7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Dermatitis Kontak

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Dermatitis Kontak Iritan
Dermatitis kontak iritan merupakan gambaran inflamasi kulit yang terjadi
karena adanya kontak langsung dengan bahan eksogen yang bersifat iritan baik
berupa bahan kimia, fisik, atau biologik (Tan dkk, 2014). Awalnya DKI dianggap
sebagai proses monomorf namun saat ini dipahami sebagai sindrom biologis yang
kompleks dengan beragam patofisiologi, perjalanan penyakit dan gambaran klinis
(Thong dan Maibach, 2008; Elberting, 2014).
Dermatitis kontak iritan merupakan tipe DK yang paling sering dijumpai.
Sekitar 80% kasus DK adalah DKI yang umumnya berhubungan dengan
pekerjaan dan deterjen menjadi bahan penyebab tersering (32,1%) (Amado dkk,
2012; Tan dkk, 2014). Dermatitis kontak iritan juga ditemukan pada hampir
separuh kasus hand eczema (Agarwal dkk, 2014). Insidensi DKI sebenarnya sulit
ditentukan dengan akurat, hal ini dikarenakan data epidemiologi yang terbatas
(Amado dkk, 2012).
Perbedaan mekanisme pada beberapa tipe menyebabkan sulitnya
menentukan mekanisme umum terjadinya DKI (Chew dan Maibach, 2006).
Beberapa jalur yang saling terkait diduga terlibat pada DKI antara lain gangguan
fungsi barier kulit, stimulasi sel epidermis, dan pelepasan mediator proinflamasi
dari keratinosit (Smith dkk, 2002; Elberting dkk, 2014). Terjadinya DKI diawali
dengan adanya paparan iritan yang mampu penetrasi menembus pertahanan kulit
7
8
dan menyebabkan kerusakan keratinosit (Smith dkk, 2002; Elberting dkk, 2014;
Tan dkk, 2014).
Keratinosit mengalami perubahan struktur sebagai responnya terhadap
iritan dengan bentuk bervariasi tergantung tipe iritan yang digunakan. Sodium
lauril sulfat (SLS) menimbulkan adanya gambaran sel parakeratosis pada
epidermis atas, sedangkan asam nonanoik menimbulkan adanya gambaran sel
diskeratotik. Aktivitas fungsional keratinosit juga terganggu oleh adanya iritan,
selanjutnya terjadi pelepasan mediator inflamasi, aktivasi limfosit dan respon
vaskular (Smith dkk, 2002; Chew dan Maibach, 2006).
Pada kasus kronis atau kumulatif terjadi kerusakan lapisan pertahanan
lipid akibat hilangnya kohesi korneosit dan deskuamasi. Kondisi ini selanjutnya
dapat menyebabkan peningkatan kehilangan cairan transepidermal sebagai akibat
terganggunya fungsi barier kulit (Chew dan Maibach, 2006; Elberting dkk, 2014).
Gangguan fungsi barier akibat paparan surfaktan menginduksi pelepasan sitokin
seperti interleukin-1α, interleukin-1β, interleukin-6 dan tumor necrosis factor-α
dari keratinosit. Sitokin ini kemudian beraksi sebagai sinyal pelepasan kemokin
proinflamasi yang akan menarik sel mononuklear dan polimorfonuklear pada area
yang terpapar bahan iritan (Smith dkk, 2002; Elberting dkk, 2014; Tan dkk,
2014).
Dermatitis kontak iritan merupakan kelainan multifaktorial yang
dipengaruhi oleh kombinasi faktor eksogen dan endogen (Amado dkk, 2012).
Faktor eksogen yang mempengaruhi DKI antara lain :
9
a)
Karakteristik iritan
Potensi iritasi dari suatu iritan sulit untuk diprediksi, beberapa faktor
yang dapat mempengaruhi meliputi sifat fisikokimia yaitu pH, kondisi fisik,
konsentrasi, ukuran molekul, molaritas, polarisasi, vehikel, dan solubilitas
(Amado dkk, 2012). Peningkatan konsentrasi iritan akan mempengaruhi pola
respon. Konsentrasi rendah SLS menginduksi eritema sedangkan konsentrasi
tinggi menginduksi bula. Vehikel suatu iritan akan mempengaruhi dosis
absorbsinya sehingga akan menimbulkan pola respon yang berbeda-beda.
Solubilitas iritan pada vehikel memiliki pengaruh pada reaksi yang
ditimbulkannya. Iritan yang bersifat lipofilik akan lebih mudah menembus
stratum korneum kulit untuk mencapai sel epidermis dibawahnya (Weltfriend
dan Maibach, 2008).
b) Karakteristik paparan
Tipe kontak, durasi, frekuensi, paparan simultan dengan iritan lain,
dan interval setelah paparan sebelumnya akan mempengaruhi potensi iritasi
(Amado dkk, 2012). Paparan jangka lama akan meningkatkan penetrasi iritan
sehingga akan semakin meningkatkan kapasitas iritasinya. Apabila paparan
iritan diulang maka masa pulih dari paparan sebelumnya akan mempengaruhi
respon selanjutnya (Weltfriend dan Maibach, 2008).
c)
Faktor lingkungan
Faktor lingkungan seperti temperatur, kelembaban, dan oklusi
mempengaruhi respon kulit terhadap iritan. Berkembangnya DKI sebagian
besar dipengaruhi oleh temperatur. Temperatur yang tinggi akan menurunkan
10
fungsi barier dan meningkatkan penetrasi SLS deterjen melalui kulit. Larutan
deterjen yang panas akan lebih iritan dibandingkan larutan deterjen yang
dingin (Wilkinson dan Beck, 2010). Kelembaban rendah mengakibatnya
menurunnya kandungan air stratum korneum sehingga menyebabkan kulit
lebih permeabel terhadap iritan (Wilkinson dan Beck, 2010; Amado dkk,
2012).
Faktor endogen yang mempengaruhi DKI antara lain :
a)
Faktor genetik
Kemampuan untuk mereduksi radikal bebas, mengubah kadar enzim
antioksidan dan melindungi protein dari trauma panas, kesemuanya diketahui
diatur oleh genetik. Faktor-faktor tersebut juga menentukan variabilitas
respon terhadap iritan (Amado dkk, 2012).
b) Usia
Luebberding dkk membuktikan bahwa hanya beberapa parameter fungsi
barier kulit yang dipengaruhi oleh proses penuaan, diantaranya kadar sebum
dan pH kulit. Hidrasi kulit dan TEWL tidak menunjukkan korelasi yang
signifikan dengan peningkatan usia (Luebberding dkk, 2013).
c)
Jenis kelamin
Kasus DKI lebih sering dijumpai pada wanita dibandingkan pria. Hal tersebut
bukan karena wanita lebih rentan terhadap iritan namun karena lebih sering
terpapar dengan iritan dan pekerjaan yang basah (Amado dkk, 2012).
11
d) Area tubuh yang terkena
Wajah, punggung tangan, dan sela jari lebih peka terhadap iritan
dibandingkan telapak tangan, telapak kaki, dan punggung (Amado dkk, 2012;
Tan dkk, 2014).
e)
Atopi
Individu dengan dermatitis atopik memiliki suseptibilitas yang tinggi
terhadap iritan yang disebabkan adanya gangguan fungsi barier kronis (Tan
dkk, 2014).
Dermatitis kontak iritan memiliki manifestasi klinis yang dapat dibagi
menjadi beberapa kategori. Berdasarkan karakteristik iritan dan paparan,
manifestasi klinis DKI dibagi menjadi 10 tipe, antara lain (Chew dan Maibach,
2006; Amado dkk, 2012) :
a)
Reaksi iritasi
Reaksi iritasi secara klinis ditandai dengan reaksi monomorfik akut berupa
skuama, eritem derajat ringan, vesikel, atau erosi yang berlokasi umumnya di
punggung dan jari tangan. Kondisi ini sering terjadi pada individu yang
bekerja di lingkungan basah. Reaksi iritan dapat berubah atau berkembang
menjadi dermatitis iritan kumulatif.
b) Dermatitis kontak iritan akut
Dermatitis kontak iritan akut umumnya terjadi akibat paparan kulit tunggal
berupa asam dan basa kuat, paparan singkat serial bahan kimia maupun akibat
kontak fisik. Sebagian besar kasus DKI akut merupakan akibat kecelakaan
kerja. Kelainan kulit yang timbul dapat berupa eritema, edema, vesikel, dapat
12
disertai eksudasi, pembentukan bula dan nekrosis jaringan pada kasus yang
berat.
c)
Iritasi akut tertunda
Iritasi akut tertunda merupakan reaksi akut tanpa tanda inflamasi yang
tampak hingga 8 – 24 jam atau lebih setelah paparan. Gambaran dan
perjalanan klinis menyerupai DKI akut. Waktu munculnya lesi seperti pada
dermatitis kontak alergi (DKA), sehingga keduanya kadang sulit dibedakan
bahkan dengan tes tempel.
d) Dermatitis kontak iritan kronik kumulatif
Dermatitis tipe ini merupakan DK yang paling sering dijumpai. Biasanya
terjadi akibat adanya paparan berulang pada kulit, dimana bahan kimia yang
terlibat sering lebih dari satu dan bersifat lemah. Bahan tersebut antara lain
deterjen, sabun, surfaktan, pelarut organik dan minyak.
e)
Iritasi subyektif
Pasien mengeluhkan gatal, pedih, rasa terbakar, atau perih pada hitungan
menit setelah kontak dengan iritan, namun tanpa terlihat perubahan pada
kulit. Kondisi ini diduga akibat stimulasi nosiseptor tipe C kulit, meskipun
saat ini perubahan pada vaskularisasi kulit diduga juga turut berperan.
f)
Iritasi non eritematosa (suberitematosa)
Kondisi dimana iritasi tidak tampak namun tampak secara histologik. Gejala
yang sering timbul berupa rasa seperti terbakar, gatal, dan pedih. Iritasi
suberitematosa berhubungan dengan penggunaan produk yang mengandung
sejumlah surfaktan.
13
g) Dermatitis gesekan
Iritasi mekanik dapat terjadi akibat mikrotrauma dan gesekan berulang.
Dermatitis
tipe
ini
umumnya
menyebabkan
kulit
menjadi
kering,
hiperkeratotik pada kulit yang terabrasi dan kulit lebih rentan terhadap iritan.
h) Reaksi traumatik
Reaksi traumatik dapat terjadi setelah trauma kulit akut seperti terbakar atau
laserasi, biasanya sering timbul pada tangan dan dapat bertahan 6 minggu
atau lebih. Proses penyembuhan dermatitis tipe ini lama dan dapat muncul
lesi berupa eritema, skuama, papul, atau vesikel. Perjalanan klinis dapat
menyerupai dermatitis numularis.
i)
Reaksi pustular atau akneiform
Dermatitis tipe ini sering terjadi setelah paparan pekerjaan dengan minyak,
tar, logam berat, halogen dan setelah penggunaaan beberapa kosmetik. Lesi
pustular steril, bersifat transien dan muncul setelah beberapa hari kontak
dengan iritan. Biasanya sering dijumpai pada pasien dengan dermatitis atopik
ataupun dermatitis seboroik.
j)
Dermatitis iritan asteatotik
Kondisi ini sering didapatkan pada pasien usia lanjut yang tidak mengoleskan
pelembab pada kulit setelah mandi. Gambaran klinis yang khas untuk DKI
tipe ini adalah gatal, kulit kering, dan skuama iktiosiform.
Pada dasarnya tidak ada pemeriksaan khusus untuk memastikan diagnosis
DKI. Tes tempel dan uji provokasi tidak dianjurkan karena tingkat positif palsu
yang tinggi. Tetapi pada beberapa literatur, tes tempel dilakukan untuk
14
membedakan DKA dan DKI. Sensitifitas dan spesifisitas uji tempel berkisar 70%,
hal ini menyebabkan hasil positif palsu masih sering dapat terjadi sehingga data
epidemiologi DKI dapat under/over-estimation. Hasil uji tempel positif
mengindikasikan DKA dan sebaliknya hasil negatif dapat dipertimbangkan
sebagai DKI. Reaksi alergi umumnya bersifat kresendo (peningkatan keparahan
seiring waktu) sementara reaksi iritan umumnya bersifat dekresendo (penurunan
keparahan seiring waktu) (Chew dan Maibach, 2006).
B. Deterjen
Istilah deterjen telah digunakan sejak tahun 1676, berasal dari bahasa Latin
detergere yang artinya membersihkan, secara harfiah diartikan sebagai bahan
pembersih. Saat ini deterjen dimaksudkan sebagai semua agen pembersih yang
mengandung surfaktan. Sejak akhir 1940-an surfaktan sintetik telah digunakan
secara luas pada industri deterjen (Effendy dan Maibach, 2006).
Deterjen dapat diklasifikasikan berdasarkan kegunaan maupun bentuk.
Berdasarkan kegunaannya deterjen dikelompokkan menjadi 4 kategori yaitu
personal cleansing, laundry detergent, diswashing detergent dan household
cleansing. Laundry detergent (deterjen pencuci pakaian) merupakan deterjen yang
banyak digunakan di populasi (70%). Berdasarkan bentuknya deterjen dibedakan
menjadi 4 yaitu solid, bubuk, paste-like dan cair. Deterjen bubuk lebih disukai
oleh konsumen dibandingkan deterjen bentuk yang lain (Ainsworth, 2002).
Komposisi deterjen pencuci pakaian bubuk umumnya terdiri dari surfaktan
anionik 10 – 20%. Surfaktan atau surface active agent adalah zat aktif permukaan
15
yang berfungsi untuk menurunkan tegangan permukaan air sehingga dapat
melepaskan kotoran yang menempel pada permukaan bahan. Untuk meningkatkan
aksi surfaktan diperlukan bahan pembentuk (builder), seperti zeolit 20 – 30%,
sitrat 0 – 5%, polikarboksilat 0 – 4%, karbonat 5 – 15%, dan sodium silikat 1 –
6% (Showell, 1998; Belsito dkk, 2002).
Pengisi (filler) merupakan bahan tambahan deterjen biasanya sekitar 9 –
25% dari keseluruhan kandungan deterjen bubuk. Bahan ini tidak mempunyai
kemampuan meningkatkan daya cuci tetapi hanya menambah kuantitas deterjen
bubuk contohnya adalah sodium sulfat. Untuk kepentingan komersialisasi produk
ditambahkan bahan aditif (tambahan) pada deterjen. Bahan tersebut antara lain
seperti enzim (0 – 2%), pewangi, pelarut, pemutih, pewarna dan lain-lain yang
tidak berhubungan langsung dengan daya cuci deterjen. Bahan yang berperan
sebagai agen pemutih antara lain perborat 15%, aktivator 0 – 3%, dan fluorescent
whitening agent 0,1 – 0,5% (Showell, 1998; Belsito dkk, 2002).
Surfaktan berdasarkan sifat gugus hidrofiliknya dapat dibagi menjadi
empat jenis, yaitu (Morelli dan Szajer, 2000; Effendy dan Maibach, 2006) :
a.
Surfaktan anionik yaitu surfaktan dengan bagian aktif permukaannya
mengandung muatan negatif. Surfaktan jenis ini paling banyak digunakan
pada industri deterjen. Gugus anion yang sering dipakai pada surfaktan
anionik adalah karboksilat alkil, sulfonat, dan sulfat. Gugus karboksilat
ditemukan pada produk sabun zaman dahulu. Gugus sulfat merupakan gugus
yang saat ini paling banyak dipakai berbagai produk deterjen dan yang paling
terkenal adalah SLS. Surfaktan anionik ditemukan pada produk deterjen
16
pencuci pakaian, pencuci piring, pembersih rumah tangga, dan produk
personal cleansing.
b.
Surfaktan kationik yaitu surfaktan dengan bagian aktif permukaan
mengandung muatan positif. Gugus kation yang sering terkandung dalam
deterjen adalah senyawa ammonium quaternary. Surfaktan kationik memiliki
efek antimikroba sehingga penggunaannya terutama pada produk disinfektan
dan sanitasi, namun juga ditemukan pada deterjen pelembut serat.
c.
Surfaktan nonionik yaitu surfaktan dengan bagian aktif permukaan tidak
mengandung
muatan
apapun.
Surfaktan
ini
bersifat
kurang
iritasi
dibandingkan surfaktan anionik maupun surfaktan kationik. Surfaktan nonionik yang paling banyak digunakan adalah alkohol etoksilat. Surfaktan nonionik banyak digunakan sebagai deterjen dengan busa minimal pada deterjen
pencuci pakaian dan pencuci piring.
d.
Surfaktan amfoterik yaitu surfaktan yang mengandung muatan negatif
maupun positif pada bagian aktif permukaannya. Surfaktan ini memiliki sifat
surfaktan anionik misalnya pada deterjen dan juga sifat surfaktan kationik
misalnya pada desinfektan. Surfaktan amfoterik digunakan pada produk
personal cleansing dan household cleansing karena sifatnya yang kurang
iritatif, berbusa dan stabil.
Deterjen bubuk yang umum digunakan di Indonesia berdasarkan survei
Top Brand 2012 dan 2013 ada 5 yaitu antara lain Rinso®, Daia®, Attack®, So
Klin® dan Boom®. Top Brand Award diberikan kepada berbagai merek di dalam
kategori produk tertentu yang memenuhi dua kriteria, yaitu merek yang
17
memperoleh indeks Top Brand minimum 10% dan yang menurut hasil survei
berada dalam posisi tiga teratas pada kategori produknya. Kedua kriteria ini harus
dipenuhi oleh sebuah merek agar berhak menyandang predikat “Top Brand”
(Marketing, 2012; Marketing 2013).
Indeks Top Brand diukur dengan menggunakan tiga parameter, yaitu (a)
Top of mind awareness yaitu didasarkan atas merek yang pertama kali disebut
oleh responden ketika kategori produknya disebutkan; (b) Last used yaitu
didasarkan atas merek yang terakhir kali digunakan oleh responden dalam satu repurchase cycle; (c) Future intention yaitu didasarkan atas merek yang ingin
digunakan di masa mendatang (Marketing, 2012; Marketing 2013).
Nilai masing-masing parameter untuk sebuah merek di dalam kategori
produk tertentu diperoleh dengan cara menghitung persentase frekuensi merek
tersebut relatif terhadap frekuensi keseluruhan merek. Indeks Top Brand
selanjutnya diperoleh dengan cara menghitung rata-rata bobot masing-masing
parameter. Survei Top Brand terbagi menjadi dua jenis yaitu survei dengan target
populasi responden umum dan survei business-to-business. Survei dilaksanakan
dengan metode interview tatap muka (Marketing, 2012; Marketing 2013).
Deterjen termasuk deterjen pencuci pakaian hampir setiap hari digunakan
dalam kehidupan sehari-hari (Effendy dan Maibach, 2006). Komponen utama
penyusun deterjen pencuci pakaian adalah surfaktan (Yangxin dkk, 2008). Pada
proses mencuci terjadi interaksi langsung antara surfaktan dan kulit, yang
selanjutnya dapat menyebabkan kerusakan kulit tanpa didahului sensitisasi
imunologik (Effendy dan Maibach, 2006; Wolf dan Parish, 2012). Meskipun
18
surfaktan telah banyak diketahui merupakan bahan yang bersifat iritan, namun
mekanisme pastinya belum diketahui secara jelas (Effendy dan Maibach, 2006).
Efek iritasi tersebut diduga tergantung pada konsentrasi dan rasio
molaritas antara surfaktan dan lipid. Beberapa penelitian menunjukkan surfaktan
anionik lebih iritasi dibandingkan surfaktan lainnya, sedangkan surfaktan kationik
memiliki efek iritasi yang kurang lebih sama dengan surfaktan anionik. Surfaktan
kationik memliki efek sitotoksik yang lebih besar dibandingkan surfaktan anionik.
Surfaktan nonionik memiliki efek iritasi paling rendah diantara surfaktan lainnya,
walaupun demikian, peringkat potensi iritasi surfaktan tidak dapat ditentukan
hanya berdasarkan sifat gugus hidrofilik surfaktan (Effendy dan Maibach, 2006).
Untuk meningkatkan kemampuan membersihkan dan menurunkan efek
iritasinya pada kulit, saat ini deterjen pencuci pakaian diformulasikan dengan
kandungan kombinasi beberapa tipe surfaktan (Yangxin dkk, 2008). Rendahnya
efek iritasi deterjen dengan surfaktan campuran disebabkan adanya interaksi
kompetitif antara surfaktan yang digunakan (Effendy dan Maibach, 2006).
Sebagian besar deterjen bubuk bersifat sangat alkalis dan dapat
menginduksi peningkatan pH kulit yang selanjutnya dapat mengakibatkan
terganggunya
perlindungan fisiologis mantel asam kulit akibat berkurangnya
kandungan lemak (Boonchai dan Iamthorachai, 2010). Barier kulit yang rusak
akan meningkatkan penetrasi iritan dan menjadi faktor penyebab utama pada DKI
(Baranda dkk, 2002).
19
C. Metode Uji Iritasi
Penilaian efek sitotoksik dan iritasi deterjen dapat dilakukan baik secara in
vivo maupun in vitro. Secara umum, kedua efek deterjen tersebut dapat dinilai
dengan uji in vivo sedangkan uji in vitro hanya dapat digunakan untuk menilai
efek sitotoksik. Pengujian in vivo dapat dilakukan dengan beberapa metode uji
iritasi yang cara paparannya sering disesuaikan dengan jenis produk yang akan
diuji serta dirancang untuk mensimulasikan kondisi paparan yang sebenarnya
(Corazza dkk, 2010; Farage dkk, 2011).
Pada dasarnya metode uji iritasi dapat dikelompokkan menjadi uji tertutup
dan uji terbuka. Uji tertutup berupa uji tempel, dapat dilakukan dengan cara
oklusif maupun semi-oklusif (Corazza dkk, 2010). Uji iritasi dengan uji terbuka
yang dikenal secara umum adalah wash test, immersion test dan ROAT. Cara
penggunaan deterjen umumnya berupa paparan langsung pada kulit dalam waktu
relatif singkat dan berulang-ulang. Metode uji iritasi yang dianggap memiliki
kesamaan dengan kondisi tersebut adalah uji terbuka (Simion, 2006, Williams
dkk, 2011).
Uji terbuka untuk menilai efek iritasi memiliki kelebihan dan
kekurangannya masing-masing, namun hasil pengujian tetap menggambarkan
efek iritasi dari cara pemakaian deterjen dalam keseharian. Wash test memerlukan
jumlah sampel yang besar karena permukaan kedua lengan bawah hanya dapat
membandingkan 2 bahan iritan (Tupker dkk, 1999).
Immersion test dilakukan dengan mengimersi tangan atau lengan bawah
sehingga metode ini juga memerlukan jumlah sampel yang banyak karena 1
20
subjek hanya dapat diuji iritasi dengan 2 iritan yang berbeda. Tes ini juga tidak
dapat menunjukkan perbedaan efek iritasi antara iritan lemah dan kuat karena
perubahan kulit yang terjadi setelah paparan dengan imersi yang berbeda sangat
ringan. Diantara ketiga uji terbuka tersebut ROAT merupakan metode uji iritasi
yang memiliki kesamaan paparan dengan penggunaan deterjen dalam kehidupan
sehari-hari, namun memang kerugiannya metode ini harus dilakukan berulangulang sehingga lebih memakan waktu (Tupker, 2003; Simion, 2006).
Repeat open application test merupakan salah satu uji terbuka yang dapat
digunakan untuk menilai efek iritasi beberapa deterjen pada waktu yang
bersamaan pada satu individu. Metode uji iritasi ini biasanya dilakukan pada
lengan bawah bagian volar. Bahan uji iritan 0,1 ml dengan konsentrasi 10%
(berat/volum) diisi ke area lingkaran tes dengan diameter 2 cm yang kemudian
dibiarkan selama 20 - 45 menit satu kali sehari. Reaksi iritasi dapat terjadi
umumnya dalam 4 hari, namun dapat terjadi lebih lambat pada hari ke-5 sampai
hari ke-7, namun 7 hari biasanya menjadi periode waktu yang dipilih untuk
ROAT (Nakada dkk, 2000; Tupker, 2003).
D. Parameter Efek Iritasi
Efek iritasi pada kulit akibat paparan berulang deterjen secara obyektif
dapat dinilai dengan pemeriksaan biosifik non invasif berupa pengukuran TEWL
dan secara subyektif dengan menggunakan skor visual. Keduanya masing-masing
memiliki kekurangan dan kelebihan (Tupker dkk, 1999; Fluhr dkk, 2001).
21
Perubahan fisiologik dapat terjadi pada proses awal iritasi yang kadang
timbul sebelum beberapa reaksi iritasi terlihat pada kulit. Skor visual dapat
menilai seluruh reaksi iritasi secara simultan dan lebih diskriminatif dalam
mendeteksi perubahan kulit dibandingkan dengan nilai TEWL. Namun skor visual
tidak dapat mengukur secara langsung perubahan fisiologik dan kurang sensitif
dalam mengevaluasi efek iritasi. Kekurangan ini terutama dijumpai bila
menggunakan
metode
paparan
ROAT,
sehingga
penggunaan
keduanya
diharapkan dapat saling melengkapi dalam penilaian efek iritasi deterjen (Fluhr
dkk, 2001; Farage dkk, 2014).
Air secara terus menerus berdifusi dari kulit ke lingkungan sekitar karena
tingginya kandungan dan aktivitas air dalam tubuh, proses ini dikenal sebagai
evaporasi. Evaporasi transepidermal atau TEWL merupakan salahsatu metode non
invasif yang sering digunakan untuk menilai integritas stratum korneum dan
sebagai alat pengukur tidak langsung fungsi barier kulit. Evaporasi transepidermal
atau TEWL juga merupakan metode yang akurat dan sensitif untuk mendeteksi
serta mengukur perubahan kulit yang disebabkan iritan (Schnetz dkk, 1999).
Stratum korneum merupakan bagian kulit yang letaknya paling luar dan
berperan penting dalam pembentukan barier terhadap difusi air (Rogiers dkk,
1999). Nilai TEWL dipengaruhi tiga variabel yaitu kelembaban relatif, temperatur
ruangan dan temperatur dari obyek yang diukur (kulit), oleh karena itu diperlukan
kondisi yang terstandarisasi (Slotoch dkk, 2007; Khan dkk, 2012).
Pengukuran TEWL memerlukan aklimatisasi sekitar 10 menit sampai 1
jam pada standar kelembaban 31 – 65% dan standar suhu 19 – 22oC (Thoma dkk,
22
1997; Fluhr dan Darlenski, 2014). Satuan pengukur TEWL adalah gram/meter
persegi/jam dan alat pengukur TEWL yang sering digunakan antara lain
evaporimeter ataupun tewameter (Slotoch dkk, 2007; Khan dkk, 2012).
Penilaian klinis efek iritasi berdasarkan skor visual dicantumkan pada
tabel di bawah ini (Hannuksela A dan Hannuksela M, 1996) :
Tabel 2. Skor visual efek iritasi
Klinis
Skor
Interpretasi
Eritem
0
0,5+
1+
2+
3+
4+
0
1+
2+
3+
0
1+
2+
3+
Tidak ada eritem
Ambigu atau tidak jelas
Eritem minimal, milier atau difus
Eritem sedang dan merata
Eritem berat
Eritem menyala dengan edema
Tidak ada fisura
Fisura ringan
Fisura lebar, soliter atau multipel
Fisura lebar dengan perdarahan atau eksudasi
Tidak ada skuama
Skuama halus
Skuama sedang
Skuama tebal
Fisura
Skuama
(Sumber : Contact Dermatitis, 1996, 34(2), 134-7)
E. Landasan Teori
Berdasarkan tinjauan pustaka tersebut di atas, pokok-pokok pikiran yang
menjadi alasan untuk meneliti potensi iritasi berbagai deterjen bubuk yang banyak
digunakan di Indonesia adalah sebagai berikut :
1.
Karakteristik iritan turut menentukan efek iritasi yang ditimbulkan
diantaranya bahan aktif, komposisi dan sifat fisikokimia.
23
2.
Berbagai merek deterjen bubuk memiliki bahan aktif, komposisi, dan sifat
fisikokimia yang berbeda-beda.
3.
Konsentrasi ion hidrogen (derajat pH) deterjen bubuk dapat mengganggu
fungsi barier kulit.
4.
Barier kulit yang rusak akan menimbulkan efek iritasi.
F. Kerangka Teori
Deterjen
Surfaktan
pH alkali
Kerusakan membran
pertahanan kulit
Peningkatan pH air
Peningkatan
permeabilitas kulit
Peningkatan pH
kulit
Dermatitis Kontak Iritan
Gambar 1. Kerangka Teori
24
G. Kerangka Konsep
 Genetik
 Deterjen :
bahan aktif dan komposisi
Deterjen
 Merek
 Derajat pH
Efek Iritasi
Skor visual
TEWL
Gambar 2. Kerangka Konsep
H. Hipotesis
Berdasarkan pembahasan di atas, maka pada penelitian ini ditentukan
hipotesis sebagai berikut :
a.
Terdapat perbedaan efek iritasi pada berbagai deterjen bubuk yang umum
digunakan di Indonesia.
b.
Terdapat korelasi antara pH deterjen bubuk dengan efek iritasi yang
ditimbulkan.
Download