BAB IV ANALISIS DESKRIPTIF DAN TINJAUAN KRITIS

advertisement
BAB IV
ANALISIS DESKRIPTIF DAN TINJAUAN KRITIS PERSPEKTIF KEADILAN
JENDER TERHADAP POLIGAMI DALAM ISLAM
4.1.
Pendahuluan
Analisis
data
penelitian
terbagi
kedalam
dua
bagian.
Bagian
pertamaberisitentang analisis deskriptifterhadap keragaman penafsiran tentang
poligami oleh para mufasir, fukaha, dan feminis Muslim sehingga diperoleh
gambaran mengenai bagaimana sesungguhnya hakikat poligami di dalam Islam.
Selanjutnya, dilakukan pemetaan atas keragaman penafsiran tentang poligami
oleh para fukaha, mufasir, dan feminis Muslim tersebut ke dalam sebuah tipologi
pemikiran Islam melalui tiga kategori: fundamental, moderat, dan liberal. Adapun
bagian kedua, berisi tentang analisis kritis perspektif keadilan jender (tinjauan
kritis studi jender dan teori keadilan jender Susan Moller Okin) terhadap poligami
di dalam Islam. Dalam hal ini, analisis keadilan jender dilakukan terhadap dua
hal, yakni: Pertama, ketentuan hukum positif di Indonesia (UUP No.1 tahun 1974
dan Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam/KHI) yang
mengatur tentang pelaksanaan poligami di Indonesia; Kedua, data hasil penelitian
LBH APIK Jakarta tentang praktik poligami di Indonesia. Secara umum, Bab IV
ini berisi: pendahuluan, analisis data penelitian, dan penutup.
142
4.2.
Analisis Deskriptif terhadap Keragaman Penafsiran tentang Poligami
dalam Islam
4.2.1. Analisis Deskriptif terhadap Keragaman Penafsiran tentang Poligami
dalam Islam oleh para fukaha, mufasir, dan feminis Muslim.
Munculnya persoalan jender dewasa ini tidak terlepas dari adanya
benturan antara teks Kitab Suci, penafsiran terhadap teks Kitab Suci dan konteks
sosial yang melingkupinya. Ketika umat Muslim mengklaim dirinya sama-sama
berpegang pada teks Kitab Suci yang sama, namun kemudian terdapat keragaman
persepsi terhadap persoalan keadilan jender yang ada, maka hal ini menjadi
penting untuk dikritisi.1
Menurut penulis, pernyataan di atas sangat tepat jika dikaitkan dengan
persoalan poligami di dalam Islam. Meski sama-sama mengacu pada Alquran,
khususnya dalam hal ini Q.S. an-Nisa’/4:3, namun penafsiran dan pemahaman
umat Islam terhadap poligami berbeda-beda. Hal ini, sebagaimana dinyatakan
oleh Umul Baroroh dalam Sukri (ed.), bahwa pada umumnya para fukaha dan
mufasir dalam membicarakan perihal poligami selalu mengacu Q.S. An-Nisa’/4:3.
Meski demikian, pemahaman mereka sangat beragam dan berkembang seiring
dengan perkembangan zaman dan konteks kehidupan. Pada masa lalu, para fukaha
telah menafsirkan ayat tersebut sebagai sebuah kewenangan bagi kaum laki-laki
untuk melakukan poligami, tanpa disertai adanya batasan persyaratan tertentu.
Meski ada dari sebagian mereka yang mensyaratkan berlaku adil terhadap para
istri, tetapi hal tersebut hanya sebatas keadilan lahiriah. Selanjutnya, para mufasir,
1
Lihat Pengantar Redaksi, Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, (terj. Agus
Nuryatno), (Yogyakarta: LKis, 2007), v.
143
meski tidak secara tegas melarang poligami, namun mereka cenderung sedikit
lebih mempersulit pelaksanaan poligami yakni dengan mempersyaratkan
perlakuan adil terhadap istri, sebagai perihal yang sulit untuk dipenuhi. Sementara
itu, dengan memperhitungkan konteks, para feminis Muslim melarang poligami
karena persyaratan keadilan yang ditetapkan di dalam Alquran menurutnya adalah
hal yang mustahil untuk dapat dipenuhi. Adapun dalam hukum positif di
Indonesia, poligami diperkenankan dengan alasan dan kondisi khusus serta harus
mendapatkan izin dari pengadilan.2
Para fukaha yang dimaksud oleh Baroroh dalam tulisannya tersebut adalah
fukaha klasik seperti Imam Syafi’i dan Abu Hanifah. Sementara itu, yang disebut
mufasir adalah Ibnu Katsir dan Al-Zamakhsyari. Selanjutnya, dalam tesis ini
penulis menambahkan para mufasir Indonesia seperti: HAMKA dan Hasbi ashShiddiqy. Adapun feminis Muslim yang disebut adalah Asghar Ali Engineer dan
Amina Wadud Mukhsin. Di sini, penulis juga menambahkan tokoh lain yang
masuk dalam kategori modernis Islam dan feminis Muslim. Tokoh tersebut, antara
lain: Muhammad Abduh (Mesir), Nawal El-Saadawi (Mesir), dan Siti Musdah
Mulia (Indonesia).
Perbedaan penafsiran terhadap ayat tentang poligami, juga dikemukakan
oleh Anik Farida yang menyatakan bahwa dalam memandang persoalan poligami,
para ulama telah terbelah kedalam tiga spektrum pandangan yang berbeda.
Pertama, kalangan yang berpendirian bahwa poligami merupakan salah satu
sunnah Nabi yang seyogyanya diteladani oleh kaum laki-laki, khususnya bagi
2
Umul Baroroh, “Poligami dalam Pandangan Mufasir dan Fukaha” dalam Bias Jender
dalam Pemahaman Islam, (Ed. Sri Suhandjati Sukri), 69-78.
144
mereka yang memiliki kemampuan secara material dan kesanggupan untuk
bertindak adil. Menurut kelompok ini, tidak ada batasan jumlah maksimal
perempuan yang bisa dinikahi. Kedua, ulama yang berpandangan bahwa poligami
dapat diperbolehkan dengan batasan maksimal 4 orang istri. Mengenai perihal
pernikahan Nabi Muhammad saw yang lebih dari empat istri, oleh kelompok ini
diposisikan sebagai khususiyat al-Nabi.3 Sebagaimana pendapat kelompok
pertama, pada kelompok kedua ini juga masih dimungkinkan atau dibolehkannya
laki-laki menikah lebih dari satu orang istri, namun disini disertai dengan
persyaratan mampu dan dapat berlaku adil diantara istri-istrinya. Ketiga, ulama
yang melarang praktik poligami. Pendapat ini banyak dikemukakan oleh modernis
Islam dan feminis Muslim.4
Pendapat Baroroh dan Farida di atas, memberikan gambaran yang cukup
jelas bahwa di dalam memandang persoalan poligami di dalam Islam telah terjadi
adanya perbedaan penafsiran oleh para ulama (fukaha dan mufasir), modernis
Islam dan feminis Muslim. Dari kedua pendapat tersebut, secara tersirat dapat
diketahui bahwa penyebab bagi terjadinya perbedaan penafsiran tentang poligami
oleh para ulama, modernis Islam dan feminis Muslim adalah terletak pada
perbedaan metode pendekatan yang digunakan. Para fukaha klasik cenderung
menggunakan metode tekstual, para mufasir menggunakan metode tekstualkontekstual, sementara itu, para modernis Islam dan feminis Muslim
menggunakan metode kontekstual.
3
Khususiyat al-Nabi atau khususiyat al-Rasul adalah arti dari kata “kekhususan bagi Nabi
sendiri”.
4
Farida, Menimbang Dalil Poligami:antara teks, konteks dan praktek, 25-28.
145
Terkait dengan penggunaan metode tafsir oleh para ulama di dalam
menafsirkan ayat tentang poligami, penulis menemukan sejumlah literatur yang
didalamnya membahas tentang metode tafsir yang lazim digunakan oleh para
mufasir di dalam menafsirkan ayat-ayat poligami di dalam Alquran. Literatur
tersebut berupa buku-buku yang dikarang oleh para pemerhati masalah jender dan
tafsir jender di Indonesia, antara lain: Nashruddin Baidan, Nurjannah Ismail,
Hamka Hasan, Nasaruddin Umar dan Siti Ruhaini Dzuhayatin. Dalam literatur
tersebut dijelaskan bahwa ada empat metode yang lazim digunakan oleh para
mufasir di dalam menafsirkan ayat tentang poligami dalam Alquran. Keempat
metode tafsir tersebut meliputi: ijmali, tahlili, muqarin dan maudhu’i. Secara
lebih detail, Nurjannah Ismail menjelaskan keempat metode tafsir tersebut sebagai
berikut: pertama, tafsir ijmali adalah penjelasan ayat-ayat Alquran secara ringkas
tetapi mencakup, dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti, dan enak
dibaca; Kedua, tafsir tahlili adalah cara penafsiran yang menggunakan penalaran
dimana mufasirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Alquran dari
berbagai seginya, dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat Alquran sebagaimana
tercantum di dalam mushaf. Ketiga, tafsir Muqarin adalah membandingkan teks
ayat-ayat Alquran yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua
kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang
sama; membandingkan ayat Alquran dengan hadits yang pada lahirnya terlihat
bertentangan; membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan
Alquran; dan Keempat, tafsir maudhu’i adalah membahas ayat-ayat Alquran
146
sesuai dengan tema dan judul yang telah ditetapkan.5 Sementara itu, Nurjannah
membedakan tafsir tahlili, menjadi dua macam yakni tafsir bi al-ma’tsur dan
tafsir bi ar-ra’yi.6 Terkait tafsir bi al-ma’tsur dan tafsir bi ar-ra’yi, Dzuhayatin
menyatakan bahwa di dalam menafsirkan Alquran, sebagian mufasir ada yang
menggunakan metode tafsir bi al-ma’tsur (penafsiran Alquran yang bersandarkan
pada Alquran, hadist atau ijtihad sahabat) dan sebagian yang lain menggunakan
metode tafsir bi ar-ra’yi (penafsiran Alquranyang bersandar pada logika berpikir
penafsir sendiri).7
Terkait dengan adanya perbedaan pendapat yang terjadi dikalangan para
fukaha, mufasir dan feminis Muslim di dalam memandang persoalam poligami
dalam Islam, di dalam teori Okin telah disebutkan, bahwa “sudah menjadi sebuah
keharusan, bahwa segala sesuatu itu akan terus berada dibawah perbedaan
pendapat.”8 Dengan demikian, berarti bahwa, perbedaan penafsiran tentang
perihal poligami dalam Islam oleh para fukaha, mufasir, dan feminis Muslim
merupakan hal yang wajar terjadi. Apalagi hal ini terkait erat dengan pembahasan
tentang keadilan sebagai salah satu syarat dibolehkannya poligami dalam Islam.
Selanjutnya beralih kepada persoalan keadilan jender, bahwa seiring
dengan munculnya kesadaran akan keadilan dan kesetaraan jender dikalangan
perempuan, persoalan poligami dalam Islam kini menjadi sebuah persoalan
5
Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan: Bias laki-laki dalam Penafsiran,
(Yogyakarta: LKiS, 2003), 15-18.
6
Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan: Bias laki-laki dalam Penafsiran,
(Yogyakarta: LKiS, 2003), 16.
7
Siti Ruhaini Dzuhayatin, Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam
Islam, Kata Pengantar, (Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga dan Pustaka Pelajar, 2002), viiiix.
8
Okin, Justice, Gender, and The Family, 68.
147
keadilan jender yang sangat penting untuk dikritisi. Menurut Hamka Hasan, untuk
mewujudkan kesetaran jender, kesadaran jender dapat muncul dengan melibatkan
faktor teologis yakni melalui reinterpretasi terhadap ajaran agama.9 Adapun Fakih
berpendapat bahwa dengan dilakukannya kajian kritis, diharapkan akan
mengakhiri bias dan dominasi dalam penafsiran agama.10 Jika kedua pendapat
tersebut kemudian dikaitkan dengan maraknya kemunculan pandangan para
feminis Muslim terhadap poligami dalam Islam khususnya pada beberapa dekade
terakhir ini, maka dapat dikatakan bahwa penafsiran tentang poligami oleh
feminis Muslim merupakan hasil kajian kritis yang dilakukan melalui
reinterpretasi terhadap ayat tentang poligami yang dianggap bias jender.
Melalui tafsir jender, para feminis Muslim mencoba mengkritisi persoalan
poligami di dalam Alquran. Terkait hal ini, Yunahar Ilyas dengan menyitir
Engineer, menyatakan bahwa sesungguhnya yang digugat oleh para feminis
Muslim bukanlah teks kitab suci Alquran itu sendiri, tetapi lebih kepada
penafsiran para mufasir yang dianggap tekstual dan bias jender. Engineer
mengkritik dengan tajam penggunaan metode para mufasir yang dalam
memahami ayat Alquran semata-mata hanya berdasarkan pendekatan teologis
semata tanpa mempertimbangkan pendekatan sosiologis. Bagi Engineer,
penafsiran terhadap teks Alquran seharusnya dilakukan dengan menggunakan
pendekatan sosio-teologis.11 Sederet nama terkenal dengan latar belakang yang
berbeda, seperti: Asghar Ali Engineer, Nawal El-Saadawi, Fatima Mernissi, dan
9
Hasan, Tafsir Jender: Studi Perbandingan antara Tokoh Indonesia dan Mesir, Seri
Disertasi, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2009), 99.
10
Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1996), 134.
11
Yunahar Ilyas, Konstruksi Pemikiran Gender dalam Pemikiran Mufasir, 4.
148
Amina Wadud Muchsin, telah membahas perihal poligami dalam Islam. Adapun
feminis Muslim Indonesia yang sangat keras menentang terjadinya praktik
poligami adalah Siti Musdah Mulia, sebagaimana terdapat dalam karyanya Islam
menggugat Poligami.
Dari pembahasan mengenai metode tafsir yang lazim digunakan di dalam
penafsiran terhadap ayat tentang poligami, maka dapat disimpulkan bahwa dalam
menafsirkan ayat tentang poligami, ada kecenderungan para fukaha menggunakan
metode tafsir tahlili, sementara itu para mufasir menggunakan metode tafsir
muqarin. Adapun kaitannya dengan metode tafsir bi al-ma’tsur dan metode tafsir
bi ar-ra’yi sebagaimana yang dinyatakan oleh Dzuhayatin, maka ada
kecenderungan bahwa para fukaha telah menggunakan metode tafsir bi alma’tsur, para mufasir menggunakan gabungan antara tafsir bi al-ma’tsur dan
tafsir bi ar-ra’yi, adapun para feminis Muslim menggunakan tafsir bi ar-ra’yi.
Poligami
merupakan
sebuah
fenomena
sosial
keagamaan
yang
keberadaannya dari dulu hingga kini terus diperdebatkan oleh berbagai kalangan.
Jika dicermati secara seksama, maka terjadinya perdebatan tentang poligami di
dalam Islam sesungguhnya bersumber pada adanya perbedaan metode pendekatan
yang digunakan di dalam menafsirkan ayat tentang poligami di dalam Alquran
oleh para ulama (baik Fukaha maupun Mufasir). Perbedaan tersebut menjadi
semakin jelas terlihat ketika para feminis Muslim yang dengan melibatkan
konteks turunnya Alquran, telah mengkritisi penafsiran ayat poligami yang
dianggap tekstual dan bias jender. Intinya disini dapat disimpulkan bahwa,
perbedaan penggunaan metode pendekatan dan sudut pandang di dalam penafsiran
149
ayat tentang poligami dalam Alquran, telah menjadi penyebab bagi terjadinya
perbedaan pemahaman terhadap ayat tentang poligami diantara para ulama dan
feminis Muslim. Perbedaan penafsiran tersebut selanjutnya berimbas kepada
adanya keragaman pemahaman umat Islam dalam memandang persoalan poligami
di dalam Islam.
4.2.2. Tipologi Pemikiran Islam (Fundamental, Moderat dan Liberal) tentang
Penafsiran tentang Poligami dalam Islam.
Untuk membuat sebuah tipologi pemikiran terhadap penafsiran tentang
poligami dalam Islam, penulis mengalami tingkat kesulitan tersendiri karena harus
diakui bahwa term yang dipilih (fundamental, moderat dan liberal), belum lazim
diterapkan khususnya dalam pembahasan mengenai tipologi pemikiran Islam. Di
sini penulis benar-benar harus melakukannya dengan penuh kehati-hatian agar
nantinya “tidak terpeleset ke arah bias dan pejoratif” (meminjam istilah Syahrin
Harahap). Hal ini sebagaimana dinyatakan Syahrin Harahap ketika membahas
tentang “Islam dan fundamentalisme”. Menurutnya, term “fundamentalisme”
sangat merepotkan bila dihubungkan dengan Islam. Selain karena tidak tepat jika
digunakan terhadap corak keberagaman, berbagai diskusi di kalangan umat Islam
juga telah menolak penggunaan istilah tersebut dengan menyebutnya sebagai
istilah yang bias dan pejoratif.12 Meski demikian, dalam pembahasannya lebih
lanjut, Harahap menyatakan bahwa penggunaan istilah tersebut kini tidak dapat
lagi dihindari karena kita hidup di era global. Adapun, menyitir Bernald Lewis,
seorang ahli sejarah Islam menyatakan bahwa penggunaan istilah tersebut saat ini
12
Syahrin Harahap, Islam Dinamis: Menegakkan Nilai-nilai Ajaran Al-Qur’an dalam
Kehidupan Modern di Indonesia, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), 234
150
sudah mapan dan dapat diterima.13 Pendapat inilah yang akhirnya mendorong
penulis untuk berani menggunakan istilah-istilah seperti fundamental, moderat
dan liberal di dalam membuat sebuah tipologi pemikiran Islam terkait keragaman
penafsiran poligami dalam Islam. Hal ini dipilih penulis dengan sebuah
pertimbangan, yakni: agar dapat lebih mudah untuk dipahami.
Setelah dilakukan pendekatan melalui pemahaman makna dari berbagai
istilah, akhirnya dapat disimpulkan oleh penulis, bahwa pandangan mengenai
poligami dalam Islam dapat dipetakan kedalam tiga kategori pemikiran Islam,
yakni: fundamental, moderat dan liberal. Pertama, Pemikiran Islam Fundamental.
Pemikiran ini terdapat pada ulama yang berpendapat bahwa poligami adalah
sunnah Nabi yang seyogyanya diteladani, khususnya bagi laki-laki yang memiliki
kemampuan secara material dan kesanggupan untuk bertindak adil. Poligami
disini dapat dilakukan tanpa adanya batasan mengenai jumlah isteri yang boleh
dipoligami. Pemikiran ini terdapat pada fukaha klasik seperti Imam Syafi’i dan
Abu Hanifah. Kedua, pemikiran Islam Moderat. Pemikiran ini terdapat pada
ulama yang berpandangan bahwa poligami dapat diperbolehkan dalam batas
maksimal 4 orang perempuan, dengan catatan mampu dan dapat berlaku adil
diantara istri-istrinya. Pemikiran ini terdapat pada para mufasir seperti Ibnu Katsir
dan Al-Zamakhsyari. Ketiga, pemikiran Islam Liberal. Pemikiran ini terdapat
pada pemikiran ulama yang melarang praktek poligami, termasuk didalamnya
adalah pendapat modernis Islam dan feminis Muslim. Pemikiran ini antara lain
13
Harahap, Islam Dinamis: Menegakkan Nilai-nilai Ajaran Al-Qur’an dalam Kehidupan
Modern di Indonesia, 234-235.
151
terdapat pada Muhammad Abduh, Asghar Ali Engineer, Fatima Mernisi, Amina
Wadud Mukhsin, dan di kalangan Indonesia seperti Siti Musdah Mulia.
Untuk lebih mudah dipahami, berikut ini penulis tuangkan ke dalam
bentuk sebuah bagan mengenai tipologi pemikiran Islam tentang keragaman
penafsiran terhadap poligami di dalam Islam.
152
Bagan Tipologi Pemikiran Islam
tentang Keragaman Penafsiran terhadap Poligami di dalam Islam.
Kitab Suci Alquran (Q.S. 4:3)
Tafsir terhadap Q.S. 4:3
Fukaha:





Poligami merupakan
sunnah Nabi.
Dilakukan tanpa
adanya batasan jumlah
istri.
Tokoh: Imam Syafi’i
dan Imam Hanafi.
Dalil: Q.S. 4:3
Metode Penafsiran:
tekstual, tahlili, bi-al
ma’tsur.
Mufasir:





Pemikiran Islam
Fundamental
Poligami adalah hal
yang dibolehkan oleh
agama.
Dilakukan dengan
batasan maksimal 4
istri disertai syarat
mampu berlaku adil
diantara istri-istri.
Tokoh: Ibnu Katsir,
Al-Zamakhsyari,
HAMKA, Hasbi ashShiddiqy.
Dalil: Q.S. 4:3 dan
Q.S. 4:129
Metode Penafsiran:
tekstual - kontekstual,
muqarin, bi-al
ma’tsur-bi-ar’rayi.
Pemikiran Islam
Moderat
Modernis Islam dan
Feminis Muslim:




Poligami sebaiknya
dilarang.
Tokoh: Muhammad
Abduh, Asghar Ali
Engineer, Amina
Wadud Mukhsin,
Fatima Mernisi, Nawal
El-Saadawi , Siti
Musdah Mulia.
Dalil: Q.S. 4:3, Q.S.
4:129 dan semua ayat
yang membahas
perkawinan
Penafsiran secara
kontekstual, bi-ar’rayi.
Pemikiran Islam
Liberal
Sumber: Data diolah oleh penulis (Pebruari 2016).
153
4.3.
Analisis Kritis Keadilan Jender terhadap poligami dalam Islam
4.3.1. Analisis kritis terhadap ketentuan hukum positif di Indonesia yang
mengatur tentang pelaksanaan Poligami.
Teori keadilan jender Susan Moller Okin merupakan sebuah teori politik,
moral dan sekaligus jender, yang berisikan tentang bagaimana seharusnya
keadilan jender itu dapat diterapkan di dalam sebuah keluarga yang telah dibentuk
melalui lembaga perkawinan. Teori ini berangkat dari sebuah isu utama
feminisme bahwa perempuan adalah manusia yang sejajar dengan laki-laki, yang
berhak mendapat tempat yang sama dengan laki-laki, baik dalam teori politik
maupun moral.14 Secara tersirat, Okin juga menyatakan bahwa sistem jender yang
berkembang dalam masyarakat merupakan hal yang sangat bertentangan dengan
nilai-nilai demokrasi khususnya terkait dengan nilai “kebebasan dan keadilan
untuk semua”.15
Teori Okin memang tidak secara khusus membahas tentang perkawinan
poligami sebagaimana yang menjadi tema utama dari tesis ini. Namun,
pembahasan yang ada di dalam teori tersebut sangatlah penting untuk diangkat
sebagai starting point bagi penulisan tesis ini. Salah satu diantaranya adalah
pernyataan Okin yang mengatakan bahwa kehidupan sebuah rumah tangga itu
harus adil. Adapun keadilan itu sendiri harus diperkuat oleh negara melalui sistem
hukumnya.16 Dalam pandangan Okin, kesetaraan antara jenis kelamin termasuk
14
Susan Moller Okin, Justice, Gender and The Family, 61.
Susan Moller Okin, Justice, Gender and The Family, 3.
16
Susan Moller Okin, Justice, Gender and The Family, 126.
15
154
didalamnya adalah keluarga atau dimanapun, tidak akan pernah terwujud selama
tidak ada perubahan hukum, politik dan sosial yang menyertainya.17
Menurut Okin, pernikahan dan keluarga yang selama ini dipraktikkan di
dalam masyarakat memiliki ciri khas, yakni tersusun berdasarkan jender. Hal ini
merupakan sebuah bentuk ketidakadilan.18 Bagi Okin, keluarga dan perkawinan
merupakan poros dari sistem sosial jender yang membuat perempuan rentan
terhadap ketergantungan, eksploitasi, dan kekerasan.19 Sebuah pernikahan secara
tidak disadari telah menyembunyikan ketimpangan sosial yang dibangun
perempuan melalui pernikahannya.20 Pembagian kerja secara seksual telah
menjadi bagian fundamental dari adanya sebuah kontrak pernikahan.21 Intinya
bahwa, keluarga dan perkawinan dalam praktiknya telah menjadi sebuah lembaga
yang tidak adil.
Bagi Okin, keluarga yang ideal adalah keluarga yang menjadikan keadilan
sebagai suatu kebajikan yang penting.22 Keluarga adalah sekolah moral pertama
yang mengajarkan tentang nilai-nilai keadilan kepada generasi penerus bangsa.23
Ketika terjadi persoalan ketidak-adilan pada perempuan dan anak-anak,
khususnya dalam kehidupan institusi rumah tangga, maka hal penting yang
diusulkan oleh Okin didalam teorinya adalah perlunya dilakukan sebuah reformasi
sosial seperti perubahan kebijakan publik dan reformasi hukum.24
17
Susan Moller Okin, Justice, Gender and The Family, 117.
Susan Moller Okin, Justice, Gender and The Family, 4.
19
Susan Moller Okin, Justice, Gender and The Family, 135.
20
Susan Moller Okin, Justice, Gender and The Family, 5.
21
Susan Moller Okin, Justice, Gender and The Family, 6.
22
Susan Moller Okin, Justice, Gender and The Family, 32.
23
Susan Moller Okin, Justice, Gender and The Family, 18.
24
Thobias A. Messakh, Konsep Keadilan dalam Pancasila, 81.
18
155
Itulah sekilas gambaran dari teori keadilan jender Susan Moller Okin yang
telah menjadi dasar bagi penulis untuk melakukan sebuah analisis kritis terhadap
Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan di Indonesia dan
Kompilasi Hukum Islam yang mengatur tentang pelaksanaan poligami.
Sebagaimana telah disampaikan pada bab-bab sebelumnya, bahwa dalam
hukum positif di Indonesia, poligami telah di atur pelaksanaanya di dalam
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan (pasal 3, 4 dan 5) dan
Inpres Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam/KHI (pasal 55 s/d
59).
Pada UU No. 1 tahun 1974 pasal 3 ayat 1 dinyatakan secara tersirat bahwa
pada dasarnya asas perkawinan di Indonesia adalah monogami. Selanjutnya, pada
ayat 2 disebutkan bahwa “Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami
untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan.” Jika dicermati dengan seksama maka kedua ayat tersebut telah
memperlihatkan adanya sebuah ambiguitas. Pada ayat 1, disebutkan bahwa asas
perkawinan adalah monogami, namun pada ayat 2, dimunculkan asas monogami
terbuka. Hal ini ditandai dengan sebuah pernyataan bahwa, apabila dikehendaki
oleh pihak-pihak yang bersangkutan, maka seorang suami dapat beristri lebih dari
seorang, yang dalam hal ini setelah diberikan izin oleh pengadilan.
Selanjutnya, beralih pada pihak yang boleh melakukan poligami menurut
UUP No 1 tahun 1974. Pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 ayat (2) disebut dengan jelas
bahwa pihak yang berhak mendapat izin dari pengadilan untuk melakukan
poligami adalah kaum laki-laki (suami). Hal ini menunjukkan bahwa secara
156
legalitas hukum, poligami hanya diperbolehkan bagi kaum laki-laki, dan tidak
bagi kaum perempuan. Jika hal tersebut dicermati dari sudut pandang hukum
Islam, maka sejatinya ketentuan tersebut tidak berbeda dengan ketetapan yang ada
di dalam Alquran, dimana laki-laki diberi kebolehan untuk melakukan poligami
dengan syarat-syarat tertentu (Q.S. An-Nisa’/4:3), sedangkan poliandri merupakan
hal yang diharamkan atau terlarang bagi perempuan (Q.S. An-Nisa’/4:24).
Masih berkaitan dengan pasal 4 UUP. Dalam pasal 4 ayat (2) disebutkan
bahwa pemberian izin untuk poligami dilakukan oleh pengadilan kepada seorang
suami yang akan beristri lebih dari seorang karena adanya tiga alasan, yakni: (a)
Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri; (b) Istri mendapat cacat
badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; (c) Istri tidak dapat
melahirkan keturunan.
Jika pasal 4 ayat 2 point (a) UUP diperhatikan dengan seksama, maka
disana terlihat adanya sebuah istilah yang memiliki makna ambigu dan bias
jender, yakni tentang “kewajiban istri”. Dalam point (a) tersebut, tidak disebutkan
dengan jelas apa sesungguhnya yang dimaksud dengan istilah “kewajiban istri”.
Kewajiban istri dalam hal apa? Apakah yang dimaksud adalah kewajiban istri
dalam hal seksual, ataukah yang lainnya? Hal ini tentunya perlu mendapat
perhatian lebih lanjut, agar nantinya menjadi lebih jelas di dalam penerapannya.
Selanjutnya, jika pasal 4 ayat 2 ditinjau dari sudut pandang jender, maka
disana terlihat adanya sifat patriarkis dan diskriminatif terhadap kaum perempuan.
Hal ini dapat terlihat dari tiga alasan yang disebut terkait dengan syarat pemberian
izin poligami oleh pengadilan. Hanya karena alasan seorang istri tidak dapat
157
melayani suami dengan baik, cacat tubuh, dan tidak dapat melahirkan keturunan,
undang-undang kemudian memberi celah kepada kaum laki-laki untuk beristri
lebih dari seorang. Lantas, disini pun muncul sebuah pertanyaan: bagaimana jika
ternyata keadaanya justeru kebalikannya, yakni: suami tidak dapat melayani istri
dengan baik, suami mengalami cacat tubuh, dan mandul? Apakah seorang istri
kemudian juga boleh berpoligami (poliandri)? Ternyata jawabannya adalah tidak!
Namun demikian, ada sebuah solusi yang mungkin dapat menjadi jawaban atas
pertanyaan tersebut. Undang-undang perkawinan kita ternyata memberi celah
kepada seorang istri yang merasa tidak bahagia dengan perkawinannya untuk
melakukan gugat cerai terhadap suami. Setelah terjadi perceraian, barulah seorang
perempuan dapat menikah lagi dengan laki-laki lain (hal ini tentunya bagi
perempuan yang masih menghendaki untuk menikah lagi).
Beralih pada pasal 5 UUP tahun 1974. Dalam pasal 5 ayat 1 disebutkan
bahwa bagi suami yang akan mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk
melakukan poligami, sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undangundang ini, maka harus dipenuhi syarat-syarat: (a) adanya persetujuan dari
istri/istri-istri; (b) adanya kepastian bahwa suami menjamin keperluan-keperluan
hidup istri-istri dan anak-anak mereka; (c) adanya jaminan bahwa suami akan
berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.
Selanjutnya, dalam Pasal 5 ayat 2 disebutkan bahwa persetujuan yang
dimaksudkan pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami
apabila istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat
menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama
158
sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu
mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.
Dari bunyi Pasal 5 ayat 2 di atas, terlihat bahwa persetujuan dari istri/istriistri, bukanlah hal yang mutlak sebagai sebuah persyaratan untuk seorang suami
dapat melakukan poligami. Hal ini karena persyaratan tersebut ternyata dapat
diselesaikan melalui putusan Hakim Pengadilan. Dalam pandangan penulis, pasal
5 ayat 2 terlihat sangat kontradiktif dengan pasal 5 ayat 1 huruf a. Dalam hal
persetujuan istri terhadap suami yang akan berpoligami, kewenangan hakim
adalah lebih kuat kedudukannya daripada izin dari istri yang akan dipoligami.
Beralih kepada analisis terhadap Inpres No. 1 tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam/KHI. Bahwa ketentuan pelaksanaan poligami dalam KHI
terdapat pada Buku Pertama tentang Hukum Perkawinan, khususnya pada pasal
55 sampai dengan 59. Dengan melihat pasal-pasal tersebut maka dapat terlihat
bahwa ketentuan tentang pelaksanaan poligami tersebut adalah hampir sama
dengan ketentuan yang terdapat pada UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan di
Indonesia. Ada beberapa hal yang dapat disoroti dari pasal-pasal tentang
ketentuan pelaksanaan poligami di dalam KHI sebagai berikut:
1.
Pasal
55
KHI
dalam
pandangan
penulis
adalah
merupakan
pengejawantahan dari Q.S. 4:3, yakni tentang jumlah maksimal istri yang
boleh dipoligami adalah 4 orang istri dan adanya syarat harus mampu
berlaku adil diantara istri-istri dan anak-anak yang dimiliki.
2.
Pasal 56 ayat 1 yang menyatakan bahwa suami yang hendak beristri lebih
dari satu harus mendapat izin dari Pengadilan Agama. Menurut penulis,
159
ketentuan ini dapat dipandang sebagai hal yang kurang adil bagi istri yang
hendak dipoligami, sebab izin dari istri dalam ketentuan ini terlihat seolah
kekuatan hukumnya lebih rendah dibanding dengan izin dari Pengadilan
Agama.
3.
Pasal 57 KHI tentang tiga alasan Pengadilan Agama dalam pemberian izin
bagi suami yang hendak berpoligami. Dalam pasal ini, ketiga alasan yang
diberikan menurut penulis tidak pernah sedikitpun disebut di dalam Islam
(baik Alquran maupun Hadits). Dalam Islam, disebutkan bahwa kaum
laki-laki yang hendak berpoligami harus mampu berlaku adil terhadap
istri-istrinya (Q.S. An-Nisa’/4: 3), yakni sebuah syarat yang sangat mudah
untuk diucapkan, tetapi sangat sulit di dalam penerapannya.
4.
Pasal 58 dan 59 berisikan ketentuan mengenai persetujuan/izin istri yang
hendak dipoligami. Dalam pasal 58 ayat 1 point (a) dan (b) disebutkan
tentang syarat-syarat untuk memperoleh izin bagi suami yang hendak
berpoligami, yakni adanya persetujuan dari istri dan kepastian bahwa
suami mampu menjamin keperluan istri dan anak-anak mereka. Adapun
dalam pasal 58 ayat 2 dan 3 serta pasal 59, menunjukkan bahwa
kedudukan dari persetujuan istri lagi-lagi berada dibawah kedudukan dari
persetujuan final yang diberikan oleh Pengadilan Agama yakni melalui
penilaian Hakim.
Jika kedua hukum positif tersebut diperhatikan dengan seksama maka
terlihat bahwa diantara keduanya memiliki banyak kesamaan, diantaranya adalah:
Pasal 4 ayat 1 memiliki kesamaan substansi dengan pasal 56 ayat 2; Pasal 4 ayat 2
160
memiliki kesamaan substansi dengan pasal 57, pasal 5 ayat 1 (point a dan b)
memiliki kesamaan substansi dengan pasal 58 (point a dan b); dan terakhir adalah
pasal 5 ayat 2 memiliki kesamaan substansi dengan pasal 58 ayat 3.
Dengan melihat adanya kesamaan diantara kedua hukum positif tersebut,
maka penulis menyimpulkan bahwa UU No.1 tahun 1974 lebih merupakan
pengejawantahan dari hukum Islam semata. Dalam pandangan penulis, jika UU
tersebut hanya diperuntukkan bagi kalangan umat Islam, mungkin tidak akan
menjadi sebuah persoalan yang berarti. Persoalannya menjadi berbeda, ketika
pasal-pasal tersebut ternyata menjadi bagian dari Undang-undang Perkawinan
Nasional, yakni sebuah undang-undang yang seharusnya dapat menjadi payung
hukum bagi setiap warga negara yang ada di Indonesia tanpa boleh memandang
perbedaan apapun, khususnya dalam hal ini agama. Oleh karena itu, disini penulis
berpendapat bahwa sebagaimana halnya keadilan, sebuah undang-undang dalam
sebuah negara juga seyogyanya ditujukan secara universal kepada seluruh warga
negara, tanpa melihat adanya faktor pembeda seperti agama dan jenis kelamin.
Ketika sebuah undang-undang hanya berpihak kepada kepentingan salah satu
agama dan jenis kelamin tertentu saja, maka hal tersebut harus dapat ditinjau
kembali agar nantinya dapat menjadi sebuah undang-undang nasional yang lebih
egaliter dan berkeadilan jender.
Secara garis besar, inti yang dapat ditarik dari analisis terhadap Pasal 3, 4,
dan 5 adalah bahwa Pasal 3, 4, dan 5 UU No. 1 tahun 1974 adalah bersifat
ambigu, patriarkis dan bias jender. Dikatakan bersifat ambigu, karena di dalam
ketiga pasal tersebut ditemukan beberapa hal yang terlihat saling bertentangan di
161
antara ayat yang ada. Misalnya adalah : pada pasal 3 (antara ayat 1 dengan ayat 2)
menyangkut asas perkawinan monogami; selanjutnya pada pasal 5 (antara ayat 1
point (a) dengan ayat 2) menyangkut perihal persetujuan dari istri. Pada ayat 1
point (a) disebutkan bahwa untuk mengajukan permohonan izin kepada
pengadilan, harus disertai adanya persetujuan dari istri, namun pada ayat 2
Persetujuan istri terhadap suami yang akan berpoligami dikatakan menjadi tidak
diperlukan lagi, apabila istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuan dan
tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, dan sebagainya. Menurut penulis,
selain ambigu, pasal ini juga telah memberi ruang/celah bagi kaum laki-laki
untuk melakukan poligami.
Selanjutnya, dikatakan bersifat patriarki. Hal ini karena substansi yang ada
dari ketiga pasal tersebut menurut penulis tidak memihak kaum perempuan. Hal
ini dapat terlihat dengan jelas di dalam Pasal 4 ayat 2 mengenai tiga butir
persyaratan terkait pemberian izin oleh pengadilan terhadap suami yang akan
melakukan poligami, yakni: (a) Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya
sebagai istri; (b) Istri mengalami cacat badan; dan (c) Istri tidak dapat melahirkan
keturunan/mandul. Adapun dikatakan sebagai bias jender, hal ini tercermin pada
kalimat yang terdapat pada pasal 4 ayat 2 point (a), yakni Istri tidak dapat
menjalankan kewajiban sebagai istri.
4.3.2. Analisis Kritis terhadap Data LBH-APIK Jakarta tentang Realita Poligami
di Indonesia.
LBH_APIK Jakarta adalah salah satu lembaga yang melakukan
pendampingan hukum bagi perempuan pencari keadilan, terutama perempuan
162
yang mengalami ketidakadilan dan lemah secara politik, ekonomi, sosial dan
budaya. Dalam tesis ini, penulis melakukan analisis terhadap data yang diperoleh
dari hasil penelitian terkait masalah poligami oleh LBH-APIK Jakarta, meliputi:
1). Data Pertama.
“Tindak kekerasan poligami, seringkali diikuti dengan tindak pidana lain. Dari 60,1% ada
sebanyak 4,97% kasus pelaku menikah lagi secara resmi (dicatatkan) dengan memalsukan
identitas dan tanpa sepengetahuan istri (Mitra) atau atas Mitra yang dengan terpaksa merelakan
suaminya menikah resmi. Istri (Mitra) yang “merelakan” pelaku menikah lagi biasanya
dikarenakan faktor ketergantungan ekonomi, demi kepentingan anak atau karena bujuk rayu
suami. Sementara Pelaku yang melakukan pernikahan Siri (dibawah tangan) tanpa sepengetahuan
istri (Mitra) sebanyak 17,67%, dan sebanyak 8,28% korban mengakui pelaku (suami) menikah
tetapi korban tidak mengetahui apakah pelaku menikah resmi atau siri sedangkan 69,06% Mitra
menyampaikan bahwa Pelaku tetap memilih untuk selingkuh sembunyi-sembunyi.”25
2). Data Kedua
Berdasarkan pengaduan dari sejumlah istri (korban poligami) ke LBHAPIK Jakarta, dapat terungkap bahwa dilihat dari jumlah variasi dampak, maka
poligami telah berdampak pada adanya: istri tidak diberi nafkah (37 orang);
ditelantarkan/ditinggalkan suami (23 orang); mendapat teror dari istri kedua (22
orang), tekanan psikis (21 orang), pisah ranjang (11 orang), penganiayaan fisik (7
orang), dicerai oleh suami (6 orang).26
Jika kedua data tentang kasus poligami pada LBH_APIK Jakarta tersebut
dianalisis dengan ketentuan agama (Islam) dan hukum positif yang mengatur
tentang pelaksanaan poligami di Indonesia (UU No. tahun 1974 tentang
Perkawinan di Indonesia dan Inpres No. 1 tahun 1991 tentang KHI), maka dapat
disimpulkan sedikitnya ada dua hal, sebagai berikut:
25
Diambil dari Laporan Tahun 2010 LBH_APIK Jakarta melalui Judul “Jerat Birokrasi,
Patriarki, dan Formalisme Hukum Bagi Perempuan Pencari Keadilan”.
26
Farida, Menimbang Dalil Poligami: antara Teks, Konteks dan Praktek, 77. Pada
catatan bawah data, disebutkan bahwa ada istri yang menerima dampak lebih dari satu jenis.
163
a)
Bahwa dari sebagian praktiknya, poligami ternyata telah dilakukan tanpa
mengindahkan ketentuan yang ada, baik ketentuan agama maupun hukum
positif yang ada di Indonesia. Dalam hal ini, misalnya adalah poligami
dilakukan tanpa izin/sepengetahuan dari istri pertama.
b)
Dalam sebagian praktiknya, poligami ternyata juga diikuti dengan tindak
pidana, seperti: pemalsuan identitas, pemaksaan dan perselingkuhan.
Adapun jika data tersebut dianalisis menggunakan perspektif keadilan
jender, maka sebagian praktiknya, poligami telah menyebabkan terjadinya
ketidakadilan jender yang berupa terjadinya tindak KDRT, khususnya dalam hal
ini, terhadap perempuan (istri) dan anak-anak.
4.4.
Penutup.
Pembahasan tentang poligami di dalam Islam sejatinya merupakan sebuah
pembahasan yang sedemikian kompleks. Dalam pandangan penulis, persoalan
poligami ini baru akan dapat dipahami dengan benar dan bijak, manakala
poligami dikritisi secara holistik melalui berbagai pendekatan dan aspek sudut
pandang, seperti: teologis, jender, hukum, kultur, historis, sosiologis, dan
sebagainya. Penelitian ini merupakan bagian dari upaya tersebut.
Dalam tesis ini, penulis sama sekali tidak menakankan bahwa “monogami
itu lebih baik dari poligami”, ataupun “poligami itu lebih buruk dari monogami”.
Hal ini karena pada kenyataannya, perempuan yang berada pada pernikahan
monogami juga terkadang tidak luput dari berbagai permasalahan rumah tangga,
seperti: tidak diberi nafkah, mendapat kekerasan fisik, ditelantarkan suami, dan
sebagainya. Intinya bahwa, poligami di dalam Islam hanyalah salah satu dari
164
sekian banyak fenomena sosial keagamaan yang harus dapat dipahami secara
bijak, karena sejatinya tidak ada kata benar dan salah untuk menilai sebuah
keimanan di dalam berteologi.
Selanjutnya, beralih pada perihal keadilan jender. Dalam studi jender,
disebutkan bahwa budaya patriarki telah menempatkan perempuan sebagai sosok
yang tersubordinasi dan banyak mengalami opresi, termasuk didalamnya adalah
pada ranah perkawinan. Dalam ranah perkawinan, kondisi tersebut semakin
diperparah dengan keberadaan hukum keluarga yang bersifat patriarkis dan bias
jender. Dalam teori keadilan Okin, disebutkan bahwa keluarga seyogyanya
menjadi sekolah moral pertama bagi penanaman nilai-nilai keadilan pada anak.
Namun pada kenyataannya, pernikahan dan keluarga yang selama ini dipraktikkan
dalam kehidupan masyarakat, justeru telah menjadi lembaga yang tidak adil.
Selain anak-anak, perempuan adalah sosok yang paling rentan terhadap
ketergantungan, eksploitasi dan kekerasan yang terjadi di dalam perkawinan.
Terkait ketidakadilan yang ditimbulkan oleh perkawinan jender terstruktur, Okin
menawarkan sebuah reformasi sosial yakni dirubahnya hukum keluarga yang
bersifat patriarkis menjadi sebuah hukum keluarga yang berkeadilan jender.
165
Download