TINJAUAN PUSTAKA Domba Priangan Menurut Ensminger (1991), klasifikasi domba adalah sebagai berikut: Kingdom: Animal; Phylum: Chordata (hewan bertulang belakang); Kelas: Mamalia; Ordo: Artiodactyla; Sub ordo: Ruminansia (hewan memamah biak); Famili: Bovidae; Genus: Ovis; Spesies: Ovis aries. Ada beberapa karakteristik untuk mengklasifikasikan bangsa domba di daerah tropis antara lain, bentuk dan tipe ekor (gemuk, tipis, dan panjang), bulu yang menutupi tubuh (wol atau bulu), ukuran dan bentuk tubuh, warna bulu, ada atau tidaknya tanduk, prolificacy (perkembangbiakkannya, kesuburan) dan tergantung tujuan pemeliharaan (daging, susu, wol atau kulit) (Gatenby, 1986). Gambar 1. Tampilan Domba Garut Jantan Penelitian Menurut Sudarmono dan Sugeng (2005), ada beberapa tipe domba di Indonesia, yaitu: (1) Domba asli Indonesia (domba lokal/kampung). Ciri-cirinya antara lain berbadan kecil, warna bulu tidak seragam, lambat dewasa, dan karkasnya rendah. (2) Domba ekor gemuk, banyak terdapat di daerah Jawa Timur, Madura, Lombok, dan Sulawesi. Ciri-cirinya bentuk badan besar (50 kg untuk jantan dan 40 kg untuk betina), bertanduk pada jantan, dan berekor panjang (pada bagian pangkalnya besar dan menimbun lemak yang banyak, ujung ekornya kecil tidak berlemak). (3) Domba Priangan atau domba Garut, merupakan persilangan antara domba asli Indonesia, merino, dan ekor gemuk dari Afrika Selatan. Domba Priangan memiliki ciri-ciri sebagai berikut: mempunyai tubuh besar dan lebar (60 kg untuk 4 jantan dan 35 kg untuk betina); jantan bertanduk dan melengkung ke belakang; daun telinga ramping; warna bulu kombinasi putih hitam dan cokelat atau warna campuran Ransum Komplit Schroeder dan Park (1997), menyatakan bahwa ransum komplit dibuat dari campuran ransum total yang terbentuk dengan cara menimbang dan memadukan semua bahan-bahan pakan yang dapat menyediakan kecukupan nutrien yang dibutuhkan oleh ternak. Menurut Hartadi et al. (1997), ransum adalah jumlah total bahan makanan yang diberikan kepada hewan untuk periode 24 jam. Selanjutnya Esminger et al. (1990), menyatakan bahwa ransum merupakan campuran jenis pakan yang diberikan kepada ternak untuk sehari semalam selama hidupnya untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bagi tubuhnya. Ransum yang sempurna harus mengandung nutrien seimbang, disukai ternak dan mudah dicerna. Hartadi et al. (1997), melaporkan bahwa ransum komplit adalah pakan yang menyediakan nutrien untuk hewan tertentu di dalam tingkat fisiologis tertentu. Ransum komplit tersebut dibentuk atau dicampurkan untuk diberikan sebagai satu-satunya makanan dan mampu mencukupi kebutuhan pokok dan produksi tanpa tambahan bahan atau substansi lain kecuali air. Ensminger et al. (1990), menyatakan bahwa penggunaan ransum lengkap/komplit akan mendapat beberapa keuntungan antara lain: 1) meningkatkan efisiensi pemberian pakan, 2) ketika hijauannya kurang palatabel maka jika dibuat campuran ransum komplit akan meningkatkan konsumsi, begitu juga sebaliknya jika ketersediaan konsentrat terbatas dapat dipakai hijauan sebagai campuran, 3) campuran ransum komplit dapat mempermudah ternak untuk mendapatkan pakan lengkap. Palatabilitas Pemberian ransum atau pakan di samping harus memenuhi nutrien yang dibutuhkan dengan jumlah yang tepat, pakan tersebut harus juga aman untuk dikonsumsi, palatabel, dan ekonomis. Palatabilitas adalah daya terima dari bahanbahan pakan atau pakan itu sendiri sehingga mempengaruhi tingginya tingkat konsumsi pakan (Scott et al., 1982). Palatabalitas ditentukan oleh rasa, bau, dan warnanya. Pada ternak ruminansia faktor yang mempengaruhi palatabilitas adalah 5 kecerahan warna hijauan, rasa, tekstur, dan kandungan nutrisi (Ensminger, 1990). Hal ini dipengaruhi oleh faktor fisik dan kimia pakan, tetapi dapat berubah oleh perbedaan fisiologis dan psikologis individu hewan. Palatabilitas merupakan hasil faktor-faktor yang menentukan sampai tingkat mana suatu pakan menarik suatu hewan. Tingkat palatabilitas tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti: hewan itu sendiri, setiap jenis hewan memiliki jenis pakan yang disukai berbeda dengan hewan lainnya; kondisi pakan, pakan dalam keadaan segar atau tidak; kesempatan memilih pakan yang lain. Konsumsi adalah faktor esensial yang merupakan dasar untuk hidup dan menentukan produksi. Konsumsi pakan atau ransum adalah jumlah pakan yang dikonsumsi oleh hewan bila pakan tersebut diberikan ad libitum. Konsumsi pakan atau ransum ini sangat dipengaruhi oleh bobot badan dan umur ternak. McIlroy (1977), menyatakan bahwa palatabilitas relatif dari jenis-jenis pakan yang berbeda dapat diketahui dengan cara pemberian pakan pada hewan yang disengaja dikurung atau ditangkarkan dan kemudian diamati tingkat kesukaannya. Pengelompokan pakan berdasarkan palatabilitas, yaitu disukai (preferred) dan tidak disukai, sedangkan berdasarkan ketersediaan bahan pakan yaitu bahan pakan pokok (stapple), pakan pengisi atau tambahan (suffing), dan bahan pakan dalam keadaan darurat. Suatu jenis pakan yang mempunyai tingkat palatabilitas yang tinggi, tetapi belum tentu dapat menjamin kelangsungan hidup hewan dengan baik, karena jenis pakan tersebut belum tentu mempunyai kandungan nutrien yang sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Palatabilitas pakan sama pentingnya dengan nilai nutrisi pakan tersebut, karena pakan dengan nilai nutrisi yang tinggi tidak akan berarti bila tidak disukai hewan (McIlroy, 1977). Konsumsi Ransum Konsumsi ransum adalah faktor esensial yang merupakan dasar untuk mencukupi hidup pokok dan menentukan tingkat produksi. Tingkat konsumsi ternak dipengaruhi oleh berbagai faktor kompleks yang terdiri dari hewan, pakan yang diberikan, dan lingkungan tempat hewan tersebut dipelihara (Parakkasi, 1999). Menurut Aregheore (2001), konsumsi merupakan faktor yang penting dalam 6 menentukan produktivitas ruminansia dan ukuran tubuh ternak sangat mempengaruhi konsumsi pakan. Konsumsi dinyatakan mencukupi jika jumlah pakan yang dimakan ternak dapat menyediakan nutrien yang dikandungnya untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok maupun keperluan produksi ternak (Tillman et al., 1998). Menurut Cheeke (1991), konsumsi pakan dipengaruhi oleh palatibilitas, level energi, protein dan konsentrasi asam amino, komposisi hijauan, temperatur lingkungan, pertumbuhan, laktasi, dan ukuran metabolik tubuh. Menurut Tamminga dan Van Vuuran (1988), secara umum konsumsi dapat meningkat dengan semakin meningkatnya berat badan, karena pada umumnya kapasitas saluran pencernaan meningkat dengan semakin meningkatnya berat badan sehingga mampu menampung pakan dalam jumlah lebih banyak. Kecernaan Ransum Kecernaan pakan adalah bagian pakan yang tidak dieksresikan dalam feses dan selanjutnya dapat diasumsikan sebagai bagian yang diserap oleh ternak. Selisih antara nutrien yang dikandung dalam bahan makanan dengan nutrien yang ada dalam feses merupakan bagian nutrien yang dicerna (McDonald et al., 1995). Biasanya dinyatakan dalam dasar bahan kering dan apabila dinyatakan dalam persentase maka disebut koofisien cerna (Tillman et al., 1998). Kecernaan pakan didefinisikan sebagai bagian yang tidak dieksresikan dalam feses dan diasumsikan diserap oleh ternak (McDonald et al., 1995). Biasanya dinyatakan dalam dasar bahan kering dan apabila dinyatakan dalam persentase maka disebut koefisien cerna (Tillman et al., 1998). Koefisien cerna merupakan selisih antara nutrien yang terkandung dalam pakan yang dikonsumsi dengan nutrien yang terkandung dalam feses, sedangkan nutrien yang terkandung dalam feses adalah jumlah yang tertinggal dalam tubuh hewan atau jumlah dari nutrien yang dapat dicerna (Anggorodi, 1994). Tingkat kecernaan nutrien dipengaruhi oleh spesies ternak, bentuk fisik ransum, jumlah bahan makanan yang diberikan, komposisi ransum, dan perbandingan nutrien lainnya (Maynard dan Loosli, 1956). Menurut Ranjhan dan Pathak (1979), faktor yang mempengaruhi kecernaan pakan adalah umur ternak, jumlah pakan, pengolahan pakan, komposisi pakan, dan rasio komposisi. Selain itu 7 menurut Mackie et al. (2002), adanya aktivitas mikroba dalam saluran pencernaan sangat mempengaruhi kecernaan. Menurut Thalib et al. (2000), kambing, domba, rusa, sapi, kerbau memiliki keragaman spesies bakteri dan protozoa yang hampir sama. Kecernaan bahan makanan merupakan jumlah nutrien yang terkandung dalam makanan yang dapat dikonsumsi dikurangi dengan jumlah makanan yang terdapat dalam feses yang dikeluarkan (Anggorodi, 1994). Lubis (1963), menyatakan bahwa nilai kecernaan nutrien tersebut dinamakan sebagai koofisien cerna semu. Kecernaan suatu bahan makanan biasanya dinyatakan sebagai koefisien cerna bahan kering (McDonald et al., 1988). Untuk mengetahui nilai manfaat suatu pakan ternak perlu dilakukan percobaan pakan pada hewan, karena hasil analisis kimia terhadap suatu pakan tidak sepenuhnya menggambarkan nilai manfaat nutrien yang dikandungnya (Church dan Pond, 1988). Kecernaan bahan kering dan bahan organik merupakan indikator derajat kecernaan pakan pada ternak dan manfaat pakan yang diberikan pada ternak. Preston dan Leng (1987), menyatakan bahwa kecernaan bahan kering yang berkisar antara 55-65% merupakan kecernaan bahan kering yang tinggi dan diperkirakan dapat meningkatkan pertumbuhan ternak dan produksi susu. Balch dan Campling (1962), menyatakan bahwa ransum yang lebih tinggi nilai gizinya lebih disukai ternak dan mempunyai koefisien cerna nutrien yang lebih baik. Daya cerna makanan atau ransum dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya: komposisi kimia pakan, kadar dan kecernaan protein, kadar lemak, komponen pakan, proses pengolahan, jumlah pemberian, dan faktor hewan. Daya cerna makanan berhubungan erat dengan komposisi kimianya dan serat kasar mempunyai pengaruh yang terbesar terhadp daya cerna ini. Baik susunan kimia maupun proporsi serat kasar dalam makanan perlu dipertimbangkan. Presentase protein kasar sangat mempengaruhi perkembangan mikroba rumen. protein yang tinggi dapat meningkatkan perkembangan mikroba. Kecernaan Kebanyakan ransum hewan kadar lemaknya rendah dan pengaruhnya pada pemberian makanan secara praktis sangat kecil. Daya cerna suatu bahan makanan atau ransum tergantung pada ketersediaan nutrien yang terkandung di dalamnya. Telah diketahui bahwa daya cerna bahan 8 campuran bahan makanan tidak perlu sama dengan rata-rata daya cerna komponen bahan-bahan yang menyusunnya apabila ditentukan secara tersendiri. Beberapa perlakuan terhadap bahan makanan misalnya pemotongan, penggilingan, dan pemasakan mempengaruhi daya cernanya. Biji-bijian yang tidak dihaluskan lebih dahulu untuk sapi dan babi akan keluar dengan feses tanpa dicerna sehingga akan mengurangi daya cernanya. Bahan makanan yang rendah serat kasarnya, daya cernanya berbeda untuk ruminansia dan non ruminansia. Sementara bahan makanan yang mengandung serat kasar tinggi, dicerna lebih baik oleh ruminansia. Penambahan jumlah bahan makanan yang dimakan mempercepat arus makanan dalam usus sehingga mengurangi daya cerna. Kebutuhan untuk hidup pokok hewan biasanya dipakai sebagai ancar-ancar dalam mencoba pengaruh jumlah makanan terhadap daya cerna. Daya cerna yang tinggi didapat pada jumlah konsumsi sedikit lebih rendah dari kebutuhan hidup pokok (Cheeke dan Patton, 1980). Tingkat kecernaan nutrien dipengaruhi oleh spesies ternak, bentuk fisik ransum, jumlah bahan makanan yang diberikan, komposisi ransum, dan pengaruh terhadap perbandingan dari nutrien lainnya, laju perjalanan digesta dan suhu lingkungan (Maynard dan Loosli, 1956; Anggorodi, 1994). Kandungan serat dalam ransum dapat mempengaruhi kandungan serat dalam feses. Makin tinggi kandungan serat kasar dalam ransum, makin cepat laju pergerakan nutrien sehingga dapat diperkirakan bahwa kecernaan nutrien akan semakin rendah karena untuk mencerna serat kasar diperlukan banyak waktu dan energi (Cheeke dan Patton, 1980). Menurut Anggorodi (1994), maka semakin rendah daya cerna dari ransum tersebut. Kecernaan protein sangat menentukan kecernaan nutrien lainnya. Protein adalah senyawa organik kompleks dengan berat molekul yang tinggi, seperti halnya karbohidrat dan lipida (lemak), protein mengandung unsur-unsur karbon, hidrogen, dan oksigen, tetapi protein mempunyai kelebihan yaitu mengandung nitrogen dan sulfur (Tillman et al., 1998). Protein ditemukan di semua makhluk hidup, yang secara dekat berhubungan dengan semua tahap aktivitas yang membantu kehidupan makhluk hidup. Tiap spesies mempunyai jenis protein sendiri dan organisme tunggal mempunyai banyak protein berbeda pada sel dan jaringan. Hal ini menunjukkan bahwa sejumlah besar protein terdapat di alam (McDonald et al., 1995). Sebaliknya koefisien cerna protein juga bisa menurun dengan semakin banyaknya N feses yang 9 dikeluarkan (Nasution, 1984). Faktor lain yang mempengaruhi kecernaan yaitu kandungan tanin dan lignin dalam ransum. Tanin dapat berikatan dengan membentuk ikatan kompleks protein-tanin, sehingga protein sulit dicerna oleh mikroba. Hubungan kecernaan dan tingkat konsumsi, ada tiga kemungkinan, yaitu: (1) tidak ada hubungan, misal ruminan diberi silase yang banyak mengandung cairan, konsumsi silase dapat menurun, (2) hubungan positif, pada domba dan sapi konsumsi erat kaitannya dengan kecernaan, (3) hubungan negatif, hal ini dapat ditemui pada bahan makanan berkualitas tinggi yang tidak banyak mengandung serat. Bila makanan sukar dicerna, misal mengadung lignin dan silika, maka relatif banyak energi bahan makanan yang keluar dalam bentuk feses. Lemak dan minyak dapat menurunkan kecernaan ransum dalam rumen, hal ini terlihat pada ransum yang berkadar hijauan tinggi, akan tetapi kecernaan karbohidrat yang mudah dicerna dan lemak itu sendiri akan meningkat (Parakkasi, 1999). Pertambahan Bobot Badan Anggorodi (1994), menyatakan bahwa pertumbuhan biasanya dimulai perlahan-lahan kemudian berlangsung cepat dan akhirnya perlahan-lahan lagi atau sama sekali terhenti. Menurut Nafiu (2003), domba yang dipelihara pada kondisi pakan berkualitas baik menunjukkan performans yang lebih baik dibandingkan dengan kelompok domba yang dipelihara pada kondisi pakan berkualitas rendah. Pertumbuhan ternak ditandai dengan peningkatan ukuran, bobot, dan adanya perkembangan (McDonald et al., 2002). Pengukuran kenaikan bobot badan dapat dilakukan dengan penimbangan berulang secara harian, mingguan, dan bulanan (Tillman et al., 1998). Menurut Cheeke (1991), menyatakan bahwa kualitas dan kuantitas pakan mempengaruhi pertambahan bobot badan. Cekaman Panas Stress atau cekaman merupakan suatu indikasi adanya gangguan pada kondisi yang normal pada suatu individu. Cekaman biasanya berhubungan dengan iklim yang ekstrim, misalnya: terlalu dingin atau terlalu panas. Fowler (1999), mengklasifikasikan penyebab stres adalah (1) stressor somatik yang berupa suara keras, cahaya warna mencolok, transportasi, panas, dingin, tekanan, bahan kimia, dan obat. (2) stressor tingkah laku meliputi lokasi kandang yang padat, sehingga 10 aspek teritori, dan hirarki akan dominan. (3) stressor lain adalah malnutrisi, toksin, parasit, agen infeksius, pembedahan, dan imobilisasi fisik atau kimia. Cekaman berhubungan langsung dengan beberapa kelainan metabolisme dalam tubuh (Hafez, 1968). Menurut Scott et al. (1982), cekaman adalah suatu kondisi dimana kesehatan ternak terganggu disebabkan adanya kekuatan lingkungan yang secara terus menerus terjadi pada hewan dan mengganggu proses homeostasis. Kebutuhan nutrien pada ternak dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban. Suhu dan kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan menurunnya konsumsi pakan (Hafez et al., 1969). Williamson and Payne (1978), menyatakan ternak yang menurun nafsu makannya maka konsumsi pakannya akan menurun yang disertai dengan menurunnnya daya cerna. Ternak yang menderita kekurangan pakan akan mengalami kekurangan energi dan ini merupakan gejala defisiensi pakan, akibatnya pertumbuhan menurun bahkan dapat menyebabkan kehilangan berat badan dan menurunnya resistensi terhadap penyakit. Mineral Ransum Mineral Cr merupakan mineral yang tergolong dalam unsur transisi yang mempunyai bilangan oksidasi 0, 2+, 3+, 4+, dan 6+, namun umumnya Cr bervalensi tiga merupakan bentuk yang paling stabil. Unsur Cr2+ jarang terdapat dalam sistem biologis karena jika kontak dengan udara akan ditransformasikan menjadi Cr3+. Unsur Cr4+ bersifat toksik, tetapi dalam saluran pencernaan dapat ditransformasikan menjadi bentuk Cr3+, sedangakn Cr6+ bersifat toksik, dapat berikatan dengan protein dan asam nukleat serta berikatan dengan materi genetik yang menyebabkan Cr6+ bersifat karsinogenik. Unsur Cr6+ dalam saluran pencernaan mengalami bioreduksi menjadi Cr3+ oleh organisme (Groff dan Gropper, 2000). Unsur Cr pertama kali ditemukan oleh Vaguel pada tahun 1797 ketika menyelidiki batu-batuan yang kaya akan Pb crhomate. Nama Cr diambil dari nama Yunani, Chroma yang artinya warna, karena unsur ini berada dalam beberapa warna yang berbeda. Mineral Cr merupakan unsur mikro yang bersifat paling kurang beracun (Groff dan Gropper, 2000). Keracunan yang diakibatkan Cr jarang terjadi disebabkan: (a) terjadinya bioreduksi Cr6+ menjadi Cr3+ oleh berbagai organisme (NRC, 1977), (b) tingkat toleransi hewan terhadap Cr6+ sangat tinggi yaitu lebih dari 1000 ppm bahan kering (BK) pakan dan untuk Cr3+ mencapai 3000 ppm BK pakan 11 (NRC, 1997; Underwood, 1971), (c) senyawa kompleks Cr heksavalen segera diendapakan begitu hendak mencapai usus halus dan hampir tidak dapat diserap karena membentuk kompleks dengan bobot molekul besar (NRC, 1997; Groff dan Gropper, 2000). Linder (1992), melaporkan sistem pengangkutan Cr setelah diserap Unsur Cr diangkut transferin atau protein pengangkut Fe (iron carrier protein) dalam plasma darah. Unsur Cr dapat membentuk senyawa kompleks yang memfasilitasi insulin dalam meningkatkan penggunaan glukosa oleh sel. Namun demikian, belum diketahui apakah GTF (Glucose Toleran Factor) yang dibentuk oleh mikroba dapat diserap melalui usus dan dapat masuk ke dalam darah tanpa perubahan bentuk atau juga terikat dengan transferin. Setelah melalui penyerapan di usus, hampir semua Cr masuk ke dalam hati dan akan digabungkan ke dalam GTF. Sejumlah GTF tertentu akan disekresikan ke dalam darah dan akan tersedia untuk membantu aktifitas insulin. Kadar gula darah yang meningkat, menyebabkan insulin disekresikan ke dalam darah, sehingga GTF akan meningkatkan pengaruh insulin yang disekresikan tersebut. Unsur Cr yang tidak digunakan lagi kemudian disekresikan melalui urin. Peranan Cr dalam metabolisme antara lain meningkatkan potensi aktifitas insulin, yakni sebagai komponen GTF yang dapat meningkatkan asupan glukosa ke dalam sel. Selain esensial dalam metabolisme karbohirat, Cr juga dibutuhkan dalam metabolisme lemak dan protein (Mertz, 1998; NRC, 1997). Peran Cr terkait dengan kinerja hormon insulin, yaitu memacu pembentukan glikogen sebagai energi cadangan yang berasal dari kelebihan glukosa sebagai sumber energi metabolisme baik di organ hati maupun di otot. Suplementasi Cr dapat meningkatkan pasokan glukosa ke dalam sel, produksi CO2 dari oksidasi glukosa dan pembentukan glikogen dari glukosa. Glukosa yang berasal dari hasil hidrolisa karbohidrat di saluran pencernaan akan masuk ke dalam darah yang sebagian dimanfaatkan sebagai sumber energi dalam sel dan sebagian lagi disimpan sebagai energi cadangan dalam bentuk glikogen baik di hati maupun di daging (NRC, 1997; Underwood, 1971). Peran Cr dalam metabolisme lipid tidak tergantung dari pengaruhnya terhadap metabolisme glukosa. Defisiensi Cr dapat menyebabkan hiperkolesterolemia dalam darah. Unsur Cr berperan dalam homeostasis kolesterol darah. Penambahan Cr pada ransum dapat menurunkan level kolesterol darah dan 12 menghambat kecenderungan peningkatan kolesterol seiring dengan meningkatnya umur (Underwood, 1971). Unsur Cr menurunkan kolesterol LDL (Low Density Lipoprotein), triasilgliserol dan meningkatkan kolesterol HDL (High Density Lipoprotein) (NRC, 1997). Defisiensi Cr dapat menyebabkan rendahnya inkorporasi asam amino pada protein hati dan menyebabkan gangguan pengikatan asam amino, di antaranya glisin, serin, dan metionin. Pada sel kelenjar ambing hewan ruminansia, pengambilan glukosa tidak ditentukan oleh insulin, namun insulin sangat dibutuhkan untuk pengambilan asam amino khususnya asam aspartat, valin, isoleusin, leusin, metionin, lisin, asam glutamat, treonin, aspargin, dan tirosin (NRC, 1997; Underwood, 1971). Insulin GTF Cr Transporter Darah (Glukosa) Sel (Energi) Aliran Glukosa Gambar 2. Peran Kromium Dalam Intake Glukosa Darah ke Sel Kebutuhan Cr pada ternak yang mengalami cekaman akan meningkat. Selama kondisi cekaman, terjadi peningkatan metabolisme glukosa secara cepat yang ditandai dengan sekresi hormon kortisol di darah. Kortisol memiliki aksi yang antagonistik dengan insulin karena keberadaannya mencegah masuknya glukosa ke dalam sel jaringan tubuh. Hormon kortisol yang meningkat pada saat cekaman menyebabkan glukosa yang masuk ke dalam sel menurun, sehingga menyebabkan kadar glukosa darah meningkat atau hiperglisemia. peningkatan kadar glukosa darah yang Hal ini mengakibatkan merangsang mobilisasi Cr dari penyimpanannya di dalam tubuh. Unsur Cr yang telah dimobilisasi bersifat tidak dapat kembali (irreversible) dan keluar melalui urin sehingga pada kondisi tercekam peluang terjadinya defisiensi Cr meningkat (Burton, 1995). Hiperglisemia dapat 13 menekan rasa lapar, sehingga merupakan faktor penting bagi kesehatan dan performan pada ternak. Selain hiperglisemia, stres dapat mengganggu pertumbuhan dan bahkan dapat menyebabkan kematian. Oleh karena itu, diperlukan upaya mempercepat kembalinya glukosa darah dalam kadar normal agar tidak menggangu pertumbuhan dan performan ternak selanjutnya (Burton, 1995). Sebanyak 1-2% Ca tersebar dalam tubuh hewan, dengan 99% terdapat dalam tulang dan gigi. Sementara 1% tersebar dalam cairan ekstraseluler, jaringan lunak dan sebagai komponen struktur membran (McDowell, 1992). Menurut Tillman et al. (1998), Ca merupakan unsur ke lima terbanyak dalam tubuh hewan dan manusia, serta merupakan kation terbanyak. Kandungan Phospor yang berlebih dan kemungkinan sulfat juga dapa menggnggu absorbsi Ca dalam usus. Perbandingan Ca dan P yang optimal untuk absorbsi adalah 1,3:1-1,5:1, bila salah satu mineral berlebih, maka akan mengganggu penyerapan unsur lain (Georgievskii,1981). Unsur P di dalam tubuh hewan lebih sedikit daripada Ca, tetapi kedua unsur tersebut saling berhubungan. Sebanyak 80% P terdapat dalam tulang dan gigi, 20% tersebar dalam jaringan lunak tubuh yang berperan penting dalam jaringan aktif (Tillman et al., 1998). Pada ruminansia, saliva merupakan sumber P tambahan. Vitamin D berperan dalam meningkatkan Ca dan P di dalam plasma dengan meransang mekanisme penyerapan dalam usus, memobilisasinya dari tulang serta membatasi eksresinya dalam ginjal (McDowell, 1992). Unsur Mg berkaitan erat dengan Ca dan P, 30% terdapat dalam jaringan lunak, 70% total Mg ditemukan di tulang (McDonald et al., 1995). Tillman et al (1998), mengatakan kandungan Mg di dalam sel-sel nomor dua terbesar setelah K. Kebutuhan mineral Mg domba yang disarankan NRC (1985), adalah 0,12%, 0,15% untuk domba bunting, dan 0,18% untuk domba laktasi. Tempat utama absorbsi Mg pada ruminansia adalah pada bagian reticulorumen. Sekitar 25% Mg diabsorbsi oleh hewan dewasa. Namun jumlah Mg yang diabsorbsi menurun seiring dengan penurunan tingkat mineral di dalam diet. Saat defisiensi Mg, hewan akan meningkatkan mobilisasi Mg cadangan dalam tubuh untuk menggantikan sumbangan dari absorbsi Mg yang rendah (McDowell, 1992). Absorbsi Zn pada domba lebih banyak terjadi di dalam dinding lumen usus halus. Absorbsi Zn berupa transfer Zn dari lumen usus halus menuju mukosa sel. 14 Transfer ini diatur oleh metallothionein. Sintesis metallothienin dipengaruhi oleh tingkat Zn dalam ransum dan konsentrasi Zn dalam plasma, sehingga senyawa tersebut dapat mengatur homeostasis Zn di dalam tubuh (McDowell, 1992). Menurut Oetzel dan Barmore (1993), pengaturan mineral ransum menghasilkan perubahan perbedaan kation anion ransum (PKAR). Unsur Na, K, Cl, dan S memiliki pengaruh besar terhadap proses metabolik dalam tubuh. Pada sapi perah keseimbangan kation-anion digunakan untuk meningkatkan produksi susu dan mencegah terjadinya hipocalcemia segera setelah melahirkan. Kation Na, K bersifat basa, sedangkan anion Cl, S, dan P bersifat asam. Neraca Kation Anion Ransum Menurut Oetzel (1993) pengaturan mineral ransum menghasilkan perubahan neraca kation anion ransum (NKAR). Kation dan anion tertentu memiliki pengaruh besar terhadap proses metabolik dalam tubuh. Khususnya, kation natrium dan kalium, dan anion khlorida dan belerang adalah ion utama mempengaruhi status asam-basa dalam tubuh. Kation makanan berasal dari sodium (Na) dan potasium (K) yang bersifat basa, sedangkan anion makanan berasal dari khlor (Cl), Sulfur (S), dan Fosfor (P) bersifat asam. Mineral yang sering digunakan untuk menghitung keseimbangan kation anion, yaitu Na dan K untuk kation serta Cl dan S untuk anion (Harris dan Beede, 1993). 15