Tinjauan Pustaka TERAPI DAPSON PADA DERMATITIS

advertisement
Tinjauan Pustaka
TERAPI DAPSON PADA DERMATITIS HERPETIFORMIS
IGAM. Sri Widyastuti, AAIA. Nindya Sari, Wendy Rinawati, Made Wardhana, Made Swastika Adiguna
Bagian/Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
FK Universitas Udayana / RSUP Sanglah Denpasar, Bali
ABSTRAK
Dermatitis herpetiformis (DH) dikenal berhubungan dengan gluten-sensitive enteropathy
(GSE) atau celiac disease (CD) yang diyakini berperan penting pada patogenesisnya. Prevalensi
dermatitis herpetiformis lebih sering pada orang Eropa dan jarang pada Afro Amerika, yaitu 1039 per 100.000 populasi penduduk. Dapson sebagai terapi medikamentosa merupakan pilihan
un tuk de rma titis herpetifo rmis. Oba t ini dapa t meng ontrol pe nya kit, teta pi tid ak dap at
menyembuhkan. Dapson yang terbukti memberi respons cepat pada pasien DH anak dan dewasa,
tidak mempunyai efek pada gangguan intestinal atau deposit IgA pada kulit. Sebelum memulai
terapi dapson, riwayat dan pemeriksaan fisis untuk skrining penyakit kardiopulmonal dan neuropati
perifer perlu dilengkapi. Pemeriksaan laboratorium awal meliputi darah lengkap untuk menentukan
hitung sel darah putih dan hemoglobin awal. Terapi ini memerlukan pengawasan terus-menerus
terhadap efek samping yang mungkin terjadi. Efek samping farmakologis yang paling sering
dijumpai adalah hemolisis dan methemoglobinemia, selain itu dapat terjadi idiosinkrasi atau
alergi. Agranulositosis merupakan efek samping yang jarang terjadi. (MDVI 2014; 41/4:165 16 9)
Kata Kunci: Dermatitis herpetiformis, dapson, monitoring obat
ABSTRACT
TDermatitis herpetiformis (DH) is known to be associated with gluten-sensitive enteropathy
(GSE) or celiac disease (CD) which is believed to play an important role in its pathogenesis. The
prevalence of DH is more often in Europeans and rare in Afro Americans 10-39 per 100.000
population. Dapsone as a medical therapy is the drug of choice for DH, these drugs can control
the disease, but it can not cure. Dapsone proven to provide rapid response in patients with DH
children and adults, do not have any effect on intestinal disorders or IgA deposits in the skin.
Before starting dapsone therapy, history and physical examination for screening cardiopulmonary
disease or peripheral neuropathy should be equipped. Initial laboratory investigations include a
complete blood count to determine the white blood cell count and hemoglobin early. This therapy
requires continuous monitoring of side effects that may occur. Pharmacological side effects most
frequently encountered is hemolysis and methemoglobinemia, but idiosyncrasy or allergy can
happen. Agranulocytosis is a rare side effect.(MDVI 2014; 41/4:165 - 169)
Keyword: Dermatitis herpetiformis, dapsone, drug monitoring
Korespondensi :
JJl. Diponegoro - Denpasar - Bali
Telp. 0361 -257517
Email: [email protected]
165
MDVI
PENDAHULUAN
Dermatitis herpetiformis (DH) atau dikenal juga sebagai
morbus Duhring adalah penyakit kulit autoimun yang bersifat
kronik dan sangat gatal, disertai timbulnya lesi papulovesikular
yang berulang.1 Penyakit ini ditandai dengan papul, vesikel,
plak, urtika, eritema dan kelompok ekskoriasi di daerah
ekstensor, siku, lutut, bokong dan punggung yang
terdistribusi secara simetris.2,3 Dermatitis herpetiformis dikenal
berhubungan dengan gluten-sensitive enteropathy (GSE)
atau celiac disease (CD) yang diyakini berperan penting pada
patogenesisnya. Lebih dari 90% pasien terbukti sensitif
terhadap gluten, dimulai dari limfositosis intraepitel jejunum
sampai atrofi total vili usus halus.4,5
Penatalaksanaan DH dapat berupa pengobatan nonmedikamentosa, antara lain diet bebas gluten dan diet elemental, serta pengobatan medikamentosa, antara lain dapson
dan sulfasalazin.6,7 Dapson merupakan obat pilihan untuk
DH, obat ini dapat mengontrol penyakit, tetapi tidak dapat
menyembuhkan penyakit. Pengobatan dengan dapson
terbukti memberi respons cepat pada pasien DH anak dan
dewasa.8,9 Tinjauan pustaka ini akan membahas peranan
terapi dapson, pedoman dosis dan cara pemberian obat,
interaksi dengan obat lain, dan efek samping yang terjadi
pada pasien DH.
ETIOLOGI
Gluten adalah sejenis protein yang terdapat pada
gandum, barley dan gandum hitam, yang berperan pada
patogenesis DH.10,11 Gluten mengandung gliadin, yaitu
suatu fraksi alkohol terlarut yang dipercaya sebagai
komponen antigen yang nantinya akan menimbulkan reaksi
alergi.12,13 Penelitian HLA menunjukkan adanya predisposisi
genetik pada DH. Pasien dengan DH menunjukkan
peningkatan ekspresi HLA-A1, HLA-B8, HLA-DR3 dan
HLA-DQ2.12,14
Vol. 41 No. 4 Tahun 2014; 165 - 169
akibat absorbsi gluten. Gluten dapat berasal dari gandum,
barley, dan gandum hitam.19,20
Secara teoritis, proses yang terjadi sejak pajanan awal
hingga menimbulkan manifestasi klinis dapat dijelaskan
sebagai berikut. Gliadin dalam gluten yang diabsorbsi ke
dalam lamina propria usus halus dipresentasikan oleh antigen presenting cell (APC) dengan perantara HLA-DQ2 atau
DQ8 untuk mengaktivasi sel T dan menimbulkan reaksi
inflamasi.21,22 Adanya protein gluten, mengaktivasi enzim
transglutaminase (Tgase) untuk deaminasi protein dengan
membentuk kompleks gluten-Tgase yang kemudian masuk
sirkulasi sistemik dan bereaksi silang dengan
transglutaminase (Tgase) epidermal membentuk kompleks
IgA-Tgase yang dideposit pada puncak papila dermis.
Adanya deposit IgA-Tgase menyebabkan infiltrasi neutrofil
yang menumpuk pada dermo-epidermal junction,
menimbulkan reaksi inflamasi dengan merusak membran
basalis. Neutrofil yang teraktivasi kemudian melepaskan
berbagai sitokin, yang antara lain menginduksi kolagenase,
stromelisin dan keratinosit. Stromelisin 1 berperan dalam
pembentukan vesikel. Selain neutrofil, deposit kompleks IgATgase juga mengaktivasi komplemen.22 Pada lesi dan sekitar
lesi kulit ditemukan C3, properdin, dan faktor B yang
mendukung dugaan bahwa komplemen tersebut diaktifkan
melalui jalur alternatif.11,23 Terikatnya IgA pada struktur kulit
menyebabkan dilepaskannya substansi inflamasi sehingga
timbul rasa gatal dan lesi di kulit.11
MANIFESTASI KLINIS
IMUNOPATOGENESIS
Lesi primer DH dapat berupa papul eritematosa, plak
menyerupai urtikaria, atau yang paling sering adalah vesikel.
Bula besar jarang terjadi. Vesikel, terutama yang timbul pada
telapak tangan, dapat hemoragik. Hilang timbulnya lesi
secara terus menerus dapat menimbulkan hiperpigmentasi
dan hipopigmentasi. Pasien dapat datang dengan lesi
berkrusta tanpa lesi primer. Lesi berkelompok menyerupai
herpes (herpetiformis) sering timbul pada beberapa daerah,
namun lesi dapat juga individual dan tidak berkelompok. 24,25
Imunogenetik
DIAGNOSIS
Katz dkk tahun 1972 pertama kalinya mengemukakan
hubungan imunogenetik DH dengan kelainan pada HLA-B8
dan banyak penelitian lain mendukung hubungan HLA-B8
dengan DH.15,16 Kelainan HLA-DR terdapat pada lebih 90%
pasien CD dan mempunyai persentase yang hampir sama
dengan pasien DH. HLA-B8 dan HLA-DR3 seringkali timbul
bersamaan pada kedua kelainan tersebut.16-18
Diagnosis DH dapat ditegakkan berdasarkan klinis,
histopatologis, serologis, imunofluoresensi dan
genetik.20,24,26 Pada pemeriksaan biopsi kulit ditemukan
kumpulan netrofil di papila dermis (mikroabses), fragmen
neutrofil, infiltrasi eosinofil, dan fibrin pada puncak papila
dermis. Pemeriksaan serologis spesifik, yaitu tampak antibodi
IgA-antiendomisium (EMA), yang mengikat substansi otot
polos (endomisium).26 Pemeriksaan dengan teknik direct immunofluorescence (DIF) menunjukkan secara lebih jelas
adanya deposit IgA granular pada dermis bagian atas. Deposit IgA granular terdapat pada 95% pasien DH yang
diperiksa melalui biopsi kulit secara acak pada kulit normal.27
Gluten-sensitive enteropathy
Gluten-sensitive enteropathy adalah penyakit pada
mukosa usus halus yang disebabkan karena jejas yang timbul
166
IGAM. S Widyastuti, dkk
PENGOBATAN
Setelah diagnosis ditegakkan berdasarkan beberapa
kriteria, alternatif terapi sebaiknya dijelaskan kepada pasien
sehingga ikut serta dalam membuat keputusan.
Penatalaksanaan dapat non-medikamentosa dan
medikamentosa.26
Terapi non-medikamentosa
Keuntungan diet bebas gluten adalah terhindarnya efek
samping yang berhubungan dengan terapi dapson dan
perbaikan gejala intestinal. Kerugian terapi diet bebas gluten adalah ketidaknyamanan dan menyebabkan tidak nafsu
makan. Diet bebas gluten akan menghilangkan seluruh gejala
kulit, tetapi tidak menyembuhkan. Diet teratur dapat
mencegah kekambuhan penyakit dalam waktu lama pada
sebagian besar pasien.8
Terapi medikamentosa
Pemberian dapson hanya akan menekan aktivitas
penyakit, dan gejala akan kambuh dalam 24-72 jam setelah
penghentian terapi.9 Pilihan kedua adalah sulfapiridin, tetapi
obat ini sukar didapat karena jarang diproduksi, hanya
tersedia dan digunakan secara terbatas di Amerika Serikat.
Sulfapiridin dianggap mempunyai mekanisme kerja yang
sama tetapi tingkat efektivitasnya kurang dan insidens
toksisitas lebih rendah dibandingkan dengan dapson. Dosis
awal yang dianjurkan adalah 500 mg tiga kali sehari, kemudian
dosis dapat dinaikkan dengan hati-hati sampai 2 gram tiga
kali sehari. 8,9,11 Pasien dianjurkan banyak minum dan
mengusahakan agar urin menjadi alkalis untuk meminimalkan
risiko nefrolitiasis.8
DAPSON
Farmakokinetik
Dapson diabsorpsi dengan baik oleh usus halus dengan
kadar puncak dalam darah tercapai dalam 2-6 jam setelah
pemberian dosis tunggal. Waktu paruhnya cukup panjang
(kurang lebih 30 jam) pada kondisi stabil disebabkan resirkulasi enterohepatik. 27 Dapson dan metabolitnya dapat
diekskresi melalui air susu ibu (ASI) dan dapat mengakibatkan
anemia hemolitik pada bayi.28 Dapson dimetabolisme di hati.
Dua jalur metabolik utama melibatkan asetilasi dan N-hydroxylation.11
Jalur metabolik yang lebih signifikan secara klinis
melibatkan hidroksilasi salah satu grup amino oleh sitokrom
3A4 (lebih jarang 2C9) untuk membentuk dapson
hidroksilamin, sebuah oksidan kuat yang penting pada
terjadinya methemoglobinemia dan hemolisis. Dapson
hidroksilamin kembali direduksi menjadi senyawa induk
Terapi dapson pada dermatitis herpetiformis
dapson oleh sitokrom b5 pada eritrosit sebagai methemoglobin reduktase, begitu juga dengan sitokrom b5 dan
sitokrom P2D pada hepatosit. Kadar enzim yang tereduksi
dapat dideteksi pada pasien yang mengalami methemoglobinemia simtomatik.11
Dapson dan metabolitnya diekskresi oleh ginjal
sehingga disarankan untuk memeriksa kadar kreatinin
sebelum memulai terapi dan menghindari penggunaan
dapson pada pasien dengan gangguan ginjal yang
signifikan.26
Mekanisme kerja
Dapson menghambat kemotaksis netrofil pada daerah
peradangan. Dapson juga menghambat produksi parakrin
(mediator inflamasi) dan mengganggu respirasi. Selain itu,
dapson diketahui menghambat migrasi dan perlekatan netrofil
pada imunoglobulin A yang terlokalisasi di kulit dan
interleukin-1 yang distimulasi oleh netrofil yang melekat pada
endotelium. Dapson juga menghambat pelepasan IL-8,
sebuah kemokin netrofil kuat keratinosit manusia yang
diinkubasi dengan antibiotik terhadap autoantigen pemfigoid
bulosa 180-kd manusia.29
PENGGUNAAN DAPSON PADA DERMATITIS
HERPETIFORMIS
Indikasi dan kontraindikasi
Dapson adalah obat pilihan utama pada terapi DH.
Kontraindikasi pemberian dapson adalah hipersensitivitas
terhadap dapson dan atau derivatnya,11 defisiensi G6PD,
disfungsi hati dan ginjal yang berat, serta cardiopulmonary decompensation.29 Tidak ditemukan efek teratogenik,
meskipun tidak ada penelitian dengan kontrol pada
manusia, dan untuk kehamilan diklasifikasikan sebagai
kategori C.28
Dosis dan cara pemberian
Tablet dapson tersedia dalam kemasan 50 mg dan 100
mg. Obat ini sangat efektif untuk mengontrol gejala. Pruritus
pada DH akan hilang dalam 48-72 jam setelah pengobatan
dapson. Lesi akan timbul kembali dalam 24-48 jam setelah
penghentian dapson. Terapi dapson dimulai dengan dosis
awal 25-50 mg pada orang dewasa dan 0,5 mg/kgBB pada
anak-anak. Terapi awal dapson dengan dosis lebih dari 50
mg akan menyebabkan hemolisis berat dan gagal jantung
pada individu yang rentan. Bila diminum setiap hari maka
kadar dapson akan mencapai steady state dalam waktu 7
hari.29
Sebelum memulai terapi dengan dapson, riwayat dan
pemeriksaan fisis untuk skrining penyakit kardiopulmonal
167
MDVI
dan neuropati perifer harus dilengkapi. Pemeriksaan
laboratorium awal meliputi darah lengkap untuk
menentukan hitung sel darah putih dan hemoglobin awal.
Selanjutnya sebagai evaluasi diperlukan pemeriksaan rutin darah lengkap setiap minggu untuk 1 bulan pertama,
setiap bulan untuk 5 bulan berikutnya, dan setiap 6 bulan
selama terapi berlangsung. Defisiensi G6PD harus
disingkirkan, demikian juga disfungsi hati dan ginjal yang
berat. Pemeriksaan diulang setiap 6 bulan, kemudian setiap
tahun. 29
Interaksi dapson dengan obat lain
Dapson berinteraksi hanya dengan sedikit obat-obat
lain, antara lain probenesid yang mengganggu ekskresinya
di ginjal, rifampisin yang meningkatkan metabolisme dapson
dengan meningkatkan regulasi sitokrom P450, simetidin dan
omeprazol yang menghambat N-hydroxylation dapson, serta
trimetoprim yang dikaitkan dengan lebih tingginya dapson
dalam darah. 11 Penggunaan dapson bersamaan dengan
amprenavir dapat meningkatkan kadar dapson dalam plasma.
Antagonis asam folat, misalnya pirimetamin, dapat
meningkatkan kemungkinan terjadinya reaksi hematologik
akibat dapson.26,27
Efek samping dapson
Efek samping farmakologi, hemolisis dan methemoglobinemia, disebabkan oleh metabolit yang terhidroksilasi,
yaitu dapson hidroksilamin, yang merupakan oksidan kuat.
Di dalam eritrosit, dapson hidroksilamin membentuk spesies
oksigen reaktif yang mengoksidasi oksihemoglobin menjadi
methemoglobin dan melalui suatu proses elusidasi yang tidak
lengkap juga menyebabkan hemolisis.11 Methemoglobinemia
merupakan konsekuensi lain yang diperkirakan dapat terjadi
pada terapi dengan dapson.26,29 Hal ini juga disebabkan
pembentukan spesies oksigen reaktif oleh dapson
hidroksilamin yang menyebabkan oksidasi oksihemoglobin.11
Efek samping dapson yang lain adalah idiosinkrasi atau
alergi. Terdapat beberapa sekuele neurologis yang jarang
terjadi, efek samping yang tidak dapat diprediksi pada
dapson, antara lain neuropati motoris distal, kadang disertai
komponen sensoris. Kondisi ini bersifat reversibel dengan
penurunan dosis atau penghentian obat.
Dapson dikaitkan dengan mononucleosis-like hypersensitivity syndrome yang disebut sindrom sulfon. Seperti
beberapa antikonvulsan dan obat-obat yang menyebabkan
gejala serupa, sindrom sulfon paling baik diklasifikasikan
dalam spektrum klinis imunosupresi yang diinduksi alergi
obat. Akibat imunosupresi yang diinduksi obat, dapat terjadi
reaktivasi human herpesvirus 6 dan virus laten lainnya.11
Agranulositosis merupakan efek samping lain yang
jarang, idiosinkrasi, yang diperkirakan terjadi pada 0,2 - 0,4
persen pasien yang diterapi dengan dapson.9,11,26
168
Vol. 41 No. 4 Tahun 2014; 165 - 169
PENUTUP
Dermatitis herpetiformis atau dikenal juga sebagai morbus Duhring adalah penyakit kulit autoimun yang bersifat
kronik dan sangat gatal, disertai timbulnya lesi
papulovesikuler yang berulang. Penyakit ini berhubungan
dengan gluten-sensitive enteropathy (GSE) atau celiac disease (CD) yang diyakini berperan penting pada
patogenesisnya. Gluten mengandung gliadin, yaitu suatu
fraksi alkohol-terlarut, yang dipercaya sebagai komponen
antigen yang akan menimbulkan reaksi alergi. Selain itu faktor
genetik diketahui menjadi dasar terjadinya penyakit ini.
Empat temuan yang digunakan untuk mendukung diagnosis DH adalah lesi papulovesikel, pruritus, atau papul
ekskoriasi pada permukaan daerah ekstensor, infiltrasi netrofil
pada papila dermis disertai formasi vesikel pada dermo-epidermal junction, deposit IgA granular pada papila dermis
pada kulit normal di sekitar lesi, respons kulit yang terjadi
akibat sensitivitas terhadap gluten.
Penatalaksanaan DH dapat non-medikamentosa dan
medikamentosa. Diet bebas gluten memberikan beberapa
keuntungan, meliputi terhindarnya efek samping yang
berhubungan dengan terapi dapson, perbaikan gejala intestinal, dan pilihan terapi lebih ditujukan pada penyebab
daripada gejala penyakitnya. Meskipun demikian, penekanan
gejala awal dengan dapson selalu diperlukan. Pemberian
dapson ditujukan untuk mengontrol penyakit, akan tetapi
tidak dapat menyembuhkan penyakit. Diperlukan
pengawasan yang ketat dan terus-menerus terhadap efek
samping yang mungkin terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Pye RJ. Bullous erupsions. Dalam: Champion RH, Burton
JL, Ebling FJG, penyunting. Textbook of Dermatology. Edisi
ke-5. London: Blackwell Scientific Publ; 1992. h.1658-62.
2. Amiruddin DM. Dermatitis herpetiformis. Dalam: Amiruddin
DM, penyunting. Ilmu Penyakit Kulit. Makassar: Bagian Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin FKUH; 2003.h.337-43.
3. Kariosentono H. Dermatitis herpetiformis (Penyakit Duhring).
Dalam: Harahap M, penyunting. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta:
Hipokrates; 2000.h.139-41.
4. Leonard JN. Dermatitis herpetiformis. Dalam: Harper J, Oranje
A, Prose N, penyunting. Textbook of Pediatric Dermatology.
Edisi ke-1. London: Blackwell Science Ltd; 2000.h.724-9.
5. Zone JJ. Dermatitis herpetiformis. Dalam: Jordan RE,
penyunting. Immunologic diasease of the skin. Connecticut:
Appleton & Lange; 1991.h.335-45.
6. Bolotin D, Petronic VR. Dermatitis herpetiformis: Part II.
Diagnosis, management, and prognosis. J Am Acad Dermatol.
2011; 64:1027-33.
7. Nicolas ME, Krause PK, Gibson LE, Murray JA. Dermatitis
herpetiformis. Int J Dermatol. 2003; 42(8): 588-600.
IGAM. S Widyastuti, dkk
8. Habif MD, Thomas P. Vesicular and bullous disease. Dalam:
Clinical Dermatology. Edisi ke-4. Philadelphia: Mosby;
2004.h.559-601.
9. Wiryadi BE. Dermatosis vesikobulosa kronik. Dalam: Djuanda
A, penyunting. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI; 2007.h.210-3.
10. Alonso JJ, Gibson LE, and Rogers III RS. Clinical, pathologic,
and immunopathologic features of dermatitis herpetiformis:
review of the Mayo Clinic experience. Int J Dermatol. 2007;
46: 910-9.
11. Ronaghy A, Katz SI, Hall III RP. Judulnya ?. Dalam: Freedberg
IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI,
penyunting. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine.
Edisi ke-8. New York: McGraw-Hill; 2012. h.642-49.
12. Miller JL. Dermatitis herpetiformis. Medscape [serial online]
2009 August [citied 2009 October 2nd]. Available from: URL:
http://www.medscape.com.
13. Fine Jo-David. Management of acquired bullous skin disease.
New England J Med. [serial online] 1995 November [citied
2009 October 10]. Volume 333. 1457-84. Available from URL:
http://www.NEJM.org./content/full/333.com.
14. Moschela SL, Hurley HJ. Dermatitis herpetiformis. Dalam:
Dermatology. Edisi ke-2. Philadelphia: WB. Saunders
Company;1985.h.579-86.
Terapi dapson pada dermatitis herpetiformis
15. Hall RP, Benbenisty KM, Mickle C, Takeuchi F, Streilein
RD. Serum IL-8 in patients with dermatitis herpetiformis is
produced in responsse to dietary gluten. J Invest Dermatol.
2007;127: 2158-65.
16. Smith EP, Zone JJ. Dermatitis herpetiformis and linear IgA
bullous dermatosis. Dalam: Crosby DI, Diaz IA, penyunting.
Dermatology Clinics. Philadelphia: WB Saunders CO;
1993.h.311-23.
17. Reunala TL. Dermatitis herpetiformis. Clin Dermatol.
2001;19:728-36.
18. Rose C, Brocker EB, Zillikens D. Clinical, histological and
immunopathological findings in 32 patients with dermatitis
herpetiformis. JDDG. 2010; 8: 265-70.
19. Ensari A. Gluten-sensitive enteropathy (Celiac Disease)
controversies in diagnosis and classification. Arch Pathol Lab
Med. 2010; 134: 826-36.
20. Collin P, Reunala T. Recognition and management of the
cutaeous manifestations of celiac disease: a guide for
dermatologists. Am J Clin Dermatol. 2003; 4(1): 13-20.
21. Marietta EV, Camilleri MJ, Castro LA, Krause PK, Pittelkow
MR, Murray MJ. Transglutaminase autoantibodies in
dermatitis herpetiformis and celiac sprue. J Invest Dermatol.
2008; 128(2): 332-5.
169
Download