamin A. Selain itu, kandungan
vitamin C juga cukup tinggi berguna dalam pengobatan alternatif
herbal, pinggang kaku, bengkak
terpukul, sakit lambung, tidak
datang bulan, dan jantung berdebar.
Balakka (Phylantus emblica)
Holat adalah nama masakan
lauk khas Padang Bolak (Padang
Lawas Utara), Mandailing. Holat
sebenarnya adalah air perasan kulit pohon Balangka (baca: balakka). Batang balakka yang digunakan adalah pada bagian yang berkulit tebal dan masih muda. Metode pembuatannya adalah menyerut kulit balakka setelah bagian
paling luar (kulit ari) dibuang,
sebaiknya serutan jangan sampai
kandas ke bagian batang. Iris jahe
dan bawang, kemudian campurkan kulit balakka yang sudah diserut, setelah cukup rapuh, ditumbuk halus, dan disaring sebelum
dicampur dengan serutan balakka.
Taburkan garam secukupnya,
setelah itu tuangkan air mendidih
dalam adonan tadi (jangan direbus
di atas api). Aduk adonan dengan
merata, tercampur sempurna, masukkan potongan ikan Mas panggang atau ayam panggang. Meski
tampak sangat sederhana, membuat holat tidak segampang yang
dibayangkan, jika salah membuat
rasanya bisa pahit atau tak berasa
sama sekali. Urutan pencampuran
bumbunya harus sesuai, karena
suhu air sangat mempengaruhi rasa. Tidak banyak orang yang dapat membuat holat karena sulit
dan orang yang mempunyai kemahiran membuat holat disebut
pangholati.
Warta Plasma Nutfah Indonesia Nomor 25 Tahun 2013
tuk mengobati busung air, bisul,
dan eksim. Akarnya berkhasiat
sebagai obat batuk darah, radang
usus, sakit lambung, dan tekanan
darah tinggi.
Balakka
Pada lahan yang kurang subur, tinggi tanaman berkisar 3-5
m. Tetapi di tanah yang subur
tumbuhan ini bisa tumbuh lebih
tinggi. Pada musim tertentu, buahnya tampak lebih banyak, bentuk buah bulat sebesar kelereng,
menyimpan air yang sepat-asammanis. Para gembala memakannya untuk melawan rasa haus.
Pohon malaka atau kemloko di
beberapa daerah di Indonesia
mempunyai beberapa sebutan seperti malaka, melaka, kimalaka
(Melayu), balaka (Minangkabau),
malaka (Sunda, Betawi), kemloko
(Jawa), malakah (Madura). Dalam
bahasa Inggris tumbuhan ini
disebut indian gooseberry atau
myrobalan.
Dalam Bahasa Latin dikenal
dengan berbagai nama, yaitu
Cicca emblica Kurz., Emblica
officinalis Gaertn., Mirobalanus
embilica Burm., Phyllanthus mairei Lév, Phyllanthus mimosifolius
Salisb., P. taxifolius D. Don. Para
pakar di Malaysia menduga bahwa pohon ini menjadi asal-usul
nama Kota Melaka, diambil menjadi nama selat, Selat Malaka.
Tanaman ini termasuk genus Phylantes, subfamili Flueggeinae,
famili Phyllanthaceae, dan Ordo
Malpighiales.
Pohon balakka atau malaka
mirip dengan pohon cerme, hanya
lebih besar dan tingginya dapat
mencapai 18 m. Berbatang bengkang-bengkok, dengan tajuk terbuka. Batang pohon malaka (P.
emblica) tegak, bulat, berwarna
coklat keputih-putihan.
Daun melaka atau malaka
menyerupai daun majemuk, berwarna hijau, kecil-kecil memanjang, terletak berseling pada ranting yang kecil ramping, secara
keseluruhan mirip susunan daun
majemuk menyirip. Sepasang
daun penumpu yang kecil, meruncing, coklat kemerahan, mengapit tangkai daun yang pendek.
Pada waktu-waktu tertentu pohon
malaka menggugurkan daunnya.
Bunga jantan dan betina berwarna kuning kehijauan, tersusun
dalam kelompok kecil yang tumbuh di ketiak daun. Buah malaka
mirip buah cerme, namun lebih
bulat dan kurang berusuk. Warna
buah kuning, kuning kehijauan
atau kecoklatan, dengan 6 buah
rusuk membelimbing. Rasanya
masam agak getir (pengar, agak
pahit). Di tengahnya terdapat sebutir inti yang keras, yang terbagi
atas tiga ruang masing-masing
berisi 1-2 biji. Karena itu buah
malaka dapat dimanfaatkan sebagai obat herbal untuk batuk, batuk
berdarah, demam, kencing manis,
sariawan, dan sakit gigi. Sedangkan daun melaka bermanfaat un-
Warta Plasma Nutfah Indonesia Nomor 25 Tahun 2013
Tanaman ini digunakan sebagai obat dengan tanaman Tinospora cordifolia (Tc). Tanaman P.
emblica (Pe) dapat digunakan sebagai obat hepatitis dan antituberkulosis. Sedangkan kulit kayunya
untuk pewarna batik dari bahan
alami di Daerah Istimewa Yogyakarta. Di Bali, buah balakka dibuat sebagai manisan, di Nusa
Tenggara sebagai obat setelah
melahirkan.
Daun Singkut (Curculigo orchioides)
Pemanfaatannya di Sumatera
Utara adalah pembungkus makanan ringan yang bernama cimpa
(Batak Karo). Cimpa seperti lepat
bugis tetapi ditambahkan bumbu
lada hitam dan kencur pada inti
kelapanya. Daun cimpa banyak
diperjualbelikan di pasar lokal
Berastagi dan Kabanjahe, Kabupaten Karo di bulan Agustus
sampai Oktober karena saat itu
musim kerja tahun atau pesta
panen tahunan.
Nama lain dari tanaman singkut adalah bedur (Jawa), congkok
(Sunda), nyeyor-nyeyoran (Madura), doyo (Kutai Kertanegara).
Tanaman ini termasuk genus
Curculigo, famili Hypoxidaceae,
ordo
Asparagal,
monokotil.
Dalam Bahasa Latin disebut
Curculigo angustifolia.
Curculigo sp. adalah salah
satu palem terkecil di dunia yang
berasal dari suku (Arechaceae).
Tumbuhan ini sangat umum ditemui di daerah pegunungan, toleran naungan. Ciri-cirinya memiliki batang yang pendek, dan tulang daun sejajar, tumbuh berum-
11
buahnya dapat dijadikan sebagai
teman minuman sirup.
Daun Kentut-kentut (Paederia
scandens (Lour.) Merr
Daun singkut
pun, bunga bermahkota kuning,
dan berbentuk bongkol, buah putih dengan biji hitam.
Singkut atau Curculigo merupakan herba tahunan, berambut
atau gundul, dengan rhizome
tebal. Daun radikal, biasanya bertangkai, menggaris sampai mendekati ellips. Bunganya inflorescence racemus atau tandan, kadang seperti kepala, dengan sedikit atau banyak bunga, tepala
bersatu dalam tabung pendek atau
memanjang, benang sari enam,
bebas, pistil dengan tiga sel ovarium, stilus pendek, kolumner,
berakhir pada tiga stigma yang
panjang. Buah berdaging seperti
berry, indehiscent atau secara tak
teratur dehiscent, biji sedikit. Biji
berwarna hitam, agak membulat.
Curculigo spp. merupakan
tanaman yang menyukai keteduhan atau kondisi tanpa sinar matahari, dengan kandungan air yang
banyak. Dari percobaan di daerah
terbuka, C. latifolia tumbuh sangat lambat dan daun yang tertinggal kecil. Curculigo lebih menyukai tanah subur, pengairan bagus, kaya bahan organik. Di Jawa,
C. capitulata terdapat di hutan
12
primer dan sekunder pada ketinggian 2.000 m dan C. latifolia terdapat di hutan hujan pada ketinggian 1.100 m.
Curculigo diperbanyak dengan membelah sucker atau dengan menaburkan biji yang masak
dan segar. C. latifolia menghasilkan banyak sucker, yang dapat
dipindah dan mudah tumbuh menjadi tanaman baru. Etnis Benuaq
Kalimantan memperbanyak dengan menggali rhizome, membagi
dan membungkus dengan daun
pisang dan diberi sedikit tanah,
kemudian diletakkan bersama rotan. Setelah bertunas, ditanam di
luar dekat rumah. Perbanyakan
klonal in vitro memungkinkan untuk tanaman ini, dengan hasil terbaik adalah dari kultur rhizome.
Dalam hal ini, digunakan media
Murashige dan Skoog, ditambah
sukrosa (30 g/l), tiamin (0,4 g/l),
air kelapa (150 ml/l), kinetin (5
mg/l), dan asam indol asetat (2,5
mg/l). Ketahanan hidup tanaman
sekitar 90%.
Manfaat lain dari singkut
adalah daun digunakan sebagai
pengikat (tali), obat-obatan, dan
Bubur pedas, adalah makanan khas Melayu di Sumatera
Utara. Makanan ini terdiri dari
campuran nasi, ikan, dan sayur.
Asupan gizinya lengkap, terdiri
dari karbohidrat, protein, dan
mineral. Dari berbagai bahan baku yang digunakan, yang sangat
spesifik adalah daun kentut-kentut. Daun ini mengeluarkan bau
tidak sedap, tanaman ini tumbuh
liar dan biasanya anak-anak jahil
di daerah pesisir menggunakan
daun tersebut untuk menganggu
temannya dengan melemparkan
daun kentut-kentut, sehingga menimbulkan gelak tawa, karena
melihat teman yang dilempar daun kentut-kentut tampak kesal
mencium aroma tidak sedap.
Nama lain dari tanaman kentut-kentut adalah bedur (Jawa),
congkok (Sunda), nyeyor-nyeyoran (Madura), kahitutan (Sunda),
kasembukan (Jawa), bintaos, kasembhukan (Madura), gumi siki
(Ternate), daun kentut, sembukan
(Sumatera), ji shi teng (Cina). Dalam Bahasa Latin dikenal dengan
nama Paederia chinensis Hance
atau P. foetida Auct. atau P.
foetida, Linn. atau P. tomentosa,
Bl. Tanaman ini termasuk famili
Rubiaceae.
Tanaman herba tahunan ini
berbatang memanjat, pangkal berkayu, panjang 3-5 m, tumbuh liar
di lapangan terbuka, semak belukar atau di tebing sungai, kadang
dirambatkan di pagar halaman sebagai tanaman obat. Daun tunggal
bertangkai yang panjangnya 1-5
cm, letak berhadapan, bentuknya
bulat telur sampai lonjong atau
lanset. Pangkal daun berbentuk
jantung, ujung runcing, tepi rata,
Warta Plasma Nutfah Indonesia Nomor 25 Tahun 2013
ternyata mampu meningkatkan
pertahanan tubuh dengan cara
meningkatkan sifat fagositik sel
netrofil.
Daun kentut-kentut
panjang 3-12,5 cm, lebar 2-7 cm,
permukaan atas berambut atau
gundul, tulang daun menyirip, bila diremas berbau kentut. Bunga
majemuk tersusun dalam malai,
keluar dari ketiak daun atau ujung
percabangan. Mahkota bunga berwarna putih, bagian dalam tabung
berwarna ungu gelap. Buah bulat,
warna kuning, mengkilap, panjang 4-6 mm. Daun dimakan sebagai lalap atau disayur. Perbanyakan dengan stek batang atau
biji.
Masyarakat Sunda biasa
mengkonsumsi sebagai lalapan.
Sementara masyarakat Jawa,
biasa dimakan menjadi bothok.
Daun kentut-kentut tumbuh liar di
tanah terbuka, semak atau di
pinggir sungai, habitat aslinya di
dataran rendah. Tak jarang pula
orang memeliharanya dengan dirambatkan ke pagar.
Meski berbau busuk, daun
kentut-kentut memiliki rasa yang
manis, namun kemudian terasa
agak pahit dan akhirnya netral tak
berasa. Daun kentut-kentut memiliki efek anti-rematik, analgesik
(penghilang nyeri), meluruhkan
kentut, meluruhkan kencing dan
dahak. Daun kentut-kentut dapat
disajikan dalam bentuk sayur dan
disuapkan pada anak-anak untuk
menambah nafsu makan. Daun ini
juga mempunyai efek detoksifikasi, antibiotik, antitusif, pereda kejang, dan antiradang.
Batang dan daun tanaman
kentut memiliki beberapa kandungan kimia, antara lain gamasitosterol, deacetylaspe-ruloside,
asperuloside, arbutin, paederosid,
scandoside, oleanolic acid, dan
paederosidic acid.
Akar dan daun tanaman kentut-kentut dapat dimanfaatkan
sebagai terapi pengobatan herbal.
Setelah dibersihkan, daun kentutkentut dijemur dan di simpan di
tempat yang kering. Bahan digunakan jika diperlukan.
Bangun-bangun (Coleus amboinicus)
Bangun-bangun (Coleus amboinicus) merupakan tumbuhan
yang banyak dikonsumsi oleh ibuibu setelah melahirkan di daerah
Toba, Sumatera Utara. Tumbuhan
ini dipercaya dapat meningkatkan
produksi air susu ibu (ASI), banyak ditemukan di Sumatera Utara dan dijadikan panganan pendamping nasi, misalnya sebagai
sayuran. Daun bangun-bangun
Warta Plasma Nutfah Indonesia Nomor 25 Tahun 2013
Daun bangun-bangun ditumbuk, dimasukkan ke dalam sup
yang telah diberi bumbu seperti
untuk ayam bakar cara orang
Batak. Sop daun bangun-bangun
yang dikemas dalam kaleng merupakan bentuk usaha komersial.
Ibu-ibu menyusui diharapkan dapat mengkonsumsinya dalam bentuk sop kemasan kaleng yang lebih praktis karena tidak perlu menanam pohonnya dan memasaknya terlebih dahulu untuk mendapatkan efek laktagogumnya.
Tanaman ini terbukti mengandung
zat besi dan karotin yang tinggi.
Selain itu, tanaman ini juga dapat
meningkatkan kadar zat besi, kalium, seng, dan magnesium dalam
ASI serta meningkatkan bobot
badan bayi.
Bagian tanaman yang dimakan adalah daun dan pucuk.
Bangun-bangun termasuk subfamili Oscimoidae, famili Lamiceae (Labialae). Daun bangunbangun memiliki ciri-ciri bertulang lunak, beruas-ruas, melingkar, dengan diameter sekitar 15
mm, bagian tengah dan ujungnya
sekitar 10 mm +5 mm, dapat berkembang biak dengan mudah. Daun yang masih segar bentuknya
tebal, berwarna hijau tua, kedua
permukaan daun seperti beludru.
Tanaman ini ditemukan hampir di
seluruh wilayah di Indonesia dengan berbagai nama yang berbeda. Di Jawa Tengah disebut
daun cumin, orang Sunda menyebutnya daun ajeran, di Madura
disebut daun kambing, dan di Bali
disebut daun iwak. Di daerah
Batak Sumatera Utara sendiri disebut sebagai daun bangunbangun atau torbangun.
13
Daun bangun-bangun
Tanaman ini mudah diperbanyak dengan stek. Panen pertama
dapat dilakukan pada umur 1-1,5
bulan. Air daun bangun-bangun
segar, rasanya pahit, mampu meningkatkan pertahanan tubuh dapat dilakukan dengan cara meningkatkan sifat fagositik sel
netrofil.
Di samping itu, komponen
daun ini sudah pernah dimasukkan sebagai komponen obat jamu
ibu hamil yang ternyata menurut
penelitian mempunyai sifat oksitosik dan analgesik. Infus ekstrak
daun tersebut dapat meningkatkan
volume air susu induk tikus dan
berat badan anaknya.
Daun bangun-bangun mengandung zat besi dan karotenoid
yang tinggi. Kadar FeSO4 pada
daun bangun-bangun (C. amboinicus) dapat diandalkan sebagai
sumber besi non heme bagi ibu
menyusui.
Daun bangun-bangun memiliki aroma tertentu sehingga dikenal sebagai tanaman aromatik.
Tanaman ini banyak ditemukan di
India, Ceylon, dan Afrika Selatan,
bentuk bunga tajam dan mengandung minyak atsiri sehingga disebut juga C. aromaticus. Di
India, tanaman ini telah dikenal
sebagai obat demam malaria, hepatopati, batu ginjal dan kandung
kemih, batuk, asma kronik, cekukan, bronkhitis, cacingan, kolik, dan kejang. Tanaman ini
mengandung berbagai jenis flavonoid, yaitu quercetin, apigenin,
luteolin, salvigenin, genkwanin.
Daun tanaman ini juga telah
dibuktikan sebagai antiinflamasi
karena bekerja menghambat respon inflamasi yang diinduksi oleh
siklooksigenase, juga sebagai
antikanker dan antitumor.
Daun bangun-bangun dipercaya dapat meningkatkan dan mengembalikan stamina ibu, meningkatkan produksi ASI, membersihkan daerah rahim dan kepercayaan itu tetap kuat selama
beratus-ratus tahun. Potensinya
sebagai laktagogum ditunjukkan
oleh daun bangun-bangun yang
mengandung saponin, flavonoid,
polifenol serta dapat meningkatkan hormon menyusui, seperti
prolaktin dan oksitosin. Sayur
daun bangun-bangun yang dikonsumsi terbukti dapat meningkatkan total volume ASI, berat badan
bayi, dan komposisi zat besi,
seng, dan kalium dalam ASI.
14
Hasil penelitian menunjukkan bahwa daun bangun-bangun
mengandung
minyak
atsiri
(0,043% pada daun segar atau
0,2% pada daun kering). Minyak
atsiri dari daun bangun-bangun
selain berdaya antiseptika ternyata
juga mempunyai aktivitas tinggi
melawan infeksi cacing. Selain itu
tanaman ini juga mengandung
vitamin C, B1, B12, beta karotin,
niasin, karvakrol, kalsium, asam
lemak, asam oksalat, dan serat.
Senyawa-senyawa tersebut berpotensi terhadap bermacam-macam aktivitas biologik, misalnya
antioksidan, diuretik, analgesik,
mencegah kanker, antitumor, antivertigo, immunostimulan, antiradang, antiinfertilitas, hipokolesterolemik, hipotensif. Di Cina, jus
daun ini diberikan untuk obat
batuk anak-anak ditambah gula.
Manfaat lain adalah sebagai obat
asma dan bronkhitis. Ada beberapa buku tanaman obat yang
menuliskan resep bangun-bangun
sebagai tanaman obat.
Raru
Raru merupakan sebutan untuk jenis kulit kayu yang ditambahkan pada nira aren untuk meningkatkan cita rasa dan kadar alkohol serta mengawetkan minuman tradisional yang disebut tuak.
Dalam berbagai literatur disebutkan bahwa ada beberapa jenis
kayu yang digolongkan sebagai
kayu raru, antara lain Shorea
balanocarpoidesna King, Shorea
faguetiana Heim., Cotylelobium
lancelobatum, Vatica perakensis
V.Sl dari famili dipterocarpaceae
dan Garcinia sp. dari famili
Guttifera. Sebagian masyarakat
Tapanuli mengenal kulit kayu
raru sebagai obat diabetes. Raru
yang terkenal berasal dari
Tapanuli Tengah yang dikenal
dengan nama raru Sibolga. Raru
dari daerah ini umumnya dari
kulit Cotylelobium lancelobatum.
Pohon Shorea leprosula
Miq. dapat mencapai tinggi 60 m,
batang bebas cabang sampai
Warta Plasma Nutfah Indonesia Nomor 25 Tahun 2013
Mobe (Artocarpus dadah)
Bagian tanaman yang dimakan adalah buahnya, dicampur
pada masakan ikan arsik. Mobe
termasuk genus Artocarpus, famili Moraceae. Tanaman ini mempunyai tinggi 24 m. Habitat tumbuhnya pada dataran sedang basah sampai dataran tinggi basah.
Raru
Mobe
35 m, diameter sampai 175 cm.
Tajuk S. leprosula lebar, menyebar, hemispherical, atau berbentuk
se-perti kembang kol, warna semi
tembaga. Batangnya mempunyai
kulit luar berwarna abu-abu atau
coklat, sedikit beralur tidak dalam, mengelupas agak besar dan
tebal. Penampangnya berwarna
coklat muda sampai merah, bagian dalam kuning muda, kayu
gubal berwarna kuning muda
sampai kemerah-merahan, kayu
teras berwarna coklat muda sampai merah. Pohon berbanir dengan
tinggi sampai 3,50 m, lebar
2,50 m, tebal 20 cm. Cabang
besar, tumbuh horizontal, jumlah
tidak banyak, dan cepat gugur.
Ranting banyak dan halus. Daun
tunggal berbentuk bulat telur
sampai jorong, panjang 8-14 cm,
dan lebar 3,5-5,5 cm. Tangkai
daun berbulu halus lebat, panjangnya 1-2 cm. Pada daun muda terdapat domatia mulai dari pangkal
ibu tulang daun sampai hampir di
ujungnya membentuk semacam
garis. Permukaan atas daun berwarna hijau dan licin, sedangkan
permukaan bawah kelabu, coklat
atau kekuning-kuningan, dan tertutup bulu yang sangat rapat.
Stipula 10 mm x 3,5 mm, jorong
atau berbentuk tombak besar,
tumpul, bila gugur bekas stipula
pendek-horizontal. Kuncup daun
3-5 mm x 2-3 mm, memipih,
bulat telur membesar, agak runcing, berbulu pubescent haluspadat pendek, kuning tua.
Warta Plasma Nutfah Indonesia Nomor 25 Tahun 2013
Panjang daun 15-30 cm, bentuk daunnya oblong tetapi tidak
simetris. Daun bergelombang, sebelah bawah daun berbulu halus.
Pada masa juvenil tanaman penuh
daun, dan pada masa-masa tertentu tanaman menggugurkan daun,
sehingga tinggal sedikit daun di
pohon. Artocarpus bersifat monoesis (monoecious, berumah satu)
di mana bunga jantan dan betina
berada di satu pohon. Bunga jantan maupun betina tersusun dalam
bongkol berkelamin tunggal, soliter atau berpasangan, muncul di
ketiak, di cabang-cabang, atau di
batang utama (cauliflory). Setelah
dibuahi, bunga betina berkembang menjadi buah semu majemuk (syncarp). Buah mobe berukuran 5-9 cm berwarna hijau
muda di luar, di dalam buah berwarna merah jambu tua. Bijinya
berukuran besar, tanpa endosperma, terlindung oleh daging buah
yang sebetulnya tenda bunga yang
membesar,
perkecambahannya
hipogeal.
Selain dimanfaatkan buahnya, batang tanaman mobe, dijadikan kayu. Buah mobe mengandung senyawa steroid, yaitu
betasitostrol dan lupeol yang berfungsi sebagai antioksidan dan
antikanker.
Ragam pangan tradisional
etnis asli Sumatera Utara seperti
naniarsik, naniloppa, naniura, sayur daun ubi kayu tumbuk, sayur
bangun-bangun, kue cimpa, holat,
bubur pedas, minuman tuak tidak
15
terpisahkan dari budaya dan kebiasaan mereka.
Makanan ini berbahan baku
lokal, seperti andaliman, bawang
batak, kencong atau asam sihala,
rimbang, daun bangun-bangun,
daun singkut, balakka, daun
kentut-kentut, dan raru. Bahan pa-
ngan ini lestari secara in situ. Jika
etnis asli ini keluar dari lingkungan asalnya, tanaman tersebut tetap
dibutuhkan dan dibawa untuk ditanam diperantauan sehingga
pelestariannya lebih luas (ex situ).
Bahan tersebut diteliti menganung bahan berguna seperti antioksidan, antituberculosis, antidia-
betes, obat lainnya. Dengan demikian bahan baku tadi bermanfaat
sebagai bahan pangan fungsional,
yang berfungsi untuk kesehatan.
Kearifan lokal ini berdampak
positif dan perlu dilestarikan.
Sortha Simatupang
BPTP Sumatera Utara
BERITA
Percepatan Implementasi Program Pemuliaan
melalui Pengelolaan Sumber Daya Genetik dan
Analisis Genom
K
omitmen Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian (Balitbangtan)
untuk terus menghasilkan inovasi
baru dalam upaya merealisasikan
visi pembangunan pertanian industrial berbasis sumber daya lokal telah diimplementasikan melalui percepatan program pemuliaan
dan pengelolaan sumber daya
genetik (SDG) lokal dan analisis
genom. SDG adalah aset penting
dan menjadi keunggulan komparatif Indonesia untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Keterkaitan antara ragam SDG
dengan kemampuan manusia untuk mempertahankan kehidupan
yang lebih baik mengindikasikan
bahwa SDG memiliki fungsi dan
manfaat strategis, penting, dan
spesifik. SDG adalah aset dan
modal dasar bagi ketahanan pangan, kesehatan, energi, lingkungan, dan keamanan negara. Ketersediaan SDG sangat diperlukan
dalam perakitan suatu spesies
yang adaptif di lingkungan tumbuh tertentu, peningkatan produksi, toleransi terhadap cekaman
lingkungan biotik dan abiotik,
atau untuk memperoleh sifat unik
16
spesies yang diusahakan. Oleh karena itu, semua negara berkepentingan dalam penguasaan, pelestarian, pemahaman, dan pemanfaatan SDG tanaman, hewan, dan
mikroba.
3. SDG diperlukan untuk menjawab masalah kekurangan
pangan, melalui pemanfaatan
gen-gen heterotik, gen penentu produksi tinggi, dan sebagainya dalam varietas unggul
sebagai sarana produksi.
International Plant Genetic
Resources Institute (IPGRI-FAO)
menyatakan 10 kepentingan strategis pelestarian SDG, yaitu:
4. SDG merupakan warisan budaya leluhur, terkait dengan
sifat-sifat unik yang tersedia
di suatu wilayah secara turuntemurun.
1. SDG merupakan pilar penyangga kelangsungan hidup
suatu organisme yang dibudidayakan. Ada sekitar 250.000
spesies tanaman di dunia, tetapi yang dibudidayakan hanya 7.000 spesies, termasuk di
dalamnya empat spesies tanaman yang menopang 68%
kebutuhan kalori manusia,
yaitu padi, terigu, jagung, dan
kentang. Variabilitas tinggi
SDG akan meningkatkan
adaptibilitas tanaman terhadap
cekaman biotik dan abiotik di
lingkungan tumbuhnya.
2. Kekayaan SDG banyak memberikan pilihan bagi sistem
pertanian yang sesuai dengan
kondisi lingkungan dan pangsa pasar.
5. SDG menentukan perkembangan dan kemajuan pertainan, melalui pemanfaatan benih
varietas unggul dan hibrida
yang berasal dari plasma
nutfah.
6. Pelestarian dan pemanfaatan
SDG harus merupakan upaya
dan program terkoordinasi
agar diperoleh manfaat yang
nyata dari ketersediaan dan
kekayaan plasma nutfah.
7. Penyadaran masyarakat akan
pentingnya upaya pelestarian
plasma nutfah guna kepentingan bersama dinilai sangat
strategis dalam rangka pembangunan pertanian.
Warta Plasma Nutfah Indonesia Nomor 25 Tahun 2013
8. Perlu dibangun sistem pengelolaan SDG nasional guna
mengkoordinasikan seluruh
program pengelolaan SDG,
membangunkan
partisipasi
berbagai pihak, baik antarregional maupun kerja sama
internasional untuk keberhasilan pelestarian plasma nutfah.
9. Adanya hak penguasaan terhadap kekayaan SDG oleh negara (National Sovereignity
Right of Plant Genetic
Resources) memberi implikasi
bahwa pemerintah bertanggung jawab terhadap pelestarian dan pemanfaatannya.
10. Guna memanfaatkan kekayaan SDG secara adil, perundangan dan peraturan nasional
harus mendukung program
SDG nasional serta memperhatikan ketentuan pengelolaan
SDG internasional.
Posisi Indonesia yang sangat
strategis bagi lalu lintas perdagangan dunia dan statusnya sebagai negara kepulauan yang memiliki berbagai “bioekologi spesifik” telah menciptakan kondisi
yang sangat kondusif bagi timbulnya keragaman genetik tanaman,
hewan, dan mikroba. Hampir semua spesies tanaman tropis tumbuh di Indonesia, dan sebagian
spesies subtropis yang telah dibudidayakan sejak lama. Di setiap
pulau dan agroekologi spesifik
juga muncul SDG, berupa varietas
lokal (land races), bentuk liar
(wild type), dan strain primitif
yang hidup pada habitat aslinya.
Ada tiga isu penting terkait
pengelolaan SDG di Indonesia,
yaitu:
1. Pemanfaatan SDG untuk kesejahteraan masyarakat masih
belum maksimal karena pengelolaannya belum terintegrasi.
Indonesia merupakan satusatunya negara di dunia yang
belum mempunyai sistem SDG
nasional yang terintegrasi.
Penanganan SDG masih tersebar di berbagai unit kerja penelitian (Kementerian Pertanian,
Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia, dan Perguruan
Tinggi) tanpa koordinasi yang
baik.
2. Dunia sedang menghadapi kehilangan SDG besar-besaran
akibat erosi yang dapat mengancam keamanan pangan. Penyebab utamanya adalah meluasnya pertanian modern dan
komersial yang tidak ramah
lingkungan serta introduksi
varietas unggul baru yang
mendesak SDG lokal. Selain
itu, banyak tanaman pangan
lokal yang menjadi sumber
makanan utama seperti sorgum,
padi-padian, dan ubi-ubian
bagi jutaan umat manusia
miskin, tidak mendapatkan cukup perhatian atau investasi
untuk konservasi dan pengembangannya.
3. Kebijakan swasembada beras
juga telah mengakibatkan komoditas pangan lainnya terpinggirkan peranannya dalam
membangun ketahananan pangan, padahal komoditas pangan nonberas memiliki keunggulan ekonomi, komparatif
maupun kompetitif dibandingkan dengan beras.
4. SDG telah banyak berperan
dalam memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup manusia, tetapi dalam kenyataannya, negara-negara dengan
tingkat keanekaragaman SDG
tinggi seringkali memiliki kapasitas IPTEK yang terbatas
dalam pemanfaatan potensi
SDG, termasuk Indonesia. Sebaliknya, negara maju yang
memiliki IPTEK memadai,
Warta Plasma Nutfah Indonesia Nomor 25 Tahun 2013
mempunyai kesempatan lebih
besar dalam pemanfaatan SDG.
Informasi keanekaragaman
dan status keberadaan SDG
tanaman di Indonesia sangat diperlukan sebagai dasar penyusunan kebijakan pengelolaan dan
pemanfaatan SDG pertanian untuk mewujudkan kesejahteraan
masyarakat. Informasi dapat diperoleh melalui serangkaian kegiatan inventarisasi SDG tanaman, baik melalui inventarisasi
SDG yang berada di lahan pekarangan rumah petani, lahan petani maupun kebun koleksi. Data
inventarisasi SDG tanaman mencakup identitas petani, lokasi,
jenis/spesies tanaman yang dibudidayakan, cakupan dan deskripsi serta pemanfaatan. Hasil
inventarisasi
keanekaragaman
SDG tanaman dapat memberikan
informasi tingkat keragaman/
diversitas dan potensi pemanfaatan serta sumber keberadaannya
berupa peta sebaran secara
spesial.
BPTP sebagai Ujung Tombak
Pengelolaan SDG Lokal
Posisi strategis BPTP sebagai unit kerja Balitbangtan di daerah dapat menjadi pengelola SDG
lokal di setiap daerah. Potensi
SDG lokal di daerah yang belum
terkelola dengan baik dapat mulai
dipetakan, dikonvervasi dan dikarakterisasi oleh BPTP. Ketersediaan kebun percobaan dan SDM
yang terus berkembang menjadi
keunggulan BPTP untuk berperan
sebagai Unit Pengelolaan SDG
Daerah. BPTP juga memiliki
posisi strategis dalam penguatan
kelembagaan pengelolaan SDG
bersama-sama dengan pemerintah
daerah dan perguruan tinggi.
Terkait dengan hal tersebut,
pada tahun anggaran 2013 BB
Biogen telah membentuk konsor-
17
sium pengelolaan SDG dengan
Balai Besar Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian (BBP2TP). Pelaksanaan konsorsium ini melibatkan 30 Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian
(BPTP) di Indonesia. Ada tiga
kegiatan utama pengelolaan SDG
TA 2013, yaitu inventarisasi/eksplorasi SDG lokal, pengembangan
kebun koleksi SDG, dan penguatan kelembagaan pengelolaan
SDG.
Untuk mengetahui perkembangan pengelolaan SDG di
BPTP, serangkaian kegiatan koordinasi pengelolaan SDG telah dilakukan melalui monitoring dan
evaluasi pengelolaan SDG, seminar SDG lokal, dan workshop
pengelolaan SDG.
Konsorsium Pengelolaan
SDG Lokal
Menyadari kompleknya permasalahan SDG di Indonesia,
maka pengelolaan SDG yang
terpisah-pisah tidak akan mampu
mengoptimalkan nilai penting
SDG untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, dalam pengelolaan SDG
lokal, Balitbangtan membentuk
konsorsium antara BB Biogen
dengan BBP2TP yang melibatkan
BPTP untuk melakukan pengelolaan SDG lokal di wilayah kerjanya. Pelaksanaan pengelolaan
SDG ini bersinergi dengan Pemda
maupun pihak terkait yang memiliki kepentingan dengan SDG.
Sasaran dari kegiatan pengelolaan
SDG adalah (1) menambah kekayaan SDG (hasil eksplorasi dan
introduksi), melestarikan SDG
yang dikoleksi secara tertata dan
terpelihara, (3) ketersediaan SDG
yang berkelanjutan untuk keperluan lebih lanjut, dan (4) tersusunnya database karakter SDG yang
terbarui dalam jaringan komunikasi dan informasi SDG nasional.
18
Pada tahun 2013, fokus konsorsium pengelolaan SDG adalah
(a) inventarisasi SDG lokal, (b)
sosialisasi dan advokasi pengelolaan SDG lokal, (c) pengembangan Kebun Koleksi Plasma Nutfah
Spesifik Lokasi, (d) penguatan
kelembagaan Komisi Daerah
(Komda) SDG, dan (e) pengembangan database dan sistem informasi SDG. Semua pihak menyadari bahwa pengelolaan SDG
secara terintegrasi dan bersinergi
dengan berbagai pemangku kepentingan bukan hal yang mudah.
Banyak kendala teknis dan nonteknis yang dihadapi dalam merealisasikan program ini.
Pada 29 Mei 2013 di Lor In
Hotel, Sentul, Bogor, telah dilakukan koordinasi pelaksanaan kegiatan konsorsium untuk mematangkan kembali tahapan rencana
kegiatan, memotret perkembangan yang sudah dilakukan, dan menyamakan persepsi pelaksanaan
kegiatan ke depan. Untuk pelaksanaan inventarisasi SDG lokal, semua BPTP diberikan pedoman
umum inventarisasi SDG. Beberapa hal yang perlu diperhatikan
dalam inventarisasi SDG adalah:
(a) melakukan inventarisasi SDG
di dalam maupun di luar pekarangan dengan mencantumkan nama lokasi, ordinat, jenis ekologi,
nama tanaman, jumlah jenis, na-
ma lokal, jumlah tanaman/luas,
dan deskripsi morfologi utama,
(b) melaksanakan inventarisasi
SDG di kebun koleksi yang dimiliki oleh instansi/lembaga/swasta/
perorangan di daerah, dan (c)
mengeksplorasi SDG lokal yang
unik/khas/spesifik.
Hasil inventarisasi SDG akan
dipantau secara real-time menggunakan Sistem Informasi SDG
(SI SDG) yang akan dibangun di
Balitbangtan untuk mendokumentasi dan memonitor status kekayaan dan keragaman SDG lokal.
Sistem Informasi SDG dibangun
berbasis Web, sehingga data dapat
dimonitor secara real time, baik
per lokasi BPTP maupun rekapitulasi secara keseluruhan dan memudahkan akses informasi serta
pemanfaatannya. Oleh karena itu,
Tim Pengelola SDG perlu senantiasa melakukan entri data SDG
yang dihimpun.
Dalam konsorsium juga dilakukan kegiatan penguatan kelembagaan pengelolaan SDG di
daerah melalui Komda SDG. Masih banyak daerah yang belum
memiliki Komda SDG, sedangkan
beberapa Komda SDG yang telah
dibentuk banyak yang mari suri.
Permasalahan utama yang dihadapi Komda SDG umumnya seragam, yaitu pendanaan, ketersedia-
Koordinasi Kegiatan Konsorsium Pengelolaan SDG Lokal,
Lor In Sentul, 29 Mei 2013.
Warta Plasma Nutfah Indonesia Nomor 25 Tahun 2013
an SDM, dan kurangnya koordinasi dalam pelaksanaan kegiatannya. Banyaknya kepala daerah
yang tidak paham dengan potensi
SDG sebagai aset potensial untuk
pembangunan ekonomi daerah
menyebabkan mereka tidak memberikan alokasi khusus dalam
pengelolaan SDG.
Oleh karena itu, untuk menjamin keberlangsung kegiatan pengelolaan SDG lokal, perlu kesadaran dan komitmen para pengambil kebijakan bahwa SDG sebagai aset yang sangat penting
perlu penyediaan anggaran rutin
dan pengelolaan yang terintegrasi.
Secara umum, kondisi kelembagaan Komda SDG terbagi atas
tiga kategori, yaitu (1) sudah terbentuk dan aktif, (2) sudah terbentuk namun belum ada aktivitas, dan (3) belum terbentuk.
Ke depan, melalui konsorsium ini akan dibentuk Sistem
Pengelolaan
SDG
Pertanian
(SPSDGP) yang menempatkan
BPTP sebagai Unit Pengelola
SDG Daerah untuk koleksi SDG
lokal, Balai penelitian (Balit)
Komoditas sebagai Unit Pengelola SDG komoditas, BB/Balit bidang masalah akan menjadi Unit
Pengelola SDG Spesifik, sedangkan BB Biogen sesuai dengan
TUPOKSI-nya menjadi Unit
Pengelola SDGP Nasional dan
Bank SDG (Koleksi Refference,
genomic
mapping,
database
utama).
Seminar Nasional Status
Inventarisasi dan Pengelolaan
SDG Lokal Indonesia
Sebagai tindak lanjut dari
konsorsium pengelolaan SDG
Balitbangtan, maka pada 4-5 Juli
2013 telah diselenggarakan Seminar Nasional Status Inventarisasi dan Pengelolaan SDG
Lokal Indonesia di Hotel Grand
Royal Panghegar Bandung. Semi-
nar SDG yang merupakan
kegiatan site event dari seminar
International Conference on
Biodiversity, Climate Change,
and Food Security dilaksanakan
untuk mengetahui perkembangan
inventarisasi SDG, mencakup kawasan yang mewakili perbedaan
geografis, agroekosistem atau sosial budaya, sehingga status diversitas SDG lokal di Indonesia dapat dipetakan. Sebanyak 19 naskah yang melaporkan SDG unik
di daerah disajikan dalam seminar
tersebut.
Seminar didahului dengan
planery session yang menampilkan dua narasumber yang sangat
concern terhadap pengelolaan
SDG, yaitu Dr. M. Winarno dan
Dr. Agung Karuniawan (Universitas Padjadjaran). Dr. M. Winarno
menyampaikan topik tentang
Community-Base
Biodiversity
Management dan Implementasinya. Dilema dalam pengelolaan
SDG yang sangat komplek perlu
diatasi dengan melibatkan masyarakat secara proaktif. Dalam konsep Community-Base Biodiversity
Management, masyarakat diberikan kemandirian dalam pengelolaan SDG suatu komunitas.
Community-Base
Biodiversity
Management memberikan pemahaman tentang arti penting SDG
sebagai aset yang perlu dilindungi
dan dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
secara berkelanjutan. Konsep
Community-Base
Biodiversity
Management dapat diterapkan di
BPTP dalam pengelolaan SDG
lokal yang lebih efektif dan
efisien, terutama untuk kegiatan
konservasi.
Dr. Agung Karuniawan
mempresentasikan Prospek Pengembangan Under Utilized
Crops sebagai Alternatif Bahan
Baku Pangan Nasional. Indonesia
memiliki potensi under utilized
Warta Plasma Nutfah Indonesia Nomor 25 Tahun 2013
crops yang sangat beragam dan
melimpah dan tersebar di seluruh
Indonesia. Selama ini potensi
under utilized crops masih dipandang sebelah mata oleh sejumlah
masyarakat, padahal kebutuhan
pangan yang terus meningkat
tidak mungkin dipenuhi sepenuhnya dari utilized crop. Tanaman
ini baru dimanfaatkan setelah masyarakat mulai mengalami kesulitan dalam memperoleh bahan
pangan utama. Dengan adanya
dampak pemanasan global yang
terus merasuki semua bidang pertanian, ketergantungan masyarakat terhadap bahan pangan utama
harus segera dikurangi dengan
mencari alternatif bahan pangan
lainnya. Under utilized crop adalah bahan pangan masa depan
untuk mengatasi permasalahan
tersebut.
Pada seminar tersebut, 28
BPTP melaporkan hasil inventarisasi SDG lokal di masing-masing
daerah. Ada 19 makalah yang melaporkan tentang potensi SDG
lokal sebagai bahan pangan, buahbuahan, dan biofarmaka.
Workshop Pengelolaan SDG
Lokal untuk Mendukung
Ketahanan Pangan
Workshop pengelolaan SDG
di Kendari pada 23-24 Nopember
2013 dihadiri oleh semua BPTP
yang terlibat dalam Konsorsium
Pengelolaan SDG Balitbangtan
untuk melaporkan hasil kegiatan
inventarisasi/koleksi,
pengembangan/penguatan kebun koleksi,
dan penguatan kelembagaan pengelolaan SDG di daerah. Workshop pengelolaan SDG dengan
tema “Pengelolaan SDG Lokal
untuk Mendukung Ketahanan
Pangan” bertujuan untuk mengevaluasi capaian perkembangan
kegiatan pengelolaan SDG pada
tahun 2013, melakukan koordinasi kegiatan anggota konsorsium,
19
dan merencanakan kegiatan tahun
2014. Output yang dihasilkan dari
kegiatan ini adalah high light kegiatan inventarisasi dan koleksi
plasma nutfah, draft laporan akhir
kegiatan pengelolaan SDG tahun
2013, matrik pemetaan SDG berbasis geospasial, dan rencana kegiatan 2014.
Kegiatan pengelolaan SDG
tahun 2013 telah dilakukan oleh
30 BPTP yang terlibat dalam kegiatan ini, tetapi masih ada beberapa BPTP yang belum mencapai
target inventarisasi SDG dari
yang diusulkan sehingga harus
menyelesaikannya hingga akhir
tahun ini. Data inventarisasi SDG
akan digunakan untuk pembuatan
peta spasial SDG Indonesia yang
bermanfaat bagi kegiatan monitoring dan sistem peringatan dini
terhadap hilangnya SDGP di
suatu daerah. Agar bisa dibuat
peta spasialnya, semua data hasil
inventarisasi harus diformat ulang
ke dalam format yang sesuai untuk pemetaan. Pemformaatan
ulang data inventarisasi akan dilakukan oleh semua BPTP dan
menyerahkan hasil formatting data ke tim pembuatan peta spasial.
Data mentah dari semua BPTP
sudah diterima oleh tim untuk
digunakan dalam validasi data.
Kebun koleksi SDG telah dikembangkan oleh semua BPTP,
termasuk BPTP yang tidak memiliki kebun percobaan dengan pengembangannya melalui Kebun
Bibit Induk (KBI) di daerah
Kawasan rumah Pangan Lestari
(KRPL) atau di sekitar perkantoran. Kebun koleksi perlu terus
dikembangkan untuk kegiatan
karakterisasi SDG pada tahun
2014.
Semua BPTP melakukan
upaya penguatan kelembagaan
pengelolaan SDG melalui pembentukan Komda SDG atau
mengaktifkan kembali Komda
SDG yang telah ada. Pada tahun
2013 telah terbentuk Komda SDG
Baru, yaitu Komda SDG NTB
dan Komda SDG Sulawesi Utara.
Beberapa BPTP yang di wilayahnya belum memiliki Komda
SDG sedang melakukan upaya
pembentukan melalui koordinasi
dengan instansi terkait.
Dengan berakhirnya kegiatan
pengelolaan SDG tahun 2013, diharapkan semua BPTP segera
membuat laporan akhir kegiatan.
BPTP yang telah membuat draft
laporan akhir baru 18 BPTP, untuk laporan highlight 12 BPTP,
dan highlight SDG eksotik 11
BPTP.
Rencana kegiatan pengelolaan SDG pada tahun 2014 akan difokuskan pada karakterisasi SDG
lokal yang telah berhasil dikoleksi
atau diidentifikasi posisi in situ
SDG-nya untuk mengetahui potensi pemanfaatan SDG bagi kesejahteraan masyarakat. SDG
yang akan dikarakterisasi perlu
difokuskan pada SDG lokal
unggulan, SDG adaptif di lahan
suboptimal, kegiatan adaptasi dan
mitigasi perubahan iklim, serta diversifikasi pangan. Untuk kegiatan karakterisasi ini, BPTP akan
diberikan pedoman umum karakterisasi tanaman atau melalui kerja sama dengan Balit Komoditas.
Selain kegiatan karakterisasi,
semua BPTP juga masih akan melakukan kegiatan inventarisasi untuk melengkapi data potensi SDG
di wilayahnya. Kegiatan inventarisasi SDG pada tahun 2014 tidak
hanya diprioritaskan pada komoditas tanaman, tetapi juga ternak
lokal terutama untuk kegiatan monitoring SDGT status tidak aman
di beberapa provinsi seperti Aceh,
Kalimantan Timur, Kalimantan
Tengah, Kalimantan Barat, dan
Maluku. Sejumlah besar SDGT
yang telah diidentifikasi dalam
status tidak aman adalah sapi
hissar, sapi sahiwal cross, sapi
grati, kambing gembrong, kambing kosta, kambing saanen, kambing angora, ayam nunukan, dan
ayam tukong.
Kebun koleksi SDG juga
akan terus dikembangkan untuk
konservasi dan pemanfaatan
SDG, baik di kebun percobaan
maupun melalui KBI di daerah
pengembangan KRPL dan di sekitar perkantoran.
Pada tahun 2014, upaya
penguatan kelembagaan Komda
SDG akan terus dilakukan dengan
mengintensifkan koordinasi dengan instansi terkait dan membentuk kegiatan bersama pengelolaan
SDG lokal.
Workshop Pengelolaan SDG, Kendari 23-24 Nopember 2013.
20
Tri P. Priyatno
Warta Plasma Nutfah Indonesia Nomor 25 Tahun 2013
Download