bab i pendahuluan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Sejak runtuhnya sistem Bretton Woods di awal tahun 1970an, berbagai negara
industri telah melakukan reformasi rezim nilai tukar nominal tetap mereka menjadi nilai
tukar bebas. Salah satu karakteristik dari nilai tukar paska era Bretton-Woods adalah
tendensinya untuk berfluktuasi. Volatilitas nilai tukar selalu berdampak pada stabilitas
tingkat harga, profitabilitas perusahaan, stabilitas perekonomian dan pertumbuhan
ekonomi suatu negara. Berbagai penelitian menunjukan bahwa nilai tukar yang tidak
stabil dapat berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini telah dibuktikan
melalui studi empiris berbagai negara.1Oleh karena itu, penelitian mengenai determinasi
nilai tukar memiliki peranan penting untuk mengetahui kebijakan yang efektif dalam
menjaga stabilitas nilai tukar.
Penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tukar adalah salah
satu topik penelitian tertua dalam ilmu ekonomi. Studi empiris mengenai faktor-faktor
pendekatan nilai tukar telah banyak dilakukan oleh para ekonom dunia. Pada beberapa
negara yang menganut sistem nilai tukar mengambang, nilai tukar dinilai memiliki
volatilitas yang tidak dapat ditebak dan seringkali bergerak jauh dari nilai yang telah
diprediksikan. Persentase perubahan nilai tukar dinilai memiliki volatilitas yang lebih
tinggi dibandingkan dengan volatilitas tingkat harga relatif maupun tingkat inflasi
1
Studi empiris mengenai hubungan stabilitas nilai tukar terhadap pertumbuhan ekonomi meliputi penelitian
yang dilakukan oleh Razin dan Collins (1997), Johnson, Ostry dan Subramanian (2007), Rajan dan
Subramanian (2007) serta Rodrik (2008).
1
(Stockman, 1978). Penelitian Hallwood dan MacDonald (2000) menyatakan bahwa
volatilitas nilai tukar paska era Bretton Woods meningkat sebesar enam kali lipat.
Berdasarkan hal ini, perilaku nilai tukar dalam rezim nilai tukar mengambang dinilai
tidak konsisten dengan teori dan kerap kali menyimpang dari berbagai model pendekatan
maupun intrepretasi dari ekuilibrium yang dilakukan oleh para ekonom. Penyimpangan
ini banyak menimbulkan pendapat bahwa sistem nilai tukar mengambang tidak tepat
untuk mendorong stabilitas perekonomian (Stockman, 1978). Akan tetapi, Friedman
(1953)dan Sohmen (1961)mengemukakan bahwa rezim nilai tukar tetap adalah rezim
yang tidak stabil dan rentan terhadap serangan spekulatif dan perubahan nilai tukar secara
tiba-tiba akibat lemahnya mekanisme penyesuaian nilai tukar yang efektif. Dilain pihak,
rezim nilai tukar mengambang dinilai relatif lebih stabil karena mekanisme penyesuaian
nilai tukar dilakukan secara otomatis dan proporsional sesuai perubahan variabel
makroekonomi yang berpengaruh terhadap nilai tukar.
Salah satu teori awal dalam penjelasan mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi nilai tukar adalah konsep paritas daya beli (purchasing power parity).
Paritas daya beli adalah salah satu doktrin tertua yang dikemukakan oleh ekonom Swedia
yaitu Gustav Cassel pada tahun 1919. Konsep ini telah digunakan secara luas untuk
mengestimasi ekuilibrium nilai tukar suatu mata uang dan kerap kali menjadi pilihan
pertama para ekonom dalam melakukan penghitungan overvalue maupun undervalue dari
suatu nilai tukar. Selain itu, paritas daya beli merupakan dasar dari banyak model
penelitian nilai tukar seperti model-model pendekatan moneter. Frenkel (1982)
melakukan studi komprehensif dengan menggunakan metode ekonometri model panel
non-stasioner untuk menguji berlakunya paritas daya beli. Hasil penelitian tersebut
2
menyatakan bahwa konsep paritas daya beli dinyatakan tidak dapat menjelaskan
volatilitas nilai tukar dan tidak berlaku di banyak negara.Krugman (1978) juga
mengemukakan bahwa deviasi antara nilai tukar dan PPP sangat besar, sehingga dapat
dinyatakan bahwa terdapat berbagai faktor-faktor lain yang menentukan nilai tukar suatu
negara.
Dalam
perkembangannya,
konsep
paritas
daya
beli
diteruskan
dan
disempurnakan oleh berbagai model pendekatan moneter. Selain itu, beberapa model
pendekatan yang dikembangkan dalam melakukan analisis faktor-faktor determinan nilai
tukar adalah model Mundell-Fleming dan Dornbusch. Model Mundell-Fleming
mengasumsikan bahwa harga tetap dalam jangka pendek. Model ini juga memasukan
ekuilibrium pasar uang dan pasar barang, kondisi ekuilibrium eksternal dan neraca
pembayaran. Model Mundell-Fleming dapat dilihat sebagai model ekuilibrium
komprehensif. Model ini menyimpulkan bahwa dalam jangka panjang, tingkat nilai tukar
akan berkorelasi dengan jumlah uang beredar dan kebijakan moneter ekspansif
memainkan peran penting dalam pertumbuhan ekonomi.Model pendekatan ekonomi
lainnya yang dapat digunakan untuk melakukan determinasi nilai tukar adalah model
Durnbusch yang memperbolehkan kondisi dimana harga diasmsikan tetap, namun dapat
melakukan penyesuaian harga. Model ini juga menunjukan bahwa ketika kejutan
perekonomian terjadi, pasar akan bergerak menuju ekuilibrium yang baru, baik melalui
mekanisme nilai tukar mengambang, maupun dengan penyesuaian tingkat harga.
Keseluruhan pendekatan-pendekatan tersebut kerap kali dikritik karena lemahnya
landasan mikroekonomi dan kegagalannya dalam melihat pengaruh dari neraca
pembayaran sebagai faktor determinan nilai tukar. Meskipun demikian, pendekatanpendekatan ini banyak digunakan sebagai dasar dalam penentuan kebijakan moneter yang
3
bertujuan untuk mengontrol volatilitas nilai tukar.Hingga hari ini, berbagai model-model
pendekatan ekonomi terus-menerus dikembangkan meliputi model pendekatan neraca
pembayaran, portofolio balance, serta model pendekatan substitusi mata uang. Sementara
itu, studi empiris yang dilakukan oleh Kouri (1983), Dornbusch dan Fisher (1980),
Stockman (1980), serta Helpman dan Razin (1982) telah membuka jalan menuju
penelitian-penelitian terbaru yang menunjukan modifikasi dan pembangunan model
dengan tujuan untuk melakukan integrasi berbagai aspek dan teori perekonomian
(Bailliee dan McMahon, 1989).
Sejak pertengahan tahun 1980-an, negara-negara berkembang mulai mengadopsi
kebijakan ekonomi liberal sebagai langkah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Seiring terbukanya perdagangan dan perekonomian, nilai tukar memegang peranan
penting dalam perdagangan internasional karena kemampuannya untuk membandingkan
barang dan jasa yang diproduksi di berbagai negara. Sejak tahun 1960-an, negara-negara
ASEAN mulai mengikuti berbagai sistem nilai tukar untuk mencapai stabilitas
pertumbuhan ekonomi mereka.
Sebelum krisis ekonomi Asia pada tahun 1997-1998, Filipina menerapkan rezim
nilai tukar mengambang, sementara Indonesia, Malaysia, Singapura dan Thailand
menggunakan sistem nilai tukar crawling-pegs
2
dan basket pegs
3
. Grafik 1.1
menggambarkan pergerakan nilai tukar rupiah, ringgit, peso, baht dan dolar Singapura
pada periode 1969 hingga 2012. Berdasarkan grafik tersebut, Indonesia, Malaysia,
Singapura dan Thailand memiliki nilai tukar yang relatif stabil, hingga akhirnya
2
Sistem nilai tukar crawling peg adalah sistem nilai tukar dengan mekanisme devaluasi nilai tukar dalam
jumlah relatif kecil setiap minggunya.
3Sistem tukar basket peg adalah sistem tukar dengan mengaitkan nilai tukar dalam negeri tidak hanya pada
suatu mata uang asing, melainkan pada sejumlah mata uang yang dibobot.
4
mengalami kejutan dan depresiasi yang tinggi pada tahun 1997-1998. Pada saat krisis
Asia 1997-1998, nilai tukar negara-negara ASEAN mengalami depresiasi yang
bervariasi. Depresiasi nilai tukar rupiah Indonesia mencapai 244%, ringgit Malaysia dan
peso Filipina mencapai 39%, sementara depresiasinilai tukar dolar Singapura dan baht
Thailand mencapai 13%. Hal ini menunjukan bahwa mata uang rupiah memiliki tingkat
volatilitas yang paling tinggi dibandingkan empat negara ASEAN lainnya.
Grafik 1.1
Persentase Pergerakan Nilai Tukar Nominal ASEAN 5, Periode 1969-2012
300%
250%
200%
150%
100%
50%
Indonesia
Malaysia
Filipina
Singapura
2009
2011
2001
2003
2005
2007
1993
1995
1997
1999
1983
1985
1987
1989
1991
1975
1977
1979
1981
‐50%
1969
1971
1973
0%
Thailand
Sumber: diolah dari Worldbank, 2013
Krisis ekonomi Asia 1997-1998 dinyatakan salah satu faktor yang mendorong
pemerintah di negara-negara ASEAN untuk mempertimbangkan kembali rezim soft-pegs
exchange rate yang dianut. Paska krisis ekonomi tersebut, banyak negara-negara ASEAN
beralih dari penggunaan sistem nilai tukar tetap menjadi sistem nilai tukar mengambang
terkendali akibat tekanan untuk memperbaiki depresiasi nilai tukar dan rekomendasi IMF
dalam memulihkan keadaan ekonomi. Meskipun demikian, tidak semua negara-negara
ASEAN mengikuti rekomendasi tersebut sejak awal.Sejak bulan September tahun 1998,
pemerintah Malaysia mengumumkan penggunaan sistem nilai tukar tetap dengan
5
mengaitkan nilai tukarnya pada dolar Amerika. Pemilihan sistem tukar tetap ini dinilai
mampu menjaga stabilitas nilai tukar yang berdampak signifikan pada stabilitas
perekonomian. Namun, pada bulan Juli 2005, Malaysia akhirnya meninggalkan sistem
nilai tukar tetap tersebut dan beralih pada penggunaan sistem nilai tukar mengambang
terkendali. Hal ini berujung pada meningkatnya investasi yang masuk hingga mencapai
lebih dari 10 miliar dolar Amerika 4 . Hingga hari ini, Indonesia, Malaysia, Filipina,
Singapura dan Thailand menggunakan sistem nilai tukar mengambang terkendali dimana
nilai tukar masing-masing negara didominasi oleh pengaruh pasar. Meskipun demikian,
bank-bank sentral setiap negara tetap melakukan intervasi untuk menghindari adanya
volatilitas berlebih pada nilai tukar.
Berbagai variabel ekonomi diduga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
fluktuasi nilai tukar. AbuDalu, Ani Mad dan Ragupathi (2008) melakukan penelitian
mengenai determinan jangka panjang dan jangka pendek dari nilai tukar riil dengan
menggunakan konsep paritas daya beli di Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand dan
Singapura terhadap dolar Amerika. Penelitian tersebut menggunakan model ARDL pada
periode 1991 hingga 2006. Penelitian tersebut menyatakan bahwa jumlah uang beredar
(M1) berpengaruh signifikan dalam jangka panjang di Malaysia, sementara pengaruh
tersebut terjadi dalam jangka panjang dan jangka pendek di Indonesia, Filipina dan
Singapura. Sementara itu, tingkat suku bunga domestik memiliki pengaruh signifikan
terhadap nilai tukar riil di Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand.
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor moneter
yang mempengaruhi tinggi rendahnya nilai tukardi Indonesia, Malaysia, Filipina,
Singapura dan Thailand. Penelitian ini relevan untuk diterapkan di lima negara tersebut
4
Berdasarkan data International Reserve Bank Negara Malaysia, diolah.
6
mengingat perekonomian di ASEAN 5 menerapkan berbagai kebijakan liberalisasi
perdagangan dimana nilai tukar memiliki peranan penting dalam menentukan berbagai
keputusan ekonomi pasar. Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan salah satu
pertimbangan untuk mengambil kebijakan terkait perekonomian internasional di
Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand. Penelitian ini mengambil sampel
periode tahun 1969 sampai 2012 sebagai observasi dan mengesampingkan fenomena
structural break krisis ekonomi. Variabel yang digunakan adalah nilai tukar nominal,
rasio indeks tingkat harga domestik terhadap asing, rasio jumlah uang beredar domestik
terhadap asing dan rasio pendapatan riil domestik terhadap asing.
Penelitian ini
membatasi masalah pada penggunaan model dengan pendekatan moneter menggunakan
analisis data panel.
Penelitian ini terbagi menjadi empat bagian utama. Bagian pertama berisi latar
belakang, rumusan masalah, tujuan serta manfaat penelitian. Bagian kedua memuat
kerangka teoritis, tinjauan pustaka, serta metodologi penelitian. Bagian ketiga memuat
hasil regresi data dan pembahasan. Bagian terakhir memuat kesimpulan dan saran.
I.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, rumusan
masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah rasio tingkat harga dalam negeri terhadap luar negeri mempengaruhi nilai
tukar di Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand?
2. Apakah rasio penawaran uang dalam negeri terhadap luar negeri mempengaruhi
nilai tukar di Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand?
7
3. Apakah rasio pendapatan riil dalam negeri terhadap luar negeri mempengaruhi
nilai tukar di Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand?
I.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis pengaruh tingkat harga dalam negeri dan luar negeri terhadap nilai
tukar di Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand.
2. Menganalais penawaran uang dalam negeri dan luar negeri terhadap nilai tukar di
Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand.
3. Menganalisis pendapatan riil dalam negeri dan luar negeri terhadap nilai tukar di
Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat untuk mengetahui faktor-faktor moneter yang
mempengaruhi volatilitas mata uang. Selain itu, penelitian ini dapat dapat menjadi salah
satu pertimbangan dalam pengambilan kebijakan untuk mengontrol nilai tukar di
Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand. Hasil penelitian ini juga dapat
menjadi salah satu referensi bagi penelitian selanjutnya.
8
Download