5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Nangka 1. Sistematika

advertisement
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tanaman Nangka
1. Sistematika Tumbuhan Nangka
Gambar 1. Tumbuhan Nangka
Kedudukan tumbuhan nangka (Artocarpus heterophyllus)
Divisio
: Spermatophyta
Sub Divisio
: Angiospermae
Classis
: Dicotyledonae
Ordo
: Morales
Famili
: Moraceae
Genus
: Artocarpus
Spesies
: Artocarpus heterophyllus
(Rukmana, 1997)
2. Nama Daerah
Panah (Aceh), pinasa, sibodak, nangka atau naka (Batak), baduh atau
enaduh (Dayak), binaso, kuloh (Timor) dan nangka (Sunda dan Madura)
(Rukmana, 1997).
5
6
3. Morfologi Tumbuhan
Pohon Artocarpus heterophyllus memiliki tinggi 10-15 meter. Batangnya
tegak, berkayu, bulat, kasar dan berwarna hijau kotor. Bunga nangka
merupakan bunga majemuk yang berbentuk bulir, berada di ketiak daun dan
berwarna kuning. Bunga jantan dan betinanya terpisah dengan tangkai yang
memiliki cincin, bunga jantan ada di batang baru di antara daun atau di atas
bunga betina. Buah berwarna kuning ketika masak, oval, dan berbiji coklat
muda (Heyne, 1987). Daun berbentuk bulat telur dan panjang, tepinya
rata,tumbuh secara berselang-seling dan bertangkai pendek, permukaan atas
daun berwarna hijau tua mengkilap, kaku dan permukaan bawah daun
berwarna hijau muda. Bunga tanaman nangka berukuran kecil, tumbuh
berkelompok secara tersusun dalam tandan, bunga muncul dari ketiak cabang
atau pada cabang-cabang besar (Rukmana, 1997).
4. Kandungan Kimia
Hasil skrining fitokimia pada daun nangka yang telah dilakukan
menunjukkan hasil positif terhadap senyawa flavonoid, saponin dan tanin
(Dyta, 2011). Flavonoid dikenal memiliki fungsi sebagai antioksidan,
antiinflamasi, antifungi, antiviral, antikanker dan antibakteri. Senyawa
flavonoid yang telah diisolasi dan diidentifikasi dari daun nangka (Artocarpus
heterophyllus), yaitu isokuersetin. Flavonoid sebagai antibakteri bekerja dalam
mendenaturasi protein sel bakteri dan merusak membran sel tanpa dapat
diperbaiki lagi (Pelczar et al., 1998).
7
Gambar 2 . Daun Nangka
5. Manfaat Tumbuhan Nangka
Menurut Prakash dkk. (2009), dalam pengobatan tradisional daun nangka
digunakan sebagai obat demam, bisul, luka, dan beberapa jenis penyakit kulit
akibat bakteri terutama bakteri Staphylococcus aureus yang merupakan bakteri
patogen alami pada tubuh manusia penyebab berbagai infeksi kulit.
Kemampuan menghambat pertumbuhan bakteri patogen pada daun nangka
disebabkan adanya senyawa aktif yang terkandung dalam daun nangka.
B. Uraian Kandungan Kimia Daun Nangka
1. Flavonoid
Flavonoid merupakan senyawa polifenol yang merupakan satu golongan
fenol alam yang terbesar dan bersifat polar sehingga mudah larut dalam pelarut
polar seperti air, etanol, metanol, butanol, dan aseton (Markham, 1988).
Gambar 3. Struktur Senyawa Flavonoid
8
2. Tanin
Tanin merupakan salah satu jenis senyawa yang termasuk ke dalam
golongan polifenol Senyawa tanin ini banyak dijumpai pada tumbuhan. Tanin
secara umum didefinisikan sebagai senyawa polifenol yang memiliki berat
molekul cukup tinggi (lebih dari 1000) (Harbone, 1987).
Gambar 4. Struktur Senyawa Tanin
3. Saponin
Saponin merupakan glikosida yang memiliki sifat khas membentuk busa.
Adanya saponin dalam tanaman diindikasikan dengan adanya rasa pahit. Bila
saponin dicampur dengan air akan membentuk busa stabil (Cheek, 2005).
Secara umum saponin merupakan bentuk glikosida yang memiliki aglikon
berupa steroid dan triterpen.
Gambar 5 . Struktur Senyawa Saponin
9
C. Simplisia
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai bahan obat
yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dikatakan lain,
berupa bahan yang telah dikeringkan. Simplisia dibedakan menjadi 3 macam yaitu
simplisia nabati, simplisia hewani dan simplisia pelikan (mineral). Simplisia
nabati adalah simplisia yang berupa tumbuhan utuh, bagian tumbuhan atau
eksudat tumbuhan. Eksudat tumbuhan adalah isi sel yang secara spontan keluar
dari tumbuhan atau isi sel yang dengan cara tertentu dikeluarkan dari selnya dan
belum berupa senyawa kimia murni. Simplisia secara umum merupakan produk
hasil pertanian tumbuhan obat setelah melalui proses pasca panen dan proses
preparasi secara sederhana menjadi bentuk produk kefarmasian yang siap dipakai
atau siap diproses untuk dijadikan produk sediaan farmasi yang umumnya melalui
proses ekstraksi, separasi dan pemurnian, yaitu menjadi ekstrak, fraksi atau bahan
isolat senyawa murni (Anonim, 2000).
D. Ekstrak
1. Pengertian Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi
senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut
yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa
atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang
telah ditetapkan. Sebagian besar ekstrak dibuat dengan mengekstraksi bahan
baku obat (Anonim, 2000).
10
2. Metode Ekstraksi
Ekstraksi adalah proses penarikan zat pokok yang diinginkan dari bahan
mentah obat dengan menggunakan pelarut yang dipilih dimana zat yang
diinginkan larut dan hasil dari ekstraksi ini disebut dengan ekstrak. Ekstrak
tidak mengandung hanya satu unsur saja, tetapi berbagai macam unsur (Ansel,
1989).
Metode ekstraksi dipilih berdasarkan beberapa faktor seperti sifat dari
bahan mentah obat dan daya penyesuaian dengan tiap macam metode ekstraksi.
Sifat dari bahan mentah obat merupakan faktor utama yang harus
dipertimbangkan dalam memilih suatu metode ekstraksi (Ansel,1989). Salah
satu metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut secara dingin adalah
maserasi.
Maserasi
adalah
proses
pengekstrakan
simplisia
dengan
menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokkan atau pengadukan
pada temperatur ruang (kamar). Remaserasi berarti dilakukan pengulangan
penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama (Anonim,
2000).
Maserasi merupakan cara penyarian yang paling sederhana, yaitu
dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari.
Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel
yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dalam larutan penyari dan
karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel
dengan di luar sel, maka larutan yang tertekan didesak keluar. Peristiwa ini
11
berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar dan
di dalam sel (Anonim, 1986).
Dalam proses maserasi, bahan yang akan diekstraksi biasanya ditempatkan
pada wadah atau bejana yang bermulut lebar, bejana ditutup rapat dan isinya
dikocok berulang. Pengocokkan memungkinkan pelarut mengalir berulangulang masuk ke dalam seluruh permukaan bahan ekstrak yang telah dihaluskan
(Ansel, 1989).
3. Larutan Penyari
Larutan penyari yang baik harus memenuhi kriteria: murah, mudah
diperoleh, stabil, bereaksi netral, tidak mudah menguap, tidak mudah terbakar,
selektif, tidak mempengeruhi zat aktif, dan diperbolehkan oleh peraturan.
Untuk penyari, Farmakope Indonesia menetapkan bahwa sebagai cairan
penyari adalah air, etanol, etanol-air atau eter (Anonim,1989).
Etanol dapat melarutkan alkaloid basa, minyak menguap, kurkumin,
kumarin, antrakinon, flavonoid, steroid, klorofil, lemak, malam, tanin, dan
saponin. Etanol digunakan sebagai penyari karena lebih selektif, kapang dan
kuman sulit tumbuh dalam etanol 20% ke atas, tidak beracun, netral,
absorbsinya baik, dan mudah bercampur dengan air. Untuk meningkatkan
penyarian biasanya digunakan campuran antara etanol dan air. Perbandingan
yang digunkan tergantung pada bahan yang akan disari (Anonim,1989). Etanol
70% sangat efektif dalam menghasilkan jumlah bahan aktif yang optimal,
dimana bahan ballast hanya sedikit turut larut dalam cairan pengekstraksi
(Voigt, 1995).
12
E. Skrining Fitokimia
Metode
skrining
fitokimia
dipilih
karena
mempunyai
beberapa
keuntungan, antara lain mudah dilakukan, cepat dan dapat dilakukan dengan
peralatan yang sederhana. Analisis untuk mengetahui gologan senyawa aktif dapat
dilakukan dengan uji tabung dan atau dengan KLT (Harbone,1987).
F. Sediaan Salep
1. Pengertian Salep
Salep merupakan sediaan semi padat yang mudah dioleskan dan
digunakan sebagai obat luar. Salep terdiri dari bahan obat yang terlarut ataupun
terdispersi di dalam basis atau basis salep sebagai pembawa zat aktif. Basis
salep yang digunakan dalam sebuah formulasi obat harus bersifat inert dengan
kata lain tidak merusak ataupun mengurangi efek terapi dari obat yang
dikandungnya (Anief, 1997).
2. Sifat – Sifat Salep yang Baik
Salep berfungsi sebagai bahan pembawa substansi obat untuk pengobatan
kulit, sebagai bahan pelumas pada kulit dan sebagai bahan pelindung untuk
kulit yaitu mencegah kontak permukaan kulit dengan larutan berair. Kualitas
dari salep dapat dilihat dari beberapa hal berikut ini :
a. Stabil, selama masih dipakai mengobati. Maka salep harus bebas dari
inkompatibilitas, stabil pada suhu.
b. Lunak, salep yang lunak diharapkan dapat menyebar dengan mudah dan
mudah dioleskan, sehinnga mudah dipakai.
13
c. Dasar salep yang cocok, yaitu dasar salep harus kompatibel secara fisika
dan kimia dengan obat yang dikandungnya. Dasar salep tidak boleh merusak
atau menghambat aksi terapi dari obat yang mampu melepas obatnya pada
daerah yang diobati.
d. Terdistribusi merata, obat harus terdistribusi merata melalui dasar salep
padat atau cair pada pengobatan (Anief, 1993).
3. Dasar Salep Hidrokarbon
Penggolongan dasar salep berdasarkan komposisinya yaitu: dasar salep
berminyak (hidrokarbon), dasar salep serap (absorpsi), dasar salep tercuci dan
dasar salep emulsi (Anief, 1993).
Dasar salep hidrokarbon merupakan dasar salep bebas air, preparat yang
berair mungkin dapat dicampurkan hanya dalam jumlah sedikit. Bila lebih akan
sukar larut dalam air. Ada beberapa pertimbangan yang digunakan dalam
pemilihan dasar salep, dasar salep hidrokarbon memiliki keuntungan antara
lain basis salep hidrokarbon mampu bertahan pada kulit untuk waktu yang
lama, sukar dicuci dan tidak ada perubahan dengan berjalannya waktu (Ansel,
1989).
Contoh dasar salep hidrokarbon antara lain, vaselin yang terdiri dari
vaselin putih atau vaselin kuning dan dapat menyerap air sebanyak 5%, parafin
yang terdiri dari parafin solid yang digunakan untuk mengeraskan salep dan
parafin cair, serta minyak tumbuhan seperti oleum sesame dan oleum olivarum
(Anief, 1993).
14
4. Eksipien Pendukung Salep
Eksipien pendukung adalah bahan tambahan yang digunakan hanya
sebagai pelengkap, umumnya bertujuan untuk menstabilkan bahan aktif atau
bahan lain yang terdapat dalam formula yang terancam stabilitasnya akibat
oksidasi. Eksipien pendukung diperlukan hampir di setiap jenis sediaan sesuai
dengan kebutuhan. Salah satu eksipien yang sering digunakan adalah
pengawet. Pengawet merupakan suatu zat yang ditambahkan dan dimaksudkan
untuk meningkatkan stabilitas dari suatu sediaan dengan mencegah terjadinya
pertumbuhan mikroorganisme. Pengawet ditambahkan pada sediaan semi solid
untuk mencegah kontaminasi, perusakan, dan pembusukan oleh bakteri atau
fungi (Sry, 2015).
5. Metode Pembuatan Salep
Baik dalam ukuran besar maupun kecil, salep dibuat dengan dua metode
umum, yaitu pencampuran dan peleburan.
a. Metode Pencampuran
Dalam metode pencampuran, komponen dari salep dicampurkan
bersama-sama dengan segala cara sampai sediaan yang rata tercapai.
Pencampuran dicampur dalam sebuah lumping dengan sebuah alu untuk
menggerus bahan bersama-sama (Ansel, 1989).
b. Metode Peleburan
Dengan metode peleburan, semua atau beberapa komponen dari salep
dicampurkan dengan meleburkan bersama dan didinginkan dengan
pengadukan yang konstan sampai mengental. Komponen-komponen yang
15
tidak dicairkan biasanya ditambahkan terakhir. Banyak bahan-bahan
ditambahkan pada campuran yang membeku dalam bentuk larutan, biasanya
digerus dengan sebagian dasar salep (Ansel, 1989).
G. Pengujian Sifat Fisik Salep
1. Pengujian Organoleptis
Uji orgenoleptis bertujuan untuk mengamati sediaan secara visual terkait
tekstur, bentuk, warna dan bau (Mart dkk., 2010).
2. Pengujian Homogenitas
Uji homogenitas bertujuan untuk mengetahui kehomogenan salep.
Apakah sediaan salep tersebar secara merata atau tidak. Hal ini berkaitan
dengan kehomogenan ketersebaran bahan obat. Apabila sediaan homogen,
maka menandakan bahwa dosis obat tersebar secara tepat (Mart dkk., 2010).
3. Pengujian Daya Lekat
Uji daya lekat bertujuan untuk mengetahui waktu yang dibutuhkan oleh
salep untuk melekat di kulit (Mart dkk., 2010).
4. Pengujian Daya Sebar
Uji daya sebar bertujuan untuk mengetahui kelunakan massa salep
sehingga dapat dilihat kemudahan pengolesan sediaan salep pada kulit. Sediaan
salep yang bagus dapat menyebar dengan mudah di tempat aksi tanpa
menggunakan tekanan (Mart dkk., 2010).
5. Pengujian pH
Uji pH merupakan salah satu bagian kriteria pemeriksaan sifat fisik
dalam memprediksi kestabilan sediaan salep, dimana profil pH menentukan
16
stabilitas bahan aktif dalam suasana asam atau basa (Lachman, 1994). Syarat
nilai pH yang baik adalah tidak terlalu asam maupun basa karena dapat
mengiritasi kulit (Labrador, 2008). Kadar keasaman atau pH sediaan topikal
harus sesuai dengan pH penerimaan kulit. Persyaratan nilai pH yang aman
untuk kulit adalah 4,5 hingga 6,5 (Olivia dkk., 2013).
H. Stabilitas Sediaan
Stabilitas merupakan kemampuan suatu produk obat atau kosmetik untuk
bertahan dalam spesifikasi yang diterapkan sepanjang periode penyimpanan dan
penggunaan, untuk menjamin identitas, kekuatan, kualitas dan kemurnian produk.
Sediaan yang stabil adalah sediaan yang masih berada dalam batas yang dapat
diterima selama periode waktu penyimpanan dan penggunaan, dengan sifat dan
karakteristik sama seperti pada saat dibuat (Emma dkk., 2014). Jaminan stabilitas
merupakan hal penting untuk keamanan dan kemanjuran selama masa
penyimpanan dan penggunaan. Ketidakstabilan obat dalam suatu formulasi dapat
dilihat melalui perubahan tampilan fisik, warna , bau, rasa, dan konsistensi (Ansel,
2014).
Faktor
yang
menyebabkan
ketidakstabilan
sediaan
obat
dapat
dikelompokkan menjadi dua. Pertama adalaha stabilitas bahan obat dan bahan
pembantunya. Kedua adalah faktor luar seperti, suhu, kelembapan udara dan
cahaya yang dapat menginduksi atau mempercepat jalannya reaksi (Voigh, 1995).
Selain itu, menurut Parrot (1978) faktor yang mempengaruhi ketidakstabilan yaitu
cara penyimpanan obat yang benar, pemilihan wadah yang tepat, interaksi ketika
pencampuran beberapa bahan obat. Oleh karena itu, stabilitas dapat dibedakan
17
menjadi tiga yaitu perubahan fisika, kimia dan mikrobiologis. Perubahan fisika
dapat berupa perubahan struktur, perubahan kondisi distribusi (pecahnya emulsi
atau adanya sedimentasi), perubahan konsistensi, perubahan perbandingan
kelarutan, perubahan perbandingan hidratasi (Voigt, 1995).
I. Monografi Bahan
1. Vaselin Album
Sering disebut dengan vaselin putih adalah campuran yang dimurnikan
dari hidrokarbon setengah padat yang diperoleh dari minyak bumi dan
keseluruhan dihilangkan warnanya dan dapat mengandung zat penstabil yang
sesuai. Kelarutannya yaitu praktis tidak larut dalam air dan dalam etanol, larut
dalam kloroform, dalam eter, dalam minyak tanah, dalam benzene, heksana
dan larut dalam sebagian minyak lemak dan minyak atsiri kadang-kadang
beropalensi lemah. Vaselin album ini berguna sebagai zat tambahan yang
dalam formula salep sebagai basis hidrokarbon (Anonim, 1995).
2. Parafin Solid
Parafin solid adalah campuran hidrokarbon yang diperoleh dari minyak
mineral. Parafin solid berbentuk padat, sering menunjukkan susunan hablur,
agak licin, tidak berwarna atau putih, tidak mempunyai rasa. Terbakar dengan
nyala terang. Jika dileburkan menghasilkan cairan yang tidak berflouresensi.
Kelarutannya praktis tidak larut dalam air dan dalam etanol 95 %, larut dalam
kloroform. Fungsi dari parafin solid ini adalah sebagai zat tambahan yang
dalam formula ini berfungsi sebagai basis hidrokarbon dari salep yang dapat
mengeraskan salep (Anonim, 1979).
18
3. Metil Paraben (Nipagin)
Metil parabean berbentuk serbuk hablur halus, putih, hampir tidak berbau,
tidak mempunyai rasa, kemudian agak membakar diikuti rasa tebal. Larut
dalam 500 bagian air, dalam 20 bagian air mendidih, dalam 3,5 bagian etanol
95% dan dalam 3 bagian aseton, mudah larut dalam eter, an dalam larutan
alkali hidroksifa, larut dalam 60 bagian gliserol panas dan dalam 40 bagian
minyak lemak nabati panas, jika didinginkan larutan tetap jernih. Metil paraben
ini berfungsi sebagia pengawet (Anonim, 1979).
4. Propil Paraben (Nipasol)
Propil paraben berbentuk serbuk hablur putih, tidak berbau, dan tidak
berasa. Sangat sukar larut dalam air,larut dalam 3,5 bagian etanol, dalam 3
bagian aseton, dalam 140 bagian gliserol, dalam 40 bagian minyak lemah,
mudah larut dalam alkali hisroksida. Propil paraben ini berfungsi sebagai
pengawet (Anonim, 1979).
J. Kerangka Pemikiran
Indonesia merupakan negara yang kaya akan keragaman hayati dan
banyak menghasilkan tanaman obat, namun masih sangat jarang dimanfaatkan
untuk
pengobatan. Banyak jenis tumbuhan yang telah diselidiki kandungan
kimianya, salah satunya adalah daun nangka. Menurut penelitian yang telah
dilakukan, daun nangka
mempunyai aktivitas antibakteri, terutama bakteri
Staphylococcus aureus yang merupakan bakteri patogen alami pada tubuh
manusia penyebab berbagai infeksi kulit. Hal ini disebabkan karena pada daun
nangka terdapat senyawa aktif yaitu flavonoid, tanin, dan saponin.
19
Untuk memudahkan pemanfaatan daun nangka secara topikal maka dibuat
dalam sediaan salep. Sediaan salep juga lebih disukai karena lebih mudah, praktis,
menimbulkan rasa dingin dan menghasilkan efek emolient serta menghantarkan
obat pada kulit untuk efek khusus topikal atau sistemik. Pembuatan salep dengan
dasar hidrokarbon dikarenakan mempunyai kelunakan, konsistensi dan sifat netral
serta kemampuan menyebarnya yang mudah pada kulit. Konsistensi berhubungan
dengan kelunakan, sediaan salep yang lebih lunak maka semakin mudah
dioleskan, karena salah satu syarat salep yang baik adalah lunak. Dasar salep
hidrokarbon juga dikenal sebagai dasar salep berlemak. Hanya sejumlah kecil
komponen berair yang dapat dicampurkan ke dalamnya. Salep ini dimaksudkan
untuk memperpanjang kontak bahan obat dengan kulit dan bertindak sebagai
penutup. Dasar salep hidrokarbon digunakan terutama sebagai emolien, sukar
dicuci, tidak mengering dan tidak tampak berubah dalam waktu lama.
Penggunaan perbedaan konsentrasi paraffin solid dan vaselin album dalam
pembuatan sediaan salep ekstral etanol daun nangka dimaksudkan untuk
mengetahui ada atau tidaknya pengaruh terhadap sifat fisik dan stabilitas sediaan
salep. Paraffin solid berfungsi untuk mengeraskan salep yang dapat meningkatkan
daya lekat dan mempengaruhi sifat fisik dari sediaan salep dengan penggunaan
konsentrasi yang berbeda. Semakin banyak konsentrasi paraffin solid yang
digunakan, maka daya sebar sediaan salep akan semakin kecil, maka penggunaan
konsentrasi paraffin solid dengan konsentrasi terkecil akan memberikan hasil
yang baik, memiliki daya lekat yang memenuhi syarat dengan daya sebar yang
luas. Uji sifat fisik dan stabilitas sediaan salep meliputi pemeriksaan organoleptis,
20
homogenitas, pH, daya sebar dan daya lekat. Pengujian stabilitas sediaan salep
ekstrak etanol daun nangka dapat memberikan hasil yang stabil, karena adanya
penambahan eksipien berupa pengawet yang dapat berfungsi untuk menjaga
stabilitas sediaan salep agar tetap stabil. Sediaan yang stabil adalah sediaan yang
selama periode waktu penyimpanan dan penggunaan, memiliki sifat dan
karakteristik sama seperti pada saat dibuat. Jaminan stabilitas merupakan hal
penting untuk keamanan dan kemanjuran selama masa penyimpanan dan
penggunaan.
K. Hipotesis
Dari penelitian dapat dibuat hipotesis sebagai berikut :
1. Perbedaan konsentrasi paraffin solid dan vaselin album diduga berpengaruh
terhadap sifat fisik sediaan salep ekstrak etanol daun nangka.
2. Salep ekstrak etanol daun nangka diduga mempunyai stabilitas fisik yang baik
selama 4 minggu pengujian.
3. Formula 1 diduga paling baik digunakan sebagai sediaan salep ekstrak etanol
daun nangka karena memiliki sifat fisik dan stabilitas yang baik.
Download