Universitas Gadjah Mada 1 BAB IV KELAINAN

advertisement
BAB IV
KELAINAN-KELAINAN PADA WAJAH, RAHANG
DAN SENDI RAHANG
A. Kelainan-kelainan pada wajah dan rahang secara genetik
Kelainan-kelainan pada wajah dan rahang secara genetik antara lain Cherubism;
Cleidocranial dysplasia; Crouzon's syndrome (craniofacial dysostosis); Treacher coffins
syndrome
(mandibulofacial
dysostosis);
Down
syndrome;
Brittle
Bone
Syndrome
(Osteogenesis imperfecta); Achondroplasia; Osteopetrosis (Marble Bone Disease); Fibrous
displasia.
1. Cherubism
Cherubism rnerupakan kelainan genetik benigna yang melibatkan maksila dan
mandibula. Biasanya dijumpai pada anak usia 5 tahun. Tanda-tanda khas yaitu terjadinya
pembesaran rahang, pembesaran pipi dan tatapan mata ke arab alas.
Etiologi dan Patogenesis.
. Etiologi terjadinya cherubism karena adanya gangguan pada autosomal dominan.
Penetrasinya adalah 100% pada penderita laki-laki dan 50 -75% pada wanita. Bersifat
"self-limiting disease", jadi dapat berkembang cepat selama masa kanak-kanak dan
seringkali berawal pada usia 2 tahun kemudian berlahjut hingga pubertas. Pada masa
pubertas, lesi pada tulang mulai surut atau mengalami regresi dan pada usia 30 tahun
tinggal sedikit kecacatan yang tersisa.
Gambaran Klinis
Daerah yang paling sering terlibat pada penyakit ini adalah sudut mandibula
(mandibular angle), ascending ramus, regio retromolar dan bagian posterior maksilla.
Prosesus coronoid dapat terlibat tetapi condylus selalu terhindar. Perluasan tulang paling
sering terjadi secara bilateral walaupun ada pula kasus unilateral, sebagian besar kasus
hanya pada mandibula.
Pada regio posterior mandibula dapat terjadi pembesaran yang dapat meluas sampai
pada processus alveolaris dan ascending ramus serta tidak mengakibatkan rasa sakit.
Penampilan klinis bervariasi mulai dari pembengkakan posterior pada satu rahang hingga
perluasan ke anterior dan posterior adari kedua rahang, sehingga mengakibatkan kesulitan
dalam mengunyah, bicara dan menelan.
Pada kelainan maksila terjadi keterlibatan dasar orbita dan Binding anterior antrum.
Tekanan ke arah superior pada orbita menyebabkan terjadinya penonjolan sclera dan
tatapan mats ke arah alas. Terjadi pula pengurangan atau obliterasi lengkung palatal.
Universitas Gadjah Mada
1
Kemungkinan dapat pula terjadi premature exfoliation gigi decidui pada usia 3 tahun. Timbul
gangguan perkembangan dan erupsi ectopik gigi permanen. Gigi permanen mungkin
missing atau malformasi, M2 dan M3 rahang bawah sering terlibat. E3iasanya kecerdasan
penderita penyakit ini tidak terpengaruh.
Gambaran Radiografis
Secara radiografis akan terlihat lesi yang berbatas jelas, multiple, radiolusen dan
multilokular. Pada mandibula terjadi perluasan dan penipisan dari cortical plate.
kemungkinan juga terjadi displacement canal alveolaris inferior.
Pada maksila akan terlihat gambaran mirip gelembung sabun dengan obliterasi
antrum maksilla.
Histopatologi
Secara histologis, lesi sangat mirip dengan central giant cel carcinoma. Terdapat
fibrous stroma dengan vaskularisasi yang banyak dan tersusun dalam pola melingkar.
Terlihat banyak fibroblas dan multinucleated giant sel dengan nuclei dan nucleoli yang
menyolok. Pada lesi mature akan terlihat banyak jaringan fibrous dan jumlah giant eel
sedikit. Pathognomonic untuk cherubism adalah perivaskuler kolagen.
Differential Diagnosis
Differential diagnosis untuk pembengkakan bilateral adalah hiperparathyroidism,
infantile cortical hyperostosis dan multiple odontogenic keratocysts, sedangkan bila
pembengkakan unilateral, differential diagnosenya adalah fibrous dysplasia, central giant cel
granuloma, histiocytosis dan odontogenic tumor
2. Cleidocranial dysplasia
Syndrome ini meliputi aplasia atau hipoplasia clavicula, mal formasi cranio-facial,
multiple supemumarary dan unerupted gigi.
Etiologi dan Patogenesis
Etiologi dan patogenesis belum diketahui secara pasti, tetapi kelainan ini
digambarkan sebagai manifestasi kelainan genetik yang diwariskan secara dominan dan
resesif. Frekuensi terjadinya pada laki-laki dan wanita adalah seimbang. Tidak terlihat
adanya predileksi rasial. Sebagian besar pasien menunjukkan intelegensi normal.
Penyakit ini melibatkan tulang intramembraneous dan endochondral pada tengkorak
sehingga menunjukkan adanya pengurangan basis cranium dalam arch sagital, tranverse
enlargement dari calcarium dan penutupan fontalle yang lambat. Adanya tekanan
Universitas Gadjah Mada
2
hydrochephalic pada daerah yang tidak menulang pada tengkorak, khususnya fontanella
menyebabkan penonjolan dari biparietal dan frontal serta perluasan lengkung cranial.
Defisiensi dari clavicula menyebabkan penampakan leher yang panjang dan sempit.
Penyebab keterlambatan atau kegagalan erupsi gigi seringkali dikaitkan dengan kurangnya
cellular cementum. Adanya kegagalan pembentukan cementum mungkin karena adanya
resistensi mekanis oleh kepadatan tulang alveolar.
Penampilan klinis.
Penampilan klinis penderita menunjukkan adanya pathognomonic pada kelainan ini.
Penderita terlihat sangat pendek, leher tampak panjang, bahu sempit dan turun atau jatuh.
Tidak ada kalsifikasi secara menyeluruh atau sebagian dari clavicula sehingga terjadi
hipermobilitas pada bahu. Kepala terlihat besar dan branchycephalus. Terdapat penonjolan
yang nyata pada tulang frontal, parietal dan occipital. Tulang-tulang facial dan sinus
paranasal mengalami hipoplasi sehingga penampilan muka menjadi kecil dan pendek. Dasar
hidung terlihat luas dengan nasal bridge tertekan ke dalam. Terdapat ocular hypertelorism.
Hipoplasi maksila menyebabkan mandibula relatif tampak prognathic. Lengkung palatal
sempit dan tinggi. Terdapat peningkatan insidensi celah submucosal dan celah palatal. Gigi
sulung biasanya normal meskipun kadang-kadang tertunda erupsi dan exfoliansinya. Gigi
permanen tertunda erupsinya dan beberapa gigi gagal erupsi. Gigi supemumeri yang tidak
erupsi sering terdapat pada regio premolar. Sering disertai dengan maloklusi yang parch.
3. Crouzon's syndrome (craniofacial dysostosis)
Tanda-tanda khas pada penyakit ini antara lain : terjadi deformitas pada cranial,
hipoplasi maksilla, orbita dangkal dengan exopthalmos dan divergen strabismus. Dapat pula
terjadi komplikasi sistemik yang meliputi retardasi mental, tuli gangguan penglihatan dan
bicara serta konvulsi.
Universitas Gadjah Mada
3
Etiologi dan patogenesis
Crouzon's syndrome merupakan kelainan genetik yang diwariskan secara autosomal
dominan dengan penetrasi sempurna. Sepertiga kasus timbul secara spontan. Terdapat
peningkatan keparahan ekspresi penyakit pada saudara kandung secara berturutturut
dimana anak paling muda terparah. Teradapat craniosynostosis jika terjadi prematur pada
sutura cranial. Disertai exophthalmos dan pengurangan volume orbital. Abnormalitas tulang
orbita menyebabkan beberapa abnormalitas fungsional ocular disertai adanya hipertelorism.
Adanya distorsi yang parah dari basis cranial menyebabkan pengurangan pertumbuhan
maksila dan hipoplasia nasopharyngeal dengan restriksi saluran nafas atas.
Penampilan klinis
Penampilan
muka
sangat
khas,
sering
digambarkan
sebagai
Hipoplasi
pada "mid-face" dan exophthalmos sangat jelas. Mandibula relatif tampak prognathism,
hidung mirip paruh burung beo. Bibir atas dan philtrum biasanya pendek dan bibir bawah
sering tampak jatuh. Kerusakan syaraf penglihatan dapat terjadi pada 80% kasus.
Secara intra-oral akan terlihat penyempitan lengkung maksila, lengkung palatal tinggi,
bilateral posterior lingual crossbite, anterior open bite.
4. Treacher collins syndrome (Mandibulofacial dysostosis)
Pada penyakit ini sering terjadi anomali bilateral seperti berikut fissure palpebral
miring kearah bawah, cacat pada kelopak mats bawah, hipoplasi mid-face dan mandibula,
cacat pada daun telinga.
Etiologi dan patogenesis
Treacher collins syndrome merupakan kelainan genetik yang diwariskan dengan cara
autosomal dominan, tetapi kurang lebih sebagian kasus dapat timbul karena mutasi spontan.
Derajat penetrasi dari gen tinggi dengan sedikit variasi diantara saudara kandung. Kelainan
ini relatif jarang, insidensinya antara 0,5 — 10,6 kasus per 10.000 kelahiran. Kelainan ini
telah dimulai antara minggu ke-6 dan ke-7 masa embryonik. Abnormalitas yang terjadi
kemungkinan disebabkan oleh kegagalan suplai darah selama embryogenesis.
Gambaran klinis
Terjadi hipoplasi pada mandibula, maksila, zygoma serta telinga tengah dan telinga
ekstema dengan derajat yang bervariasi. Pada syndrome dengan ekspresi penuh,
penampilan muka sangat khas, sering digambarkan sebagai "bird-like" atau "fish like". Tujuh
puluh lima persen kasus menunjukkan kecacatan pada 1/3 bagian luar kelopak mata bawah.
Universitas Gadjah Mada
4
Lima puluh persen kasus menunjukkan bulu mata bawah di sebelah medial dari bagian mata
yang carat tidak ada. Fissure palpebral menunjukkan miring ke bawah.
Sering terjadi atresia kongenital lubang telinga eksterna dan microtia. Terdapat
kecacatan pada daun telinga berupa daun telinga kusut atau tidak ada sama sekali, sering
pula terjadi ketulian. Pada 30% kasus menunjukkan adanya celah palaturn, sedangkan 15%
kasus menunjukkan terjadinya macrostomia, dapat pula disertai dengan open bite dan
hipoplasi mandibula.
5. Down syndrome (trisomy 21)
Down syndrome merupakan salah satu penyakit yang disebabkan karena kelainan
kromosom. Insidensi adalah 1 dalam 600 hingga 1 dalam 700 kelahiran hidup. Lebih dari
separo fetus gugur pada awal kehamilan. Pada 94% kasus menunjukkan nondisjunction, 3%
kasus translokasi, 2% kasus mosaicism, dan 1% kasus kelainan kromosom lainnya (jarang
terjadi). Terjadinya penyakit ini berkaitan dengan peningkatan usia ibu.
Penampilan klinis.
Penderita Down syndrome akan menunjukkan tanda-tanda sebagai berikut : terjadi
retardasi mental pada derajat bervariasi, pada 30% kasus menunjukkan dementia, terjadi
penuaan dini setelah usia 35 tahun. Kepala akan terlihat branchycephalic, occiput terlihat
datar dan dahi menonjol serta fontanella terlihat lebar dan luas. Pada 98% kasus terjadi
separasi sutura sagital lebih dari 5 mm. Sinus frontal dan spheroid tidak ada sedangkan
pada sinus maksilaris menunjukkan terjadi hipoplasi (90% kasus). Terjadi defisiensi tulang
mid face dengan occular hypotelorism, nasal bridge datar, mandibular prognathism. Mata
berbentuk almond (almond-shape). Fisura palpebra miring ke atas. Pada iris tampak
brushfield spot, tampak pula adanya epichantic fold (epichantus). Terjadi convergen
strabismus, nystagmus, keratoconus, katarak congenital. Pada 30 —45 % disertai penyakit
jantung congenital.
Penderita penyakit ini rentan terhadap infeksi, hal ini ditunjukkan dengan adanya
kelainan pada sel B dan sel T. Pada 50% disertai disfungsi thyroid. Manifestasi pada oral
akan terlihat fisura pada lidah, makroglosi, posisi mulut terbuka, lidah selalu keluar, bernafas
melalui mulut, kadang-kadang terjadi celah palatum dan celah bibir, anomali gigi geligi dan
penyakit periodontal. Pada 75% kasus menunjukkan keterlambatan erupsi gigi sulung dan
gigi permanen, disertai microdontia, hipodontia, malformasi mahkota dan akar gigi.
Prognathism, crossbite posterior, apertognatia, crowded gigi anterior.
6. Brittle Bone Syndrome (Osteogenesis imperfecta)
Universitas Gadjah Mada
5
Osteogenesis imperfecta merupakan salah satu penyakit keturunan dimana tulang
yang terbentuk sedikit dan mudah patah. Kerusakan pokok yaitu pada pembentukan kolagen
yang akan mempengaruhi kartilago dan membran tulang.
Sekurang-kurangnya ada 5 tipe yang diwariskan sebagai autosomal dominan atau
sifat resesif dengan penetrasi tidak lengkap. Pada umumnya kasus paling parah adalah tipe
resesif sedangkan tipe ringan (80% dari kasus ini) sebagai sifat dominan tetapi perbedaan
antar tipenya kurang jelas dan sulit dilakukan. Pada kelahiran yang parah / severe congenital
dikenal dengan tipe II sebagai bentuk kematian. Terjadi fraktur multiple in utero dan selama
proses persalinan dan bayi jarang sekali yang dapat bertahan hidup. Pada masa kanakkanak (Type I sebagai bentuk tarda), penyakit tidak terlihat sampai masa kanak-kanak
berlalu. Tulang memiliki cortical yang tipis dan sedikit trabekula. Tulang kekurangan
osteones dan system lamellar. Terjadi fraktur multiple pada trauma minimal, dan adanya
penyembuhan walaupun cepat mungkin dapat dihubungkan dengan pembentukan osteoid
yang berlebihan. Adanya peningkatan insidensi terutama pada osteosarkoma pada sisi yang
mengalami fraktur.
Dentinogenesis imperfecta dihubungkan dengan osteogenesis imperfecta pada 25%50% pasien terutama pada tipe IV. Kelainan ini meliputi onset awal tuli, kelainan katup
jantung, dislokasi rekuren pada ligamen. Pada kasus yang parah terjadi abnormal tulang
kepala dengan pembengkakan tulang parietal. Walaupun demikian tulang rahang kurang
suseptibel / rentan terhadap fraktur dibandingkan tulang panjang. Pasien dengan
osteogenesis imperfecta ditandai dengan sclerae berwarna biru oleh karena tipisnya sclera
yang mengikuti wama kebiru-biruan pada choroid.
7. Achondroplasia
Achondroplasia merupakan kelainan yang diturunkan pada ossifikasi endochondral
dan mempengaruhi individu seperti bentuk kerdil dengan tulang kaki yang pendek dan
pembesaran kepala. Kondisi yang diturunkan seperti jenis autosomal dominan dengan tidak
komplitnya penetrasi tetapi banyak kasus sebagai hasil mutasi yang baru.
Proliferasi kartilago pada epiphysis menurun dan berkurangnya ossifikasi penulangan
endochondral, sehingga. menghasilkan kegagalan pertumbuhan longitudinal pada tulang
panjang dan dasar tengkorak. Pembentukan tulang subperiosteal tidak terpengaruh
sehingga tulang subperiosteal normal tetapi kadang-kadang dapat pula terjadi ketebalan
yang berlebihan.
Universitas Gadjah Mada
6
Hal ini merupakan kegagalan perkembangan pada pertengahan ketiga pada wajah
dan penurunan nasal bridge. Meskipun demikian, pertumbuhan condylar tidak terpengaruh,
apabila ada yang mempengaruhi maka sebagai prognathism sementara.
8. Osteopetrosis (Marble Bone Disease)
Osteopetrosis sebagai penyakit yang diturunkan heterogen dan ditandai dengan
kerusakan fungsi osteoklas. Kegagalan pada pembentukan tulang normal menyebabkan
kepadatan tulang menjadi abnqrmal dan ruangan sumsum tulang hilang, anemia umunlnya
terjadi,
meskipun
ada
haemopoiesis
extramedullary.
Tipe
dominan
menunjukkan
peningkatan kepadatan tulang yang dapat diketahui dari hasil rontgen tetapi dapat jugs
asymptomatik atau kadang-kadang hanya komplikasi dari keadaan normal. Bentuk
intermediate berupa penyakit tulang skeletal seperti rickets dan acidosis tubulus ginjal. Pada
sebagian besar kasus yang parah seperti tipe resesive, hemopoesis sangat tidak mencukupi
mengakibatkan kematian anak-anak karena anemia, hemorrhage atau biasanya terjadi
infeksi.
Wajah melebar dengan hipertelorism, snub nose, kepala ke depan (frontal bossing).
Produksi tulang abnormal dapat menyebabkan syaraf cranial tertekan. Bisu, tuli dan facial
palsy atau neuropathy trigeminal dapat sebagai komplikasi beberapa tipe yang parah.
Rontgen foto menunjukkan kepadatan dan ketebalan tulang berlebihan, khususnya terlihat
nyata di tengkorak. Erupsi gigi terlambat atau pada kasus gigi posterior berkomplikasi
dengan osteomyelitis.
Tulang walaupun padat tetapi lemah dan mudah fraktur. Osteomyelitis dapat
mengikuti infeksi gigi atau bedah, sebagai hasil dari kurangnya atau sedikitnya supply darah:
Infeksi pada keadaan tersebut sulit untuk diatasi. Secara mikroskopis pada kasus ringan
masih ada kemungkinan untuk membentuk lamellar tulang normal tetapi biasanya
kehilangan differensiasi antara tipe cortical dan cancellous. Kavitas medullary gagal
terbentuk dan hanya sedikit ruangan sumsum tulang terisi fibrous atau jaringan
haemopeietic. Pada onset osteopetrosis awal dapat dirawat dengan menggunakan
transplantasi bone marrow.
9. Fibrous displasia
Typical monostotic fibrous displasia ditandai oleh sedikitnya area yang dibatasi oleh
replacement fibro-osseus tulang ke bentuk pembengkakan yang dimulai pada masa kanakkanak tetapi secara tipikal mengalami istirahat dengan maturasi skeletal. Tulang rahang
paling sering terpengaruh pada sisi leher dan kepala tetapi secara keseluruhan terlihat
kurang dari 25% dari seluruh kasus tulang rusuk dan femur paling sering terkena.
Perbandingan laki-laki dengan wanita hampir sama frekuensinya terkena penyakit ini.
Universitas Gadjah Mada
7
Polyostotic fibrous displasia jarang terjadi dan gambaran histologis lesi ini sama pada
beberapa atau banyak tulang, pigmentasi kulit dan abnormalitas endocrine. Pada wanita
lebih sering terkena (Perbandingan laki-laki dengan wanita = 3 : 1) dan umumnya pada usia
pubertas atau mendekati dewasa. Adanya hubungan antara perubahan tulang dan aktivitas
hormonal kemungkinan dihubungkan dengan receptor estrogen pada tulang.
Albright's syndrome termasuk polyostotic fibrous displasia dapat disertai tanda
pigmentasi kulit dan precocity seksual. Lesi terdistribusi unilateral atau segmental. Secara
klinis, monostotic fibrous displasia terlihat terutama pada masa dewasa, biasanya sekitar
umur 20 tahunan, sedangkan polyostotic fibrous displasia lebih sering terjadi pada masa
kanak-kanak. Lesi yang khas terbentuk tanpa rasa sakit, terjadi pembengkakan lunak pada
maxilla lebih sering dibanding mandibula. Pada beberapa nisi pembengkakan menjadi besar
dan mengganggu fungsi dan adanya maloklusi. Walaupun massa fibroosseus melemahkan
tulang, secara patologi fraktur tulang jarang terjadi.
Polyostotic fibrous displasia melibatkan regio leher dan kepala pada lebih dari 50%
kasus. Adanya lesi pada tulang rahang menjadi gambaran yang paling nyata dan lesi lainnya
tidak terlihat pada pemeriksaan pertama. Adanya pigmentasi kulit berupa noda kehitanihitaman sampai dengan kecoklatan, 1 cm atau lebih dengan gambaran irregular, biasanya
pengaruhnya menutupi tulang tetapi terutama tampak pada bagian belakang leher, trunk,
pantat atau paha. Adanya pigmentasi pada mukosa oral merupakan perkecualian.
Hasil rontgen foto ditandai adanya ground glass atau texture seperti kulit jeruk yang
halus dan bergabung dengan sekitar tulang normal dengan batas yang tidak diketahui
secara pasti. Adanya gambaran seperti sumuran pada margin penting digunakan sebagai
pertimbangan diagnostik. Pada sebagian besar, lesi fibrous seperti kista atau tumor cystic,
banyak lesi ossifikasi menunjukkan sclerotic patchily (berbintik).
Secara mikroskopis terdiri jaringan fibrous seluler dimana distribusi trabekula merata
pada woven/anyarnan tulang, hal ini sering dikarakterkan seperti Chinese walaupun bukan
Chinese. Kemungkinan juga sebagai campuran atau foci kecil yang tersebar secara tidak
merata pada stroma
B. Penyakit-penyaldit pada muka dan rahang yang disebabkan oleh mikroorganisme
Penyakit-penyakit pada muka dan rahang yang disebabkan oleh mikroorganisme,
antara lain: Osteomyelitis pada tulang rahang; Infeksi jaringan lunak di daerah wajah / muka
: a. infeksi streptococcal, b. infeksi staphylococcal; Tetanus; Gonorrhea; Abses
1. Osteomyelitis pada tulang rahang
Osteomyelitis merupakan suatu inflamasi pada tulang yang diawali dengan infeksi
pada kavitas medullary dan sistem haversi, meluas melibatkan periosteum. Infeksi dapat
menetap pada bagian tulang yang terkalsifikasi jika pus dalam medullary atau dibawah
Universitas Gadjah Mada
8
periosteum menghalangi aliran darah, kemudian timbal ischemia, selanjutnya tulang yang
terinfeksi menjadi nekrotik.
Faktor predisposisi terjadinya onset dan keparahan antara lain oleh adanya virulensi
mikroorganisme, ketahanan host, vaskularisasi rahang, penyakit-penyakit sistemik yang
mempengaruhi ketahanan host (seperti diabetes, agranulositosis, leukemia, anemia yg
parah malnutrisi, sickle cell disease, thypoid), alkoholisme kronis, penyalah guna obat,
kondisi yang mempengaruhi vaskularisasi tulang (radiasi, osteoporosis, paget's disease,
Fibrous displasia, malignansi tulang, nekrosis tulang karena merkuri, bismuth dan arsenik).
Patogenesis
Osteomyelitis
sebagai
penyakit
infeksi
lokal
dan
penyebarannya
secara
hematogenous pada rahang disebabkan terutama oleh karena infeksi odontogenik dari
jaringan pulpa atau periodontal, trauma pada compound fracture, infeksi dari periostitis dan
infeksi dari nodus lymphaticus.
Pada maksila lebih sedikit terserang infeksi ini dibanding mandibula karena aliran
darah lebih lancar, cortical plate lebih tipis dan jaringan medulla lebih sedikit sehingga
menghindarkan terkurungnya infeksi pada tulang dan memungkinkan keluamya edema dan
pus ke jaringan lunak dan sinus paranasal.
Sebagian besar infeksi periapikal dan periodontal terlokalisir oleh membran protective
pyogenic atau dinding abses jaringan lunak. Bila cukup virulen, mikroorganisme mungkin
merusak barrier ini. Ketahanan host menjadi menurun sehingga terjadi suppurative sampai
osteomyelitis. Trauma mekanis pada tulang dapat menyebabkan ischemia juga masuknya
organisme ke lapisan jaringan yang lebih
Proses osteomyelitis diawali dengan suatu inflamasi akut berupa hyperemia,
kenaikan permeabilitas kapiler dan infiltrasi granulosit. Nekrosis jaringan dapat terjadi karena
enzym proteolitik keluar serta adanya kerusakan bakteri dan trombosis kapiler.
Ketika pus berakumulasi, terjadi peningkatan intramedullary yang dapat mengakibatkan
kollaps vaskuler, venous statis dan ischemia. Pus diangkut melalui saluran haversi dan
nutrient berakumulasi dibawah periosteum sehingga akan mengangkat periosteum dari
cortex selanjutnya aliran darah terhambat. Tekanan pada neurovaskuler mempercepat
terjadinya trombosis dan ischemia yang akan mengakibatkan mandibula teranestesi. Bila
pus terns menerus berakumulasi mungkin terjadi penetrasi pada periosteum, abses mukosa
dan cutaneous serta terjadi fistula. Apabila daya tahan host meningkat serta dilakukan terapi
efektif, proses mungkin menjadi kronis, inflamasi mereda, terbentuk jaringan granulasi, iisis
pada tulang oleh pembuluh darah Baru sehingga terjadi separasi fragmen tuiang nekrotik
(sequestra) dari tulang yang masih hidup.
Aspek mikrobiologi pada osteomyelitis
Universitas Gadjah Mada
9
Pada 80% - 90% kasus disebabkan oleh Staphylococcus aureus, Staphylococcus
epidermis (albus). Dari kultur bakteri akin ditemukan Streptococci hemolitic, Pneumococci,
Thypoid acid, Fast bacilli, Escheria coli dan Actinomycetes. Bakteri anaerob antara lain
Bacteriodes, Fusobacterium, Peptostrep-tococcus, Peptococcus, Veillonella, Eubacterium
dan Actinomyces. Pada osteomyelitis yang khas menunjukkan adanya Mycobacterium
tuberculosis, Treponema pallidum dan Actinomyces israelii.
Universitas Gadjah Mada
10
Gambaran klinis
Secara klinis ada 4 tipe osteomyelitis pada rahang yaitu acute suppurative
osteomyelitis, secondary chronic osteomyelitis, primary chronic osteomyelitis dan non
suppurative osteomyelitis. Penampilan klinis tergantung pada tipe penyakit.
Pada early acute suppurative osteomyelitis, ditandai dengan rasa sakit yang
hebat dan dalam, demam yang sangat tinggi dan intermittent, paresthesia atau anesthesia
dari nervus mentale, etiologi dapat digambarkan dengan jelas. Pada lase awal bentuk akut
terlihat gigi tidak goyah, pembengkakan minimal dan tidak ada fistula Prosesnya merupakan
osteomyelitis intra medullary.
Pada established suppurative osteomyelitis, symptom meliputi rasa sakit yang
dalam, malaise, demam, anorexia. Pada 10 — 14 hari setelah onset, gigi pada area yang
terlibat goyah dan sensitif bila dilakukan perkusi. Pus keluar di sekliling sulkus gingiva atau
melalui fistula mukosa dan cutaneous, serta terdapat bau busuk pada mulut. Sering disertai
cellulitis pada pipi, abses dengan erythema dan palpasi sakit serta paresthesia nervus
mentale. Trismus tidak selalu terjadi tetapi lymphadenopathy regional selalu ditemukan.
Temperatur berkisar 101°F - 102°F. Pasien sering mengalami dehidrasi.
Pada secondary chronic osteomyelitis terjadi bila acute osteomyelitis tidak dirawat
secara sempuma. Tanda klinis berupa fistula, indurasi jaringan lunak, penebalan atau
"wooden" karakter pada tulang, rasa sakit bila dipalpasi.
Tanda-tanda klinis primary chronic osteomyelitis antara lain sedikit rasa sakit,
sedikit kenaikan ukuran rahang, perkembangan sequestra secara bertahap, tidak ada fistula,
terjadi tanpa didahului fase akut.
2. Infeksi jaringan lunak di daerah wajah / muka
a. Infeksi streptococcal
Infeksi yang disebabkan bakteri Streptococcus pada jaringan lunak di daerah muka
antara lain Scarlet fever, Streptococcal impetigo dan Erysipelas
1) Scarlet fever
Scarlet Fever merupakan manifestasi dari prymary acute systemic injection oleh
Streptococcus Pyogene, reaksi sekunder dari infeksi lokal streptococcal seperti streptococcal
pharyngitis atau impetigo.
Manifestasi Scarlet fever akan terjadi jika host kurang imun terhadap toksin. Tandatanda klinis antara lain rash (ruam) akan tampak 2-4 hari setelah onset dari symptom. Tanda
rash hilang setelah 4-5 hari kemudian terjadi desquamasi pada kulit yang terlibat. Erythema
yang memucat bila ditekan, circumoral pallor, "sandpaper texture" pada kulit yang terlibat,
edema, petechiae pada soft palate, lidah berselaput putih dengan hipertrofi papilla yang
berwarna merah (strawberry tongue) kemudian berlanjut dengan raspberry tongue.
Universitas Gadjah Mada
11
Diagnosa dari tanda rash yang khas, rasa sakit pada tenggorokan, rasa sakit sistemik
seperti flu, kultur positif untuk streptococci, kenaikan titer serum antibodi untuk
antistreptolysin 0 (ASO)
2) Streptococcal impetigo
Streptococcal impetigo merupakan suatu infeksi yang menyebar dengan cepat pada
lapisan superfisial epidermis. Organisme penyebab adalah β-hemolitic streptococci, namun
kultur pada lesi nampak pula adanya staphylococci.
Tanda khas lesi yaitu vesicle atau pustule dengan sedikit erythema. Lesi segera
pecah meninggalkan luka dengan kerak yang tebal dan gatal. Kemungkinan akhirnya akan
terjadi scarlet fever. Pada keadaan ini jugs terdapat lymphadenopathy regional. Manifestasi
sistemik berupa fever dan malaise biasanya minimal. Penyakit ini dapat terjadi terutama
didaerah beriklim panas dan lembab, biasanya diawali dengan terjadinya minor trauma.
Diagnosa ditentukan dari penampilan lesi, isolasi Streptococcus pyogene, kenaikan
titer serum untuk Antideoxyribonuklease B atau Antihyaluronidase.
Ecthyma merupakan suatu bentuk impetigo dimana invasi bakteri berlanjut ke
lapisan kulit yang lebih dalam. Lesi pada awalnya berupa vesicle tetapi akhimya menjadi
luka baru yang berlubang dengan bates sekeli ling berwarna ungu.
3) Erysipelas
Erysipelas merupakan suatu cellulitis superfisial, biasanya disebabkan oleh βhemolitic streptococci yang menyerang dermis. Kulit yang terserang menjadi sangat
erythematous, hangat dan sakit bila disentuh. Lesi menyebar dengan pesat karena
pelepasan hyaluronidase oleh bakteri. Terjadi fever, malaise, lymphadenopathy regional.
Desquamasi kulit pada area yang terlibat. Faktor etiologi berupa trauma pada kulit yang
mengawali masuknya organisme pada dermis. Diagnose ditegakkan dari lesi yang khan dan
Kenaikan serum antibodi untuk antigen spesifik streptococcal.
b. Infeksi staphylococcal
1) Infeksi staphylococcus yang berkaitan dengan struktur adenexal
Infeksi staphylococcus yang berkaitan dengan struktur adenexal pada wajah antara
lain : fooliculitis, furuncle, carbuncle, sycosis, sycosis vulgaris, Bockhart's folliculitis, Byte,
sebaceous cysts dan acne vulgaris.
a) Fooliculitis
Universitas Gadjah Mada
12
Fooliculitis merupakan keadaan inflamasi lokal superfisial pada follicle yang
disebabkan karena sumbatan pada pori.
b) Fur uncle
Furuncle merupakan suatu abses lokal pada follicle dimana terjadi kerusakan pada
dinding follicle, cenderung pecah secara spontan meninggalkan luka kecil superfisial
yang nekrotik.
c) Carbuncle
Carbuncle sebagai sekelompok furuncle yang menyatu dan bila pecah secara
spontan meninggalkan luka besar yang nekrotik.
d) Sycosis
Sycosis merupakan suatu lesi dimana seluruh kedalaman follicle terlibat infeksi
tanpa disertai kerusakan dinding follicle
e) Sycosis vulgaris
Sycosis vulgaris adalah suatu chronic pustular infection dari regio muka yang
berrambut (berjenggot). Terjadi jika follicle rambut terinfeksi staphylococcal. Proses
diawali dengan terjadinya area erythema dan pruritus diatas bibir, kemudian tampak
pustula
yang
masing-masing
ditembus
oleh
sehelai
rambut.
pustula
pecah,
meninggalkan area erythema kemudian repustula lagi. Differential diagnose yaitu tinea
barbae, pseudofolliculitis barbae.
Tinea barbae jarang terjadi, apabila terjadi biasanya di daerah bibir atas.
Pseudofolliculitis barbae biasanya dijumpai pada orang Negro, terjadi pada regio
berambut/berjenggot, dimana rambut-rambut pendek melengkung ke bawah dan
tumbuh ke dalam kulit di sisi follicle. Dapat terjadi papula yang pruritik dan pustula.
f) Bockhart's folliculitis
Kondisi ini serupa dengan sycosis vulgaris. lnfeksi superfisial, terbatas pada ostium
follicle rambut. Paling sering terjadi pada anak-anak di kulit kepala, sekitar bibir dan
anggota badan. Lesi berupa pustula berwarna kilning yang dikelilingi dengan erythema.
Kultur berupa Staphylococcus aureus. Bersi fat Self limiting disease.
g) Stye
Syte merupakan suatu furuncle pada bulumata, disebabkan oleh staphylococcus
aureus. Bersifat Self limiting disease.
h) Sebaceous cysts
Sebaceous cysts merupakan penumpukan keratin pada lapisan intradermal karena
proliferasi sel epithel di atas dermis. Dapat karena terinfeksi staphylococcal.
Manifestasinya berupa nodule yang sakit bila dipalpasi, tampak erythema, dapat
berianjut menjadi abses dan akhirnya
i) Acne vulgaris
Universitas Gadjah Mada
13
Diawali dengan terjadinya keratinisasi pada ductus sebaceous glandula. Terjadi
obstruksi pada ductus dan terbentuk infiltrat inflamatory pada dermis. Follicle
menggelembung dan pecah ke permukaan kulit atau dermis dimana minyak lemak dan
keratin yang keluar mengakibatkan suatu suatu reaksi inflamasi.
Propionebacterium acne dan Staphylococcus epidermis dapat menginfeksi ductus
yang obstruksi sehingga terjadi pustula atau abses intradermal. Lesi pada acne dapat
berupa comedo, papula, pustula dan nodule yang terinflamasi
2) Infeksi staphylococcus yang tidak berkaitan dengan struktur adenexal
Infeksi staphylococcus yang berkaitan dengan struktur adenexal pada wajah antara
lain : Staphylococcal impetigo, Cellulitis dan Necrotizing fascitis
a) Staphylococcal impetigo
Ada 2 bentuk impetigo yang disebabkan oleh Staphylococcus :
i. Epidemic staphylococcus impetigo
Secara klinis tidak dapat dibedakan dengan streptococcal impetigo. Lesi berupa
vesicula
ii. Bullous impetigo
Organisme penyebab adalah Staphylococcus aureus. Lesi berupa bullae,
merupakan infeksi lokal pada area yang terbatas. Mula-mula bullae berisi cairan jernih
kemudian berubah menjadi purulen. Bullae dapat pecah kemudian terbentuk luka dan
akhirnya berkerak
b) Cellulitis
Merupakan perluasan infeksi ke lapisan jaringan yang lebih dalam di bawah
dermis. Dapat terjadi karena masuknya organisme melalui luka, penyebaran infeksi
dapat terjadi pada daerah superfisial atau penyebaran melalui aliran darah.
Tanda klinis berupa erythematous, edematous, hangat dan sakit bila dipalpasi.
Tanda sistemik berupa fever, malaise, panas dingin.
Pada regio maxillofacial, Streptococcus pyogene merapakan organsime penyebab
pada remaja dan orang dewasa. Pada anak-anak disebabkan oleh Streptococcus
pneumoniae atau Haemophylus. inJluenzae.
Cellulitis sebagai reaksi inflamasi diffus dimana bakteri mampu menyerang
pertahanan tubuh sehingga infeksi tidak terbatas pada situ area. Selain itu, hal ini dapat
berkembang melewati sekitar jaringan lunak dan sepanjang dataran muka ke lauar
meninggalkan area dari tempat asal terjadinya infeksi. Cellulitis pada wajah dan leher
Universitas Gadjah Mada
14
sering terjadi sebagai hasil dari infeksi periapikal dan mengikuti infeksi periodontal.
Tetapi hal ini dapat pula mengikuti extraksi gigi atau traumatik infeksi seperti terjadi
setelah fraktur. Jaringan lunak yang terlibat dapat menunjukkan terpisah dari otot atau
jaringan ikat dan inflamasi akut non spesifik. Secara klinis tandanya adalah keras, sakit
bengkak pada area jaringan lunak yang terlibat dan lymphadenitis regional biasanya
terjadi. Jika jaringan lunak superfisial terlibat, lapisan atas kulit menunjukkan inflamasi
atau berwarna ungu. Penyebaran diffus infeksi mungkin dilikirkan melibatkan area pada
wajah dan leher. Streptococcus dan beberapa strain Staphylococcus merupakan
penyebab umum cellilitis pada regio orofacial.
Cellulitis perlu perawatan. Jika tidak dirawat, keadaan ini menjadi terlokalisasi
membentuk sebuah abses. Bila hal ini terjadi, dapat dilakukan drainase secara
pembedahan (surgically) atau mungkin melakukan perusakan melewati permukaan
jaringan yang terlibat dan didrain secara spontan.
Bentuk utama cellulites berat adalah Ludwig's angina, dimana biasanya diawali
pada ruangan submaxilla kemudian mengadakan invasi ke sublingual dan ruangan
submental bilateral. Sumber infeksi seringkali gigi Rahang Bawah. Tetapi mungkin pula
berasal dan fraktur atau penetrasi injury. Streptococcus umumnya terlibat dalam
Ludwig's angina tetapi biasanya merupakan mixed infeksi. Variasi bakteri dari gram
positif aerob dan gram negatif aerob dan anaerob meliputi : fuslforms, spirochetes,
diphteroids, Staphylococcus, Bacteriodes, Klebsiella, eschenrichia coil, Pseudomonas
aeruginosa, Haemophillus influenza dan Branhamella catarrhalis.
c) Necrotizing fascitis
Merupakan suatu infeksi yang melibatkan fascia superfisial dengan kerusakan
pada jaringan lunak di atasnya. Biasanya dijumpai pada pasien dengan kelemahan
kronis atau pada penderita DM, penyakit-penyakit dengan sumbatan pada pembuluh
darah kecil. Beberapa istilah lain : hospital gangren, gangrenous erysipelas, hemolitic
streptococcal gangrene. Biasanya terjadi setelah trauma atau pembedahan kemudian
fascia terinfeksi.
Tanda klinis berupa pembengkakan pada area yang terlibat, erythematous,sedikit
demam, jika terus berlanjut akan timbul rasa sakit, erythema dan edema memburuk
serta toksisitas sistemik yang parch, rasa sakit akan mereda karena nervus cutaneous
menjadi nekrotik dan terjadi anestesi pada daerah yang terlibat, kulit tampak kehitamhitaman dengan bercak ungu, terbentuk gas di bawah kulit, terbentuk bullae, terjadi
pengelupasan kulit. Gejala sistemik berupa sepsis, hemolysis, pengurangan volume
intravaskular, demam tinggi, tachycardia, apathy (kelesuan), weakness dan nausea.
Universitas Gadjah Mada
15
Organisme penyebab dapat berupa Hemohue Streptococci, Staphylococcus
aureus, Bakteri anaerob dan Bakteri gram negatif.
3.Tetanus
Organisme penyebab adalah Clostridium tetani dengan ciri khas sebagai berikut
berbentuk bacillus; anaerob; gram positif; daya tahan spore terhadap panas, bahan kimia
dan antibiotik tinggi. Bakteri ini mudah mati dalam autoclave. Distribusi sangat luas, dapat
ditemukan di tanah, air segar dan air garam, debu tanah. Sel-sel vegetative dapat ditemukan
di feces binatang, 25% manusia terutama di pd intestinum.
Jalan masuk organisme ke jaringan dapat berupa adanya trauma sehingga jaringan
,terbuka untuk masuknya organisme ini, adanya goresan/garutan, gigitan serangga, karies
gigi, luka setelah ekstraksi gigi, trauma pada mukosa bukal.
Patogenesis
Spora tertanam dalam jaringan kemudian sel vegetative akan mengeluarkan tetanus
exotoxin lalu terabsorpsi dart terdistribusi secara sistemik. Rute absorbsi dengan cara
berdiffusi secara langsung pada lokasi produksi toksinnya melalui muskuloskelatal yang
berdekatan dengan myoneural, terabsorpsi melalui aliran darah dan limfe sehingga akan
terikat pada sel-sel motor ganglion dalam medulla dan spinal cord serta kemungkinan pada
pusat pernafasan.
Penampilan klinis
Inkubasi kurang lebih I minggu hingga 10 hari (namun ada range dari beberapa hari
hingga minggu bahkan satu tahun sebelum timbul symptom). Klasilikasi symptom berupa :
1)
Predormal yaitu terjadi beberapa hari sebelum onset penyakit yang sesungguhnya,
meliputi kekejangan pada otot (muskulus) dengan manifestasi berupa kekejangan pada
otot pengunyahan (trismus), lidah kaku (kejang) dan bergetar, rasa sakit dan kejang
pada otot wajah, rahang, leher khususnya penelanan.
2)
Klasik yaitu terjadi pada penyakit yang sudah berkembang penuh, meliputi rahang sulit
dibuka atau "lock-jaw", risus sardonicus, dysphagia, opisthotanus, temperatur sedikit
meningkat disertai keringat banyak, sulit bernafas yang dapat menyebabkan kematian
karena asphyxia.
Differential diagnosis
Osteomyelitis mandibula, dislokasi mandibula, Pericoronitis pada impaksi M3, Mump,
serum Sickness, Inflamasi gingival, Arthritis TMJ.
4.Gonorrhea
Organisme penyebab dikenal dengan Nisseria gonorrhoeae. Pada bayi periode
intranatal, symptom dapat terjadi antara 1-12 hari. Pada periode Post natal dapat tirnbul
Universitas Gadjah Mada
16
abses gingiva sebagai campuran (mixed) dengan infeksi Streptococcus viridans. Pada bayi
dikenal sebagai Gonorrheal Conjunctivitis.
1) Gonorrheal stomatitis
Dapat terjadi pada orang yang melakukan praktek sexual abnormal biasanya pada
golongan homosexual. Infeksi dapat pula terjadi melalui jari yang ditularkan dari genital atau
trauma perawatan gigi. Inkubasi anatara 1 sampai 7 hari.
Gejalanya berupa lesi intra oral antara lain bulat, sedikit menonjol, bintik-bintik putih
keabu-abuan yang tersebar pada lidah, palatum molle dan mukosa pipi, pseudomembran
kekuning-kuningan, gingiva bengkak dan mudah berdarah, lidah bengkak, merah dan
kering; mukosa mulut merah gelap dan berkudis, terasa seperti terbakar. Nafas bau dan
limfonodi submaxillaris membesar dan sakit.
2) Gonorrheal arthritis
Merupakan lesi metastatik. Timbul antara I sampai 3 minggu setelah infeksi genital
akut. Biasa terjadi pada TMJ. Symptom klinis berupa didahului dengan rasa dingin dan
demam. Mula-mula polyarthritis yang berpindah-pindah kemudian terlokalisir menjadi satu
atau lebih. Pada persendian terjadi pembengkakan akut dan inflamasi sainpai melibatkan
tendon.
Pada cairan sendi akan terlihat jumlah sel Polimorphonuklear leukosit meningkat
dan Gonococci dari kultur bakteri. Pada TMJ terjadi manifestasi lokal berupa rasa sakit,
spasme musculus Masseter, Gangguan mastikasi, keterbatasan pembukaan mulut dan
inflamasi (bengkak dan erythema). Pada beberapa kasus akan terjadi perforasi lempeng
tympani, jika tidak dirawat akan mengakibatkan fibrous ankylosis sendi.
3) Gonorrheal pada kulit
Dikenal dengan Gonococcal dermatosis. Penyakit ini terbagi menjadi 3 tipe yaitu:
a) tipe I merupakan infeksi primer dari eksudat gonorrhoeal. Pada keadaan ini akan
timbul ulserasi mirip proses abses disertai kerusakan jaringan yang leas, gonococci
terdapat pada lesi.
b) tipe II merupakan gonococcal dermatitis. Syndrome berupa demam intermittent,
dermatitis disertai arthritis. Lesi pada kulit berupa vesikulopustular, kadang-kadang
terjadi hemorrargi
c) tipe III merupakan keratosis blennorrhagica atau gonorrhoeal keratosis. Merupakan
suatu keadaan khronik inflammatory dermatosis yang terjadi bersamaan dengan
gonorrheal pada genital dan sendi. Tanda-tanda berupa erupsi dari keratin
(hyperkeratosis), nodula pustula dan crusta tebal kecoklatan.
Universitas Gadjah Mada
17
5. ABSES
Abses pada umumnya terjadi di regio periapikal tetapi dapat pula pada jaringan
lunak. Abses tersusun dari sebuah pusat organisme dan gabungan dengan leukosit
polimorfonuklear. Pembuluh darah mengalami dilatasi dan bila infeksi bersumber dari
odontogenik ruangan sumsum tulang mungkin terjadi infiltrasi sel inflamasi.
Gambaran klinis berupa rasa sakit, bengkak dan rasa sakit tersebut dapat
melibatkan lymphonodi regional yang terbatas di regio terdekat dengan sumber infeksi.
Meskipun demikian, produksi mikrobial pada abses dan kerusakan jaringan lunak mungkin
pula dapat mengakibatkan penyakit sistemik. Sebuah abses periapikal barangkali hanya
terbatas pada struktur osseus atau dapat pula terjadi lubang melewati tulang sampai
mencapai pennukaan dan menginvasi jaringan lunak, baik sub atau supraperiosteal.
Selama pembentukan abses mungkin terjadi cellulites regional, kemudian infeksi menjadi
terbatas, memproduksi sekumpulan pus dalam sebuah cavitas yang disebut true ahses.
Abses pada leher dan kepala disebabkan oleh mikroorganisme aerobik dan
anaerobik. Lesinya tampak sama, mungkin diternukan dalam single atau mixed infeksi.
Bakteri Staphylococcus dan Streptococcus biasanya dihubungkan dengan terjadinya lesi
Hasil dari beberapa studi menunjukkan perbedaan mengenai kedua jenis bakteri
penyebab lesi ini. Beberapa studi mengindikasikan bahwa Streptococcus -hemolitic lebih
banyak ketika dilakukan kultur murni/pure atau hanya satu tipe organisme yang dapat
diisolasi. Bakteri lainnya yaitu Staphylococcus aureus atau Staphylococcus epidermis
dengan proporsi yang sama. Study lain melaporkan bahwa infeksi Staphylococcus lebih
umum. Infeksi orgnisme tunggal lainnya dapat disebabkan oleh species Actinomyces,
enterococci, Proteus sp, Branhamella (Neisseria) catarrhalis dan pleomorphic gram positif
atau lainnya. Organisme tersusun irregular diklasifikasikan sebagai Corynebacterium sp.
Pada kultur infeksi mixed, Streptococcus -hemolitic dan Staphylococcus terisolasi
lebih banyak. Lainnya meliputi Pseudomonas aeruginosa, enterococci, Streptococcus
pyogenes dan Branhamella. Dua atau tiga jenis organisme yang terlibat dengan
Streptococcus biasanya menjadi satu. Beberapa kombinasi tersebut meliputi Streptococcus
-hemolitic dan Streptococcus (kombinasi dengan frekuensi terbanyak); Streptococcus hemolitic, Streptococcus ,β-hemolitic dan Staphylococcus; Streptococcus a-hemolitic dan
Pseudomonas; Streptococcus -hemolitic dan Branhamella; Branhamella dan enterococcus;
Streptococcus -hemolitic dan Staphylococcus aureus; enterococcus dan Streptococcus hemolitic; Staphylococcus aureus dan enterococcus.
Kedua gram positif dan negatif anaerob dapat diisolasi dari abses leher dan kepala.
Isolasi gram positif pada umumnya termasuk Peptostreptococcus sp dan Eubacterium sp.
Universitas Gadjah Mada
18
Gram negatif antara lain: Bacteroides sp, beberapa Fusobacterium .sp, Veillonella parvula
dan Veillonella alcalescens. Flasil beberapa study menunjukkan prosentase yang tinggi
terhadap adanya beberapa unidentilikasi bating anaerob gram negatif Beberapa studi
mengindikasikan bahwa infeksi anaerobik yang terukur lebih banyak telah mixed daripada
single. Sesungguhnya beberapa peneliti mengisyaratkan bahwa kemungkinan species yang
terisolasi tidak mampu menghasilkan abses ketika dalam keadaan single. Sangat penting
untuk diskusi sekarang bahwa pengenalan terhadap bakteri anaerob merupakan faktor
penting pada infeksi leher dan kepala serta harus menjadi bahan pertimbangan
kemungkinan sebagai penyebab infeksinya.
Hal ini membuktikan adanya ketidaksependapatan tenting bakteri mana yang paling
banyak pada abses diregio leper dan kepala walaupun demikian hampir semua study
menunjukkan bahwa bakteri Streptococcus merupakan bakteri terbanyak pada infeksi
sekunder apeks gigi sampai karies gigi. Beberapa perbedaan kemungkinan dihasilkan dari
prosedur sampling. Sejauh ini sampel yang diperoleh biasanya setelah mulai infeksi
menyebar, sejauh infeksi telah menyebar dan faktor-faktor lain yang superimposed pada
waktu pengampilan sampel. Seperti telah disinggung sebelumnya durasi pada regio awal
yang terlibat pada beberapa waktu sangat sulit dibedakan. Juga kemungkinan adanya daya
dari tipe mikroorganisme yang terisolasi pada umumnya dibawah kontrol terapi sehingga
perlu adanya perbaikan untuk mengenali dan mengisolasi bakteri, sehingga akan dicapai
terapi yang efektif.
C. Penyakit atau kelainan pada sendi rahang
Penyakit atau kelainan pada sendi rahang meliputi Osteoartritis, Artritis rheumatoid,
Artritis lain yang mempengaruhi sendi rahang, Lesi oral yang berhubungan dengan sendi
rahang, Hiperplasi kondilar, Sindrom rasa nyeri pada TMJ, Neoplasma, Khondromatosis
sinovial, Resorbsi idiopatik condylus
1.Osteoartritis
Merupakan penyakit degeneratif yang menyerang kartilago persendian. Gejala pada
TMJ tidak begitu nyata dibanding persendian lain yaitu adanya clicking (pergerakan yang
terbatas).
Secara radiograf menunjukkan gambaran osteopitik (osteophytic lipping) pada
kondilus, area radiolusen subartikular (ely's cyst), permukaan artikular menjadi datar,
Universitas Gadjah Mada
19
ditandai berkurangnya elastisitas kartilago artikular dan meluasnya permukaan erosi sebagai
retakan vertikal ke dalam tulang subkhondral. Fissura horizontal dapat timbul diantara
kartilago dan lapisan tulang, terjadi degenerasi khondrosit. Pada area yang terlokalisasi
dapat terjadi kerusakan kartilago yang menyeluruh dan eburnasi (kerusakan) tulang.
Secara histologic akan terdapat retakan dan fisura pada diskus artikularis, yang
dapat mengalami hialinisasi dan kalsifikasi. Pada kasus parah dapat terjadi nekrosis dan
perforasi pada diskus.
2. Artritis reumatoid
Merupakan penyakit sistemik yang melibatkan beberapa persendian. Sendi rahang
dapat mengalami serangan secara bilateral (pada 2/3 pasien). Jarang terjadi kerusakan yang
parah atau symptom yang jelas.
Secara radiograf akan tampak permukaan kondilus terjadi perataan, irregularitas
pada permukaan artikular, ruang persendian melebar oleh desakan eksudat pada fase akut,
lapisan bawah tulang mengalami osteoporosis.
Secara histopatologi terjadi proliferasi dan hipertroli sel-sel lapisan sinovial. lnfiltrasi
sinovium dengan sel-sel plasma dan limfosit. Sel-sel inflamasi membentuk agregat dengan
germinal centres. Sel-sel netrofil dan eksudat inflamasi yang berasal dari membrana sinovial
menginfiltrasi cairan sinovial. Massa vascular sinovium yang mengalami inflamasi menyebar
secara diffus mencapai permukaan kartilago artikular, diikuti kematian khondrosit dan
hilangnya matriks interselular. Terjadi adhesi fibrosa antara permukaan sendi dan meniscus.
Meniskus sering mengalami kerusakan dan proses inflamasi pada ligamen serta tendon
menyebabkan ankilosis fibrosa dan hilangnya stabilitas sendi.
Diagnosis ditetapkan berdasarkan penampakan klinis dan imunologis. Ig G serum
meningkat. Ig G atau Ig M disebut sebagai faktor rheumatoid, berperan sebagai autoantibodi
pada fragmen Fc Ig G
3. Artritis lain yang mempengaruhi sendi rahang
Artritis lain yang mempengaruhi sendi rahang antara lain mandibulal osteomyelitis,
Gout, Ankylosis spondylitic, Psoriatic arthropathy, Juvenile chronic arthritis, Lyme disease
4. Lesi oral yang berhubungan dengan sendi rahang
Penyakit-penyakit yang menyebabkan lesi oral, arthritis atau arthralgia adalah
Reiter's disease, Lupus erymatosus, Systemic sclerosis, Behcet's syndrome, Chron's
disease, Ulcerative colitis, Wagner's granulomatosa, Gonorrhea
Universitas Gadjah Mada
20
5. Hiperplasi kondilar
Merupakan kelainan yang jarang terjadi. Terdapat unilateral enlargement pada
kondilus yang menyebabkan asimetri wajah, deviasi rahang pada saat membuka mulut,
gigitan silang. Manifestasi kelainan setelah pubertas. Progresif lambat, tidak selalu
menimbulkan rasa sakit.
6. Sindrom rasa nyeri pada TMJ
Merupakan sindrom disfungsi TMJ yang paling umum dan paling sering terjadi.
Menimbulkan rasa sakit, sensasi clicking dan grating pada TMJ, trismus, lebih banyak
terjadi pada wanita muds. Pada beberapa kasus kondisi ini dapat menyebabkan kelainan
oklusi karena ada hubungannya dengan aspek neuromuskular yang menyebabkan spasms
dan rasa sakit. Pada kasus tertentu terdapat pengaruh unsur psikologis. Tidak ada
perubahan patoiogis pada otot-otot mastikasi
7.Neoplasma
Insidensi neoplasma pada TMJ jarang terjadi, baik merupakan tumor pada tulang
maupun jaringan lunak. Contohnya Sarcoma sinovial, lebih banyak dijumpai pada jaringan
lunak dibanding pada TMJ.
Secara histopatologis tumor bersifat bifasik yaitu fibrosarkomatous dengan
komponen epiteloid di sekeliling rongga menyerupai kelenjar (gland like space) dengan
material
musinous
di
dalamnya.
Tumor
yang
paling
nyata
pada
TMJ
adalah
osteokhondroma yang sering menyerang kondilus mandibula
8. Khondroinatosis sinovial
Merupakan neoplasma jinak dengan karakteristik focus kartilago dalam membran
sinovial. Jarang berpengaruh pada TMJ, tetapi dapat menyebabkan pembengkakan
preartikular dan trismus. Kapsul sendi terdesak oleh osteokartilaginous
Radiograf menunjukkan adanya masa opaque dalam kapsul sendi. Kondisi ini dapat
berpengaruh pada fungsi Rahang Atas atau Rahang Bawah.
Secara histopatologi ditandai adanya proliferasi khondrosit dalam jaringan ikat
subsinovial yang menyerupai khondrosarkoma. Dalam jaringan ikat subsinovial jugs dapat
dijumpai nodul-nodul kartilago.
9. Resorbsi idiopatik condylus (ICR)
Dikenal pula dengan istilah idiopatik condylus, atroli condylus, resorbsi condylus
yang progresif. Merupakan proses penyakit yang progresif terutama pada wanita pada usia
pertumbuhan pubertas, dapat terjadi unilateral atau bilateral.
Universitas Gadjah Mada
21
Ciri khan berupa ketidakstabilan skeletal dan oklusal, perubahan bentuk wajah,
disfungsi TMJ dan rasa sakit. Penyebab utama belum diketahui tetapi kemungkinan
berkaitan dengan faktor hormonal. Predilekasi adalah pasien usia belasan atau pubertas dan
pada wanita ratio lebih besar (9:1).
Karakteristik umum wajah yang mempunyai predisposisi untuk terjadinya ICR yaitu
retrusi mandibula, sudut dataran oklusal mandibula tinggi, oklusi klas II dengan atau tanpa
open bite anterior
Patogenesis ICR
Hormon estrogen sebagai perantara perubahan biokimia pada TMJ sehingga terjadi
hiperplasi jaringan sinovial, dapat menstimuli produksi substrat, destruksi jaringan dengan
dimulai adanya kerusakan struktur ligamen yang pada keadaan normal berfungsi untuk
mendukung dan menstabilisasi cakram sendi. Kondisi ini menyebabkan cakram pindah ke
anterior. Jaringan sinovial menempati posisi di sekitar kepala condylus kemudian mendesak
condylus ke dasar sehingga menyebabkan fenomena resorbtif. Terjadinya resorbsi condylus
ini akan telihat adanya destruksi fibrokartilago pada kepala condylus dan atap dari fosa
(kasus arthritis : fibrokartilago rusak oleh adanya inflamasi). ICR mungkin pada akhirnya
akan sembuh tetapi bila pada condylus jaringan sinovial. hiperplastiknya menerima beban
yang berlebihan seperti adanya trauma, perawatan ortodonti, bedah ortognatik) proses
resorbsi ini mungkin akan kambuh kembali
D. Pengaruh luar terhadap terjaidinya kelainan / penyakit pada sendi rahang Pengaruh
luar terhadap terjadinya kelainan / penyakit pada sendi rahang antara lain trauma,
dental work, disease, oral habits, orthodontics, work habits, intubation, hard food.
Universitas Gadjah Mada
22
1. Trauma
Secara umum faktor luar yang paling sering berhubungan dengan terjadinya
gangguan pada TMJ adalah akibat trauma dan penyakit. Trauma, baik langsung pada TMJ
ataupun melalui kepala-leher dapat merupakan pencetus gangguan TMJ. Contohnya adanya
benturan berat pada salah satu sisi muka dapat menyebabkan fraktur atau bergesernya
kondilus dari posisi normal. Cedera terkilir pada daerah kepala dapat meregangkan atau
merobek ligamen, pergeseran letak diskus artikularis atau perdarahan yang menyebabkan
timbulnya jaringan parut yang akan mengakibatkan gangguan mobilitas dan rasa sakit.
2. Prosedur perawatan gigi
Berbagai macam jenis perawatan gigi dapat menyebabkan gangguan pada TMJ
pada beberapa orang. Hal-hal yang perlu dihindari antara lain tekanan yang terlalu besar
pada rahang, overfilling tumpatan, terlalu lama membuka mulut. Kasus yang paling banyak
terjadi adalah pada scat pencabutan gigi molar ketiga
3. Penyakit
Sendi rahang bersifat rentan terhadap penyakit-penyakit yang menyerang persendian
lain di seluruh tubuh, contohnya : osteoartritis, arthritis rheumatoid atau gout. Penyakit ini
menyebabkan degenerasi progresif dengan adanya perubahan pada tulang, kerusakan pada
diskus dan rasa sakit pada otot. Penyakit lain yang dapat berpengaruh adalah neoplasma
jaringan di sekitar TMJ, seperti kelenjar parotis.
4. Kebiasaan oral
Kebiasaan oral seperti : tongue thrusting, bemafas melalui mulut, menguap terlalu
lebar, menggigit kuku, bibir, atau pipi dapat menimbulkan gangguan pada TMJ. Hal ini
disebabkan adanya gangguan pada persendian.
5. Kebiasaan bekerja / postur tubuh
Beberapa kebiasaan yang dilakukan setiap hari dapat menyebabkan nyeri dan
ketegangan otot rahang, kepala, leher atau bahu. Contohnya menjepit gagang telepon
antara telinga dan bahu, berbicara terlalu keras, membawa beban berat, memainkan biola,
menyanyi dan semua aktivitas yang menyebabkan posisi kepala ke depan.
6. Intubasi
Intubasi yang dilakukan selama prosedur pembedahan dapat menyebabkan
gangguan TMJ. Pada intubasi, mulut pasien harus dibuka lebar dengan cara cepat untuk
memasukkan tube respirasi, dan rahang berada pada posisi yang tetap dalam jangka
waktu lama.
7. Makanan keras atau permen karet
Makanan keras atau permen karet akan menambah parah keadaan pada penderita
gangguan TMJ
8. Bruxism / stress
Universitas Gadjah Mada
23
Beberapa ahli berpendapat bahwa night grinding / bruxism dapat menyebabkan
gangguan TMJ. Bruxism dapat diakibatkan oleh stress. Meskipun demikian hal ini masih
diperdebatkan karena tidak didukung oleh data yang kuat, yang mana tidak semua
penderita gangguan TMJ mempunyai kebiasaan night grinding, tidak semua penderita
night grinding menderita stress dan sebaliknya.
Teori lain mengatakan bahwa bruxism dapat disebabkan maloklusi. Bruxism
dalam hal ini adalah untuk mendapatkan gigitan, "to find their bite" sehingga tidak ada
latar belakang stress.
Universitas Gadjah Mada
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Cawson, R.A., Binnie, W.H., Eveson, J.W., 1994, Color Atlas of Oral Disease,
2nd ed. Wolfe, London
2. Davis, WL., 1986, Oral Histology, WB. Saunders Co., Philadelphia
3. Lehner, T., 1992, Immunology of Oral Disease, 3 th ed., Blackwell Scientific
Pub Melbourne
4. Orland, F.J., 1982, Microbiology in Clinical Dentistry, John Wright PSG, Boston
5. Prescott, Lansing, M., Harley, John, P., dan Klein, Donald A., 2003,
Microbiology, 5th ed., McGraw Hill., Education (Asia)-Singapore
6. Regezy, J.A., Sciubba, J.J., 1989, Oral Pathology, WB Saunders Co.,
Philadelphia
7. Roth GI and CaImes R., 1981, Oral Biology, The CV Mosby Co., St. Louis.
8, Roeslan, Budi Oetomo, 2002, Imunologi Oral, Kelainan di dalam rongga
mulut, Balai Penerbit FKGUI, Jakarta.
9. Topazian, R.G., Goldberg, M.H., 1987, Oral and Maxillofacial Infection, 2nd ed.,
Philadelphia
Universitas Gadjah Mada
25
Download