BAB 2 LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1

advertisement
BAB 2
LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
2.1
Landasan Teori
Teori digunakan untuk menjelaskan dan memprediksi fenomena atau fakta
yang diperlukan. Landasan teori diperlukan sebagai dasar dalam melakukan
penelitian agar tujuan studi dalam penelitian dapat tercapai.
2.1.1 Kinerja Keuangan
Tujuan utama perusahaan adalah memaksimalkan kekayaan pemegang saham
dalam jangka panjang. Berhubungan dengan hal itu, maka perusahaan harus mampu
meningkatkan atau setidaknya mempertahankan harga sahamnya. Menurut Brigham
dan Houston (2010: 132), data akuntansi yang terkandung dalam laporan keuangan
dapat mempengaruhi harga saham. Brigham dan Houston (2010: 105) juga
menambahkan bahwa analisis terhadap data akuntansi tersebut dapat digunakan
untuk mengukur dan mengevaluasi kinerja perusahaan.
Para pemegang saham memerlukan informasi yang ada dalam laporan
keuangan untuk mengetahui kondisi keuangan perusahaan saat itu. Informasi tersebut
dapat dijadikan sebagai gambaran kinerja keuangan perusahaan tersebut. Semakin
baik kondisi keuangan suatu perusahaan, maka semakin baik kinerja keuangannya.
Brigham dan Houston (2010: 132) menjelaskan bahwa analisis laporan keuangan
dapat memberikan pemahaman bagi investor mengenai kekuatan dan kelemahan
perusahaan. Hal itu dapat membantu meramalkan kinerja keuangan perusahaan di
masa depan. Semakin baik kualitas laporan keuangan yang disajikan, maka pihakpihak eksternal seperti investor akan semakin yakin terhadap kinerja keuangan
perusahaan tersebut. Keyakinan tersebut akan memberikan prediksi bagi investor
11
bahwa perusahaan akan mampu tumbuh dan memiliki profitabilitas yang baik
(Fahmi, 2011:2).
Menurut Harjito dan Martono (2011:52) Kinerja keuangan perusahaan
merupakan gambaran keadaan yang nyata mengenai hasil operasi atau prestasi yang
telah dicapai oleh suatu perusahaan selama kurun waktu tertentu. Menurut Fahmi
(2011: 2), kinerja keuangan adalah suatu analisis yang dilakukan untuk melihat
sejauh mana suatu perusahaan telah berjalan atau beroperasi dengan menggunakan
aturan-aturan pelaksanaan keuangan secara baik dan benar. Dengan kata lain, kinerja
keuangan dapat mencerminkan kinerja manajemen, apakah telah menjalankan
peraturan dengan baik. Fahmi (2011: 108) mengungkapkan bahwa rasio keuangan
dapat digunakan sebagai acuan dalam menganalisis kondisi dan kinerja keuangan.
Berdasarkan pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa kinerja keuangan
yang baik merupakan hal penting yang harus dicapai oleh setiap perusahaan, karena
kinerja keuangan mencerminkan kemampuan perusahaan dalam mengelola dan
mengalokasikan sumber dayanya. Kinerja keuangan juga dijadikan tolok ukur bagi
perusahaan dalam menghasilkan laba untuk menciptakan nilai perusahaan yang
tinggi.
2.1.2
Analisis Rasio Keuangan
Informasi yang tertuang dalam laporan keuangan menunjukkan aktivitas yang
telah dilakukan oleh perusahaan dalam suatu periode tertentu. Salah satu informasi
dalam laporan keuangan dapat ditunjukkan melalui hasil analisis rasio keuangan.
Menurut Kasmir (2012:104), analisis rasio keuangan adalah perbandingan angkaangka yang ada dalam laporan keuangan atau antar laporan keuangan. Angka-angka
itu sendiri biasa disebut dengan rasio keuangan. Menurut Harahap (2011:297), rasio
12
keuangan merupakan angka yang diperoleh dari hasil perbandingan antara pos-pos
laporan keuangan yang masing-masing mempunyai hubungan yang relevan dan
signifikan. Rasio keuangan hanya merupakan bentuk penyederhanaan informasi yang
menggambarkan hubungan antara pos-pos tersebut. Contohnya seperti hubungan
antara hutang dan modal atau antara harga pokok produksi dengan total penjualan.
Kasmir (2012:104) juga menyebutkan bahwa hasil dari analisis rasio keuangan ini
dapat memberikan kesimpulan mengenai posisi keuangan perusahaan, yang nantinya
dapat digunakan untuk menilai dan mengevaluasi kinerja manajemen dalam suatu
periode apakah mencapai target seperti yang telah ditetapkan. Selain itu hasil
perbandingan tersebut juga dapat digunakan untuk menilai kemampuan manajemen
dalam memanfaatkan sumber daya perusahaan secara efektif .
Munawir (2007: 64) menyatakan bahwa analisis rasio adalah “future
oriented”. Dengan kata lain dengan menggunakan analisis rasio penganalisa harus
mampu menyesuaikan faktor-faktor yang ada pada periode ini dengan faktor-faktor
di masa yang akan datang yang mungkin akan mempengaruhi posisi keuangan atau
hasil operasi perusahaan yang bersangkutan.
Menurut Harjito dan Martono (2010:53) rasio keuangan berdasarkan sumber
analisisnya
dapat dibedakan
menjadi
(1) Perbandingan
internal
(Internal
comparison), yaitu membandingkan rasio pada saat ini dengan rasio pada masa lalu
dan masa yang akan datang dalam perusahaan yang sama. (2) Perbandingan eksternal
(External comparison) yaitu membandingkan rasio perusahaan dengan perusahaanperusahaan sejenis atau dengan rata-rata industri pada saat yang sama.
Menurut Harahap (2011:301) rasio keuangan yang sering digunakan adalah:
1.
2.
3.
4.
5.
Rasio Likuiditas;
Rasio Solvabilitas;
Rasio Profitabilitas/Rentabilitas;
Rasio Leverage;
Rasio Aktivitas;
13
6. Rasio Pertumbuhan;
7. Market Based (Penilaian Pasar);
8. Rasio Produktivitas.
2.1.3
Rasio Profitabilitas
Kasmir (2012:196) menyebutkan bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai suatu
perusahaan yang terpenting adalah memperoleh laba atau keuntungan yang
maksimal, di samping hal-hal lainnya. Untuk mengukur tingkat keuntungan suatu
perusahaan, digunakan rasio keuntungan atau rasio profitabilitas yang dikenal juga
dengan nama rasio rentabilitas. Mengukur tingkat profitabilitas merupakan hal yang
penting bagi perusahaan, karena rentabilitas (pr ofitabilitas) yang tinggi merupakan
tujuan setiap perusahaan. Menurut Harahap (2011:304), rasio profitabilitas
merupakan rasio yang menggambarkan kemampuan perusahaan dalam memperoleh
laba melalui semua kemampuan dan sumber daya yang dimiliki perusahaan, seperti
kegiatan penjualan, kas, modal, dan jumlah karyawan. Kasmir (2012:114)
menyebutkan bahwa rasio profitabilitas dapat memberikan ukuran tingkat efektivitas
manajemen suatu perusahaan yang ditunjukkan dari laba yang dihasilkan dari
penjualan atau dari pendapatan investasi. Artinya jika perusahaan mampu
memanfaatkan aktiva atau modalnya dalam memenuhi target laba yang telah
ditetapkan, maka perusahaan tersebut dikatakan memiliki rentabilitas yang baik.
Menurut Kasmir (2012:114) Rasio Profitabilitas atau rasio rentabilitas dibagi
menjadi dua yaitu sebagai berikut :
1. Profitabilitas ekonomi, yaitu perbandingan laba usaha dengan seluruh
modal yang terdiri dari modal sendiri dan modal asing yang digunakan
untuk menghasilkan laba tersebut. Modal yang diperhitungkan dalam
profitabilitas ekonomi hanyalah modal yang bergerak dalam perusahaan
14
(operating
capital/assets)
dan
laba
yang
diperhitungkan
dalam
profitabilitas ekonomi juga hanyalah laba yang berasal dari operasi
perusahaan atau net operating income.
2. Profitabilitas usaha (sendiri), yaitu perbandingan laba yang disediakan
untuk pemilik dengan modal sendiri. Dalam hal ini profitabilitas yang
tinggi lebih penting daripada keuntungan yang besar. Modal yang
diperhitungkan dalam profitabilitas ini adalah modal sendiri yang
digunakan dalam perusahaan. Sedangkan laba yang dimaksud adalah laba
usaha setelah dikurangi bunga dan pajak.
Menurut Brigham dan Houston (2010:146), rasio profitabilitas merupakan rasio yang
mencerminkan hasil akhir dari seluruh kebijakan keuangan dan keputusan
operasional. Profitabilitas perusahaan dapat diukur salah satunya dengan return on
asset (ROA), dan return on equity (ROE).
2.1.3.1
Return On Asset (ROA)
ROA merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk menilai
profitabilitas perusahaan. Menurut Kasmir (2012:202), ROA atau Return on
Investtment (ROI) merupakan rasio yang menunjukkan hasil pengembalian atas total
aset yang digunakan dalam perusahaan. Rasio ini dapat digunakan untuk menilai
apakah perusahaan ini efisien dalam memanfaatkan aktivanya dalam kegiatan
operasional perusahaan atau tidak. Hanafi (2009:159) menyatakan bahwa ROA
merupakan profitabilitas ekonomi yang dapat mengukur kemampuan perusahaan
dalam menghasilkan profit pada masa lalu dan memproyeksikan kemampuan
perusahaan dalam menghasilkan profit di masa mendatang. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa ROA merupakan rasio profitabilitas yang digunakan untuk
15
mengukur kemampuan perusahaan dalam memperoleh keuntungan (profit) secara
keseluruhan dengan memanfaatkan aktiva yang dimiliki oleh perusahaan. Safarina
(2012) juga berpendapat bahwa ROA merupakan rasio profitabilitas yang lebih baik
dibanding rasio profitabilitas lainnya.
Rasio ini menunjukkan presentase tingkat pengembalian laba atas seluruh
total asset, yang dinyatakan sebagai berikut :
Keterangan :
Laba bersih setelah pajak (Net Income After Tax) adalah laba bersih setelah pajak
yang dihasilkan oleh perusahaan, dimana data yang digunakan adalah data yang
tercantum di dalam laporan keuangan yang dipublikasikan oleh perusahaan. Total
Assets adalah total aktiva yang dimiliki oleh perusahaan dan yang tercantum di
dalam laporan keuangan yang dipublikasikan.
Menurut Brigham dan Houston (2010:148), jika memperoleh ROA lebih
tinggi dari rata-rata industri, maka perusahaan dianggap baik karena memperoleh
tingkat pengembalian yang lebih tinggi atas aset yang diinvestasikan. Sebaliknya,
jika memperoleh ROA lebih rendah dari rata-rata industri maka perusahaan dianggap
kurang baik karena memperoleh tingkat pengembalian yang lebih rendah atas aset
yang diinvestasikan.
Menurut Brigham et al. (2010:148) tingkat pengembalian atas aset yang
rendah dapat diakibatkan karena jumlah utang yang besar dan beban bunga yang
tinggi sehingga menyebabkan laba bersih perusahaan rendah. Hansen dan Mowen
(2009:126) menyebutkan keunggulan ROA di antaranya adalah sebagai berikut:
16
1.) mendorong manajer untuk memfokuskan pada hubungan antara penjualan, beban,
dan investasi sebagaimana yang diharapkan dari manajer pusat investasi. 2.)
mendorong manajer memfokuskan pada efisiensi biaya, dan 3.) mendorong manajer
memfokuskan pada efektivitas aktivitas operasi. Selain keunggulan, ROA juga
memiliki kelemahan yaitu terdiri dari: 1.) ROA mengakibatkan fokusan yang sempit
pada
profitabilitas
divisi
dengan
mengorbankan
profitabilitas
keseluruhan
perusahaan. 2.) ROA cenderung mendorong manajer untuk berfokus pada tujuan
jangka pendek dan mengorbankan tujuan jangka panjang, seperti pemutusan
beberapa tenaga penjualan, pengurangan budget pemasaran, dan penggunaan bahan
baku yang relatif murah sehingga menurunkan kualitas produk dalam jangka
panjang.
2.1.3.2
Return On Equity (ROE)
Menurut Brigham dan Houston (2010:149), Return On Equity (ROE)
merupakan rasio yang paling umum digunakan untuk mengukur tingkat
pengembalian atas investasi pemegang saham biasa atau pemilik perusahaan. Kasmir
(2012:204) menyebutkan bahwa semakin tinggi rasio ini, maka semakin kuat posisi
pemilik perusahaan, artinya perusahaan sudah efisien dalam menggunakan modalnya
sendiri untuk memperoleh laba
Brigham et al (2010:150) juga menjelaskan bahwa ROE mencerminkan
pengaruh dari seluruh rasio lain dan merupakan kinerja tunggal yang terbaik.
Investor cenderung menyukai ROE yang tinggi, karena ROE yang tinggi umumnya
memiliki pengaruh positif dengan harga saham yang tinggi. Tetapi , jika ROE yang
tinggi tersebut diperoleh melalui penggunaan hutang dalam jumlah yang besar, maka
17
harga saham kemungkinan akan lebih rendah dari yang seharusnya jika dibandingkan
dengan hutang yang lebih sedikit dan ROE yang rendah.
Menurut Mardiyanto (2009: 196) ROE digunakan untuk mengukur
keberhasilan perusahaan dalam menghasilkan laba bagi para pemegang saham. Oleh
karena itu, ROE dianggap sebagai representasi dari kekayaan pemegang saham atau
nilai perusahaan.
Rasio ini menunjukan presentase tingkat pengembalian laba terhadap ekuitas,
yang dinyatakan sebagai berikut :
Keterangan :
− Laba bersih adalah laba setelah pajak
− Ekuitas adalah total modal sendiri
Rasio ini menggunakan hubungan antara keuntungan setelah pajak dengan
modal sendiri yang digunakan perusahaan. Modal sendiri yang dimaksud dalam
rumus adalah saham biasa, agio saham, laba ditahan, saham preferen dan cadangancadangan lain. Melihat hubungan-hubungan itu, ROE dapat dikatakan sebagai
rentabilitas ekonomi.
Menurut Brigham et al (2010:149), jika memperoleh ROE lebih tinggi dari
rata-rata industri maka perusahaan dianggap baik karena pemegang saham dapat
memperoleh tingkat pengembalian yang lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata
industri, hal ini menunjukkan kondisi ekonomi perusahaan baik. Sebaliknya, jika
memperoleh ROE lebih rendah dari rata-rata industri maka perusahaan dianggap
kurang baik karena pemegang saham memperoleh tingkat pengembalian yang lebih
rendah.
18
2.1.4 Teori Keagenan
Teori agensi berkaitan dengan masalah kepemilikan perusahaan melalui
pembelian
saham,
Menurut
Mardiyanto
(2009:263)
teori
agensi
adalah
ketidakselarasan kepentingan antara perusahaan dan kreditor. Teori agensi dalam
manajemen keuangan membahas adanya hubungan agensi, yaitu hubungan antara
principal (pemilik dan pemegang saham) dengan agen (manajemen).
Menurut Harjito dan Martono (2010:11), mengingat tujuan perusahaan adalah
memaksimumkan kemakmuran para pemegang saham yang diterjemahkan sebagai
memaksimumkan harga saham, dalam kenyataannya tidak jarang manajer
perusahaan memiliki tujuan lain yang mungkin bertentangan dengan tujuan utama
tersebut. Mengingat bahwa manajer diangkat oleh pemegang saham, maka idealnya
mereka bertindak yang terbaik untuk kepentingan pemegang saham, namun dalam
praktiknya sering terjadi konflik antara kedua pihak tersebut yang dinamakan agency
problem. Agency problem ini dapat muncul antara manajer dan pemegang saham
atau antara kreditur dan pemegang saham.
Dalam perusahaan besar agency problem sangat potensial terjadi karena
proporsi kepemilikan perusahaan oleh manajer relatif kecil. Tidak jarang tindakan
manajer bukannya memakmurkan pemegang saham, melainkan memperbesar skala
perusahaan dengan cara ekspansi atau membeli perusahaan lain. Motif utamanya
adalah untuk menghindari pengambilalihan oleh perusahaan lain. Konflik lain yang
potensial terjadi dalam perusahaan besar adalah antara pemegang saham dan
kreditur. Kreditur memiliki hak atas sebagian laba dan sebagian aset perusahaan
terutama dalam kasus kebangkrutan. Sementara itu pemegang saham memegang
pengendalian perusahaan yang sangat menentukan profitabilitas dan resiko
perusahaan (Harjito dan Martono: 2010:12)
19
Konflik-konflik tersebut dapat menimbulkan biaya yang harus dikeluarkan
oleh pemegang saham, yang biasa disebut biaya agensi (agency cost). Biaya agensi
menurut Indahningrum (2009) adalah biaya yang berhubungan dengan pengawasan
tindakan manajemen untuk mencegah tingkah laku manajer yang tidak dikehendaki,
dan merupakan opportunity cost bagi pemegang saham akibat upaya pembatasan
terhadap tindakan manajer. Harjito dan Martono (2010: 265) juga menyatakan bahwa
biaya pengawasan tersebut digunakan untuk meyakinkan agar manajemen bertindak
konsisten sesuai dengan perjanjian perusahaan dengan kreditur dan pemegang
saham. Manajemen merupakan agen dari pemegang saham, oleh karena itu untuk
dapat melakukan fungsinya dengan baik, manajemen harus diberikan insentif dan
pengawasan yang memadai. Pengawasan dapat dilakukan dengan cara pengikatan
agen, pemeriksaan laporan keuangan, dan pembatasan terhadap keputusan yang
diambil oleh manajemen. Kegiatan pengawasan tersebut tentunya membutuhkan
biaya. Teori agensi yang dikembangkan oleh Jensen dan Meckling mengungkapkan
salah satu pendapat bahwa siapapun yang menimbulkan biaya pengawasan, maka
biaya yang timbul pasti merupakan tanggungan pemegang saham.
2.1.5 Kepemilikan Manajerial
Menurut Rustendi dan Jimmy (2008) kepemilikan manajerial adalah
presentase saham yang menunjukkan besarnya suatu kepemilikan yang dimiliki oleh
manajer dan direksi suatu perusahaan. Berdasarkan teori keagenan, perbedaan
kepentingan antara manajer dan pemegang saham ini mengakibatkan timbulnya
konflik yang biasa disebut agency conflict. Menurut Sartono (2010:10) konflik
keagenan dalam perusahaan dapat terjadi dimana manajernya memiliki saham kurang
dari seratus persen. Konflik kepentingan yang sangat potensial ini menyebabkan
20
pentingnya suatu mekanisme yang diterapkan guna melindungi kepentingan
pemegang saham. Menurut Haruman (2008) mekanisme pengawasan terhadap
manajemen tersebut dapat menimbulkan suatu biaya yang disebut biaya keagenan
atau agency cost. Indahnigrum (2009) menyebutkan bahwa salah satu alternatif untuk
mengurangi agency cost adalah dengan cara meningkatkan kepemilikan saham
perusahaan oleh manajemen, sehingga dapat mensejajarkan kepentingan antara
pemilik dan manajer.
Menurut Cipta (2008) pendekatan teori keagenan (agency theory)
menyatakan bahwa praktek manajemen laba dipengaruhi oleh konflik kepentingan
antara manajemen (agent, dan pemilik principal) yang timbul ketika setiap pihak
berusaha mencapai atau mempertahankan kemakmuran yang dikehendakinya.
Dimana principal itu yang memberikan tugas kepada agent. Sedangkan agent adalah
pihak yang mengerjakan tugas dari principal atau pengelola perusahaan. Cipta
(2008) juga menambahkan bahwa teori keagenan digunakan untuk mengatasi dua
masalah yang terjadi dalam hubungan keagenan. Pertama, masalah keagenan timbul
pada saat keinginan principal dan agent saling berlawanan dan merupakan hal yang
sulit bagi principal untuk melakukan verifikasi apakah agen telah melakukan sesuatu
secara tepat. Kedua, masalah pembagian dalam menanggung resiko yang timbul
dimana principal dan agent memiliki sikap yang berbeda terhadap resiko. Dalam
hubungan keagenan tersebut terdapat pemisahan antara kepemilikan pihak principal
dengan pengendali (agent) dimana perusahaan yang memisahkan fungsinya antara
pengelolaan dengan fungsi kepemilikan akan mengakibatkan munculnya manajer
bertindak oportunistik.
Berdasarkan penjelasan di atas, Cipta (2008) menyimpulkan bahwa struktur
kepemilikan manajerial berperan sebagai sebuah instrumen atau alat untuk
21
mengurangi konflik keagenan diantara berbagai klaim (claim holders) terhadap
perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan meningkatkan kepemilikan manajerial
untuk mensejajarkan kedudukan manajer dengan pemegang saham sehingga
bertindak sesuai dengan keinginan pemegang saham. Dengan adanya kepemilikan
manajerial, maka para agent termotivasi untuk meningkatkan nilai perusahaan.
2.1.6
Nilai Perusahaan
Bagi perusahaan yang sudah go public, nilai perusahaan akan tercermin dari
nilai pasar sahamnya. Semakin tinggi harga saham semakin tinggi pula nilai
perusahaan. Bagi perusahaan yang belum go public, nilai perusahaan adalah nilai
yang terjadi apabila perusahaan tersebut dijual. Tujuan memaksimumkan nilai
perusahaan disebut juga sebagai memaksimumkan kemakmuran pemilik perusahaan
atau pemegang saham (stakeholder wealth maximization) yang dapat diartikan juga
sebagai memaksimumkan harga saham biasa dari perusahaan (maximizing the price
of the firm’s common stock). Tujuan memaksimumkan nilai perusahaan ini
digunakan sebagai pengukur keberhasilan perusahaan karena dengan meningkatnya
nilai perusahaan berarti meningkatnya kemakmuran pemilik perusahaan atau
pemegang saham perusahaan. (Harjito dan Martono, 2010:13).
Menurut Sartono (2010:9), nilai perusahaan diartikan sebagai harga yang
bersedia dibayar oleh calon investor seandainya suatu perusahaan akan dijual. Nilai
perusahaan dapat mencerminkan nilai aset yang dimiliki perusahaan seperti suratsurat berharga. Saham merupakan salah satu surat berharga yang dikeluarkan oleh
perusahaan, tinggi rendahnya harga saham banyak dipengaruhi oleh kondisi emiten.
Salah satu faktor yang mempengaruhi harga saham adalah kemampuan perusahaan
membayar dividen (Harjito dan Martono, 2010: 42).
22
Menurut Brigham (2010:151) nilai perusahaan juga dapat diukur dengan
Price book Value (PBV) atau market/book (M/B) ratio. Rasio ini mengukur nilai
yang diberikan pasar keuangan kepada manajemen dan organisasi perusahaan
sebagai sebuah perusahaan yang terus tumbuh. Perusahaan yang dipandang baik oleh
investor yaitu perusahaan dengan laba dan arus kas yang aman, hal itu dapat
dicerminkan melalui price to book value. Menurut Tryfino (2009: 11), price to book
value (PBV) adalah perhitungan atau perbandingan antara market value dengan book
value suatu saham. Rasio PBV ini akan memberikan informasi bagi investor
mengenai berapa kali market value suatu saham dihargai dari book value-nya. Rasio
ini dapat memberikan gambaran potensi pergerakan harga suatu saham, sehingga
dari gambaran tersebut, secara tidak langsung rasio PBV ini juga memberikan
pengaruh terhadap harga saham.
Formula yang digunakan untuk menghitung Price to book Value adalah :
Dimana nilai buku saham (Book Value Per Share) dapat dihitung dengan formula :
Dengan demikian price to book value atau M/B ratio dapat diartikan sebagai
hasil perbandingan antara harga saham dengan nilai buku saham. Menurut Brigham
dan Houston (2010:152) rasio M/B umumnya lebih besar dari 1, yang berarti investor
bersedia membayar saham lebih besar daripada nilai bukunya. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi nilai PBV atau M/B rasio maka semakin
mahal harga saham suatu perusahaan. Berdasarkan perbandingan tersebut harga
saham perusahaan akan dapat diketahui berada diatas atau dibawah nilai buku saham
23
tersebut. Price to book value menggambarkan seberapa besar pasar menghargai nilai
buku saham suatu perusahaan. Dengan demikian price to book value rasio sangat
berguna untuk menentukan saham-saham apa saja yang mengalami overvalued,
undervalued, atau wajar.
Semakin tinggi harga saham semakin tinggi nilai perusahaan. Nilai
perusahaan yang tinggi merupakan keinginan para pemilik perusahaan sebab nilai
perusahaan yang tinggi menunjukan kemakmuran pemegang saham yang tinggi juga.
2.2
Penelitian Terdahulu
Beberapa peneliti mencoba untuk menjelaskan nilai perusahaan, tetapi
penelitian empiris membuktikan bahwa yang mempengaruhi nilai perusahaan
berbeda-beda. Perbedaan ini mungkin saja disebabkan oleh beberapa faktor misalnya
data yang digunakan, perbedaan tempat penelitian, perbedaan periode pengamatan
penelitian dan lain sebagainya.
1. Rustendi dan Jimmy (2008) melakukan penelitian dengan judul “pengaruh
hutang dan kepemilikan manajerial terhadap nilai perusahaan pada
perusahaan manufaktur”. Dengan variabel independen adalah hutang yang
diukur dengan total hutang jangka pendek dan hutang jangka panjang.
Kepemilikan manajerial dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan
rasio antara jumlah saham yang dimiliki manajer atau direksi terhadap total
saham. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah nilai perusahaan yang
diukur dengan harga saham, yaitu harga saham sebelum dan sesudah
publikasi laporan keuangan. Hasil dari sampel 10 perusahaan manufaktur
tahun 2005-2006 dalam penelitian ini membuktikan bahwa secara simultan
hutang dan kepemilikan manajerial berpengaruh positif terhadap nilai
24
perusahaan. Sedangkan secara parsial hutang berpengaruh positif terhadap
nilai perusahaan, namun kepemilikan manajerial tidak berpengaruh positif
terhadap nilai perusahaan. Dari hasil yang dibuktikan menunjukkan bahwa
terdapat
faktor
lain
yang
mempengaruhi
nilai
perusahaan
seperti
profitabilitas, ukuran perusahaan, dan kebijakan hutang.
2. Antari dan Dana (2013) melakukan penelitian dengan judul “pengaruh
struktur modal, kepemilikan manajerial, dan kinerja keuangan terhadap nilai
perusahaan”, penelitian ini dilakukan pada perusahaan manufaktur yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode 2005-2010. Dengan variabel
independen adalah struktur modal yang diukur dengan Debt to Equity Ratio
(DER), kepemilikan manajerial yang diukur dengan proporsi kepemilikan
saham yang dimiliki oleh manajerial, dan kinerja keuangan yang diukur
dengan Return on Asset (ROA). Berdasarkan metode purposive sampling
diperoleh sampel 6 perusahaan yang memenuhi kriteria. Hasil uji statistik
menunjukkan struktur modal perusahaan (DER) berpengaruh negatif dan
tidak signifikan terhadap nilai perusahaan, kepemilikan manajerial juga
berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap nilai perusahaan, dan
kinerja keuangan (ROA) terbukti berpengaruh positif dan signifikan terhadap
nilai perusahaan.
3. Yuniasih dan Wirakusuma (2007) meneliti “pengaruh kinerja keuangan
terhadap nilai perusahaan dengan pengungkapan
corporate social
responsibility dan good corporate governance sebagai variabel pemoderasi”.
Dengan menggunakan sampel 27 perusahaan industri manufaktur yang
terdaftar di Bursa Efek Jakarta pada tahun 2005 – 2006. Variabel dependen
yang digunakan adalah nilai perusahaan yang diukur dengan Tobin’s Q,
25
sedangkan variabel independen yang digunakan yaitu kinerja keuangan
diukur dengan return on assets (ROA). ROA dihitung dengan rumus laba
bersih setelah pajak dibagi total aktiva. Terdapat variabel moderasi yang
meliputi 2 hal dalam penelitian ini yaitu pengungkapan CSR adalah
pengungkapan informasi yang berkaitan dengan tanggung jawab perusahaan
di dalam laporan tahunan dan Good Corporate Governance diproksikan
dengan kepemilikan manajerial yang diukur dengan persentase kepemilikan
saham oleh manajer, direktur, dan komisaris dibagi jumlah saham beredar.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Return on asset berpengaruh
positif pada nilai perusahaan. Pengungkapan CSR sebagai variabel
pemoderasi terbukti berpengaruh positif secara statistis pada hubungan return
on asset dan nilai perusahaan. Kepemilikan manajerial sebagai variabel
pemoderasi tidak terbukti berpengaruh terhadap hubungan return on asset
dan nilai perusahaan, dengan kata lain kepemilikan manajerial bukan
merupakan variabel pemoderasi. Penelitian ini hanya menggunakan 27
perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta tahun 2005 –
2006 sehingga tidak dapat digeneralisasi dan belum dapat merepresentasikan
semua perusahaan yang ada. Penelitian ini juga hanya menggunakan ROA
sebagai proksi kinerja keuangan dan kepemilikan manajerial sebagai proksi
GCG. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat menambah jumlah sampel dan
memperpanjang waktu pengamatan sehingga penelitian dapat digeneralisasi.
4. Carningsih (2012) meneliti pengaruh good corporate governance terhadap
hubungan antara kinerja keuangan dengan nilai perusahaan. Variabel
dependen dalam penelitian ini adalah nilai perusahaan yang diukur dengan
Tobin’s Q. Variabel independen yang digunakan adalah kinerja keuangan
26
yang diukur dengan return on assets (ROA) dan return on equity (ROE).
Sedangkan
Variabel
moderasi,
yaitu
Good
Corporate
Governance
diproksikan dengan proporsi komisaris independen (persentase komisaris
independen dibanding total dewan komisaris yang ada). Penelitian ini
menggunakan sampel 23 perusahaan dalam kelompok property dan real estate
yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2007-2008. Hasil dalam
penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Return On Assets (ROA) terbukti
berpengaruh negatif terhadap nilai perusahaan, sedangkan Return On Equity
(ROE) tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Proporsi Komisaris
Independen sebagai variabel pemoderasi tidak terbukti berpengaruh terhadap
nilai perusahaan, hal ini disebabkan oleh kemungkinan adanya komisaris
independen dalam perusahaan yang diobservasi hanyalah bersifat formalitas
untuk memenuhi regulasi saja dan tidak dimaksudkan untuk menegakkan
good corporate governance (GCG) di dalam perusahaan. Penelitian
selanjutnya diharapkan dapat menggunakan proksi GCG dan kinerja
keuangan yang lain serta menambah jumlah sampel dan memperpanjang
waktu pengamatan.
5. Tetelepta (2011) meneliti tentang “pengaruh kinerja keuangan terhadap nilai
perusahaan pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia (BEI)”. Penelitian ini menggunakan data laporan keuangan
perusahaan manufaktur pada periode 2007- 2009 yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia (BEI). Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah metode
purposive sampling yaitu pengambilan sampel yang dilakukan berdasarkan
kriteria, sehingga didapat sampel 342 sampel untuk diuji. Variabel dependen
yang digunakan adalah nialai perusahaan diukur dengan Tobin’s Q, dan
27
variabel independen adalah Return On Asset (ROA), Retrun On Equity
(ROE), dan Earning Per Share (EPS). Berdasarkan hasil anasis dalam
pnelitian ini dapat disimpulkan bahwa ROA dan EPS terbukti berpengaruh
terhadap Nilai Perusahaan (Tobin’s Q), sedangkan ROE terbukti tidak
berpengaruh terhadap nilai perusahaan (Tobin’s Q). Penelitian yang akan
datang, dapat menggunakan variabel lain untuk mengetahui pengaruhya
kinerja keuangan terhadap nilai perusahaan, seperti corporate governance,
corporate social responsibility, dan lain – lain.
6. Cipta (2008) melakukan penelitian dengan judul “Hubungan kepemilikan
manajerial terhadap kebijakan hutang dan nilai perusahaan (studi atas
perusahaan yang termasuk dalam LQ 45 tahun 2006 yang terdaftar di BEJ)”.
Penelitian ini dilakukan terhadap perusahaan yang termasuk dalam kategori
LQ 45 yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta (BEJ) tahun 2006 dimana hanya
ada 27 perusahaan yang termasuk dalam kriteria penelitian. Variabel
independen dalam penelitian ini adalah kepemilikan manajerial. Terdapat dua
variabel dependen dalam penelitian ini yaitu kebijakan hutang dan nilai
perusahaan. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa kepemilikan manajerial
berpengaruh terhadap kebijakan hutang, sedangkan kepemilikan manajerial
terbukti tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Penelitian selanjutnya
diharapkan menambah periode pengamatan, menambah variabel lain, serta
jumlah sampel.
28
2.3.
Pengembangan Hipotesis
Pengembangan hipotesis adalah suatu pernyataan yang belum terbukti
mengenai hubungan antara dua variabel atau lebih yang dibuat berdasarkan kerangka
teori atau model analisis. Terdapat 1 variabel dependen dalam penelitian ini yaitu
nilai perusahaan, dan 3 variabel independen yang terdiri dari return on asset (ROA),
return on equity (ROE), dan kepemilikan manajerial. Hubungan antara variabelvariabel dalam penelitian ini dapat dirumuskan dengan model penelitian pada
gambar 2.1
Gambar 2.1
Model Penelitian
Nilai perusahaan merupakan nilai yang dibutuhkan investor untuk mengambil
keputusan investasi yang tercermin dari harga saham perusahaan. Nilai perusahaan
sangat penting karena berpengaruh terhadap kelangsungan hidup suatu perusahaan.
Nilai perusahaan yang tinggi akan menarik investor untuk menanamkan modalnya,
29
atau mempertahankan investor dengan tidak menjual saham yang dimilikinya,
sehingga laba perusahaan akan tetap meningkat.
Hal ini menuntut perusahaan untuk memperhatikan peningkatan atau
kestabilan profitabilitasnya dalam menghasilkan laba. Dengan begitu nilai
perusahaan akan terus meningkat dan kelangsungan hidup perusahaan akan terjamin.
Selain profitabilitas, struktur kepemilikan dalam suatu perusahaan juga dapat
mempengaruhi nilai perusahaan. Kepemilikan perusahaan oleh pihak manajerial akan
memotivasi kinerja manajemen, sehingga antara pihak manajemen dengan pemilik
perusahaan memiliki tingkat kepentingan yang sejajar. Sesuai dengan pendapat Ruan
dan Tian (2011), semakin besar proporsi kepemilikan manajerial akan membantu
menghubungkan kepentingan manajemen dan pemegang saham sehingga akan
mengarah kepada pengambilan keputusan yang lebih baik dan nilai perusahaan yang
tinggi. Berdasarkan model penelitian dan uraian diatas, maka hipotesis dalam
penelitian ini adalah :
1. Hα1 : ROA berpengaruh terhadap nilai perusahaan
2. Hα2: ROE berpengaruh terhadap nilai perusahaan
3. Hα3: Kepemilikan manajerial berpengaruh terhadap nilai perusahaan
30
Download