Keadilan Distributif: Studi tentang Lembaga Keuangan Mikro

advertisement
Bab Dua
Tinjauan Pustaka
Penelitian mengenai lembaga keuangan mikro syariah (LKMS)
di Indonesia bukanlah merupakan suatu bidang kajian baru. Sejalan
dengan perkembangannya yang sangat cepat selama satu dekade
terakhir ini, penelitian mengenai LKMS yang biasanya berwujud dalam
bentuk BMT (Baitul Maal wat Tamwil) juga mengalami perkembangan
yang pesat. Sudah barang tentu fenomena kemunculan dan perkembangan BMT beserta penelitian yang dilakukan terhadapnya
merupakan bagian dari proses dialektika dalam perkembangan lembaga
keuangan mikro konvensional yang sudah berkembang satu dekade
sebelumnya. Dengan demikian antara LKMK (lembaga keuangan mikro
konvensional) dan LKMS memiliki hubungan dialektis yang sangat
erat, sehingga penelitian mengenai LKMS seringkali tidak dapat
dilepaskan dari perkembangan LKMK itu sendiri. Oleh sebab itu bagian
Tinjauan Pustaka ini akan mengkaji berbagai hasil penelitian mengenai
lembaga keuangan mikro baik konvensional maupun syariah selama
satu dekade terakhir ini.
Penelitian tentang Perkembangan LKMS
Menurut Jurnal Buletin Studi Ekonomi (Agustus 2013),
penelitian mengenai lembaga keuangan mikro syariah yang
berkembang selama satu dekade tarakhir ini sebetulnya merupakan
hasil perkembangan dialektika dari berbagai penelitian kegiatan
mengenai lembaga keuangan mikro konvensional yang sudah
berkembang sekitar satu dekade sebelumnya. Memang lembaga
keuangan mikro atau microfinance atau pembiayaan mikro itu sendiri
mengalami perkembangan yang sangat pesat sejak dua dasawarsa
terakhir terutama setelah keberhasilan program Grameen Bank yang
15
Keadilan Distributif: Studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa
Tengah
diperkenalkan oleh Muhammad Yunus (peraih nobel perdamaian
tahun 2006) di Bangladesh pada tahun 1980, institusi keuangan dunia
mulai menaruh perhatian yang besar kepada pembiayaan mikro dalam
mengentaskan kemiskinan di samping juga memperoleh keuntungan.
Microfinance sesungguhnya merupakan pembiayaan yang bisa
mencakup banyak jenis layanan keuangan, termasuk di dalamnya
adalah microcredit atau kredit mikro, yakni jenis pinjaman yang di
berikan kepada nasabah yang mempunyai skala usaha menengah ke
bawah dan cenderung belum pernah berhubungan dengan dunia
perbankan. Nasabah jenis ini sering kali tidak memiliki jaminan,
pendapatan tetap, dan persyaratan administrasi yang dibutuhkan
cenderung lebih sederhana. Meskipun demikian, besarnya keyakinan
bahwa keuangan mikro merupakan salah satu strategi penting dalam
penanggulangan kemiskinan, maka banyak pihak berusaha membuka
pelayanan microfinance. Apalagi pemerintah baik pusat maupun
daerah, menyalurkan berbagai program dana bergulir kepada kelompok
masyarakat atau mendirikan semacam LKM (Lembaga Keuangan
Mikro). Demikian pula lembaga donor dan LSM juga membentuk LKM
dengan mereplikasi model Grameen Bank atau ASA dari Bangladesh.
Lembaga keuangan mikro di dunia terus mengalami
perkembangan yang sangat pesat. Berdasarkan data yang
dipublikasikan Microcredit Summit Campaign tahun 2012, sebanyak
1.746 program pembiayaan mikro telah dilakukan dan mencapai sekitar
169 juta klien pada tahun 2010 untuk kawasan Asia-Pasific saja.
Kawasan ini memang merupakan kawasan yang paling banyak
menerima program pembiayaan mikro, di samping karena jumlah
penduduknya yang banyak juga tingkat penduduk miskinnya cukup
tinggi. Tingkat jangkauan program yang diberikan Institusi Keuangan
Mikro atau Micro Finance Institution (MFI) mencapai 68,8 persen,
dengan kata lain dari sekitar 182,4 juta penduduk miskin di kawasan
tersebut, 125,53 juta yang mendapat akses dalam program pembiayaan
mikro (Jurnal Buletin Studi Ekonomi, Agustus 2013).
Perkembangan menarik juga terjadi di Indonesia di mana
dengan semakin maraknya perkembangan lembaga keuangan mikro,
maka bank-bank umum juga mulai terjun memberikan pelayanan
16
Tinjauan Pustaka
kredit mikro. Demikian pesatnya perkembangan kegiatan keuangan
mikro ini sehingga meninggalkan kemajuan di bidang pengaturan
hukum mengenai keberadaannya, yang pada akhirnya status hukum
kebanyakan LKM menjadi tidak jelas dalam kerangka hukum negara.
Dalam hal ini LKM dapat dikelompokkan menjadi: 1) LKM formal,
terdiri dari unit bank dan non bank (koperasi, pegadaian); 2) LKM
nonformal, baik yang telah berbadan hukum (yayasan) maupun yang
belum; 3) LKM yang dibentuk melalui program pemerintah; serta 4)
LKM informal, seperti arisan, rentenir, dan sebagainya.
Menurut Bintoro (2003) lembaga keuangan bukan bank di
Indonesia terdiri dari lembaga formal dan informal. LKM bukan bank
formal dapat berbentuk Koperasi, LDKP, pegadaian dan BKK.
Sementara itu LKM bukan bank informal dapat berbentuk BMT,
kelompok arisan, Simpan-Pinjam, Pelepas Uang dan lain-lain termasuk
lembaga-lembaga yang didirikan atas dasar program pemerintah.
Alamsyah (2012) menuliskan bahwa BMT paling berkembang
pesat di Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogyakarta jika
dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia. BMT
memiliki dasar hukum agama berupa sumber hukum tertinggi umat
Islam yaitu Alqur’an, Hadits dan Ijtihad. Dasar utama operasional BMT
terdapat dalam Alqur’an terletak pada QS. Al-Baqarah ayat 275, 276
dan 278, dan QS. Ali-Imran 104 serta QS. An-Nissa’ ayat 29. Hadist
yang menjadi dasar transaksi bisnis dalam Islam dapat dipahami dalam
hadist yang diriwayatkan oleh Anas r.a yang diriwayatkan oleh
Tirmidzi dalam Sirah Nabawiyah oleh Syaikh Syaifurrahman pada
halaman 621. Ijtihad merupakan kesepakatan para alim ulama terhadap
hukum yang tidak ditetapkan secara tersurat dalam Islam, namun tetap
berpegang teguh dan berdasarkan pada sumber hukum tertinggi umat
Islam, yaitu Alqur’an dan Hadist.
Dalam konteks hukum negara, El-Zoghbi & Tarazi (2013) telah
meneliti aspek-aspek legalitas dari BMT. Mereka melaporkan bahwa
BMT yang terdaftar di Kementerian Koperasi dan UKM tidak diawasi
negara sebagai pemberi jasa keuangan. Departemen Perbankan Islam
Bank Indonesia memperkirakan bahwa jumlah BMT kurang lebih
100.000 di seluruh Indonesia (beberapa merupakan bank desa) dengan
17
Keadilan Distributif: Studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa
Tengah
aset Rp. 1,4 miliar (atau setara dengan USD 154 juta). Apapun
kedudukan BMT dalam ranah hukum negara, kenyataannya adalah
bahwa BMT sendiri sesunggunya merupakan kepanjangan tangan
penerapan ekonomi syariah Islam, yang merupakan leading sector
untuk pembiayaan usaha mikro (Muttaqien, 2008).
Kajian tentang Latar Belakang Kelahiran LKM Syariah
Penelitian mengenai latar belakang kelahiran berbagai lembaga
keuangan mikro syariah sebetulnya sudah cukup banyak dilakukan
oleh para peneliti sejak satu dekade terakhir ini. Hal ini terkait dengan
gejala ketidakmampuan lembaga perbankan konvensional untuk
menjangkau pelayanan jasa keuangan pada masyarakat golongan
ekonomi lemah yang tidak bankable. Selain itu, kejenuhan terhadap
sistem keuangan konvensional yang mendasarkan perhitungan
profitnya pada bunga atau riba juga menjadi salah satu pendorong bagi
masyarakat untuk mencoba sistem syariah yang mendasarkan pada
ikatan bagi hasil. Hal ini tampaknya sejalan dengan semakin
meningkatnya pemahaman sebagian elemen masyarakat tentang syariat
Islam yang melarang riba dan memperbolehkan sistem bagi hasil.
Penelitian yang dilakukan oleh Muttaqien (2008) menjelaskan
bahwa lembaga keuangan mikro syariah yang sebagian besar berbentuk
BMT (Baitu Maal wat Tamwil) yang berkembang di Indonesia
merupakan salah satu dampak ikutan dari perkembangan ekonomi
syariah Islam secara umum di Indonesia. Ia menemukan bahwa
perkembangan ekonomi Islam telah menunjukkan peningkatan yang
sangat signifikan di Indonesia. Menurutnya sistem ekonomi Islam tidak
hanya mengatur teknis mencari keuntungan namun juga menyajikan
pandangan filosofis yang sangat mendasar dalam konteks aktivitas
ekonomi manusia. Dasar aktivitas ekonomi tersebut dijelaskan dalam
kitab suci Alquran dan Hadist yang harus menjadi dasar bagi perilaku
umat Islam. Ia menilai bahwa ekonomi Islam merupakan warisan yang
kaya tentang pemikiran Islam dari para pemikir muslim untuk dibuka
kembali meskipun kebanyakan dari hal-hal tersebut belum tentu bisa
langsung diaplikasikan dalam kehidupan sekarang sehingga
18
Tinjauan Pustaka
memberikan ladang subur untuk diteliti secara lebih serius di masa
yang akan datang.
Lebih lanjut berdasarkan hasil penelitiannya, Muttaqien
menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan
sistem ekonomi Islam di Indonesia adalah adanya ketidakpuasan yang
sangat besar dalam hal penyelesaian masalah-masalah ekonomi dan
cara yang telah digunakan. Faktor lain adalah arti penting ekonomi
neo-klasik mempunyai dasar yang sempit dan mempunyai asumsi yang
tidak realisitik terhadap manusia. Teori tentang ekonomi pasar telah
banyak dipertanyakan tentang pendekatan dan kesimpulan yang
diambil. Selama era kolonial terjadi, maka ajaran neo-klasik masuk ke
dalam nilai budaya penduduk setempat, lembaga sosial, dan teknologi
lokal negara jajahan. Faktor selanjutnya adalah ketidakseimbangan
antara masyarakat kaya dan miskin, yang terjadi tidak berhasil
diselesaikan dengan pelayanan keadilan dan persaingan yang jujur.
Mekanisme ekonomi Internasional secara keseluruhan telah dibuat
untuk mengabadikan hegemoni kemajuan industri, yang sekarang ini
telah disadari secara luas akan membawa benih kehancuran sendiri
(Muttaqien, 2008).
Penelitian Muttaqien tersebut memperkuat hasil penelitian
sebelumnya yang telah dilakukan oleh Venardos (2005). Venardos
mengungkapkan bahwa sistem keuangan konvensional yang
menggunakan sistem bunga dinilai sebagai sistem yang tidak
menguntungkan masyarakat yang berada dalam tingkat miskin. Konsep
operasional lembaga keuangan yang dinilai menghormati hak-hak
manusia untuk mendapatkan kehidupan sejahtera adalah sistem bukan
riba yang mendasarkan transaksi penyediaan modal keuangan pada
konsep bagi hasil. Dalam hal ini lembaga keuangan mikro syariah
dalam bentuk BMT (Baitul Maal wat Tamwil) merupakan salah satu
lembaga penyedia jasa keuangan bukan bank tanpa bunga yang
memiliki potensi akses lebih besar kepada masyarakat miskin, begitu
pula dengan LKM bukan bank seperti bentuk KSP (Koperasi Simpan
Pinjam).
Prawiranegara (2011) dan Visconti (2012) menuliskan bahwa
bunga bank yang telah diberlakukan selama ini di Indonesia
19
Keadilan Distributif: Studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa
Tengah
merupakan bentuk riba dalam pandangan Islam. Riba merupakan
segala bentuk penambahan untuk mencapai keuntungan sepihak yang
terdapat dalam transaksi pihak-pihak tertentu. Perkembangan bunga
bank yang diidentikkan dengan riba dalam Islam tersebut kemudian
berpengaruh buruk terhadap masyarakat, terutama masyarakat yang
berada di bawah garis kemiskinan. Masyarakat mengalami kesulitan
dalam mengakses dan mengembalikan pembiayaan yang telah dipinjam
dari sebuah lembaga keuangan yang menerapkan sistem pengembalian
berbunga tersebut. Hal ini mendorong dibentuknya sistem pembiayaan
dari lembaga keuangan yang baru untuk mempermudah pelayanan
kepada masyarakat miskin dalam upaya pengentasan kemiskinan
sebagai usaha untuk mendorong perekonomian Indonesia, khususnya
di Provinsi Jawa Tengah. Bila dipetakan, perbandingan antara LKM
Konvensional dan LKM Syariah dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1: Perbandingan Lembaga Keuangan Mikro Konvensional dan
Syariah
Elemen
Perbedaan
LKM Konvensional
LKM syariah
Sistem
Menggunakan sistem
bunga
Menggunakan sistem bagi hasil/ non
bagi hasil
Hubungan
dengan
nasabah
Debitur-kreditur
Hubungan partisipasi dalam
menanggung resiko dan menerima
hasil dari suatu penjanjian bisnis
Pendanaan
Hasil yang diperoleh
dicampur dengan hasil
bunga sehingga dapat
diperoleh berapa
keutungan yang didapat.
Dana dibedakan antara hasil yang
diperoleh dari dana sendiri dengan
hasil yang diperoleh dari dana
simpanan yang diterimanya atas
dasar prinsip bagi hasil.
Bentuk
pinjaman
Pinjaman yang diberikan
kepada mitra dalam
bentuk tunai.
Pinjaman yang diberikan atas dasar
kemitraan seperti mudharabah,
musyarakah, atas dasar jual beli
(murahabah) atau dasar sewa guna
(ijarah)
Bentuk LKM
Biasanya hanya sebagai
satu macam saja
misanya sebagai LKM
komersial, LKM investasi,
dll.
Merupakan LKM multiguna karena
depat berperan sebagai LKM
komersial, LKM investasi, LKM
pembangunan.
Keuntungan
Bunga merupakan suatu
Laba bukanlah satu-satunya tujuan
20
Tinjauan Pustaka
Elemen
Perbedaan
LKM Konvensional
LKM syariah
keuntungan, keuntungan
menjadi satu-satunya
tujuan dari didirikannya
LKM itu.
karena LKM syariah senantiasa
mengupayakan bagaimana
masyarakat memanfaatkan sumbersumber dana yang ada guna
membangun kesejahteraan
masyarakat.
Dewan
pengawas
Diawasi oleh dewan
pengawas yang
manaungi LKM tersebut.
Dimana pusat dari
pengawasan adalah Bank
Central.
Terdapat lembaga khusus yang
mengawasi yaitu Dewan Pengawas
Syariah yang mengawasi apakah
jalannya LKM tersebut sudah sesuai
dengan kaidah syariah atau belum.
Akad dan
aspek
legalitas
Mempunyai aspek
duniawi saja.
Mempunyai aspek duniawi dan
ukrawi karena LKM syariah lebih
mementingkan keseimbangan dunia
dan akhirat.
Sumber: Kompilasi teori dan hasil reset
Alamsyah (2012) dalam penelitiannya menyatakan bahwa
peran lembaga keuangan mikro di Indonesia yang memberikan layanan
jasa keuangan mikro kepada nasabah masyarakat miskin produktif
termasuk Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) sudah banyak
yang dituangkan dalam artikel jurnal dan buku. UMKM merupakan
salah satu unit usaha yang sangat vital bagi perekonomian di Indonesia
pasca krisis yang melanda seluruh wilayah Indonesia. Badan UMKM
juga berkontribusi di berbagai unit usaha, tenaga kerja hingga output
usaha yang dihasilkan oleh UMKM.
Secara internasional istilah pembiayaan mikro atau micro
finance sendiri mengacu pada jasa keuangan yang diberikan kepada
pengusaha kecil atau bisnis kecil, yang biasanya tidak mempunyai akses
perbankan terkait tingginya biaya transaksi yang dikenakan oleh
institusi perbankan.
Undang Undang No.1 tahun 2013, tentang Lembaga Keuangan
Mikro didefinisikan sebagai lembaga keuangan yang khusus didirikan
untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan
masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala
21
Keadilan Distributif: Studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa
Tengah
mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun
pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha yang tidak sematamata mencari keuntungan. Definisi tersebut menyiratkan bahwa LKM
merupakan sebuah institusi profit motive yang juga bersifat social
motive, yang kegiatannya lebih bersifat community development
dengan tanpa mengesampingkan perannya sebagai lembaga
intermediasi keuangan. Sebagai lembaga keuangan yang berfungsi
sebagai lembaga intermediasi, LKM juga melaksanakan kegiatan simpan
pinjam, yang aktifitasnya disamping memberikan pinjaman namun juga
dituntut untuk memberikan kesadaran menabung kepada masyarakat,
terutama masyarakat berpenghasilan rendah.
Alamsyah (2012), Muttaqien (2008) dan Muhammad (2003)
mendefiniskan BMT atau dalam bahasa Indonesia diartikan Balai Usaha
Mandiri Terpadu merupakan lembaga ekonomi rakyat yang memiliki
fungsi ganda, yaitu untuk menjalankan fungsi sosial dalam masyarakat
sekaligus fungsi bisnis, yang kegiatan operasionalnya dilakukan
berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Muhammad (2003) menuliskan
bahwa BMT adalah suatu lembaga usaha ekonomi rakyat yang
beranggotakan perorangan, atau badan hukum berdasarkan prinsipprinsip syariah yang berasaskan kegotongroyongan, kekeluargaan,
kebersamaan dan merupakan usaha bersama dari masyarakat, oleh
masyarakat dan untuk masyarakat di lingkungan tempat BMT
didirikan dan beroperasi. BMT diharapkan memiliki kegiatan
operasional seperti bank yang mendukung kegiatan ekonomi
masyarakat kecil dan kecil bawah dengan berlandaskan sistem syariah.
Muttaqien (2008) menjelaskan bahwa BMT yang terdiri dari
Baitul Maal dan Baitut Tamwil merupakan lembaga keuangan mikro
syariah (LKMS) yang memiliki kegiatan mengembangkan usaha-usaha
ekonomi produktif dengan mendorong kegiatan menabung dan
membantu pembiayaan kegiatan ekonomi anggota serta masyarakat di
lingkungannya (fungsi bisnis dalam Baitut Tamwil). Fungsi sosial
(dalam Baitul Maal) LKMS BMT dapat dijalankan dengan menggalang
titipan dana sosial untuk kepentingan masyarakat seperti dana zakat,
infaq dan sedekah kemudian mendistribusikannya kembali
(redistribusi) dengan prinsip pemberdayaan masyarakat sesuai dengan
peraturan dan amanahnya.
22
Tinjauan Pustaka
Alamsyah (2012) kembali menegaskan bahwa tujuan utama
lembaga ini adalah menyediakan permodalan bagi unit-unit usaha
mikro dan kecil yang jumlahnya sangat banyak tetapi kesulitan
mendapatkan akses permodalan dari lembaga keuangan formal seperti
bank meskipun secara konseptual memiliki fungsi sosial dan fungsi
bisnis. Ia menjelaskan bahwa searah dengan perubahan tata ekonomi
dan perdagangan, konsep baitul mal yang sederhana itu pun berubah,
tidak sebatas menerima dan menyalurkan harta tetapi juga
mengelolanya secara lebih produktif untuk memberdayakan
perekonomian masyarakat. Penerimaan dana juga tidak terbatas pada
zakat, infak dan sedekah yang diperuntukkan bagi delapan asnaf atau
mustahiq tetapi juga pembangunan fasilitas umum, dan kegiatankegiatan sosial untuk mencapai kesejahteraan umat, tidak hanya
terbatas pada kalangan umat Islam saja. Oleh sebab itu BMT dapat
dikatakan sebagai salah satu lembaga keuangan di Indonesia, di mana
pengertian lembaga keuangan adalah setiap perusahaan yang bergerak
di bidang keuangan, menghimpun dana, menyalurkan dana atau
kedua-duanya. Selain itu, dengan kehadiran BMT diharapkan mampu
menjadi sarana dalam menyalurkan dana untuk usaha bisnis kecil
dengan mudah dan bersih baik produktif maupun konsumtif karena
didasarkan pada kemudahan dan bebas riba/ bunga dengan menggunakan transaksi akad-akad syariah, memperbaiki/ meningkatkan taraf
hidup masyarakat bawah, lembaga keuangan alternatif yang mudah
diakses oleh masyarakat bawah dan bebas riba/bunga, lembaga untuk
memberdayakan ekonomi ummat, mengentaskan kemiskinan,
meningkatkan produktivitas (Alamsyah, 2012).
Alamsyah juga menambahkan bahwa keberadaan BMT pada
dasarnya melengkapi keberadaan lembaga keuangan yang mampu
melayani semua segmen masyarakat Indonesia. Hal yang cukup positif
dari sistem keuangan Indonesia adalah keberadaan lembaga keuangan
yang cukup variatif (baik konvensional maupun syariah) dan menyasar
semua segmen kelompok masyarakat berdasarkan kemampuan
ekonominya. Lembaga-lembaga keuangan tersebut melayani kebutuhan dana usaha masyarakat berdasarkan tingkat kemampuan
ekonominya, dari kelompok masyarakat yang memang tidak memiliki
kemampuan (poorest of the poor) yang dilayani oleh lembaga keuangan
23
Keadilan Distributif: Studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa
Tengah
sosial (termasuk program pemerintah di dalamnya), kelompok
masyarakat usaha mikro-kecil yang dilayani oleh lembaga keuangan
mikro (termasuk BMT di dalamnya), sampai masyarakat usaha besar
yang dilayani oleh bank umum komersial dan pasar modal (Alamsyah,
2012).
Hal menarik lain yang ditemukan oleh penelitian yang
dilakukan oleh Purnomo (2003) adalah tentang latar belakang
pembentukan dan perkembangan BMT di Indonesia. Dia menemukan
fakta bahwa beberapa BMT di Indonesia dibentuk sebagai aspirasi
masyarakat kecil yang ingin mendapatkan kesetaraan kelayakan hidup
dan ekonomi sehingga kehadiran BMT sangatlah mendukung
pengusaha-pengusaha kecil yang berada di pedesaan, di perkampungan
kota maupun di pasar-pasar tradisional. Hal ini disebabkan karena
banyak perbankan syariah, instansi-instansi besar, baik pemerintah
maupun swasta, yang kurang memberikan perhatian dalam membantu
permodalan untuk usaha kecil. Banyak pedagang atau pengusaha kecil
tidak mendapatkan modal karena dianggap tidak memiliki sistem usaha
yang baik, manajemen laporan keuangan yang kurang terkontrol,
legalitas usaha yang belum ada, serta surat berharga lainnya untuk
dijadikan agunan (jaminan) pinjaman modal usaha.
Alamsyah menggambarkan mekanisme kerja operasional BMT
sebagaimana yang dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1: Mekanisme Operasional BMT di Indonesia
A
N
G
G
O
T
A
Pendiri
Anggota
Modal
Awal
Bagi Hasil
PENGURUS BMT
SEBAGAI
PENGELOLA
A
Tabungan
Bagi Hasil
Sumber: (Purnomo, 2003)
24
Pembiayaan
A
N
G
G
O
T
Bagi Hasil
Usaha
Mikro
& Kecil
Tinjauan Pustaka
Kajian tentang Dasar-dasar Operasionalisasi LKM Syariah
Dalam penelitiannya, Purnomo (2003) menemukan bahwa
pihak pengelola BMT menerima dana yang berasal dari modal awal dan
tabungan dari para anggota dan pendiri anggota BMT itu sendiri. Modal
itu kemudian dapat digunakan untuk melakukan pembiayaan bagi para
anggota dan nasabah yang ingin menjalankan usaha baik skala mikro
maupun skala kecil. Para pemanfaat dana dalam hal pembiayaan usaha
skala mikro dan kecil, dan para anggota serta pendiri anggota
menerima bagi hasil yang diperoleh berdasarkan kesepakatan antar
BMT dan pemanfaat dana. Kesepakatan yang dicapai dari tawarmenawar harga tersebut selanjutnya diharapkan dapat menghasilkan
kerja sama yang saling menguntungkan antara BMT dalam hal ini
pengelola dan masyarakat (sebagai anggota, pendiri anggota dan
pemanfaat dana BMT).
Kholim (2004), dalam penelitiannya tentang persoalan
keuangan dalam BMT menemukan bahwa penghimpunan dana di BMT
dilakukan dari berbagai sumber, baik dari anggota maupun pihak lain.
Penghimpunan dana ini bertujuan untuk memperbesar permodalan,
memperbesar aset, memperbesar pembiayaan. Jenis sumber
permodalan BMT berasal dari simpanan berupa mudharabah,
mudharabah berjangka dan wadi’ah. Pinjaman dana dapat berasal dari
pinjaman bank, BUMN atau pihak lain. Sedangkan yang berasal dari
modal berupa simpanan pokok, simpanan wajib, simpanan pokok
khusus, donasi dan penyertaan modal. Simpanan adalah dana yang
dipercayakan oleh anggota, calon anggota atau koperasi-koperasi lain
dan atau anggotanya kepada koperasi dalam bentuk simpanan biasa dan
simpanan berjangka.
Kholim menyatakan bahwa beberapa jenis simpanan dalam
BMT adalah simpanan mudharabah. Simpanan ini merupakan
simpanan, dimana penyetoran dilakukan berangsur dan penarikan
dilakukan sewaktu-waktu selama jam kerja. Simpanan mendapatkan
bagi hasil sesuai dengan kesepakatan. Simpanan mudharabah berjangka
adalah simpanan yang dilakukan satu kali dengan jumlah yang
disepakati dan pengambilan tidak boleh diambil sebelum jangka waktu
berakhir menurut perjanjian serta mendapatkan bagi hasil sesuai
25
Keadilan Distributif: Studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa
Tengah
dengan jangka waktu. Simpanan wadi’ah merupakan simpanan yang
bersifat dana titipan pihak ketiga dan tidak mendapatkan jasa bagi
hasil. Simpanan pembiayaan merupakan simpanan yang mendapatkan
fasilitas dari pembiayaan, sistem penyetorannya digabungkan dengan
angsuran, dan boleh diambil bila pinjaman telah lunas. Simpanan
pokok merupakan simpanan sebagai anggota yang dibayarkan satu kali
yaitu waktu mendaftar sebagai anggota dan merupakan komponen
modal. Simpanan wajib merupakan simpanan anggota yang disetorkan
secara berangsur dan teratur oleh anggota dan besarnya sama antara
anggota satu dengan anggota yang lain sesuai dengan kesepakatan.
Simpanan pokok khusus adalah simpanan pendiri yang disetorkan pada
waktu awal pembentukan.
Kholim juga menuliskan bahwa dalam menjalankan
kegiatannya BMT dapat memiliki bentuk hukum yang berupa Koperasi
Syariah atau Koperasi Simpan Pinjam Syariah. Pendirian lembaga ini
memerlukan anggota pendiri minimal 20 orang dan dipertahankan
maksimum 40 orang. Bentuk hukum yang kedua adalah KSM
(Kelompok Swadaya Masyarakat) dengan sertifikasi berupa Surat
Keterangan Operasional dari PINBUK. Program PHBK-BI (Proyek
Pengembangan Hubungan Bank dengan Kelompok Swadaya
Masyarakat) memberikan izin kepada Lembaga Pengembang Swadaya
Masyarakat (LPSM) tertentu untuk membina KSM atau prakoperasi,
termasuk memberikan izin kepada PINBUK untuk melakukan kegiatan
pembinaan dan pengembangan pengusaha mikro melalui pendekatan
kelompok. LPSM inilah yang memberikan sertifikat kepada KSM atau
prakoperasi. Dengan demikian, PINBUK adalah sebuah lembaga yang
sengaja dibentuk untuk menumbuhkan usaha kecil di Indonesia yang
kelahirannya difasilitasi oleh MUI, Bank Mu’amalat dan ICMI.
Pembedaan dasar operasionalisasi antara LKM syariah dengan
konvensional juga menjadi salah satu isu penelitian yang menarik
seperti yang dilakukan oleh Muttaqien (2008). Ia menyatakan bahwa
teknik-teknik aktivitas kerja LKM Syariah & Konvensional seperti KSP
dan LKM bukan bank informal seperti BMT memiliki persamaan.
Persamaan tersebut dapat dilihat pada teknis penerimaan uang,
mekanisme transfer, teknologi komputer yang digunakan, persyaratan
umum pembiayaan dan lain sebagainya. Akan tetapi masih terdapat
26
Tinjauan Pustaka
perbedaan mendasar di antara keduanya. Secara umum, perbedaan
antara LKM bukan bank yang bersifat formal (khususnya bentuk KSP)
dan informal (khususnya bentuk BMT) dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2: Perbedaan antara KSU/KSP dan BMT
Unsur
Akad & Aspek legalitas
KSU/KSP
Hukum Positif
Lembaga Penyelesaian
Sengketa
Badan Arbitrase
Nasional Indonesia
Struktur organisasi
Tidak ada DSN dan
DPS
Investasi
Prinsip Organisasi
Halal & Haram
Perangkat bunga
Tujuan
Hubungan nasabah
Sumber : Muttaqien, 2008
Profit oriented
Debitur-Kreditur
BMT
Hukum Islam dan
Hukum Positif
Badan Arbitrase
MuamalaSt Indonesia
(BAMUI), Basyarnas
Ada Dewan Syariah
Nasional (DSN) &
Dewan Pengawas
Syariah (DPS)
Halal
Bagi hasil, jual beli dan
sewa
Profit & Falah Oriented
Kemitraan
Dalam hal regulasi, BMT tidak diatur dan diawasi/diaudit oleh
Bank Indonesia, dan dalam pembentukan BMT cukup disahkan oleh
Menteri Koperasi dan UMKM. Dalam proses operasionalnya BMT tidak
terlalu bankable dibandingkan dengan BPRS, karena mengacu kepada
peraturan BI. Kondisi pendukung kerja BMT cukup sederhana
walaupun banyak yang sudah layak seperti BPRS, di mana rata-rata
pendukung kerjanya sudah layak dan memenuhi standardisasi
(Alamsyah, 2012).
Moldevannu & Roger (2001) menjelaskan bahwa permasalahan
yang ada merupakan permasalahan agency (agency problem) yang
berpengaruh terhadap efisiensi organisasi BMT, dimana salah satunya
disebabkan oleh ketertutupan informasi dalam organisasi yang
mencakup antara lain ketertutupan informasi yang membatasi
shareholder dari informasi yang mereka butuhkan agar perusahaan
memiliki kompetensi yang baik. Ketertutupan informasi membatasi
pihak pengelola agen dari informasi yang penting dan relevan tentang
jalannya perusahaan. Ketertutupan informasi membatasi manajer dari
informasi yang dipegang oleh pekerja. Mengingat pentingnya peranan
27
Keadilan Distributif: Studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa
Tengah
BMT terhadap perekonomian nasional terutama berdampak tidak
langsung pada pertumbuhan industri perbankan syariah. Bank
Indonesia melakukan inisiatif untuk melakukan kajian ini. Adapun
BMT yang dimaksud dalam kajian ini adalah lembaga yang juga
melakukan fungsi intermediasi (menghimpun dana dan menyalurkan
dana disertai imbalan jasa dari dana yang dihimpum/disalurkan) selain
fungsi sosial sebagai baitul maal. Pemberian rekomendasi untuk
pemerintah dalam penyusunan kebijakan menjadi suatu hal yang
penting dari kegiatan pemetaan BMT yang dilakukan.
Kebijakan Negara: Peran LKM Syariah dan Peningkatan
Kesejahteraan Masyarakat
Berbagai penelitian mengenai LKM menyatakan bahwa
meskipun lembaga ini telah berkembang pesat di dalam masyarakat
namun keberadaannya belum memiliki kerangka hukum yang jelas
dalam sistem hukum negara. Penelitian yang dilakukan oleh El-Zoghbi
& Tarazi (2013) yang berfokus pada aspek-aspek legalitas dari BMT
menyatakan bahwa BMT yang terdaftar di Kementerian Koperasi dan
UKM tidak diawasi negara sebagai pemberi jasa keuangan. Padahal
seperti diketahui bahwa lembaga ini memiliki peran yang semakin
signifikan dalam peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat
menengah ke bawah. Dengan demikian LKM Syariah memiliki potensi
strategis dalam rangka mengurangi ketimpangan ekonomi dalam
masyarakat. Pada gilirannya, kesejahteraan dapat meningkatkan
beberapa nilai yang paling berharga dalam diri seorang manusia. Nilainilai tersebut adalah nilai kebebasan, rasa tanggung jawab, pekerjaan,
keluarga, komunitas dan kepedulian sosial, dimana konflik tidak
termasuk di dalamnya (Dye, 2002).
Lebih lanjut Dye (2002) memaparkan bahwa program
pembiayaan jaminan sosial yang melayani sebagian besar masyarakat
level menengah merupakan hal yang secara politik sudah terkenal dan
mendukung kehidupan yang lebih sejahtera pada sebagian besar orang,
yang secara politik menuju konsep saling menguntungkan. Akan tetapi,
program dukungan publik untuk masyarakat yang sebagian besar
28
Tinjauan Pustaka
ditujukan untuk melayani masyarakat tingkat bawah sangat tidak
terkenal dan dikelilingi oleh banyak kontroversi.
Menurut Dye (2002) pengaruh dari kondisi kesejahteraan
umum yang menguntungkan dan pemenuhan kebutuhan yang tercapai
pada pekerja telah terjadi pada beberapa negara. Survei menunjukkan
bahwa masyarakat miskin lebih suka bekerja untuk kesejahteraan
mereka, namun dengan pembayaran kesejahteraan yang mungkin
menghasilkan pengaruh yang tidak terlalu kelihatan pada tingkah laku
kemiskinan mereka. Masyarakat enggan untuk mengambil pekerjaan
dengan upah minimum yang bisa jadi tidak pernah memperoleh
kebiasaan bekerja yang dibutuhkan untuk berpindah ke posisi
pekerjaan dengan gaji yang lebih baik dalam waktu yang akan datang
dalam kehidupan mereka. Kesejahteraan bahkan membantu
menghasilkan kebudayaan masyarakat yang mengalah dan bergantung,
sehingga menurunkan harga diri seseorang secara personal dan
meningkatkan pengangguran, pelanggaran hukum, dan keretakan
rumah tangga.
Menurut Bintoro (2003) LKM merupakan institusi yang
menyediakan jasa-jasa keuangan kepada penduduk yang berpendapatan
rendah dan termasuk dalam kelompok penduduk miskin. LKM bersifat
spesifik karena mempertemukan permintaan dana penduduk miskin
atas ketersediaan dana. Penduduk miskin bagi lembaga keuangan
perbankan akan tidak dapat terlayani karena persyaratan yang harus
dipenuhi tidak dimiliki. Pentingnya peran LKM bukan bank yang
menyediakan akses permodalan lebih mudah menjadi kelebihan yang
dimiliki oleh jenis LKM tersebut, terutama LKM bukan bank yang
bersifat informal. Kelompok yang termasuk dalam LKM jenis ini selain
bentuk BMT adalah Kelompok Arisan, Simpan Pinjam, Pelepas Uang,
Tukang Kredit dan lain sebagainya. Bentuk-bentuk LKM tersebut
memiliki tingkat perkembangan dan kematangan yang berbeda-beda
sehingga akan berdampak pada pelayanan terhadap kelompok
sasarannya. LKM yang bersifat informal umumnya merupakan embrio
LKM. UPK dalam PPK misalnya adalah embrio lembaga keuangan yang
dapat diarahkan menjadi LKM formal. Peningkatan produktivitas,
peningkatan kemampuan usaha penduduk miskin dan penciptaan
surplus masih perlu dicermati dalam LKM-LKM tersebut.
29
Keadilan Distributif: Studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa
Tengah
Sesuai dengan sumber hukum tertinggi umat Islam (Alqur’an,
Hadits dan Ijtihad), amanah Pembukaan alinea ke empat UUD 1945,
UUD 1945 pasal 33 ayat 1 dan 4, serta UUD 1945 pasal 27 ayat 2,
Ketetapan MPR No. XVI/MPR/1991, Tap. MPR No. IV/MPR/1999, UU
No. 25/2000 tentang Propenas, UU No. 17 tahun 2012 tentang
Perkoperasin dan UU No. 1 tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan
Mikro maka jika dapat disimpulkan, negara berkewajiban untuk
menjamin sistem yang selalu berpihak pada kesejahteraan rakyat
dengan berdasarkan atas asas menguntungkan semua pihak tanpa
membeda-bedakan suku, agama, ras, dan status sosial dalam konteks
nilai-nilai spiritual dan kepedulian sosial untuk mendukung
terwujudnya manusia yang berkualitas dan bermartabat.
Pembangunan kesejahteraan sosial sejatinya adalah segenap
strategi dan aktivitas yang dilakukan oleh pemerintah, dunia usaha,
maupun civil society untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia
melalui kebijakan dan program yang diarahkan pada pelayanan sosial,
penyembuhan sosial, perlindungan sosial, dan pemberdayaan
masyarakat (Suharto, 2006).
Sistem Keadilan Negara Sejahtera merupakan langkah maju
dari Kapitalisme. Tujuan sistem ini adalah melunakkan ekses
Kapitalisme yang berlebihan dan dengan cara ini dapat mengurangi
daya tarik Sosialisme. Sistem ini cukup menarik semua lapisan
masyarakat, baik pekerja maupun kapitalis. Dari segi filosofinya,
Negara Sejahtera meyakini bahwa kesejahteraan individu merupakan
tujuan yang sangat penting yang tidak mungkin tergantung hanya pada
operasi kekuatan-kekuatan pasar, kemiskinan, dan ketidakmampuan
seseorang tidak mesti merupakan bukti dari kegagalannya. Karena itu,
sistem ini mengakui full employment (sebagaimana yang dipercaya
Kapitalisme) dan distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil sebagai
bagian dari tujuan pokok kebijakan negara. Meski sistem ini
menerapkan strateginya melalui enam perangkat negara – regulasi,
nasionalisasi industri pokok, gerakan buruh, kebijakan fiskal,
pertumbuhan yang tinggi dan full employment — subsidi umum, telah
melahirkan kepincangan yang tidak adil antara si kaya dan si miskin.
30
Tinjauan Pustaka
Tujuan pembangunan kesejahteraan sosial yang pertama dan
utama adalah penanggulangan kemiskinan dalam segala bentuk
manifestasinya (Suharto, 2005). Meskipun pembangunan sosial
dirancang untuk memenuhi kebutuhan publik secara luas, target
utamanya adalah para Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS),
yakni mereka yang termasuk dalam kelompok kurang beruntung
seperti orang miskin, anak-anak dan wanita korban tindak kekerasan,
anak jalanan, pekerja anak, orang dengan kemampuan khusus (difabel)
serta kelompok rentan dan marjinal lainnya. Pemberdayaan
masyarakat, rehabilitasi sosial, bantuan sosial, asuransi sosial, jaring
pengaman sosial dan penguatan kapasitas kelompok marjinal adalah
beberapa contoh program pembangunan kesejahteraan sosial (Suharto,
2006). Ideologi “kesejahteraan negara” (welfare state) yang dianut oleh
negara-negara maju mendefinisikan pembangunan kesejahteraan sosial
sebagai wujud dari kewajiban negara (state obligation) dalam menjamin
hak-hak dasar warga negara. Di Indonesia, meskipun konstitusinya
secara de jure (legal-formal) merujuk pada sistem kesejahteraan negara,
implementasi dari pembelaan negara terhadap hak-hak fakir miskin,
anak terlantar dan penyelenggaraan jaminan sosial masih dihadapkan
pada beragam tantangan.
Selain pemahaman dan komitmen penyelenggara negara
terhadap pembangunan kesejahteraan sosial masih belum solid, faham
neo-liberalisme yang mengedepankan kekuatan pasar, investasi modal
finansial, dan pertumbuhan ekonomi agregat dianggap lebih
menjanjikan kemakmuran dibandingkan dengan pendekatan
kesejahteraan sosial yang mengedepankan keadilan sosial, investasi
sosial dan penguatan kapasitas sumber daya manusia. Desentralisasi
yang terutama digerakkan oleh globalisasi pada aras internasional dan
reformasi pada aras nasional, mencuatkan isu-isu yang mempengaruhi
perkembangan kesejahteraan sosial di daerah (Suharto, tanpa tahun).
Studi di beberapa negara menunjukkan bahwa kemampuan ekonomi
tidak secara otomatis dan linear berhubungan dengan pembangunan
kesejahteraan sosial (Suharto, 2005). Dengan demikian dukungan
kebijakan negara terhadap pengembangan LKM sangat dibutuhkan
sebagai salah satu upaya untuk peningkatan pendapatan ekonomi
masyarakat menengah ke bawah yang pada gilirannya akan
31
Keadilan Distributif: Studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa
Tengah
memberikan kontribusi terhadap penciptakaan keadilan di dalam
masyarakat.
LKM Syariah dalam Konteks Keadilan Distributif John
Rawls
John Rawls dalam bukunya A Theory of Justice (2011)
menyatakan bahwa keadilan adalah kebajikan utama dalam institusi
sebagaimana kebenaran dalam sistem pemikiran. Suatu teori,
betapapun elegan dan ekonomisnya harus ditolak atau direvisi jika ia
tidak benar, demikian juga hukum dan institusi, tidak peduli betapapun
efisien dan rapinya, harus dihapuskan jika tidak adil. Setiap orang
memiliki kehormatan yang berdasar pada keadilan sehingga seluruh
masyarakat sekalipun, tidak bisa membatalkannya. Atas dasar ini
keadilan menolak jika lenyapnya kebebasan bagi sejumlah orang dapat
dibenarkan oleh hal lebih besar yang didapatkan orang lain. Keadilan
tidak membiarkan pengorbanan yang dipaksakan pada segelintir orang
diperberat oleh sebagian besar keuntungan yang dinikmati banyak
orang.
Masyarakat tertata dengan baik ketika ia tidak hanya dirancang
untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya namun ketika ia juga
secara efektif diatur oleh konsepsi publik mengenai keadilan, yaitu:
masyarakat di mana (1) setiap orang menerima dan mengetahui bahwa
orang lain menganut prinsip keadilan yang sama (2) institusi-institusi
sosial dasar yang ada umumnya sejalan dengan prinsip-prinsip tersebut.
Dalam hal ini kendati orang saling mengajukan tuntutan yang sangat
besar, namun mereka mengakui sudut pandang bersama untuk
mengungkapkan pernyataan-pernyataan mereka. Jika kecenderungan
orang-orang pada kepentingan diri sendiri memerlukan saling
perhatian satu sama lain, maka rasa keadilan publik memungkinkan
asosiasi bersama mereka.
Peran konsepsi keadilan adalah menunjukkan hak-hak dasar
dan menentukan pemetaan yang layak. Hal ini mempengaruhi
problem-problem efisiensi, koordinasi, dan stabilitas. Secara umum
orang tidak bisa menilai konsepsi keadilan dengan peran distributifnya
32
Tinjauan Pustaka
semata, betapapun bergunanya peran tersebut dalam mengidentifikasi
konsep keadilan. Orang harus mempertimbangkan kaitan yang lebih
luas, sebab kendati keadilan punya prioritas tertentu, menjadi
kebajikan utama dari institusi namun salah satu konsepsi tentang
keadilan lebih disukai dibanding yang lain ketika konsekuensinya yang
lebih luas lebih dikehendaki.
Banyak hal dikatakan adil dan tidak adil, tidak hanya hukum,
institusi dan sistem sosial bahkan juga tindakan-tindakan tertentu
termasuk keputusan, penilaian, dan tuduhan. Orang juga menyebut
sikap-sikap serta kecenderungan orang adil dan tidak adil. Namun
demikian topik keadilan yang dibahas di sini adalah mengenai keadilan
sosial. Dalam hal ini subjek utama keadilan adalah struktur dasar
masyarakat, atau lebih tepatnya cara lembaga-lembaga sosial utama
mendistribusikan hak dan kewajiban fundamental serta menentukan
pembagian keuntungan.
Mereka yang terlibat dalam kerja sama sosial memilih bersama
prinsip-prinsip yang akan memberikan hak dan kewajiban dasar serta
menentukan pembagian keuntungan sosial. Orang lantas memutuskan
bagaimana mereka mengatur klaim-klaim mereka satu sama lain dan
apa yang mesti menjadi kontrak dasar masyarakat mereka. Sebagaimana
tiap orang harus memutuskan dengan pemikiran rasional apa yang
membentuk manfaatnya yakni sistem tujuan yang baginya rasional
untuk dikejar, sehingga sekelompok orang harus memutuskan apa yang
menurut mereka adil dan tidak adil. Pilihan yang akan dibuat orangorang rasional setara dalam situasi hipotesis tentang kebebasan yang
setara dengan mengasumsikan bahwa pilihan ini mempunyai solusi,
akan menentukan prinsip keadilan.
Salah satu bentuk keadilan sebagai fairness adalah memandang
berbagai pihak dalam situasi awal sebagai rasional dan sama-sama
netral. Ini tidak berarti bahwa pihak-pihak tersebut egois yakni
individu-individu dengan jenis kepentingan tertentu katakanlah dalam
kekayaan, prestise dan dominasi. Namun demikian mereka dianggap
tidak saling tertarik pada kepentingan mereka satu sama lain.
Dalam menyusun keadilan sebagai fairness, salah satu tugas
utamanya adalah menentukan prinsip keadilan mana yang akan dipilih
33
Keadilan Distributif: Studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa
Tengah
dalam posisi asal. Untuk melakukan hal ini orang harus menjelaskan
situasi ini dengan sejumlah detail dan merumuskan persoalan pilihan
yang diungkapkan dengan cermat. Orang-orang dalam situasi awal
akan memilih dua prinsip yang agak berbeda: yang pertama
membutuhkan kesetaraan dalam penerapan hak dan kewajiban dasar,
sedangkan yang kedua menyatakan bahwa ketimpangan sosial dan
ekonomi, misalnya ketimpangan kekayaan dan kekuasaan, hanyalah
jika mereka menghasilkan kompensasi keuntungan bagi semua orang,
khususnya bagi anggota masyarakat yang paling tidak beruntung.
Prinsip-prinsip ini menyingkirkan pembenaran institusi-institusi
dengan alasan bahwa kebutuhan sebagian orang diseimbangkan dengan
manfaat yang lebih besar secara keseluruhan. Ini mungkin bisa saja
dilakukan, namun tidak adil jika sebagian orang harus kekurangan agar
orang lain bisa menikmati kemakmuran. Akan tetapi tidak ada ketidak
adilan dalam keuntungan yang lebih besar yang diperoleh oleh
segelintir orang yang menyatakan bahwa situasi orang-orang lemah
lantas membaik. Gagasan intuitifnya adalah bahwa karena
kesejahteraan semua orang tergantung pada skema kerja sama yang
tanpanya orang tidak akan bisa mencapai kepuasan hidup, pembagian
keuntungan harus menggambarkan kehendak kerja sama semua orang
yang ada di dalamnya, termasuk mereka yang kurang beruntung.
Dalam keadilan sebagai fairness, person-person menerima
prinsip kebebasan setara dan mereka melakukan hal ini tanpa
pengetahuan tentang tujuan mereka yang lebih khusus. Karena itu,
mereka secara implisit sepakat untuk menyamakan konsepsi mereka
tentang manfaat yang dibutuhkan prinsip-prinsip keadilan, atau
setidaknya tidak menekan klaim-klaim yang secara langsung melanggar
mereka. Seorang individu yang menyadari bahwa dirinya merasa
senang ketika melihat orang lain tidak terlampau bebas akan paham
bahwa ia tidak mempunyai klaim apapun pada kenikmatan ini. Sistem
sosial yang adil menentukan cakupan yang di dalamnya para individu
mesti mengembangkan tujuan-tujuan mereka, dan ia memberikan
kerangka hak dan peluang serta cara-cara pemuasan untuk mencapai
berbagai tujuan. Prioritas keadilan sebagian dinilai dengan
mempercayai bahwa kepentingan-kepentingan yang membutuhkan
34
Tinjauan Pustaka
pelanggaran keadilan tidak punya nilai. Dengan tidak mempunyai nilai
maka mereka tidak bisa menolak klaim-klaimnya.
Prioritas asas hak dari pada asas manfaat dalam keadilan sebagai
fairness ini ternyata menjadi bentuk utama konsepsi ini. John Rawls
merupakan kriteria pada desain struktur dasar secara keseluruhan,
tatanan ini tidak boleh melahirkan kecendrungan dan sifat-sifat yang
berprinsip tertentu yang telah sejak awal memberikan kepuasan dan
mereka harus menjamin bahwa lembaga-lembaga yang adil adalah
stabil. Oleh sebab itu ikatan awal tertentu diletakkan pada manfaat dan
bentuk karakter yang bermanfaat dan bentuk karakter yang secara
moral bernilai, dan jenis person seperti apa seharusnya. Sekarang setiap
teori keadilan akan membuat batasan, yakni batasan-batasan yang
diperlukan jika prinsip-prinsip pertamanya ingin dipuaskan dengan
kondisi yang ada. Utilitarianisme menyingkirkan berbagai hasrat dan
kecendrungan yang jika didorong atau dibiarkan akan mengarah pada
keseimbangan dengan netto yang lebih rendah.
Subjek utama dari prinsip keadilan sosial adalah struktur dasar
masyarakat, tatanan institusi-institusi sosial utama dalam satu skema
kerja sama. Orang telah melihat bahwa prinsip-prinsip tersebut
mengatur pemberian hak dan kewajiban dalam institusi-institusi ini
serta menentukan pembagian kenikmatan serta beban kehidupan
sosial. Prinsip keadilan bagi institusi tidak boleh dikacaukan dengan
prinsip-prinsip yang diterapkan pada individu dan tindakan-tindakan
mereka dalam situasi tertentu. Dua jenis prinsip ini diterapkan pada
subjek yang berbeda dan harus dibahas secara terpisah.
Dengan institusi, orang akan memahami sistem aturan publik
yang menentukan jabatan serta posisi dengan hak dan kewajiban
mereka, kekuatan dan kekebalan, dan lain-lain. Aturan-aturan ini
menggolongkan bentuk-bentuk tindakan yang diperbolehkan maupun
yang dilarang; dan memberikan hukuman serta pembelaan tertentu,
ketika pelanggaran terjadi. Sebagai contoh, institusi, atau lebih
umumnya praktik sosial, orang bisa memikirkan permainan dan ritual,
pengadilan dan parlemen, pasar dan sistem kepemilikan. Institusi bisa
dipikirkan dengan dua cara: pertama sebagai objek abstrak, yakni
sebagai bentuk yang diekspresikan oleh sistem aturan; dan kedua
35
Keadilan Distributif: Studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa
Tengah
sebagai perwujudan pemikiran dan tindakan orang-orang tertentu pada
masa dan tempat yang ditunjukkan oleh aturan-aturan tersebut. Oleh
sebab itu ada ambiguitas mengenai hal yang adil atau tidak adil,
mengenai institusi sebagaimana wujudnya atau institusi sebagai objek
abstrak. Institusi sebagai objek abstrak adalah adil dan atau tidak adil
dalam pengertian bahwa setiap perwujudannva akan adil atau tidak
adil.
Institusi ada pada masa dan tempat tertentu ketika tindakan
yang dispesifikasi olehnya secara teratur dimunculkan sesuai dengan
pemahaman publik bahwa sistem aturan yang menentukan institusi
diikuti. Maka institusi parlementer ditentukan oleh sistem aturan
tertentu (atau rangkaian sistem semacam itu). Aturan-aturan ini
merinci bentuk-bentuk tindakan tertentu, penyelenggaraan sidang
parlemen hingga pengambilan suara atas kenaikan pajak. Berbagai jenis
norma umum diatur ke dalam skema yang koheren. Institusi parlemen
eksis di masa dan tempat tertentu ketika orang menampilkan tindakan
yang pas, terlibat dalam aktivitas-aktivitas tersebut dalam cara yang
diperlukan, dengan pengakuan resiprokal atas pemahaman satu-sama
lain sehingga tindakan mereka sesuai dengan aturan-aturan yang
mereka ikuti.
Dalam mengatakan bahwa sebuah institusi sebagai struktur
dasar masyarakat, adalah sistem aturan publik, maksud John Rawls
adalah bahwa semua orang yang terlibat di dalamnya tahu apa yang
akan Rawls ketahui jika aturan-aturan tersebut dan partisipasinya
dalam aktivitas adalah hasil dan kesepakatan. Seseorang yang terlibat
dalam institusi tahu apa yang dituntut aturan kepadanya dan pada
orang lain. Prinsip-prinsip keadilan yang akan diterapkan pada tatanan
sosial dalam pengertian ini dianggap bersifat publik, di mana aturanaturan atas bagian tertentu dari institusi hanya diketahui oleh orangorang yang terlibat, sehingga bisa diasumsikan bahwa terdapat
pemahaman bahwa mereka yang berada di bagian ini dapat membuat
aturan bagi diri mereka sendiri selama aturan-aturan tersebut
dirancang untuk mencapai sasaran-sasaran yang pada umumnya
diterima dari pihak-pihak lain tidak begitu terpengaruh. Publisitas
aturan-aturan institusi menjamin bahwa mereka yang terlibat di
dalamnya tahu tentang pembatasan seperti apa yang bisa diharapkan
36
Tinjauan Pustaka
dari orang lain dan jenis tindakan apa yang diperbolehkan. Terdapat
pijakan umum untuk menentukan harapan bersama. Selain itu, dalam
masyarakat yang tertata dengan baik, masyarakat yang secara efektif
diatur oleh konsep keadilan bersama, juga terdapat pemahaman publik
mengenai apa itu adil dan tidak adil. Kemudian John Rawls
mengasumsikan bahwa prinsip-prinsip keadilan yang dipilih tunduk
pada pengetahuan bahwa mereka bersifat publik.
Pembedaan antara aturan konstitutif dan institusi yang
mengukuhkan berbagai hak dan kewajibannya dengan strategi-strategi
dan dalil-dalil tentang bagaimana mengambil keuntungan dari institusi
demi tujuan tertentu. Strategi-strategi dan dalil-dalil rasional tidak
dengan sendirinya menjadi bagian dari institusi. Namun mereka adalah
bagian dari teori tentang institusi, misalnya teori politik parlementer.
Biasanya teori institusi menggunakan aturan-aturan konstitutif sebagai
apa adanya dan menganalisis bagaimana kekuasaan didistribusikan dan
menjelaskan bagaimana mereka terlibat di dalamnya, cenderung
menguntungkan diri mereka. Dalam merancang dan mereformasi
tatanan sosial orang harus menguji skema dan taktik yang dibiarkannya
dan bentuk-bentuk perilaku yang cenderung didorongnya. Aturanaturan tersebut secara ideal mesti disusun sehingga orang terbawa oleh
kepentingan utama mereka untuk bertindak dengan cara-cara yang
memperluas berbagai tujuan yang dikehendaki secara sosial. Perilaku
para individu yang dibimbing oleh rencana rasional mereka mesti
dikoordinasikan sebaik mungkin untuk meraih hasil-hasil yang terbaik
dari sudut pandang keadilan sosial, kendati tidak dimaksudkan atau
barangkali tidak diperkirakan oleh mereka. Bentham menganggap
koordinasi ini sebagai identifikasi artifisial dari kepentingan, Adam
Smith menganggapnya sebagai karya tangan gaib (invisible hand). Ini
merupakan tujuan legislator ideal dalam menegakkan hukum dan
kaum moralis dalam mendesakkan reformasi mereka. Namun, strategi
dan taktik-taktiknya yang diikuti oleh para individu, kendati sangat
esensial bagi penilaian atas institusi, bukan merupakan bagian dari
sistem aturan publik yang menentukannya.
Orang juga bisa membedakan antara aturan tunggal (atau
sekelompok aturan), institusi (atau bagian utamanya), dengan struktur
dasar sistem sosial secara keseluruhan. Alasan untuk melakukan hal ini
37
Keadilan Distributif: Studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa
Tengah
adalah karena satu atau beberapa aturan penataan bisa menjadi tidak
adil tanpa institusinya sendiri menjadi tidak adil. Sama halnya, institusi
bisa menjadi tidak adil kendati sistem sosialnya secara keseluruhan adil.
Tidak hanya ada kemungkinan bahwa aturan dan lembaga tunggal
tidak dengan sendirinya penting namun bahwa di dalam struktur
institusi atau sistem sosial, satu ketidakadilan menggantikan ketidakadilan yang lain. Keseluruhannya akan kurang tidak adil dibanding jika
ia hanya mengandung satu bagian yang tidak adil. Lebih jauh, adalah
masuk akal jika sebuah sistem sosial menjadi tidak adil kendati tak ada
satu pun dan institusi-institusinya yang tidak adil jika dilihat secara
terpisah: ketidakadilan adalah konsekuensi dari bagaimana mereka
dikombinasikan bersama menjadi satu sistem tunggal. Suatu institusi
mungkin mendorong dan terlihat menjustifikasi harapan-harapan yang
ditolak atau diabaikan oleh institusi lain. Pembedaan ini cukup jelas
karena merefleksikan fakta bahwa dalam memandang berbagai
lembaga orang bisa meletakkan mereka dalam konteks yang lebih luas
atau pun lebih sempit.
Terdapat lembaga-lembaga yang tidak bisa dikenai konsep
keadilan. Suatu ritual biasanya tidak dinilai adil atau tidak adil, kendati
berbagai kasus dapat dibayangkan tidak benar, misalnya ritual
pengorbanan bayi atau pengorbanan para tawanan perang. Teori akan
mempertimbangkan kapan ritual-ritual dari berbagai praktik lainnya
dianggap adil atau tidak adil tunduk pada bentuk kritisisme ini. Anggap
saja mereka pasti terlibat dalam alokasi berbagai hak dan nilai di
kalangan orang-orang tertentu.
Sejumlah orang menyatakan bahwa pada kenyataannya
keadilan formal dan keadilan substantif cenderung sejalan dan karena
itu lembaga-lembaga yang tidak adil tidak pernah, atau kadang pada
tingkatan apa pun, diatur secara netral dan konsisten. Mereka yang
didukung dan memperoleh sesuatu dari tatanan yang tidak adil, dan
yang menolak hak-hak dan kebebasan orang lain, cenderung tidak akan
membiarkan etika rule of law mencampuri kepentingan mereka dalam
kasus-kasus khusus. Kepastian hukum yang tak terelakkan dan luasnya
cakupan bagi interpretasi mereka, mendorong kearbritreran dalam
mencapai keputusan-keputusan yang hanya bisa dihapuskan oleh
komitmen keadilan. Hal ini menegaskan bahwa di mana orang
38
Tinjauan Pustaka
menjumpai keadilan formal, rule of law dan penghormatan pada
harapan yang sah, di sana orang akan cenderung menjumpai keadilan
substantif pula. Hasrat untuk mengikuti aturan-aturan secara netral
dan konsisten, untuk memperlakukan kasus serupa secara sama, dan
untuk menerima konsekuensi-konsekuensi penerapan norma-norma
publik, itu semua sangat terkait dengan hasrat, atau setidaknya
kehendak, untuk mengakui hak dan kebebasan orang lain serta untuk
memperoleh bagian keuntungan dari beban kerja sama sosial secara
fair. Satu hasrat cenderung diasosiasikan dengan hasrat yang lain. Sebab
ia tidak bisa dinilai secara layak hingga orang mengetahui prinsip
keadilan substantif mana yang paling masuk akal dan dalam kondisi apa
orang-orang mengikutinya.
Keadilan distributif dalam ilmu ekonomi memiliki beberapa
persyaratan yang menentukan apakah suatu lembaga atau institusi
dapat dikatakan sebagai lembaga yang telah menerapkan keadilan
tersebut. Ilmu ekonomi Islam syariah juga memiliki karakteristik dalam
suatu lembaga pelaksanaan sistem syariah. Lembaga-lembaga
perwujudan sistem ini, yang marak berdiri di masyarakat adalah Badan
Maal Wat Tamwil (BMT), Koperasi, KSU dan Koperasi Simpan Pinjam
(KSP) yang menyediakan pinjaman atau simpanan bagi para nasabah
yang membutuhkan. Beberapa lembaga tersebut telah secara sporadis
berdiri di beberapa provinsi di Indonesia mengingat tingkat kesadaran
masyarakat yang tinggi terhadap sistem ekonomi yang baru, non
kapitalis, non imperialis, non sekuler dan non materialis. Akan tetapi,
sampai saat ini, lembaga keuangan syariah tersebut masih
dipertanyakan terkait definisi dan pelaksanaan di masyarakat.
John Rawls (2011) mengatakan bahwa, setiap orang berhak
memiliki hak yang setara dengan kebebasan dasar yang paling luas
sesuai dengan kebebasan yang serupa untuk orang lain. Hal tersebut
merupakan sebuah kepedulian akan penjaminan hak asasi pribadi yang
setara bagi semua warga. Pemerintah, seyogyanya menggunakan
prinsip tersebut sebagai pedoman untuk menentukan sejumlah dasar
hak asasi seperti kehidupan, kebebasan, dan mengejar kebahagiaan,
kepada setiap individu tanpa menperhatikan ras, agama, suku, jenis
kelamin, kedudukan dan lain sebagainya, karena:
39
Keadilan Distributif: Studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa
Tengah
Pertama, keadilan adalah kejujuran (justice as honesty).
Masyarakat adalah kumpulan individu yang di satu sisi menginginkan
bersatu karena adanya ikatan untuk memenuhi kumpulan individu,
tetapi di sisi yang lain masing-masing individu memiliki pembawaan
serta hak yang berbeda yang semua itu tidak dapat dilebur dalam
kehidupan sosial.
Kedua, selubung ketidaktahuan (veil of ignorance), dimana
setiap orang dihadapkan pada tertutupnya seluruh fakta dan keadaan
tentang dirinya sendiri, termasuk terhadap posisi sosial dan doktrin
tertentu, sehingga membutakan adanya konsep atau pengetahuan
tentang keadilan yang tengah berkembang dan orang-orang atau
kelompok yang terlibat dalam situasi yang sama tidak mengetahui
konsepsi-konsepsi mereka tentang kebaikan.
Ketiga, posisi original (original position), yaitu situasi yang
sama dan setara antara tiap-tiap orang di dalam masyarakat,tidak ada
pihak yang memiliki posisi lebih tinggi antara satu dengan yang
lainnya, pada keadaan ini orang-orang dapat melakukan kesepakatan
dengan pihak lainnya secara seimbang. “Posisi Original” yang
bertumpu pada pengertian ekulibrium reflektif dengan didasari oleh
ciri: Rasionalitas (rationality), Kebebasan (freedom), dan Persamaan
(equality) guna mengatur struktur dasar masyarakat (basic structure of
society).
Keempat, prinsip kebebasan yang sama (equal liberty
principle), bahwa setiap orang memiliki hak yang sama atas kebebasankebebasan dasar yang paling luas dan kompatibel dengan kebebasankebebasan sejenis bagi orang lain.
Kelima, ketidaksamaan (inequality principle), difference
principle (prinsip perbedaan), dimana ketidaksamaan sosial dan
ekonomi diatur sedemikian rupa, sehingga diperoleh manfaat sebesarbesarnya bagi anggota masyarakat yang paling tidak diuntungkan.
Equal opportunity principle (prinsip persamaan kesempatan), jabatanjabatan dan posisi-posisi harus dibuka bagi semua orang dalam keadaan
dimana adanya persamaan kesempatan yang adil.
40
Tinjauan Pustaka
Berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Baqarah, terkandung dasardasar natural-moral tingkah laku manusia, yang menunjuk kepada: (1)
Watak moral yang universal dan obyektif yang membuat semua
manusia diperlakukan secara sama dan sama-sama bertanggung jawab
kepada Allah,dengan perbuatan-perbuatan yang baik, keyakinankeyakinan yang berasal dari sumber yang sama yaitu dari Allah SWT.
(2) Semua umat manusia harus berusaha keras menegakkan suatu skala
keadilan yang diakui secara obyektif terlepas dari perbedaan
keyakinan-keyakinan relegius. Manusia yang ideal bisa menggabungkan kebajikan moral dengan religius yang sempurna. Tabel 2.3
memperlihatkan perbandingan antara teori John Rawls (2011) dan
Alquran.
Tabel 2.3: Perbandingan Teori John Rawls dan Al-Quran
Teori
John
Rawls
Prinsip
Implikasi
 ketidaksamaan sosial-ekonomi
perlu
diatur
sedemikian rupa sehingga
ketidaksamaan itu dapat
diharapkan
saling
menguntungkan
bagi
setiap orang
 Distribusi sumber daya
alam
dan
lingkungan
berada dalam kerangka
partisipasi;
 Redistribusi kekayaan dan
pendapatan
merupakan
tanggung jawab bersama
untuk memastikan jaminan
sosial,
peningkatan
kapasitas dan otoritas bagi
mereka
yang
kurang
beruntung.
 Upaya agar mereka yang kurang
beruntung menjadi lebih baik
dilakukan
dengan
cara
mengurangi kesejahteraan mereka
yang beruntung
 diperlukan biaya besar untuk
mencapai keadilan sosial-ekonomi
Etika
 Menjamin pemenuhan kebutuhanal-Qur’an
kebutuhan dasar manusia
 kemitraan
dalam
kepemilikan
kekayaan alam tertentu dapat
mereduksi
disparitas
atau
kesenjangan dalam pendapatan
dan kekayaan;
 harmoni antara
kepentingan
pribadi dan sosial, dan antara
kesejahteraan
individu
dan
kesejahteraan sosial
 meningkatkan
aktivitas
perekonomian
Sumber : Kompilasi dari Teori John Rawls dan Al-Quran.
Uraian di atas menunjukkan bahwa meskipun telah banyak
penelitian mengenai lembaga keuangan mikro baik konvensional
maupun syariah, namun belum ada yang mengkaji kontribusi secara riil
LKM Syariah dalam ikut mewujudkan keadilan distributif dalam
41
Keadilan Distributif: Studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa
Tengah
masyarakat dalam kaitannya dengan pemberian kesempatan yang lebih
luas kepada kelompok masyarakat menengah ke bawah untuk
mengakses permodalan sehingga mereka dapat mengembangkan usaha
bisnisnya untuk peningkatan kesejahteraan mereka.
42
Download