Semua Pelindo Perlu Menerapkan Single Billing Untuk Tata Kelola yang Baik UNAIR NEWS – Dalam kunjungan kerja panitia angket DPR tentang Pelindo II ke UNAIR, sejumlah pakar dari FEB, FISIP, dan FH ikut urun saran. Mereka memberi beberapa masukan yang diharapkan dapat memberi wawasan baru bagi para wakil rakyat di Senayan. Khususnya, dalam menyikapi persoalan yang saat ini terjadi di Pelindo II. Seperti diketahui, Pelindo II sedang terbelit permasalahan hukum. Salah satunya, terkait pengadaan crane. Juga, sehubungan adanya isu dweeling time. Dalam kesempatan ini, akademisi dari FEB Prof Dr Djoko Mursinto SE M.Ec mengemukakan, problem yang muncul di tengah Pelindo II sebenarnya secara teknis terjadi pula di Pelindo lain. Persoalan pengadaan barang, dweeling time, bongkar muat, kapal sandar, kapal pandu, antrean trailer kontainer, dan lain sebagainya, terjadi di setiap pelabuhan. Fenomena ini merupakan problem yang kompleks. “Namun, kali ini, yang kena sorot hanya Pelindo II. Mari, kalau mau kita amati bersama di Pelindo lain,” kata dia. Hal ini diamini oleh pakar hukum perseroan Dr Mas Rahma. Dia mengatakan, perlu tata kelola terpadu yang berdasar undangundang. Jadi, semua elemen menyangkut pelayaran dan aktifitas disekitarnya, mesti bersumber dari satu aturan pengelolaan yang jelas dan terintegrasi. “Misalnya begini, seharusnya kita punya single billing. Tapi nyatanya, masih banyak pos-pos pembayaran di pelabuhan. Fakta ini di lihat dari sudut pandang pengelolaan pasti kurang baik,” tegas dia. Sementara itu, Dosen Hubungan Internasional FISIP Sartika Soesilowati, Dra.,MA., Ph.D. menyatakan, BUMN yang unggul mesti bersandar pada beberapa nilai fundamental. “Pelindo dan BUMN yang ada di Indonesia harus efisien, meraup profit, dan tetap berkeadilan. Kalau salah satunya tidak ada dan bermasalah, ya tidak pas,” urai dia. Pakar Hukum Suparto Wijoyo “menantang” anggota dewan untuk menerapkan ketegasan terhadap semua persoalan yang membelit BUMN. Jangan hanya satu BUMN yang disorot. Selain itu, dia mendorong adanya telaah terkait kontrak karya yang melibatkan negara dan pihak lain. “Kita harus melakukan kajian tentang semua kontrak karya negara sehingga benar-benar memberi keuntungan bagi seluas-luasnya masyarakat,” terang ahli hukum ekologi tersebut. Prof Tjuk Kasturi Sukiadi menyoroti tentang pentingnya komisaris independen dalam setiap BUMN. Kalau komisaris memiliki kaitan dengan pejabat publik atau pihak luar secara emosional pribadi, jangan harap dia melakukan pengabdian atas nama rakyat. “Komisaris yang saya maksud, harus dipilih berdasar fit and proper test yang transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Bila tidak, dia tidak akan bersuara atas nama kepentingan rakyat. Melainkan, atas nama kepentingan pejabat tertentu. Padahal, esensinya BUMN itu milik rakyat,” ungkap dosen FEB tersebut. (*) Penulis: Rio F. Rachman