BAB IV KELAINAN-KELAINAN PADA WAJAH, RAHANG DAN SENDI RAHANG A. Kelainan-kelainan pada wajah dan rahang secara genetik Kelainan-kelainan pada wajah dan rahang secara genetik antara lain Cherubism; Cleidocranial dysplasia; Crouzon's syndrome (craniofacial dysostosis); Treacher coffins syndrome (mandibulofacial dysostosis); Down syndrome; Brittle Bone Syndrome (Osteogenesis imperfecta); Achondroplasia; Osteopetrosis (Marble Bone Disease); Fibrous displasia. 1. Cherubism Cherubism rnerupakan kelainan genetik benigna yang melibatkan maksila dan mandibula. Biasanya dijumpai pada anak usia 5 tahun. Tanda-tanda khas yaitu terjadinya pembesaran rahang, pembesaran pipi dan tatapan mata ke arab alas. Etiologi dan Patogenesis. . Etiologi terjadinya cherubism karena adanya gangguan pada autosomal dominan. Penetrasinya adalah 100% pada penderita laki-laki dan 50 -75% pada wanita. Bersifat "self-limiting disease", jadi dapat berkembang cepat selama masa kanak-kanak dan seringkali berawal pada usia 2 tahun kemudian berlahjut hingga pubertas. Pada masa pubertas, lesi pada tulang mulai surut atau mengalami regresi dan pada usia 30 tahun tinggal sedikit kecacatan yang tersisa. Gambaran Klinis Daerah yang paling sering terlibat pada penyakit ini adalah sudut mandibula (mandibular angle), ascending ramus, regio retromolar dan bagian posterior maksilla. Prosesus coronoid dapat terlibat tetapi condylus selalu terhindar. Perluasan tulang paling sering terjadi secara bilateral walaupun ada pula kasus unilateral, sebagian besar kasus hanya pada mandibula. Pada regio posterior mandibula dapat terjadi pembesaran yang dapat meluas sampai pada processus alveolaris dan ascending ramus serta tidak mengakibatkan rasa sakit. Penampilan klinis bervariasi mulai dari pembengkakan posterior pada satu rahang hingga perluasan ke anterior dan posterior adari kedua rahang, sehingga mengakibatkan kesulitan dalam mengunyah, bicara dan menelan. Pada kelainan maksila terjadi keterlibatan dasar orbita dan Binding anterior antrum. Tekanan ke arah superior pada orbita menyebabkan terjadinya penonjolan sclera dan tatapan mats ke arah alas. Terjadi pula pengurangan atau obliterasi lengkung palatal. Universitas Gadjah Mada 1 Kemungkinan dapat pula terjadi premature exfoliation gigi decidui pada usia 3 tahun. Timbul gangguan perkembangan dan erupsi ectopik gigi permanen. Gigi permanen mungkin missing atau malformasi, M2 dan M3 rahang bawah sering terlibat. E3iasanya kecerdasan penderita penyakit ini tidak terpengaruh. Gambaran Radiografis Secara radiografis akan terlihat lesi yang berbatas jelas, multiple, radiolusen dan multilokular. Pada mandibula terjadi perluasan dan penipisan dari cortical plate. kemungkinan juga terjadi displacement canal alveolaris inferior. Pada maksila akan terlihat gambaran mirip gelembung sabun dengan obliterasi antrum maksilla. Histopatologi Secara histologis, lesi sangat mirip dengan central giant cel carcinoma. Terdapat fibrous stroma dengan vaskularisasi yang banyak dan tersusun dalam pola melingkar. Terlihat banyak fibroblas dan multinucleated giant sel dengan nuclei dan nucleoli yang menyolok. Pada lesi mature akan terlihat banyak jaringan fibrous dan jumlah giant eel sedikit. Pathognomonic untuk cherubism adalah perivaskuler kolagen. Differential Diagnosis Differential diagnosis untuk pembengkakan bilateral adalah hiperparathyroidism, infantile cortical hyperostosis dan multiple odontogenic keratocysts, sedangkan bila pembengkakan unilateral, differential diagnosenya adalah fibrous dysplasia, central giant cel granuloma, histiocytosis dan odontogenic tumor 2. Cleidocranial dysplasia Syndrome ini meliputi aplasia atau hipoplasia clavicula, mal formasi cranio-facial, multiple supemumarary dan unerupted gigi. Etiologi dan Patogenesis Etiologi dan patogenesis belum diketahui secara pasti, tetapi kelainan ini digambarkan sebagai manifestasi kelainan genetik yang diwariskan secara dominan dan resesif. Frekuensi terjadinya pada laki-laki dan wanita adalah seimbang. Tidak terlihat adanya predileksi rasial. Sebagian besar pasien menunjukkan intelegensi normal. Penyakit ini melibatkan tulang intramembraneous dan endochondral pada tengkorak sehingga menunjukkan adanya pengurangan basis cranium dalam arch sagital, tranverse enlargement dari calcarium dan penutupan fontalle yang lambat. Adanya tekanan Universitas Gadjah Mada 2 hydrochephalic pada daerah yang tidak menulang pada tengkorak, khususnya fontanella menyebabkan penonjolan dari biparietal dan frontal serta perluasan lengkung cranial. Defisiensi dari clavicula menyebabkan penampakan leher yang panjang dan sempit. Penyebab keterlambatan atau kegagalan erupsi gigi seringkali dikaitkan dengan kurangnya cellular cementum. Adanya kegagalan pembentukan cementum mungkin karena adanya resistensi mekanis oleh kepadatan tulang alveolar. Penampilan klinis. Penampilan klinis penderita menunjukkan adanya pathognomonic pada kelainan ini. Penderita terlihat sangat pendek, leher tampak panjang, bahu sempit dan turun atau jatuh. Tidak ada kalsifikasi secara menyeluruh atau sebagian dari clavicula sehingga terjadi hipermobilitas pada bahu. Kepala terlihat besar dan branchycephalus. Terdapat penonjolan yang nyata pada tulang frontal, parietal dan occipital. Tulang-tulang facial dan sinus paranasal mengalami hipoplasi sehingga penampilan muka menjadi kecil dan pendek. Dasar hidung terlihat luas dengan nasal bridge tertekan ke dalam. Terdapat ocular hypertelorism. Hipoplasi maksila menyebabkan mandibula relatif tampak prognathic. Lengkung palatal sempit dan tinggi. Terdapat peningkatan insidensi celah submucosal dan celah palatal. Gigi sulung biasanya normal meskipun kadang-kadang tertunda erupsi dan exfoliansinya. Gigi permanen tertunda erupsinya dan beberapa gigi gagal erupsi. Gigi supemumeri yang tidak erupsi sering terdapat pada regio premolar. Sering disertai dengan maloklusi yang parch. 3. Crouzon's syndrome (craniofacial dysostosis) Tanda-tanda khas pada penyakit ini antara lain : terjadi deformitas pada cranial, hipoplasi maksilla, orbita dangkal dengan exopthalmos dan divergen strabismus. Dapat pula terjadi komplikasi sistemik yang meliputi retardasi mental, tuli gangguan penglihatan dan bicara serta konvulsi. Universitas Gadjah Mada 3 Etiologi dan patogenesis Crouzon's syndrome merupakan kelainan genetik yang diwariskan secara autosomal dominan dengan penetrasi sempurna. Sepertiga kasus timbul secara spontan. Terdapat peningkatan keparahan ekspresi penyakit pada saudara kandung secara berturutturut dimana anak paling muda terparah. Teradapat craniosynostosis jika terjadi prematur pada sutura cranial. Disertai exophthalmos dan pengurangan volume orbital. Abnormalitas tulang orbita menyebabkan beberapa abnormalitas fungsional ocular disertai adanya hipertelorism. Adanya distorsi yang parah dari basis cranial menyebabkan pengurangan pertumbuhan maksila dan hipoplasia nasopharyngeal dengan restriksi saluran nafas atas. Penampilan klinis Penampilan muka sangat khas, sering digambarkan sebagai Hipoplasi pada "mid-face" dan exophthalmos sangat jelas. Mandibula relatif tampak prognathism, hidung mirip paruh burung beo. Bibir atas dan philtrum biasanya pendek dan bibir bawah sering tampak jatuh. Kerusakan syaraf penglihatan dapat terjadi pada 80% kasus. Secara intra-oral akan terlihat penyempitan lengkung maksila, lengkung palatal tinggi, bilateral posterior lingual crossbite, anterior open bite. 4. Treacher collins syndrome (Mandibulofacial dysostosis) Pada penyakit ini sering terjadi anomali bilateral seperti berikut fissure palpebral miring kearah bawah, cacat pada kelopak mats bawah, hipoplasi mid-face dan mandibula, cacat pada daun telinga. Etiologi dan patogenesis Treacher collins syndrome merupakan kelainan genetik yang diwariskan dengan cara autosomal dominan, tetapi kurang lebih sebagian kasus dapat timbul karena mutasi spontan. Derajat penetrasi dari gen tinggi dengan sedikit variasi diantara saudara kandung. Kelainan ini relatif jarang, insidensinya antara 0,5 — 10,6 kasus per 10.000 kelahiran. Kelainan ini telah dimulai antara minggu ke-6 dan ke-7 masa embryonik. Abnormalitas yang terjadi kemungkinan disebabkan oleh kegagalan suplai darah selama embryogenesis. Gambaran klinis Terjadi hipoplasi pada mandibula, maksila, zygoma serta telinga tengah dan telinga ekstema dengan derajat yang bervariasi. Pada syndrome dengan ekspresi penuh, penampilan muka sangat khas, sering digambarkan sebagai "bird-like" atau "fish like". Tujuh puluh lima persen kasus menunjukkan kecacatan pada 1/3 bagian luar kelopak mata bawah. Universitas Gadjah Mada 4 Lima puluh persen kasus menunjukkan bulu mata bawah di sebelah medial dari bagian mata yang carat tidak ada. Fissure palpebral menunjukkan miring ke bawah. Sering terjadi atresia kongenital lubang telinga eksterna dan microtia. Terdapat kecacatan pada daun telinga berupa daun telinga kusut atau tidak ada sama sekali, sering pula terjadi ketulian. Pada 30% kasus menunjukkan adanya celah palaturn, sedangkan 15% kasus menunjukkan terjadinya macrostomia, dapat pula disertai dengan open bite dan hipoplasi mandibula. 5. Down syndrome (trisomy 21) Down syndrome merupakan salah satu penyakit yang disebabkan karena kelainan kromosom. Insidensi adalah 1 dalam 600 hingga 1 dalam 700 kelahiran hidup. Lebih dari separo fetus gugur pada awal kehamilan. Pada 94% kasus menunjukkan nondisjunction, 3% kasus translokasi, 2% kasus mosaicism, dan 1% kasus kelainan kromosom lainnya (jarang terjadi). Terjadinya penyakit ini berkaitan dengan peningkatan usia ibu. Penampilan klinis. Penderita Down syndrome akan menunjukkan tanda-tanda sebagai berikut : terjadi retardasi mental pada derajat bervariasi, pada 30% kasus menunjukkan dementia, terjadi penuaan dini setelah usia 35 tahun. Kepala akan terlihat branchycephalic, occiput terlihat datar dan dahi menonjol serta fontanella terlihat lebar dan luas. Pada 98% kasus terjadi separasi sutura sagital lebih dari 5 mm. Sinus frontal dan spheroid tidak ada sedangkan pada sinus maksilaris menunjukkan terjadi hipoplasi (90% kasus). Terjadi defisiensi tulang mid face dengan occular hypotelorism, nasal bridge datar, mandibular prognathism. Mata berbentuk almond (almond-shape). Fisura palpebra miring ke atas. Pada iris tampak brushfield spot, tampak pula adanya epichantic fold (epichantus). Terjadi convergen strabismus, nystagmus, keratoconus, katarak congenital. Pada 30 —45 % disertai penyakit jantung congenital. Penderita penyakit ini rentan terhadap infeksi, hal ini ditunjukkan dengan adanya kelainan pada sel B dan sel T. Pada 50% disertai disfungsi thyroid. Manifestasi pada oral akan terlihat fisura pada lidah, makroglosi, posisi mulut terbuka, lidah selalu keluar, bernafas melalui mulut, kadang-kadang terjadi celah palatum dan celah bibir, anomali gigi geligi dan penyakit periodontal. Pada 75% kasus menunjukkan keterlambatan erupsi gigi sulung dan gigi permanen, disertai microdontia, hipodontia, malformasi mahkota dan akar gigi. Prognathism, crossbite posterior, apertognatia, crowded gigi anterior. 6. Brittle Bone Syndrome (Osteogenesis imperfecta) Universitas Gadjah Mada 5 Osteogenesis imperfecta merupakan salah satu penyakit keturunan dimana tulang yang terbentuk sedikit dan mudah patah. Kerusakan pokok yaitu pada pembentukan kolagen yang akan mempengaruhi kartilago dan membran tulang. Sekurang-kurangnya ada 5 tipe yang diwariskan sebagai autosomal dominan atau sifat resesif dengan penetrasi tidak lengkap. Pada umumnya kasus paling parah adalah tipe resesif sedangkan tipe ringan (80% dari kasus ini) sebagai sifat dominan tetapi perbedaan antar tipenya kurang jelas dan sulit dilakukan. Pada kelahiran yang parah / severe congenital dikenal dengan tipe II sebagai bentuk kematian. Terjadi fraktur multiple in utero dan selama proses persalinan dan bayi jarang sekali yang dapat bertahan hidup. Pada masa kanakkanak (Type I sebagai bentuk tarda), penyakit tidak terlihat sampai masa kanak-kanak berlalu. Tulang memiliki cortical yang tipis dan sedikit trabekula. Tulang kekurangan osteones dan system lamellar. Terjadi fraktur multiple pada trauma minimal, dan adanya penyembuhan walaupun cepat mungkin dapat dihubungkan dengan pembentukan osteoid yang berlebihan. Adanya peningkatan insidensi terutama pada osteosarkoma pada sisi yang mengalami fraktur. Dentinogenesis imperfecta dihubungkan dengan osteogenesis imperfecta pada 25%50% pasien terutama pada tipe IV. Kelainan ini meliputi onset awal tuli, kelainan katup jantung, dislokasi rekuren pada ligamen. Pada kasus yang parah terjadi abnormal tulang kepala dengan pembengkakan tulang parietal. Walaupun demikian tulang rahang kurang suseptibel / rentan terhadap fraktur dibandingkan tulang panjang. Pasien dengan osteogenesis imperfecta ditandai dengan sclerae berwarna biru oleh karena tipisnya sclera yang mengikuti wama kebiru-biruan pada choroid. 7. Achondroplasia Achondroplasia merupakan kelainan yang diturunkan pada ossifikasi endochondral dan mempengaruhi individu seperti bentuk kerdil dengan tulang kaki yang pendek dan pembesaran kepala. Kondisi yang diturunkan seperti jenis autosomal dominan dengan tidak komplitnya penetrasi tetapi banyak kasus sebagai hasil mutasi yang baru. Proliferasi kartilago pada epiphysis menurun dan berkurangnya ossifikasi penulangan endochondral, sehingga. menghasilkan kegagalan pertumbuhan longitudinal pada tulang panjang dan dasar tengkorak. Pembentukan tulang subperiosteal tidak terpengaruh sehingga tulang subperiosteal normal tetapi kadang-kadang dapat pula terjadi ketebalan yang berlebihan. Universitas Gadjah Mada 6 Hal ini merupakan kegagalan perkembangan pada pertengahan ketiga pada wajah dan penurunan nasal bridge. Meskipun demikian, pertumbuhan condylar tidak terpengaruh, apabila ada yang mempengaruhi maka sebagai prognathism sementara. 8. Osteopetrosis (Marble Bone Disease) Osteopetrosis sebagai penyakit yang diturunkan heterogen dan ditandai dengan kerusakan fungsi osteoklas. Kegagalan pada pembentukan tulang normal menyebabkan kepadatan tulang menjadi abnqrmal dan ruangan sumsum tulang hilang, anemia umunlnya terjadi, meskipun ada haemopoiesis extramedullary. Tipe dominan menunjukkan peningkatan kepadatan tulang yang dapat diketahui dari hasil rontgen tetapi dapat jugs asymptomatik atau kadang-kadang hanya komplikasi dari keadaan normal. Bentuk intermediate berupa penyakit tulang skeletal seperti rickets dan acidosis tubulus ginjal. Pada sebagian besar kasus yang parah seperti tipe resesive, hemopoesis sangat tidak mencukupi mengakibatkan kematian anak-anak karena anemia, hemorrhage atau biasanya terjadi infeksi. Wajah melebar dengan hipertelorism, snub nose, kepala ke depan (frontal bossing). Produksi tulang abnormal dapat menyebabkan syaraf cranial tertekan. Bisu, tuli dan facial palsy atau neuropathy trigeminal dapat sebagai komplikasi beberapa tipe yang parah. Rontgen foto menunjukkan kepadatan dan ketebalan tulang berlebihan, khususnya terlihat nyata di tengkorak. Erupsi gigi terlambat atau pada kasus gigi posterior berkomplikasi dengan osteomyelitis. Tulang walaupun padat tetapi lemah dan mudah fraktur. Osteomyelitis dapat mengikuti infeksi gigi atau bedah, sebagai hasil dari kurangnya atau sedikitnya supply darah: Infeksi pada keadaan tersebut sulit untuk diatasi. Secara mikroskopis pada kasus ringan masih ada kemungkinan untuk membentuk lamellar tulang normal tetapi biasanya kehilangan differensiasi antara tipe cortical dan cancellous. Kavitas medullary gagal terbentuk dan hanya sedikit ruangan sumsum tulang terisi fibrous atau jaringan haemopeietic. Pada onset osteopetrosis awal dapat dirawat dengan menggunakan transplantasi bone marrow. 9. Fibrous displasia Typical monostotic fibrous displasia ditandai oleh sedikitnya area yang dibatasi oleh replacement fibro-osseus tulang ke bentuk pembengkakan yang dimulai pada masa kanakkanak tetapi secara tipikal mengalami istirahat dengan maturasi skeletal. Tulang rahang paling sering terpengaruh pada sisi leher dan kepala tetapi secara keseluruhan terlihat kurang dari 25% dari seluruh kasus tulang rusuk dan femur paling sering terkena. Perbandingan laki-laki dengan wanita hampir sama frekuensinya terkena penyakit ini. Universitas Gadjah Mada 7 Polyostotic fibrous displasia jarang terjadi dan gambaran histologis lesi ini sama pada beberapa atau banyak tulang, pigmentasi kulit dan abnormalitas endocrine. Pada wanita lebih sering terkena (Perbandingan laki-laki dengan wanita = 3 : 1) dan umumnya pada usia pubertas atau mendekati dewasa. Adanya hubungan antara perubahan tulang dan aktivitas hormonal kemungkinan dihubungkan dengan receptor estrogen pada tulang. Albright's syndrome termasuk polyostotic fibrous displasia dapat disertai tanda pigmentasi kulit dan precocity seksual. Lesi terdistribusi unilateral atau segmental. Secara klinis, monostotic fibrous displasia terlihat terutama pada masa dewasa, biasanya sekitar umur 20 tahunan, sedangkan polyostotic fibrous displasia lebih sering terjadi pada masa kanak-kanak. Lesi yang khas terbentuk tanpa rasa sakit, terjadi pembengkakan lunak pada maxilla lebih sering dibanding mandibula. Pada beberapa nisi pembengkakan menjadi besar dan mengganggu fungsi dan adanya maloklusi. Walaupun massa fibroosseus melemahkan tulang, secara patologi fraktur tulang jarang terjadi. Polyostotic fibrous displasia melibatkan regio leher dan kepala pada lebih dari 50% kasus. Adanya lesi pada tulang rahang menjadi gambaran yang paling nyata dan lesi lainnya tidak terlihat pada pemeriksaan pertama. Adanya pigmentasi kulit berupa noda kehitanihitaman sampai dengan kecoklatan, 1 cm atau lebih dengan gambaran irregular, biasanya pengaruhnya menutupi tulang tetapi terutama tampak pada bagian belakang leher, trunk, pantat atau paha. Adanya pigmentasi pada mukosa oral merupakan perkecualian. Hasil rontgen foto ditandai adanya ground glass atau texture seperti kulit jeruk yang halus dan bergabung dengan sekitar tulang normal dengan batas yang tidak diketahui secara pasti. Adanya gambaran seperti sumuran pada margin penting digunakan sebagai pertimbangan diagnostik. Pada sebagian besar, lesi fibrous seperti kista atau tumor cystic, banyak lesi ossifikasi menunjukkan sclerotic patchily (berbintik). Secara mikroskopis terdiri jaringan fibrous seluler dimana distribusi trabekula merata pada woven/anyarnan tulang, hal ini sering dikarakterkan seperti Chinese walaupun bukan Chinese. Kemungkinan juga sebagai campuran atau foci kecil yang tersebar secara tidak merata pada stroma B. Penyakit-penyaldit pada muka dan rahang yang disebabkan oleh mikroorganisme Penyakit-penyakit pada muka dan rahang yang disebabkan oleh mikroorganisme, antara lain: Osteomyelitis pada tulang rahang; Infeksi jaringan lunak di daerah wajah / muka : a. infeksi streptococcal, b. infeksi staphylococcal; Tetanus; Gonorrhea; Abses 1. Osteomyelitis pada tulang rahang Osteomyelitis merupakan suatu inflamasi pada tulang yang diawali dengan infeksi pada kavitas medullary dan sistem haversi, meluas melibatkan periosteum. Infeksi dapat menetap pada bagian tulang yang terkalsifikasi jika pus dalam medullary atau dibawah Universitas Gadjah Mada 8 periosteum menghalangi aliran darah, kemudian timbal ischemia, selanjutnya tulang yang terinfeksi menjadi nekrotik. Faktor predisposisi terjadinya onset dan keparahan antara lain oleh adanya virulensi mikroorganisme, ketahanan host, vaskularisasi rahang, penyakit-penyakit sistemik yang mempengaruhi ketahanan host (seperti diabetes, agranulositosis, leukemia, anemia yg parah malnutrisi, sickle cell disease, thypoid), alkoholisme kronis, penyalah guna obat, kondisi yang mempengaruhi vaskularisasi tulang (radiasi, osteoporosis, paget's disease, Fibrous displasia, malignansi tulang, nekrosis tulang karena merkuri, bismuth dan arsenik). Patogenesis Osteomyelitis sebagai penyakit infeksi lokal dan penyebarannya secara hematogenous pada rahang disebabkan terutama oleh karena infeksi odontogenik dari jaringan pulpa atau periodontal, trauma pada compound fracture, infeksi dari periostitis dan infeksi dari nodus lymphaticus. Pada maksila lebih sedikit terserang infeksi ini dibanding mandibula karena aliran darah lebih lancar, cortical plate lebih tipis dan jaringan medulla lebih sedikit sehingga menghindarkan terkurungnya infeksi pada tulang dan memungkinkan keluamya edema dan pus ke jaringan lunak dan sinus paranasal. Sebagian besar infeksi periapikal dan periodontal terlokalisir oleh membran protective pyogenic atau dinding abses jaringan lunak. Bila cukup virulen, mikroorganisme mungkin merusak barrier ini. Ketahanan host menjadi menurun sehingga terjadi suppurative sampai osteomyelitis. Trauma mekanis pada tulang dapat menyebabkan ischemia juga masuknya organisme ke lapisan jaringan yang lebih Proses osteomyelitis diawali dengan suatu inflamasi akut berupa hyperemia, kenaikan permeabilitas kapiler dan infiltrasi granulosit. Nekrosis jaringan dapat terjadi karena enzym proteolitik keluar serta adanya kerusakan bakteri dan trombosis kapiler. Ketika pus berakumulasi, terjadi peningkatan intramedullary yang dapat mengakibatkan kollaps vaskuler, venous statis dan ischemia. Pus diangkut melalui saluran haversi dan nutrient berakumulasi dibawah periosteum sehingga akan mengangkat periosteum dari cortex selanjutnya aliran darah terhambat. Tekanan pada neurovaskuler mempercepat terjadinya trombosis dan ischemia yang akan mengakibatkan mandibula teranestesi. Bila pus terns menerus berakumulasi mungkin terjadi penetrasi pada periosteum, abses mukosa dan cutaneous serta terjadi fistula. Apabila daya tahan host meningkat serta dilakukan terapi efektif, proses mungkin menjadi kronis, inflamasi mereda, terbentuk jaringan granulasi, iisis pada tulang oleh pembuluh darah Baru sehingga terjadi separasi fragmen tuiang nekrotik (sequestra) dari tulang yang masih hidup. Aspek mikrobiologi pada osteomyelitis Universitas Gadjah Mada 9 Pada 80% - 90% kasus disebabkan oleh Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermis (albus). Dari kultur bakteri akin ditemukan Streptococci hemolitic, Pneumococci, Thypoid acid, Fast bacilli, Escheria coli dan Actinomycetes. Bakteri anaerob antara lain Bacteriodes, Fusobacterium, Peptostrep-tococcus, Peptococcus, Veillonella, Eubacterium dan Actinomyces. Pada osteomyelitis yang khas menunjukkan adanya Mycobacterium tuberculosis, Treponema pallidum dan Actinomyces israelii. Universitas Gadjah Mada 10 Gambaran klinis Secara klinis ada 4 tipe osteomyelitis pada rahang yaitu acute suppurative osteomyelitis, secondary chronic osteomyelitis, primary chronic osteomyelitis dan non suppurative osteomyelitis. Penampilan klinis tergantung pada tipe penyakit. Pada early acute suppurative osteomyelitis, ditandai dengan rasa sakit yang hebat dan dalam, demam yang sangat tinggi dan intermittent, paresthesia atau anesthesia dari nervus mentale, etiologi dapat digambarkan dengan jelas. Pada lase awal bentuk akut terlihat gigi tidak goyah, pembengkakan minimal dan tidak ada fistula Prosesnya merupakan osteomyelitis intra medullary. Pada established suppurative osteomyelitis, symptom meliputi rasa sakit yang dalam, malaise, demam, anorexia. Pada 10 — 14 hari setelah onset, gigi pada area yang terlibat goyah dan sensitif bila dilakukan perkusi. Pus keluar di sekliling sulkus gingiva atau melalui fistula mukosa dan cutaneous, serta terdapat bau busuk pada mulut. Sering disertai cellulitis pada pipi, abses dengan erythema dan palpasi sakit serta paresthesia nervus mentale. Trismus tidak selalu terjadi tetapi lymphadenopathy regional selalu ditemukan. Temperatur berkisar 101°F - 102°F. Pasien sering mengalami dehidrasi. Pada secondary chronic osteomyelitis terjadi bila acute osteomyelitis tidak dirawat secara sempuma. Tanda klinis berupa fistula, indurasi jaringan lunak, penebalan atau "wooden" karakter pada tulang, rasa sakit bila dipalpasi. Tanda-tanda klinis primary chronic osteomyelitis antara lain sedikit rasa sakit, sedikit kenaikan ukuran rahang, perkembangan sequestra secara bertahap, tidak ada fistula, terjadi tanpa didahului fase akut. 2. Infeksi jaringan lunak di daerah wajah / muka a. Infeksi streptococcal Infeksi yang disebabkan bakteri Streptococcus pada jaringan lunak di daerah muka antara lain Scarlet fever, Streptococcal impetigo dan Erysipelas 1) Scarlet fever Scarlet Fever merupakan manifestasi dari prymary acute systemic injection oleh Streptococcus Pyogene, reaksi sekunder dari infeksi lokal streptococcal seperti streptococcal pharyngitis atau impetigo. Manifestasi Scarlet fever akan terjadi jika host kurang imun terhadap toksin. Tandatanda klinis antara lain rash (ruam) akan tampak 2-4 hari setelah onset dari symptom. Tanda rash hilang setelah 4-5 hari kemudian terjadi desquamasi pada kulit yang terlibat. Erythema yang memucat bila ditekan, circumoral pallor, "sandpaper texture" pada kulit yang terlibat, edema, petechiae pada soft palate, lidah berselaput putih dengan hipertrofi papilla yang berwarna merah (strawberry tongue) kemudian berlanjut dengan raspberry tongue. Universitas Gadjah Mada 11 Diagnosa dari tanda rash yang khas, rasa sakit pada tenggorokan, rasa sakit sistemik seperti flu, kultur positif untuk streptococci, kenaikan titer serum antibodi untuk antistreptolysin 0 (ASO) 2) Streptococcal impetigo Streptococcal impetigo merupakan suatu infeksi yang menyebar dengan cepat pada lapisan superfisial epidermis. Organisme penyebab adalah β-hemolitic streptococci, namun kultur pada lesi nampak pula adanya staphylococci. Tanda khas lesi yaitu vesicle atau pustule dengan sedikit erythema. Lesi segera pecah meninggalkan luka dengan kerak yang tebal dan gatal. Kemungkinan akhirnya akan terjadi scarlet fever. Pada keadaan ini jugs terdapat lymphadenopathy regional. Manifestasi sistemik berupa fever dan malaise biasanya minimal. Penyakit ini dapat terjadi terutama didaerah beriklim panas dan lembab, biasanya diawali dengan terjadinya minor trauma. Diagnosa ditentukan dari penampilan lesi, isolasi Streptococcus pyogene, kenaikan titer serum untuk Antideoxyribonuklease B atau Antihyaluronidase. Ecthyma merupakan suatu bentuk impetigo dimana invasi bakteri berlanjut ke lapisan kulit yang lebih dalam. Lesi pada awalnya berupa vesicle tetapi akhimya menjadi luka baru yang berlubang dengan bates sekeli ling berwarna ungu. 3) Erysipelas Erysipelas merupakan suatu cellulitis superfisial, biasanya disebabkan oleh βhemolitic streptococci yang menyerang dermis. Kulit yang terserang menjadi sangat erythematous, hangat dan sakit bila disentuh. Lesi menyebar dengan pesat karena pelepasan hyaluronidase oleh bakteri. Terjadi fever, malaise, lymphadenopathy regional. Desquamasi kulit pada area yang terlibat. Faktor etiologi berupa trauma pada kulit yang mengawali masuknya organisme pada dermis. Diagnose ditegakkan dari lesi yang khan dan Kenaikan serum antibodi untuk antigen spesifik streptococcal. b. Infeksi staphylococcal 1) Infeksi staphylococcus yang berkaitan dengan struktur adenexal Infeksi staphylococcus yang berkaitan dengan struktur adenexal pada wajah antara lain : fooliculitis, furuncle, carbuncle, sycosis, sycosis vulgaris, Bockhart's folliculitis, Byte, sebaceous cysts dan acne vulgaris. a) Fooliculitis Universitas Gadjah Mada 12 Fooliculitis merupakan keadaan inflamasi lokal superfisial pada follicle yang disebabkan karena sumbatan pada pori. b) Fur uncle Furuncle merupakan suatu abses lokal pada follicle dimana terjadi kerusakan pada dinding follicle, cenderung pecah secara spontan meninggalkan luka kecil superfisial yang nekrotik. c) Carbuncle Carbuncle sebagai sekelompok furuncle yang menyatu dan bila pecah secara spontan meninggalkan luka besar yang nekrotik. d) Sycosis Sycosis merupakan suatu lesi dimana seluruh kedalaman follicle terlibat infeksi tanpa disertai kerusakan dinding follicle e) Sycosis vulgaris Sycosis vulgaris adalah suatu chronic pustular infection dari regio muka yang berrambut (berjenggot). Terjadi jika follicle rambut terinfeksi staphylococcal. Proses diawali dengan terjadinya area erythema dan pruritus diatas bibir, kemudian tampak pustula yang masing-masing ditembus oleh sehelai rambut. pustula pecah, meninggalkan area erythema kemudian repustula lagi. Differential diagnose yaitu tinea barbae, pseudofolliculitis barbae. Tinea barbae jarang terjadi, apabila terjadi biasanya di daerah bibir atas. Pseudofolliculitis barbae biasanya dijumpai pada orang Negro, terjadi pada regio berambut/berjenggot, dimana rambut-rambut pendek melengkung ke bawah dan tumbuh ke dalam kulit di sisi follicle. Dapat terjadi papula yang pruritik dan pustula. f) Bockhart's folliculitis Kondisi ini serupa dengan sycosis vulgaris. lnfeksi superfisial, terbatas pada ostium follicle rambut. Paling sering terjadi pada anak-anak di kulit kepala, sekitar bibir dan anggota badan. Lesi berupa pustula berwarna kilning yang dikelilingi dengan erythema. Kultur berupa Staphylococcus aureus. Bersi fat Self limiting disease. g) Stye Syte merupakan suatu furuncle pada bulumata, disebabkan oleh staphylococcus aureus. Bersifat Self limiting disease. h) Sebaceous cysts Sebaceous cysts merupakan penumpukan keratin pada lapisan intradermal karena proliferasi sel epithel di atas dermis. Dapat karena terinfeksi staphylococcal. Manifestasinya berupa nodule yang sakit bila dipalpasi, tampak erythema, dapat berianjut menjadi abses dan akhirnya i) Acne vulgaris Universitas Gadjah Mada 13 Diawali dengan terjadinya keratinisasi pada ductus sebaceous glandula. Terjadi obstruksi pada ductus dan terbentuk infiltrat inflamatory pada dermis. Follicle menggelembung dan pecah ke permukaan kulit atau dermis dimana minyak lemak dan keratin yang keluar mengakibatkan suatu suatu reaksi inflamasi. Propionebacterium acne dan Staphylococcus epidermis dapat menginfeksi ductus yang obstruksi sehingga terjadi pustula atau abses intradermal. Lesi pada acne dapat berupa comedo, papula, pustula dan nodule yang terinflamasi 2) Infeksi staphylococcus yang tidak berkaitan dengan struktur adenexal Infeksi staphylococcus yang berkaitan dengan struktur adenexal pada wajah antara lain : Staphylococcal impetigo, Cellulitis dan Necrotizing fascitis a) Staphylococcal impetigo Ada 2 bentuk impetigo yang disebabkan oleh Staphylococcus : i. Epidemic staphylococcus impetigo Secara klinis tidak dapat dibedakan dengan streptococcal impetigo. Lesi berupa vesicula ii. Bullous impetigo Organisme penyebab adalah Staphylococcus aureus. Lesi berupa bullae, merupakan infeksi lokal pada area yang terbatas. Mula-mula bullae berisi cairan jernih kemudian berubah menjadi purulen. Bullae dapat pecah kemudian terbentuk luka dan akhirnya berkerak b) Cellulitis Merupakan perluasan infeksi ke lapisan jaringan yang lebih dalam di bawah dermis. Dapat terjadi karena masuknya organisme melalui luka, penyebaran infeksi dapat terjadi pada daerah superfisial atau penyebaran melalui aliran darah. Tanda klinis berupa erythematous, edematous, hangat dan sakit bila dipalpasi. Tanda sistemik berupa fever, malaise, panas dingin. Pada regio maxillofacial, Streptococcus pyogene merapakan organsime penyebab pada remaja dan orang dewasa. Pada anak-anak disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae atau Haemophylus. inJluenzae. Cellulitis sebagai reaksi inflamasi diffus dimana bakteri mampu menyerang pertahanan tubuh sehingga infeksi tidak terbatas pada situ area. Selain itu, hal ini dapat berkembang melewati sekitar jaringan lunak dan sepanjang dataran muka ke lauar meninggalkan area dari tempat asal terjadinya infeksi. Cellulitis pada wajah dan leher Universitas Gadjah Mada 14 sering terjadi sebagai hasil dari infeksi periapikal dan mengikuti infeksi periodontal. Tetapi hal ini dapat pula mengikuti extraksi gigi atau traumatik infeksi seperti terjadi setelah fraktur. Jaringan lunak yang terlibat dapat menunjukkan terpisah dari otot atau jaringan ikat dan inflamasi akut non spesifik. Secara klinis tandanya adalah keras, sakit bengkak pada area jaringan lunak yang terlibat dan lymphadenitis regional biasanya terjadi. Jika jaringan lunak superfisial terlibat, lapisan atas kulit menunjukkan inflamasi atau berwarna ungu. Penyebaran diffus infeksi mungkin dilikirkan melibatkan area pada wajah dan leher. Streptococcus dan beberapa strain Staphylococcus merupakan penyebab umum cellilitis pada regio orofacial. Cellulitis perlu perawatan. Jika tidak dirawat, keadaan ini menjadi terlokalisasi membentuk sebuah abses. Bila hal ini terjadi, dapat dilakukan drainase secara pembedahan (surgically) atau mungkin melakukan perusakan melewati permukaan jaringan yang terlibat dan didrain secara spontan. Bentuk utama cellulites berat adalah Ludwig's angina, dimana biasanya diawali pada ruangan submaxilla kemudian mengadakan invasi ke sublingual dan ruangan submental bilateral. Sumber infeksi seringkali gigi Rahang Bawah. Tetapi mungkin pula berasal dan fraktur atau penetrasi injury. Streptococcus umumnya terlibat dalam Ludwig's angina tetapi biasanya merupakan mixed infeksi. Variasi bakteri dari gram positif aerob dan gram negatif aerob dan anaerob meliputi : fuslforms, spirochetes, diphteroids, Staphylococcus, Bacteriodes, Klebsiella, eschenrichia coil, Pseudomonas aeruginosa, Haemophillus influenza dan Branhamella catarrhalis. c) Necrotizing fascitis Merupakan suatu infeksi yang melibatkan fascia superfisial dengan kerusakan pada jaringan lunak di atasnya. Biasanya dijumpai pada pasien dengan kelemahan kronis atau pada penderita DM, penyakit-penyakit dengan sumbatan pada pembuluh darah kecil. Beberapa istilah lain : hospital gangren, gangrenous erysipelas, hemolitic streptococcal gangrene. Biasanya terjadi setelah trauma atau pembedahan kemudian fascia terinfeksi. Tanda klinis berupa pembengkakan pada area yang terlibat, erythematous,sedikit demam, jika terus berlanjut akan timbul rasa sakit, erythema dan edema memburuk serta toksisitas sistemik yang parch, rasa sakit akan mereda karena nervus cutaneous menjadi nekrotik dan terjadi anestesi pada daerah yang terlibat, kulit tampak kehitamhitaman dengan bercak ungu, terbentuk gas di bawah kulit, terbentuk bullae, terjadi pengelupasan kulit. Gejala sistemik berupa sepsis, hemolysis, pengurangan volume intravaskular, demam tinggi, tachycardia, apathy (kelesuan), weakness dan nausea. Universitas Gadjah Mada 15 Organisme penyebab dapat berupa Hemohue Streptococci, Staphylococcus aureus, Bakteri anaerob dan Bakteri gram negatif. 3.Tetanus Organisme penyebab adalah Clostridium tetani dengan ciri khas sebagai berikut berbentuk bacillus; anaerob; gram positif; daya tahan spore terhadap panas, bahan kimia dan antibiotik tinggi. Bakteri ini mudah mati dalam autoclave. Distribusi sangat luas, dapat ditemukan di tanah, air segar dan air garam, debu tanah. Sel-sel vegetative dapat ditemukan di feces binatang, 25% manusia terutama di pd intestinum. Jalan masuk organisme ke jaringan dapat berupa adanya trauma sehingga jaringan ,terbuka untuk masuknya organisme ini, adanya goresan/garutan, gigitan serangga, karies gigi, luka setelah ekstraksi gigi, trauma pada mukosa bukal. Patogenesis Spora tertanam dalam jaringan kemudian sel vegetative akan mengeluarkan tetanus exotoxin lalu terabsorpsi dart terdistribusi secara sistemik. Rute absorbsi dengan cara berdiffusi secara langsung pada lokasi produksi toksinnya melalui muskuloskelatal yang berdekatan dengan myoneural, terabsorpsi melalui aliran darah dan limfe sehingga akan terikat pada sel-sel motor ganglion dalam medulla dan spinal cord serta kemungkinan pada pusat pernafasan. Penampilan klinis Inkubasi kurang lebih I minggu hingga 10 hari (namun ada range dari beberapa hari hingga minggu bahkan satu tahun sebelum timbul symptom). Klasilikasi symptom berupa : 1) Predormal yaitu terjadi beberapa hari sebelum onset penyakit yang sesungguhnya, meliputi kekejangan pada otot (muskulus) dengan manifestasi berupa kekejangan pada otot pengunyahan (trismus), lidah kaku (kejang) dan bergetar, rasa sakit dan kejang pada otot wajah, rahang, leher khususnya penelanan. 2) Klasik yaitu terjadi pada penyakit yang sudah berkembang penuh, meliputi rahang sulit dibuka atau "lock-jaw", risus sardonicus, dysphagia, opisthotanus, temperatur sedikit meningkat disertai keringat banyak, sulit bernafas yang dapat menyebabkan kematian karena asphyxia. Differential diagnosis Osteomyelitis mandibula, dislokasi mandibula, Pericoronitis pada impaksi M3, Mump, serum Sickness, Inflamasi gingival, Arthritis TMJ. 4.Gonorrhea Organisme penyebab dikenal dengan Nisseria gonorrhoeae. Pada bayi periode intranatal, symptom dapat terjadi antara 1-12 hari. Pada periode Post natal dapat tirnbul Universitas Gadjah Mada 16 abses gingiva sebagai campuran (mixed) dengan infeksi Streptococcus viridans. Pada bayi dikenal sebagai Gonorrheal Conjunctivitis. 1) Gonorrheal stomatitis Dapat terjadi pada orang yang melakukan praktek sexual abnormal biasanya pada golongan homosexual. Infeksi dapat pula terjadi melalui jari yang ditularkan dari genital atau trauma perawatan gigi. Inkubasi anatara 1 sampai 7 hari. Gejalanya berupa lesi intra oral antara lain bulat, sedikit menonjol, bintik-bintik putih keabu-abuan yang tersebar pada lidah, palatum molle dan mukosa pipi, pseudomembran kekuning-kuningan, gingiva bengkak dan mudah berdarah, lidah bengkak, merah dan kering; mukosa mulut merah gelap dan berkudis, terasa seperti terbakar. Nafas bau dan limfonodi submaxillaris membesar dan sakit. 2) Gonorrheal arthritis Merupakan lesi metastatik. Timbul antara I sampai 3 minggu setelah infeksi genital akut. Biasa terjadi pada TMJ. Symptom klinis berupa didahului dengan rasa dingin dan demam. Mula-mula polyarthritis yang berpindah-pindah kemudian terlokalisir menjadi satu atau lebih. Pada persendian terjadi pembengkakan akut dan inflamasi sainpai melibatkan tendon. Pada cairan sendi akan terlihat jumlah sel Polimorphonuklear leukosit meningkat dan Gonococci dari kultur bakteri. Pada TMJ terjadi manifestasi lokal berupa rasa sakit, spasme musculus Masseter, Gangguan mastikasi, keterbatasan pembukaan mulut dan inflamasi (bengkak dan erythema). Pada beberapa kasus akan terjadi perforasi lempeng tympani, jika tidak dirawat akan mengakibatkan fibrous ankylosis sendi. 3) Gonorrheal pada kulit Dikenal dengan Gonococcal dermatosis. Penyakit ini terbagi menjadi 3 tipe yaitu: a) tipe I merupakan infeksi primer dari eksudat gonorrhoeal. Pada keadaan ini akan timbul ulserasi mirip proses abses disertai kerusakan jaringan yang leas, gonococci terdapat pada lesi. b) tipe II merupakan gonococcal dermatitis. Syndrome berupa demam intermittent, dermatitis disertai arthritis. Lesi pada kulit berupa vesikulopustular, kadang-kadang terjadi hemorrargi c) tipe III merupakan keratosis blennorrhagica atau gonorrhoeal keratosis. Merupakan suatu keadaan khronik inflammatory dermatosis yang terjadi bersamaan dengan gonorrheal pada genital dan sendi. Tanda-tanda berupa erupsi dari keratin (hyperkeratosis), nodula pustula dan crusta tebal kecoklatan. Universitas Gadjah Mada 17 5. ABSES Abses pada umumnya terjadi di regio periapikal tetapi dapat pula pada jaringan lunak. Abses tersusun dari sebuah pusat organisme dan gabungan dengan leukosit polimorfonuklear. Pembuluh darah mengalami dilatasi dan bila infeksi bersumber dari odontogenik ruangan sumsum tulang mungkin terjadi infiltrasi sel inflamasi. Gambaran klinis berupa rasa sakit, bengkak dan rasa sakit tersebut dapat melibatkan lymphonodi regional yang terbatas di regio terdekat dengan sumber infeksi. Meskipun demikian, produksi mikrobial pada abses dan kerusakan jaringan lunak mungkin pula dapat mengakibatkan penyakit sistemik. Sebuah abses periapikal barangkali hanya terbatas pada struktur osseus atau dapat pula terjadi lubang melewati tulang sampai mencapai pennukaan dan menginvasi jaringan lunak, baik sub atau supraperiosteal. Selama pembentukan abses mungkin terjadi cellulites regional, kemudian infeksi menjadi terbatas, memproduksi sekumpulan pus dalam sebuah cavitas yang disebut true ahses. Abses pada leher dan kepala disebabkan oleh mikroorganisme aerobik dan anaerobik. Lesinya tampak sama, mungkin diternukan dalam single atau mixed infeksi. Bakteri Staphylococcus dan Streptococcus biasanya dihubungkan dengan terjadinya lesi Hasil dari beberapa studi menunjukkan perbedaan mengenai kedua jenis bakteri penyebab lesi ini. Beberapa studi mengindikasikan bahwa Streptococcus -hemolitic lebih banyak ketika dilakukan kultur murni/pure atau hanya satu tipe organisme yang dapat diisolasi. Bakteri lainnya yaitu Staphylococcus aureus atau Staphylococcus epidermis dengan proporsi yang sama. Study lain melaporkan bahwa infeksi Staphylococcus lebih umum. Infeksi orgnisme tunggal lainnya dapat disebabkan oleh species Actinomyces, enterococci, Proteus sp, Branhamella (Neisseria) catarrhalis dan pleomorphic gram positif atau lainnya. Organisme tersusun irregular diklasifikasikan sebagai Corynebacterium sp. Pada kultur infeksi mixed, Streptococcus -hemolitic dan Staphylococcus terisolasi lebih banyak. Lainnya meliputi Pseudomonas aeruginosa, enterococci, Streptococcus pyogenes dan Branhamella. Dua atau tiga jenis organisme yang terlibat dengan Streptococcus biasanya menjadi satu. Beberapa kombinasi tersebut meliputi Streptococcus -hemolitic dan Streptococcus (kombinasi dengan frekuensi terbanyak); Streptococcus hemolitic, Streptococcus ,β-hemolitic dan Staphylococcus; Streptococcus a-hemolitic dan Pseudomonas; Streptococcus -hemolitic dan Branhamella; Branhamella dan enterococcus; Streptococcus -hemolitic dan Staphylococcus aureus; enterococcus dan Streptococcus hemolitic; Staphylococcus aureus dan enterococcus. Kedua gram positif dan negatif anaerob dapat diisolasi dari abses leher dan kepala. Isolasi gram positif pada umumnya termasuk Peptostreptococcus sp dan Eubacterium sp. Universitas Gadjah Mada 18 Gram negatif antara lain: Bacteroides sp, beberapa Fusobacterium .sp, Veillonella parvula dan Veillonella alcalescens. Flasil beberapa study menunjukkan prosentase yang tinggi terhadap adanya beberapa unidentilikasi bating anaerob gram negatif Beberapa studi mengindikasikan bahwa infeksi anaerobik yang terukur lebih banyak telah mixed daripada single. Sesungguhnya beberapa peneliti mengisyaratkan bahwa kemungkinan species yang terisolasi tidak mampu menghasilkan abses ketika dalam keadaan single. Sangat penting untuk diskusi sekarang bahwa pengenalan terhadap bakteri anaerob merupakan faktor penting pada infeksi leher dan kepala serta harus menjadi bahan pertimbangan kemungkinan sebagai penyebab infeksinya. Hal ini membuktikan adanya ketidaksependapatan tenting bakteri mana yang paling banyak pada abses diregio leper dan kepala walaupun demikian hampir semua study menunjukkan bahwa bakteri Streptococcus merupakan bakteri terbanyak pada infeksi sekunder apeks gigi sampai karies gigi. Beberapa perbedaan kemungkinan dihasilkan dari prosedur sampling. Sejauh ini sampel yang diperoleh biasanya setelah mulai infeksi menyebar, sejauh infeksi telah menyebar dan faktor-faktor lain yang superimposed pada waktu pengampilan sampel. Seperti telah disinggung sebelumnya durasi pada regio awal yang terlibat pada beberapa waktu sangat sulit dibedakan. Juga kemungkinan adanya daya dari tipe mikroorganisme yang terisolasi pada umumnya dibawah kontrol terapi sehingga perlu adanya perbaikan untuk mengenali dan mengisolasi bakteri, sehingga akan dicapai terapi yang efektif. C. Penyakit atau kelainan pada sendi rahang Penyakit atau kelainan pada sendi rahang meliputi Osteoartritis, Artritis rheumatoid, Artritis lain yang mempengaruhi sendi rahang, Lesi oral yang berhubungan dengan sendi rahang, Hiperplasi kondilar, Sindrom rasa nyeri pada TMJ, Neoplasma, Khondromatosis sinovial, Resorbsi idiopatik condylus 1.Osteoartritis Merupakan penyakit degeneratif yang menyerang kartilago persendian. Gejala pada TMJ tidak begitu nyata dibanding persendian lain yaitu adanya clicking (pergerakan yang terbatas). Secara radiograf menunjukkan gambaran osteopitik (osteophytic lipping) pada kondilus, area radiolusen subartikular (ely's cyst), permukaan artikular menjadi datar, Universitas Gadjah Mada 19 ditandai berkurangnya elastisitas kartilago artikular dan meluasnya permukaan erosi sebagai retakan vertikal ke dalam tulang subkhondral. Fissura horizontal dapat timbul diantara kartilago dan lapisan tulang, terjadi degenerasi khondrosit. Pada area yang terlokalisasi dapat terjadi kerusakan kartilago yang menyeluruh dan eburnasi (kerusakan) tulang. Secara histologic akan terdapat retakan dan fisura pada diskus artikularis, yang dapat mengalami hialinisasi dan kalsifikasi. Pada kasus parah dapat terjadi nekrosis dan perforasi pada diskus. 2. Artritis reumatoid Merupakan penyakit sistemik yang melibatkan beberapa persendian. Sendi rahang dapat mengalami serangan secara bilateral (pada 2/3 pasien). Jarang terjadi kerusakan yang parah atau symptom yang jelas. Secara radiograf akan tampak permukaan kondilus terjadi perataan, irregularitas pada permukaan artikular, ruang persendian melebar oleh desakan eksudat pada fase akut, lapisan bawah tulang mengalami osteoporosis. Secara histopatologi terjadi proliferasi dan hipertroli sel-sel lapisan sinovial. lnfiltrasi sinovium dengan sel-sel plasma dan limfosit. Sel-sel inflamasi membentuk agregat dengan germinal centres. Sel-sel netrofil dan eksudat inflamasi yang berasal dari membrana sinovial menginfiltrasi cairan sinovial. Massa vascular sinovium yang mengalami inflamasi menyebar secara diffus mencapai permukaan kartilago artikular, diikuti kematian khondrosit dan hilangnya matriks interselular. Terjadi adhesi fibrosa antara permukaan sendi dan meniscus. Meniskus sering mengalami kerusakan dan proses inflamasi pada ligamen serta tendon menyebabkan ankilosis fibrosa dan hilangnya stabilitas sendi. Diagnosis ditetapkan berdasarkan penampakan klinis dan imunologis. Ig G serum meningkat. Ig G atau Ig M disebut sebagai faktor rheumatoid, berperan sebagai autoantibodi pada fragmen Fc Ig G 3. Artritis lain yang mempengaruhi sendi rahang Artritis lain yang mempengaruhi sendi rahang antara lain mandibulal osteomyelitis, Gout, Ankylosis spondylitic, Psoriatic arthropathy, Juvenile chronic arthritis, Lyme disease 4. Lesi oral yang berhubungan dengan sendi rahang Penyakit-penyakit yang menyebabkan lesi oral, arthritis atau arthralgia adalah Reiter's disease, Lupus erymatosus, Systemic sclerosis, Behcet's syndrome, Chron's disease, Ulcerative colitis, Wagner's granulomatosa, Gonorrhea Universitas Gadjah Mada 20 5. Hiperplasi kondilar Merupakan kelainan yang jarang terjadi. Terdapat unilateral enlargement pada kondilus yang menyebabkan asimetri wajah, deviasi rahang pada saat membuka mulut, gigitan silang. Manifestasi kelainan setelah pubertas. Progresif lambat, tidak selalu menimbulkan rasa sakit. 6. Sindrom rasa nyeri pada TMJ Merupakan sindrom disfungsi TMJ yang paling umum dan paling sering terjadi. Menimbulkan rasa sakit, sensasi clicking dan grating pada TMJ, trismus, lebih banyak terjadi pada wanita muds. Pada beberapa kasus kondisi ini dapat menyebabkan kelainan oklusi karena ada hubungannya dengan aspek neuromuskular yang menyebabkan spasms dan rasa sakit. Pada kasus tertentu terdapat pengaruh unsur psikologis. Tidak ada perubahan patoiogis pada otot-otot mastikasi 7.Neoplasma Insidensi neoplasma pada TMJ jarang terjadi, baik merupakan tumor pada tulang maupun jaringan lunak. Contohnya Sarcoma sinovial, lebih banyak dijumpai pada jaringan lunak dibanding pada TMJ. Secara histopatologis tumor bersifat bifasik yaitu fibrosarkomatous dengan komponen epiteloid di sekeliling rongga menyerupai kelenjar (gland like space) dengan material musinous di dalamnya. Tumor yang paling nyata pada TMJ adalah osteokhondroma yang sering menyerang kondilus mandibula 8. Khondroinatosis sinovial Merupakan neoplasma jinak dengan karakteristik focus kartilago dalam membran sinovial. Jarang berpengaruh pada TMJ, tetapi dapat menyebabkan pembengkakan preartikular dan trismus. Kapsul sendi terdesak oleh osteokartilaginous Radiograf menunjukkan adanya masa opaque dalam kapsul sendi. Kondisi ini dapat berpengaruh pada fungsi Rahang Atas atau Rahang Bawah. Secara histopatologi ditandai adanya proliferasi khondrosit dalam jaringan ikat subsinovial yang menyerupai khondrosarkoma. Dalam jaringan ikat subsinovial jugs dapat dijumpai nodul-nodul kartilago. 9. Resorbsi idiopatik condylus (ICR) Dikenal pula dengan istilah idiopatik condylus, atroli condylus, resorbsi condylus yang progresif. Merupakan proses penyakit yang progresif terutama pada wanita pada usia pertumbuhan pubertas, dapat terjadi unilateral atau bilateral. Universitas Gadjah Mada 21 Ciri khan berupa ketidakstabilan skeletal dan oklusal, perubahan bentuk wajah, disfungsi TMJ dan rasa sakit. Penyebab utama belum diketahui tetapi kemungkinan berkaitan dengan faktor hormonal. Predilekasi adalah pasien usia belasan atau pubertas dan pada wanita ratio lebih besar (9:1). Karakteristik umum wajah yang mempunyai predisposisi untuk terjadinya ICR yaitu retrusi mandibula, sudut dataran oklusal mandibula tinggi, oklusi klas II dengan atau tanpa open bite anterior Patogenesis ICR Hormon estrogen sebagai perantara perubahan biokimia pada TMJ sehingga terjadi hiperplasi jaringan sinovial, dapat menstimuli produksi substrat, destruksi jaringan dengan dimulai adanya kerusakan struktur ligamen yang pada keadaan normal berfungsi untuk mendukung dan menstabilisasi cakram sendi. Kondisi ini menyebabkan cakram pindah ke anterior. Jaringan sinovial menempati posisi di sekitar kepala condylus kemudian mendesak condylus ke dasar sehingga menyebabkan fenomena resorbtif. Terjadinya resorbsi condylus ini akan telihat adanya destruksi fibrokartilago pada kepala condylus dan atap dari fosa (kasus arthritis : fibrokartilago rusak oleh adanya inflamasi). ICR mungkin pada akhirnya akan sembuh tetapi bila pada condylus jaringan sinovial. hiperplastiknya menerima beban yang berlebihan seperti adanya trauma, perawatan ortodonti, bedah ortognatik) proses resorbsi ini mungkin akan kambuh kembali D. Pengaruh luar terhadap terjaidinya kelainan / penyakit pada sendi rahang Pengaruh luar terhadap terjadinya kelainan / penyakit pada sendi rahang antara lain trauma, dental work, disease, oral habits, orthodontics, work habits, intubation, hard food. Universitas Gadjah Mada 22 1. Trauma Secara umum faktor luar yang paling sering berhubungan dengan terjadinya gangguan pada TMJ adalah akibat trauma dan penyakit. Trauma, baik langsung pada TMJ ataupun melalui kepala-leher dapat merupakan pencetus gangguan TMJ. Contohnya adanya benturan berat pada salah satu sisi muka dapat menyebabkan fraktur atau bergesernya kondilus dari posisi normal. Cedera terkilir pada daerah kepala dapat meregangkan atau merobek ligamen, pergeseran letak diskus artikularis atau perdarahan yang menyebabkan timbulnya jaringan parut yang akan mengakibatkan gangguan mobilitas dan rasa sakit. 2. Prosedur perawatan gigi Berbagai macam jenis perawatan gigi dapat menyebabkan gangguan pada TMJ pada beberapa orang. Hal-hal yang perlu dihindari antara lain tekanan yang terlalu besar pada rahang, overfilling tumpatan, terlalu lama membuka mulut. Kasus yang paling banyak terjadi adalah pada scat pencabutan gigi molar ketiga 3. Penyakit Sendi rahang bersifat rentan terhadap penyakit-penyakit yang menyerang persendian lain di seluruh tubuh, contohnya : osteoartritis, arthritis rheumatoid atau gout. Penyakit ini menyebabkan degenerasi progresif dengan adanya perubahan pada tulang, kerusakan pada diskus dan rasa sakit pada otot. Penyakit lain yang dapat berpengaruh adalah neoplasma jaringan di sekitar TMJ, seperti kelenjar parotis. 4. Kebiasaan oral Kebiasaan oral seperti : tongue thrusting, bemafas melalui mulut, menguap terlalu lebar, menggigit kuku, bibir, atau pipi dapat menimbulkan gangguan pada TMJ. Hal ini disebabkan adanya gangguan pada persendian. 5. Kebiasaan bekerja / postur tubuh Beberapa kebiasaan yang dilakukan setiap hari dapat menyebabkan nyeri dan ketegangan otot rahang, kepala, leher atau bahu. Contohnya menjepit gagang telepon antara telinga dan bahu, berbicara terlalu keras, membawa beban berat, memainkan biola, menyanyi dan semua aktivitas yang menyebabkan posisi kepala ke depan. 6. Intubasi Intubasi yang dilakukan selama prosedur pembedahan dapat menyebabkan gangguan TMJ. Pada intubasi, mulut pasien harus dibuka lebar dengan cara cepat untuk memasukkan tube respirasi, dan rahang berada pada posisi yang tetap dalam jangka waktu lama. 7. Makanan keras atau permen karet Makanan keras atau permen karet akan menambah parah keadaan pada penderita gangguan TMJ 8. Bruxism / stress Universitas Gadjah Mada 23 Beberapa ahli berpendapat bahwa night grinding / bruxism dapat menyebabkan gangguan TMJ. Bruxism dapat diakibatkan oleh stress. Meskipun demikian hal ini masih diperdebatkan karena tidak didukung oleh data yang kuat, yang mana tidak semua penderita gangguan TMJ mempunyai kebiasaan night grinding, tidak semua penderita night grinding menderita stress dan sebaliknya. Teori lain mengatakan bahwa bruxism dapat disebabkan maloklusi. Bruxism dalam hal ini adalah untuk mendapatkan gigitan, "to find their bite" sehingga tidak ada latar belakang stress. Universitas Gadjah Mada 24 DAFTAR PUSTAKA 1. Cawson, R.A., Binnie, W.H., Eveson, J.W., 1994, Color Atlas of Oral Disease, 2nd ed. Wolfe, London 2. Davis, WL., 1986, Oral Histology, WB. Saunders Co., Philadelphia 3. Lehner, T., 1992, Immunology of Oral Disease, 3 th ed., Blackwell Scientific Pub Melbourne 4. Orland, F.J., 1982, Microbiology in Clinical Dentistry, John Wright PSG, Boston 5. Prescott, Lansing, M., Harley, John, P., dan Klein, Donald A., 2003, Microbiology, 5th ed., McGraw Hill., Education (Asia)-Singapore 6. Regezy, J.A., Sciubba, J.J., 1989, Oral Pathology, WB Saunders Co., Philadelphia 7. Roth GI and CaImes R., 1981, Oral Biology, The CV Mosby Co., St. Louis. 8, Roeslan, Budi Oetomo, 2002, Imunologi Oral, Kelainan di dalam rongga mulut, Balai Penerbit FKGUI, Jakarta. 9. Topazian, R.G., Goldberg, M.H., 1987, Oral and Maxillofacial Infection, 2nd ed., Philadelphia Universitas Gadjah Mada 25