BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN I. PENELITIAN

advertisement
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
I.
PENELITIAN PENDAHULUAN
Penelitian
pendahuluan
dilakukan
untuk
menentukan
waktu
perendaman dan waktu germinasi terbaik untuk memproduksi sampel. Hal
ini penting untuk mencegah kegagalan dalam jumlah yang cukup besar.
Waktu perendaman dan waktu germinasi yang tidak sesuai akan
mengakibatkan kecambah menjadi tidak dapat tumbuh atau bahkan dapat
menjadi busuk.
Waktu perendaman penting untuk diketahui karena lamanya waktu
perendaman akan menentukan seberapa banyak air yang dapat masuk ke
dalam biji (imbibisi) sehingga dapat mempengaruhi kondisi lingkungan
yang dibutuhkan dalam proses germinasi. Imbibisi air ini sangat penting
karena digunakan untuk rehidrasi biji yang menjadi tahap awal dalam proses
germinasi (Bewley dan Black, 1983). Kacang komak memiliki kulit biji
yang cukup tebal yaitu sekitar 0.1 ± 0.01 mm sehingga diperlukan perlakuan
khusus agar air dapat lebih mudah untuk masuk ke dalam biji. Salah satu
perlakuannya adalah dengan penggunaan air bersuhu 50oC sebagai media
perendaman.
Air
bersuhu
50oC
digunakan
untuk
mempersingkat
waktu
perendaman karena peningkatan suhu air rendaman dapat meningkatkan
kecepatan imbibisi air ke dalam biji. Kelemahan dari penggunaan air
bersuhu lebih tinggi adalah dapat melarutkan beberapa vitamin dan mineral
yang larut air bersama oligosakarida, fitat, dan tanin. Akan tetapi pada air
bersuhu 50oC, kehilangan total padatan, komponen N, total gula,
oligosakarida, Ca, Mg, dan tiga vitamin larut air (thiamin, riboflavin, dan
niasin) hilang dalam jumlah sedikit. Ketika suhu meningkat menjadi 60oC,
kehilangan nutrisi akan meningkat tajam (Salunkhe, et al., 1985).
Waktu perendaman yang diukur adalah 12 jam dan 24 jam
sedangkan waktu germinasi masing-masing waktu perendaman adalah 24,
30, 36, dan 42 jam. Waktu perendaman ini dipilih berdasarkan pada proses
pembuatan kecambah secara umum yaitu biji direndam selama 12-24 jam
dan diggerminasi paada ruang geelap selama 24-48
2
jam (S
Salunkhe, ett al., 1985).
Tiap perlakuan
p
waaktu perendaman dan waktu
w
germinnasi digunak
kan 40 biji
kacangg komak sebagai saampel. Hasiil pengamaatan terhaddap waktu
perenddaman dan waktu gerrminasi kaccang komakk dapat dilihat pada
Lampiiran 1.
Proses perk
kecambahann dimulai denngan pengam
mbilan air deengan cepat
m
kan jaringan biji mengem
mbang dan m
merentangnya kulit biji.
yang mengakibatk
Pengam
mbilan air diikuti
d
dengaan keluarnyaa panas yangg mencirikann hilangnya
energi kinetik akibbat diambilnnya energi air
a (Taylorsoon, 1984). Berdasarkan
B
pengam
matan, penin
ngkatan berrat kacang komak
k
setelah perendaaman yaitu
sekitarr 156-187 % terhadap berat
b
kering kacang kom
mak. Menurrut Bewley
dan Bllack (1983),, setelah im
mbibisi awal dan hidrasi pada dinding sel dan
kompo
onen sel teerjadi, beberrapa matrik
ks seperti ccadangan prrotein dan
karboh
hidrat pada organ
o
penyim
mpanan dihidrolisis mennjadi molekuul berbobot
rendah
h. Persentasee peningkataan berat bijii setelah perrendaman daapat dilihat
pada Gambar
G
9.
Gamb
bar 9. Grafiik persentase peningkattan berat bijji setelah perendaman
terhaddap berat kering biji kaccang komak
Kacang koomak memiliki tipe germ
minasi epigeeal dan mem
miliki ratarata keecepatan gerrminasi 85-95% (Kay, 19
979) atau m
minimal 75% (Skerman,
1977). Epigeal yaiitu jika kotiiledon teranggkat ke atass tanah. Besaarnya daya
pertum
mbuhan dari hipokotil m
menyebabkaan pola perttumbuhan inni (Bewley
dan Bllack, 1983). Persentase jumlah
j
kecambah kacanng komak yaang tumbuh
paling besar terdap
pat pada perrlakuan pereendaman selaama 12 jam dan waktu
germinnasi 30 jam
m yaitu 67.5%
% dengan panjang
p
radiikel rata-ratta 2.66 cm
sedanggkan paling kecil
k
terjadi pada perlaku
uan perendaaman 12 jam
m dan waktu
germinnasi 24 jam
m yaitu 50%
% dengan paanjang radikkel rata-rataa 2.24 cm.
Perlaku
uan germinaasi 36 dan 422 jam mengh
hasilkan kecaambah yangg berakar.
Panjang raddikel dan peersentase jum
mlah kecambbah yang dappat tumbuh
d
leebih kecil dibandingkan
d
n yang dihaasilkan padaa penelitian
yang dihasilkan
Cabrejas, et al (20007) yaitu panjang radikkel berkisar antara 4.4-5
5.9 cm dan
persen
ntase germinnasi antara 81-84%. Oleh
O
karenaa itulah maaka waktu
perend
daman 12 jam
m dan waktuu germinasi 30 jam diam
mbil sebagaii perlakuan
untuk produksi saampel. Perseentase kecam
mbah kacangg komak yanng tumbuh
w
peren
ndaman dan waktu germ
minasi yang berbeda dip
perlihatkan
pada waktu
%kecambah yang tumbuh
pada Gambar
G
10.
70.00
0
60.00
0
50.00
0
40.00
0
30.00
0
20.00
0
10.00
0
0.00
0
57.50
50.00
24
67.50
60..00
30
52.5055.000
36
65.00
55.00
42
Waktu gerrminasi (jam
m)
waktu rendam 12 jam
waktu rendam 24 jam
Gamb
bar 10. Perseentase kecam
mbah kacangg komak yanng tumbuh pada
p
waktu
perenddaman dan w
waktu germinnasi yang beerbeda
J.
PEMBUATAN KECAMBAH DAN TEPUNG KECAMBAH KACANG
KOMAK
Kecambah kacang komak (Lablab purpureus (L.) Sweet) dibuat
dengan cara merendam kacang komak yang telah disortir berdasarkan
keadaan fisik yaitu yang tidak berlubang, rusak, dan patah. Perendaman
dilakukan dalam air bersuhu 50oC selama 12 jam yaitu sesuai dengan
penelitian
pendahuluan
sebelumnya.
Air
bersuhu
50oC
ini
akan
mempercepat imbibisi air ke dalam biji karena terjadi pelunakan kulit biji
kacang komak yang tebal. Perbandingan antara kacang komak dengan air
adalah 1:3 mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Cabrejas, et al.
(2007). Perendaman selama 12 jam akan melarutkan senyawa-senyawa
antinutrisi yang bersifat toksik seperti tripsin inhibitor, hemaglutinin,
alkaloid, dan saponin sehingga menghasilkan air rendaman yang berbusa.
Kacang komak yang telah direndam kemudian ditiriskan dan
ditempatkan dalam wadah berlubang yang telah dilapisi dengan daun pisang.
Penggunaan wadah berlubang dikarenakan untuk mencegah genangan air
dalam wadah sehingga biji tidak mudah menjadi busuk. Daun pisang
merupakan media yang cukup baik dalam menjaga kelembaban di dalam
wadah. Penggunaan daun pisang sebagai media germinasi telah dilakukan
pada pembuatan kecambah secara tradisional selain dari penggunaan kain
saring dan kain lap basah. Kacang komak tersebut lalu digerminasi selama
30 jam dalam ruang gelap bersuhu ruang (35oC). Kecambah kacang komak
yang dihasilkan diperlihatkan pada Gambar 11.
Gambar 11. Kecambah kacang komak (Lablab purpureus (L.) Sweet
dengan waktu perendaman 12 jam dan waktu germinasi 30 jam.
Setelah penyimpanan dalam ruang gelap selama 30 jam, sesegera
mungkin dilakukan pengeringan untuk mencegah tumbuhnya mikroba
seperti kapang karena kadar air dan aktivitas air dalam biji sangat tinggi
akibat proses perendaman. Pengeringan dilakukan dengan menggunakan
oven pengering bersuhu 50oC selama 24 jam. Kecambah yang telah kering
kemudian digiling menggunakan pin disc mill dengan ayakan 60 mesh untuk
menyeragamkan ukuran. Tepung kecambah kacang komak dan tepung
kontrol yang dihasilkan diperlihatkan pada Gambar 12.
Gambar 12. Tepung kecambah kacang komak (kiri) dan tepung kontrol
(kanan) yang dihasilkan
K.
PEMBUATAN KONSENTRAT PROTEIN KECAMBAH KACANG
KOMAK
Konsentrat protein adalah hasil olah atau hasil ekstraksi dari suatu
bahan organik sehingga kadar proteinnya menjadi lebih tinggi dibandingkan
dengan pada bahan asalnya (Muchtadi, 1991). Menurut Siegel dan Fawcett
(1976), penamaan konsentrat protein kacang-kacangan diberikan pada
produk tinggi protein yang dipersiapkan dengan metode presipitasi protein
pada kacang-kacangan. Konsentrat protein dibuat berdasarkan metode
ekstraksi dan presipitasi protein pada titik isoelektriknya.
Tepung kecambah yang dihasilkan sebelumnya dilarutkan dalam
akuades dengan perbandingan 1:6-8 kemudian diatur pHnya menjadi 9
dengan NaOH 1 N. Menurut Cheftel et al. (1985), pemilihan suasana basa
sebagai pH selama ekstraksi berdasarkan pada kenyataan bahwa sebagian
besar asam amino akan bermuatan negatif pada pH di atas titik
isoelektriknya, muatan sejenis cenderung untuk tolak-menolak. Hal ini
menyebabkan minimumnya interaksi antara residu-residu asam amino yang
berarti kelarutan protein akan meningkat. Perlakuan pemanasan 50-51oC
selama 1 jam akan meningkatkan kelarutan protein karena kelarutan protein
dipengaruhi oleh suhu dan meningkat kelarutannya pada suhu antara 4050oC (Zayas, 1997).
Pengendapan terjadi karena adanya pemisahan antara komponen
protein larut dan komponen nonprotein yang tidak larut. Filtrat kemudian
dipisahkan dengan endapannya melalui penyaringan sehingga didapatkan
filtrat yang hanya mengandung protein yang larut. Pengendapan filtrat
dilakukan pada pH 4.5 yang merupakan titik isoelektrik kacang komak
(Subagio, 2006). Pada titik isoelektrik ini, jumlah muatan protein adalah nol,
gaya tarik menarik menjadi dominan dan molekul-molekul mulai berasosiasi
yang ditandai dengan ketidaklarutan (Zayas, 1997). Kelarutan globulin juga
mendekati minimum pada pH 4.5 (Siegel dan Fawcett, 1976).
Protein yang mengendap pada titik isoelektrik tersebut kemudian
dipisahkan dengan disentrifus pada kecepatan 4000 rpm. Komponen protein
dan nonprotein yang larut akan terpisah dan berada di dalam supernatan
sedangkan protein yang tidak larut akan berada di dalam endapan. Endapan
ini kemudian dipisahkan dan ditempatkan dalam wadah loyang. Kemudian
endapan dikeringkan menggunakan oven vakum bersuhu 45oC selama 24
jam. Konsentrat protein yang telah kering kemudian diblender kering untuk
memperkecil dan menyeragamkan ukurannya. Konsentrat protein kecambah
kacang komak dan konsentrat protein kontrol diperlihatkan pada Gambar 13.
Gambar 13. Konsentrat protein kecambah kacang komak (kiri) dan
konsentrat protein kontrol (kanan) yang dihasilkan
L.
PEMBUATAN
FRAKSI
PROTEIN
KECAMBAH KACANG KOMAK
DAN
NONPROTEIN
Pembuatan fraksi protein dan nonprotein dari kecambah kacang
komak memiliki kesamaan prinsip pembuatan dengan konsentrat protein
kecambah kacang komak. Akan tetapi komponen protein yang dihasilkannya
lebih
murni
dibandingkan
pengkonsentratan
protein
biasa.
Proses
pembuatannya berdasarkan prinsip ekstraksi dan presipitasi protein
(Suwarno, 2003).
Tepung kecambah kacang komak dilarutkan dalam akuades dengan
perbandingan 1:10 (tepung kecambah:akuades) bersuhu 60oC. Kemudian
diekstraksi alkalik pada pH 8.5 – 8.7 dengan NaOH 2N pada suhu 60 oC
selama 30 menit. Ekstraksi alkalik pada suhu 60oC ini berfungsi untuk
melarutkan protein seperti halnya pada pembuatan konsentrat. Larutan
kemudian disentrifus 2000 rpm untuk memisahkan komponen protein yang
larut dengan komponen nonprotein yang tidak larut. Komponen yang tidak
larut dan mengendap sebagai residu tersebut ialah fraksi nonprotein.
Setelah pemisahan antara residu (fraksi nonprotein) dengan
supernatan, residu dikeringkan dalam oven pengering 50oC selama 12 jam
sedangkan supernatannya diolah untuk proses ekstraksi selanjutnya.
Supernatan
yang
terpisah
ini
mengandung
fraksi
protein.
Untuk
mengendapkan proteinnya, dilakukan ekstraksi asidik pada pH 4.5 dengan
penambahan HCl 2N. Pada pH 4.5, protein kecambah kacang komak
mengendap karena pada pH isoelektrik (pI) muatan gugus amino dan
karboksil bebas akan saling menetralkan sehingga bermuatan nol (Winarno,
1992) sehingga gaya tarik-menarik akan dominan dan protein menjadi tidak
larut.
Proses sentrifus akan memisahkan komponen protein yang tidak
larut (residu) dengan komponen nonprotein yang larut (supernatan). Fraksi
protein adalah komponen protein yang tidak larut. Residu fraksi protein ini
kemudian dikeringkan dalam oven pengering bersuhu 50oC selama 12 jam.
Kedua fraksi yang telah kering kemudian diblender kering dan disimpan
dalam refrigerator untuk analisis kapasitas antioksidan.
M.
ANALISIS PROKSIMAT
Tabel 6. Komposisi kimia konsentrat protein kecambah kacang komak dan
konsentrat protein kontrol (Lablab purpureus (L.) Sweet) x
Jenis konsentrat protein
Komponen
Kontrol
Kecambah
Air (%)
12.98 ± 0.28b
11.68 ± 0.44a
Abu (%)
3.89 ± 0.00b
3.57 ± 0.30a
Protein (%)
72.28 ± 0.92b
47.71 ± 12.48a
Lemak ( %)
1.51 ± 0.63a
1.56 ± 0.49a
Karbohidrat (%) y
9.33 ± 1.64b
35.48 ± 12.93a
x
dihitung berdasarkan basis kering
dihitung menggunakan by difference dari air, abu, protein, dan lemak
a, b
angka dengan huruf yang berbeda dalam tiap baris yang sama
menunjukkan perbedaan nyata pada signifikansi 5% dengan paired
sample t-test
y
a.
Kadar air
Kadar air suatu bahan pangan sangat mempengaruhi terhadap
daya simpannya. Kadar air juga mempengaruhi kualitas suatu bahan
pangan. Jika kadar air bahan terlalu tinggi, maka bahan tersebut akan
rentan terserang kerusakan baik secara fisik, kimia, maupun
mikroorganisme.
Kadar air dari konsentrat protein kecambah dan konsentrat protein
kontrol ditunjukkan pada Tabel 6. dan Lampiran 2. Berdasarkan
pengukuran terhadap kadar air, diketahui bahwa kadar air konsentrat
protein kecambah kacang komak dan konsentrat protein kontrol
berturut-turut adalah 11.68 ± 0.44% dan 12.98 ± 0.28% dalam basis
kering.
Kadar air yang lebih rendah pada konsentrat protein kecambah
kacang komak karena proses perendaman dalam perkecambahan
mengakibatkan peningkatan permeabilitas dinding sel sehingga difusi
air lebih mudah dan komponen terlarut keluar dari bahan (Muchtadi dan
Sugiyono, 1992). Winata (2001) juga menyebutkan pembengkakan
granula yang irreversible cenderung memiliki rongga antar sel yang
lebih besar sehingga selama pengeringan, air yang dikandung lebih
mudah terlepas.
Berdasarkan teori yang ada, seharusnya peningkatan kadar air
berkorelasi dengan kenaikan aktivitas air ataupun daya serap air. Hal ini
terkait pada kemampuan gugus hidrofil pada permukaan untuk
mengikat air bebas. Ketidakterkaitan antara kadar air, Aw, dan daya
serap air dalam penelitian karena diduga proses pengeringan kecambah
ataupun konsentrat yang dilakukan kurang terstandarisasi. Proses
pengeringan yang terlalu lama menyebabkan jumlah air yang keluar
menjadi lebih banyak.
Data hasil pengukuran terhadap kadar air kemudian diuji
menggunakan paired sample t-test pada selang kepercayaan 95%. Hasil
pengolahan statistik data hasil pengukuran kadar air dapat dilihat pada
Lampiran 23. Berdasarkan pengujian statistik diketahui bahwa kedua
sampel berbeda nyata kadar airnya (p<0.05). Perbedaan yang nyata
antara kedua sampel ditandai dengan huruf yang berbeda dibelakang
angka.
b. Kadar abu
Kadar abu dari konsentrat protein kecambah dan konsentrat
protein kontrol ditunjukkan pada Tabel 6. dan Lampiran 3. Berdasarkan
pengukuran terhadap kadar abu, diketahui bahwa kadar abu konsentrat
protein kecambah kacang komak dan konsentrat protein kontrol
berturut-turut adalah 3.57 ± 0.30% dan 3.89 ± 0.00% dalam basis
kering.
Kadar abu yang lebih rendah pada konsentrat protein kecambah
dibandingkan pada konsentrat protein kontrol disebabkan adanya
pelarutan elemen makro dan mikro mineral yang larut air selama proses
perendaman saat perkecambahan. Penggunaan air bersuhu lebih tinggi
akan menyebabkan kehilangan yang lebih besar pada komponenkomponen yang larut dalam air seperti vitamin larut air dan beberapa
mineral yang larut air (Salunkhe, et al., 1985).
Data hasil pengukuran terhadap kadar abu kemudian diuji
menggunakan paired sample t-test pada selang kepercayaan 95%. Hasil
pengolahan statistik data hasil pengukuran kadar abu dapat dilihat pada
Lampiran 24. Berdasarkan pengujian secara statistik diketahui bahwa
kedua sampel berbeda nyata (p<0.05) kadar abunya yang ditandai
dengan huruf yang berbeda dibelakang angka.
c.
Kadar protein
Kadar protein dari konsentrat protein kecambah dan konsentrat
protein kontrol ditunjukkan pada Tabel 6 dan Lampiran 4. Berdasarkan
pengukuran terhadap kadar protein, diketahui bahwa kadar protein
konsentrat protein kecambah kacang komak dan konsentrat protein
kontrol berturut-turut adalah 47.71 ± 12.48% dan 72.28 ± 0.92% dalam
basis kering.
Kadar protein pada proses perkecambahan awalnya akan
meningkat karena proses germinasi akan mengaktifkan enzim protease
untuk memecah protein menjadi asam-asam amino. Namun, ketika
tepung kecambah tersebut kembali diproses menjadi konsentrat protein,
beberapa asam amino dapat hilang dan larut bersama air. Molekulmolekul asam amino yang lebih kecil akan cenderung larut dalam air.
Menurut Damodaran (1996), beberapa protein albumin yang kaya akan
sulfur pada umumnya dapat larut pada pH isoelektrik sehingga dapat
hilang bersama supernatan.
Menurut Subagio (2006), pada pembuatan isolat protein kacang
komak, presipitasi pH yang digunakan tidak bisa mendapatkan seluruh
ekstrak protein karena hanya 50% ekstrak protein yang dapat
mengendap pada pH 4-4.5. Proses perendaman dapat memicu reaksi
hidrolisis protein menjadi polipeptida yang lebih kecil yang tidak dapat
mengendap pada pH 4. Hasil ini mengindikasikan bahwa biji kacang
komak memiliki protein dengan kelarutan yang baik pada pH rendah.
Selain itu, menurut Swanson (1990), ternyata proses ekstraksi alkali
pada protein dapat menyebabkan penurunan asam amino esensial
seperti sistein dan lisin.
Kadar protein konsentrat protein kecambah berada dibawah
standar untuk disebut sebagai konsentrat protein yaitu 60-70% dalam
basis kering (Hanson, 1974). Akan tetapi, Muchtadi (1991) juga
menyatakan bahwa konsentrat protein adalah hasil olah atau hasil
ekstraksi dari suatu bahan organik sehingga kadar proteinnya menjadi
lebih tinggi dibandingkan dengan pada bahan asalnya. Peningkatan
kadar protein konsentrat protein kecambah kacang komak ini
ditunjukkan dari kadar protein tepung kecambah kacang komak yaitu
25.16% (bk) (Anita, 2009) kemudian meningkat menjadi 47.71% (bk)
dalam bentuk konsentratnya.
Data hasil pengukuran terhadap kadar protein kemudian diuji
menggunakan paired sample t-test pada selang kepercayaan 95%. Hasil
pengolahan statistik data hasil pengukuran kadar protein dapat dilihat
pada Lampiran 25. Berdasarkan pengujian secara statistik diketahui
bahwa kedua sampel berbeda nyata (p<0.05) kadar proteinnya. Kadar
protein kosentrat protein kecambah dan konsentrat protein kacang
komak lebih rendah dibandingkan konsentrat protein pada mucuna bean
(Mucuna pruriens) yaitu 78.3%.
d. Kadar lemak
Kadar lemak dari konsentrat protein kecambah dan konsentrat
protein kontrol ditunjukkan pada Tabel 6 dan Lampiran 5. Berdasarkan
pengukuran terhadap kadar lemak, diketahui bahwa kadar lemak
konsentrat protein kecambah kacang komak dan konsentrat protein
kontrol berturut-turut adalah 1.56 ± 0.49% dan 1.51 ± 0.63% dalam
basis kering.
Kadar lemak dipengaruhi oleh degradasi lemak akibat aktivitas
enzim lipase. Enzim lipase ini akan memecah lemak menjadi asam-
asam lemak bebas. Peningkatan kadar lemak pada konsentrat protein
kecambah kacang komak dapat dikarenakan meningkatnya aktivitas
enzim lipase. Enzim lipase dapat aktif dengan adanya keberadaan air
karena enzim lipase merupakan enzim hidrolitik yang membutuhkan air
untuk memecah lemak.
Menurut Swanson (1990), selama solubilisasi dan ekstraksi isolat
protein sayuran, beberapa materi nonprotein seperti polifenolik, klorofil
dan karotenoid, fitat, dan lipid serta produk turunannya dapat ikut
terekstrak. Flavor beany, pahit, flavor seperti kertas karton pada
beberapa isolat protein kacang-kacangan dapat menyebabkan konversi
asam lemak tidak jenuh menjadi aldehid, keton, dan alkohol. Oksidasi
lipid kemungkinan terjadi selama penyimpanan biji, proses ekstraksi
alkali, atau penyimpanan isolat protein yang dapat menghasilkan flavor
hasil oksidasi yang tidak diinginkan.
Data hasil pengukuran terhadap kadar lemak kemudian diuji
menggunakan paired sample t-test pada selang kepercayaan 95%. Hasil
pengolahan statistik data hasil pengukuran kadar lemak dapat dilihat
pada Lampiran 26. Berdasarkan pengujian secara statistik diketahui
bahwa kedua sampel tidak berbeda nyata (p>0.05) kadar lemaknya. Hal
ini diduga karena kadar lemak awal dari kacang komak cukup rendah
yaitu hanya 1.06% (bk) (Anita, 2009) sehingga cenderung sedikit
pemecahan lemak yang terjadi.
e.
Kadar karbohidrat
Kadar karbohidrat dari konsentrat protein kecambah dan
konsentrat protein kontrol ditunjukkan pada Tabel 6 dan Lampiran 6.
Berdasarkan pengukuran terhadap kadar karbohidrat, diketahui bahwa
kadar karbohidrat konsentrat protein kecambah kacang komak dan
konsentrat protein kontrol berturut-turut adalah 35.48 ± 12.93% dan
9.33 ± 1.64% dalam basis kering.
Kadar karbohidrat yang masih tinggi ini dimungkinkan tahap
yang dilalui kecambah kacang komak masih dalam tahap awal.
Pomeranz (1991) menjelaskan bahwa pada tahap awal perkecambahan,
minyak dalam biji dipecah dan asam lemak bebas terbentuk lalu dinding
sel didegradasi diikuti dengan pemecahan protein. Hanya pada tahap
lanjut, perkecambahan akan mengubah pati menjadi gula.
Kadar karbohidrat dihitung berdasarkan metode by difference
yaitu kadar karbohidrat merupakan hasil selisih antara 100% kadar
nutrisi dalam bahan dengan jumlah antara kadar air, kadar abu, kadar
protein, dan kadar lemak. Kadar karbohidrat yang masih sangat besar
pada konsentrat protein kecambah kacang komak diduga terjadi karena
penurunan kadar air, kadar abu, dan kadar protein.
Data hasil pengukuran terhadap kadar karbohidrat kemudian diuji
menggunakan paired sample t-test pada selang kepercayaan 95%. Hasil
pengolahan statistik data hasil pengukuran kadar karbohidrat dapat
dilihat pada Lampiran 27. Berdasarkan pengujian secara statistik
diketahui bahwa kedua sampel berbeda nyata (p<0.05) kadar
karbohidratnya.
N.
ANALISIS SIFAT FISIKOKIMIA
f.
Derajat warna
Pengukuran nilai Y, x, dan y dilakukan dengan menggunakan
Chromameter CR-310 Minolta. Nilai Y, x, dan y ini kemudian
dikonversi menjadi nilai X, Y, dan Z yang disebut dalam sistem CIE.
Sistem CIE akan mentransformasi refleksi atau transmisi objek ke
dalam warna tiga dimensi menggunakan penyebaran kekuatan spektrum
iluminasi dan kesesuaian fungsi warna dengan standar yang diukur
(MacDougall, 2002). Sistem CIE kemudian ditransformasi lagi menjadi
sistem CIELAB yaitu menggunakan penerjemahan L, a, dan b. Nilai L,
a, dan b pada konsentrat protein kecambah dan konsentrat protein
kontrol dapat diperlihatkan pada Lampiran 7 dan Gambar 14.
Berdasarkan pengukuran terhadap derajat warna, diketahui
bahwa konsentrat protein kecambah kacang komak memiliki nilai L
lebih tinggi dibandingkan kontrol yaitu 57.34 sedangkan kontrolnya
56.75. Nilai a menunjukkan bahwa konsentrat kecambah (3.41) lebih
rendah dibandingkan kontrol (3.51). Sedangkan nilai b menunjukkan
bahwa konsentrat kecambah lebih tinggi nilai b nya (13.12)
dibandingkan pada kontrolnya (12.81). Akan tetapi ketiga pengukuran
L, a, dan b ini tidak berbeda nyata (p>0.05) pada selang kepercayaan
95%. Hasil pengujian statistik derajat warna dapat dilihat pada
Derajat warna
Lampiran 28.
70
60
50
40
30
20
10
0
a
a
56.75 57.34
b
b
3.51 3.41
L
a
c
c
12.81 13.12
b
Parameter warna
Kontrol
Kecambah
Gambar 14. Nilai L, a, dan b konsentrat protein kecambah kacang
komak dan kontrol. Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada grafik
menunjukkan tidak berbeda nyata (paired sample t-test pada α = 5%)
Pengukuran warna dengan kolorimeter biasanya juga dinyatakan
dengan perbedaan antara warna contoh dengan standar atau kontrol.
Konsentrat kecambah memiliki perbedaan L yang positif dengan
kontrol yang menunjukkan bahwa contoh lebih putih dibandingkan
kontrol. Hal ini sejalan dengan nilai derajat putih konsentrat kecambah
yang lebih besar dibandingkan kontrol. Perbedaan nilai a yang negatif
antara contoh dengan kontrol menunjukkan bahwa contoh lebih hijau
dibandingkan kontrol. Kenaikan intensitas warna hijau ini diduga
adanya sintesis klorofil ketika proses perkecambahan berlangsung.
Sedangkan perbedaan yang positif pada nilai b menunjukkan contoh
lebih kuning dibandingkan kontrol.
Secara visual, dapat dilihat pada Gambar 13 bahwa konsentrat
protein kecambah kacang komak memiliki warna yang lebih cerah
dibandingkan konsentrat protein kontrol. Hal ini ditunjukkan dengan
nilai L (lightness) yang lebih besar yaitu 57.34. Peningkatan kecerahan
warna diduga disebabkan karena proses perendaman akan melarutkan
senyawa-senyawa pengotor yang berada di kulit biji. Pengotor ini juga
akan terendapkan bersama komponen nonprotein dalam proses
pembuatan konsentrat protein. Ketika proses pelarutan protein
kemudian dilakukan proses penyaringan, komponen pengotor akan
tertahan disaringan.
g. Derajat putih (Whiteness)
Derajat putih adalah atribut untuk menduga objek mendekati
warna referensi yang lebih putih (Waggle, et al., 1989). Derajat putih
diukur dengan menggunakan parameter warna putih yaitu MgO yang
bernilai 81.6 lalu dikonversi ke standar BaSO4 dengan nilai 110.8.
Derajat putih sangat penting karena dapat mempengaruhi penerimaan
konsumen pada produk terutama produk tepung-tepungan. Derajat putih
pada konsentrat protein kecambah dan konsentrat protein kontrol dapat
diperlihatkan pada Lampiran 8 dan Gambar 15.
25
a
21.4
b
23.5
Derajat putih
20
15
10
5
0
Kontrol
Kecambah
Jenis konsentrat
Gambar 15. Derajat putih konsentrat protein kecambah kacang komak
dan kontrol. Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada grafik
menunjukkan tidak berbeda nyata (paired sample t-test pada α = 5%)
Berdasarkan pengukuran terhadap derajat putih, diketahui
bahwa konsentrat protein kecambah kacang komak memiliki derajat
putih yang lebih tinggi yaitu 23.5 dibandingkan dengan konsentrat
protein kontrol yaitu 21.4. Akan tetapi pada kedua sampel tidak ada
perbedaan yang nyata (p>0.05) dalam derajat putihnya pada selang
kepercayaan 95%. Hasil pengujian statistik derajat putih dapat dilihat
pada Lampiran 29.
Derajat putih memiliki hubungan yang linear dengan nilai L
(Lightness). Semakin tinggi nilai L, maka nilai derajat putih juga
semakin besar. Kenaikan nilai derajat putih konsentrat protein
kecambah kacang komak juga ditandai dengan peningkatan nilai
kecerahan (L). Hal ini disebabkan oleh adanya pelarutan kotorankotoran selama proses germinasi dan juga selama pembuatan
konsentrat. Kotoran akan larut bersama air rendaman maupun
mengendap bersama komponen nonprotein di saringan.
Selama germinasi, terjadi proses degradasi protein menjadi
asam-asam amino. Asam-asam amino yang berukuran molekul lebih
kecil dapat dengan mudah larut dalam air sehingga beresiko terjadi
kehilangan selama pembuatan konsentrat. Asam-asam amino tertentu
seperti lisin dapat mendorong terjadinya reaksi non-enzimatis dengan
komponen gula menghasilkan reaksi mailard. Produk dari reaksi
mailard ini adalah melanoidin yang dapat membentuk warna coklat
pada produk. Oleh karena terjadi kehilangan beberapa asam amino
menyebabkan berkurangnya substrat bagi reaksi mailard sehingga
warna dari konsentrat protein kecambah kacang komak lebih tinggi
dibandingkan konsentrat protein kontrol.
h. Densitas kamba
Densitas kamba merupakan massa partikel yang menempati suatu
unit volume tertentu (Wirakartakusumah, et al., 1992). Densitas kamba
menyatakan keringkasan suatu bahan dalam menempati volume.
Semakin besar densitas kambanya, maka semakin ringkas bahan
tersebut karenna dapat menempati vollume yang ssama dalam berat yang
D
kaamba pada tepung
t
kacaang komak dilaporkan
lebih besar. Densitas
bandingkan
seecara signiffikan (p<0.05) lebih besar denssitasnya dib
keedelai, P. angularis, daan P. calca
atarus (Chauu dan Cheuung, 1998).
Densitas kam
mba pada kkonsentrat protein
p
kecaambah dan konsentrat
prrotein kontrool dapat dipeerlihatkan paada Lampirann 9 dan Gam
mbar 16.
Berdasaarkan penguukuran terh
hadap densiitas kamba, diketahui
baahwa densitaas kamba daari konsentraat protein keccambah kacaang komak
addalah 0.86633 g/ml dan konsentrat
k
prrotein kontrool adalah 0.8597 g/ml.
Densitas kam
mba pada padda kedua sam
mpel tidak bberbeda nyatta (p>0.05)
paada selang kepercayaan
k
95%. Hasil pengujian sttatistik denssitas kamba
daapat dilihat pada
p
Lampirran 30.
Gambar
G
16. Densitas kamba
k
(g/m
ml) konsentrrat protein kecambah
kaacang komakk dan kontrool.
Nilai yang diiikuti oleh huuruf yang sam
ma pada graafik menunjuukkan tidak
beerbeda nyataa (paired sam
mple t-test paada α = 5%)
Densitaas kamba yang
y
lebih besar
b
pada konsentrat kecambah
kaacang komaak dibandinggkan konsen
ntrat protein kontrol meenunjukkan
baahwa pada volume
v
yang sama yaitu 1 ml, konsenntrat proteinn kecambah
daapat menem
mpati volum
me tersebut sebanyak 00.8663 g. Akan
A
tetapi
deensitas kam
mba yang tidak berb
beda nyataa disebabkaan karena
menggunakan
m
n jenis pennggiling dann blender yang samaa sehingga
deensitas kambbanya tidak berbeda nyaata (p>0.05)) antara keddua sampel.
Densitas kamba kedua sampel sedikit lebih tinggi dibandingkan
makanan berbentuk bubuk lainnya yang umumnya berkisar antara 0.300.80 g/ml (Wirakartakusumah, et al., 1992).
i. Aktivitas air (Aw)
Aktivitas air saat ini merupakan parameter yang penting untuk
menunjukkan kebutuhan air atau hubungan air dengan mikroorganisme
dan aktivitas enzim. Kandungan air dalam bahan pangan selalu
berubah-ubah sesuai dengan lingkungannya berhubungan erat dengan
daya awet bahan pangan tersebut (Purnomo, 1995). Pengaruh aktivitas
air sangat luas dalam bidang kimia maupun mikrobiologi pangan yaitu
pengaruhnya terhadap pertumbuhan mikroba, reaksi-reaksi enzimatik
maupun reaksi nonenzimatik (pencoklatan/browning) dan lain-lain
(Fardiaz, et al., 1992). Aktivitas air pada konsentrat protein kecambah
dan konsentrat protein kontrol dapat diperlihatkan pada Lampiran 10
dan Gambar 17.
b
0.636
0.7
Aktivitas air
0.6
0.5
a
0.472
0.4
0.3
0.2
0.1
0
kontrol Jenis konsentrat Kecambah
Gambar 17. Aktivitas air konsentrat protein kecambah kacang komak
dan kontrol.
Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada grafik menunjukkan
perbedaan yang nyata (paired sample t-test pada α = 5%)
Berdasarkan Gambar 17 tersebut, dapat diketahui bahwa
perlakuan germinasi dapat meningkatkan aktivitas air konsentrat protein
menjadi 0.636 dibandingkan konsentrat protein kontrol yaitu 0.472.
Kenaikan aktivitas air ini disebabkan adanya proses imbibisi air ke
dalam biji saat proses perendaman. Aktivitas air di atas 0.6
menunjukkan bahwa konsentrat protein kecambah rentan terhadap
pertumbuhan khamir osmofilik (Pomeranz, 1991). Pengujian dengan
statistik menggunakan paired sample t-test juga menunjukkan
perbedaan yang nyata (p<0.05) antara kedua sampel. Hasil pengujian
statistik dapat dilihat pada Lampiran 31.
Dalam proses germinasi, air digunakan untuk mengaktifkan
enzim-enzim hidrolitik seperti amilase, protease, dan lipase. Enzimenzim ini akan memecah makromolekul seperti karbohidrat, protein,
dan lemak menjadi mikromolekul seperti glukosa, asam amino, dan
asam lemak bebas. Menurut Troller dan Christian (1978), ketika Aw
meningkat maka kecepatan reaksi enzimatik juga akan meningkat. Hal
ini disebabkan adanya peningkatan lubang kapiler yang diisi dengan air
menghasilkan pelarutan substrat yang lebih besar, dan meningkatkan
kecepatan reaksi. Air bebas tersedia untuk mendorong reaksi enzimatis
sehingga reaksi hidrolisis dapat terjadi.
e. Daya cerna protein in vitro
Daya cerna protein secara in vitro menggunakan tiga macam
enzim (multienzim) yaitu tripsin, kimotripsin, dan pankreatin. Pereaksi
folin digunakan untuk mewarnai asam amino yang terbentuk baik dari
bahan itu sendiri maupun yang berasal dari degradasi enzim yang
digunakan. Penentuan secara in vitro dilakukan untuk mengetahui
simulasi pencernaan protein di luar tubuh. Hal ini untuk mengurangi
biaya dan waktu pengujian. Daya cerna protein secara in vitro pada
konsentrat protein kecambah dan konsentrat protein kontrol dapat
diperlihatkan pada Lampiran 11 dan Gambar 18.
Berdasarkan pengujian terhadap daya cerna protein, diketahui
bahwa konsentrat protein kecambah kacang komak memiliki daya cerna
protein yang lebih tinggi yaitu 81.39% sedangkan konsentrat protein
kontrol adalah 28.86%. Kedua sampel ini berbeda nyata (p<0.05) pada
selang kepercayaan 95%. Hasil pengujian statistik terhadap daya cerna
Daya Cerna Protein (%)
protein secara in vitro dapat dilihat pada Lampiran 32.
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
b
81.39
a
28.86
Kontrol
Kecambah
Jenis konsentrat
Gambar 18. Daya cerna protein (%) konsentrat protein kecambah
kacang komak dan kontrol.
Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada grafik menunjukkan
perbedaan yang nyata (paired sample t-test pada α = 5%)
Peningkatan daya cerna protein dengan adanya proses germinasi
disebabkan adanya peningkatan aktivitas protease. Protease inilah yang
akan memecah molekul-molekul besar protein menjadi asam-asam
amino yang berukuran lebih kecil dan lebih sederhana. Hal ini yang
menyebabkan jumlah asam amino yang terkandung dalam konsentrat
protein kecambah kacang komak lebih tinggi dibandingkan konsentrat
protein kontrol. Selain itu, kenaikan daya cerna protein disebabkan
adanya penurunan aktivitas enzim inhibitor dan hidrolisis asam fitat
yang setara dengan degradasi protein. Penurunan tripsin inhibitor pada
kacang komak yang digerminasi adalah sebesar 19.39% dan asam fitat
tereduksi sebanyak 48.94% (Osman, 2007)
Oleh karena protein-protein yang terkandung dalam konsentrat
protein kecambah telah terpecah menjadi asam-asam amino, maka
multienzim dalam pengujian daya cerna protein dapat dengan mudah
mendegradasinya menjadi molekul yang lebih mudah dicerna dan
diserap. Kenaikan jumlah asam amino inilah yang diukur dengan
pewarnaan folin. Menurut Osman (2007), daya cerna protein secara in
vitro pada kecambah Dolichos lablab adalah 92.27% dan nilai daya
ceerna ini leebih tinggii dibandinggkan efek proses peerendaman,
peemasakan, pemanggangaan, autoklaf, dan mentahh.
O
O.
ANAL
LISIS SIFAT FUNGSIO
ONAL PRO
OTEIN
a.
Daya serap air
a
Protein
n merupakann komponenn yang palingg berpengaruuh terhadap
daaya serap aiir suatu bahhan meskipu
un komponen-komponen
n lain juga
beerpengaruh. Gugus asaam amino polar
p
yang terdapat paada protein
tersebut paling
g berpengaruuh terhadap daya serap aair. Gugus amino
a
polar
tersebut seperrti karbonil,, hidroksil, amino, karbboksil, dan sulfihidril.
Siisi kationik, anionik, daan nonionik menyerap aair dalam ju
umlah yang
beerbeda-beda (Fardiaz, et al., 1992).
Daya serap air ditentukan
d
d
dengan
cara menambahkkan air ke
daalam bahan kemudian membiarkann air dengaan bahan beerinteraksi.
Ju
umlah air yang
y
terseraap merupakaan selisih jjumlah air mula-mula
deengan jumlaah air setelahh sentrifusi. Hasil penggukuran daya serap air
ko
onsentrat pro
otein kecambbah dan konnsentrat proteein kontrol ditunjukkan
d
paada Lampiraan 12 dan Gaambar 19.
Gambar
G
19. Daya serap air (%) konnsentrat protein kecambbah kacang
ko
omak dan ko
ontrol.
Nilai yang diiikuti oleh huuruf yang sam
ma pada graafik menunjuukkan tidak
beerbeda nyataa (paired sam
mple t-test paada α = 5%)
Berdassarkan hasill pengukuraan tersebut ddiketahui baahwa daya
seerap air konnsentrat prottein kecamb
bah kacang komak
k
yaituu 380.89%
lebih tinggi dibandingkan konsentrat protein kontrol yaitu 282.78%.
Menurut Zayas (1997), peningkatan kelembaban relatif dan aktivitas air
akan menyebabkan gugus polar mengikat lebih banyak air sehingga
membentuk multilayer air di sekeliling gugus polar protein. Hal ini
terjadi pada kenyataan bahwa meningkatnya aktivitas air pada
konsentrat protein yang diberi perlakuan germinasi akibat adanya
proses perendaman selama 12 jam.
Germinasi akan menyebabkan terjadinya denaturasi parsial
sehingga terjadi modifikasi terhadap struktur sekunder, tersier, dan
kuartener pada molekul protein tanpa terjadinya pemecahan ikatanikatan kovalen. Denaturasi dapat menyebabkan terbukanya lipatan
polipeptida (Winarno, 1992). Pembukaan rantai polipeptida akan
menyebabkan pengikatan air yang lebih banyak daripada bentuk
globular (Fardiaz, et al., 1992). Proses denaturasi ini terjadi karena
adanya kinerja enzim-enzim proteolitik yang dapat membuka rantai
polipeptida. Enzim-enzim ini diduga menyerang dengan lebih mudah
ketika proses perendaman yang dapat menyebabkan pembengkakan
granula-granula. Jarak antar granula yang lebih besar menyebabkan
enzim lebih mudah membuka rantai polipeptida tersebut.
Daya serap air yang diukur kemudian dilakukan pengujian
menggunakan paired sampel t-test pada selang kepercayaan 95%. Hasil
pengujian statistik dapat dilihat pada Lampiran 33. Berdasarkan
pengujian tersebut, diketahui bahwa daya serap air konsentrat protein
kecambah kacang komak tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan
konsentrat protein kontrol. Daya serap air konsentrat protein kecambah
kacang komak juga lebih tinggi jika dibandingkan daya serap air isolat
protein kacang komak yaitu 321% (Subagio, 2006) dan pada konsentrat
protein lentil (105%) serta kacang kapri (118%) (Swanson, 1990).
Penggunaan daya serap air dalam produk pangan diantaranya pada
produk-produk pangan seperti sosis, roti dan cake.
b. Daya serap minyak
Kemampuan penyerapan minyak atau lemak tergantung pada
struktur proteinnya. Menurut Lin, et al. (1974), struktur protein yang
bersifat lipofilik disebabkan oleh kandungan cabang protein nonpolar
yang lebih dominan, sehingga berkontribusi terhadap meningkatnya
daya serap minyak. Daya serap minyak dari konsentrat protein
kecambah kacang komak dan konsentrat protein kontrol ditunjukkan
Daya serap minyak (%)
pada Lampiran 13 dan Gambar 20.
b
318.04
350
300
250
a
209.89
200
150
100
50
0
Kontrol
Kecambah
Jenis konsentrat
Gambar 20. Daya serap minyak (%) konsentrat protein kecambah
kacang komak dan kontrol.
Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada grafik menunjukkan
perbedaan yang nyata (paired sample t-test pada α = 5%)
Berdasarkan pengukuran daya serap minyak pada kedua jenis
konsentrat protein tersebut, diketahui bahwa daya serap minyak
konsentrat protein kecambah kacang komak lebih tinggi yaitu 318.04%
dibandingkan konsentrat protein kontrol yaitu 209.89%. Pengujian
secara statistik dengan paired sample t-test menunjukkan perbedaan
yang nyata (p<0.05) antara kedua sampel pada selang kepercayaan
95%. Hasil pengujian statistik daya serap minyak dapat dilihat pada
Lampiran 34.
Daya serap minyak dipengaruhi oleh sumber protein, kondisi
proses, komposisi bahan tambahan lain, ukuran partikel, dan suhu
(Zayas, 1997). Seperti halnya dengan daya serap air, kenaikan daya
serap minyak pada konsentrat yang diberi perlakuan germinasi diduga
karena meningkatnya jumlah gugus nonpolar akibat proses denaturasi
oleh enzim-enzim proteolitik. Denaturasi akan meningkatkan jumlah
gugus nonpolar yang terpapar ke permukaan dengan cara membukanya
struktur protein. Semakin banyak gugus nonpolar yang terpapar maka
semakin banyak minyak yang dapat diikat oleh protein.
Jika dibandingkan, daya serap minyak pada konsentrat protein
kecambah kacang komak (318.04%) lebih tinggi dibandingkan isolat
protein kacang komak (254%) yang dilaporkan oleh Subagio (2006).
Konsentrat kecambah kacang komak juga memiliki daya serap minyak
yang lebih tinggi dibandingkan beach pea (64-82%), Woodstone pea
(90.1-94.5%), dan fieldpea (90-127%) (Chavan, et al., 2001 dikutip
dalam Subagio, 2006) serta pada konsentrat protein lentil (92%) dan
kacang kapri (97%) (Swanson, 1990).
Daya serap minyak yang lebih tinggi pada konsentrat protein
kecambah kacang komak memungkinkan penggunaanya pada beberapa
produk pangan yang membutuhkan sifat pengikatan terhadap lemak
yang tinggi diantaranya pada produk daging sintetis. Penambahan
protein kecambah ini dimaksudkan untuk memperbaiki pengikatan
lemak atau mencegah sejumlah kehilangan air selama proses
pengolahan, dan juga dapat digunakan untuk memperbaiki karakteristik
citarasa. Produk pangan yang membutuhkan daya serap minyak yang
tinggi adalah daging, sosis, dan donat.
c.
Daya emulsi
Emulsi diartikan sebagai campuran dari dua cairan atau lebih
yang tidak saling melarutkan, cairan yang satu terdispersi dalam bentuk
globula-globula atau butir-butir kecil di dalam cairan lainnya. Cairan
yang terdispersi disebut fase tidak kontinyu sedangkan cairan yang
mendispersikan disebut fase kontinyu (Fardiaz, et al., 1992).
Daya emulsi dari konsentrat protein kecambah kacang komak
dan konsentrat protein kontrol ditunjukkan pada Lampiran 14 dan
Gambar 21.
b
45
Daya emulsi (%)
50
40
30
a
30
20
10
0
Kontrol
Kecambah
Jenis konsentrat
Gambar 21. Daya Emulsi (%) konsentrat protein kecambah kacang
komak dan kontrol.
Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada grafik menunjukkan
perbedaan yang nyata (paired sample t-test pada α = 5%)
Berdasarkan pengukuran daya emulsi pada konsentrat protein
kecambah kacang komak dan konsentrat protein kontrol diketahui
bahwa daya emulsinya masing-masing adalah 45% dan 30%. Kedua
sampel berbeda nyata (p<0.05) pada selang kepercayaan 95%. Hasil
analisis statistik pada daya emulsi ditunjukkan pada Lampiran 35. Daya
emulsi konsentrat protein kecambah dan konsentrat protein kacang
komak masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan daya emulsi pada
konsentrat protein lentil (19%) dan kacang kapri (25%) (Swanson,
1990).
Perbandingan jumlah asam amino lipofilik-hidrofilik yang
seimbang mempengaruhi daya emulsi (Zayas, 1997). Jumlah asam
amino lipofilik dan hidrofilik konsentrat protein kecambah kacang
komak yang besar ditunjukkan dari tingginya daya serap air dan daya
serap minyak dibandingkan konsentrat protein kontrol. Keseimbangan
ini akan menurunkan tegangan permukaan dan interfasial. Sifat lipofilik
dan hidrofilik ini berperan dalam orientasi protein dimana gugus lipofik
akan menghadap ke minyak dan gugus hidrofilik menghadap ke air
(Zayas, 1997).
Daya emulsi yang lebih tinggi pada konsentrat protein
kecambah kacang komak berpotensi sebagai emulsifier. Emulsifier ini
berfungsi sebagai surfaktan yang dapat menurunkan tegangan
permukaan antara komponen hidrofilik dan lipofilik sehingga dapat
menahan minyak dan membentuk emulsi dalam air yang stabil. Produk
pangan yang banyak menggunakan emulsi antara lain adalah sosis,
bologna, sup, dan cakes.
d. Kekuatan gel
Gelasi adalah fenomena agregasi protein dimana interaksiinteraksi antara polimer-polimer dan polimer-pelarut serta gaya tarik
dan gaya tolaknya sedemikian seimbangnya sehingga suatu jalinan
tersier yang tersusun seperti matriks terbentuk. Matriks ini mampu
untuk menjerat sejumlah besar air di dalamnya (Fardiaz, et al., 1992).
Teknik gelasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah gelasi yang
diinduksi oleh panas. Kekuatan gel diukur dari empat konsentrasi
Kekuatan gel (kualitatif)
larutan yang berbeda yaitu 7.5%, 10%, 12.5%, dan 15%.
1.4
1.2
1
0.8
0.6
0.4
0.2
0
b
1.17
b
0.83
a
0.5
a
0.33
a
0
a
0
7.5
a
0
a
0
10
12.5
15
Konsentrasi larutan (%)
Gambar 22. Kekuatan gel (kualitatif) konsentrat protein kecambah
kacang komak dan kontrol. Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama
pada grafik (konsentrasi larutan yang sama) menunjukkan tidak berbeda
nyata (non parametric two-related samples pada α = 5%)
Kekuatan gel dari konsentrat protein kecambah kacang komak
dan konsentrat protein kontrol ditunjukkan pada Lampiran 15 dan
Gambar 22. Berdasarkan pengukuran kekuatan gel pada konsentrat
protein kecambah kacang komak dan konsentrat protein kontrol
diketahui bahwa kekuatan gel dari konsentrat protein kecambah kacang
komak lebih besar dari konsentrat protein kontrol. Kedua sampel
berbeda nyata (p<0.05) pada konsentrasi larutan 12.5% dan 15%. Hal
ini menunjukkan bahwa konsentrat protein kecambah kacang komak
dapat membentuk gel pada konsentrasi larutan yang lebih rendah
dibandingkan konsentrat protein kontrol. Hasil analisis statistik pada
kekuatan gel ditunjukkan pada Lampiran 36.
Peningkatan kekuatan gel pada konsentrat protein kecambah
disebabkan adanya kenaikan asam-asam amino hidrofobik selama
germinasi. Asam amino hidrofobik ini berperan dalam menstabilkan
jaringan yang kuat pada sistem gel. Selain itu, peningkatan jumlah
gugus –SH dan –SS- akibat denaturasi akan memperkuat jaringan
intermolekular. Reaksi penting dalam pembentukan gel adalah
pembentukan jembatan disulfida. Selama germinasi, terjadi pembukaan
ikatan disulfida dan aktivasi gugus sulfihidril sebagai hasil dari
pembukaan lipatan rantai polipeptida protein. Gugus SH yang reaktif
dapat membentuk ikatan disulfida intermolekular yang baru (Zayas,
1997).
Kekuatan gel pada konsentrat kontrol lebih rendah dikarenakan
jumlah globulin 11S yang lebih rendah sehingga protein pada biji tidak
dapat membentuk gel yang kuat sebab tidak terdapat gugus sulfihidril
dalam jumlah yang cukup. Gugus sulfihidril tersebut dibutuhkan untuk
membentuk ikatan disulfida dalam gel (Subagio, 2006). Oleh karena itu,
dapat diduga perlakuan germinasi dapat meningkatkan kekuatan gel
pada konsentrat protein kacang komak dengan cara meningkatkan
jumlah gugus sulfihidril dan ikatan disulfidanya. Walaupun gel yang
terbentuk masih tergolong lemah.
Kapasitas dan stabilitas busa
Kapasitas busa protein berarti kemampuan protein untuk
membentuk lapisan film tebal pada permukaan gas-cair sehingga
sejumlah besar gelembung udara dapat bergabung dan terstabilkan.
Sedangkan
stabilitas
busa
berarti
kemampuan
protein
untuk
menstabilkan busa melawan gravitasi dan stress mekanis (Damodaran,
1996). Kapasitas dan stabilitas busa dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya kelarutan protein, fleksibilitas permukaan protein, dan
hidrofobisitas protein (Zayas, 1997). Jenis reaksi yang berperan dalam
pembentukan busa adalah pembentukan film yang stabil untuk menjerat
gas. Kapasitas dan stabilitas busa dari konsentrat protein kecambah
kacang komak dan konsentrat protein kontrol ditunjukkan pada
Lampiran 16 dan Gambar 23.
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
Kapasitas dan stabilitas busa
(%)
e.
a
77.69
c
65.07
b
57.97
d
1.25
Kontrol
Kecambah
Jenis konsentrat
Kapasitas busa
Stabilitas busa
Gambar 23. Kapasitas dan Stabilitas busa (%) konsentrat protein
kecambah kacang komak dan kontrol. Nilai yang diikuti oleh huruf
yang sama pada grafik menunjukkan tidak berbeda nyata (paired
sample t-test pada α = 5%)
Berdasarkan pengukuran terhadap kapasitas dan stabilitas busa,
konsentrat protein kecambah kacang komak lebih kecil kapasitas
busanya (57.97%) dan lebih tidak stabil busanya (1.91%) dibandingkan
konsentrat protein kontrol (77.69% dan 65.07%). Perbedaan kapasitas
dan kestabilan pembuasaan dipengaruhi oleh pH medium, konsentrasi
protein, whipping aids, dan penghambatan pembusaan (Zayas, 1997).
Kapasitas dan stabilitas busa kedua sampel berbeda nyata (p<0.05) pada
selang kepercayan 95%. Hasil analisis statistik pada kapsitas dan
stabilitas busa ditunjukkan pada Lampiran 37 dan 38.
Perbedaan konsentrasi protein kedua sampel yang signifikan
yaitu konsentrat protein kecambah kacang komak (47.71%) dan
konsentrat protein kontrol (72.28%) mempengaruhi kemampuannya
dalam membentuk busa dan menstabilkannya. Hal ini dikarenakan
peningkatan konsentrasi akan meningkatkan interaksi protein-protein
yang lebih besar yang dapat juga meningkatkan viskositas dan
memfasilitasi pembentukan lapisan protein multilayer kohesif pada
permukaan. Selain itu, peningkatan konsentrasi dapat mendorong
pembentukan lapisan yang lebih tebal yang dapat membatasi efek
pengeringan protein dari lapisan (Adebowale dan Lawal, 2003).
Kestabilan
busa
dipengaruhi
oleh
konsentrasi
protein.
Konsentrasi protein yang tinggi akan meningkatkan ketebalan, kekuatan
mekanik, dan kohesivitas pada lapisan (Zayas, 1997). Selain itu,
kapasitas dan stabilitas busa juga dipengaruhi oleh adanya interaksi
hidrofobik. Interaksi hidrofobik yang terlalu tinggi akan menyebabkan
efek salting out yang dapat menurunkan kapasitas dan stabilitas busa
(Adebowale dan Lawal, 2003). Interaksi hidrofobik yang lebih besar
pada konsentrat protein kecambah menyebabkan kapasitas dan stabilitas
busanya lebih rendah dibandingkan konsentrat protein kontrol.
f.
Protein dispersability index (PDI)
Kelarutan protein adalah sifat fungsional pertama yang biasanya
digunakan untuk mengetahui sifat fungsional lainnya. Kelarutan protein
meningkat dengan komposisi asam amino dan sekuen, bobot molekul,
konformasi serta komponen polar dan nonpolar dalam asam amino.
Kelarutan protein juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan yaitu
kekuatan ionik, tipe pelarut, pH, suhu, dan kondisi proses (Zayas,
1997). Protein dispersability index (PDI) pada konsentrat protein
kecambah dan konsentrat protein kontrol dapat diperlihatkan pada
Lampiran 17 dan Gambar 24.
Berdasarkan pengukuran PDI tersebut, diketahui bahwa
konsentrat protein kecambah kacang komak dan konsentrat protein
kontrol memiliki PDI berturut-turut adalah 72.81 dan 27.46. Kedua
sampel berbeda nyata (p<0.05) nilai PDI-nya pada selang kepercayaan
95%. Hasil pengujian statistik PDI kedua sampel ditunjukkan pada
PDI (%)
Lampiran 39.
80
70
60
50
40
30
20
10
0
b
72.81
a
27.46
Kontrol
Kecambah
Jenis konsentrat
Gambar 24. Protein dispersability index (%) konsentrat protein
kecambah kacang komak dan kontrol. Nilai yang diikuti oleh huruf
yang berbeda pada grafik menunjukkan perbedaan yang nyata (paired
sample t-test pada α = 5%)
Kelarutan protein yang tinggi dipengaruhi oleh adanya kondisi
proses yang dapat meningkatkan kelarutan protein yaitu ekstraksi,
presipitasi, dan netralisasi. Selain itu, germinasi juga menyebabkan
degradasi protein yang bermolekul besar menjadi asam amino yang
bermolekul lebih kecil. Molekul-molekul yang lebih kecil ini cenderung
untuk lebih terdispersi dan larut dalam larutan. PDI juga digunakan
sebagai indikator sifat fungsional protein lain. PDI yang tinggi dapat
memprediksikan kenaikan pembentukan emulsi, pembentukan busa,
dan pembentukan gel. Peningkatan konsentrasi protein yang larut
menyebabkan
pembentukan
partikel
yang
lebih
kecil
selama
emulsifikasi dan dapat meningkatkan stabilitas emulsi pada creaming
(Zayas, 1997).
Oleh karena PDII dari konssentrat proteein kecambah kacang
omak yaitu 72.81, maka menurut nilai
n
PDI nyya tersebut, konsentrat
ko
prrotein kecam
mbah kacangg komak dappat digunakaan pada prodduk pangan
seeperti adonaan bakery, donat, minu
uman, hidroolisat protein
n sayuran,
seereal untuk bayi (Pom
meranz, 19911). PDI yanng tinggi menyatakan
m
juumlah protein
n yang terdisspersi dalam
m sistem panggan juga bessar.
g.
Nitrogen
N
solu
ubility index (NSI)
Nitroggen solubilitty index (N
NSI) digunaakan untuk mengukur
keelarutan prootein. Penguujian NSI termasuk
t
peengadukan yang
y
lebih
lemah. Padattan yang tidak
t
larut dipisahkann dengan sentrifugasi
s
(
pada
keecepatan renndah (Zayas, 1997). Nittrogen solubbility index (NSI)
ko
onsentrat prrotein kecam
mbah dan konsentrat protein kon
ntrol dapat
diiperlihatkan pada Lampiiran 18 dan Gambar
G
25.
Gambar
G
25. Nitrogen
N
sollubility indexx (%) konsenntrat proteinn kecambah
kaacang komaak dan kontrrol. Nilai yaang diikuti oleh huruf yang
y
sama
paada grafik menunjukkaan tidak berrbeda nyataa (paired sample t-test
paada α = 5%)
Berdassarkan penguujian nitrogeen solubility index (NSI)), diketahui
baahwa konseentrat proteiin kecambahh kacang kkomak dan konsentrat
prrotein kontrool memiliki nilai NSI beerturut-turutt adalah 2.822 dan 1.49.
Kedua
K
sampeel tidak berbbeda nyata (p>0.05)
(
padda selang keepercayaan
95
5%. Hasil pengujian sstatistik NSII kedua sam
mpel ditunjuukkan pada
Lampiran 40. NSI pada konsentrat protein kecambah kacang komak
jauh lebih rendah dibandingkan pada konsentrat protein lentil (90.5) dan
kacang kapri (90.4) yang dibuat dengan klasifikasi udara (Swanson,
1990).
NSI
juga
digunakan
secara
luas
untuk
memprediksi
fungsionalitas protein. NSI yang lebih tinggi pada konsentrat protein
kecambah kacang komak mengindikasikan daya pembentukan emulsi,
gelasi, dan pembentukan busa yang lebih baik dibandingkan konsentrat
protein kontrol. Hal ini diduga karena proses germinasi menyebabkan
denaturasi dan degradasi protein menjadi asam amino sehingga jumlah
hidrofil meningkat dan asam amino yang terlarut menjadi lebih banyak.
h. Water Absorption Index (WAI) dan Water Solubility Index (WSI)
WAI dan WSI menyatakan indeks penyerapan dan kelarutan di
dalam air. Water Absorption Index (WAI) dan Water Solubility Index
(WSI) pada konsentrat protein kecambah dan konsentrat protein kontrol
dapat diperlihatkan pada Lampiran 19 dan Gambar 26.
WAI dan WSI (%)
0.50
a
0.4609
a
0.4716
0.40
0.30
0.20
0.10
b
0.0093
b
0.0115
0.00
Kontrol
Kecambah
Jenis konsentrat
WAI
WSI
Gambar 26. Water Absorbtion Index (WAI) dan Water Solubility Index
(WSI) konsentrat protein kecambah kacang komak dan kontrol.
Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada grafik menunjukkan tidak
berbeda nyata (paired sample t-test pada α = 5%)
Berdasarkan pengukuran terhadap WAI dan WSI, diketahui
bahwa WAI dari konsentrat protein kecambah kacang komak dan
konsentrat protein kontrol berturut-turut adalah 0.4716 dan 0.4069.
Kedua sampel ini tidak berbeda nyata WAI-nya (p>0.05) pada selang
kepercayaan 95%. Sedangkan WSI dari konsentrat protein kecambah
kacang komak dan konsentrat protein kontrol berturut-turut adalah
0.0115 dan 0.0093. Kedua sampel ini tidak berbeda nyata WSI-nya
(p>0.05) pada selang kepercayaan 95%. Hasil pengujian statistik WAI
dan WSI kedua sampel ditunjukkan pada Lampiran 41 dan 42.
WAI dan WSI konsentrat protein kecambah lebih tinggi
daripada konsentrat protein kontrol namun tidak berbeda nyata
(p>0.05). WAI tergantung pada ketersediaan gugus hidrofilik dan
kapasitas pembentukan gel. Adanya pembengkakan pati saat germinasi
menyebabkan WAI semakin besar. Kenaikan jumlah gugus hidrofil
yang terpapar ke permukaan menyebabkan lebih banyak jumlah air
yang terikat dalam proses penyerapan. Proses germinasi juga akan
mendegradasi molekul-molekul besar (amilosa dan amilopektin)
menghasilkan molekul yang lebih kecil yang relatif lebih mudah larut
dalam air. Kemudahan dalam perlarutan dalam air ini menyebabkan
WSI nya meningkat.
P.ANALISIS KAPASITAS ANITIOKSIDAN
a.
Uji DPPH
Uji DPPH merupakan salah satu metode uji pengukuran aktivitas
antioksidan di dalam bahan pangan. Uji DPPH tidak spesifik menguji suatu
komponen antioksidan, tetapi digunakan untuk pengukuran aktivitas
antioksidan total pada bahan pangan. Pengukuran total aktivitas
antioksidan akan membantu untuk memahami sifat-sifat fungsional bahan
pangan. Uji DPPH juga merupakan uji yang sederhana, cepat dan murah.
DPPH
H (1,1-diphennyl-2-picrylh
hydrazil) adaalah radikal bebas
b
yang
staabil pada su
uhu ruang ddan menerim
ma elektron atau hidroggen radikal
menjadi
m
moleekul diamagnnetik yang stabil.
s
Kemaampuan reduuksi DPPH
raadikal ditetaapkan denggan penurunnan absorbaansinya padda panjang
geelombang 517 nm denggan penambbahan antiokksidan (Soaares, et al.,
19
997 di dalam
m Rajeshwarr, et al., 20005). Kapasittas antioksiddan dengan
menggunakan
m
n uji DPPH dari fraksi protein dan nonprotein kecambah
kaacang komakk dan kontrool ditunjukkan pada Lam
mpiran 20 daan Gambar
27
7.
Gambar
G
27. Aktivitas anntioksidan pada fraksi protein
p
dan non
n protein
keecambah kaccang komak dan kontrol.
Nilai yang diiikuti oleh hhuruf yang berbeda
b
padda grafik meenunjukkan
peerbedaan yanng nyata (paaired sample t-test pada α = 5%)
Berdassarkan penguukuran aktivvitas antioksiidan dengann uji DPPH,
diiketahui bah
hwa aktivitaas antioksidaan pada fraaksi protein kecambah
kaacang komaak dan konttrol berturutt-turut adalaah 885.00 AEAC
A
dan
91
14.50 AEAC
C. Kedua sampel
s
frakssi protein ttersebut tidaak berbeda
ny
yata (p>0.005) aktivitaas antioksid
dannya. Seddangkan paada fraksi
no
onproteinnyaa berturut-tuurut adalah 924.75
9
AEA
AC dan 887.00 AEAC.
Kedua
K
sampeel fraksi noonprotein teersebut jugaa tidak berbbeda nyata
(p
p>0.05) akttivitas antiooksidannya. Aktivitas antioksidann tertinggi
beerada pada fraksi nonnprotein kecambah kaacang komaak (924.75
AEAC). Hasil pengujian statistik kapasitas antioksidan dapat dilihat
pada Lampiran 43.
Menurut Hartoyo dan Yulia (2007), aktivitas antioksidan pada
fraksi protein mungkin disebabkan kandungan protein atau asam amino
yang bersifat antioksidan. Beberapa contoh protein atau asam amino
yang telah dikenal mempunyai aktivitas antioksidan diantaranya sistein,
metionin, triptofan, lisin, SOD, katalase dan GSH. Hartoyo dan Yulia
(2007) juga menyebutkan pada fraksi protein terdapat komponen
fitokimia
yang
yang
mempunyai
potensi
sebagai
antioksidan
diantaranya steroid, triterpenoid, dan fenol hidrokuinon.
Fraksi nonprotein memiliki aktivitas antioksidan yang ditandai
dengan lebih tingginya jumlah fitokimia dalam fraksi nonprotein
dibandingkan pada fraksi protein. Menurut Hartoyo dan Yulia (2007),
komponen fitokimia yang terkandung di dalam fraksi nonprotein adalah
steroid, saponin, fenol hidrokuinon, dan triterpenoid. Peningkatan
kapasitas antioksidan pada fraksi nonprotein kecambah kacang komak
didukung dengan adanya peningkatan kemampuan mereduksi dan total
fenol dalam fraksi nonprotein kecambah kacang komak.
Pada kecambah kacang komak, fraksi nonprotein cenderung
memiliki aktivitas antioksidan yang lebih tinggi dibandingkan fraksi
proteinnya. Hal ini diduga karena terjadi sintesis tokoferol (vitamin E)
dalam proses germinasi. Tokoferol merupakan golongan monofenol
yang memiliki aktivitas antioksidan. Tokoferol cenderung lebih larut
dalam senyawa nonpolar seperti lemak. Adanya sintesis tokoferol
dalam kecambah terlihat dari kadar total fenol pada fraksi nonprotein
kecambah yang tinggi. Hal ini disebabkan dalam fraksi nonprotein
terkandung lemak, karbohidrat yang tidak larut, serta beberapa
komponen lain yang tidak larut dengan perlakuan basa.
b. Uji aktivitas kemampuan mereduksi
Kemampuan mereduksi yang tinggi ditandai dengan semakin
tinggi absorbansinya pada 700 nm. Telah dilaporkan juga bahwa
kemampuan
mereduksi
antioksidan,
hal
ini
dapat
mungkin
menjadi
mekanisme
pertahanan
melalui
kemampuan
komponen
antioksidan dalam mereduksi logam transisi. Logam tereduksi (seperti
Fe (II) atau Cu (I) secara cepat bereaksi dengan hidroperoksida lemak,
membentuk lipid reaktif yang radikal, dan perubahan logam tereduksi
menjadi bentuk teroksidasi (Oboh, 2006). Aktivitas kemampuan
mereduksi dari fraksi protein dan nonprotein kecambah kacang komak
Kemampuan mereduksi
dan kontrol ditunjukkan pada Lampiran 21 dan Gambar 28.
0.35
0.3
0.25
0.2
0.15
0.1
0.05
0
a
0.291
a
0.279
b
0.210
Protein
Kontrol
c
0.250
Nonprotein
Jenis fraksi
Kecambah
Gambar 28. Kemampuan mereduksi pada fraksi protein dan non
protein kecambah kacang komak dan kontrol.
Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada grafik menunjukkan
perbedaan yang nyata (paired sample t-test pada α = 5%)
Berdasarkan
pengujian
aktivitas
kemampuan
mereduksi,
diketahui bahwa kemampuan mereduksi pada fraksi protein kecambah
kacang komak dan kontrol berturut-turut adalah 0.279 dan 0.291 pada
dosis 100 µg ekstrak. Kedua sampel fraksi protein tersebut tidak
berbeda nyata (p>0.05) pada selang kepercayaan 95%. Sedangkan pada
fraksi nonproteinnya berturut-turut adalah 0.250 dan 0.210 pada dosis
100 µg ekstrak.. Kedua sampel fraksi nonprotein tersebut berbeda nyata
(p<0.05) pada selang kepercayaan 95%. Kemampuan mereduksi
tertinggi terdapat pada fraksi protein tepung kontrol (0.291). Hasil
pengujian statistik aktivitas kemampuan mereduksi dapat dilihat pada
Lampiran 44.
Aktivitas kemampuan mereduksi pada fraksi protein kedua
sampel lebih tinggi dibandingkan fraksi nonproteinnya. Hal ini
memperlihatkan aktivitas pendonoran elektron yang lebih tinggi pada
fraksi protein dibandingkan fraksi nonproteinnnya. Kemampuan
mereduksi yang lebih tinggi pada fraksi protein diduga disebabkan
adanya aktivitas antioksidatif dari asam-asam amino tertentu seperti
metionin, sistein, dan histidin.
Total fenol
Pengujian aktivitas total fenol merupakan dasar dilakukan
pengujian aktivitas antioksidan, karena diketahui bahwa senyawa
fenolik berperan dalam mencegah terjadinya peristiwa oksidasi.
Pengukuran total antioksidan bahan pangan asal tanaman dapat
dilakukan dengan mengukur kadar total fenolik menggunakan reagen
Folin-ciocalteau. Hal ini karena sebagian besar antioksidan dalam
bahan asal tanaman merupakan senyawa polifenol. Total fenol dari
fraksi protein dan nonprotein kecambah kacang komak dan kontrol
ditunjukkan pada Lampiran 22 dan Gambar 29.
Total fenol (ppm)
c.
140
120
100
80
60
40
20
0
b
116.00
a
29.17
a
49.58
Protein
b
29.83
Nonprotein
Jenis fraksi
Kontrol
Kecambah
Gambar 29. Total fenol (ppm) pada fraksi protein dan non protein
kecambah kacang komak dan kontrol.
Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada grafik menunjukkan
perbedaan yang nyata (paired sample t-test pada α = 5%)
Berdasarkan pengukuran total fenol, diketahui bahwa total fenol
pada fraksi protein kecambah kacang komak dan kontrol berturut-turut
adalah 49.58 ppm dan 29.17 ppm. Kedua sampel fraksi protein tersebut
tidak berbeda nyata (p>0.05) pada selang kepercayaan 95%. Sedangkan
pada fraksi nonproteinnya berturut-turut adalah 116 ppm dan 29.83
ppm. Kedua sampel fraksi nonprotein tersebut tidak berbeda nyata
(p>0.05) pada selang kepercayaan 95%. Total fenol tertinggi dimiliki
oleh fraksi nonprotein kecambah kacang komak (116 ppm). Hasil
pengujian statistik total fenol dapat dilihat pada Lampiran 45.
Fraksi nonprotein kecambah kacang komak memiliki total fenol
yang tertinggi yaitu 116 ppm. Total fenol yang tinggi pada fraksi
nonprotein kecambah disebabkan adanya kenaikan jumlah tokoferol
yang disintesis selama germinasi. Tokoferol ini merupakan senyawa
monofenol yang lebih larut dalam senyawa nonpolar seperti lemak.
Kenaikan total fenol ini sejalan dengan kenaikan aktivitas antioksidan
metode DPPH pada fraksi nonprotein kecambah.
Selain itu, proses germinasi ternyata dapat meningkatkan total
fenol dimana pada kedua fraksi kecambah kacang komak ditemukan
kenaikan total fenol. Hal ini diduga karena menurut Rubenstein et al.
(1987), pada saat germinasi 12 jam pertama, aktivitas biji lebih ke arah
pertumbuhan, sedangkan pada germinasi 12 jam sampai 48 jam,
aktivitas biji lebih ke arah produksi fenolik. Hal ini dapat terjadi karena
biosintesis senyawa fenolik berada pada jalur yang sama dengan
biosintesis hormon pengatur pertumbuhan yaitu auksin. Auksin
merupakan hormon yang terlibat dalam mengontrol pertumbuhan
batang, akar, absisi daun dan buah, aktivitas fisiologis lainnya bagi
tanaman.
Download