BAB 2 LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1 Landasan Teori Teori digunakan untuk menjelaskan dan memprediksi fenomena atau fakta yang diperlukan. Landasan teori diperlukan sebagai dasar dalam melakukan penelitian agar tujuan studi dalam penelitian dapat tercapai. 2.1.1 Kinerja Keuangan Tujuan utama perusahaan adalah memaksimalkan kekayaan pemegang saham dalam jangka panjang. Berhubungan dengan hal itu, maka perusahaan harus mampu meningkatkan atau setidaknya mempertahankan harga sahamnya. Menurut Brigham dan Houston (2010: 132), data akuntansi yang terkandung dalam laporan keuangan dapat mempengaruhi harga saham. Brigham dan Houston (2010: 105) juga menambahkan bahwa analisis terhadap data akuntansi tersebut dapat digunakan untuk mengukur dan mengevaluasi kinerja perusahaan. Para pemegang saham memerlukan informasi yang ada dalam laporan keuangan untuk mengetahui kondisi keuangan perusahaan saat itu. Informasi tersebut dapat dijadikan sebagai gambaran kinerja keuangan perusahaan tersebut. Semakin baik kondisi keuangan suatu perusahaan, maka semakin baik kinerja keuangannya. Brigham dan Houston (2010: 132) menjelaskan bahwa analisis laporan keuangan dapat memberikan pemahaman bagi investor mengenai kekuatan dan kelemahan perusahaan. Hal itu dapat membantu meramalkan kinerja keuangan perusahaan di masa depan. Semakin baik kualitas laporan keuangan yang disajikan, maka pihakpihak eksternal seperti investor akan semakin yakin terhadap kinerja keuangan perusahaan tersebut. Keyakinan tersebut akan memberikan prediksi bagi investor 11 bahwa perusahaan akan mampu tumbuh dan memiliki profitabilitas yang baik (Fahmi, 2011:2). Menurut Harjito dan Martono (2011:52) Kinerja keuangan perusahaan merupakan gambaran keadaan yang nyata mengenai hasil operasi atau prestasi yang telah dicapai oleh suatu perusahaan selama kurun waktu tertentu. Menurut Fahmi (2011: 2), kinerja keuangan adalah suatu analisis yang dilakukan untuk melihat sejauh mana suatu perusahaan telah berjalan atau beroperasi dengan menggunakan aturan-aturan pelaksanaan keuangan secara baik dan benar. Dengan kata lain, kinerja keuangan dapat mencerminkan kinerja manajemen, apakah telah menjalankan peraturan dengan baik. Fahmi (2011: 108) mengungkapkan bahwa rasio keuangan dapat digunakan sebagai acuan dalam menganalisis kondisi dan kinerja keuangan. Berdasarkan pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa kinerja keuangan yang baik merupakan hal penting yang harus dicapai oleh setiap perusahaan, karena kinerja keuangan mencerminkan kemampuan perusahaan dalam mengelola dan mengalokasikan sumber dayanya. Kinerja keuangan juga dijadikan tolok ukur bagi perusahaan dalam menghasilkan laba untuk menciptakan nilai perusahaan yang tinggi. 2.1.2 Analisis Rasio Keuangan Informasi yang tertuang dalam laporan keuangan menunjukkan aktivitas yang telah dilakukan oleh perusahaan dalam suatu periode tertentu. Salah satu informasi dalam laporan keuangan dapat ditunjukkan melalui hasil analisis rasio keuangan. Menurut Kasmir (2012:104), analisis rasio keuangan adalah perbandingan angkaangka yang ada dalam laporan keuangan atau antar laporan keuangan. Angka-angka itu sendiri biasa disebut dengan rasio keuangan. Menurut Harahap (2011:297), rasio 12 keuangan merupakan angka yang diperoleh dari hasil perbandingan antara pos-pos laporan keuangan yang masing-masing mempunyai hubungan yang relevan dan signifikan. Rasio keuangan hanya merupakan bentuk penyederhanaan informasi yang menggambarkan hubungan antara pos-pos tersebut. Contohnya seperti hubungan antara hutang dan modal atau antara harga pokok produksi dengan total penjualan. Kasmir (2012:104) juga menyebutkan bahwa hasil dari analisis rasio keuangan ini dapat memberikan kesimpulan mengenai posisi keuangan perusahaan, yang nantinya dapat digunakan untuk menilai dan mengevaluasi kinerja manajemen dalam suatu periode apakah mencapai target seperti yang telah ditetapkan. Selain itu hasil perbandingan tersebut juga dapat digunakan untuk menilai kemampuan manajemen dalam memanfaatkan sumber daya perusahaan secara efektif . Munawir (2007: 64) menyatakan bahwa analisis rasio adalah “future oriented”. Dengan kata lain dengan menggunakan analisis rasio penganalisa harus mampu menyesuaikan faktor-faktor yang ada pada periode ini dengan faktor-faktor di masa yang akan datang yang mungkin akan mempengaruhi posisi keuangan atau hasil operasi perusahaan yang bersangkutan. Menurut Harjito dan Martono (2010:53) rasio keuangan berdasarkan sumber analisisnya dapat dibedakan menjadi (1) Perbandingan internal (Internal comparison), yaitu membandingkan rasio pada saat ini dengan rasio pada masa lalu dan masa yang akan datang dalam perusahaan yang sama. (2) Perbandingan eksternal (External comparison) yaitu membandingkan rasio perusahaan dengan perusahaanperusahaan sejenis atau dengan rata-rata industri pada saat yang sama. Menurut Harahap (2011:301) rasio keuangan yang sering digunakan adalah: 1. 2. 3. 4. 5. Rasio Likuiditas; Rasio Solvabilitas; Rasio Profitabilitas/Rentabilitas; Rasio Leverage; Rasio Aktivitas; 13 6. Rasio Pertumbuhan; 7. Market Based (Penilaian Pasar); 8. Rasio Produktivitas. 2.1.3 Rasio Profitabilitas Kasmir (2012:196) menyebutkan bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai suatu perusahaan yang terpenting adalah memperoleh laba atau keuntungan yang maksimal, di samping hal-hal lainnya. Untuk mengukur tingkat keuntungan suatu perusahaan, digunakan rasio keuntungan atau rasio profitabilitas yang dikenal juga dengan nama rasio rentabilitas. Mengukur tingkat profitabilitas merupakan hal yang penting bagi perusahaan, karena rentabilitas (pr ofitabilitas) yang tinggi merupakan tujuan setiap perusahaan. Menurut Harahap (2011:304), rasio profitabilitas merupakan rasio yang menggambarkan kemampuan perusahaan dalam memperoleh laba melalui semua kemampuan dan sumber daya yang dimiliki perusahaan, seperti kegiatan penjualan, kas, modal, dan jumlah karyawan. Kasmir (2012:114) menyebutkan bahwa rasio profitabilitas dapat memberikan ukuran tingkat efektivitas manajemen suatu perusahaan yang ditunjukkan dari laba yang dihasilkan dari penjualan atau dari pendapatan investasi. Artinya jika perusahaan mampu memanfaatkan aktiva atau modalnya dalam memenuhi target laba yang telah ditetapkan, maka perusahaan tersebut dikatakan memiliki rentabilitas yang baik. Menurut Kasmir (2012:114) Rasio Profitabilitas atau rasio rentabilitas dibagi menjadi dua yaitu sebagai berikut : 1. Profitabilitas ekonomi, yaitu perbandingan laba usaha dengan seluruh modal yang terdiri dari modal sendiri dan modal asing yang digunakan untuk menghasilkan laba tersebut. Modal yang diperhitungkan dalam profitabilitas ekonomi hanyalah modal yang bergerak dalam perusahaan 14 (operating capital/assets) dan laba yang diperhitungkan dalam profitabilitas ekonomi juga hanyalah laba yang berasal dari operasi perusahaan atau net operating income. 2. Profitabilitas usaha (sendiri), yaitu perbandingan laba yang disediakan untuk pemilik dengan modal sendiri. Dalam hal ini profitabilitas yang tinggi lebih penting daripada keuntungan yang besar. Modal yang diperhitungkan dalam profitabilitas ini adalah modal sendiri yang digunakan dalam perusahaan. Sedangkan laba yang dimaksud adalah laba usaha setelah dikurangi bunga dan pajak. Menurut Brigham dan Houston (2010:146), rasio profitabilitas merupakan rasio yang mencerminkan hasil akhir dari seluruh kebijakan keuangan dan keputusan operasional. Profitabilitas perusahaan dapat diukur salah satunya dengan return on asset (ROA), dan return on equity (ROE). 2.1.3.1 Return On Asset (ROA) ROA merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk menilai profitabilitas perusahaan. Menurut Kasmir (2012:202), ROA atau Return on Investtment (ROI) merupakan rasio yang menunjukkan hasil pengembalian atas total aset yang digunakan dalam perusahaan. Rasio ini dapat digunakan untuk menilai apakah perusahaan ini efisien dalam memanfaatkan aktivanya dalam kegiatan operasional perusahaan atau tidak. Hanafi (2009:159) menyatakan bahwa ROA merupakan profitabilitas ekonomi yang dapat mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan profit pada masa lalu dan memproyeksikan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan profit di masa mendatang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ROA merupakan rasio profitabilitas yang digunakan untuk 15 mengukur kemampuan perusahaan dalam memperoleh keuntungan (profit) secara keseluruhan dengan memanfaatkan aktiva yang dimiliki oleh perusahaan. Safarina (2012) juga berpendapat bahwa ROA merupakan rasio profitabilitas yang lebih baik dibanding rasio profitabilitas lainnya. Rasio ini menunjukkan presentase tingkat pengembalian laba atas seluruh total asset, yang dinyatakan sebagai berikut : Keterangan : Laba bersih setelah pajak (Net Income After Tax) adalah laba bersih setelah pajak yang dihasilkan oleh perusahaan, dimana data yang digunakan adalah data yang tercantum di dalam laporan keuangan yang dipublikasikan oleh perusahaan. Total Assets adalah total aktiva yang dimiliki oleh perusahaan dan yang tercantum di dalam laporan keuangan yang dipublikasikan. Menurut Brigham dan Houston (2010:148), jika memperoleh ROA lebih tinggi dari rata-rata industri, maka perusahaan dianggap baik karena memperoleh tingkat pengembalian yang lebih tinggi atas aset yang diinvestasikan. Sebaliknya, jika memperoleh ROA lebih rendah dari rata-rata industri maka perusahaan dianggap kurang baik karena memperoleh tingkat pengembalian yang lebih rendah atas aset yang diinvestasikan. Menurut Brigham et al. (2010:148) tingkat pengembalian atas aset yang rendah dapat diakibatkan karena jumlah utang yang besar dan beban bunga yang tinggi sehingga menyebabkan laba bersih perusahaan rendah. Hansen dan Mowen (2009:126) menyebutkan keunggulan ROA di antaranya adalah sebagai berikut: 16 1.) mendorong manajer untuk memfokuskan pada hubungan antara penjualan, beban, dan investasi sebagaimana yang diharapkan dari manajer pusat investasi. 2.) mendorong manajer memfokuskan pada efisiensi biaya, dan 3.) mendorong manajer memfokuskan pada efektivitas aktivitas operasi. Selain keunggulan, ROA juga memiliki kelemahan yaitu terdiri dari: 1.) ROA mengakibatkan fokusan yang sempit pada profitabilitas divisi dengan mengorbankan profitabilitas keseluruhan perusahaan. 2.) ROA cenderung mendorong manajer untuk berfokus pada tujuan jangka pendek dan mengorbankan tujuan jangka panjang, seperti pemutusan beberapa tenaga penjualan, pengurangan budget pemasaran, dan penggunaan bahan baku yang relatif murah sehingga menurunkan kualitas produk dalam jangka panjang. 2.1.3.2 Return On Equity (ROE) Menurut Brigham dan Houston (2010:149), Return On Equity (ROE) merupakan rasio yang paling umum digunakan untuk mengukur tingkat pengembalian atas investasi pemegang saham biasa atau pemilik perusahaan. Kasmir (2012:204) menyebutkan bahwa semakin tinggi rasio ini, maka semakin kuat posisi pemilik perusahaan, artinya perusahaan sudah efisien dalam menggunakan modalnya sendiri untuk memperoleh laba Brigham et al (2010:150) juga menjelaskan bahwa ROE mencerminkan pengaruh dari seluruh rasio lain dan merupakan kinerja tunggal yang terbaik. Investor cenderung menyukai ROE yang tinggi, karena ROE yang tinggi umumnya memiliki pengaruh positif dengan harga saham yang tinggi. Tetapi , jika ROE yang tinggi tersebut diperoleh melalui penggunaan hutang dalam jumlah yang besar, maka 17 harga saham kemungkinan akan lebih rendah dari yang seharusnya jika dibandingkan dengan hutang yang lebih sedikit dan ROE yang rendah. Menurut Mardiyanto (2009: 196) ROE digunakan untuk mengukur keberhasilan perusahaan dalam menghasilkan laba bagi para pemegang saham. Oleh karena itu, ROE dianggap sebagai representasi dari kekayaan pemegang saham atau nilai perusahaan. Rasio ini menunjukan presentase tingkat pengembalian laba terhadap ekuitas, yang dinyatakan sebagai berikut : Keterangan : − Laba bersih adalah laba setelah pajak − Ekuitas adalah total modal sendiri Rasio ini menggunakan hubungan antara keuntungan setelah pajak dengan modal sendiri yang digunakan perusahaan. Modal sendiri yang dimaksud dalam rumus adalah saham biasa, agio saham, laba ditahan, saham preferen dan cadangancadangan lain. Melihat hubungan-hubungan itu, ROE dapat dikatakan sebagai rentabilitas ekonomi. Menurut Brigham et al (2010:149), jika memperoleh ROE lebih tinggi dari rata-rata industri maka perusahaan dianggap baik karena pemegang saham dapat memperoleh tingkat pengembalian yang lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata industri, hal ini menunjukkan kondisi ekonomi perusahaan baik. Sebaliknya, jika memperoleh ROE lebih rendah dari rata-rata industri maka perusahaan dianggap kurang baik karena pemegang saham memperoleh tingkat pengembalian yang lebih rendah. 18 2.1.4 Teori Keagenan Teori agensi berkaitan dengan masalah kepemilikan perusahaan melalui pembelian saham, Menurut Mardiyanto (2009:263) teori agensi adalah ketidakselarasan kepentingan antara perusahaan dan kreditor. Teori agensi dalam manajemen keuangan membahas adanya hubungan agensi, yaitu hubungan antara principal (pemilik dan pemegang saham) dengan agen (manajemen). Menurut Harjito dan Martono (2010:11), mengingat tujuan perusahaan adalah memaksimumkan kemakmuran para pemegang saham yang diterjemahkan sebagai memaksimumkan harga saham, dalam kenyataannya tidak jarang manajer perusahaan memiliki tujuan lain yang mungkin bertentangan dengan tujuan utama tersebut. Mengingat bahwa manajer diangkat oleh pemegang saham, maka idealnya mereka bertindak yang terbaik untuk kepentingan pemegang saham, namun dalam praktiknya sering terjadi konflik antara kedua pihak tersebut yang dinamakan agency problem. Agency problem ini dapat muncul antara manajer dan pemegang saham atau antara kreditur dan pemegang saham. Dalam perusahaan besar agency problem sangat potensial terjadi karena proporsi kepemilikan perusahaan oleh manajer relatif kecil. Tidak jarang tindakan manajer bukannya memakmurkan pemegang saham, melainkan memperbesar skala perusahaan dengan cara ekspansi atau membeli perusahaan lain. Motif utamanya adalah untuk menghindari pengambilalihan oleh perusahaan lain. Konflik lain yang potensial terjadi dalam perusahaan besar adalah antara pemegang saham dan kreditur. Kreditur memiliki hak atas sebagian laba dan sebagian aset perusahaan terutama dalam kasus kebangkrutan. Sementara itu pemegang saham memegang pengendalian perusahaan yang sangat menentukan profitabilitas dan resiko perusahaan (Harjito dan Martono: 2010:12) 19 Konflik-konflik tersebut dapat menimbulkan biaya yang harus dikeluarkan oleh pemegang saham, yang biasa disebut biaya agensi (agency cost). Biaya agensi menurut Indahningrum (2009) adalah biaya yang berhubungan dengan pengawasan tindakan manajemen untuk mencegah tingkah laku manajer yang tidak dikehendaki, dan merupakan opportunity cost bagi pemegang saham akibat upaya pembatasan terhadap tindakan manajer. Harjito dan Martono (2010: 265) juga menyatakan bahwa biaya pengawasan tersebut digunakan untuk meyakinkan agar manajemen bertindak konsisten sesuai dengan perjanjian perusahaan dengan kreditur dan pemegang saham. Manajemen merupakan agen dari pemegang saham, oleh karena itu untuk dapat melakukan fungsinya dengan baik, manajemen harus diberikan insentif dan pengawasan yang memadai. Pengawasan dapat dilakukan dengan cara pengikatan agen, pemeriksaan laporan keuangan, dan pembatasan terhadap keputusan yang diambil oleh manajemen. Kegiatan pengawasan tersebut tentunya membutuhkan biaya. Teori agensi yang dikembangkan oleh Jensen dan Meckling mengungkapkan salah satu pendapat bahwa siapapun yang menimbulkan biaya pengawasan, maka biaya yang timbul pasti merupakan tanggungan pemegang saham. 2.1.5 Kepemilikan Manajerial Menurut Rustendi dan Jimmy (2008) kepemilikan manajerial adalah presentase saham yang menunjukkan besarnya suatu kepemilikan yang dimiliki oleh manajer dan direksi suatu perusahaan. Berdasarkan teori keagenan, perbedaan kepentingan antara manajer dan pemegang saham ini mengakibatkan timbulnya konflik yang biasa disebut agency conflict. Menurut Sartono (2010:10) konflik keagenan dalam perusahaan dapat terjadi dimana manajernya memiliki saham kurang dari seratus persen. Konflik kepentingan yang sangat potensial ini menyebabkan 20 pentingnya suatu mekanisme yang diterapkan guna melindungi kepentingan pemegang saham. Menurut Haruman (2008) mekanisme pengawasan terhadap manajemen tersebut dapat menimbulkan suatu biaya yang disebut biaya keagenan atau agency cost. Indahnigrum (2009) menyebutkan bahwa salah satu alternatif untuk mengurangi agency cost adalah dengan cara meningkatkan kepemilikan saham perusahaan oleh manajemen, sehingga dapat mensejajarkan kepentingan antara pemilik dan manajer. Menurut Cipta (2008) pendekatan teori keagenan (agency theory) menyatakan bahwa praktek manajemen laba dipengaruhi oleh konflik kepentingan antara manajemen (agent, dan pemilik principal) yang timbul ketika setiap pihak berusaha mencapai atau mempertahankan kemakmuran yang dikehendakinya. Dimana principal itu yang memberikan tugas kepada agent. Sedangkan agent adalah pihak yang mengerjakan tugas dari principal atau pengelola perusahaan. Cipta (2008) juga menambahkan bahwa teori keagenan digunakan untuk mengatasi dua masalah yang terjadi dalam hubungan keagenan. Pertama, masalah keagenan timbul pada saat keinginan principal dan agent saling berlawanan dan merupakan hal yang sulit bagi principal untuk melakukan verifikasi apakah agen telah melakukan sesuatu secara tepat. Kedua, masalah pembagian dalam menanggung resiko yang timbul dimana principal dan agent memiliki sikap yang berbeda terhadap resiko. Dalam hubungan keagenan tersebut terdapat pemisahan antara kepemilikan pihak principal dengan pengendali (agent) dimana perusahaan yang memisahkan fungsinya antara pengelolaan dengan fungsi kepemilikan akan mengakibatkan munculnya manajer bertindak oportunistik. Berdasarkan penjelasan di atas, Cipta (2008) menyimpulkan bahwa struktur kepemilikan manajerial berperan sebagai sebuah instrumen atau alat untuk 21 mengurangi konflik keagenan diantara berbagai klaim (claim holders) terhadap perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan meningkatkan kepemilikan manajerial untuk mensejajarkan kedudukan manajer dengan pemegang saham sehingga bertindak sesuai dengan keinginan pemegang saham. Dengan adanya kepemilikan manajerial, maka para agent termotivasi untuk meningkatkan nilai perusahaan. 2.1.6 Nilai Perusahaan Bagi perusahaan yang sudah go public, nilai perusahaan akan tercermin dari nilai pasar sahamnya. Semakin tinggi harga saham semakin tinggi pula nilai perusahaan. Bagi perusahaan yang belum go public, nilai perusahaan adalah nilai yang terjadi apabila perusahaan tersebut dijual. Tujuan memaksimumkan nilai perusahaan disebut juga sebagai memaksimumkan kemakmuran pemilik perusahaan atau pemegang saham (stakeholder wealth maximization) yang dapat diartikan juga sebagai memaksimumkan harga saham biasa dari perusahaan (maximizing the price of the firm’s common stock). Tujuan memaksimumkan nilai perusahaan ini digunakan sebagai pengukur keberhasilan perusahaan karena dengan meningkatnya nilai perusahaan berarti meningkatnya kemakmuran pemilik perusahaan atau pemegang saham perusahaan. (Harjito dan Martono, 2010:13). Menurut Sartono (2010:9), nilai perusahaan diartikan sebagai harga yang bersedia dibayar oleh calon investor seandainya suatu perusahaan akan dijual. Nilai perusahaan dapat mencerminkan nilai aset yang dimiliki perusahaan seperti suratsurat berharga. Saham merupakan salah satu surat berharga yang dikeluarkan oleh perusahaan, tinggi rendahnya harga saham banyak dipengaruhi oleh kondisi emiten. Salah satu faktor yang mempengaruhi harga saham adalah kemampuan perusahaan membayar dividen (Harjito dan Martono, 2010: 42). 22 Menurut Brigham (2010:151) nilai perusahaan juga dapat diukur dengan Price book Value (PBV) atau market/book (M/B) ratio. Rasio ini mengukur nilai yang diberikan pasar keuangan kepada manajemen dan organisasi perusahaan sebagai sebuah perusahaan yang terus tumbuh. Perusahaan yang dipandang baik oleh investor yaitu perusahaan dengan laba dan arus kas yang aman, hal itu dapat dicerminkan melalui price to book value. Menurut Tryfino (2009: 11), price to book value (PBV) adalah perhitungan atau perbandingan antara market value dengan book value suatu saham. Rasio PBV ini akan memberikan informasi bagi investor mengenai berapa kali market value suatu saham dihargai dari book value-nya. Rasio ini dapat memberikan gambaran potensi pergerakan harga suatu saham, sehingga dari gambaran tersebut, secara tidak langsung rasio PBV ini juga memberikan pengaruh terhadap harga saham. Formula yang digunakan untuk menghitung Price to book Value adalah : Dimana nilai buku saham (Book Value Per Share) dapat dihitung dengan formula : Dengan demikian price to book value atau M/B ratio dapat diartikan sebagai hasil perbandingan antara harga saham dengan nilai buku saham. Menurut Brigham dan Houston (2010:152) rasio M/B umumnya lebih besar dari 1, yang berarti investor bersedia membayar saham lebih besar daripada nilai bukunya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi nilai PBV atau M/B rasio maka semakin mahal harga saham suatu perusahaan. Berdasarkan perbandingan tersebut harga saham perusahaan akan dapat diketahui berada diatas atau dibawah nilai buku saham 23 tersebut. Price to book value menggambarkan seberapa besar pasar menghargai nilai buku saham suatu perusahaan. Dengan demikian price to book value rasio sangat berguna untuk menentukan saham-saham apa saja yang mengalami overvalued, undervalued, atau wajar. Semakin tinggi harga saham semakin tinggi nilai perusahaan. Nilai perusahaan yang tinggi merupakan keinginan para pemilik perusahaan sebab nilai perusahaan yang tinggi menunjukan kemakmuran pemegang saham yang tinggi juga. 2.2 Penelitian Terdahulu Beberapa peneliti mencoba untuk menjelaskan nilai perusahaan, tetapi penelitian empiris membuktikan bahwa yang mempengaruhi nilai perusahaan berbeda-beda. Perbedaan ini mungkin saja disebabkan oleh beberapa faktor misalnya data yang digunakan, perbedaan tempat penelitian, perbedaan periode pengamatan penelitian dan lain sebagainya. 1. Rustendi dan Jimmy (2008) melakukan penelitian dengan judul “pengaruh hutang dan kepemilikan manajerial terhadap nilai perusahaan pada perusahaan manufaktur”. Dengan variabel independen adalah hutang yang diukur dengan total hutang jangka pendek dan hutang jangka panjang. Kepemilikan manajerial dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan rasio antara jumlah saham yang dimiliki manajer atau direksi terhadap total saham. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah nilai perusahaan yang diukur dengan harga saham, yaitu harga saham sebelum dan sesudah publikasi laporan keuangan. Hasil dari sampel 10 perusahaan manufaktur tahun 2005-2006 dalam penelitian ini membuktikan bahwa secara simultan hutang dan kepemilikan manajerial berpengaruh positif terhadap nilai 24 perusahaan. Sedangkan secara parsial hutang berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan, namun kepemilikan manajerial tidak berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan. Dari hasil yang dibuktikan menunjukkan bahwa terdapat faktor lain yang mempengaruhi nilai perusahaan seperti profitabilitas, ukuran perusahaan, dan kebijakan hutang. 2. Antari dan Dana (2013) melakukan penelitian dengan judul “pengaruh struktur modal, kepemilikan manajerial, dan kinerja keuangan terhadap nilai perusahaan”, penelitian ini dilakukan pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode 2005-2010. Dengan variabel independen adalah struktur modal yang diukur dengan Debt to Equity Ratio (DER), kepemilikan manajerial yang diukur dengan proporsi kepemilikan saham yang dimiliki oleh manajerial, dan kinerja keuangan yang diukur dengan Return on Asset (ROA). Berdasarkan metode purposive sampling diperoleh sampel 6 perusahaan yang memenuhi kriteria. Hasil uji statistik menunjukkan struktur modal perusahaan (DER) berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap nilai perusahaan, kepemilikan manajerial juga berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap nilai perusahaan, dan kinerja keuangan (ROA) terbukti berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan. 3. Yuniasih dan Wirakusuma (2007) meneliti “pengaruh kinerja keuangan terhadap nilai perusahaan dengan pengungkapan corporate social responsibility dan good corporate governance sebagai variabel pemoderasi”. Dengan menggunakan sampel 27 perusahaan industri manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta pada tahun 2005 – 2006. Variabel dependen yang digunakan adalah nilai perusahaan yang diukur dengan Tobin’s Q, 25 sedangkan variabel independen yang digunakan yaitu kinerja keuangan diukur dengan return on assets (ROA). ROA dihitung dengan rumus laba bersih setelah pajak dibagi total aktiva. Terdapat variabel moderasi yang meliputi 2 hal dalam penelitian ini yaitu pengungkapan CSR adalah pengungkapan informasi yang berkaitan dengan tanggung jawab perusahaan di dalam laporan tahunan dan Good Corporate Governance diproksikan dengan kepemilikan manajerial yang diukur dengan persentase kepemilikan saham oleh manajer, direktur, dan komisaris dibagi jumlah saham beredar. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Return on asset berpengaruh positif pada nilai perusahaan. Pengungkapan CSR sebagai variabel pemoderasi terbukti berpengaruh positif secara statistis pada hubungan return on asset dan nilai perusahaan. Kepemilikan manajerial sebagai variabel pemoderasi tidak terbukti berpengaruh terhadap hubungan return on asset dan nilai perusahaan, dengan kata lain kepemilikan manajerial bukan merupakan variabel pemoderasi. Penelitian ini hanya menggunakan 27 perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta tahun 2005 – 2006 sehingga tidak dapat digeneralisasi dan belum dapat merepresentasikan semua perusahaan yang ada. Penelitian ini juga hanya menggunakan ROA sebagai proksi kinerja keuangan dan kepemilikan manajerial sebagai proksi GCG. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat menambah jumlah sampel dan memperpanjang waktu pengamatan sehingga penelitian dapat digeneralisasi. 4. Carningsih (2012) meneliti pengaruh good corporate governance terhadap hubungan antara kinerja keuangan dengan nilai perusahaan. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah nilai perusahaan yang diukur dengan Tobin’s Q. Variabel independen yang digunakan adalah kinerja keuangan 26 yang diukur dengan return on assets (ROA) dan return on equity (ROE). Sedangkan Variabel moderasi, yaitu Good Corporate Governance diproksikan dengan proporsi komisaris independen (persentase komisaris independen dibanding total dewan komisaris yang ada). Penelitian ini menggunakan sampel 23 perusahaan dalam kelompok property dan real estate yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2007-2008. Hasil dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Return On Assets (ROA) terbukti berpengaruh negatif terhadap nilai perusahaan, sedangkan Return On Equity (ROE) tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Proporsi Komisaris Independen sebagai variabel pemoderasi tidak terbukti berpengaruh terhadap nilai perusahaan, hal ini disebabkan oleh kemungkinan adanya komisaris independen dalam perusahaan yang diobservasi hanyalah bersifat formalitas untuk memenuhi regulasi saja dan tidak dimaksudkan untuk menegakkan good corporate governance (GCG) di dalam perusahaan. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat menggunakan proksi GCG dan kinerja keuangan yang lain serta menambah jumlah sampel dan memperpanjang waktu pengamatan. 5. Tetelepta (2011) meneliti tentang “pengaruh kinerja keuangan terhadap nilai perusahaan pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI)”. Penelitian ini menggunakan data laporan keuangan perusahaan manufaktur pada periode 2007- 2009 yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah metode purposive sampling yaitu pengambilan sampel yang dilakukan berdasarkan kriteria, sehingga didapat sampel 342 sampel untuk diuji. Variabel dependen yang digunakan adalah nialai perusahaan diukur dengan Tobin’s Q, dan 27 variabel independen adalah Return On Asset (ROA), Retrun On Equity (ROE), dan Earning Per Share (EPS). Berdasarkan hasil anasis dalam pnelitian ini dapat disimpulkan bahwa ROA dan EPS terbukti berpengaruh terhadap Nilai Perusahaan (Tobin’s Q), sedangkan ROE terbukti tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan (Tobin’s Q). Penelitian yang akan datang, dapat menggunakan variabel lain untuk mengetahui pengaruhya kinerja keuangan terhadap nilai perusahaan, seperti corporate governance, corporate social responsibility, dan lain – lain. 6. Cipta (2008) melakukan penelitian dengan judul “Hubungan kepemilikan manajerial terhadap kebijakan hutang dan nilai perusahaan (studi atas perusahaan yang termasuk dalam LQ 45 tahun 2006 yang terdaftar di BEJ)”. Penelitian ini dilakukan terhadap perusahaan yang termasuk dalam kategori LQ 45 yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta (BEJ) tahun 2006 dimana hanya ada 27 perusahaan yang termasuk dalam kriteria penelitian. Variabel independen dalam penelitian ini adalah kepemilikan manajerial. Terdapat dua variabel dependen dalam penelitian ini yaitu kebijakan hutang dan nilai perusahaan. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa kepemilikan manajerial berpengaruh terhadap kebijakan hutang, sedangkan kepemilikan manajerial terbukti tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Penelitian selanjutnya diharapkan menambah periode pengamatan, menambah variabel lain, serta jumlah sampel. 28 2.3. Pengembangan Hipotesis Pengembangan hipotesis adalah suatu pernyataan yang belum terbukti mengenai hubungan antara dua variabel atau lebih yang dibuat berdasarkan kerangka teori atau model analisis. Terdapat 1 variabel dependen dalam penelitian ini yaitu nilai perusahaan, dan 3 variabel independen yang terdiri dari return on asset (ROA), return on equity (ROE), dan kepemilikan manajerial. Hubungan antara variabelvariabel dalam penelitian ini dapat dirumuskan dengan model penelitian pada gambar 2.1 Gambar 2.1 Model Penelitian Nilai perusahaan merupakan nilai yang dibutuhkan investor untuk mengambil keputusan investasi yang tercermin dari harga saham perusahaan. Nilai perusahaan sangat penting karena berpengaruh terhadap kelangsungan hidup suatu perusahaan. Nilai perusahaan yang tinggi akan menarik investor untuk menanamkan modalnya, 29 atau mempertahankan investor dengan tidak menjual saham yang dimilikinya, sehingga laba perusahaan akan tetap meningkat. Hal ini menuntut perusahaan untuk memperhatikan peningkatan atau kestabilan profitabilitasnya dalam menghasilkan laba. Dengan begitu nilai perusahaan akan terus meningkat dan kelangsungan hidup perusahaan akan terjamin. Selain profitabilitas, struktur kepemilikan dalam suatu perusahaan juga dapat mempengaruhi nilai perusahaan. Kepemilikan perusahaan oleh pihak manajerial akan memotivasi kinerja manajemen, sehingga antara pihak manajemen dengan pemilik perusahaan memiliki tingkat kepentingan yang sejajar. Sesuai dengan pendapat Ruan dan Tian (2011), semakin besar proporsi kepemilikan manajerial akan membantu menghubungkan kepentingan manajemen dan pemegang saham sehingga akan mengarah kepada pengambilan keputusan yang lebih baik dan nilai perusahaan yang tinggi. Berdasarkan model penelitian dan uraian diatas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah : 1. Hα1 : ROA berpengaruh terhadap nilai perusahaan 2. Hα2: ROE berpengaruh terhadap nilai perusahaan 3. Hα3: Kepemilikan manajerial berpengaruh terhadap nilai perusahaan 30