TEATER MODERN Pertemuan 1 Asal mula Teater Menurut Kenneth McGowan dan William Melnitz dalam bukunya yang sangat terkenal, The Living Stage (New York: 1955, 3): teater adalah sebuah drama yang ditulis, pertunjukan oleh aktor, dan dalam sebuah sampul auditorium, panggung, skenario, pakaian, dan tata cahaya, atau beberapa diantaranya. Ini merupakan teater dalam pengertian yang diberikan oleh Sophopcles, Shakespeare, dan Miller. Di samping itu, ada pendapat lain lain yang mengatakan bahwa teater berasal dari permainan anak-anak ketika mereka saling menjadi seseorang yang mereka kenal, seperti bermain menjadi ibu, menjadi ayah, menjadi adik dan menjadi kakak. Teater yang bermula dari paham kehidupan primitif ini harus dimulai dari bagaimana manusia primitif membangun kehidupannya, mitos-mitos, dan bersentuhan dengan komunikasi antar manusia pada zamannya. Kesederhanaan logika yang berdampak pada cara-cara berkomunikasi manusia primitif, bisa dimaklumi bahwa pada awalnya teater sangat terikat oleh bentuk-bentuk imitasi atau peniruan karakter. Misalnya, bagaimana seorang atau sekelompok manusia primitif harus mendapatkan makanan dengan berburu. Mereka harus menirukan cara-cara berkumunikasi binatang buruannya. Pada era ini, topeng memegang peranan sangat penting untuk lebih mendekatkan objek tiruan dengan binatang buruan. Kehidupan berburu ini menjadi peristiwa menarik, dna dapat diwariskan kepada generasi selanjutnya. Begitu juga dengan cara bercocok tanam, pengobatan hingga berhubungan seksual. Sedangkan menurut Robert Cohen dalam bukunya Theatre Brief Edition (California: 1983, 29), kata teater berasal dari kata Yunani, theatron, yang berarti tempat menyaksikan (seeing place). Pengertian ini untuk menjelaskan tinggi rendahnya lereng bukit setengah lingkaran yang diduduki penonton. Disamping itu, kata “teater” juga untuk menunjukkan struktur tempat pertunjukan berada, dan menggunakannya untuk menjelaskan peristiwa teater itu sendiri. Cohen selanjutnya mengungkapkan enam pernyataan tentang teater, yakni teater merupakan kerja; teater merupakan karya artistik; dalam teater, aktor menirukan watak, teater merupakan pertunjukan kehidupan, dan teater melibatkan naskah drama. Sebagai sebuah “kerja” teater harus dilakukan dalam suatu kerja keras. Meskipun tidak dapat dibagi dalam hitungan waktu tertentu, paling tidak suatu kerja teater membutuhkan satu tahun penggarapan. Di samping itu, waktu berlatih pun dalam sehari dapat dilakukan selama enam hingga sepuluh jam. Bebrapa proses sebelum pertunjukan, merupakan kerja teater yang yang melibatkan sejumlah keahlian, seperti dikatakan Cohen, diantaranya adalah pemeranan dan aktor menunjukkan aturan penokohan dalam drama, pendisainan berkaitan dengan penyiapan properti, kostum maupun rambut palsu, tata rias, tata lampu, konsep bunyi. Sedangkan pembangunan yang menyangkut detail perangkat keras yang akan dipertunjukkan, 1 dan pelaksanaan yang berkaitan dengan semua kesiapan perangkat yang dapat berjalan sebagaimana mestinya. Dalam aspek fungsi manajerial, melibatkan produser, penyutradaraan, manajer panggung, dan manajer gedung pertunjukan. Semua peran manajerial itu saling terkait. Peristiwa teater akan benar-benar mampu mengantarkan penonton kepada suasana yang menyenangkan, meskipun drama itu sebuah tragedi. Kenyamanan menyaksikan teater juga merupakan tugas yang tidak kecil. Semua keahlian menjadi satu kesatuan teater. Namun bukan berarti bahwa teater merupakan gabungan dari kerja-kerja seni, tetapi gabungan dari kerja profesional atau amatir, komersial atu akademik. Sebagai sebuah karya artistik, seni teater dibawa kepada pandangan yang tak dapat diraba, yakni kreativitas, imajinasi, keanggunan, kekuatan, harmoni estetik, dan keindahan bentuk, serta upaya untuk menangkap semangat hidup manusia dalam menjalani kehidupan, sentuhan perasaan, dan kecerdasan menangkap makna kehidupan. Karya kreatif teater pada pokoknya dilakukan secara bersama-sama dan interdisiplin. Kerja kolektif ini diartikan pada tingkat keutuhan kerja dalam melakukan suatu teater dan bukan dalam bentuk eksplorasi individual. Karena, bagaimanapun juga, kerja individual, yakni melakukan latihan-latihan intensif, tak dapat dipungkiri merupakan persoalan krusial dan kreativitas itu sendiri. Pendapat mutakhir yang cukup membuat para penggiat teater perlu merenungkannya adalah pernyataan Jerzy Grotowski dalam buku yang ditulis oleh James Roose-Evans, Experimental Theatre, from stanislavsky to Peter Brook (London: Routledge, 147), bahwa teater akan ada tanpa tata rias, pakaian, dekorasi, juga panggung, tata cahaya, efek suara. Tetapi teater tidak ada tanpa hubungan aktor dan penonton. Ini merupakan perbuatan yang utama, ini pertemuan antara dua kelompok orang, dia menyebutnya teater miskin. Ketiga, dalam teater, aktor menirukan watak. Dalam banyak teater yang menggunakan naskah drama sebagai pijakannya, maka terlihat dengan jelas, bagaimana para aktor yang berperan di atas panggung, menirukan suatu peran tertentu dengan watak atau karakter atau penokohan yang sesuai dengan keinginan sebuah naskah drama. Peniruan ini merupakan suatu bentuk pilihan yang diyakini seorang aktor untuk dapat menciptakan kembali aktualisasi dari tiga aspek penting didalam perwatakannya, yakni sosiologis (kedudukan sosial misalnya), psikologis (kejiwaan atau perangai maupun mental), dan fisiologis (keadaan fisik) tokoh atau peran dalam sebuah naskah drama. Peniruan watak tersebut merupakan salah satu bentuk dari upaya aktor menggiring penontonnya mempercayai peran yang dimainkannya. Keempat, teater merupakan pertunjukan. Berbeda dengan drama yang termasuk dalam genre sastra, teater merupakan pertunjukan atau peragaan oleh aktor dengan segala kelengkapannya. Kelengkapan disini berarti, bahwa pertunjukan yang disaksikan oleh penonton tersebut mencakup berbagai kebutuhan pertunjukan, mulai dari adanya aktor, sutradara yang menyutradarai teater, hingga peralatan panggung, kostum, rias, pencahayaan maupun penataan suara atau penataan musik 2 suatu pertunjukan. Sebagai suatu pertunjukan, teater terlahir sebagai suatu tontonan. Pertunjukan atau tontonan ini berlangsung secara kolektif. Kolektivitas tersebut merupakan tuntutan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Semua pihak yang terlibat dalam pertunjukan harus menunjukkan kemampuan bekerjasama secara kolektif. Kerja kolektif dalam pertunjukan teater, bukan berarti bahwa teater merupakan gabungan dari unsur-unsur seni. Bila dalam pertunjukan teater melibatkan tari, musik, maupun seni rupa dalam tata rias, kostum maupun tata pentas atau dekorasi pertunjukan, hal ini merupakan suatu satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya. Musik teater bukan berarti musik dalam teater, tetapi musik dengan teater yang berbaur dalam suatu tujuan penyelenggaraan teater. Musik bukan sesuatu yang menempel begitu saja. Hal yang sama terdapat dalam dekorasi pertunjukan teater, misalnya ada sebuah lukisan atau gambaran panggung buatan, bukan berarti seni rupa maupun seni lukis itu menempel dalam teater. Semua itu menjadi satu kesatuan dari pertunjukan teater tersebut. Kerja kolektif bukan pula berarti bahwa segala kebutuhan peran seorang aktor harus dilakukan bersama-sama. Seorang aktor dapat mengeksplorasi dirinya secara individual. Begitu pula dengan sutradara, maupun pendisain artistik, yang dapat melakukan eksplorasi secara individual. Hal ini perlu kita sadari terlebih dahulu, agar dapat setiap persiapan pertunjukan teater, seseorang yang terlibat didalamnya tidak saling menunggu satu sama lainnya. Secara induvidu, masing-masing dapat melakukan berbagai penjelajahan kemungkinan-kemungkinan pertunjukan yang menjadi wilayah tugasnya yang dibebankan kepadanya. Ke lima, teater merupakan pertunjukan hidup. Perbedaan yang sangat nyata antara teater dan film adalah pada titik keberadaan teater sebagai pertunjukan hidup. Sedangkan film merupakan pertunjukan yang sudah melalui proses perekaman yang kemudian dapat disaksikan dimanapun, dan dapat diperbanyak sesuai kebutuhan tempat pertunjukannya. Sedangkan teater merupakan pertunjukan yang hanya dapat disaksikan ketika suatu pertunjukan berlangsung di depan mata. Teater merupakan suatu pertemuan tatap muka (face to face) secara langsung antara aktor dan penonton. Sebagai pertunjukan hidup, seorang aktor meminimalkan kesalahankesalahan, karena dia tidak bisa mengulangi kembali adegan yang dimainkannya. Improvisasi dalam teater bukan sebagai alat untuk memaklumkan kesalahan dalam berperan atau berakting. Keenam, teater melibatkan drama. Drama merupakan salah satu –bukan satusatunya, sarana bagi teater. Keterlibatan drama dalam teater merupakan suatu kebutuhan dalam bentuk teater yang memandang, bahwa drama sebagai sumber pertunjukannya. Dalan bentuk teater tertentu yang muncul di akhir abad 19 dengan gerakan simbolismenya, dilanjutkan dengan ekspresionisme pada 1920-nan serta berkembang sangat pesat pada era 1950-an, teater pada periode ini menggunakan bentuk-bentuk yang tidak menjadikan naskah drama sebagai sumber pertunjukannya. Sumber pertunjukannya adalah sebuah eksplorasi atau penggalian bahasa, kejadian maupun fenomena-fenomena kehidupan yang aktual, dan aktualisasi kehidupan tersebut mengalami penginterpretasian kembali dengan 3 mengutamakan tanda-tanda. Tanda-tanda inilah yang dipersonifikasikan kembali dalam bentuk peran-peran manusia dalam kehidupan. Ringkasan Teater secara intrinsik berasal dari kata Yunani Kuno, Theatron, yang berarti tempat menyaksikan (seeing place). Teater juga kata untuk menyatakan rangkaian peristiwa dari suatu kejadian, dan menjelaskan peristiwa atau kejadian itu sendiri. Dalam pemahaman dramawan Yunani, seperti Sophocles yang dikenal dengan karya triloginya dalam bentuk tragedi, yakni Oedipus sang Raja, Oedipus di Kolonus dan Antigone, atau pemahaman dramawan Inggris seperti William Shakespeare yang dikenal dengan karyanya, antara lain Romeo dan Juliet maupun Julius Cesar, juga dramawan Amerika seperti Arthur Miller yang dikenal dengan karyanya Kematian Pedagang Keliling, bagi mereka teater berada dalam lingkup tulisan yang berbentuk drama, dipertunjukkan oleh aktor atau pemain, dan dalam “selubung” atau dibungkus oleh auditorium, atau tempat pertunjukan, ada panggung, pengadeganan, kostum, maupun tata lampu. Dalam pandangan lain, teater dapat pula dikatakan sebagai permainan anak-anak. Anak-anak memerankan dirinya menjadi bapak atau ibu dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Robert Cohen (1984: 29), sedikitnya terdapat enam tuntutan dalam konteks pengertian teater yang secara ringkas telah diuraikan beberapa tokoh pendahulu teater sebelumnya, yakni Teater sebagai kerja Teater sebagai karya artistik Dalam Teater, aktor menirukan watak Teater merupakan petunjukan Teater merupakan pertunjukan hidup Teater melibatkan drama Topik Diskusi 1. Coba jelaskan, dari manakah teater itu bermula? 2. Jelaskan enam tuntutan pengertian teater! 3. Coba jelaskan pemahaman kerja kolektif dalam teater! 4. Saksikanlah teater di sekitar tempat anda tinggal, dan cermatilah bagaimana teater tersebut bermula atau terbentuk sehingga menjadi organ penting dalam masyarakatnya 5. Jealaskan pengalaman anda pertamakali menyaksikan teater 4 Pertemuan ke 2 Akar Modern hingga Postmodern Akar Modern Pemberontakan terhadap mitologi dan menggunakan akal pikiran: Socrates “Kenalilah Dirimu Sendiri” Plato: Manusia terdiri dari Tubuh (Epithymia): Petani, Tukang, Buruh; Kehendak (Thymos): Para Prajurit; Rasio (Logos): Pemimpin Kelahiran Modernitas Humanisme Italia (abad 14) Renaissance (Kelahiran Kembali) abad 16: Pembebasan terhadap dogma agama abad pertengahan; keberanian menerima dan menghadapi dunia nyata; keyakinan menemukan kebenaran dengan kemampuan sendiri; kebangkitan mempelajari sastra dan budaya klasik (melahirkan) Pencerahan abad 18 yang merupakan embrio kebudayaan modern: -Rene Descartes dengan dictum cogito ergo sum “Aku Berpikir maka Aku Ada”. Melahirkan metode dengan menyangsikan segala sesuatu Proses pematangan Immanuel Kant (Filsuf Jerman): Ide absolut yang sudah terberi melahirkan kategori Frederich Hegel: Idealisme absolut Modern: Rasio, Subjek, Identitas, Ego, Totalitas, Ide-ide absolut, Kemjuan sejarah (linier), objektivitas, otonomi, Emansipasi, Kesewenangan ilmu pengetahuan, militerisme, materialisme Ilmu dan Kebudayaan: Fisika kontemporer, Kejayaan Kapitalisme lanjut, Konsumerisme, Merebaknya budaya Massa, Budaya Populer, Industri Informasi, Televisi, Koran, Iklan, Film, Negara Bangsa (nation state), demokrasi, pluralisme Terjadilah hegemoni Modern, patologi modern (dehumanisasi, alienasi, diskriminasi) sejak Amerika memenangkan Peran Dunia II. (suasana dunia modern waktu itu yang diwarnai totaliterianisme Stalin, fasisme dan otoriterisme Nazi Hitler dan perang dunia yang disebut sebagai "barbarisme baru". Karena itulah Teori Kritis sangat khawatir terhadap patologi rasionalitas modern, dan inilah Konteks sosio-historis yang melatari Teori Kritis) Tokoh Seni Modern: Kafka, Mann, Gide (Sastra), Starisky, Schoenberg, Berg (Musik), Hendrik Ibsen, August Strinberg, Wedekind (drama), Jack Copeau (teater), Picasso,Matisse, Cezanne (Seni Lukis) Modern: Mensubordinasikan dan memutuskan hubungan dengan tradisional Modern: Rasionalitas Tujuan dan Nilai Modern II: Revolusi Perancis 5 Postmodernisme postmodernisme tidak lain adalah penolakan serta-merta terhadap modernitas, terhadap Pencerahan (Aufklärung) yang membawa janji emansipasi, dengan mengubur sama sekali kemungkinan adanya emansipasi itu sendiri. Artinya, konsep praksis yang mengandaikan emansipasi tidak lagi mendapat tempat. Bagi pendukung asumsi ini, postmodernisme dengan demikian adalah suatu kepekaan bahwa kehidupan kita tidak lebih dari permainan yang sepenuhnya ditentukan oleh bahasa, yang niscaya bersifat historis dan lokal. Kalapun ada yang disebut dengan "ide kebenaran", itu tidak lain adalah efek bahasa, hasil pembacaan tertentu terhadap "teks" kehidupan. Sebaliknya, di mata penghujat postmodernisme, asumsi tersebut tak pelak akan membawa pada nihilisme dan irasionalisme. Tidak heran kalau Jürgen Habermas, sang pemeluk teguh modernisme, menyebut Michel Foucault dan Jacques Derrida sebagai nihilis, obskurantis dan irasionalis Lahir Paralogi Jean Francois Lyotard: Menerima Keberagaman realitas. Dengan kemajuan teknologi, maka kekuasaan telah dibagi-bagi Jack Derida: Dekonstruksi: meleburnya konsep-metafor, kebenaran-fiksi, filsafatpuisi, nyata-palsu, asli-palsu; hiperrealitas: citra lebih meyakinkan daripada fakta, mimpi lebih dipercaya daripada hidup sehari-hari. Michal Faucault: Kekuasaan bukan merupakan institusi yang menundukkan, tetapi relasi kompleks yang menyebar dan hadir dimana-mana Jean Baudrillard: Diskontinuitas budaya, Masyarakat Tanda, Kode produksi dan reproduksi dalam simulacra: yakni ruang dimana mekanisme simulasi berlangsung; sejak Renaissance hingga awal revolusi industri, era industri, konsekuensi Iptek dan informasi Kritikus seni Susan Sontag: kesadaran pada kemajemukan, bermain dan menikmati realitas secara bersama-sama tanpa ngotot dan menaklukkan realitas lain Ringkasan Akar Modern sesungguhnya sudah dapat dijelajahi dari para pemikir Yunani Purba. Namun demikian, sejarah modern justru bermula ketika munculnya Humanisme Italia dan Renaissance. Proses pematangan modern terjadi ketika suburnya pemikiranpemikiran filsafat di berbagai akademi yang secara kritis mempersoalkan aspek-aspek epistemologis yang dibenturkan dengan realitas masyarakat. Masyarakat pada era ini (pematangan modern) mulai menikmati kebebasan berpikir dan kebebasan dalam membangun nilai-nilai kehidupan yang dihadapinya. Di tengah pesatnya gelora modernitas, muncul paham-paham postmodernitas yang mengejutkan dunia akdemik maupun dunia praksis. Kehidupan pun seolah-olah berjalan sedemikian gambling dan mencerahkan. Manusia menemukan hakikat dirinya seperti yang dikehendakinya. Namun demikian, tidka semua anggota masyarakat merasa nyaman dengan paham-paham postmodernitas, karena manusia telah ”ditelanjangi” sedemikian rupa, sehingga tak ada yang perlu ditiadakan. 6 Topik Diskusi 1. Carilah sebanyak mungkin pendapat yang menyebutkan sesuatu yang bermakna “modern”! Dan, buatlah pendapat anda tentang Modern! 2. Buatlah korelasi pendapat anda tersebut dengan pemaknaan yang anda miliki tentang teater! 3. Apakah anda sepakat dengan beberapa paham yang dimunculkan oleh para pemikir postmodern. Bila anda sepakat, pada paham pemikir yang mana? Sebutkan alasan anda! Bila anda tidak memiliki kesepakatan, jelaskanlah faktor apa yang membuat anda tidak memiliki kesepakatan sama sekali! 4. Cobalah pertemukan pendapat anda tentang teater modern dengan pahampaham yang dimiliki pemikir postmodern! Bagaimana pendapat anda setelah mempertemukan makna teater modern dengan paham postmodern? Diskusikanlah dengan sesama teman anda! Dan, buatlah pendapat yang menurut anda paling tepat terhadap hasil diskusi tersebut 7 Pertemuan ke 3 Postmodern dalam Teater Tentang Teori Kritis, Genealogi, dan Dekonstruksi Postmodernisme yang belakangan ini menjadi tema menonjol dalam wacana intelektual kita nampaknya masih ditanggapi secara sembrono. Di satu sisi, ia begitu mudahnya dirayakan, terutama oleh kalangan muda, sebagai bentuk kepekaan baru dan peralihan paradigma yang hampir total dalam menanggapi modernitas. Katakata kunci seperti dekonstruksi, différance, diskontinuitas sejarah, discourse, dan decentering menjadi semacam perangkat pemeriksaan terhadap apa saja. Artinya, segalanya mau dikait-kaitkan dengan, dan dilihat dari kaca mata postmodernisme. Sedangkan segala sesuatu yang masih berbau modern dianggap aus. Produk-produk kultural modernitas seperti paham otonomi subjek, prinsip rasionalitas, ilmu dan teknologi, juga demokrasi dan hak asasi di babat habis-habisan. Pokoknya serba ikonoklastik. Sementara itu di sisi lain, sebagian kalangan justru terlalu cepat mencurigai dan melecehkan postmodernisme. Isme ini diidentikkan begitu saja dengan relativisme radikal yang mengarah pada anarkisme tak ketulungan ("Apa saja boleh!"); melantunkan sikap tanpa pemihakan; hanya membongkar tanpa mengajukan alternatif apa maunya; dan dalam konteks kita dianggap nggege mongso ("Modern saja belum terpenuhi kok sudah masuk postmodern!") Bahkan Frans Magnis-Suseno dalam wawancaranya di sebuah harian ibu kota akhir tahun lalu, dengan nada sinis menyebut pembicaraan postmodernisme saat ini sebagai tanda kedangkalan intelektual kita. Secara berolok-olok Magnis menyebut Dewi Soekarno sebagai contoh figur postmodernis karena menjungkirbalikkan nilai-nilai estetika dengan erotisme.( Kompas, 12 Desember 1993) Ke dua pandangan di atas pada dasarnya adalah bentuk pengekstriman yang terlalu menyederhanakan, kalau bukan melebih-lebihkan, terhadap postmodernisme. Dan kalau diamati secara jeli, kita akan melihat bahwa meski berada dalam posisi yang saling berlawanan, keduanya sesungguhnya menyimpan asumsi yang kurang lebih sama, bahwa postmodernisme tidak lain adalah penolakan serta-merta terhadap modernitas, terhadap Pencerahan (Aufklärung) yang membawa janji emansipasi, dengan mengubur sama sekali kemungkinan adanya emansipasi itu sendiri. Artinya, konsep praksis yang mengandaikan emansipasi tidak lagi mendapat tempat. Bagi pendukung asumsi ini, postmodernisme dengan demikian adalah suatu kepekaan bahwa kehidupan kita tidak lebih dari permainan yang sepenuhnya ditentukan oleh bahasa, yang niscaya bersifat historis dan lokal. Kalapun ada yang disebut dengan "ide kebenaran", itu tidak lain adalah efek bahasa, hasil pembacaan tertentu terhadap "teks" kehidupan. Sebaliknya, di mata penghujat postmodernisme, asumsi tersebut tak pelak akan membawa pada nihilisme dan irasionalisme. Tidak heran kalau Jürgen Habermas, sang pemeluk teguh modernisme, menyebut Michel 8 Foucault dan Jacques Derrida sebagai nihilis, obskurantis dan irasionalis (Butir-butir kritik Habermas terhadap kalangan postmodernis bisa dilihat dalam bukunya The Philosophical Discourse of Modernity, terjemahan F. Lawrence (Cambridge, Mass: MIT Press, 1987). Asumsi bahwa postmodernisme identik dengan anti-emansipasi Pencerahan inilah yang harus diperiksa keabsahannya jika kita menginginkan pembicaraan postmodernisme tidak lagi menjurus pada kesembronoan seperti yang dialami dua pandangan ekstrim di atas. Sebab diakui atau tidak, gugatan postmodernisme terhadap modernitas membawa unsur-unsur yang jelas berbeda dengan gugatan yang pernah muncul sebelumnya, misalnya oleh Teori Kritis Frankfurt (Teori Kritis Masyarakat (eine Kritische Theorie der Gesselschaft) atau "Teori Kritis" adalah mazhab pemikiran neo-Marxis yang pertama berkembang di Institut für Sozialforschung, salah satu jurusan resmi dalam Universitas Frankfurt yang didirikan di Frankfurt am Main pada tahun 1923. Para intelektual yang bergabung dalam institut ini cukup banyak, misalnya Friedrich Pollock (ahli ekonomi), Carl Grunberg (Direktur pertama institut), Max Horkheimer (filosof, sosiolog, psikolog dan direktur sejak 1930), Theodor Wiesendrund-Adorno (filosof, sosiolog, musikolog), Walter Benyamin (kritikus sastra), Erich Fromm (psikolog sosial) dan Herbert Marcuse. Tapi sejauh yang disebut mazhab "Teori Kritis", yang lebih sering dimaksudkan adalah Horkheimer, Marcuse, dan Adorno untuk generasi pertama, dan Jürgen Habermas untuk generasi kedua. Pada dasarnya, generasi Teori Kritis pertama banyak diilhami oleh gagasan-gagasan seorang neo-Marxis, Georg Lukács (1885-1971), terutama konsep reifikasinya. Satu hal penting yang membedakan Teori Kritis dengan Marxis dan neo-Marxis lain adalah sikap independen mereka dari kubu Marxis, baik Sosial demokrat maupun Komunisme, karena secara praktis maupun teoritis mereka tidak memperlakukan Marxisme sebagai norma. Konteks sosio-historis yang melatari Teori Kritis adalah suasana dunia modern waktu itu yang diwarnai totaliterianisme Stalin, fasisme dan otoriterisme Nazi Hitler dan perang dunia yang mereka sebut sebagai "barbarisme baru". Karena itulah Teori Kritis sangat khawatir terhadap patologi rasionalitas modern. Lihat Fransisco Budi Hardiman, Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1990), 35-46. Sumber pustaka lain untuk ini di antaranya Sindhunata, Dilema Usaha Manusia Rasional (Jakarta: Gramedia, 1983). Untuk sumber bahasa Inggris, lihat di antaranya Tom Bottomore, The Frankfurt School (London: Tavistocks Publications, 1984); Leszeck Kolakowski, Main Currents of Marxism: Its Origin, Growth and Dissolution, Vol III (Oxford: Clarendon, 1978); dan Z. Tar, The Frankfurt School: The Critical Theories of Max Horkheimer and Theodor W. Adorno (New York: A Wiley-Interscience Publication, 1977). Teori kritis juga melancarkan kritik yang tajam terhadap modernitas, terutama proses rasionalisasi yang berlangsung di dalamnya, namun dengan pengandaian-pengandaian yang masih berpijak pada modernisme Pencerahan. Ini bisa dilihat, antara lain, dari konsepnya tentang kritik dan praksisemansipatoris. Sementara postmodernisme justru menggugat pengandaian itu. Bahkan pengertian kritisisme yang diajukan Teori Kritis pun dipertanyakan. Persoalannya adalah apakah dengan demikian postmodernisme lantas tidak emansipatoris? Apakah postmodernisme adalah bentuk lain dari nihilisme dan relativisme, yang sedari dulu tampil sebagai kekuatan konservatif vis a vis 9 rasionalitas modern, sebagaimana yang sering dinisbatkan pada Nietszche dan Heidegger? Apakah makna Pencerahan hanya diwakili oleh versi Teori Kritis? Untuk menjawab rangkaian pertanyaan ini, ada baiknya kita, mengikuti Michel Foucault, melakukan kilas balik untuk mencari konteks apa yang melahirkan gagasan tentang Pencerahan dan emansipasi. Kritik dan Heroisme Beberapa tahun sebelum meninggal, Foucault menulis esai--mungkin untuk menanggapi komentar Habermas tentang dirinya--yang berjudul: "Apa itu Pencerahan?" (Esai ini termuat dalam Paul Rabinow (ed.), Foucault Reader (New York: Pantheon, 1984), 32-50). Dengan ini, Foucault sebenarnya bermaksud mendengungkan kembali pertanyaan: Was ist Aufklärung? yang pernah terlontar dua abad lalu di Jerman, tepatnya pada bulan November 1784, dalam jurnal, Berlinische Monastschrift. Di antara penanggapnya waktu itu adalah Immanuel Kant. Pertanyaan ini sangat penting untuk dimunculkan lagi karena ia menandakan peletakan batu pertama filsafat modern, yakni filsafat yang berusaha menjawab pertanyaan tersebut. Jawaban yang kuat gaungnya waktu itu, kita tahu, berasal dari Immanuel Kant (17241804) ketika ia menegaskan bahwa Pencerahan adalah "jalan keluar" yang membebaskan manusia dari situasi ketidakdewasaan, yakni situasi manusia yang masih menggantungkan dirinya pada otoritas diluar dirinya, yang dengannya ia sendiri merasa bersalah, entah otoritas itu atas nama tradisi, dogma agama, ataupun negara. Pencerahan, dengan demikian, harus dipahami sebagai sebuah proses, sekaligus tugas untuk mencapai Mundigkeit, kedewasaan, dengan berani menggunakan rasio sendiri. Sapere Aude! (Beranilah berpikir sendiri!) menjadi semboyan kuatnya. Dari sinilah Kant lalu memunculkan konsep "kritisisme", yang dalam pandangannya berarti usaha untuk menentukan batas-batas kemampuan dan syarat kemungkinan rasio, yang dengannya kita bisa menentukan apa yang mungkin kita ketahui, kita kerjakan, dan kita gantungi harapan. Pada umumnya, kritisisme Kant selalu dipahami sebagai sebuah solusi dan prinsip universal, sebagaimana bisa dilihat dalam pemikiran para filosof Pencerahan setelah Kant, seperti Hegel, Marx, Teori Kritis generasi pertama, Habermas, dan bahkan juga Magnis-Suseno. Seakan-akan rasio itu begitu unggul, mengatasi semua pengalaman yang bersifat partikular dan khusus, dan menghasilkan kebenaran-kebenaran mutlak yang universal, tak terikat waktu. Dan dengan ditemukannya rasio tersebut, maka Mundigkeit pun tercapai. Karena kritisisme dipahami dalam rangka standar universal, maka ia selalu berarti suatu penilaian, pengujian dan pemeriksaan klaimklaim kesahihan dari satu posisi di luar arena, sudut pandang Archimedean, yang dengannya kebenaran bisa ditentukan desain dan arahnya. Dengan prinsip rasional, kehidupan publik pun lantas bisa diatur. Demikianlah kita melihat hal itu pada G.W.F. Hegel (1770-1831). Pandangan Hegel bahwa sejarah adalah gerak rasionalitas yang menaik secara dialektis untuk mencapai totalitas dan kesempurnaan rasio itu sendiri menyiratkan secara kuat semangat universal kritisismenya. Universal karena kritisisme dalam arti Hegelian 10 tidak lain adalah dialektika itu sendiri, sehingga segala perbedaan, otherness, oposisi, kontradiksi semuanya akan lebur dalam rekonsiliasi menuju totalitas tadi (Aufhebung). Meminjam ungkapan Adorno, bangunan sejarah Hegel yang totalistik mengarah pada suatu filsafat "identitas", di mana segala carut-marut perbedaan harus disubordinasikan ke dalamnya. Kita juga melihat klaim universal dalam kritisisme Karl Marx (1818-1883). Menurut Marx, kritisisme tidak hanya gerak dialektika yang mengawang-awang dalam ide sebagaimana kata Hegel, melainkan juga terutama suatu praksis emansipatoris, yakni usaha-usaha mengemansipasi diri dari penindasan dan alienasi yang dihasilkan oleh hubungan-hubungan kekuasaan dalam masyarakat. Dengan demikian, segala bentuk pengetahuan dan kesadaran yang masih berada dalam hubungan-hubungan kekuasaan dalam masyarakat, jadi masih belum teremansipasi, pasti terdistorsi dan bias, karena itu bersifat ideologis dan palsu. Maka, kritisisme haruslah berusaha menghapus hubungan-hubungan kekuasaan dalam masyarakat yang tercermin dalam hubungan pemilikan alat-alat produksi agar pengetahuan dan kebenaran rasional tercapai. Dari sini kita bisa melihat bahwa pengetahuan sejati dan benar menurut Marx hanya ada dalam masyarakat komunis. Kebenaran, dengan begitu, sudah tersedia dan terletak di depan sana, bersifat objektif dan berlaku universal. Dengan nada yang lebih aktual, kritisisme Hegel dan Marx--sekaligus bias universalnya--dilantunkan kembali oleh Teori Kritis aliran Frankfurt. Kata kunci yang paling digemari mereka adalah praksis emansipatoris. Sebagaimana para filosof Pencerahan sebelumnya, kritisisme Teori Kritis terletak pada obsesi mereka untuk menjadi Aufklarung, yang berarti mau menyingkap dan menyobek selubungselubung ideologis yang menutupi kenyataan tak manusiawi dari kesadaran kita. Dengan membuka kedok-kedok ideologis dalam segala hal, termasuk bangunan pemikiran Teori Kritis sendiri, Teori Kritis ingin mengajukan kembali maksud dasar Marx, yakni pembebasan manusia dari segala belenggu penindasan dan pengisapan. Karena terobsesi dengan cita-cita humanisme Marx muda tersebut, Teori Kritis generasi pertama, di antara yang terkenal adalah Horkheimer, Adorno dan Marcuse, memang sempat kecewa berat terhadap rasionalitas modern pada masa itu, yang dianggap kehilangan sifat kritisnya. Artinya, rasionalitas modern sudah melenceng dari khittah Pencerahan. Seperti ditunjukkan oleh Horkheimer dan Adorno dalam Dialektika Pencerahan dan Marcuse dalam Manusia Satu Dimensi, proses rasionalisasi masyarakat ternyata bermuara ke dalam tragedi agung. Karena mendewakan rasionalitasnya yang semula dikira memberi otonomi dan kebebasan, manusia modern justru terperangkap dalam sistem tertutup yang justru irasional dan hampa makna. Dalam kondisi demikian, tidak ada ruang sedikit pun bagi kritik kecuali bahwa kritik itu sendiri pasti ikut memperkuat sistem. Dalam masyarakat modern seperti ini, segala kontradiksi, penindasan, frustasi dan alienasi tidak lagi nampak. Seakan-akan semua aspek kehidupan berjalan lancar, efisien, produktif dan berdaya guna. Padahal yang sebenarnya berlangsung adalah proses dehumanisasi. Ketika kritik hendak bekerja menyingkap kesan semu ini, ia segera mendapati kenyataan bahwa sistem yang irasional itu justru malah merupakan akibat usaha manusia untuk bersikap rasional. Rasionalitas yang semula sangat kritis terhadap mitos-mitos tradisional pada gilirannya justru berubah menjadi mitos baru dalam 11 bentuk ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena itu, Teori Kritis generasi pertama mengambil sikap pesimis terhadap rasionalitas, cenderung menarik diri (resignasi) agar tidak dicaplok oleh sistem, dan bahkan pada akhirnya terkesan anti-praksis (Lihat kata pengantar Franz Magnis-Suseno dalam Sindhunata, Dilema Usaha Manusia Rasional (Jakarta: PT Gramedia, 1983), cetakan kedua, xix-xx). Meski kesudahannya pesimis terhadap modernitas, Teori Kritis generasi pertama sebenarnya secara implisit tetap memahami kritisisme dalam rangka standar universal. Ini terbukti dengan pembedaan yang masih mereka pertahankan antara pengetahuan yang ideologis (pengetahuan yang melegitimasi sistem yang ada) dan pengetahuan sejati. Hanya saja mereka melihat bahwa pengetahuan modern pada masa itu justru ideologis karena terdistorsi oleh relasi kuasa masa modern yang bersifat opresif. Sedangkan pengetahuan rasional yang sejati, yakni yang bebas dari aneka relasi kuasa yang opresif, tetap ada meski kecil kemungkinannya terealisir saat ini. Dalam perkembangan selanjutnya, pesimisme generasi Frankfurt awal direvisi oleh pewarisnya, yakni Jurgen Habermas. Intelektual yang belakangan justru secara lantang membela klaim universalitas standar rasional ini beranggapan bahwa "guruguru"-nya di Frankfurt "salah baca" terhadap karakteristik Pencerahan modern. Habermas secara gigih ingin menyelamatkan elemen-elemen kritis emansipatoris dari Teori Kritis, dengan asumsi bahwa pencerahan Barat tidak hanya menjurus pada patologi, melainkan juga peningkatan diri dan pendewasaan kehidupan sosial. Kesalahan generasi Frankfurt awal, menurut Habermas, adalah bahwa rasionalitas modern dipahami hanya sebagai "rasio-subjek", yakni yang melulu menyangkut kemampuan akal budi kita mengontrol proses-proses objektif alam semesta melalui "kerja." Inilah tipe rasionalitas yang oleh Weber disebut "rasionalitas-tujuan" (zweckrationalitat). Kalaupun rasionalitas modern nampak timpang dan opresif, hal itu karena rasionalitas-tujuan terlalu mendominasi dan menjarah segala aspek kehidupan. Tapi bukan berarti ia menjadi alasan yang sah untuk bersikap pesimis dan menganggap kritisisme macet. Sebab, modernisasi masih mempunyai tipe rasionalitas lain, yang selama ini diabaikan oleh Marx dan generasi Frankfurt awal, yakni "rasio-intersubjektif" atau "rasio-komunikasi", yakni kemampuan akal budi untuk memahami maksud-maksud orang atau kelompok lain secara timbal balik. Proses rasionalisasi tidak perlu berujung pada dominasi dan opresi manakala ia dipahami sebagai pencapaian wacana argumentatif, di mana argumen yang lebih menawarkan klaim kesahihan yang lebih unggul, dapat diterima secara konsensus. Ketika komunikasi suatu ketika mengalami distorsi dan diselingi paksaan, ketika konsensus hanya merupakan pseudo-komunikasi, maka di situlah kritisisme rasional mulai berfungsi, yakni untuk menyingkirkan distorsi-distorsi tersebut. Dan itulah alasannya kenapa bagi Habermas modernisasi adalah "proyek sejarah yang belum selesai." Berdasarkan hasil pelacakan di atas, kita pun mafhum bahwa kritisisme, yang menjadi ciri khas modernisme, di mata para pewarisnya berarti suatu "heroisme" dalam menanggapi situasi zamannya. Karena rasio sebagai prinsip kebenaran universal sudah ditemukan, maka alur sejarah pun bisa dipatok batas-batasnya dan 12 telos (tujuan) sejarah bisa diprediksikan. Setidaknya itulah yang kita lihat pada Hegel ketika ia menganggap demokrasi liberal yang berkembang di Barat sebagai manifestasi kesempurnaan pembentukan diri rasio. Atau Marx ketika menggagas sosialisme ilmiahnya. Secara normatif, rasionalitas tersebut juga menjadi dasar pengorganisasian masyarakat modern. Setidaknya itulah kata Habermas ketika ia mengartikan "proyek modernitas" yang dirumuskan oleh para filosof Pencerahan sejak abad ke-18 sebagai: "rangkaian usaha untuk mengembangkan ilmu objektif, moralitas dan hukum universal serta seni otonom menurut logika-dalam masing-masing. Pada saat yang sama, proyek ini dimaksudkan untuk membebaskan potensi-potens kognitif setiap domain tersebut dari bentuk-bentuk esoterisnya. Para filosof Pencerahan bermaksud mendayagunakan akumulasi dari satuan-satuan budaya itu untuk memperkaya (makna) kehidupan sehari-hari--yakni demi terciptanya suatu penataan kehidupan sosial secara rasional." (Pernyataan Habermas ini dikutip dari Steven Best dan Douglas Kellner, Postmodern Theory (Hampshire, London: Macmillan Education Ltd, 1991), 233) Selain itu, kritisisme juga membawa pada "keseriusan" dalam menanggapi kehidupan. Seandainya kita bayangkan, para filosof Pencerahan adalah tipe filosof yang secara serius bergulat dengan pemikiran-pemikiran "keras", lewat konsepkonsep, argumentasi filsafat dan teori-teori, untuk mencari kebenaran dan jawabanjawaban yang definitif tentang inti segala sesuatu, termasuk dasar pengaturan kehidupan publik. Mereka begitu yakin bahwa kebenaran yang mereka kejar bisa secara persis berkoresponden dengan realitas di luar sana; bahwa konsep dan penggambaran filosofis mereka mampu menjadi cermin realitas. Dengan kata lain, mereka tidak menaruh kecurigaan sama sekali terhadap bahasa yang mereka pakai. Tidak heran kalau kemudian konsep dan teori yang mereka rumuskan diyakini mampu menjadi landasan bagi tindakan pencerahan dan praksis emansipasi. Masyarakat Disiplin Dengan kritisismenya, Foucault pada akhirnya sampai pada upaya penyingkapan karakteristik dunia modern yang mampu menjungkirbalikkan asumsi-asumsi filosof Pencerahan. Dalam pandangan filosof Pencerahan, manusia dipandang sebagai subyek yang otonom, mandiri, dan mampu menentukan diri sendiri. Mereka juga percaya adanya pemilahan yang tegas antara pengetahuan sejati dan murni (rasional, objektif, dan tidak terdistorsi oleh mitos atau hubungan kekuasaan yang menindas) dengan pengetahuan palsu dan tidak murni (irasional, subjektif, dan ideologis/cerminan dari kekuasaan tertentu). Pandangan demikian ditolak keras oleh Foucault. Dalam Disiplin dan Hukuman dan Sejarah Seksualitas, Foucault secara jenial melukiskan bagaimana individu modern, sebagai subjek maupun objek, sebenarnya lahir dan diciptakan oleh multiplisitas dalam jaringan kuasa. Lewat tehnik disiplin dan normalisasi, individu diciptakan sebagai objek. Dan lewat praktek "pengakuan" dan "penguasaan-diri" dalam wacana seksualitas, ia diciptakan sebagai subjek yang membicarakan dirinya sendiri. Selain 13 itu, Foucault juga menegaskan bahwa distingsi antara pengetahuan murni (yang bebas kekuasaan) dan pengetahuan ideologis (yang bias kekuasaan) hanyalah ilusi belaka. Sebab menurut Foucault, pengetahuan dan kekuasaan terpilin dalam kesatuan tunggal. Pandangan Foucault mengenai kuasa dan model teknologi kuasa apa yang beroperasi dalam dunia modern sangat penting untuk dicermati karena dari sinilah kita bisa melihat sejauh mana kritisisme Foucault berimplikasi pada praksis dan emansipasi. Menurut Foucault, kekuasaan bukanlah seperti apa yang dikatakan kaum Weberian, yakni kemampuan subjektif untuk mempengaruhi orang lain. Kekuasaan bukan pula seperti apa yang dikatakan kaum Marxis sebagai artefak material yang bisa dikuasai dan digunakan oleh klas tertentu untuk mendominasi dan menindas klas lain. Kekuasaan bukan institusi, struktur, atau kekuatan menundukkan. Kekuasaan adalah label nominal bagi relasi strategis yang komplek dalam masyarakat (Lihat tulisan Colin Gordon sebagai penutup dalam Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972-1977, diedit oleh Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980), 236). Dalam relasi, tentu saja ada yang di atas ada yang di bawah, ada yang di pusat ada yang di pinggir, ada di dalam ada yang di luar. Tapi bukan berarti kekuasaan semata-mata terletak di atas, di pusat, atau di pinggir. Sebaliknya, kekuasaan menyebar, terpencar dan hadir di mana-mana ibarat jaring yang menjerat kita semua. Kekuasaan berada di semua lapisan, kecil dan besar, laki dan perempuan, yang saleh dan laknat. Fenomena demikian terutama terasa menyolok sekali dalam masyarakat modern yang ditandai rejim "disiplin." Artinya, teknologi kuasa modern tidak lagi bekerja secara terang-terangan, seperti halnya kuasa raja untuk menghukum dalam masyarakat feodal. Kuasa modern bekerja secara anonim dan tak kelihatan lewat disiplinisasi. Teknik disiplin ini meliputi kontrol kegiatan melalui penetapan jadwal dan pelaksanaannya dengan tujuan menghasilkan ritme dan keteraturan; juga kontrol lewat penetapan aturan-aturan terhadap masyarakat, dengan ganjaran bagi yang taat dan hukuman bagi yang membangkang; bahkan juga kontrol mental lewat sosialisasi nilai-nilai moral dan etika kerja (Lihat pengantar Paul Rabinow dalam Foucault Reader, 17). Dengan kuasa disiplin inilah, individu-individu modern yang mengidealkan hidup bebas, produktif dan mandiri dibentuk, dijinakkan, dikembangkan, dan ditundukkan. Semakin mereka merasa bebas dan produktif justru semakin menunjukkan betapa kuasa anonim tersebut berfungsi secara efisien. Dalam konteks ini, kiranya tepat apa yang dikatakan Foucault bahwa lanskap arsitektur kuasa modern merupakan matriks pengurungan yang mirip dengan model panopticon yang diajukan Jeremy Bentham (1784-1804) (Panopticon merupakan model matriks mekanisme kuasa dalam bentuk penataan ruang sedemikian rupa sehingga semua penghuninya bisa dipantau secara sangat transparan. Desainnya kira-kira demikian: sebuah halaman luas, dengan menara di tengahnya dan dikelilingi oleh serangkaian bangunan yang dibagi-bagi dalam tingkat-tingkat dan sel-sel. Dalam masing-masing sel terdapat dua jendela: satu untuk menerima sinar dari luar dan satunya lagi menghadap jendela menara. Dengan begitu, segala isi sel bisa terpantau dari menara. Masing-masing sel jadinya seperti teater kecil, dengan seorang aktor yang sendirian tapi secara konstan 14 kelihatan terus. Dalam kondisi demikian, para penghuni merasa diawasi terus menerus sehingga akhirnya ia membatinkan pengawasan dalam dirinya sendiri. Dia kemudian menjadi pengawas bagi dirinya. Model panopticon ini memperlihatkan bagaimana kuasa modern berfungsi secara anonim dan hadir di mana-mana. Bandingkan Michel Foucault, Discipline and Punish (New York: Vintage Books, 1979), 200. Juga Hubert Dreyfus dan Paul Rabinow, Michel Foucault: Beyond Structuralism and Hermeneutics (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 188-192). Sasaran utama dan efek yang paling nyata dari disiplin ini adalah "normalisasi", penyingkiran segala yang dianggap menyimpang, membangkang, anomali, dan tidak teratur baik secara psikologis maupun sosial. Jadi, masyarakat modern yang kelihatannya rapi, kokoh, normal, dan tertib sebenarnya menyembunyikan bentuk-bentuk dominasi dan penundukkan secara canggih. Namun bukan berarti kekuasaan semata-mata negatif dan represif. Dalam pandangan Foucault, kekuasaan justru beroperasi secara positif dan produktif. Sebab, kekuasaan selalu menciptakan pengetahuan/kebenarannya sendiri sebagaimana pengetahuan juga menyokong kebenaran. Gagasan Foucault mengenai pengetahuan/kebenaran ini secara radikal membedakannya--untuk yang ke sekian kalinya--dengan para filosof Pencerahan, tak terkecuali Teori Kritik yang masih memisahkan antara kebenaran dan ideologi, antara pengetahuan dan kekuasaan. Kebenaran, di mata mereka, adalah entitas yang berada di luar relasi kekuasaan, yang berada "di depan sana", yang dengannya relasi kekuasaan bisa diperiksa dan diatur cara kerjanya. Pandangan ala Pencerahan ini jelas ditolak Foucault. Menurut Foucault, kebenaran tidak terletak di luar, tapi di dalam kuasa. Kebenaran tidak lain adalah relasi kuasa itu sendiri; adalah ensembel aturan-aturan yang menentukan kita, yang kita anggap pasti dan benar bagi kesadaran kita, untuk memilah-milah, mengklasifikasi dan memperlakukan mana yang benar mana yang salah, mana yang sah mana yang batal, mana yang adil dan mana yang tidak, dan seterusnya; adalah sistem prosedurprosedur untuk memproduksi, mengatur, menyebarkan dan mengoperasikan pernyataan-pernyataan (Foucault, Power/Knowledge, 132-133). Dari sinilah Foucault akhirnya menandaskan bahwa pengetahuan apapun tidak pernah melampaui "rejim kebenaran/kuasa"-nya sendiri. Setiap pengetahuan pasti terbentuk dan terikat dalam kondisi-kondisi sosio-historis yang kongkret, dalam kesementaraan, dan tidak pernah mentransformasikan diri menjadi kebenarankebenaran objektif dan universal. Teater yang dipengaruhi oleh pemikiran postmodern dengan sendirinya membentuk filosofi tersendiri. Ringkasan Pertanggungjawaban teater postmodern kontemporer Perancis. Josette Feral melihat kekhasan teater postmodern selama ini dalam penolakannya terhadap narasi dan dari 'organisasi simbolik yang mendominasi teater'. Teater akan diperbuat atas 'pemindahan posisi keinginan terus menerus', tidak pernah menyediakan penontonnya sesuatu untuk dipahami, 'kecuali arus yang mengalir, 15 jaringan dan sistem'. (Feral, 'Performance and Theatricality', hal. 177-179). Demikian pula Regiss Durand mengatakan bahwa orang yang mengorganisasikan kekuatan teater 'adalah bukan daya dorong dan hubungan cerita yang terlalu lama, tetapi lebih melapiskan ke atas atau "lapisan", "pekerjaan yang mengikuti jalan" (Lee Bruer), nukilan, pengulangan, gambar tiruan di atas kertas tipis, dan menghapus, menggandakan, "menghantui" (Herbert Blau), me-nerjemahkan, pemindahan, dan lainlain (Durand, 'Theatre/SIGN/ Performance, hal. 220). Macam teater yang digunakan untuk memberikan syarat ini adalah Ontological-hysteric Theatre dari dramawan Amerika Richard Foreman. Pengalaman seseorang dari pertunjukannya dijelaskan oleh Chantal Pontbriand: Dalam produksinya tak ada mata -juga telinga- yang dapat menemukan gabungan titik yang diistirahatkan. Penonton dalam drama Foreman dibombardir oleh keserbaragaman peristiwa penglihatan dan pendengaran. Pada tingkat pendengaran ada perubahan yang terus menerus pada sejumlah perlengkapan panggung secara geometris, juga dengan suatu pemeranan. Pemindahan potongan-potongan perabotan dan bagian-bagian dari perlengakapan mengubah konteks, juga dengan memberikan lebih besar kedalaman atau dengan menciptakan tanpaan tingkat variasi dalam kedalaman atau ketinggian. Pencahayaan juga berubah secara terus menerus; Perpindahannya harus terjadi secara perlahan atau dengan cepat dan harus mempengaruhi panggung dan mirip rumah; penonton harus secara tiba-tiba menemukan pemandian mereka sendiri dalam cahaya ketika lampu sorot diturunkan pada mereka tanpa peringatan. Seperti untuk suara, segala sesuatu direkam: terompet mobil, sirene, siulan, bitits of Jazz sama baiknya dengan dialog itu sendiri. Naskah dipenggal, dipersingkat, aphoristic, kalimat tak saling berhubungan (Portbriand, "The eye find no fixxed point...",p.159) Topik Diskusi 1. Jelaskan pendapat anda tentang perkembangan pemikiran postmodern dengan teater 2. Seberapa besarkan pengaruh pemikiran kritis dalam menggerakkan pertumbuhan pemikiran dalam teater 3. Apakah masyarakat sekarang dapat memahami pola pertun-jukan teater postmodern yang bersifat dekonstruktif. Bagaimana teater kontemporer postmodern memosisikan dirinya dalam konteks masyarakatnya? Sumber: KEMUDIAN, DI MANAKAH EMANSIPASI? Tentang Teori Kritis, Genealogi, dan Dekonstruksi, Jurnal Kalam, edisi 1 – 1994, Oleh Ahmad Sahal Steven Connor , 1989, Postmodernist Culture, An Introduction to Theories of the Contemporary, Oxford 16 Pertemuan ke 4 Pengertian dan Teknik Teater Modern di Indonesia Teater Modern adalah sebuah style atau gaya atau mode teater yang memiliki perbedaan khusus dengan teater era klasik, romawi, maupun teater tradisional. Dalam perspektif teater Barat, teater modern dicirikan dengan dua komponen dasar, yakni sutradara dan aktor. Prinsip teater modern dicirikan oleh pendapat Jacques Copeau pendiri Theatre du Vieux-Columbier (1913), yakni dengan manifestonya Sebuah panggung kosong, sebuah ruang hampa (‘Pour l’oeuvre nouvelle qu’on nous laisse un treateau nu!). Robert Cohen juga menyebutkan bahwa teater modern dicirikan dari adanya Revolusi Politik di Amerika (1776), dan Perancis (1789) yang dengan sendirinya mengubah struktur politik dunia Barat, dan revolusi industri/teknologi yang memeriksa secara besar-besaran sistem ekonomi dan sosial banyak negara, termasuk Indonesia. Revolusi ini juga terjadi secara simultan pada lapangan intelektual –dalam filsafat, ilmu pengetahuan, pemahaman sosial, dan masyarakat yang tak beragama. Sedangkan menurut Jacob Sumardjo, teater modern Indonesia dicirikan oleh (1) pertunjukan dilakukan di tempat khusus, yakni bangunan panggung prosenium yang memisahkan penonton dengan pemain, (2) penonton harus membayar, (3) fungsi teaternya adalah untuk hiburan dalam segala gradasinya, dari yang sifatnya amat populer sampai yang canggih, (4) unsur cerita amat erat kaitannya dengan peristiwaperistiwa sezaman, (5) ungkapan bentuk sudah menggunakan idiom-idiom modern, seperti adanya intermezzo, pemimpin pertunjukan, lagu keroncong atau Melayu dengan peralatan musik modern, (6) menggunakan bahasa Melayu pasar, (7) adanya pegangan cerita tertulis. Teater Bergaya Modern Kita telah memilih istilah “Teater Bergaya Modern” yang kurang cocok untuk mencakup spektrum atau keseluruhan wilayah perbincangan tentang teater modern, yang meskipun berbeda dalam perujudannya secara individual, namun menunjukkan suatu desakan umum dalam membangun realitas pemodelan secara sadar ke dalam pengalaman teaterikal kehidupan-yang-luas. Gaya teater apapun dalam era apapun, tentu, memiliki gaya yang berbeda, tetapi di masa lalu, sebagian besar gaya selalu ditentukan oleh konvensi mutakhir dan keterbatasan teknologi. Dramawan modern, secara mencolok, memiliki kesadaran menyeleksi dan menciptakan gaya untuk meyakinkan teori estetiknya, prinsip sosialnya, atau penyederhanaan hasratnya untuk perubahan dan sesuatu yang baru. Teater bergaya modern berusaha menciptakan format teater baru, tidak semata-mata mempertinggi atau meningkatkan bentuk performanya tetapi juga menyingkap persoalan mendasar suatu keberadaan: baik pokok-pokok pemahaman, pokok penggabungan, maupun pokok-pokok pribadi dan interaksi lingkungan. 17 Pemakaian gaya oleh teater modern ini berasal dari mana saja dan di mana saja: dari masa lalu, dari budaya asing, dan dari teknologi masa sekarang dan masa depan. Seniman teater modern memiliki segudang sumber yang belum pernah ada sebelumnya untuk sedemikian rupa menggambarkannya, dan mereka secara umum tidak memaksakan penerapan mereka dengan maklumat politik, larangan keagamaan, atau tradisi artistik yang diamanatkan. Teater bergaya modern niscaya orang merdeka dalam sejarah: baik itu dramawan, sutradara, aktor, maupun pendisain yang dibatasi penyelamatan usahanya dengan faktor sumber fisik yang universal dan imajinasi yang dimilikinya sendiri. Sebenarnya sesuatu harus diletakkan di atas panggung sebagaimana mestinya, dan di abad sembilan belas upaya tersebut sebenarnya menunjukkan sesuatu yang mulai berubah dari masa-masa sebelumnya. Gaya teater modern ini tidak melepaskan sama sekali seluruh aspek realitas kehidupan, tetapi ia mempergunakan-nya dalam pandangan yang tak terduga dan mempertinggi pemaknaannya secara bebas dengan simbol dan kiasan, berusaha keras untuk menjelaskan dengan ibarat dan kiasan, membongkar dan membangun kembali dengan bahasa dan pemandangan serta melalui pencahayaan. Lebih jauh, ia membuat secara tegas yang sangat teaterikal melalui teater, seringkali memberikan kesan yang mendalam terhadap penontonnya, secara langsung maupun tidak langsung, bahwa mereka menyaksikan pertunjukan, bukan sebuah episode atau kejadian apa adanya dalam kehidupan sehari-hari seseorang. Penggayaan modern ini akhirnya diperkaya secara lebih luas. Cenderung mengangkat problem psikologis yang menyenangkan seperti persoalan filsafat, dan persoalan dalam hubungan kemanusiaan seperti persoalan kondisi kehidupan manusia. Penggayaan teater ini justru memperkaya persoalan, tidak terbatas pada satu persoalan tertentu; ia menggali abstraksi dan bertujuan memperkuat fokus tematik dan mempertebal dampak pemikiran. Dalam Teater modern ini, perwatakan biasanya mewakili lebih dari pribadi individu atau tipe pribadi. Seperti kiasan abad pertengahan, drama bergaya modern selalu melibatkan watak orang yang mewakili kekuatan alam, kedudukan moral, insting manusia, dan semacamnya --entitas kematian, nasib, idealisme, kekuatan hidup, ibu pertiwi, bapak yang kejam, dan anak yang boros. Dan konflik digabungkan dengan kekuatan yang dimiliki, seperti konflik realisme, tidak menanggapi keterwakilan manusia: mereka lebih menghadirkan perpecahan yang tak pernah habis-habisnya dalam kondisi kehidupan manusia. Teater gaya ini bergaung dengan tekanan dan frustasi manusia dalam wajah yang selalu tidak bisa mencapai titik temu yang sesungguhnya diinginkan. Tetapi bukan berarti bahwa Teater gaya modern selalu suram: ia selalu mempergunakan fantasi dan satir yang tajam sebagai gaya utamanya. Meskipun tema Teater gaya modern mengusung kegelisahan --sebagai contoh, pengasingan manusia, kegagalan komunikasi, kehilangan rasa bersalah, kehilangan harapan dengan ketegaran-- hal ini tidak sepenuhnya menjadi teater yang pesimis atau menampilkan kekejaman yang nihilistik. Selanjutnya, kemuliaan merupakan pilihan terbaik teater bergaya modern, perlawanan selalu membanjiri tema-temanya; ini lebih penting ketimbang frustasi; ini merupakan kemenangan perpusian terhadap pengasingan, komedi terhadap ketiadaan komunikasi, dan ini keterampilan seniman terhadap hilangnya harapan. Gaya teater modern bertujuan mengangkat keberadaan dan bahkan martabat penontonnya, bukan membebani mereka; dan jika gaya teater ini menunjukkan tiadanya solusi terhadap pemecahan permasalahan kehidupan yang 18 sesungguhnya, hal ini dapat dimaknai sebagai upaya untuk memberikan perhatian terhadap totalitas petualangan manusia sejernih mungkin. Ringkasan Teater Modern sebagai gaya memiliki pengertian dan teknik yang berbeda dengan teater Klasik, Romawi maupun teater tradisional di Indonesia. Pengertian dan teknik tersebut dipengaruhi oleh perkembangan zaman yang mengikutinya. Prinsip modern yang lahir dari perkembangan pajang sejarah modern turut memberikan bentuk pemahaman terhadap teater modern. Dari segi geografis maupun kultural, pengertian dan teknik teater modern juga membuat perbedaan yang penting. Di Indonesia berbeda dengan dataran Eropa maupun Amerika, begitu juga di Afrika. Namun demikian, semua itu memiliki rangkaian yang berujung pada satu prinsip, yakni pemahaman terhadap dunia modern. Di Indonesia, teater modern lebih dihubungan dengan teater tradisional, sedangkan di Eropa dan Amerika, perbedaan itu lebih dititikberatkan pada perkembangan filosofi modern yang berkaitan erat pula dengan dunia pengetahuan yang berkembang sangat nyata dalam dataran praksis kehidupan masyarakatnya. Hal inilah yang menyebabkan, mengapa teater modern di Eropa dan Amerika lebih beragam dibandingkan dengan Indonesia Topik Diskusi 1. Jelaskan asal mula kelahiran suatu gaya dalam teater modern 2. Bagaimana fungsi gaya dalam teater modern 3. Amatilah teater modern di sekitar anda, dan bagaimana menurut anda gaya teater modern tersebut? 19 Pertemuan ke 5 TEATER MODERN Teater Modern dan Tradisional Perdebatan antara Tradisional dan Modern dalam teater –bagi sebagian besar kalangan, baik praktisi seni maupun kalangan akademis masih menarik. Paling tidak, inilah topik yang disodorkan oleh penyelenggara Kemah Teater Pelajar dan Umum 2003 di Ambulu, Jember. Hal ini disebabkan oleh keimpangsiuran persepsi modern di satu sisi, dan kecintaan pada khazanah tradisional yang diasumsikan sebagai matra dan entitas kebudayaan lokal disisi lain. Tidak ada yang perlu disalahkan dari kedua kecenderungan perbedaan ini. Namun demikian, apakah kedua paham tersebut –teater Modern dan Tradisional, bersinergi atau saling berlawanan atau melakukan perlawanan satu sama lainnya? Inilah persoalan yang lebih signifikan untuk dibicarakan. Mengapa? Karena, terdapat kecenderungan bahwa teater Modern dipandang sebagai teater yang sulit dimengerti, dan teater tradisional lebih menghibur dan mudah dipahami. Untuk itu, teater Modern selalu dipersalahkan dan teater Tradisional selalu dirindukan. Akhirnya, kedua paham teater ini sama-sama tidak dapat berkembang ditengah-tengah masyarakat yang bukan semata-mata masyarakat kota, dan tidak pula mau mengakui sebagai masyarakat desa yang agraris dan maritim. Pertumbuhan teater di Indonesia tidak bisa dipisahkan dengan kecenderungankecenderungan individu dan masyarakatnya. Begitu pula dengan cara-cara menyikapi teater yang selalu diselaraskan dengan tatanan masyarakat yang ada. Penyelarasan ini merupakan bagian dari proses belajar diantara masyarakat dalam membuka jalan bagi terciptanya keharmonisan dan peningkatan cara hidup dari yang paling sederhana menuju cara yang lebih komprehensif. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila pada awal-awal kehidupan bangsa Indonesia itu dibangun, banyak tempat-tempat pertunjukan didirikan. Disamping itu, fleksibilitas masyarakat juga memberikan peluang bagi lahirnya teater-teater dengan “warna” yang beaneka ragam. Pada awalnya teater modern tidak lahir dari kalangan terpelajar. Namun demikian, dengan berdirinya pusat-pusat pendidikan penting di kota-kota yang juga menjadi pusat perdagangan, maka kaum terpelajar kita selanjutnya mengambil peran penting sebagai pembawa ekspresi intelektual. Keberadaan kaum terpelajar ini menjadi penyeimbang, dan selanjutnya menjadi sosok yang memberikan nilai tersendiri dalam merebut perhatian publik yang mulai memandang kaum terpelajar sebagai masyarakat yang terpandang. Teater tradisional yang tumbuh dalam masyarakat pinggiran kota dan desa, tidak serta merta tersingkir dengan lahirnya teater modern. Bahkan, teaterteater modern yang tumbuh mampu bersinergi dengan teater tradisional. Hal ini disebabkan oleh kuatnya hubungan kultural masyarakat yang memandang nilai tradisional tersebut sebagai nilai luhur dari pendahulu mereka yang “tidak 20 lapuk karena hujan dan tidak lekang karena panas”. Disamping itu, nilai-nilai tradisional dianggap telah memberikan makna penting dalam tatanan kehidupan mereka. Pertumbuhan Teater Modern di Indonesia dan di “Barat” Embrio teater di Indonesia itu sendiri dapat dikatakan tumbuh dari tempat-tempat yang menjadi pusat dari struktur sosial yang tinggi. Jacob Sumardjo menyebutkan “Istana Yogyakarta, rumah-rumah bangsawan, rumah-rumah para priyai Jawa, bahkan juga rumah-rumah rakyat yang sedikit berada, dibangun untuk keperluan teater” (Jacob Sumardjo: 1992). Namun demikian, bukan berarti dalam struktur sosial masyarakat yang rendah, teater tidak tumbuh dengan pesat. Dalam struktur sosial yang rendah, teater lahir dari hubungan antar masyarakat dalam meregenerasikan pengetahuan-pengetahuan yang praktis tentang cara-cara bercocok tanam hingga cara-cara berburu binatang yang dapat digunakan dalam mempertahankan kehidupan mereka. Perbedaan dari kedua tatanan kehidupan praktis teater antara kalangan istana, bangsawan, priyai dan orang kaya dengan kalangan rakyat jelata adalah dalam cara menghidupi teater tersebut. Prinsip dasar religius-magis masih menjadi bagian yang relatif sama diantara keduanya. Seiring dengan masuknya Islam ke Indonesia sekitar abad 13, secara signifikan kultur religius-magis mengalami perubahan mendasar dalam cara menghidupi teater. Sedangkan dalam sejarah teater “Barat”, kebangkitan teater Modern yang sangat kuat di Eropa dan Amerika berawal dari perkembangan realisme sekitar 1875. Beberapa penulis naskah yang diyakini berada dalam periode ini diantaranya adalah Anton Pavlovich Chekov, Hendrik Ibsen, Luigi Pirandello, August Strindberg, Eugene O’Neill, George Bernard Shaw, Jean-Paul Sartre, Samuel Becket, Sean O’Casey, John Osborne, Bertolt Brecht, Federico Garcia Lorca, Tennessee Williams, Arthur Miller, dan Jean Anouilh, sedangkan komedi Neil Simon dan Noel Coward, musical Richard Rodgers dan Oscar Hammerstein disebut oleh Robert Cohen sebagai “modern commercial classics” (Robert Cohen: 1983, 170). Lebih jauh Robert Cohen menyebutkan bahwa teater Modern dicirikan dari munculnya revolusi Politik di Amerika (1776) dan Perancis (1789) yang dengan sendirinya mengubah struktur politik dunia Barat, dan revolusi industri/teknologi memeriksa secara besar-besaran sistem ekonomi dan sosial di banyak negara, termasuk di Indonesia. Disamping politik dan sosial, secara simultan juga terjadi pada lapangan intelektual –dalam filsafat, ilmu pengetahuan, pemahaman sosial, dan masyarakat yang tak beragama. Sedangkan dalam teater tersebutlah nama Jacques Copeau pendiri Theatre du VieuxColumbier (1913) sebagai bapak teater modern (Evans, 1989: 53). Pada tahun yang sama, Copeau mengakhiri manifestonya dengan kata-kata suci –‘Pour l’oeuvre nouvelle qu’on nous laisse un treteau nu! Sebuah panggung kosong, sebuah ruang hampa: lima puluh tahun kemudian pencarian ini dilanjutkan dalam karya Peter Brook dan yang lainnya. Gagasan Copeau ini kemudian melahirkan teater-teater kontemporer dan eksperimental. 21 Namun demikian, sejarah modern dalam masyarakat “Barat” muncul melalui semangat humanisme Italia sekitar abad 14. Kemudian menemukan Renaissance yang menggugurkan kebekuan abad pertengahan dengan mengusung semangat pembebasan terhadap dogma agama, keberanian menerima dan menghadapi dunia nyata; keyakinan menemukan kebenaran dengan kemampuan sendiri; kebangkitan mempelajari kembali sastra dan budaya klasik; serta keinginan mengangkat harkat dan martabat manusia (Harun Hadiwijono, 1994: 11-12). Perjuangan panjang kebudayaan modern pun memuncak dengan kelahiran Pencerahan di abad 18. Perbedaan nyata sejarah modernisme di Indonesia dengan “Barat” khususnya, tidak dengan sendirinya memisahkan paham teater keduanya. Karena, teater-teater modern di Indonesia berakar dari persentuhannya dengan “teater Barat”. Sedangkan pertemuannya dengan teater Tradisional, bagaimanapun juga membawa semangat yang berlawanan. Perlawanan tersebut lebih pada bentuk-bentuk pertunjukannya. Sedangkan dari gagasan-gagasan yang lahir melalui sumber-sumber penceritaannya secara realatif hampir sama dengan pendekatan dalam teater Tradisional. Jadi, disatu sisi hubungan teater Modern dan Tradisional di Indonesia menimbulkan perlawanan satu sama lain, namun disisi lain bersinergi hingga kini. Catatan: Tulisan ini rangkuman makalah penulis untuk Temu Teater Pelajar dan Umum 2003 di Ambulu, Jember oleh Autar Abdillah) Topik Diskusi 1. Bagaimana pendapat anda tentang pengertian dan teknik teater modern, baik di Indonesia maupun di luar Indonesia! Apakah anda setuju dengan adanya perbedaan di kedua wilayah ini. Bila anda setuju ada perbedaan, jelaskanlah. Dan, bila anda tidak setuju, jelaskan pula alasannya! 2. Bagaimana pendapat anda perbedaan antara teater Tradisional dan Modern di Indonesia. Mengapa perbedaan tersebut terjadi? 3. Jika anda diminta memilih, bentuk teater mana (modern atau tradisional) yang lebih anda minati. Jelaskan pendapat anda! 4. Di tempat anda tinggal, bentuk teater manakah yang lebih banyak berkembang. Jelaskan mengapa bentuk teater tersebut yang lebih berkembang! 5. Bagaimana pendapat anda tentang catatan Tradisional dan Modern Teater dalam tulisan diatas. 22 Pertemuan ke 6 TEATER MODERN Pengaruh Sastra Drama Modern Indonesia Sastra Drama Modern Indonesia lahir pada masa penjajahan Drama Bebasari (1926) ditempatkan sebagai sastra Drama Modern Indonesia pertama, karena merupakan naskah drama pertama yang menggunakan bahasa Indonesia (Melayu Rendah/bahasa Melayu pasaran), dan dalam bentuk tertulis, atau bukan lagi bahasa tutur dan lisan. Bersamaan dengan tumbuhnya Sastra Drama Modern Indonesia, sastra Drama Asing (Inggris, Rusia, Spanyol, Jerman) memberikan kontribusi yang sangat besar. Hal ini dimungkinkan oleh penggunaan sastra drama asing tersebut dalam berbagai pertunjukan teater di Indonesia Percampuran drama modern Indonesia dengan drama asing itu memberikan pengaruh yang besar dalam pertumbuhan drama modern Indonesia, begitu pula pada bentuk teater modern. Masyarakat pun turut andil dalam menggairahkan pertumbuhan drama dan teater modern Indonesia. Hal ini diperlihatkan oleh beragamnya drama dan teater modern Indonesia pasca Kemerdekaan. Drama Modern pasca Kemerdekaan dengan dukungan perguruan tinggi dan pendidikan yang modern, terutama dalam ilmu sastra dan teater, telah memberikan bentuk yang lebih kuat terhadap karya drama dan teater Dramawan modern Indonesia tergolong cukup kreatif dalam mempertemukan berbagai unsur yang ditemukan dalam mempersatukan aspek tradisional maupun karya drama asing. Karya saduran dan adaptasi merupakan salah satu contoh yang menarik untuk kita simak dan sebagai fakta yang tak bisa ditolak lagi terhadap sebuah sikap kreatif dramawan, dan akhirnya teaterawan modern Indonesia. Hingga 1970-an, drama modern Indonesia berada dalam satu bentuk yang sangat kuat, yakni realisme, disamping juga ditemukan drama-drama naturalisme, romantisme, epik dan absurd. Era 1980-an, kekuatan karya drama modern mulai memiliki daya tarik, khususnya dengan munculnya pemikiran-pemikiran baru dalam teater. Drama modern Indonesia berubah bentuk sedemikian cepat, dan melahirkan teater-teater yang juga sejalan dengan pertumbuhan drama modern Era 1990-an, drama modern mulai mengalami berbagai tantangan karena kebekuan pertumbuhan dramatiknya, dan berkembangnya berbagai teknologi yang mulai menggerogoti paham drama modern Indonesia. Namun demikian, drama modern Indonesia tetap bertahan, karena siklus pemahaman dan daya tangkap masyarakat secara intelektual, serta pertumbuhan dunia global dan popular, hingga menguatnya televisi dan cyber media pada umumnya Pertumbuhan dan pengaruh sastra modern di masing-masing daerah di Indonesia tidak sama satu sama lainnya. Hal ini disebabkan oleh cara pandang pelaku teater maupun pertumbuhan kebudayaan yang terjadi di suatu daerah yang saling mengikat kebutuhan kreatif para pelaku teater di Indonesia. 23 Ringkasan Pertumbuhan drama modern sangat mempengaruhi pertumbuhan teater di Indonesia, khususnya dalam mempercepat tumbuhnya teater modern Indonesia. Dramawan teater Indonesia yang selalu merupakan pelaku teater sekaligus, dengan sendirinya melakukan berbagai penyesuaian dengan gaya drama modern tersebut. Penyesuaian tersebut juga melahirkan bentuk teater baru. Peran dunia akdemik dan pertumbuhan teknologi yang cepat mempengaruhi dunia sastra drama modern dan teater pada umumnya. Topik Diskusi 1. Mengapa sastra drama modern Indonesia mempengaruhi dunia teater pada umumnya. Dan, apakah yang menyebabkan terjadinya pengaruh tersebut! 2. Bacalah salah satu karya drama Indonesia, dan carilah aspek modernitas dalam karya tersebut! 3. Saksikanlah salah satu karya teater di Indonesia, dan carilah apa yang anda pahami sebagai karya teater modern Indonesia! 4. Cobalah temukan salah satu pelaku teater di kota anda, dan cobalah identifikasi aspek-aspek modern yang mereka kenal. Dan, bagaimana pendapat anda terhadap pemikiran pelaku teater tersebut 5. Apakah anda sepakat, bahwa sastra drama modern Indonesia diperlukan dalam kehidupan sekarang. Begitu juga dengan teater modern, apakah masih diperlukan dalam kehidupan sekarang ini! 24 Pertemuan ke 7 Romantisme Perintis Jalan: Romantisme Romantisme: Teater yang pertamakali memberikan tanggapan atas perubahan dan percobaan pada abad pencerahan Romantisme, sebuah gerakan artistik yang dimulai di Eropa pada akhir abad 18 dan mencapai puncak teaterikalnya pada abad sembilan belas, diantara karya seperti Faust I (bagian I, 1808) oleh Johann Wolfgang von Goethe, Hernani oleh Victor Hugo (1830), dan dramatisasi oleh Alexander Dumas (Damas peare) dari novelnya The Three Musheteers (1844). Romantisme merupakan gerakan yang dipahami dalam pemberontakan melawan ketidakleluasaan konvensi; penulis drama Romantik berusaha dengan sekuat tenaga --dan dengan kesadaran sendiri-- untuk membebaskan dramaturgi dari penyempitan formula neoklasik yang didasari sajak yang penuh bunga bahasa, gerakan yang riuh, petualangan kepahlawanan, perasaan yang penuh gairah, dan gaya yang penuh keagungan. Dengan tekanan bentuk-bebas, cerita picaresque, tempat suatu peristiwa yang asing, pahlawan tanpa ukuran, dan penjahat, serta struktur dramatik yang apa adanya. Romantisme memberikan perkembangan teaterikal imajinatif dan mengagumkan, terutama sekali dalam menyelamatkan bentuk opera besar dan film ”pengembaraan ruang angkasa” (space odyssey). Karena penekanannya pada ketidakkompromian dan individualitas serta penolakannya pada penerimaan aturan teater, Romantisme merupakan sebuah pendahuluan yang tepat dari semua gerakan dan gaya dramatik modern. Beberapa kalangan Romantik yang telah bersusah payah, bagaimanapun juga, sebenarnya dapat ditemukan dalam semua drama modern dan pertunjukan teater. Gerakan Romantik di Jerman Anda dapat mengatakan bahwa drama karya Shakespeare dan Calderon adalah Romantik, jika anda ingin menyusun pendapat ini tidak dari Sophocles dengan integritas klasiknya, atau drama oleh Racine dengan kesatuan klasiknya. Tetapi suatu hal yang sangat berbeda pada drama Romantik 150 tahun yang lalu. Romantisme dengan huruf kapital R dimulai dengan gerakan Storm and Stress (angin topan dan tekanan) dari anak muda Goethe dan Schiller. Di Jerman gerakan ini diturunkan ke dalam melodrama Kotzebue dan “drama takdir” dengan sedikit orang. Gerakan romantik bermaksud --sekitar 50 tahun terakhir dan mencakup penulis dan penyair besar semacam Victor Hugo dan Lord Byron, seperti HG Wells yang telah meletakkan gerakan ini, dalam “mediavalisme”, hal ini berarti warna kemerahmerahan dan kaya, hal ini berarti gerakan tubuh menuju penjelajahan dalam baju baja dan pencelaan gaya berpakaian dan ketertarikan masa kini. Hal ini berarti 25 insting melawan pendapat dan emosi melawan ilmu pengetahuan...hal ini diberontak tidak hanya terhadap realitas masa sekarang, tetapi juga masa klasik”. Gerakan ini dinyatakan dalam absurditas yang aneh, hantu/momok, penglihatan kedua, horor perkuburan, inti horor yang jahat. Studi perwatakan memberikan pandangan terhadap melodrama belaka. Dalam romantisme Austria dan Jerman memiliki dua orang yang bermartabat besar. Viennese Franz Grillparzer menemukan sukses dalam drama pertamanya, Die Ahnfrau (The Ancestress/Leluhur) dipentaskan tahun 1817. Dia menulis dengan keramahan tentang Sappho dan tentang Jason dan Medea. Dia membalikkan Kehidupan adalah sebuah Mimpi (Life is a Dream) karya Calderon kedalam Der Traum ein Leben (Mimpi adalah Kehidupan/Dream is Life), yang memberikan sebuah bagian yang sempurna pada aktor terkenal Jerman Adalbert Matkowsky pada akhir abad sembilan belas. Grillparzer mempunyai ketangkasan khusus untuk komedi. Juga Heinrich von Kleist, orang yang memulai dengan menulis sebuah “drama takdir” pada akhir abad sembilan belas, dan mencapai prestasi humor terbaik beberapa tahun berikutnya dengan Der Zerbrochene Krug (The Broken Pitcher). Ini merupakan dramanya yang serius, bagaimanapun juga, sebagaimana Penthesilea dan Die Hermannsschlacht (The Battle or Arminius), memperlihatkan kekuatan dramatiknya sebaik dialog hidup yang digagasnya. Sturm und Drang 1771-1781, mencapai klimaks di Perancis dengan melahirkan melodrama romantik: Kotzebue, Pixerecourt, Knowles. Perjuangan liberalisme dan demokrasi dibatasi oleh kepandaian menulis kritik, sosial dan politik. Novel moral kehidupan keluarga borjuis, dan khususnya drama borjuis, kelihatan memiliki tujuan yang sama. Mereka juga bagian dari “penulisan politik”, mereka semua digerakkan oleh pertanyaan yang sama; semua karya kesusasteraan sebagian besar bersifat propaganda. Persoalan yang sama ditunjukkan melalui perlawanan emosional analisis Rousseau dan rasionalisme yang menjadi disiplin Voltaire menegaskan problematika itu sendiri dalam semua sisi, dan jiwa khas suatu bangsa pada drama. Kalangan borjuis bagaimanapun juga memiliki sifat kesusasteraan pencerahan yang berwenang memunculkan semangat borjuisnya. Pemikir Jerman selalu mulai memainkan permainan gandanya di abad pencerahan, ketika permainan ini kadang-kadang dipertunjukkan dengan semangat besar untuk revolusi dan kadang-kadang untuk romantisme konservatif dan banyak menyumbangkan kesangsian kesadaran diantara borjuis tentang keadilan yang dituntutnya. Hal ini menemukan gagasan “supraborjuis” ideal dan perasaan untuk kehidupan serta ditanamkan ke dalam kesadaran borjuis yang mana kesadaran itu mengatasi dirinya sendiri agar meningkatkan dirinya sendiri ke tingkat kemanusiaan yang tertinggi. Romantik, bagaimanapun juga, dari gambaran yang sangat awal cita-cita kecerdasan pemikiran dan gambaran sifat non borjuis ini menjelaskan ketidaksenangan Goethe terhadap mereka --dan Stendhal menyatakan kebenciannya dan jijik terhadap sesuatu yang dipahami Goethe yang menyalurkan kehidupan secara bersungguhsungguh. 26 Revolusi menjadi kehampaan artistik dan produksi seni kecil dibatasi gayanya sendiri hingga fase rococo. Tetapi artistik yang sesungguhnya menunjukkan semangat revolusioner yang tidak ditangkap oleh kaum klasik, seperti David atau Chenier, tetapi romantisme yang pertamakali membuka pandangan tersebut. Revolusi itu sendiri tak dapat merealisasikan dirinya sendiri, agaknya, masih bersifat menengahi dan pada tingkatan yang janggal, atau dalam bentuk lama. Seni ditetapkan seperti yang selalu dicatat Marx, disamping pembangunan politik. Penyair dan seniman bukan nabi, tidak juga menabikan masa-masa pencerahan dan revolusi. Ketika orang berkata tentang nilai “supraborjuis”, mereka menentukan ideologi praborjuis konservatif. Seringkali melibatkan psikologi kompleks yang tinggi. Dalam Kabale und Liebe karya Schiller sebagai contoh, tiga generasi dan tiga filosofi kehidupan yang berbeda dilibatkan dalam proses. Disamping lingkaran sopan santun praborjuis, yang mewakili prinsip kejahatan sosial yang telah diperangi, dua dunia keluarga borjuis Louise dan dunia supraborjuis Ferdinand diperbandingkan. Dalam Don Carlos, dimana Posa dengan kesopanan supraborjuisnya tidak hanya memahami lebih jauh “ketidakbahagiaan” raja, tetapi juga menyusun untuk membangkitkan simpati tertentu terhadapnya, hubungannya juga rumit. Hal ini menjadi sulit lagi untuk membagi antara sikap ”supraborjuis” ini, kita melihat --sebuah kerajaan borjuis atau pengkhianatan ideal revolusioner dari bentuk citoyen. Dalam banyak kasus, penyerangan terhadap borjuis dan perlawanan melawan moralitas borjuis serta pandangan hidup yang mesti hampir memulai dan idiom drama borjuis dan tetap hingga Shaw dan Ibsen. Mereka memperkuat perluasan kesusasteraan borjuis sehingga menjadi anti borjuis. Setiap pernyataan pribadi adalah unik, tak ada bandingannya, dan tak tergantikan, setiap orang membawa ukuran yang dimilikinya dan aturan untuk dirinya sendiri. Pengertian ini merupakan prestasi revolusi yang sangat signifikan sepanjang menyangkut kesenian. Wilayah seni modern, sebagai sebuah kemenangan tak bersyarat dan otoritas yang sah secara universal, konvensi dan tradisi, yang merupakan hasil revolusi dan romantisme. Pada saat ini ketidakbersyaratan seniman bagaimanapun juga dia harus mendukung gerakan, sekolah, atau sahabat dalam pandangan, atau senjata, melengkapi dirinya dari momen dia mulai menulis, menyusun komposisi, atau melukis. Perasaan ini menjadi watak kemanusiaan romantik, seni adalah bahasa manusia sunyi, diasingkan dari dunia, menyaksikan dan tak pernah menemukan simpati. Dia mengekspresikan dirinya dalam bentuk seni karena --secara tragis maupun menyenangkan-- dia tak menjadi khawatir dengan sesama manusianya. Ringkasan Romantisme lahir dengan keunikan sejarah tersendiri. Artinya, Romantisme bisa litinjau dari periode pasca neo klasik, tetapi juga akan semakin jelas pada era modern di awal abad delapan belas. 27 Disamping itu, romantisme juga memiliki nilai perjuangan terhadap khazanah politik borjouis dan supraborjouis yang mempengaruhi dunia intelektual. Maka tidak mengherankan, bila dalam pertumbuhan romantisme, isu-isu politik dan kecenderungan melakukan perlawanan terhadap upaya merendahkan semangat kritis secara revolusioner. Perlawanan ini juga dapat kita lihat pada realisme, dan pada realisme masalah social dan psikologis lebih ditekankan untuk membangun aspek dramatis –terutama dalam hal tematiknya. Romantisme lebih dikenal di Jerman, dan merupakan perjuangan dua tokoh penting dramawan Jerman, Schiller dan Goethe. Strum und Drung atau Angin Topan dan Tekanan, merupakan dasar perjuangan yang melahirkan romantisme di Jerman. Di Indonesia, kita tidak mengenal perjuangan romantisme seperti di Jerman maupun di Inggris. Drama dan Teater Romantisme di Indonesia, tidak setegas dan sekuat yang ada di dataran Eropa dan Amerika. Di Indonesia pun belum ada penelitian khusus tentang drama dan teater Romantisme ini. Namun demikian kita masih mungkin mengkajinya dari aspek membaca masa lalu dengan gaya Romantisme dalam beberapa drama di Indonesia, tetapi inipun belum dilakukan secara sungguh-sungguh. Topik Diskusi 1. Jelaskanlah dengan bahasa anda sendiri, apa yang dipahami sebagai Romantisme 2. 3. Carilah hubungan drama dan teater Romantik dengan gerakan Romantik Apakah anda setuju dengan adanya gerakan Romantik ini pada masa sekarang. Bila anda setuju, berikanlah penjelasan atau argumentasi yang mendukungnya. Dan, bila anda tidak setuju, jelaskan pula alasannya! 28 Pertemuan ke 8 Realisme Gerakan yang lebih dapat menembus dan berdampak pada kehidupan panjang dalam teater modern, adalah realisme. Realisme mencoba untuk menciptakan sebuah drama tanpa konvensi atau abstraksi, melalui penyesuaian sederhana dengan kehidupan itu sendiri. Kesamaan pada kehidupan merupakan tujuan realisme, dan dalam pencapaian tujuan itu, mengidealkan atau mempercantik latar atau dekorasi, penggambaran dibuat semutakhir mungkin, dan kostum serta pertunjukan disesuaikan dengan mode yang berkembang. Realisme merupakan filosofi estetik yang memperdayakan, memukau atau menakjubkan, ketika teater selalu menempatkan kehidupan nyata sebagai subjek fundamentalnya, dan realisme kelihatan sekejap mata menjadi gaya yang pantas dengan pendekatan realitas suatu keberadaan. Sebagai pengganti watak yang dihadirkan aktor, dapat dikatakan realistik, lihatlah aktor itu ketika menjadi tokoh tertentu; sebagai pengganti dialog terdapat percakapan, yakni dialog yang merupakan percakapan; sebagai pengganti pemandangan dan kostum yang menyampaikan rasa waktu dan tempat serta atmosfir, lihatlah pemandangan yang secara sungguh-sungguh dapat ditempati, dan kostum yang merupakan pakaian yang sebenarnya. Ideologi realisme telah diuji, selama tahun-tahun terakhir abad sembilan belas dan tahun-tahun pertama abad dua puluh hingga sekarang ini, dalam setiap aspek – pemeranan, penyutradaan, disain, dan penulisan-- dan hasil ujian bentuk tubuh teater semuanya dengan keabsahan dan penuh makna, dan sebuah gaya yang signifikan tetap dipentingkan. Pada pokoknya, teater realistik dipahami menjadi laboratori dalam alam yang saling berhubungan, atau kesakitan masyarakat atau gejala disfungsi keluarga yang “secara objektif” menjadi kesejukan ketika kata akhir penonton yang mengamati, berujud tanpa pemihakan. Setiap aspek teater realistik dengan sangat akurat mengikuti “metode ilmu pengetahuan ilmiah” dari laboratorium; tak ada jaringan yang salah. Latar yang menyerupai tempat terjadinya suatu peristiwa yang ditentukan lakon sebagaimana segala sesuatunya memungkinkan diteliti; memang hal ini bukan luar biasa untuk banyak dekor yang diperoleh dari lingkungan kehidupan-nyata yang dipindahkan ke teater (dalam satu contoh yang sangat terkenal, produser Amerika David Belasco pergi ke tempat yang sangat jauh untuk pembelian sebuah restoran New York, membongkarnya, dan membangun kembali dengan membagi panggung Broadwaynya). Pakaian usang dengan perwatakan dalam teater realistik mengikuti pakaian yang sebenarnya dari ”kenyataan” orang-orang dengan status sosialnya tertentu; dialog diucapkan seperti penciptaan-kembali irama dan ekspresi kehidupan sehari-hari. Pada awalnya gerakan panggung prosenium realis dimodifikasikan untuk mengakomodasi naskah lakon dengan dekor yang dibangun dalam susunan kotak, 29 dinding diberikan penuh dimensi dan lemari buku yang nyata, jendela, perapian, pintu yang mengikuti arus mode mutakhir dan seterusnya, dibangun di dinding sebagaimana mereka dalam ruangan di rumah. Dalam konteks yang sama, pemeranan realistik dipertimbangkan secara efektif sejauh sebagaimana tergambar dalam kebiasaan hidup, dan sejauh seperti aktor yang kelihatan berbicara sungguhsungguh kepada yang lain sebagai pengganti permainan bagi penonton. Sebuah prinsip estetika baru menimbulkan: ”teater dinding keempat”, yang mana kehidupan di atas panggung dipahami menjadi sama seperti kehidupan di dalam kehidupannyata, kecuali dalam kasus panggung satu dinding --prosenium terbuka-- yang digerakkan kembali. Lalu teater ”dinding keempat” seperti laboratorium teleskop dan panggung seperti slide mokroskopis: lingkungan kehidupan disusun untuk pengamatan yang lugas melalui pengamatan yang netral. Selanjutnya realisme menghadirkan penontonnya dengan banyak ”fakta-fakta” kehidupan-nyata yang kelihatan, dan memberikan kesempatan setiap penonton untuk sampai pada kesimpulan yang dimilikinya. Beberapa bentuk fakta-fakta ini sama-sama meyakinkannya dengan pengarang dan pemain, tetapi banyak rangsangan teater realistik disebabkan oleh kebebasan pemahaman sejati yang disediakan penonton, dan dengan ketepatan penokohan, tindak tanduk yang cukup kekeluargaan untuk menyeimbangkan pertunjukan bahwa mereka dengan mudah memahami dan mengidentifikasinya dengan kehidupan sehari-hari. Selain itu, dalam menghadirkan fakta-faktanya dari permukaan kehidupan, realisme mendorong kita untuk mempelajari misteri kebenaran yang tak terucapkan melalui setiap maksud yang terkandung dalam drama realistik. Watak pemeran realisme, seperti manusia dalam kehidupan, yang ditampilkan secara detail atau rinci, ketimbang simbol atau idealisasi abstrak: seperti manusia yang kita ketahui, mereka pada akhirnya tak dapat diduga, antara manusia yang kompleks ketimbang kemutlakan ideologis. Keberhasilan realisme sangat mapan: karena itu, realisme salah satu gaya drama yang sangat dominan hingga saat ini. Pada saat ini, ketika keahlian dan pertunjukan yang dilakukan seniman terlatih, teater realistik dapat menimbulkan kekuatan empati penonton secara sungguh-sungguh dengan kebaikan pengetahuan dan kejernihan yang membawanya kepada peristiwa dunia-nyata. Dalam memberikan kita perwatakan, penulis realis memberikan kita teman: kawan bertualang dalam perjalanan penjelajahan manusia dengan orang yang kita dapat bandingkan pemikiran dan perasaannya. Dalam ketidaktentuan dan ragu-ragu bercampur takut, bermuram durja, berbicara terputus-putus, dan melalui kalimat percakapan perwatakan ini kita mengenal diri kita sendiri, dan dalam pengenalan itu kita memperoleh pemahaman kekuatan yang kita miliki dan memberikan arah bagi kerja keras manusia. Pelopor Realisme: Teater realistik telah dimulai pada masa empat tahun melalui karya perdana Rumah Boneka (A Doll’s Hause, 1879), Hantu-hantu (Ghost, 1881), Sampah Masyarakat (An Enemy of the People, 1882), tiga drama oleh pengarang Norwegia Hendrik Ibsen. Awal karirnya, Ibsen menjadi sutradara panggung dan penyair dramatik, dan karya sebelumnya untuk teater mencakup drama-puisi epik/Romantik yang bagus sekali Peer Gynt (1867). Dengan tiga drama, yang menguraikan tentang permasalahan aturan wanita dalam masyarakat, penyakit 30 turunan dan membunuh rasa belas kasihan, serta kemunafikan politik, dia akhirnya kembali pada gaya realistik. Orang biasa mendiami dunia realistik Ibsen, permasalahan ditujukan dalam pengaruh drama suami-istri yang biasa, anak-ibu, dan hubungan sanak saudara, dimainkan dalam rumah yang biasa. Drama-drama ini, termasuk ukuran yang kontroversial pada masa mereka, tetap memakai kekuatan yang jitu setiap hari dan masih memiliki kekuatan untuk memberi pelajaran, untuk bergerak, dan juga mengejutkan. Alasan pada dampak terakhir terletak pada pilihan permasalahan Ibsen dan keahliannya dalam menunjukkan dua sisi kejiwaan yang rinci melalui pengungkapan yang cerdas. Teater realistik menyebar dengan cepat melalui Eropa seperti kontroversi yang ada disekeliling drama Ibsen dan tema yang merangsang penulis lain untuk berbuat hal yang demikian pula. Hasilnya adalah perkembangbiakan “persoalan drama” seperti sering mereka sebutkan, yakni memusatkan perhatian pada keturunan kemasyarakat melalui gambaran drama realistik. Di Jerman, Gerhart Hauptmann menggali keadaan klas proletar dan menengah dalam beberapa karyanya, yang sangat terkenal dari puncak karyanya The Weavers (1892). Di Inggris, penulis kelahiran Irlandia George Benard Shaw menciptakan realisme komedi melalui yang dia tujukan pada masalah tuan tanah perkampungan yang miskin dan kotor (dalam Widower’s Houses, 1892), pelacuran (dalam Mrs Warren’s Profession, 1902), dan kemiskinan masyarakat urban (dalam Major Barbara, 1905). Di Perancis, melalui penemuan inovatif sutradara Andre Antoine, Eugene Brieux menulis seri problem drama realistik yang mencakup Damaged Goods (1902), yang menjelaskan tentang sipilis, dan Maternity (1903), yang menjelaskan kontrol kelahiran. Dengan kembalinya abad realisme pada pokoknya merupakan bentuk dramatik standar di Eropa. Di Indonesia, teater realis bisa dilihat pada teater tradisional, terutama dalam aspek pemeranan dan penyutradaraan. Sedangkan dalam aspek lain, terutama pada disain baru dapat kita temukan sekitar pada tahun 1960-an, ketika berdirinya Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI), maipun Akademi Seni Drama dan Film Indonesia (Asdrafi) di Yogyakarta. Unsur realistik dalam teater merupakan salah satu realitas yang dapat diamati kemiripannya. Ini merupakan sebuah kebenaran fotografis. Kita menerapkan istilah realistik pada unsur teater yang menunjukkan pengamatan masyarakat, tempat dan peristiwa kita. Teater realistik mengikuti logika kehidupan sehari-hari yang dapat diduga: hukum gravitas, waktu yang menempatkan seseorang pada perjalanan dari satu tempat ke tempat lain, pandangan ruang dalam rumah yang kelihatan, pandangan pakaian seseorang. Dengan pendekatan realistik sesuai untuk pengharapan kita yang normal. Perilaku imajinasi penonton disebutkan dalam latihan realisme merupakan persetujuan pandangan yang disaksikan di atas panggung tidak membuat percaya tetapi kehidupan yang nyata. Kita sungguh akrab dengan realisme dalam film dan televisi. Bagian dari alasan mekanis. Kamera mereka apa yang “terlihat” lensa. Begitu pula dengan ruangan di rumah, mobil di jalanan, atau the Grand Canyon, film menangkap pemandangan seperti mata melihatnya. Teater selalu memiliki unsur realistik juga. Setiap tipe teater yang tidak murni fantasi memiliki aspek realistik. Sebagai contoh, perwatakan yang mengharuskan untuk 31 menghadirkan orang secara nyata harus didukung kebenaran manusia yang penonton dapat mempercayai. Ringkasan Daftar Perbedaan Konvensi Teknik Realistik dan Non-Realistik dalam Teater No . Teknik Realistik Konsep Pendekatan Teknik Non-Realistik 1. Penonton mengetahui Cerita peristiwa yang terjadi atau mungkin terjadi dalam kehidupan sehari-hari: A Streetcar Named Desire karya Tennessee Williams Peristiwa tidak terjadi dalam kehidupan nyata, tetapi hanya dalam imajinasi: Kota Kita karya Tornton Wilder 2. Tindakan dibatasai pada tempat yang nyata: The Little Fox karya Lilian Hellman Mempergunakan waktu dan tempat yang berubah-ubah: The Dream Play karya August Strinberg 3. Kemanusiaan yang dapat dikenal, seperti keluarga -ibu, bapak, dan dua anaknya- Long Day’s Journey into Night karya Eugene O’Neill 4. Pemain menggambarkan orang seperti mereka menunjukkan reaksi dalam kehidupan sehari-hari: Nora Helmer dalam A Doll’s House karya Hendrik Ibsen 5. Dialog atau percakapan biasa: The Glass Menagerie karya William Struktur Perwatakan Pemeranan Bahasa Tokoh yang tidak nyata seperti Hantu ayah Hamlet dalam Hamlet, Tiga Tukang Sihir Wanita dalam Machbeth, atau orang yang berubah menjadi binatang dalam Rhinoceros karya Eugene Ionesco Pemain bertindak seperti hantu dan binatang; mereka juga ikut serta menyanyi, menari, akrobat, dan senam dalam komedi musikal atau sebuah bagian dari seni pertunjukan Puisi seperti Romeo berbicara dengan Juliet dalam drama Shakespeare; atau lagu “Tonight” yang dinyanyikan untuk Maria dalam musikal West Side Story 32 6. Ruang rumah yang nyata, seperti dalam The Cherry Orchad karya Anton Chekov 7. Cahaya di panggung kelihatan berasal dari sumber yang alamiah --lampu dalam sebuah ruangan, atau matahari, seperti Ghosts karya Hendrik Ibsen 8. Pakaian yang biasa, seperti dipergunakan oleh tokohtokoh Fences karya August Strinberg 9. Pemandangan Pencahayaan Pakaian Kelihatan watak yang alamiah Tata Rias seperti Raisin in the Sun karya Hansberry Bentuk dan keadaan yang abstrak dalam panggung kosong drama Yunani, sebagai contoh, seperti Electra karya Sophocles Cahaya lampu jatuh pada sudut yang aneh; juga, penggunaan warna cahaya lampu yang tidak beraturan. Contoh: spotlight biru pada penyanyi dalam komedi musikal pakaian paduan suara yang cemerlang dalam komedi musikal; pakaian aneh yang dipergunakan oleh Caliban, setengah manusia, setengah binatang dalam The Tempest karya Shakespeare Topeng yang dipakai oleh pemain dalam tragedi Yunani atau dalam drama modern America Harrah karya van Itallic Autar Abdillah sumber : Edwin Wilson, 1988, The Theatre Experinece, New York: McGraw-Hill Book Company, hal. 425-427 Topik Diskusi 1. Jelaskanlah apa yang anda ketahui tentang drama dan teater Realisme! 2. Mengapa teater realisme masih menjadi gerakan yang dominan hingga saat ini? 3. Bacalah naskah-naskah drama realisme dan jelaskanlah apa yang menjadi tema masing-masing drama tersebut! 4. Saksikanlah beberapa teater yang cenderung menunjukkan realisme, dan jelaskanlah unsur-unsur realisme dalam pertunjukan tersebut! 5. Jelaskan perbedaan antara teater realistik dan non realistik! 33 Pertemuan ke 9 Naturalisme Menurut Robert Cohen, ”Naturalisme dalam sejarahnya memiliki perkembangan yang hampir sejalan dengan Realisme. Kedua gerakan ini memiliki bentuk dramaturgi yang sama. Namun demikian, Naturalisme dipandang sebagai sebuah gerakan yang tersendiri, karena Naturalisme memiliki dasar pandangan yang bertolakbelakang terhadap ’realitas manusia’”. Naturalisme bukan hanya masalah gaya semata; naturalisme juga merupakan pengertian filsafat yang memperhatikan hakekat kehidupan binatang. Dan pakar teater Naturalisme melakukan upaya yang mempunyai maksud tertentu dengan menggali konsep tersebut, mempergunakan Realisme secara ekstrim sebagai dasar dramaturginya. Para naturalis, yang menyuburkan gerakan naturalisme –terutama di Perancis selama akhir abad sembilan belas (Emile Zola merupakan pimpinan teoritikusnya), didasari pada konsepsi estetika mereka tentang alam, dan khususnya pada diri manusia di lingkungan sekitarnya (konsepsi Darwinian). Bagi para naturalis, manusia sematamata merupakan fenomena biologis biasa yang sama sekali dibatasi oleh keadaan genetik dan sosial. Untuk menggambarkan manusia sebagai pahlawan, atau sebagai kekuatan yang dipercaya untuk merubah masyarakat, adalah haram bagi para naturalis. Mereka mencari cara dalam mengeliminasi atau mengurangi konvensi drama lama: ”semua keberhasilan panggung besar dimenangkan dengan oleh adanya konvensi’’, seperti dinyatakan Zola. Upaya mereka dalam penyutradaraan ini dicontohkan oleh pengurangan masa istirahat oleh dramawan August Strinberg dalam pertunjukan Miss Julie (selain permasalahan sekelompok petani, dan juga tidak relevannya alur, saat adegan memasuki dapur antara sebuah adegan dan tarian, pada saat yang sama Julie memasuki kamar tidur Jean di luar panggung), dan sampai pada adegan awal, hingga akhir, maupun klimaks oleh Arthur Schnitzler dilakukan pengurangan episode bersambung ketika terjadi perselingkuhan yang diperankan oleh La Ronde. Eugene O’Neill, penulis naskah terbesar pertama Amerika, pelopor dalam dunia gaya naturalisme, kembali pada gaya itu dalam puncak karya otobiografisnya Long Day’s Journey into Night—sebuah kisah nyata yang didramakan sehingga O’Neill melarang otobiografinya untuk diproduksi atau dipublikasi hingga beberapa tahun setelah meninggalnya. Saat ini, drama-drama Arthur Miller, Tennesse Williams, Robert Anderson, William Inge, dan David Mernet sangat dipengaruhi oleh realisme dan naturalisme, merupakan kelanjutan dari kuatnya pengaruh drama Amerika. Naturalisme abad sembilan belas, dalam beberapa hal, tidak lain dari pada bentuk romantisme yang menggunakan makna yang berbeda dan konvensi yang sudah dimodifikasi. Seni tetap mengungkapkan dan memberikan dampak kekecewaan yang sama dalam mengatasi pemikiran setelah ketidakberhasilan dari sebagian revolusi, dan kegagalan borjuis –seperti kelas liberal. Hanya sesuatu yang baru dalam naturalisme –yakni tampak seadanya seperti orang yang kita lihat pada saat ini, berupaya menjaga sesuatu ”untuk fakta dan tak lain hanya suatu fakta”. Di sisi lain, aktivisme mengungkapkan pendirian bahwa naturalisme, seperti ditegaskan Champfleury, gerakan yang berhubungan dengan demokrasi dan naturalisme serta sosialisme, revolusi artsitik dan politik, seperti ditegaskan Proudhon 34 dan Baourbet, hanya menghadirkan kembali perbedaan bentuk ideologi dan tingkah laku kehidupan yang sama. Zola masih menghadirkan kembali doktrin ini ketika dia menangis tak henti-henti, “La Republique sera naturaliste ou elle ne sera pas”. Realisasi naturalisme politik hari ke hari memuat kesaksian untuk fakta mengikuti perkembangan dalam pandangan yang tepat, seni dan seniman mulai mengambil kedudukan baru dalam masyarakat, meskipun peran aktif mereka, hubungan baru mereka dengan gerakan progresif politik, terbatas pada lingkaran yang relatif kecil dan periode yang luar biasa singkat. Bagaimanapun juga beberapa bentuk liberalisme bagian dari seluruh gerakan naturalisme; seperti Flaubert, Baudelaire, Maupassant, Zola, dan Goncourt, untuk semua perbedaan pendapat politik mereka, protes keras mereka melawan kemapanan borjuis, dan sikap anti rezim mereka yang tak dapat ditawar-tawar lagi. Tak seorang pun dari mereka akan memaafkan dirinya menjadi seorang pendukung borjuis yang berpandangan-picik. Pemikiran kreatif kembali sebagai perkumpulan dan tanpa tedeng aling-aling melawan anggota kelas yang dimilikinya. Meskipun dari segi pandangan sejarah gaya impresionisme hanya menunjukkan penyelesaian naturalisme, namun begitu hal ini menunjukkan sebuah pelanggaran yang tak dapat disalahkan dengan pandangan rasionalistik yang mendasarinya dalam dunia yang naturalistik pada umumnya dan para aktivis dan sosialis yang menjadi pendukung khusus. Kepasifan estetikus secara politik dari generasi baru menjadi tekanan, meskipun banyak dari mereka memimpin keberadaan proletarian dan Manet serta Degas berada dalam konteks ini tanpa terkecuali. Kebencian, bagaimanapun juga masih merembes pada generasi Flaubert yang memberikan pandangan politik yang biasa saja. Seniman sebagai kelompok yang mendapatkan kesempatan keluar dari kebiasaan mencampuri secara praksis (politik), dan menggunakan pengaruh dalam hal artistik. Kebiasaan para impresionis terhadap publik, bagaimanapun juga, murni persoalan artistik, sama sekali merupakan agresivitas dan ketegaran. Kecenderungan terhadap kontradiksi dan kehendak yang membingungkan lebih jauh dari pemikiran mereka yang berasal dari beberapa tokoh naturalis, dan jika mereka menolak orang, ini hanya sebagai hasil yang sulit dari idiom baru yang mereka gunakan. Tokoh naturalis seperti Coubert membuat marah publik borjuis tidak hanya karena bahasa formalnya yang tidak lumrah, tetapi juga karena mewakili keremehan persoalan yang dia ungkapkan, dan cara-cara kampungan dengan mana dia menghadirkan diri mereka. Impresionisme memperbandingkan kekurangan perbedaan ini, sebuah “gaya aristokratik” yang tidak sopan; ini merupakan penawaran dan bagus sekali, sensitif dan gelisah, pengemar makanan dan minuman serta sensual, kelihatan bernuansa indah dan pengalaman yang terpilih. Hal ini secara bertingkat juga kehilangan hubungannya dengan empirisme dan materialisme para naturalis dan pertama-tama dalam sastra dan berikutnya juga lukisan, mengungkapkan reaksi spiritualistik yang dapat disamakan, dalam formalisme pengestetisasian yang sempurna, untuk konservatisme politik, untuk seniman sebagai pengelola kelompok. Para impresionis, bagaimanapun juga memiliki lebih sedikit seniman generasi tua, tidak hanya dalam hal pertanyaan politik dan sosial, tetapi juga tentang pertanyaan estetik dan politik umum yang sama baiknya, meskipun satu atau yang lainnya dari mereka, khususnya Degas, lebih jauh memperhalus dan memperbedakan pemikir semacam Courbet, sebagai contoh. Secara umum, mereka lebih sepihak dan lebih sederhana, banyak pematung yang menyendiri dan terspesialisisasi ketimbang pendahulu mereka, mereka mewakili kelengkapan prinsip seni untuk seni (l’art pour 35 a’art), gagasan penyempurnaan teknis dan keindahan formal. Secara berlawanan azas, tugas seniman sejak masa Renaisance awal tidak pernah membatasi sepenuhnya untuk membawa keahliannya dan dengan menyolok memisahkan dari setiap fungsi lain sebagaimana fase akhir perkembangan intelektual. Latar belakang ideologis pada proses sejarah menjadi sangat transparan terlebih identifikasi gerakan seni untuk seni (l’art pour l’art) itu sendiri dengan ejekan dan pengapkiran naturalisme --banyak orang merasakan mereka khawatir terhadap pembukaan rahasia ini. Naturalisme tidak hanya menentang secara kasar dan tak senonoh, dan mencirikan gerakan nihilistik yang menyusun kebebasan liar, binatang yang risau dalam manusia dan kekuatan penghancuran dan keterputusan dalam masyarakat, penghancuran agama, bangsa dan keluarga (baca Montserrat), tetapi hal ini juga kelihatan sebagai kecenderungan dalam rasa ketidakberartian orang yang cepat dan kedangkalan yang hampa --sebuah celaan dengan orang yang merasa mereka telah menemukan seperti serangan pada pelukis Manet yang ditujukan pada Courbet. Sekitar pertengahan abad ini orang masih memikirkan mereka akan membela ketertarikan peradaban melawan naturalisme; sekitar 1885 mereka membela kehidupan kreatif melawan materialisme dalam kesenian. Masyarakat membayangkan tentang misteri keberadaan dan kedalaman semangat yang tak dapat diduga. Segala sesuatu yang dapat dipercaya ditemukan menjadi hambar, dan hanya apa yang tidak kelihatan dan tak bertuan adalah patut diperhatikan. Kecenderungan ini dalam kesusasteraan diungkapkan dalam simbolisme Rimbaud, Mallarme, dan Paul Valery, yang mana seperti seni van Gogh, Gauguin, dan para ekspresionis yang memiliki akarnya dalam bagian impresionisme dan berperan penting disini, hampir tak terasa, untuk melengkapi seni yang bukan naturalistik, sebuah estetisisme neoromantik dan mistisisme artistik. Hancurnya kesetiaan seni sekarang ini merupakan alasan yang luas dari pendekatan sumbang terhadap budaya estetika. Ringkasan Naturalisme lebih menekankan aspek ilmu pengetahuan dibandingkan dengan realisme, merskipun secara bentuk pertunjukan nyaris sama. Disamping itu, aspek politik. Ekonomi, dan sosial sangat mempengaruhi pemikiran naturalisme secara umum. Gaya merupakan gabungan langsung terhadap perbedaan dalam masyarakat asli, situasi ekonomi, dan aspirasi politik pendukungnya: membangun seniman Boheme, biasanya kampungan dan tanpa makna, seperti pelukis Barbizon dan Bourbet serta pengikutnya. Semuanya dikondisikan oleh proses politik yang sama, dan sama-sama menempatkan sikap negatif terhadap keadaan yang mereka hadapi; tugas, bagaimanapun juga, upaya menunjukkan keterwakilan mereka yang berasal dari fakta yang diberikan -menggabungkan keadaan klas dan kemiskinan mereka-- perbedaan yang utuh. Seni Courbet dan Champfleury diisi dengan penderitaan secara revolusioner dan optimisme reformis, yang asli dari mereka dalam kesetiaan Pencerahan pada masa depan. Protes estetik merupakan gerak dan makna yang hampa. Topik Diskusi a. Apakah yang anda pahami tentang Naturalisme? b. Bagaimana anda memaknai Naturalisme pada masa sekarang ini? c. Mengapa Naturalisme lebih menekankan aspek politik, ekonomi dan sosial dengan bentuk-bentuk kampungan dan ketidaksopanan? 36 Pertemuan ke 10 Simbolisme dan Stilisasi Realisme dan Naturalisme tidak hanya gerakan baru untuk membuat diri mereka merasa kuat dalam teater modern. Sebuah kekuatan perlawanan, sama-sama sangat kuat, sudah terbukti. Perujudan gerakan yang pertama kali diketahui seperti Simbolisme, dikembangkan dan diperluas ke dalam apa yang kita akan sebut “Teater Bergaya Modern”, yang bergerak secara bertahap melalui Eropa dan dengan cepat memulai perlombaan yang sebenarnya lebih maju dari realisme. Pemberontakan Simbolis Gerakan Simbolis dimulai di Paris sekitar 1880-an sebagai sebuah usaha bersama seniman, penulis drama, eseis, kritikus, pematung, dan penyair. Simbolisme memiliki satu tujuan, yakni untuk menundukkan apa yang dianggap para pengikutnya menjadi sebuah kebangkrutan realisme secara spiritual, dan untuk menempatkan kembali realisme dalam nilai estetika tradisional: persajakan, tamsil, kesenangan baru, fantasi, hiburan, kebesaran, keberanian, pesona, dan besarnya nilai manusia super. Tumpukan kebencian mereka terhadap detail secara harfiah dan untuk semua keduniawian atau yang biasa dan yang mereka sungguh-sungguh pertimbangkan, kaum Simbolis menuntut abstraksi, pembesaran, dan perubahan; semangat kaum Simbolis memuncak dalam encapsulation puitik, kehadiran drama yang berukuran besar, efek visual fantastik, permulaan kebiasaan susunan yang mengagetkan, dan pengucapan yang penuh dengan kata-kata muluk. Kesucian visi ketimbang ketepatan pengamatan, merupakan tujuan kaum Simbolis, dan inovasi kreatif kesadaran diri sendiri menjadi penyelesaian utama mereka. Teater Simbolis pertama, didirikan pada 1890 oleh penyair Paris Paul Fort, yang bakal sebagai penyerang langsung dalam naturalistik Theatre Libre Andre Antoine, yang didirikan tiga tahun lebih awal. Teater Fort, Theatre d’Art, bertujuan ”hanya sebuah teater puisi Simbolis dimana setiap pertunjukannya menunjukkan sebuah peperangan”. Dalam beberapa pandangan teater Antoine dan Fort memiliki banyak kesamaan: keduanya sama-sama amatir, keduanya sangat termasyhur, masingmasing melayani pusat ”sekolah” ideologi artistik yang sama-sama mendapat banyak perhatian dan kontroversi dalam usaha melahirkan teaterikalitasnya. Tetapi kedua teater itu adalah terus terang, dilakukan dengan kesengajaan, berperang mempertahankan konsepsinya masing-masing. Ketika Antoine menghadirkan pertunjukan perdana drama naturalistik dan realistik karya August Strinberg, Emile Zola, dan Hendrik Ibsen, Fort menghadirkan panggung puisi dan drama puitik yang keduanya berasal dari penulis kontemporer dan masa kini semacam French Arthur Rimbaud (1854-1891) dan Paul Verlaine (1844-1896), penulis Belgia Maurice Maeterlinck (1862-1949), dan penulis Amerika Edgar Allan Poe (1809-1849). Selanjutnya Antoine akan melakukan seluruh penciptaan 37 pemandangan untuk dramanya (sebagai contoh, dia mendapatkan sisi daging yang nyata dan menggantungnya di pengait daging untuk pertunjukannya berjudul The Buchers), Fort memimpin pelukis kuda-kuda impresionis, termasuk Pierre Bonnard, Maurice Denis, dan Odilon Redon, untuk memakai panggung dengan gayanya. Bidadari perak (Silver Angels), kerudung tembus cahaya, dan helaian kertas pembungkus kusut diantara dekor yang menyokong karya Simbolis pada Theatre d’Art. Teater Fort menciptakan sensasi yang cepat di Paris. Dengan keberhasilan yang menarik perhatian pada 1880, The Intruder, sebuah fantasi putik dan misterius karya Maeterlinck, gerakan anti realis benar-benar berbicara dan, seperti Fort memanggil kembali dalam riwayat hidup singkatnya, ”tangisan dan tepukan pelajar, penyair, dan seniman meluapkan pencelaan yang sangat besar terhadap borjuis”. Penyebaran gerakan secara cepat seperti pengarang dan disainer yang memiliki kesadaran terhadap kemungkinan teater yang membebaskan ketidakleluasaan kemungkinan. Realisme, terus menerus menuai kritik, tak pernah mengemukakan kejadian sehari-hari pada tingkat seni; jikalau menyeret seni turun ke dalam kotoran keduniawian. Hal ini melawan semua hal, bahwa teater berdiri di masa lalu; hal ini memberangus potensi kreativitas artsitik. Segera kemudian pengarang naturalistik dan realistik seperti Ibsen, Strinberg, Gerhart Hauptmann, dan George Bernard Shaw muncul dibawah pengaruh Simbolis dan meninggalkan keasyikan sosial mereka dan kebenaran lingkung-annya untuk menyaksikan bahasa baru dan tema yang lebih universal. Sebagai unsur tambahan, pada saat ini penelitian Sigmund Freud menyelaraskan yang diketahui secara umum, dan teorinya mengenai khayalan mimpi dan dipergunakannya dunia ketidaksadaran sumber bahan baru untuk panggung. Kembali mengenai abad ini, perlawanan susunan stilisasi teater oleh kaum Simbolis dimapankan dalam semua sisi: selanjutnya, pertengahan dekade 1900 menghadirkan kembali satu periode terkaya eksperimentasi dalam sejarah penulisan drama. Pada akhir dekade ini datang pola dasar cerita dongeng Hauptmann berjudul The Sunken Bell (Jerman, 1896), terlampau kartunis dan logika yang tajam dan pedas (scatalogical) Alfred Jarry berjudul Ubu Roi (Perancis, 1898), syair liris yang sering muncul dalam ingatan individualisme Ibsen berjudul When We Dead Awaken (Norway, 1899), khayalan dan imagis Strinberg berjudul The Dream Play (Sweden, 1902), fabel puitik evocative William Buttler Yeats berjudul Cathleen ni Houlihan (Irlandia, 1903), kiasan filsafat Shaw berjudul Man and Superman (England, 1903), dan ketidakterdugaan (whimsical), fantasi bouyant James Barrie berjudul Peter Pan (England, 1904). Hampir setiap inovasi dramatik yang diikuti hingga saat ini sedikitnya memberi pertanda dengan satu atau banyak karya yang memiliki kemungkinan berkembang di masa depan untuk non realistik teater. Pertentangan Simbolik-realis mempengaruhi setiap aspek produksi teater. InspirasiSimbolis sutradara dan disainer, setahap demi setahap dengan penulis naskah, merubah secara drastis seni pemanggungan dan dekor untuk mengakomodasi dramaturgi baru yang menggelora dalam teater. Sutradara realis seperti Antoine dan Stanislavski tiba-tiba menemukan perubahan dalam diri mereka dengan alasan permusuhan dan pengkhianatan: sebuah sekolah sutradara Simbolis dan puitik 38 berdiri di Perancis, dan membentuk disiplin Stanislavski, ”Konstruktivis” Vlesevod Meyerhold, memutuskan hubungan dengan tokoh Rusia untuk menciptakan gaya pemeranan dan penyutradaraan “bio-mechanical” non realistik dalam bentuk yang berlawanan pada kemapanan the Moscow Art Theatre. Dengan kehadiran pencahayaan lampu panggung yang elektrik, kesempatan untuk penggayaan sangat berkembang: teknologi baru memungkinkan sutradara modern menciptakan efek panggung yang hidup, kenyataan yang tidak benar-benar kelihatan, lalu penggunaan bijaksana lampu sorot, bayangan dan cahaya yang teduh. Teknologi, menambah kecenderungan dalam seni post-impresionis yang dimapankan di Eropa 1900, menuju disain pakaian dan pemandangan yang secara radikal berbeda dari realisme. Eksotisme, fantasi, kesenangan sensual belaka, makna simbolik, dan kemurnian estetik menjadi sasaran para pendisain yang utama dalam menyatukan pemberontakan terhadap realis. Pada pertunjukan perdana (drama realistik Ibsen) Hantu-hantu, Saya tidak dapat melepaskan diri dari ilusi yang tak saya diketahui sebabnya saat itu. Semua tokoh kelihatan menjadi sedikit lebih kecil dari ukuran kehidupan; panggung, lebih dulu kelihatan tetapi panggung kecil Royalty, kelihatan lebih bear dari pada yang saya lihat sebelumnya. Boneka Whimpering kecil bergerak kesana kemari di tengah abyss yang luas. Mengapa mereka tidak berbicara keluar dengan suara keras dan bergerak dengan gerakan tubuh yang bebas? Apakah hal ini dipertimbangkan melalui jiwa terus menerus? Tentu mereka semua berada dalam penjara, dan belum berada dalam penjara. Di India terdapat desa yang sangat patuh terhadap semua tahanan yang mereka gambarkan sebuah lingkaran melalui bumi dengan majelisnya, dan untuk menjelaskan pencurinya berdiri di sana berjam-jam lamanya, tetapi apakah hukum yang dimiliki manusia hancur, ketika mereka ingin mengelilingi lingkaran semua kehidupan mereka?... Apakah yang mereka tunjukkan pada kita ...tetapi... untuk menggali kembali suatu seni teater yang akan mengasyikkan, menghibur, whimsical, cantik, bergema, dan semuanya sama-sama sembrono. William Buttler Yeats Realisme merupakan pemaknaan ekspresi yang vulgar diberikan secara buta. Lalu kita menyanyikan lagu cahaya-terang: ”Kecantik-an adalah Kebenaran, Kecantikan yang sebenarnya --bahwa semua yang kita ketahui di bumi, dan semua yang butuh kita ketahui”. Kebutaan adalah mendengar teriakan dengan suara yang serak: “Kecantikan adalah realisme, Kecantikan Realisme –bahwa semua yang saya ketahui tentang bumi, dan semua yang saya pelihara untuk diketahui, sangat jelas!” Perbedaan ini merupakan inti semua cinta. Siapa yang mencintai bumi menyaksikan kecantikan dimana-mana: dia merupakan pemindahan tuhan oleh pengetahuan yang tidak lengkap menjadi lengkap. Dia dapat menyembuhkan kepincangan dan penyakit, dapat memukul keberanian hingga capek, dan dia dapat belajar bagaimana membuat kebutaan dapat melihat. 39 Kekuatan yang dimiliki selalu kerasukan setan oleh seniman, orang yang dalam pendapat saya, aturan bumi... Bagian penonton yang terbatas mencintai kecantikan dan benci Realisme merupakan sebuah minoritas kecil enam milyar jiwa. Mereka terpencar-pencar disini dan di sana di seluruh bumi. Jika sekiranya mereka menyaksikan teater modern, hanya sesekali. Itulah sebabnya mengapa saya mencintai mereka, dan bermaksud untuk menyatukan mereka. Gordon Craig Manusia yang kita sebut sutradara sekarang, yang bekerja semata-mata menggabungkan kelengkapan susunan panggung, keinginan, dalam dramatik puitik, aturan tokoh pelatih lalim drama yang bertujuan memahami bagaimana persiapan studi memerlukan susunan panggung yang banyak, keperluan setiap unsur pemandangan produksi agar tercipta sintesis artistik, menghidupkan kembali segala sesuatu di bawah pengawasannya dengan mengorbankan aktor, orang yang akhirnya harus dikuasai ... upaya prinsip sebagai sutradara akan meyakinkan anggota individual kelompok pemerannya, bahwa hanya penundukan kepribadian mereka yang sulit untuk menyatukan pertunjukan akan menciptakan sebuah hasil penting. Dia akan lebih suka memimpin orkestra; efeknya akan menjadi sebuah daya tarik tersendiri. Adolphe Appia Dalam beberapa kekaguman, Simbolis bertujuan menggantikan mimpi dari keasliannya. Seni teater Paul Fort, meskipun berakhir tetapi sangat mutakhir, keturunan spiritualnya sekarang ini berada di setiap kota di dunia Barat dimana teater dipertunjukkan. Jika kita ingat bahwa gerakan aktor, tingkatan pewarnaan cahaya lampu, merupakan dua unsur gambar panggung yang berbeda dari lukisan, kita tidak akan menemukan kesulitan untuk menciptakan seni terbaik panggung sebagai sebuah kebenaran seni murni. Tuan Gordon Craig telah melakukan sesuatu yang indah dengan penataan cahaya lampu, tetapi dia tidak terlalu tertarik pada aktor, dan arus pencahayaan langsung warna lampunya, cantik, akan selalu kelihatan, sebagai bagian peristiwa yang tentu luar biasa, tampak luar yang baru. Kita akan sedikit bergairah, tetapi untuk semua peristiwa luar biasa, juga, cahaya yang mebayang, seperti siang hari, dan hal ini mungkin bahwa cahaya memantulkan cermin dengan memberikan apa yang kita butuhkan. Tuan Appia dan tuan Fortuny membuat eksperimen pemanggung-an Wagner untuk teater primitif di Paris, tetapi saya tidak dapat memahami apa yang tuan Appia lakukan, dari sedikit tulisannya yang saya lihat, kecuali bahwa lantai panggung akan menjadi tidak rata seperti tanah, dan bahwa peristiwa pencahayaan dan bayangan hijau akan menjatuhkan pemain, bahwa panggung memperlihatkan seseorang ingin melewati kayu, dan tanpa sebatang kayu dengan manusia di tengahnya. 40 Seseorang menyetujui dengan semua bagian penghancuran kritisismenya, tetapi hal ini kelihatan agar supaya dirinya sendiri kelihatan, tanpa konvensi, tetapi realisme lebih sempurna. Saya tidak dapat meyakinkan diri saya sendiri bahwa gerakan kehidupan diikuti oleh pandangan ini, untuk kehidupan yang bergerak dengan denyut yang bergetar, dengan reaksi dan aksi. Waktu konvensi dan dekorasi dan upacara datang kembali William Butler Yeats Ringkasan: Perkembangan Simbolisme Gerakan simbolis itu sendiri hidup singkat. Pada intinya sebuah gerakan yang negatif: penganutnya mengutamakan kesatuan apa yang mereka lawan. Dalam kesenian dan estetika, gerakan negatif tak dapat lebih lama, untuk seni, akhirnya sebuah proses yang konstruktif, bukan proses yang destruktif. Dengan berbulan-bulan kemajuan simbolis, bagaimanapun juga, simbolis sebagai sebuah gerakan seperti telah ditinggalkan oleh pendiri dan pengikutnya. Kemanakah mereka pergi? Ditinggalkan gerakan-gerakan yang lebih baru: Futurisme, Dadaisme, Idealisme, Estetisisme, Impresionisme, Ekspresionisme, Konstruktivisme, Esoterisisme, Surealisme, Formalisme, Teaterikalisme, dan barangkali ribuan isme lainnya telah hilang oleh waktu. Paruh ketiga abad ini, selanjutnya merupakan era teaterikalisme, sebuah era yang kaya dengan melanjutkan eksperimentasi dengan gerakan kesadaran-diri sendiri yang kelihatan mendefenisikan kembali seni teater. “Isme-isme” teater muncul seperti jamur, masingmasing mengucapkan kredo dan manifesto yang dimilikinya, masing-masing mengingatkan suatu seni yang lebih baik --paling tidak, tentunya sebuah dunia yang lebih baik. Ini merupakan sebuah era yang penuh semangat bagi teater, untuk keluar dari tumpukan maupun campuran isme-isme estetika seni drama yang meletakkan makna sosial dan politik baru dalam budaya kapital Eropa dan Amerika: sebuah drama yang berhasil tidak sematamata karena drama itu sendiri, ia menandakan sebuah kasus, dan disamping itu kasus ini merupakan tubuh pendukung yang setia, dan pengikut yang membentuk sebuah kedalaman komitmen estetika. Tidak pernah ada semangat isme yang benar-benar seperti keadaan sekarang ini, bagi kita yang kehilangan pengaruh sosial, dapat mengembalikan sebuah gerakan estetik ke dalam kepercaya-an kolektif yang besar. Tetapi eksperimen dan penggalian pada awal abad ini, dan semangat non realis Simbolisme itu sendiri, diperjuangkan dan tumbuh dengan subur dalam beragam bentuk: Teater Ritual, Teater Puitik, Teater Keramat, Teater Kacau, Teater Eksistensialis, Seni Teater, Teater Garda Depan, Teater Absurd, dan Teater Alienasi. kelompok yang paling akhir, tidak seperti isme, merupakan penegasan-kritis ketimbang penegasan-seniman; memang, banyak seniman teater sekarang menolak ”pengelompok-an” tatanan apapun. Bagaimanapun juga, format itu meneruskan pengelompokan yang dapat menunjukkan refleksi pendekatan umum terhadap susunan, gaya, dan eksperimentasi yang dimulai Simbolis di akhir abad sembilan belas. 41 Topik Diskusi 1. Gerakan-gerakan, isme, hingga filosofi berteater yang kita saksikan pada Simbolisme ini, seperti hendak mengatakan kepada kita, bahwa ”banyak jalan menuju teater”. Bagaimana pendapat anda tentang hal ini? 2. Mengapa Simbolisme begitu ambisius untuk menumbangkan Realisme yang lebih banyak ”digemari” masyarakat? 3. Apabila anda disuguhi teater Simbolis dan Realis, mana yang anda pilih. Sebutkan alasan anda! 4. Apakah anda pernah menemui teater Simbolis di lingkungan anda? Cobalah cari, mengapa teater Simbolis itu ada atau tidak ada di lingkungan anda! 5. Apakah yang anda pahami tentang teater Simbolis? 42 Pertemuan 11 Ekspresionisme, dan Eksistensialisme Ekspresionisme Dari semua aliran, Ekspresionisme merupakan satu dari semua itu yang memberikan peningkatan sangat berarti pada tubuh teater modern, barangkali karena pengertiannya yang luas, dan kesatuannya terlihat pada ekspresionisme dalam seni visual. Teater Ekspresionisme yang mana banyak ditemukan dalam gaya teater di Jerman sekitar dekade pertama abad dua puluh (khususnya di tahun 1920-an) mempertunjukkan dialog yang mengejutkan dan mengocok perut menjadi keutamaannya, dekorasi dibesar-besarkan atau dilebih-lebihkan dengan penuh keberanian, suara yang tajam menusuk, cahaya yang terang, banyak warna utama, sangat kasar menggunakan simbol, dan struktur yang pendek, kejam sekali, serta pemandangan yang menusuk untuk membangun kekuatan (dan biasanya memekakkan) klimaks. Di Amerika, Eugene O’Neill hadir di bawah pengaruh Ekspresionis setelah muncul pada awalnya dalam Naturalisme, dan di tahun 1920-an O’Neill menulis seri drama yang meledak-ledak dengan menekankan kealamian manusia dalam perspektif industrial. Lakon The Hairy Ape, yang dipentaskan tahun 1921, merupakan contoh kasus penulisan naskah Ekspresionis. Meskipun drama ini kelihatan janggal, kasat mata, dan secara naif tidak efektif untuk masa sekarang, naskah ini cukup baik sebagai contoh dari ekstrimitas model yang populer dengan “aliran” pengarang (penulis lakon). Kehebatan O’Neill terletak pada penggabungan pemberian efek visual dan penonton secara kasar dalam sebuah drama Ekspresionis, nyaris seperti manusia super power. Penggunaan siluet dalam pementasan dan tata lampu, “bayangan besar-besaran di mana-mana”, “keriuhan yang berisik”, “dentaman ganas yang bertenaga secara monoton”, “cahaya yang berapi-api”, “anak air sungai yang lengket penuh jelaga atau hitam”, nyanyian dan gerakan yang dibesar-besarkan secara berbarengan, ”secara terus menerus, memberikan catatan yang menjengkelkan” dari ”bunyi-bunyian peluit yang tak menaruh rasa kasihan sedikitpun”, teriakan sumpah serapah dan seruan yang dibesar-besarkan, khayalan binatang, dan ”horor, teror dari ketidaktahuan, kebrutalan yang tak berdasar, ketelanjangan dan tak tahu malu”, semua ini merupakan tipe ekstrim gaya Ekspresionisme awal abad dua puluh. Naskah juga menggambarkan bagaimana O’Neill dan teman-temannya di teater Amerika menolak Realisme dan Romantisme dalam usaha mereka untuk menghadirkan kehadiran langsung ideologi sosial dan kritisisme kebudayaan. 43 Drama Existensialis: No Exit (Terkurung) No Exit (Huis Clos) merupakan salah satu drama pendek yang sangat memaksa yang pernah di tulis. Dalam satu-kenyataan fantasi teater ini di tulis pada tahun 1944 oleh Jean Paul Sartre, seorang filsuf Existensialis Perancis yang sangat terkenal, membuat sebuah “neraka” yang unik yang mana sebuah ruangan tanpa jendela atau cermin. Di dalam ruangan itu hadir tiga orang, yang baru saja meninggal, semua mengutuk dunia di bawah ini (dalam tanah) karena dosa keduniawian mereka. Mereka bertiga benar-benar orang sakit yang cerdas: Garcin, satu-satunya laki-laki, cenderung mengarah pada homosexual; juga satu diantara dua wanita bernama Inez. Estelle penghuni terakhir yang aneh, cenderung mengarah pada peri yang heterosexual; dia mengejar Garcin. No Exit merupakan pernyataan Existensialis dramatik klasik, yang mana Sartre merupakan pelopor abad ini. Menggerakkan kembali unsur-unsur fantastik -bahwa ini merupakan neraka dan watak hantu, dan kita memiliki visi interaksi kemanusiaan Sartre: setiap individu selamanya kelihatan tegas dan menyatakan sendiri lewat matanya dari yang lain. Menurut filsafat Existensialis, manusia selalu hidup terombang-ambing. Kemerdekaan memberinya kesepian dan kebersamaan membuat dia merasa tidak merdeka. Manusia memiliki kesadaran yang membuatnya jadi merdeka, tetapi juga membuatnya terlempar menjadi seorang pengembara yang yatim piatu di dalam hidupnya. Kemerdekaannya ibarat jurang yang menganga yang bagaimana pun juga tidak bisa di timbun. Karena itu, Sartre berteriak “Manusia di hukum untuk merdeka!”. Karya Sartre lainnya, antara lain The Flies (Les Mauches), Dirty Hand (Le Mains Sales), The Respectful Prostitude (Le Putain Respectueuse). Autar Abdillah, dari buku Theatre Brief Edition (1984:184-188) oleh Robert Cohen. Ringkasan Teater Ekspresionisme turut memberikan andil lahirnya pemikiran demokrasi dan kebebasan absolut manusia dalam menyikapi kehidupan sehari-hari. Meskipun sedikit lebih kasar, gejolak yang dimunculkan teater Ekspresionisme telah membuka perspektif kehidupan yang baru. Sedangkan teater Eksistensialisme semakin mengukuhkan nilai-nilai kemanusiaan yang terdapat dalam drama dan teater untuk dijadikan nilai dasar kreativitas manusia dalam menumbuhkan khazanah kebudayaan yang luas. Topik diskusi 1. Apakah yang anda pahami tentang Ekspresionisme dan Eksistensialisme? 2. Jelaskanlah, mengapa teater semacam Ekspresionisme dan Eksistensialisme ini lahir sebagai suatu bentuk kreativitas yang menonjol pada zamannya! 3. Apakah anda dapat menemukan teater Ekspresionisme dan Eksistensialisme ini di lingkungan anda. Coba cari, apa yang menyebabkan teater Ekspresionisme dan Eksistensialisme ada atau tidak ada di lingkungan anda! 44 Pertemuan ke 13 PENONTON TEATER Penonton merupakan salah satu aspek penting dalam teater. Penonton teater merupakan orang yang terlibat secara langsung dalam peristiwa teater. Ketika seorang penonton menghadiri sebuah pertunjukan teater, maka di dalam diri mereka terdapat sejumlah jalinan pengalaman yang mengantarkan pemahamannya pada pertunjukan yang disaksikan. Pengalaman penonton teater menjadi aspek yang tak dapat dipungkiri, karena melalui pengalaman tersebut, penonton dapat berinteraksi secara intensif. Pengalaman penonton teater tidak pernah lahir begitu saja, tetapi kehadirannya sangat ditentukan oleh bagaimana penonton tersebut membangun hubungan dirinya dengan kehidupan sehari-hari. Kehidupan sehari-hari merupakan sumber dalam membangkitkan interaksi seorang penonton, sehingga seseorang yang menjadi penonton teater, bisa memahami suatu pertunjukan teater –sebagaimana diharapkan oleh para seniman atau pelaku teater tersebut. Disamping itu, para pelaku teater juga dituntut untuk mampu memberikan ‘sunjektivikasi’ pertunjukannya pada sisi yang mampu memberikan rangsangan lahirnya interaksi yang dinamis. Hakikat Penonton Teater Modern Kajian terhadap penonton teater maupun terhadap penonton seni pertunjukan pada umumnya, hingga saat ini belum begitu banyak ditemukan, khususnya dalam kjian seni pertunjukan maupun teater di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh rendahnya perhatian terhadap aspek penonton dalam teater khususnya, dan seni pertunjukan atau bahkan seni-seni lain pada umumnya, misalnya terhadap penonton di suatu pameran seni lukis, baik oleh kalangan akademisi maupun seniman kreatornya. Pengabaian terhadap penonton ini sudah menjadi bagian dari sejarah teater yang memandang penonton bukan sebagai aspek atau unsur yang signifikan, karena penonton berada dalam aspek yang bukan bersifat kreatif-artistik. Namun demikian, penonton tetap menjadi sasaran utama dari pertunjukan teater. Tanpa penonton, tentu teater tidak berarti. Kalau terdapat seniman teater yang mengasumsikan bahwa ia tak membutuhkan penonton, hal ini hanya menunjukkan kecongkakan semata atau ketidaktahuan akan makna pentingnya kehadiran penonton, dan bukan sebuah sikap dan konsepsi yang positif bagi perkembangan teater. Penonton teater atau manusia pada umumnya, sangat peka terhadap peristiwaperistiwa yang terjadi di sekelilingnya. Peristiwa-peristiwa tersebut sering menjadi ingatan yang mendalam. Bahkan, untuk peristiwa-peristiwa tertentu, seperti peristiwa perkawinan, kelahiran dan ulang tahun, dicatat dan dibukukan serta diletakkan di tempat-tempat khusus. Peristiwa tersebut bukan sekedar sebuah dokumen yang dapat disaksikan di kemudian hari, tetapi peristiwa tersebut selalu menjadi suatu pembangkitan rasa harga diri, dan untuk itu selalu dipamerkan atau diperlihatkan kepada orang lain. Peristiwa bukan saja sebuah pertunjukan tetapi 45 juga sebuah proses interaksi, yang sangat membutuhkan orang lain untuk menyaksikannya. Hal ini merupakan titik awal yang sangat berarti dalam memahami peristiwa teater. Susan Bannet menegaskan bahwa ‘persitiwa merupakan proses interaksi yang mengandalkan kehadiran penonton untuk pencapaian pengaruhnya. Sebuah pertunjukan, memang, tidak seperti karya cetakan, selalu terbuka terhadap penerimaan yang segera maupun penerimaan publik, modifikasi atau penolakan oleh orang yang menjadi tujuannya. Ini merupakan hubungan kompleks yang tak terelakkan antara pertunjukan dan penonton...’.1 Berbagai temuan hubungan penonton dan pertunjukan pada 1970-an mulai gencar dilakukan oleh para pakar semiotika. Bahkan, kajian yang semakin meluas tersebut mengarah pada upaya positif menemukan konsepsi komunikasi teater yang memberikan pandangan baru terhadap aspek komunikasi antara penonton dan teater sebagai seni pertunjukan. Seorang penggagas teater yang menyebut teaternya “Teater Miskin” (poor theater), Jerzy Grotowski bahkan “mendefenisikan” teaternya yang berpusat pada penonton dengan mengatakan bahwa ‘Teater adalah pertemuan aktor dan penonton’2. Berbagai temuan tersebut, tentu tidak terlepas dari bagaimana penonton berupaya memenuhi berbagai kebutuhannya. Kebutuhan tersebut ada yang bersifat sosial, ideologi, pendidikan hingga ekonomi. Hal ini merupakan fitrah penonton yang tak terelakkan lagi. Paradigma hubungan teater dengan penonton menjadi kajian penting oleh beberapa ahli, diantaranya Roland Barthes, Raymond Picard, Umberto Eco, Gustav Le Bon, Lawrence S. Wrightsman, Stanley Fish, Hans Robert Jauss, Wendy Deutelbaum, Claude Bruzy, Marco De Marinis, Wilfried Passow, Erika Fischer-Lichte, Anne Ubersfeld, dan lain-lain, baik yang berangkat dari studi analisis drama maupun pada pertunjukan teater yang disaksikan langsung di berbagai peristiwa teater. Teater dan Metafora Ada hal yang berbeda ketika kita berbicara tentang teater di Indonesia dengan teater di belahan bangsa-bangsa Eropa dan Amerika. Hal ini sedikit atau banyak mempengaruhi pula pandangan kita dalam mengamati atau menganalisa persoalan yang berkaitan dengan penonton teater. Di Indonesia, kita secara relatif dapat dikatakan baru dalam memahami berbagai konsepsi yang ada dalam teater, baik itu teater dalam pengertian pertunjukan maupun teater dalam konsepsi drama. ‘Kebaruan’ kita itu mempengaruhi sudut pandang dalam menempatkan kedudukan teater ditengah-tengah masyarakat. Teater (di Indonesia) bisa menjadi tidak penting ketika sebuah kekuatan politik menyatakan teater tidak layak ‘dikonsumsi’ masyarakat. Bahkan, masyarakat pun dapat melakukan penyerangan terhadap teater, karena teater dipandang melakukan dekonstruksi religius yang dikhawatirkan merusak tatanan tertentu dalam kehidupan keagamaan. Di samping itu, kekuatan teknologi yang muncul pada tahun 1900-an dan berkembang sangat pesat di abad dua puluh mempengaruhi perilaku hidup 46 masyarakat. Dalam konteks Indonesia, hal ini ditanggapi dengan sikap ekstasi atau meledak-ledak. Hal ini disebabkan oleh kesempatan memasuki era teknologi maupun era kebebasan individu yang menjadi salah satu ciri penting dalam khazanah penonton teater tersebut, belum lama dinikmati secara leluasa. Dengan kata lain, terdapat sejarah yang berbeda secara signifikan ketika kita memposisikan teater dalam konstelasi masyarakat Eropa dan Amerika, sehingga pemahaman terhadap subjek penandaan pun akan sangat berbeda. Begitu pula dengan pemecahan-pemecahan teoritik maupun praktis dalam kajian teater. Satu hal lagi adalah kemampuan dan minat baca –khususnya untuk karyakarya drama, yang masih rendah di Indonesia, sehingga penceritaan dalam teks drama masih dipandang sebagai sebuah fiksi semata, bukan sebagai media atau perantara dari lahirnya sumber informasi yang dapat mengantarkan seorang pembaca atau penonton pada suatu tempat yang menjadi tujuan dari suatu penceritaan. Namun demikian, kita memiliki beberapa konstruksi pemikiran yang sama diantara masyarakat di seluruh dunia. Di satu sisi terdapat persamaan dalam hal memposisikan manusia atau penonton teater sebagai makhluk yang memiliki beberapa kecenderungan atau permasalahan kemanusiaan yang dipandang secara universal. Di sisi lain adalah kaidah atau perspektif logis dalam menentukan masa depan kehidupan. Di Indonesia, teater masih merupakan sebuah permasalahan estetika, daripada permasalahan sosial, ideologi, ekonomi maupun kebudayaan secara umum. Sehingga, ketika melakukan kajian terhadap teater –dapat kita temukan di berbagai forum diskusi maupun tulisan-tulisan di media massa, yang mengemuka adalah persoalan ‘gangguan’ estetika ketimbang ‘gangguan’ sosial maupun kebudayaan. Ketika kita hendak berbicara tentang ‘gangguan’ sosial, maka titik tolaknya adalah estetika. Contoh dalam dunia pertunjukan musik dangdut misalnya dapat kita lihat pada sikap ‘Raja Dangdut’ Rhoma Irama yang mencoba membatasi gerak penyanyi ‘Ratu Ngebor’ Inul Daratista dengan menempatkan estetika gerakan Inul yang dianggap menimbulkan birahi –dan dengan demikian diasumsikan merusak moral masyarakat. Contoh lain adalah ketika sebuah pertunjukan teater baru saja berakhir, maka kita mendengar dari para pengunjung teater itu, bahwa persoalan-persoalan estetika membuat mereka menjadi tidak nyaman, mulai dari penataan lampu yang gelap hingga aktornya yang tidak memahami seni peran maupun teks. Titik tolak dari estetika itu dengan sendirinya telah membuat jarak atau jurang pemisah antara kemandirian penonton di satu sisi, dan pertunjukan teater yang tumbuh ketika berlangsungnya peristiwa disisi lain. Edwin Wilson menegaskan bahwa ‘Teater adalah peristiwa yang dipertunjukkan bersama-sama dengan kehadiran penonton’3. Kebersamaan dengan penonton itu mengindikasikan bahwa antara teater dan penonton memiliki ‘tugas’ yang sama dalam ‘menyelesaikan’ adegan demi adegan. Dengan demikian, antara teater dan penonton tidak saling menuntut, tetapi saling mencurahkan dirinya untuk suatu peristiwa. Kritikus drama Walter Kerr menjelaskan: Tidak sekedar menunjukkan bahwa kita menghadirkan pribadi dari pemeran. Tetapi berarti bahwa mereka berada dalam kehadiran kita, 47 kesadaran kita, pembicaraan kita, bekerja untuk dan dengan kita hingga sebuah perjalanan keliling yang tidak mekanis menjadi tak bisa dipungkiri diantara kita, sebuah perjalanan keliling yang naik turun, tak dapat diduga, sesungguhnya berubah dalam rangsangannya, bergemericik, akrab. Kehadiran kita, pandangan yang kita tanggapi, kembali mengalir menuju pemain dan mengubah apa yang dia lakukan, pada beberapa tingkat dan kadang-kadang mengherankan, juga, setiap malam kita menyaksikannya. Kita adalah pesaing, membuat drama dan misteri serta emosi bersama-sama. Kita adalah kawan bermain, membangun struktur’.4 Semua hubungan antara penonton dan teater tersebut merupakan realitas yang dibangun melalui metafora-metafora, disamping simbol dan mimpi. Ketika seorang pemeran memainkan suatu adegan, maka dengan sendirinya, dirinya teridenfikasi sebagai peran yang dimainkannya, tanpa terlebih dahulu mengatakan bahwa “saya akan memerankan seorang tokoh A”. Bila dalam teater rakyat di Indonesia, kita menjumpai penyebutan peran seperti “saya memerankan tokoh tumenggung A”, hal ini merupakan suatu bentuk pengungkapan yang dibuat sebagai prolog atau pembuka cerita, agar penonton lebih dahulu mengenal peran yang akan dimainkannya. Namun demikian, pola semacam ini sudah tidak berlaku lagi, kecuali dengan mengatakan “saya adalah tumenggung A”. Edwin Wilson menegaskan bahwa ‘Segala sesuatu yang kita lihat di teater -keseluruhan pertunjukan, termasuk perilaku dan dekorasi-- dapat dipandang sebagai metafora raksasa. Ketika metafora berhasil, kita melihat seperti sebelum kita menciptakan sepenuhnya cermin kehidupan. Hal ini menempatkan kita disisi bawah sadar kita, dan membiarkan kita tertawa pada diri sendiri atau belajar untuk melihat ketakutan kita yang terdalam… Yang demikian itulah kekuatan imajinasi.5 Metafora berfungsi strategis dalam membangun sumber-sumber pengalaman pribadi (atau yang mempribadi). Suatu pengalaman yang berasal dari segala sesuatu yang dialami secara individual dalam kehidupan sehari-hari. Kekuatan Kelompok dan Imajinasi Pengalaman kelompok menjadi kekuatan penting dalam teater. Dalam sebuah ruang pertunjukan –yang terdiri dari berbagai jenis dan sikap serta pendangan, mengalami suatu kejadian di suatu tempat yang sama. Sesuatu yang penuh misteri terjadi pada diri mereka. Demikian pula halnya secara individu maupun pribadi dengan latar belakangnya yang berbeda. Mereka mengalami suatu peristiwa dengan tanggapan yang beraneka ragam secara bebas. Para pakar psikologi sosial cukup banyak melakukan analisa mengenai kelompok ini, diantaranya Gustav Le Bon, pelopor psikologi sosial dan seorang yang pertamakali mempelajari gejala banyak penonton, menulis bahwa kumpulan orang “menghadirkan watak baru yang sangat berbeda dengan pembawaan individunya. Perasaan dan gagasan semua orang dalam satu tempat pertemuan dan mempunyai tujuan yang sama, dan lenyapnya kesadaran 48 pribadi mereka“6. Lenyapnya kesadaran pribadi, mengantarkan penonton teater dalam pengalaman kelompok. Pengalaman kelompok berarti terjadinya hubungan satu dengan yang lainnya dalam kelompok ketika seorang penonton teater berada bersama-sama dengan individu lainnya. Seorang penonton teater yang tertawa terbahak-bahak sendirian tentu akan menjadi sesuatu yang aneh. Begitu pula bila seorang penonton bertepuk sendirian, sedangkan penonton lainnya asyik menyaksikan pertunjukan. Keterpencilan penonton secara individu, akan mengubah tanggapannya terhadap pertunjukan itu sendiri. Seperti ditegaskan oleh Lawrence S. Wrightsman dalam bukunya Psikologi Sosial (Social Psychology), menunjukkan sejumlah studi awal yang menegaskan pandangan yang mana kumpulan orang atau kelompok dapat mempengaruhi pemikiran dan tindakan individu. Selanjutnya Lawrence menulis “Kelompok dapat digoyang oleh proses pemikiran kelompok”7. Hal ini berarti bahwa siapapun yang berada dalam suatu kelompok akan membawa sebagian atau seluruh atmosfir yang dimiliki oleh anggota kelompok tanpa terkecuali. Pengalaman kelompok bukan berarti terjadinya ‘penggadaian’ terhadap sesuatu yang mempribadi. Bila Le Bon mengatakan lenyapnya kesadaran pribadi, itu berarti bahwa kesadaran yang bersifat pribadi dalam kelompok, seperti bersiul, bertepuk atau tertawa. Sedangkan kesadaran terhadap ‘dunia pengalaman’ yang hidup sejak seseorang dilahirkan, tetap merupakan bagian yang integral dalam dia menyikapi segala bentuk penampakan yang terjadi diatas panggung. Disamping itu, dalam pengalaman kelompok terdapat berbagai kecenderungan penonton teater yang membawanya pada pemikiran yang bersifat bersama-sama karena bangunan entitas budayanya maupun ikatan-ikatan primordial yang dibentuk oleh hubungan kedekatannya dengan penonton lainnya. Menurut Wilson penonton teater memiliki andil dengan semua kelompok yang bercirikan pemikiran kolektif khusus8. Diantara mereka ada yang agresif dan ada pula yang ‘duduk manis’ mengikuti apa yang menjadi perhatian mereka. Dengan jumlahnya yang besar, kelompok dapat mempengaruhi banyak hal dalam teater. Bentuk-bentuk pengaruh kelompok ini, sekali lagi pada sifat kolektivitas interaksi kelompok, bukan pada reproduksi ingatan pengalaman kehidupan sehari-hari yang bersifat pribadi. Seorang pakar behavioris B.F. Skinner menyebutnya penguatan (reinforcement): Jika penguatan selalu dimiliki individu, namun demikian kelompoklah yang memiliki efek kekuatan yang lebih besar. Dengan bergabung dalam kelompok, individu lebih meningkatkan kekuatan untuk memperoleh penguatan ... Peningkatan sebagai akibat yang dihasilkan oleh kemudahan kelompok melampaui jumlah akibat yang dapat dicapai oleh anggota yang berperan secara terpisah9. Pencapaian bangunan penguatan itu adalah lewat imajinasi. Seorang kreator tentulah orang yang kita asumsikan memiliki daya imajinasi yang lebih dari para penontonnya. Imajinasi ini membangun rangkaian demi rangkaian menuju satu pola yang dapat menjadi penanda bagi tujuan-tujuan kreatif. Sudah menjadi tugas dari para krreator, seperti sutradara dan aktor untuk meminimalkan keterbatasan 49 imajinasi penonton teater. Wilson menegaskan teater berjalan dalam dua-cara -mengubah antara aktor dan penonton --dan dimana-mana banyak ditemukan dalam penciptaan ilusi. Ilusi mungkin diprakarsai oleh pencipta teater, tetapi ilusi ini dilengkapi oleh penonton.10 Dalam sebuah pertunjukan, misalnya kita menyaksikan penonton memerankan sebuah peran binatang, kita tahu bahwa apa yang dilakukan seorang aktor itu bukan nyata; orang bukan harimau misalnya, dan harimau tidak menyanyi dan menari diatas panggung. Kita akan memaklumi bahwa setiap bentuk-bentuk yang tidak nyata itu, sebagai bentuk yang merupakan imajinasi dari sebuah rangsangan penandaan yang harus dibentuk kembali dalam realitas pengalaman yang nyata. Hal ini berarti bahwa terjadi penafsiran-penafsiran yang membangun objek penceritaan menjadi pandangan subjektif oleh masing-masing penonton teater. Ringkasan Berbagai pendapat yang mengemuka tentang penonton teater, sesungguhnya merupakan gambaran dari upaya menempatkan penonton yang tidak terpisah dari pertunjukan teater. Pendapat yang menempatkan keterpisahan antara penonton teater, harus ditempatkan sebagai suatu kenyataan, bahwa antara penonton dan teater memiliki perbedaan dalam proses keterlibatannya. Disatu sisi terdapat proses kreatif oleh aktor dan disisi lain terdapat proses alami penonton menyaksikan pertunjukan teater. Seni bukan kehidupan tetapi refleksi kehidupan --penciptaan khusus yang abstrak dan cermin kehidupan. Bernard Beckerman membuat pengamatan sebagai berikut: Para pemain dan penonton harus dipisahkan satu dengan lainnya agar penonton dapat mengamati apa yang sedang terjadi. Tetapi pemisahan ini tidak hanya fisik saja: pemisahan keduanya baik fisik maupun psikologis. Hutan kecil yang sakral mungkin menjadi pilihan, tarian melingkar mungkin terbatas, panggung mungkin dibangun. Bagaimanapun juga, sebuah wilayah dibagi, yang kemudian menjadi tempat pemain. Hal ini dapat dimanipulasi, antara ruang yang sebenarnya dan imajinasi; ini merupakan tempat dimana pementasan dapat disuguhkan. Akhir-akhir ini, dalam drama, kita memiliki contoh produksi seperti The Connection dan The Blacks, karya Jerzy Grotowski, dan dalam novel yang mirip kejadian sesungguhnya, dimana pembongkaran batas terlihat. Seringkali, peran ini kebalikannya, dan penonton, malahan menjadi tuhan, juga menjadi kambing hitam. Upaya untuk menghapus batas antara pengarang dan yang dikarang hanya mendefenisikannya dengan lebih tegas. Pendengar dengan cermat menjadi benar-benar sadar, bahwa dia menjadi pemain dalam peran tertentu dari penonton. Pemisahan ini tidak dihapuskan, semata-mata diposisikan kembali pada tempat yang seharusnya.11 Topik Diskusi 1. Buatlah identifikasi terhadap kecenderungan penonton teater modern 2. Aspek apakah yang menjadi pilihan utama penonton teater 50 DAFTAR PUSTAKA Beckerman, Bernard 1970 Dynamics of Drama: Theory and Method of Analysis, New York: Knopf Bennet, Susan 1997 Theatre Audience, a theory of production and reception, second edition, London and New York: Routledge Roose-Evans, James 1989 Experimental Theatre, from Stanislavsky to Peter Brook, Fourth edition, London: Routledge, Wilson, Edwin 1988 The Theater Experience, fourth edition, New York: McGraw-Hill Book Company 1 Susan Bennet, Theatre Audience, a theory of production and reception, second edition, London and New York: Routledge, 1997, hal. 69-70 2 Jerzy Grotowski menjadi tokoh yang unik dalam teater, karena berbagai eksperimentasinya yang menggali berbagai kemungkinan penjelajahan teater. Teater laboratorium yang didirikannya 1965 di Polandia menjadi salah satu tempat penelitian maupun penjelajahan teater yang terkemuka di seluruh dunia. Saya bahkan pernah menyaksikan metode latihannya digunakan oleh lima wanita yang berasal dari Belanda di padepokan “Lemah Putih” Surakarta (1994). Lebih jauh, lihat James Roose-Evans, Experimental Theatre, from Stanislavsky to Peter Brook, Fourth edition, London: Routledge, 1989. 3 Edwin Wilson, 1988, The Theater Experience, fourth edition, New York: McGraw-Hill Book Company, hal. 12 4 idem., hal. 13-14 5 idem., hal 33 6 Gustave Le Bon, The Crowd: A Study of the Populer Mind, 20th ed., Benn, London, 1952, hal. 23, dalam Edwin Wilson, idem, hal. 16. 7 Lawrence S. Wrightsman, Social Psychology, 2d ed., Brooks/Cole, Monterey, Calif., 1977, hal. 579, dalam Edwin Wilson, idem, hal. 16 8 Edwin Wilson, op. cit, hal. 16 9 B.F. Skinner, Science and Human Behaviour, Macmillan, New York, 1953, hal. 312, dalam Edwin Wilson, idem, hal. 16 10 Edwin Wilson, idem, hal. 16 11 Bernard Beckerman, Dynamics of Drama: Theory and Method of Analysis, Knopf, New York, 1970, hal. 9 51 Pertemuan ke 12 Teater Absurd, Teater Alienasi, Supra-realisme Teater Absurd: Menunggu Godot Nama teater Absurd diterapkan oleh kritik seni untuk sekelompok drama yang berbentuk struktur bersama tertentu, dan gaya serta dikaitkan dengan struktur filosofis yang lazim: teori absurd diformu-lasikan oleh eseis dan pengarang drama Perancis bernama Albert Camus. Camus menghubungkan kondisi manusia pada raja Sisy-phus dalam mitologi Corinthian, orang yang karena kekacauannya dihukum selama-lamanya untuk menggelindingkan batu dan meng-angkatnya kembali ke atas bukit. Camus melihat manusia modern seperti bicara dengan cara yang sama dalam nilai yang selalu sia-sia, nilai absurd terletak pada penggeledahan untuk beberapa makna atau tujuan atau perintah dalam kehidupan manusia. Bagi Camus, ketidakmasukakalan (keirasionalan) itu abadi dari alam yang membuat nilai itu absurd. Manusia dilemparkan ke suatu dunia yang asing, dan di dunia ini sesuatu diberikan tanpa keterangan apa-apa. Akal dan kesadaran manusia tidak bisa menerangkan misteri kehidupan ini. “Absurditas lahir dari konfrontasi antara keinginan manusia untuk mengerti dan dunia yang membisu menyimpan rahasia dirinya”, kata Albert Camus Menurut Martin Esslin tentang tokoh-tokoh teater Absurd: Samuel Beckett (Irlandia): Melankolis, diwarnai perasaan sia-sia yang lahir dari kekecewaan yang mendalam pada usia tua, dan keputusasaan yang ironis. Arthur Adamov (Rusia): Lebih aktif, agresif, bersahaja, dan dibubuhi nada tambahan yang bersifat sosial atau politik. Eugene Ionesco (Rumania): Absurditas fantastik (tak masuk akal), penggambaran petualangan, yang dibumbui dengan menampilkan badut-badut yang tragis, adakalanya lontaran pikiran/ide yang bersifat menghantam. Tokoh Absurd yang lain, Jean Genet (Perancis), Friedrich Duerrenmant (Swiss), Slawomir Mrozek (Polandia), Harold Pinter (Inggris), Edward Albee (Amerika) dan Fernando Arrabal (Spanyol). Perancis merupakan pusat perkembangan teater Absurd melalui Ionesco, Adamov, Arrabal dan Beckett pada pertengahan abad dua puluh. Teater Alienasi Perbedaan yang sangat gamblang dari teater Absurd adalah Teater Alienasi. Teater “Epik” Alienasi memusatkan perhatian pembicaraannya secara sosial pada kemampuan manusia untuk mengembangkan dan kemampuannya untuk mempengaruhi perubahan sosial. Teater Alienasi berangkat dari pemikiran cerdas seorang dramawan dan sutradara Jerman bernama Bertolt Brecht (1896-1856). Pengaruh yang ditimbulkannya dapat diamati dari dua pandangan, yakni (1) Brecht memperkenalkan teater secara praksis (dalam perilaku manusia secara sosial), paling tidak terlihat dipermukaan; (2) Brecht memiliki keahlian dalam menyegarkan teater dengan kemanusiaan yang kasar melalui penyadaran kembali kepekaan rasa sosial manusia dan kesadarannya terhadap kemampuan teater untuk membentuk isu dan peristiwa publik. 52 Teater Brecht menggambarkan bunga rampai konvensi teater, disatu sisi berasal dari dunia purba, disisi lain dari drama Barat, dan yang lain berasal dari gerakan Ekspresionis Jerman yang pernah menjadi bagian dari permainan Brecht sendiri pada awal-awal karyanya Topeng, nyanyian, syair, dekorasi yang asing dan unik, satire, dan ucapan langsung merupakan dasar konvensi Brecht yang dicangkok dari bentuk teater lainnya. Dia membangun banyak konvensi, yakni pancaran cahaya-lentera, menyusun penyutradaraan dengan percakapan kesamping dan (pembacaan) doa agar penonton menemukan diri mereka untuk membangun kerangka pemikiran yang objektif, membuat keragaman prosedur pada teknik demistifikasi teater, guna menghindari kebingungan penonton (misalnya, menurunkan pencahayaan agar pipa dan api dapat terlihat) menjadi ciri teater Brecht. Brecht berusaha untuk mencegah penonton dari penghapusan keselarasan emosi, luluhnya kepekaan perasaan, tujuannya adalah menjaga penonton ”terasingkan” atau ”terpisahkan” dari penggambaran peristiwa yang harfiah oleh drama agar bebas untuk memperhatikan permasalahan sosial dan politik yang diturunkan dan direfleksikan drama. Brecht berusaha menciptakan perspektif baru sejarah manusia secara lebih luas. Supra-Realisme Pura-pura atau seolah-olah realistik, tetapi sebenarnya ditutupi dengan ketidakjelasan dan simbolisme dongeng Sam Shepard seorang aktor-pengarang Garda Depan Amerika 1960-an-1970-an dengan lakon Buried Child, The Tooth of Crime, Operation Sidewinder, Angel City, dan Curse of the Starving Class mencirikan teaternya pada Supra-realisme Ringkasan Teater Absurd menemukan jati dirinya sebagai teater yang membangun kesia-siaan, keputusasaan maupun kegagalan rasionalitas manusia dalam memecahkan permasalahan kehidupan. Sehingga, tidak mengherankan bila ketika membaca drama dan menyaksikan teater absurd, penonton merasakan sesuatu yang bertele-tele, membingungkan, dan bahkan ketidaksinambungan dramatiknya. Brecht dan Ionesco menjadi contoh yang sangat kuat dalam perkembangan teater Absurd ini. Teater Alienasi, khususnya teater Epik memecahkan persoalan tersebut dengan mendekatkan penontonnya pada persoalan sosial dan politik secara praksis. Brecht menjadi pusat perkembangan teater Alienasi, dan mempengaruhi pula pemikiran komunikasi teater yang berkembang sebelumnya. Brecht bahkan mengubah banyak pandangan tentang teater pada umumnya. 53 Topik Diskusi 1. Apakah yang anda pahami tentang teater Absurd? 2. Apakah yang anda pahami tentang teater Alienasi, dan teater Epik? 3. Apakah yang anda pahami tentang Supra-realisme? 4. Apakah yang menyebabkan teater Absurd dan Alienasi itu menjadi berbeda? 5. Cobalah cari di lingkungan anda teater Absurd, teater Alienasi, dan teater Supra-realisme, dan jelaskan mengapa teater tersebut ada atau tidak ada di lingkungan anda! 54 Pertemuan ke 14 TEATER DAN KEBUDAYAAN Teater dipandang sebagai salah satu seni yang memiliki banyak kemungkinan melakukan protes atau perlawanan terhadap kekuasaan atau rezim yang menjalani suatu pemerintahan. Pandangan ini tidak sepenuhnya benar, bila teater dipandang sebagai manifestasi kehidupan yang nyata dihadapi oleh setiap umat manusia. Bagaimanapun juga, masih banyak bidang kehidupan lain dapat melakukan protes atau perlawanan yang lebih signifikan, sebut saja misalnya, partai politik dan demonstrasi mahasiswa, LSM dan buruh. Namun demikian, pandangan yang menempatkan teater lebih aktif dalam mengeksplorasi sisi kekuasaan tersebut, tidak dapat dipungkiri begitu saja. Untuk itu, diperlukan suatu penjelasan yang lebih konkrit tentang bagaimana teater tersebut sesungguhnya dalam melakukan eksplorasi-eksplorasi yang bertitik tolak dari penanaman kehidupan manusia yang berkorelasi dengan kebudayaan sebagai wacana pendidikan yang paling dominan. Teater memang memiliki “alat” yang paling konkrit berupa pengucapan langsung terhadap suatu peristiwa atau kejadian. Pengucapan tersebut bisa secara verbal maupun non verbal disampaikan kepada publiknya. “Alat” teater tersebut sepertinya tidak terbatas dalam penggunaannya. Sehingga, teater --tidak berlebihan bila dianggap lebih memiliki peluang produktif menciptakan perubahan dalam kehidupan sosial maupun kebudayaan. Teater dan Kebudayaan merupakan satu ikatan yang tak terpisahkan, karena teater lahir dari suatu cara hidup yang dibangun oleh masyarakat atau manusia pencipta kebudayaan itu sendiri. Di banyak negara-negara dunia ketiga, teater masih menempatkan posisi yang tidak ”menguntungkan” dari segi pandangan politik. Teater seolah-olah ”barang haram” atau suatu aktivitas individu maupun kelompok yang dapat menggangu tatanan sosial maupun kebudayaan tertentu yang telah ditanamkan pada suatu masyarakat. Era pemerintahan Orde Baru di Indonesia misalnya, telah terbukti bagaimana teater dilarang pertunjukannya atau dilarang sosialisasinya, karena terdapat kata-kata maupun tema serta gerak geriknya yang mengindikasikan perlawanan terhadap kekuasaan yang sedang bertahta. Kita masih ingat bagaimana Opera Kecoa dari Teater Koma Jakarta yang dipertunjukkan di Graha Bhakti Budyaa Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta di segel oleh pihak berwajib, karena di anggap mengespresikan situasi kekuasaan yang sedang berlangsung. Begitu pula dengan pertunjukan teater Marsinah Menggugat yang digelar oleh teater yang didalamnya terdiri dari para buruh di Gelanggang Remaja Bulungan Jakarta. Bahkan di Kuba, seluruh penonton pertunjukan teater yang sedang asyik menyaksikan pertunjukan, di giring ke dalam sejumlah kendaraan terbuka untuk kemudian dijebloskan ke dalam penjara tanpa melalui proses hukum yang berlaku. Pertunjukan teater pada saat-saat tertentu memang sedemikian rumit untuk diselenggarakan. Begitu pula dengan diskusi-diskusi yang membicarakan atau yang melakukan kajian terhadap teater. Maka, tidaklah mengherankan bila pertunjukan 55 dan diskusi buku-buku tentang teater --juga disiplin ilmu lainnya, nyaris tidak menyentuh kenyataan kemanusiaan atau kehidupan yang ada. Bentuk-bentuk penyaringan terhadap semua aktivitas tersebut sudah sangat ketat, dan akhirnya ”membunuh” kehidupan teater. Hingga saat ini, hal semacam itu masih saja menghantui, meskipun dalam bentuk yang lain. Yakni, lahirnya manusiamanusia yang berpikiran sempit, dan memandang sebelah mata terhadap teater. Pandangan yang sempit dan melakukan pengkotak-kotakan terhadap dunia kesenian pada umumnya, dan teater khususnya telah pula menghambat terjalinnya sinergi antara satu kesenian dengan kesenian lainnya. Misalnya, antara tari dan teater, antara seni rupa dan teater, antara musik dan teater, dan seterusnya. Padahal, apa yang sesungguhnya terjadi tidaklah demikian. Paling tidak, seperti yang dikemukakan oleh James Roose-Evans dalam bukunya Theatre Experimental, from Stanislavsky to Peter Brook (1989: 91-100), bahwa tari modern yang dibangun oleh Martha Graham dan Alwin Nokolais memberikan kontribusi yang besar terhadap teater. Pengakuan semacam ini sangat banyak muncul dalam dekade lima puluhan, seiring dengan semakin terbukanya kreativitas seni dalam melakukan berbagai eksplorasi. Keterbukaan eksplorasi tersebut juga dimungkinkan oleh semakin jenuhnya para pelaku seni dalam pengkotak-kotakan seni. Dalam teater sendiri, pencipta ide ”Teater Miskin” Jerzy Grotowski misalnya, menolak bahwa teater merupakan kumpulan dari sejumlah disiplin, seperti tari, musik, seni rupa dan sastra. Namun demikian, pendapat bahwa teater merupakan kumpulan dari berbagai disiplin ilmu masih sangat kental dalam pendidikan seni maupun dalam aktivitas seni pada masyarakat kita. Antonin Artaud yang menggagas ”Teater Kacau” (Theatre of Cruelty) dalam bukunya The Theatre and Its Double (1958:7-13) misalnya, menegaskan bahwa persoalan teater sekarang ini berhadapan dengan persoalan kebudayaan manusia-manusia yang lapar. Jadi, teater sejenak harus ditinggalkan karena manusia masih membutuhkan makan ketimbang terlibat dalam teater. Begitu pula dengan kebudayaan. Dalam dunia yang lapar, perhatian dan usaha-usaha membangun kebudayaan sejenak menjadi tidak penting. Persoalan-persoalan kemasyarakatan dan upaya membangun perekonomian yang maju menjadi prioritas utama. Untuk itu, kita tidak perlu heran bila pemerintah Indonesia misalnya, menempatkan kesenian pada umumnya, dan teater khususnya pada prioritas yang paling bawah. Bahkan, terhadap dunia pendidikan pun, prioritas utama tidak diberikan. Di satu sisi, barangkali ada benarnya. Bagaimana mungkin manusia dapat menikmati kesenian bila perut mereka kosong dan tidak mampu melakukan pencerapan yang memadai. Namun di sisi lain, asumsi ini harus dipertimbangkan lagi, karena kesenian bukan persoalan mengisi perut, tetapi merupakan permasalahan besar umat manusia dalam membangun tatanan kehidupan yang mereka jalani di dunia. Teater merupakan investasi kebudayaan dengan membangun spirit kehidupan, bukan persoalan mengisi perut, tetapi persoalan mempertimbangkan secara bijaksana tatanan kehidupan manusia yang seharusnya di tempuh dan di bangun dalam seluruh tatanan kehidupan yang ada. Kehidupan manusia memiliki unsur pembangun yang sangat kompleks. Mulai dari kemampuannya berbicara, berilmu pengetahuan, moral, etika hingga keberadaannya sebagai pemimpin di muka bumi. Oleh karena itu, diperlukan media 56 yang memadai untuk membuka jalan bagi terselenggaranya unsur-unsur pembangun bagi manusia. Salah satunya adalah kesenian, dan lebih spesifik lagi adalah teater. Teater dalam Kehidupan Teater bukan hanya suatu pertunjukan. Ia adalah kehidupan itu sendiri. Secara spesifik teater bukanlah semata-mata peniruan ataupun cermin, tetapi ia adalah kehidupan yang dijalani umat manusia dalam memahami dan menjalani segala perbuatan yang dilakukannya di bumi. Pada awal dipahaminya teater, yakni dari bangsa primitif yang melakukan perburuan dan anak-anak yang bermain “mama-papa” serta upacara-upacara ritual bangsabangsa yang lahir paling awal di dunia, semua itu menunjukkan satu hal, bahwa semua yang terjadi itu berangkat dari apa yang terjadi dalam kehidupan, biasa realistik --yakni, yang berangkat dari kehidupan sehari-hari, maupun yang non realitisk --yakni, yang merupakan imajinasi manusia dalam memandang kehidupan tersebut. Memang, semua teater berangkat dari kehidupan yang dihadapi oleh para pelakunya. Tetapi, tidak semua teater memahami betul bagaimana mereka seharusnya memasuki kehidupan tersebut. Karena kehidupan yang dimasuki tersebut juga tidak dapat menghindarkan diri dari persoalan-persoalan di mana mereka harus menempatkan matra kebudayaannya sebagai bagian penting dalam memasuki teater. Teater-teater di dunia memiliki jalan sejarah yang berbeda-beda. Jalan sejarah tersebut bukan saja melahirkan isme-isme teater, tetapi juga melahirkan ideologi-ideologi baru dalam memahami kehidupan. Seperti munculnya teater modern yang berangkat dari tiga aspek penting, yakni politik, sosial, dan revolusi pemikiran (Cohen: 173). Dari ketiga aspek itu pun dapat dibedakan lagi dengan beberapa aspek yang menunjang pemahaman kehidupan atas dasar kebudayaan yang dibangun oleh berbagai bangsa. Di Jerman, awal kebangkitan teater modern yang dipelopori dengan munculnya konsep dramaturgis “Strum und Drung” oleh Goethe dan Schiller merupakan sebuah bagian dari perlawanan kedua dramawan dan penyair ini terhadap kekuatan borjuasi yang sedemikian rupa menguasai tatanan pemikiran masyarakat Jerman, seiring dengan lahirnya gerakan Romantisme. Lain lagi dengan pelopor teater Realisme seperti pengarang dan penyair Norwegia Hendrik Ibsen yang menghadapi kebobrokan moral masyarakat hingga pelecehan seksual kalangan petinggi kerajaan atau kalangan bangsawan. Perkembangan yang sedemikian pesat dalam teater modern dengan munculnya gerakan simbolisasi yang merupakan bagian dari bergeloranya stilisasi dalam teater, pandangan kehidupan semakin menajam dan memperlihatkan bagaimana teater sangat peduli pada pertumbuhan tatanan kebudayaan di tengah-tengah masyarakat. Penolakan terhadap teater realistik yang hanya berbicara gambaran kehidupan nyata tanpa memberikan kesempatan konstruksi imajinatif manusia, membuat kalangan simbolis dengan sejumlah gerakannya, seperti Eksprsionisme. Teaterikalisme, Drama Eksistensialisme, Teater Absurd, Teater Alienasi, Komedi 57 Kontemporer Manner, maupun Supra-realisme, merasakan betapa kehidupan berkemungkinan mengalami penyempitan. Penyempitan kehidupan itu hanya akan membuat manusia menjadi makhluk yang patuh tanpa sebab, atau membisu seribu bahasa, ketika tantangan kehidupan mengalir di depan mata. Persoalan-persoalan seperti kegagalan komunikasi antar manusia, kesia-siaan manusia dalam memahami kehidupan serta ketidakberdayaan manusia dalam menghadapi gencarnya teknologi terapan yang mengantar manusia pada kenisbian identitas kemanusiaan membuat banyak kalangan teater harus mengoreksi kembali perlakuan mereka terhadap naskah lakon dan posisi mereka dalam menentukan berlangsungnya proses berteater. Teater bukan lagi sebuah kenyataan dalam kehidupan, tetapi merupakan prosesdengan-kehidupan itu sendiri. Hal ini artinya, bahwa teater tidak berbicara tentang kehidupan semata, tetapi bersama-sama dengan kehidupan itu meletakkan kerangka perjalanan kehidupan yang harus dijalani manusia. Kebudayaan sebagai wacana Pendidikan Louis Leahy (1993:218) menegaskan bahwa kebudayaan bukanlah suatu data kodrati yang diwariskan, maka kebudayaan harus didapatkan dan di raih oleh tiap manusia yang sedang berkembang, melalui suatu proses perkembangan yang mempunyai prinsip batin di dalam intelegensi dan kebebasan tiap pribadi; itulah perolehan yang terkandung di dalam lingkungan sosial. Dengan demikian, maka lingkungan sosial bukan sesuatu yang terlahir begitu saja, tetapi harus dari proses yang juga panjang dalam membangun kebudayaan manusia. Dalam cara hidup teater pun terlihat bagaimana segala daya upaya ditumbuhkan dalam melahirkan segala aspek yang memungkinkan manusia melakukan tindakan eksploratif terhadap perjalanan kehidupannya. Di dalam diri manusia terkandung semangat maupun motivasi mendirikan keinginan-keinginan maupun kehendak untuk berbuat. Dari sini proses semacam ini dapat memunculkan inti sari pandangan atau pemikiran dari manusia tersebut dalam mendapatkan apa yang diinginkannya. Tingkat pemikiran yang filosofis atau tingkat dimana manusia melakukan pencapaian kedalaman terhadap kebijakannya menentukan pilihan terbaik dalam hidupnya, akan mampu memberikan arah atau jalan bagi penentuan sikapnya dalam memandang kebudayaan yang dihidupinya. Lebih lanjut Lois Leahy (1993:219) menegaskan bahwa sinar visi filsafat memungkinkan kita menyaksikan empat faktor yang sama dengan faktor-faktor pendidikan lestari, yakni (1) suatu proses yang terurai dalam waktu dan ruang, (2) suatu proses yang mengarah pada pengembangan seluruh potensi pribadi manusia yang konkret, (3) suatu proses yang dipandu oleh pencarian koherensi dan keseimbangan, (4) suatu proses yang ditentukan, atau lebih tepatnya, dijiwai oleh otodidaksi (pengajaran itu sendiri). Pemaknaan keempat faktor ini sangat menekankan adanya suatu penggalian dari manusia itu sendiri terhadap dirinya yang memiliki banyak kemungkinan dalam menemukan berbagai hal 58 yang ditemukannya dalam kehidupan. Hal ini sangat berarti dalam menumbuhkan maupun melahirkan khazanah pendidikan itu sendiri dalam dirinya. Secara spesifik Leahy menegaskan pada faktor keduanya, bahwa ”kebudayaan tidak terbatas pada dimensi kognitif pribadi manusia”. Pengetahuan saja tidak cukup meskipun pengetahuan adalah suatu bagian integral dan mutlak perlu dalam kebudayaan, dalam mewujudkan kebudayaan manusia. Oleh karena itu, pengembangan budaya harus menghormati sifat multidimensi kepribadian manusia, keutuhannya dalam hal raga, intelek, afeksi dan etis”. Teater pada masa-masa klasik hingga munculnya modernisme masih bertitik tolak pada prinsip kebudayaan yang hanya bertumpu pada hal-hal baku dalam pemikiran manusia. Bahkan, seolah-olah pemikiran manusia telah berhenti ketika titah sang dewa dikumandangkan, atau tatanan sosial tercipta oleh kaum borjuasi. Pemberontakan kaum Romantik yang dipelopori oleh Wolfgang von Goethe misalnya, tidak mampu menyelaraskan tatanan sosial Jerman dalam memerangi sikap tunduk dan cenderung membabi-buta terhadap borjuasi. Perasaan dan pendirian kemanusiaan benar-benar tersingkirkan hanya untuk mempertahankan kekuasaan maupun untuk sekedar mempertahankan kehidupan. Masa-masa perbudakan terhadap segala aspek kehidupan tersebut -baik dari segi intelektual, birokrasi hingga cara hidup di dalam rumah tangga, sangat memprihatinkan. Babak baru dalam memandang kebudayaan di teater baru tumbuh di abad dua puluh, tepatnya di pertengahan abad dua puluh yang ditandai dengan lahirnya drama-drama Absurd dan munculnya seni eksperimenal. Apa yang dilakukan Antonin Artaud atau kemudian dikenal dengan metode Artaudian, mulai memenuhi pemikiran teater yang hendak mengubah kedudukan manusia yang telah mengalami perbudakan panjang sejarah teater dan sejarah pemikiran manusia. Artaud misalnya, melihat posisi seorang sutradara justru sebagai tirani dari aktor. Begitu pula teks lakon yang hanya dihafalkan oleh aktor untuk kemudian dipertontonkan pada publik. Ini merupakan persoalan kebudayaan yang mendasar dalam teater, ketika persoalan kemanusiaan harus menjadi pilihan dalam pemanusiaan teater. Dalam pergerakan teater-teater di Indonesia terlihat jelas bagaimana para pelakunya sangat menghormati dirinya ”diperbudak” oleh kenyataan teater yang di pandang sebagai suatu pelaksanaan metode menjelaskan, atau lebih jauh mengajari atau menuntun orang lain menuju suatu perilaku yang lebih baik. Teater merupakan tontonan dan tuntutan telah menjadi bahasa penting dalam eksplorasi teater di Indonesia. Namun demikian, satu hal yang kurang disadari bahwa dalam teater-teater pasca-modern, atau ketika teater absurd mulai mempertegas posisi menjadi teater yang melihat kegagalan manusia dalam menggunakan logika kehidupan sehari-hari atau kesia-siaan manusia dalam memahami kehidupannya, maka teater bukan lagi sebagai tontonan dan tuntunan. tetapi, lebih jauh sebagai wacana pendidikan. Wacana pendidikan disini berarti bahwa teater menghindarkan diri berposisi sebagai pihak yang paling benar. Teater bukan 59 dewa atau tuhan baru yang dapat menyelesaikan seluruh persoalan manusia. Teater hanya bagian kecil saja dalam memecahkan atau membangkitkan kesadaran manusia dalam memandang kehidupan yang menurut manusia itu sendiri dilakukan sebagai seharusnya ia menghadapinya. Konsekuensi logis dari hal posisi teater yang demikian adalah tuntutan bagi manusia, atau pelaku teater dengan seluruh pihak yang terlibat didalamnya -termasuk penonton, untuk tidak menyerahkan dirinya kepada kenyataan yang tidak memiliki ikatan dan entitas kebudayaan dalam dirinya. Pengertian kebudayaan disini dapat merupakan rangkaian kesejarahan dari manusia itu sendiri, atau para pelaku dan pihak yang terlibat dalam teater. Karena, melalui pengenalan terhadap kesejarahan hidupnyalah, manusia dapat membangun kebudayaannya, sekaligus membangun teaternya. Atmosfir pendidikan yang lahir dalam hubungan teater dan kebudayaan, kemudian menimbulkan sikap dan pandangan kesetaraan. Seorang koreografer Jepang bernama Keiko Takeya yang pernah melakukan kerjasama dan membuat karya kolaborasi dengan sutradara teater Jepang, penari Thailand dan pemusik Indonesia mengingatkan bahwa kesetaraan hubungan di dalam kerja teater itu akan lebih memberikan pendidikan yang kondusif. Hubungan aktor dan sutradara bukan hubungan guru dan murid, tetapi hubungan antar manusia. Semua pihak yang terlibat dalam suatu kerja teater harus mampu melepaskan dirinya dari ikatan primordial, struktural dan kebangsaan. Teater harus lahir dari seluruh jiwa dan raga manusia yang berada dalam posisi kebudayaan yang sama, yakni kebudayaan manusia. Sumber: Autar Abdillah, Jurnal Padma, Perdana tahun I September 2002, hal. 45-51 Ringkasan Teater tumbuh dengan korelasi kebudayaan yang luas. Namun demikian, kesadaran masyarakat tidaklah selalu sejalan dengan korelasi kebudayaan yang hidup bersama dirinya. Disinilah posisi sutradara sangat menentukan dalam membuat berbagai pilihan kreatifnya. Topik Diskusi 1. 2. Bagaimana menurut pendapat anda hubungan teater dengan kebudayaan? 3. Apakah anda percaya, bahwa teater di Indonesia menyepakati dirinya diperbudak oleh drama? Dan, apa yang dimaksudkan Artaud, bahwa sutradara merupakan tirani dalam teater. Jelaskan pendapat anda Bagaimana bila teater tidak sejalan atau tidak berkorelasi dengan masyarakat yang membangun kebudayaannya. Jelaskan pendapat anda 60 Pertemuan ke 15 TEATER KONTEKSTUAL SEBUAH CATATAN UNTUK TEATER INDONESIA Di atas panggung, kita menyaksikan seorang perempuan berusia belasan tahun yang merupakan salah seorang siswa SMU di Jawa Timur, bersama dua temannya menampilkan sebuah adegan yang memperlihatkan kepada penonton, bahwa diantara mereka sedang terjadi pembicaraan yang tidak terlalu serius. Mereka bermain kartu di sebuah pos ronda. Perempuan A, tiba-tiba mendengar suara Azan (panggilan sembahyang untuk pemeluk agama Islam). Perempuan A ini, dengan sedikit sempoyongan sambil memegang botol yang mirip botol minum keras, bertanya, “suara apa itu?”. Perempuan B menjawab, “itu suara azan”. Perempuan A menjawab, “Azan?”. “Apa itu azan?”. Perempuan C menjelaskan apa yang dimaksud dengan azan. Perempuan A, kembali mempertanyakan, “Azan itu apa?”. Dialog dalam adegan sebuah pertunjukan teater diatas, hendak menegaskan adanya seseorang yang tidak mengetahui apa itu azan. Sepintas, kita tentu bisa memahami, bahwa ada orang yang tidak tahu Azan itu merupakan kata yang memiliki makna penting dalam panggilan sembahyang umat Islam. Namun demikian, apakah kita bisa memahami, untuk seorang yang sudah berusia belasan tahun, hidup dalam perilaku manusia Indonesia, tidak mengenal azan. Dalam keadaan tidak sadar bagaimanapun, selagi kita masih bisa mengenal orang-orang di sekeliling kita, kalimat-kalimat yang dikumandangkan seorang Mu’azzim itu, sangat mudah untuk dipahami. Seorang pengarang dalam cerita ini, tentu tidak bermaksud untuk menunjukkan kepada kita, bahwa seorang wanita berusia belasan tahun itu tidak mengenal azan, tetapi pengarang drama ini hendak menunjukkan kepada kita, bahwa ada salah seorang warga yang memiliki moralitas tertentu yang tidak peduli dengan adanya suara azan tersebut. Sebagai pembaca maupun penonton kita memahami apa yang terjadi. Tetapi, apakah kita bisa memahami cerita ini, bila kita menghubungkan konteks cerita dengan konteks pelakunya (remaja berusia belasan tahun dan tinggal di Indonesia). Inilah persoalan kita yang pertama, yakni hubungan konteks cerita dengan konteks pelaku. Dalam teater-teater yang menggunakan naskah drama sebagai sumber pertunjukannya, memang terjadi semacam dilema dalam menghubungkan konteks cerita atau drama dengan pelakunya. Seorang anak berusia lima tahun di Taman Kanak-kanak, memerankan seorang Bapak atau Ibu yang terjadi dalam lingkungan mereka. Kita juga bisa menemukan seorang anak sekolah yang memerankan kakek atau nenek, seorang pemabuk, seorang pahlawan perang dan sebagainya. Semua peran-peran itu, bukanlah diri mereka yang sebenarnya, tetapi diri atau pengalaman orang lain yang ditirukan atau dicoba untuk dijelmakan kembali menjadi seorang tokoh atau peran, berdasarkan sebuah naskah drama. Meskipun peran itu dapat disaksikan dalam kehidupan sehari-hari, tetap saja peran itu bukan diri dan pengalaman mereka dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi, semua itu dapat dilakukan dan terjadi ratusan, bahkan ribuan tahun lamanya. Cara berteater yang sudah mengakar ratusan hingga ribuan tahun itu, sangat mudah dipahami, dan menjadi cara berteater kita yang sangat umum dan lazim, serta 61 mendapat sambutan yang luas dari masyarakat. Bahkan, jika berteater bukan dengan cara seperti itu, dianggap bukan teater yang sesungguhnya, tetapi eksplorasi gerak, mini kata, “teater murni”, “teater total”, dan sebagainya. Inilah persoalan kita kedua, yakni kebiasaan masyarakat dalam memandang dan memperlakukan teater dengan peniruan pengalaman yang berada diluar diri mereka sendiri. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat penonton. Dalam konteks ini muncul anggapan, bahwa tontonan itu adalah tuntunan. Tontonan atau pertunjukan teater diletakkan dalam konteks untuk mendapatkan “pelajaran”, “ajaran”, “pendidikan”, maupun “pengarahan” melalui suatu instrumen yang bernama pesan. Teater dituntut untuk dapat memunculkan pesan tertentu, dan penonton akan memberikan pertimbangan atas pesan tersebut. Pemusatan pada pesan ini melahirkan suatu teater dengan konklusi “hitam-putih”, “baik-buruk”, atau “kebaikan melawan kejahatan”. Akibatnya, penonton tidak memiliki kesempatan untuk membangun konteks pertunjukan atas nama dirinya sendiri. Inilah persoalan kita ketiga, yakni kesempatan penonton untuk menemukan sendiri konteks pertunjukan teater dengan konteks kehidupan sehari-hari mereka. Dari ketiga persoalan tersebut, marilah kita coba lihat sebuah pertunjukan lain di Gelanggang Olahraga Bulungan Jakarta Selatan, beberapa tahun yang lalu. Sebuah panggung dipenuhi oleh balon-balon warna warni. Sejumlah orang menggunakan pakaian pesta. Di tengah panggung terdapat sebuah kue tart, lengkap dengan lilin dan pemotong kue, serta minuman. Salah seorang dari kerumunan orang yang berada di situ –ada yang duduk dan berdiri, menyatakan selamat datang di pesta ulang tahun yang diperingatinya. Suasana ulang tahun pun terjadi. Semua orang merasakan, bahwa dirinya sedang ikut merayakan ulang tahun. Antara penonton dan pemain tidak ada pemisahan yang tegas. Penonton bahkan punya hak bicara, karena dalam pertunjukan tersebut, penonton memang adalah undangan dari yang sedang berulang tahun. Ilustrasi pertunjukan di atas, mencoba memecahkan tiga persoalan kita sebelumnya. Pertanyaan kita, apakah pertunjukan teater semacam ini yang disebut “Teater Kontekstual?”. Jika kita membuka kamus maupun indeks tentang teater, maka hampir pasti kita tidak menemukan istilah yang aneh ini. Dalam arsitektur, kita mengenal kontekstualisme, yaitu sebuah gerakan yang menekankan pengabaian terhadap arsitektur modern untuk memahami dan menanggapi konteks fisik sebuah bangunan (steven Connor, 1989: 73). Apakah kita bisa menariknya dalam pembicaraan tentang “Teater Kontekstual”? Tentu saja tidak, karena terdapat perbedaan signifikan antara pengertian “kontekstualisme” dengan realitas teater itu sendiri. Dalam teater ada suatu contoh tentang Teater of fact, yaitu teater yang mencoba untuk menggambarkan peristiwa yang sedang aktual dengan pertunujukan yang otentik, dan berkembang di Amerika sekitar 1930-an, misalnya lakon The Deputy, dan The Investigation (Edwin Wilson, 1998: 450). Medua massa –terutama surat kabar, menjadi sumber penggalian mereka. Teater ini memang mencoba untuk membangun konteks cerita dengan konteks kehidupan masyarakat, terutama dari pergumulan informasi yang sedang berkembang. Metode semacam ini cukup banyak kita temukan dalam teater-teater di Indonesia, seperti yang dilakukan Teater Gandrik, Teater Koma, maupun Teater Mandiri. Isu-isu aktual dikemas dalam bentuk teater. Dan, ternyata juga mampu menarik minat masyarakat. Apakah teater 62 semacam ini dapat kita sebut teater “kontekstual”? Tentu juga tidak, karena konteks dibangun atas dasar peristiwa di luar diri pelaku dalam teater tersebut. Untuk mendapatkan jawabannya, saya ingin mengajak kita semua untuk memasukinya lewat sebuah pendekatan pembelajaran yang kini mulai digunakan dalam dunia pendidikan kita, yaitu Contextual Teaching and Learning (CTL). Sedikitnya terdapat lima unsur yang mendukung terciptanya “Teater Kontekstual” dengan memahami terlebih dahulu prinsip konstruktivistik, yakni terjadinya pengaktifan pengerahuan yang sudah dimiliki, muncul dan didapatkannya pengetahuan baru, terjadinya pemahaman terhadap suatu pengetahuan, dapat dipraktekkannya pengetahuan dan pengalaman yang didapatkan, serta dapat melakukan refleksi terhadap strategi pengembangan pengetahuan tersebut (dimodifikasi dari pandangan John A. Zahorik (1995: 14-22). Disamping itu, teater “Kontekstual” juga menimbulkan rasa ingin tahu dengan menstimulasi berbagai pertanyaan yang konstruktif, membangun penemuan pada diri penonton, membangun siklus komunal, menampilkan bentuk-bentuk sebagai model penandaan, dan melahirkan “penilaian” yang sesungguhnya datang dari penonton. Dalam prinsip teori “Membaca dan Menyaksikan”, kita mengenal pula teori “Pembaca-Penanggap” (Susan Bennett, 1997: 20-85). Prinsip utamanya adalah titik utama membaca lakon maupun menyaksikan pertunjukan adalah penemuan sendiri oleh pembaca maupun penonton terhadap konteks keberadaan (sosial, psikologis, fisik, kebudayaan, ekonomi, ideologi) dirinya, ketika menghadapi penandaan estetik atau karya-karya seni. Akhirnya, saya mencoba merumuskan apa yang kita bicarakan tentang “Teater Kontekstual” (untuk sementara), meminjam pernyataan Peter Brook, “individu mempersembahkan kebenaran mereka yang paling mempribadi kepada individu lain… membagi pengalaman kolektif bersama mereka”, dan “pengalaman pribadi berhenti menjadi tujuan, dan kita mengarah pada penemuan bersama” (Shomit Mitter, 2002, 157). Teater Kontekstual mengandaikan adanya suatu penjelajahan yang berdasarkan kehidupan masing-masing individu, dan menemukan konteksnya dalam kebersamaan dengan individu lainnya. Apakah ada teater di Indonesia yang bekerja dengan prinsip seperti ini? Apakah prinsip ini menjadi pilihan yang mungkin untuk kita lakukan? Apakah manfaatnya bagi kita semua? Apakah cara berteater yang lain tidak kontekstual, atau perlu berada dalam “jalur” teater kontekstual? Masih banyak pertanyaan lagi yang mesti kita lontarkan pada “Teater Kontekstual”. Ringkasan Teater Kontekstual juga menimbulkan rasa ingin tahu dengan menstimulasi berbagai pertanyaan yang konstruktif, membangun penemuan pada diri penonton, membangun siklus komunal, menampilkan bentuk-bentuk sebagai model penandaan, dan melahirkan “penilaian” yang sesungguhnya datang dari penonton. Topik Diskusi 1. Apakah yang anda pahami tentang teater kontekstual? 2. Jelaskan pendapat anda konteks kerja teater dengan lingkungannya. 3. Cobalah identifikasi teater yang berkiblat pada konteks publiknya 63 Daftar Pustaka Bennett., Susan, 1997, Theatre Audience, London and New York: Routledge Connor, Steven, 1989, Postmodernist Culture, An Introduction to Theories of the Contemporary, Oxford and Cambridge: Basil Blackwell, Inc. Mitter., Shomit, 2002, Sistem Pelatihan Stanislavsky, Brecht, Grotowski dan Brook, penerjemah Yudi Aryani, Yogyakarta: MSPI dan arti Wilson., Edwin, 1998, The Theatre Experience, New York: McGraw-Hill Book Company. Zahorik, John A., 1995, Constructivist Teaching (Fastback 390), Bloomington, Indiana: Phi-Delta Kappa Educational Foundation. 64