BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Masalah Misi pekabaran Injil yang dilakukan oleh gereja maupun badan misi pada masa lampau, yang berkaitan dengan kolonialisasi, tidak hanya menjadi halangan ataupun hambatan pekabaran Injil dan pembangunan jemaat, tetapi juga menjadi hambatan bagi orang kristen dalam pergaulan mereka sehari-hari saat ini. Agama Kristen dipandang sebagai agama “Barat”, sehingga pendirian gereja ataupun pekabaran Injil, yang dilakukan bahkan pada masa modern ini, selalu dituding sebagai sarana kolonialisme.1 Inilah efek negatif yang dihasilkan oleh misi pekabaran Injil. Walaupun disadari juga bahwa ada sisi positif yang dihasilkan oleh misi pekabaran Injil yaitu sejalan dengan kata Brunner bahwa Gereja (orang Kristen) ada karena misi, seperti halnya api ada karena pembakaran. 2 Maka berkat misi pekabaran Injil akhirnya banyak orang mengenal kabar sukacita dari Tuhan Yesus Kristus. Pekabaran Injil sama sekali bukan misi pribadi atau misi dari suatu gereja tertentu, tetapi pekabaran Injil secara esensial merupakan misi Allah atau misi Kristus yang berkenan telah memanggil orang-orang untuk menjadi kawan sekerjaNya yaitu memberitakan karya keselamatan Allah di dalam penebusan Kristus di atas kayu salib. Jadi karena manusia dijadikan oleh Allah sebagai kawan sekerjaNya, maka harus secara total dan tulus menyerahkan diri untuk 1 Edmund Woga, Dasar-Dasar Misiologia (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 10. 2 William A. Dyrness, Agar Bumi Bersukacita : Misi Holistis Dalam Teologi Alkitab dari Let The Earth Rejoice : A Biblical Theology of Holistic Mission (West Chester Illinois : Crossway Books, 1983), 15. melaksanakan pemberitaan Injil. Adanya misi penginjilan di Indonesia merupakan sebagai “pencerahan” kepada masyarakat Indonesia yang belum mengenal agama. Hal ini didasari pada masih berkembangnya agama-agama suku di seluruh kepulauan Indonesia. Sebagai contoh adalah wilayah Sumatera bagian utara, tepatnya di daerah Tapanuli. Daerah Tapanuli pada dahulunya merupakan daerah yang masih belum mengenal Tuhan. Masyarakatnya yang merupakan suku Batak, pada umumnya masih percaya kepada arwah-arwah nenek moyang. Sampai tahun ± 1800 M penduduk Tanah Batak di pedalaman Sumatera Utara di daerah-daerah Toba, Angkola, Mandailing, Simalungun, Dairi dan Karo masih menganut paham animisme. Kondisi masyarakat Batak yang hidup di daerah pedalaman Sumatera Utara pada zaman dahulu amat memprihatinkan, jauh dari jangkauan kemajuan di dalam setiap aspek kehidupannya. Terbelakang dalam kehidupan sosialnya, hal ini ditandai dengan kehidupan yang amat miskin dan sederhana. Terbelakang dalam bidang pendidikan, ditandai dengan masyarakat yang buta huruf dan penuh dengan kebodohan. Mereka hidup dalam adat istiadat yang mengikat dan yang harus dilaksanakan supaya ilah yang disembah jangan marah. Peperangan antar kampung dan antar marga, saling bermusuhan dan mendengki merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan sehari-harinya. Dalam hal kepercayaan, agama suku yang bernama Parmalim merupakan agama asli orang Batak pra datangnya injil.3 Agama Parmalin menyembah Debata Mulajadi Nabolon sebagai ilahnya. Sebelum suku Batak menganut agama Kristen, mereka mempunyai sistem kepercayaan dan religi tentang Mulajadi Nabolon yang memiliki kekuasaan di atas langit dan pancaran kekuasaannya terwujud dalam Debata Natolu. 3 http://sabda.org/artikel/siapakah_debata_dewata_itu/15-09-2011/11:53 Walaupun orang Batak percaya pada ilah-ilah lain, namun sebenarnya yang mendominasi hidup keagamaan mereka ialah memuja arwah leluhur. Sebenarnya, mereka diperbudak oleh banyak sekali kuasa-kuasa kegelapan yang selalu mengancam dari segala penjuru. Itulah sebabnya menurut mereka, sangat penting mengambil hati arwah nenek moyang yang dianggap sebagai pelindung utama mereka terhadap ancaman maut itu. Tindakan mengambil hati arwah nenek moyang adalah dengan memberikan sesajen. Dengan adanya kepercayaan ini, maka bisa dikatakan pada awalnya suku Batak masih menyembah berhala. Menyangkut jiwa dan roh, suku Batak mengenal tiga konsep, yaitu: • Tondi : adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena itu tondi memberi nyawa kepada manusia. Tondi didapat sejak seseorang di dalam kandungan. Bila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan sakit atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi dari sombaon yang menawannya. • Sahala : adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang memiliki tondi, tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-hula. • Begu : adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan tingkah laku manusia, hanya muncul pada waktu malam.4 Mengetahui kehidupan orang batak dalam adat-istiadatnya (red=agamanya), para misiolog telah mencoba meneliti kehidupan beragama orang batak dan berpendapat bahwa pusat agama kuno orang batak adalah pemujaan terhadap arwah nenek moyang.5 Beberapa Misi yang 4 http://sejarahsukubatak.blogspot.com/2010/07/penyebaran-agama-ke-suku-batak.html/ 11.40 5 H. Gultom, Imanmu Pasogit, 2004), 136. Menyelamatkanmu, (Jakarta: Yayasan Pembangunan Bona dilakukan oleh Gereja Kristen Barat, salah satunya adalah Pekabaran Injil di Sumatera Utara, dimulai pada tahun 1824. Saat itu, penginjil yang pertama yakni Richard Burton dan Nathaniel Ward utusan zending Baptist Mission Society of England sebuah lembaga pekabaran Injil dari Inggris, mencoba untuk melakukan pekabaran Injil di tanah Batak.6 Melalui daerah pesisir Sumatera mereka berhasil menerobos sampai ke wilayah orang Batak Toba di daerah Silindung, akan tetapi mereka terpaksa mundur dari tempat itu karena pemerintah Belanda menolak untuk memberi izin bekerja di daerah itu.7 Kemudian pada tahun 1834, Pdt. Samuel Munson dan Pdt. Henry Lyman utusan Amerika Board of Commisioners for Foreign Missions sebuah kongsi zending Amerika (Boston) datang ke tanah Batak untuk melakukan pekabaran Injil. Pada 23 Juni 1834 mereka meninggalkan Sibolga mengikuti jejak Burton dan Ward ke Lembah Silindung, akan tetapi mereka berdua tewas terbunuh di Lobu Pining dalam perjalanan menuju daerah Silindung.8 Maka Pada tahun 1840-1842 F. Junghuhn, seorang ilmuwan antropolog Jerman datang ke tanah Batak untuk melakukan ekspedisi penelitian di pedalaman Sumatera. Kemudian dia menerbitkan karangannya dan melalui karangannya orang Eropa dapat mengenal orang Batak. Karangan itu sampai ke tangan tokoh-tokoh lembaga Alkitab di Belanda, lalu pada tahun 1849 mereka mengutus H. Neubronner van der Tuuk ke Sumatera. Van der Tuuk seorang utusan Kongsi Bible Netherland (NZG) yang merupakan perintis jalan untuk pelayanan zending kepada 6 Paul B. Pedersen, Darah Batak dan Jiwa Protestan, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1975), 45-46. 7 Dr.Th. Van den End. Dr. J. Weitjens, S.J, Ragi Cerita 2, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2003), 182. 8 Paul B. Pedersen, Darah Batak dan Jiwa Protestan, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2003), 182. suku Batak. Beliau menerjemahkan sebagian isi Alkitab Perjanjian Lama ke dalam bahasa Batak, menulis tata bahasa Batak dan membuat kamus bahasa Batak – Belanda. Dengan adanya misi pekabaran Injil yang dilakukan bangsa-bangsa barat, maka dengan segera Badan Zending Rheinshe (RMG) mengalihkan konsentrasinya dalam menyebarkan Injil ke daerah Batak dengan mengutus Pdt. D.R. Fabri ke sana. Masuknya RMG (Rheinische Missions-Gesselschaft) dari Jerman dan resmi berdiri pada 7 Oktober 1861, yaitu ditandai sebagai hari berdirinya HKBP. Namun Pekabaran Injil di tanah Batak ini mengalami keberhasilan ketika diutusnya seorang misionaris yang berasal dari Jerman, yaitu DR. IL Nommensen. Pekerjaan misi yang dilakukan Nommensen, sungguh membawa perubahan yang sangat berarti bagi masyarakat Batak, khususnya suku Batak Toba. Perubahan ataupun kemajuan yang dilakukan Nommensen dalam kehidupan masyarakat adalah proses modernisasi seperti pelayanan kesehatan dan pendidikan. Perubahan lainnya adalah dalam kehidupan sosial, yaitu sebelumnya masyarakat saling mendengki, hal ini berangsur-angsur berkurang. Dengan segala usaha yang dilakukan oleh Nommensen, dia diangkat sebagai Ephorus (Pimpinan tertinggi dalam gereja) yang pertama di gereja HKBP. Hingga sekarang, gereja HKBP menganggap Nommensen sebagai Rasul orang Batak karena berhasil membawa suku Batak dari kegelapan menuju terang. Pekerjaan misi yang dilakukan oleh Nommensen di masyarakat Batak inilah yang menjadi dasar dari HKBP untuk merumuskan visi, misi dan prinsip sebagai gereja yang diutus ke tengahtengah dunia. HKBP harus bekerja secara proaktif, aktif, kritis, dan realistis untuk menghadapi tantangan-tantangan dalam kehidupan masyarakat. Adapun visi, misi, dan prinsip dari HKBP dalam melakukan seluruh kegiatan pelayanannya di dunia ini adalah, sebagai berikut: Visi HKBP berkembang menjadi gereja yang inklusif, dialogis, dan terbuka, serta mampu dan bertenaga mengembangkan kehidupan yang bermutu di dalam masyarakat global, terutama masyarakat Kristen, demi kemuliaan Allah Bapa yang mahakuasa. Misi HKBP berusaha meningkatkan mutu segenap warga masyarakat, terutama warga HKBP, melalui pelayanan-pelayanan gereja yang bermutu agar mampu melaksanakan amanat Tuhan Yesus dalam segenap perilaku kehidupan pribadi, kehidupan keluarga, maupun kehidupan bersama segenap masyarakat manusia di tingkat lokal dan nasional, di tingkat regional dan global dalam menghadapi tantangan Abad-21. Prinsip Untuk melaksanakan misi menuju visi tersebut di atas, HKBP berpegang teguh pada prinsip di bawah ini: a. Melayani, bukan dilayani (Mrk. 10:45) b. Menjadi garam dan terang (Mat. 5:13-14) c. Menegakkan keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan (Mrk. 16:15; Luk. 4:1819)9 Dalam usianya yang ke-150 tahun, tentu banyak perubahan yang terjadi dalam pekerjaan misi yang dilakukan HKBP. Kehidupan masyarakat yang semakin majemuk seperti saat ini, juga ikut mempengaruhi perubahan misi HKBP. Kemajemukan masyarakat memunculkan beberapa peristiwa yang menyangkut SARA yaitu adanya larangan beribadah, pembakaran gereja, 9 Aturan dan Peraturan HKBP (2002) pengrusakan gereja ataupun teror kepada jemaat HKBP. Tentu hal ini perlu disikapi secara bijak oleh semua gereja, termasuk HKBP, dalam melakukan misi pelayanannya. Kemajemukan masyarakat (anggota) HKBP juga memunculkan masalah internal HKBP yaitu beberapa jemaat HKBP mulai “gerah” dengan tindakan yang dilakukan baik oleh para pekerja (pelayan) HKBP, maupun juga sesama jemaat. Masalah-masalah internal dalam tubuh HKBP, akhirnya terakumulasi dalam pergolakan yang pernah terjadi di tubuh HKBP (19921998), yaitu jemaat HKBP terbelah menjadi dua kubu. Walaupun pada tahun 1999, masalah internal ini dapat diselesaikan dan HKBP menjadi bersatu kembali, namun konflik seperti ini tentu sangat berpengaruh sekali dalam kehidupan berjemaat. Meskipun demikian, luka-luka akibat gesekan dalam pergolakan internal tetap menyisakan sedikit kekecewaan jemaat terhadap kinerja HKBP. Beberapa jemaat berpendapat bahwa misi pelayanan yang dilakukan Nommensen tidak lagi menginspirasi pelayanan yang dilakukan HKBP saat ini. Dalam menjalankan misinya, Nommensen sangat gigih membantu dan memperjuangkan mereka yang benar-benar membutuhkan bantuan, seperti menghadirkan pengobatan gratis dan pendidikan gratis. Pelayanan seperti ini sudah jarang ditemui dalam pelayanan HKBP sekarang ini, yang lebih mengutamakan mementingkan pembangunan gedung dan pengumpulan dana sehingga timbullah sebuah pertanyaan, “Apakah praktek pelayanan gereja HKBP pada saat ini masih sejalan dengan misi yang pernah dilakukan Nommensen dahulu?” Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis ingin menjadikannya sebagai sebuah skripsi, dengan judul : MISI NOMMENSEN DENGAN HKBP KINI (Suatu Perbandingan Antara Pemahaman dan Praktek Misi Nommensen dengan HKBP Kini) II. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, akhirnya pertanyaan yang timbul adalah : 1. Bagaimana pemahaman dan praktek misi Nommensen pada masa awal berdirinya HKBP? 2. Bagaimana pemahaman dan praktek tentang misi dalam gereja HKBP sekarang? 3. Bagaimana persamaan dan perbedaan kedua pemahaman tersebut? III. Tujuan Penulisan Dari pokok permasalahan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mendeskripsikan pemahaman dan praktek misi Nommensen pada masa awal berdirinya HKBP. 2. Untuk mendeskripsikan pemahaman dan praktek tentang misi dalam gereja HKBP sekarang. 3. Untuk mendeskripsikan persamaan dan perbedaan kedua pemahaman tersebut. IV. Signifikansi Penulisan Adapun Manfaat Penelitian ini antara lain : 1. Memberikan pemahaman baru tentang konsep Misiologi dalam upaya berteologi. 2. Membangkitkan motivasi Gereja dan jemaat dalam melakukan misi. 3. Memberikan konsep dasar bagi para teolog untuk membangun Misiologi yang baik di Indonesia. 4. Memberikan sumbangan pemikiran akademik dalam hal ini lembaga fakultas Teologi UKSW terkhususnya mata kuliah Misiologi. V. Metodologi Penulisan Penulisan Suatu Studi Tentang Pemahaman dan Praktek Misi Nommensen, serta Pemahaman dan Praktek Misi HKBP Sekarang dilakukan dengan menggunakan analisa Sosio-Historis. Analisa ini digunakan untuk meninjau keadaan sosial dan historis tentang pemahaman dan praktek misi Nommensen. 1. Jenis Penulisan. Penulisan skripsi ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif, bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau menentukan frekuensi adanya hubungan tertentu antara suatu gejala dan gejala lain dalam masyarakat.10 Penulis menggunakan kualitatif agar penelitian Suatu Studi Tentang Pemahaman dan Praktek Misi Nommensen, serta Pemahaman dan Praktek Misi HKBP Sekarang ini dapat dijelaskan secara mendalam. 2. Jenis Penelitian. 10 Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), 29. Jenis penelitian yang dipakai adalah dengan menggunakan pendekatan Kualitatif; suatu metode penelititan yang digunakan dengan cara mengumpulkan berbagai informasi sebagai data untuk diolah, sehingga pada akhirnya fenomena-fenomena yang terjadi dalam kehidupan masyarakat dapat diuraikan atau dideskripsikan dalam bentuk satu kesatuan tulisan yang utuh. 3. Teknik Pengumpulan Data. a. Interview/ Wawancara, teknik wawancara dipergunakan untuk mendapatkan data primer. Teknik ini bertujuan untuk mendapatkan keterangan yang lebih mendalam tentang objek yang diteliti. Bentuk wawancara yang digunakan adalah wawancara terstruktur, yaitu wawancara yang terarah untuk mengumpulkan data-data yang relevan. Dengan memberi pertanyaan yang terarah diharapkan data lebih mudah diolah sehingga memungkinkan analisa yang kualitatif serta kesimpulan yang dapat dipertanggung-jawabkan. b. Kepustakaan, teknik ini dipergunakan untuk mendapatkan data sekunder. Melalui studi kepustakaan ini, diharapkan akan memperoleh bahan-bahan yang tepat dan sesuai dengan topik yang dikaji. Selain itu studi kepustakaan ini bermanfaat pula sebagai salah satu narasumber, demi menyusun landasan teoritis yang akan digunakan dalam menganalisa data dari hasil penelitian di lapangan. Sumbersumber yang digunakan untuk mengambil data juga diperoleh dari majalah, artikel, dan internet. 4. Teknik Analisa Data. Data yang telah terkumpul dari hasil penelitian, kemudian dikelompokkan sesuai dengan tujuan penelitian, sehingga data yang telah dikelompokkan tepat pada sasaran yang dituju, atau dengan kata lain, agar relevan dengan tujuan penelitian yang hendak dicapai oleh penyusun. VI. Sistematika Penulisan BAB I : Pendahuluan Menguraikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penelitian. BAB II : Pergeseran Paradigma Misi Sepanjang Sejarah Gereja. Pada bab ini penulis akan menguraikan pergeseran paradigma misi sepanjang sejarah gereja BAB III : Pemahaman dan Praktek Misi Nommensen dan HKBP. Pada bagian ini, penulis akan meneliti bagaimana pemahaman dan praktek misi Gereja HKBP dengan pemahaman dan praktek misi Nommensen. BAB IV : Perbandingan Pemahaman dan Praktek Misi Antara Nommensen dan HKBP. Pada bagian ini penulis akan membandingkan Misi Nommensen dan Misi HKBP saat ini. BAB V : Penutup Pada bagian ini, penulis akan menyimpulkan apa yang telah dideskripsikan pada bab-bab terdahulu dan memberikan saran-saran praktis baik itu bagi gereja maupun bagi lembaga fakultas Teologi UKSW.