analisis pengaruh perkembangan sektor keuangan terhadap

advertisement
ANALISIS PENGARUH PERKEMBANGAN SEKTOR KEUANGAN
TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA
Oleh
FABYA
H14104029
PROGRAM STUDI ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
RINGKASAN
FABYA. Analisis Pengaruh Perkembangan Sektor Keuangan terhadap
Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia (dibimbing oleh BUNASOR SANIM).
Perkembangan sektor keuangan tidak dapat dilepaskan dari perkembangan
perekonomian. Turunnya harga minyak pada awal tahun 1980-an mempengaruhi
kinerja perekonomian Indonesia. Pendapatan dari minyak menurun dan
pemerintah membutuhkan mobilisasi dana dari dalam negeri untuk membiayai
pembangunan. Hal ini kemudian melatarbelakangi deregulasi pada berbagai
sektor perekonomian termasuk sektor keuangan.
Melalui deregulasi tersebut diharapkan sektor keuangan mampu menyerap
dana dari masyarakat dan akhirnya dapat mendorong kembali pertumbuhan
ekonomi. Usaha tersebut kemudian mendatangkan hasil karena Indonesia dapat
kembali menikmati pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dan seiring dengan
pertumbuhan ekonomi tersebut, sektor keuangan di Indonesia juga mengalami
perkembangan yang pesat. Perkembangan yang pesat tersebut dapat dilihat dari
perkembangan jumlah bank maupun kantor bank, aset, dan jumlah dana yang
berhasil dihimpun dari masyarakat.
Penelitian ini memiliki dua tujuan: 1) menganalisis pengaruh
perkembangan sektor keuangan terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. 2)
menganalisis variabel perkembangan sektor keuangan yang paling dominan dalam
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
merupakan data time series kuartalan dari Maret 2002 sampai Maret 2010.
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi linier
berganda dengan metode estimasi OLS (Ordinary Least Square). Variabelvariabel yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: 1) tingkat monetisasi (M2Y),
2) tabungan (LGT), 3) kredit swasta (LGK), 4) GDP riil (LGGDP).
Hasil yang didapat dari penelitian ini berdasarkan estimasi OLS adalah
pertumbuhan sektor keuangan positif mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.
Tabungan (LGT) mempunyai hubungan yang positif dan signifikan dalam
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi (LGGDP) sebesar 0,253518 persen. Nilai
kredit swasta (LGK) mempunyai hubungan yang positif dan tidak signifikan
dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi (LGGDP) sebesar 0,021647 persen.
Sedangkan tingkat monetisasi (M2Y) mempunyai hubungan yang negatif dan
signifikan dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi (LGGDP) sebesar 0,113023 persen. Variabel dari perkembangan sektor keuangan yang dominan
dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi (LGGDP) Indonesia adalah variabel
tabungan (LGT).
Bank Indonesia perlu mengeluarkan kebijakan berupa dorongan
menjalankan fungsi intermediasi bank-bank yang ada di Indonesia. Bank
Indonesia sebaiknya menghimbau perbankan agar lebih aktif dalam mendukung
transaksi pembayaran non tunai. Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi
dibutuhkan peran masyarakat melalui tabungan. Tabungan merupakan modal
potensial dalam perekonomian, maka perlu disalurkan kepada kelompok
masyarakat yang membutuhkan modal untuk membiayai kegiatan yang produktif.
ANALISIS PENGARUH PERKEMBANGAN SEKTOR
KEUANGAN TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI
INDONESIA
Oleh
FABYA
H14104029
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
Judul Skripsi
: Analisis
Pengaruh
Perkembangan
Sektor
Keuangan terhadap Pertumbuhan Ekonomi di
Indonesia
Nama Mahasiswa
: Fabya
Nomor Registrasi Pokok : H14104029
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Prof. Ir. Bunasor Sanim, Ph.D
NIP. 19451216 196902 1 001
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu ekonomi
Dedi Budiman Hakim, Ph.D
NIP. 19641022 198903 1 003
Tanggal Kelulusan:
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG
BERJUDUL “ANALISIS PENGARUH PERKEMBANGAN SEKTOR
KEUANGAN TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA”
ADALAH KARYA SENDIRI DAN BELUM DIAJUKAN DALAM BENTUK
APAPUN KEPADA PERGURUAN TINGGI MANAPUN. SUMBER
INFORMASI YANG BERASAL ATAU DIKUTIP DARI KARYA YANG
DITERBITKAN MAUPUN TIDAK DITERBITKAN DARI PENULIS LAIN
TELAH DISEBUTKAN DALAM TEKS DAN DICANTUMKAN DALAM
DAFTAR PUSTAKA DI BAGIAN AKHIR SKRIPSI INI.
Bogor, Agustus 2011
Fabya
H14104029
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tangal 9 Maret 1986 dari pasangan
Edman Mara dan Ewat Sucitawati. Penulis merupakan anak sulung dari tiga
bersaudara. Jenjang pendidikan penulis dilalui dari SDI Yasma PB Sudirman,
kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 102 Jakarta dan lulus pada tahun 2001.
pada tahun yang sama penulis diterima di SMA Negeri 39 Jakarta dan lulus pada
tahun 2004.
Pada tahun 2004 penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan
Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu
Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa,
penulis berkecimpung dalam organisasi KOPMA IPB dan dalam berbagai
kegiatan kemahasiswaan seperti FEMily Day dan Banking Goes To Campus
(BGTC).
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas berkat, rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini
yang berjudul “Analisis Pengaruh Perkembangan Sektor Keuangan terhadap
Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu
Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyadari sepenuh hati bahwa skripsi ini tidak akan tersusun dan
selesai tanpa bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu dari lubuk hati yang teramat
dalam, perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak
terhingga kepada:
1. Prof. Ir. Bunasor Sanim, Ph.D selaku dosen pembimbing yang telah dengan
sabar memberikan bimbingan, masukan, saran dan kritik yang sangat
membantu dalam proses penyusunan skripsi ini sehingga penulis dapat
menyelesaikannya.
2. Tanti Novianti, M.Si selaku dosen penguji utama dan Widyastutik, M.Si
selaku dosen penguji komisi pendidikan, atas kesediaannya menguji skripsi
ini.
3. Kedua orang tua yang telah membesarkan, memberikan kasih sayang,
membimbing, mendidik dan selalu mendoakan penulis dari lahir hingga saat
ini.
4. Adik-adikku (Meita dan Farah) atas dukungan dan pengertiannya.
5. Saudara-saudara dan keluarga besar penulis atas semangat dan dukungannya.
6. Sahabat-sahabatku (Yanita, Ellis, Feny, Ulfa, Ery, Fitri, Nurie, Neni) atas
motivasi, persahabatan dan kebersamaannya.
7. Teman-teman satu bimbingan (Dwi, Septi, Novi) atas kerjasama dan
motivasinya.
8. Teman-teman IE 41 atas kebersamaan, persahabatan dan silaturahminya.
9. Seluruh dosen dan staf Departemen Ilmu Ekonomi atas segala bantuannya.
10. Seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini
yang tidak disebutkan satu-persatu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, karena
keterbatasan pengetahuan, pengalaman dan kemampuan yang dimiliki. Oleh
karena itu, penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam penulisan.
Penulis berharap semoga karya ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
membutuhkan.
Bogor, Agustus 2011
Fabya
H14104029
i
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ..................................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... v
DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................................vi
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah ................................................................................. 6
1.3. Tujuan Penelitian ..................................................................................... 7
1.4. Manfaat Penelitian ................................................................................... 7
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pertumbuhan Ekonomi ............................................................................ 9
2.2. Teori Pertumbuhan Harrod-Domar .......................................................... 9
2.3. Teori Pertumbuhan Neoklasik (Solow-Swan)........................................10
2.4. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter............................................12
2.5. Sektor Keuangan....................................................................................14
2.5.1. Pengertian Sektor Keuangan......................................................14
2.5.2. Fungsi Lembaga Perantara Keuangan........................................14
2.5.2.1. Memobilisasi tabungan.................................................14
2.5.2.2. Mengelola resiko...........................................................15
2.5.2.3. Memperoleh informasi tentang peluang-peluang
investasi........................................................................16
2.5.2.4. Memonitor manajer dan mengerahkan kontrol bagi
perusahaan....................................................................17
2.5.2.5. Memperlancar transaksi dan memfasilitasi pertukaran
barang dan jasa.............................................................17
2.5.3. Perkembangan Sektor Keuangan...............................................18
2.6. Penelitian-Penelitian Terdahulu.............................................................20
2.7. Kerangka Pemikiran...............................................................................24
ii
2.8. Hipotesis Penelitian................................................................................27
III. METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Sumber Data...........................................................................28
3.2. Deskripsi Variabel Penelitian.................................................................28
3.3. Model Penelitian....................................................................................29
3.4. Metode Analisis Data dan Asumsi Model Regresi OLS....................... 30
3.5. Pengujian Kriteria Ekonomi dan Statistik..............................................33
3.5.1. Uji t (Uji Parsial)........................................................................33
3.5.2. Uji F (Uji Serempak)..................................................................34
3.5.3. Uji Koefisien Determinasi (R2)..................................................34
3.6. Uji Ekonometrika........................................................................... ........32
3.6.1. Heteroskedastisitas.....................................................................35
3.6.2. Autokorelasi...............................................................................35
3.6.3. Multikolinearitas……...……...………………………………..36
3.7. Kelemahan Metode Ordinary Least Square (OLS)............................... 37
IV. GAMBARAN UMUM PERKEMBANGAN SEKTOR KEUANGAN
DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA
4.1. Perkembangan Sektor Keuangan Setelah Tahun 1983…………......…39
4.2. Perkembangan Sektor Keuangan Setelah Krisis Moneter 1997............40
4.3. Perkembangan Sektor Keuangan Selama Periode Penelitian…......…..43
V.
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Uji Kriteria Statistik...............................................................................45
5.2. Uji Ekonometrika...................................................................................46
5.3. Analisis Hubungan antara Perkembangan Sektor Keuangan dengan
Pertumbuhan Ekonomi….......................................................................48
5.3.1. Kredit Swasta (LGK)................................................................48
5.3.2. Tabungan (LGT)........................................................................49
5.3.3. Tingkat Monetisasi (M2Y).........................................................49
5.4. Pembahasan Ekonomi.............................................................................50
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan ............................................................................................ 54
6.2. Saran ...................................................................................................... 54
iii
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................56
LAMPIRAN...........................................................................................................58
iv
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1.1.
Perkembangan Jumlah Bank dan Kantor Bank Umum (1978-2007)...........2
1.2.
Tabel Pertumbuhan GDP Riil Indonesia (1971-2009).................................3
2.1.
Penelitian Terdahulu…………………………………...…………...……22
3.1.
Data, Satuan, Simbol dan Sumber Data…….………………...…………28
4.1.
Jumlah Aset Berdasarkan Kelompok Bank, 2002 -2010 (miliar Rp)……43
4.2.
Kredit yang Disalurkan dalam Rupiah dan Valuta Asing Berdasarkan
Kelompok Bank, 2002-2010 (miliar Rp)…………….................…..........44
5.1.
Hasil Estimasi Variabel Dependen LGGDP…………………………......46
v
DAFTAR GAMBAR
Nomor
2.1.
Halaman
Kerangka pemikiran..............................................................................................26
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Uji Persamaan Regresi……........………………………………………...59
2. Uji Heteroskedastisitas...............................................................................59
3. Uji Autokorelasi ........................................................................................59
4. Matriks Korelasi antar Variabel Bebas......................................................59
5. Grafik Data................................................................................................60
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Indonesia sebagai negara sedang berkembang memiliki karakteristik
perekonomian yang tidak berbeda jauh dengan negara sedang berkembang
lainnya. Karakteristik perekonomian tersebut yaitu tingkat pertumbuhan
penduduk dan pengangguran yang tinggi, tingkat produktivitas dan kualitas hidup
rendah, ketergantungan pada sektor pertanian atau primer, pasar dan informasi
tidak sempurna, tingkat ketergantungan pada angkatan kerja tinggi, dan
ketergantungan tinggi pada ekspor komoditas primer. Pencapaian tingkat
pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam proses pembangunannya dihadapkan
pada permasalahan dalam keterbatasan modal untuk membiayai investasi
pembangunan.
Perkembangan sektor keuangan tidak dapat dilepaskan dari perkembangan
perekonomian. Turunnya harga minyak pada awal tahun 1980-an mempengaruhi
kinerja perekonomian Indonesia. Pendapatan dari minyak menurun dan
pemerintah membutuhkan mobilisasi dana dari dalam negeri untuk membiayai
pembangunan. Hal ini kemudian melatarbelakangi deregulasi pada berbagai sektor
perekonomian termasuk sektor keuangan.
Kebijakan deregulasi sektor keuangan yang penting pada dasawarsa 1980an adalah Paket Juni (PAKJUN) 1983 dan Paket Oktober (PAKTO) 1988.
PAKJUN 1983 menitikberatkan pada pemberian kebebasan bagi bank-bank untuk
menetapkan suku bunga deposito dan kredit, sedangkan PAKTO 1988
menitikberatkan pada usaha untuk meningkatkan kompetisi pada sektor keuangan
2
dengan mengurangi hambatan dalam pendirian bank baru. Kedua regulasi tersebut
kemudian melatarbelakangi perkembangan sektor keuangan di Indonesia.
Perkembangan tersebut misalnya dapat dilihat dari perubahan jumlah bank
maupun kantor bank. Sebelum tahun 1988 jumlahnya tidak mengalami
peningkatan yang cukup berarti. Namun sejak tahun 1988 jumlah bank maupun
kantor bank mengalami peningkatan yang cukup signifikan seperti dapat dilihat
pada Tabel 1.1.
Tabel 1.1. Perkembangan Jumlah Bank dan Kantor Bank Umum di Indonesia
(1978-2010)
Kelompok
Bank
Bank Pemerintah
BPD
BUSN
Jumlah
Jumlah
Jumlah
Jumlah
Jumlah Jumlah
Bank
Kantor
Bank
Kantor
Bank
Kantor
1978
5
685
26
140
83
270
1988
5
815
27
262
63
559
1997
7
1772
27
812
144
4887
1998
7
1875
27
822
130
4858
1999
5
1853
27
825
92
3581
2000
5
1736
26
826
81
3837
2001
5
1807
26
857
80
3988
2002
5
1885
26
909
76
4093
2003
5
2072
26
1003
76
4529
2004
5
2112
26
1064
72
4635
2005
5
2171
26
1107
71
4822
2006
5
2548
26
1217
71
5154
2007
5
2765
26
1205
71
5472
2008
5
3134
26
1310
68
6071
2009
5
3854
26
1358
65
7157
26
1413
67
7739
2010
4
4189
Sumber: Bank Indonesia, Statistik Perbankan Indonesia (1978-2010)
Bank
Asing/Campuran
Jumlah
Jumlah
Bank
Kantor
11
20
11
21
44
99
44
106
44
93
49
110
39
113
34
114
34
126
31
128
30
136
29
191
28
238
25
353
26
468
25
499
Usaha pemerintah melalui serangkaian deregulasi pada sektor riil dan
keuangan untuk mengurangi ketergantungan pertumbuhan ekonomi dari minyak
ternyata tidak sia-sia. Setelah mengalami pertumbuhan ekonomi sejak tahun 1982,
mulai tahun 1987 perekonomian Indonesia telah memasuki masa pemulihan.
Mulai tahun tersebut, pertumbuhan ekonomi semakin meningkat dan rata-rata
3
pertumbuhan ekonomi pada periode tahun 1987-1992 telah mencapai 6,5 persen
per tahun, yang berarti mendekati pertumbuhan ekonomi yang pernah dicapai
selama periode boom minyak, 1971-1981. Begitu pula setelah periode krisis
ekonomi 1997-1998 maka pertumbuhan ekonomi Indonesia menunjukkan
kenaikan secara bertahap (Tabel 1.2.).
Tabel 1.2. Tabel Pertumbuhan GDP Riil Indonesia (1971-2010)
Tahun
(Persen)
1971-1981
7,90
1982-1986
4,35
1987-1992
6,50
1993-1997
6,95
1998
-13,1
1999
0,80
2000
4,90
2001
3,30
2002
3,70
Sumber: Badan Pusat Statistik (1971-2010)
Tahun
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
(Persen)
4,14
5,00
5,60
5,50
6,30
6,10
4,50
6,10
Sektor keuangan memegang peranan yang sangat signifikan dalam
memicu pertumbuhan ekonomi suatu negara. Sektor keuangan menjadi lokomotif
pertumbuhan sektor riil melalui akumulasi kapital dan inovasi teknologi. Lebih
tepatnya, sektor keuangan mampu memobilisasi tabungan. Sektor keuangan
menyediakan para peminjam berbagai instrumen keuangan dengan kualitas tinggi
dan resiko rendah. Hal ini akan menambah investasi dan akhirnya mempercepat
pertumbuhan ekonomi. Di lain pihak, terjadinya asymmetric information, yang
dimanifestasikan dalam bentuk tingginya biaya-biaya transaksi dan biaya-biaya
informasi dalam pasar keuangan dapat diminimalisasi, jika sektor keuangan
berfungsi secara efisien.
Dalam ruang lingkup kebijakan makroekonomi, sektor keuangan menjadi
alat transmisi kebijakan moneter. Dengan demikian, shock yang dialami sektor
4
keuangan juga mempengaruhi efektivitas kebijakan moneter. Inggrid (2006)
mengidentifikasikan beberapa dampak yang dihasilkan dari shock dalam pasar
keuangan terhadap transmisi kebijakan moneter. Pertama, gejala monetization
(proses pengkonversian surat berharga menjadi mata uang yang dapat digunakan
untuk membeli barang dan jasa) dan sekuritization (proses pembentukan aset yang
tidak likuid atau sekelompok aset melalui mekanisme keuangan menjadi suratsurat berharga) dalam bentuk inovasi produk-produk keuangan, menyebabkan
definisi, cakupan dan perilaku jumlah uang beredar mengalami perubahan. Gejala
ini berpeluang menciptakan ketidakstabilan hubungan antara harga (inflasi), uang
beredar dan mengurangi kemampuan bank sentral dalam mengendalikan besaran
moneter.
Kedua,
semakin
berkembangnya
sektor
keuangan
mendorong
kecenderungan terjadinya pelepasan keterkaitan antara sektor moneter dan sektor
riil (decoupling). Konsekuensinya, kausalitas antara variabel-variabel moneter dan
berbagai variabel di sektor riil menjadi semakin kompleks dan sulit diprediksi.
Fungsi permintaan uang yang dipergunakan sebagai salah satu alat manajemen
moneter kurang stabil perilakunya.
Levine (1997) membuktikan bahwa perkembangan sektor keuangan akan
berpengaruh terhadap perekonomian, khususnya dalam mendorong proses
pertumbuhan ekonomi. Hal ini disebabkan karena sektor keuangan dapat
menurunkan resiko, memobilisasi tabungan, menurunkan biaya transaksi dan
informasi, dan mendorong terjadinya spesialisasi. Namun demikian tetap terdapat
perdebatan bagaimana peranan sektor keuangan terhadap perekonomian.
Perdebatan mengenai hubungan antara sektor keuangan dan pertumbuhan
5
ekonomi terletak pada arah hubungannya. Perdebatan berfokus pada pertanyaan
apakah sektor keuangan yang mendorong pertumbuhan ekonomi (supply-leading)
ataukah pertumbuhan ekonomi yang mendorong perkembangan sektor keuangan
(demand-following).
Menurut Graff (2001) terdapat empat kemungkinan hubungan yang dapat
terjadi antara perkembangan sektor keuangan dan pertumbuhan ekonomi.
Hubungan yang dapat terjadi adalah tidak adanya hubungan antara perkembangan
sektor keuangan dengan pertumbuhan ekonomi, perkembangan sektor keuangan
yang mendorong pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan ekonomi yang mendorong
perkembangan sektor keuangan, dan perkembangan sektor keuangan (meskipun
dalam jangka pendek) justru akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan
ekonomi.
Mengetahui bagaimana peranan sektor keuangan adalah suatu hal yang
penting bagi pengambil keputusan. Jika sektor keuangan dianggap mempunyai
pengaruh yang penting, maka pemerintah harus mempromosikan perkembangan
sektor keuangan yang meliputi pengembangan sektor perbankan, lembaga
keuangan nonbank, dan pasar modal dalam rangka untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi. Namun jika sektor keuangan tidak berpengaruh terhadap
pertumbuhan ekonomi maka akan menyebabkan pemborosan sumber daya jika
pemerintah menitikberatkan tujuan pada pengembangan sektor keuangan. Dana
pembangunan tentu akan lebih berguna jika dialokasikan untuk tujuan-tujuan lain,
seperti untuk meningkatkan kemampuan tenaga kerja dan pengembangan
teknologi.
6
1.2.
Perumusan Masalah
Tujuan kebijakan ekonomi makro adalah pertumbuhan ekonomi yang tingi
dan
berkesinambungan,
tingkat
pengangguran
yang
rendah,
fluktuasi
pertumbuhan ekonomi dan pengangguran yang rendah (meredam siklus bisnis),
dan tingkat inflasi yang rendah (Mankiw, 2003). Tujuan-tujuan tersebut dapat
dicapai melalui berbagai kebijakan.
Menurunnya pertumbuhan ekonomi dan kesulitan pendanaan pada awal
tahun 1980-an yang disebabkan oleh turunnya harga minyak mendorong
pemerintah untuk memobilisasi dana dari masyarakat melalui kebijakan
deregulasi pada sektor keuangan. Melalui deregulasi tersebut diharapkan sektor
keuangan mampu menyerap dana dari masyarakat dan akhirnya dapat mendorong
kembali pertumbuhan ekonomi. Usaha tersebut kemudian mendatangkan hasil
karena Indonesia dapat kembali menikmati pertumbuhan ekonomi yang tinggi,
dan seiring dengan pertumbuhan ekonomi tersebut, sektor keuangan di Indonesia
juga mengalami perkembangan yang pesat. Perkembangan yang pesat tersebut
dapat dilihat dari perkembangan jumlah bank maupun kantor bank, aset, dan
jumlah dana yang berhasil dihimpun dari masyarakat.
Tidak berbeda dengan perkembangan perekonomian di berbagai negara,
Indonesia juga mengalami perkembangan ekonomi yang fluktuatif, yang
mencapai puncaknya ketika terjadi krisis moneter pada tahun 1997. Sektor
keuangan disebut sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya krisis
tersebut. Hal-hal tersebut kemudian menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana
sebenarnya hubungan antara perkembangan sekor keuangan dengan pertumbuhan
7
ekonomi di Indonesia. Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan
pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaruh perkembangan sektor keuangan terhadap pertumbuhan
ekonomi di Indonesia?
2. Variabel apakah dari perkembangan sektor keuangan yang paling dominan
dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di Indonesia?
1.3.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, adapun tujuan dari
penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Menganalisis pengaruh perkembangan sektor keuangan terhadap pertumbuhan
ekonomi di Indonesia.
2. Menganalisis variabel dari perkembangan sektor keuangan yang paling
dominan dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
1.4.
Manfaat Penelitian
Berdasarkan penjelasan di atas maka manfaat dalam penelitian ini adalah:
1. Bagi penulis, sebagai salah satu media latih untuk meningkatkan kemampuan
dan keterampilan sesuai disiplin ilmu yang dipelajari.
2. Bagi peneliti dan mahasiswa, sebagai data dasar dan tolok ukur bagi
penelitian-penelitian selanjutnya sehingga dapat berguna bagi pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi.
8
3. Bagi para pengambil kebijakan, sebagai masukan dalam mengambil kebijakan
dan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam membuat segala keputusan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Pertumbuhan Ekonomi
Menurut Todaro (2004), pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan kapasitas
dalam jangka panjang dari negara yang bersangkutan untuk menyediakan berbagai
barang ekonomi kepada penduduknya. Kenaikan kapasitas itu sendiri ditentukan
atau dimungkinkan oleh adanya kemajuan atau penyesuaian-penyesuaian
teknologi, institusional (kelembagaan) dan ideologis terhadap berbagai tuntutan
keadaan yang ada. Proses pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh dua faktor,
yaitu faktor ekonomi dan faktor nonekonomi. Faktor ekonomi berupa sumber
alam, sumber daya manusia, akumulasi modal, organisasi, kemajuan teknologi,
pembagian kerja dan skala produksi. Faktor nonekonomi berupa faktor sosial,
budaya dan politik bersama-sama faktor ekonomi saling mempengaruhi kemajuan
perekonomian.
Pertumbuhan ekonomi pada dasarnya diartikan sebagai suatu proses
dimana Produk Domestik Bruto riil per kapita meningkat secara terus-menerus
melalui kenaikan produktivitas per kapita (Salvatore, 1997). Sasaran berupa
kenaikan pendapatan nasional dan pendapatan riil per kapita merupakan tujuan
utama yang perlu dicapai melalui penyediaan dan pengerahan sumber-sumber
produksi.
2.2.
Teori Pertumbuhan Harrod-Domar
Setiap perekonomian pada dasarnya harus senantiasa mencadangkan atau
menabung sebagian tertentu dari pendapatan nasionalnya untuk menambah atau
10
menggantikan barang-barang modal yang telah susut atau rusak. Namun, untuk
memacu pertumbuhan ekonomi, dibutuhkan investasi baru yang merupakan
tambahan neto terhadap cadangan atau stok modal (capital stock).
Teori Harrod-Domar (Todaro, 2004) menganalisis hubungan antara tingkat
investasi dan tingkat pertumbuhan dengan menyimpulkan adanya hubungan
ekonomi langsung antara besarnya stok modal keseluruhan (K) dengan GNP (Y),
yang diformulasikan sebagai rasio modal terhadap output (capital/output ratio =
COR). Semakin tinggi peningkatan stok modal, semakin tinggi pula output yang
dapat dihasilkan.
Secara sederhana, teori Harrod-Domar dapat diformulasikan sebagai
berikut:
ΔY
s
=
Y
k
(2.1)
tingkat pertumbuhan GNP (∆Y/Y) ditentukan secara bersama-sama oleh rasio
tabungan nasional (s) serta rasio modal-output nasional (k). Tingkat pertumbuhan
pendapatan nasional akan berbanding lurus dengan rasio tabungan dan berbanding
terbalik terhadap rasio modal-output dari suatu perekonomian. Agar bisa tumbuh
dengan
pesat
maka
setiap
perekonomian
haruslah
menabung
dan
menginvestasikan sebanyak mungkin bagian dari GNP-nya.
2.3.
Teori Pertumbuhan Neoklasik (Solow-Swan)
Teori pertumbuhan ini dikembangkan oleh Robert Solow dan Trevor Swan
(Mankiw, 2000). Menurut teori ini, pertumbuhan ekonomi tergantung pada
pertambahan penyediaan faktor-faktor produksi (penduduk, tenaga kerja, dan
11
akumulasi modal) dan tingkat kemajuan teknologi. Pandangan ini didasarkan pada
analisis klasik, bahwa perekonomian akan tetap mengalami kesempatan kerja
penuh (full employment) dan kapasitas peralatan modal akan tetap sepenuhnya
digunakan sepanjang waktu.
Selanjutnya menurut teori ini, rasio modal terhadap output (capital/output
ratio = COR) dapat berubah dan bersifat dinamis. Untuk menciptakan sejumlah
output tertentu, bisa digunakan jumlah modal yang berbeda-beda dengan bantuan
tenaga kerja yang jumlahnya berbeda-beda sesuai dengan yang dibutuhkan. Jika
lebih banyak modal yang digunakan maka tenaga kerja yang dibutuhkan lebih
sedikit, sebaliknya jika modal yang digunakan lebih sedikit maka lebih banyak
tenaga kerja yang digunakan. Dengan adanya fleksibilitas ini suatu perekonomian
mempunyai kebebasan yang tak terbatas dalam menentukan kombinasi modal dan
tenaga kerja yang akan digunakan untuk menghasilkan tingkat output tertentu.
Teori pertumbuhan Solow-Swan dapat dituliskan dalam persamaan
berikut:
Qt = Tt a . K t . Lbt
(2.2)
Keterangan:
Qt
= tingkat produksi pada tahun t
Tt
= tingkat teknologi pada tahun t
Kt
= jumlah stok barang modal pada tahun t
Lt
= jumlah tenaga kerja pada tahun t
a
= penambahan output yang diciptakan oleh penambahan satu unit modal
12
= penambahan output yang diciptakan oleh penambahan satu unit tenaga
b
kerja
Nilai Tt, a dan b bisa diestimasi secara empiris, tetapi pada umumnya nilai
a dan b ditentukan besarnya dengan menganggap bahwa a + b = 1 yang berarti
bahwa a dan b nilainya sama dengan produksi batas dari masing-masing faktor
produksi tersebut. Dengan kata lain, nilai a dan b ditentukan dengan melihat
peranan tenaga kerja dan modal dalam menciptakan output.
2.4.
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter
Mekanisme
transmisi
kebijakan
moneter
menjelaskan
bagaimana
kebijakan moneter berpengaruh terhadap sektor riil. Mekanisme transmisi
kebijakan moneter dapat terjadi melalui jalur moneter langsung, jalur suku bunga,
jalur nilai tukar, jalur harga aset, jalur kredit dan jalur ekspektasi. Sektor
perbankan memegang peranan penting dalam proses transmisi kebijakan moneter
tersebut, khususnya pada jalur kredit. Jalur kredit ini merupakan mekanisme
transmisi yang berkaitan dengan adanya masalah informasi yang tidak simetris.
Menurut Warjiyo dan Solikin (2003) terdapat dua jalur utama yang
berkaitan dengan jalur kredit, yaitu:
1. Bank lending channel (jalur pinjaman bank) yang menitikberatkan pengaruh
kebijakan moneter terhadap neraca perbankan, tidak hanya melalui sisi
kewajiban, tetapi juga melalui sisi aset dari neracanya. Kebijakan moneter
yang ekspansif akan meningkatkan cadangan yang dimiliki oleh sektor
perbankan. Meningkatnya cadangan ini kemudian akan meningkatkan
13
ketersediaan dana dan kredit (loanable fund) yang dapat disalurkan kepada
investor. Hal ini kemudian akan berpengaruh terhadap peningkatan investasi
dan selanjutnya mendorong peningkatan output.
2. Balance sheet channel (jalur neraca perusahaan) yang menitikberatkan
pengaruh kebijakan moneter terhadap kondisi keuangan perusahaan yang
selanjutnya akan mempengaruhi akses perusahaan dalam memperoleh kredit
dari bank. Apabila bank sentral melakukan kebijakan moneter ekspansif, maka
suku bunga di pasar uang akan turun sehingga meningkatkan harga saham.
Dengan peningkatan tersebut maka nilai bersih perusahaan (networth) akan
meningkat, yang selanjutnya mengurangi tindakan adverse selection dan
moral hazard oleh perusahaan. Kondisi ini meningkatkan pemberian kredit
oleh bank, selanjutnya meningkatkan investasi, dan pada akhirnya
meningkatkan output.
Berkaitan dengan balance sheet channel, menurut Mishkin (2001) masalah
adverse selection terjadi semakin rendah aset yang dimiliki oleh perusahaan
berarti akan semakin rendah pula jaminan terhadap utang, dan menyebabkan
semakin besarnya potensi kerugian. Hal ini kemudian akan menyebabkan
rendahnya penyaluran dana untuk membayar investasi perusahaan. Masalah moral
hazard terjadi karena semakin rendah aset maka pemilik perusahaan akan
mempunyai insentif yang semakin besar untuk mengerjakan proyek-proyek
investasi yang beresiko tinggi. Semakin tinggi resiko investasi maka
menyebabkan semakin tinggi pula resiko kegagalan membayar utang. Dengan
demikian semakin rendah aset perusahaan akan menyebabkan semakin rendahnya
14
tingkat kredit yang disalurkan oleh bank dan kemudian menyebabkan semakin
rendahnya investasi.
2.5.
Sektor Keuangan
2.5.1. Pengertian Sektor Keuangan
Menurut DFID (Department For International Development) (2004)
sektor keuangan adalah seluruh perusahaan besar atau kecil, lembaga formal dan
informal di dalam perekonomian yang memberikan pelayanan keuangan kepada
konsumen, para pelaku bisnis dan lembaga-lembaga keuangan lainnya. Dalam
pengertian yang lebih luas, meliputi segala hal mengenai perbankan, bursa saham
(stock exchanges), asuransi, credit unions, lembaga keuangan mikro dan pemberi
pinjaman (money lender).
2.5.2. Fungsi Lembaga Perantara Keuangan
DFID (2004) mengidentifikasi lima fungsi dasar dari lembaga perantara
keuangan, yaitu memobilisasi tabungan, mengelola risiko, memperoleh informasi
tentang peluang-peluang investasi, memonitor manajer dan mengerahkan kontrol
bagi perusahaan, memperlancar transaksi dan memfasilitasi pertukaran barang dan
jasa.
2.5.2.1. Memobilisasi tabungan
Adanya fasilitas tabungan memungkinkan rumah tangga untuk menyimpan
uang mereka di tempat yang aman, dan menyalurkan uangnya untuk kegiatan
produktif (dipinjamkan kepada orang lain atau perusahaan untuk membiayai
15
investasi) sehingga akan meningkatkan akumulasi modal dan memacu
perkembangan sektor swasta.
Kurangnya akses terhadap fasilitas tabungan menyebabkan seseorang
menyimpan dalam bentuk aset fisik seperti perhiasan, atau menyimpan
tabungannya di rumah. Cara menyimpan seperti ini menyebabkan tabungan tidak
dapat digunakan secara produktif, padahal tabungan dapat memberikan kontribusi
yang berarti bagi pertumbuhan ekonomi. Return on investment dapat menciptakan
tingkat pengembalian yang positif untuk penabung, yang akhirnya dapat
meningkatkan jumlah tabungan.
Dengan memobilisasi tabungan akan meningkatkan ketersediaan kredit.
Kredit juga diperuntukkan untuk membiayai investasi dalam bidang pendidikan
dan kesehatan, sehingga dapat meningkatkan akumulasi sumber daya manusia.
Oleh karena itu, mobilisasi tabungan berdampak signifikan terhadap pertumbuhan
ekonomi dengan adanya peningkatan investasi, produktivitas dan sumber daya
manusia.
2.5.2.2. Mengelola risiko
a. Risiko likuiditas. Banyak perusahaan membutuhkan modal jangka menengah
sampai jangka panjang, sedangkan banyak investor (saver) lebih memilih untuk
melakukan penarikan tabungan atau memindahkan ke peluang investasi lainnya,
maka sewaktu-waktu timbul kebutuhan mereka untuk mencairkan tabungannya.
Bank dan lembaga perantara keuangan yang lain memegang banyak tabungan
milik rumah tangga, dan karena investor biasanya tidak akan mau menarik
uangnya pada saat yang bersamaan, maka hal ini memungkinkan lembaga
16
perantara keuangan untuk menyediakan modal untuk investasi jangka panjang dan
likuiditas untuk investor.
b. Diversifikasi risiko. Berinvestasi hanya di satu proyek akan lebih berisiko
daripada berinvestasi di bermacam-macam proyek . Pada umumnya investor tidak
menyukai risiko, maka lembaga perantara keuangan memfasilitasi diversifikasi
risiko (bank dan bursa saham) sehingga memungkinkan investasi dialokasikan ke
proyek yang lebih berisiko dengan tingkat pengembalian keseluruhan yang lebih
tinggi. Hal ini turut meningkatkan tingkat pengembalian investasi (return) secara
keseluruhan dan meningkatkan alokasi modal, sehingga pada akhirnya berdampak
pada peningkatan pertumbuhan ekonomi. Jadi sistem keuangan dapat mengurangi
diversifikasi risiko sehingga dapat mempercepat perubahan teknologi dan
pertumbuhan ekonomi.
2.5.2.3. Memperoleh informasi tentang peluang-peluang investasi
Informasi tentang investasi dan alokasi sumber daya sangat penting bagi
seorang investor. Seorang investor tidak mungkin memiliki waktu, kapasitas,
maupun cara mengumpulkan dan melakukan proses informasi terhadap semua
peraturan perusahaan, manajer dan kondisi perekonomian. Sebagai akibatnya
biaya informasi yang tinggi mampu menyimpan aliran modal yang nilai
manfaatnya sangat tinggi. Kemampuan memperoleh serta memproses informasi
mungkin memilki implikasi yang sangat penting terhadap pertumbuhan.
Pemantauan manajemen dan pengendalian perusahaan di samping
pengurangan biaya perolehan informasi sebelumnya, perjanjian keuangan, pasar
dan para perantara, dengan mengetahui informasi yang lengkap akan mengurangi
17
suatu aktifitas pemantauan dari manajer maupun perusahaan terhadap kebijakan
yang telah dilakukan. Sebagai contoh, pemilik perusahaan akan membuat suatu
aturan pengelolaan keuangan dengan maksud untuk mendorong para manajer
untuk mengelola lebih baik demi kepentingan perusahaan. Sebagai perbandingan,
dengan pemahaman yang sederhana, hal ini penting sebagai informasi tentang
perusahaan sehingga pihak luar mengetahui berapa tingkat pengembalian proyek
tersebut (Return On Invesment).
2.5.2.4. Memonitor manajer dan mengerahkan kontrol bagi perusahaan
Kemampuan lembaga perantara keuangan untuk memonitor kinerja dari
suatu perusahaan (yang menyangkut kepentingan dari banyak investor) dan untuk
menggunakan kontrol perusahaan, dapat menjamin bahwa para investor menerima
tingkat pengembalian yang mencerminkan kinerja dari perusahaan tersebut
(menjamin bahwa mereka tidak ditipu oleh manajer perusahaan karena
keterbatasan informasi yang dimiliki para investor), serta menciptakan hak
insentif bagi para manajer dari perusahaan untuk bekerja dengan baik. Oleh
karena itu, pengaturan keuangan yang meningkatkan kontrol perusahaan dapat
meningkatkan akumulasi kapital dan pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat
(melalui perbaikan alokasi kapital).
2.5.2.5 Memperlancar transaksi dan memfasilitasi pertukaran barang dan
jasa
Sektor keuangan memfasilitasi transaksi dalam perekonomian, baik secara
fisik melalui penyediaan jasa lalu lintas pembayaran, dan melalui pengurangan
biaya informasi. Kemudahan pertukaran barang dan jasa keuangan serta biaya
18
transaksi yang rendah dapat meningkatkan spesialisasi, inovasi, teknologi, dan
pertumbuhan ekonomi.
2.5.3. Perkembangan Sektor Keuangan
Menurut DFID (Department For International Development) (2004)
sektor keuangan disebut berkembang jika memenuhi beberapa kondisi. Pertama,
Efisiensi dan kekompetitifan sektor keuangan semakin meningkat. Kedua,
cakupan pelayanan keuangan yang tersedia semakin meningkat. Ketiga,
diversifikasi lembaga keuangan semakin meningkat. Keempat, jumlah uang yang
diperantarakan melalui sektor keuangan semakin meningkat. Kelima, tingkat
pengalokasian modal oleh lembaga keuangan kepada badan usaha swasta dengan
merespon sinyal pasar (dibanding pinjaman langsung pemerintah dari bank
pemerintah) semakin meningkat. Keenam, peraturan dan stabilitas sektor
keuangan semakin meningkat
Menurut Mukhlis (2005), perkembangan dalam rasio aset keuangan
terhadap PDB menunjukkan pendalaman keuangan (financial deepening).
Perkembangan yang semakin kecil dalam rasio tersebut menunjukkan semakin
dangkal sektor keuangan suatu negara. Sebaliknya semakin besar dalam rasio
tersebut menunjukkan semakin dalam sektor keuangan suatu negara. Dalam hal
ini semakin besar rasio jumlah uang beredar terhadap GDP menunjukkan semakin
efisien sistem keuangan dalam memobilisasi dana untuk mempercepat
pertumbuhan ekonomi. Semakin tinggi pendalaman keuangan semakin besar
penggunaan uang dalam perekonomian dan semakin besar serta semakin meluas
19
kegiatan lembaga keuangan maupun pasar uang. Ukuran financial deepening
suatu negara ditunjukkan oleh rasio antara jumlah kekayaan yang dinyatakan
dengan uang (financial asset) dengan pendapatan nasional. Semakin tinggi
rasionya mempunyai arti bahwa penggunaan uang dalam perekonomian suatu
negara semakin dalam. Semakin tinggi pendalaman keuangan semakin besar
penggunaan uang dalam perekonomian dan semakin besar serta semakin meluas
kegiatan lembaga keuangan maupun pasar uang. Penggunaan rasio ini
dikarenakan merupakan rasio paling umum yang digunakan untuk mengukur
perkembangan sektor keuangan suatu negara. Hasil rasio ini akan menunjukkan
rasio penggunaan M2 untuk menghasilkan setiap GDP. Indikator financial
deepening (M2/PDB) mengukur peranan sistem keuangan dalam memobilisasi
tabungan. Financial deepening juga dikenal dengan istilah tingkat monetisasi.
Menurut Lynch (1996) terdapat beberapa indikator untuk mengetahui
seberapa besar tingkat perkembangan sektor keuangan. Beberapa indikator
tersebut seperti indikator kuantitatif, indikator struktural, indikator harga sektor
keuangan, indikator skala produk dan indikator biaya transaksi. Di antara
indikator-indikator tersebut, indikator kuantitatif merupakan indikator yang sering
digunakan untuk mengetahui seberapa besar tingkat perkembangan sektor
keuangan suatu negara. Berkaitan dengan indikator kuantitatif untuk melihat
perkembangan sektor keuangan dalam pembangunan, maka perkembangannya
dapat diukur dengan menggunakan rasio antara aset keuangan dalam negeri
terhadap GDP (seperti rasio M1/GDP, M2/GDP, M3/GDP, M4/GDP).
20
Berkaitan dengan perkembangan sektor keuangan, menurut Levine (1997)
terdapat empat tahap perkembangan sektor keuangan. Pertama, sektor keuangan
mulai mengalami perkembangan. Kedua, sektor perbankan semakin memegang
peranan penting dalam penyaluran kredit dibandingkan dengan bank sentral.
Ketiga, semakin berkembangnya sektor keuangan nonbank, seperti asuransi, dana
pensiun dan lembaga pembiayaan, dan keempat, semakin berkembangnya bursa
saham.
2.6.
Penelitian-Penelitian Terdahulu
Kar dan Pentecost (2000) meneliti hubungan antara perkembangan sektor
keuangan dan pertumbuhan ekonomi di Turki dengan menggunakan uji kausalitas
Granger dalam kerangka analisis kointegrasi dan Vector Error Correction Model
(VECM) selama periode tahun 1963-1995. Proksi dari perkembangan sektor
keuangan yang digunakan adalah rasio monetisasi, rasio tabungan terhadap GDP,
rasio kredit yang disalurkan kepada sektor swasta terhadap GDP, dan rasio kredit
domestik terhadap GDP. Hasil penelitiannya terdapat hubungan kausalitas dua
arah dalam jangka panjang dan jangka pendek antara perkembangan sektor
keuangan dan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi mempunyai
hubungan kasualitas dalam jangka pendek dan jangka panjang terhadap rasio
tabungan terhadap GDP dan rasio kredit domestik terhadap GDP, dan hanya
mempunyai hubungan kausalitas dalam jangka panjang terhadap rasio kredit yang
disalurkan kepada sektor swasta terhadap GDP.
21
Penelitian Hasiholan (2003) menganalisis kausalitas terhadap hubungan
antara perkembangan sektor keuangan dengan pertumbuhan dan volatilitas
ekonomi di Indonesia selama periode 1983.2-2000.4. Volatilitas ekonomi
menggunakan standar-deviasi dari pertumbuhan ekonomi yang diperoleh dari
model Generalized Autoregressive Conditional Heteroscedasticity (GARCH). Uji
kausalitas dilakukan dengan menggunakan uji kausalitas Granger dalam kerangka
analisis kointegrasi dan Vector Error Correction Model (VECM). Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat hubungan kausalitas Granger dua arah
antara perkembangan sektor keuangan dengan pertumbuhan ekonomi dalam
jangka pendek dan jangka panjang. Serta hubungan kausalitas Granger dari
perkembangan sektor keuangan ke arah volatilitas ekonomi dalam jangka pendek.
Penelitian yang dilakukan oleh Abdurahman (2003) menguji kembali
peran sektor perbankan sejak periode liberalisasi perbankan tahun 1983 hingga
menjelang terjadinya krisis ekonomi tahun 1997 dalam mendorong kinerja
perekonomian Indonesia. Penelitiannya menggunakan metode Ordinary Least
Square (OLS). Hasil penelitiannya menyatakan bahwa kredit yang disalurkan
kepada sektor swasta berpengaruh signifikan terhadap GDP riil, berhasilnya
reformasi keuangan sejak 1983 dibuktikan oleh peningkatan yang besar dalam
rasio tabungan, kredit dan investasi terhadap GDP. Hasil penelitian ini adalah
perkembangan sektor keuangan yang mendorong pertumbuhan ekonomi (supplyleading).
Penelitian yang dilakukan Inggrid (2006) menganalisis pengaruh
perkembangan sektor keuangan dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia selama
22
kurun waktu 1992:2-2004:4. Hasil uji kausalitas Granger menunjukkan kausalitas
dua arah di antara pertumbuhan ekonomi dan volume kredit serta kausalitas satu
arah yang berasal dari spread suku bunga menuju pertumbuhan ekonomi, maka
sistem keuangan dapat menjadi mesin penggerak pertumbuhan di Indonesia.
Analisis ekonometrika dengan Vector Error Correction Model (VECM)
mendukung hipotesis signifikansi peranan sektor keuangan sebagai mesin
pertumbuhan ekonomi, melalui kenaikan ketersediaan kredit, baik dari segi
volume maupun harga.
Tabel 2.1. Penelitian Terdahulu
Peneliti dan
Tahun
Penelitian
Kar dan
Pentecost
(2000)
Hasiholan
(2003)
Abdurahman
(2003)
Judul
Penelitian
Tujuan Penelitian
Financial
Development
and Economic
Growth in
Turkey:
Further
Evidence on
the Causality
Issue
Hubungan
Antara
Perkembangan
Sektor
Keuangan
Dengan
Pertumbuhan
dan Volatilitas
Ekonomi di
Indonesia,
1983.2-2000.4:
Suatu Analisis
Kausalitas
Meneliti
hubungan antara
perkembangan
sektor keuangan
dan pertumbuhan
ekonomi di Turki
Vector Error
Correction Model
(VECM)
Mengetahui
hubungan
kausalitas antara
perkembangan
sektor keuangan
dengan
pertumbuhan
ekonomi dan
volatilitas
ekonomi di
Indonesia
Vector Error
Correction Model
(VECM)
dan Generalized
Autoregressive
Conditional
Heteroscedasticity
(GARCH)
Menguji kembali
peran sektor
Ordinary Least
Square (OLS)
The Role Of
Financial
Metode Penelitian
Kesimpulan
Terdapat hubungan
kausalitas Granger
dua arah dalam
jangka panjang dan
jangka pendek antara
perkembangan
sektor keuangan dan
pertumbuhan
ekonomi.
Ada hubungan
kausalitas Granger:
• dua arah antara
perkembangan
sektor keuangan
dengan
pertumbuhan
ekonomi dalam
jangka pendek dan
jangka panjang
• dari
perkembangan
sektor keuangan
ke arah volatilitas
ekonomi dalam
jangka pendek
Berhasilnya
reformasi keuangan
23
Inggrid
(2006)
Development
In Promoting
Economic
Growth:
Empirical
Evidence Of
Indonesian
Economy
perbankan sejak
periode
liberalisasi
perbankan hingga
menjelang
terjadinya krisis
ekonomi dalam
mendorong
kinerja
perekonomian
Indonesia
Sektor
Keuangan dan
Pertumbuhan
Ekonomi di
Indonesia:
Pendekatan
Kausalitas
dalam
Multivariate
Vector Error
Correction
Model
(VECM)
Menganalisis
peranan sektor
keuangan dalam
memacu
pertumbuhan
ekonomi di
negara
berkembang
seperti Indonesia
Vector Error
Correction Model
(VECM)
di Indonesia sejak
1983 dibuktikan oleh
peningkatan yang
besar dalam rasio
tabungan, kredit dan
investasi terhadap
GDP. Hasil
penelitian ini adalah
perkembangan
sektor keuangan
yang mendorong
pertumbuhan
ekonomi (supplyleading).
Uji kausalitas
Granger
menunjukkan
kausalitas dua arah
di antara
pertumbuhan
ekonomi dan volume
kredit serta
kausalitas satu arah
yang berasal dari
spread suku bunga
menuju pertumbuhan
ekonomi, maka
sistem keuangan
dapat menjadi mesin
penggerak
pertumbuhan di
Indonesia.
24
2.7.
Kerangka Pemikiran
Pergeseran
di
dalam
pasar
barang
dan
jasa
menimbulkan
ketidakseimbangan dalam pasar yang ditandai dengan adanya biaya dalam
melakukan transaksi dan memperoleh informasi, sehingga menimbulkan insentif
bagi munculnya sektor keuangan dalam perekonomian berupa pasar keuangan dan
lembaga perantara keuangan. Kemudian kemunculan sektor keuangan memainkan
fungsi yang penting di dalam perekonomian. Secara spesifik, sektor keuangan
berfungsi untuk memobilisasi tabungan, mengelola resiko, menurunkan biaya
dalam memperoleh informasi mengenai proyek-proyek investasi yang potensial,
melakukan pengawasan terhadap proyek-proyek investasi, memonitor manajer
dan mengerahkan kontrol bagi perusahaan, memperlancar transaksi dan
memfasilitasi pertukaran barang dan jasa.
Kemudian karena fungsi-fungsi dari sektor keuangan tersebut, maka akan
menyebabkan perkembangan sektor keuangan. Selanjutnya sektor keuangan
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi melalui saluran pertumbuhan. Saluran
pertumbuhan ini terbagi dua yaitu akumulasi modal dan inovasi teknologi. Saluran
pertumbuhan akumulasi modal dalam penelitian ini terbagi menjadi tabungan dan
jumlah kredit yang disalurkan kepada pihak swasta. Saluran pertumbuhan
akumulasi modal akan mempengaruhi motivasi masyarakat untuk menabung
sehingga mempengaruhi tingkat tabungan yang akan mendorong investasi dan
akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Kemudian melalui kredit
swasta, maka penyaluran kredit ini merupakan aktivitas sektor keuangan yang
sangat penting, yaitu dalam hal penyaluran dana dari masyarakat yang kelebihan
25
dana kepada pihak investor yang kekurangan dana. Penyaluran kredit swasta akan
mempengaruhi investasi dan pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan
ekonomi.
Sedangkan saluran pertumbuhan melalui inovasi teknologi bidang
keuangan diwakili oleh tingkat monetisasi di dalam perekonomian, yang
mencerminkan ukuran kegiatan lembaga keuangan maupun pasar uang dan
inovasi dalam produk-produk keuangan. Tingkat monetisasi yaitu rasio jumlah
uang beredar (M2) terhadap Gross Domestic Product (GDP). Tingkat monetisasi
ini akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.
26
Pergeseran Pasar
Barang dan Jasa:
• Biaya informasi
• Biaya transaksi
Sektor Keuangan:
Pasar Keuangan dan
Lembaga Perantara
Keuangan
Fungsi sektor keuangan
Perkembangan
sektor keuangan
Saluran pertumbuhan
Akumulasi Modal
Tabungan
Inovasi Teknologi
Bidang Keuangan
Kredit Swasta
Tingkat Monetisasi
Investasi
Pertumbuhan Ekonomi
Gambar 2.1. Kerangka pemikiran
27
2.8.
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan teori dan hasil penelitian terdahulu serta variabel-variabel
yang dijelaskan dalam penelitian ini untuk menguji apakah terjadi hubungan antar
variabel, maka dalam penelitian ini dirumuskan hipotesis, yaitu:
1. Kredit swasta memiliki hubungan positif dan signifikan terhadap pertumbuhan
ekonomi Indonesia.
2. Tabungan memiliki hubungan positif dan signifikan terhadap pertumbuhan
ekonomi Indonesia.
3. Tingkat monetisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan
ekonomi Indonesia.
III. METODE PENELITIAN
3.1.
Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
merupakan data time series kuartalan dari kuartal pertama Maret 2002 sampai
kuartal pertama Maret 2010. Sumber data berasal dari Bank Indonesia (BI),
internet, buku dan berbagai literatur yang relevan dengan penelitian ini.
Pengolahan data pada penelitian kali ini akan menggunakan software Eviews 4.1
dan Microsoft Excel 2003.
Tabel 3.1 Data, Satuan, Simbol dan Sumber Data
Variabel
Gross Domestic Product Riil
Tingkat monetisasi
Kredit perbankan kepada sektor
swasta
Tabungan
3.2.
Satuan
Miliar Rupiah
Persen
Miliar Rupiah
Simbol
GDP
M2Y
K
Sumber
Bank Indonesia
Bank Indonesia
Bank Indonesia
Miliar Rupiah
T
Bank Indonesia
Deskripsi Variabel Penelitian
Variabel-variabel
yang
digunakan
dalam
penelitian
ini
dapat
dideskripsikan sebagai berikut:
1. Pertumbuhan ekonomi (GDP)
Variabel ini diperoleh dari Gross Domestic Product (GDP) riil dengan
menggunakan tahun dasar 2000. GDP merupakan penjumlahan total terhadap
barang-barang dan jasa akhir.
29
2. Tingkat monetisasi (M2Y)
Variabel ini merupakan rasio antara jumlah uang beredar (M2) terhadap Gross
Domestic Product (GDP) atau Y nominal. Jumlah uang beredar (M2) terdiri
dari uang primer (M1) ditambah dengan tabungan dan deposito berjangka.
3. Kredit perbankan kepada sektor swasta (K)
Variabel ini merupakan total kredit perbankan yang disalurkan kepada sektorsektor ekonomi swasta. Menurut Bank Indonesia kredit perbankan merupakan
tagihan perbankan pada sektor swasta domestik karena pemberian pinjaman
kepadanya.
4. Tabungan (T)
Variabel ini merupakan total simpanan masyarakat pada bank umum.
3.3.
Model Penelitian
Penelitian ini menggunakan model sebagai berikut:
LGGDPi = β 0 + β 1 M 2Y + β 2 LGK + β 3 LGT + ei
Keterangan:
GDPi : Pertumbuhan ekonomi (miliar Rp)
M2Y : Tingkat monetisasi (persen)
K
: Kredit perbankan kepada sektor swasta (miliar Rp)
T
: Tabungan (miliar Rp)
βn
: Parameter yang diduga (n = 1,2,3, …)
e
: error
(3.1)
30
3.4.
Metode Analisis Data dan Asumsi Model Regresi OLS
Penelitian ini menggunakan metode analisis Ordinary Least Square
(OLS). Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan software Eviews 4.1
dan Microsoft Excel.
Formula atau rumus regresi diturunkan dari suatu asumsi data tertentu.
Dengan demikian tidak semua data dapat diterapkan regresi. Jika data tidak
memenuhi asumsi regresi, maka penerapan regresi akan menghasilkan estimasi
yang bias. Jika data memenuhi asumsi regresi maka estimasi ( β ) diperoleh akan
bersifat BLUE (Best Linier Unbiased Estimator). Hasil estimasi yang bersifat
BLUE adalah:
1. Best artinya yang terbaik, dalam arti garis regresi merupakan estimasi atau
ramalan yang baik dari suatu sebaran data. Garis regresi merupakan cara
memahami pola hubungan antara dua seri data atau lebih. Garis regresi adalah
best jika garis itu menghasilkan error yang terkecil. Error itu sendiri adalah
perbedaan antara nilai observasi dan nilai yang diramalkan oleh garis regresi.
Jika best disertai sifat unbiased maka estimator regresi disebut efisien.
2. Linear. Estimator β disebut linear jika estimator itu merupakan fungsi linear
dari sampel.
Rata-rata X =
1
1
X = ( x1 + x 2 +............. + x n )
∑
n
n
(3.2)
Adalah estimator yang linear, karena merupakan fungsi linear dari nilai-nilai
X. Nilai-nilai OLS juga merupakan klas estimator yang linear.
31
3. Unbiased. Suatu estimator dikatakan unbiased jika nilai harapan dari estimator
β sama dengan nilai yang benar dari β.
Rata-rata β = β
Bias = Rata-rata β – β
Metode OLS (Ordinary Least Square) yang dirumuskan di atas merupakan
klas penaksir yang memiliki sifat BLUE. OLS akan memiliki sifat BLUE jika
memenuhi asumsi-asumsinya, dari mana penurunan formula OLS diturunkan.
Menurut Gujarati (1997) ada 10 asumsi yang menjadi syarat penerapan OLS.
1. Model regresi merupakan hubungan linear dalam parameter.
Y=a+bX+e
(3.3)
Untuk model regresi:
Y = a + b X + c X2 + e
(3.4)
Walaupun variabel X dikuadratkan tetap merupakan regresi yang linear dalam
parameter, sehingga OLS masih dapat diterapkan.
2. Nilai X adalah tetap dalam sampling yang diulang-ulang. Tepatnya bahwa
nilai X adalah nonstokastik (tidak random).
3. Variabel pengganggu e memiliki rata-rata nol. Ini berarti garis regresi pada
nilai X tertentu tepat di tengah-tengah sehingga rata-rata error yang di atas
regresi dan di bawah garis regresi kalau djumlahkan hasilnya nol.
4. Homoskedastisitas atau variabel pengganggu e memiliki varian yang sama
sepanjang observasi dari berbagai nilai X. Ini berarti data Y pada setiap nlai X
tertentu memiliki rentangan yang sama.
5. Tidak ada autokorelasi antara variabel e pada setiap nilai Xi dan Xj
32
E (e X i ) (e X j ) = 0
(3.5)
Jika korelasi et dan et-1 rendah maka berarti tidak terdapat autokorelasi dari e.
6. Variabel X dan variabel pengganggu e tidak berkorelasi. Ini berarti kita data
memisahkan pengaruh X atas Y dan pengaruh variabel e atas Y. Jika X dan e
berkorelasi maka pengaruh keduanya akan tumpang tindih (sulit dipisahkan
pengaruh masing-masing atas Y). Asumsi ini pasti terpenuhi jika X adalah
variabel nonstokastik.
7. Jumlah observasi atau besar sampel n harus lebih dari jumlah parameter yang
diestimasi. Bahkan untuk menjamin terpenuhinya asumsi yang lain,
sebaliknya n besar sampel harus cukup besar.
8. Variabel X harus memiliki variabilitas. Jadi tidak bias dilakukan regresi jika
nilai X selalu sama sepanjang observasi.
9. Model regresi secara benar terspesifikasi. Tidak ada spesifikasi yang bias.
Artinya, kita sudah memasukkan variabel yang direkomendasikan oleh teori
dengan tepat. Atau juga kita tidak memasukkan variabel yang sembarangan
yang tidak jelas kaitannya. Spesifikasi ini juga menyangkut bentuk fungsi
apakah parameter linear, dan juga bentuk X linear (pangkat 1) atau kuadratik
(berbentuk kurva U), atau kubik (bentuk S).
10. Tidak ada multikolinearitas antara variabel penjelas X1, X2 dan Xn. Jelasnya
korelasi antar variabel penjelas tidak boleh sempurna atau sangat tinggi.
Dari asumsi-asumsi di atas tidak semuanya perlu diuji. Sebagian cukup hanya
diasumsikan sedangkan sebagian yang lain memerlukan tes. Untuk memenuhi
33
asumsi-asumsi di atas estimasi regresi dilengkapi dengan uji asumsi klasik atau uji
ekonometrika.
3.5.
Pengujian Kriteria Ekonomi dan Statistik
Pengujian dapat dilakukan dengan kriteria ekonomi dan statistik.
Pengujian kriteria ekonomi dilakukan untuk melihat besaran dan tanda parameter
yang akan diestimasi, apakah sesuai dengan teori atau tidak. Sedangkan uji
kriteria statistik dilakukan dengan uji t (uji parsial), uji F (uji serempak), dan uji
koefisien determinasi (R2).
3.5.1. Uji t (Uji Parsial)
Uji t (uji parsial) dilakukan untuk melihat apakah masing-masing variabel
bebas (independent variable) secara parsial berpengaruh pada variabel terikatnya
(dependent variable).
Uji Dua Arah
H0 : b1 = b2 = ... = bi = 0
H1 : minimal ada salah satu bi ≠ 0
Tolak H0 jika thitung > tα/2 artinya variabel signifikan berpengaruh nyata pada taraf
nyata α.
Uji Satu Arah
H0 : b1 = b2 = ... = bi = 0
H1 : bi > 0 atau bi < 0
34
Tolak H0 jika thitung > tα/2 artinya variabel signifikan berpengaruh nyata positif atau
negatif pada taraf nyata α.
3.5.2. Uji F (Uji Serempak)
Uji F ini dilakukan untuk melihat apakah variabel-variabel bebas
(independent variable) secara serentak berpengaruh nyata pada variabel terikatnya
(dependent variable). Apabila uji F diterima (lebih kecil dari taraf nyata α) hal ini
menandakan bahwa ada minimal satu variabel yang berpengaruh secara signifikan
atau berpengaruh nyata pada keragaman variabel terikatnya pada taraf nyata α.
H0 : b1 = b2 = ... = bi = 0, maka variabel independen secara bersama-sama tidak
mempengaruhi variabel dependen.
H1 : bi ≠ 0, maka variabel independen secara bersama-sama mempengaruhi
variabel dependen.
Tolak H0 jika Fhitung > Fα(k, n-k-1) k : banyaknya variabel bebas
3.5.3. Uji Koefisien Determinasi (R2)
Uji koefisien determinasi digunakan untuk melihat sejauh mana variabel
bebas mampu menerangkan keragaman variabel terikatnya. Nilai R2 mengukur
tingkat keberhasilan model regresi yang digunakan dalam memprediksi nilai
variabel terikatnya. Ada dua sifat R2 yaitu:
1. Merupakan besaran non negatif.
35
2. Batasnya adalah antara 0 dan 1, jika R2 bernilai 1 berarti suatu kecocokan
sempurna, sedangkan jika R2 bernilai 0 berarti tidak ada hubungan antara
variabel terikat dengan variabel bebasnya.
3.6.
Uji Ekonometrika
3.6.1. Heteroskedastisitas
Heteroskedastisitas terjadi bila adanya pelanggaran pada asumsi regresi.
Hal tersebut ditandai dengan varian variabel pengganggunya tidak tetap.
Pelanggaran ini akan menyebabkan parameter yang diduga menjadi tidak efisien.
Untuk mendeteksi ada tidaknya pelanggaran ini dengan menggunakan White
Heteroscdasticity Test (Gujarati, 1997). Nilai probabilitas Obs*R-squared
dijadikan sebagai acuan untuk menolak atau menerima H0 : homoskedastisitas.
Probabilitas Obs*R-squared < taraf nyata α, maka tolak H0
Probabilitas Obs*R-squared > taraf nyata α, maka terima H0
Apabila H0 ditolak maka akan terjadi gejala heteroskedastisitas, begitu juga
dengan sebaliknya apabila terima H0 maka tidak akan terjadi gejala
heteroskedastisitas.
3.6.2. Autokorelasi
Dalam model regresi akan terjadi autokorelasi apabila terjadi bentuk
fungsi yang tidak tepat, peubah penting dihilangkan dari model terjadi interpolasi
data. Untuk mendeteksi ada tidaknya autokorelasi first degree dapat digunakan
nilai Durbin-Watson (DW) dari hasil regresi (Gujarati, 1997).
36
Namun untuk melihat autokorelasi pada tingkat yang lebih tinggi
digunakan Breusch-Godfrey Lagrange Multiplier Test (LM). Apabila adanya
hubungan korelasi antara error maka akan menyebabkan parameter yang diduga
menjadi tidak efisien. Probabilitas Obs*R-squared dijadikan untuk menolak atau
menerima
H0 : tidak ada autokorelasi
Probabilitas Obs*R-squared < taraf nyata α, maka tolak H0
Probabilitas Obs*R-squared > taraf nyata α, maka terima H0
Apabila H0 ditolak maka terjadi autokorelasi, begitu juga dengan sebaliknya
apabila terima H0 maka tidak terjadi autokorelasi.
3.6.3. Multikolinearitas
Multikolinearitas terjadi apabila pada regresi berganda tidak terjadi
hubungan antar variabel bebas atau terjadi karena adanya korelasi yang nyata
antar peubah bebas. Pelanggaran asumsi ini akan menyebabkan kesulitan untuk
menduga yang diinginkan. Untuk mendeteksi ada tidaknya multikolinearitas
adalah dengan memperhatikan nilai probabilits t-statistik hasil regresi (Gujarati,
1997). Jika banyak koefisien parameter yang diduga menunjukkan hasil yang
tidak signifikan maka hal ini mengindikasikan adanya multikolinearitas. Salah
satu cara yang paling mudah untuk mengatasi pelanggaran ini adalah dengan
menghilangkan salah satu variabel yang tidak signifikan tersebut. Hal ini sering
tidak dilakukan karena dapat menyebabkan bias parameter yang spesifikasi pada
model. Kemudian cara lain dengan mencari variabel instrumental yang berkorelasi
37
dengan variabel terikat namun tidak berkorelasi dengan varaiabel bebas lainnya.
Namun hal ini agak sulit dilakukan mengingat tidak adanya informasi tentang tipe
variabel tersebut.
Ada beberapa cara untuk mendeteksi ada tidaknya multikolinearitas. Salah
satunya menurut Gujarati (1997) yaitu:
”Melalui correlation matric, dimana batas terjadinya korelasi antar
sesama variabel bebas adalah tidak lebih dari | 0.80 |.”
Cara yang lainnya yaitu:
”Melalui correlation matric dapat pula digunakan Uji Klein dalam
mendeteksi multikolinearitas.”
Apabila terjadi nilai korelasi yang lebih tinggi dari | 0.80 |, maka menurut Uji
Klein multikolinearitas dapat diabaikan selama nilai korelasi tersebut tidak
melebihi Adjusted R-squared-nya.
3.7.
Kelemahan Metode Ordinary Least Square (OLS)
Ketika menggunakan data runtut waktu (time series), seringkali muncul
kesulitan-kesulitan yang sama sekali tidak dijumpai ketika mengunakan data cross
section. Sebagian besar kesulitan tersebut berkaitan dengan urutan pengamatan.
Ada beberapa hal yang menjadi kelemahan dari metode Ordinary Least Square
(OLS) dengan mengunakan data time series (Sarwoko, 2005) antara lain:
1. Suatu kondisi dimana satu variabel time series berubah secara konsisten dan
terprediksi sebelum variabel lain ditentukan kemudian. Jika suatu variabel
mendahului variabel yang lain, tidak dapat dipastikan bahwa variabel pertama
38
tersebut menyebabkan variabel lain berubah, namun hampir dapat dipastikan
bahwa kebalikannya adalah bukan hal itu.
2. Variabel-variabel independen nampak lebih signifikan dari yang sebenarnya,
yaitu apabila variabel-variabel itu memiliki trend menaik yang sama dengan
variabel-variabel dependennya dalam kurun waktu periode sampel.
3. Terkadang variabel time series tidak stasioner. Maksudnya rata-rata dan
variannya tidak konstan sepanjang waktu dan nilai kovarian antara dua
periode waktu tergantung dari jarak atau lag antara kedua periode dari waktu
sesungguhnya dimana kovarian itu dihitung dan bukan dari periode pada
waktu itu.
4. Terkadang variabel time series tidak mempunyai kointegrasi yaitu dalam
jangka waktu tertentu tidak terdapat keseimbangan.
5. Sulit untuk menemukan kapan sebuah variabel bebas masuk ke dalam
persamaan regresi. Apakah variabel tersebut penting sebagaimana dijelaskan
dalam teori atau sebaliknya teori kurang jelas, maka akan muncul dilema.
6. Sulit untuk menemukan model persamaan mana yang lebih baik.
7. Perlakuan terhadap error semua model persamaan adalah sama.
IV. GAMBARAN UMUM PERKEMBANGAN SEKTOR
KEUANGAN DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DI
INDONESIA
4.1.
Perkembangan Sektor Keuangan Setelah Tahun 1983
Memasuki awal periode 1983 perekonomian Indonesia mengalami tekanan
yang cukup berat terutama disebabkan oleh menurunnya harga minyak di pasaran
dunia dan berlanjutnya resesi ekonomi dunia yang berpengaruh terhadap kegiatan
perekonomian dalam negeri. Daya saing produk Indonesia menurun karena nilai
rupiah over valued akibat tingginya laju inflasi dibandingkan dengan negara
pesaing atau negara rekanan dagang utama Indonesia, maka pertumbuhan
ekonomi semakin menurun tajam dan defisit neraca pembayaran cukup besar.
Untuk memperkuat struktur perekonomian Indonesia, maka ditempuh beberapa
kebijakan pengendalian moneter yang menuju ke arah mekanisme pasar.
Pada bulan Juni 1983 pemerintah mengeluarkan deregulasi sektor
keuangan yang tujuannya adalah untuk memobilisasi dana dari dalam negeri serta
untuk meningkatkan tingkat efisiensi dan persaingan pada sektor keuangan. Isi
dari deregulasi tersebut adalah pelepasan pagu kredit, menghilangkan pembatasan
suku bunga perbankan, peningkatan suku bunga tabanas, dan pelonggaran atas
pajak deposito.
Deregulasi pada sektor keuangan kemudian dilanjutkan dengan deregulasi
pada bulan Oktober 1988 yang isinya adalah menghilangkan hambatan bagi
investor untuk mendirikan bank baru, memberikan keleluasaan bagi perbankan
untuk membuka kantor-kantor cabang, menurunkan rasio cadangan wajib, dan
mendorong perkembangan pasar uang dan pasar modal. Kemudian untuk
40
menyesuaikan kondisi perbankan dengan perkembangan perekonomian, pada
tahun 1992 pemerintah mengeluarkan UU nomor 7 tahun 1992 sebagai pengganti
atas UU nomor 14 tahun 1967 mengenai pokok-pokok perbankan.
Kedua deregulasi sektor keuangan pada tahun 1980-an melatarbelakangi
perkembangan sektor keuangan di Indonesia. Setelah deregulasi-deregulasi
tersebut banyak perubahan yang terjadi. Jumlah bank maupun kantor bank juga
menunjukkan peningkatan yang pesat. Sebelum tahun 1988, jumlah bank maupun
kantor bank tidak menunjukkan peningkatan yang berarti. Bahkan jumlah bank
swasta selama periode tahun 1978-1988 justru mengalami penurunan dari 83 bank
menjadi hanya 63 bank. Jumlah kantor bank swasta maupun pemerintah hanya
mengalami pertumbuhan masing-masing sebesar 107 persen dan 18,9 persen.
Pertumbuhan ini masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan
setelah tahun 1988. selama periode tahun 1988-1997, jumlah kantor bank swasta
dan pemerintah masing-masing mengalami pertumbuhan sebesar 642 persen dan
87 persen. Selama periode tersebut jumlah bank swasta meningkat menjadi 144
bank (Tabel 1.1).
4.2.
Perkembangan Sektor Keuangan Setelah Krisis Moneter 1997
Menurunnya nilai rupiah secara tajam yang terjadi sejak pertengahan tahun
1997 menyebabkan tingginya tekanan inflasi. Untuk mengatasi masalah tersebut
salah satu upaya yang dilakukan oleh Bank Indonesia adalah mengurangi jumlah
uang yang beredar dengan menaikkan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
yang kemudian berdampak pada meningkatnya suku bunga tabungan dan suku
41
bunga kredit. Meningkatnya suku bunga tabungan menyebabkan meningkatnya
dana masyarakat yang mengalir ke sistem perbankan. Namun di lain pihak,
meningkatnya suku bunga kredit menyebabkan menurunnya kredit yang
disalurkan oleh sektor perbankan.
Kemudian pemerintah melakukan beberapa langkah untuk mengatasi
masalah tersebut dengan mengucurkan dana kepada sistem perbankan dalam
bentuk Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Selanjutnya pemerintah
membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada bulan Januari
1998 melalui Keppres RI nomor 27 tahun 1998. Menurut keppres tersebut, tugas
BPPN adalah untuk melaksanakan pengadministrasian jaminan yang diberikan
pemerintah kepada bank umum, melakukan pengawasan, pembinaan dan upaya
penyehatan termasuk restrukturisasi bank yang oleh Bank Indonesia dinyatakan
tidak sehat, dan melakukan tindakan hukum dalam rangka penyehatan bank.
Bersamaan dengan itu pemerintah juga mengeluarkan Keppres RI nomor 25 tahun
1998 tentang jaminan terhadap kewajiban pembayaran bank umum. Pemberian
jaminan kepada para nasabah tersebut dilakukan untuk menjaga kepercayaan
masyarakat pada sistem perbankan nasional.
Restrukturisasi perbankan kemudian dilanjutkan kembali dengan menutup,
mengambil alih maupun melakukan rekapitalisasi terhadap bank-bank yang
bermasalah. Hal ini menyebabkan menurunnya jumlah bank dan kantor bank
setelah krisis moneter. Pada akhir tahun 1997 jumlah bank dan kantor bank
masing-masing adalah 222 bank dengan 6.308 kantor. Namun pada tahun 1999
jumlah bank berkurang menjadi 173 bank dengan 5.807 kantor (Tabel 1.1).
42
Untuk memperketat regulasi dan pengawasan terhadap sektor perbankan,
dan untuk menyesuaikan kondisi perbankan dengan perkembangan perekonomian,
maka pemerintah mengeluarkan UU nomor 10 tahun 1998 sebagai pengganti UU
perbankan nomor 7 tahun 1992 tentang pokok-pokok perbankan. Kemudian
undang-undang tersebut diikuti pula dengan dikeluarkannnya berbagai regulasi
mengenai prinsip kehati-hatian bank, seperti regulasi yang berkaitan dengan bats
maksimum pemberian kredit, dan ketentuan mengenai capital adequacy ratio
(CAR) minimum.
Selanjutnya sejak tahun 1999, sebagai respon terhadap krisis keuangan
yang terjadi pada tahun 1997-1998 maupun untuk memfasilitasi transisi sektor
keuangan Indonesia untuk lebih berkembang, maju, dan lebih terintegrasi dengan
lingkungan keuangan internasional, Indonesia telah mengimplementasikan
reformasi sektor keuangan. Reformasi sektor keuangan Indonesia dilaksanakan
secara berkesinambungan untuk menciptakan sektor keuangan yang kuat,
terdiversifikasi, dalam, likuid serta mampu melakukan fungsi intermediasi secara
efisien dan efektif yaitu mampu memobilisasi tabungan yang diperoleh
dimanapun dan dengan besaran apapun serta menyalurkannya untuk mendukung
investasi dan aktivitas produksi untuk menciptakan pertumbuhan. Pasar keuangan
yang makin berkembang akan memfasilitasi alokasi sumber daya dan manajemen
resiko secara lebih efisien dan lebih baik.
43
4.3.
Perkembangan Sektor Keuangan Selama Periode Penelitian (20022010)
Aset perbankan mengalami pertumbuhan yang pesat yang menunjukkan
semakin berkembangnya sektor keuangan di Indonesia. Seiring dengan
meningkatnya aset perbankan nasional, maka proporsi aset Bank Umum Swasta
Nasional (BUSN) semakin mengalami peningkatan (Tabel 4.1).
Tabel 4.1. Jumlah Aset Berdasarkan Kelompok Bank, 2002-2010 (miliar Rp)
Kelompok
Bank
Bank
Persero
BPD
BUSN
Bank Asing
dan
Campuran
2002
516.557
58.178
414.901
122.568
2003
556.125
66.418
461.708
129.267
2004
518.975
78.487
517.481
157.138
2005
565.585
106.411
597.514
200.318
2006
621.212
159.476
692.659
220.504
2007
741.988
170.012
807.742
266.758
2008
847.563
185.252
925.937
351.805
2009
979.078
200.542
1.014.311
340.177
2010
1.115.519
239.141
1.281.855
372.337
Sumber: Bank Indonesia, Statistik Perbankan Indonesia (2002-2010)
Total
1.112.204
1.213.518
1.272.081
1.469.827
1.693.851
1.986.501
2.310.557
2.534.106
3.008.852
Semakin besarnya peranan sektor swasta dalam industri perbankan juga
dapat dilihat dari jumlah kredit yang disalurkan ke sektor-sektor perekonomian.
Seperti dapat dilihat pada Tabel 4.2, penyaluran kredit yang dilakukan oleh sektor
perbankan menunjukkan trend yang semakin meningkat, dan pada tahun 2006
penyaluran kredit yang dilakukan oleh bank-bank swasta telah mencapai nilai
yang lebih tinggi daripada penyaluran kredit yang dilakukan oleh bank-bank
pemerintah.
44
Tabel 4.2. Kredit yang Disalurkan Dalam Rupiah dan Valuta Asing Berdasarkan
Kelompok Bank, 2002-2010 (miliar Rp)
Kelompok
Bank
Bank
Persero
BPD
BUSN
Bank Asing
dan
Campuran
2002
150.633
21.496
137.292
44.623
2003
177.137
28.348
174.485
60.535
2004
222.855
37.232
224.277
75.107
2005
256.413
44.930
294.433
99.873
2006
287.910
55.955
334.371
114.062
2007
356.151
71.880
431.607
142.376
2008
470.665
96.386
551.406
189.221
2009
544.870
120.754
591.317
179.508
2010
642.718
143.766
767.397
212.024
Sumber: Bank Indonesia, Statistik Perbankan Indonesia (2002-2010).
Total
354.044
440.505
559.471
695.648
792.298
1.002.011
1.307.678
1.437.930
1.765.905
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1.
Uji Kriteria Statistik
Berdasarkan Lampiran 1, maka diperoleh persamaan regresi sebagai
berikut:
LGGDP = 4.1776 + 0.0216LGK + 0.2535LGT - 0.1130M2Y
(0,1252) (0,0384)
(0,0488)
(0,0183)
Berdasarkan hasil pendugaan parameter pada Lampiran 1, persamaan
pertumbuhan ekonomi (GDP) tersebut memiliki variabel penjelas (Adjusted Rsquared) sebesar 0.990838. Artinya yaitu variasi variabel dependen dari
persamaan pertumbuhan ekonomi dapat dijelaskan secara linier oleh variabel
independen di dalam persamaan sebesar 99.0838 persen, dan sisanya 0.9172
persen djelaskan oleh faktor-faktor di luar persamaan. Mengacu pada probabilitas
F-statistik yaitu sebesar 0.000000, maka persamaan ini lulus uji-F. Nilai ini
menandakan bahwa minimal ada satu parameter dugaan yang tidak nol dan
berpengaruh nyata terhadap keragaman variabel dependennya (LGGDP) pada
taraf nyata lima persen.
Selanjutnya untuk melakukan pengujian terhadap masing-masing faktor
yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara signifikan, perlu dilakukan uji
signifikan terhadap masing-masing faktor. Hal ini dapat dilakukan dengan melihat
probabilitas masing-masing variabel tersebut. Nilai probabilitas kurang dari taraf
nyata lima persen menandakan bahwa variabel tersebut berpengaruh secara
signifikan. Nilai probabilitas lebih dari taraf nyata lima persen menandakan bahwa
variabel tersebut tidak berpengaruh secara signifikan. Berdasarkan nilai statistik
46
uji-t menunjukkan bahwa ada dua variabel yang berpengaruh secara nyata dan
signifikan pada tingkat kepercayaan lima persen. Variabel yang berpengaruh
secara signifikan adalah tabungan (LGT) dan tingkat monetisasi (M2Y).
Sedangkan variabel yang tidak berpengaruh secara signifikan adalah kredit swasta
(LGK).
5.2.
Uji Ekonometrika
Estimasi parameter regresi dengan menggunakan Ordinary Least Square
(OLS) haruslah memenuhi asumsi-asumsi model regresi OLS. Untuk melihat
apakah asumsi-asumsi klasik itu terpenuhi, perlu dilakukan pengujian setelah
perhitungan dan uji hipotesis dilakukan yang meliputi uji multikolinearitas, uji
autokorelasi dan uji heteroskedastisitas. Pengujian ini dimaksudkan untuk
mendeteksi ada tidaknya pelanggaran terhadap asumsi klasik tersebut. Bila terjadi
pelanggaran maka akan diperoleh hasil yang tidak valid.
Tabel 5.1. Hasil Estimasi Variabel Dependen LGGDP
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
4.177615
0.125235
33.35808
0.0000
LGK
0.021647
0.038477
0.562602
0.5780
LGT
0.253518
0.048820
5.192950
0.0000
M2Y
-0.113023
0.018304
-6.174783
0.0000
R-squared
0.991696 F-statistic
1154.499
Adjusted R-squared
0.990838 Prob(F-statistic)
0.000000
0.051012
Durbin-Watson stat
1.545147 Prob. Obs*R-squared (LM test)
Prob. Obs*R-squared (White
0.978188
Heteroscedasticity)
Keterangan: Taraf Nyata α = 0,05 (5%)
Berdasarkan hasil estimasi terlihat bahwa pada uji heteroskedastisitas
persamaan pertumbuhan ekonomi ini memiliki nilai probabilitas Obs*R-squared
sebesar 0.978188. Persamaan ini tidak mengalami heteroskedastisitas jika nilai
47
probabilitas Obs*R-squared lebih besar dari taraf nyata lima persen. Jadi dapat
disimpulkan bahwa probabilitas Obs*R-squared-nya lebih besar dari taraf nyata
sehingga persamaan ini tidak mengalami heteroskedastisitas pada taraf nyata lima
persen.
Pada uji autokorelasi, persamaan ini memiliki probabilitas Obs*R-squared
(LM Test) dengan nilai sebesar 0.051012. Sementara taraf nyata yang dipakai
dalam penelitian ini sebesar lima persen. Apabila nilai probabilitas Obs*Rsquared-nya lebih besar dari taraf nyata lima persen, maka persamaan tersebut
tidak mengalami autokorelasi. Jadi dapat disimpulkan bahwa persamaan tersebut
tidak mengalami autokorelasi karena nilai probabilitas Obs*R-squared-nya lebih
besar dari taraf nyata lima persen.
Pada uji multikolinearitas, persamaan ini menggunakan Uji Klein dan
tidak menunjukkan adanya gejala multikolinearitas. Hal ini dapat dilihat pada
correlation matrix (Lampiran 4). Sekalipun pada correlation matrix tersebut
terdapat nilai korelasi yang lebih besar dari | 0,80 |, yaitu antara kredit swasta dan
tingkat tabungan sebesar 0.986972, antara kredit swasta dan tingkat monetisasi
sebesar -0.939423, serta antara tingkat tabungan dan tingkat monetisasi sebesar 0.904200 (Lampiran 4), namun karena pada uji multikolinearitas ini menggunakan
Uji Klein sehingga multikolinearitas masih bisa diabaikan apabila nilai korelasikorelasi antar variabel tersebut tidak melebihi Adjusted R-squared-nya. Pada
analisis ini menunjukkan bahwa nilai Adjusted R-squared-nya diperoleh sebesar
0.990838, sedangkan korelasi yang terbesar yang terjadi antar variabel adalah
48
0.986972, maka dapat disimpulkan bahwa persamaan ini tidak mengalami gejala
multikolinearitas.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa secara
keseluruhan persamaan ini tidak mengalami gangguan ekonometrika, baik itu
heteroskedastisitas, autokorelasi dan multikolinearitas.
5.3.
Analisis Hubungan antara Perkembangan Sektor Keuangan dengan
Pertumbuhan Ekonomi
5.3.1. Kredit Swasta (LGK)
Pada Tabel 5.1 terlihat bahwa koefisien parameter dari variabel kredit
swasta (LGK) sebesar 0.021647, artinya kenaikan satu persen pada nilai kredit
swasta menyebabkan peningkatan sebesar 0.021647 persen terhadap pertumbuhan
ekonomi (LGGDP). Sebaliknya, penurunan sebesar satu persen dari nilai kredit
swasta ini akan menyebabkan menurunnya pertumbuhan ekonomi sebesar
0.021647 persen. Hal ini sesuai dengan hipotesis pada bab dua bahwa peningkatan
nilai kredit swasta ini mempunyai pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan
ekonomi .
Pada Tabel 5.1, terlihat bahwa probabilitas variabel kredit swasta (LGK)
sebesar 0.5780. Karena probabilitasnya lebih besar dari taraf nyata lima persen
maka hal ini menunjukan bahwa kredit swasta mempunyai pengaruh yang tidak
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, sehingga tidak sesuai dengan hipotesis
pada bab dua.
Jadi, kredit swasta berpengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi. Maka hal ini tidak sesuai dengan hipotesis pada bab dua.
49
5.3.2. Tabungan (LGT)
Pada Tabel 5.1 terlihat bahwa koefisien parameter dari variabel tabungan
(LGT) sebesar 0.253518, artinya kenaikan satu persen pada nilai tabungan
menyebabkan peningkatan sebesar 0.253518 persen terhadap pertumbuhan
ekonomi (LGGDP). Sebaliknya, penurunan sebesar satu persen dari nilai tabungan
ini akan menyebabkan menurunnya pertumbuhan ekonomi sebesar 0.253518
persen. Hal ini sesuai dengan hipotesis pada bab dua bahwa peningkatan nilai
tabungan ini mempunyai pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Pada Tabel 5.1, terlihat bahwa probabilitas variabel tabungan (LGT)
sebesar 0.0000. Karena probabilitasnya lebih kecil dari taraf nyata lima persen
maka hal ini menunjukan bahwa tabungan mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan hasil estimasi bahwa tabungan
berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan ekonomi.
Jadi, tabungan berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan
ekonomi. Maka hal ini sesuai dengan hipotesis pada bab dua.
5.3.3. Tingkat Monetisasi (M2Y)
Pada Tabel 5.1 terlihat bahwa koefisien parameter dari variabel tingkat
monetisasi (M2Y) sebesar -0.113023, artinya kenaikan satu persen pada nilai
tingkat monetisasi menyebabkan penurunan sebesar 0.113023 persen terhadap
pertumbuhan ekonomi (LGGDP). Sebaliknya, penurunan sebesar satu persen dari
nilai tingkat monetisasi ini akan menyebabkan peningkatan pertumbuhan ekonomi
50
sebesar 0.113023 persen. Hal ini tidak sesuai dengan hipotesis pada bab dua
bahwa tingkat monetisasi berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Pada Tabel 5.1, terlihat bahwa probabilitas variabel tingkat monetisasi
(M2Y) sebesar 0.0000. Hal ini menunjukan bahwa tingkat monetisasi mempunyai
pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi karena probabilitasnya
lebih kecil dari taraf nyata lima persen. Berdasarkan hasil estimasi bahwa tingkat
monetisasi berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan ekonomi.
Jadi, tingkat monetisasi selama periode penelitian berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Maka hal ini tidak sesuai dengan
hipotesis pada bab dua bahwa tingkat monetisasi berpengaruh positif dan
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.
5.4.
Pembahasan Ekonomi
Nilai kredit swasta mempunyai hubungan yang positif namun tidak
signifikan dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Hal ini tidak sesuai
dengan hipotesis pada bab dua bahwa peningkatan nilai kredit swasta ini
mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.
Nilai kredit swasta berpengaruh positif namun pengaruhnya kecil terhadap
pertumbuhan ekonomi, hal ini dikarenakan jumlah kredit yang disalurkan bank
bertambah tetapi jumlah investasi tidak dapat mengimbangi peningkatan kredit,
sehingga pada akhirnya kurang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Hal ini
juga disebabkan oleh terkonsentrasinya penyaluran kredit pada kegiatan konsumsi
dan bukannya pada kredit investasi.
51
Di Indonesia, kebijakan pemerintah dalam usaha mendorong investasi
menyebabkan perkembangan sektor keuangan, melalui kenaikan penggunaan
kredit sebagai alternatif pembiayaan. Hal ini, selanjutnya membawa ekspansi pada
sektor perbankan dan jasa-jasa keuangan lain, guna memfasilitasi investasi dan
akhirnya menghasilkan pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, pertumbuhan aktivitas
ekonomi memerlukan lebih banyak modal yang disuplai oleh institusi-institusi
keuangan dan memicu munculnya produk-produk keuangan yang beraneka ragam.
Oleh karena itu dibutuhkan koordinasi antara pemerintah dan Bank
Indonesia agar dapat memberikan sinyal yang jelas serta mengurangi informasi
asimetrik mengenai kondisi individu pelaku dunia usaha. Sehingga pemerintah
harus menciptakan iklim usaha yang kondusif baik menyangkut pemberantasan
ekonomi biaya tinggi, kepastian hukum, infrastruktur maupun keamanan agar
dapat menarik penanaman modal baru. Namun yang terpenting adalah
implementasi di lapangan dan efektivitas pemantauan dari kebijakan-kebijakan
tersebut agar dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi ke arah yang lebih
tinggi.
Berdasarkan hasil estimasi pada tabel 5.1, menunjukkan bahwa tabungan
mempunyai hubungan yang positif dan signifikan dalam mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi karena nilai probabilitasnya lebih kecil dari taraf nyata
sebesar lima persen. Hal ini sesuai dengan teori pertumbuhan Harrod-Domar yang
mengatakan bahwa tabungan mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi.
Semakin banyak tabungan maka laju pertumbuhan ekonomi akan semakin cepat.
52
Sejak ditetapkannya Paket Kebijakan Oktober 1988 yang pokok-pokok
kebijakannya berisi antara lain untuk mengerahkan dana dari masyarakat dengan
cara memudahkan pembukaan kantor cabang baru, pendirian bank swasta baru,
keleluasaan penyelenggaraan tabungan, dan perluasan kantor cabang bank.
Setelah adanya PAKTO 88 ini, maka semakin mudah bank didirikan dan semakin
bervariasi juga bentuk-bentuk tabungan yang ditawarkan oleh bank-bank yang
sudah terbentuk baik swasta maupun pemerintah. Semenjak saat itu, tabungan
nasional mulai meningkat drastis.
Sedangkan tingkat monetisasi mempunyai hubungan yang negatif dan
signifikan dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Hal ini terjadi karena
selama periode penelitian dari kuartal pertama tahun 2002 sampai dengan kuartal
pertama tahun 2010 tingkat monetisasi mengalami penurunan seperti dapat dilihat
pada grafik data di Lampiran 5. Tingkat monetisasi yang menurun terutama
disebabkan karena peningkatan Gross Domestic Product (GDP) yang jauh
melampaui pertumbuhan jumlah uang beredar (M2).
Tingginya penggunaan uang tunai sebagai alat pembayaran tergambar dari
tingkat monetisasi. Tingkat monetisasi merupakan tingkat aktivitas ekonomi yang
menggunakan instrumen keuangan sebagai komoditas yang diperdagangkan dan
dapat juga dijelaskan sebagai tingkat pembiayaan ekonomi dari instrumen
keuangan yang dimiliki masyarakat.
Tingkat monetisasi juga merupakan sebuah tanda modernisasi suatu
perekonomian yang ditandai dengan less-cash transaction. Tingkat monetisasi
diukur dengan pendekatan rasio total jumlah uang beredar (M2) terhadap Gross
53
Domestic Product (GDP). Tingkat monetisasi yang tinggi jika didukung dengan
sistem perbankan yang baik akan memicu pertumbuhan produktivitas aktivitas
ekonomi yang berkelanjutan.
Tingkat monetisasi ini juga menggambarkan kecenderungan masyarakat
menggunakan uang tunai dibandingkan uang nontunai sehingga jumlah uang
masyarakat yang ada di perbankan masih relatif kecil. Kondisi ini umumnya
disebabkan karena kesadaran dan pengetahuan masyarakat terhadap lembaga
keuangan, produk-produk perbankan dan produk-produk investasi masih relatif
minim. Masyarakat belum menyadari time value dari uang, sehingga masyarakat
lebih memilih menyimpan uang mereka sendiri dan menggunakan uang tunai
sebagai alat pembayaran sehari-hari.
Tingkat monetisasi yang menurun selama periode penelitian menunjukkan
bahwa jumlah dana masyarakat yang berada di perbankan dalam bentuk tabungan,
deposito dan giro masih relatif kecil. Tingkat penggunaan uang tunai sebagai alat
pembayaran masih cukup tinggi, sehingga dapat disimpulkan bahwa penggunaan
alat pembayaran nontunai belum optimal di masyarakat.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian ini, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Hasil estimasi OLS menunjukkan bahwa pertumbuhan sektor keuangan positif
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Adanya sektor keuangan
beserta jasa-jasa yang disediakannya bertindak secara aktif dalam mendorong
kegiatan perekonomian. Kredit swasta (LGK) berpengaruh positif tetapi tidak
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Tabungan (LGT) berpengaruh
positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Tingkat monetisasi
(M2Y) selama periode penelitian berpengaruh negatif dan signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi.
2. Variabel dari perkembangan sektor keuangan yang paling dominan dalam
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia (LGGDP) adalah tabungan
(LGT). Tabungan berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan
ekonomi (LGGDP).
6.2.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian maka rekomendasi yang dapat diberikan
adalah:
1. Tingkat monetisasi yang mempunyai hubungan negatif terhadap pertumbuhan
ekonomi menunjukkan masih rendahnya transaksi pembayaran nontunai. Bank
Indonesia sebaiknya menghimbau perbankan agar lebih aktif dalam
55
mendukung transaksi pembayaran nontunai. Pihak perbankan diharapkan
dapat menjalin kerja sama kepada pelaku usaha terutama dalam pembayaran
nontunai,
memperbanyak
jaringan
ATM
dan
kantor
cabang
untuk
mempermudah akses dalam transaksi nontunai, mengurangi biaya transaksi
untuk penggunaan kartu kredit atau kartu debet, dan melakukan sosialisasi
efektifitas dan efisiensi penggunaan kartu debet atau kredit serta produkproduk transaksi pembayaran nontunai lainnya sebagai alat transaksi.
2. Bank Indonesia perlu mengeluarkan kebijakan berupa dorongan menjalankan
fungsi intermediasi bank-bank yang ada di Indonesia. Intermediasi perbankan
memegang peranan penting dalam perkembangan sektor keuangan dan
berhubungan langsung dengan jumlah uang beredar sehingga berdampak pada
tingkat monetisasi. Dalam menjalankan intermediasinya, sektor perbankan
sebaiknya didorong untuk meningkatkan penyaluran kredit terutama untuk
kegiatan investasi yang produktif. Salah satu usaha yang dapat dilakukan agar
penyaluran kredit efektif meningkatkan pertumbuhan ekonomi adalah
mendorong perbankan meningkatkan kredit untuk investasi dan menurunkan
porsinya untuk kredit konsumsi.
3. Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dibutuhkan peran masyarakat
melalui tabungan. Produk tabungan yang ada harus merangsang masyarakat,
khususnya kelompok kecil, untuk menabung. Tabungan merupakan modal
potensial dalam perekonomian, agar potensi ini dapat bermanfaat bagi
pertumbuhan ekonomi, maka perlu disalurkan kepada kelompok masyarakat
yang membutuhkan modal untuk membiayai kegiatan yang produktif.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurahman. 2003. “The Role Of Financial Development In Promoting
Economic Growth: Empirical Evidence Of Indonesian Economy”. Jurnal
Keuangan dan Moneter, 6: 84-96.
Bank Indonesia, Statistik Perbankan Indonesia, 1978-2010. Bank Indonesia,
Jakarta.
Badan Pusat Statistik, Indikator Ekonomi, 1971-2010. Badan Pusat Statistik,
Jakarta.
Department For International Development (DFID). 2004. “The Importance of
Financial Sector Development for Growth and Poverty Reduction”. Policy
Division Working Paper.
Graff, M. 2001. “Financial Development and Economic Growth in Corporatist
and Liberal Market Economies”. 30th Annual Conference of Economists,
Perth.
Gujarati, D. 1997. Ekonometrika Dasar. Zain dan Sumarno [penerjemah].
Erlangga, Jakarta.
Hasiholan, R. M. 2003. Hubungan Antara Perkembangan Sektor Keuangan
Dengan Pertumbuhan dan Volatilitas Ekonomi di Indonesia, 1983.22000.4: Suatu Analisis Kausalitas [tesis]. Program Studi Ilmu Ekonomi
dan Studi Pembangunan Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial. Universitas Gajah
Mada, Yogyakarta.
Mukhlis. 2005. “Analisis Financial Deepening di Indonesia Tahun 1975-2000”.
Ekofeum Online. Jurnal Ekonomi Pembangunan. FE UM.
Inggrid. 2006. ”Sektor Keuangan dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia:
Pendekatan Kausalitas dalam Multivariate Vector Error Correction Model
(VECM)”. Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan Fakultas Ekonomi UK
Petra, 8:40-50
Kar, M. dan E.J. Pentecost. 2000. “Financial Development and Economic Growth
in Turkey: Further Evidence on the Causality Issue”, Economic Research
Paper, 00(27), Loughborough University.
Levine, R. 1997. “Financial Development and Economic Growth: Views and
Agenda”. Journal of Economic Literature, 35: 688-726.
Lynch, David. 1996. ”Measuring Financial Sector Development: A Study of
Selected Asia-Pasific Countries”. The Developing Economies, XXXIV-1.
57
Mankiw, N. G. 2003. Teori Makroekonomi. Imam Nurmawan [penerjemah]. Edisi
ke-5. Erlangga, Jakarta.
Mishkin, F. S. 2001. The Economics of Money, Banking, and Financial Markets.
6th Edition, Addison Wesley Longman, New York.
Pasaribu, S. H., D. Hartono dan T. Irawan. 2005. Pedoman Penulisan Skripsi.
Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Salvatore, D. 1997. Ekonomi Internasional. Erlangga, Jakarta.
Sarwoko. 2005. Dasar-Dasar Ekonometrika. Penerbit Andi, Yogyakarta.
Todaro, M. P. dan S. C. Smith. 2004. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga.
Edisi ke-8. Munandar [penerjemah]. Erlangga, Jakarta.
Warjiyo, P. dan Solikin. 2003. Kebijakan Moneter di Indonesia, Seri
Kebanksentralan, No. 6. Bank Indonesia, Jakarta.
Winarno, W. W. 2007. Analisis Ekonometrika dan Statistika dengan Eviews.
YKPN, Yogyakarta.
LAMPIRAN
59
Lampiran 1. Uji Persamaan Regresi
Dependent Variable: LGGDP
Method: Least Squares
Date: 05/19/10 Time: 14:54
Sample: 2002:1 2010:1
Included observations: 33
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
LGK
LGT
M2Y
4.177615
0.021647
0.253518
-0.113023
0.125235
0.038477
0.048820
0.018304
33.35808
0.562602
5.192950
-6.174783
0.0000
0.5780
0.0000
0.0000
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
Durbin-Watson stat
0.991696
0.990838
0.005438
0.000858
127.3810
1.545147
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
F-statistic
Prob(F-statistic)
5.657394
0.056810
-7.477639
-7.296244
1154.499
0.000000
Lampiran 2. Uji Heteroskedastisitas
White Heteroskedasticity Test:
F-statistic
Obs*R-squared
0.202661
2.088209
Probability
Probability
0.987557
0.978188
Lampiran 3. Uji Autokorelasi
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
F-statistic
Obs*R-squared
4.608159
8.397830
Probability
Probability
Lampiran 4. Matriks Korelasi antar Variabel Bebas
LGK
LGT
M2Y
LGK
1.000000
0.986972
-0.939423
LGT
0.986972
1.000000
-0.904200
M2Y
-0.939423
-0.904200
1.000000
0.018976
0.051012
60
Lampiran 5. Grafik Data
6.3
6.2
6.1
6.2
6.0
5.9
6.1
5.8
6.0
5.7
5.6
5.9
5.5
5.8
5.4
02
03
04
05
06
07
08
09
02
03
04
05
LGT
06
07
08
09
LGK
5.76
2.0
1.9
5.72
1.8
5.68
1.7
1.6
5.64
1.5
5.60
1.4
5.56
1.3
02
03
04
05
06
M2Y
07
08
09
02
03
04
05
06
LGGDP
07
08
09
Download