Poligami dalam Konteks Kekinian dan Legislasinya (Wacana Poligami Di NAD) Poligami dan Konteks Legislasinya di Indonesia Oleh : Sri Walny Rahayu1 ABSTRAK Dalam Al-Quran, dasar hukum melakukan Poligami diatur Qs an-Nisa (4)’ ayat 3, ayat 20 dan ayat 129. Merujuk an-Nisa’ (4) ayat 3, secara harfiah memberikan dasar kebolehan seorang laki-laki beristri sampai dengan 4 (empat) orang. Ayat ini juga sering digunakan sebagai dasar pijakan argumentasi teologis bagi mereka yang membenarkan praktik perkawinan poligami. Namun ayat ini mengandung makna bahwa, ada korelasi antara perintah memelihara anak yatim dengan kebolehan beristri lebih dari satu bahkan sampai dengan empat. Para mufassir sepakat bahwa sebab nuzul ayat ini berkenaan dengan perbuatan wali yang tidak adil terhadap anak yatim yang berada di bawah perlindungan mereka. Secara seksama dicermati bahwa perkawinan yang dilakukan oleh nabi bukan didasarkan dorongan seksual akan tetapi semata-mata ditujukan untuk kepentingan dakwah, pendidikan, serta memperjuangkan dan mengatasi problema sosial dan kemanusiaan. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada prinsipnya menganut “azas monogami”, meskipun mengatur poligami namun hal ini tetap dilakukan dengan sarat-syarat (1) ketika seorang istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri (2) Istri mendapat cacat badan atau menderita penyakit yang tidak bisa disembuhkan atau tidak dapat melahirkan keturunan. Selanjutnya, permohonan suami yang melakukan poligami diajukan ke pengadilan, melalui syarat-syarat antara lain; (1) mendapatkan izin dari istri terlebih dahulu (2) adanya kepastian suami harus mampu memberikan keperluan hidup istri-istri dan anak-anaknya, (3) suami harus berlaku adil terhadap istri dan anaknya. Lebih jauh dikaji aturan yang ada tersebut masih saja menempatkan posisi tawar-menawar istri lebih rendah dibandingkan suami dan masih belum optimal memberikan perlindungan bagi perempuan. Tulisan ini ingin mengkaji masalah poligami dengan menggali berbagai referensi untuk menyampaikan argumen dari sudut pandang Islam dan pengaturannya dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Kata kunci: Poligami, UUP No. 1 Tahun 1974 A. Pendahuluan “Dan Jika kamu takut tidak akan dapat berbuat adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah perempuan1 2). Sri Walny Rahayu, S.H., M. Hum, Staf Pengajar pada Jurusan Keperdataan pada Fakultas Hukum Unsyiah-Darussalam. Makalah telah dipresentasikan di Universitas Mataram – Lombok, dalam Kegiatan Asosiasi Pengajar Hukum dan Peminat Hukum Perspektif Gendrer (APPHGI) Agustus 2005. Sri Walny Rahayu-Seminar Nasional- Mataram Lombok-2005 Poligami dalam Konteks Kekinian dan Legislasinya (Wacana Poligami Di NAD) permpuan lain yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, (dalam hal yang bersifat lahiriyah jika mengawini lebih dari satu), maka kawinilah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (Qs an-Nisa’ (4) : 3). “Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali daripadanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambil kembali dengan jalan yang dusta dan dengan (menangung) dosa yang nyata ?” (QS. (4):20) Ayat di atas dikuti dengan QS an-Nisa’ (4) : 129 yaitu “Dan kamu sekali-kali tidak dapat berlaku adil di antara istri-istri kamu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian oleh karena itu jangan kamu cenderung (kepada yang kamu cinta) sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.” Ayat-ayat di atas menjadi dasar dalam kajian tulisan ini, dikaitkan dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia. Alasan dipilihnya topik “Poligami (ta’adud a-zaujat)” karena wacana ini kembali marak diperbincangkan di berbagai daerah di Indonesia, khususnya di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Perbincangan tersebut juga hadir menghiasi kolom-kolom surat kabar lokal dan tabloid tertentu di NAD yang menaruh perhatian terhadap topik ini dan berbagai forum diskusi serta seminar. Umumnya dari pembahasan yang ada, pendukung poligami dari kalangan Islam menempatkan “perempuan” sebagai objek. Hal ini tersirat dalam pandangan mereka yang mengatakan ketentuan agama membenarkan beristri sampai dengan 4 (empat) secara sekaligus, suami yang melakukan poligami tidak perlu persetujuan istri dan izin pengadilan terlebih dahulu. Berbagai alasan klise yang dijadikan dasar argumen bagi mereka yang pro terhadap poligami dikemukakan antara lain, karena pertimbangan moral seperti khawatir berzina, dan menghindarkan diri dari praktik prostitusi, aspek ekonomi (pemberdayaan perempuan), aspek biologis (kemampuan seksual laki-laki lebih lama dibandingkan perempuan), aspek demografi (jumlah angka perempuan yang ada lebih banyak dibandingkan laki-laki). Penulis dengan keterbatasan ilmu yang dimiliki berusaha membahas masalah poligami dengan menggali berbagai referensi untuk mencoba menyampaikan argumen Sri Walny Rahayu-Seminar Nasional- Mataram Lombok-2005 Poligami dalam Konteks Kekinian dan Legislasinya (Wacana Poligami Di NAD) dari sudut pandang Islam dan pengaturannya dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. B. Penafsiran poligami dalam komunitas masyarakat Isu poligami tidak dapat dilepaskan dari adanya sebagian peran ulama yang menafsirkan ajaran-ajaran Islam secara maskulin. Dilihat secara keseluruhan, penafsiran maskulin tersebut, tidak hanya berlaku di Provinsi NAD saja, tetapi juga di negara-negara Islam lain seperti Iran, Afghanistan, Kuwait, Palestina dimana suasana patriakhal sangat kental mewarnai kehidupan masyarakatnya. Asghar Ali Engineer dan Fatima Mernissi ilmuwan yang melakukan analisa tekstual dan historis menyatakan, seperti dikutip oleh Edriana Noerdin (2005:19-20) bahwa: “Islam sebenarnya mendukung kesetaraan gender. ..Bahwa syariat bisa ditafsirkan dan ditafsirkan ulang. Syariat ada lewat suatu proses evolusi selama berabad-abad dan ditafsirkan dan ditafsirkan ulang ketika menghadapi lingkungan baru. Baru pada abad ke-12, pintu penafsiran ulang ditutup dan syariat mulai dinyatakan sebagai hukum. Bahkan pada saat Nabi (Muhammad SAW) hidup, syariat telah melakukan evolusi selama enam periode, dan terus mengalami perubahan di setiap keenam periode itu. Engineer menyimpulkan bahwa hukum syariat berkembang sebagai jawaban atas beragam tantangan dan masalah. Jika pintu untuk penafsiran ditutup pada suatu saat, pintu ini dapat dibuka kembali. Diubahnya syariat menjadi hukum yang berkekuatan tetap bukanlah karena perintah suci, melainkan karena dorongan kepentingan politik tertentu dari beberapa elit politik. Oleh karena itu syariat dapat diinterpretasikan kembali untuk menjadi syariat yang memberi respon pada kebutuhan orang-orang yang tertindas.” Lebih lanjut Mernissi menegaskan bahwa ...Jika hak perempuan merupakan masalah bagi beberapa laki-laki muslim modern, itu bukan karena AlQur’an atau Nabi (Muhammad SAW), bukan juga karena tradisi Islam, tetapi hanya karena hak-hak tersebut bertentangan dengan kepentingan elit laki-laki” Merujuk an-Nisa’ (4) ayat 3, secara harfiah memberikan dasar kebolehan seorang laki-laki beristri sampai dengan 4 (empat) orang. Ayat ini juga sering dikumandangkan sebagai dasar pijakan argumentasi teologis bagi mereka yang membenarkan praktik perkawinan poligami. Namun ayat ini mengandung makna bahwa, ada korelasi antara perintah memelihara anak yatim dengan kebolehan beristri lebih dari satu bahkan sampai dengan empat. Para mufassir sepakat bahwa sebab nuzul ayat ini berkenaan dengan perbuatan wali yang tidak adil terhadap anak yatim yang berada di bawah perlindungan mereka. Sri Walny Rahayu-Seminar Nasional- Mataram Lombok-2005 Poligami dalam Konteks Kekinian dan Legislasinya (Wacana Poligami Di NAD) Mencermati ayat tersebut, harus dipahami bahwa, ada korelasi yang erat antara poligami dengan persoalan anak yatim. Hal ini karena poligami identik dengan persoalan anak yatim dan perempuan. Mengapa dua hal ini ditempatkan kedudukannya dalam satu ayat (an-Nisa, ayat 3). Tidak lain karena menyangkut persoalan yang hakiki yaitu, “ketidak-adilan”. Anak yatim seringkali menjadi “korban” ketidak-adilan karena mereka tidak dilindungi. Sementara dalam poligami objek ketidakadilan adalah perempuan bahkan sampai kepada anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan dalam bentuk tersebut sebagai korbannya. Dalam al-Qur’an anak yatim dan perempuan disebut sebagai kelompok yang dilemahkan/hak-hak mereka lemah (al-Mustad’afin), (Abduh, Musdah Mulia dalam Ikhsanudin, 2003:134). Lebih lanjut dikatakan oleh Quraish Shihab menyatakan bahwaa, ayat poligami tidak membuat peraturan baru tentang poligami karena poligami telah dkenal dan dilaksanakan oleh penganut berbagai syariat agama serta adat-istiadat masyarakat sebelum turunnya ayat ini. Ayat ini tidak juga menganjurkan apalgi mewajibkan poligami tetapi ia hanya berbicara tentang bolehnya poligami, dan itupun merupkan pintu kecilyang hanya dapat dilalui oleh siapa yang sangat membutuhkan, dan dengan syarat yang tidak ringan. Ibarat poligami tersebut mirip dengan “pintu darurat” dalam pesawat terbang yang hanya boleh dibuka dalam keadaan emergency tertentu. ( M. Quraish Shihab, 2006:166, bandingkan dengan Anshorie Fahmi, 2007: 18 ) C. Konteks Khusus Ayat Poligami dalam Al-Qur’an Sebagai dasar peristiwa yang melatarbelakangi turunnya Surat an-Nisa’ (4) ayat 3 ini sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Nasa’i dan Baihaqi dari Urwah bin Az-Zubair yang bertanya kepada bibinya Aisyah r.a. Selengkap dalam teks Indonesia sebagai berikut (K.H., Ikhsanuddin et.al, 2003:133): “Aisyah berkata: “Wahai saudaraku, ayat ini turun berkenaan dengan anak yatim yang berada dengan dalam pemeliharaan walinya dan menyertakan/mencampurkan dengan harta bendanya. Kemudian walinya tertarik dengan kecantikan dan harta anak yatim itu, dan ia ingin mengawininya, tetapi Sri Walny Rahayu-Seminar Nasional- Mataram Lombok-2005 Poligami dalam Konteks Kekinian dan Legislasinya (Wacana Poligami Di NAD) tanpa mau berlaku adil dalam memberikan mahar seperti mahar yang akan diberikan kepada yang lainnya. Maka dia dilarang menikahinya kecuali dia berlaku adil kepada mereka (yatim) dan memberikan setinggi-tingginya ketetapan mahar mereka dan memerintahkanya untuk menikahi perempuan-perempuan yang baik selainnya” Riwayat lain juga dari Aisyah r.a: “...Ayat ini diturunkan berkenaan dengan seorang laki-laki yang mempunyai banyak istri, lalu ketikanya hartanya habis dan tidak sanggup lagi menafkahi istrinya yang banyak itu, ia berkewajiban mengawini anak yatim yang berada dalam perwaliannya dengan harapan dapat mengambil hartanya untuk membiayai kebutuhan istri-istrinya, (Rasyid Ridho, dalam Ikhsanuddin, 2003:133). Jika ditelusuri An-Nisa’ ayat (3) maka hampir ada kesepakatan dikalangan seluruh cendikiawan Al-Qur’an dan Doktor-Doktor Hukum Islam, membolehkan poligami. Namun kebolehan poligami hanya dalam kadar memberi “izin” bukan dalam kadar “perintah”. An-Nisa’ ayat 3 ini juga tidak berdiri sendiri tetapi berhubungan erat pelaksanaannya, dengan An-Nisa’ ayat 129 yaitu, “Dan kamu sekali-kali tidak dapat berlaku adil di antara istri-istri kamu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian”. Inti dari ayat 129 ini, berarti, Allah Maha mengetahui bahwa ada kecenderungan “ketidakmungkinan seorang suami berlaku adil terhadap istri-istrinya”. Ayat ini juga menggambarkan bahwa Islam sebenarnya menghendaki monogami sementara poligami adalah pengecualian yang terbatas pada kondisi tertentu, antara lain berbuat adil pada anak yatim di bawah asuhannya (seorang wali). Atas dasar ini poligami dibolehkan sehingga mereka bisa berbuat adil dan mengasuh anak yatim, dengan cara mengawini ibu atau saudara perempuannya, sehingga anak yatim itu mendapat pengasuhan yang baik sebagaimana anak mereka sendiri. Alasan kebolehan poilgami juga disebabkan karena adanya perang yang mengakibatkan laki-laki terbunuh dalam jumlah yang besar, istri mandul dan keinginan suami untuk memiliki keturunan, istri menderita penyakit parah. (Maulana Fauzul Karim bandingkan juga Maulana Umar Ahmad Usmani dalam Muhammad Syarif Chaudori 2005:103 - 105). Hal lainnya yang dapat ditarik pemaknaan dari Ayat 129 dari An-Nisa’ yaitu, “oleh karena itu jangan kamu cenderung (kepada yang kamu cinta) sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung”. Teks ini memiliki makna bahwa, “unsur keadilan” bagi istri-istri dari seorang suami dalam perkawinan poligami merupakan “syarat ketat”. Artinya, jika menggunakan izin poligami Sri Walny Rahayu-Seminar Nasional- Mataram Lombok-2005 Poligami dalam Konteks Kekinian dan Legislasinya (Wacana Poligami Di NAD) tapi menyalahgunakan izin tersebut dengan tidak berlaku adil maka orang tersebut berusaha menipu Allah, (Maulana Maududi dalam Muhammad Syarif Chaudori 2005 : 105). Pemikiran yang seperti ini menurut penulis juga bukan berarti poligami harus disalahkan atau dihapuskan seperti pandangan ekstrim menyangkut hal ini. Hal tersebut karena, poligami juga bisa berfungsi sebagai “rem darurat” yang hanya digunakan sewaktu-waktu. Akan tetapi penggunaannya itu tidak boleh boros dan bersyarat. Penggunaannya hanya dalam kondisi tertentu/yang tidak normal saja. Artinya penulis sepakat dalam keadaan “normal” hanya ada satu suami untuk satu orang istri dalam kondisi “tidak normal” keadaan monogami dapat berubah. Al-Qur’an pun menentukan poligami sebagai sesuatu yang halal dengan izin kebolehan yang sangat ketat. Berdasarkan paparan di atas mempertegas esensi perkawinan dalam Islam sesungguhnya sebagaimana dikemukakan Engineer adalah, “Monogami”. Al-Qur’an enggan menerima institusi poligami. Selanjutnya Engineer, mengutip Parves (ahli tafsir modern Pakistan) yang menyatakan “ kondisi poligami” dibenarkan selagi solusi yang rasional untuk mengatasi problem sosial. Misalnya membengkaknya jumlah janda dan anak yatim karena perang. Artinya jika masih ada cara yang rasional untuk mengatasi problem tersebut, maka poligami tidak bisa dibenarkan. Mengikuti Muhammad Assad menyatakan bahwa, perkawinan poligami hanya bisa diterima dalam kasus-kasus luar biasa dan dalam keadaan-keadaan luar biasa. Bahkan Engineer, mengutip pendapat alRazi, “... mengerjakan ibadah-ibadah sunnah lebih baik daripada mengawini lebih dari satu perempuan. Oleh karena itu mengawini satu perempuan dan menyibukkan diri dengan shalat atau ibadah lain lebih mulia” (Asghar Ali Engineer, 2003 : 112 – 125 bandingkan dengan Ahmad Baidowi, 2005 : 150 -152). Pendapat lain yang menyatakan perkawinan Islam prinsipnya adalah “monogami” ditegaskan juga oleh Maulana Umar Ahmad Usmani dalam Muhammad Syarif Chaudori 2005:105, aturan umum adalah monogami sementara poligami adalah pengecualian yang terbatas pada keadaan-keadaan tertentu. Pembuktian terhadap aturan umum merujuk kata “zauj” yang bermakna sepasang, suami-istri, seorang individu yang ingin hidup bersama dengan yang lain. Zauj dalam bahasa Arab digunakan untuk suami dan juga istri , tetapi gagasannya adalah sepasang (satu laki-laki dan satu istri) dan bukan Sri Walny Rahayu-Seminar Nasional- Mataram Lombok-2005 Poligami dalam Konteks Kekinian dan Legislasinya (Wacana Poligami Di NAD) satu laki-laki dengan banyak istri. Menurut Al-Qur’an, umat manusia diciptakan dari jiwa yang satu dan darinya diciptakan pasangannya dan dari mereka berdua menyebar luas menjadi banyak laki-laki dan perempuan. Aturan “zauj” adalah satu laki-laki untuk satu pasangannya. Dengan demikian peristiwa penciptaan manusia oleh Allah yang dimulai oleh Adam dan untuk Adam hanya satu diciptakan perempuan yaitu, “Siti Hawa”, (Adam hanya memiliki satu istri sampai akhir hayatnya). Sementara manusia sesudahnya berasal dari sperma laki-laki yang membuahi indung telur perempuan. Bandingkan dengan Maulana Umar Ahmad Utsmani dalam Engineer, Penciptaan manusia oleh Allah SWT berjalan secara sistematis dan jika merujuk pada An-Nisa’ (4) ayat 20, maka jika ingin mengambil istri yang lain, ceraikanlah istri pertama. Artinya dalam kondisi normal satu suami untuk satu istri (2003 : 119 -120). D. Asal-usul Poligami Di negara-negara Islam dan non-Islam poligami ditentang oleh mereka yang mendukung hak-hak perempuan. Ketidaksetujuan mereka tentang poligami dimulai era revolusi Industri. Pada saat itu kaum perempuan menuntut agar hak-hak mereka dipersamakan dengan kaum laki-laki. Penentangan tersebut semakin tajam ketika gerakan perempuan terdidik dari kelas menengah awal abad ke-20 bersuara dan menanamkan ideologi sekaligus menyadarkan kaum perempuan agar menolak status jenis kelamin kedua dan peranannya yang subbordinat. Negara – bangsa yang modern juga membuat hukum-hukum yang secara perlahan dan gradual memberdayakan warga negara jenis kelamin perempuan termasuk Indonesia (antara lain UU Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan jo PP Nomor 10 Tahun 1990 khusus bagi PNS, meskipun catatan penulis UU Nomor 1 Tahun 1974 beserta peraturan pelaksananya masih belum berperspektif gender dan sangat patrriarkhi terhadap poligami; UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, ketentuan batas minimal quota 30 % bagi perempuan yang duduk dalam legislatif). Praktik poligami pun di ewal abad 20 pun mulailah dibatasi atau termasuk yang dilarang dibanyak negara. Sebagian kalangan menganggap bahwa poligami sebagai ajaran atau warisan Islam. Padahal praktik ini sudah ada sejak sebelum Islam datang dan berkembang. Di Sri Walny Rahayu-Seminar Nasional- Mataram Lombok-2005 Poligami dalam Konteks Kekinian dan Legislasinya (Wacana Poligami Di NAD) Jazirah Arab sendiri jauh sebelum Islam ada, masyarakatnya telah mempraktikkan poligami. Bahkan Poligami dengan jumlah istri yang tidak terbatas (Nabi Daud AS memiliki istri 99 orang). Ada pula berpendapat ekstrim yang mengatakan, jika bukan karena Islam, poligami tidak dikenal dalam sejarah umat manusia. Pendapat ini sangat keliru, karena sejak ribuan tahun bahkan sebelum Islam diturunkan kepada Nabi Muhammad, manusia telah mempraktikkan poligami. Ketika Islam datang, ajarannya pun sebenarnya tidak membiarkan perkawinan poligami. dalam Hal ini karena poligami secara jelas bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang mengutamakan keadilan dan kesetaraan di hadapan Allah. Namun, kehadiran Islam tidak langsung menghapus adat kebiasaan itu (Kawin lebih dari satu istri), tapi menyempurnakan dan membawa perbaikan pada adat kebiasaan itu. Ketika Islam datang, poligami tidak secara radikal dihapuskan, tetapi setelah adanya ayat tentang poligami diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW, beliau melakukan perubahan drastis sesuai kandungan ayat tersebut, yaitu “membatasi jumlah istri” hanya sampai dengan empat orang saja (sebelum Islam tidak ada jumlah batasan istri dalam poligami) dan syarat “harus berlaku adil secara ketat” bagi istri-istri tersebut. Kebolehan poligami dalam An-Nisa’ ayat 3 diikuti An-Nisa’ ayat 129, hampir dapat dipastikan tidak ada yang mampu memenuhinya. Artinya, adanya ayat ini juga mempertegas suami tidak boleh semena-mena terhadap istri-istrinya itu, (Ikhsanudin, et.al, 2003 : 124-126). Dalam konteks tersebut Asghar Ali Engineer menyatakan, menikah dengan lebih dari satu perempuan dibenarkan dengan syarat keadilan dalam tiga tingkat, pertama, adanya jaminan mengunakan harta anak yatim dan para janda secara benar. Kedua, jaminan adil membagi pada tingkat materi bagi istri-istrinya, dan ketiga, adil membagi kasih sayang di antara istri-istrinya. Dari uraian tersebut dipahami bahwa, ada perbedaan yang signifikan antara praktik poligami pada saat Islam dan pra Islam. Pertama, Adanya pembatasan jumlah istri-istri. Kedua, Suami harus berlaku adil bagi istri-istrinya itu. Keadilan di sini melingkupi materil dan immateril (lahir-bathin). Keten tuan ini tentu saja tidak ditemukan dalam masa pra Islam. Sri Walny Rahayu-Seminar Nasional- Mataram Lombok-2005 Poligami dalam Konteks Kekinian dan Legislasinya (Wacana Poligami Di NAD) E. Kebolehan Poligami dalam penafsiran Klasik Dalam tafsir klasik, ada beberapa alasan pembenaran melakukan poligami (Ahmad Jurjani dalam Ikhsanudin et. al, 2003:128-129) yaitu: 1. Seorang laki-laki selalu siap reproduksi sampai usia 80 tahun sedangkan perempuan antara 50-55 tahun (masa menopause). Padahal memperbanyak keturunan itu lebih diperintahkan dan disenangi oleh agama berdasarkan hadist nabi; 2. Lelaki memiliki kesenangan untuk bersetubuh. Jika perempuan karena kodratinya mengalami haid, maka laki-laki tidak dapat menyalurkan hasrat seksualnya. Untuk menjauhi zina maka poligami merupakan nikmat besar dari aspek ini; 3. Manusia diperintahkan untuk memakmurkan bumi. Manfaat pemakmuran diperoleh melalui pernikahan dan poligami. Dalam Islam tidak dikenal sistem kependetaan (tidak menikah selamanya); 4. Jika istri sakit maka rumah tangga terabaikan. Poligami merupakan rahmat bagi manusia. F. Poligami yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW Berkaitan dengan poligami yang dilakukan oleh Rasulullah maka, mencakup aspek pendidikan, dakwah dan perlindungan. Rasulullah melakukan perkawinan monogami dengan istri pertamanya “Siti Khadijah binti Khuwailid” selama 25 tahun. 15 tahun setelah setelah pernikahan nabi dengan Siti Khadijah beliau diangkat menjadi Nabi. Siti Khadijah Wafat pada tahun ke-9 kenabian. Hal ini berarti Nabi Muhammad bermonogami selama 25 tahun. Baru setelah tiga atau empat tahun sesudah wafatnya Siti Khadijah ra, beliau menikah lagi dengan Saudah binti Zam’ah yang sudah berusia agak lanjut. Setelah itu menikah dengan Aisyah binti Abu Bakar, Hafsah binti Umar bin Khattab, Ummu Salamah, Ummu Habibah, Zainab binti Jahsy, Zainab binti Khuzaimah, Juwayriyyah binti Harits, Safiyyah binti Huyay, Rayhanah binti Zaid dan terakhir Maimunah binti Harits yang terjadi tahun ke-7 Hijriyyah (Musdah Mulia dalam Ikhsanudin et. al 2003 : 130). Beliau wafat pada tahun ke-11 H dalam usia 63 tahun. Hal ini berarti beliau melakukan poligami sekitar delapan tahun, jauh lebih singkat Sri Walny Rahayu-Seminar Nasional- Mataram Lombok-2005 Poligami dalam Konteks Kekinian dan Legislasinya (Wacana Poligami Di NAD) daripada usia perkawinan monogami dengan Siti Khadijah, baik dihitung berdasarkan masa kenabiannya maupun keseluruhan masa pernikahan beliau. Jika ingin meneladani sikap nabi mengapa tidak diambil masa perkawinan monogami yang lebih panjang tersebut dibandingkan perkawinan poligami yang dilakukannya (M. Quraish Shihab, 2006 : 170). Andaipun Nabi selama delapan tahun melakukan poligami tidak lantas dapat dikatakan poligami tersebut merupakan Sunnah Nabi Saw, sehingga patut pula diteladani. Hal ini karena tidak semua yang dilakukan oleh Rasul Saw perlu diteladani sebagaimana tidak semua yang wajib atau terlarang bagi beliau, wajib terlarang pula bagi ummatnya. Bukankah Rasul Saw antara lain wajib bangun shalat malam dan tidak boleh menerima zakat? Bukankah tidak batal wudhu beliau bila tertidur? (M. Quraish Shihab, Harian Republika, 8 Desember 2006) Secara seksama dicermati bahwa perkawinan yang dilakukan oleh nabi bukan didasarkan dorongan seksual akan tetapi semata-mata ditujukan untuk kepentingan dakwah dan pendidikan. Hikmah poligami yang dilakukan oleh Rasulullah sebagai berikut : 1. Untuk kepentingan pendidikan dan pengajaran agama. Istri-istri nabi menjadi sumber informasi bagi ummat yang ingin mengetahui ajaran Islam; 2. Untuk mempersatukan suku-suku bangsa Arab dan menarik mereka untuk masuk Islam. Misalnya perkawinan nabi dengan Juwairiyah binti AlHarits kepala suku Bani Musthaliq. Begitu juga Saffiyah seorang tokoh dari suku Bani Quraidzah dan Bani Nazir; 3. Kepentigan sosial dan kemanusiaan. Misalnya perkawinan dengan beberapa janda Islam yang telah lanjut usia, seperti Saudah binti Zam’ah (suaminya meninggal setelah kembali dari hijrah Abessina), Hafsah Binti Umar (suaminya gugur di Badar), Zainab binti Khuzaimah (suaminya gugur di Uhud) dan Hindun Ummu Salamah (suaminya gugur di Uhud). Mereka semua memerlukan pelindung bagi jiwa dan agamanya serta penanggung kebutuhan ekonominya pada masyarakat yang masih berpola paternalistik pada saat itu, Nabi melakukan poligami bukan sebagai melampiaskan hasrat seksualnya. Sri Walny Rahayu-Seminar Nasional- Mataram Lombok-2005 Poligami dalam Konteks Kekinian dan Legislasinya (Wacana Poligami Di NAD) G. Poligami dalam Konteks Kekinian, dan Realitasnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, (selanjutnya disebut UUP Tahun 1974). Dalam uu ini, meskipun pada prinsipnya berdasarkan azas monogami, namun poligami tetap diakomodir dengan syarat-syarat tertentu yang cenderung diskriminatif terhadap perempuan, yakni menempatkan perempuan sematamata sebagai sex provider dalam perkawinan. Jika dilihat ketika kondisi awal lahirnya UUP Tahun 1974 tersebut, sebenarnya aturan poligami telah diperketat dalam UUP tersebut, dimana sebelumnya poligami dilakukan bebas tanpa aturan yang jelas. Dalam UUP poligami hanya dilakukan jika, (1) ketika seorang istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri (2) Istri mendapat cacat badan atau menderita penyakit yang tidak bisa disembuhkan atau tidak dapat melahirkan keturunan. Selanjutnya, permohonan suami yang melakukan poligami diajukan ke pengadilan, melalui syarat-syarat antara lain; (1) mendapatkan izin dari istri terlebih dahulu (2) adanya kepastian suami harus mampu memberikan keperluan hidup istri-istri dan anak-anaknya, (3) suami harus berlaku adil terhadap istri dan anaknya. Dalam UUP Tahun 1974 itu, posisi tawar-menawar istri rendah dibandingkan suami. Negara pun melalui legislasi yang ada, ikut melegitemasi nilai-nilai gender perempuan yang ada dalam masyarakat. Istri hanya diminta izinnya saja. Artinya cuma konteks “setuju” atau “tidak setuju” karena kewenangan mutlak untuk melakukan persetujuan menjadi wewenang penuh “pengadilan”. Dengan demikian persetujuan istri tidak bersifat mutlak, karena pengadilan tetap bisa memberi izin suami untuk melakukan poligami seandainya istri/istri-istri tersebut tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau jika tidak ada kabar dari istrinya sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab-sebab lainnya (Pasal 5 UUP tahun 1974). Sementara itu khusus bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) laki-laki melalui PP Nomor 10 Tahun 1983 sebagaimana diubah PP Nomor 45 Tahun 1990 untuk melakukan poligami harus mendapat izin atasannya. Namun ditemukan juga ketidakkonsistenan dalam PP tahun 1990, karena membedakan antara PNS laki-laki dan perempuan. Jika PNS laki-laki bisa melakukan poligami namun PNS perempuan tidak dapat menjadi istri kedua atau seterusnya. Dapat dipahami bahwa, masih adanya streotipe yang dikenakan pada PNS perempuan, bukan merupakan perempuan baik-baik dan tidak dapat mengatur Sri Walny Rahayu-Seminar Nasional- Mataram Lombok-2005 Poligami dalam Konteks Kekinian dan Legislasinya (Wacana Poligami Di NAD) rumah tangganya karena perempuan tersebut merupakan istri kedua atau seterusnya. Berbeda dengan PNS laki-laki, meskipun ia mempunyai istri lebih dari satu ia dianggap mampu menyelesaikan semua persoalannya. Peran laki-laki dianggap sebagai pencari nafkah sedangkan istri bukan, dilegitemasi dengan pembagian gaji suami kepada istriistrinya. Secara riilnya sekalipun ada pengaturan poligami yang diakomodir oleh UUP Tahun 1974, masyarakat terutama di kota-kota besar cenderung menutup-nutupi poligami yang mereka lakukan. Fakta ini diperkuat dengan kenyataan semakin banyaknya masyarakat yang melakukan pernikahan di bawah tangan (tidak tercatat). Pernikahan ini populer disebut ”nikah siri”. Konsekuensinya pernikahan secara agama/nikah siri oleh UUP tahun 1974 tidak diakui/tidak memiliki keabsahan termasuk hak istri dan anak dari perkawinan tersebut, bahkan tidak mendapat perlindungan apapun dari negara jika terjadi perceraian. Karena pernikahan yang diakui dalam UUP Tahun 1974 memiliki kriteria yaitu, setelah dilaksanakan perkawinan itu sesuai dengan agamanya dan kepercayaannya masing-masing maka harus dicatatkan. Jika mereka menikah secara Islam maka pencatatannya dilakukan pada KUA dan jika non-Islam pencatatannya dilaksanakan di catatan Sipil. Pencatatan tersebut merupakan keharusan bagi setiap perkawinan berdasakan hukum positif di Indonesia untuk mendapatkan legalitas dari negara. Kecenderungan masyarakat untuk melakukan poligami pun memasuki abad ke-21 semakin berani dan terang-terangan. Di Abad global justru wacana poligami direproduksi dan dikemas sedemikian rupa sehingga menjadi institusi yang dianjurkan, didorong, bahkan dihasratkan dengan pemberian penghargaan bagi para pelakunya (poligami award). Poligami menjadi hal yang fenomena, dan muncul aktor sosial yang bernama “Puspo Wardoyo” (Pengusaha rumah makan “Wong Solo”). Poligami menurut versi Wardoyo disosialisasikan bukan karena seorang istri tidak dapat menjalankan perannya sebagai istri, tetapi lebih karena kebutuhan sosial yang ada saat ini. Poligami menurutnya, menjadi solusi dari berbagai persoalan moralitas dan kemiskinan perempuan. Poligami dilakukan bukan lagi karena sebagai sesuatu kondisi darurat, tetapi diyakini sebagai perintah dan kewajiban sekaligus hak bagi laki-laki muslim untuk menjalankannya. Oleh sebab itu izin istri tidak diperlukan bagi suami yang melakukan poligami. Tema perjuangan mereka adalah, mengatasi jumlah perempuan Sri Walny Rahayu-Seminar Nasional- Mataram Lombok-2005 Poligami dalam Konteks Kekinian dan Legislasinya (Wacana Poligami Di NAD) yang lebih banyak dari laki-laki. Karena, akibat banyaknya jumlah perempuan akan menyebabkan terjadinya praktik immoral yang sangat bertentangan dengan nilai agama (perzinahan, perselingkuhan dan prostitusi). Selain itu secara kodrati laki-laki mencintai lebih dari satu perempuan, sedangkan perempuan jika tidak dikawini akan menjadi perawan tua. Oleh karena itu poligami merupakan solusi bijak untuk mengatasi masalahmasalah tersebut. Apalagi jelas hal tersebut dihalalkan dalam Al-Qur’an dan sekaligus meneladani sikap nabi. Dengan poligami tidak ada lagi lahan subur yang tidak ditanami. Perempuan bisa menjalankan perkawinan sebagai ibadah, sementara laki-laki terlindungi dari zina dan perselingkuhan. Masih menurut pemahaman mereka, perempuan dimotivasi untuk berbesar hati menerima poligami suaminya dalam rangka proteksi kemaksiatan, bahkan istri yang menganjurkan suaminya untuk melakukan poligami adalah ibadah dan jihad karena suaminya terlindungi dari maksiat. Malah, jika istri menolak untuk dimadu dan suami yang terjebak karena perzinahan, maka dosa suami akan ditanggung oleh istrinya juga. Adanya internalisasi wacana poligami seperti itu , menyebabkan poligami telah bergeser dari yang semula menjadikan perempuan sebagai “aktor pasif dan defensif “ menghadapi poligami berubah menjadi “aktif”. Mereka tidak hanya sangat toleran dengan suami yang melakukan poligami tetapi malah berpartisipasi aktif di dalamnya mengkampanyekan “program poligami”. Ibarat mereka begitu bersemangat menyedekahkan/mendermakan suami mereka, bagi perempuan lain untuk tujuan sosial sekaligus ibadah. Penulis berpendapat dengan mengutip Engineer bahwa, poligami dibutuhkan untuk menghindarkan diri dari pelanggaran seksual adalah tidak berdasar. Pertama, Kelebihan perempuan dibandingkan laki-laki sehingga laki-laki melakukan poligami juga tidak tepat. Hal ini dapat ditunjukkan bahwa ada 925 orang perempuan bagi 10.000 laki-laki di India tetapi masyarakat di sana cenderung melakukan poligami. Data lainnya di Provinsi NAD setelah bencana gempa dan tsunami korban terbesar adalah perempuan dan anak-anak, tetapi isu poligami justru marak setelah bencana tersebut ditambah adanya penguatan alasan berlakunya syariat Islam. Kedua, tidak ada satu pun ayat dalam Al-Qur’an yang mengizinkan poligami dengan alasan untuk mencegah immoralitas seksual. Bahkan Al-Qur’an tidak mengisyaratkan seperti itu. Alasan ini Sri Walny Rahayu-Seminar Nasional- Mataram Lombok-2005 Poligami dalam Konteks Kekinian dan Legislasinya (Wacana Poligami Di NAD) jelas hanya dibuat-buat untuk kepentingan maskulin dan kesenangan lakilaki saja. Bahkan ahli tafsir klasik pun tidak menggunakan alasan diizinkan poligami untuk menghindarkan diri dari prostitusi. Ketiga, mereka sama sekali melupakan spirit sebenarnya dari Al-Quran yang melindungi kepentingan perempuan dan menjamin keadilan bagi mereka, apakah mereka sebagai anak yatim atau istri. (Asghar Ali Engineer, 2003 : 122-123). Jika alasan poligami dikemukakan sebagai orang yang meneladani sikap nabi, juga tidak tepat, hal ini karena nabi melakukan poligami setelah usia beliau 54 tahun. Merupakan usia yang terlalu untuk mengekspresikan hasrat seksualnya. Poligami yang dilakukan nabi sebagai strategi advokasi terhadap janda dan anak yatim serta menyebarkan syariat Islam. Bahkan mengutip Mahmoud Mohammed Toha dalam bukunya The Second Messege of Islam dalam Ikhsanudin 2003 : 138 menyatakan, prinsip murni Islam adalah perkawinan satu laki-laki dengan satu perempuan tanpa perceraian. Jika kodrati laki-laki menyukai perempuan lebih dari satu yang dijadikan dasar alasan kebolehan poligami juga tidak masuk akal. Karena manusia pertama, Adam, hanya diperuntukkan bagi, Hawa. Manusia pun secara sistematis dijadikan oleh Allah secara berpasang-pasangan (satu laki untuk satu perempuan). Penulis menilai argumen-argumen yang dikemukan tersebut, hanya menjadikan poligami sebagai pemuasan nafsu laki-laki, apalagi zaman sekarang mereka melakukan hal ini bukan karena advokasi janda dan anak yatim. Dalam kaitan dengan hal ini, lembaga perkawinan hanya sebagai tempat pengabsahan pemuasan birahi dan memperbanyak keturunan. Padahal tujuan perkawinan adalah lebih mulia dari itu semua. Sudah selayaknya pihak yang terkait dan memiliki otoritas melakukan prosedur poligami secara ketat dan tidak diukur oleh kepentingan maskulin semata. Dalam realitas yang ada umumnya, justru suami yang melakukan poligami sering berbuat aniaya terhadap istri dan anak-anaknya. Istri sering sakit hati dan disakiti. Rentan terhadap konflik di antara istri-istri dan anak-anak mereka. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan poligami sering menjadi “broken home” karena acap kali melihat kekerasan dalam rumah tangga orang tuanya. Adanya masalah psikologis anak yang muncul ketika bapaknya digelari “tukang kawin”. Timbulnya kekerasan terhadap Sri Walny Rahayu-Seminar Nasional- Mataram Lombok-2005 Poligami dalam Konteks Kekinian dan Legislasinya (Wacana Poligami Di NAD) hak-hak istri, pelecehan kebutuhan seksual istri terabaikan karena suami lebih suka melakukan hubungan seksual dengan istri muda mengakibatkan pelanggaran terhadap reproduksi istri (perempuan). Hanya sedikit yang terhindar atau bahagia terhadap perkawinan dalam bentuk ini. Setidaknya ada dua faktor secara psikologis mengapa perempuan tidak memilih untuk mempropagandakan poligami. Pertama, istri memiliki rasa cinta dan rasa memiliki yang kuat sehingga ia tidak ingin suaminya berbagi jiwa dan raga dengan yang lainnya. Kedua, istri merasa inferior. Hal ini disebabkan antara lain faktor ekonomi hanya suami yang yang bekerja, atau latar belakang istri dari keluarga kurang mampu; tidak dapat memenuhi kepuasan biologis suaminya. Diakui atau tidak poligami akan membawa dampak psikologis tidak hanya bagi istri saja tetapi anak bahkan keluarga pihak istri-istri. H. Hak dan Kewajiban Istri dan Suami yang diakomodir Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 UUP Tahun 1974 jelas membedakan antara suami dan istri. Suami didefinisikan sebagai kepala keluarga, memberi nafkah, dan perlindungan kepada istri. Adapun istri sebagai ibu rumah tangga yang baik, merawat dan mendidik anak dan melayani suami. Di sini adanya perbedaan yang tegas antara peran pulik bagi suami dan privat bagi istri. Istri dituntut melakukan pengorbanan melahirkan anak sesuai tujuan perkawinan agar tujuan perkawinan yang luhur tercapai. Sekalipun istri juga berada /bekerja di sektor publik, kewajibannya melakukan pekerjaan rumah tangga tetap dibebankan kepada istri. Dalam hal ini istri memiliki peran ganda sedangkan suami tidak demikian. Jika rumah tangga istri yang bekerja di lingkup publik, hancur, maka yang disalahkan pastilah istri bukan suami. Perlindungan yang diberikan melalui legislasi tersebut tentu saja sangat melemahkan pihak perempuan, karena letak kesalahan dalam rumah tangga lebih banyak ditimpakan pada istri dibandingkan suami. Sehingga alasan suami melakukan poligami mendapat pembenaran. Ukuran “ibu rumah tangga yang baik” sebagai salah satu kebolehan poligami bagi suami, juga sangat bersifat subyektif. Hanya dilihat dari kaca mata laki-laki. Prinsip Islam adalah tidak bias gender tatapi selalu “prinsip persamaan” yang dikedepankan. Merujuk dan meneladani sikap nabi maka kesan simpatik yang beliau Sri Walny Rahayu-Seminar Nasional- Mataram Lombok-2005 Poligami dalam Konteks Kekinian dan Legislasinya (Wacana Poligami Di NAD) munculkan adalah keika sedang di rumah bersama istrinya Aisyah, yaitu menjahit baju dan sandal, memerah susu kambing serta melakukan pekerjaan yang umumnya dilakukan oleh istri/permpuan sampai ketika tiba waktu shalat beliau keluar untuk shalat (seperti yang diriwatkan H.R. Bukhari). Penulis memahami bahwa nabi tidak ragu mengerjakan tugas-tugas domestik yang sering distrotipekan sebagai pekerjaan perempuan. Di mata Allah tidak ada perbedaan antara laki-laki dengan permpuan sebagai hamba Allah dan khaliffah-Nya di muka bumi, yang membedakan adalah keimanan dan ketaqwaan seseorang itu. Dengan kata lain manusia dianggap memiliki hak untu diperlakukan secara sama (equality before the law). UUP Tahun 1974 menurut Endang Sumiarni (2005 : 42) dalam hal ini adalah sangat bias gender. Hal ini karena produk hukum adalah tidak pernah netral, sarat dengan berbagai nilai yang bermain, sehingga hukum seringkali melegitemasi kepentingan yang dominan. Jika yang dominan adalah kepentingan patriarkhi maka hukum yang dihasilkan adalah patriarkhi. Kepentingan patriarkhi jelas mewarnai UUP Tahun 1974 yang akhirnya meminggirkan kaum perempuan” Sekalipun adanya ketentuan bahwa perkawinan yang diakui secara agama dan negara adalah perkawinan yang dilakukan berdasarkan agama dan kepercayaannya dan perkawinan tersebut harus dicatatkan untuk mendapatkan legalitas formal, namun tetap saja ketentuan ini tidak menjamin praktik poligami menjadi berkurang. Provinsi NAD sangat kental dengan patriarkhi. Oleh karena itu produk hukum yang dikeluarkan pada tataran perda (qanun) juga akan mencerminkan standar nilai dan moral tertentu dari masyarakatnya. Dalam konteks ini masarakat yang menganut budaya patriakhi, hukumnya akan cenderung patriarkhal (Endang Sumiarni, 2005 65-67). Dalam hal ini termasuk wacana poligami selalu diukur dengan penafsiran maskulin dan kepentingannya pula. Dari sudut UUP Tahun 1974 pembagian peran gender membawa berbagai masalah ketidakadilan bagi perempuan (istri). Adanya poligami yang meletakkan kesalahan istri, karena tidak memenuhi kriteria istri yang baik, karena istri bekerja sehingga melalaikan kewajiban rumah tangga, istri yang kurang harmonis melayani suami, akibatnya istri harus rela dimadu atau dicerai oleh suami. Sistem patriarkhi Sri Walny Rahayu-Seminar Nasional- Mataram Lombok-2005 Poligami dalam Konteks Kekinian dan Legislasinya (Wacana Poligami Di NAD) membenarkan segala bentuk kekerasan suami terhadap istri dan negara ikut andil sebagai penyalur sistem nilai yang patriakhal tersebut. Dalam kaitannya dengan UUP Tahun 1974 dan pemikiran maskulin terhadap poligami serta qanun-qanun yang ada di Provinsi NAD, maka harus ada pembaharuan hukum yang terpola pada konsep laki-laki atau suami memiliki hak yang sama dengan perempuan atau istri. Konsep yang tepat penulis sepakat dengan Endang Sumiarni yang menyatakan pembaharuan hukum perkawinan menggunakan model persamaan gender secara substantif. Artinya, mengakui adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal kodrat seperti mengandung, melahirkan, menyusui memiliki siklus haid, dan menopause. Perbedaan ini harus dilindungi dan tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk mendiskriminasikan atau membedakan peran antara suami –istri, di bidang domestik atau publik. Pria dan wanita memperoleh perlakuan yang sama, akses yang sama dan penikmatan manfaat yang sama. Dalam kaitan poligami, adanya perlakuan bias gender dalam aturan dalam UUP Tahun 1974 seperti pada pengertian dan tujuan perkawinan, syarat dan sahnya perkawinan, hak dan kewajiban suami dalam hal memperoleh keturunan dalam perkawinan, tidak adanya masa tunggu (iddah) bagi suami, ukuran istri yang baik, hak poligami dengan syarat yang tidak sepenuhnya melindungi perempuan/istri, secara keseluruhan bersifat patriarkhi. Tentu saja prinsip perkawinan yang diinginkan adalah, suami dan istri merupakan pasangan yang equal sebagaimana layaknya nabi Muhammad melakukannya bersama istri-istrinya. Suami-istri punya tanggung jawab yang sama terhadap dirinya sendiri dan anak-anaknya. Model persamaan yang dipakai adalah “persamaan substantif” dengan tetap mengakui adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan pada fungsi reproduksi yang tetap harus dilindungi dan mendapat pengecualian. Dengan demikian persamaan substanstif bagi suami istri dalam hukum perkawinan berdasarkan pada pilihan dan kesepakatan bebas pada peran publik dan privat, reproduksi, sukarela tentang segala sesuatu mengenai tujuan perkawinan tersebut. Adanya indikasi ketidakmampuan antara melihat teks agama tentang kebolehan poligami dengan konteks suatu ayat poligami tersebut lahir untuk selanjutnya, dihadapkan pada realitas kekinian, menyebabkan seolah-olah Islam bias gender, padahal Sri Walny Rahayu-Seminar Nasional- Mataram Lombok-2005 Poligami dalam Konteks Kekinian dan Legislasinya (Wacana Poligami Di NAD) tidaklah demikian. Islamlah yang justru mengangkat tinggi derajat kaum perempuan. Selanjutnya jika kaum perempuan memandang poligami lebih banyak memunculkan mudharat dibandingkan manfaat, mengapa bukan kaum perempuan sendiri yang sangat sangat selektif terhadap perbuatan poligami tersebut. Wallahu a’lam Sri Walny Rahayu-Seminar Nasional- Mataram Lombok-2005 Poligami dalam Konteks Kekinian dan Legislasinya (Wacana Poligami Di NAD) DAFTAR PUSTAKA Anshorie Fahmie, Siapa Bilang Poligami Itu Sunnah?, Pustaka Iiman, Bandung, 2007 Abdul Moqsil Ghozali, et. Al., Tubuh, Seksualitas, dan Kedaulatan Perempuan, Rahima, 2002. Ahmad Baidowi, Tafsir Feminis: Kajian Permpuan dalam Al-Quran dan Para Mufasir Kontemporer, Nuansa, Bandung, 2005. Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, LKIS, Yogyakarta, 2003 Edriana Noerdin, Politik Identitas Perempuan Aceh, Women Research Institute, Jakarta, 2005. Endang Sumiarni, Kajian Hukum Perkawinan yang Berkeadilan Jender, Yogyakarta, 2004. Huzarmah T. Yanggo, Fiqh Perempuan Kontemporer, Al-Mawardi Prima, Jakarta, 2001. Ikhsanudin, K.H., et.al, Panduan Pengajaran Fiqh Perempuan di Pesantren, Yayasan Kesejahteraan Fatayat (YKF), Yogyakarta, 2003. Muhammad Sharif Chaudhori, Hak-hak Wanita Dalam Islam, Mujahid, Bandung, 2005. Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan: Bias Laki-laki dalam Penafsiran, LKIS, Yogyakarta, 2003. Ratna Batara Munti, Demokrasi Keintiman: Seksualitas di Era Global, LKIS, Yogyakarta, 2005. Quraish Shihab, M , Perempuan, cet. III, Penerbit Lentera Hati, Jakarta, 2006. Shanty Dellyana, Wanita dan Anak Di Mata Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1988. Sri Walny Rahayu-Seminar Nasional- Mataram Lombok-2005 Poligami dalam Konteks Kekinian dan Legislasinya (Wacana Poligami Di NAD) Sri Walny Rahayu-Seminar Nasional- Mataram Lombok-2005