Hakikat Penonton Teater Modern

advertisement
TEATER MODERN
Pertemuan 1
Asal mula Teater
 Menurut Kenneth McGowan dan William Melnitz dalam bukunya yang sangat
terkenal, The Living Stage (New York: 1955, 3): teater adalah sebuah drama yang
ditulis, pertunjukan oleh aktor, dan dalam sebuah sampul auditorium, panggung,
skenario, pakaian, dan tata cahaya, atau beberapa diantaranya. Ini merupakan
teater dalam pengertian yang diberikan oleh Sophopcles, Shakespeare, dan Miller.
Di samping itu, ada pendapat lain lain yang mengatakan bahwa teater berasal dari
permainan anak-anak ketika mereka saling menjadi seseorang yang mereka kenal,
seperti bermain menjadi ibu, menjadi ayah, menjadi adik dan menjadi kakak.
 Teater yang bermula dari paham kehidupan primitif ini harus dimulai dari bagaimana
manusia primitif membangun kehidupannya, mitos-mitos, dan bersentuhan dengan
komunikasi antar manusia pada zamannya. Kesederhanaan logika yang berdampak
pada cara-cara berkomunikasi manusia primitif, bisa dimaklumi bahwa pada awalnya
teater sangat terikat oleh bentuk-bentuk imitasi atau peniruan karakter. Misalnya,
bagaimana seorang atau sekelompok manusia primitif harus mendapatkan makanan
dengan berburu. Mereka harus menirukan cara-cara berkumunikasi binatang
buruannya. Pada era ini, topeng memegang peranan sangat penting untuk lebih
mendekatkan objek tiruan dengan binatang buruan. Kehidupan berburu ini menjadi
peristiwa menarik, dna dapat diwariskan kepada generasi selanjutnya. Begitu juga
dengan cara bercocok tanam, pengobatan hingga berhubungan seksual.
 Sedangkan menurut Robert Cohen dalam bukunya Theatre Brief Edition (California:
1983, 29), kata teater berasal dari kata Yunani, theatron, yang berarti tempat
menyaksikan (seeing place). Pengertian ini untuk menjelaskan tinggi rendahnya
lereng bukit setengah lingkaran yang diduduki penonton. Disamping itu, kata
“teater” juga untuk menunjukkan struktur tempat pertunjukan berada, dan
menggunakannya untuk menjelaskan peristiwa teater itu sendiri.
 Cohen selanjutnya mengungkapkan enam pernyataan tentang teater, yakni teater
merupakan kerja; teater merupakan karya artistik; dalam teater, aktor menirukan
watak, teater merupakan pertunjukan kehidupan, dan teater melibatkan naskah
drama.
 Sebagai sebuah “kerja” teater harus dilakukan dalam suatu kerja keras. Meskipun
tidak dapat dibagi dalam hitungan waktu tertentu, paling tidak suatu kerja teater
membutuhkan satu tahun penggarapan. Di samping itu, waktu berlatih pun dalam
sehari dapat dilakukan selama enam hingga sepuluh jam. Bebrapa proses sebelum
pertunjukan, merupakan kerja teater yang yang melibatkan sejumlah keahlian,
seperti dikatakan Cohen, diantaranya adalah pemeranan dan aktor menunjukkan
aturan penokohan dalam drama, pendisainan berkaitan dengan penyiapan properti,
kostum maupun rambut palsu, tata rias, tata lampu, konsep bunyi. Sedangkan
pembangunan yang menyangkut detail perangkat keras yang akan dipertunjukkan,
1
dan pelaksanaan yang berkaitan dengan semua kesiapan perangkat yang dapat
berjalan sebagaimana mestinya.
Dalam aspek fungsi manajerial, melibatkan produser, penyutradaraan, manajer
panggung, dan manajer gedung pertunjukan. Semua peran manajerial itu saling
terkait. Peristiwa teater akan benar-benar mampu mengantarkan penonton kepada
suasana yang menyenangkan, meskipun drama itu sebuah tragedi. Kenyamanan
menyaksikan teater juga merupakan tugas yang tidak kecil. Semua keahlian menjadi
satu kesatuan teater. Namun bukan berarti bahwa teater merupakan gabungan dari
kerja-kerja seni, tetapi gabungan dari kerja profesional atau amatir, komersial atu
akademik.
 Sebagai sebuah karya artistik, seni teater dibawa kepada pandangan yang tak dapat
diraba, yakni kreativitas, imajinasi, keanggunan, kekuatan, harmoni estetik, dan
keindahan bentuk, serta upaya untuk menangkap semangat hidup manusia dalam
menjalani kehidupan, sentuhan perasaan, dan kecerdasan menangkap makna
kehidupan. Karya kreatif teater pada pokoknya dilakukan secara bersama-sama dan
interdisiplin. Kerja kolektif ini diartikan pada tingkat keutuhan kerja dalam
melakukan suatu teater dan bukan dalam bentuk eksplorasi individual. Karena,
bagaimanapun juga, kerja individual, yakni melakukan latihan-latihan intensif, tak
dapat dipungkiri merupakan persoalan krusial dan kreativitas itu sendiri.
Pendapat mutakhir yang cukup membuat para penggiat teater perlu
merenungkannya adalah pernyataan Jerzy Grotowski dalam buku yang ditulis oleh
James Roose-Evans, Experimental Theatre, from stanislavsky to Peter Brook (London:
Routledge, 147), bahwa teater akan ada tanpa tata rias, pakaian, dekorasi, juga
panggung, tata cahaya, efek suara. Tetapi teater tidak ada tanpa hubungan aktor
dan penonton. Ini merupakan perbuatan yang utama, ini pertemuan antara dua
kelompok orang, dia menyebutnya teater miskin.
 Ketiga, dalam teater, aktor menirukan watak. Dalam banyak teater yang
menggunakan naskah drama sebagai pijakannya, maka terlihat dengan jelas,
bagaimana para aktor yang berperan di atas panggung, menirukan suatu peran
tertentu dengan watak atau karakter atau penokohan yang sesuai dengan keinginan
sebuah naskah drama. Peniruan ini merupakan suatu bentuk pilihan yang diyakini
seorang aktor untuk dapat menciptakan kembali aktualisasi dari tiga aspek penting
didalam perwatakannya, yakni sosiologis (kedudukan sosial misalnya), psikologis
(kejiwaan atau perangai maupun mental), dan fisiologis (keadaan fisik) tokoh atau
peran dalam sebuah naskah drama. Peniruan watak tersebut merupakan salah satu
bentuk dari upaya aktor menggiring penontonnya mempercayai peran yang
dimainkannya.
 Keempat, teater merupakan pertunjukan. Berbeda dengan drama yang termasuk
dalam genre sastra, teater merupakan pertunjukan atau peragaan oleh aktor dengan
segala kelengkapannya. Kelengkapan disini berarti, bahwa pertunjukan yang
disaksikan oleh penonton tersebut mencakup berbagai kebutuhan pertunjukan,
mulai dari adanya aktor, sutradara yang menyutradarai teater, hingga peralatan
panggung, kostum, rias, pencahayaan maupun penataan suara atau penataan musik
2




suatu pertunjukan. Sebagai suatu pertunjukan, teater terlahir sebagai suatu
tontonan. Pertunjukan atau tontonan ini berlangsung secara kolektif. Kolektivitas
tersebut merupakan tuntutan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Semua pihak yang
terlibat dalam pertunjukan harus menunjukkan kemampuan bekerjasama secara
kolektif.
Kerja kolektif dalam pertunjukan teater, bukan berarti bahwa teater merupakan
gabungan dari unsur-unsur seni. Bila dalam pertunjukan teater melibatkan tari,
musik, maupun seni rupa dalam tata rias, kostum maupun tata pentas atau dekorasi
pertunjukan, hal ini merupakan suatu satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu
sama lainnya. Musik teater bukan berarti musik dalam teater, tetapi musik dengan
teater yang berbaur dalam suatu tujuan penyelenggaraan teater. Musik bukan
sesuatu yang menempel begitu saja. Hal yang sama terdapat dalam dekorasi
pertunjukan teater, misalnya ada sebuah lukisan atau gambaran panggung buatan,
bukan berarti seni rupa maupun seni lukis itu menempel dalam teater. Semua itu
menjadi satu kesatuan dari pertunjukan teater tersebut.
Kerja kolektif bukan pula berarti bahwa segala kebutuhan peran seorang aktor harus
dilakukan bersama-sama. Seorang aktor dapat mengeksplorasi dirinya secara
individual. Begitu pula dengan sutradara, maupun pendisain artistik, yang dapat
melakukan eksplorasi secara individual. Hal ini perlu kita sadari terlebih dahulu, agar
dapat setiap persiapan pertunjukan teater, seseorang yang terlibat didalamnya tidak
saling menunggu satu sama lainnya. Secara induvidu, masing-masing dapat
melakukan berbagai penjelajahan kemungkinan-kemungkinan pertunjukan yang
menjadi wilayah tugasnya yang dibebankan kepadanya.
Ke lima, teater merupakan pertunjukan hidup. Perbedaan yang sangat nyata antara
teater dan film adalah pada titik keberadaan teater sebagai pertunjukan hidup.
Sedangkan film merupakan pertunjukan yang sudah melalui proses perekaman yang
kemudian dapat disaksikan dimanapun, dan dapat diperbanyak sesuai kebutuhan
tempat pertunjukannya. Sedangkan teater merupakan pertunjukan yang hanya
dapat disaksikan ketika suatu pertunjukan berlangsung di depan mata. Teater
merupakan suatu pertemuan tatap muka (face to face) secara langsung antara aktor
dan penonton. Sebagai pertunjukan hidup, seorang aktor meminimalkan kesalahankesalahan, karena dia tidak bisa mengulangi kembali adegan yang dimainkannya.
Improvisasi dalam teater bukan sebagai alat untuk memaklumkan kesalahan dalam
berperan atau berakting.
Keenam, teater melibatkan drama. Drama merupakan salah satu –bukan satusatunya, sarana bagi teater. Keterlibatan drama dalam teater merupakan suatu
kebutuhan dalam bentuk teater yang memandang, bahwa drama sebagai sumber
pertunjukannya. Dalan bentuk teater tertentu yang muncul di akhir abad 19 dengan
gerakan simbolismenya, dilanjutkan dengan ekspresionisme pada 1920-nan serta
berkembang sangat pesat pada era 1950-an, teater pada periode ini menggunakan
bentuk-bentuk yang tidak menjadikan naskah drama sebagai sumber
pertunjukannya. Sumber pertunjukannya adalah sebuah eksplorasi atau penggalian
bahasa, kejadian maupun fenomena-fenomena kehidupan yang aktual, dan
aktualisasi kehidupan tersebut mengalami penginterpretasian kembali dengan
3
mengutamakan tanda-tanda. Tanda-tanda inilah yang dipersonifikasikan kembali
dalam bentuk peran-peran manusia dalam kehidupan.
Ringkasan
Teater secara intrinsik berasal dari kata Yunani Kuno, Theatron, yang berarti tempat
menyaksikan (seeing place). Teater juga kata untuk menyatakan rangkaian peristiwa
dari suatu kejadian, dan menjelaskan peristiwa atau kejadian itu sendiri. Dalam
pemahaman dramawan Yunani, seperti Sophocles yang dikenal dengan karya triloginya
dalam bentuk tragedi, yakni Oedipus sang Raja, Oedipus di Kolonus dan Antigone, atau
pemahaman dramawan Inggris seperti William Shakespeare yang dikenal dengan
karyanya, antara lain Romeo dan Juliet maupun Julius Cesar, juga dramawan Amerika
seperti Arthur Miller yang dikenal dengan karyanya Kematian Pedagang Keliling, bagi
mereka teater berada dalam lingkup tulisan yang berbentuk drama, dipertunjukkan
oleh aktor atau pemain, dan dalam “selubung” atau dibungkus oleh auditorium, atau
tempat pertunjukan, ada panggung, pengadeganan, kostum, maupun tata lampu.
Dalam pandangan lain, teater dapat pula dikatakan sebagai permainan anak-anak.
Anak-anak memerankan dirinya menjadi bapak atau ibu dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Robert Cohen (1984: 29), sedikitnya terdapat enam tuntutan dalam konteks
pengertian teater yang secara ringkas telah diuraikan beberapa tokoh pendahulu teater
sebelumnya, yakni
Teater sebagai kerja
Teater sebagai karya artistik
Dalam Teater, aktor menirukan watak
Teater merupakan petunjukan
Teater merupakan pertunjukan hidup
Teater melibatkan drama
Topik Diskusi
1. Coba jelaskan, dari manakah teater itu bermula?
2. Jelaskan enam tuntutan pengertian teater!
3. Coba jelaskan pemahaman kerja kolektif dalam teater!
4. Saksikanlah teater di sekitar tempat anda tinggal, dan cermatilah bagaimana
teater tersebut bermula atau terbentuk sehingga menjadi organ penting dalam
masyarakatnya
5. Jealaskan pengalaman anda pertamakali menyaksikan teater
4
Pertemuan ke 2
Akar Modern hingga Postmodern
Akar Modern
 Pemberontakan terhadap mitologi dan menggunakan akal pikiran: Socrates
“Kenalilah Dirimu Sendiri”
 Plato: Manusia terdiri dari Tubuh (Epithymia): Petani, Tukang, Buruh; Kehendak
(Thymos): Para Prajurit; Rasio (Logos): Pemimpin
Kelahiran Modernitas
 Humanisme Italia (abad 14)
 Renaissance (Kelahiran Kembali) abad 16: Pembebasan terhadap dogma agama
abad pertengahan; keberanian menerima dan menghadapi dunia nyata; keyakinan
menemukan kebenaran dengan kemampuan sendiri; kebangkitan mempelajari
sastra dan budaya klasik

(melahirkan) Pencerahan abad 18 yang merupakan embrio kebudayaan modern:
-Rene Descartes dengan dictum cogito ergo sum “Aku Berpikir maka Aku Ada”.
Melahirkan metode dengan menyangsikan segala sesuatu
Proses pematangan
 Immanuel Kant (Filsuf Jerman): Ide absolut yang sudah terberi melahirkan kategori
 Frederich Hegel: Idealisme absolut
 Modern: Rasio, Subjek, Identitas, Ego, Totalitas, Ide-ide absolut, Kemjuan sejarah
(linier), objektivitas, otonomi, Emansipasi, Kesewenangan ilmu pengetahuan,
militerisme, materialisme
 Ilmu dan Kebudayaan: Fisika kontemporer, Kejayaan Kapitalisme lanjut,
Konsumerisme, Merebaknya budaya Massa, Budaya Populer, Industri Informasi,
Televisi, Koran, Iklan, Film, Negara Bangsa (nation state), demokrasi, pluralisme
 Terjadilah hegemoni Modern, patologi modern (dehumanisasi, alienasi, diskriminasi)
sejak Amerika memenangkan Peran Dunia II. (suasana dunia modern waktu itu yang
diwarnai totaliterianisme Stalin, fasisme dan otoriterisme Nazi Hitler dan perang
dunia yang disebut sebagai "barbarisme baru". Karena itulah Teori Kritis sangat
khawatir terhadap patologi rasionalitas modern, dan inilah Konteks sosio-historis
yang melatari Teori Kritis)
 Tokoh Seni Modern: Kafka, Mann, Gide (Sastra), Starisky, Schoenberg, Berg (Musik),
Hendrik Ibsen, August Strinberg, Wedekind (drama), Jack Copeau (teater),
Picasso,Matisse, Cezanne (Seni Lukis)
 Modern: Mensubordinasikan dan memutuskan hubungan dengan tradisional
 Modern: Rasionalitas Tujuan dan Nilai
 Modern II: Revolusi Perancis
5
Postmodernisme
 postmodernisme tidak lain adalah penolakan serta-merta terhadap modernitas,
terhadap Pencerahan (Aufklärung) yang membawa janji emansipasi, dengan
mengubur sama sekali kemungkinan adanya emansipasi itu sendiri. Artinya, konsep
praksis yang mengandaikan emansipasi tidak lagi mendapat tempat. Bagi pendukung
asumsi ini, postmodernisme dengan demikian adalah suatu kepekaan bahwa
kehidupan kita tidak lebih dari permainan yang sepenuhnya ditentukan oleh bahasa,
yang niscaya bersifat historis dan lokal. Kalapun ada yang disebut dengan "ide
kebenaran", itu tidak lain adalah efek bahasa, hasil pembacaan tertentu terhadap
"teks" kehidupan. Sebaliknya, di mata penghujat postmodernisme, asumsi tersebut
tak pelak akan membawa pada nihilisme dan irasionalisme. Tidak heran kalau Jürgen
Habermas, sang pemeluk teguh modernisme, menyebut Michel Foucault dan
Jacques Derrida sebagai nihilis, obskurantis dan irasionalis
 Lahir Paralogi Jean Francois Lyotard: Menerima Keberagaman realitas. Dengan
kemajuan teknologi, maka kekuasaan telah dibagi-bagi
 Jack Derida: Dekonstruksi: meleburnya konsep-metafor, kebenaran-fiksi, filsafatpuisi, nyata-palsu, asli-palsu; hiperrealitas: citra lebih meyakinkan daripada fakta,
mimpi lebih dipercaya daripada hidup sehari-hari.
 Michal Faucault: Kekuasaan bukan merupakan institusi yang menundukkan, tetapi
relasi kompleks yang menyebar dan hadir dimana-mana
 Jean Baudrillard: Diskontinuitas budaya, Masyarakat Tanda, Kode produksi dan
reproduksi dalam simulacra: yakni ruang dimana mekanisme simulasi berlangsung;
sejak Renaissance hingga awal revolusi industri, era industri, konsekuensi Iptek dan
informasi
 Kritikus seni Susan Sontag: kesadaran pada kemajemukan, bermain dan menikmati
realitas secara bersama-sama tanpa ngotot dan menaklukkan realitas lain
Ringkasan
Akar Modern sesungguhnya sudah dapat dijelajahi dari para pemikir Yunani Purba.
Namun demikian, sejarah modern justru bermula ketika munculnya Humanisme Italia
dan Renaissance. Proses pematangan modern terjadi ketika suburnya pemikiranpemikiran filsafat di berbagai akademi yang secara kritis mempersoalkan aspek-aspek
epistemologis yang dibenturkan dengan realitas masyarakat. Masyarakat pada era ini
(pematangan modern) mulai menikmati kebebasan berpikir dan kebebasan dalam
membangun nilai-nilai kehidupan yang dihadapinya.
Di tengah pesatnya gelora modernitas, muncul paham-paham postmodernitas yang
mengejutkan dunia akdemik maupun dunia praksis. Kehidupan pun seolah-olah
berjalan sedemikian gambling dan mencerahkan. Manusia menemukan hakikat dirinya
seperti yang dikehendakinya. Namun demikian, tidka semua anggota masyarakat
merasa nyaman dengan paham-paham postmodernitas, karena manusia telah
”ditelanjangi” sedemikian rupa, sehingga tak ada yang perlu ditiadakan.
6
Topik Diskusi
1. Carilah sebanyak mungkin pendapat yang menyebutkan sesuatu yang bermakna
“modern”! Dan, buatlah pendapat anda tentang Modern!
2. Buatlah korelasi pendapat anda tersebut dengan pemaknaan yang anda miliki
tentang teater!
3. Apakah anda sepakat dengan beberapa paham yang dimunculkan oleh para
pemikir postmodern. Bila anda sepakat, pada paham pemikir yang mana?
Sebutkan alasan anda! Bila anda tidak memiliki kesepakatan, jelaskanlah faktor
apa yang membuat anda tidak memiliki kesepakatan sama sekali!
4. Cobalah pertemukan pendapat anda tentang teater modern dengan pahampaham yang dimiliki pemikir postmodern! Bagaimana pendapat anda setelah
mempertemukan makna teater modern dengan paham postmodern?
Diskusikanlah dengan sesama teman anda! Dan, buatlah pendapat yang
menurut anda paling tepat terhadap hasil diskusi tersebut
7
Pertemuan ke 3
Postmodern dalam Teater
Tentang Teori Kritis, Genealogi, dan Dekonstruksi
 Postmodernisme yang belakangan ini menjadi tema menonjol dalam wacana
intelektual kita nampaknya masih ditanggapi secara sembrono. Di satu sisi, ia begitu
mudahnya dirayakan, terutama oleh kalangan muda, sebagai bentuk kepekaan baru
dan peralihan paradigma yang hampir total dalam menanggapi modernitas. Katakata kunci seperti dekonstruksi, différance, diskontinuitas sejarah, discourse, dan
decentering menjadi semacam perangkat pemeriksaan terhadap apa saja. Artinya,
segalanya mau dikait-kaitkan dengan, dan dilihat dari kaca mata postmodernisme.
Sedangkan segala sesuatu yang masih berbau modern dianggap aus. Produk-produk
kultural modernitas seperti paham otonomi subjek, prinsip rasionalitas, ilmu dan
teknologi, juga demokrasi dan hak asasi di babat habis-habisan. Pokoknya serba
ikonoklastik.
 Sementara itu di sisi lain, sebagian kalangan justru terlalu cepat mencurigai dan
melecehkan postmodernisme. Isme ini diidentikkan begitu saja dengan relativisme
radikal yang mengarah pada anarkisme tak ketulungan ("Apa saja boleh!");
melantunkan sikap tanpa pemihakan; hanya membongkar tanpa mengajukan
alternatif apa maunya; dan dalam konteks kita dianggap nggege mongso ("Modern
saja belum terpenuhi kok sudah masuk postmodern!") Bahkan Frans Magnis-Suseno
dalam wawancaranya di sebuah harian ibu kota akhir tahun lalu, dengan nada sinis
menyebut pembicaraan postmodernisme saat ini sebagai tanda kedangkalan
intelektual kita. Secara berolok-olok Magnis menyebut Dewi Soekarno sebagai
contoh figur postmodernis karena menjungkirbalikkan nilai-nilai estetika dengan
erotisme.( Kompas, 12 Desember 1993)
 Ke dua pandangan di atas pada dasarnya adalah bentuk pengekstriman yang terlalu
menyederhanakan, kalau bukan melebih-lebihkan, terhadap postmodernisme. Dan
kalau diamati secara jeli, kita akan melihat bahwa meski berada dalam posisi yang
saling berlawanan, keduanya sesungguhnya menyimpan asumsi yang kurang lebih
sama, bahwa postmodernisme tidak lain adalah penolakan serta-merta terhadap
modernitas, terhadap Pencerahan (Aufklärung) yang membawa janji emansipasi,
dengan mengubur sama sekali kemungkinan adanya emansipasi itu sendiri. Artinya,
konsep praksis yang mengandaikan emansipasi tidak lagi mendapat tempat. Bagi
pendukung asumsi ini, postmodernisme dengan demikian adalah suatu kepekaan
bahwa kehidupan kita tidak lebih dari permainan yang sepenuhnya ditentukan oleh
bahasa, yang niscaya bersifat historis dan lokal. Kalapun ada yang disebut dengan
"ide kebenaran", itu tidak lain adalah efek bahasa, hasil pembacaan tertentu
terhadap "teks" kehidupan. Sebaliknya, di mata penghujat postmodernisme, asumsi
tersebut tak pelak akan membawa pada nihilisme dan irasionalisme. Tidak heran
kalau Jürgen Habermas, sang pemeluk teguh modernisme, menyebut Michel
8
Foucault dan Jacques Derrida sebagai nihilis, obskurantis dan irasionalis (Butir-butir
kritik Habermas terhadap kalangan postmodernis bisa dilihat dalam bukunya The
Philosophical Discourse of Modernity, terjemahan F. Lawrence (Cambridge, Mass:
MIT Press,
1987).
Asumsi bahwa postmodernisme identik dengan anti-emansipasi Pencerahan inilah
yang harus diperiksa keabsahannya jika kita menginginkan pembicaraan
postmodernisme tidak lagi menjurus pada kesembronoan seperti yang dialami dua
pandangan ekstrim di atas. Sebab diakui atau tidak, gugatan postmodernisme
terhadap modernitas membawa unsur-unsur yang jelas berbeda dengan gugatan
yang pernah muncul sebelumnya, misalnya oleh Teori Kritis Frankfurt (Teori Kritis
Masyarakat (eine Kritische Theorie der Gesselschaft) atau "Teori Kritis" adalah
mazhab pemikiran neo-Marxis yang pertama berkembang di Institut für
Sozialforschung, salah satu jurusan resmi dalam Universitas Frankfurt yang didirikan
di Frankfurt am Main pada tahun 1923. Para intelektual yang bergabung dalam
institut ini cukup banyak, misalnya Friedrich Pollock (ahli ekonomi), Carl Grunberg
(Direktur pertama institut), Max Horkheimer (filosof, sosiolog, psikolog dan direktur
sejak 1930), Theodor Wiesendrund-Adorno (filosof, sosiolog, musikolog), Walter
Benyamin (kritikus sastra), Erich Fromm (psikolog sosial) dan Herbert Marcuse. Tapi
sejauh yang disebut mazhab "Teori Kritis", yang lebih sering dimaksudkan adalah
Horkheimer, Marcuse, dan Adorno untuk generasi pertama, dan Jürgen Habermas
untuk generasi kedua. Pada dasarnya, generasi Teori Kritis pertama banyak diilhami
oleh gagasan-gagasan seorang neo-Marxis, Georg Lukács (1885-1971), terutama
konsep reifikasinya. Satu hal penting yang membedakan Teori Kritis dengan Marxis
dan neo-Marxis lain adalah sikap independen mereka dari kubu Marxis, baik Sosial
demokrat maupun Komunisme, karena secara praktis maupun teoritis mereka tidak
memperlakukan Marxisme sebagai norma. Konteks sosio-historis yang melatari Teori
Kritis adalah suasana dunia modern waktu itu yang diwarnai totaliterianisme Stalin,
fasisme dan otoriterisme Nazi Hitler dan perang dunia yang mereka sebut sebagai
"barbarisme baru". Karena itulah Teori Kritis sangat khawatir terhadap patologi
rasionalitas modern. Lihat Fransisco Budi Hardiman, Kritik Ideologi: Pertautan
Pengetahuan dan Kepentingan (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1990), 35-46. Sumber
pustaka lain untuk ini di antaranya Sindhunata, Dilema Usaha Manusia Rasional
(Jakarta: Gramedia, 1983). Untuk sumber bahasa Inggris, lihat di antaranya Tom
Bottomore, The Frankfurt School (London: Tavistocks Publications, 1984); Leszeck
Kolakowski, Main Currents of Marxism: Its Origin, Growth and Dissolution, Vol III
(Oxford: Clarendon, 1978); dan Z. Tar, The Frankfurt School: The Critical Theories of
Max Horkheimer and Theodor W. Adorno (New York: A Wiley-Interscience
Publication, 1977). Teori kritis juga melancarkan kritik yang tajam terhadap
modernitas, terutama proses rasionalisasi yang berlangsung di dalamnya, namun
dengan pengandaian-pengandaian yang masih berpijak pada modernisme
Pencerahan. Ini bisa dilihat, antara lain, dari konsepnya tentang kritik dan praksisemansipatoris. Sementara postmodernisme justru menggugat pengandaian itu.
Bahkan pengertian kritisisme yang diajukan Teori Kritis pun dipertanyakan.
 Persoalannya adalah apakah dengan demikian postmodernisme lantas tidak
emansipatoris? Apakah postmodernisme adalah bentuk lain dari nihilisme dan
relativisme, yang sedari dulu tampil sebagai kekuatan konservatif vis a vis
9
rasionalitas modern, sebagaimana yang sering dinisbatkan pada Nietszche dan
Heidegger? Apakah makna Pencerahan hanya diwakili oleh versi Teori Kritis? Untuk
menjawab rangkaian pertanyaan ini, ada baiknya kita, mengikuti Michel Foucault,
melakukan kilas balik untuk mencari konteks apa yang melahirkan gagasan tentang
Pencerahan dan emansipasi.
Kritik dan Heroisme
 Beberapa tahun sebelum meninggal, Foucault menulis esai--mungkin untuk
menanggapi komentar Habermas tentang dirinya--yang berjudul: "Apa itu
Pencerahan?" (Esai ini termuat dalam Paul Rabinow (ed.), Foucault Reader (New
York: Pantheon, 1984), 32-50). Dengan ini, Foucault sebenarnya bermaksud
mendengungkan kembali pertanyaan: Was ist Aufklärung? yang pernah terlontar
dua abad lalu di Jerman, tepatnya pada bulan November 1784, dalam jurnal,
Berlinische Monastschrift. Di antara penanggapnya waktu itu adalah Immanuel Kant.
Pertanyaan ini sangat penting untuk dimunculkan lagi karena ia menandakan
peletakan batu pertama filsafat modern, yakni filsafat yang berusaha menjawab
pertanyaan tersebut.
 Jawaban yang kuat gaungnya waktu itu, kita tahu, berasal dari Immanuel Kant (17241804) ketika ia menegaskan bahwa Pencerahan adalah "jalan keluar" yang
membebaskan manusia dari situasi ketidakdewasaan, yakni situasi manusia yang
masih menggantungkan dirinya pada otoritas diluar dirinya, yang dengannya ia
sendiri merasa bersalah, entah otoritas itu atas nama tradisi, dogma agama, ataupun
negara. Pencerahan, dengan demikian, harus dipahami sebagai sebuah proses,
sekaligus tugas untuk mencapai Mundigkeit, kedewasaan, dengan berani
menggunakan rasio sendiri. Sapere Aude! (Beranilah berpikir sendiri!) menjadi
semboyan kuatnya. Dari sinilah Kant lalu memunculkan konsep "kritisisme", yang
dalam pandangannya berarti usaha untuk menentukan batas-batas kemampuan dan
syarat kemungkinan rasio, yang dengannya kita bisa menentukan apa yang mungkin
kita ketahui, kita kerjakan, dan kita gantungi harapan.
 Pada umumnya, kritisisme Kant selalu dipahami sebagai sebuah solusi dan prinsip
universal, sebagaimana bisa dilihat dalam pemikiran para filosof Pencerahan setelah
Kant, seperti Hegel, Marx, Teori Kritis generasi pertama, Habermas, dan bahkan juga
Magnis-Suseno. Seakan-akan rasio itu begitu unggul, mengatasi semua pengalaman
yang bersifat partikular dan khusus, dan menghasilkan kebenaran-kebenaran mutlak
yang universal, tak terikat waktu. Dan dengan ditemukannya rasio tersebut, maka
Mundigkeit pun tercapai. Karena kritisisme dipahami dalam rangka standar
universal, maka ia selalu berarti suatu penilaian, pengujian dan pemeriksaan klaimklaim kesahihan dari satu posisi di luar arena, sudut pandang Archimedean, yang
dengannya kebenaran bisa ditentukan desain dan arahnya. Dengan prinsip rasional,
kehidupan publik pun lantas bisa diatur.
 Demikianlah kita melihat hal itu pada G.W.F. Hegel (1770-1831). Pandangan Hegel
bahwa sejarah adalah gerak rasionalitas yang menaik secara dialektis untuk
mencapai totalitas dan kesempurnaan rasio itu sendiri menyiratkan secara kuat
semangat universal kritisismenya. Universal karena kritisisme dalam arti Hegelian
10
tidak lain adalah dialektika itu sendiri, sehingga segala perbedaan, otherness,
oposisi, kontradiksi semuanya akan lebur dalam rekonsiliasi menuju totalitas tadi
(Aufhebung). Meminjam ungkapan Adorno, bangunan sejarah Hegel yang totalistik
mengarah pada suatu filsafat "identitas", di mana segala carut-marut perbedaan
harus disubordinasikan ke dalamnya.
 Kita juga melihat klaim universal dalam kritisisme Karl Marx (1818-1883). Menurut
Marx, kritisisme tidak hanya gerak dialektika yang mengawang-awang dalam ide
sebagaimana kata Hegel, melainkan juga terutama suatu praksis emansipatoris,
yakni usaha-usaha mengemansipasi diri dari penindasan dan alienasi yang dihasilkan
oleh hubungan-hubungan kekuasaan dalam masyarakat. Dengan demikian, segala
bentuk pengetahuan dan kesadaran yang masih berada dalam hubungan-hubungan
kekuasaan dalam masyarakat, jadi masih belum teremansipasi, pasti terdistorsi dan
bias, karena itu bersifat ideologis dan palsu. Maka, kritisisme haruslah berusaha
menghapus hubungan-hubungan kekuasaan dalam masyarakat yang tercermin
dalam hubungan pemilikan alat-alat produksi agar pengetahuan dan kebenaran
rasional tercapai. Dari sini kita bisa melihat bahwa pengetahuan sejati dan benar
menurut Marx hanya ada dalam masyarakat komunis. Kebenaran, dengan begitu,
sudah tersedia dan terletak di depan sana, bersifat objektif dan berlaku universal.
 Dengan nada yang lebih aktual, kritisisme Hegel dan Marx--sekaligus bias
universalnya--dilantunkan kembali oleh Teori Kritis aliran Frankfurt. Kata kunci yang
paling digemari mereka adalah praksis emansipatoris. Sebagaimana para filosof
Pencerahan sebelumnya, kritisisme Teori Kritis terletak pada obsesi mereka untuk
menjadi Aufklarung, yang berarti mau menyingkap dan menyobek selubungselubung ideologis yang menutupi kenyataan tak manusiawi dari kesadaran kita.
Dengan membuka kedok-kedok ideologis dalam segala hal, termasuk bangunan
pemikiran Teori Kritis sendiri, Teori Kritis ingin mengajukan kembali maksud dasar
Marx, yakni pembebasan manusia dari segala belenggu penindasan dan pengisapan.
 Karena terobsesi dengan cita-cita humanisme Marx muda tersebut, Teori Kritis
generasi pertama, di antara yang terkenal adalah Horkheimer, Adorno dan Marcuse,
memang sempat kecewa berat terhadap rasionalitas modern pada masa itu, yang
dianggap kehilangan sifat kritisnya. Artinya, rasionalitas modern sudah melenceng
dari khittah Pencerahan. Seperti ditunjukkan oleh Horkheimer dan Adorno dalam
Dialektika Pencerahan dan Marcuse dalam Manusia Satu Dimensi, proses
rasionalisasi masyarakat ternyata bermuara ke dalam tragedi agung. Karena
mendewakan rasionalitasnya yang semula dikira memberi otonomi dan kebebasan,
manusia modern justru terperangkap dalam sistem tertutup yang justru irasional
dan hampa makna. Dalam kondisi demikian, tidak ada ruang sedikit pun bagi kritik
kecuali bahwa kritik itu sendiri pasti ikut memperkuat sistem. Dalam masyarakat
modern seperti ini, segala kontradiksi, penindasan, frustasi dan alienasi tidak lagi
nampak. Seakan-akan semua aspek kehidupan berjalan lancar, efisien, produktif dan
berdaya guna. Padahal yang sebenarnya berlangsung adalah proses dehumanisasi.
Ketika kritik hendak bekerja menyingkap kesan semu ini, ia segera mendapati
kenyataan bahwa sistem yang irasional itu justru malah merupakan akibat usaha
manusia untuk bersikap rasional. Rasionalitas yang semula sangat kritis terhadap
mitos-mitos tradisional pada gilirannya justru berubah menjadi mitos baru dalam
11





bentuk ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena itu, Teori Kritis generasi pertama
mengambil sikap pesimis terhadap rasionalitas, cenderung menarik diri (resignasi)
agar tidak dicaplok oleh sistem, dan bahkan pada akhirnya terkesan anti-praksis
(Lihat kata pengantar Franz Magnis-Suseno dalam Sindhunata, Dilema Usaha
Manusia Rasional (Jakarta: PT Gramedia, 1983), cetakan kedua, xix-xx).
Meski kesudahannya pesimis terhadap modernitas, Teori Kritis generasi pertama
sebenarnya secara implisit tetap memahami kritisisme dalam rangka standar
universal. Ini terbukti dengan pembedaan yang masih mereka pertahankan antara
pengetahuan yang ideologis (pengetahuan yang melegitimasi sistem yang ada) dan
pengetahuan sejati. Hanya saja mereka melihat bahwa pengetahuan modern pada
masa itu justru ideologis karena terdistorsi oleh relasi kuasa masa modern yang
bersifat opresif. Sedangkan pengetahuan rasional yang sejati, yakni yang bebas dari
aneka relasi kuasa yang opresif, tetap ada meski kecil kemungkinannya terealisir
saat ini.
Dalam perkembangan selanjutnya, pesimisme generasi Frankfurt awal direvisi oleh
pewarisnya, yakni Jurgen Habermas. Intelektual yang belakangan justru secara
lantang membela klaim universalitas standar rasional ini beranggapan bahwa "guruguru"-nya di Frankfurt "salah baca" terhadap karakteristik Pencerahan modern.
Habermas secara gigih ingin menyelamatkan elemen-elemen kritis emansipatoris
dari Teori Kritis, dengan asumsi bahwa pencerahan Barat tidak hanya menjurus pada
patologi, melainkan juga peningkatan diri dan pendewasaan kehidupan sosial.
Kesalahan generasi Frankfurt awal, menurut Habermas, adalah bahwa rasionalitas
modern dipahami hanya sebagai "rasio-subjek", yakni yang melulu menyangkut
kemampuan akal budi kita mengontrol proses-proses objektif alam semesta melalui
"kerja." Inilah tipe rasionalitas yang oleh Weber disebut "rasionalitas-tujuan"
(zweckrationalitat). Kalaupun rasionalitas modern nampak timpang dan opresif, hal
itu karena rasionalitas-tujuan terlalu mendominasi dan menjarah segala aspek
kehidupan.
Tapi bukan berarti ia menjadi alasan yang sah untuk bersikap pesimis dan
menganggap kritisisme macet. Sebab, modernisasi masih mempunyai tipe
rasionalitas lain, yang selama ini diabaikan oleh Marx dan generasi Frankfurt awal,
yakni "rasio-intersubjektif" atau "rasio-komunikasi", yakni kemampuan akal budi
untuk memahami maksud-maksud orang atau kelompok lain secara timbal balik.
Proses rasionalisasi tidak perlu berujung pada dominasi dan opresi manakala ia
dipahami sebagai pencapaian wacana argumentatif, di mana argumen yang lebih
menawarkan klaim kesahihan yang lebih unggul, dapat diterima secara konsensus.
Ketika komunikasi suatu ketika mengalami distorsi dan diselingi paksaan, ketika
konsensus hanya merupakan pseudo-komunikasi, maka di situlah kritisisme rasional
mulai berfungsi, yakni untuk menyingkirkan distorsi-distorsi tersebut. Dan itulah
alasannya kenapa bagi Habermas modernisasi adalah "proyek sejarah yang belum
selesai."
Berdasarkan hasil pelacakan di atas, kita pun mafhum bahwa kritisisme, yang
menjadi ciri khas modernisme, di mata para pewarisnya berarti suatu "heroisme"
dalam menanggapi situasi zamannya. Karena rasio sebagai prinsip kebenaran
universal sudah ditemukan, maka alur sejarah pun bisa dipatok batas-batasnya dan
12
telos (tujuan) sejarah bisa diprediksikan. Setidaknya itulah yang kita lihat pada Hegel
ketika ia menganggap demokrasi liberal yang berkembang di Barat sebagai
manifestasi kesempurnaan pembentukan diri rasio. Atau Marx ketika menggagas
sosialisme ilmiahnya. Secara normatif, rasionalitas tersebut juga menjadi dasar
pengorganisasian masyarakat modern. Setidaknya itulah kata Habermas ketika ia
mengartikan "proyek modernitas" yang dirumuskan oleh para filosof Pencerahan
sejak abad ke-18 sebagai:
 "rangkaian usaha untuk mengembangkan ilmu objektif, moralitas dan hukum
universal serta seni otonom menurut logika-dalam masing-masing. Pada saat yang
sama, proyek ini dimaksudkan untuk membebaskan potensi-potens kognitif setiap
domain tersebut dari bentuk-bentuk esoterisnya. Para filosof Pencerahan
bermaksud mendayagunakan akumulasi dari satuan-satuan budaya itu untuk
memperkaya (makna) kehidupan sehari-hari--yakni demi terciptanya suatu penataan
kehidupan sosial secara rasional." (Pernyataan Habermas ini dikutip dari Steven Best
dan Douglas Kellner, Postmodern Theory (Hampshire, London: Macmillan Education
Ltd,
1991),
233)
Selain itu, kritisisme juga membawa pada "keseriusan" dalam menanggapi
kehidupan. Seandainya kita bayangkan, para filosof Pencerahan adalah tipe filosof
yang secara serius bergulat dengan pemikiran-pemikiran "keras", lewat konsepkonsep, argumentasi filsafat dan teori-teori, untuk mencari kebenaran dan jawabanjawaban yang definitif tentang inti segala sesuatu, termasuk dasar pengaturan
kehidupan publik. Mereka begitu yakin bahwa kebenaran yang mereka kejar bisa
secara persis berkoresponden dengan realitas di luar sana; bahwa konsep dan
penggambaran filosofis mereka mampu menjadi cermin realitas. Dengan kata lain,
mereka tidak menaruh kecurigaan sama sekali terhadap bahasa yang mereka pakai.
Tidak heran kalau kemudian konsep dan teori yang mereka rumuskan diyakini
mampu menjadi landasan bagi tindakan pencerahan dan praksis emansipasi.
Masyarakat Disiplin
 Dengan kritisismenya, Foucault pada akhirnya sampai pada upaya penyingkapan
karakteristik dunia modern yang mampu menjungkirbalikkan asumsi-asumsi filosof
Pencerahan. Dalam pandangan filosof Pencerahan, manusia dipandang sebagai
subyek yang otonom, mandiri, dan mampu menentukan diri sendiri. Mereka juga
percaya adanya pemilahan yang tegas antara pengetahuan sejati dan murni
(rasional, objektif, dan tidak terdistorsi oleh mitos atau hubungan kekuasaan yang
menindas) dengan pengetahuan palsu dan tidak murni (irasional, subjektif, dan
ideologis/cerminan dari kekuasaan tertentu).
 Pandangan demikian ditolak keras oleh Foucault. Dalam Disiplin dan Hukuman dan
Sejarah Seksualitas, Foucault secara jenial melukiskan bagaimana individu modern,
sebagai subjek maupun objek, sebenarnya lahir dan diciptakan oleh multiplisitas
dalam jaringan kuasa. Lewat tehnik disiplin dan normalisasi, individu diciptakan
sebagai objek. Dan lewat praktek "pengakuan" dan "penguasaan-diri" dalam wacana
seksualitas, ia diciptakan sebagai subjek yang membicarakan dirinya sendiri. Selain
13
itu, Foucault juga menegaskan bahwa distingsi antara pengetahuan murni (yang
bebas kekuasaan) dan pengetahuan ideologis (yang bias kekuasaan) hanyalah ilusi
belaka. Sebab menurut Foucault, pengetahuan dan kekuasaan terpilin dalam
kesatuan tunggal.
 Pandangan Foucault mengenai kuasa dan model teknologi kuasa apa yang
beroperasi dalam dunia modern sangat penting untuk dicermati karena dari sinilah
kita bisa melihat sejauh mana kritisisme Foucault berimplikasi pada praksis dan
emansipasi. Menurut Foucault, kekuasaan bukanlah seperti apa yang dikatakan
kaum Weberian, yakni kemampuan subjektif untuk mempengaruhi orang lain.
Kekuasaan bukan pula seperti apa yang dikatakan kaum Marxis sebagai artefak
material yang bisa dikuasai dan digunakan oleh klas tertentu untuk mendominasi
dan menindas klas lain. Kekuasaan bukan institusi, struktur, atau kekuatan
menundukkan. Kekuasaan adalah label nominal bagi relasi strategis yang komplek
dalam masyarakat (Lihat tulisan Colin Gordon sebagai penutup dalam Michel
Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972-1977,
diedit oleh Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980), 236). Dalam relasi,
tentu saja ada yang di atas ada yang di bawah, ada yang di pusat ada yang di pinggir,
ada di dalam ada yang di luar. Tapi bukan berarti kekuasaan semata-mata terletak di
atas, di pusat, atau di pinggir. Sebaliknya, kekuasaan menyebar, terpencar dan hadir
di mana-mana ibarat jaring yang menjerat kita semua. Kekuasaan berada di semua
lapisan, kecil dan besar, laki dan perempuan, yang saleh dan laknat.
 Fenomena demikian terutama terasa menyolok sekali dalam masyarakat modern
yang ditandai rejim "disiplin." Artinya, teknologi kuasa modern tidak lagi bekerja
secara terang-terangan, seperti halnya kuasa raja untuk menghukum dalam
masyarakat feodal. Kuasa modern bekerja secara anonim dan tak kelihatan lewat
disiplinisasi. Teknik disiplin ini meliputi kontrol kegiatan melalui penetapan jadwal
dan pelaksanaannya dengan tujuan menghasilkan ritme dan keteraturan; juga
kontrol lewat penetapan aturan-aturan terhadap masyarakat, dengan ganjaran bagi
yang taat dan hukuman bagi yang membangkang; bahkan juga kontrol mental lewat
sosialisasi nilai-nilai moral dan etika kerja (Lihat pengantar Paul Rabinow dalam
Foucault Reader, 17).
 Dengan kuasa disiplin inilah, individu-individu modern yang mengidealkan hidup
bebas, produktif dan mandiri dibentuk, dijinakkan, dikembangkan, dan ditundukkan.
Semakin mereka merasa bebas dan produktif justru semakin menunjukkan betapa
kuasa anonim tersebut berfungsi secara efisien. Dalam konteks ini, kiranya tepat apa
yang dikatakan Foucault bahwa lanskap arsitektur kuasa modern merupakan matriks
pengurungan yang mirip dengan model panopticon yang diajukan Jeremy Bentham
(1784-1804) (Panopticon merupakan model matriks mekanisme kuasa dalam bentuk
penataan ruang sedemikian rupa sehingga semua penghuninya bisa dipantau secara
sangat transparan. Desainnya kira-kira demikian: sebuah halaman luas, dengan
menara di tengahnya dan dikelilingi oleh serangkaian bangunan yang dibagi-bagi
dalam tingkat-tingkat dan sel-sel. Dalam masing-masing sel terdapat dua jendela:
satu untuk menerima sinar dari luar dan satunya lagi menghadap jendela menara.
Dengan begitu, segala isi sel bisa terpantau dari menara. Masing-masing sel jadinya
seperti teater kecil, dengan seorang aktor yang sendirian tapi secara konstan
14




kelihatan terus. Dalam kondisi demikian, para penghuni merasa diawasi terus
menerus sehingga akhirnya ia membatinkan pengawasan dalam dirinya sendiri. Dia
kemudian menjadi pengawas bagi dirinya. Model panopticon ini memperlihatkan
bagaimana kuasa modern berfungsi secara anonim dan hadir di mana-mana.
Bandingkan Michel Foucault, Discipline and Punish (New York: Vintage Books, 1979),
200. Juga Hubert Dreyfus dan Paul Rabinow, Michel Foucault: Beyond Structuralism
and Hermeneutics (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 188-192). Sasaran
utama dan efek yang paling nyata dari disiplin ini adalah "normalisasi", penyingkiran
segala yang dianggap menyimpang, membangkang, anomali, dan tidak teratur baik
secara psikologis maupun sosial. Jadi, masyarakat modern yang kelihatannya rapi,
kokoh, normal, dan tertib sebenarnya menyembunyikan bentuk-bentuk dominasi
dan penundukkan secara canggih.
Namun bukan berarti kekuasaan semata-mata negatif dan represif. Dalam
pandangan Foucault, kekuasaan justru beroperasi secara positif dan produktif.
Sebab, kekuasaan selalu menciptakan pengetahuan/kebenarannya sendiri
sebagaimana pengetahuan juga menyokong kebenaran. Gagasan Foucault mengenai
pengetahuan/kebenaran ini secara radikal membedakannya--untuk yang ke sekian
kalinya--dengan para filosof Pencerahan, tak terkecuali Teori Kritik yang masih
memisahkan antara kebenaran dan ideologi, antara pengetahuan dan kekuasaan.
Kebenaran, di mata mereka, adalah entitas yang berada di luar relasi kekuasaan,
yang berada "di depan sana", yang dengannya relasi kekuasaan bisa diperiksa dan
diatur cara kerjanya.
Pandangan ala Pencerahan ini jelas ditolak Foucault. Menurut Foucault, kebenaran
tidak terletak di luar, tapi di dalam kuasa. Kebenaran tidak lain adalah relasi kuasa
itu sendiri; adalah ensembel aturan-aturan yang menentukan kita, yang kita anggap
pasti dan benar bagi kesadaran kita, untuk memilah-milah, mengklasifikasi dan
memperlakukan mana yang benar mana yang salah, mana yang sah mana yang
batal, mana yang adil dan mana yang tidak, dan seterusnya; adalah sistem prosedurprosedur untuk memproduksi, mengatur, menyebarkan dan mengoperasikan
pernyataan-pernyataan (Foucault, Power/Knowledge, 132-133).
Dari sinilah Foucault akhirnya menandaskan bahwa pengetahuan apapun tidak
pernah melampaui "rejim kebenaran/kuasa"-nya sendiri. Setiap pengetahuan pasti
terbentuk dan terikat dalam kondisi-kondisi sosio-historis yang kongkret, dalam
kesementaraan, dan tidak pernah mentransformasikan diri menjadi kebenarankebenaran objektif dan universal.
Teater yang dipengaruhi oleh pemikiran postmodern dengan sendirinya membentuk
filosofi tersendiri.
Ringkasan
Pertanggungjawaban teater postmodern kontemporer Perancis. Josette Feral melihat
kekhasan
teater
postmodern
selama ini
dalam
penolakannya terhadap narasi dan dari 'organisasi simbolik yang mendominasi teater'.
Teater akan diperbuat atas 'pemindahan posisi keinginan terus menerus', tidak pernah
menyediakan penontonnya sesuatu untuk dipahami, 'kecuali arus yang mengalir,
15
jaringan dan sistem'. (Feral, 'Performance and Theatricality', hal. 177-179). Demikian
pula Regiss Durand mengatakan bahwa orang yang mengorganisasikan kekuatan
teater 'adalah bukan daya dorong dan hubungan cerita yang terlalu lama, tetapi lebih
melapiskan ke atas atau "lapisan", "pekerjaan yang mengikuti jalan" (Lee Bruer),
nukilan, pengulangan, gambar tiruan di atas kertas tipis, dan menghapus,
menggandakan, "menghantui" (Herbert Blau), me-nerjemahkan, pemindahan, dan lainlain (Durand, 'Theatre/SIGN/ Performance, hal. 220). Macam teater yang digunakan
untuk memberikan syarat ini adalah Ontological-hysteric Theatre dari dramawan
Amerika Richard Foreman.
Pengalaman seseorang dari pertunjukannya dijelaskan oleh Chantal Pontbriand:
Dalam produksinya tak ada mata -juga telinga- yang dapat menemukan gabungan titik
yang diistirahatkan. Penonton dalam drama Foreman dibombardir oleh keserbaragaman
peristiwa penglihatan dan pendengaran. Pada tingkat pendengaran ada perubahan yang
terus menerus pada sejumlah perlengkapan panggung secara geometris, juga dengan
suatu pemeranan. Pemindahan potongan-potongan perabotan dan bagian-bagian dari
perlengakapan mengubah konteks, juga dengan memberikan lebih besar kedalaman atau
dengan menciptakan tanpaan tingkat variasi dalam kedalaman atau ketinggian.
Pencahayaan juga berubah secara terus menerus; Perpindahannya harus terjadi secara
perlahan atau dengan cepat dan harus mempengaruhi panggung dan mirip rumah;
penonton harus secara tiba-tiba menemukan pemandian mereka sendiri dalam cahaya
ketika lampu sorot diturunkan pada mereka tanpa peringatan. Seperti untuk suara, segala
sesuatu direkam: terompet mobil, sirene, siulan, bitits of Jazz sama baiknya dengan dialog
itu sendiri. Naskah dipenggal, dipersingkat, aphoristic, kalimat tak saling berhubungan
(Portbriand, "The eye find no fixxed point...",p.159)
Topik Diskusi
1. Jelaskan pendapat anda tentang perkembangan pemikiran postmodern dengan
teater
2. Seberapa besarkan pengaruh pemikiran kritis dalam menggerakkan
pertumbuhan pemikiran dalam teater
3. Apakah masyarakat sekarang dapat memahami pola pertun-jukan teater
postmodern yang bersifat dekonstruktif. Bagaimana teater kontemporer
postmodern memosisikan dirinya dalam konteks masyarakatnya?
Sumber:


KEMUDIAN, DI MANAKAH EMANSIPASI? Tentang Teori Kritis, Genealogi, dan
Dekonstruksi, Jurnal Kalam, edisi 1 – 1994, Oleh Ahmad Sahal
Steven Connor , 1989, Postmodernist Culture, An Introduction to Theories of the
Contemporary, Oxford
16
Pertemuan ke 4
Pengertian dan Teknik
Teater Modern di Indonesia
 Teater Modern adalah sebuah style atau gaya atau mode teater yang memiliki
perbedaan khusus dengan teater era klasik, romawi, maupun teater tradisional.
 Dalam perspektif teater Barat, teater modern dicirikan dengan dua komponen dasar,
yakni sutradara dan aktor. Prinsip teater modern dicirikan oleh pendapat Jacques
Copeau pendiri Theatre du Vieux-Columbier (1913), yakni dengan manifestonya
Sebuah panggung kosong, sebuah ruang hampa (‘Pour l’oeuvre nouvelle qu’on nous
laisse un treateau nu!). Robert Cohen juga menyebutkan bahwa teater modern
dicirikan dari adanya Revolusi Politik di Amerika (1776), dan Perancis (1789) yang
dengan sendirinya mengubah struktur politik dunia Barat, dan revolusi
industri/teknologi yang memeriksa secara besar-besaran sistem ekonomi dan sosial
banyak negara, termasuk Indonesia. Revolusi ini juga terjadi secara simultan pada
lapangan intelektual –dalam filsafat, ilmu pengetahuan, pemahaman sosial, dan
masyarakat yang tak beragama.
 Sedangkan menurut Jacob Sumardjo, teater modern Indonesia dicirikan oleh (1)
pertunjukan dilakukan di tempat khusus, yakni bangunan panggung prosenium yang
memisahkan penonton dengan pemain, (2) penonton harus membayar, (3) fungsi
teaternya adalah untuk hiburan dalam segala gradasinya, dari yang sifatnya amat
populer sampai yang canggih, (4) unsur cerita amat erat kaitannya dengan peristiwaperistiwa sezaman, (5) ungkapan bentuk sudah menggunakan idiom-idiom modern,
seperti adanya intermezzo, pemimpin pertunjukan, lagu keroncong atau Melayu
dengan peralatan musik modern, (6) menggunakan bahasa Melayu pasar, (7) adanya
pegangan cerita tertulis.
Teater Bergaya Modern
 Kita telah memilih istilah “Teater Bergaya Modern” yang kurang cocok untuk
mencakup spektrum atau keseluruhan wilayah perbincangan tentang teater modern,
yang meskipun berbeda dalam perujudannya secara individual, namun menunjukkan
suatu desakan umum dalam membangun realitas pemodelan secara sadar ke dalam
pengalaman teaterikal kehidupan-yang-luas. Gaya teater apapun dalam era apapun,
tentu, memiliki gaya yang berbeda, tetapi di masa lalu, sebagian besar gaya selalu
ditentukan oleh konvensi mutakhir dan keterbatasan teknologi. Dramawan modern,
secara mencolok, memiliki kesadaran menyeleksi dan menciptakan gaya untuk
meyakinkan teori estetiknya, prinsip sosialnya, atau penyederhanaan hasratnya untuk
perubahan dan sesuatu yang baru.
 Teater bergaya modern berusaha menciptakan format teater baru, tidak semata-mata
mempertinggi atau meningkatkan bentuk performanya tetapi juga menyingkap
persoalan mendasar suatu keberadaan: baik pokok-pokok pemahaman, pokok
penggabungan, maupun pokok-pokok pribadi dan interaksi lingkungan.
17
 Pemakaian gaya oleh teater modern ini berasal dari mana saja dan di mana saja: dari
masa lalu, dari budaya asing, dan dari teknologi masa sekarang dan masa depan.
Seniman teater modern memiliki segudang sumber yang belum pernah ada
sebelumnya untuk sedemikian rupa menggambarkannya, dan mereka secara umum
tidak memaksakan penerapan mereka dengan maklumat politik, larangan keagamaan,
atau tradisi artistik yang diamanatkan. Teater bergaya modern niscaya orang merdeka
dalam sejarah: baik itu dramawan, sutradara, aktor, maupun pendisain yang dibatasi
penyelamatan usahanya dengan faktor sumber fisik yang universal dan imajinasi yang
dimilikinya sendiri. Sebenarnya sesuatu harus diletakkan di atas panggung
sebagaimana mestinya, dan di abad sembilan belas upaya tersebut sebenarnya
menunjukkan sesuatu yang mulai berubah dari masa-masa sebelumnya.
 Gaya teater modern ini tidak melepaskan sama sekali seluruh aspek realitas
kehidupan, tetapi ia mempergunakan-nya dalam pandangan yang tak terduga dan
mempertinggi pemaknaannya secara bebas dengan simbol dan kiasan, berusaha keras
untuk menjelaskan dengan ibarat dan kiasan, membongkar dan membangun kembali
dengan bahasa dan pemandangan serta melalui pencahayaan. Lebih jauh, ia membuat
secara tegas yang sangat teaterikal melalui teater, seringkali memberikan kesan yang
mendalam terhadap penontonnya, secara langsung maupun tidak langsung, bahwa
mereka menyaksikan pertunjukan, bukan sebuah episode atau kejadian apa adanya
dalam kehidupan sehari-hari seseorang. Penggayaan modern ini akhirnya diperkaya
secara lebih luas. Cenderung mengangkat problem psikologis yang menyenangkan
seperti persoalan filsafat, dan persoalan dalam hubungan kemanusiaan seperti
persoalan kondisi kehidupan manusia. Penggayaan teater ini justru memperkaya
persoalan, tidak terbatas pada satu persoalan tertentu; ia menggali abstraksi dan
bertujuan memperkuat fokus tematik dan mempertebal dampak pemikiran.
 Dalam Teater modern ini, perwatakan biasanya mewakili lebih dari pribadi individu
atau tipe pribadi. Seperti kiasan abad pertengahan, drama bergaya modern selalu
melibatkan watak orang yang mewakili kekuatan alam, kedudukan moral, insting
manusia, dan semacamnya --entitas kematian, nasib, idealisme, kekuatan hidup, ibu
pertiwi, bapak yang kejam, dan anak yang boros. Dan konflik digabungkan dengan
kekuatan yang dimiliki, seperti konflik realisme, tidak menanggapi keterwakilan
manusia: mereka lebih menghadirkan perpecahan yang tak pernah habis-habisnya
dalam kondisi kehidupan manusia. Teater gaya ini bergaung dengan tekanan dan
frustasi manusia dalam wajah yang selalu tidak bisa mencapai titik temu yang
sesungguhnya diinginkan.
 Tetapi bukan berarti bahwa Teater gaya modern selalu suram: ia selalu
mempergunakan fantasi dan satir yang tajam sebagai gaya utamanya. Meskipun tema
Teater gaya modern mengusung kegelisahan --sebagai contoh, pengasingan manusia,
kegagalan komunikasi, kehilangan rasa bersalah, kehilangan harapan dengan
ketegaran-- hal ini tidak sepenuhnya menjadi teater yang pesimis atau menampilkan
kekejaman yang nihilistik. Selanjutnya, kemuliaan merupakan pilihan terbaik teater
bergaya modern, perlawanan selalu membanjiri tema-temanya; ini lebih penting
ketimbang frustasi; ini merupakan kemenangan perpusian terhadap pengasingan,
komedi terhadap ketiadaan komunikasi, dan ini keterampilan seniman terhadap
hilangnya harapan. Gaya teater modern bertujuan mengangkat keberadaan dan
bahkan martabat penontonnya, bukan membebani mereka; dan jika gaya teater ini
menunjukkan tiadanya solusi terhadap pemecahan permasalahan kehidupan yang
18
sesungguhnya, hal ini dapat dimaknai sebagai upaya untuk memberikan perhatian
terhadap totalitas petualangan manusia sejernih mungkin.
Ringkasan
Teater Modern sebagai gaya memiliki pengertian dan teknik yang berbeda dengan teater
Klasik, Romawi maupun teater tradisional di Indonesia. Pengertian dan teknik tersebut
dipengaruhi oleh perkembangan zaman yang mengikutinya. Prinsip modern yang lahir
dari perkembangan pajang sejarah modern turut memberikan bentuk pemahaman
terhadap teater modern. Dari segi geografis maupun kultural, pengertian dan teknik
teater modern juga membuat perbedaan yang penting. Di Indonesia berbeda dengan
dataran Eropa maupun Amerika, begitu juga di Afrika. Namun demikian, semua itu
memiliki rangkaian yang berujung pada satu prinsip, yakni pemahaman terhadap dunia
modern.
Di Indonesia, teater modern lebih dihubungan dengan teater tradisional, sedangkan di
Eropa dan Amerika, perbedaan itu lebih dititikberatkan pada perkembangan filosofi
modern yang berkaitan erat pula dengan dunia pengetahuan yang berkembang sangat
nyata dalam dataran praksis kehidupan masyarakatnya. Hal inilah yang menyebabkan,
mengapa teater modern di Eropa dan Amerika lebih beragam dibandingkan dengan
Indonesia
Topik Diskusi
1. Jelaskan asal mula kelahiran suatu gaya dalam teater modern
2. Bagaimana fungsi gaya dalam teater modern
3. Amatilah teater modern di sekitar anda, dan bagaimana menurut anda gaya teater
modern tersebut?
19
Pertemuan ke 5
TEATER MODERN
Teater Modern dan Tradisional





Perdebatan antara Tradisional dan Modern dalam teater –bagi sebagian besar
kalangan, baik praktisi seni maupun kalangan akademis masih menarik. Paling
tidak, inilah topik yang disodorkan oleh penyelenggara Kemah Teater Pelajar
dan Umum 2003 di Ambulu, Jember. Hal ini disebabkan oleh keimpangsiuran
persepsi modern di satu sisi, dan kecintaan pada khazanah tradisional yang
diasumsikan sebagai matra dan entitas kebudayaan lokal disisi lain. Tidak ada
yang perlu disalahkan dari kedua kecenderungan perbedaan ini.
Namun demikian, apakah kedua paham tersebut –teater Modern dan
Tradisional, bersinergi atau saling berlawanan atau melakukan perlawanan satu
sama lainnya? Inilah persoalan yang lebih signifikan untuk dibicarakan.
Mengapa? Karena, terdapat kecenderungan bahwa teater Modern dipandang
sebagai teater yang sulit dimengerti, dan teater tradisional lebih menghibur dan
mudah dipahami. Untuk itu, teater Modern selalu dipersalahkan dan teater
Tradisional selalu dirindukan. Akhirnya, kedua paham teater ini sama-sama
tidak dapat berkembang ditengah-tengah masyarakat yang bukan semata-mata
masyarakat kota, dan tidak pula mau mengakui sebagai masyarakat desa yang
agraris dan maritim.
Pertumbuhan teater di Indonesia tidak bisa dipisahkan dengan kecenderungankecenderungan individu dan masyarakatnya. Begitu pula dengan cara-cara
menyikapi teater yang selalu diselaraskan dengan tatanan masyarakat yang ada.
Penyelarasan ini merupakan bagian dari proses belajar diantara masyarakat
dalam membuka jalan bagi terciptanya keharmonisan dan peningkatan cara
hidup dari yang paling sederhana menuju cara yang lebih komprehensif. Oleh
karena itu, tidaklah mengherankan bila pada awal-awal kehidupan bangsa
Indonesia itu dibangun, banyak tempat-tempat pertunjukan didirikan.
Disamping itu, fleksibilitas masyarakat juga memberikan peluang bagi lahirnya
teater-teater dengan “warna” yang beaneka ragam.
Pada awalnya teater modern tidak lahir dari kalangan terpelajar. Namun
demikian, dengan berdirinya pusat-pusat pendidikan penting di kota-kota yang
juga menjadi pusat perdagangan, maka kaum terpelajar kita selanjutnya
mengambil peran penting sebagai pembawa ekspresi intelektual. Keberadaan
kaum terpelajar ini menjadi penyeimbang, dan selanjutnya menjadi sosok yang
memberikan nilai tersendiri dalam merebut perhatian publik yang mulai
memandang kaum terpelajar sebagai masyarakat yang terpandang.
Teater tradisional yang tumbuh dalam masyarakat pinggiran kota dan desa,
tidak serta merta tersingkir dengan lahirnya teater modern. Bahkan, teaterteater modern yang tumbuh mampu bersinergi dengan teater tradisional. Hal
ini disebabkan oleh kuatnya hubungan kultural masyarakat yang memandang
nilai tradisional tersebut sebagai nilai luhur dari pendahulu mereka yang “tidak
20
lapuk karena hujan dan tidak lekang karena panas”. Disamping itu, nilai-nilai
tradisional dianggap telah memberikan makna penting dalam tatanan
kehidupan mereka.
Pertumbuhan Teater Modern di Indonesia dan di “Barat”
 Embrio teater di Indonesia itu sendiri dapat dikatakan tumbuh dari tempat-tempat
yang menjadi pusat dari struktur sosial yang tinggi. Jacob Sumardjo menyebutkan
“Istana Yogyakarta, rumah-rumah bangsawan, rumah-rumah para priyai Jawa,
bahkan juga rumah-rumah rakyat yang sedikit berada, dibangun untuk keperluan
teater” (Jacob Sumardjo: 1992). Namun demikian, bukan berarti dalam struktur
sosial masyarakat yang rendah, teater tidak tumbuh dengan pesat. Dalam struktur
sosial yang rendah, teater lahir dari hubungan antar masyarakat dalam
meregenerasikan pengetahuan-pengetahuan yang praktis tentang cara-cara
bercocok tanam hingga cara-cara berburu binatang yang dapat digunakan dalam
mempertahankan kehidupan mereka.
 Perbedaan dari kedua tatanan kehidupan praktis teater antara kalangan istana,
bangsawan, priyai dan orang kaya dengan kalangan rakyat jelata adalah dalam cara
menghidupi teater tersebut. Prinsip dasar religius-magis masih menjadi bagian yang
relatif sama diantara keduanya. Seiring dengan masuknya Islam ke Indonesia sekitar
abad 13, secara signifikan kultur religius-magis mengalami perubahan mendasar
dalam cara menghidupi teater.
 Sedangkan dalam sejarah teater “Barat”, kebangkitan teater Modern yang sangat
kuat di Eropa dan Amerika berawal dari perkembangan realisme sekitar 1875.
Beberapa penulis naskah yang diyakini berada dalam periode ini diantaranya adalah
Anton Pavlovich Chekov, Hendrik Ibsen, Luigi Pirandello, August Strindberg, Eugene
O’Neill, George Bernard Shaw, Jean-Paul Sartre, Samuel Becket, Sean O’Casey, John
Osborne, Bertolt Brecht, Federico Garcia Lorca, Tennessee Williams, Arthur Miller,
dan Jean Anouilh, sedangkan komedi Neil Simon dan Noel Coward, musical Richard
Rodgers dan Oscar Hammerstein disebut oleh Robert Cohen sebagai “modern
commercial classics” (Robert Cohen: 1983, 170).
 Lebih jauh Robert Cohen menyebutkan bahwa teater Modern dicirikan dari
munculnya revolusi Politik di Amerika (1776) dan Perancis (1789) yang dengan
sendirinya mengubah struktur politik dunia Barat, dan revolusi industri/teknologi
memeriksa secara besar-besaran sistem ekonomi dan sosial di banyak negara,
termasuk di Indonesia. Disamping politik dan sosial, secara simultan juga terjadi
pada lapangan intelektual –dalam filsafat, ilmu pengetahuan, pemahaman sosial,
dan masyarakat yang tak beragama.
 Sedangkan dalam teater tersebutlah nama Jacques Copeau pendiri Theatre du VieuxColumbier (1913) sebagai bapak teater modern (Evans, 1989: 53). Pada tahun yang sama,
Copeau mengakhiri manifestonya dengan kata-kata suci –‘Pour l’oeuvre nouvelle qu’on
nous laisse un treteau nu! Sebuah panggung kosong, sebuah ruang hampa: lima puluh
tahun kemudian pencarian ini dilanjutkan dalam karya Peter Brook dan yang lainnya.
Gagasan Copeau ini kemudian melahirkan teater-teater kontemporer dan eksperimental.
21
 Namun demikian, sejarah modern dalam masyarakat “Barat” muncul melalui
semangat humanisme Italia sekitar abad 14. Kemudian menemukan Renaissance
yang menggugurkan kebekuan abad pertengahan dengan mengusung semangat
pembebasan terhadap dogma agama, keberanian menerima dan menghadapi dunia
nyata; keyakinan menemukan kebenaran dengan kemampuan sendiri; kebangkitan
mempelajari kembali sastra dan budaya klasik; serta keinginan mengangkat harkat
dan martabat manusia (Harun Hadiwijono, 1994: 11-12). Perjuangan panjang
kebudayaan modern pun memuncak dengan kelahiran Pencerahan di abad 18.
 Perbedaan nyata sejarah modernisme di Indonesia dengan “Barat” khususnya, tidak
dengan sendirinya memisahkan paham teater keduanya. Karena, teater-teater
modern di Indonesia berakar dari persentuhannya dengan “teater Barat”.
Sedangkan pertemuannya dengan teater Tradisional, bagaimanapun juga membawa
semangat yang berlawanan. Perlawanan tersebut lebih pada bentuk-bentuk
pertunjukannya. Sedangkan dari gagasan-gagasan yang lahir melalui sumber-sumber
penceritaannya secara realatif hampir sama dengan pendekatan dalam teater
Tradisional. Jadi, disatu sisi hubungan teater Modern dan Tradisional di Indonesia
menimbulkan perlawanan satu sama lain, namun disisi lain bersinergi hingga kini.
Catatan: Tulisan ini rangkuman makalah penulis untuk Temu Teater Pelajar dan Umum 2003 di
Ambulu, Jember oleh Autar Abdillah)
Topik Diskusi
1. Bagaimana pendapat anda tentang pengertian dan teknik teater modern, baik
di Indonesia maupun di luar Indonesia! Apakah anda setuju dengan adanya
perbedaan di kedua wilayah ini. Bila anda setuju ada perbedaan, jelaskanlah.
Dan, bila anda tidak setuju, jelaskan pula alasannya!
2. Bagaimana pendapat anda perbedaan antara teater Tradisional dan Modern di
Indonesia. Mengapa perbedaan tersebut terjadi?
3. Jika anda diminta memilih, bentuk teater mana (modern atau tradisional) yang
lebih anda minati. Jelaskan pendapat anda!
4. Di tempat anda tinggal, bentuk teater manakah yang lebih banyak
berkembang. Jelaskan mengapa bentuk teater tersebut yang lebih
berkembang!
5. Bagaimana pendapat anda tentang catatan Tradisional dan Modern Teater
dalam tulisan diatas.
22
Pertemuan ke 6
TEATER MODERN
Pengaruh Sastra Drama Modern Indonesia
 Sastra Drama Modern Indonesia lahir pada masa penjajahan
 Drama Bebasari (1926) ditempatkan sebagai sastra Drama Modern Indonesia
pertama, karena merupakan naskah drama pertama yang menggunakan bahasa
Indonesia (Melayu Rendah/bahasa Melayu pasaran), dan dalam bentuk tertulis, atau
bukan lagi bahasa tutur dan lisan.
 Bersamaan dengan tumbuhnya Sastra Drama Modern Indonesia, sastra Drama Asing
(Inggris, Rusia, Spanyol, Jerman) memberikan kontribusi yang sangat besar. Hal ini
dimungkinkan oleh penggunaan sastra drama asing tersebut dalam berbagai
pertunjukan teater di Indonesia
 Percampuran drama modern Indonesia dengan drama asing itu memberikan pengaruh
yang besar dalam pertumbuhan drama modern Indonesia, begitu pula pada bentuk
teater modern.
 Masyarakat pun turut andil dalam menggairahkan pertumbuhan drama dan teater
modern Indonesia. Hal ini diperlihatkan oleh beragamnya drama dan teater modern
Indonesia pasca Kemerdekaan.
 Drama Modern pasca Kemerdekaan dengan dukungan perguruan tinggi dan
pendidikan yang modern, terutama dalam ilmu sastra dan teater, telah memberikan
bentuk yang lebih kuat terhadap karya drama dan teater
 Dramawan modern Indonesia tergolong cukup kreatif dalam mempertemukan
berbagai unsur yang ditemukan dalam mempersatukan aspek tradisional maupun
karya drama asing. Karya saduran dan adaptasi merupakan salah satu contoh yang
menarik untuk kita simak dan sebagai fakta yang tak bisa ditolak lagi terhadap sebuah
sikap kreatif dramawan, dan akhirnya teaterawan modern Indonesia.
 Hingga 1970-an, drama modern Indonesia berada dalam satu bentuk yang sangat
kuat, yakni realisme, disamping juga ditemukan drama-drama naturalisme,
romantisme, epik dan absurd.
 Era 1980-an, kekuatan karya drama modern mulai memiliki daya tarik, khususnya
dengan munculnya pemikiran-pemikiran baru dalam teater. Drama modern Indonesia
berubah bentuk sedemikian cepat, dan melahirkan teater-teater yang juga sejalan
dengan pertumbuhan drama modern
 Era 1990-an, drama modern mulai mengalami berbagai tantangan karena kebekuan
pertumbuhan dramatiknya, dan berkembangnya berbagai teknologi yang mulai
menggerogoti paham drama modern Indonesia. Namun demikian, drama modern
Indonesia tetap bertahan, karena siklus pemahaman dan daya tangkap masyarakat
secara intelektual, serta pertumbuhan dunia global dan popular, hingga menguatnya
televisi dan cyber media pada umumnya
 Pertumbuhan dan pengaruh sastra modern di masing-masing daerah di Indonesia
tidak sama satu sama lainnya. Hal ini disebabkan oleh cara pandang pelaku teater
maupun pertumbuhan kebudayaan yang terjadi di suatu daerah yang saling mengikat
kebutuhan kreatif para pelaku teater di Indonesia.
23
Ringkasan
Pertumbuhan drama modern sangat mempengaruhi pertumbuhan teater di Indonesia,
khususnya dalam mempercepat tumbuhnya teater modern Indonesia. Dramawan teater
Indonesia yang selalu merupakan pelaku teater sekaligus, dengan sendirinya melakukan
berbagai penyesuaian dengan gaya drama modern tersebut.
Penyesuaian tersebut juga melahirkan bentuk teater baru. Peran dunia akdemik dan
pertumbuhan teknologi yang cepat mempengaruhi dunia sastra drama modern dan teater
pada umumnya.
Topik Diskusi
1. Mengapa sastra drama modern Indonesia mempengaruhi dunia teater pada
umumnya. Dan, apakah yang menyebabkan terjadinya pengaruh tersebut!
2. Bacalah salah satu karya drama Indonesia, dan carilah aspek modernitas dalam
karya tersebut!
3. Saksikanlah salah satu karya teater di Indonesia, dan carilah apa yang anda
pahami sebagai karya teater modern Indonesia!
4. Cobalah temukan salah satu pelaku teater di kota anda, dan cobalah identifikasi
aspek-aspek modern yang mereka kenal. Dan, bagaimana pendapat anda
terhadap pemikiran pelaku teater tersebut
5. Apakah anda sepakat, bahwa sastra drama modern Indonesia diperlukan dalam
kehidupan sekarang. Begitu juga dengan teater modern, apakah masih
diperlukan dalam kehidupan sekarang ini!
24
Pertemuan ke 7
Romantisme
Perintis Jalan: Romantisme
 Romantisme: Teater yang pertamakali memberikan tanggapan atas perubahan dan
percobaan pada abad pencerahan
 Romantisme, sebuah gerakan artistik yang dimulai di Eropa pada akhir abad 18 dan
mencapai puncak teaterikalnya pada abad sembilan belas, diantara karya seperti
Faust I (bagian I, 1808) oleh Johann Wolfgang von Goethe, Hernani oleh Victor Hugo
(1830), dan dramatisasi oleh Alexander Dumas (Damas peare) dari novelnya The
Three Musheteers (1844).
 Romantisme merupakan gerakan yang dipahami dalam pemberontakan melawan
ketidakleluasaan konvensi; penulis drama Romantik berusaha dengan sekuat tenaga
--dan dengan kesadaran sendiri-- untuk membebaskan dramaturgi dari penyempitan
formula neoklasik yang didasari sajak yang penuh bunga bahasa, gerakan yang riuh,
petualangan kepahlawanan, perasaan yang penuh gairah, dan gaya yang penuh
keagungan. Dengan tekanan bentuk-bebas, cerita picaresque, tempat suatu
peristiwa yang asing, pahlawan tanpa ukuran, dan penjahat, serta struktur dramatik
yang apa adanya.
 Romantisme memberikan perkembangan teaterikal imajinatif dan mengagumkan,
terutama sekali dalam menyelamatkan bentuk opera besar dan film ”pengembaraan
ruang angkasa” (space odyssey).
 Karena penekanannya pada ketidakkompromian dan individualitas serta
penolakannya pada penerimaan aturan teater, Romantisme merupakan sebuah
pendahuluan yang tepat dari semua gerakan dan gaya dramatik modern. Beberapa
kalangan Romantik yang telah bersusah payah, bagaimanapun juga, sebenarnya
dapat ditemukan dalam semua drama modern dan pertunjukan teater.
Gerakan Romantik di Jerman
 Anda dapat mengatakan bahwa drama karya Shakespeare dan Calderon adalah
Romantik, jika anda ingin menyusun pendapat ini tidak dari Sophocles dengan
integritas klasiknya, atau drama oleh Racine dengan kesatuan klasiknya. Tetapi suatu
hal yang sangat berbeda pada drama Romantik 150 tahun yang lalu.
 Romantisme dengan huruf kapital R dimulai dengan gerakan Storm and Stress (angin
topan dan tekanan) dari anak muda Goethe dan Schiller. Di Jerman gerakan ini
diturunkan ke dalam melodrama Kotzebue dan “drama takdir” dengan sedikit orang.
Gerakan romantik bermaksud --sekitar 50 tahun terakhir dan mencakup penulis dan
penyair besar semacam Victor Hugo dan Lord Byron, seperti HG Wells yang telah
meletakkan gerakan ini, dalam “mediavalisme”, hal ini berarti warna kemerahmerahan dan kaya, hal ini berarti gerakan tubuh menuju penjelajahan dalam baju
baja dan pencelaan gaya berpakaian dan ketertarikan masa kini. Hal ini berarti
25







insting melawan pendapat dan emosi melawan ilmu pengetahuan...hal ini
diberontak tidak hanya terhadap realitas masa sekarang, tetapi juga masa klasik”.
Gerakan ini dinyatakan dalam absurditas yang aneh, hantu/momok, penglihatan
kedua, horor perkuburan, inti horor yang jahat. Studi perwatakan memberikan
pandangan terhadap melodrama belaka.
Dalam romantisme Austria dan Jerman memiliki dua orang yang bermartabat besar.
Viennese Franz Grillparzer menemukan sukses dalam drama pertamanya, Die
Ahnfrau (The Ancestress/Leluhur) dipentaskan tahun 1817. Dia menulis dengan
keramahan tentang Sappho dan tentang Jason dan Medea. Dia membalikkan
Kehidupan adalah sebuah Mimpi (Life is a Dream) karya Calderon kedalam Der
Traum ein Leben (Mimpi adalah Kehidupan/Dream is Life), yang memberikan sebuah
bagian yang sempurna pada aktor terkenal Jerman Adalbert Matkowsky pada akhir
abad sembilan belas.
Grillparzer mempunyai ketangkasan khusus untuk komedi. Juga Heinrich von Kleist,
orang yang memulai dengan menulis sebuah “drama takdir” pada akhir abad
sembilan belas, dan mencapai prestasi humor terbaik beberapa tahun berikutnya
dengan Der Zerbrochene Krug (The Broken Pitcher). Ini merupakan dramanya yang
serius, bagaimanapun juga, sebagaimana Penthesilea dan Die Hermannsschlacht
(The Battle or Arminius), memperlihatkan kekuatan dramatiknya sebaik dialog hidup
yang digagasnya.
Sturm und Drang 1771-1781, mencapai klimaks di Perancis dengan melahirkan
melodrama romantik: Kotzebue, Pixerecourt, Knowles.
Perjuangan liberalisme dan demokrasi dibatasi oleh kepandaian menulis kritik, sosial
dan politik. Novel moral kehidupan keluarga borjuis, dan khususnya drama borjuis,
kelihatan memiliki tujuan yang sama. Mereka juga bagian dari “penulisan politik”,
mereka semua digerakkan oleh pertanyaan yang sama; semua karya kesusasteraan
sebagian besar bersifat propaganda. Persoalan yang sama ditunjukkan melalui
perlawanan emosional analisis Rousseau dan rasionalisme yang menjadi disiplin
Voltaire menegaskan problematika itu sendiri dalam semua sisi, dan jiwa khas suatu
bangsa pada drama. Kalangan borjuis bagaimanapun juga memiliki sifat
kesusasteraan pencerahan yang berwenang memunculkan semangat borjuisnya.
Pemikir Jerman selalu mulai memainkan permainan gandanya di abad pencerahan,
ketika permainan ini kadang-kadang dipertunjukkan dengan semangat besar untuk
revolusi dan kadang-kadang untuk romantisme konservatif dan banyak
menyumbangkan kesangsian kesadaran diantara borjuis tentang keadilan yang
dituntutnya. Hal ini menemukan gagasan “supraborjuis” ideal dan perasaan untuk
kehidupan serta ditanamkan ke dalam kesadaran borjuis yang mana kesadaran itu
mengatasi dirinya sendiri agar meningkatkan dirinya sendiri ke tingkat kemanusiaan
yang tertinggi.
Romantik, bagaimanapun juga, dari gambaran yang sangat awal cita-cita kecerdasan
pemikiran dan gambaran sifat non borjuis ini menjelaskan ketidaksenangan Goethe
terhadap mereka --dan Stendhal menyatakan kebenciannya dan jijik terhadap
sesuatu yang dipahami Goethe yang menyalurkan kehidupan secara bersungguhsungguh.
26
 Revolusi menjadi kehampaan artistik dan produksi seni kecil dibatasi gayanya sendiri
hingga fase rococo. Tetapi artistik yang sesungguhnya menunjukkan semangat
revolusioner yang tidak ditangkap oleh kaum klasik, seperti David atau Chenier,
tetapi romantisme yang pertamakali membuka pandangan tersebut. Revolusi itu
sendiri tak dapat merealisasikan dirinya sendiri, agaknya, masih bersifat menengahi
dan pada tingkatan yang janggal, atau dalam bentuk lama. Seni ditetapkan seperti
yang selalu dicatat Marx, disamping pembangunan politik. Penyair dan seniman
bukan nabi, tidak juga menabikan masa-masa pencerahan dan revolusi.
 Ketika orang berkata tentang nilai “supraborjuis”, mereka menentukan ideologi
praborjuis konservatif. Seringkali melibatkan psikologi kompleks yang tinggi. Dalam
Kabale und Liebe karya Schiller sebagai contoh, tiga generasi dan tiga filosofi
kehidupan yang berbeda dilibatkan dalam proses. Disamping lingkaran sopan santun
praborjuis, yang mewakili prinsip kejahatan sosial yang telah diperangi, dua dunia
keluarga borjuis Louise dan dunia supraborjuis Ferdinand diperbandingkan. Dalam
Don Carlos, dimana Posa dengan kesopanan supraborjuisnya tidak hanya memahami
lebih jauh “ketidakbahagiaan” raja, tetapi juga menyusun untuk membangkitkan
simpati tertentu terhadapnya, hubungannya juga rumit. Hal ini menjadi sulit lagi
untuk membagi antara sikap ”supraborjuis” ini, kita melihat --sebuah kerajaan
borjuis atau pengkhianatan ideal revolusioner dari bentuk citoyen. Dalam banyak
kasus, penyerangan terhadap borjuis dan perlawanan melawan moralitas borjuis
serta pandangan hidup yang mesti hampir memulai dan idiom drama borjuis dan
tetap hingga Shaw dan Ibsen. Mereka memperkuat perluasan kesusasteraan borjuis
sehingga menjadi anti borjuis.
 Setiap pernyataan pribadi adalah unik, tak ada bandingannya, dan tak tergantikan,
setiap orang membawa ukuran yang dimilikinya dan aturan untuk dirinya sendiri.
Pengertian ini merupakan prestasi revolusi yang sangat signifikan sepanjang
menyangkut kesenian. Wilayah seni modern, sebagai sebuah kemenangan tak
bersyarat dan otoritas yang sah secara universal, konvensi dan tradisi, yang
merupakan hasil revolusi dan romantisme. Pada saat ini ketidakbersyaratan seniman
bagaimanapun juga dia harus mendukung gerakan, sekolah, atau sahabat dalam
pandangan, atau senjata, melengkapi dirinya dari momen dia mulai menulis,
menyusun komposisi, atau melukis. Perasaan ini menjadi watak kemanusiaan
romantik, seni adalah bahasa manusia sunyi, diasingkan dari dunia, menyaksikan
dan tak pernah menemukan simpati. Dia mengekspresikan dirinya dalam bentuk
seni karena --secara tragis maupun menyenangkan-- dia tak menjadi khawatir
dengan sesama manusianya.
Ringkasan
Romantisme lahir dengan keunikan sejarah tersendiri. Artinya, Romantisme bisa litinjau
dari periode pasca neo klasik, tetapi juga akan semakin jelas pada era modern di awal
abad delapan belas.
27
Disamping itu, romantisme juga memiliki nilai perjuangan terhadap khazanah politik
borjouis dan supraborjouis yang mempengaruhi dunia intelektual. Maka tidak
mengherankan, bila dalam pertumbuhan romantisme, isu-isu politik dan
kecenderungan melakukan perlawanan terhadap upaya merendahkan semangat kritis
secara revolusioner. Perlawanan ini juga dapat kita lihat pada realisme, dan pada
realisme masalah social dan psikologis lebih ditekankan untuk membangun aspek
dramatis –terutama dalam hal tematiknya.
Romantisme lebih dikenal di Jerman, dan merupakan perjuangan dua tokoh penting
dramawan Jerman, Schiller dan Goethe. Strum und Drung atau Angin Topan dan
Tekanan, merupakan dasar perjuangan yang melahirkan romantisme di Jerman.
Di Indonesia, kita tidak mengenal perjuangan romantisme seperti di Jerman maupun di
Inggris. Drama dan Teater Romantisme di Indonesia, tidak setegas dan sekuat yang ada
di dataran Eropa dan Amerika. Di Indonesia pun belum ada penelitian khusus tentang
drama dan teater Romantisme ini. Namun demikian kita masih mungkin mengkajinya
dari aspek membaca masa lalu dengan gaya Romantisme dalam beberapa drama di
Indonesia, tetapi inipun belum dilakukan secara sungguh-sungguh.
Topik Diskusi
1.
Jelaskanlah dengan bahasa anda sendiri, apa yang dipahami sebagai
Romantisme
2.
3.
Carilah hubungan drama dan teater Romantik dengan gerakan Romantik
Apakah anda setuju dengan adanya gerakan Romantik ini pada masa
sekarang. Bila anda setuju, berikanlah penjelasan atau argumentasi yang
mendukungnya. Dan, bila anda tidak setuju, jelaskan pula alasannya!
28
Pertemuan ke 8
Realisme






Gerakan yang lebih dapat menembus dan berdampak pada kehidupan panjang
dalam teater modern, adalah realisme.
Realisme mencoba untuk menciptakan sebuah drama tanpa konvensi atau abstraksi,
melalui penyesuaian sederhana dengan kehidupan itu sendiri. Kesamaan pada
kehidupan merupakan tujuan realisme, dan dalam pencapaian tujuan itu,
mengidealkan atau mempercantik latar atau dekorasi, penggambaran dibuat
semutakhir mungkin, dan kostum serta pertunjukan disesuaikan dengan mode yang
berkembang.
Realisme merupakan filosofi estetik yang memperdayakan, memukau atau
menakjubkan, ketika teater selalu menempatkan kehidupan nyata sebagai subjek
fundamentalnya, dan realisme kelihatan sekejap mata menjadi gaya yang pantas
dengan pendekatan realitas suatu keberadaan. Sebagai pengganti watak yang
dihadirkan aktor, dapat dikatakan realistik, lihatlah aktor itu ketika menjadi tokoh
tertentu; sebagai pengganti dialog terdapat percakapan, yakni dialog yang
merupakan percakapan; sebagai pengganti pemandangan dan kostum yang
menyampaikan rasa waktu dan tempat serta atmosfir, lihatlah pemandangan yang
secara sungguh-sungguh dapat ditempati, dan kostum yang merupakan pakaian
yang sebenarnya.
Ideologi realisme telah diuji, selama tahun-tahun terakhir abad sembilan belas dan
tahun-tahun pertama abad dua puluh hingga sekarang ini, dalam setiap aspek –
pemeranan, penyutradaan, disain, dan penulisan-- dan hasil ujian bentuk tubuh
teater semuanya dengan keabsahan dan penuh makna, dan sebuah gaya yang
signifikan tetap dipentingkan.
Pada pokoknya, teater realistik dipahami menjadi laboratori dalam alam yang saling
berhubungan, atau kesakitan masyarakat atau gejala disfungsi keluarga yang “secara
objektif” menjadi kesejukan ketika kata akhir penonton yang mengamati, berujud
tanpa pemihakan. Setiap aspek teater realistik dengan sangat akurat mengikuti
“metode ilmu pengetahuan ilmiah” dari laboratorium; tak ada jaringan yang salah.
Latar yang menyerupai tempat terjadinya suatu peristiwa yang ditentukan lakon
sebagaimana segala sesuatunya memungkinkan diteliti; memang hal ini bukan luar
biasa untuk banyak dekor yang diperoleh dari lingkungan kehidupan-nyata yang
dipindahkan ke teater (dalam satu contoh yang sangat terkenal, produser Amerika
David Belasco pergi ke tempat yang sangat jauh untuk pembelian sebuah restoran
New York, membongkarnya, dan membangun kembali dengan membagi panggung
Broadwaynya). Pakaian usang dengan perwatakan dalam teater realistik mengikuti
pakaian yang sebenarnya dari ”kenyataan” orang-orang dengan status sosialnya
tertentu; dialog diucapkan seperti penciptaan-kembali irama dan ekspresi kehidupan
sehari-hari.
Pada awalnya gerakan panggung prosenium realis dimodifikasikan untuk
mengakomodasi naskah lakon dengan dekor yang dibangun dalam susunan kotak,
29




dinding diberikan penuh dimensi dan lemari buku yang nyata, jendela, perapian,
pintu yang mengikuti arus mode mutakhir dan seterusnya, dibangun di dinding
sebagaimana mereka dalam ruangan di rumah. Dalam konteks yang sama,
pemeranan realistik dipertimbangkan secara efektif sejauh sebagaimana tergambar
dalam kebiasaan hidup, dan sejauh seperti aktor yang kelihatan berbicara sungguhsungguh kepada yang lain sebagai pengganti permainan bagi penonton. Sebuah
prinsip estetika baru menimbulkan: ”teater dinding keempat”, yang mana kehidupan
di atas panggung dipahami menjadi sama seperti kehidupan di dalam kehidupannyata, kecuali dalam kasus panggung satu dinding --prosenium terbuka-- yang
digerakkan kembali. Lalu teater ”dinding keempat” seperti laboratorium teleskop
dan panggung seperti slide mokroskopis: lingkungan kehidupan disusun untuk
pengamatan yang lugas melalui pengamatan yang netral.
Selanjutnya realisme menghadirkan penontonnya dengan banyak ”fakta-fakta”
kehidupan-nyata yang kelihatan, dan memberikan kesempatan setiap penonton
untuk sampai pada kesimpulan yang dimilikinya. Beberapa bentuk fakta-fakta ini
sama-sama meyakinkannya dengan pengarang dan pemain, tetapi banyak
rangsangan teater realistik disebabkan oleh kebebasan pemahaman sejati yang
disediakan penonton, dan dengan ketepatan penokohan, tindak tanduk yang cukup
kekeluargaan untuk menyeimbangkan pertunjukan bahwa mereka dengan mudah
memahami dan mengidentifikasinya dengan kehidupan sehari-hari.
Selain itu, dalam menghadirkan fakta-faktanya dari permukaan kehidupan, realisme
mendorong kita untuk mempelajari misteri kebenaran yang tak terucapkan melalui
setiap maksud yang terkandung dalam drama realistik. Watak pemeran realisme,
seperti manusia dalam kehidupan, yang ditampilkan secara detail atau rinci,
ketimbang simbol atau idealisasi abstrak: seperti manusia yang kita ketahui, mereka
pada akhirnya tak dapat diduga, antara manusia yang kompleks ketimbang
kemutlakan ideologis.
Keberhasilan realisme sangat mapan: karena itu, realisme salah satu gaya drama
yang sangat dominan hingga saat ini. Pada saat ini, ketika keahlian dan pertunjukan
yang dilakukan seniman terlatih, teater realistik dapat menimbulkan kekuatan
empati penonton secara sungguh-sungguh dengan kebaikan pengetahuan dan
kejernihan yang membawanya kepada peristiwa dunia-nyata. Dalam memberikan
kita perwatakan, penulis realis memberikan kita teman: kawan bertualang dalam
perjalanan penjelajahan manusia dengan orang yang kita dapat bandingkan
pemikiran dan perasaannya. Dalam ketidaktentuan dan ragu-ragu bercampur takut,
bermuram durja, berbicara terputus-putus, dan melalui kalimat percakapan
perwatakan ini kita mengenal diri kita sendiri, dan dalam pengenalan itu kita
memperoleh pemahaman kekuatan yang kita miliki dan memberikan arah bagi kerja
keras manusia.
Pelopor Realisme: Teater realistik telah dimulai pada masa empat tahun melalui
karya perdana Rumah Boneka (A Doll’s Hause, 1879), Hantu-hantu (Ghost, 1881),
Sampah Masyarakat (An Enemy of the People, 1882), tiga drama oleh pengarang
Norwegia Hendrik Ibsen. Awal karirnya, Ibsen menjadi sutradara panggung dan
penyair dramatik, dan karya sebelumnya untuk teater mencakup drama-puisi
epik/Romantik yang bagus sekali Peer Gynt (1867). Dengan tiga drama, yang
menguraikan tentang permasalahan aturan wanita dalam masyarakat, penyakit
30





turunan dan membunuh rasa belas kasihan, serta kemunafikan politik, dia akhirnya
kembali pada gaya realistik. Orang biasa mendiami dunia realistik Ibsen,
permasalahan ditujukan dalam pengaruh drama suami-istri yang biasa, anak-ibu,
dan hubungan sanak saudara, dimainkan dalam rumah yang biasa. Drama-drama ini,
termasuk ukuran yang kontroversial pada masa mereka, tetap memakai kekuatan
yang jitu setiap hari dan masih memiliki kekuatan untuk memberi pelajaran, untuk
bergerak, dan juga mengejutkan. Alasan pada dampak terakhir terletak pada pilihan
permasalahan Ibsen dan keahliannya dalam menunjukkan dua sisi kejiwaan yang
rinci melalui pengungkapan yang cerdas.
Teater realistik menyebar dengan cepat melalui Eropa seperti kontroversi yang ada
disekeliling drama Ibsen dan tema yang merangsang penulis lain untuk berbuat hal
yang demikian pula. Hasilnya adalah perkembangbiakan “persoalan drama” seperti
sering mereka sebutkan, yakni memusatkan perhatian pada keturunan
kemasyarakat melalui gambaran drama realistik. Di Jerman, Gerhart Hauptmann
menggali keadaan klas proletar dan menengah dalam beberapa karyanya, yang
sangat terkenal dari puncak karyanya The Weavers (1892). Di Inggris, penulis
kelahiran Irlandia George Benard Shaw menciptakan realisme komedi melalui yang
dia tujukan pada masalah tuan tanah perkampungan yang miskin dan kotor (dalam
Widower’s Houses, 1892), pelacuran (dalam Mrs Warren’s Profession, 1902), dan
kemiskinan masyarakat urban (dalam Major Barbara, 1905). Di Perancis, melalui
penemuan inovatif sutradara Andre Antoine, Eugene Brieux menulis seri problem
drama realistik yang mencakup Damaged Goods (1902), yang menjelaskan tentang
sipilis, dan Maternity (1903), yang menjelaskan kontrol kelahiran. Dengan
kembalinya abad realisme pada pokoknya merupakan bentuk dramatik standar di
Eropa.
Di Indonesia, teater realis bisa dilihat pada teater tradisional, terutama dalam aspek
pemeranan dan penyutradaraan. Sedangkan dalam aspek lain, terutama pada disain
baru dapat kita temukan sekitar pada tahun 1960-an, ketika berdirinya Akademi
Teater Nasional Indonesia (ATNI), maipun Akademi Seni Drama dan Film Indonesia
(Asdrafi) di Yogyakarta.
Unsur realistik dalam teater merupakan salah satu realitas yang dapat diamati
kemiripannya. Ini merupakan sebuah kebenaran fotografis. Kita menerapkan istilah
realistik pada unsur teater yang menunjukkan pengamatan masyarakat, tempat dan
peristiwa kita. Teater realistik mengikuti logika kehidupan sehari-hari yang dapat
diduga: hukum gravitas, waktu yang menempatkan seseorang pada perjalanan dari
satu tempat ke tempat lain, pandangan ruang dalam rumah yang kelihatan,
pandangan pakaian seseorang. Dengan pendekatan realistik sesuai untuk
pengharapan kita yang normal. Perilaku imajinasi penonton disebutkan dalam
latihan realisme merupakan persetujuan pandangan yang disaksikan di atas
panggung tidak membuat percaya tetapi kehidupan yang nyata.
Kita sungguh akrab dengan realisme dalam film dan televisi. Bagian dari alasan
mekanis. Kamera mereka apa yang “terlihat” lensa. Begitu pula dengan ruangan di
rumah, mobil di jalanan, atau the Grand Canyon, film menangkap pemandangan
seperti mata melihatnya.
Teater selalu memiliki unsur realistik juga. Setiap tipe teater yang tidak murni fantasi
memiliki aspek realistik. Sebagai contoh, perwatakan yang mengharuskan untuk
31
menghadirkan orang secara nyata harus didukung kebenaran manusia yang
penonton dapat mempercayai.
Ringkasan
Daftar Perbedaan Konvensi Teknik Realistik
dan Non-Realistik dalam Teater
No
.
Teknik Realistik
Konsep
Pendekatan
Teknik Non-Realistik
1.
Penonton mengetahui
Cerita
peristiwa yang terjadi atau
mungkin terjadi dalam
kehidupan sehari-hari: A
Streetcar Named Desire karya
Tennessee Williams
Peristiwa tidak terjadi dalam
kehidupan nyata, tetapi hanya
dalam imajinasi: Kota Kita karya
Tornton Wilder
2.
Tindakan dibatasai pada
tempat yang nyata: The Little
Fox karya Lilian Hellman
Mempergunakan waktu dan
tempat yang berubah-ubah: The
Dream Play karya August
Strinberg
3.
Kemanusiaan yang dapat
dikenal, seperti keluarga -ibu, bapak, dan dua anaknya- Long Day’s Journey into
Night karya Eugene O’Neill
4.
Pemain menggambarkan
orang seperti mereka
menunjukkan reaksi dalam
kehidupan sehari-hari: Nora
Helmer dalam A Doll’s House
karya Hendrik Ibsen
5.
Dialog atau percakapan
biasa: The Glass Menagerie
karya William
Struktur
Perwatakan
Pemeranan
Bahasa
Tokoh yang tidak nyata seperti
Hantu ayah Hamlet dalam
Hamlet, Tiga Tukang Sihir
Wanita dalam Machbeth, atau
orang yang berubah menjadi
binatang dalam Rhinoceros
karya Eugene Ionesco
Pemain bertindak seperti hantu
dan binatang; mereka juga ikut
serta menyanyi, menari,
akrobat, dan senam dalam
komedi musikal atau sebuah
bagian dari seni pertunjukan
Puisi seperti Romeo berbicara
dengan Juliet dalam drama Shakespeare; atau lagu “Tonight”
yang dinyanyikan untuk Maria
dalam musikal West Side Story
32
6.
Ruang rumah yang nyata,
seperti dalam The Cherry
Orchad karya Anton Chekov
7.
Cahaya di panggung kelihatan berasal dari sumber
yang alamiah --lampu dalam
sebuah ruangan, atau
matahari, seperti Ghosts
karya Hendrik Ibsen
8.
Pakaian yang biasa, seperti
dipergunakan oleh tokohtokoh Fences karya August
Strinberg
9.
Pemandangan
Pencahayaan
Pakaian
Kelihatan watak yang alamiah
Tata Rias
seperti Raisin in the Sun
karya Hansberry
Bentuk dan keadaan yang
abstrak dalam panggung kosong
drama Yunani, sebagai contoh,
seperti Electra karya Sophocles
Cahaya lampu jatuh pada sudut
yang aneh; juga, penggunaan
warna cahaya lampu yang tidak
beraturan. Contoh: spotlight
biru pada penyanyi dalam
komedi musikal
pakaian paduan suara yang cemerlang dalam komedi musikal;
pakaian aneh yang
dipergunakan oleh Caliban,
setengah manusia, setengah
binatang dalam The Tempest
karya Shakespeare
Topeng yang dipakai oleh pemain dalam tragedi Yunani atau
dalam drama modern America
Harrah karya van Itallic
Autar Abdillah
sumber : Edwin Wilson, 1988, The Theatre Experinece, New York: McGraw-Hill Book Company,
hal. 425-427
Topik Diskusi
1. Jelaskanlah apa yang anda ketahui tentang drama dan teater Realisme!
2. Mengapa teater realisme masih menjadi gerakan yang dominan hingga saat
ini?
3. Bacalah
naskah-naskah drama realisme dan jelaskanlah apa yang menjadi
tema masing-masing drama tersebut!
4. Saksikanlah
beberapa teater yang cenderung menunjukkan realisme, dan
jelaskanlah unsur-unsur realisme dalam pertunjukan tersebut!
5. Jelaskan perbedaan antara teater realistik dan non realistik!
33
Pertemuan ke 9
Naturalisme






Menurut Robert Cohen, ”Naturalisme dalam sejarahnya memiliki perkembangan
yang hampir sejalan dengan Realisme. Kedua gerakan ini memiliki bentuk dramaturgi
yang sama. Namun demikian, Naturalisme dipandang sebagai sebuah gerakan yang
tersendiri, karena Naturalisme memiliki dasar pandangan yang bertolakbelakang
terhadap ’realitas manusia’”.
Naturalisme bukan hanya masalah gaya semata; naturalisme juga merupakan
pengertian filsafat yang memperhatikan hakekat kehidupan binatang. Dan pakar teater
Naturalisme melakukan upaya yang mempunyai maksud tertentu dengan menggali
konsep tersebut, mempergunakan Realisme secara ekstrim sebagai dasar
dramaturginya.
Para naturalis, yang menyuburkan gerakan naturalisme –terutama di Perancis selama
akhir abad sembilan belas (Emile Zola merupakan pimpinan teoritikusnya), didasari
pada konsepsi estetika mereka tentang alam, dan khususnya pada diri manusia di
lingkungan sekitarnya (konsepsi Darwinian). Bagi para naturalis, manusia sematamata merupakan fenomena biologis biasa yang sama sekali dibatasi oleh keadaan
genetik dan sosial. Untuk menggambarkan manusia sebagai pahlawan, atau sebagai
kekuatan yang dipercaya untuk merubah masyarakat, adalah haram bagi para
naturalis. Mereka mencari cara dalam mengeliminasi atau mengurangi konvensi
drama lama: ”semua keberhasilan panggung besar dimenangkan dengan oleh adanya
konvensi’’, seperti dinyatakan Zola. Upaya mereka dalam penyutradaraan ini
dicontohkan oleh pengurangan masa istirahat oleh dramawan August Strinberg dalam
pertunjukan Miss Julie (selain permasalahan sekelompok petani, dan juga tidak
relevannya alur, saat adegan memasuki dapur antara sebuah adegan dan tarian, pada
saat yang sama Julie memasuki kamar tidur Jean di luar panggung), dan sampai pada
adegan awal, hingga akhir, maupun klimaks oleh Arthur Schnitzler dilakukan
pengurangan episode bersambung ketika terjadi perselingkuhan yang diperankan oleh
La Ronde.
Eugene O’Neill, penulis naskah terbesar pertama Amerika, pelopor dalam dunia gaya
naturalisme, kembali pada gaya itu dalam puncak karya otobiografisnya Long Day’s
Journey into Night—sebuah kisah nyata yang didramakan sehingga O’Neill melarang
otobiografinya untuk diproduksi atau dipublikasi hingga beberapa tahun setelah
meninggalnya. Saat ini, drama-drama Arthur Miller, Tennesse Williams, Robert
Anderson, William Inge, dan David Mernet sangat dipengaruhi oleh realisme dan
naturalisme, merupakan kelanjutan dari kuatnya pengaruh drama Amerika.
Naturalisme abad sembilan belas, dalam beberapa hal, tidak lain dari pada bentuk
romantisme yang menggunakan makna yang berbeda dan konvensi yang sudah
dimodifikasi. Seni tetap mengungkapkan dan memberikan dampak kekecewaan yang
sama dalam mengatasi pemikiran setelah ketidakberhasilan dari sebagian revolusi,
dan kegagalan borjuis –seperti kelas liberal. Hanya sesuatu yang baru dalam
naturalisme –yakni tampak seadanya seperti orang yang kita lihat pada saat ini,
berupaya menjaga sesuatu ”untuk fakta dan tak lain hanya suatu fakta”.
Di sisi lain, aktivisme mengungkapkan pendirian bahwa naturalisme, seperti
ditegaskan Champfleury, gerakan yang berhubungan dengan demokrasi dan
naturalisme serta sosialisme, revolusi artsitik dan politik, seperti ditegaskan Proudhon
34
dan Baourbet, hanya menghadirkan kembali perbedaan bentuk ideologi dan tingkah
laku kehidupan yang sama. Zola masih menghadirkan kembali doktrin ini ketika dia
menangis tak henti-henti, “La Republique sera naturaliste ou elle ne sera pas”.
Realisasi naturalisme politik hari ke hari memuat kesaksian untuk fakta mengikuti
perkembangan dalam pandangan yang tepat, seni dan seniman mulai mengambil
kedudukan baru dalam masyarakat, meskipun peran aktif mereka, hubungan baru
mereka dengan gerakan progresif politik, terbatas pada lingkaran yang relatif kecil
dan periode yang luar biasa singkat. Bagaimanapun juga beberapa bentuk liberalisme
bagian dari seluruh gerakan naturalisme; seperti Flaubert, Baudelaire, Maupassant,
Zola, dan Goncourt, untuk semua perbedaan pendapat politik mereka, protes keras
mereka melawan kemapanan borjuis, dan sikap anti rezim mereka yang tak dapat
ditawar-tawar lagi. Tak seorang pun dari mereka akan memaafkan dirinya menjadi
seorang pendukung borjuis yang berpandangan-picik. Pemikiran kreatif kembali
sebagai perkumpulan dan tanpa tedeng aling-aling melawan anggota kelas yang
dimilikinya.
 Meskipun dari segi pandangan sejarah gaya impresionisme hanya menunjukkan
penyelesaian naturalisme, namun begitu hal ini menunjukkan sebuah pelanggaran
yang tak dapat disalahkan dengan pandangan rasionalistik yang mendasarinya dalam
dunia yang naturalistik pada umumnya dan para aktivis dan sosialis yang menjadi
pendukung khusus. Kepasifan estetikus secara politik dari generasi baru menjadi
tekanan, meskipun banyak dari mereka memimpin keberadaan proletarian dan Manet
serta Degas berada dalam konteks ini tanpa terkecuali. Kebencian, bagaimanapun
juga masih merembes pada generasi Flaubert yang memberikan pandangan politik
yang biasa saja. Seniman sebagai kelompok yang mendapatkan kesempatan keluar
dari kebiasaan mencampuri secara praksis (politik), dan menggunakan pengaruh
dalam hal artistik. Kebiasaan para impresionis terhadap publik, bagaimanapun juga,
murni persoalan artistik, sama sekali merupakan agresivitas dan ketegaran.
Kecenderungan terhadap kontradiksi dan kehendak yang membingungkan lebih jauh
dari pemikiran mereka yang berasal dari beberapa tokoh naturalis, dan jika mereka
menolak orang, ini hanya sebagai hasil yang sulit dari idiom baru yang mereka
gunakan. Tokoh naturalis seperti Coubert membuat marah publik borjuis tidak hanya
karena bahasa formalnya yang tidak lumrah, tetapi juga karena mewakili keremehan
persoalan yang dia ungkapkan, dan cara-cara kampungan dengan mana dia
menghadirkan diri mereka. Impresionisme memperbandingkan kekurangan perbedaan
ini, sebuah “gaya aristokratik” yang tidak sopan; ini merupakan penawaran dan bagus
sekali, sensitif dan gelisah, pengemar makanan dan minuman serta sensual, kelihatan
bernuansa indah dan pengalaman yang terpilih. Hal ini secara bertingkat juga
kehilangan hubungannya dengan empirisme dan materialisme para naturalis dan
pertama-tama dalam sastra dan berikutnya juga lukisan, mengungkapkan reaksi
spiritualistik yang dapat disamakan, dalam formalisme pengestetisasian yang
sempurna, untuk konservatisme politik, untuk seniman sebagai pengelola kelompok.
Para impresionis, bagaimanapun juga memiliki lebih sedikit seniman generasi tua,
tidak hanya dalam hal pertanyaan politik dan sosial, tetapi juga tentang pertanyaan
estetik dan politik umum yang sama baiknya, meskipun satu atau yang lainnya dari
mereka, khususnya Degas, lebih jauh memperhalus dan memperbedakan pemikir
semacam Courbet, sebagai contoh. Secara umum, mereka lebih sepihak dan lebih
sederhana, banyak pematung yang menyendiri dan terspesialisisasi ketimbang
pendahulu mereka, mereka mewakili kelengkapan prinsip seni untuk seni (l’art pour
35
a’art), gagasan penyempurnaan teknis dan keindahan formal. Secara berlawanan
azas, tugas seniman sejak masa Renaisance awal tidak pernah membatasi sepenuhnya
untuk membawa keahliannya dan dengan menyolok memisahkan dari setiap fungsi
lain sebagaimana fase akhir perkembangan intelektual.
 Latar belakang ideologis pada proses sejarah menjadi sangat transparan terlebih
identifikasi gerakan seni untuk seni (l’art pour l’art) itu sendiri dengan ejekan dan
pengapkiran naturalisme --banyak orang merasakan mereka khawatir terhadap
pembukaan rahasia ini. Naturalisme tidak hanya menentang secara kasar dan tak
senonoh, dan mencirikan gerakan nihilistik yang menyusun kebebasan liar, binatang
yang risau dalam manusia dan kekuatan penghancuran dan keterputusan dalam
masyarakat, penghancuran agama, bangsa dan keluarga (baca Montserrat), tetapi hal
ini juga kelihatan sebagai kecenderungan dalam rasa ketidakberartian orang yang
cepat dan kedangkalan yang hampa --sebuah celaan dengan orang yang merasa
mereka telah menemukan seperti serangan pada pelukis Manet yang ditujukan pada
Courbet. Sekitar pertengahan abad ini orang masih memikirkan mereka akan
membela ketertarikan peradaban melawan naturalisme; sekitar 1885 mereka membela
kehidupan kreatif melawan materialisme dalam kesenian. Masyarakat membayangkan
tentang misteri keberadaan dan kedalaman semangat yang tak dapat diduga. Segala
sesuatu yang dapat dipercaya ditemukan menjadi hambar, dan hanya apa yang tidak
kelihatan dan tak bertuan adalah patut diperhatikan. Kecenderungan ini dalam
kesusasteraan diungkapkan dalam simbolisme Rimbaud, Mallarme, dan Paul Valery,
yang mana seperti seni van Gogh, Gauguin, dan para ekspresionis yang memiliki
akarnya dalam bagian impresionisme dan berperan penting disini, hampir tak terasa,
untuk melengkapi seni yang bukan naturalistik, sebuah estetisisme neoromantik dan
mistisisme artistik. Hancurnya kesetiaan seni sekarang ini merupakan alasan yang
luas dari pendekatan sumbang terhadap budaya estetika.
Ringkasan
Naturalisme lebih menekankan aspek ilmu pengetahuan dibandingkan dengan realisme,
merskipun secara bentuk pertunjukan nyaris sama. Disamping itu, aspek politik.
Ekonomi, dan sosial sangat mempengaruhi pemikiran naturalisme secara umum. Gaya
merupakan gabungan langsung terhadap perbedaan dalam masyarakat asli, situasi
ekonomi, dan aspirasi politik pendukungnya: membangun seniman Boheme, biasanya
kampungan dan tanpa makna, seperti pelukis Barbizon dan Bourbet serta pengikutnya.
Semuanya dikondisikan oleh proses politik yang sama, dan sama-sama menempatkan
sikap negatif terhadap keadaan yang mereka hadapi; tugas, bagaimanapun juga, upaya
menunjukkan keterwakilan mereka yang berasal dari fakta yang diberikan -menggabungkan keadaan klas dan kemiskinan mereka-- perbedaan yang utuh. Seni
Courbet dan Champfleury diisi dengan penderitaan secara revolusioner dan optimisme
reformis, yang asli dari mereka dalam kesetiaan Pencerahan pada masa depan. Protes
estetik merupakan gerak dan makna yang hampa.
Topik Diskusi
a. Apakah yang anda pahami tentang Naturalisme?
b. Bagaimana anda memaknai Naturalisme pada masa sekarang ini?
c. Mengapa Naturalisme lebih menekankan aspek politik, ekonomi dan sosial dengan
bentuk-bentuk kampungan dan ketidaksopanan?
36
Pertemuan ke 10
Simbolisme dan Stilisasi
 Realisme dan Naturalisme tidak hanya gerakan baru untuk membuat diri mereka
merasa kuat dalam teater modern. Sebuah kekuatan perlawanan, sama-sama sangat
kuat, sudah terbukti.
 Perujudan gerakan yang pertama kali diketahui seperti Simbolisme, dikembangkan
dan diperluas ke dalam apa yang kita akan sebut “Teater Bergaya Modern”, yang
bergerak secara bertahap melalui Eropa dan dengan cepat memulai perlombaan
yang sebenarnya lebih maju dari realisme.
Pemberontakan Simbolis
 Gerakan Simbolis dimulai di Paris sekitar 1880-an sebagai sebuah usaha bersama
seniman, penulis drama, eseis, kritikus, pematung, dan penyair. Simbolisme memiliki
satu tujuan, yakni untuk menundukkan apa yang dianggap para pengikutnya menjadi
sebuah kebangkrutan realisme secara spiritual, dan untuk menempatkan kembali
realisme dalam nilai estetika tradisional: persajakan, tamsil, kesenangan baru,
fantasi, hiburan, kebesaran, keberanian, pesona, dan besarnya nilai manusia super.
Tumpukan kebencian mereka terhadap detail secara harfiah dan untuk semua
keduniawian atau yang biasa dan yang mereka sungguh-sungguh pertimbangkan,
kaum Simbolis menuntut abstraksi, pembesaran, dan perubahan; semangat kaum
Simbolis memuncak dalam encapsulation puitik, kehadiran drama yang berukuran
besar, efek visual fantastik, permulaan kebiasaan susunan yang mengagetkan, dan
pengucapan yang penuh dengan kata-kata muluk. Kesucian visi ketimbang ketepatan
pengamatan, merupakan tujuan kaum Simbolis, dan inovasi kreatif kesadaran diri
sendiri menjadi penyelesaian utama mereka.
 Teater Simbolis pertama, didirikan pada 1890 oleh penyair Paris Paul Fort, yang
bakal sebagai penyerang langsung dalam naturalistik Theatre Libre Andre Antoine,
yang didirikan tiga tahun lebih awal. Teater Fort, Theatre d’Art, bertujuan ”hanya
sebuah teater puisi Simbolis dimana setiap pertunjukannya menunjukkan sebuah
peperangan”. Dalam beberapa pandangan teater Antoine dan Fort memiliki banyak
kesamaan: keduanya sama-sama amatir, keduanya sangat termasyhur, masingmasing melayani pusat ”sekolah” ideologi artistik yang sama-sama mendapat banyak
perhatian dan kontroversi dalam usaha melahirkan teaterikalitasnya.
 Tetapi kedua teater itu adalah terus terang, dilakukan dengan kesengajaan,
berperang mempertahankan konsepsinya masing-masing. Ketika Antoine
menghadirkan pertunjukan perdana drama naturalistik dan realistik karya August
Strinberg, Emile Zola, dan Hendrik Ibsen, Fort menghadirkan panggung puisi dan
drama puitik yang keduanya berasal dari penulis kontemporer dan masa kini
semacam French Arthur Rimbaud (1854-1891) dan Paul Verlaine (1844-1896),
penulis Belgia Maurice Maeterlinck (1862-1949), dan penulis Amerika Edgar Allan
Poe (1809-1849). Selanjutnya Antoine akan melakukan seluruh penciptaan
37




pemandangan untuk dramanya (sebagai contoh, dia mendapatkan sisi daging yang
nyata dan menggantungnya di pengait daging untuk pertunjukannya berjudul The
Buchers), Fort memimpin pelukis kuda-kuda impresionis, termasuk Pierre Bonnard,
Maurice Denis, dan Odilon Redon, untuk memakai panggung dengan gayanya.
Bidadari perak (Silver Angels), kerudung tembus cahaya, dan helaian kertas
pembungkus kusut diantara dekor yang menyokong karya Simbolis pada Theatre
d’Art.
Teater Fort menciptakan sensasi yang cepat di Paris. Dengan keberhasilan yang
menarik perhatian pada 1880, The Intruder, sebuah fantasi putik dan misterius karya
Maeterlinck, gerakan anti realis benar-benar berbicara dan, seperti Fort memanggil
kembali dalam riwayat hidup singkatnya, ”tangisan dan tepukan pelajar, penyair,
dan seniman meluapkan pencelaan yang sangat besar terhadap borjuis”.
Penyebaran gerakan secara cepat seperti pengarang dan disainer yang memiliki
kesadaran terhadap kemungkinan teater yang membebaskan ketidakleluasaan
kemungkinan. Realisme, terus menerus menuai kritik, tak pernah mengemukakan
kejadian sehari-hari pada tingkat seni; jikalau menyeret seni turun ke dalam kotoran
keduniawian. Hal ini melawan semua hal, bahwa teater berdiri di masa lalu; hal ini
memberangus potensi kreativitas artsitik. Segera kemudian pengarang naturalistik
dan realistik seperti Ibsen, Strinberg, Gerhart Hauptmann, dan George Bernard Shaw
muncul dibawah pengaruh Simbolis dan meninggalkan keasyikan sosial mereka dan
kebenaran lingkung-annya untuk menyaksikan bahasa baru dan tema yang lebih
universal. Sebagai unsur tambahan, pada saat ini penelitian Sigmund Freud
menyelaraskan yang diketahui secara umum, dan teorinya mengenai khayalan
mimpi dan dipergunakannya dunia ketidaksadaran sumber bahan baru untuk
panggung.
Kembali mengenai abad ini, perlawanan susunan stilisasi teater oleh kaum Simbolis
dimapankan dalam semua sisi: selanjutnya, pertengahan dekade 1900
menghadirkan kembali satu periode terkaya eksperimentasi dalam sejarah penulisan
drama. Pada akhir dekade ini datang pola dasar cerita dongeng Hauptmann berjudul
The Sunken Bell (Jerman, 1896), terlampau kartunis dan logika yang tajam dan pedas
(scatalogical) Alfred Jarry berjudul Ubu Roi (Perancis, 1898), syair liris yang sering
muncul dalam ingatan individualisme Ibsen berjudul When We Dead Awaken
(Norway, 1899), khayalan dan imagis Strinberg berjudul The Dream Play (Sweden,
1902), fabel puitik evocative William Buttler Yeats berjudul Cathleen ni Houlihan
(Irlandia, 1903), kiasan filsafat Shaw berjudul Man and Superman (England, 1903),
dan ketidakterdugaan (whimsical), fantasi bouyant James Barrie berjudul Peter Pan
(England, 1904). Hampir setiap inovasi dramatik yang diikuti hingga saat ini
sedikitnya memberi pertanda dengan satu atau banyak karya yang memiliki
kemungkinan berkembang di masa depan untuk non realistik teater.
Pertentangan Simbolik-realis mempengaruhi setiap aspek produksi teater. InspirasiSimbolis sutradara dan disainer, setahap demi setahap dengan penulis naskah,
merubah secara drastis seni pemanggungan dan dekor untuk mengakomodasi
dramaturgi baru yang menggelora dalam teater. Sutradara realis seperti Antoine dan
Stanislavski tiba-tiba menemukan perubahan dalam diri mereka dengan alasan
permusuhan dan pengkhianatan: sebuah sekolah sutradara Simbolis dan puitik
38
berdiri di Perancis, dan membentuk disiplin Stanislavski, ”Konstruktivis” Vlesevod
Meyerhold, memutuskan hubungan dengan tokoh Rusia untuk menciptakan gaya
pemeranan dan penyutradaraan “bio-mechanical” non realistik dalam bentuk yang
berlawanan pada kemapanan the Moscow Art Theatre. Dengan kehadiran
pencahayaan lampu panggung yang elektrik, kesempatan untuk penggayaan sangat
berkembang: teknologi baru memungkinkan sutradara modern menciptakan efek
panggung yang hidup, kenyataan yang tidak benar-benar kelihatan, lalu penggunaan
bijaksana lampu sorot, bayangan dan cahaya yang teduh. Teknologi, menambah
kecenderungan dalam seni post-impresionis yang dimapankan di Eropa 1900,
menuju disain pakaian dan pemandangan yang secara radikal berbeda dari realisme.
Eksotisme, fantasi, kesenangan sensual belaka, makna simbolik, dan kemurnian
estetik menjadi sasaran para pendisain yang utama dalam menyatukan
pemberontakan terhadap realis.
Pada pertunjukan perdana (drama realistik Ibsen) Hantu-hantu, Saya tidak dapat
melepaskan diri dari ilusi yang tak saya diketahui sebabnya saat itu. Semua tokoh
kelihatan menjadi sedikit lebih kecil dari ukuran kehidupan; panggung, lebih dulu
kelihatan tetapi panggung kecil Royalty, kelihatan lebih bear dari pada yang saya
lihat sebelumnya. Boneka Whimpering kecil bergerak kesana kemari di tengah abyss
yang luas. Mengapa mereka tidak berbicara keluar dengan suara keras dan bergerak
dengan gerakan tubuh yang bebas? Apakah hal ini dipertimbangkan melalui jiwa
terus menerus? Tentu mereka semua berada dalam penjara, dan belum berada
dalam penjara. Di India terdapat desa yang sangat patuh terhadap semua tahanan
yang mereka gambarkan sebuah lingkaran melalui bumi dengan majelisnya, dan
untuk menjelaskan pencurinya berdiri di sana berjam-jam lamanya, tetapi apakah
hukum yang dimiliki manusia hancur, ketika mereka ingin mengelilingi lingkaran
semua kehidupan mereka?...
Apakah yang mereka tunjukkan pada kita ...tetapi... untuk menggali kembali suatu seni
teater yang akan mengasyikkan, menghibur, whimsical, cantik, bergema, dan semuanya
sama-sama sembrono.
William Buttler Yeats
Realisme merupakan pemaknaan ekspresi yang vulgar diberikan secara buta. Lalu kita
menyanyikan lagu cahaya-terang: ”Kecantik-an adalah Kebenaran, Kecantikan yang
sebenarnya --bahwa semua yang kita ketahui di bumi, dan semua yang butuh kita
ketahui”. Kebutaan adalah mendengar teriakan dengan suara yang serak: “Kecantikan
adalah realisme, Kecantikan Realisme –bahwa semua yang saya ketahui tentang bumi,
dan semua yang saya pelihara untuk diketahui, sangat jelas!” Perbedaan ini merupakan
inti semua cinta. Siapa yang mencintai bumi menyaksikan kecantikan dimana-mana: dia
merupakan pemindahan tuhan oleh pengetahuan yang tidak lengkap menjadi lengkap.
Dia dapat menyembuhkan kepincangan dan penyakit, dapat memukul keberanian
hingga capek, dan dia dapat belajar bagaimana membuat kebutaan dapat melihat.
39
Kekuatan yang dimiliki selalu kerasukan setan oleh seniman, orang yang dalam
pendapat saya, aturan bumi...
Bagian penonton yang terbatas mencintai kecantikan dan benci Realisme merupakan
sebuah minoritas kecil enam milyar jiwa. Mereka terpencar-pencar disini dan di sana di
seluruh bumi. Jika sekiranya mereka menyaksikan teater modern, hanya sesekali. Itulah
sebabnya mengapa saya mencintai mereka, dan bermaksud untuk menyatukan
mereka.
Gordon Craig
Manusia yang kita sebut sutradara sekarang, yang bekerja semata-mata
menggabungkan kelengkapan susunan panggung, keinginan, dalam dramatik puitik,
aturan tokoh pelatih lalim drama yang bertujuan memahami bagaimana persiapan
studi memerlukan susunan panggung yang banyak, keperluan setiap unsur
pemandangan produksi agar tercipta sintesis artistik, menghidupkan kembali segala
sesuatu di bawah pengawasannya dengan mengorbankan aktor, orang yang akhirnya
harus dikuasai ... upaya prinsip sebagai sutradara akan meyakinkan anggota individual
kelompok pemerannya, bahwa hanya penundukan kepribadian mereka yang sulit untuk
menyatukan pertunjukan akan menciptakan sebuah hasil penting. Dia akan lebih suka
memimpin orkestra; efeknya akan menjadi sebuah daya tarik tersendiri.
Adolphe Appia



Dalam beberapa kekaguman, Simbolis bertujuan menggantikan mimpi dari
keasliannya. Seni teater Paul Fort, meskipun berakhir tetapi sangat mutakhir,
keturunan spiritualnya sekarang ini berada di setiap kota di dunia Barat dimana
teater dipertunjukkan.
Jika kita ingat bahwa gerakan aktor, tingkatan pewarnaan cahaya lampu,
merupakan dua unsur gambar panggung yang berbeda dari lukisan, kita tidak akan
menemukan kesulitan untuk menciptakan seni terbaik panggung sebagai sebuah
kebenaran seni murni. Tuan Gordon Craig telah melakukan sesuatu yang indah
dengan penataan cahaya lampu, tetapi dia tidak terlalu tertarik pada aktor, dan
arus pencahayaan langsung warna lampunya, cantik, akan selalu kelihatan, sebagai
bagian peristiwa yang tentu luar biasa, tampak luar yang baru. Kita akan sedikit
bergairah, tetapi untuk semua peristiwa luar biasa, juga, cahaya yang mebayang,
seperti siang hari, dan hal ini mungkin bahwa cahaya memantulkan cermin dengan
memberikan apa yang kita butuhkan.
Tuan Appia dan tuan Fortuny membuat eksperimen pemanggung-an Wagner untuk
teater primitif di Paris, tetapi saya tidak dapat memahami apa yang tuan Appia
lakukan, dari sedikit tulisannya yang saya lihat, kecuali bahwa lantai panggung akan
menjadi tidak rata seperti tanah, dan bahwa peristiwa pencahayaan dan bayangan
hijau akan menjatuhkan pemain, bahwa panggung memperlihatkan seseorang
ingin melewati kayu, dan tanpa sebatang kayu dengan manusia di tengahnya.
40
Seseorang menyetujui dengan semua bagian penghancuran kritisismenya, tetapi
hal ini kelihatan agar supaya dirinya sendiri kelihatan, tanpa konvensi, tetapi
realisme lebih sempurna.
Saya tidak dapat meyakinkan diri saya sendiri bahwa gerakan kehidupan diikuti
oleh pandangan ini, untuk kehidupan yang bergerak dengan denyut yang bergetar,
dengan reaksi dan aksi. Waktu konvensi dan dekorasi dan upacara datang kembali
William Butler Yeats
Ringkasan: Perkembangan Simbolisme
Gerakan simbolis itu sendiri hidup singkat. Pada intinya sebuah gerakan yang negatif:
penganutnya mengutamakan kesatuan apa yang mereka lawan. Dalam kesenian dan
estetika, gerakan negatif tak dapat lebih lama, untuk seni, akhirnya sebuah proses yang
konstruktif, bukan proses yang destruktif. Dengan berbulan-bulan kemajuan simbolis,
bagaimanapun juga, simbolis sebagai sebuah gerakan seperti telah ditinggalkan oleh
pendiri dan pengikutnya. Kemanakah mereka pergi? Ditinggalkan gerakan-gerakan yang
lebih baru: Futurisme, Dadaisme, Idealisme, Estetisisme, Impresionisme,
Ekspresionisme,
Konstruktivisme,
Esoterisisme,
Surealisme,
Formalisme,
Teaterikalisme, dan barangkali ribuan isme lainnya telah hilang oleh waktu.
Paruh ketiga abad ini, selanjutnya merupakan era teaterikalisme, sebuah era yang kaya
dengan melanjutkan eksperimentasi dengan gerakan kesadaran-diri sendiri yang kelihatan
mendefenisikan kembali seni teater. “Isme-isme” teater muncul seperti jamur, masingmasing mengucapkan kredo dan manifesto yang dimilikinya, masing-masing mengingatkan
suatu seni yang lebih baik --paling tidak, tentunya sebuah dunia yang lebih baik. Ini
merupakan sebuah era yang penuh semangat bagi teater, untuk keluar dari tumpukan
maupun campuran isme-isme estetika seni drama yang meletakkan makna sosial dan politik
baru dalam budaya kapital Eropa dan Amerika: sebuah drama yang berhasil tidak sematamata karena drama itu sendiri, ia menandakan sebuah kasus, dan disamping itu kasus ini
merupakan tubuh pendukung yang setia, dan pengikut yang membentuk sebuah kedalaman
komitmen estetika.
Tidak pernah ada semangat isme yang benar-benar seperti keadaan sekarang ini, bagi
kita yang kehilangan pengaruh sosial, dapat mengembalikan sebuah gerakan estetik ke
dalam kepercaya-an kolektif yang besar. Tetapi eksperimen dan penggalian pada awal
abad ini, dan semangat non realis Simbolisme itu sendiri, diperjuangkan dan tumbuh
dengan subur dalam beragam bentuk: Teater Ritual, Teater Puitik, Teater Keramat,
Teater Kacau, Teater Eksistensialis, Seni Teater, Teater Garda Depan, Teater Absurd,
dan Teater Alienasi. kelompok yang paling akhir, tidak seperti isme, merupakan
penegasan-kritis ketimbang penegasan-seniman; memang, banyak seniman teater
sekarang menolak ”pengelompok-an” tatanan apapun. Bagaimanapun juga, format itu
meneruskan pengelompokan yang dapat menunjukkan refleksi pendekatan umum
terhadap susunan, gaya, dan eksperimentasi yang dimulai Simbolis di akhir abad
sembilan belas.
41
Topik Diskusi
1.
Gerakan-gerakan, isme, hingga filosofi berteater yang kita saksikan pada
Simbolisme ini, seperti hendak mengatakan kepada kita, bahwa ”banyak jalan
menuju teater”. Bagaimana pendapat anda tentang hal ini?
2.
Mengapa Simbolisme begitu ambisius untuk menumbangkan Realisme yang
lebih banyak ”digemari” masyarakat?
3.
Apabila anda disuguhi teater Simbolis dan Realis, mana yang anda pilih.
Sebutkan alasan anda!
4.
Apakah anda pernah menemui teater Simbolis di lingkungan anda? Cobalah
cari, mengapa teater Simbolis itu ada atau tidak ada di lingkungan anda!
5.
Apakah yang anda pahami tentang teater Simbolis?
42
Pertemuan 11
Ekspresionisme, dan Eksistensialisme
Ekspresionisme
 Dari semua aliran, Ekspresionisme merupakan satu dari semua itu yang
memberikan peningkatan sangat berarti pada tubuh teater modern, barangkali
karena pengertiannya yang luas, dan kesatuannya terlihat pada ekspresionisme
dalam seni visual.
 Teater Ekspresionisme yang mana banyak ditemukan dalam gaya teater di Jerman
sekitar dekade pertama abad dua puluh (khususnya di tahun 1920-an)
mempertunjukkan dialog yang mengejutkan dan mengocok perut menjadi
keutamaannya, dekorasi dibesar-besarkan atau dilebih-lebihkan dengan penuh
keberanian, suara yang tajam menusuk, cahaya yang terang, banyak warna utama,
sangat kasar menggunakan simbol, dan struktur yang pendek, kejam sekali, serta
pemandangan yang menusuk untuk membangun kekuatan (dan biasanya
memekakkan) klimaks.
 Di Amerika, Eugene O’Neill hadir di bawah pengaruh Ekspresionis setelah muncul
pada awalnya dalam Naturalisme, dan di tahun 1920-an O’Neill menulis seri drama
yang meledak-ledak dengan menekankan kealamian manusia dalam perspektif
industrial. Lakon The Hairy Ape, yang dipentaskan tahun 1921, merupakan contoh
kasus penulisan naskah Ekspresionis. Meskipun drama ini kelihatan janggal, kasat
mata, dan secara naif tidak efektif untuk masa sekarang, naskah ini cukup baik
sebagai contoh dari ekstrimitas model yang populer dengan “aliran” pengarang
(penulis lakon).
 Kehebatan O’Neill terletak pada penggabungan pemberian efek visual dan
penonton secara kasar dalam sebuah drama Ekspresionis, nyaris seperti manusia
super power. Penggunaan siluet dalam pementasan dan tata lampu, “bayangan
besar-besaran di mana-mana”, “keriuhan yang berisik”, “dentaman ganas yang
bertenaga secara monoton”, “cahaya yang berapi-api”, “anak air sungai yang
lengket penuh jelaga atau hitam”, nyanyian dan gerakan yang dibesar-besarkan
secara berbarengan, ”secara terus menerus, memberikan catatan yang
menjengkelkan” dari ”bunyi-bunyian peluit yang tak menaruh rasa kasihan
sedikitpun”, teriakan sumpah serapah dan seruan yang dibesar-besarkan, khayalan
binatang, dan ”horor, teror dari ketidaktahuan, kebrutalan yang tak berdasar,
ketelanjangan dan tak tahu malu”, semua ini merupakan tipe ekstrim gaya
Ekspresionisme awal abad dua puluh. Naskah juga menggambarkan bagaimana
O’Neill dan teman-temannya di teater Amerika menolak Realisme dan Romantisme
dalam usaha mereka untuk menghadirkan kehadiran langsung ideologi sosial dan
kritisisme kebudayaan.
43
Drama Existensialis: No Exit (Terkurung)



No Exit (Huis Clos) merupakan salah satu drama pendek yang sangat memaksa
yang pernah di tulis. Dalam satu-kenyataan fantasi teater ini di tulis pada tahun
1944 oleh Jean Paul Sartre, seorang filsuf Existensialis Perancis yang sangat
terkenal, membuat sebuah “neraka” yang unik yang mana sebuah ruangan tanpa
jendela atau cermin. Di dalam ruangan itu hadir tiga orang, yang baru saja
meninggal, semua mengutuk dunia di bawah ini (dalam tanah) karena dosa
keduniawian mereka. Mereka bertiga benar-benar orang sakit yang cerdas: Garcin,
satu-satunya laki-laki, cenderung mengarah pada homosexual; juga satu diantara
dua wanita bernama Inez. Estelle penghuni terakhir yang aneh, cenderung
mengarah pada peri yang heterosexual; dia mengejar Garcin.
No Exit merupakan pernyataan Existensialis dramatik klasik, yang mana Sartre
merupakan pelopor abad ini. Menggerakkan kembali unsur-unsur fantastik -bahwa ini merupakan neraka dan watak hantu, dan kita memiliki visi interaksi
kemanusiaan Sartre: setiap individu selamanya kelihatan tegas dan menyatakan
sendiri lewat matanya dari yang lain.
Menurut filsafat Existensialis, manusia selalu hidup terombang-ambing.
Kemerdekaan memberinya kesepian dan kebersamaan membuat dia merasa tidak
merdeka. Manusia memiliki kesadaran yang membuatnya jadi merdeka, tetapi juga
membuatnya terlempar menjadi seorang pengembara yang yatim piatu di dalam
hidupnya. Kemerdekaannya ibarat jurang yang menganga yang bagaimana pun
juga tidak bisa di timbun. Karena itu, Sartre berteriak “Manusia di hukum untuk
merdeka!”. Karya Sartre lainnya, antara lain The Flies (Les Mauches), Dirty Hand (Le
Mains Sales), The Respectful Prostitude (Le Putain Respectueuse).
Autar Abdillah, dari buku Theatre Brief Edition (1984:184-188) oleh Robert Cohen.
Ringkasan
Teater Ekspresionisme turut memberikan andil lahirnya pemikiran demokrasi dan
kebebasan absolut manusia dalam menyikapi kehidupan sehari-hari. Meskipun sedikit
lebih kasar, gejolak yang dimunculkan teater Ekspresionisme telah membuka perspektif
kehidupan yang baru.
Sedangkan teater Eksistensialisme semakin mengukuhkan nilai-nilai kemanusiaan yang
terdapat dalam drama dan teater untuk dijadikan nilai dasar kreativitas manusia dalam
menumbuhkan khazanah kebudayaan yang luas.
Topik diskusi
1. Apakah yang anda pahami tentang Ekspresionisme dan Eksistensialisme?
2.
Jelaskanlah, mengapa teater semacam Ekspresionisme dan Eksistensialisme
ini lahir sebagai suatu bentuk kreativitas yang menonjol pada zamannya!
3.
Apakah anda dapat menemukan teater Ekspresionisme dan Eksistensialisme
ini di lingkungan anda. Coba cari, apa yang menyebabkan teater
Ekspresionisme dan Eksistensialisme ada atau tidak ada di lingkungan anda!
44
Pertemuan ke 13
PENONTON TEATER
Penonton merupakan salah satu aspek penting dalam teater. Penonton teater
merupakan orang yang terlibat secara langsung dalam peristiwa teater. Ketika seorang
penonton menghadiri sebuah pertunjukan teater, maka di dalam diri mereka terdapat
sejumlah jalinan pengalaman yang mengantarkan pemahamannya pada pertunjukan
yang disaksikan. Pengalaman penonton teater menjadi aspek yang tak dapat dipungkiri,
karena melalui pengalaman tersebut, penonton dapat berinteraksi secara intensif.
Pengalaman penonton teater tidak pernah lahir begitu saja, tetapi kehadirannya sangat
ditentukan oleh bagaimana penonton tersebut membangun hubungan dirinya dengan
kehidupan sehari-hari. Kehidupan sehari-hari merupakan sumber dalam
membangkitkan interaksi seorang penonton, sehingga seseorang yang menjadi
penonton teater, bisa memahami suatu pertunjukan teater –sebagaimana diharapkan
oleh para seniman atau pelaku teater tersebut. Disamping itu, para pelaku teater juga
dituntut untuk mampu memberikan ‘sunjektivikasi’ pertunjukannya pada sisi yang
mampu memberikan rangsangan lahirnya interaksi yang dinamis.
Hakikat Penonton Teater Modern

Kajian terhadap penonton teater maupun terhadap penonton seni pertunjukan pada
umumnya, hingga saat ini belum begitu banyak ditemukan, khususnya dalam kjian
seni pertunjukan maupun teater di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh rendahnya
perhatian terhadap aspek penonton dalam teater khususnya, dan seni pertunjukan
atau bahkan seni-seni lain pada umumnya, misalnya terhadap penonton di suatu
pameran seni lukis, baik oleh kalangan akademisi maupun seniman kreatornya.
Pengabaian terhadap penonton ini sudah menjadi bagian dari sejarah teater yang
memandang penonton bukan sebagai aspek atau unsur yang signifikan, karena
penonton berada dalam aspek yang bukan bersifat kreatif-artistik.
 Namun demikian, penonton tetap menjadi sasaran utama dari pertunjukan teater.
Tanpa penonton, tentu teater tidak berarti. Kalau terdapat seniman teater yang
mengasumsikan bahwa ia tak membutuhkan penonton, hal ini hanya menunjukkan
kecongkakan semata atau ketidaktahuan akan makna pentingnya kehadiran
penonton, dan bukan sebuah sikap dan konsepsi yang positif bagi perkembangan
teater.
 Penonton teater atau manusia pada umumnya, sangat peka terhadap peristiwaperistiwa yang terjadi di sekelilingnya. Peristiwa-peristiwa tersebut sering menjadi
ingatan yang mendalam. Bahkan, untuk peristiwa-peristiwa tertentu, seperti
peristiwa perkawinan, kelahiran dan ulang tahun, dicatat dan dibukukan serta
diletakkan di tempat-tempat khusus. Peristiwa tersebut bukan sekedar sebuah
dokumen yang dapat disaksikan di kemudian hari, tetapi peristiwa tersebut selalu
menjadi suatu pembangkitan rasa harga diri, dan untuk itu selalu dipamerkan atau
diperlihatkan kepada orang lain. Peristiwa bukan saja sebuah pertunjukan tetapi
45




juga sebuah proses interaksi, yang sangat membutuhkan orang lain untuk
menyaksikannya. Hal ini merupakan titik awal yang sangat berarti dalam memahami
peristiwa teater.
Susan Bannet menegaskan bahwa ‘persitiwa merupakan proses interaksi yang
mengandalkan kehadiran penonton untuk pencapaian pengaruhnya. Sebuah
pertunjukan, memang, tidak seperti karya cetakan, selalu terbuka terhadap
penerimaan yang segera maupun penerimaan publik, modifikasi atau penolakan
oleh orang yang menjadi tujuannya. Ini merupakan hubungan kompleks yang tak
terelakkan antara pertunjukan dan penonton...’.1
Berbagai temuan hubungan penonton dan pertunjukan pada 1970-an mulai gencar
dilakukan oleh para pakar semiotika. Bahkan, kajian yang semakin meluas tersebut
mengarah pada upaya positif menemukan konsepsi komunikasi teater yang
memberikan pandangan baru terhadap aspek komunikasi antara penonton dan
teater sebagai seni pertunjukan. Seorang penggagas teater yang menyebut
teaternya “Teater Miskin” (poor theater), Jerzy Grotowski bahkan “mendefenisikan”
teaternya yang berpusat pada penonton dengan mengatakan bahwa ‘Teater adalah
pertemuan aktor dan penonton’2.
Berbagai temuan tersebut, tentu tidak terlepas dari bagaimana penonton berupaya
memenuhi berbagai kebutuhannya. Kebutuhan tersebut ada yang bersifat sosial,
ideologi, pendidikan hingga ekonomi. Hal ini merupakan fitrah penonton yang tak
terelakkan lagi.
Paradigma hubungan teater dengan penonton menjadi kajian penting oleh beberapa
ahli, diantaranya Roland Barthes, Raymond Picard, Umberto Eco, Gustav Le Bon,
Lawrence S. Wrightsman, Stanley Fish, Hans Robert Jauss, Wendy Deutelbaum,
Claude Bruzy, Marco De Marinis, Wilfried Passow, Erika Fischer-Lichte, Anne
Ubersfeld, dan lain-lain, baik yang berangkat dari studi analisis drama maupun pada
pertunjukan teater yang disaksikan langsung di berbagai peristiwa teater.
Teater dan Metafora

Ada hal yang berbeda ketika kita berbicara tentang teater di Indonesia dengan
teater di belahan bangsa-bangsa Eropa dan Amerika. Hal ini sedikit atau banyak
mempengaruhi pula pandangan kita dalam mengamati atau menganalisa persoalan
yang berkaitan dengan penonton teater.
 Di Indonesia, kita secara relatif dapat dikatakan baru dalam memahami berbagai
konsepsi yang ada dalam teater, baik itu teater dalam pengertian pertunjukan
maupun teater dalam konsepsi drama. ‘Kebaruan’ kita itu mempengaruhi sudut
pandang dalam menempatkan kedudukan teater ditengah-tengah masyarakat.
Teater (di Indonesia) bisa menjadi tidak penting ketika sebuah kekuatan politik
menyatakan teater tidak layak ‘dikonsumsi’ masyarakat. Bahkan, masyarakat pun
dapat melakukan penyerangan terhadap teater, karena teater dipandang melakukan
dekonstruksi religius yang dikhawatirkan merusak tatanan tertentu dalam
kehidupan keagamaan.
 Di samping itu, kekuatan teknologi yang muncul pada tahun 1900-an dan
berkembang sangat pesat di abad dua puluh mempengaruhi perilaku hidup
46





masyarakat. Dalam konteks Indonesia, hal ini ditanggapi dengan sikap ekstasi atau
meledak-ledak. Hal ini disebabkan oleh kesempatan memasuki era teknologi
maupun era kebebasan individu yang menjadi salah satu ciri penting dalam
khazanah penonton teater tersebut, belum lama dinikmati secara leluasa. Dengan
kata lain, terdapat sejarah yang berbeda secara signifikan ketika kita memposisikan
teater dalam konstelasi masyarakat Eropa dan Amerika, sehingga pemahaman
terhadap subjek penandaan pun akan sangat berbeda.
Begitu pula dengan pemecahan-pemecahan teoritik maupun praktis dalam kajian
teater. Satu hal lagi adalah kemampuan dan minat baca –khususnya untuk karyakarya drama, yang masih rendah di Indonesia, sehingga penceritaan dalam teks
drama masih dipandang sebagai sebuah fiksi semata, bukan sebagai media atau
perantara dari lahirnya sumber informasi yang dapat mengantarkan seorang
pembaca atau penonton pada suatu tempat yang menjadi tujuan dari suatu
penceritaan.
Namun demikian, kita memiliki beberapa konstruksi pemikiran yang sama diantara
masyarakat di seluruh dunia. Di satu sisi terdapat persamaan dalam hal
memposisikan manusia atau penonton teater sebagai makhluk yang memiliki
beberapa kecenderungan atau permasalahan kemanusiaan yang dipandang secara
universal. Di sisi lain adalah kaidah atau perspektif logis dalam menentukan masa
depan kehidupan.
Di Indonesia, teater masih merupakan sebuah permasalahan estetika, daripada
permasalahan sosial, ideologi, ekonomi maupun kebudayaan secara umum.
Sehingga, ketika melakukan kajian terhadap teater –dapat kita temukan di berbagai
forum diskusi maupun tulisan-tulisan di media massa, yang mengemuka adalah
persoalan ‘gangguan’ estetika ketimbang ‘gangguan’ sosial maupun kebudayaan.
Ketika kita hendak berbicara tentang ‘gangguan’ sosial, maka titik tolaknya adalah
estetika. Contoh dalam dunia pertunjukan musik dangdut misalnya dapat kita lihat
pada sikap ‘Raja Dangdut’ Rhoma Irama yang mencoba membatasi gerak penyanyi
‘Ratu Ngebor’ Inul Daratista dengan menempatkan estetika gerakan Inul yang
dianggap menimbulkan birahi –dan dengan demikian diasumsikan merusak moral
masyarakat. Contoh lain adalah ketika sebuah pertunjukan teater baru saja berakhir,
maka kita mendengar dari para pengunjung teater itu, bahwa persoalan-persoalan
estetika membuat mereka menjadi tidak nyaman, mulai dari penataan lampu yang
gelap hingga aktornya yang tidak memahami seni peran maupun teks.
Titik tolak dari estetika itu dengan sendirinya telah membuat jarak atau jurang
pemisah antara kemandirian penonton di satu sisi, dan pertunjukan teater yang
tumbuh ketika berlangsungnya peristiwa disisi lain.
Edwin Wilson menegaskan bahwa ‘Teater adalah peristiwa yang dipertunjukkan
bersama-sama dengan kehadiran penonton’3. Kebersamaan dengan penonton itu
mengindikasikan bahwa antara teater dan penonton memiliki ‘tugas’ yang sama
dalam ‘menyelesaikan’ adegan demi adegan. Dengan demikian, antara teater dan
penonton tidak saling menuntut, tetapi saling mencurahkan dirinya untuk suatu
peristiwa. Kritikus drama Walter Kerr menjelaskan:
Tidak sekedar menunjukkan bahwa kita menghadirkan pribadi dari
pemeran. Tetapi berarti bahwa mereka berada dalam kehadiran kita,
47
kesadaran kita, pembicaraan kita, bekerja untuk dan dengan kita hingga
sebuah perjalanan keliling yang tidak mekanis menjadi tak bisa
dipungkiri diantara kita, sebuah perjalanan keliling yang naik turun, tak
dapat diduga, sesungguhnya berubah dalam rangsangannya,
bergemericik, akrab. Kehadiran kita, pandangan yang kita tanggapi,
kembali mengalir menuju pemain dan mengubah apa yang dia lakukan,
pada beberapa tingkat dan kadang-kadang mengherankan, juga, setiap
malam kita menyaksikannya. Kita adalah pesaing, membuat drama dan
misteri serta emosi bersama-sama. Kita adalah kawan bermain,
membangun struktur’.4

Semua hubungan antara penonton dan teater tersebut merupakan realitas yang
dibangun melalui metafora-metafora, disamping simbol dan mimpi. Ketika seorang
pemeran memainkan suatu adegan, maka dengan sendirinya, dirinya teridenfikasi
sebagai peran yang dimainkannya, tanpa terlebih dahulu mengatakan bahwa “saya
akan memerankan seorang tokoh A”. Bila dalam teater rakyat di Indonesia, kita
menjumpai penyebutan peran seperti “saya memerankan tokoh tumenggung A”, hal
ini merupakan suatu bentuk pengungkapan yang dibuat sebagai prolog atau
pembuka cerita, agar penonton lebih dahulu mengenal peran yang akan
dimainkannya. Namun demikian, pola semacam ini sudah tidak berlaku lagi, kecuali
dengan mengatakan “saya adalah tumenggung A”.
 Edwin Wilson menegaskan bahwa ‘Segala sesuatu yang kita lihat di teater -keseluruhan pertunjukan, termasuk perilaku dan dekorasi-- dapat dipandang sebagai
metafora raksasa. Ketika metafora berhasil, kita melihat seperti sebelum kita
menciptakan sepenuhnya cermin kehidupan. Hal ini menempatkan kita disisi bawah
sadar kita, dan membiarkan kita tertawa pada diri sendiri atau belajar untuk melihat
ketakutan kita yang terdalam… Yang demikian itulah kekuatan imajinasi.5 Metafora
berfungsi strategis dalam membangun sumber-sumber pengalaman pribadi (atau
yang mempribadi). Suatu pengalaman yang berasal dari segala sesuatu yang dialami
secara individual dalam kehidupan sehari-hari.
Kekuatan Kelompok dan Imajinasi
 Pengalaman kelompok menjadi kekuatan penting dalam teater. Dalam sebuah ruang
pertunjukan –yang terdiri dari berbagai jenis dan sikap serta pendangan, mengalami
suatu kejadian di suatu tempat yang sama. Sesuatu yang penuh misteri terjadi pada
diri mereka. Demikian pula halnya secara individu maupun pribadi dengan latar
belakangnya yang berbeda. Mereka mengalami suatu peristiwa dengan tanggapan
yang beraneka ragam secara bebas. Para pakar psikologi sosial cukup banyak
melakukan analisa mengenai kelompok ini, diantaranya Gustav Le Bon, pelopor
psikologi sosial dan seorang yang pertamakali mempelajari gejala banyak penonton,
menulis bahwa kumpulan orang “menghadirkan watak baru yang sangat berbeda
dengan pembawaan individunya. Perasaan dan gagasan semua orang dalam satu
tempat pertemuan dan mempunyai tujuan yang sama, dan lenyapnya kesadaran
48
pribadi mereka“6. Lenyapnya kesadaran pribadi, mengantarkan penonton teater
dalam pengalaman kelompok.
 Pengalaman kelompok berarti terjadinya hubungan satu dengan yang lainnya dalam
kelompok ketika seorang penonton teater berada bersama-sama dengan individu
lainnya. Seorang penonton teater yang tertawa terbahak-bahak sendirian tentu akan
menjadi sesuatu yang aneh. Begitu pula bila seorang penonton bertepuk sendirian,
sedangkan penonton lainnya asyik menyaksikan pertunjukan. Keterpencilan
penonton secara individu, akan mengubah tanggapannya terhadap pertunjukan itu
sendiri. Seperti ditegaskan oleh Lawrence S. Wrightsman dalam bukunya Psikologi
Sosial (Social Psychology), menunjukkan sejumlah studi awal yang menegaskan
pandangan yang mana kumpulan orang atau kelompok dapat mempengaruhi
pemikiran dan tindakan individu. Selanjutnya Lawrence menulis “Kelompok dapat
digoyang oleh proses pemikiran kelompok”7. Hal ini berarti bahwa siapapun yang
berada dalam suatu kelompok akan membawa sebagian atau seluruh atmosfir yang
dimiliki oleh anggota kelompok tanpa terkecuali. Pengalaman kelompok bukan
berarti terjadinya ‘penggadaian’ terhadap sesuatu yang mempribadi. Bila Le Bon
mengatakan lenyapnya kesadaran pribadi, itu berarti bahwa kesadaran yang bersifat
pribadi dalam kelompok, seperti bersiul, bertepuk atau tertawa. Sedangkan
kesadaran terhadap ‘dunia pengalaman’ yang hidup sejak seseorang dilahirkan,
tetap merupakan bagian yang integral dalam dia menyikapi segala bentuk
penampakan yang terjadi diatas panggung.
 Disamping itu, dalam pengalaman kelompok terdapat berbagai kecenderungan
penonton teater yang membawanya pada pemikiran yang bersifat bersama-sama
karena bangunan entitas budayanya maupun ikatan-ikatan primordial yang dibentuk
oleh hubungan kedekatannya dengan penonton lainnya. Menurut Wilson penonton
teater memiliki andil dengan semua kelompok yang bercirikan pemikiran kolektif
khusus8. Diantara mereka ada yang agresif dan ada pula yang ‘duduk manis’
mengikuti apa yang menjadi perhatian mereka. Dengan jumlahnya yang besar,
kelompok dapat mempengaruhi banyak hal dalam teater. Bentuk-bentuk pengaruh
kelompok ini, sekali lagi pada sifat kolektivitas interaksi kelompok, bukan pada
reproduksi ingatan pengalaman kehidupan sehari-hari yang bersifat pribadi. Seorang
pakar behavioris B.F. Skinner menyebutnya penguatan (reinforcement):
Jika penguatan selalu dimiliki individu, namun demikian kelompoklah
yang memiliki efek kekuatan yang lebih besar. Dengan bergabung
dalam kelompok, individu lebih meningkatkan kekuatan untuk
memperoleh penguatan ... Peningkatan sebagai akibat yang dihasilkan
oleh kemudahan kelompok melampaui jumlah akibat yang dapat
dicapai oleh anggota yang berperan secara terpisah9.

Pencapaian bangunan penguatan itu adalah lewat imajinasi. Seorang kreator
tentulah orang yang kita asumsikan memiliki daya imajinasi yang lebih dari para
penontonnya. Imajinasi ini membangun rangkaian demi rangkaian menuju satu pola
yang dapat menjadi penanda bagi tujuan-tujuan kreatif. Sudah menjadi tugas dari
para krreator, seperti sutradara dan aktor untuk meminimalkan keterbatasan
49
imajinasi penonton teater. Wilson menegaskan teater berjalan dalam dua-cara -mengubah antara aktor dan penonton --dan dimana-mana banyak ditemukan dalam
penciptaan ilusi. Ilusi mungkin diprakarsai oleh pencipta teater, tetapi ilusi ini
dilengkapi oleh penonton.10
 Dalam sebuah pertunjukan, misalnya kita menyaksikan penonton memerankan
sebuah peran binatang, kita tahu bahwa apa yang dilakukan seorang aktor itu bukan
nyata; orang bukan harimau misalnya, dan harimau tidak menyanyi dan menari
diatas panggung. Kita akan memaklumi bahwa setiap bentuk-bentuk yang tidak
nyata itu, sebagai bentuk yang merupakan imajinasi dari sebuah rangsangan
penandaan yang harus dibentuk kembali dalam realitas pengalaman yang nyata. Hal
ini berarti bahwa terjadi penafsiran-penafsiran yang membangun objek penceritaan
menjadi pandangan subjektif oleh masing-masing penonton teater.
Ringkasan
Berbagai pendapat yang mengemuka tentang penonton teater, sesungguhnya
merupakan gambaran dari upaya menempatkan penonton yang tidak terpisah dari
pertunjukan teater. Pendapat yang menempatkan keterpisahan antara penonton
teater, harus ditempatkan sebagai suatu kenyataan, bahwa antara penonton dan teater
memiliki perbedaan dalam proses keterlibatannya. Disatu sisi terdapat proses kreatif
oleh aktor dan disisi lain terdapat proses alami penonton menyaksikan pertunjukan
teater.
Seni bukan kehidupan tetapi refleksi kehidupan --penciptaan khusus yang abstrak dan cermin
kehidupan. Bernard Beckerman membuat pengamatan sebagai berikut:
Para pemain dan penonton harus dipisahkan satu dengan lainnya agar penonton dapat
mengamati apa yang sedang terjadi. Tetapi pemisahan ini tidak hanya fisik saja:
pemisahan keduanya baik fisik maupun psikologis. Hutan kecil yang sakral mungkin
menjadi pilihan, tarian melingkar mungkin terbatas, panggung mungkin dibangun.
Bagaimanapun juga, sebuah wilayah dibagi, yang kemudian menjadi tempat pemain.
Hal ini dapat dimanipulasi, antara ruang yang sebenarnya dan imajinasi; ini merupakan
tempat dimana pementasan dapat disuguhkan. Akhir-akhir ini, dalam drama, kita
memiliki contoh produksi seperti The Connection dan The Blacks, karya Jerzy Grotowski,
dan dalam novel yang mirip kejadian sesungguhnya, dimana pembongkaran batas
terlihat. Seringkali, peran ini kebalikannya, dan penonton, malahan menjadi tuhan, juga
menjadi kambing hitam. Upaya untuk menghapus batas antara pengarang dan yang
dikarang hanya mendefenisikannya dengan lebih tegas. Pendengar dengan cermat
menjadi benar-benar sadar, bahwa dia menjadi pemain dalam peran tertentu dari
penonton. Pemisahan ini tidak dihapuskan, semata-mata diposisikan kembali pada
tempat yang seharusnya.11
Topik Diskusi
1. Buatlah identifikasi terhadap kecenderungan penonton teater modern
2. Aspek apakah yang menjadi pilihan utama penonton teater
50
DAFTAR PUSTAKA
Beckerman, Bernard
1970
Dynamics of Drama: Theory and Method of Analysis, New York: Knopf
Bennet, Susan
1997
Theatre Audience, a theory of production and reception, second edition,
London and New York: Routledge
Roose-Evans, James
1989
Experimental Theatre, from Stanislavsky to Peter Brook, Fourth edition,
London: Routledge,
Wilson, Edwin
1988
The Theater Experience, fourth edition, New York: McGraw-Hill Book
Company
1 Susan Bennet, Theatre Audience, a theory of production and reception, second
edition, London and New York: Routledge, 1997, hal. 69-70
2
Jerzy Grotowski menjadi tokoh yang unik dalam teater, karena berbagai
eksperimentasinya yang menggali berbagai kemungkinan penjelajahan teater. Teater
laboratorium yang didirikannya 1965 di Polandia menjadi salah satu tempat penelitian
maupun penjelajahan teater yang terkemuka di seluruh dunia. Saya bahkan pernah
menyaksikan metode latihannya digunakan oleh lima wanita yang berasal dari Belanda
di padepokan “Lemah Putih” Surakarta (1994). Lebih jauh, lihat James Roose-Evans,
Experimental Theatre, from Stanislavsky to Peter Brook, Fourth edition, London:
Routledge, 1989.
3 Edwin Wilson, 1988, The Theater Experience, fourth edition, New York: McGraw-Hill
Book Company, hal. 12
4 idem., hal. 13-14
5 idem., hal 33
6 Gustave Le Bon, The Crowd: A Study of the Populer Mind, 20th ed., Benn, London,
1952, hal. 23, dalam Edwin Wilson, idem, hal. 16.
7 Lawrence S. Wrightsman, Social Psychology, 2d ed., Brooks/Cole, Monterey, Calif.,
1977, hal. 579, dalam Edwin Wilson, idem, hal. 16
8 Edwin Wilson, op. cit, hal. 16
9 B.F. Skinner, Science and Human Behaviour, Macmillan, New York, 1953, hal. 312,
dalam Edwin Wilson, idem, hal. 16
10 Edwin Wilson, idem, hal. 16
11 Bernard Beckerman, Dynamics of Drama: Theory and Method of Analysis, Knopf,
New York, 1970, hal. 9
51
Pertemuan ke 12
Teater Absurd, Teater Alienasi, Supra-realisme
Teater Absurd: Menunggu Godot


Nama teater Absurd diterapkan oleh kritik seni untuk sekelompok drama yang berbentuk
struktur bersama tertentu, dan gaya serta dikaitkan dengan struktur filosofis yang lazim:
teori absurd diformu-lasikan oleh eseis dan pengarang drama Perancis bernama Albert
Camus. Camus menghubungkan kondisi manusia pada raja Sisy-phus dalam mitologi
Corinthian, orang yang karena kekacauannya dihukum selama-lamanya untuk
menggelindingkan batu dan meng-angkatnya kembali ke atas bukit. Camus melihat
manusia modern seperti bicara dengan cara yang sama dalam nilai yang selalu sia-sia, nilai
absurd terletak pada penggeledahan untuk beberapa makna atau tujuan atau perintah dalam
kehidupan manusia. Bagi Camus, ketidakmasukakalan (keirasionalan) itu abadi dari alam
yang membuat nilai itu absurd. Manusia dilemparkan ke suatu dunia yang asing, dan di
dunia ini sesuatu diberikan tanpa keterangan apa-apa. Akal dan kesadaran manusia tidak
bisa menerangkan misteri kehidupan ini. “Absurditas lahir dari konfrontasi antara keinginan
manusia untuk mengerti dan dunia yang membisu menyimpan rahasia dirinya”, kata Albert
Camus
Menurut Martin Esslin tentang tokoh-tokoh teater Absurd: Samuel Beckett
(Irlandia): Melankolis, diwarnai perasaan sia-sia yang lahir dari kekecewaan yang
mendalam pada usia tua, dan keputusasaan yang ironis. Arthur Adamov (Rusia):
Lebih aktif, agresif, bersahaja, dan dibubuhi nada tambahan yang bersifat sosial atau
politik. Eugene Ionesco (Rumania): Absurditas fantastik (tak masuk akal),
penggambaran petualangan, yang dibumbui dengan menampilkan badut-badut yang
tragis, adakalanya lontaran pikiran/ide yang bersifat menghantam. Tokoh Absurd
yang lain, Jean Genet (Perancis), Friedrich Duerrenmant (Swiss), Slawomir Mrozek
(Polandia), Harold Pinter (Inggris), Edward Albee (Amerika) dan Fernando Arrabal
(Spanyol). Perancis merupakan pusat perkembangan teater Absurd melalui Ionesco,
Adamov, Arrabal dan Beckett pada pertengahan abad dua puluh.
Teater Alienasi


Perbedaan yang sangat gamblang dari teater Absurd adalah Teater Alienasi.
Teater “Epik” Alienasi memusatkan perhatian pembicaraannya secara sosial pada
kemampuan manusia untuk mengembangkan dan kemampuannya untuk
mempengaruhi perubahan sosial.
 Teater Alienasi berangkat dari pemikiran cerdas seorang dramawan dan sutradara
Jerman bernama Bertolt Brecht (1896-1856). Pengaruh yang ditimbulkannya dapat
diamati dari dua pandangan, yakni (1) Brecht memperkenalkan teater secara praksis
(dalam perilaku manusia secara sosial), paling tidak terlihat dipermukaan; (2) Brecht
memiliki keahlian dalam menyegarkan teater dengan kemanusiaan yang kasar melalui
penyadaran kembali kepekaan rasa sosial manusia dan kesadarannya terhadap
kemampuan teater untuk membentuk isu dan peristiwa publik.
52

Teater Brecht menggambarkan bunga rampai konvensi teater, disatu sisi berasal dari
dunia purba, disisi lain dari drama Barat, dan yang lain berasal dari gerakan
Ekspresionis Jerman yang pernah menjadi bagian dari permainan Brecht sendiri pada
awal-awal karyanya
 Topeng, nyanyian, syair, dekorasi yang asing dan unik, satire, dan ucapan langsung
merupakan dasar konvensi Brecht yang dicangkok dari bentuk teater lainnya. Dia
membangun banyak konvensi, yakni pancaran cahaya-lentera, menyusun
penyutradaraan dengan percakapan kesamping dan (pembacaan) doa agar penonton
menemukan diri mereka untuk membangun kerangka pemikiran yang objektif,
membuat keragaman prosedur pada teknik demistifikasi teater, guna menghindari
kebingungan penonton (misalnya, menurunkan pencahayaan agar pipa dan api dapat
terlihat) menjadi ciri teater Brecht.
 Brecht berusaha untuk mencegah penonton dari penghapusan keselarasan emosi,
luluhnya kepekaan perasaan, tujuannya adalah menjaga penonton ”terasingkan” atau
”terpisahkan” dari penggambaran peristiwa yang harfiah oleh drama agar bebas untuk
memperhatikan permasalahan sosial dan politik yang diturunkan dan direfleksikan
drama. Brecht berusaha menciptakan perspektif baru sejarah manusia secara lebih
luas.
Supra-Realisme


Pura-pura atau seolah-olah realistik, tetapi sebenarnya ditutupi dengan
ketidakjelasan dan simbolisme dongeng
Sam Shepard seorang aktor-pengarang Garda Depan Amerika 1960-an-1970-an
dengan lakon Buried Child, The Tooth of Crime, Operation Sidewinder, Angel City,
dan Curse of the Starving Class mencirikan teaternya pada Supra-realisme
Ringkasan
Teater Absurd menemukan jati dirinya sebagai teater yang membangun kesia-siaan,
keputusasaan maupun kegagalan rasionalitas manusia dalam memecahkan permasalahan
kehidupan. Sehingga, tidak mengherankan bila ketika membaca drama dan menyaksikan
teater absurd, penonton merasakan sesuatu yang bertele-tele, membingungkan, dan
bahkan ketidaksinambungan dramatiknya. Brecht dan Ionesco menjadi contoh yang
sangat kuat dalam perkembangan teater Absurd ini.
Teater Alienasi, khususnya teater Epik memecahkan persoalan tersebut dengan
mendekatkan penontonnya pada persoalan sosial dan politik secara praksis. Brecht
menjadi pusat perkembangan teater Alienasi, dan mempengaruhi pula pemikiran
komunikasi teater yang berkembang sebelumnya. Brecht bahkan mengubah banyak
pandangan tentang teater pada umumnya.
53
Topik Diskusi
1. Apakah yang anda pahami tentang teater Absurd?
2. Apakah yang anda pahami tentang teater Alienasi, dan teater Epik?
3. Apakah yang anda pahami tentang Supra-realisme?
4. Apakah yang menyebabkan teater Absurd dan Alienasi itu menjadi berbeda?
5. Cobalah cari di lingkungan anda teater Absurd, teater Alienasi, dan teater
Supra-realisme, dan jelaskan mengapa teater tersebut ada atau tidak ada di
lingkungan anda!
54
Pertemuan ke 14
TEATER DAN KEBUDAYAAN






Teater dipandang sebagai salah satu seni yang memiliki banyak kemungkinan
melakukan protes atau perlawanan terhadap kekuasaan atau rezim yang menjalani
suatu pemerintahan. Pandangan ini tidak sepenuhnya benar, bila teater dipandang
sebagai manifestasi kehidupan yang nyata dihadapi oleh setiap umat manusia.
Bagaimanapun juga, masih banyak bidang kehidupan lain dapat melakukan protes
atau perlawanan yang lebih signifikan, sebut saja misalnya, partai politik dan
demonstrasi mahasiswa, LSM dan buruh. Namun demikian, pandangan yang
menempatkan teater lebih aktif dalam mengeksplorasi sisi kekuasaan tersebut, tidak
dapat dipungkiri begitu saja. Untuk itu, diperlukan suatu penjelasan yang lebih
konkrit tentang bagaimana teater tersebut sesungguhnya dalam melakukan
eksplorasi-eksplorasi yang bertitik tolak dari penanaman kehidupan manusia yang
berkorelasi dengan kebudayaan sebagai wacana pendidikan yang paling dominan.
Teater memang memiliki “alat” yang paling konkrit berupa pengucapan langsung
terhadap suatu peristiwa atau kejadian. Pengucapan tersebut bisa secara verbal
maupun non verbal disampaikan kepada publiknya. “Alat” teater tersebut
sepertinya tidak terbatas dalam penggunaannya. Sehingga, teater --tidak berlebihan
bila dianggap lebih memiliki peluang produktif menciptakan perubahan dalam
kehidupan sosial maupun kebudayaan. Teater dan Kebudayaan merupakan satu
ikatan yang tak terpisahkan, karena teater lahir dari suatu cara hidup yang dibangun
oleh masyarakat atau manusia pencipta kebudayaan itu sendiri.
Di banyak negara-negara dunia ketiga, teater masih menempatkan posisi yang tidak
”menguntungkan” dari segi pandangan politik. Teater seolah-olah ”barang haram”
atau suatu aktivitas individu maupun kelompok yang dapat menggangu tatanan
sosial maupun kebudayaan tertentu yang telah ditanamkan pada suatu masyarakat.
Era pemerintahan Orde Baru di Indonesia misalnya, telah terbukti bagaimana teater
dilarang pertunjukannya atau dilarang sosialisasinya, karena terdapat kata-kata
maupun tema serta gerak geriknya yang mengindikasikan perlawanan terhadap
kekuasaan yang sedang bertahta. Kita masih ingat bagaimana Opera Kecoa dari
Teater Koma Jakarta yang dipertunjukkan di Graha Bhakti Budyaa Taman Ismail
Marzuki (TIM) Jakarta di segel oleh pihak berwajib, karena di anggap
mengespresikan situasi kekuasaan yang sedang berlangsung. Begitu pula dengan
pertunjukan teater Marsinah Menggugat yang digelar oleh teater yang didalamnya
terdiri dari para buruh di Gelanggang Remaja Bulungan Jakarta.
Bahkan di Kuba, seluruh penonton pertunjukan teater yang sedang asyik
menyaksikan pertunjukan, di giring ke dalam sejumlah kendaraan terbuka untuk
kemudian dijebloskan ke dalam penjara tanpa melalui proses hukum yang berlaku.
Pertunjukan teater pada saat-saat tertentu memang sedemikian rumit untuk
diselenggarakan. Begitu pula dengan diskusi-diskusi yang membicarakan atau yang
melakukan kajian terhadap teater. Maka, tidaklah mengherankan bila pertunjukan
55






dan diskusi buku-buku tentang teater --juga disiplin ilmu lainnya, nyaris tidak
menyentuh kenyataan kemanusiaan atau kehidupan yang ada.
Bentuk-bentuk penyaringan terhadap semua aktivitas tersebut sudah sangat ketat,
dan akhirnya ”membunuh” kehidupan teater. Hingga saat ini, hal semacam itu masih
saja menghantui, meskipun dalam bentuk yang lain. Yakni, lahirnya manusiamanusia yang berpikiran sempit, dan memandang sebelah mata terhadap teater.
Pandangan yang sempit dan melakukan pengkotak-kotakan terhadap dunia kesenian
pada umumnya, dan teater khususnya telah pula menghambat terjalinnya sinergi
antara satu kesenian dengan kesenian lainnya. Misalnya, antara tari dan teater,
antara seni rupa dan teater, antara musik dan teater, dan seterusnya.
Padahal, apa yang sesungguhnya terjadi tidaklah demikian. Paling tidak, seperti yang
dikemukakan oleh James Roose-Evans dalam bukunya Theatre Experimental, from
Stanislavsky to Peter Brook (1989: 91-100), bahwa tari modern yang dibangun oleh
Martha Graham dan Alwin Nokolais memberikan kontribusi yang besar terhadap
teater. Pengakuan semacam ini sangat banyak muncul dalam dekade lima puluhan,
seiring dengan semakin terbukanya kreativitas seni dalam melakukan berbagai
eksplorasi. Keterbukaan eksplorasi tersebut juga dimungkinkan oleh semakin
jenuhnya para pelaku seni dalam pengkotak-kotakan seni.
Dalam teater sendiri, pencipta ide ”Teater Miskin” Jerzy Grotowski misalnya,
menolak bahwa teater merupakan kumpulan dari sejumlah disiplin, seperti tari,
musik, seni rupa dan sastra. Namun demikian, pendapat bahwa teater merupakan
kumpulan dari berbagai disiplin ilmu masih sangat kental dalam pendidikan seni
maupun dalam aktivitas seni pada masyarakat kita.
Antonin Artaud yang menggagas ”Teater Kacau” (Theatre of Cruelty) dalam bukunya
The Theatre and Its Double (1958:7-13) misalnya, menegaskan bahwa persoalan
teater sekarang ini berhadapan dengan persoalan kebudayaan manusia-manusia
yang lapar. Jadi, teater sejenak harus ditinggalkan karena manusia masih
membutuhkan makan ketimbang terlibat dalam teater. Begitu pula dengan
kebudayaan. Dalam dunia yang lapar, perhatian dan usaha-usaha membangun
kebudayaan sejenak menjadi tidak penting.
Persoalan-persoalan kemasyarakatan dan upaya membangun perekonomian yang
maju menjadi prioritas utama. Untuk itu, kita tidak perlu heran bila pemerintah
Indonesia misalnya, menempatkan kesenian pada umumnya, dan teater khususnya
pada prioritas yang paling bawah. Bahkan, terhadap dunia pendidikan pun, prioritas
utama tidak diberikan. Di satu sisi, barangkali ada benarnya. Bagaimana mungkin
manusia dapat menikmati kesenian bila perut mereka kosong dan tidak mampu
melakukan pencerapan yang memadai. Namun di sisi lain, asumsi ini harus
dipertimbangkan lagi, karena kesenian bukan persoalan mengisi perut, tetapi
merupakan permasalahan besar umat manusia dalam membangun tatanan
kehidupan yang mereka jalani di dunia. Teater merupakan investasi kebudayaan
dengan membangun spirit kehidupan, bukan persoalan mengisi perut, tetapi
persoalan mempertimbangkan secara bijaksana tatanan kehidupan manusia yang
seharusnya di tempuh dan di bangun dalam seluruh tatanan kehidupan yang ada.
Kehidupan manusia memiliki unsur pembangun yang sangat kompleks. Mulai dari
kemampuannya berbicara, berilmu pengetahuan, moral, etika hingga
keberadaannya sebagai pemimpin di muka bumi. Oleh karena itu, diperlukan media
56
yang memadai untuk membuka jalan bagi terselenggaranya unsur-unsur pembangun
bagi manusia. Salah satunya adalah kesenian, dan lebih spesifik lagi adalah teater.
Teater dalam Kehidupan
 Teater bukan hanya suatu pertunjukan. Ia adalah kehidupan itu sendiri. Secara
spesifik teater bukanlah semata-mata peniruan ataupun cermin, tetapi ia adalah
kehidupan yang dijalani umat manusia dalam memahami dan menjalani segala
perbuatan yang dilakukannya di bumi.
 Pada awal dipahaminya teater, yakni dari bangsa primitif yang melakukan perburuan
dan anak-anak yang bermain “mama-papa” serta upacara-upacara ritual bangsabangsa yang lahir paling awal di dunia, semua itu menunjukkan satu hal, bahwa
semua yang terjadi itu berangkat dari apa yang terjadi dalam kehidupan, biasa
realistik --yakni, yang berangkat dari kehidupan sehari-hari, maupun yang non
realitisk --yakni, yang merupakan imajinasi manusia dalam memandang kehidupan
tersebut.
 Memang, semua teater berangkat dari kehidupan yang dihadapi oleh para
pelakunya. Tetapi, tidak semua teater memahami betul bagaimana mereka
seharusnya memasuki kehidupan tersebut. Karena kehidupan yang dimasuki
tersebut juga tidak dapat menghindarkan diri dari persoalan-persoalan di mana
mereka harus menempatkan matra kebudayaannya sebagai bagian penting dalam
memasuki teater. Teater-teater di dunia memiliki jalan sejarah yang berbeda-beda.
Jalan sejarah tersebut bukan saja melahirkan isme-isme teater, tetapi juga
melahirkan ideologi-ideologi baru dalam memahami kehidupan. Seperti munculnya
teater modern yang berangkat dari tiga aspek penting, yakni politik, sosial, dan
revolusi pemikiran (Cohen: 173). Dari ketiga aspek itu pun dapat dibedakan lagi
dengan beberapa aspek yang menunjang pemahaman kehidupan atas dasar
kebudayaan yang dibangun oleh berbagai bangsa.
 Di Jerman, awal kebangkitan teater modern yang dipelopori dengan munculnya
konsep dramaturgis “Strum und Drung” oleh Goethe dan Schiller merupakan sebuah
bagian dari perlawanan kedua dramawan dan penyair ini terhadap kekuatan
borjuasi yang sedemikian rupa menguasai tatanan pemikiran masyarakat Jerman,
seiring dengan lahirnya gerakan Romantisme. Lain lagi dengan pelopor teater
Realisme seperti pengarang dan penyair Norwegia Hendrik Ibsen yang menghadapi
kebobrokan moral masyarakat hingga pelecehan seksual kalangan petinggi kerajaan
atau kalangan bangsawan.
 Perkembangan yang sedemikian pesat dalam teater modern dengan munculnya
gerakan simbolisasi yang merupakan bagian dari bergeloranya stilisasi dalam teater,
pandangan kehidupan semakin menajam dan memperlihatkan bagaimana teater
sangat peduli pada pertumbuhan tatanan kebudayaan di tengah-tengah masyarakat.
 Penolakan terhadap teater realistik yang hanya berbicara gambaran kehidupan
nyata tanpa memberikan kesempatan konstruksi imajinatif manusia, membuat
kalangan simbolis dengan sejumlah gerakannya, seperti Eksprsionisme.
Teaterikalisme, Drama Eksistensialisme, Teater Absurd, Teater Alienasi, Komedi
57
Kontemporer Manner, maupun Supra-realisme, merasakan betapa kehidupan
berkemungkinan mengalami penyempitan.
 Penyempitan kehidupan itu hanya akan membuat manusia menjadi makhluk yang
patuh tanpa sebab, atau membisu seribu bahasa, ketika tantangan kehidupan
mengalir di depan mata.
 Persoalan-persoalan seperti kegagalan komunikasi antar manusia, kesia-siaan
manusia dalam memahami kehidupan serta ketidakberdayaan manusia dalam
menghadapi gencarnya teknologi terapan yang mengantar manusia pada kenisbian
identitas kemanusiaan membuat banyak kalangan teater harus mengoreksi kembali
perlakuan mereka terhadap naskah lakon dan posisi mereka dalam menentukan
berlangsungnya proses berteater.
 Teater bukan lagi sebuah kenyataan dalam kehidupan, tetapi merupakan prosesdengan-kehidupan itu sendiri. Hal ini artinya, bahwa teater tidak berbicara tentang
kehidupan semata, tetapi bersama-sama dengan kehidupan itu meletakkan
kerangka perjalanan kehidupan yang harus dijalani manusia.
Kebudayaan sebagai wacana Pendidikan
 Louis Leahy (1993:218) menegaskan bahwa kebudayaan bukanlah suatu data
kodrati yang diwariskan, maka kebudayaan harus didapatkan dan di raih oleh
tiap manusia yang sedang berkembang, melalui suatu proses perkembangan
yang mempunyai prinsip batin di dalam intelegensi dan kebebasan tiap pribadi;
itulah perolehan yang terkandung di dalam lingkungan sosial. Dengan demikian,
maka lingkungan sosial bukan sesuatu yang terlahir begitu saja, tetapi harus dari
proses yang juga panjang dalam membangun kebudayaan manusia.
 Dalam cara hidup teater pun terlihat bagaimana segala daya upaya
ditumbuhkan dalam melahirkan segala aspek yang memungkinkan manusia
melakukan tindakan eksploratif terhadap perjalanan kehidupannya.
 Di dalam diri manusia terkandung semangat maupun motivasi mendirikan
keinginan-keinginan maupun kehendak untuk berbuat. Dari sini proses
semacam ini dapat memunculkan inti sari pandangan atau pemikiran dari
manusia tersebut dalam mendapatkan apa yang diinginkannya. Tingkat
pemikiran yang filosofis atau tingkat dimana manusia melakukan pencapaian
kedalaman terhadap kebijakannya menentukan pilihan terbaik dalam hidupnya,
akan mampu memberikan arah atau jalan bagi penentuan sikapnya dalam
memandang kebudayaan yang dihidupinya.
 Lebih lanjut Lois Leahy (1993:219) menegaskan bahwa sinar visi filsafat
memungkinkan kita menyaksikan empat faktor yang sama dengan faktor-faktor
pendidikan lestari, yakni (1) suatu proses yang terurai dalam waktu dan ruang,
(2) suatu proses yang mengarah pada pengembangan seluruh potensi pribadi
manusia yang konkret, (3) suatu proses yang dipandu oleh pencarian koherensi
dan keseimbangan, (4) suatu proses yang ditentukan, atau lebih tepatnya,
dijiwai oleh otodidaksi (pengajaran itu sendiri). Pemaknaan keempat faktor ini
sangat menekankan adanya suatu penggalian dari manusia itu sendiri terhadap
dirinya yang memiliki banyak kemungkinan dalam menemukan berbagai hal
58






yang ditemukannya dalam kehidupan. Hal ini sangat berarti dalam
menumbuhkan maupun melahirkan khazanah pendidikan itu sendiri dalam
dirinya.
Secara spesifik Leahy menegaskan pada faktor keduanya, bahwa ”kebudayaan
tidak terbatas pada dimensi kognitif pribadi manusia”. Pengetahuan saja tidak
cukup meskipun pengetahuan adalah suatu bagian integral dan mutlak perlu
dalam kebudayaan, dalam mewujudkan kebudayaan manusia. Oleh karena itu,
pengembangan budaya harus menghormati sifat multidimensi kepribadian
manusia, keutuhannya dalam hal raga, intelek, afeksi dan etis”.
Teater pada masa-masa klasik hingga munculnya modernisme masih bertitik
tolak pada prinsip kebudayaan yang hanya bertumpu pada hal-hal baku dalam
pemikiran manusia. Bahkan, seolah-olah pemikiran manusia telah berhenti
ketika titah sang dewa dikumandangkan, atau tatanan sosial tercipta oleh kaum
borjuasi. Pemberontakan kaum Romantik yang dipelopori oleh Wolfgang von
Goethe misalnya, tidak mampu menyelaraskan tatanan sosial Jerman dalam
memerangi sikap tunduk dan cenderung membabi-buta terhadap borjuasi.
Perasaan dan pendirian kemanusiaan benar-benar tersingkirkan hanya untuk
mempertahankan kekuasaan maupun untuk sekedar mempertahankan
kehidupan. Masa-masa perbudakan terhadap segala aspek kehidupan tersebut -baik dari segi intelektual, birokrasi hingga cara hidup di dalam rumah tangga,
sangat memprihatinkan.
Babak baru dalam memandang kebudayaan di teater baru tumbuh di abad dua
puluh, tepatnya di pertengahan abad dua puluh yang ditandai dengan lahirnya
drama-drama Absurd dan munculnya seni eksperimenal. Apa yang dilakukan
Antonin Artaud atau kemudian dikenal dengan metode Artaudian, mulai
memenuhi pemikiran teater yang hendak mengubah kedudukan manusia yang
telah mengalami perbudakan panjang sejarah teater dan sejarah pemikiran
manusia.
Artaud misalnya, melihat posisi seorang sutradara justru sebagai tirani dari
aktor. Begitu pula teks lakon yang hanya dihafalkan oleh aktor untuk kemudian
dipertontonkan pada publik. Ini merupakan persoalan kebudayaan yang
mendasar dalam teater, ketika persoalan kemanusiaan harus menjadi pilihan
dalam pemanusiaan teater.
Dalam pergerakan teater-teater di Indonesia terlihat jelas bagaimana para
pelakunya sangat menghormati dirinya ”diperbudak” oleh kenyataan teater
yang di pandang sebagai suatu pelaksanaan metode menjelaskan, atau lebih
jauh mengajari atau menuntun orang lain menuju suatu perilaku yang lebih
baik. Teater merupakan tontonan dan tuntutan telah menjadi bahasa penting
dalam eksplorasi teater di Indonesia.
Namun demikian, satu hal yang kurang disadari bahwa dalam teater-teater
pasca-modern, atau ketika teater absurd mulai mempertegas posisi menjadi
teater yang melihat kegagalan manusia dalam menggunakan logika kehidupan
sehari-hari atau kesia-siaan manusia dalam memahami kehidupannya, maka
teater bukan lagi sebagai tontonan dan tuntunan. tetapi, lebih jauh sebagai
wacana pendidikan. Wacana pendidikan disini berarti bahwa teater
menghindarkan diri berposisi sebagai pihak yang paling benar. Teater bukan
59


dewa atau tuhan baru yang dapat menyelesaikan seluruh persoalan manusia.
Teater hanya bagian kecil saja dalam memecahkan atau membangkitkan
kesadaran manusia dalam memandang kehidupan yang menurut manusia itu
sendiri dilakukan sebagai seharusnya ia menghadapinya.
Konsekuensi logis dari hal posisi teater yang demikian adalah tuntutan bagi
manusia, atau pelaku teater dengan seluruh pihak yang terlibat didalamnya -termasuk penonton, untuk tidak menyerahkan dirinya kepada kenyataan yang
tidak memiliki ikatan dan entitas kebudayaan dalam dirinya. Pengertian
kebudayaan disini dapat merupakan rangkaian kesejarahan dari manusia itu
sendiri, atau para pelaku dan pihak yang terlibat dalam teater. Karena, melalui
pengenalan terhadap kesejarahan hidupnyalah, manusia dapat membangun
kebudayaannya, sekaligus membangun teaternya.
Atmosfir pendidikan yang lahir dalam hubungan teater dan kebudayaan,
kemudian menimbulkan sikap dan pandangan kesetaraan. Seorang koreografer
Jepang bernama Keiko Takeya yang pernah melakukan kerjasama dan membuat
karya kolaborasi dengan sutradara teater Jepang, penari Thailand dan pemusik
Indonesia mengingatkan bahwa kesetaraan hubungan di dalam kerja teater itu
akan lebih memberikan pendidikan yang kondusif. Hubungan aktor dan
sutradara bukan hubungan guru dan murid, tetapi hubungan antar manusia.
Semua pihak yang terlibat dalam suatu kerja teater harus mampu melepaskan
dirinya dari ikatan primordial, struktural dan kebangsaan. Teater harus lahir dari
seluruh jiwa dan raga manusia yang berada dalam posisi kebudayaan yang
sama, yakni kebudayaan manusia.
Sumber:
Autar Abdillah, Jurnal Padma, Perdana tahun I September 2002, hal. 45-51
Ringkasan
Teater tumbuh dengan korelasi kebudayaan yang luas. Namun demikian, kesadaran
masyarakat tidaklah selalu sejalan dengan korelasi kebudayaan yang hidup bersama
dirinya. Disinilah posisi sutradara sangat menentukan dalam membuat berbagai pilihan
kreatifnya.
Topik Diskusi
1.
2.
Bagaimana menurut pendapat anda hubungan teater dengan kebudayaan?
3.
Apakah anda percaya, bahwa teater di Indonesia menyepakati dirinya
diperbudak oleh drama? Dan, apa yang dimaksudkan Artaud, bahwa sutradara
merupakan tirani dalam teater. Jelaskan pendapat anda
Bagaimana bila teater tidak sejalan atau tidak berkorelasi dengan masyarakat
yang membangun kebudayaannya. Jelaskan pendapat anda
60
Pertemuan ke 15
TEATER KONTEKSTUAL
SEBUAH CATATAN UNTUK TEATER INDONESIA





Di atas panggung, kita menyaksikan seorang perempuan berusia belasan tahun yang
merupakan salah seorang siswa SMU di Jawa Timur, bersama dua temannya
menampilkan sebuah adegan yang memperlihatkan kepada penonton, bahwa
diantara mereka sedang terjadi pembicaraan yang tidak terlalu serius. Mereka
bermain kartu di sebuah pos ronda. Perempuan A, tiba-tiba mendengar suara Azan
(panggilan sembahyang untuk pemeluk agama Islam). Perempuan A ini, dengan
sedikit sempoyongan sambil memegang botol yang mirip botol minum keras,
bertanya, “suara apa itu?”. Perempuan B menjawab, “itu suara azan”. Perempuan A
menjawab, “Azan?”. “Apa itu azan?”. Perempuan C menjelaskan apa yang
dimaksud dengan azan. Perempuan A, kembali mempertanyakan, “Azan itu apa?”.
Dialog dalam adegan sebuah pertunjukan teater diatas, hendak menegaskan adanya
seseorang yang tidak mengetahui apa itu azan. Sepintas, kita tentu bisa memahami,
bahwa ada orang yang tidak tahu Azan itu merupakan kata yang memiliki makna
penting dalam panggilan sembahyang umat Islam. Namun demikian, apakah kita
bisa memahami, untuk seorang yang sudah berusia belasan tahun, hidup dalam
perilaku manusia Indonesia, tidak mengenal azan. Dalam keadaan tidak sadar
bagaimanapun, selagi kita masih bisa mengenal orang-orang di sekeliling kita,
kalimat-kalimat yang dikumandangkan seorang Mu’azzim itu, sangat mudah untuk
dipahami.
Seorang pengarang dalam cerita ini, tentu tidak bermaksud untuk menunjukkan
kepada kita, bahwa seorang wanita berusia belasan tahun itu tidak mengenal azan,
tetapi pengarang drama ini hendak menunjukkan kepada kita, bahwa ada salah
seorang warga yang memiliki moralitas tertentu yang tidak peduli dengan adanya
suara azan tersebut. Sebagai pembaca maupun penonton kita memahami apa yang
terjadi. Tetapi, apakah kita bisa memahami cerita ini, bila kita menghubungkan
konteks cerita dengan konteks pelakunya (remaja berusia belasan tahun dan tinggal
di Indonesia). Inilah persoalan kita yang pertama, yakni hubungan konteks cerita
dengan konteks pelaku.
Dalam teater-teater yang menggunakan naskah drama sebagai sumber
pertunjukannya, memang terjadi semacam dilema dalam menghubungkan konteks
cerita atau drama dengan pelakunya. Seorang anak berusia lima tahun di Taman
Kanak-kanak, memerankan seorang Bapak atau Ibu yang terjadi dalam lingkungan
mereka. Kita juga bisa menemukan seorang anak sekolah yang memerankan kakek
atau nenek, seorang pemabuk, seorang pahlawan perang dan sebagainya. Semua
peran-peran itu, bukanlah diri mereka yang sebenarnya, tetapi diri atau pengalaman
orang lain yang ditirukan atau dicoba untuk dijelmakan kembali menjadi seorang
tokoh atau peran, berdasarkan sebuah naskah drama. Meskipun peran itu dapat
disaksikan dalam kehidupan sehari-hari, tetap saja peran itu bukan diri dan
pengalaman mereka dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi, semua itu dapat dilakukan
dan terjadi ratusan, bahkan ribuan tahun lamanya.
Cara berteater yang sudah mengakar ratusan hingga ribuan tahun itu, sangat mudah
dipahami, dan menjadi cara berteater kita yang sangat umum dan lazim, serta
61




mendapat sambutan yang luas dari masyarakat. Bahkan, jika berteater bukan dengan
cara seperti itu, dianggap bukan teater yang sesungguhnya, tetapi eksplorasi gerak,
mini kata, “teater murni”, “teater total”, dan sebagainya. Inilah persoalan kita kedua,
yakni kebiasaan masyarakat dalam memandang dan memperlakukan teater dengan
peniruan pengalaman yang berada diluar diri mereka sendiri.
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat penonton. Dalam konteks ini muncul
anggapan, bahwa tontonan itu adalah tuntunan. Tontonan atau pertunjukan teater
diletakkan dalam konteks untuk mendapatkan “pelajaran”, “ajaran”, “pendidikan”,
maupun “pengarahan” melalui suatu instrumen yang bernama pesan. Teater dituntut
untuk dapat memunculkan pesan tertentu, dan penonton akan memberikan
pertimbangan atas pesan tersebut. Pemusatan pada pesan ini melahirkan suatu teater
dengan konklusi “hitam-putih”, “baik-buruk”, atau “kebaikan melawan kejahatan”.
Akibatnya, penonton tidak memiliki kesempatan untuk membangun konteks
pertunjukan atas nama dirinya sendiri. Inilah persoalan kita ketiga, yakni
kesempatan penonton untuk menemukan sendiri konteks pertunjukan teater dengan
konteks kehidupan sehari-hari mereka.
Dari ketiga persoalan tersebut, marilah kita coba lihat sebuah pertunjukan lain di
Gelanggang Olahraga Bulungan Jakarta Selatan, beberapa tahun yang lalu. Sebuah
panggung dipenuhi oleh balon-balon warna warni. Sejumlah orang menggunakan
pakaian pesta. Di tengah panggung terdapat sebuah kue tart, lengkap dengan lilin
dan pemotong kue, serta minuman. Salah seorang dari kerumunan orang yang
berada di situ –ada yang duduk dan berdiri, menyatakan selamat datang di pesta
ulang tahun yang diperingatinya. Suasana ulang tahun pun terjadi. Semua orang
merasakan, bahwa dirinya sedang ikut merayakan ulang tahun. Antara penonton dan
pemain tidak ada pemisahan yang tegas. Penonton bahkan punya hak bicara, karena
dalam pertunjukan tersebut, penonton memang adalah undangan dari yang sedang
berulang tahun.
Ilustrasi pertunjukan di atas, mencoba memecahkan tiga persoalan kita sebelumnya.
Pertanyaan kita, apakah pertunjukan teater semacam ini yang disebut “Teater
Kontekstual?”. Jika kita membuka kamus maupun indeks tentang teater, maka
hampir pasti kita tidak menemukan istilah yang aneh ini. Dalam arsitektur, kita
mengenal kontekstualisme, yaitu sebuah gerakan yang menekankan pengabaian
terhadap arsitektur modern untuk memahami dan menanggapi konteks fisik sebuah
bangunan (steven Connor, 1989: 73). Apakah kita bisa menariknya dalam
pembicaraan tentang “Teater Kontekstual”? Tentu saja tidak, karena terdapat
perbedaan signifikan antara pengertian “kontekstualisme” dengan realitas teater itu
sendiri.
Dalam teater ada suatu contoh tentang Teater of fact, yaitu teater yang mencoba
untuk menggambarkan peristiwa yang sedang aktual dengan pertunujukan yang
otentik, dan berkembang di Amerika sekitar 1930-an, misalnya lakon The Deputy,
dan The Investigation (Edwin Wilson, 1998: 450). Medua massa –terutama surat
kabar, menjadi sumber penggalian mereka. Teater ini memang mencoba untuk
membangun konteks cerita dengan konteks kehidupan masyarakat, terutama dari
pergumulan informasi yang sedang berkembang. Metode semacam ini cukup
banyak kita temukan dalam teater-teater di Indonesia, seperti yang dilakukan Teater
Gandrik, Teater Koma, maupun Teater Mandiri. Isu-isu aktual dikemas dalam
bentuk teater. Dan, ternyata juga mampu menarik minat masyarakat. Apakah teater
62



semacam ini dapat kita sebut teater “kontekstual”? Tentu juga tidak, karena konteks
dibangun atas dasar peristiwa di luar diri pelaku dalam teater tersebut.
Untuk mendapatkan jawabannya, saya ingin mengajak kita semua untuk
memasukinya lewat sebuah pendekatan pembelajaran yang kini mulai digunakan
dalam dunia pendidikan kita, yaitu Contextual Teaching and Learning (CTL).
Sedikitnya terdapat lima unsur yang mendukung terciptanya “Teater Kontekstual”
dengan memahami terlebih dahulu prinsip konstruktivistik, yakni terjadinya
pengaktifan pengerahuan yang sudah dimiliki, muncul dan didapatkannya
pengetahuan baru, terjadinya pemahaman terhadap suatu pengetahuan, dapat
dipraktekkannya pengetahuan dan pengalaman yang didapatkan, serta dapat
melakukan refleksi terhadap strategi pengembangan pengetahuan tersebut
(dimodifikasi dari pandangan John A. Zahorik (1995: 14-22).
Disamping itu, teater “Kontekstual” juga menimbulkan rasa ingin tahu dengan
menstimulasi berbagai pertanyaan yang konstruktif, membangun penemuan pada
diri penonton, membangun siklus komunal, menampilkan bentuk-bentuk sebagai
model penandaan, dan melahirkan “penilaian” yang sesungguhnya datang dari
penonton. Dalam prinsip teori “Membaca dan Menyaksikan”, kita mengenal pula
teori “Pembaca-Penanggap” (Susan Bennett, 1997: 20-85). Prinsip utamanya adalah
titik utama membaca lakon maupun menyaksikan pertunjukan adalah penemuan
sendiri oleh pembaca maupun penonton terhadap konteks keberadaan (sosial,
psikologis, fisik, kebudayaan, ekonomi, ideologi) dirinya, ketika menghadapi
penandaan estetik atau karya-karya seni.
Akhirnya, saya mencoba merumuskan apa yang kita bicarakan tentang “Teater
Kontekstual” (untuk sementara), meminjam pernyataan Peter Brook, “individu
mempersembahkan kebenaran mereka yang paling mempribadi kepada individu
lain… membagi pengalaman kolektif bersama mereka”, dan “pengalaman pribadi
berhenti menjadi tujuan, dan kita mengarah pada penemuan bersama” (Shomit
Mitter, 2002, 157). Teater Kontekstual mengandaikan adanya suatu penjelajahan
yang berdasarkan kehidupan masing-masing individu, dan menemukan konteksnya
dalam kebersamaan dengan individu lainnya. Apakah ada teater di Indonesia yang
bekerja dengan prinsip seperti ini? Apakah prinsip ini menjadi pilihan yang
mungkin untuk kita lakukan? Apakah manfaatnya bagi kita semua? Apakah cara
berteater yang lain tidak kontekstual, atau perlu berada dalam “jalur” teater
kontekstual? Masih banyak pertanyaan lagi yang mesti kita lontarkan pada “Teater
Kontekstual”.
Ringkasan
Teater Kontekstual juga menimbulkan rasa ingin tahu dengan menstimulasi berbagai
pertanyaan yang konstruktif, membangun penemuan pada diri penonton, membangun
siklus komunal, menampilkan bentuk-bentuk sebagai model penandaan, dan
melahirkan “penilaian” yang sesungguhnya datang dari penonton.
Topik Diskusi
1. Apakah yang anda pahami tentang teater kontekstual?
2. Jelaskan pendapat anda konteks kerja teater dengan lingkungannya.
3. Cobalah identifikasi teater yang berkiblat pada konteks publiknya
63
Daftar Pustaka
Bennett., Susan, 1997, Theatre Audience, London and New York: Routledge
Connor, Steven, 1989, Postmodernist Culture, An Introduction to Theories of the
Contemporary, Oxford and Cambridge: Basil Blackwell, Inc.
Mitter., Shomit, 2002, Sistem Pelatihan Stanislavsky, Brecht, Grotowski dan Brook,
penerjemah Yudi Aryani, Yogyakarta: MSPI dan arti
Wilson., Edwin, 1998, The Theatre Experience, New York: McGraw-Hill Book
Company.
Zahorik, John A., 1995, Constructivist Teaching (Fastback 390), Bloomington, Indiana:
Phi-Delta Kappa Educational Foundation.
64
Download