BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Usaha pembangunan negara atau pembangunan negara di Somalia sudah dilaksanakan sejak tahun 2000 berdasarkan Deklarasi Arta yang merumuskan pembentukan pemerintahan transisi. Namun, hal tesebut hanya bertahan sementara dikarenakan adanya perbedaan paham mengenai bentuk pemerintahan yang diinginkan komunitas internasional dengan pemimpin Somalia. Pertemuan diadakan kembali pada tahun 2004 dan menghasilkan Transitional Federal Charter, serta pemerintahan transisi baru di bawah pemerintahan Abdullahi Yusuf. Akhirnya pada tahun 2012 pemerintahan federasi Somalia terbentuk dengan mandat untuk melaksanakan pemilihan umum sebagai bentuk demokrasi. Selama masa transisi, pemerintahan sementara memperoleh bantuan ekonomi, politik, dan lain-lain dalam jumlah besar, sehingga menciptakan suatu pandangan bahwa pemerintahan tersebut adalah bentuk dominasi asing. Kemudian, kemunculan perlawanan-perlawanan baik dari kalangan militia seperti Al-Shabaab dan Islamic Court Union, serta warlord yang merasa tidak diikutsertakan dalam penentuan keputusan juga mewarnai masa transisi di Somalia. Meskipun masa transisi memakan waktu 12 tahun, bentuk nyata dari tindakan pembinadamai, belum secara langsung menyelesaikan akar masalah yang terjadi. Proses pembangunan negara untuk menciptakan keamanan muncul sebagai usaha sepihak demi mencapai hasil yang diinginkan sebagai bukti usaha keberhasilan binadamai. Pemerintah Somalia merencanakan pemilihan umum pada tahun 2016 sebagai bukti kemampuan mereka melaksanakan mandat yang diberikan sesuai agenda binadamai Somalia yang tertuang dalam Somalia Compact. Akan tetapi, ketergantungan pemerintah dengan bantuan asing, isu dalam negeri yang masih belum terselesaikan seperti kemiskinan, pergantian perdana menteri dalam waktu singkat akibat konflik internal dengan presiden, kasus perompak, serta perlawanan 1 yang mengancam pemerintahan menunjukkan suatu bentuk pemerintahan yang lemah dan ada pihak yang belum terpuaskan dalam proses binadamai di Somalia. Penelitian ini memfokuskan pada faktor harga adopsi demokrasi yaitu nilai yang harus dibayar baik secara politis maupun ekonomi agar pihak elit atau stakeholder negara objek binadamai bersedia untuk menerima demokrasi. Pembangunan negara memerlukan elit untuk menguatkan institusi dan juga untuk mengetahui bentuk seperti apa arah pembangunan negara yang perlu dilakukan, tidak serta-merta hanya disesuaikan dengan solusi internasional dalam konteks ini perdamaian liberal. Penelitian yang bertujuan untuk menguji konsep harga adopsi demokrasi ini memilih kasus Somalia didasarkan pada tiga hal yaitu: hingga saat ini belum ada penelitian secara eksplisit mengenai hubungan harga adospi dan demokrasi di Somalia, peran elit yang sangat kuat di Somalia, pemerintahan yang lemah serta kemunculan perlawanan mengenai arah dan bentuk pembangunan negaraSomalia, serta ada kecenderungan bahwa penyelesaian harga adopsi demokrasi belum sepenuhnya diperhatikan dalam proses pembangunan negara, atau dengan kata lain Somalia memenuhi kriteria yang diperlukan untuk menguji konsep tersebut. Penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan pentingnya penyelesaian harga adopsi dalam proses pembangunan negaradi Somalia untuk mencapai demokrasi. 1.2 PERUMUSAN MASALAH Penelitian ini memfokuskan pada tawar menawar harga adopsi demokrasi dalam usaha pembangunan negaradi Somalia untuk menjadi negara yang demokratis. Adapun rumusan problematika penelitian ini yaitu: Mengapa pembangunan negara di Somalia bisa gagal berbuah demokrasi? 1.3 TUJUAN PENELITIAN Menelaah penyebab kegagalan pembangunan negara demokrasi di Somalia menggunakan faktor harga adopsi demokrasi 2 mewujudkan 1.4 REVIU LITERATUR Persoalan binadamai di Somalia selalu menarik perhatian internasional, ada banyak tulisan maupun penelitian yang menganalisis kasus Somalia dalam konteks konflik dan binadamai. Akan tetapi, penelitian ini lebih banyak memfokuskan pada pembangunan negara danharga adopsi demokrasi. The Dilemmas of Statebuilding: Confronting the contradictions of postwar peace operation yang dieditori oleh Roland Paris dan Timothy D. Sisk, buku ini berisikan perihal pembangunan negarapasca konflik, kemudian kontrak yang menjelaskan hubungan antara pembinadamai dengan aktor lokal, dalam usaha untuk menjelaskan mengapa operasi binadamai akhirnya terjatuh dalam sebuah tujuan ambisius untuk menciptakan masyarakat yang baik. Studi kasus yang dikaji dalam buku ini meliputi Afghanistan dan Iraq. Isi buku ini menjelaskan beberapa dilema yang muncul dari pembangunan negara yang secara penuh dilakukan dan diasistensi oleh pihak asing seperti negara yang lemah akibat pembangunan negara eksternal, masalah koordinasi, intervensi asing yang terlalu jauh, ketergantungan negara pada pihak asing, serta pembangunan negara semu dengan hasil klientelisme dan rekanan yang melakukan politik semu. Penjelasan pembangunan negara dalam buku ini sudah jauh lebih komprehensif dengan berbagai dilema dalam prosesnya dan memberikan sudut pandang baru tentang peran aktor lokal meski tidak secara mendalam. Namun, faktor seperti negara tetangga dan hasil dari perang masih kurang dieksplor. Kekurangan lainnya meliputi negara seperti Somalia yang memiliki kecenderungan kasus seperti Afghanistan maupun Irak tidak diulas. Berbanding terbalik dengan isi buku sebelumnya, tulisan M. Anne Brown dan kawan-kawan dengan judul Challenging statebuilding as peacebuilding – working with hybrid political orders to build peace berisikan pembangunan negara sebagai bentuk strategi binadamai. Pembangunan negara dalam tulisan ini dianggap sesuatu yang terpusat pada elit dan mengabaikan konteks sosial. Faktorfaktor sosial yang dianggap mampu menyukseskan pembangunan negara berupa partisipasi masyarakat sipil dalam komunitas politik, pengakuan dari masyarakat 3 mengenai kelegitimasian sebuah institusi, serta tatanan politik yang berjalan di daerah objek binadamai. Tulisan ini secara singkat dan padat menjelaskan faktor sosial yang penting dalam proses pembangunan negara, tetapi lebih diarahkan pada peranan masyarakat sipil bukan dalam tatanan pemerintahan. Argumen dalam tulisan ini berusaha untuk memberikan alternatif pendekatan baru dalam pembangunan negara konvensional mengenai bentuk negara maupun kegiatan binadamai. Alternatif berupa tatanan politik hibrida merupakan konsep penggabungan model pemerintahan Barat dengan elemen pemerintahan dan tradisi masyarakat lokal serta dipengaruhi oleh globalisasi dan perbedaan asosiasi sosial, untuk menciptakan tatanan politik maupun institusi baru. Pendekatan yang ditawarkan dalam tulisan ini sangat menarik mengingat seringkali usaha pembangunan negara menggunakan konsep konvensional yang sama berdasarkan paham internasional tanpa memahami konteks pengaruh adat dan budaya lokal pada semua kasus, tetapi dalam kenyataan konsep ini masih sulit untuk diwujudkan dan sangat dipengaruhi oleh hubungan antara elit dan pembinadamais yang mengembalikan konsep pembangunan negarakembali kepada konsep konvensional. Lebih jauh lagi, karya Roland Paris yang berjudul At War’s End: Building Peace After Civil Conflict berisikan pendekatan alternatif terhadap binadamai dalam bentuk modifikasi Wilsonianism yang berargumen bahwa sebelum memperkenalkan demokrasi dalam bentuk pemilihan umum dan kebijakan penyesuaian berorientasi pasar, terlebih dahulu para pembinadamai harus membangun fondasi yang kuat dari institusi pemerintahan yang ada. Strategi yang diperkenalkan olehnya adalah Institutionalization Before Liberalizationatau Institusionalisasi Sebelum Liberalisasi(IBL). Ia berpendapat bahwa menyukseskan sebuah pemerintahan transisi menuju demokrasi diperlukan penguatan institusi terlebih dahulu untuk menyokong sistem tersebut setelah lepas dari asistensi pihak asing dan menjamin perdamaian hasil demokrasi dan liberalisasi dapat berkelanjutan. Dengan kata lain hal tersebut sama dengan pembangunan negara. Literatur ini menekankan pada aspek penguatan institusi 4 secara umum sebagai strategi pendekatan binadamai sebagai alternatif pendekatan dari binadamai generasi ketiga dalam menyoroti penyebab kelemahan sebuah sistem demokrasi setelah lepas dari asistensi asing. Dr. Abdullahi Barise dan Afyare Abdi Elmi menulis sebuah esai berjudul The Somali Conflict: Root causes, obstacles, and peacebuilding strategies yang berisikan akar masalah konflik di Somalia, faktor yang memperparah keadaan di sana, serta hambatan-hambatan yang menghadang proses perdamaian di Somalia, serta memberikan alternatif strategi binadamai untuk menciptakan perdamaian yang berkelanjutan di Somalia. Esai ini membahas faktor seperti warlord, Ethopia, keadilan dan rekonsiliasi yang berlangsung di Somalia, tetapi peneliti dalam esai ini memiliki sebuah keraguan terhadap legitimasi dan kemampuan dari pemerintahan parlimenter sekarang ini untuk menyelesaikan masalah yang ada. Kelebihan tulisan ini terletak pada banyaknya sudut pandang yang dipakai untuk sekilas menjelaskan masalah di Somalia, tetapi belum terperinci terutama untuk warlord, masih sebatas diasumsikan sebagai penghambat demokrasi belum menyentuh faktor yang melandasi perilaku warlord. Hasil studi literatur menunjukkan bahwa pembangunan negara serta demokrasi menjadi objek penting dalam operasi binadamai. Selain itu, untuk kasus Somalia, baik dari segi perjalanan proses perdamaian, maupun isu-isu dalam negeri, peran warlord menjadi sesuatu yang vital untuk menyukseskan demokratisasi dan perdamaian. Akan tetapi, penelitian yang secara rinci dan lengkap membahas hubungan antara harga adopsi demokrasidengan pembangunan negaraSomalia menuju demokratis hampir tidak ada. Literatur yang ada umumnya membahas Afghanistan, Namibia, Kosovo, dan Timor Leste, serta melakukan penyinggungan sekilas terhadap kasus Somalia. Oleh karena kurangnya penelitian dalam pendekatan harga adopsi demokrasi, maka penelitian ini membahas kasus pembangunan negaraSomalia menggunakan analisis berdasarkan pendekatan tersebut. 5 1.5 KONSEPTUALISASI Demokrasi Binadamai Pembangunan Negara Harga adopsi demokrasi Gambar 1.Grafik hubungan konsep penelitian Konsep utama yang digunakan untuk menjawab rumusan masalah penelitian ini adalah demokrasi, pembangunan negara dan harga adopsi demokrasi yang ketiganya masuk ke dalam konsep besar binadamai masa kini. Berdasarkan grafik di atas, binadamai menunjukkan sebuah konsep besar dalam transformasi konflik untuk menciptakan perdamaian yang berkelanjutan. Salah satu cara menciptakan perdamaian berkelanjutan adalah demokrasi atau dalam sebuah negara, pemerintahan yang demokratis. Membangun sebuah negara yang demokratis dilakukan dengan menggunakan strategi pembangunan negara atau pembangunan negara yaitu penguatan institusi negara. Akan tetapi, untuk membangun negara yang demokratis, usaha penguatan institusi saja tidaklah cukup, ada sebuah faktor penting turut berperan mempengaruhi elit negara yang tidak demokratis untuk menerima demokrasi, dinamakan harga adopsi demokrasi. Pada penelitian ini, hubungan antara pembangunan negara dengan harga adopsi demokrasi penting untuk ditelaah sebagai salah satu indikasi apakah demokrasi dapat tercipta ataupun tidak. Binadamai memiliki banyak pengertian dan strategi, secara umum binadamai dapat diartikan sebagai sebuah konsep yang memasukkan elemenelemen paralel dari resolusi konflik transformatif untuk mengatasi kekerasan struktural dan budaya, resolusi konflik untuk penyelesaian konflik 1 Adapun kegiatan seperti stabilisasi konflik, rekonstruksi, dan pembangunan negara 1 A.P. Williams & B. Mengistu, „An exploration of the limitations of the bureaucratic organization in implementing contemporary peacebuilding‟, Cooperation and Conflict, Vol. 50 (I), 2015, p. 5 6 dianggap sebagai sebuah tugas dalam binadamai. Prinsip-prinsip dalam binadamai secara umum meliputi: binadamai memerlukan pemahaman yang mendalam tentang perdamaian, binadamai memerlukan pemahaman signifikan tentang bagaimana keadaan berdasarkan perspektif masyarakat, binadamai secara fundamental merupakan sebuah relasi sehingga harus melibatkan seluruh aktor, implementasi binadamai harus adaptif secara lokal dan sensitif terhadap ketegangan dan dilema yang ada, target dan tugas dari misi binadamai harus disesuaikan dengan kebutuhan lokal, bukan prioritas lokal.2 1.5.1 Demokrasi Kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu „demos‟ yang berarti orang, dan „kratos‟ yang berarti power atau pemerintahan, sehingga demokrasi dapat didefinisikan sebagai pemerintahan oleh orang. Pada masa kini, demokrasi bukanlah sekedar institusi pemerintah yang khusus saja, tetapi lebih dalam lagi demokrasi melingkupi sebuah pemahaman mengenai nilai, perilaku, dan kegiatan yang terwujud dalam berbagai bentuk dan ekspresi antar budaya dan masyarakat yang berbeda di seluruh dunia. Demokrasi terdiri atas dua tipe yaitu demokrasi langsung dan demokrasi representatif. Demokrasi langsung merupakan demokrasi yang dilakukan oleh warga tanpa penunjukan pejabat, dalam membuat keputusan publik, sedangkan demokrasi representatif merupakan demokrasi berupa perwakilan dalam bentuk warga memilih pejabat untuk membuat keputusan politis, merancang hukum, dan mengelola program untuk kebaikan publik.3 Prinsip-prinsip pemerintahan demokratis kurang lebih meliputi: partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan; kesetaraan baik di hadapan hukum, memperoleh kesempatan bagi individual untuk mengaktualisasikan kapasitasnya tanpa memandang latar belakang dan asal usulnya; toleransi politis oleh pihak mayoritas terhadap pihak minoritas; akuntabilitas yang berarti orang-orang yang terpilih atau representatif harus menjawab masyarakat umum mengenai tindakan 2 Ibid, pp. 8-10 G. Okiror, Concepts and Principles of Democratic Governance and Accountability, Konrad Adenauer Stiftung, Uganda, 2011, p. 4 3 7 maupun keputusan yang mereka ambil semasa menjabat; transparansi yang mengizinkan publik untuk dapat mengetahui alasan dibalik tindakan representatif dalam segala kegiatan yang berhubungan dengan publik; pemilihan umum bebas dan adilyang dilakukan secara berkala; kebebasan ekonomi; kontrol terhadap penggunaan kekuasaan yang dilakukan dengan pembagian kekuasaan menjadi eksekutif, legislatif, dan yudikatif secara umum, atau bisa dengan pendirian institusi yang bertugas mengawasi pemerintah; bill of rights yang merupakan kontrol terhadap kekuasaan pemerintah untuk melindungi masyarakat dari pemimpin yang keras; pengakuan, pelaksanaan, dan perlindungan hak asasi manusia; sistem multipartai yang mewajibkan adanya beberapa partai politik yang berkompetisi untuk memperoleh kekuasaan; neutralitas institusi negara dengan tidak memihak sebuah partai tertentu ataupun badan tertentu; dan rule of law yang berarti hukum di atas segala-galanya, masyarakat wajib mematuhi hukum dan bersalah apabila melanggarnya.4 Dalam demokrasi, negosiasi dengan pihak elit merupakan isu umum dari proses demokratisasi, namum konsolidasi demokrasi lebih sulit dilakukan dikarenakan harus adanya peningkatan secara prinsipil komitmen seluruh elemen masyarakat pada aturan main demokrasi. 5 Pada masa konsolidasi demokrasi, sistem pada masa transisi yang demokratis akan dikuatkan, diinternalisasikan, dan diresmikan untuk mengurangi kemungkinan pembalikan demokratisasi. Pada masa kini aliran demokrasi yang banyak digunakan adalah demokrasi liberal yang menekankan pentingnya konstitusi untuk mengatur tatanan dan stabilitas negara, dengan kata lain pedoman bagi negara maupun masyarakat yang merupakan aktualisasi dari rule of law. Pada penelitian ini, prinsip demokrasi menjadi penting dikarenakan proses demokrasi merupakan proses yang berkaitan erat dengan elit terutama pada sebuah masyarakat pasca perang. Kerjasama 4 elit dibutuhkan untuk Ibid. pp. 4-6 L. Diamond, Developing Democracy Toward Consolidation, edisi Bahasa Indonesia Developing Democracy Toward Consolidation, diterjemahkan oleh Tim IRE Yogyakarta, IRE Press, Yogyakarta, 2003, p. xix 5 8 mengkonsolidasikan demokrasi dalam negara yang berpedoman pada konstitusi sebagai pembatas otoritas elit. Selain itu, demokrasi merupakan sebuah pendekatan yang bersifat institusional, dalam hal ini berarti pendirian institusi yang dapat mendukung demokrasi dan mengawasi kinerja pemerintah. Adapun kesemua hal itu tetap mencirikan prinsip-prinsip utama dalam demokrasi. Demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang bertugas untuk meningkatkan kesejahteraan dan menjamin hak asasi masyarakat dapat terpenuhi. Hal ini pulalah yang menjadi tugas dan tujuan dari pemerintahan baru Somalia dan prinsipprinsip dari demokrasi menjadi tolak ukur sudah sejauh mana proses demokrasi berlangsung di Somalia. 1.5.2 Pembangunan Negara Pelaksanaan binadamai salah satunya dalam konteks makro dapat ditemukan dalam bentuk pembangunan negara. Pembangunan negara dapat diartikan sebagai pembangunan atau penguatan sebuah institusi pemerintahan yang berlegitimasi di sebuah negara pasca konflik. 6 Empat fitur dari pembangunan negara yang perlu diperhatikan antara lain: pembangunan negara tidak sama dengan binadamai, melainkan sebuah elemen penting dalam binadamai; pembangunan negara tidak terbatas pada pendekatan top-down ataupun bottom-up melainkan mediator antara keduanya. Negara memperoleh legitimasi dari pihak internasional maupun lokal.7 Berdasarkan sudut pandang domestik, legitimasi didapatkan dari kepercayaan penduduk bahwa sebuah institusi memiliki kewenangan untuk memerintah; pembangunan negara tidak sama dengan pembangunan bangsa, pembangunan bangsa lebih mengarah pada identitas kolektif sebuah populasi secara nasional yang di dalamnya termasuk persatuan dan kesatuan yang membedakannya dengan negara lain; pembangunan negara ditujukan untuk menjamin keamanan, merumuskan hukum, melayani masyarakat, dan menyusun dan mengimplementasikan rencana anggaran dan mengumpulkan keuntungan lewat pajak. Secara umum pembangunan negara tidak 6 R. Paris& T.D. Sisk (eds.), The Dilemmas of Statebuilding: Confronting the contradiction of postwar peace operation,Routledge, Oxon, 2009, p. 1. 7 Ibid, p.15. 9 diarahkan pada sebuah tujuan yang demokratis ataupun berlandaskan pada ideologi neoliberal.8Akan tetapi, binadamai yang dilakukan selama ini baik dari komunitas internasional maupun PBB diarahkan pada sebuah solusi yang berbasis pada neoliberalisme, sehingga usaha-usaha yang dilakukan berupa demokratisasi, pembagian kekuasaan, berorientasi pasar, dan sebagainya. Oleh karenanya, binadamai tidak lagi diprogramkan sesuai kebutuhan lokal melainkan tujuan internasional. Perkembangan konsep pembangunan negara juga mempengaruhi perubahan lingkup dan perluasan definisinya seperti yang ditawarkan oleh Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD), pembangunan negara merupakan aksi yang bertujuan untuk mengembangkan kapasitas, institusi dan legitimasi dari sebuah negara berkaitan dengan proses politis untuk secara efektif menegosiasikan permintaan mutual antara negara dengan kelompok masyarakat dengan pembentukan institusi. Tindakan-tindakan ini dilakukan dengan mengisi ruang-ruang kelemahan dalam sebuah institusi pemerintah dengan tujuan menciptakan resiliensi dalam arti sebuah kemampuan untuk dapat bertahan dan menghadapi perubahan kapasitas, efektivitas, dan legitimasi dalam negara. Adapun ruang-ruang kelemahan yang secara umum menjadi fokus dalam pembangunan negara meliputi kesenjangan keamanan yang merupakan fungsi dasar negara untuk menjamin keamanan dan menjaga wilayahnya; kesenjangan kapasitas yang merupakan tanggungjawab negara untuk menjamin kebutuhan dasar dari masyarakatnya dapat terpenuhi dengan menyediakan pendidikan, jaminan kesehatan, lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan ekonomi, dan lain-lain; serta kesenjangan legitimasi yaitu fungsi negara yang melindungi hak dasar dan kebebasan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses politik. Jika dipahami lebih jauh perubahan konsep pembangunan negara ini turut mengakomodasi perubahan dalam definisi keamanan manusia dan perkembangan 8 Ibid. 10 konsep resiliensi, dengan kata lain keamanan negara disamakan dengan keamanan manusia. Konsep pembangunan negara menjadi penting untuk dibahas dalam penelitian ini dikarenakan pembangunan negara merupakan tahap awal dalam menciptakan konsolidasi demokrasi. Selain itu, pembangunan negara juga merupakan suatu proses yang berkaitan erat dengan konteks pemerintahan setempat dalam pengimplementasian dasar-dasar pemerintahan yang baru dalam kasus umum yaitu basis demokrasi. Menganalisis proses pembangunan negara di Somalia dapat memberikan pemahaman dalam melihat kelemahan yang ada dalam pemerintahan Somalia. 1.5.3 Harga Adopsi Demokrasi Untuk bisa memuluskan proses pembangunan negara menuju demokrasi, harga adopsi demokrasi menjadi salah satu konsep yang perlu diperhatikan khususnya untuk negara dengan konflik berkepanjangan, kondisi internal yang kompleks, dan memiliki banyak stakeholder, salah satunya Somalia. Selain itu, Somalia juga sering sekali mengalami kegagalan menuju kesepakatan perdamaian dikarenakan oleh perilaku warlord atau elit yang berkuasa di sana. Tentunya hal ini menjadi vital apabila membahas rencana pelaksanaan pemilihan umum di Somalia sebagai simbol dari kesuksesan binadamai, tetapi prinsip-prinsip binadamai tidak berjalan dengan semestinya dan ada kemungkinan pemilihan umum tersebut gagal untuk terjadi atau justru terjadi, namum tidak sepenuhnya liberal seperti yang diharapkan. Faktor-faktor yang perlu dikaitkan dengan harga adopsi demokrasi terdiri atas perang dan bagaimana perang tersebut berakhir, jejak misi, bantuan, negara tetangga, serta pengaruh dari pembinadamai. Menurut Zürcher dan kawan-kawan 9 , faktor-faktor tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut: 9 C. Zürcheretal, Costly Democracy: Peacebuilding and Democratization after War, Stanford University Press, California, 2013, pp. 20-144 11 1.5.3.1 Perang dan Bagaimana Perang Tersebut Berakhir Ada tiga hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan hal ini yaitu: perang yang menciptakan ruang yang pihak-pihak di dalamnya berada posisi tidak bisa melakukan hal lain kecuali saling bekerjasama dengan tujuan menemukan kesepakatan politis untuk menguatkan posisinya; seberapa tergantungkah elit domestik terhadap aktor eksternal untuk menyadari tujuan utama mereka; serta perang berakhir dengan tersisanya pihak oposisi politis yang memiliki kapasitas untuk melakukan kekerasan. 1.5.3.2 Jejak Misi Jejak misi berkaitan dengan misi dan ruang lingkup dari operasi binadamai itu sendiri. Misi yang besar, belum tentu menghasilkan demokrasi. Selain itu misi yang terlalu mengintervensi lokal justru memiliki kecenderungan untuk menjadi bumerang dan menggagalkan tujuan binadamai itu sendiri. Jejak misi ditentukan tidak hanya oleh skala misi baik dari jumlah pasukan, biaya operasional, dan durasi, tetapi juga dari ambisi dan mandat dari sebuah misi untuk mengembalikan tatanan politik sosial sebuah negara. Tidak hanya jejak misi, ruang lingkup misi juga mempengaruhi besarnya peluang untuk menciptakan demokrasi. Adapun ruang lingkup misi dapat dianalisis dengan menjawab pertanyaanpertanyaan berupa: Apakah aktor eksternal memaksakan situasi damai dengan kekuatan militer; berpartisipasi dalam membuat kebijakan eksekutif; terlibat dalam reformasi sektor keamanan; berperan dalam kekuasaan sebagai pihak eksekutif, legislatif, yudikatif; membentuk konstitusi baru; dan menentukan kebijakan ekonomi? Pengetahuan tentang jejak dan ruang lingkup sebuah misi akan dapat memberikan gambaran tingkat keseriusan dan sejauh mana intervensi dilakukan oleh para pembinadamai. 1.5.3.3 Bantuan Bantuan dari sisi donor dapat memberikan pengaruh atas elit lokal untuk berkompromi apabila sejalan dengan misi dari para pembinadamai. 12 Interaksi antara donor dan elit lokal diharapkan dapat menciptakan rasa saling percaya dan memudahkan elit lokal untuk menerima persyaratan binadamai yang diberikan, sehingga menguntungkan posisi para pembinadamai. Akan tetapi, proses tawar menawar ini bisa menjadi gagal apabila kepercayaan elit berkurang ataupun donor tidak bekerjasama dengan baik. Hal ini dapat gagal apabila donortidak mampu atau tidak ingin memberikan persyaratan,tidak memiliki komitmen yang jelas terhadap demokrasi,mudah ditebak dan tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk bertindak tegas, serta tidak memiliki pengetahuan dan koneksi lokal untuk memanfaatkan peluang dan memperoleh posisi yang lebih tinggi dalam tawar menawar. 1.5.3.4 Negara Tetangga Negara tetangga bisa berpengaruh negatif terhadap proses binadamai terutama bagi para elit untuk menerima demokrasi apabila ada ancaman keamanan transnasional yang berisiko bagi para elit dan efek transnasional yang berakar dari sebuah negara otoriter mendukung sebuah rezim pasca perang. Hal yang paling identik dengan negara yang saling bersebelahan adalah penyebaran kekerasan etnis secara transnasional. Ruang lingkup wilayah konflik bisa membesar apabila sebuah grup atau seseorang yang memicu perang, memutuskan untuk memperluas wilayah konflik mereka. Hal ini disebut dengan contagion, apabila terjadi secara tidak sengaja maka disebut dengan diffusion, hal ini terjadi ketika kekerasan etnis di suatu negara meningkatkan kemungkinan terjadinya konflik di negara lain. Keseimbangan kekuasaan elit akan terganggu apabila salah satu pihak mendapat bantuan dari aktor eksternal. Konflik juga bisa tersebar lewat demonstration effect, saat sebuah grup memikirkan untung dan rugi sebuah perang setelah melihat kesuksesan maupun kegagalan grup lain yang mengejar tujuan sama. Grup-grup ini juga bisa memperbaharui pandangan mereka tentang kemungkinan 13 penggunaan kekerasan dengan melihat contoh yang ada di dalam keadaan sosial mereka. 1.5.3.5 Pengaruh Pembinadamai Berhubungan dengan intervensi yang berlebihan adalah pembinadamai kehilangan pengaruhnya dan berdampak pada pengabaian agenda demokratisasi dan pemberian otonomi lebih bagi elit lokal untuk kembali memperoleh kepercayaan yang hilang. Beberapa hal yang dapat mengurangi pengaruh pembinadamai antara lain: adanya dukungan dari negara non-demokratis, pemanfaatan “paradoks kelemahan” oleh elit lokal untuk meningkatkan posisinya. Selain itu pembinadamai memiliki tugas sulit untuk menyeimbangkan visi mereka tentang hasil yang demokratis dengan tujuan lain. Pengaruh dalam konsep ini ditentukan dari kepentingan dan persepsi elit lokal. Kasus pembangunan negara Somalia menjadi penting untuk dikaji dari konsep ini dikarenakan baik secara prinsip binadamai, arah pembangunan negara yang dituju oleh para peacebuilder maupun pemerintah lokal masih luput dari sisi harga adopsi demokrasi. Kondisi Somalia yang kompleks menjadi menarik untuk diteliti dan dipahami lebih dalam dari sisi konsep harga adopsi demokrasi sebagai pendekatan untuk menganalisis kasus ini dikarenakan baik pembangunan negara maupun demokrasi, hampir tidak dapat dipungkiri bahwa elit berperan penting untuk menciptakan demokrasi. Berdasarkan sudut pandang tersebutlah maka harga adopsi demokrasi digunakan dalam penelitian ini untuk menjabarkan motif dan tindakan elit di Somalia untuk menerapkan demokrasi. 1.6 Argumen Penelitian Penyebab pembangunan negara di Somalia tidak berbuah demokrasi dikarenakan gagalnya pembinadamai untuk menegosiasikan harga adopsi demokrasi dengan benar. Pembinadamai cenderung mengejar objektif yang 14 mereka tuju dibandingkan menyelesaikan masalah mendasar dengan elit terlebih dahulu. Kegagalan tersebut ditinjau dari faktor harga adopsi demokrasi disebabkan oleh gagalnya pembinadamai untuk melakukan tawar-menawar dengan keseluruhan elit domestik di Somalia dan pemerintahan yang lemah dan tidak memiliki legitimasi. Argumen ini diperkuat oleh kondisi perang yang menciptakan suasana anarki cukup lama menguatkan posisi warlord sebagai elit yang berkuasa dengan klan masing-masing sebagai instrumen politik. Pemerintahan yang dibentuk tidak berbeda jauh dengan masa anarki yaitu pemerintahan berbasis klan, sehingga tidak adanya pergeseran pemikiran elit ke arah yang lebih demokratis. Hal ini juga diperparah dengan jejak misi intervensi asing yang sangat intrusif sehingga muncul ketidakpercayaan dari domestik Somalia yang menyulitkan mereka untuk dapat bekerjasama dengan pembinadamai. Berkaitan erat dengan jejak misi, bantuan yang diberikan oleh pihak asing tidaklah menguatkan kapasitas pemerintahan baru menuju demokrasi, melainkan menciptakan hubungan ketergantungan yang sangat erat dan cenderung melemahkan kapasitas pemerintahan Somalia. Bantuan juga menjadi tujuan dari elit domestik Somalia dengan memanfaatkan kelemahannya tanpa memiliki agenda untuk sepenuhnya menjalankan mandat perjanjian internasional yang disepakati. Kondisi regional juga menyulitkan elit untuk sepenuhnya menerima demokrasi dikarenakan campur tangan negara-negara terdekatnya dalam keputusan politik domestik Somalia yang dapat mengancam keberlangsungan kekuasaan elit. Selama faktor-faktor ini belum diselesaikan atau diminimalisasi, maka harga adopsi demokrasi masih terlalu tinggi dan menyebabkan elit domestik tidak ingin mengadopsi demokrasi. 1.7 Metodologi Penelitian Untuk dapat melakukan penelitian secara terarah dan memperoleh hasil yang maksimal maka setiap penelitian ilmiah memerlukan metode yang sesuai 15 dengan objek kajian.10Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan metodologi penelitian yang sesuai dengan objek kajian sebagaimana berikut: 1.7.1 Jenis Penelitian Penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian dengan metode kualitatif yang mengungkap dan menjelaskan problematika secara naratif dan mendalam. Metode kualitatif merupakan prosedur penelitian yang akan menghasilkan data deskriptif dari data yang dianalisis sehingga hasil dari penelitian jenis ini umumnya berupa analisis deskriptif.11Penelitian model ini dimaksudkan untuk mengungkapkan dan menganalisis pengaruhharga adopsi demokrasiterhadap kegagalanpembangunan negara Somalia menuju demokratis. 1.7.2 Metode Pengumpulan Data Untuk menghimpun keseluruhan data yang diperlukan, penelitian ini menggunakan sumber data sekunder. Data sekunder meliputi hasil informasi baik dari buku serta artikel yang berhubungan dengan kasus yang diteliti. Untuk penelitian ini berupa buku, jurnal, penelitian, artikel, dan dokumentasi mengenai pembangunan negara sebagai instrumen binadamai di Somalia, informasi historis, data usaha-usaha asistensi internasional, dan fenomena setelah konflik di Somalia. 1.7.3 Metode Analisis Data Metode penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis yang merupakan bentuk penelitian yang melingkupi proses pengumpulan dan penyusunan data untuk dianalisis. Hasil analisis tersebut berupa pengertian data jelas yang kemudian divalidasi dengan data kualitatif sesuai pendekatan dalam penelitian ini. Semua data yang diperoleh dari library research akan dianalisis sehingga dapat memunculkan deskripsi mengenai harga adopsi demokrasi yang dapat menggagalkan pembangunan negara Somalia yang demokratis. 10 A. Bekker, Metode Filsafat . Ghalia Indonesia, Jakarta, 1996, p.10. L.J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2007, p.3. 11 16 1.8 Sistematika Penulisan Penelitian ini dibagi menjadi empat bab dengan bab pertama berisikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, reviu literatur, kerangka konseptual, argumen utama, metodologi penelitian dan sistematika penulisan. Pada bab kedua akan dibahas mengenai proses pembangunan negara di Somalia sebagai salah satu strategi binadamai dan arah dari proses tersebut. Bab ketiga akan menjelaskan lebih jauh mengenai harga adopsi demokrasi dalam kaitannya dengan situasi di Somalia untuk mencapai demokrasi, dan menghubungkan kedua konsep tersebut untuk mencari keterkaitan di antara keduanya dengan demokrasi, serta bab keempat atau terakhir berisikan kesimpulan. 17