Poligami dan Konteks Legislasinya di Indonesia

advertisement
Poligami dalam Konteks Kekinian dan Legislasinya (Wacana Poligami Di NAD)
Poligami dan Konteks Legislasinya di Indonesia
Oleh :
Sri Walny Rahayu1
ABSTRAK
Dalam Al-Quran, dasar hukum melakukan Poligami diatur Qs an-Nisa (4)’
ayat 3, ayat 20 dan ayat 129. Merujuk an-Nisa’ (4) ayat 3, secara harfiah
memberikan dasar kebolehan seorang laki-laki beristri sampai dengan 4 (empat)
orang. Ayat ini juga sering digunakan sebagai dasar pijakan argumentasi teologis
bagi mereka yang membenarkan praktik perkawinan poligami. Namun ayat ini
mengandung makna bahwa, ada korelasi antara perintah memelihara anak yatim
dengan kebolehan beristri lebih dari satu bahkan sampai dengan empat. Para
mufassir sepakat bahwa sebab nuzul ayat ini berkenaan dengan perbuatan wali
yang tidak adil terhadap anak yatim yang berada di bawah perlindungan mereka.
Secara seksama dicermati bahwa perkawinan yang dilakukan oleh nabi bukan
didasarkan dorongan seksual akan tetapi semata-mata ditujukan untuk
kepentingan dakwah, pendidikan, serta memperjuangkan dan mengatasi problema
sosial dan kemanusiaan. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
pada prinsipnya menganut “azas monogami”, meskipun mengatur poligami namun
hal ini tetap dilakukan dengan sarat-syarat (1) ketika seorang istri tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai istri (2) Istri mendapat cacat badan atau
menderita penyakit yang tidak bisa disembuhkan atau tidak dapat melahirkan
keturunan. Selanjutnya, permohonan suami yang melakukan poligami diajukan ke
pengadilan, melalui syarat-syarat antara lain; (1) mendapatkan izin dari istri
terlebih dahulu (2) adanya kepastian suami harus mampu memberikan keperluan
hidup istri-istri dan anak-anaknya, (3) suami harus berlaku adil terhadap istri dan
anaknya. Lebih jauh dikaji aturan yang ada tersebut masih saja menempatkan
posisi tawar-menawar istri lebih rendah dibandingkan suami dan masih belum
optimal memberikan perlindungan bagi perempuan. Tulisan ini ingin mengkaji
masalah poligami dengan menggali berbagai referensi untuk menyampaikan
argumen dari sudut pandang Islam dan pengaturannya dalam UU Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan.
Kata kunci: Poligami, UUP No. 1 Tahun 1974
A. Pendahuluan
“Dan Jika kamu takut tidak akan dapat berbuat adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah perempuan1
2).
Sri Walny Rahayu, S.H., M. Hum, Staf Pengajar pada Jurusan Keperdataan pada Fakultas
Hukum Unsyiah-Darussalam.
Makalah telah dipresentasikan di Universitas Mataram – Lombok, dalam Kegiatan Asosiasi
Pengajar Hukum dan Peminat Hukum Perspektif Gendrer (APPHGI) Agustus 2005.
Sri Walny Rahayu-Seminar Nasional- Mataram Lombok-2005
Poligami dalam Konteks Kekinian dan Legislasinya (Wacana Poligami Di NAD)
permpuan lain yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil, (dalam hal yang bersifat lahiriyah jika
mengawini lebih dari satu), maka kawinilah seorang saja, atau budak-budak yang
kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
(Qs an-Nisa’ (4) : 3).
“Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah
memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka
janganlah kamu mengambil kembali daripadanya barang sedikitpun. Apakah
kamu akan mengambil kembali dengan jalan yang dusta dan dengan (menangung)
dosa yang nyata ?” (QS. (4):20)
Ayat di atas dikuti dengan QS an-Nisa’ (4) : 129 yaitu “Dan kamu sekali-kali tidak
dapat berlaku adil di antara istri-istri kamu, walaupun kamu sangat ingin berbuat
demikian oleh karena itu jangan kamu cenderung (kepada yang kamu cinta)
sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.”
Ayat-ayat di atas menjadi dasar dalam kajian tulisan ini, dikaitkan dengan hukum
positif yang berlaku di Indonesia. Alasan dipilihnya topik “Poligami (ta’adud a-zaujat)”
karena wacana ini kembali marak diperbincangkan di berbagai daerah di Indonesia,
khususnya di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Perbincangan tersebut juga hadir
menghiasi kolom-kolom surat kabar lokal dan tabloid tertentu di NAD yang menaruh
perhatian terhadap topik ini dan berbagai forum diskusi serta seminar. Umumnya dari
pembahasan yang ada, pendukung poligami dari kalangan Islam menempatkan
“perempuan” sebagai objek. Hal ini tersirat dalam pandangan mereka yang mengatakan
ketentuan agama membenarkan beristri sampai dengan 4 (empat) secara sekaligus, suami
yang melakukan poligami tidak perlu persetujuan istri dan izin pengadilan terlebih
dahulu. Berbagai alasan klise yang dijadikan dasar argumen bagi mereka yang pro
terhadap poligami dikemukakan antara lain, karena pertimbangan moral seperti khawatir
berzina, dan menghindarkan diri dari praktik prostitusi, aspek ekonomi (pemberdayaan
perempuan), aspek biologis (kemampuan seksual laki-laki lebih lama dibandingkan
perempuan), aspek demografi (jumlah angka perempuan yang ada lebih banyak
dibandingkan laki-laki).
Penulis dengan keterbatasan ilmu yang dimiliki berusaha membahas masalah
poligami dengan menggali berbagai referensi untuk mencoba menyampaikan argumen
Sri Walny Rahayu-Seminar Nasional- Mataram Lombok-2005
Poligami dalam Konteks Kekinian dan Legislasinya (Wacana Poligami Di NAD)
dari sudut pandang Islam dan pengaturannya dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
B.
Penafsiran poligami dalam komunitas masyarakat
Isu poligami tidak dapat dilepaskan dari adanya sebagian peran ulama yang
menafsirkan ajaran-ajaran Islam secara maskulin. Dilihat secara keseluruhan, penafsiran
maskulin tersebut, tidak hanya berlaku di Provinsi NAD saja, tetapi juga di negara-negara
Islam lain seperti Iran, Afghanistan, Kuwait, Palestina dimana suasana patriakhal sangat
kental mewarnai kehidupan masyarakatnya. Asghar Ali Engineer dan Fatima Mernissi
ilmuwan yang melakukan analisa tekstual dan historis menyatakan, seperti dikutip oleh
Edriana Noerdin (2005:19-20) bahwa:
“Islam sebenarnya mendukung kesetaraan gender. ..Bahwa syariat bisa
ditafsirkan dan ditafsirkan ulang. Syariat ada lewat suatu proses evolusi selama
berabad-abad dan ditafsirkan dan ditafsirkan ulang ketika menghadapi lingkungan
baru. Baru pada abad ke-12, pintu penafsiran ulang ditutup dan syariat mulai
dinyatakan sebagai hukum. Bahkan pada saat Nabi (Muhammad SAW) hidup,
syariat telah melakukan evolusi selama enam periode, dan terus mengalami
perubahan di setiap keenam periode itu. Engineer menyimpulkan bahwa hukum
syariat berkembang sebagai jawaban atas beragam tantangan dan masalah. Jika
pintu untuk penafsiran ditutup pada suatu saat, pintu ini dapat dibuka kembali.
Diubahnya syariat menjadi hukum yang berkekuatan tetap bukanlah karena
perintah suci, melainkan karena dorongan kepentingan politik tertentu dari
beberapa elit politik. Oleh karena itu syariat dapat diinterpretasikan kembali untuk
menjadi syariat yang memberi respon pada kebutuhan orang-orang yang
tertindas.” Lebih lanjut Mernissi menegaskan bahwa ...Jika hak perempuan
merupakan masalah bagi beberapa laki-laki muslim modern, itu bukan karena AlQur’an atau Nabi (Muhammad SAW), bukan juga karena tradisi Islam, tetapi
hanya karena hak-hak tersebut bertentangan dengan kepentingan elit laki-laki”
Merujuk an-Nisa’ (4)
ayat 3, secara harfiah
memberikan dasar kebolehan
seorang laki-laki beristri sampai dengan 4 (empat) orang. Ayat ini juga sering
dikumandangkan sebagai dasar pijakan argumentasi teologis bagi mereka yang
membenarkan praktik perkawinan poligami. Namun ayat ini mengandung makna bahwa,
ada korelasi antara perintah memelihara anak yatim dengan kebolehan beristri lebih dari
satu bahkan sampai dengan empat. Para mufassir sepakat bahwa sebab nuzul ayat ini
berkenaan dengan perbuatan wali yang tidak adil terhadap anak yatim yang berada di
bawah perlindungan mereka.
Sri Walny Rahayu-Seminar Nasional- Mataram Lombok-2005
Poligami dalam Konteks Kekinian dan Legislasinya (Wacana Poligami Di NAD)
Mencermati ayat tersebut, harus dipahami bahwa, ada korelasi yang erat antara
poligami dengan persoalan anak yatim. Hal ini karena poligami identik dengan persoalan
anak yatim dan perempuan. Mengapa dua hal ini ditempatkan kedudukannya dalam satu
ayat (an-Nisa, ayat 3). Tidak lain karena menyangkut persoalan yang hakiki yaitu,
“ketidak-adilan”. Anak yatim seringkali menjadi “korban” ketidak-adilan karena mereka
tidak dilindungi. Sementara dalam poligami objek ketidakadilan adalah perempuan
bahkan sampai kepada anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan dalam bentuk tersebut
sebagai korbannya. Dalam al-Qur’an anak yatim dan perempuan disebut sebagai
kelompok yang dilemahkan/hak-hak mereka lemah (al-Mustad’afin), (Abduh, Musdah
Mulia dalam Ikhsanudin, 2003:134).
Lebih lanjut dikatakan oleh Quraish Shihab menyatakan bahwaa, ayat poligami tidak
membuat peraturan baru tentang poligami karena poligami telah dkenal dan dilaksanakan
oleh penganut berbagai syariat agama serta adat-istiadat masyarakat sebelum turunnya
ayat ini. Ayat ini tidak juga menganjurkan apalgi mewajibkan poligami tetapi ia hanya
berbicara tentang bolehnya poligami, dan itupun merupkan pintu kecilyang hanya dapat
dilalui oleh siapa yang sangat membutuhkan, dan dengan syarat yang tidak ringan. Ibarat
poligami tersebut mirip dengan “pintu darurat” dalam pesawat terbang yang hanya boleh
dibuka dalam keadaan emergency tertentu. ( M. Quraish Shihab, 2006:166,
bandingkan dengan Anshorie Fahmi, 2007: 18 )
C.
Konteks Khusus Ayat Poligami dalam Al-Qur’an
Sebagai dasar peristiwa yang melatarbelakangi turunnya Surat an-Nisa’ (4) ayat 3
ini sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Nasa’i dan Baihaqi dari Urwah bin
Az-Zubair yang bertanya kepada bibinya Aisyah r.a. Selengkap dalam teks Indonesia
sebagai berikut (K.H., Ikhsanuddin et.al, 2003:133):
“Aisyah berkata: “Wahai saudaraku, ayat ini turun berkenaan dengan anak yatim
yang
berada
dengan
dalam
pemeliharaan
walinya
dan
menyertakan/mencampurkan dengan harta bendanya. Kemudian walinya tertarik
dengan kecantikan dan harta anak yatim itu, dan ia ingin mengawininya, tetapi
Sri Walny Rahayu-Seminar Nasional- Mataram Lombok-2005
Poligami dalam Konteks Kekinian dan Legislasinya (Wacana Poligami Di NAD)
tanpa mau berlaku adil dalam memberikan mahar seperti mahar yang akan
diberikan kepada yang lainnya. Maka dia dilarang menikahinya kecuali dia
berlaku adil kepada mereka (yatim) dan memberikan setinggi-tingginya ketetapan
mahar mereka dan memerintahkanya untuk menikahi perempuan-perempuan yang
baik selainnya”
Riwayat lain juga dari Aisyah r.a: “...Ayat ini diturunkan berkenaan dengan
seorang laki-laki yang mempunyai banyak istri, lalu ketikanya hartanya habis dan tidak
sanggup lagi menafkahi istrinya yang banyak itu, ia berkewajiban mengawini anak yatim
yang berada dalam perwaliannya dengan harapan dapat mengambil hartanya untuk
membiayai kebutuhan istri-istrinya, (Rasyid Ridho, dalam Ikhsanuddin, 2003:133).
Jika ditelusuri An-Nisa’ ayat (3) maka
hampir ada kesepakatan dikalangan
seluruh cendikiawan Al-Qur’an dan Doktor-Doktor Hukum Islam, membolehkan
poligami. Namun kebolehan poligami hanya dalam kadar memberi “izin” bukan dalam
kadar “perintah”. An-Nisa’ ayat 3 ini juga tidak berdiri sendiri tetapi berhubungan erat
pelaksanaannya, dengan An-Nisa’ ayat 129 yaitu, “Dan kamu sekali-kali tidak dapat
berlaku adil di antara istri-istri kamu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian”.
Inti dari ayat 129 ini, berarti, Allah Maha mengetahui bahwa ada kecenderungan
“ketidakmungkinan seorang suami berlaku adil terhadap istri-istrinya”. Ayat ini juga
menggambarkan bahwa Islam sebenarnya menghendaki monogami sementara poligami
adalah pengecualian yang terbatas pada kondisi tertentu, antara lain berbuat adil pada
anak yatim di bawah asuhannya (seorang wali). Atas dasar ini poligami dibolehkan
sehingga mereka bisa berbuat adil dan mengasuh anak yatim, dengan cara mengawini
ibu atau saudara perempuannya, sehingga anak yatim itu mendapat pengasuhan yang baik
sebagaimana anak mereka sendiri. Alasan kebolehan poilgami juga disebabkan karena
adanya perang yang mengakibatkan laki-laki terbunuh dalam jumlah yang besar, istri
mandul dan keinginan suami untuk memiliki keturunan, istri menderita penyakit parah.
(Maulana Fauzul Karim bandingkan juga Maulana Umar Ahmad Usmani dalam
Muhammad Syarif Chaudori 2005:103 - 105). Hal lainnya yang dapat ditarik
pemaknaan dari Ayat 129 dari An-Nisa’ yaitu, “oleh karena itu jangan kamu cenderung
(kepada yang kamu cinta) sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung”. Teks ini
memiliki makna bahwa, “unsur keadilan” bagi istri-istri dari seorang suami dalam
perkawinan poligami merupakan “syarat ketat”. Artinya, jika menggunakan izin poligami
Sri Walny Rahayu-Seminar Nasional- Mataram Lombok-2005
Poligami dalam Konteks Kekinian dan Legislasinya (Wacana Poligami Di NAD)
tapi menyalahgunakan izin tersebut dengan tidak berlaku adil maka orang tersebut
berusaha menipu Allah, (Maulana Maududi dalam Muhammad Syarif Chaudori 2005
: 105).
Pemikiran yang seperti ini menurut penulis juga bukan berarti poligami harus
disalahkan atau dihapuskan seperti pandangan ekstrim menyangkut hal ini. Hal tersebut
karena, poligami juga bisa berfungsi sebagai “rem darurat” yang hanya digunakan
sewaktu-waktu. Akan tetapi penggunaannya itu tidak boleh boros dan bersyarat.
Penggunaannya hanya dalam kondisi tertentu/yang tidak normal saja. Artinya penulis
sepakat dalam keadaan “normal” hanya ada satu suami untuk satu orang istri dalam
kondisi “tidak normal” keadaan monogami dapat berubah. Al-Qur’an pun menentukan
poligami sebagai sesuatu yang halal dengan izin kebolehan yang sangat ketat.
Berdasarkan paparan di atas mempertegas esensi perkawinan dalam Islam
sesungguhnya sebagaimana dikemukakan Engineer adalah, “Monogami”. Al-Qur’an
enggan menerima institusi poligami. Selanjutnya Engineer, mengutip Parves (ahli tafsir
modern Pakistan) yang menyatakan “ kondisi poligami” dibenarkan selagi solusi yang
rasional untuk mengatasi problem sosial. Misalnya membengkaknya jumlah janda dan
anak yatim karena perang. Artinya jika masih ada cara yang rasional untuk mengatasi
problem tersebut, maka poligami tidak bisa dibenarkan. Mengikuti Muhammad Assad
menyatakan bahwa, perkawinan poligami hanya bisa diterima dalam kasus-kasus luar
biasa dan dalam keadaan-keadaan luar biasa. Bahkan Engineer, mengutip pendapat alRazi, “... mengerjakan ibadah-ibadah sunnah lebih baik daripada mengawini lebih dari
satu perempuan. Oleh karena itu mengawini satu perempuan dan menyibukkan diri
dengan shalat atau ibadah lain lebih mulia” (Asghar Ali Engineer, 2003 : 112 – 125
bandingkan dengan Ahmad Baidowi, 2005 : 150 -152).
Pendapat lain yang menyatakan perkawinan Islam prinsipnya adalah “monogami”
ditegaskan juga oleh Maulana Umar Ahmad Usmani dalam Muhammad Syarif
Chaudori 2005:105, aturan umum adalah monogami sementara poligami adalah
pengecualian yang terbatas pada keadaan-keadaan tertentu. Pembuktian terhadap aturan
umum merujuk kata “zauj” yang bermakna sepasang, suami-istri, seorang individu yang
ingin hidup bersama dengan yang lain. Zauj dalam bahasa Arab digunakan untuk suami
dan juga istri , tetapi gagasannya adalah sepasang (satu laki-laki dan satu istri) dan bukan
Sri Walny Rahayu-Seminar Nasional- Mataram Lombok-2005
Poligami dalam Konteks Kekinian dan Legislasinya (Wacana Poligami Di NAD)
satu laki-laki dengan banyak istri. Menurut Al-Qur’an, umat manusia diciptakan dari
jiwa yang satu dan darinya diciptakan pasangannya dan dari mereka berdua menyebar
luas menjadi banyak laki-laki dan perempuan. Aturan “zauj” adalah satu laki-laki untuk
satu pasangannya.
Dengan demikian peristiwa penciptaan manusia oleh Allah yang dimulai oleh
Adam dan untuk Adam hanya satu diciptakan perempuan yaitu, “Siti Hawa”, (Adam
hanya memiliki satu istri sampai akhir hayatnya). Sementara manusia sesudahnya berasal
dari sperma laki-laki yang membuahi indung telur perempuan.
Bandingkan dengan Maulana Umar Ahmad Utsmani dalam Engineer,
Penciptaan manusia oleh Allah SWT berjalan secara sistematis dan jika merujuk pada
An-Nisa’ (4) ayat 20, maka jika ingin mengambil istri yang lain, ceraikanlah istri
pertama. Artinya dalam kondisi normal satu suami untuk satu istri (2003 : 119 -120).
D.
Asal-usul Poligami
Di negara-negara Islam dan non-Islam poligami ditentang oleh mereka yang
mendukung hak-hak perempuan. Ketidaksetujuan mereka tentang poligami dimulai era
revolusi Industri. Pada saat itu kaum perempuan menuntut agar hak-hak mereka
dipersamakan dengan kaum laki-laki. Penentangan tersebut semakin tajam ketika gerakan
perempuan terdidik dari kelas menengah awal abad ke-20 bersuara dan menanamkan
ideologi sekaligus menyadarkan kaum perempuan agar menolak status jenis kelamin
kedua dan peranannya yang subbordinat. Negara – bangsa yang modern juga membuat
hukum-hukum yang secara perlahan dan gradual memberdayakan warga negara jenis
kelamin perempuan termasuk Indonesia (antara lain UU Nomor 1 tahun 1974 tentang
perkawinan jo PP Nomor 10 Tahun 1990 khusus bagi PNS, meskipun catatan penulis UU
Nomor 1 Tahun 1974 beserta peraturan pelaksananya masih belum berperspektif gender
dan sangat patrriarkhi terhadap poligami; UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, ketentuan batas minimal quota 30 %
bagi perempuan yang duduk dalam legislatif). Praktik poligami pun di ewal abad 20 pun
mulailah dibatasi atau termasuk yang dilarang dibanyak negara.
Sebagian kalangan menganggap bahwa poligami sebagai ajaran atau warisan
Islam. Padahal praktik ini sudah ada sejak sebelum Islam datang dan berkembang. Di
Sri Walny Rahayu-Seminar Nasional- Mataram Lombok-2005
Poligami dalam Konteks Kekinian dan Legislasinya (Wacana Poligami Di NAD)
Jazirah Arab sendiri jauh sebelum Islam ada, masyarakatnya telah mempraktikkan
poligami. Bahkan Poligami dengan jumlah istri yang tidak terbatas (Nabi Daud AS
memiliki istri 99 orang). Ada pula berpendapat ekstrim yang mengatakan, jika bukan
karena Islam, poligami tidak dikenal dalam sejarah umat manusia. Pendapat ini sangat
keliru, karena sejak ribuan tahun bahkan sebelum Islam diturunkan kepada Nabi
Muhammad, manusia telah mempraktikkan poligami. Ketika Islam datang,
ajarannya pun sebenarnya tidak membiarkan perkawinan poligami.
dalam
Hal ini karena
poligami secara jelas bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang mengutamakan keadilan
dan kesetaraan di hadapan Allah. Namun, kehadiran Islam tidak langsung menghapus
adat kebiasaan itu (Kawin lebih dari satu istri), tapi menyempurnakan dan membawa
perbaikan pada adat kebiasaan itu.
Ketika Islam datang, poligami tidak secara radikal dihapuskan, tetapi setelah
adanya ayat tentang poligami diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW, beliau
melakukan perubahan drastis sesuai kandungan ayat tersebut, yaitu “membatasi jumlah
istri” hanya sampai dengan empat orang saja (sebelum Islam tidak ada jumlah batasan
istri dalam poligami) dan syarat “harus berlaku adil secara ketat” bagi istri-istri tersebut.
Kebolehan poligami dalam An-Nisa’ ayat 3 diikuti An-Nisa’ ayat 129, hampir dapat
dipastikan tidak ada yang mampu memenuhinya. Artinya, adanya ayat ini juga
mempertegas suami tidak boleh semena-mena terhadap istri-istrinya itu, (Ikhsanudin,
et.al, 2003 : 124-126).
Dalam konteks tersebut Asghar Ali Engineer menyatakan, menikah dengan lebih
dari satu perempuan dibenarkan dengan syarat keadilan dalam tiga tingkat, pertama,
adanya jaminan mengunakan harta anak yatim dan para janda secara benar. Kedua,
jaminan adil membagi pada tingkat materi bagi istri-istrinya, dan ketiga, adil membagi
kasih sayang di antara istri-istrinya.
Dari uraian tersebut dipahami bahwa, ada perbedaan yang signifikan antara
praktik poligami pada saat Islam dan pra Islam. Pertama, Adanya pembatasan jumlah
istri-istri. Kedua, Suami harus berlaku adil bagi istri-istrinya itu. Keadilan di sini
melingkupi materil dan immateril (lahir-bathin). Keten tuan ini tentu saja tidak ditemukan
dalam masa pra Islam.
Sri Walny Rahayu-Seminar Nasional- Mataram Lombok-2005
Poligami dalam Konteks Kekinian dan Legislasinya (Wacana Poligami Di NAD)
E.
Kebolehan Poligami dalam penafsiran Klasik
Dalam tafsir klasik, ada beberapa alasan pembenaran melakukan poligami
(Ahmad Jurjani dalam Ikhsanudin et. al, 2003:128-129) yaitu:
1. Seorang laki-laki selalu siap reproduksi sampai usia 80 tahun sedangkan
perempuan antara 50-55 tahun (masa menopause). Padahal memperbanyak
keturunan itu lebih diperintahkan dan disenangi oleh agama berdasarkan
hadist nabi;
2. Lelaki memiliki kesenangan untuk bersetubuh. Jika perempuan karena
kodratinya mengalami haid, maka laki-laki tidak dapat menyalurkan hasrat
seksualnya. Untuk menjauhi zina maka poligami merupakan nikmat besar
dari aspek ini;
3. Manusia diperintahkan untuk memakmurkan bumi. Manfaat pemakmuran
diperoleh melalui pernikahan dan poligami. Dalam Islam tidak dikenal sistem
kependetaan (tidak menikah selamanya);
4. Jika istri sakit maka rumah tangga terabaikan. Poligami merupakan rahmat
bagi manusia.
F.
Poligami yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW
Berkaitan dengan poligami yang dilakukan oleh Rasulullah maka, mencakup
aspek pendidikan, dakwah dan perlindungan. Rasulullah melakukan perkawinan
monogami dengan istri pertamanya “Siti Khadijah binti Khuwailid” selama 25 tahun.
15 tahun setelah setelah pernikahan nabi dengan Siti Khadijah beliau diangkat menjadi
Nabi. Siti Khadijah Wafat pada tahun ke-9 kenabian. Hal ini berarti Nabi Muhammad
bermonogami selama 25 tahun. Baru setelah tiga atau empat tahun sesudah wafatnya Siti
Khadijah ra, beliau menikah lagi dengan Saudah binti Zam’ah yang sudah berusia agak
lanjut. Setelah itu menikah dengan Aisyah binti Abu Bakar, Hafsah binti Umar bin
Khattab, Ummu Salamah, Ummu Habibah, Zainab binti Jahsy, Zainab binti
Khuzaimah, Juwayriyyah binti Harits, Safiyyah binti Huyay, Rayhanah binti Zaid
dan terakhir Maimunah binti Harits yang terjadi tahun ke-7 Hijriyyah (Musdah Mulia
dalam Ikhsanudin et. al 2003 : 130). Beliau wafat pada tahun ke-11 H dalam usia 63
tahun. Hal ini berarti beliau melakukan poligami sekitar delapan tahun, jauh lebih singkat
Sri Walny Rahayu-Seminar Nasional- Mataram Lombok-2005
Poligami dalam Konteks Kekinian dan Legislasinya (Wacana Poligami Di NAD)
daripada usia perkawinan monogami dengan Siti Khadijah, baik dihitung berdasarkan
masa kenabiannya maupun keseluruhan masa pernikahan beliau. Jika ingin meneladani
sikap nabi mengapa tidak diambil masa perkawinan monogami yang lebih panjang
tersebut dibandingkan perkawinan poligami yang dilakukannya (M. Quraish Shihab,
2006 : 170).
Andaipun Nabi selama delapan tahun melakukan poligami tidak lantas dapat
dikatakan poligami tersebut merupakan Sunnah Nabi Saw, sehingga patut pula diteladani.
Hal ini karena tidak semua yang dilakukan oleh Rasul Saw perlu diteladani sebagaimana
tidak semua yang wajib atau terlarang bagi beliau, wajib terlarang pula bagi ummatnya.
Bukankah Rasul Saw antara lain wajib bangun shalat malam dan tidak boleh menerima
zakat? Bukankah tidak batal wudhu beliau bila tertidur? (M. Quraish Shihab, Harian
Republika, 8 Desember 2006)
Secara seksama dicermati bahwa perkawinan yang dilakukan oleh nabi bukan
didasarkan dorongan seksual akan tetapi semata-mata ditujukan untuk kepentingan
dakwah dan pendidikan. Hikmah poligami yang dilakukan oleh Rasulullah sebagai
berikut :
1. Untuk kepentingan pendidikan dan pengajaran agama. Istri-istri nabi
menjadi sumber informasi bagi ummat yang ingin mengetahui ajaran Islam;
2. Untuk mempersatukan suku-suku bangsa Arab dan menarik mereka
untuk masuk Islam. Misalnya perkawinan nabi dengan Juwairiyah binti AlHarits kepala suku Bani Musthaliq. Begitu juga Saffiyah seorang tokoh dari
suku Bani Quraidzah dan Bani Nazir;
3. Kepentigan sosial dan kemanusiaan. Misalnya perkawinan dengan beberapa
janda Islam yang telah lanjut usia, seperti Saudah binti Zam’ah (suaminya
meninggal setelah kembali dari hijrah Abessina), Hafsah Binti Umar
(suaminya gugur di Badar), Zainab binti Khuzaimah (suaminya gugur di
Uhud) dan Hindun Ummu Salamah (suaminya gugur di Uhud).
Mereka semua memerlukan pelindung bagi jiwa dan agamanya serta penanggung
kebutuhan ekonominya pada masyarakat yang masih berpola paternalistik pada saat itu,
Nabi melakukan poligami bukan sebagai melampiaskan hasrat seksualnya.
Sri Walny Rahayu-Seminar Nasional- Mataram Lombok-2005
Poligami dalam Konteks Kekinian dan Legislasinya (Wacana Poligami Di NAD)
G.
Poligami dalam Konteks Kekinian, dan Realitasnya
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, (selanjutnya disebut
UUP Tahun 1974). Dalam uu ini, meskipun pada prinsipnya berdasarkan azas
monogami, namun poligami tetap diakomodir dengan syarat-syarat tertentu yang
cenderung diskriminatif terhadap perempuan, yakni menempatkan perempuan sematamata sebagai sex provider dalam perkawinan.
Jika dilihat ketika kondisi awal lahirnya UUP Tahun 1974 tersebut, sebenarnya
aturan poligami telah diperketat dalam UUP tersebut, dimana sebelumnya poligami
dilakukan bebas tanpa aturan yang jelas. Dalam UUP poligami hanya dilakukan jika, (1)
ketika seorang istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri (2) Istri mendapat
cacat badan atau menderita penyakit yang tidak bisa disembuhkan atau tidak dapat
melahirkan keturunan. Selanjutnya, permohonan suami yang melakukan poligami
diajukan ke pengadilan, melalui syarat-syarat antara lain; (1) mendapatkan izin dari istri
terlebih dahulu (2) adanya kepastian suami harus mampu memberikan keperluan hidup
istri-istri dan anak-anaknya, (3) suami harus berlaku adil terhadap istri dan anaknya.
Dalam UUP Tahun 1974 itu, posisi tawar-menawar istri rendah dibandingkan
suami. Negara pun melalui legislasi yang ada, ikut melegitemasi nilai-nilai gender
perempuan yang ada dalam masyarakat. Istri hanya diminta izinnya saja. Artinya cuma
konteks “setuju” atau “tidak setuju” karena kewenangan mutlak untuk melakukan
persetujuan menjadi wewenang penuh “pengadilan”. Dengan demikian persetujuan istri
tidak bersifat mutlak, karena pengadilan tetap bisa memberi izin suami untuk melakukan
poligami seandainya istri/istri-istri tersebut tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian
atau jika tidak ada kabar dari istrinya sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau karena
sebab-sebab lainnya (Pasal 5 UUP tahun 1974).
Sementara itu khusus bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) laki-laki melalui PP
Nomor 10 Tahun 1983 sebagaimana diubah PP Nomor 45 Tahun 1990 untuk melakukan
poligami harus mendapat izin atasannya. Namun ditemukan juga ketidakkonsistenan
dalam PP tahun 1990, karena membedakan antara PNS laki-laki dan perempuan. Jika
PNS laki-laki bisa melakukan poligami namun PNS perempuan tidak dapat menjadi istri
kedua atau seterusnya. Dapat dipahami bahwa, masih adanya streotipe yang dikenakan
pada PNS perempuan, bukan merupakan perempuan baik-baik dan tidak dapat mengatur
Sri Walny Rahayu-Seminar Nasional- Mataram Lombok-2005
Poligami dalam Konteks Kekinian dan Legislasinya (Wacana Poligami Di NAD)
rumah tangganya karena perempuan tersebut merupakan istri kedua atau seterusnya.
Berbeda dengan PNS laki-laki, meskipun ia mempunyai istri lebih dari satu ia dianggap
mampu menyelesaikan semua persoalannya. Peran laki-laki dianggap sebagai pencari
nafkah sedangkan istri bukan, dilegitemasi dengan pembagian gaji suami kepada istriistrinya.
Secara riilnya sekalipun ada pengaturan poligami yang diakomodir oleh UUP
Tahun 1974, masyarakat terutama di kota-kota besar cenderung menutup-nutupi poligami
yang mereka lakukan. Fakta ini diperkuat dengan kenyataan semakin banyaknya
masyarakat yang melakukan pernikahan di bawah tangan (tidak tercatat). Pernikahan ini
populer disebut ”nikah siri”. Konsekuensinya pernikahan secara agama/nikah siri oleh
UUP tahun 1974 tidak diakui/tidak memiliki keabsahan termasuk hak istri dan anak dari
perkawinan tersebut, bahkan tidak mendapat perlindungan apapun dari negara jika terjadi
perceraian. Karena pernikahan yang diakui dalam UUP Tahun 1974 memiliki kriteria
yaitu, setelah dilaksanakan perkawinan itu sesuai dengan agamanya dan kepercayaannya
masing-masing maka harus dicatatkan. Jika mereka menikah secara Islam maka
pencatatannya dilakukan pada KUA dan jika non-Islam pencatatannya dilaksanakan di
catatan Sipil. Pencatatan tersebut merupakan keharusan bagi setiap perkawinan
berdasakan hukum positif di Indonesia untuk mendapatkan legalitas dari negara.
Kecenderungan masyarakat untuk melakukan poligami pun memasuki abad ke-21
semakin berani dan terang-terangan. Di Abad global justru wacana poligami direproduksi
dan dikemas sedemikian rupa sehingga menjadi institusi yang dianjurkan, didorong,
bahkan dihasratkan dengan pemberian penghargaan bagi para pelakunya (poligami
award). Poligami menjadi hal yang fenomena, dan muncul aktor sosial yang bernama
“Puspo Wardoyo” (Pengusaha rumah makan “Wong Solo”).
Poligami menurut versi Wardoyo disosialisasikan bukan karena seorang istri tidak
dapat menjalankan perannya sebagai istri, tetapi lebih karena kebutuhan sosial yang ada
saat ini. Poligami menurutnya, menjadi solusi dari berbagai persoalan moralitas dan
kemiskinan perempuan. Poligami dilakukan bukan lagi karena sebagai sesuatu kondisi
darurat, tetapi diyakini sebagai perintah dan kewajiban sekaligus hak bagi laki-laki
muslim untuk menjalankannya. Oleh sebab itu izin istri tidak diperlukan bagi suami yang
melakukan poligami. Tema perjuangan mereka adalah, mengatasi jumlah perempuan
Sri Walny Rahayu-Seminar Nasional- Mataram Lombok-2005
Poligami dalam Konteks Kekinian dan Legislasinya (Wacana Poligami Di NAD)
yang lebih banyak dari laki-laki. Karena, akibat banyaknya jumlah perempuan akan
menyebabkan terjadinya praktik immoral yang sangat bertentangan dengan nilai agama
(perzinahan, perselingkuhan dan prostitusi). Selain itu secara kodrati laki-laki mencintai
lebih dari satu perempuan, sedangkan perempuan jika tidak dikawini akan menjadi
perawan tua. Oleh karena itu poligami merupakan solusi bijak untuk mengatasi masalahmasalah tersebut. Apalagi jelas hal tersebut dihalalkan dalam Al-Qur’an dan sekaligus
meneladani sikap nabi. Dengan poligami tidak ada lagi lahan subur yang tidak ditanami.
Perempuan bisa menjalankan perkawinan sebagai ibadah, sementara laki-laki terlindungi
dari zina dan perselingkuhan. Masih menurut pemahaman mereka, perempuan dimotivasi
untuk berbesar hati menerima poligami suaminya dalam rangka proteksi kemaksiatan,
bahkan istri yang menganjurkan suaminya untuk melakukan poligami adalah ibadah dan
jihad karena suaminya terlindungi dari maksiat. Malah, jika istri menolak untuk dimadu
dan suami yang terjebak karena perzinahan, maka dosa suami akan ditanggung oleh
istrinya juga.
Adanya internalisasi wacana poligami seperti itu , menyebabkan poligami telah
bergeser dari yang semula menjadikan perempuan sebagai “aktor pasif dan defensif “
menghadapi poligami berubah menjadi “aktif”. Mereka tidak hanya sangat toleran dengan
suami yang melakukan poligami tetapi malah berpartisipasi aktif di dalamnya
mengkampanyekan
“program
poligami”.
Ibarat
mereka
begitu
bersemangat
menyedekahkan/mendermakan suami mereka, bagi perempuan lain untuk tujuan sosial
sekaligus ibadah.
Penulis berpendapat dengan mengutip Engineer bahwa, poligami dibutuhkan
untuk menghindarkan diri dari pelanggaran seksual adalah tidak berdasar.
Pertama, Kelebihan perempuan dibandingkan laki-laki sehingga laki-laki melakukan
poligami juga tidak tepat. Hal ini dapat ditunjukkan bahwa ada 925 orang perempuan
bagi 10.000 laki-laki di India tetapi masyarakat di sana cenderung melakukan poligami.
Data lainnya di Provinsi NAD setelah bencana gempa dan tsunami korban terbesar adalah
perempuan dan anak-anak, tetapi isu poligami justru marak setelah bencana tersebut
ditambah adanya penguatan alasan berlakunya syariat Islam. Kedua, tidak ada satu pun
ayat dalam Al-Qur’an yang mengizinkan poligami dengan alasan untuk mencegah
immoralitas seksual. Bahkan Al-Qur’an tidak mengisyaratkan seperti itu. Alasan ini
Sri Walny Rahayu-Seminar Nasional- Mataram Lombok-2005
Poligami dalam Konteks Kekinian dan Legislasinya (Wacana Poligami Di NAD)
jelas hanya dibuat-buat untuk kepentingan maskulin dan kesenangan lakilaki saja.
Bahkan ahli tafsir klasik pun tidak menggunakan alasan diizinkan poligami untuk
menghindarkan diri dari prostitusi. Ketiga, mereka sama sekali melupakan spirit
sebenarnya dari Al-Quran yang melindungi kepentingan perempuan dan menjamin
keadilan bagi mereka, apakah mereka sebagai anak yatim atau istri. (Asghar Ali
Engineer, 2003 : 122-123).
Jika alasan poligami dikemukakan sebagai orang yang meneladani sikap nabi,
juga tidak tepat, hal ini karena nabi melakukan poligami setelah usia beliau 54 tahun.
Merupakan usia yang terlalu untuk mengekspresikan hasrat seksualnya. Poligami yang
dilakukan nabi sebagai strategi advokasi terhadap janda dan anak yatim serta
menyebarkan syariat Islam. Bahkan mengutip Mahmoud Mohammed Toha dalam
bukunya The Second Messege of Islam dalam Ikhsanudin 2003 : 138 menyatakan,
prinsip murni Islam adalah perkawinan satu laki-laki dengan satu perempuan tanpa
perceraian.
Jika kodrati laki-laki menyukai perempuan lebih dari satu yang dijadikan dasar
alasan kebolehan poligami juga tidak masuk akal. Karena manusia pertama, Adam,
hanya diperuntukkan bagi, Hawa. Manusia pun secara sistematis dijadikan oleh Allah
secara berpasang-pasangan (satu laki untuk satu perempuan). Penulis menilai
argumen-argumen yang dikemukan tersebut, hanya menjadikan poligami sebagai
pemuasan nafsu laki-laki, apalagi zaman sekarang mereka melakukan hal ini bukan
karena advokasi janda dan anak yatim. Dalam kaitan dengan hal ini, lembaga perkawinan
hanya sebagai tempat pengabsahan pemuasan birahi dan memperbanyak keturunan.
Padahal tujuan perkawinan adalah lebih mulia dari itu semua. Sudah selayaknya pihak
yang terkait dan memiliki otoritas melakukan prosedur poligami secara ketat dan tidak
diukur oleh kepentingan maskulin semata.
Dalam realitas yang ada umumnya, justru suami yang melakukan poligami sering
berbuat aniaya terhadap istri dan anak-anaknya.
Istri sering sakit hati dan disakiti.
Rentan terhadap konflik di antara istri-istri dan anak-anak mereka. Anak-anak yang
dilahirkan dari perkawinan poligami sering menjadi “broken home” karena acap kali
melihat kekerasan dalam rumah tangga orang tuanya. Adanya masalah psikologis anak
yang muncul ketika bapaknya digelari “tukang kawin”. Timbulnya kekerasan terhadap
Sri Walny Rahayu-Seminar Nasional- Mataram Lombok-2005
Poligami dalam Konteks Kekinian dan Legislasinya (Wacana Poligami Di NAD)
hak-hak istri, pelecehan kebutuhan seksual istri terabaikan karena suami lebih suka
melakukan hubungan seksual dengan istri muda mengakibatkan pelanggaran terhadap
reproduksi istri (perempuan). Hanya sedikit yang terhindar atau bahagia terhadap
perkawinan dalam bentuk ini.
Setidaknya ada dua faktor secara psikologis mengapa perempuan tidak memilih
untuk mempropagandakan poligami. Pertama, istri memiliki rasa cinta dan rasa memiliki
yang kuat sehingga ia tidak ingin suaminya berbagi jiwa dan raga dengan yang lainnya.
Kedua, istri merasa inferior. Hal ini disebabkan antara lain faktor ekonomi hanya suami
yang yang bekerja, atau latar belakang istri dari keluarga kurang mampu; tidak dapat
memenuhi kepuasan biologis suaminya. Diakui atau tidak poligami akan membawa
dampak psikologis tidak hanya bagi istri saja tetapi anak bahkan keluarga pihak istri-istri.
H.
Hak dan Kewajiban Istri dan Suami yang diakomodir Dalam UU Nomor 1
Tahun 1974
UUP Tahun 1974 jelas membedakan antara suami dan istri. Suami didefinisikan
sebagai kepala keluarga, memberi nafkah, dan perlindungan kepada istri. Adapun istri
sebagai ibu rumah tangga yang baik, merawat dan mendidik anak dan melayani suami.
Di sini adanya perbedaan yang tegas antara peran pulik bagi suami dan privat bagi istri.
Istri dituntut melakukan pengorbanan melahirkan anak sesuai tujuan perkawinan agar
tujuan perkawinan yang luhur tercapai. Sekalipun istri juga berada /bekerja di sektor
publik, kewajibannya melakukan pekerjaan rumah tangga tetap dibebankan kepada istri.
Dalam hal ini istri memiliki peran ganda sedangkan suami tidak demikian. Jika rumah
tangga istri yang bekerja di lingkup publik, hancur, maka yang disalahkan pastilah istri
bukan suami. Perlindungan yang diberikan melalui legislasi tersebut tentu saja sangat
melemahkan pihak perempuan, karena letak kesalahan dalam rumah tangga lebih banyak
ditimpakan pada istri dibandingkan suami. Sehingga alasan suami melakukan poligami
mendapat pembenaran.
Ukuran “ibu rumah tangga yang baik” sebagai salah satu
kebolehan poligami bagi suami, juga sangat bersifat subyektif. Hanya dilihat dari kaca
mata laki-laki.
Prinsip Islam adalah tidak bias gender tatapi selalu “prinsip persamaan” yang
dikedepankan. Merujuk dan meneladani sikap nabi maka kesan simpatik yang beliau
Sri Walny Rahayu-Seminar Nasional- Mataram Lombok-2005
Poligami dalam Konteks Kekinian dan Legislasinya (Wacana Poligami Di NAD)
munculkan adalah keika sedang di rumah bersama istrinya Aisyah, yaitu menjahit baju
dan sandal, memerah susu kambing serta melakukan pekerjaan yang umumnya dilakukan
oleh istri/permpuan sampai ketika tiba waktu shalat beliau keluar untuk shalat (seperti
yang diriwatkan H.R. Bukhari). Penulis memahami bahwa nabi tidak ragu mengerjakan
tugas-tugas domestik yang sering distrotipekan sebagai pekerjaan perempuan. Di mata
Allah tidak ada perbedaan antara laki-laki dengan permpuan sebagai hamba Allah dan
khaliffah-Nya di muka bumi, yang membedakan adalah keimanan dan ketaqwaan
seseorang itu. Dengan kata lain manusia dianggap memiliki hak untu diperlakukan
secara sama (equality before the law).
UUP Tahun 1974 menurut Endang Sumiarni (2005 : 42) dalam hal ini adalah
sangat bias gender. Hal ini karena produk hukum adalah tidak pernah netral, sarat
dengan berbagai nilai yang bermain, sehingga hukum seringkali melegitemasi
kepentingan yang dominan. Jika yang dominan adalah kepentingan patriarkhi maka
hukum yang dihasilkan adalah patriarkhi. Kepentingan patriarkhi jelas mewarnai UUP
Tahun 1974 yang akhirnya meminggirkan kaum perempuan”
Sekalipun adanya ketentuan bahwa perkawinan yang diakui secara agama dan
negara adalah perkawinan yang dilakukan berdasarkan agama dan kepercayaannya dan
perkawinan tersebut harus dicatatkan untuk mendapatkan legalitas formal, namun tetap
saja ketentuan ini tidak menjamin praktik poligami menjadi berkurang.
Provinsi NAD sangat kental dengan patriarkhi. Oleh karena itu produk hukum
yang dikeluarkan pada tataran perda (qanun) juga akan mencerminkan standar nilai dan
moral tertentu dari masyarakatnya. Dalam konteks ini masarakat yang menganut budaya
patriakhi, hukumnya akan cenderung patriarkhal (Endang Sumiarni, 2005 65-67).
Dalam hal ini termasuk wacana poligami selalu diukur dengan penafsiran maskulin dan
kepentingannya pula.
Dari sudut UUP Tahun 1974 pembagian peran gender membawa berbagai
masalah ketidakadilan bagi perempuan (istri).
Adanya poligami yang meletakkan
kesalahan istri, karena tidak memenuhi kriteria istri yang baik, karena istri bekerja
sehingga melalaikan kewajiban rumah tangga, istri yang kurang harmonis melayani
suami, akibatnya istri harus rela dimadu atau dicerai oleh suami. Sistem patriarkhi
Sri Walny Rahayu-Seminar Nasional- Mataram Lombok-2005
Poligami dalam Konteks Kekinian dan Legislasinya (Wacana Poligami Di NAD)
membenarkan segala bentuk kekerasan suami terhadap istri dan negara ikut andil sebagai
penyalur sistem nilai yang patriakhal tersebut.
Dalam kaitannya dengan UUP Tahun 1974 dan pemikiran maskulin terhadap
poligami serta qanun-qanun yang ada di Provinsi NAD, maka harus ada pembaharuan
hukum yang terpola pada konsep laki-laki atau suami memiliki hak yang sama dengan
perempuan atau istri. Konsep yang tepat penulis sepakat dengan Endang Sumiarni yang
menyatakan pembaharuan hukum perkawinan menggunakan model persamaan gender
secara substantif. Artinya, mengakui adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan
dalam hal kodrat seperti mengandung, melahirkan, menyusui memiliki siklus haid, dan
menopause. Perbedaan ini harus dilindungi dan tidak dapat digunakan sebagai dasar
untuk mendiskriminasikan atau membedakan peran antara suami –istri, di bidang
domestik atau publik. Pria dan wanita memperoleh perlakuan yang sama, akses yang
sama dan penikmatan manfaat yang sama.
Dalam kaitan poligami, adanya perlakuan bias gender dalam aturan dalam UUP
Tahun 1974 seperti pada pengertian dan tujuan perkawinan, syarat dan sahnya
perkawinan, hak dan kewajiban suami dalam hal memperoleh keturunan dalam
perkawinan, tidak adanya masa tunggu (iddah) bagi suami, ukuran istri yang baik, hak
poligami dengan syarat yang tidak sepenuhnya melindungi perempuan/istri, secara
keseluruhan bersifat patriarkhi. Tentu saja prinsip perkawinan yang diinginkan adalah,
suami dan istri merupakan pasangan yang equal sebagaimana layaknya nabi Muhammad
melakukannya bersama istri-istrinya. Suami-istri punya tanggung jawab yang sama
terhadap dirinya sendiri dan anak-anaknya.
Model persamaan yang dipakai adalah “persamaan substantif” dengan tetap
mengakui adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan pada fungsi reproduksi yang
tetap harus dilindungi dan mendapat pengecualian.
Dengan demikian persamaan
substanstif bagi suami istri dalam hukum perkawinan berdasarkan pada pilihan dan
kesepakatan bebas pada peran publik dan privat, reproduksi, sukarela tentang segala
sesuatu mengenai tujuan perkawinan tersebut.
Adanya indikasi ketidakmampuan antara melihat teks agama tentang kebolehan
poligami dengan konteks suatu ayat poligami tersebut lahir untuk selanjutnya,
dihadapkan pada realitas kekinian, menyebabkan seolah-olah Islam bias gender, padahal
Sri Walny Rahayu-Seminar Nasional- Mataram Lombok-2005
Poligami dalam Konteks Kekinian dan Legislasinya (Wacana Poligami Di NAD)
tidaklah demikian. Islamlah yang justru mengangkat tinggi derajat kaum perempuan.
Selanjutnya jika kaum perempuan memandang poligami lebih banyak memunculkan
mudharat dibandingkan manfaat, mengapa bukan kaum perempuan sendiri yang sangat
sangat selektif terhadap perbuatan poligami tersebut. Wallahu a’lam
Sri Walny Rahayu-Seminar Nasional- Mataram Lombok-2005
Poligami dalam Konteks Kekinian dan Legislasinya (Wacana Poligami Di NAD)
DAFTAR PUSTAKA
Anshorie Fahmie, Siapa Bilang Poligami Itu Sunnah?, Pustaka Iiman, Bandung, 2007
Abdul Moqsil Ghozali, et. Al., Tubuh, Seksualitas, dan Kedaulatan Perempuan,
Rahima, 2002.
Ahmad Baidowi, Tafsir Feminis: Kajian Permpuan dalam Al-Quran dan Para
Mufasir Kontemporer, Nuansa, Bandung, 2005.
Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, LKIS, Yogyakarta, 2003
Edriana Noerdin, Politik Identitas Perempuan Aceh, Women Research Institute,
Jakarta, 2005.
Endang Sumiarni, Kajian Hukum Perkawinan yang Berkeadilan Jender, Yogyakarta,
2004.
Huzarmah T. Yanggo, Fiqh Perempuan Kontemporer, Al-Mawardi Prima, Jakarta,
2001.
Ikhsanudin, K.H., et.al, Panduan Pengajaran Fiqh Perempuan di Pesantren, Yayasan
Kesejahteraan Fatayat (YKF), Yogyakarta, 2003.
Muhammad Sharif Chaudhori, Hak-hak Wanita Dalam Islam, Mujahid, Bandung,
2005.
Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan: Bias Laki-laki dalam Penafsiran,
LKIS, Yogyakarta, 2003.
Ratna Batara Munti, Demokrasi Keintiman: Seksualitas di Era Global, LKIS,
Yogyakarta, 2005.
Quraish Shihab, M , Perempuan, cet. III, Penerbit Lentera Hati, Jakarta, 2006.
Shanty Dellyana, Wanita dan Anak Di Mata Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1988.
Sri Walny Rahayu-Seminar Nasional- Mataram Lombok-2005
Poligami dalam Konteks Kekinian dan Legislasinya (Wacana Poligami Di NAD)
Sri Walny Rahayu-Seminar Nasional- Mataram Lombok-2005
Download